Anda di halaman 1dari 23

KAJIAN ASBABUN NUZUL SURAH AL-BAQARAH AYAT 115

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asbabun Nuzul

DOSEN PENGAMPU : Dr. JULI JULAIHA P. S.Th.I., M.A.

Disusun Oleh Kelompok 10 :

Gustina Zulfiani Sitorus 0403202094

Raya Mursalin Rambe 0403202139

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

T.A. 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita kepada Allah Swt yang telah memberikan nikmat kesehatan kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Kajian Asbabun Nuzul
Surah Al-Baqarah Ayat 115”. Kami selaku penyusun makalah menyampaikan ucapan terima
kasih kepada Ustadzah Dr. Juli Julaiha P. S.Th.I., M.A, selaku Dosen pengampu mata kuliah
Asbabun Nuzul yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan makalah
yang akan di presentasikan pada hari ini.

Makalah ini disusun dengan tujuan agar para pembaca dapat memahami isi materi
didalamnya dengan lebih mudah dan juga menambah wawasan bagi para pembaca. Dalam
penyusunandan pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
menerima kritikan dan saran dari para pembaca agar kami dapat menyusun dan membuat yang
lebih baik lagi untuk kedepannya.

Semoga pembaca mendapatkan manfaat saat membacanya, dan semoga kita semua diberi
kesehatan. Aaamiin Yaa Rabb Al-Aa‟lamiin.

Medan, Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i


DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii
BAB I .............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 2
C. Tujuan .................................................................................................................................. 2
BAB II............................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 3
A. Asbabun Nuzul Surah Al-Baqarah Ayat 115 ....................................................................... 3
B. Analisis Tafsir, Fiqih, dan Hikmah Surah Al-Baqarah Ayat 115 ........................................ 5
BAB III ......................................................................................................................................... 19
PENUTUP..................................................................................................................................... 19
A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asbabun nuzul merupakan salah satu pokok bahasan dalam studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an.
Ilmu ini memberikan peranan yang sangat penting dalam menafsirkan al-Qur‟an, bukan
hanya untuk memahami suatu ayat, mengetahui hikmah dibalik penetapan suatu hukum,
tetapi juga menginformasikan realitas sosial-budaya masyarakat pada masa turunnya al-
Qur‟an.

Kajian asbabun nuzul memberikan kesadaran akan pentingnya konteks sejarah dalam
memahami al-Qur‟an, dimana concern kajian ini adalah menelaah latar belakang turunnya
ayat-ayat al-Qur‟an, disamping sangat membantu untuk melacak makna dan semangat suatu
ayat, juga berguna dalam upaya memahami al-Qur‟an untuk waktu dan tempat yang berbeda.
Kekeliruan dalam memahami ayat-ayat al-Qur‟an adalah dikarenakan tidak memahami
asbabun nuzul ayat tersebut. Hal ini, misalnya, pernah dialami oleh Khalifah Marwan bin
Hakam dan „Utsman bin Mazd‟un. Dalam masyarakat Indonesia misalnya, ada sebagian
masyarakat kita yang memahami ungkapan yang sangat populer “fitnah itu lebih kejam dari
pembunuhan” berdasarkan ayat al Fitnatu Asyaddu min al-Qatl, atau al-Fitnatu Akbaru min
al-Qatl yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 191 dan 217. Kesalahan itu terjadi, karena
di samping memahami arti kata “al-fitnah” dalam ayat itu semakna dengan arti fitnah dalam
bahasa Indonesia, juga disebabkan mengabaikan asbabun nuzul yang menjadi latar belakang
turunnya ayat tersebut.

Oleh karena itu, sangat tepat apa yang pernah di kemukakan oleh al-Wahidi an-Naisaburi
bahwa “tidak mungkin bisa memahami suatu ayat tertentu tanpa mengetahui latar belakang
sejarah turunnya ayat tersebut”. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa “asbabun nuzul adalah
bidang ilmu al-Qur‟an yang paling penting untuk dicermati dan diperhatikan, sebab
penafsiran dan pengungkapan maksud dari suatu ayat tidak akan dapat dilakukan tanpa
mengetahui kronologis yang menjadi penyebab turunnya ayat tersebut”.1

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana asbabun nuzulnya Surah Al-Baqarah Ayat 115?
2. Bagaimana penafsiran ayat tersebut dan analisis fiqih serta hikmah dari surah Al-Baqarah
Ayat 115?

1
Jaluluddin as-Suyuti, Al-Itqan Fi Umu Al-Qur’an, jilid II, (Kairo: Dar as-Salam, 2003), hal. 417.

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang asbabun nuzul surah Al-Baqarah ayat 115
2. Agar mengetahui penafsiran pada surah Al-Baqarah Ayat 115.
3. Untuk mengetahui secara analisis fiqih, dan mengetahui hikmah-hukmah yang terdapat
didalam surah Al-Baqarah ayat 115

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asbabun Nuzul Surah Al-Baqarah Ayat 115

‫اّلِلَ َو ِاس ٌع َعلِيم‬


‫اّلِلِ ۚ إِ هن ه‬
‫ب ۚ فَأَيْنَ َما تُ َولُّوا فَثَ هم َو ْجوُ ه‬ ِِ
ُ ‫َو هّلِل الْ َم ْش ِر ُق َوالْ َم ْغ ِر‬
Artinya: “Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke manapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah, Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha
Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 115)
Dari ayat tersebut dapat dipahami bolehnya melakukan shalat menghadap ke arah
selain kiblat. Pemahaman seperti ini adalah salah, karena menghadap kiblat adalah salah satu
syarat sahnya shalat. Dengan ilmu Asbabun Nuzul dapatlah dipahami secara jelas, dimana
ayat di atas turun sehubungan dengan kasus seseorang yang ada dalam perjalanan dan tidak
mengetahui kiblat serta arah, karena itu ia boleh berijtihad untuk memilih arah dan
selanjutnya ia melakukan shalat. Ke mana saja ia menghadap dalam shalatnya maka sahlah
shalatnya. Ia tidak harus mengulangi kembali di saat ia mengetahui arah yang sebenarnya
andai kata salah. Dengan demikian maka ayat di atas tidaklah bersifat umum tetapi bersifat
khusus bagi seseorang yang tidak mengetahui kiblat dan arah.2
Ayat ini turun untuk memberi penjelasan bahwa kemana pun seseorang menghadap
karena tidak bisa menentukan arah kiblat akibat mendung atau semisalnya selama itu
ditujukan untuk mencari keridaan Allah, ia akan menemukannya di sana. Ada beberapa
riwayat tentang sebab nuzul ayat ini, beberapa di antaranya adalah:
‫ث‬ ِ ‫اّلِل عليو وسلهم يصلِّي وىو م ْقبِل ِمن م هكةَ إىل امل ِدينَ ِة علَى ر‬
ُ ‫احلَتِ ِو َحْي‬ ‫صلهى ه‬ ِ‫سول هللا‬
ُ ‫ كا َن َر‬:‫ال‬ َ َ‫َع ِن ابْ ِن عُ َمَر ق‬
َ َ َ ٌ ُ َ َ ُ َ ُ َ
3 ِ
‫ت (فَأَيْنَما تُ َولُّوا فَثَ هم َو ْجوُ ه‬
.)‫اّلِل‬ ِ ِ َ ،‫كا َن وجهو‬
ْ َ‫ َوفيو نََزل‬:‫قال‬ ُُ ْ َ
Ibnu „Umar berkata,“Suatu hari Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam shalat (sunah)
di atas untanya dalam perjalanan dari Mekah menuju Madinah. Beliau menghadapkan
wajahnya kemana saja unta itu menghadap. Terkait peristiwa ini turunlah ayat, fa ainama
tuwallu fasamma wajhullah.

ِ‫اص ِم ب ِن عب ي ِد ه‬ ٍِ
‫اّلِل َع ْن‬ ِ
ْ َُ ْ ‫ث بْ ُن َسعيد أَبُو الهربِي ِع ال هس هما ُن َع ْن َع‬ ُ ‫َحدهثَنَا ََْي ََي بْ ُن َح ِكي ٍم َحدهثَنَا أَبُو َد ُاوَد َحدهثَنَا أَ ْش َع‬
ِ ‫اّلِلِ صلهى ه‬ ِ ِ‫عب ِد ه‬
َ َ‫اّلِل بْ ِن َع ِام ِر بْ ِن َربِ َيعةَ َع ْن أَبِ ِيو ق‬
ُ‫ت ال هس َماء‬ْ ‫اّلِلُ َعلَْيو َو َسله َم ِِف َس َف ٍر فَتَ غَيه َم‬ َ ‫ال ُكنها َم َع َر ُسول ه‬ َْ
2
Lin Kandedes, Asbabun Nuzul dalam Perspektif Pendidikan (Lampung: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
IAIN Raden Intan Lampung, 2015), hal.7.
3
Diriwayatkan oleh Muslim bin Hajjaj an-Naisaburiy, Sahih Muslim, (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-
‘Arabiyyah, cet. 1, 1991), dalam Kitab Salah al-Musafirin wa Qasriha, Bab Jawaz Salah an-Nafilah 'alaad-Dabbah,
juz 1, hlm. 486, hadis nomor 70.

3
‫صلهى‬
َ ‫هي‬ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫وأَ ْش َكلَت علَي نَا الْ ِقب لَةُ فَصلهي نَا وأ َْعلَمنَا فَلَ هما طَلَعت الشهمس إِ َذا ََْنن قَ ْد ه‬
ِّ ‫صلْي نَا لغَ ْي الْقْب لَة فَ َك َك ْرَ ا َذل َ للن‬
َ ُ ُ ْ ْ َ ْ َ َْ ْ َْ ْ َ
4 ِ
.)‫اّلِل‬ ‫اّلِلُ َعلَْي ِو َو َسله َم فَأَنْ َزَل ه‬
‫اّلِلُ (فَأَيْنَ َما تُ َولُّوا فَثَ هم َو ْجوُ ه‬ ‫ه‬
Meriwayatkan kepada kami Yahya bin Hakim, meriwayatkan kepada kami Abu Daud,
meriwayatkan kepada kami Ash‟ath bin Sa‟id Abu Ar-rabi‟ Al-Samman dari „Asim bin
Ubaydillah dari Abdullah bin Amir bin Rabiah dari ayahnya berkata, “Kami menemani
Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam dalam sebuah perjalanan. Tiba-tiba langit tertutup
mendung sehingga kami kesulitan menentukan arah kiblat. Kami pun salat dan memberi
tanda (pada arah salat kami). Begitu matahari muncul, kami sadar telah salat dengan tidak
menghadap ke arah kiblat. Kami laporkan hal ini kepada Rasulullah. Allah lalu menurunkan
ayat, fa ainama tuwallu fasamma wajhullah
ِ ‫ ب عث رسو ُل هللاِ صلهى هللا علَي ِو وسلهم س ِريهةً ُكْن‬:‫ال‬ ِ ِ ِ ِ
‫َصابَْت نَا‬َ ‫ فَأ‬،‫ت فْي َها‬ ُ َ َ ََ َْ َ ْ ُ َ َ َ َ َ َ‫َع ْن َجاب ِر بْ ِن َعْبد هللا َرض َي هللاُ َعْن ُه َما ق‬
ُ‫ اَلْ ِقْب لَة‬:‫ُ ُه ْم‬
ُ ‫ال بَ ْع‬ َ َ‫ َوق‬،ًّ ، ‫صلُّ ْوا َو َخطُّْوا َخ‬ ِ ِّ ‫ اَلْ ِقب لَةُ ىاىنَا قِبل‬:‫ت طَائَِفةٌ ِمنها‬
َ َ‫ ف‬،‫الش َمال‬ ََ ُ َ ْ
ِ ِ
ْ َ‫ فَ َقال‬، ‫ظُْل َمةٌ فَلَ ْم نَ ْع ِرف الْقْب لَ َة‬
‫ فَ َق ِد ْمنَا ِم ْن‬،‫ط لِغَ ِْي الْ ِقْب لَ ِة‬ ْ َ ‫ت تِْل‬
ُ ‫اْلُطُْو‬ ْ ‫َصبَ َح‬
ْ ‫سأ‬
ِ
ْ ‫ فَلَ هما أ‬.‫ا‬،‫ َو َخطُّْوا َخط‬،‫ب‬
ُ ‫َصبَ ْحنَا َوطَلَ َعت ال هش ْم‬
ِ ‫اْلنُو‬ ِ ‫ى‬
ْ َْ ‫اىنَا قبَ َل‬ َُ
ِ‫ ِه‬:‫ وأَنْزَل هللا عهز وج هل‬، ‫ فَسأَلْناه عن ذَلِ فَس َكت‬،‫س َف ِرَ ا فَأَتَي نا النِهي صلهى هللا علَي ِو وسلهم‬
‫ب‬ُ ‫(وّلِل الْ َم ْش ِر ُق َوالْ َم ْغ ِر‬ ََ َ َ َ َ َ َ َْ َُ َ َ ََ َْ َ ‫َْ ه‬ َ
(5.‫فَأَيْنَ َما تُ َولُّْوا فَثَ هم َو ْجوُ هللا‬
Jabir bin „Abdullah radliyallahu „anhuma berkata, “Suatu hari Rasulullah shallallahu
„alaihi wasallam mengutus sejumlah pasukan aku salah satu dari mereka. Di tengah
perjalanan malam pun turun sehingga kami tidak tahu arah kiblat. Beberapa dari kami
berkata, „Kiblat di arah utara.‟ Mereka pun salat menghadap ke utara dan membuat sebuah
garis (untuk menandainya). Sebagian yang lain berkata, „Kiblat di arah selatan.‟ (Mereka
pun salat menghadap ke selatan) dan membuat sebuah garis pula (untuk menandainya).

4
Hasan; diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al-Baihaqiy, dan at-Tirmiziy dari jalur Asy'as bin Sa'id dari 'Ah dari
‘Abdullah bin ‘Abi'ah. at-Tirmizy cenderung melemahkan sanadnya karena menilai Asy'as sebagai perawi yang
lemah (da'if). 'Illat (cacat) yang lain dijumpai pada 'Ah yang dinilai buruk hafalannya, sebagaimana disebutkan
dalam at-Taqrib. Namun hadis Jabir setelah ini bisa menjadi syahid (penguat) atas hadis ini sehingga derajat hadis
ini terangkat menjadi hasan. Lihat: Ibnu Majah al-Qazwiniy, Sunan Ibni Majah, (Riyad: Maktabah al-Ma'arif, cet 1,
t.th), dalam Kitab Iqamah as-Salawat, Bab Man Salla li Gair al-Qiblah, hlm. 184, hadis nomor 1020; al-Baihaqiy, as-
Sunan al-Kubra, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. 3, 2003), dalam Kitab as-Salah, Bab Istihyan al-Khata' ba‘d
al-Ijtihad, juz 2, hlm. 17, hadis nomor 2241; at-Tirmiziy, Sunan at-Tirmiziy, Kitab Mawaqit as-Salah, Bab Ma Ja’a fi
ar-Rajul Yu}alli li Gair al-Qiblah fi al-Gaim, hlm. 95, hadis nomor 345. Lihat pula: Ibnu Hajar, Taqrib at-Tahzib, hlm.
472.
5
Hasan; diriwayatkan oleh al-Baihaqiy. Menurut beberapa kritikus, pada sanad riwayat ini dijumpai sedikit
kelemahan, yaitu pada diri Muhammad bin Salim. Kendati demikian, hadis ini bisa terangkat derajatnya menjadi
hasan karena adanya beberapa syahid dan tabi'. As-Suyutiy pun cenderung menilai hasan hadis ini, begitu pula
Ahmad Syakir dalam ta‘liq-nya atas Sunan at-Tirmiziy. Lihat: Ibrahim Muhammad al-‘Aliy, Sahih Asbab an-Nuzul,
(Damaskus: Dar al-Qalam, cet. 1, 2003) hlm. 25. Lihat pula: al-Baihaqiy, as-Sunan al-Kubra, dalam Kitab as-Salah,
Bab Istihyan al-Khata' ba'd al-Ijtihad, juz 2, hlm. 18–19, hadis nomor 2243; at-Tirmiz}iy, Sunan at-Tirmiziy, ta'liq
Ahmad Muhammad Syakir, (Kairo: Mustafa al-Babiy al-Halabiy, cet. 2, 1977), juz 2, hlm. 177.

4
Ketika pagi tiba dan matahari terbit, kami sadar kedua garis itu tidak mengarah ke kiblat.
Usai menunaikan tugas, kami menghadap Rasulullah dan menceritakan hal ini kepada
beliau. Beliau diam (tidak menjawab) sampai turun firman Allah, fa ainama tuwallu
fasamma wajhullah.”

B. Analisis Tafsir, Fiqih, dan Hikmah Surah Al-Baqarah Ayat 115

ِ ِ ‫اّلِلِ ۚ إِ هن ه‬
‫ب ۚ فَأَيْنَ َما تُ َولُّوا فَثَ هم َو ْجوُ ه‬ ِِ
‫يم‬
ٌ ‫اّلِلَ َواس ٌع َعل‬ ُ ‫َو هّلِل الْ َم ْش ِر ُق َوالْ َم ْغ ِر‬
“Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
(QS. Al-Baqarah: 115)

1. Tafsir Ayat Ibnu Katsir6

Abu Ubaid Al-Qasim ibnu SalSm telah meriwayatkan di dalam kitab Nasikh wal
Mansukh, telah menceritakan kepada kami Hajaj ibnu Muhammad, telah menceritakan
kepada kami Juraij dan U§man ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa
bagian permulaan dari Al-Qur'an yang di-mansukh bagi kami menurut apa yang diceritakan
kepada kami hanya Allah Yang lebih mengetahuiadalah mengenai masalah kiblat.

Allah Swt. berfirman: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun
kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)

Maka Rasulullah Saw. menghadap ke arah Baitul Maqdis dalam salatnya dan
meninggalkan arah Baitul 'Atiq (Ka'bah). Kemudian Allah me-nasakh-nya dan
memalingkannya ke arah Baitul yaitu melalui firman-Nya: Dan dari mana saja kamu
berangkat, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu
sekalian berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya. (Al-Baqarah: 150)

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa
permulaan ayat Al-Qur'an yang di-mansukh adalah mengenai masalah kiblat. Hal ini terjadi
ketika Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah yang penduduknya antara lain adalah orang-orang
Yahudi. Maka Allah memerintahkannya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis (dalam
salatnya), hingga orang-orang Yahudi gembira melihat hal itu. Rasulullah Saw. menghadap
ke arah Baitul Maqdis (dalam salatnya) selama belasan bulan, padahal Rasulullah Saw.
sendiri lebih menyukai kiblat Nabi Ibrahim a.s. (yaitu Ka'bah). Karena itu, beliau Saw. selalu
menengadahkan pandangannya ke langit. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sungguh

6
http://www.ibnukatsironline.com/2014/11/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-115.html

5
Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit sampai dengan firman-Nya maka
palingkanlah wajahmu ke arahnya. (Al-Baqarah: 144-150)

Melihat hal tersebut orang-orang Yahudi merasa curiga, lalu mereka berkata,
"Apakah gerangan yang memalingkan mereka dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang pada
mulanya mereka telah berkiblat kepadanya?" Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat." (Al-Baqarah: 142)

Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)

Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya,


"Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115). Yang
dimaksud dengan wajah Allah ialah kiblat Allah, yakni ke mana pun kamu menghadap, di
situlah kiblat Allah, baik ke arah timur ataupun ke arah barat. Mujahid mengatakan
sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah
wajah Allah" (AlBaqarah: 115), yakni di mana pun kalian berada, maka menghadaplah
kalian ke arah kiblat yang kalian sukai, yaitu Ka'bah.

Sesudah mengetengahkan riwayat a§ar di atas, Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula
dari Ibnu Abbas sebuah a§ar mengenai pe-nasakh-an kiblat ini melalui Ata, dari Ibnu Abbas.
Telah diriwayatkan dari Abul Aliyah, Al-Hasan, Ata Al-Khurrasani, Ikrimah, Qatadah, As-
Saddi, dan Zaid ibnu Aslam hal yang semisal.

Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya bahkan ada yang mengatakan bahwa Allah
menurunkan ayat ini sebelum ada kewajiban menghadap ke arah Ka'bah. Sesungguhnya
Allah Swt. menurunkan ayat ini hanya untuk memberitahukan kepada Nabi-Nya dan para
sahabatnya bahwa dalam salatnya mereka boleh menghadapkan wajah ke arah mana pun
yang mereka sukai di antara arah timur dan barat. Karena sesungguhnya tidak sekali-kali
mereka menghadapkan wajahnya ke suatu arah mana pun melainkan Allah Swt. berada di
arah tersebut, mengingat semua arah timur dan barat hanyalah milik-Nya belaka; dan bahwa
tiada suatu arah pun melainkan Allah Swt. selalu berada padanya, seperti yang diungkapkan
oleh firman-Nya: Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau
lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. (Al-
Mujaadilah: 7)

Mereka mengatakan bahwa setelah itu keharusan yang ditetapkan atas mereka adalah
menghadap ke arah Masjidil Haram. Demikianlah menurut keterangan Ibnu Jarir. Mengenai
penjelasan yang mengatakan bahwa tiada suatu tempat pun melainkan Allah selalu berada
padanya; jika yang dimaksudkan adalah ilmu Allah Swt., berarti benar. Tetapi jika yang
dimaksudkan adalah Zat-Nya, maka tidak benar, karena Zat Allah tidak dapat dibatasi oleh

6
sesuatu pun dari makhlukNya (yakni Allah tidak membutuhkan tempat). Mahasuci Allah dari
hal tersebut, dan Mahatinggi Dia dengan ketinggian yang setinggitingginya.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengatakan, bahkan ayat ini diturunkan
oleh Allah kepada Rasul-Nya sebagai izin dariNya boleh menghadap ke arah mana pun baik
ke arah timur ataupun ke arah barat dalam salat sunatnya; juga dalam perjalanannya, ketika
perang sedang berkobar, dan dalam keadaan yang sangat men alcutk an.

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Idris, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik alias Ibnu Abu Sulaiman, dari Sa'id ibnu
Jubair, dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah salat menghadap ke arah mana unta kendaraannya
menghadap, lalu ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah melakukan hal itu
berdasarkan takwil ayat ini: maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah
Allah. (Al-Baqarah: 115)

Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Tirmizi, dan Imam Nasai serta Ibnu
Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih melalui berbagai jalur dari Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman
dengan lafaz seperti terse-but di atas. Asal hadis ini berada di dalam kitab Sahihain (Sahih
Bukhari dan Sahih Muslim) melalui hadis Ibnu Umar dan Amir ibnu Rabi'ah, tetapi tanpa
menyebutkan ayat.

Di dalam kitab Sahih Bukhari melalui hadis Nafi', dari Ibnu Umar r.a. disebutkan
bahwa Ibnu Umar apabila ditanya mengenai salat Khauf, ia menggambarkan
(memperagakan)nya. Kemudian ia mengatakan, "Apabila keadaan semakin menakutkan,
maka mereka salat dengan berjalan kaki, ada pula yang berkendaraan, ada yang menghadap
ke arah kiblat ada pula yang tidak menghadap ke arah kiblat." Selanjutnya Nafi' mengatakan,
"Aku merasa yakin bahwa Ibnu Umar tidak sekali-kali menyebutkan hal ini melainkan dari
Nabi Saw."

Imam Syafii, menurut pendapat yang masyhur darinya, tidak membedakan antara
perjalanan biasa dan perjalanan untuk melakukan perang. Keduanya memang bersumber dari
dia, ia memperbolehkan salat tatawwu' di atas kendaraan (dalam dua keadaan tersebut). Pen-
dapat ini dianut oleh Imam Abu Hanifah, lain halnya dengan Imam Malik dan jamaahnya
yang berpendapat berbeda. Sedangkan Abu Yusuf dan Abu Sa'id Al-Astakhri memilih
pendapat boleh melakukan salat sunat di atas kendaraan ketika di Mesir. Pendapat ini
diriwayatkan oleh Abu Yusuf melalui Anas ibnu Malik r.a., tetapi Abu Ja'far , At-Tabari
memilih pendapat ini dan pendapat yang membolehkannya bagi orang yang berjalan kaki.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama yang lainnya lagi mengatakan bahwa ayat ini
diturunkan berkenaan dengan suatu kaum yang buta sama sekali akan arah kiblat hingga
mereka tidak mengetahui mana arahnya, lalu mereka melakukan salatnya menghadap ke arah

7
yang berbeda-beda. Maka Allah Swt. berfirman, "Dan kepunyaan Akulah timur dan barat itu.
Maka ke arah mana pun kalian menghadapkan wajah kalian, di situlah terdapat wajah-Ku
yang merupakan kiblat kalian; hal ini sebagai pemberitahuan buat kalian bahwa salal kalian
hams tetap dilangsungkan."

Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq Al-Ahwazi, telah


menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Abur
Rabi' As-Samman, dari Asim ibnu Ubaidillah, dari Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi'ah, dari
ayahnya yang menceritakan:

Kami pernah bersama Rasulullah Saw. di suatu malam yang gelap gulita dan kami
turun istirahat di suatu tempat, lalu seseorang mulai mengambil batu-batu untuk membuat
masjid (tempat sujud) untuk salat. Ketika pagi harinya, ternyata jelas bagi kami bahwa kami
telah salat bukan menghadap ke arah kiblat. Maka kami berkata, "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kami tadi ma-lam salat bukan menghadap ke arah kiblat." Maka Allah Swt.
menurunkan firman-Nya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun
kalian menghadap, di situlah wajah Allah." (Al-Baqarah: 115), hingga akhir ayat.

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula hadis yang semisal melalui Sufyan ibnu
Waki', dari ayahnya, dari Abur Rabi' As-Samman. Imam Turmudzi meriwayatkannya dari
Mahmud ibnu Gailan, dari Waki'; sedangkan Ibnu Majah, dari Yahya ibnu Hakim, dari Abu
Daud, dari Abur Rabi' As-Samman. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu
Muhammad ibnus Sabbah, dari Sa'id ibnu Sulaiman, dari Ar-Rabi' As-Samman yang nama
aslinya ialah Asy'a§ ibnu Sa'id Al-Basri, dia orang yang claif hadisnya. Imam Turmudzi
mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan, tetapi sanadnya tidaklah demikian, dan kami
tidak mengetahuinya kecuali melalui hadis Al-Asy'a§ AsSamman, sedangkan Asy'as dinilai
lemah hadisnya. Menurut kami (penulis), gurunya juga (yaitu Asim) dinilai lemah; bahkan
menurut Imam Bukhari hadisnya dinilai munkar. Ibnu Mu'in mengatakan bahwa dia
orangnya daif, hadisnya tidak dapat dijadikan hujah. Ibnu Hibban mengatakan bahwa
hadisnya berpredikat matruk.

Sesungguhnya telah diriwayatkan dari jalur yang lain melalui Jabir. Untuk itu, Al-
Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih telah meriwayatkan di dalam tafsir ayat ini bahwa telah
menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ali ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Al-
Hasan ibnu Ali ibnu Syabib, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdullah ibnul
Hasan yang mengatakan bahwa di dalam kitab catatan ayahnya is pernah menemukan hal
berikut, bahwa telah menceritakan kepada kami Abdul Malik Al-Azrami, dari Ata ibnu Jabir
yang menceritakan hadis berikut:

Rasulullah Saw. mengutus suatu pasukan yang aku termasuk salah satu anggotanya,
maka kami mengalami malam yang gelap gulita hingga kami tidak mengetahui arah kiblat.

8
Lalu segolongan orang dari kami berkata,"Sesungguhnya kami telah mengetahui arah kiblat
mengarah ke sebelah ini, yakni sebelah utara." Maka mereka melakukan salat dan membuat
garis-garis sebagai tandanya; ketika mereka berada di pagi hari dan matahari terbit,
ternyata garis-garis tersebut bukan menghadap ke arah kiblat. Ketika kami kembali dari
perjalanan misi kami, maka kami tanyakan hal itu kepada Nabi Saw., tetapi beliau
diam (tidak menjawab), dan Allah menurunkan firman-Nya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur
dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115).

Kemudian Al-I-lafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui


hadis Muhammad ibnu Ubaidillah Al-Azrami, dari Ata, dari Jabir dengan lafaz yang sama.

Imam Daruqutni mengatakan, telah dibacakan kepada Abdullah ibnu Abdul Aziz,
sedangkan aku mendengarkannya. Si pembaca hadis mengatakan, telah menceritakan kepada
kalian Daud ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yazid dari
Muhammad ibnu Salim, dari Ata, dari Jabir yang menceritakar,"Kami pernah bersama
Rasulullah Saw. dalam suatu perjalanan, kemudian awan menutupi (pandangan kami) hingga
kami kebingungan. Maka kami berbeda pendapat dalam masalah kiblat, dan masing-masing
orang dari kami melakukan salat dengan menghadap ke arahnya masing-masing, dan
seseorang di antara kami membuat garis di depannya sebagai tanda untuk mengetahui tempat
kami menghadap. Kemudian kami ceritakan hal tersebut kepada Nabi Saw., dan ternyata be-
liau tidak memerintahkan kami untuk mengulangi salat kami, lalu beliau Saw. bersabda,
"Salat kalian telah lewat."

Kemudian Imam Daruqutni mengatakan bahwa demikianlah apa yang telah dikatakan
oleh Muhammad ibnu Salim. Sedangkan selain Imam Daruqutni meriwayatkannya dari
Muhammad ibnu Abdullah Al-Azrami, dari Ata, tetapi keduanya (Muhammad ibnu Salim
dan Muhammad ibnu Abdullah Al-Azrami) berpredikat

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui hadis Al-Kalbi, dari Abu
Saleh, dari Ibnu Abbas: Bahwa Rasulullah Saw. pernah mengirim suatu pasukan sariyyah,
lalu mereka tertutup oleh kabut hingga mereka tidak mendapat petunjuk untuk mengetahui
arah kiblat. Maka mereka salat dengan menghadap ke arah selain kiblat, kemudian jelaslah
bagi mereka setelah matahari cerah, bahwa mereka salat menghadap ke arah selain kiblat.
Ketika mereka datang kepada Rasulullah Saw., mereka menceritakan hal itu kepadanya, lalu
Allah Swt. menurunkan ayat ini, yaitu: "Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat. Maka ke
mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115).

Semua sanad yang telah diketengahkan di atas mengandung ke-daifan, barangkali


sebagian darinya memperkuat sebagian yang lain. Mengulangi salat bagi orang yang keliru
(menghadap bukan ke arah kiblat), sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat di ka-

9
langan para ulama. Semua hadis yang telah dikemukakan merupakan dalil-dalil yang
menunjukkan bahwa coda itu tidak ada.

Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya mengatakan bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat
115) diturunkan karena masalah Raja Najasyi, seperti yang diceritakan oleh Muhammad ibnu
Basysyar kepada kami, bahwa telah menceritakan kepada kami Mu'ai ibnu Hisyam, telah
menceritakan kepadaku ayahku, dari Qatadah, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda,

"Sesungguhnya seorang saudara kalian telah meninggal dunia, maka salatkanlah dia
oleh kalian." Mereka bertanya, "Apakah kami akan menyalatkan seorang lelaki yang bukan
muslim?" Qatadah melanjutkan riwayatnya, bahwa setelah itu turunlah firman-Nya: Dan
sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa
yang diturunkan kepada kalian dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka
berendah Kati kepada Allah. (Ali Imran: 199)

Qatadah melanjutkan kisahnya, bahwa mereka mengatakan, "Sesungguhnya dia (Raja


Najasyi) tidak salat menghadap ke arah kiblat.” Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di.situlah
wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)

Hadis ini berpredikat garib. Menurut suatu pendapat, sesungguhnya Raja Najasyi
salat menghadap ke arah Baitul Maqdis sebelum sampai kepadanya pe-nasakh-an yang
memerintahkan beralih menghadap ke arah Ka'bah, menurut riwayat yang diketengahkan
oleh Al-Qurtubi melalui Qatadah. Imam Qurtubi menyebutkan pula bahwa ketika Raja
Najasyi meninggal dunia, Rasulullah Saw. menyalatkannya. Maka hadis ini dijadikan sebagai
dalil oleh orang-orang yang mengatakan diisyariatkannya salat gaib. Selanjutnya Imam
Qurtubi mengatakan, hal ini merupakan suatu kekhususan menurut pendapat di kalangan
kami, dengan alasan-alasan sebagai berikut:

Pertama, Rasulullah Saw. menyaksikan kematiannya. Di saat Raja Najasyi


meninggal dunia, maka bumi dilipat untuk Rasulullah Saw. hingga beliau dapat
menyaksikannya.

Kedua, ketika Raja Najasyi meninggal dunia, tiada seorang pun yang menyalatkannya
di negeri tempat tinggalnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnul Arabi. Tetapi menurut Imam
Qurtubi, mustahil bila ada seorang raja muslim, sedangkan di kalangan kaumnya tiada se-
orang pun yang seagama dengannya. Ibnul Arabi menjawab sanggahan tersebut, barangkali
di kalangan mereka masih belum disyariatkan salat mayat. Jawaban ini cukup baik.

Ketiga, Nabi Saw. sengaja menyalatkannya dengan maksud untuk memikat hati raja-
raja lainnya.

10
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan di dalam kitab tafsimya melalui
hadis Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Amr ibnu Alqamah, dari Abu Salamah, dari Abu
Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Di antara timur dan barat terdapat
kiblat bagi penduduk Madinah, penduduk Syam, dan penduduk Irak.

Hadis ini mempunyai kaitan dengan bab ini, dan telah diriwayatkan pula oleh Imam
Turmudzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Abu Ma'syar yang nama aslinya ialah Nujaih
ibnu Abdur Rahman AsSaddi Al-Madani dengan lafaz yang sama, yaitu: Di antara timur dan
barat terdapat kiblat.

Imam Turmudzi mengatakan bahwa hadis ini telah diriwayatkan melalui berbagai
jalur dari Abu Hurairah. Sebagian kalangan ahlul ilmi mengenai diri Abu Ma'syar dari segi
hafalan hadisnya (yakni hafalannya lemah).

Kemudian Imam Turmudzi mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Hasan ibnu


Bakar Al-Mawarzi, telah menceritakan kepada kami Al Ma‟la ibnu Mansur, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far Al-Makhzumi, dari Utsman ibnu
Muhammad ibnul Mugirah Al-Akhnas, dari Abu Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a.,
dan Nabi Saw. yang telah bersabda: Di antara timur dan barat terdapat kiblat.

Kemudian Imam Turmudzi mengatakan, hadis ini berpredikat hasan sahih. Telah
diriwayatkan dari Imam Bulchari bahwa dia telah mengatakan hadis ini lebih kuat dan lebih
sahih daripada hadis Abu Ma'- syar. Imam Turmudzi mengatakan, telah diriwayatkan hadis
berikut oleh bukan hanya seorang dari kalangan sahabat, yaitu: Di antara timur dan barat
terdapat kiblat.

Di antara mereka adalah Umar ibnul Khattab, Ali, dan Ibnu Abbas radiyallahu '
anhum. Ibnu Umar r.a. pernah mengatakan: Apabila engkau jadikan arah barat di sebelah
kananmu dan arah timur di sebelah kirimu, maka di antara keduanya adalah arah kiblat,
jika engkau hendak menghadap ke arah kiblat.

Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu
Ahmad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Yusuf maula Bani
Hasyim, telah menceritakan kepada kami Syu'aib ibnu Ayyub, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Namir, dari Abdullah ibnu Umar, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. yang
telah bersabda: Di antara timur dan barat terdapat arah kiblat.

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Daruqutni dan Imam Baihaqi. Ibnu
Murdawaih mengatakan, menurut pendapat yang masyhur hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu
Umar r.a. adalah perkataan Ibnu Umar r.a. sendiri.

11
Ibnu Jarir mengatakan, makna ayat ini (Al-Baqarah ayat 115) dapat diinterpretasikan
seperti berikut: "Ke mana pun kalian mengarahkan wajah kalian dalam doa kalian kepada-
Ku, maka di situlah terdapat wajah-Ku; Aku akan memperkenankan doa yang kalian panjat-
kan." Seperti yang diceritakan kepada kami oleh Al-Qasim- yang mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepadaku Hajjaj yang mengatakan
bahwa Ibnu Juraij pernah meriwayatkan dari Mujahid, ketika ayat ini diturunkan (yaitu
firmanNya): Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian. (Al-
Mu-min: 60).

Maka mereka bertanya, "Ke arah manakah kami menghadap?" Lalu turunlah firman-
Nya: Maka ke arah mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115).
Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-
Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 115).

Artinya rahmat Allah mencakup semua makhluknya dengan memberi semua


kecukupan, karunia dan anugerah darinya, Firmannya,"'Alimun," artinya sesungguhnya Allah
Swt. Maha Mengetahui perbuatan-perbuatan mereka; tiada sesuatu pun dari amal mereka
yang tidal( diketahui-Nya dan tiada sesuatu pun yang menghalang-halangi pengetahuan-Nya,
bahkan Allah Swt. Maha Mengetahui kesemuanya itu (baik yang lahir maupun yang batin).

2. Analisis Fiqih Surah Al-Baqarah Ayat 115

Dalam pandangan fiqih ayat ini dapat di artikan, sebagai pengingat bagi umat muslim
bahwa agama islam adalah agama yang universal dan tidak terbatas pada wilayah tertentu
dalam shalat umat muslim diwajibkan menghadap ka‟bah di Mekkah sebagai simbol
kesatuan dan kebersamaan dalam ibadah. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Allah swt hanya
berkuasa di wilayah tersebut, melainkan kekuasaannya menncakup seluruh wilayah.

Selain itu, ayat ini juga mengandung pesan bahwa Allah swt Maha mengetahui dan
Maha luas ilmu dan kekuasaannya. Oleh karena itu, umat muslim seharusnya senantiasa
mengandalkan dan berserah diri hanya kepadanya dalam melakukan segala hal, termasuk
daalm menjalankan ibadah dan menentukan hukum-hukum dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam praktikalnya, ayat ini dapat di jadikan sebagai pedoman bagi umat muslim
untul selalu mengahadapkan diri dan berserah diri hanya kepada Allah swt dalam setiap
aspek kehidupan. Selain itu, ayat ini juga mengajarkan pentingnya untuk senantiasa
berpegang teguh pada nila-nilai universal islam, seperti keadilan, kesetaraan, dan kasih
saying terhadap sesame manusia.

Ayat iini juga dapat diartikan sebagai penginggat bagi umat muslim, bahwa
kekuasaan Allah swt mencakup seeluruh arah dan wialyah, sehingga tidak boleh ada

12
perpecahaan atau perbedaan dalam umat muslim. Sebagai umat yang satu, umat muslim
harus bersatu dan saling mendukung dalam menjalankan ajaran islam.

Dalam konteks hukum islam, ayat ini juga dapat di jadikan sebagai dasar pemikiran
bahwa hukum islam harus bersifat universal, tidak terbatas pada wilayah tertentu atau pada
satu kelompok atau golongan saja. Hukum Islam harus dapat diterapkan dan dipahamin oleh
seluruh umat muslim diseluruh dunia, tanpa terkecuali. Selain itu ayat ini juga mengajarkan
bahwa Allah swt Maha mengetahui segala yang terjadi diseluruh dunia termasuk apa yang
dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu, umat muslim seharusnya senantiasa berlaku jujur
dan adil dalam setiap tindakan yang dilakukan, karena pada akhirnya semua dipertanggung
jawabkan dihadapan Allah swt.

Dan pendapat Ulama Ushul fiqih terhadap surah al-Baqarah ayat 115, Ulama Ahl al-
Sunnah wal Jama‟ah sangat hati-hati dalam menafsirkan dan mengungkap maksud makna
yang tersirat dalam ayat ayat mutasyabihat selain daripada asbab al-Nuzulnya, juga ada aspek
teologis dan akidah yang menjadi perhatian.

Penggunaan ta‟wil dan tafwid dianggap sebagai metode pilihan yang bisa dijadikan jalan
untuk mengungkap kebenaran makna ayat, ulama-ulama Ahl al-Sunnah Wal Jama‟ah tidak
luput dalam menggunakan metode ini dalam penafsirannya, dan yang dianggap menjadi
rujukan bagi mufassir dan ulama lainnya dalam menafsirkan ayat ayat al-Qur‟an di antaranya
yaitu Imam Fakhr al-Din al-Razi.
Imam Fakhr al-Din al-Razi dalam tafsir Mafatih al-Gaib menyebutkan bahwa terdapat
persoalan atau masalah di kalangan para ulama mengenai surah al-Baqarah/2: 115.

ِ ِ ‫اّلِلِ ۚ إِ هن ه‬
‫ب ۚ فَأَيْنَ َما تُ َولُّوا فَثَ هم َو ْجوُ ه‬ ِِ
‫يم‬
ٌ ‫اّلِلَ َواس ٌع َعل‬ ُ ‫َو هّلِل الْ َم ْش ِر ُق َوالْ َم ْغ ِر‬

Aspek Asbab an-Nuzul Ayat Adanya ikhtilaf atau perbedaan pendapat para ulama
mengenai Asbab an-Nuzul turunnya ayat ini, dari kebanyakan mereka (para ulama)
mengklaim dan berpendapat bahwa ayat ini diturunkan menyangkut hal yang berkaitan
dengan arah kiblat dalam shalat, sedangkan sebagian dari mereka berpendapat bahwa ayat ini
bukan berkaitan dengan arah kiblat dalam shalat. Dari dua pendapat di atas yang pertama
lebih kuat dengan alasan. Pertama, sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh para sahabat,
tabi‟in dan perkataan mereka dijadikan sebagai (hujjah/dalil). Kedua, bahwa makna yang
jelas dari firman Allah (ke mana pun anda berpaling atau menghadap) menunjukkan makna
menghadap atau arah kiblat dalam shalat.
Kemudian Fakhr al-Din al-Razi mengatakan bahwa terdapat beberapa hal dan perbedaan
pendapat dalam perkara arah kiblat ini, diantaranya 7:

7
Fakhr al-Din al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, Juz. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hal.20.

13
a) Allah Swt berkehendak untuk mengalihkan arah kiblat kaum mukmin dari menghadap
Baitul Maqdis ke arah ka‟bah, sehingga Allah Swt menjelaskan dalam firman-Nya bahwa
Timur, Barat, dan semua sisi dan seisinya semuanya merupakan milik Allah Swt, dan
diciptakan oleh-Nya. Maka siapa saja yang Allah perintahkan menghadap maka itu
adalah kiblatnya, karena kiblat bukanlah atas kiblat itu sendiri melainkan karena
kehendak Allah Swt yang menjadikannya sebagai kiblat. Jika Allah Swt menjadikan
Ka‟bah sebagai kiblat, maka jangan menyangkal/menolak hal tersebut karena Allah Swt
telah mengatur semua urusan hambanya atas kehendaknya. Sesungguhnya Allah maha
luas dan maha mengetahui atas kemaslahatan hambanya, dan ini seolah-olah Allah Swt
menyebutkan hal tersebut (turunnya ayat) sebagai indikasi bahwa boleh membatalkan
kiblat dari satu sisi ke sisi lain sehingga ini menjadikan awal dari apa yang Allah Swt
inginkan untuk mengubah arah kiblat.
b) Bahwa ketika kiblat dialihkan dari Baitul Maqdis mereka (Orang-orang Yahudi)
menyangkal hal tersebut, maka turunlah ayat ini yang menjadi jawaban atas mereka. Hal
ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas yang kemudian sesuai dengan firman Allah
surah Al-Baqarah:142 : ‫ب ۚ يَ ْه ِد َمن يَ َشاءءُ إِ َ ٰىل ِص َٰر ٍط ُّم ْستَ ِقي ٍم‬ ِِ
ُ ‫قُل ّهّلِل ٱلْ َم ْش ِر ُق َوٱلْ َم ْغ ِر‬ “Katakanlah
(Muhammad) kepunyaan Allah lah timur dan barat, Sesungguhnya Allah memberikan
petunjuk dan jalan yang benar kepada yang Ia (Allah Swt) kehendaki”.
c) Qatadah dan Ibn Zaid berkata, Sebagian dari mereka (para ulama) berkata:
(sesungguhnya Allah Swt mengganti Baitul Maqdis dengan pilihan ke arah mana pun
yang dia inginkan atau kehendaki dengan ayat ini, jadi umat muslim diperbolehkan
menghadap ke mana pun yang dia inginkan dalam shalat, tetapi Nabi Saw memilih
menghadap ke Baitul Maqdis meskipun ia berhak menghadap ke mana pun yang ia mau,
sehingga Allah Swt mengganti dengan menetapkannya Ka‟bah.
Mengenai aspek makna Wajhullah, Fakhr al-Rāzī memberikan makna sebagai berikut:
1. Bermaksud arah yang dihadapkan ketika waktu shalat, makna kiblat, yang di mana di
iḍafahkannya Wajah kepada Allah adalah seperti diiḍafahkannya bait terhadap Allah (baitullāh),
naaqah terhadap Allah (nāqatullāh). Penyandaran seperti ini bermaksud (menyandarkan
ciptaannya kepada Allah Swt merupakan bentuk memuliakannya).
2. Bermakna Qaṣd dan niat. Ayat yang serupa sebagaimana hal ini adalah Qs. al-An‟Am/6:
ِ ِ ‫إِ ِّن و هج ه ت وج ِه ي لِلهكِ ي فَطَر ال سه م‬
ِ َ ‫ات و ْاْلَرض ح نِ ي فً ا ۖ وم ا‬
َ ‫أَ ا م َن ا لْمُ ْش رِك‬
‫ي‬ ََ َ َ ْ َ ‫او‬ َ َ َ َ َْ ُ ْ َ ّ
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan
bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-
orang yang mempersekutukan Tuhan.”

3. Bermakna keridhaan Allah Swt. Adapun ayat lain yang serupa dengan pengertian ini adalah Qs.
al-Insan/76: 9.
‫ورا‬
ً ‫يد من ُك ْم َجَزاءءً َوَ ا ُش ُك‬ ‫إِهّنَا نُطْعِ ُم ُك ْم لَِو ْج ِو ه‬
ِ ُ ‫ٱّلِلِ َ ا نُِر‬

14
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan
keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan)
terima kasih”.
4. Bermakna karunia Allah. Kemudian ayat yang serupa dengan pengertian ini Qs. al-
Qasas/28: 88.
ۡ ۡ ۤ ۡ
‫اّلِلِ اِ ٰٰلًا ا ٰ َخَر َ ا اِ ٰلوَ اِه ا ُى َو ۚ ُك ُّل َش ۡى ٍء َىالِ ٌ اِه ا َو ۡج َهو لَوُ اۡلُك ُم َواِلَ ۡي ِو تُ ۡر َجعُ ۡو َن‬
ّٰ ‫ع َم َع‬
ُ ‫َوَ ا تَد‬
“Dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada tuhan (yang
berhak disembah) selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Segala
keputusan menjadi wewenang-Nya, dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.”

Ayat tersebut merupakan salah satu bukti terkuat untuk menyangkal menolak
antropomorfisme dan membuktikan keagungan Allah Swt, dan merupakan pernyataan dari
dua sisi arah. Pertama, bahwa Allah Swt berfirman ُ‫ َو ِ هّلِلِ ْال َم ْش ِر ُق َو ْال َم ْغ ِرب‬dia menjelaskan bahwa
kedua sisi ini (Timur dan barat) adalah miliknya, oleh karena itu arah merupakan hal yang
memanjang dalam ilusi/khayalan panjang, lebar dan kedalaman, dan setiap sesuatu tersebut
merupakan suatu bagian dan terbagi, dan segala sesuatu yang terbagi adalah perkara
gabungan, dan segala sesuatu seperti itu pasti ada pencipta dan diciptakan, dan indikasi ini
bersifat umum terhadap segala sesuatu dan arah baik hal ``yang di atas maupun di bawah.
Dan sang pencipta (Allah Swt) adalah Zat yang Qadim, karenanya Allah Swt ada
sebelum penciptaan dunia, bebas dari segala arah dan ruang. Kedua, Sesungguhnya Allah
Swt berfirman ِ‫ّللا‬ ‫ فَأ َ ْينَ َما ت ُ َولُّوا فَث َ هم َوجْ هُ ه‬dan jika Allah Swt berjisim dan memiliki wajah/tubuh,
maka Allah Swt akan mengkhususkan dirinya pada aspek tertentu dan dalam arah tertentu.
Maka apa yang di firmankan Allah ِ‫ّللا‬ ‫فَأ َ ْينَ َما ت ُ َولُّوا فَث َ هم َوجْ هُ ه‬Penentang atau kaum muajssimah
dalam hal ini berpendapat bahwa ayat tersebut dari dua aspek (Pertama) bahwa ayat tersebut
menunjukkan penegasan terhadap wajah Allah Swt, dan sesungguhnya wajah tidak akan
terjadi kecuali terhadap halhal yang gamblang dan dapat diraba, (Kedua) Allah Swt
menggambarkan dirinya dengan yang maha luas, dan keluasan merupakan bagian dari
anggota tubuh/jims. (Jawaban untuk yang pertama): bahwa wajah dalam asal bahasa
merupakan ekspresi dari organ tertentu, tetapi jika membawanya pada penafsiran
organ/anggota tubuh, itu akan menjadi suatu kebohongan.
Firman Swt Allah ‫ّللا‬ ِ ‫ فَأ َ ْينَ َما ت ُ َولُّوا فَثَ هم َوجْ هُ ه‬karena jika wajah serupa/sejajar dengan timur,
maka saat itu juga tidak mungkin sejajar berbatasan dengan barat. Oleh karena itu harus ada
ta‟wīl atau penafsiran di dalamnya. Dan jika ada aspek bahwa menambahkan seperti ‫وجه هللا‬
‫ بيت هللا ناقة هللا‬maka yang dimaksud sebagai bentuk penghormatan ,Firman Allah ‫فثم وجه هللا‬
maka wajahnya yang diarahkan kepadamu, karena timur dan barat memiliki dua arah atau
sisi. Jadi yang dimaksud dengan kiblat adalah kiblat yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.8
Dan sesungguhnya yang dimaksud dengan wajah/arah juga bisa bermakna maksud niat.

8
Fakh al-Dīn al-Rāzī, Tafsir Mafātih, 23

15
Menurut pandangan al-Razi kata Wajh dalam ayat 115 surah al-Baqarah tidak dapat
diartikan dan dimaknai dengan kata Wajah/anggota badan. Karena pemahaman tersebut
sangat sulit diterima oleh akal dan rancu. Jika pemahaman demikian maka akan membawa
pada paham bahwa Allah Swt berada di seluruh penjuru dunia. Di mana pun umat Islam
menghadap maka disanalah wajah Allah dan ini mustahil. Maka itulah, dalam analisa
Fakhruddin al-Razi jika makhluk bertempat dan berada di suatu arah, maka Allah tidaklah
demikian.9
Logikanya, tidak mungkin Allah mempunyai banyak wajah di semua penjuru dan
bagaimana mungkin satu Zat berada dalam segala penjuru dalam waktu bersamaan atau satu
waktu? Maka berawal dari sinilah al-Razi melakukan ta‟wil sebagaimana ulama lain yakni
memaknai kata Wajh tersebut dengan kiblat yang diridhai, sehingga pemahaman dan makna
seutuhnya adalah ketika umat islam melaksanakan salat dan kemanapun umat Islam
menghadap maka di situlah kiblat yang diridhai oleh Allah Swt
3. Hikmah Surah Al-Baqarah Ayat 115

Setiap hukum yang termaktub di dalam sumber-sumber hukum (Al-Qur‟an dan Al-Hadist
ataupun Qiyas dan Ijma‟) semuanya pasti ada hikmah tertentu. Jika di ilmu ushul fiqh di
ketahui dengan yang namanya maqashid syariah atau tujuan-tujuan syariah, yaitu sebuah
gagasan dalam hukum islam bahwa syariah diturunkan Allah untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu.

Surat Al-Baqarah ayat 115 merupakan ayat yang banyak mengandung hikmah bagi umat
islam. Dan ada beberapa hikmah dari ayat tersebut:

1. Allah Swt meniliki kendali penuh atas segala hal dalam ayat tersebut, Allah swt
menyatakan bahwa Dia memiliki kendali atas timur dan barat. Hal ini mengajarkan
manusia untuk menyadari bahwa Allah swt menciptakan seluruh alam semesta inni dan
memiliki kendali penuh atas segala sesuatu. Oleh karena itu, manusia harus selalu
mengandalkan dan bergantung pada Allah SWT dalam menjalani kehidupan.
2. Allah Swt mengatahui segala sesuatu, Allah SWT menyatakan bahwa Dia Maha Luas
dan Maha Mengetahui. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada tempat yang tersembunyi
dari penglihatan Allah SWT dan bahwa Allah SWT mengetahui segala sesuatu, bahkan
sebelum itu terjadi. Oleh karena itu, manusia harus selalu berpegang pada ajaran-Nya dan
menghindari segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT.
3. Allah Swt selalu siap menerima hambanya yang ingin beribadah dan memohon
pertolongannya. Dalam ayat tersebut, Allah swt menyatakan bahwa Dia ada dimana-
mana dan selalu siap menerima hambanya yang ingin beribadah dan memohon
pertolongannya. Hal ini mengajarkan manusia untuk selalu mengandalkan pada Allah swt
dalam segala hal dan beribadah kepadanya kapan saja dan di mana saja.

9
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-masāil Al-khamsūn Fĭ al-Uṣūl al-Dīn (Beirūt: Dār alJayl, 1930), hal.36.

16
4. Manusia dapat beribadah kepada Allah swt kapan saja dan di mana saja. Ayat tersebut
juga mengajarkan manusia untuk tidak mempermasalahkan arah kiblat ketika beribadah,
karena Allah swt ada di mana-mana dan menerima ibadah hambanya di segala pejuru
dunia. Hal ini menunjukkan bahwa manusia dapat beribadah kepada Allah swt kapan saja
dan di mana-mana saja, asalkan dengan niat yang tulus dan mengikuti ajarannya.
5. Allah swt selalu memberikan petunjuk dan bimbingan kepada manusia. Dalam ayat
tersebut, Allah swt juga mengajarkan manusia untuk selalu memohon petunjuk dan
bimbingannya dalam menjalani kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa Allah swt selalu
memberikan petunjuk dan bimbingan kepada manusia asalkan manusia mau berusaha dan
berdoa dengan tulus kepadanya.

Dengan demikian, surat al-Baqarah ayat 115 mengandung banyak hikmah bagi umat
Islam. Ayat tersebut mengajarkan manusia mengandalkan dan bergantung pada Allah swt
dalam menjalani kehidupan, menghindari segala sesuatu yang dilarang olehnya, selalu
beribadah kepadanya kapan saja dan di mana saja, serta selalu memohon petunjuk dan
bimbingannya dalam menjalani kehidupan.

17
18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Surah al-Baqarah ayat 115 mengandung pesan yang sangat penting bagi umat muslim,
yaitu bahwa kekuasaan Allah mencakup seluruh wilayah dan arah, dan manusia seharusnya
senantiasa menghadapkan diri dan berserah diri hanya kepadanya. Pesan ini dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam menjalankan ajaran islam dan memperkuat persatuan umat muslim
di seluruh dunia.

Dalam pandangan fiqih ayat ini dapat di artikan, sebagai pengingat bagi umat muslim
bahwa agama islam adalah agama yang universal dan tidak terbatas pada wilayah tertentu
dalam shalat umat muslim diwajibkan menghadap ka‟bah di Mekkah sebagai simbol
kesatuan dan kebersamaan dalam ibadah. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Allah swt hanya
berkuasa di wilayah tersebut, melainkan kekuasaannya menncakup seluruh wilayah.

Praktikalnya, ayat ini dapat di jadikan sebagai pedoman bagi umat muslim untuk selalu
mengahadapkan diri dan berserah diri hanya kepada Allah swt dalam setiap aspek kehidupan.
Selain itu, ayat ini juga mengajarkan pentingnya untuk senantiasa berpegang teguh pada nila-
nilai universal islam, seperti keadilan, kesetaraan, dan kasih saying terhadap sesame manusia.

Surat Al-Baqarah ayat 115 merupakan ayat yang banyak mengandung hikmah bagi umat
islam. Salah satunya ialah Allah Swt meniliki kendali penuh atas segala hal dalam ayat
tersebut, Allah swt menyatakan bahwa Dia memiliki kendali atas timur dan barat. Hal ini
mengajarkan manusia untuk menyadari bahwa Allah swt menciptakan seluruh alam semesta
inni dan memiliki kendali penuh atas segala sesuatu. Oleh karena itu, manusia harus selalu
mengandalkan dan bergantung pada Allah SWT dalam menjalani kehidupan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Al-Rāzī, Fakhr al-Dīn . (1930). Al-masāil Al-khamsūn Fĭ al-Uṣūl al-Dīn. Beirūt: Dār alJayl.

Al-Rāzī, Fakhr al-Dīn, (1981). Tafsir Mafatih al-Ghaib, Juz. 4. Beirut: Dar al-Fikr.

An-Naisaburiy, Muslim bin Hajjaj. (1991). Sahih Muslim, Salah al-Musafirin wa Qasriha,
Bab Jawaz Salah an-Nafilah 'alaad-Dabbah, juz 1. Kairo: Dar Ihya‟ al-Kutub al-
„Arabiyyah, cet. 1.

As-Suyuti, Jaluluddin. (2003). Al-Itqan Fi Umu Al-Qur’an, jilid II. Kairo: Dar as-Salam.

Kandedes, Lin. (2015). Asbabun Nuzul dalam Perspektif Pendidikan. Lampung: Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Intan Lampung.

20

Anda mungkin juga menyukai