Anda di halaman 1dari 25

1

Urgensi Konteks Sejarah/ Asbabun Nuzul-Asbabul Wurud dalam Tafsir dan


Syarah Hadits

Oleh: Ilham Ali Hasan (20205032024)

Muhammad Hasani Mubarok (20205032040)

A. Pendahuluan
Al-Qur’an dan Hadits merupakan dua sumber pokok dalam ajaran
agama Islam, untuk memahamikeduanya, baik dalam satuan kalimat, atau
frase perlu untuk mengetahui situasi dan kondisi saat al-Qur’an diturunkan,
dan hadits diucapkan pertama kali oleh Nabi. Pengetahuan terhadap sejarah
dalam hal ini nerupakan hal penting demi mewujudkan pemahaman yang
benar terhadap al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an sebagai kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sejak awal menjadi sorotan utama
dalam kajian keilmuan Islam, berperan sebagai sentral dalam agama,
umumnya diturunkan sebagai petunjuk bagi segenap umat manusia (hudan li
al-na>s), memberi kabar tentang hal yang sudah lalu maupun yang akan
datang, akan tetapi kehidupan yang dilalui para Sahabat kala itu bersama Nabi
telah menyisihkan banyak peristiwa sejarah, kadang mereka mengalami
beberapa kejadian dan persoalan yang tidak bisa mereka selesaikan langsung,
kecuali dengan adanya arahan dari Allah SWT dan Rasul-Nya, dalam hal ini
para Sahabat biasa mengajukkan pertanyaan kepada Nabi Muhammad SAW,
apabila jawaban atas permasalahan yang mereka hadapi datang dari Allah
sebagai firman-Nya, hal yang demikian disebut dengan asba>b al-nuzu>l,
atau datangnya dari Nabi sebagai sabdanya, maka disebut dengan asba>b al-
wuru>d.1
Para Ulama telah menyepakati bahwa untuk memahami al-Qur’an dan
hadits tidak boleh hanya berpangku pada pendapat pribadi, akan tetapi harus
pula menggunakan alat bantu, seperti ilmu i’ra>b, Baya>n, Ma’a>ni>,
Asba>b al-Nuzu>l, Asba>b al-Wuru>d, dan lainnya, dengan tujuan hasil
pemahaman yang didapat tidak menyimpang dari maksud ayat atau hadits itu
sendiri. Pentingnya mengetahui asba>b al-nuzu>l dalam menafsirkan al-
Qur’an dan asba>b al-wuru>d dalam mensyarah hadits bisa kita lihat dari

1
Manna>’ Khali>l al-Qattha>n, Maba>hits fi> Ulu>m al-Qur’a>n,(Surabaya: al-Hidayah, 1972), hlm.
75.
2

banyaknya karya-karya yang tercipta dalam disiplin ilmu ini, diantaranya


Luba>b al-Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l dan Asba>b al-Wuru>d karya
Jala>luddi>n al-Suyu>t}i>, dan Asba>b al-Nuzu>l karya ‘Ali> Ibn Ahmad al-
Wa>hidi> an-Naysaburi. Sebagai ilustrai awal dari pentingnya memahami
konteks sejarah dalam penafsiran ayat dan syarah hadits, bisa dilihat dari
gambaran berikut ini:
Marwa>n Ibn al-H{akam mengatakan tentang firman Allah SWT yang
berbunyi:
‫َّه ْم بِ َم َف َاز ٍة ِم َن‬
ُ ‫َم َي ْف َعلُوا فَاَل تَ ْح َسَبن‬ ِ ِ ِ
ْ ‫ين َي ْف َر ُحو َن ب َما أََت ْوا َويُحبُّو َن أَ ْن يُ ْح َم ُدوا ب َما ل‬
ِ َّ
َ ‫اَل تَ ْح َسبَ َّن الذ‬
ٌ‫اب أَلِيم‬
ٌ ‫اب َول َُه ْم َع َذ‬ِ ‫ال َْع َذ‬
“Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira dengan
apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang
tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan
lolos dari azab. Mereka akan mendapat azab yang pedih.” (Qs ‘A<li ‘Imra>n:
188)2
Seandainya seorang yang senang dipuji karena pekerjaan yang tidak ia
lakukan akan mendapat azab Allah SWT , tentunya kita semua akan mendapat
azab itu, sesuai dengan pemahaman tekstual ayat tadi, akan tetapi Ibn ‘Abba>s
ra mengatakan padanya; ayat ini turun untuk kafir ahli kitab ketika Nabi
bertanya sesuatu kepada mereka kemudian mereka tidak menjawab dengan
yang sebanarnya terjadi, tetapi menjawab dengan kebohongan yang samar
untuk mengelabuhi Nabi agar mengira mereka berkata jujur, dan meminta
Nabi memuji kebaikan yang telah mereka lakukan.3
Terlihat bagaimana asba>b an-nuzu>l mempunyai pengaruh besar dalam
menafsirkan al-Qur’an, tidak hanya itu, pengaruh yang seperti ini juga terjadi
dalam asbabul wurud hadits. Ka’ab ibn ‘Ujrah meriwayatkan bahwa ketika ia
berada di Hudaibiyah, Rasulullah SAW melihat kutu-kutu yang menyerang
kepalanya, kemudian Rasulullah SAW menyuruhnya memangkas rambutnya,
sekalipun belum sampai masanya tahallul, kemudian Allah SAW menurunkan
Surat al-Baqarah ayat 196, yaitu perintah untuk membayar tebusan dengan
memberi makan enam faqir miskin, menghadiahkan seekorkambing, atau
berpuasa selama tiga hari.4 Seandainya tidak ada riwayat dari Sahabat Ka’ab

2
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya (Surabaya: Mekarsurabaya, 2004), hlm: 75.
3
Sayyid Muhammad al-Ma>liki>, Zubdah al-Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n, (Jeddah: Da>r ass-
Shuru>q, 1986), hlm 19.
4
Jala>luddi>n al-Suyut}i>, Asba>b an-Nuzu>l, (Bairut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1984), hlm 24.
3

ibn Ujrah tentunya akan menimbulkan kerancuan pemahaman antara ayat


dengan hadits yang disebutkan.

B. Pembahasan
Menurut Muhammad al-Ma>liki>, turunnya ayat-ayat al-Qur’an terbagi
menjadi dua bagian, yaitu ayat yang turun tampa ada sebab yang mendahului, dan
ayat yang diturunkan dengan adanya kejadian atau pertanyaan yang mendahului,
dan hal ini juga terjadi pada hadits.5 Bagian kedua inilah yang dimaksud dengan
kontek sejarah dari ayat al-Qur’an dan hadits yang akan diulas sebagai berikut;
1. Pengertian Asba>b An-Nuzu>l dan Asba>b Al-Wuru>d
a. Asba>b An-Nuzu>l
Asba>b an-Nuzu>l dalam pengertian bahasa (etimologi) terdiri dari dua
kata, yaitu asba>b dan an-nuzu>l. Asba>b dapat diartikan dengan sesuatu
yang menyampaikan pada sesuatu yang lain, sedangkan an-nuzu>l berarti
menempati (‫ول‬FF‫)الحل‬. Asba>b an-nuzu>l dalam arti terminologi menurut az-
Zarqa>ni> adalah sesuatu yang menjadi penyebab turunya satu ayat atau lebih,
membicarakan sebab itu, atau menjadi jawaban darinya jika berbentuk
pertanyaan.6Selaras dengan pendapat az-Zarqa>ni>, Subh}i> S{a>lih}
mengatakan bahwa Asba>b an-Nuzu>l adalah suatu kejadian yang menjadi
sebab turunnya ayat, atau pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat
sebagai jawabannya.7
Dari dua devinisi di atas dapat disimpulkan bahwa Asbabun Nuzul adalah
semua yang sesutau yang menjadi sebab turunnya satu ayat atau lebih, atau
suatu pertanyaan yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW dan menjadi
sebab turunnya ayat al-Qur’an sebagai jawabannya. Peristiwa yang menjadi
sebab turunnya al-Qur’an menurut az-Zarqani terhimpun menjadi tiga bentuk
peristiwa, yaitu:
Pertama: Khus}u>mah, yaitu adanya pertengkaranyang terjadi, misalnya
pertikaian yang terjadi antara Bani> ‘Aus dan Bani> Khazraj sebab fitnah

5
Sayyid Muhammad al-Ma>liki>, Zubdah.., hlm 19.
6
Az-Zarqa>ni>, Manāhil al-‘Urfān fī ‘Ulūm Al-Qur`ān,(al-Qāhirah: Dār al-Hadīs,2001), hlm. 95.
7
Subh}i> S{a>lih}, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur`an, terj;. Tim Pustaka Firdaus ( Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1999), hlm. 160
4

yang disebarkan oleh kaum Yahudi, kemudian Allah SWT menurunkan Surat
A<li ‘Imra>n ayat 100 yang berbunyi:
ِ ِ
ِ ِ‫ْكتَاب يردُّو ُكم ب ْع َد إ‬ ِ َّ ِ ِ ِ َّ
َ ‫يمان ُك ْم َكاف ِر‬
‫ين‬ َ َ ْ ُ َ َ ‫ين أُوتُوا ال‬ َ ‫آمنُوا إِ ْن تُطيعُوا فَ ِري ًقا م َن الذ‬
َ ‫ين‬
َ ‫يَا أ َُّي َها الذ‬
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari
orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu
menjadi orang kafir sesudah kamu beriman” (Q.s A<li ‘Imra>n: 100)8
Kedua: kesalahan yang tidak bisa diterima dan berdampak fatal, seperti
seseorang yang sedang mabuk kemudian menjadi imam shalat dan
menyebabkan kesalahan bacaan. Allah SWT berfirman:
‫الصاَل َة َوأَْنتُ ْم ُس َك َارى َحتَّى َت ْعلَ ُموا َما َت ُقولُو َن‬
َّ ‫آمنُوا اَل َت ْق َربُوا‬ ِ َّ
َ ‫ين‬
َ ‫يَا أ َُّي َها الذ‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” (Q.s
An-Nisā: 43).9
Ketiga: harapan seorang Sahabat Nabi yang mendapat restu langsung dari
Allah SWT, seperti perkataan Umar Ibn Khattab ra kepada Rasulullah dia
ingin menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat melaksanakan Shalat,
kemudian turunlah firman Allah SWT yang berbunyi:
‫صلًّى‬ ِ ِِ ِ ِ
َ ‫َواتَّخ ُذوا م ْن َم َقام إ ْب َراه‬
َ ‫يم ُم‬
“Dan jadikanlah sebahagian maqām Ibrahim tempat salat” (Q.s Al-
Baqarah: 125)10
Adapun pertanyaan yang menjadi sebab turunnya al-Qur’an menurut az-
Zarqa>ni> secara keseluruhan juga terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:11
Pertama: pertanyaan tentang sesuatu yang telah berlalu, contohnya
Firman Allah SWT yang berbunyi:
‫ك َع ْن ِذي الْ َق ْر َن ْي ِن قُ ْل َسأَْتلُو َعلَْي ُك ْم ِم ْنهُ ِذ ْك ًرا‬
َ َ‫َويَ ْسأَلُون‬
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain.
Katakanlah: “Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya.” (Q.s Al-Kahfi:
83)12

Kedua: pertanyaan akan hal yang sedang terjadi, seperti firman Allah
SWT:

‫وح ِم ْن أ َْم ِر َربِّي َو َما أُوتِيتُ ْم ِم َن ال ِْعل ِْم إِاَّل قَلِياًل‬ ُّ ‫وح قُ ِل‬
ُ ‫الر‬ ُّ ‫ك َع ِن‬
ِ ‫الر‬ َ َ‫َويَ ْسأَلُون‬

8
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya (Surabaya: Mekarsurabaya, 2004) hlm: 62.
9
Ibid... hlm: 85
10
Ibid.. hlm: 19.
11
Az-Zarqa>ni>, Manāhil al-‘Urfān.. hlm, 96.
12
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya ... hlm: 302.
5

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu


termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit” (Q.s Al-Isra>’: 85)13
Ketiga: pertanyaan akan sesuatu yang akan terjadi. Contohnya:

َ ‫اع ِة أَيَّا َن ُم ْر َس‬


‫اها‬ َّ ‫ك َع ِن‬
َ ‫الس‬ َ َ‫يَ ْسأَلُون‬
“(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari
kebangkitan, kapankah terjadinya.”(Q.s An-Na>zi’a>t: 42)14
Sekalipun asba>b an-nuzu>l merupakan hal penting dalam memahami
ayat, akan tetapi tidak semua ayat dalam al-Qur’an mempunyai sebab turun,
bahkan kebanyakan merupakan perintah dan firman langsung dari Allah SWT
tanpa adanya sebab yang mendahului.15

Selanjutnya, dalam asba>b an-nuzu>l ada redaksi yang digunakan para


perawi dalam menyampaikan riwayat, menurut al-Qat}}t}a>n redaksi-redaksi
tersebut terbagi menjadi dua bagian, pertama: berupa redaksi jelas dan mutlak.
Kedua. Berupa redaksi umum dan multi makna. Bagian pertama merupakan
bagian redaksi dimana dalam menyampaikan riwayat asba>b an-nuzu>l
perawi menyebutnya dengan lafadh khusus untuk dipergunakan dalam
menyampaikan asba>b an-nuzu>l. Lafadh tersebut “sababu nuzu>li ha>dzihi
al-a>yah kadha>”(sebab turunnya ayat ini adalah), atau menggunakan fa>
ta’qi>biyah (fa’ yang bermakna urutan peristiwa) setelah menyebutkan suatu
peristiwa yang ddianggap menjadi sebab turunnya ayat yang sedang
diriwayatkan, atau perawi menceritakan bahwa Rasulullah SAW ditenya
tentang sesuatu kemudian turunkah suatu ayat sebagai jawabannya.16
Adapun redaksi kedua adalah redaksi yang multi makna, yakni
memungkinkan mengandung asba>b an-nuzu>l atau hanya menjelaskan
kandungan ayat, yaitu apabila perawi menyebutkan kata “nazalat ha>dzihi al-
a>yat fi> kadha>” (ayat ini turun dalam masalah ini), redaksi ini kadang
dimaksudkan untuk menjelaskan asba>b an-nuzu>l, dan kadang juga
dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa suatu kejadian hukum tertentu
termasuk kandungan ayat. Adapula redaksi “ahsibu ha>dzihi al-ayat nazalat
fi> kadha>” (aku menyangka bahwa ayat ini turun dalam masalah ini) redaksi

13
Ibid... hlm: 290.
14
Ibid... hlm: 584.
15
Az-Zarqa>ni>, Manāhil al-‘Urfān.. hlm, 96.
16
Manna>’ Khali>l al-Qat}t}a>n, Maba>hith... hlm, 85.
6

ini juga tidak menyimpan riwayat khusus assba>b an-nuzu>l sebab perawi
tidak memastikan itu dalam perkataannya.17
Lalu timbullah peratanyaan bagaimana cara mengetahui asba>b an-
nuzu>l suatu ayat, untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mengutip
pendapat yang dikemukakan al-Wa>hidi> dalam karyanya kitab Asba>b an-
Nuzu>l, dia mengatakan bahwa tidak boleh menyebutkan asba>b an-nuzu>l
kecuali dengan riwayat dan mendengar langsung dari para sahabat yang
menyaksikan kejadian yang menjadi sebab, diceritakan dari Ibn Abba>s ra
bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
‫اتقوا الحديث اال ما علمتم فانه من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار ومن كذب‬
‫ مقعده من النار‬F‫على القرأن من غير علم فليتبوأ‬
“Berhati-hatilah dalam berbicara (mengenai diriku), kecuali apa yang telah
kalian ketahui, maka barang siapa yang sengaja berdusta atasku maka bersiap-
siaplah untuk menempati tempat duduk dari api neraka, dan barang siapa
berdusta atas Al-Qur’an tanpa mempunyai pengetahuan maka bersiap-siaplah
untuk menempati tempat duduk dari api neraka”18
Berangkat dari pendapat al-Wa>hidi>, pada dasarnya semua Ulama
sepakat bahwa asba>b an-nuzu>l hanya bisa diperoleh dari riwayat sahih
langsung dari Rasulullah, atau dari para sahabatnya dengan
redaksiperiwayatan yang s}ari>h (jelas) bahkan menduduki kedudukan hadits
marfu>’ (hadits yang disandarkan kepada Nabi).19
b. Urgensi Mengetahui Asba>b an-Nuzu>l
Sebagaimana dijelaskan, bahwa asba>b an-nuzu>l merupakan hal
penting dan tidak bisa diabaikan oleh seorang yang ingin mempelajari al-
Qur’an dengan benar. Menurut al-Qat}t}a>n keurgensian yang dimiliki
mencakup beberapa hal berikut:20
1) Menjelaskan hikmah yang terkandung dibalik hukum yang dikandung
ayat, juga sebagai penalaran terhadap maslahat yang ingin dicapai.
2) Sebagai pengkhususan (takhs}i>s}) hukum yang dikandung ayat, jika
turun dengan redaksi ayat yang umum. Ini berlaku bagi Ulama yang
berpendapat bahwa hukum tergantung keumuman lafadh bukan
kekhususan sabab.

17
Ibid.. hlm 85
18
Ali Ibn Ahmad, al-Wa>hidi>, Asba>b an-Nuzu>l, (Jakarta: Da>r al-Kutub al-Isla>miyah), hlm 10.
19
Manna>’ Khali>l al-Qat}t}a>n, Maba>hits... hlm, 76.
20
Ibid.,hlm 79-82.
7

3) Apabila ayat yang dimaksud menggunakan redaksi umum, dan terdapat


dalil lain yang menunjukkan kekhususannya, maka dengan mengetahui
asba>b an-nnuzu>l ayat tersebut dapat menjelaskan bentuk takhs}i>s}
(pengkhususan ) yang diamaksud. Seperti pada firman Allah SWT yang
berbunyi:
‫اب َع ِظيم‬ ِ ِ ِ َ‫ت الْم ْؤِمن‬
ُّ ‫ات ل ُِعنُوا فِي‬ ِ ‫ات الْغَافِاَل‬
ِ َ‫إِ َّن الَّ ِذين يرمو َن الْم ْحصن‬
ٌ ‫الد ْنيَا َواآْل خ َرة َول َُه ْم َع َذ‬ ُ َ ُ ُ َْ َ
“Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang
lengah dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia
dan di akhirat, dan mereka akan mendapat azab yang besar” (Qs. An-Nur:
23)21
Ibn Abba>s mengatakan bahwa ayat ini turun secara khusus bagi
mereka yang menuduh Sayyidah A’isyah dan segenap istri-istri Nabi. Ibn
Abba>s juga mengatakan “ayat ini diturunkan untuk A’isyah dan istri-
istri Nabi, dan Allah SWT tidak menerima taubat bagi siapapun yang
menuduh mereka dengan berzina, dan berkenan menerima taubat apabila
yang dituduh selain mereka”. Kemudian untuk memperkuat pendapatnya
Ibn Abbas menyebukan firman Allah SWT:
‫ين َج ْل َد ًة َواَل َت ْقَبلُ وا ل َُه ْم‬ِ ِ َ‫ات ثُ َّم لَم ي أْتُوا بِأَربع ِة ُش ه َداء ف‬
ِ َ‫والَّ ِذين يرم و َن الْم ْحص ن‬
َ ‫وه ْم ثَ َم ان‬
ُ ‫اجل ُد‬
ْ َ َ ََْ َْ َ ُ ُ َْ َ َ
ِ ‫ك وأَصلَحوا فَِإ َّن اللَّه غَ ُف‬ ِ ِ ِ ِ َّ ِ َ ِ‫ادةً أَبَ ًدا َوأُولَئ‬
‫يم‬
ٌ ‫ور َرح‬ ٌ َ ُ ْ َ َ ‫ين تَابُوا م ْن َب ْعد ذَل‬ َ ‫ إِاَّل الذ‬. ‫ك ُه ُم الْ َفاس ُقو َن‬ َ ‫َش َه‬
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka (yang -menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah
kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah
orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu
dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Qs.an-Nur: 4-5)22
Maksudnya diterimanya taubat penuduh zina pada ayat tersebut
tetap tidak mencakup, apabila yang dituduh merupakan istri Nabi, karena
kekhususan sabab tetap terjadi walaupun kepada nas} ayat yang sifatnya
umum.
4) Mengetahui asbabun nuzul merupakan cara terbaik dalam memahami
makna ayat, Ibn Daqi>q al-Ied mengatakan “mengetahui asba>b an-
nuzu>l merupakan cara terbaik dalam pemahaman al-Qur’an”, Ibn
Taimiyah mengatakan “ pengetahuan yang baik tentang asbabunnuzul

21
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya... hlm: 352.
22
Ibid... hlm:350.
8

dapat membantu dalam pemahaman al-Qur’an, karena mengathui sabab


akan mendorong mengetahui musabbab”
5) Asba>b an-nuzu>l juga menjelaskan untuk siapa suatu ayat turun
sehingga tidak dipalingkan kepada orang lain demi menghindari suatu
kepentingan. Seperti yang pernah terjadi ketika Muawiyah Ibn Abi
Sufya>n ra hendak menjadikan Yazi>d sebagai penggantinya, kemudian
Muawiyah memerintah Marwa>n agar mensosialisasikan maksud dan
tujuannya kepada penduduk Madinah dan mengajak mereka untuk
berbai’at, tujuan ini mendapat penentangan dari Abd ar-Rahma>n ibn
Abu> Bakar. Marwan berkata padanya bahwasanya apa yang ia lakukan
karena mengikuti jejak dari Umar dan Abu> Bakar, kemudian Abd ar-
Rahma>n menjawab bahwa itu merupakan jejak Hiraklius dan Kisra.
Karena kesal, kemudian Marwan hendak menyakiti Abd ar-Rahma>n
yang kemudian menyelamatkan diri dengan memasuki rumah Sayyidah
A’isyah ra. Kemudian Marwan mengatakan bahwa Abd ar-Rahma>n
merupakan orang ytang dimaksud dalam Firman Allah SWT yang
berbunyi:
ِ َ‫ت الْ ُقرو ُن ِمن َق ْبلِي و ُهما يستَ ِغيث‬ ِ َ‫ُف لَ ُكما أَتَ ِع َدانِنِي أَ ْن أُ ْخرج وقَ ْد َخل‬ ِ ِ ِ َ َ‫والَّ ِذي ق‬
‫ان‬ َْ َ َ ْ ُ ََ َ َ ٍّ ‫ال ل َوال َديْه أ‬ َ
ِ ِ ‫ول ما ه َذا إِاَّل أ‬ ِ َ َ‫اللَّه ويل‬
‫ين‬
َ ‫َساط ُير اأْل ََّول‬
َ َ َ ُ ‫ك آم ْن إِ َّن َو ْع َد اللَّ ِه َح ٌّق َفَي ُق‬ َْ َ
“Dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya, “Ah.” Apakah
kamu berdua memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan
(dari kubur), padahal beberapa umat sebelumku telah berlalu? Lalu kedua
orang tuanya itu memohon pertolongan kepada Allah (seraya berkata),
“Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah itu benar." Lalu dia
(anak itu) berkata, "Ini hanyalah dongeng orang-orang dahulu” (Q.s Al-
Ahqa>f: 17)23
Mendengar ucapan Marwa>n, kemudian A’isyah ra mengatakan
“Marwan telah berbohong, demi Allah kebenaran tidak seperti yang ia
katakan, andai aku mau aku bisa saja menyebutkan untuk siapa ayat itu
diturunkan”.24
2. Asba>b al-Wuru>d
a. Mengenai Asba>b al-Wuru>d
Kata asba>b al-Wuru>d tersusun dari dua kata, yakni asba>b dan al-
Wuru>d. Kata asba>b merupakan bentuk jamak (plural) dari kata sabab (‫)سبب‬

23
Ibid... hlm: 504.
24
Manna>’ Khali>l al-Qat}t}a>n, Maba>hits Fi> Ulu>m.. hlm: 77.
9

yang dalam bahasa Indonesia diserap menjadi ‘sebab’. Secara etimologis, kata
sabab bermakna:
‫صل به إلى المقصود‬
ّ ‫إسم لما يتو‬
“Sebab adalah sebuah nama yang di darinya bisa menyampaikan pada
satu tujuan”.
Sedangkan dalam terminologi syariah, yang dimaksud dengan sabab
adalah:
‫عبارة ع ّما يكون طريقا للوصول إلى الحكم غير مؤثّر فيه‬
“Istilah yang digunakan untuk menunjuk satu jalan yang bisa
menyampaikan pada satu hukum, walau pun hal itu tidak memberikan dampak
apa pun di dalamnya”.25
Sedangkan kata wuru>d (‫ )الورود‬bentuk mas}dar dari kata warada yang
bermakna sumber air (‫ )المناهل‬atau air yang datang. Sedangkan para pakar
hadis tidak memberikan definisi yang final terhadap terminologi ini. Hal ini
menurut al-Suyut}i> dikarenakan istilah al-Wuru>d begitu jelas pengertiannya
serta definisi-definisinya sudah dipakai oleh pakar hukum Islam sejak lama.
Sehingga definisinya dinilai dekat dengan apa yang sudah dipahami oleh
mereka selama ini.26
Menurut Yahya> Ismai>l Ahmad, definisi yang bisa diberikan dari kata
asba>b al-Wuru>d dalam disiplin ilmu Hadis ini adalah sebagai berikut:
‫ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم وخصوص او إطالق أو تقييد أو نسخ أو نحو ذلك‬
‫أو ما ورد الحديث أيّام وقوعه‬
“Suatu jalan yang ditempuh untuk mengetahui maksud suatu hadis dari
sisi keumumannya, kekhususannya, atau dari sisi kemutlakan dan muqoyyad-
nya, atau naskh dan lain sebagainya”.27
Definisi yang diberikan oleh Yahya> Ismai>l Ahmad dalam
pengantarnya atas kitab al-Luma’ karya al-Suyu>t}i> ini berangkat dari sekian
fungsi yang bisa kita dapatkan dari salah satu cabang dari ilmu Hadis ini.
Sedangkan dari sisi jenisnya, Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan definisi yang
lebih ramping namun memberikan cakupan (ja>mi’) dari dari yang diberikan
oleh al-Suyu>t}i>. Menurutnya asba>b al-Wuru>d dalam hadis adalah suatu

25
Ali> bin Muhammad bin Ali> al-Jurja>ni>, Al-Ta’rifa>t li al-Jurja>ni>, (Kairo: Da>r al-Dayyan li
al-Tura>th), hlm: 154.
26
Yahya Ismail Ahmad, Muqaddimah al-Luma’ fi Asbab al-Wurud al-Hadits. (Lebanon: Da>r al-Kutub
al-Ilmiyah, 1984), hlm: 11
27
Definisi yang diberikan oleh Yahya Ismail Ahmad dalam studinya atas kitab al-Suyu>t}i> ini
disamakan dengan definisi asba>b al-Nuzu>l yang diberikan oleh al-Suyu>t}i> sebagaimana
dijelaskan di dalam kitab Luba>b al-Nuqu>l.
10

ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi Saw menuturkan sabdanya dan


masa-masa Nabi menuturkannya.28
Dari pengertian ini bisa kita tarik kesimpulan, bahwa yang menjadi
objek dari asbab al-Wurud adalah konteks-konteks yang menjadi latar
belakang sejarah dari sabda-sabda yang disampaikan oleh Nabi guna
memperjelas muatan makna yang ada di balik turunnya satu sabda beliau. Hal
ini sama dengan posisi asba>b al-Nuzu>l yang berkembang lebih dahulu
dalam studi ulu>m al-Qura>>n yang digeluti oleh para pakar sejak lama.
Asba>b al-Wuru>d dalam disiplin ilmu hadis, dalam sejarah dan
perkembangannya memiliki hubungan yang erat dengan asba>b al-Nuzu>l.
Para Ulama sejak lama memberikan perhatian kepada asbab al-Nuzul sebagai
salah satu sumber penting dalam memahami al-Quran, oleh karena itu para
Ulama mulai banyak menyusun kitab-kitab yang berisi riwayat-riwayat yang
di dalamnya memberikan keterangan sebab turunnya satu ayat. Dan saat itu
pula, mereka melakukan kodifikasi terhadap asbab al-Wurud dari satu riwayat
hadis yang mereka cantumkan di dalamnya.29
Dengan demikian, secara historis, ilmu asba>b al-Wuru>d dalam
bidang hadis ini berkembang sejak atensi para ulama tercurah kepada asbab
al-Nuzu>l sebagai salah satu bagian yang urgen dalam memahami al-Quran.
Oleh karena sumber asbab al-nuzul adalah riwayat-riwayat yang datang dari
Nabi Muhammad Saw, maka mereka secara tidak langsung juga bersentuhan
dengan tradisi ulu>m al-Hadi>sh sehingga terbentuklah asba>b al-Wuru>d
sebagai salah satu disiplin ilmu yang kemudian dikembangkan oleh para pakar
hadis setelahnya.
Menurut Yahya Ismail Ahmad dalam studinya terhadap kitab al-Luma’
fi> Asba>b al-Hadi>sh karya al-Suyut}i> setelah melakukan pelacakan
terhadap atensi para ulama sejak lama terhadap ilmu-ilmu al-Quran dan Hadis
berkesimpulan bahwa sebagai sebuah disiplin ilmu, asba>b al-Wuru>d ini
sudah ada sejak lama. Bahkan menurutnya disiplin ilmu ini sudah mapan sejak
zaman para sahabat dan tabi’in. Hal ini tampak dalam kisah yang dikutip oleh
al-Zarka>shi> dalam kitab al-Burha>n mengenai Qs: al-Ma>idah (4: 93):
28
M Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustakan Rizqi Putra, 1999),
hlm: 142-143
29
Muhammad Rif’at Said, Asba>b Wuru>d al-Hadi>th, Tah}li>l wa Ta’si>s. (Qatar: Kitab al-Ummah,
144 H) hlm: 94
11

..‫ليس على اللذين أمنوا وعملوا الصالحات جناح فيما طعموا‬


“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari
apa yang telah mereka makan..”30
Dia (al-Zarka>shi>) berkata: bahwa al-Maz’u>n dan Ma’dikarib berkata
bahwa khamr hukumnya adalah mubah. Mereka berdua menjadikan ayat ini
sebagai landasan. Hal ini disebabkan karena mereka tidak mengetahui asba>b
al-Nuzu>l dari ayat ini. Ini adalah riwayat yang dibawa oleh al-Hasan dan
lainnya, kemudian mereka berkata: ketika khamr diharamkan, mereka
kemudian berkata: bagaimana dengan saudara-saudara kami yang minum
khamr sebelum ayat ini turun? Kemudian Allah menurunkan ayat al-Ma>’idah
(4: 93) ini.31
Menurut Rif’at Said, di antara hal yang menyatukan antara asba>b al-
Nuzu>l dan asba>b al-Wuru>d adalah dari segi sumber dan beberapa
fungsinya. Dari sudut sumber, baik asba>b al-Nuzu>l atau al-Wuru>d sama-
sama menjadikan riwayat-riwayat yang dibawa oleh sahabat dan tabi’in
sebagai objek kajian guna memahami dua sumber utama hukum Islam. Hal ini
sebagaimana ucapan al-Wa>h}idi>, yang juga dikutip oleh al-Suyut}i> dalam
al-Ithqon, bahwa tidak boleh seseorang berbicara terkait sebab turunnya satu
ayat dalam al-Quran kecuali berdasarkan pada satu riwayat yang dibawa oleh
mereka yang menyaksikan langsung proses pewahyuan.32
Demikian halnya dalam bidang ilmu-ilmu hadis, al-Ha>kim berkata,
sebagaimana dikutip oleh al-Suyu>t}i> dalam Luba>b al-Nuqu>l fi> Asba>b
al-Nuzu>l jika seorang sahabat yang dia menyaksikan turunnya wahyu
memberikan kabar tentang turunnya satu ayat bahwa dia diturunkan dalam
satu konteks tertentu, maka hal itu merupakan hadis musnad, dan keterangan
ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibn S}ala>h.33
Dari riwayat ini dapat kita tarik benang merah bahwa para Ulama sejak
lama telah memberikan perhatian terhadap asba>b al-Wuru>d atau asba>b
al-Hadi>th dalam rangka memahami konteks turunnya satu hadis. Meski hal
ini masih terbatas pada upaya memperjelas asba>b al-Nuzu>l suatu ayat.

30
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya... hlm: 123.
31
Yahya> Ismai>l Ahmad,Muqaddimah al-Luma’ fi> Asba>b Wuru>d al-Hadi>h.. hlm: 27
32
Muhammad Rif’at Sa’i>d, Asba>b Wuru>d al-Hadi>th Tahli>l wa Ta’si>s. (Qatar: Kitab al-
Ummah, 144 H) hlm: 99
33
Muhammad Rif’at Sa’i>d, Asba>b Wuru>d al-Hadi>th Tahli>l wa Ta’si>s. (Qatar: Kitab al-
Ummah, 144 H) hlm: 99
12

Sedang ulama yang mula-mula mengarang kitab mengenai cabang ilmu


ini termasuk jarang sekali kita temukan kecuali sedikit. Hal ini karena menurut
Thashi> Kubra> Zadeh, walau pun ada beberapa karya terkait ilmu ini tetapi
karya-karya seputarnya tidak bisa kita akses sampai saat ini.34
Tetapi, al-Suyu>t}i>, menukil dari al-Zhahabi> dan juga Ibnu Hajar
dalam kitabnya Nukhbat al-Fika>r menyebutkan setidaknya ada empat karya
yang telah ditulis oleh para ulama untuk disiplin ilmu ini. Yang pertama
adalah karya Abu Hafs} al-Abka>ri> yang meninggal pada tahun 399.
Kemudian karya Abu> Ha>mid Abd al-Jali>l al-Jauba>ri>. Yang ketiga
adalah karya al-Suyut}i>, yakni al-Luma’ fi> Asba>b al-Wuru>d al-Hadis.
Kemudian yang keempat adalah kitab al-Bayan wa al-Ta’ri>f fi> Asba>b
Wuru>d al-Hadi>th al-Shari>f karya Abu> Hamzah al-Dimashqi>.35
Ilmu ini kemudian juga dikenal dengan nama asba>b al-Hadi>sh, istilah
ini setidaknya digunakan oleh beberapa pakar, salah satunya al-Suyu>t}i>
dalamasba>b Wuru>d al-Hadi>th ataual-Luma’ fi> Asba>b al-Hadi>th dan
juga al-Bulqi>ni> dalam karyanya Muqaddimah Ibn S{ala>h fi> Maha>sin
al-Is}t}ila>h dalam pembahasan yang ke-96 pembahasanya mengenai
ma’rifa>t asba>b al-Hadi>th.
Dalam kitab yang disebut terakhir, al-Bulqi>ni> (w. 824 H) mengutip
pandangan Ibn Daqi>q al-Id dari kitabnya Sharh ‘Umdat al-Ahka>m pada
pembahasan yang hadis tentang niat, dia mengatakan bahwa disiplin ilmu
asba>b wuru>d al-Hadi>th adalah salah satu produk keilmuan dalam bidang
hadis yang banyak digeluti oleh para ulama muta’akhhir. Sebagaimana mereka
memberikan fokus terhadap asba>b al-Nuzu>l, oleh karena itu, Ibnu Daqi>q
al-I>d (w. 824 H) menyumbangkan sedikit gagasannya dalam karyanya ini.36
Masih mengutip Ibnu Daqi>q al-I<d, al-Bulqi>ni> kemudian
memberikan contoh adanya asbab al-Wurud dalam hadis Nabi dengan
menyajikan contoh yang diberikan oleh Ibnu Daqiq dalam Syarah Umdah-nya,
yakni konteks historis (asbab al-Wuru>d) dari Hadis Sahih yang berbicara
tentang niat (‫)إنّما األعمال بالنيات‬. Hadis ini secara umum berbicara tentang niat

34
Ahmad ibn Must}afa> T{a>shi> Kubra> Zadeh, Mifta>h al-Sa’a>dah wa Mis>ba>h al-Siya>dah fi
Maudhi’a>t al-Ulu>m, (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-Hadi>tha>h, vol: II), hlm: 378
35
Yahya> Isma’i>l Ahmad, Muqaddimah al-Luma’ fi> Asba>b Wuru>d al-Hadi>th.. hlm: 28-29
36
Sira>juddi>n al-Bulqi>ni>, Muqaddimah Ibn S}ala>h fi> Maha>sin al-Is}t}ila>h. (Kairo: Dar al-
Ma’arif, ), hlm: 698.
13

hingga ditutup dengan penjelasan mengenai hijrah dan niat orang-orang yang
melakukannya.
Di bagian akhir hadis, kita menemukan pembahasan dalam hadis ini,
bahwa orang yang melakukan hijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka
mereka akan memperoleh kebaikan dari niat mereka itu. Namun, jika niat
mereka adalah untuk urusan dunia, atau karena ingin menikahi seorang
perempuan dalam tujuan hijrahnya, maka mereka akan mendapatkan itu pula.
Menurut Ibn Daqi>q, hadis ini dilatarbelakangi oleh seorang lelaki yang ikut
hijrah dengan Nabi Muhammad Saw dari Mekah ke Madinah bukan untuk
memperoleh keutamaan hijrah, melainkan karena ingin menikahi seorang
perempuan yang bernama Ummu Qais. Oleh karena itu, laki-laki tersebut
dijuluki dengan muhajir Ummi Qais. Dengan demikian, hadis ini memberikan
kekhususan kasus bagi perempuan yang diniatkan oleh lelaki tersebut, bukan
perkara duniawi lain yang dijadikan tujuan oleh beberapa Muhajiri>n.37
b. Urgensi Mengetahui Asba>b al-Wuru>d

Sebagaimana dijelaskan di muka, Yahya Ismail Ahmad memberikan


definisi terhadap asba>b al-Wuru>d dari beberapa fungsi yang terkandung
dari asba>b al-Wuru>d. Di antara fungsi asba>b al-Wuru>d adalah
memberikan keterangan tentang cakupan suatu kalimat, baik dia bersifat
umum (a>mm) atau khusus (kha>s}), atau dari sisi kemutlakannya (mut}laq)
atau muqoyyad-nya. Demikian pula asba>b al-Wuru>d bisa memperjelas
posisi hadis jika hukum naskh dan mansukh diberlakukan. Dari definisi ini
setidaknya kita menemukan fungsi dari kajian asba>b al-Wuru>d dalam lima
hal.

Selain itu, asba>b al-Wuru>d juga bisa memberikan kepada kita


beberapa penjelasan seputar hukum yang dituju oleh suatu hadis secara lebih
terperinci. Beberapa kemusykilan yang diperoleh dari suatu hadis bisa
diperjelas dengan memahami konteks histroris dari hadis itu sendiri. Meski
demikian, harus kita akui bahwa tidak semua hadis memiliki asba>b al-
Wuru>d sebagaimana tidak semua ayat memiliki asba>b al-Nuzu>l.38

37
Sira>juddi>n al-Bulqi>ni>, Muqaddimah Ibn S}ala>h}..., hlm: 698.
38
Sulaiman, Asbabul Wurud Hadis; Suatu Kajian Tentang Faktor dan Urgensi Asbabul Wurud Hadis.
(Jurnal Sintesa, Vol: 15. No: 2, tahun 2016). Hlm: 83
14

Sedangkan menurut Said Aqil Munawar, ada beberapa urgensi yang bisa
diperoleh dari memahami Asba>b al-Wuru>d dalam suatu hadis, sebagai
berikut:

1) Menentukan adanya takhs}i>s} dari suatu hadis yang umum


2) Memberikan batasan dari suatu hadis yang masih mutlak
3) Men-tafs}i>l (merinci) hadis yang masih global
4) Menentukan ada atau tidak adanya naskh –mansu>kh dalam satu
hadis
5) Menjelaskan llat (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum
6) Menjelaskan maksud suatu hadis yang masih mushkil (susah
dipahami)39
Menurut Rif’at Said, urgensi mengetahui asba>b al-Wuru>d dari suatu
hadis bahkan sama pentingnya dengan mengetahui asba>b al-Nuzu>l dari
suatu ayat. Bahkan, kalau dilihat dari tingkat kompleksitasnya, maka
mengetahui asba>b al-Wuru>d menjadi lebih penting dari asba>b al-Nuzu>l.
Hal ini dikarenakan al-Quran sebagai sebuah kitab suci bersifat universal dan
juga tidak berubah. Oleh karena itu al-Quran tidak sampai masuk ke dalam
pembahasan yang bersifat partikular, terperinci atau hal-hal yang sifatnya
temporer kecuali dalam sekadar berisi prinsip-prinsip dan pelajaran. Hal ini
berbeda dengan hadis yang masuk ke dalam beberapa aspek-aspek Islam yang
khusus, terperinci, partikular hingga ke dalam beberapa aspek yang temporer.40
Sampai di sini tampak bahwa memahami hadis dengan menggunakan asba>b
al-Wuru>d sangatlah penting guna mencapai satu pemahaman yang baik
dalam satu hadis.
Urgensi asba>b al-Wuru>d juga bisa memberikan pemahaman yang
benar terhadap satu redaksi hadis yang kerap disalahpahami. Salah satunya
adalah hadis yang disebutkan dalam sahih Bukhari, dari Sayyidah Aisyah, dari
Anas RA, Rasulullah Saw bersabda:
‫أنتم أعلم بأمور دنياكم‬
“Kalian lebih tahu mengenai urusan dunia kalian”

39
Sulaiman, Asbabul Wurud Hadis; Suatu Kajian Tentang Faktor dan Urgensi Asbabul Wurud Hadis..
hlm: 83
40
Muhammad Rif’at Said, Asbab Wurud al-Hadits Tahlil wa Ta’sis. (Qatar: Kitab al-Ummah, 144 H)
hlm: 104
15

Menurut sebagian kelompok sekuleris, hadis ini memberikan legitimasi


bagi ideologi sekularisme yang percaya akan adanya keterpisahan antara
agama dan keduniaan. Hal ini karena Rasullah sendiri memasrahkan kepada
masing-masing orang terkait urusan keduniaan yang membuktikan bahwa
kapasitas Rasul hanyalah dalam masalah agama, tidak dalam masalah-masalah
yang berkaitan dengan dunia.41
Padahal asba>b al-Wuru>d dari hadis ini adalah ketika Nabi Saw
berhadapan dengan para petani anggur, yang atas saran yang diberikan oleh
Nabi, anggur petani itu harus gagal panen. Menurut al-Qard}a>wi>, asba>b
al-Wuru>d dari hadis ini adalah mengajarkan kepada umat Islam terkait
beberapa masalah-masalah yang senantiasa berubah (mutaghoyyirah) berdasar
pengalaman, eksperimen dan lain sebagainya.42 Oleh karena itu, pandangan
sebagian penganjur sekluarisme dalam Islam kerap kali menggunakan hadis
ini sebagai salah satu dalil sekaligus dalih untuk membenarkan pemisahan
urusan agama dan urusan negara tanpa memperhatikan asba>b al-Wuru>d
yang menjadi latar belakang hadis ini.
Contoh lain yang menunjukkan kesalahpahaman sebagian orang atas
hadis Nabi yang seolah-olah mengharamkan orang muslim untuk tidak hidup
di negara yang mayoritas non-muslim. Berikut hadis yang diriwayatkan oleh
Abu> Da>wud dalam Bab al-Jihad, dan diriwayatkan oleh al-Tirmi>dhi>
dalam Bab al-Siyar:
‫أنا بريئ من ك ّل مسلم يقيم بين أظهر المشركين‬
“Aku berlepas dari orang-orang Islam yang bermukim di tengah-tengah
kelompok orang-orang musyrik”
Hadis di atas sementara banyak dijadikan oleh beberapa kelompok
Islamis sebagai landasan bagi keharaman orang-orang Islam untuk bermukim
di satu komunitas non-muslim. Padahal pemahaman yang demikian jelas tidak
bisa dipakai mengingat kebutuhan orang Islam untuk belajar, berobat dan
beberapa hal lainnya sangat bergantung dalam prosesnya bagi orang muslim
untuk bermukim di satu negara yang penduduknya mayoritas non-muslim.
Pemahaman mereka dengan menjadikan hadis ini sebagai salah satu dalil
jelas tidak memperhatikan asba>b al-Wuru>d yang ada di belakangnya.

41
Muhammad Rif’at Said, Asbab Wurud al-Hadits Tahlil wa Ta’sis... hlm: 105
42
Muhammad Rif’at Said, Asbab Wurud al-Hadits Tahlil wa Ta’sis... hlm: 105-106
16

Karena hadis ini berlatar belakang sekelompok tentara yang diutus oleh Nabi
Saw, berikut hadisnya:
‫رع فيهم‬mm‫جود فأس‬mm‫اس منهم بالس‬mm‫م ن‬mm‫ فاعتص‬,‫خعثم‬
ٍ ‫ريّة إلى‬mm‫لّم س‬m‫ه وس‬mm‫لى هللا علي‬mm‫ول هللا ص‬mm‫بعث رس‬
‫ ّل‬m‫ريئ من ك‬m‫ا ب‬m‫أن‬:‫ال‬m‫ة) وق‬m‫ل (الدي‬m‫ف العق‬m‫أمر لهم بنص‬m‫ ف‬,‫لّم‬m‫ فبلع ذلك النب ّي صلّى هللا عليه وس‬,‫القتل‬
‫ قالوا يا رسول هللا لما؟ ال تراءى نارهما‬,‫مسلم يقيم بين أظهر المشركين‬
“Rasulullah mengutus tentara ke Kha’tsam, maka kemudian sebagian
manusia melindungi diri dengan bersujud, kemudian mereka terbunuh dengan
cepat, kemudian berita ini sampai kepada Nabi Muhammad Saw, lalu beliau
memerintahkan dengan separuh denda. Kemudian Nabi Muhammad Saw
bersabda: aku melepaskan diri dari setiap orang muslim yang ada di antara
orang-orang musyrik. Lalu mereka berkata: mengapa wahai Rasulullah? Tidak
tampak cahaya keduanya.”
Dari riwayat di atas, kita bisa melihat bahwa sabda Rasulullah Saw
sebagaimana di atas berbicara dalam satu konteks yang spesifik. Yakni khusus
untuk orang-orang Islam yang meninggal di tengah-tengah komunitas orang
musyrik dalam satu peperangan yang sedang berkecamuk. Oleh karena itu,
denda (diyat) yang diberlakukan atas pembunuhan mereka adalah separuh dari
diyat orang muslim yang ada di tengah komunitas Islam sendiri. Menurut
Imam al-Khat}t}a>bi> sebagaimana dikutip oleh Muhammad Rif’at,
pengguguran separuh diyat ini karena mereka seolah-olah dengan sengaja
mencelakakan diri sendiri karena berdiam di negeri orang-orang musyrik
dalam kondisi peperangan yang masih berkecamuk antara Islam dan
musyrik.43
Dengan demikian, pandangan sebagian kelompok yang memberikan
fatwa keharaman orang-orang muslim untuk tinggal di negeri orang musyrik
tidak bisa dibenarkan manakala dilihat dari sisi konteks yang disajikan dalam
asba>b al-Wuru>d di atas. Pandangan kelompok setidaknya masih tampak
salah satunya dalam fatwa yang beredar di website
https://binbaz.org.sa/fatwas.
Sampai di sini, kita bisa melihat letak urgensitas pemahaman atas
asba>b al-Wuru>d sangatlah vital agar seseorang bisa menarik satu
pemahaman yang benar atas suatu hadis. Karena dampak yang akan diterima
dari kesalahpamahan terhadap maksud hadis itu akan membawa pada satu
kekacauan dalam penyemaian nilai-nilai Islam yang akan diterima oleh umat.

43
Muhammad Rif’at Said, Asba>b Wuru>d al-Hadi>th Tah}li>l wa Ta’si>s... hlm: 107
17

Yahya> Isma’il Ahmad, dalam pengantarnya atas kitab al-Luma’ karya


al-Suyu>t}i> membagi beberapa fungsi asba>b al-Wuru>d ke dalam
beberapa bagian sesuai dengan fungsinya. Pertama, asba>b al-Wuru>d
berfungsi sebagai pengkhusus bagi suatu hadis yang terlihat umum
(takhs}i>s} al-‘umu>m).44 Hal ini misalnya dalam hadis yang diriwayatkan
oleh al-Bukha>ri dari ‘Imra>n bin Husain:45

.‫النصف من صال ِةالقاع ِد‬


ِ ‫النائم على‬
ِ ُ‫ وصالة‬،‫القائم‬
ِ ‫النصف من صال ِة‬
ِ ‫صالةُالقاع ِد على‬

“Salatnya orang yang duduk pahalanya separuh dari salat orang yang
berdiri. Sedang salat orang yang sambil berbaring separuh dari pahala
orang yang salah duduk.”
Sepintas hadis ini seolah mencakup setiap orang yang salat dalam
keadaan berbaring berarti pahalanya lebih separuh dari mereka yang salat
duduk. Demikian pula orang yang duduk pahalanya hanya separuh dari orang
yang mampu salat berdiri. Dengan pemahaman yang seperti ini boleh jadi akan
membuat orang yang tidak mampu salat duduk atau berdiri karena kondisi
yang tidak memungkin, misalnya karena sakit akan merasa pahalanya
berkurang. Padahal dari sisi asba>b al-Wuru>d hadis dikhususkan
(takhs}i>s}) untuk sekelompok sahabat yang waktu itu memungkinkan untuk
salat sambil berdiri namun memilih duduk. Hal ini misalnya diperjelas
dalamriwayat dari Abdurrazzaq:

:‫فقال‬،‫ُصلُّونَ ِمنقُعو ٍد‬


َ ‫سجدَوالنا ُسي‬ ُّ َّ‫ ف َدخَ َل الن‬، ُ‫ ف ُح َّمالناس‬،ٌ‫بي ال َمدينةَ وهي ُم َح َّمة‬
ِ ‫بي ﷺال َم‬ ُّ َّ‫قَ ِد َم الن‬
‫ فتج ّشم الناس الصالة قياما‬.‫م‬Fِِ‫صال ِةالقائ‬ َ ُ‫القاع ِدنِصف‬
ِ ُ‫صالة‬ َ
“Nabi memasuki kota Madinah dalam keadaan demam, kemudian orang-orang
pun menjadi deman pula. Kemudian beliau memasuki masjid seraya melihat
ternyata orang-orang salat dalam keadaan duduk. Kemudian beliau bersabda:
“pahala salat orang yang salat duduk separuh dari salatnya orang yang
berdiri”. Kemudian orang-orang mulai salat dengan berusaha berdiri.”
Pada dasarnya hadis ini ditujukan kepada para sahabat yang pada saat itu
masih mampu berdiri meski dengan bersusah payah. Bukan umum untuk
mereka yang sudah tidak mampu lagi untuk duduk sehingga mengharuskan
mereka untuk salat dengan berbaring. Atau mereka yang sudah tak kuasa

44
Yahya> Isma’i>l Ahmad, Muqaddimah al-Luma’ fi> Asba>b Wuru>d al-Hadi>th. (Lebanon: Da>r
al-Kutub al-Ilmiyah, 1984), hlm: 11
45
Jalaluddin bin Abdurrahman al-Suyu>t}i>, al-Luma’ fi> Asba>b Wuru>d al-Hadi>th. (Lebanon:
Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1984), hlm: 93-94
18

untuk berdiri sehingga mengharuskan salat untuk duduk, dan tentu saja pahala
mereka setara sesuai dengan kadar usaha mereka dalam menjalankan salat.
Fungsi kedua yang diberikan oleh Yahya Ismail Ahmad terkait asba>b
al-Wuru>d dari hadis adalah membatasi hal yang bersifat mutlak (taqyi>d al-
mut}la>q).46
‫ينقص من‬
َ ‫ير أن‬
ِ ‫ من غ‬،‫ورهِم‬ ِ ‫ ك انَ َل ُه أج ُرهُ َو ِم ْثل أج‬،ُ‫نة ف ُعمِل ِبها بع َده‬ ً ‫َمن س نَّ س َّن ًة حس‬
‫ير أن‬ِ ‫ من غ‬،‫أوزارهِم‬
ِ ً ‫ ومن سنَّ س َّن ًة س ِّي‬،‫أجورهِم شي ًئا‬
‫ كانَ علي ِه وز ُر ُه َو ِم ْثل‬،‫ئة فعمل َ ِبها بع َد ُه‬ ِ
‫أوزارهِم شي ًئا‬
ِ ‫ينقص من‬
َ
Kalau kita perhatikan, maka hadis ini seolah-olah memberikan
kesempatan bagi setiap orang untuk membuat satu budaya atau tradisi yang
diwariskan secara turun-temurun selama baik, maka hal itu akan dianggap
baik. Namun jika kita perhatikan dengan saksama konteks turunnya hadis ini
maka bisa kita tarik kesimpulan bahwa tradisi yang dianggap absah adalah
selama memiliki asal-asal yang kuat dalam agama, bukan sebaliknya. Hal ini
diriwayatkan dengan panjang dari Jalur Ibn Jari>r.47
Fungsi ketiga adalah merinci hal-hal yang masih terlalu umum (tafs}i>l
al-mujma>l), seperti dalam hadis yang dikeluarkan oleh al-Bukhari> dari jalur
Anas:
‫أمر بالل أن يشفع األذان ويوتر اإلقامة‬
“Bilal diperintahkan untuk menggenapkan adzan dan mengganjilkan
iqamah.”
Hadis ini menjelaskan tentang adzan dan iqamah yang diperintahkan
oleh Rasulullah kepada Bilal bin Rabah agar menggenapkan bacaan dalam
azan dan mengganjilkannya dalam iqamah. Namun hal ini masih terlalu
umum, masih belum bisa dipahami bagaimana azan yang diperintahkan
kepada Bilal. Hadis ini kemudian akan diperinci oleh riwayat yang
dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dan Ahmad dalam
Musnad-nya dari jalur Abdullah bin Zaid.48
Fungsi keempat adalah memperjelas berlakunya nasikh dan mansukh
dalam hadis, ini misalnya dalam hadis yang dikeluarkan oleh Ahmad dalam
Musnad-nya, dan juga Abu Dawud dalam Sunan-nya tentang orang yang
berpuasa sambil melakukan bekam (h}ija>mah). Rasul bersabda:
46
Yahya> Ismail Ahmad, Muqaddimah al-Luma’ fi> Asbab Wuru>d al-Hadi>th, ((Lebanon: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1984), hlm: 12.
47
Yahya> Ismail Ahmad, Muqaddimah al-Luma’ fi> Asbab Wuru>d al-Hadi>th, hlm: 13
48
Ibid.. hlm: 13-14
19

‫أفطر الحاجم والمحجوم‬


“Yang berbekam dan yang membekam sama-sama batal”
Hadis ini kontradiksi dengan riwayat lain yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abba>s:
‫إحتجم النب ّي وهو صائم مح ّرم‬
“Nabi berbekam dalam berpuasa dan berihram”
Dan juga riwayat yang dikeluarkan oleh Abu> Da>wu>d dalam bab
puasa yang berbunyi:
‫ال يفطر من قاء وال من احتلم وال من احتجم‬
“Tidak batal puasa orang yang muntah (tanpa sengaja), tidak pula orang
yang mimpi basah dan orang yang melakukan bekam.”
Dari ketiga riwayat di atas, di manakah hadis yang mansukh dan mana
yang nasikh? Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa yang yang nasikh
adalah hadis yang pertama, dengan demikian orang yang berbekam dan
dibekam sama-sama batal puasanya. Pandangan ini seperti diungkapkan oleh
Ali> al-Madi>ni>, pendapat ini kemudian diikuti oleh Ahmad, Ishaq dan Ibn
Mundzir. Ada juga Ulama yang berpendapat bahwa riwayat yang nasikh
adalah yang kedua, dengan demikian riwayat pertama yang hukumnya
dianggap tidak berlaku lagi. Pandangan ini diusung oleh al-Syafi’i dan Ibnu
Hazm.49
Pada dasarnya di antara riwayat-riwayat para ulama berbeda pendapat
mana yang lebih dahulu disabdakan oleh Rasulullah Saw. Mereka hanya
berpedoman dengan salah satu ayat dalam al-Quran yang menerangkan bahwa
seorang tidak akan menanggung beban dosa dari orang lain (Qs: al-Fathir ayat
18).Sehingga mereka yang mengaggap bahwa riwayat pertama adalah yang
mansu>kh dan riwayat kedua sebagai nasikh menguatkan dengan ayat ini.50
Namun salah satu riwayat yang dibawa oleh Ghiya>s bin Kalub al-
Ku>fi> dari Mathraf bin Samurah bin Jundub dari ayahnya yang menjelaskan
asbab al-Wurud dari hadis ini:51
,‫ان رجال‬mm‫ا يغتاب‬mm‫ان وهم‬mm‫ وذلك في رمض‬.‫م ّر رسول هللا صلى هللا عليه وسلّم عل رجل بين يدي حجام‬
"‫فقال "أفطر الحاجم والمحجوم‬

49
Yahya Ismail Ahmad, Muqaddimah al-Luma’ fi Asbab Wurud al-Hadis,.. hlm: 15.
50
Ibid... hlm 15.
51
Ibid... hlm: 15.
20

“Rasulullah lewat dan melihat seorang laki sedang melakukan bekam, sambil
keduanya (yang berbekam dan yang membekam) melakukan ghibah tentang
seseorang, kemudian Rasulullah Saw bersabda: yang berbekam dan yang
membekam sama-sama batal.”
Dengan adanya riwayat ini, maka kemusykilan dari kedua riwayat di
atas menjadi jelas, karena sebab batalnya kedua orang yang terlibat bekam itu
bukan karena bekamnya melainkan karena mereka berdua melakukan tindakan
tercela dalam Islam, yakni ghibah (menggunjing orang).52
Yang kelima adalah asba>b al-Wuru>d yang berfungsi sebagai penjelas
bagi sebab suatu hukum (‫)بيان علّة الحكم‬. Hal ini misalnya dalam hadis yang
dikeluarkan oleh al-Bukhori dari Abdulla>h bin Abba>s:53
.‫سقا ِء‬
ِّ ‫ب ِمن في ال‬
ِ ‫النبي ﷺ َع ِن الش ُّْر‬
ُّ ‫نَهى‬

“Nabi Saw melarang seseorang untuk minum langsung dari bibir


cawan.”
Hadis ini menjelaskan secara langsung tentang larangan meminum
dengan langsung menyentuhkan bibir kepada bibir dari suatu wadah minuman.
Hal ini kemudian dijelaskan dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Mulqin
dari jalur Abu> Sa’i>d al-Khu>dri> yang menjelaskan tentang sebab
dilarangnya minum dengan cara itu.
ِ‫ث األسقِ َية‬
ِ ‫ فنهى رسو ُل هللاِ عن اختِنا‬، ٌّ‫سقا ٍء فانساب في بط ِن هجان‬
ِ ‫فم‬
ِ ‫ش ِرب رج ٌل من‬
“Seorang lelaki minum secara langsung dari bibir cawan, kemudian
mengalir ke dalam perutnya sejenis ulat kecil, kemudian Rasulullah melarang
minum langsung dari bibir cawan.54
Fungsi keenam dari asba>b al-Wuru>d adalah memperjelas satu perkara
yang masih terdapat kemusykilan (taud}i>h} al-mushkil). Seperti satu hadis
yang menjelaskan tentang perkara hisab kelak di hari kiamat yang dikeluarkan
oleh al-Bukhori dari Umm al-Mu’mini>n Aisyah:55

‫ َمن نوقش الحساب يوم القيامة ع ُّذ َب‬:‫أنَّ النب َّي قا َل‬

“Barang siapa yang diintrogasi dalam hisab di hari kiamat, maka dia
pasti akan mendapat siksa.”
Hadis ini kemudian diperjelas sebabnya dari penggalan berikutnya:

52
Yahya Ismail Ahmad, Muqaddimah al-Luma’ fi> Asba>b Wuru>d al-Hadi>th,.. hlm: 15.
53
Ibid... hlm: 17.
54
Ibid... hlm: 17
55
Ibid... hlm: 17
21

: ْ‫الَت‬m‫] ق‬8 :‫قاق‬mm‫ي ًرا} [االنش‬m‫س‬


ِ َ‫ابًا ي‬m‫ب ِحس‬
ُ m‫حاس‬
َ ُ‫ ْوفَ ي‬m‫س‬ َ ‫ فَقُلتُ أ َو‬:ُ‫ة‬m‫ش‬
َ َ‫ {ف‬:‫الى‬mm‫و ُل هَّللا ُ تَع‬m‫ليس يق‬ َ ِ‫قالَتْ عائ‬
‫ساب عذب‬ َ ‫ش ال ِح‬ َ ِ‫ َمن نُوق‬: ْ‫ ولَ ِكن‬،‫ض‬ ُ ‫ إنَّما َذلِ ِك ال َع ْر‬:‫فَقا َل‬

“Aisyah RA bertanya: bukankah Allah telah bersabda “maka dia akan


dihisab dengan mudah?”. Maka kemudian Rasulullah bersabda, itu bukan
hisab melainkan ‘ardh (penyajian), tetapi barang siapa yang diintrogasi pada
saat hisab, maka dia akan disiksa.” 56
c. Jenis-jenis Asbab al-Wurud

Asba>b al-Wuru>d dari suatu juga bisa diketahui dari jenis-jenisnya, hal
ini ada tiga macam sebagaimana dikenalkan oleh Yahya> Isma’i>l Ahmad:57

1. Asba>b al-Wuru>d yang berupa al-Quran


2. Asba>b al-Wuru>d berupa hadis
3. Asba>b al-Wuru>d yang berupa perkara yang berkaitan dengan para
pendengar dari kalangan sahabat.

Maksud dari asba>b al-Wuru>d yang berupa ayat al-Quran ini adalah
adanya suatu ayat al-Quran yang menjadi penyebab Nabi Saw mengeluarkan
sabdanya (hadis).58 Misalnya Qs: al-An’a>m, 6: 82 yang berbunyi:

‫الذين أمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم ألئك لهم األمن وهم مهتدون‬

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka


dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan
mereka mendapat petunjuk.”59
Ketika ayat ini turun, para sahabat mengalami beberapa kemusykilan
berkaitan dengan kata shirk yang ada pada ayat itu, sehingga mereka bertanya:
“siapa di antara kita yang keimanannya tidak bercampur dengan kezaliman?”.
Kemudian Rasulullah mengatakan bahwa bukan itu maksud dari kata dzulm
pada ayat di atas, kemudian Rasulullah berkata “apakah kalian tidak
mendengar ucapan Luqman kepada anaknya yang mengucapkan (‫إنّ الشرك لظلم‬
‫”)عظيم‬. Demikian riwayat ini dikeluarkan oleh al-Bukhari.60

56
Yahya> Isma’i>l Ahmad, Muqaddimah al-Luma’ fi> Asba>b Wuru>d al-Hadi>th,.. hlm: 17
57
Ibid... hlm: 18
58
Munawir Muin, Pemahaman Komprehensif Hadis Melalui Asbab al-Wurud, (Jurnal Addin, vol: 7.
No.2, Agustus 2013).
59
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya (Surabaya: Mekarsurabaya, 2004), hlm: 185.
60
Yahya> Isma’i>l Ahmad, Muqaddimah al-Luma’ fi> Asba>b Wuru>d al-Hadi>th,.. hlm: 18.
22

Sedangkan contoh asba>b al-Wuru>d yang berupa hadis adalah salah


satu hadis yang dikeluarkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak-nya.
Rasulullah Saw bersabda:61

‫إنّ هلل مالئكة في األرض تنطق على ألسنة بني أدم بما في المرء من الخير والش ّر‬

“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat di bumi ini yang berbicara


dengan bahasa manusia tentang kebaikan manusia dan keburukannya.”
Hadis ini masih menimbulkan pertanyaan, bagaimana mungkin ada
malaikat yang berbicara dengan bahasa manusia. Hal ini kemudian diperjelas
oleh riwayat lain yang mengurai kemusykilan itu:62

.‫ وجبت وجبت‬,‫ وجبت‬:‫ال‬mm‫يرا فق‬mm‫ا خ‬mm‫أثنوا عليه‬mm‫عن أنس أنّه صلى هللا عليه وسلّم ل ّما م ّر به بجنازة ف‬
‫ازة‬mm‫ك في الجن‬mm‫ول هللا قول‬mm‫ا رس‬mm‫ ي‬:‫ه‬mm‫الوا ل‬mm‫ فق‬.‫ وجبت وجبت وجبت‬:‫وم ّر بأخرا فأثنوا عليها ش ّرا فقال‬
‫ نعم يا‬:‫ فقال‬.‫ وجبت‬,‫ وجبت‬,‫ وعلى األخر ش ّر فقلت فيهما وجبت‬,‫ أثني على األول خير‬,‫والثناء عليها‬
‫ إنّ هلل مالئكة في األرض تنطق على ألسنة بني أدم بما في المرء من الخير والش ّر‬:‫أبا بكر‬

“Dari Anas, bahwasanya telah lewat dihadapan Rasulullah Saw jenazah


yang orang-orang memujinya dengan kebaikan. Maka Rasulullah berkata “dia
menjawab, dia menjawab, dia menjawab”. Kemudian lewat lagi satu jenazah
yang orang-orang kemudian mencacinya dengan keburukan, lalu Nabi berkata
lagi “dia menjawab, dia menjawab, dia menjawab”. Kemudian para sahabat
bertanya “apa maksud ucapan engkau terhadap dua jenazah itu? Kemudian
Rasul Saw menjawab “benar wahai Abu Bakar,Sesungguhnya Allah memiliki
malaikat di bumi ini yang berbicara dengan bahasa manusia tentang kebaikan
manusia dan keburukannya.”63
Asba>b al-Wuru>d yang berupa perkara yang berkaitan dengan para
pendengar dari kalangan sahabat. Misalnya kasus yang terjadi pada Syuraid
ibn Suwaid al-Thaqafi> yang menghadap kepada Nabi Saw pada saat
peristiwa fath Makkah, seraya berkata: “saya bernazar akan salat di Baitul
Maqdis”. Lalu Nabi Saw berkata baginya: “salat di sini (Masjidil Haram)
lebih utama”. Kemudian Nabi Saw bersabda: “demi Dzat yang jiwaku berada
dalam kekuasaan-Nya seandainya kamu salat di sini (Masjidil Haram), maka
sudah cukup nazarmu terpenuhi.” Kemudian Nabi Saw bersabda lago: “salat
di masjid ini (Masjidil Haram) 100.000 kali lebih utama dari salat di masjid
yang lain”.”64
61
Yahya> Isma’i>l Ahmad, Muqaddimah al-Luma’ fi> Asba>b Wuru>d al-Hadi>th,.. hlm: 19
62
Ibid,.. hlm: 19
63
Ibid... hlm: 19
64
Ibid... hlm: 19
23

C. Kesimpulan
Dari paparan di atas, kita bisa menarik beberapa kesimpulan bahwa
baik asba>b al-Nuzu>l maupun asba>b al-Wuru>d sama-sama memiliki
kedudukan yang penting guna membangun pemahaman yang komprehensif
bagi al-Quran dan hadis. Hal ini karena baik al-Quran atau hadis adalah
sebuah pedoman yang dihayati oleh umat Islam sampai saat ini guna
menemukan jawaban dan solusi bagi segenap problematika yang mereka
hadapi sehari-hari.
Dalam asba>b al-Wuru>d, meskipun sebagaimana dijelaskan di atas,
literatur klasik yang bisa kita temukan tidak begitu banyak, namun
perkembangannya sudah cukup lama sebagaimana kodifikasi asba>b al-
Nuzu>l itu dimulai. Hal ini karena asba>b al-Wuru>d sangat lah dekat
kajiannya dan manfaatnya dengan asba>b al-Nuzu>l. Di antara karya-karya
ulama klasik yang cukup otoritatif membahas masalah asba>b al-Wuru>d ini
adalah karya al-Suyuthi dan juga al-Bulqini.
Dari sudut fungsi, asba>b al-Wuru>d, menurut Muhammad Rif’at
Said memiliki kesamaan dengan asba>b al-Nuzu>l dalam memahami al-
Quran. Hal ini karena sumber keduanya sama, yakni riwayat yang dibawa oleh
para sahabat dan tabi’in. Serta fungsinya untuk memperjelas sebuah perspektif
dalam al-Quran dan hadis. Sedangkan menurut Yahya> Isma’i>l Ahmad
mengemukan fungsi asba>b al-Wuru>d dalam enam matra, yakni takhs}i>s}
al-‘umu>m, taqyi>d al-Mut}laq, tafs}i>l al-Mujmal, nasikh wa al-mansu>kh,
baya>n illat al-hukm, dan taud}i>h al-mushkil.
Jenis-jenis asba>b an-Nuzu>l menurut az-Zarqa>ni> terbagi menjadi
dua, yaitu peristiiwa dan pertanyaan. Peristiwa secara keseluruhan
diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu pertentangan yang terjadi di masa
Nabi (khus}u>mah), kesalahan yang berdampak fatal, dan harapan yang
mendapat restu langsung dari Allah SWT. Sebagaimana peristiwa yang
menjadi asba>b an-nuzu>l, pertanyaan juga terbagi menjadi tiga bagian, yaitu
pertanyaan akan hal yang sudah berlalu, yang sedang terjadi, dan hal yang
akan mendatang.
Sedangkan jenis-jenisnya asba>b al-Wuru>d ada tiga yang diberikan
oleh Yahya> Isma’i>l Ahmad, yakni asba>b al-Wuru>d yang berasal dari
24

ayat al-Quran, ada juga yang berasal dari hadis itu sendiri, dan juga perkara-
perkara yang berkaitan dengan para pendengar dari kalangan sahabat.
25

Daftar Pustaka
Ahmad, Yahya> Isma’i>l, Muqaddimah al-Luma’ fi> Asba>b al-Wuru>d al-
Hadi>th. (Lebanon: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1984
Bulqini> (al), Sira>juddi>n, Muqaddimah Ibni S}ala>h fi> Maha>sin al-Is}t}ila>h.
(Kairo: Da>r al-Ma’arif, tth),
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya (Surabaya: Mekarsurabaya,
2004),
Hasbi. M ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustakan
Rizqi Putra, 1999)
Jurja>ni> (al), Ali> bin Muhammad bin Ali,> Al-Ta’rifa>t lil Jurja>ni>, (Kairo: Dar
al-Dayyan li al-Turath)
Maliki> (al), Sayyid Muhammad, Zubdah al-Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n, (Jeddah:
Da>r as-Shuru>q, 1986),
Muin, Munawir, Pemahaman Komprehensif Hadis Melalui Asbab al-Wurud, (Jurnal
Addin, vol: 7. No.2, Agustus 2013).
Qat}t}a>n (al), Manna>’ Khali>l Maba>hits fi> Ulu>m al-Qur’a>n,
(Surabaya: al-Hidayah, 1972
Said, Muhammad Rif’at, Asba>b Wuru>d al-Hadi>th Tah}li>l wa Ta’si>s. (Qatar:
Kitab al-Ummah, 144 H)
S}a>lih, Subhi>, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur`an, terj;. Tim Pustaka Firdaus (
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999)
Sulaiman, Asbabul Wurud Hadis; Suatu Kajian Tentang Faktor dan Urgensi Asbabul
Wurud Hadis. (Jurnal Sintesa, Vol: 15. No: 2, tahun 2016).
Suyu>t}i> (al), Jala>luddi>n Asba>b an-Nuzu>l, (Bairut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah,
1984),
Suyu>t}i> (al), Jala>luddi>n bin Abdurrahma>n al-Luma’ fi Asba>b Wuru>d al-
Hadi>th. (Lebanon: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1984)
Wa>hidi> (al), Ali> Ibn Ahmad, Asba>b an-Nuzu>l, (Jakarta: Da>r al-Kutub al-
Isla>miyah)
Zarqa>ni> (al), Manāhil al-‘Urfān fī ‘Ulūm Al-Qur`ān,(al-Qāhirah: Dār al-
Hadīs,2001)

Anda mungkin juga menyukai