BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai
pengemban tugas dan tanggung jawab. Tugas dan tanggung jawab itu
merupakan amanat ketuhanan yang sungguh besar dan berat. Oleh karena
itu, semua yang ada di langit dan di bumi menolak amanat yang sebelumnya
telah Allah tawarkan kepada mereka. Akan tetapi, manusia berani menerima
amanat tersebut, padahal ia memiliki potensi untuk mengingkarinya. Hal ini
sebagaimana firman Allah QS.al-Aḥza>b ayat 72.
ۖ ُض َو ْال ِجبَا ِل فَأَبَ ْينَ أَ ْن يَحْ ِم ْلنَهَا َوأَ ْشفَ ْقنَ ِم ْنهَا َو َح َملَهَا اإْل ِ ْن َسان
ِ ْت َواأْل َر
ِ إِنَّا َع َرضْ نَا اأْل َ َمانَةَ َعلَى ال َّس َما َوا
إِنَّهُ َكانَ ظَلُو ًما َجهُواًل
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan
Amatbodoh”1( QS. al-Aḥza>b ayat 72).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya “ Tafsīr al-Qur’an al-Aẓīm” menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan amanat pada ayat diatas adalah ketaatan dan
penghambaan atau ketekunan beribadah. Ada juga yang memaknai kata
amanah sebagai pembebanan, karena orang yang tidak sanggup
memenuhinya berarti membuat utang atas dirinya, adapun orang yang
melaksanakannya akan memperolehkemuliaan. Di antara amanat Allah yang
dibebankan oleh manusia ialah agar memakmurkan kehidupan di bumi
sebagaimana dalam QS. Hu>d ayat 61.
ٰ
ِ ْال يَا قَوْ ِم ا ْعبُدُوا هَّللا َ َما لَ ُك ْم ِم ْن إِلَ ٍه َغ ْي ُرهُ ۖ هُ َو أَ ْن َشأ َ ُك ْم ِمنَ اأْل َر
ض َ َوإِلَ ٰى ثَ ُمو َد أَخَاهُ ْم
َ َصالِحًا ۚ ق
ٌَوا ْستَ ْع َم َر ُك ْم فِيهَا فَا ْستَ ْغفِرُوهُ ثُ َّم تُوبُوا إِلَ ْي ِه ۚ إِ َّن َربِّي قَ ِريبٌ ُم ِجيب
Artinya: “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh.
Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada
bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah)
dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya,
kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat
(rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)". (QS. Hu>d ayat
1
Yayasan Penyelenggara Peterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, al-Qur’an dan Terjemahnya,
(Departemen Agama 1999), hlm. 945.
2
61).
Karena kemuliaan manusia sebagai pengemban amanat Allah, maka
manusia diberi kedudukan sebagai manajer bumi (Khalīfah) sebagaimana
dalam QS. al-Baqarah ayat 30:
اء ُ ض َخلِي َفةً قَالُوا أَتَ ْج َع ُل فِ َيها َم ْن ُي ْف ِس ُد فِ َيها َويَ ْس ِف ِ ك لِلْماَل ئِ َك ِة إِنِّي ج
ِ اع ٌل فِي اأْل َْر َ ََوإِ ْذ ق
َ ِّم
َ ك الد َ َ َ ُّال َرب
ال إِنِّي أَ ْعلَ ُم َما اَل َت ْعلَ ُمو َن
َ ََك ق
َ ِّس ل ِ ِ
ُ َونَ ْح ُن نُ َسبِّ ُح ب َح ْمد َك َو ُن َقد
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi'.
Mereka berkata: 'Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau? (QS. Al-Baqarah: 30)
Sebagai manajer bumi, manusia wajib melaksanakan hidup dan
kehidupan sesuai dengan garis-garis yang telah ditetapkan Allah, tidak boleh
menyalahinya.Manusia tidak mempunyai otonomi penuh dalam mengatur
kehidupan di dunia. Aturan Allah wajib ditaati, begitu pula aturan
Rasulullah Muhammad saw, dan aturan penguasa atau Ūli al-Amri wajib
ditaati sepanjang tidak bertentangan dengan aturan Allah dan Rasul-Nya
sebagaimana firman Allah dalam QS. an-Nisā‟ ayat 59.
ٍ ِ ِ َ الرس ِ ِ
ُول َوأُولي اأْل َْم ِر م ْن ُك ْم فَِإ ْن َتنَ َاز ْعتُ ْم فِي َش ْيء َف ُردُّوه ُ َّ آمنُوا أَطيعُوا اللَّهَ َوأَطيعُوا
َ ين
ِ َّ
َ يَا أ َُّي َها الذ
ِ
َح َس ُن تَأْ ِوياًل َ ِول إِ ْن ُك ْنتُ ْم ُت ْؤِمنُو َن بِاللَّ ِه َوالَْي ْوم اآْل ِخ ِر َذل
ْ ك َخ ْي ٌر َوأ َّ إِلَى اللَّ ِه َو
ِ الر ُس
2
Yayasan Penyelenggara Peterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, hlm.177.
3
8
Mujar Ibnu Syarif, hlm.108.
5
9
Mari Silvita, “Presiden Non Muslim dalam Komunitas Masyarakat Muslim, Islamica, Vol 7, No
1, (September, 2012) hlm:45.
10
Mari Silvita, “Presiden Non Muslim.... hlm: 46.
11
Penolakan Camat Katholik di Yogyakarta Kuatkan Predikat “Yogyakarta yang Paradoks”, dalam
http:/www.bbc.com/Indonesia(16 Maret 2017)
6
12
Pdt, Achmad Welson, Solusi Mengatasi Konflik Islam-Kristen, (Yogyakarta: Borobudur
Publishing, 2017) hlm 13.
7
15
http://bio.or.id/biografi-quraish-shihab diunduh pada tanggal 14 juni 2021 jam 10:35
9
Misbah).
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini dapat
dirumuskan pada masalah sebagai berikut :
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Jenis Penelitian
Jenis dalam penelitian ini adalah Library Research.Yaitu
penelitian yang menggunakan data-data kepustakaan sebagai data
penelitiannya, seperti buku, jurnal, artikel, ensiklopedia, dan data-data
16
AS. Hornby, The Advanced Learner's Dictionary of Current English (London: Oxford
Univercity Press, 1973), 195.
17
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. IX. (Jakarta:
Balai Pustaka, 1997), 519.
11
BAB II
KONSEP KAJIAN/PEMIKIRAN
A. Kepemimpinan
1. Pengertian Pemimpin
ِّس ِاء
َ ال َق َّو ُامو َن َعلَى الن
ُ الر َج
ِّ
وه ْم َوقُولُوا ل َُه ْم ِ ُ ُالس َفهاء أَموالَ ُكم الَّتِي جعل اللَّهُ لَ ُكم قِياما وار ُزق
ُ سُ وه ْم ف َيها َوا ْك ْ َ ًَ ْ َ ََ ُ َ ْ َ َ ُّ َواَل ُت ْؤتُوا
َق ْواًل َم ْع ُروفًا
Nisa’ : 5).
Ayat ini menjelaskan bahwa seorang anak yang belum dewasa
tidak boleh dibai‟at dan juga tidak boleh membai’at orang lain sebagai
kepala negara.
Keempat, harus adil. Syarat ini antara lain dapat ditemukan dalam
firman Allah berikut:
ِ ُّ ت الْ َق ِو
ين
ُ ي اأْل َم َ ْج ْر ْ إِ َّن َخ ْي َر َم ِن
َ استَأ
ص ُرو ُك ْم فِي ِ ِ اجروا ما لَ ُكم ِمن واَل يتِ ِهم ِمن َشي ٍء حتَّى ي َه
ِ ِ َّ
ْ اج ُروا َوإِن
َ اسَت ْن ُ َ ْ ْ ْ َ َ ْ ْ َ ُ َم ُي َه ْ آمنُوا َول
َ ين
َ َوالذ
18
ِ َّصر إِاَّل َعلَى َقوٍم ب ْينَ ُكم وب ْيَن ُهم ِميثَا ٌق واللَّهُ بِما َت ْعملُو َن ب
ص ٌير َ َ َ َ ْ ََ ْ َ ْ ُ ْ الدِّي ِن َف َعلَْي ُك ُم الن
Al-Mawardi menyebut dua hak imam, yaitu hak untuk ditaati dan
hak untuk dibantu. Akan tetapi, apabila kita pelajari sejarah, ternyata ada
hak lain bagi imam, yaitu hak untuk mendapat imbalan dari harta baitul
mal untuk keperluan hidupnya dan keluarga secara patut, sesuai dengan
kedudukannya sebagaiimam.
Hak yang ketiga ini pada masa Abu Bakar., diceritakan bahwa
enam bulan setelah diangkat menjadi khalifah, Abu Bakar masih pergi
kepasar untuk berdagang dan hasil dagangannya itulah beliau memberi
nafkah keluarganya.Kemudian para sahabat bermusyawarah, karena
tidak mungkin seorang khalīfah dengan tugas yang banyak dan berat
masih harus berdagang untuk memenuhi nafkah keluarganya.Maka
akhirnya diberi gaji 6.000 dirham setahun, dan menurut riwayat lain
digaji 2.000 sampai 2.500 dirham.26
ول َوأُولِي اأْل َْم ِر ِم ْن ُك ْم فَِإ ْن َتنَ َاز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء
َ الر ُس ِ َطيعوا اللَّه وأ
َّ َطيعُوا ََ
ِ
ُ آمنُوا أ
َ ين
ِ َّ
َ يَا أ َُّي َها الذ
ِ
َح َس ُن تَأْ ِوياًل َ ِول إِ ْن ُك ْنتُ ْم ُت ْؤِمنُو َن بِاللَّ ِه َوالَْي ْوم اآْل ِخ ِر َذل
ْ ك َخ ْي ٌر َوأ َّ َف ُردُّوهُ إِلَى اللَّ ِه َو
ِ الر ُس
26
Djazuli, Fiqh Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah,
(Jakarta, Kencana, 2009) hlm. 60.
19
ِ الصابِئِين والنَّصارى والْمجوس والَّ ِذين أَ ْشر ُكوا إِ َّن اللَّهَ ي ْف ِ َّ ِ َّ
ص ُل َ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ َ َ َّ ادوا َو ُ ين َه
َ آمنُوا َوالذ َ إِ َّن الذ
َ ين
َب ْيَن ُه ْم َي ْو َم ال ِْقيَ َام ِة إِ َّن اللَّهَ َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء َش ِهي ٌد
29
Khamani Zada dan Arief Arofah, Diskurus Politik Islam, (Jakarta, LSIP, 2004), hlm. 10
30
Muhammad ibn Abi> Bakr Ayyu>b al-Zar’iy Abu> Abdilla>h, Ahka>m Ahl al-Dzimmah,
(Beirut: Da>r Ibn Hazm,1997), hlm. 161
24
Dalam Islam, hak asasi pertama dan utama warga negara adalah
melindungi nyawa, harta dan martabat mereka, bersama-sama dengan
jaminan bahwa hak ini tidak akan dicampuri, kecuali dengan alasan-
alasan yang sah dan legal.31
Hak lain yang juga sangat ditekankan dalam Islam adalah jaminan
pemenuhan kebutuhan pokok bagi semua warga negara tanpa
membedakan kasta atau keyakinan. Dalam suatu negara Islam, pintu-
pintu industri, pertanian, perdagangan dan semua profesi lainnya terbuka
bagi setiap warga negara, dan kaum Muslimin tidak memiliki hak
istimewa tertentu atas kaum non-Muslim. Dalam kaitan ini, juga tidak
akan ada seorang non-Muslim pun yang dapat dihambat, karena
harusmemberi prioritas kepada Muslim. Setiap warga negara, Muslim
maupun non- Muslim, menikmati hak yang sama disektor
perekonomian.34
C. Biografi M. Quraish Shihab
1. Riwayat Hidup
Quraish Shihab lahir di Rappang (sekitar 180 km sebelah utara
kota Ujung Pandang-Sulawesi) pada tanggal 16 Februari
1944.35Meskipun keturunan Arab, kakek dan buyutnya lahir di
Madura.Ayahnya, Abdurrahman Shihab, adalah guru besar bidang tafsir
sekaligus saudagar. Ibunya, Asma, cucu raja Bugis. Tak heran bila
Quraish Shihab dan saudara-saudaranya dipanggil Puang (tuan) atau
Andi oleh masyarakat setempat. Mereka juga mendapat perlakuan
khusus dalam upacara-upacara adat.Sejak kecil, Quraish Shihab dididik
34
Abul A’la Al-Maududi, hlm. 322.
35
Alimin Mesra, Tafsir al-Mishbāh Pesan Kesandan Keserasian al-Qur’ān, (Program Pasca
Sarjana S3 IAIN Syarif Hidayatullah, 2001), hlm: 2.
26
36
Majalah Femina (Serial Femina),bagian 2. No. 15/XXIL-18-24 April 1996.
37
M. QuraishShihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsidan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Manusia, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 6.
27
38
Islah Gusmian, Khasanah Tafsir Indonesia, ( Yogyakarta: Teraju, 2003), hlm. 18.
28
45
Abdul Hayy al-Farmawi, MetodeTafsirMaudhu’I, hlm.71-72.
33
itu dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam
kegelapan dan mencari petunjuk yang dapat dijadikan pegangan hidup.
al-Qur’an itu adalah petunjuk, tapi karenaal-Qur’an disampaikan
dengan bahasa Arab, sehingga ban5yak orang kesulitan memahaminya,
disinilah manfaat tafsīr al-misbāh diharapkan. yaitu dapat membantu
mereka yang kesulitan memahami wahyu Allah tersebut. Kedua,
pemilihan nama ini didasarkan pada awal kegiatan M. Quraish Shihab
dalam hal tulis-menulis di jakarta. Sebelum beliau bermukim di Jakarta
pun, memang sudah aktif menulis, tetapi produksinya sebagai penulis
belum membumi, setelah bermukim di jakarta Pada tahun 1980-an,
beliau menulis rubrik “Pelita Hati” pada harian pelita pada 1994.
Kumpulan tulisanya diterbitkan oleh Mizan dengan judul Lentera Hati.
Lentera merupakan persamaan dari pelita yang arti dan fungsinya sama.
Dalam bahasa arab, lentera, pelita atau lampu disebut misbah, dan kata
inilah yang kemudian dipakai oleh M.Quraish shihab untuk dijadikan
nama karyanya itu.Penerbitanya pun menggunakan nama yang serupa
yaitu LenteraHati.
Latar belakang penulitas Tafsir al-Misbah ini diawali oleh
penafsiran sebelumnya yang berjudul “ Tafsir al-Qur’an al-Karim” pada
tahun 1997 yang dianggap kurang menarik minat orang banyak. Jadi
yang melatarbelakangi lahirnyaTafsīral-
Misbāhiniadalah,karenaantusiasmasyarakatterhadapal-Qur’an sangat
baik, terutamadalam hal cara membaca dan melagukannya. Namun, di
sisi lain dari segi pemahaman terhadap al-Qur’an masih jauh dari
memadai, yang disebabkan oleh faktor bahasa dan ilmu yang kurang
memadai, sehingga tidak jarang orang-orang yang membaca ayat-ayat
tertentu untuk mengusir hal-hal yang gaib, seperti jin dan setan, serta
lain sebagainya. Padahal semestinya ayat-ayat itu harus dijadikan
sebagai hudan (petunjuk) bagi manusia.
Terdapat beberapa metodologi dalam tafsir al-Misbah ini, di
antaranya adalah:
a. Metode Tafsir al-Misbah
34
46
Abdul Hary al-Farmawy, Metode Tafsir dan Cara Penerapanya, (Jakarta, PT. Raja Grafindo,
1996) hlm. 12.
47
M. Quraish Shihab, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Bandung, Mizan, 2013) hlm. 117.
35
al-Qur’an, banyak yang merujuk pada pemetaan yang dibuat oleh Abd
al-Hayy al-Farmawy, seperti yang termuat dalam bukunya al-Bidāyah
fi Tafsīr al- Maudhu’i. Dalam bukunya itu, al-Farmawi memetakan
metode tafsir menjadi empat macam, yaitu metode tahlili, ijmali,
muqarin, dan metode maudhu’i.
Metode tahlili atau yang menurut Muhammad Baqir Sadr sebagai
metode tajzi’i. Adalah suatu metode panafsiran yang berusaha
menjelaskan al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan
menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al-Qur’an . Dimana seorang
mufasir menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan tertib susunan al-Qur’an
mushhafUtsmani. Ia menafsirkan ayat demi ayat kemudian surah demi
surah dari awal surah al-Fatihah sampai akhir surah al-Nas.48
Menurut al-Farmawi, metode tafsir tahlili ini mencakup tujuh
macam corak tafsir, yaitu.Pertama,Tafsirbi-alMa’tsur. Kedua, Tafsirbi
al- Ra’y. Ketiga, Tafsir Sufi. Keempat, Tafsir Fiqhi, yaitu corak
penafsiran al-Qur’an yang menitik beratkan bahasanya pada aspek
hukum dari al-Qur’an . Corak tafsir jenis ini muncul bersamaan dengan
munculnya tafsirbil al-Ma’tsūr, dan keberadaannya pun sudah ada sejak
zaman Nabi Muhammad saw. Kelima, Tafsir Falsafi, yaitu menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan- pendekatan filosofis, baik
yang berusaha untuk mengadakan sintesis dan singkretisasi antara teori-
teori filsafat dengan ayat-ayat al-Qur’an , maupun berusaha menolak
teori-teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat- ayat al-
Qur’an 49. Corak tafsir ini muncul sebagai akibat dari kemajuan dalam
ilmu pengetahuan dan kebudayaan, dan adanya gerakan penerjemahan
buku- buku asing ke dalam bahasa Arab pada masa Khalifah
Abbasiyyah, di mana buku-buku yang diterjemahkan tersebut
kebanyakan adalah buku-buku filsafat, seperti karya Aristoteles dan
juga Plato. Keenam,Tafsir Ilmiy, yaitu penafsiran yang menggali
kandungan al-Qur’an berdasarkan teori ilmu pengetahuan. Ketujuh,
48
Mohammad Nor Ichwan, Prof. M. Quraish Shihab; Membincang Persoalan Gender,
(Semarang, Rasail, 2013) hlm. 52.
49
Hariffudin Cawidu, Metode dan Aliran Dalam Tafsir, Pesantren No. I/Vol. VIII/1991, hlm. 9.
36
50
Mohammad Nor Ichwan, hlm. 54.
51
Ibid., hlm. 58.
52
Abdul Hary l-Farmawi, Metode Tafsir dan Cara Penerapanya, hlm. 27-28.
37
53
Mohammad Nor Ichwan, hlm. 61.
38
54
M. Quraish Shihab,Tafsir Al-Misbah,Vol. I.... hlm.XVIII.
39
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN/KAJIAN
A. Ayat-ayat al-Qur’an tentang Pemimpin Non Muslim
Ada beberapa ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan pegangan oleh para
Mufassir sebagian anutan umat Muslim untuk tidak menghendaki pimpin
non- Muslim, terutama terkait dengan urusan-urusan publik. Ayat-ayat Al-
Qur’an tersebut yaitu: QS.ali-Imran ayat 28, QS. an-Nisa’ ayat 89, 139, 144,
QS.al-Ma’idah ayat 51, 57, QS. at-Taubah ayat 23, QS. al-Mumtahanah ayat
1. Semua ayat tersebut, meski dengan redaksi yang berbeda-beda, namun
sama-sama menekankan larangan bagi kaum Muslimin untuk tidak memilih
non-Muslim sebagai pemimpin, baik menjadi pemimpin negara atau
pemimpin komunitas Islam.
Dalam pembahasan ini akan penulis paparkan data-data yang
dihasilkan dari penelitian terhadap penafsiran Quraish Shihab dan Sayyid
Quthb yang ada dalam kitab tafsirnya. Seperti biasa beliau mengawalinya
dengan kajian analisis kata-kata kunci. Dalam hal kepemimpinan non-
Muslim ini, salah satu kata kunci yang dianalisis adalah kata auliya’:
1. Larangan mengangkat orang kafir sebagai pemimpin dengan meningalkan
orang mukmin kecuali bersiasat.
ك َفلَْيس ِم َن اللَّ ِه فِي َشي ٍء إِاَّل
َ ِين َو َم ْن َي ْف َع ْل ذَلِِ ِ ِ َّخ ِذ الْم ْؤِمنو َن الْ َكافِ ِرين أَولِي
َ اء م ْن ُدون ال ُْم ْؤمن
ََْ َ ُ ُ ِ اَل َيت
ْ َ
ِ أَ ْن َتَّت ُقوا ِم ْن ُهم ُت َقاةً ويح ِّذر ُكم اللَّهُ َن ْفسهُ وإِلَى اللَّ ِه الْم
صير َ َ َ ُ ُ ََُ ْ
Artinya: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang
kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.barang
siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali
karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan
Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada
Allah kembali mu”. (Q.S. ali- Imran. 28).
2. Larangan mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin.
ٍ ض ُه ْم أ َْولِيَاءُ َب ْع
ض َو َم ْن َيَت َولَّ ُه ْم ِم ْن ُك ْم ُ اء َب ْع ِ
َ ََّص َارى أ َْولي
َ ود َوالن
ِ يا أ َُّيها الَّ ِذين آمنُوا اَل َتت
َ َّخ ُذوا الَْي ُه َ َ َ َ
ِِ ِ ِ
َ فَِإنَّهُ م ْن ُه ْم إِ َّن اللَّهَ اَل َي ْهدي الْ َق ْو َم الظَّالم
ين
55
M. Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an; Kisah Dan Hikmah Kehidupan, (Bandung, PT. Mizan
Pustaka, 2013) hlm 315.
56
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an jilid 2; Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan,
(Tangerang: Lentera Hati, 2006) hlm. 686.
42
ين ِِ
َ لَنَا َعابد
Artinya: “dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-
pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami
wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan shalat
dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah”
(QS al-Anbiya>’: 73)
Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
a. Kesabaran dan ketabahan,“kami jadikan mereka pemimpin-
pemimpin ketika mereka tabah atausabar”.
b. Mengantar masyarakatnya ketujuan yang sesuai dengan
petunjukTuhan “Yahduna bi amrina”.
c. Telah membudaya pada diri mereka kebajikan “Wa auḥaina>
ilaihim fi>’la al-khaira>t”
d. Beribadah“A<bidi>n”.
e. Penuhkeyaqinan“Yu>qinu>n”.
Dari kelima sifat tersebut, al-shabr (ketekunan dan ketabahan)
dijadikan Allah sebagai konsiderans pengangkatan, sebagaimana firman-
Nya, “kami jadikan mereka pemimpinketika mereka tabah atau sabar”, ,
untuk menegaskan inilah sifat yang amat pokok bagi seorang pemimpin.
Sedangkan sifat-sifat lainnya menggambarkan sifat mental yang melekat
pada diri mereka”.57
57
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama Al-Qur’an, (Bandung, PT. Mizan
Pustaka, cet. II, 2007) hlm. 69
43
58
Ibid., hlm. 76.
59
M. Quraish Shihab, Lentera, hlm. 313.
60
M. Quraish Shihab, Secercah, hlm. 65.
44
61
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, hlm. 72.
45
Artinya: “...kami telah kafir kepada kamu dan telah jelas antara
kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya...”
(QS al-Mumtahanah: 4).62
Sedangkan apabila dilihat dari segi sikap mereka terhadap kaum
Muslimin, M. Qurashs hihab menukil dari M. Sayyid Thanthawi dalam
tafsirnya, membagi mereka menjadi tiga kelompok.Pertama, mereka
yang tinggal bersama kaum Muslimin, dan hidup damai bersama
mereka, tidak melakukan kegiatan untuk kepentingan lawan Islam serta
tidak juga tampak dari mereka tanda-tanda yang mengantar kepada
prasangka buruk terhadap mereka. Kelompok ini mempunyai hak dan
kewajiban sosial yang sama dengan kaum Muslimin. Tidak ada larangan
untuk bersahabat dan berbuat baik kepada mereka. Kedua, kelompok
yang memerangi atau merugikan kaum Muslimin dengan berbagai cara.
Terhadap mereka tidak boleh dijalin hubungan harmonis, tidak boleh
juga didekati.Merekalah yang dimaksud oleh ayat larangan menjadikan
mereka sebagai waliy. Yang ketiga, kelompok yang tidak secara terang-
terangan memenuhi kaum Muslimin, tetapi ditemukan pada mereka
sekian indikator yang menunjukkan bahwa mereka tidak bersimpati
kepada kaum Muslimin tetapi mereka bersimpati kepada musuh-musuh
Islam.Terhadap mereka Allah memerintahkan kaum beriman agar
bersikap hati-hati tanpa memusuhi mereka.63
C. Penafsiran Non Muslim menurut M. Quraish Shihab
Agar mendapatkan sebuah pemahaman M. Quraish Shihab tentang
bagaimana sikap Muslim mengangkat non-Muslim dalam pemerintahan.
Penulis akan menganalisis ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas tentang
interaksi Muslim dan non-Muslim, yang ditafsirkannya.
Landasan normatif yang sering dijadikan sebagai titik tolak ketika
membicarakan persoalan ini adalah QS. al-Ma’idah ayat 57:
62
Ibid, hlm. 118.
63
Ibid, hlm. 154
46
64
Sukron Kamil, (ed), Syariah Islam dan Ham Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil,
Hak-Hak Perempuan, dan Non-Muslim, (Jakarta: (CRSC), 2007), hlm. 79.
47
kepada kita untuk melihat pada ayat-ayat lainnya berkenaan dengan sikap
buruk mereka yang di kecam oleh al-Qur’an.
Beberapa sifat buruk orang-orang non-Muslim yang dijelaskan oleh al-
Qur’an diantaranya adalah orang-orang Ahlal-Kitab selalu berupaya untuk
mengalihkan umat Islam dari agamanya, atau paling tidak menanamkan
benih- benih keraguan seperti QS al-Baqarah ayat 109.
يمانِ ُك ْم ُك َّف ًارا َح َس ًدا ِم ْن ِع ْن ِد أَْن ُف ِس ِه ْم ِم ْن َب ْع ِد َما ِ ِ
َ ِاب ل َْو َي ُردُّونَ ُك ْم م ْن َب ْعد إ
ِ و َّد َكثِير ِمن أ َْه ِل ال
ِ َْكت ْ ٌ َ
اص َف ُحوا َحتَّى يَأْتِ َي اللَّهُ بِأ َْم ِر ِه إِ َّن اللَّهَ َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِد ٌير
ْ ْح ُّق فَا ْع ُفوا َو
َ َتَبيَّ َن ل َُه ُم ال
Artinya: “Banyak di antara Ahli Kitab menginginkan sekiranya
mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir
kembali, karena rasa dengki dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas
bagi mereka. Maka maafkanlah dan berlapangdadalah, sampai Allah
memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
(QS. al-Baqarah: 109)
Dalam Tafsirnya, M. Quraish Shihab menyatakan, ayat ini
memperingatkan umat Islam bahwa banyak di antara Ahl al-Kitab, yakni
orang Yahudi dan Nasrani, menginginkan dari lubuk hati mereka disertai
dengan upaya nyata seandainya mereka dapat mengembalikan kamu semua
setelah keimanan kamu kepada Allah dan Rasul-Nya kepada kekafiran, baik
dalam bentuk tidak mempercayai tauhid dan rukun-rukun iman maupun
kekufuran yang bersifat kedurhakaan serta pelanggaran pengamalan
Agama.65
Mereka memperolok-olok Agama Islam dan Menghina
kesuciannya.Salah satu pelecehan atau olok-olokan mereka adalah adzan
yang dilakukan orang Islam. Diriwayatkan bahwa sementara orang kāfir
Yahudi dan Nasrani ketika mendengar adzan, mereka datang kepada Rasul
saw. Dan berkata: “engkau telah membuat satu tradisi baru yang tidak
dikenal oleh para Nabi sebelummu. Seandainya engkau Nabi, tentu engkau
tidak melakukan itu, dan seandainya apa yang engkau lakukan ini baik,
tentu para nabi terdahulu telah melakukannya. Alangkah buruk suara
panggilanunta (kafilah) ini”.66
65
M. Quraish Shihab,Tafsir Al-Misbah, Vol. I...hlm. 350.
66
Ibid, Vol. III, hlm. 169.
48
67
Ibid, Vol. V, hlm. 171.
68
Harifuddin Cawidu, hlm. 33.
69
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol V, hlm. 27.
49
َ ان ُي ْن ِف ُق َك ْي
ُف يَ َشاء
ِ َت أَي ِدي ِهم ول ُِعنُوا بِما قَالُوا بل ي َداهُ م ْبسوطَت
ُ َ َ َْ َ
ِ
َ ْ ْ ْ َّود يَ ُد اللَّه َم ْغلُولَةٌ غُل
ِ وقَال
ُ َت الَْي ُه َ
Artinya: “ dan orang-orang Yahudi berkata; tangan Allah
terbelenggu. Sebenarnya tangan merekalah yang terbelenggu dan
merekalah yng dilaknat disebabkan apa yang mereka katakan, padahal
kedua tangan Allah terbuka, Dia memberi rezeki sebagaimana Dia
kehendaki... (QS. al-Ma>’idah: 64).
Ayat tersebut memiliki arti tekstual sebagai kecaman terhadap
golongan Yahudi karena ucapan yang mereka lontarkan. Pada ayat-ayat
yang tersebar di dalam al-Qur’an, ada juga yang mencantumkan sifat
netralitas yang dimiliki sebagian dari mereka. Maka dengan begitu, tidak
semua non-Muslim mempunyai ciri-ciri yang telah dikecam oleh al-
70
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab, hlm. 320.
50
Qur’an .diantara mereka ada yang bersifat netral dengan Muslim, bahkan
ada diantara mereka yang di puji oleh al-Qur’an , karena telah membantu
umat Muslim.
Disebabkan oleh sifat-sifat atau ciri-ciri inilah muncul kecaman itu.
Karenanya, kecaman itu tidak berlaku bagi yang mereka tidak memiliki sifat
dan ciri demikian, meski berasal dari keturunan Ishaq (Yahudi). Sebaliknya,
siapapun yang memilikii sifat-sifat demikian baik dari keturunan Ishaq
maupun keturunan Nabi lain, entah menganut ajaran Yudisme maupun Islam
semuanya wajar untuk dikecam.71
Artinya, non-Muslim yang mempunyai sifat buruk, yang dikecam oleh
al-Qur’an ini, dilarang untuk mengangkatnya menjadi suatu pejabat negara.
Sebaliknya, non-Muslim yang tidak bersifat buruk yang dikecam al-Qur’an
ini, dibolehkan mengangkatnya menjadi salah satu pejabat Negara.
Bukankah kepemimpinan adalah sebuah kemampuan dan kesiapan yang
dimiliki oleh seseorang untuk dapat memelihara, mengawasi dan melindungi
orang-orang yang dipimpinnya.Karena kepemimpinan adalah amanah yang
harus diserahkan oleh orang-orang yang sanggup mengembannya. Salah satu
arti amanat menurut Rasulullah adalah kemampuan atau keadilan dalam
jabatan yang akan dipangku, Nabi juga bersabda:“apabila amanat disia-
siakan, maka natinkanlah kehancuran”. Ketika ditanya: “bagaimana
menyia-nyiakannya?” Beliau menjawab: “apabila wewenang pengelolaan
diserahkan kepada yang tidak mampu. Sebagaimana yang di kutip oleh M.
Quraish Shihab.72Maka tidak salah bila Nabi menolak Abu Dzar ketika
meminta suatu jabatan, karena Nabi tahu abu Dzar orang yang lemah untuk
memegang suatujabatan.
Menurut M. Quraish Shihab. al-Qur’an memberi petunjuk secara
tersurat atau tersirat. Dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia,
termasuk upaya menjawab “siapakah yang layak kita pilih” dari celah ayat-
ayat al-Qur’an ditemukan paling sedikit dua sifat pokok yang harus
disandang oleh seorang yang memikul suatu jabatan yang berkaitan dengan
hak-hak masyarakat. Kedua hal itu hendaknya diperhatikan dalam
71
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab... hlm. 319.
72
Ibid, hlm. 314.
51
73
Ahmad Ibrahim, Abu Sinn, Ahmad Ibrahim, Manajemen Syariah Sebuah Kajian Historis dan
Kontemporer, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2006) hlm. 63.
52
74
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol V, hlm. 151.
75
Harfuddin Cawidu, hlm. 211.
53
قُ ْل يَا أ َُّي َها الْ َكافِ ُرو َن اَل أَ ْعبُ ُد َما َت ْعبُ ُدو َن َواَل أَْنتُ ْم َعابِ ُدو َن َما أَ ْعبُ ُد َواَل أَنَا َعابِ ٌد َما َعبَ ْدتُ ْم َواَل
76
Ibid, hlm. 212.
77
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab, hlm. 333.
54
BAB IV
TEMUAN DAN PEMBAHASAN KAJIAN/PEMIKIRAN
A. Penafsiran Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Pemimpin non-Muslim dalam
Tafsīr al-Miṣbah menurut Quraish Shihab
Kata auliya’ yang merupakan jamak dari kata waliy yang makna
dasarnya “dekat”.auliya’ adalah bentuk plural dari waliy yang erat dengan
konsep wala‟ atau muwalah yang mengandung dua arti pertama,
pertemanan dan aliansi, kedua proteksi atau patronase (dalam kerangka
relasi patron klien). Kata waliy berarti pemerintah, putra mahkota, dan orang
darmawan.78Namun juga berarti shiddiq (teman) dan al-nashir
(penolong).79Hal ini sesuai dengan buku Ensiklopedi Islam, kata waliy
berarti penolong, dan yang mencintai.80Dapat juga bermakna (friends)
teman, (protector) pelindung.81Berawal dari pemahaman ini, berkembang
makna di antara salah satunya “pemimpin”.82Semua maknanya diikat dengan
kedekatan oleh karena itu, sebagai pemimpin seharusnya dekat dengan yang
dipimpinya.Demikian dekatnya sehingga yang dipimpinnya menunjukkan
loyalitas dan cinta untuk tunduk, patuh dan membantunya.Hal semacam ini
menjadi larangan mengambil pemimpin non-Muslim dijadikan auliyā‟
karena di dalamnya dibangkitkan rasa loyalitas dan kasih syang antara
pemimpin dengan yang dipimpinnya.Dalam pembahasan ini terjadi
perdebatan di kalangan ulama, berkaitan dengan keterlibatan non-Muslim
dalam pemerintahan. Permasalahan ini muncul baik ketika menafsirkan kata
minkum (dari golongan kamu orang-orang Mukmin) pada surah ali-ma‟idah
ayat 51 yang berbicara tentang auliya’ maaupun dalam ayat lain yang secara
tekstual melarang mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai
auiyā‟ (yang biasa diterjemahkan pemimpin-pemimpin).83
78
M. Napis Djuned, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia: Istilah politik-ekonomi, (Jakarta:
Teraju, 2006), hlm. 833
79
Ibn Mans}u>r, Lisa>n al-Arab, Juz 8, (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), hlm. 826
80
Bisri M. Djaelani, Ensklopedi Islam, (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), hlm. 472
81
Abdul Yusuf Ali. The Meaning of The Holy Qur’an. (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007),
hlm. 83
82
Adib Bisri dan Munawwir Af, kamus al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hlm. 787
83
M. Quraish shihab, Wawancara al-Qur’an: Tafsir Maudhui atas Berbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), hlm. 429
55
84
M. Quraish shihab, Wawancara al-Qur’an: Tafsir Maudhui atas Berbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), hlm. 430
85
Ibid, hlm. 431
56
86
M. Quraish shihab, Wawancara al-Qur’an: Tafsir Maudhui atas Berbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), hlm. 54
57
87
Ibid,hlm .545
88
Ibid, hlm.629
89
Ibid, hlm.621
90
M. Quraish Shihab, Wawancara al-Qur’an... hlm. 123-124
58
91
Ibid, hlm.125
92
M. Quraish shihab, wawancara al-Qur’an: ... hlm. 125
93
Ibid,hlm.133
59
Kelompok minoritas non- Muslim memiliki hak yang sama dengan umat
Islam. Prinsip-prinsip yang diajarkan Islam seperti keadilan dan persamaan
berlaku bagi seluruh warga negara, baik Muslim maupun bukan. Bagi al-
Ghanaushi>, diskriminasi terhadap kalangan non-Muslimin dan perlakuan
yang menganggap mereka sebagai warga negara kelas dua adalah tindakan
melanggar ajaran agama dan merusak citra Islam.96 Sebagaimana M.
Quraish, Shihab menurut beliau, Al-Qur’an menegaskan bahwa kita disuruh
bekerja sama dalam kebaikan. bekerja sama dengan non-Muslim dalam
bidang sosial tidaklah dilarang selama tidak menyangkut kegiatan agama
yang bersifat ritual dari seorang pemimpin.97
M. Quraish Shihab memberi contoh bahwa kemudahan yang diajarkan
al-Qur’an inilah yang dipraktikkan oleh Umar bin Khathab dengan
menyerahkan tugas perkantoran kepada orang-orang Romawi (yang bukan
Muslim ketika itu). Kebijaksanaan serupa diambil oleh khalifah sesudahnya
(Uthma>n dan ‘Ali> ra.).demikian juga yang diterapkan oleh Dinasti
Abbasiyah dan penguasa-penguasa Muslim sesudah mereka. Yakni
menyerahkan tugas negara kepada orang Yahudi, Nasrani, dan
Buddha.Kerajaan Usmaniyah pun demikian, bahkan duta-duta besar dan
perwakilan-perwakilannya diluar Negri kebanyakan dipegang oleh orang
Nasrani.98 Dari kristiani misalnya terdapat Hunain bin Ishaq (kepala Bait al-
Hikmah), keluarga barmak berkali-kali dijadikan wazir (perdana menteri)
oleh para khalīfah Abbasiyah, dan banyak pula dari kaum Yahudi yang
memegang jabatan penting dalam persoalan ekonomi.
Secara teoritis, tampak sekali bahwa semangat Syari’ah Islam pada
awalnya adalah bersifat melindungi dan memberikan hak-hak non-Muslim,
seperti dalam piagam Madina.Namun, dalam praktiknya dibeberapa negara
Muslim dewasa ini, yang sering terjadi justru penyimpangan, yang
mengaburkan makna serta semangat yang dikandung syari’ah itu
sendiri.Dalam kapasitasnya sebagai non-Muslim, Ahldzimah seringkali
mendapat perlakuan yang tidak setara dengan komunitas Muslim.Kendati
96
Sukran Kamil, Chaidar S,Syariah Islam, hlm.73.
97
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab, hlm. 844.
98
Ibid, hlm. 845.
62
99
Badri Yatim, sejarah Peradapan Islam, (Jakarta, Rajawali Pers, 1997) hlm. 26.
100
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1975) hlm. 32-33.
63
101
Sukron Kamil, Chaidar S, Syariah Islam... hlm. 81.
64
secara de jure dan de facto bahwa kepala negara harus merupakan anggota
darimayoritas.102
Pandangan yang sama, bahkan lebih liberal dimunculkan mantan
presiden RI Ke-4, KH. Abdurrahman Wahid. Baginya non-Muslim adalah
warga negara yang memiliki hak-hak penuh, termasuk hak untuk menjadi
kepala negara di negara Islam.Ia tidak setuju penggunaan QS. Ali Imrān: 38
dijadikan sebagai alasan untuk menolak hak non-Muslim menjadi kepala
negara. alasannya karena kata yang terdapat dalam ayat itu adalah auliya’
yang berarti teman atau pelindung , bukan umara’ yang berarti penguasa.103
Hal senada diungkapkan oleh HarifuddinCawidu, mengutip pendapat ath-
Thabataba‟i dan Muhammad Asad, bahwa konsep wali dalam ayat ini lebih
dekat kepada prinsip-prinsip moral dan bukan prinsip-prinsip politik.
Maksudnya adalah seorang Muslim tidak layak untuk menjadikan non-
Muslim sebagai acuan moral dan prinsip hidup sebab Islam memiliki konsep
dan tradisi sendiri dalam soal moral dan nilai-nilai kehidupan.104Begitu juga
pandangan M. Quraish Shihab.Di Negara Indonesia, Negara Bangsa (nation
state), yang tidak mengambil syari‟ah Islam sebagai dasar negara.Memilih
pemimpin yang bukan Muslim tidak terlarang, selama membawa manfaat,
untuk semuaitu pun hendaknya memprioritaskan orang- orang yang
beriman.105Tetapi beliau tidak memberi perincian yang mendalam,
menyangkut kebolehan tersebut. Sampai jabatan apa yang memperbolehkan
non-Muslim menjabatnya. Mengakhiri tulisan ini ada baiknya mengutip
pendapat Ibn Taimiyah, (Allah mendukung pemerintahan Adil sekalipun
kāfir, dan tidak mendukung pemerintahan zalim sekalipun Muslim).106
102
Ibid, hlm.82.
103
Sukran Kamil, Islam dan demokrasi.. hlm. 71-72.
104
Harifuddin Cawidu, hlm. 211-212.
105
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah...hlm. 73.
106
Imam Ibn Taimiyah, Majmu>’ Fata>wa> Li Ibni Taimiyah, Jilid. XXVIII, t.th, h. 63.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan dari pemaparan dan penjelasan penulis,
tentang penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang membahas hubungan antara
Muslim dan non-Muslim dalam pemerintahan, menurut M. Quraish Shihab,
Serta kontekstualisasi pengangkatan non-Muslim menjadi salah satu pejabat
di Indonesia.
1. Menurut pemahaman M. Quraish Shihab, kaum Muslimin yang
ingin mengangkat non-Muslim menjadi pemimpinnya adalah sah-
sah saja atau diperbolehkan selama tidak menimbulkan kerugian.
kepemimpinan adalah sebuah kemampuan dan kesiapan yang
dimiliki oleh seseorang untuk dapat memelihara, mengawasi dan
melindungi orang-orang yang dipimpinnya. Karena kepemimpinan
adalah amanah yang harus diserahkan oleh orang-orang yang
sanggupmengembannya.
2. Menurut M. Quraish Shihab, al-Qur’an menegaskan bahwa kita
disuruh bekerja sama dengan non-Muslim, dalam bidang sosial
tidaklah dilarang selama tidak menyangkut kegiatan agama yang
bersifat ritual. M. Quraish Shihab memberikan contoh mengenai
hubungan bernegara yang dipraktikkan oleh para Khalifah pada
masa lalu, seperti salah satu contohnya adalah pada masa kerajaan
Utsmaniyyah, duta-duta besar dan perwakilan-perwakilanya di luar
negri kebanyakan dipegang oleh orang nasrani.
Negara Indonesia adalah negara bangsa (nation state), yang tidak
mengambil syari’ah Islam sebagai dasar Negara.Menurut M. Quraish Shihab
mengangkat pemimpin dari kalangan non-Muslim di negara Indonesia ini
diperbolehkan selama membawa manfaat, tetapi hendaknya lebih
memprioritaskan orang-orang yang beriman.
B. Saran
Sebagai catatan akhir dari penulisan skripsi ini, penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat serta menambah khasanah keilmuan
66
DAFTAR PUSTAKA