Anda di halaman 1dari 69

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai
pengemban tugas dan tanggung jawab. Tugas dan tanggung jawab itu
merupakan amanat ketuhanan yang sungguh besar dan berat. Oleh karena
itu, semua yang ada di langit dan di bumi menolak amanat yang sebelumnya
telah Allah tawarkan kepada mereka. Akan tetapi, manusia berani menerima
amanat tersebut, padahal ia memiliki potensi untuk mengingkarinya. Hal ini
sebagaimana firman Allah QS.al-Aḥza>b ayat 72.
ۖ ُ‫ض َو ْال ِجبَا ِل فَأَبَ ْينَ أَ ْن يَحْ ِم ْلنَهَا َوأَ ْشفَ ْقنَ ِم ْنهَا َو َح َملَهَا اإْل ِ ْن َسان‬
ِ ْ‫ت َواأْل َر‬
ِ ‫إِنَّا َع َرضْ نَا اأْل َ َمانَةَ َعلَى ال َّس َما َوا‬
‫إِنَّهُ َكانَ ظَلُو ًما َجهُواًل‬
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan
Amatbodoh”1( QS. al-Aḥza>b ayat 72).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya “ Tafsīr al-Qur’an al-Aẓīm” menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan amanat pada ayat diatas adalah ketaatan dan
penghambaan atau ketekunan beribadah. Ada juga yang memaknai kata
amanah sebagai pembebanan, karena orang yang tidak sanggup
memenuhinya berarti membuat utang atas dirinya, adapun orang yang
melaksanakannya akan memperolehkemuliaan. Di antara amanat Allah yang
dibebankan oleh manusia ialah agar memakmurkan kehidupan di bumi
sebagaimana dalam QS. Hu>d ayat 61.

ٰ
ِ ْ‫ال يَا قَوْ ِم ا ْعبُدُوا هَّللا َ َما لَ ُك ْم ِم ْن إِلَ ٍه َغ ْي ُرهُ ۖ هُ َو أَ ْن َشأ َ ُك ْم ِمنَ اأْل َر‬
‫ض‬ َ ‫َوإِلَ ٰى ثَ ُمو َد أَخَاهُ ْم‬
َ َ‫صالِحًا ۚ ق‬
ٌ‫َوا ْستَ ْع َم َر ُك ْم فِيهَا فَا ْستَ ْغفِرُوهُ ثُ َّم تُوبُوا إِلَ ْي ِه ۚ إِ َّن َربِّي قَ ِريبٌ ُم ِجيب‬
Artinya: “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh.
Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada
bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah)
dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya,
kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat
(rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)". (QS. Hu>d ayat

1
Yayasan Penyelenggara Peterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, al-Qur’an dan Terjemahnya,
(Departemen Agama 1999), hlm. 945.
2

61).
Karena kemuliaan manusia sebagai pengemban amanat Allah, maka
manusia diberi kedudukan sebagai manajer bumi (Khalīfah) sebagaimana
dalam QS. al-Baqarah ayat 30:
‫اء‬ ُ ‫ض َخلِي َفةً قَالُوا أَتَ ْج َع ُل فِ َيها َم ْن ُي ْف ِس ُد فِ َيها َويَ ْس ِف‬ ِ ‫ك لِلْماَل ئِ َك ِة إِنِّي ج‬
ِ ‫اع ٌل فِي اأْل َْر‬ َ َ‫َوإِ ْذ ق‬
َ ‫ِّم‬
َ ‫ك الد‬ َ َ َ ُّ‫ال َرب‬
‫ال إِنِّي أَ ْعلَ ُم َما اَل َت ْعلَ ُمو َن‬
َ َ‫َك ق‬
َ ‫ِّس ل‬ ِ ِ
ُ ‫َونَ ْح ُن نُ َسبِّ ُح ب َح ْمد َك َو ُن َقد‬
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi'.
Mereka berkata: 'Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau? (QS. Al-Baqarah: 30)
Sebagai manajer bumi, manusia wajib melaksanakan hidup dan
kehidupan sesuai dengan garis-garis yang telah ditetapkan Allah, tidak boleh
menyalahinya.Manusia tidak mempunyai otonomi penuh dalam mengatur
kehidupan di dunia. Aturan Allah wajib ditaati, begitu pula aturan
Rasulullah Muhammad saw, dan aturan penguasa atau Ūli al-Amri wajib
ditaati sepanjang tidak bertentangan dengan aturan Allah dan Rasul-Nya
sebagaimana firman Allah dalam QS. an-Nisā‟ ayat 59.
ٍ ِ ِ َ ‫الرس‬ ِ ِ
ُ‫ول َوأُولي اأْل َْم ِر م ْن ُك ْم فَِإ ْن َتنَ َاز ْعتُ ْم فِي َش ْيء َف ُردُّوه‬ ُ َّ ‫آمنُوا أَطيعُوا اللَّهَ َوأَطيعُوا‬
َ ‫ين‬
ِ َّ
َ ‫يَا أ َُّي َها الذ‬
ِ
‫َح َس ُن تَأْ ِوياًل‬ َ ِ‫ول إِ ْن ُك ْنتُ ْم ُت ْؤِمنُو َن بِاللَّ ِه َوالَْي ْوم اآْل ِخ ِر َذل‬
ْ ‫ك َخ ْي ٌر َوأ‬ َّ ‫إِلَى اللَّ ِه َو‬
ِ ‫الر ُس‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah


Rasul (Nya), dan ulilamri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.2( QS. an-Nisā‟ ayat 59).
Kekuasaan dalam pemerintahan negara dapat diberikan kepada negara-
negara dan dapat pula diberikan kepada individu-individu. 4Kekuasaan yang
diberikan kepada negara-negara berarti kekuasaan digunakan untuk
membebaskan manusia dari kezaliman, merdeka, berdaulat dan mampu
melindungi kepentingan-kepentingan umat serta menjunjung tinggi suara
hati nuraninya. Kekuasaan yang diberikan kepada individu-individu berupa

2
Yayasan Penyelenggara Peterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, hlm.177.
3

kekuasaan padapemimpin negara.3 Pengangkatan kepala negara yang akan


mengelola negara, memimpin rakyat, dan mengurus segala permasalahan
rakyatnya, menurut Mujar Ibnu Syarif yang mengutip dari Ibn Abi> Ra>bi‟,
sangat urgen dilakukan. Hal ini disebabkan tidak mungkin suatu negara
berdiri tanpa penguasa yang akan melindungi warga-warganya dari
gangguan dan bahaya, baik yang timbul diantara mereka sendiri maupun
yang datang dariluar.4
Keberadaan kepala negara itu diperlukan tidak hanya sekedar
menjamin keselamatan jiwa dan hak milik rakyat serta terpenuhinya
kebutuhan materi mereka saja, tetapi lebih dari itu, juga untuk menjamin
berlakunya segala perintah dan hukum Allah. Karena memandang
sedemikian urgenya eksistensi seorang kepala Negara5, Ibn Taimiyah
menyatakan:“Enam puluh tahun di bawah pemerintahan imam (kepala
negara) yang zalim ( tirani) lebih baik dari pada satu malam tanpa kepala
negara”.6
Keharusan adanya penguasa bagi umat Islam dikuatkan juga dengan
ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan kewajiban para penguasa. Allah
memerintahkan untuk menunaikan amanat kepada yang berhak dan jika
menetapkan hukum diantara umat manusia supaya menetapkan dengan cara
yang adil, hal ini menunjukkan karakter idealis yang dimiliki oleh Islam
sebagai petunjuk bagi manusia dalam semua spek kehidupan mereka. Di
dalam hadits Nabi terdapat penegasan tentang adanya kekuasaan merupakan
bagian dari ajaran-ajaran Islam. Contoh hadis tentang ima>mah, khil>afah,
atau ima>rah adalah sebagai berikut7: Rosulullah SAW bersabda yang
artinya: “jika tiga orang keluar untuk bepergian hendaklah mereka
menunjuk salah seorang diantara mereka sebagai amir (pemimpin)
mereka” (HR. Abu Daud).
3
Abdul Qadir Audah, al-Māl wa al-Hukm fi al-Islam, Mansyurat al-‘Ashr Al-Ḥadiṡ, (Bairut: Da>r
al-Kutub al-Ilmiyah), 1971,
4
Mujar Ibnu Syarif, Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam,
(Bandung: Erlangga, 2008), hlm. 97.
5
Sjadzali, Islam Dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, , 1993)
hlm.89.
6
Ibnu Taimiyah, al-Siyāsah al-Syar’iyah fi Iṣlah al-Ra’iy Wa al-Ra’iyyah, (Riyadh: al-Maktabah
al- Salafiyyah wa Maktabatuha, 1387H) hlm. 91.
7
Ahmad Azhar Basyir, hlm. 60.
4

Selain itu, terdapat banyak hadis Nabi yang menyebutkan perihal


imāmah, yang semuanya memberi pedoman tentang kehidupan bernegara.
Para Fuqaha>’ dengan berlandaskan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-
hadis Nabi, bersepakat bahwa hukum mengangkat seorang pemimpin
hukumnya adalah wajib. Pendapat yang berbeda diperoleh dari salah satu
golongan dalam aliran Khawarij, yang berpendapat tidak wajib mengangkat
imam. Menurut khawarij, utamanya Faṭiyah Ibn Amīr al-Hanafi,
pengangkatan kepala negara itu hukumnya mubah. Artinya, ini diserahkan
pada kehendak umat atau rakyat mau melakukannya atau tidak. Umat atau
rakyat tidak berdosa karena meninggalkanya, dan tidak ada pula dalil
naqliyah dan aqliyah yang memerintahkan atau melarangnya.8
Berkaitan dengan pengangkatan seorang pemimpin negara yang
mengatur pemerintahan, Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kebinnekaan, di mana di dalamnya terdiri dari banyak etnis,
budaya, warna kulit bahkan kepercayaan yang berbeda. Sebagai negara
yang menganut langkah demokrasi, Indonesia pada dasarnya tidak
menentukan persyaratan keperceayaan yang harus di anut oleh seorang calon
pemimpin. Mereka diberi kebebasan selama agama yang dianut merupakan
agama yang diakui keberadaannya, baik itu Islam, Kriten, Hindu dan yang
lain.
Dengan demikian Indonesia kerap kali disuguhkan dengan problema
kepemimpinan non-Muslim di wilayah-wilayah tertentu dengan mayoritas
penduduknya beraga Islam. Fenomena ini pada dasarnya bukanlah hal asing
melihat era globalisasi yang terus berkembang hinngga masa kini, tidak hanya
di Indonesia, tercatat di beberapa negara lain seperti Sinegal, Nigeria dan
Lebanon. Ketiga-tiganya merupakan negara dengan mayoritas penduduknya
beragama Islam. Sinegal merupakan negara yang terletak di Benua Afrika
dengan jumlah penduduk Muslim sebanyak 91%, tercatat bahwa negara ini
pernah dipimpin oleh seorang Katholik, bernama Leopold Sedar Senghor yang
memerintah mulai tahun 1980 sampai 1988 M. Nigeria juga terletak di Benua
Afrika, 71% penduduknya beragama Islam juga tercatat pernah dipimpin oleh

8
Mujar Ibnu Syarif, hlm.108.
5

seorang nonmuslim, yakni Olesugun Obasanjo selama tiga priode, 1976-1979,


1999-2004, ddan 2004-2007. Nigeria bahkan kembali dipimpin oleh
nonmuslim pada tahun 2007-2010, pemimpin tersebut bernama Goodluck
Jhonatan. Ia juga kembali memenangkan pemilu mengalahkan rivalnya
Muhammad Buhari pada tahun 2011.9
Lebih jauh lagi, Lebanon yang termasuk dalam kategori negara Timur
Tengah, dengan 71% penduduknya beragama Islam, hingga kini menganut
sistem pembagian kekuasaan berdasarkan kelompok agama. Keputusan ini
merupakan hasil kesepakatan pada pakta nasional atau al-Mit}ha>q al-
Wat}ani> sejak tahun 1943, yang menyatakan bahwa presiden negara
tersebut haruslah dari kalangan Kristen Maronite, perdana mentri berasal
dari golongan Muslim Sunni, juru bicara perlemen berasal dari kalngan
Muslim Syi’ah, mentri pertahanan dari kalngan Muslim Druze, dan mentri
luar negeri dari kalngan Kisten Ortodoks Yunani.10
Apabila menelusuri perjalanan kepemimpinan dalam skala nasional,
dalam hal ini Indonesia. Tercatat problema ini juga kerap menjadi
fenomena unik dan tetap berkesan di kalangan rakyat biasa, sampai pada
kaum terpelajar dan akademisi. Dimulai dari pengangkatan Lurah Lenteng
Agung, Jakarta pada tahun 2013 yakni Susan Jasmin Zulkifli yang dilantik
oleh gubernur DKI Jakarta yakni Joko Widodo. Pada tahun berikutnya Joko
Widodo beralih jabatan dariyang semula gubernur DKI Jakarta menjadi
presiden Republik Indonesia dan kemudian digantikan oleh wakilnya Basuki
Jhahjha Purnama tau akrab disapa dengan Ahok. Selain itu terdapat pula
pengangkatan non-Muslim bernama Yulius Suharta, camat Pajangan yang
beragama Katolik, dilantik oleh bupati Gunung Kidul, DIY pada 30
September 2016.11
Indonesia sebagai negara yang pernah merasakan pahitnya terjajah,
dalam kurun waktu hampir 3,5 abad lamanya. Tidak mudah untuk
menghilangkan pengaruh-pengaruh yang dibawa oleh kolonial. Dampaknya

9
Mari Silvita, “Presiden Non Muslim dalam Komunitas Masyarakat Muslim, Islamica, Vol 7, No
1, (September, 2012) hlm:45.
10
Mari Silvita, “Presiden Non Muslim.... hlm: 46.
11
Penolakan Camat Katholik di Yogyakarta Kuatkan Predikat “Yogyakarta yang Paradoks”, dalam
http:/www.bbc.com/Indonesia(16 Maret 2017)
6

Kristen teridentikkan dengan Barat, atau Belanda dan sekutunya serta


penjajah. Sedangkan Islam terdentikkan dengan Arab, atau Timur, “musuh
Barat”. Sejarah masa lalu ini juga membuat rasa hubungan Kristen-Islam di
Indonesia menjadi tidak nyaman, seolah-olah menyimpan dendam nenek
moyang, dan seakan-akan menjadi ahli waris permusuhan dan perbedaan
yang tajam.12
Salah satu yang paling berkesan dari sekian banyaknya fenomena yang
disebutkan, problema memimpinnya non-Muslim di wilayah berpenduduk
mayoritas muslim ialah DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Basuki
Jhahjha Purnama alias Ahok. Selain penolakan dari banyak pihak, juga
karena kasus pelecehan ayat suci al-Qur’an yang dituduhkan kepadanya.
Penolakan tersebut dengan menguatkan beberapa ayat-ayat al-Qur’an yang
melarang kaum Muslimin untuk menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin
mereka. Salah satu ayat yang mereka ajukan adalah QS. al-Māidah ayat 51.
yaitu :
ِ ٍ ‫ض ُه ْم أ َْولِيَاءُ َب ْع‬
ُ‫ض َو َم ْن َيَت َولَّ ُه ْم م ْن ُك ْم فَِإنَّه‬ ُ ‫اء َب ْع‬ ِ
َ َ‫َّص َارى أ َْولي‬
َ ‫ود َوالن‬
ِ ‫يا أ َُّيها الَّ ِذين آمنُوا اَل َتت‬
َ ‫َّخ ُذوا الَْي ُه‬ َ َ َ َ
ِِ ِ ِ
َ ‫م ْن ُه ْم إِ َّن اللَّهَ اَل َي ْهدي الْ َق ْو َم الظَّالم‬
‫ين‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil


orang- orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain.
Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka
Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka.Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yangzalim.(QS. al-Māidah ayat
51).
Ayat ini secara tegas melarang kaum Muslimin menjadikan non-
Muslimin sebagai auliya>’ mereka. Dalam ayat tersebut yang berbunyi
“barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi auliya>’ maka
sesungguhnya dia termasuk sebagian mereka”. Dari pernyataan tersebut,
dapat kemudian dipahami bahwa siapa saja yang menjadikan non-Muslim
sebagai pemimpin, maka mereka digolongkan dalam kelompok non-
Muslim, atau diancam sebagai orang yang keluar dari barisan Muslimim.
Secara tekstual ayat tersebut merupakan pelarang bagi kaum

12
Pdt, Achmad Welson, Solusi Mengatasi Konflik Islam-Kristen, (Yogyakarta: Borobudur
Publishing, 2017) hlm 13.
7

Muslimi>n untuk menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai


auliya>’, pelarangan ini didasarkan pada dalih bahwa sebagian mereka
(kafir) ialah wa>li> daripada yang lain. Akar permasalahan ini lantaran kata
auliya>’ kerap kali diberi makna tekstualnya sebagai pemimpin. Tercatat
rentetan aksi-aksi tuntutan pernah dilakukan demi penegakan hukum
kepada gubernur yang telah terlanjur menolak eksistensi keberlakuan ayat
ini dalam kampanyenya.
Kasus ini terjadi ketika ia mengadakan kunjungan kerja ke Kepulauan
Seribu Jakarta pada tanggal 27 September 2016, ia berpidato dengan
menyinggung al-Ma’idah ayat 51 hingga menjadi kontroversi di kalangan
publik bahka dianggap sebagai penistaan agama.13
Kemudia kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok mendapat
sorotan dari banyak kalangan, termasuk di antaranya Majlis Ulama
Indonesia. MUI mengeluarkan pernyataan sikap yang ditanda tangani oleh
ketua umum MUI jala itu, Kh Ma’ruf Amin dan skretaris jendral MUI Dr.
H. Anwar Abbas pada hari Selasa tanggal 11 Oktober 2016. Pada
pernyataan yang terdiri dari 5 poin dijelaskan bahwa ucapan Ahok di
Kepulauan Seribu yang menyinggung Surat al-Ma’idah ayat 51 dinilai
sebagai penistaan agama serta penghinaan kepada Ulama yang memiliki
konsekuensi hukum. Lalu dalam pernyataan tersebut dijelaskan Surat al-
Ma’idah secara eksplisit mengandung larangan mengangkat kafir sebagai
pemimpin, baik dari kalngan Yahudi ataupun Nashrani.14
Kendati demikian, menjadi menarik rasanya apabila dilakukan kajian
bagaimana sebenarnya al-Qur’an berbicara tentang kepemimpinan, dan
bagaimana tanggapan Mufasir mengenai ayat-ayat ini. Sebagian Ulama
antara lain ulama tafsir kontemporer tidak menyetujui pelarangan
pengambilan non-Muslim menjadi pemimpin pemerintahan bagi kaum
Muslimin secara mutlak, yaitu Muhammad Quraish Shihab dari Indonesia.
Menurut Quraish Shihab, memang benar orang-orang Islam dilarang
mengambil orang-orang non-Muslim yang mempunyai sifat-sifat buruk
13
Yanti Deborah, “Kronologis Kasus Dugaan Penistaan Agama”, dalam
http:/www:irto.co.id/hukum(16 maret 2017)
14
Indah Mutiara Kami, “MUI Nyatakan Sikap Soal Ucapan Ahok Terkait al-Mai’dah ayat 51”
dalam http:/www.detik.com (17 Maret 2017)
8

seperti dijelaskan diatas menjadi pemimpin pemerintahan, yang dalam


tugasnya mengatur kehidupan bermasyarakat bagi orang-orang Muslim.
Meskipun demikian menurut Quraish Shihab, tidak semua orang- orang non-
Muslim mempunyai sifat-sifat buruk tersebut, ada yang bersifat netral
dengan orang Muslim, bahkan ada yang dipuji oleh al-Qur’an.
M. Quraish Shihab adalah salah satu dari beberapa pakar al-Qur’an di
Indonesia.Kemampuannya dalam menerjemahkan dan menyampaikan
pesan-pesan al-Qur’an dalam konteks kekinian dan post-modern
membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul dari pada pakar al-Qur’an
lainnya. Nama QuraishShihab masuk dalam daftar limaratus Muslim paling
berpengaruh di Dunia. Namanya tersohor berkat jasa-jasanya dalam
mengembangkan ilmu keislaman dalam beragam kegiatan.Karya dengan
konteks yang aktual serta bahasa yang mudah dipahami, namanya melesat
sebagai akademisi yang progresif mengembangkan ilmu al-Qur’an.15
M. Quraish Shihab, didalam Kitab Tafsirnya, Tafsir al-Mishbah
berpendapat “kendati demikian, larangan tersebut tidaklah mutlak sehingga
mencakup seluruh makna yang dikandung oleh kata auliya”. Sebenarnya,
menerjemahkannya pemimpin tidak sepenuhnya tepat. Lebih jauh lagi M.
Quraish Shihab mengatakan bahwa kata (‫ )اولياء‬auliyā’ adalah bentuk jamak
dari kata (‫ ) ولي‬waliy. Kata ini terasal dari akar kata yang terdiri dari huruf-
huruf wawu, lam, dan ya’ yang makna dasarnya adalah dekat. Dari sini
kemudian berkembang makna-makna baru, seperti pendukung, pembela,
pelindung, yang mencintai, lebih utama, dan lain-lain yang kesemuanya
diikat oleh benang merah kedekatan. Oleh sebab itu, pelarangan non-Muslim
untuk menjadi pemimpin secara mutlak adalah kurangtepat.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik penelitian ini
untuk membahas bagaimana tanggapan M. Quraish Shihab dalam Tafsirnya,
tentang pengangkatn non-Muslim menjadi salah satu pemimpin
negara.Berangkat dari permasalahan inilah penulis mencoba untuk
mengkajinya, dengan judul PEMIMPIN NON MUSLIM DALAM AL-
QUR’AN (Studi Analisis Penafsiran M. Quraisy Shihab dalam Tafsir Al-

15
http://bio.or.id/biografi-quraish-shihab diunduh pada tanggal 14 juni 2021 jam 10:35
9

Misbah).

B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini dapat
dirumuskan pada masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an tentang pemimpin non-


Muslim dalam Tafsīr al-Miṣbāh karya M. Quraish Shihab?

2. Bagaimana kontekstualisasi mengangkat non-Muslim menjadi


pemimpin dalam pemerintahan menurut M.Quraish Shihab?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan mengkaji Penafsiran Ayat-ayat Al-Qur’an
tentang Pemimpin non-Muslim dalam Tafsīr al-Miṣbāh karya
M.QuraishShihab
2. Untuk mengetahui dan mengkaji kontekstualisasi
pengangkatanpemimpin non-Muslim menurut M. Quraish Shihab.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang dapat diambil dari penelitian skripsi ini terbagi
menjadi dua bagian, yaitu umum dan khusus.
1. Umum, terbagi ke dalam kegunaan secara teoritis dan praktis.
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih
ilmiah terhadap pengathuan umat islam umumnya mengenai
kepemimpinan non muslim.
b. Secara praktis, diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat
menjadi sumbangan ilmiah yang bersifat praktis sehingga dapat
diambil hikmah dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari,
seperti halnya mau berusah untuk menciptakan keturunan yang
lebih baik dan yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat.
2. Khusus, terbagi ke dalam kegunaan untuk penulis, perpustakaan, dan
perguruan tinggi.
a. Kegunaan untuk penulis, sebagai wadah dalam meningkatkan
wawasan serta pengetahuan penulis khususnya di dalam khazanah
10

ilmu tafsir dan ilmu Al-Quran. Di samping itu, juga menjadi


pembelajaran bagi penulis dalam melakukan sebuah
researchdengan baik dan prosedural.
b. Kegunaan untuk perpustakaan, sebagai koleksi perpustakaan untuk
melengkapi kajian-kajian yang belum ditemukan refrensinya
ataupun perlu disempurnakan, terutama kajian yang menggunakan
pendekatan penelitian library research.
E. Definisi Istilah
Untuk lebih terarah dan menghindari kesalahpahaman dalam
memaknai dan memahami beberapa istilah, maka akan dijelaskan beberapa
istilah yang sering di gunakan dalam penelitian ini. Istilah-istilah tersebut di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Konsep berasal dari bahasa Inggris yaitu conception berarti ide yang
meletakkan satu klasifikasi tertentu atau gagasan pokok16. Pengertian
lain dari konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari
peristiwa konkrit atau gambaran mental dari objek yang digunakan,
maupun proses di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi
untuk memahami hal-hal lain. 17 Jadi yang dimaksud konsep dalam
pembahasan ini adalah ide atau gagasan yang mendasari suatu objek
sehingga dengan adanya dasar tersebut maka terakumulasi
serangkaian makna yang dapat memberikan pengertian secara
komprehensif.
2.

F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Jenis Penelitian
Jenis dalam penelitian ini adalah Library Research.Yaitu
penelitian yang menggunakan data-data kepustakaan sebagai data
penelitiannya, seperti buku, jurnal, artikel, ensiklopedia, dan data-data

16
AS. Hornby, The Advanced Learner's Dictionary of Current English (London: Oxford
Univercity Press, 1973), 195.
17
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. IX. (Jakarta:
Balai Pustaka, 1997), 519.
11

pustaka yang terdapat di dalam internet. Sehingga penelitian ini


sepenuhnya berdasarkan atas bahan-bahan kepustakaan yang terkait
dengan penelitian.
Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian
analisis isi (content analysis).Penelitian analisis isi adalah sebuah
metode penelitian dengan menggunakan seperangkat prosedur untuk
membuat inferensi yang valid dari teks. Analisis isi adalah sebuah jenis
penelitian non-reaktif. Maksud non-reaktif adalah tidak melibatkan
interaksi subjek karena metode analisis isi digunakan untuk meneliti
objek tidak hidup, seperti dokumen-dokumen, catatan-catatan, dan
sebagainya. Dengan sifatnya yang non-reaktif akan menghindari hal-hal
yang bersifat subyektif.
2. Sumber Data
Penelitian yang menggunakan pendekatan Library Research ini
didasari dengan bahan-bahan kepustakaan yang penulis kumpulkan. Dari
beberapa bahan kepustakaan tersebut, maka sumber data yang penulis
gunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis sumber data, yaitu
sumber data primer dan sumber data sekunder.
a. Sumber dataprimer
Data primer adalah data yang paling utama yang digunakan
oleh penulis sebagai rujukan dasar. Adapun bahan bacaan dan
bahasan yang peneliti jadikan sebagai sumber primer adalah Tafsir
Al-Misbah Karya M. Quraisy Shihab
b. Sumber datasekunder
Sumber data sekunder adalah data yang materinya secara tidak
langsung berhubungan dengan masalah yang diungkapkan. Sumber
data sekunder merupakan buku-buku penunjang yang dapat
melengkapi sumber data primer. Meliputi: Buku, Jurnal, Artikel dan
lain lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dapat dilakukan oleh penulis
dengan menggunakan pendekatan library research, yaitu; Dokumentasi,
12

terlebih dahulu penulis akan mendokumentasikan berbagai sumber data,


baik yang bersifat primer maupun sekunder.
4. Analisis Data
Ada tiga tahap analisis data dalam penelitian ini, yaitu:
a. Memaparkan ayat-ayat dalam al-Qur’an yang membicarakan tentang
kepemimpinan.
b. Menguraikan penafsiran Ulama mengenai ayat-ayat tersebut serta
membandingkan sekaligus mengkorelasikan dengan konsep
kepemimpinan modern yang berlaku yang didapat dari sumber data
yang ada.
c. Menghasilkan kesimpulan yang utuh serta menyusun hasil penelitian
ini dengan sistematika penyusunan yang benar.
13

BAB II
KONSEP KAJIAN/PEMIKIRAN
A. Kepemimpinan
1. Pengertian Pemimpin

Definisi tentang pemimpin memiliki banyak variasi dan banyak


yang mencoba untuk mendefinisikan tentang pemimpin ini. Pemimpin
adalah orang yang memiliki segala kelebihan dari orang-orang lain.
Pemimpin dalam pandangan orang kuno adalah mereka yang dianggap
paling pandai tentang berbagai hal yang ada hubungannya kepada
kelompok, dan pemimpin harus pandai melakukannya (pandai memburu,
cakap dan pemberani dalam berperang).18

Kata pemimpin dan kepemimpinan merupakan satu kesatuan kata


yang tidak dapat dipisahkan, baik secara struktur maupun
fungsinya.Artinya kata pemimpin dan kepemimpinan adalah satu
kesatuan kata yang mempunyai keterkaitan, baik dari segi kata maupun
makna.19

Istilah pemimpin dalam kamus besar Indonesia berasal dari kata


“pimpin” yang mempunyai arti “dibimbing”. Sedangkan kata
kepemimpinan itu sendiri mempunyai makna cara untuk memimpin. Jadi
pemimpin adalah orang yang memimpin, atau ia ditunjuk menjadi.20

Pemimpin bisa diartikan sebagai individu yang menduduki suatu


status tertentu di atas individu yang lain di dalam kelompok, dapat
dianggap seorang pimpinan atau pemimpin. Hal ini memungkinkan
bahwa dalam menduduki posisinya melalui pemberian atribut-atribut
secara formal atau tertentu.21
2. Hukum Mengangkat Pemimpin

Di kalangan Ulama terjadi variasi pendapat mengenai hukum


mengangkat pemimpin. Menurut semua Ulama Sunni, Syi’ah, dan
18
Ngalim Porwanto, et.all, Administrasi Pendidikan, (Jakarta, mutiara, 1984) hlm. 38.
19
Ibid, hlm. 39
20
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia; Pusat Bahasa, (Jakarta, PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm . 1075.
21
Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, (Jakarta, Rajawali Pers, 2009) hlm. 30.
14

Murjiah, mayoritas pengikut Mu’tazilah dan Khawarij, kecuali pengikut


sakte Najdat, mengangkat kepala negara itu wajib hukumnya karena itu
akan berdosa bila meninggalkannya.22

Menurut kaum sunni, mengangkat kepala negara itu merupakan


kewajiban berdasarkan syariat atau agama. Untuk melegitimasi
pandangan tersebut, kaum sunni mengemukakan tiga argumentasi
sebagai berikut:

Pertama, firman Allah yang berbunyi sebagai berikut :

‫ول َوأُولِي اأْل َْم ِر ِم ْن ُك ْم‬


َ ‫الر ُس‬ ِ ‫َطيعوا اللَّه وأ‬
َّ ‫َطيعُوا‬ ََ
ِ
ُ ‫آمنُوا أ‬
َ ‫ين‬
ِ َّ
َ ‫يَا أ َُّي َها الذ‬
“hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-Nya dan UlilAmri (pemerintah) di antara kamu”. QS. an-Nisa‟
ayat59.
Kedua, hadis Nabi yang berbunyi sebagai berikut: “apabila ada
tiga orang yang melakukan perjalanan, maka hendaklah salah satundari
mereka menjadi pemimpin perjalanan”. HR. Abu Daud.23

Ketiga, ijma’ sahabat dan tabi’in.Dalil ketiga ini diduga di sepakati


pada saat Abu Bakar berpidato di masjid bertepatan dengan
pelantikannya oleh seluruh umat Islam guna mempertegas pembaitanya
yang telah dilakukan oleh para sahabat senior di Saqifah Bani Saidah.
Dalam pidato pengukuhannya, Abu Bakar antara lain menyatakan
sebagai berikut: “wahai sekalian manusia, siapa yang menyembah
Muhammad, kini Muhammad telah wafat. Tapi siapa yang menyembah
Allah, sesungguhnya Allah itu kekal selama-lamanya”. Lalu di tengah-
tengah pidatonya itu, Abu Bakar melontarkan pertanyaan kepada
segenap hadirin, “(saudara-saudaraku), kini Muhammad telah tiada,
tapi menurut pendapatku,” tegas Abu Bakar,harus ada orang yang
melanjutkan perjuangannya. Bagaimana menurut saudara-
saudara?”.Tanya Abu Bakar, lalu segenap hadirin serentak menjawab,
“anda benar ya Abu Bakar”.
22
Mujar Ibnu Syarif, Khamami Zada, Fiqh Siyyasah Doktrin dan Pikiran Politik Islam,
(Yogyakarta,Erlangga, 2008), hlm. 108.
23
Muhammad Naṣiruddin al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud, Terj.Abd. Mufid Ihsan, (Jakarta,
Pustakaazzam, 2006) hlm. 192
15

Menurut al-Rais (w. 1036 M), sebagaimana juga pendapat al-


Mawardi(w. 1058 M) dan al-Ghazali (w. 1111 M), kewajiban tersebut
bukan kewajiban individual (wajib aini), tetapi kewajiban kolektif
(wajib kifa’i atau fardu kifayah).24

Kaum Syi’ah pun mempunyai pandangan yang sama dengan kaum


sunni, yakni mengangkat kepala negara itu merupakan kewajiban
berdasarkan syariat. Hanya saja, dalam hal ini kaum Syi’ah memiliki
pendapat yang berbeda dengan kaum sunni, yakni yang wajib
mengangkatnya adalah Allah, bukan umat atau rakyat.

Argumentasinya, masalah pengangkatan Imam itu bukan masalah


ijtihadiahyang dapat diserahkan kepada kreatifitas akal manusia. Akan
tetapi, ia merupakan rukun agama. Karena itu, hanya Allah dan Rasul-
Nya saja yang dapat menunjuk imam, bukan rakyat. Imam adalah wakil
Allah dan Rasul-Nya. Tidak boleh ada yang menunjuknya, kecuali Allah
dan Rasul-Nya.Dan bukan manusia yang dapat salah dalam hal
penunjukan itu.

Sedangkan kaum Mu’tazilah, pada umumnya berpendapat bahwa


pengangkatan kepala negara itu merupakan kebutuhan manusia yang
cenderung hidup bermasyarakat.Sebagai makhluk sosial, tidak mungkin
manusia hidup tanpa berhubungan dengan manusia lainnya. Dalam
pergaulan itu amat dimungkinkan terjadi perselisihan, pertikaian,
konflik, penindasan, pertumpahan darah, bahkan dapat pula menyulut
dan mengorbankan api peperangan yang akan menelan banyak korban,
baik materi atau pun lainnya yang merusak sendi kehidupan.

Kaum rasionalitas Mu’tazilah, berpendapat bahwa baik dan buruk


itu dapat diketahui oleh akal manusia.Sedang wahyu tidak lebih hanya
bersifat konfirmatif terhadap segala sesuatu yang telah diketahui
akal.Karena itu, kewajiban mengangkat kepala negara pun dipandang
sebagai suatu kewajiban berdasarkan akal manusia.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa berkenaan


24
Mujar Ibnu Syarif, Khamami Zada, hlm. 111.
16

dengan kewajiban mengangkat kepala negara itu terdapat tiga variasi


pemikiran sebagai berikut: pertama, wajib berdasarkan syariat., kedua,
wajib berdasarkan akal dan ketiga, wajib berdasarkan rasio dan syariat.
3. Kriteria Pemimpin

Dalam al-Qur’an dan Sunnah Ada beberapa syarat yang harus


disandang oleh seseorang untuk bisa mengajukan diri sebagai pemimpin.
Syarat-syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama, harus seorang muslim26. Syarat ini antara lain ditemukan


dalam firman Allah berikut: “hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah rasul-Nya dan ulilamri (pemerintah) di antara kamu
”QS. an-Nisa ayat59.

Syarat kepala negara harus beragama Islam itu, disimpulkan dari


kata minkum yang termaktub pada akhir ayat di atas, yang oleh para
pendukung syarat ini selalu ditafsirkan menjadi
minkumayyuhalmukminun yang berarti dari kalanganmu sendiri, wahai
orang-orangmuslim.25

Kedua, harus seorang laki-laki. Syarat ini dapat ditemukan dalam


firman Allah berikut:

‫ِّس ِاء‬
َ ‫ال َق َّو ُامو َن َعلَى الن‬
ُ ‫الر َج‬
ِّ

Artinya: “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita”.


(QS.an-Nasa’I : 34).

Ketiga, harus sudah dewasa. Syarat ini dapat ditemukan


dalamfirman Allah berikut:

‫وه ْم َوقُولُوا ل َُه ْم‬ ِ ُ ُ‫الس َفهاء أَموالَ ُكم الَّتِي جعل اللَّهُ لَ ُكم قِياما وار ُزق‬
ُ ‫س‬ُ ‫وه ْم ف َيها َوا ْك‬ ْ َ ًَ ْ َ ََ ُ َ ْ َ َ ُّ ‫َواَل ُت ْؤتُوا‬
‫َق ْواًل َم ْع ُروفًا‬

Artinya: “dan janganlah kamu serahkan kepada orang- orang


yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan”. (QS.an-
25
Mujar Ibnu Syarif, Khamami Zadah, hlm. 248.
17

Nisa’ : 5).
Ayat ini menjelaskan bahwa seorang anak yang belum dewasa
tidak boleh dibai‟at dan juga tidak boleh membai’at orang lain sebagai
kepala negara.

Keempat, harus adil. Syarat ini antara lain dapat ditemukan dalam
firman Allah berikut:

‫ك َع ْن‬ ِ ‫َّاس بِالْح ِّق واَل َتتَّبِ ِع ال َْهوى َفي‬


َ َّ‫ضل‬ ُ َ َ َ ِ ‫اح ُك ْم َب ْي َن الن‬ ِ ‫اك َخلِي َفةً فِي اأْل َْر‬
ْ َ‫ض ف‬ َ َ‫ود إِنَّا َج َعلْن‬
ُ ‫يَا َد ُاو‬
ِ ‫ْحس‬
‫اب‬ ِ ِ ِ ٌ ‫يل اللَّ ِه ل َُهم َع َذ‬ ِ ‫يل اللَّ ِه إِ َّن الَّ ِذين ي‬
ِ ِ‫ضلُّو َن َع ْن َسب‬ ِ ِ‫َسب‬
َ ‫سوا َي ْو َم ال‬
ُ َ‫اب َشدي ٌد ب َما ن‬ ْ ََ

Artinya: “hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu


khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di
antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu,
karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (QS. Sad : 26)
Kelima, harus pandai menjaga amanah dan profesional. Syarat ini
ditemukan dalam surat Yusuf ayat 55 yang berbunyi sebagai berikut:

‫يم‬ ِ ٌ ‫ض إِنِّي ح ِفي‬


ِ ‫اج َعلْنِي َعلَى َخ َزائِ ِن اأْل َْر‬
ٌ ‫ظ َعل‬ َ ْ ‫ال‬
َ َ‫ق‬

Artinya: “berkata yusuf, “jadikanlah aku bendaharawan negara


(mesir) sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga amanah
lagi berpengetahuan”. (QS.Yusuf : 55)
Keenam, harus kuat atau sehat fisik dan mental, dapat
dipercaya, dan berilmu atau memiliki wawasan yang luas. Syarat ini
dapat ditemukan dalam dua ayat al-Qur’an , yakni surat al-Qashash ayat
26 yang berbunyi sebagai berikut:

ِ ُّ ‫ت الْ َق ِو‬
‫ين‬
ُ ‫ي اأْل َم‬ َ ‫ْج ْر‬ ْ ‫إِ َّن َخ ْي َر َم ِن‬
َ ‫استَأ‬

Artinya: “....sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu


panggil untuk bekerja ialah kuat lagi dapat dipercaya”. (QS. al-Qashash
: 26).

Ketujuh, harus seorang warga negara Islam yang berdomisili


dalam wilayah negara Islam.Sebagaimana QS.al-Anfal ayat 72.

‫ص ُرو ُك ْم فِي‬ ِ ِ ‫اجروا ما لَ ُكم ِمن واَل يتِ ِهم ِمن َشي ٍء حتَّى ي َه‬
ِ ِ َّ
ْ ‫اج ُروا َوإِن‬
َ ‫اسَت ْن‬ ُ َ ْ ْ ْ َ َ ْ ْ َ ُ ‫َم ُي َه‬ ْ ‫آمنُوا َول‬
َ ‫ين‬
َ ‫َوالذ‬
18

ِ ‫َّصر إِاَّل َعلَى َقوٍم ب ْينَ ُكم وب ْيَن ُهم ِميثَا ٌق واللَّهُ بِما َت ْعملُو َن ب‬
‫ص ٌير‬ َ َ َ َ ْ ََ ْ َ ْ ُ ْ ‫الدِّي ِن َف َعلَْي ُك ُم الن‬

“.....dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum


berhijrah (ke negara Islam), maka tidak ada kewajiban sedikit pun
atasmu untuk memberikan (hak) kekuasaan kepada mereka sebelum
mereka berhijrah” . ( QS. al-Anfal : 72)
4. Hak-hak Pemimpin

Al-Mawardi menyebut dua hak imam, yaitu hak untuk ditaati dan
hak untuk dibantu. Akan tetapi, apabila kita pelajari sejarah, ternyata ada
hak lain bagi imam, yaitu hak untuk mendapat imbalan dari harta baitul
mal untuk keperluan hidupnya dan keluarga secara patut, sesuai dengan
kedudukannya sebagaiimam.

Hak yang ketiga ini pada masa Abu Bakar., diceritakan bahwa
enam bulan setelah diangkat menjadi khalifah, Abu Bakar masih pergi
kepasar untuk berdagang dan hasil dagangannya itulah beliau memberi
nafkah keluarganya.Kemudian para sahabat bermusyawarah, karena
tidak mungkin seorang khalīfah dengan tugas yang banyak dan berat
masih harus berdagang untuk memenuhi nafkah keluarganya.Maka
akhirnya diberi gaji 6.000 dirham setahun, dan menurut riwayat lain
digaji 2.000 sampai 2.500 dirham.26

Hak-hak imam ini erat sekali kaitannya dengan kewajiban rakyat.


Hak untuk ditaati dan dibantu misalnya adalah kewajiban rakyat untuk
menaati dan membantu, seperti tersurat di dalam al-Qur’an QS. an-
Nisa’ ayat 59:

‫ول َوأُولِي اأْل َْم ِر ِم ْن ُك ْم فَِإ ْن َتنَ َاز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء‬
َ ‫الر ُس‬ ِ ‫َطيعوا اللَّه وأ‬
َّ ‫َطيعُوا‬ ََ
ِ
ُ ‫آمنُوا أ‬
َ ‫ين‬
ِ َّ
َ ‫يَا أ َُّي َها الذ‬
ِ
‫َح َس ُن تَأْ ِوياًل‬ َ ِ‫ول إِ ْن ُك ْنتُ ْم ُت ْؤِمنُو َن بِاللَّ ِه َوالَْي ْوم اآْل ِخ ِر َذل‬
ْ ‫ك َخ ْي ٌر َوأ‬ َّ ‫َف ُردُّوهُ إِلَى اللَّ ِه َو‬
ِ ‫الر ُس‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan


taatilah Rasul (Nya), dan ulilamri di antara kamu.kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada

26
Djazuli, Fiqh Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah,
(Jakarta, Kencana, 2009) hlm. 60.
19

Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar


beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Pengertian ayat “taatilah Allah” adalah ikutilah Kitab-Nya,
pengertian ayat “taatilah Rasul-Nya” adalah ambillah sunahnya, dan
pengertian ayat “dan UlilAmri dari pada kamu” adalah mereka yang
menyuruh kamu untuk taat kepada Allah dan yang bukan durhaka
kepada Allah. Sesungguhnya tidak ada keharusan taat bagi makhluk di
dalam masalah durhaka terhadap Allah.27
5. Kewajiban Pemimpin

Ada pun suatu kewajiban-kewajiban seorang pemimpin dapat kita


lihat dalam berbagai macam profektif, Islam sebagai agama amal adalah
sangat wajar apabila meletakkan focus of interest-nya pada
kewajiban.Hak itu sendiri datang apabila kewajiban telah dilaksanakan
secara baik. Bahwa kebahagiaan hidup di akhirat akan di peroleh apabila
kewajiban- kewajiban sebagai manifestasi dari ketaqwaan telah
dilaksanakan dengan baik waktu hidup didunia.

Demikian pula halnya dengan kewajiban-kewajiban


imām.Ternyata tidak ada kesepakatan di antara ulama tentang kewajiban
pemimpin tersebut, terutama dalam perincianya. Sebagai contoh
akanditemukan, kewajiban imam menurut al-Mawardi adalah:

a. Memelihara agama, dasar-dasarnya yang telah di tetapkan dan


apa yang telah di sepakati oleh ulamasalaf.

b. Mentafidkan hukum-hukum di antara orang-orang


yangbersengketa, dan menyelesaikan perselisihan, sehingga
keadilan terlaksana secaraumum.

c. Memelihara dan menjaga keamanan agar manusia dapat


dengan tentram dan tenang berusaha mencari kehidupan,
sertadapat bepergian dengan aman, tanpa ada gangguan
terhadap jiwanya atau hartanya.
27
Abdul Qadir Djaelani, Negara Idial Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1995)
hlm. 92.
20

d. Menegakkan hukum-hukum Allah, agar orang tidak berani


melanggar hukum dan memelihara hak-hak hamba dari
kebinasaan dankerusakan.

e. Menjaga wilayah batasan dengan kekuatan yang cukup, agar


musuh tidak berani menyerang dan menumpahkan darah
muslim atau non-Muslim yang mengadakan perjanjian damai
denganmuslim.

f. Memerangi orang-orang yang menentang Islam setelah


melakukan dakwah dengan baik tapi mereka tidak mau masuk
Islam dan tidak pula menjadi kafirdzimmi.

g. Memungut fay dan shadaqah-shadaqah sesuai dengan


ketentuan syara‟ atas dasar nash atau ijtihad tanparagu-ragu.

h. Menetapkan kadar-kadar tertentu pemberian untuk orang-orang


yang berhak menerimanya dari Baitul Mal dengan wajar serta
membayarkannya padawaktunya.

i. Menggunakan orang-orang yang dapat dipercaya dan jujur di


dalam menyelesaikan tugas-tugas serta menyerahkan
pengurusan kekayaan negara kepada mereka. Agar pekerjaan
dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli, dan harta
negara di urus oleh orang yangjujur.

j. Melaksanakan tugas-tugasnya yang langsung di dalam


membina umat dan menjagaagama. Yusuf Musa menambahkan
kewajiban lain, yaitu: menyebarluaskan ilmu dan pengetahuan,
karena kemajuan umat sangat tergantung kepada ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu keduniawian.28

6. Tujuan Adanya Pemimpin

Tujuan akhir setiap pemimpin adalah menciptakan kebahagiaan


bagi rakyatnya.Tujuan pemimpin tidak hanya mencegah rakyat untuk
28
Djazuli, Fiqh Siyasah; Implementasi .. 62.
21

saling memeras, untuk melindungi kebebasan mereka, melindungi


seluruh rakyatnya dari invasi asing, bertujuan untuk mengembangkan
sistem keadilan sosial yang berkeseimbangan.Asad mengatakan bahwa
tujuan kepemimpinan adalah terwujudnya satu masyarakat yang selalu
mengamalkan kebajikan dan keadilan, membela kebenaran dan
meruntuhkan kebatilan.

Dengan merujuk kembali pengertian imamah yang dikemukakan


oleh al-Mawardi dan beberapa faqih lainnya, yakni lembaga imamah itu
dibentuk untuk menjalankan fungsi kenabian dalam menjaga agama dan
mengatur dunia sebagai pengganti Nabi.Maka dari pengertian ini tampak
bahwa tugas utama kepala negara adalah mengatur dan melayani
kehidupan masyarakat serta melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam.
Atau seperti disebutkan oleh Abdul Qadir Audah, tugas khalifah yang
utama itu, ada dua yakni, menegakkan agama Islam dan melaksanakan
hukum-hukumnya, dan mengatur negara dalam batasan-batasanya yang
telah digariskan Islam.

Berdasarkan tugas utama tersebut, maka kewajiban-kewajiban


kepala negara itu meliputi semua kewajiban umum, baik yang berkenaan
dengan tugas-tugas keagamaan maupun kemasyarakatan, yang terdapat
dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah seperti mempertahankan
agama, menegakkankeadilan atau menyelesaikan perselisihan pihak
yang bersengketa melalui penerapan hukum, mencegah kerusuhan dan
melindungi wilayah Islam, melindungi hak-hak rakyat, melaksanakan
amar ma’ruf nahy munkar dan jihad, mengatur perekonomian negara,
dan sebagainya.
B. Non Muslim
1. Pengertian Non Muslim

Pengertian non-Muslim sangat sederhana, yaitu orang yang tidak


menganut agama Islam adalah non-Muslim. Tentu saja maksudnya tidak
mengarah pada suatu kelompok agama saja, tetapi akan mencakup
sejumlah agama dengan segala bentuk kepercayaan dan variasi ritualnya.
22

Al-Qur’an menyebutkan kelompok non-Muslim ini secara umum seperti


yang terdapat dalam surah ar-Hajj ayat 17:

ِ ‫الصابِئِين والنَّصارى والْمجوس والَّ ِذين أَ ْشر ُكوا إِ َّن اللَّهَ ي ْف‬ ِ َّ ِ َّ
‫ص ُل‬ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ َ َ َّ ‫ادوا َو‬ ُ ‫ين َه‬
َ ‫آمنُوا َوالذ‬ َ ‫إِ َّن الذ‬
َ ‫ين‬

‫َب ْيَن ُه ْم َي ْو َم ال ِْقيَ َام ِة إِ َّن اللَّهَ َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء َش ِهي ٌد‬

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang


Yahudi, orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang
Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di
antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan
segala sesuatu.” (Q.S. al-Hajj: 17).
Dan Surah al-Ja>thiyah ayat 24:
‫ك ِم ْن ِعل ٍْم إِ ْن‬
َ ِ‫َّه ُر َو َما ل َُه ْم بِ َذل‬
ْ ‫وت َونَ ْحيَا َو َما ُي ْهلِ ُكنَا إِاَّل الد‬ ُّ ‫َوقَالُوا َما ِه َي إِاَّل َحيَا ُتنَا‬
ُ ‫الد ْنيَا نَ ُم‬

‫ُه ْم إِاَّل يَظُنُّو َن‬

Artinya: “Dan mereka berkata: Kehidupan ini tidak lain hanyalah


kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang
akan membinasakan kita selain masa, dan mereka sekali-kali tidak
mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah
menduga-duga saja.” (QS. al-Jatsiyah: 24).
Dalam ayat di atas terdapat lima kelompok yang dikategorikan
sebagai non-Muslim, yaitu ash-shabi’ah atau ash-shabi’in, al-majus, al-
musyrikun, al- dahriyah atau al-dahriyun, dan ahli kitab. Masing-masing
kelompok dapat dipahami sebagai berikut:

a. Ash-shabi’ash, yaitu kelompok yang mempercayai pengaruh


pelanet terhadap alamsemesta.

b. Al-majus, adalah para penyembah api yang mempercayai


bahwa jagat raya dikontrol oleh dua sosok Tuhan, yaitu Tuhan
Cahaya dan Tuhan Gelap yang masing-masing bergerak kepada
yang baik dan yang jahat, yang bahagia dan yang celaka,
danseterusnya.

c. Al-musyrikun, kelompok yang mengakui ketuhanan Allah,


tetapi dalam ritual mempersekutukannya dengan yang lain
seperti penyembah berhala, matahari danmalaikat.
23

d. Al-adahriyah, kelompok ini selain tidak mengakui bahwa


dalam alam semesta ini ada yang mengaturnya, juga menolak
adanya Tuhan Pencipta. Menurut mereka alam ini eksis dengan
sendirinya. Kelompok ini agaknya identik dengan kaum ateis
masakini.

e. Ahli kitab. Dalam hal ini terdapat dua pendapat ulama.


Menurut mazhab Hanafi, bahwa yang termasuk ahli kitab
adalah orang yang menganut salah satu agama Samawi yang
mempunyai kitab suci seperti Taurat, Injil, Suhuf, Zabur, dan
lainya. Tetapi menurut Imam Syafi’i dan Hambali, pengertian
ahli kitab terbatas pada kaum Yahudi danNasrani.

f. Ahl zimmah ialah komunitas non-Muslim yang melakukan


kesepakatan untuk hidup di bawah tanggungjawab dan jaminan
kaum muslim. Mereka mendapat hak hidup dan tempat tinggal
di tengah-tengah komunitas muslim.29 Ahli zimmah yaitu Ahli
Kitab, Yahudi atau Nasrani yang berdomisili di wilayah umat
Islam dan mendapat perlindungan pemerintah Muslim, mereka
taat dan mematuhi peraturan dan perundangan yang berlaku
dan membayar jizyah kepada negara. Terhadap mereka ini,
negara harus menjamin kemerdekaan dalam menjalankan
ibadah agamanya, dijamin haknya dan dijamin pula
keselamatan jiwanya dan janganlah dibunuh.30

Kata non-Muslim juga dapat dilihat dari pengertian muslim dengan


menambahkan kata imbuhan non yang berarti tidak atau bukan. Maka
non- Muslim berarti orang yang tidak atau bukan beragama Islam. 57
Pengertian non- Muslim mempunyai makna bahwa seluruh pemeluk
agama selain Islam. Oleh karena Islam yang di bawa Nabi Muhammad
Saw, sebagai penyempurnaan Agama yang di bawa oleh Nabi dan Rasul
sebelumnya, maka Agama Islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad

29
Khamani Zada dan Arief Arofah, Diskurus Politik Islam, (Jakarta, LSIP, 2004), hlm. 10
30
Muhammad ibn Abi> Bakr Ayyu>b al-Zar’iy Abu> Abdilla>h, Ahka>m Ahl al-Dzimmah,
(Beirut: Da>r Ibn Hazm,1997), hlm. 161
24

Saw merupakan Agama terakhir. Dengan demikian pengertian non-


Muslim adalah pemeluk selain Agama Islam yang di bawa oleh Nabi
MuhammadSaw.
2. Hak-hak Non Muslim sebagai Warga Negara

Berkaitan dengan hak-hak non-Muslim sebagai warga negara, ada


beberapa keistimewaan yang diberikan negara untuk mereka
diantaranya:

Dalam Islam, hak asasi pertama dan utama warga negara adalah
melindungi nyawa, harta dan martabat mereka, bersama-sama dengan
jaminan bahwa hak ini tidak akan dicampuri, kecuali dengan alasan-
alasan yang sah dan legal.31

Darah seorang non-Muslim dianggap suci dan sesuai darah


Muslim. Jika seorang Muslim membunuh seorang non-Muslim maka
denda ataupun balasan yang dibebankan akan sama dengan denda atau
balasan kepada seseorang yang membunuh seorang Muslim. Pada zaman
Rasulullah saw. Seorang muslim membunuh seorang dzimmiy,
Rasulullah memerintahkan mengeksekusinya.32

Hak penting kedua adalah pendidikan.Sewajarnyalah jika mereka


melaksanakan sistem pendidikan yang sama dengan sistem pendidikan
yang diselenggarakan oleh pemerintah diseluruh negeri. Tapi mengenai
pendidikan agama, mereka tidak akan dipaksa untuk mempelajari Islam,
justru sebaliknya mereka akan diberi hak penuh untuk menyebarkan
ilmu pengetahuan berlandaskan agama mereka sendiri kepada anak-anak
mereka di sekolah-sekolah mereka sendiri atau bahkan di Universitas
atau Akademi-AkademiNasional.33

Hak penting ketiga adalah kemerdekaan mengemukakan pendapat


serta menganut keyakinan masing-masing.Dalam negara Islam semua
non- Muslim akan memiliki kebebasan yang sama untuk menganut
keyakinan, pandangan, mencurahkan pendapat (melalui kata-kata tertulis
31
Abul A‟la Al-Maududi, hlm. 272.
32
Ibid, hlm. 306.
33
Ibid, hlm. 321.
25

maupun tidak tertulis), serta berserikat dan berkumpul sebagaimana yang


di miliki oleh kaum muslimin sendiri, yang tunduk pada batasan-batasan
yang diterapkan oleh hukum terhadap kaum muslimin. Diantara
pembatasan- pembatasan tersebut, mereka akan diberi hak untuk
mengkritik pemerintah dan para pejabatnya , termasuk kepalanegri.

Kaum dzimmiy tidak akan pernah dipaksa untuk menganut suatu


keyakinan yang bertentangan dengan kesadaran mereka, dan adalah hak
merekalah untuk menolak apa yang bertentangan dengan kesadaran atau
keimanan mereka.

Hak lain yang juga sangat ditekankan dalam Islam adalah jaminan
pemenuhan kebutuhan pokok bagi semua warga negara tanpa
membedakan kasta atau keyakinan. Dalam suatu negara Islam, pintu-
pintu industri, pertanian, perdagangan dan semua profesi lainnya terbuka
bagi setiap warga negara, dan kaum Muslimin tidak memiliki hak
istimewa tertentu atas kaum non-Muslim. Dalam kaitan ini, juga tidak
akan ada seorang non-Muslim pun yang dapat dihambat, karena
harusmemberi prioritas kepada Muslim. Setiap warga negara, Muslim
maupun non- Muslim, menikmati hak yang sama disektor
perekonomian.34
C. Biografi M. Quraish Shihab
1. Riwayat Hidup
Quraish Shihab lahir di Rappang (sekitar 180 km sebelah utara
kota Ujung Pandang-Sulawesi) pada tanggal 16 Februari
1944.35Meskipun keturunan Arab, kakek dan buyutnya lahir di
Madura.Ayahnya, Abdurrahman Shihab, adalah guru besar bidang tafsir
sekaligus saudagar. Ibunya, Asma, cucu raja Bugis. Tak heran bila
Quraish Shihab dan saudara-saudaranya dipanggil Puang (tuan) atau
Andi oleh masyarakat setempat. Mereka juga mendapat perlakuan
khusus dalam upacara-upacara adat.Sejak kecil, Quraish Shihab dididik

34
Abul A’la Al-Maududi, hlm. 322.
35
Alimin Mesra, Tafsir al-Mishbāh Pesan Kesandan Keserasian al-Qur’ān, (Program Pasca
Sarjana S3 IAIN Syarif Hidayatullah, 2001), hlm: 2.
26

dengan disiplin yang keras.Walapun keluarganya tidak miskin, mereka


tidak mempunyai pembantu. Itu tidak lain agar mereka bisa mandiri.
Tidak jarang pula Quraish Shihab mendapat “hadiah” pukulan dari
ibunya bila tidak menurut. Walau hanya tamatan SD, sang ibu sangat
memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Pada jam-jam belajar ia
selalu mengawasi dengan ketat. Di keluarga Shihab hanya anak laki-laki
yang sekolah tinggi, sedangkan anak perempuan hanya bersekolah di
sekolah ketrampilanwanita.36
Quraish Shihab mengawali pendidikan dirumahnya dengan
bimbingan ayahnya. Adapun riwayat pendidikan sejak kecil ia telah
menjalani pergumulan dan kecintaanya terhadap al-Qur’an . Pada umur
6-7 tahun, oleh ayahnya, ia harus mengikuti pelajaran al-Qur’an yang
diadakan ayahnya sendiri. Selain menyuruh membacanya, KH.
Abdurrahman juga menguraikan secara sepintas tentang kisah- kisah
dalam al-Qur’an . Disinilah mulai tumbuh benih-benih kecintaan beliau
terhadap kitab al-Qur’an .Selain mengaji dengan ayahnya beliau juga
sekolah rakyat (RS) di Ujung Pandang dan melanjutkan pendidikan
menengahnya di Malang, sambil nyantri di pondok pesantren Ma‟had
Darul Hadits Al- Faqihiyyahselama kurang lebih dua tahun.Pada tahun
1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir dan diterima di kelas 11
tsanawiyyah al-Azar selama kurang lebih sepuluh tahun.Akhirnya pada
tahun 1967, dia meraih gelar Lc (S1) pada Fakultas Ushuluddin jurusan
Tafsir HaditsUniversitas al-Azar. Kemudian ia melanjutkan pendidikan
yang sama, dan pada tahun 1969 meraih gelar MA untuk spesialis
bidangTafsirAl-Qur’an dengantesisberjudulal-’jaz al-Tasyri’iy LiAl-
Qur’an al- Karim.37
Selanjutnya pada tahun 1980-1982 ia memperoleh gelar Doctor di
University al-Azar dengan disertasi berjudulNadzm al Durar li al-
Biqa‟iy, Tahqīq wa Dirasah.Ia berasil meraih gelar doctor dalam ilmu-
ilmu Al-Qur’an dengan yudisium Summa Cum Laude disertai

36
Majalah Femina (Serial Femina),bagian 2. No. 15/XXIL-18-24 April 1996.
37
M. QuraishShihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsidan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Manusia, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 6.
27

penghargaan tingkat pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doctor


dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an di Universitas al- Azhar.38
M. Quraish Shihab mengawali karirnya setelah kembali dari Mesir
dengan beragam aktifitas, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Wakil Rektor Bidang Akademis dan Kemahasiswaan di IAIN
Alaudin UjungPandang.
b. Koordinator Perguruan Tinggi Swasta wilayah VII Indonesia
bagian timur.
c. Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia timur dalam bidang
pembinaanmental.
d. Melakukan penelitian-penelitian dengan tema “Penerapan
Kerukunan Hidup Beragama Di Indonesia Timur”(1975) dan
“Masalah Wakaf Sulawesi Selatan” (1978).
e. Bekerja di Fakultas Ushuluddin dan Pasca Sarjana di IAIN
SyarifHidayatullahJakarta.
f. Ketua Umum Majelis UlamaIndonesia.
g. Anggota LajnahPentashih Al-Qur’an Depag tahun1989.
h. Ketua Lembaga Pengembangan Pendidikan Nasional
tahun1989.
i. Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen
Pendidikan Kebudayaan
j. Asisten Ketua Umum Cendikiawan MuslimIndonesia.
k. Menteri Agama pada akhir masa pemerintaan
PresidenSuharto.Duta Besar RI untuk Repoblik Arab Mesir
pada masa pemerintahan Presiden AbdurrahmanWahid.
Dalam perlawatan khasanah keilmuan, M. Quraish Shihab
mengawalinya belajar dari lingkungan yang terdekat, yakni kepada
ayahnya yang bernama Prof. KH. Abdurrahman Shihab, seorang ulama
dan guru besar ilmu tafsir yang pernah menjadi Rektor Universitas
Muslim Indonesia (UMI) dan IAIN Alaudin Makassar. Setelah beliau
lulus dari Sekolah Rayat, melanjutkan nyantri di pesantren Dar al-

38
Islah Gusmian, Khasanah Tafsir Indonesia, ( Yogyakarta: Teraju, 2003), hlm. 18.
28

Hadīts Malang dengan Habibab Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqh,


selama dua tahun dan melanjutkan studinya ke Kairo pada tahun 1958-
1969, serta menyandang S-1 dan S-2. M. Quraisy
Syhabpulangketanahairuntukmeneruskankiprahnya,sebagaiwakil Rektor
IAIN Alauddin Makassar.Tidakberselang lama beliau kembali ke Kairo
untuk meneruskan gelar S-3 pada tahun 1982.
2. Guru-guru M. Quraish Shihab
Ada dua guru yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran dan
kehidupan M. Quraish Shihab, baik ketika masih menuntun ilmu ditanah
air, maupun setelah merantau di negeri Mesir.Dari sekian banyak guru
yang telah berjasa mengantarkannya kepada kesuksesan, juga yang
sering beliau sebut dalam banyak kesempatan, termasuk dalam buku-
buku beliau,yaitu Habib Abdul Qodir Bil Faqih di Malang, dan Syeh
Abdul Halim Mahmud di Mesir.
Untuk jelasnya, bagaimana tokoh ini sangat berpengaruh dalam
keberhasilan M. Quraish Shihab, beliau mempersilahkan para pembaca
untuk melihat langsung ungkapan dan pengakuannya dalam buku logika
Agama sebagai berikut.
Tokoh pertama adalah al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilaqih,
yang merupakan seorang guru, pendidik sejati dan pembimbing yang
teramat besar perhatian dan kasih sayangnya terhadap anak didiknya. Ia
juga ulama yang menaruh perhatian yang sangat besar dalam dunia
pendidikan. Kehadirannya dikota Malang membawa angin segar dalam
dunia dakwah dikota itu khususnya, dan di seluruh pelosok negeri ini
pada umumnya. al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilaqihdilahirkan di
kota Tarin, Hadramaut pada hari selasa 15 Shafar 1316 H yang
bertepatan dengan 5 Juli 1898 M. Dan wafat diMalang 1962 dalam usia
skitar 65 tahun. Beliau adalah guru dan mursyid M. Quraish Shihab di
pesantren Dar al-Hadits al-Faqihiyah Malang, Indonesia.Pondok tersebut
didirikan pada tahun 1942.Pesantren ini telah melahirkan para ulama
yang kemudian bertebaran kepelosok nusantara.Sebagiannya telah
merunut jejak para guru mereka dengan membangun pesantren-
29

pesantren, demi menyiarkan dakwah dan ilmu.Antara lain adalah Habib


Ahmad al-Habsyi (PP al –Riyadh, Palembang), Habib Muhammad
Ba’abduh (PP Darun Nasyiin lawang), KH ‘Alawi Muhammad (PP at-
Taroqy, sampang, Madura) dan banyaklagi.39
Beliaulah al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilaqihyang
senantiasa di ingat, tertanam dalam lubuk hati dan benak M. Quraish
Shihab, setelah kedua orang Tuanya, dalam perlawatanya mencari
ilmu.Siapapun yang melihat pengasuh pesantren Dar al-Hadits al-
Faqihiyyahini akan kagum oleh wibawa dengan kerendahan hatinya, dan
kekaguman bertambah bila mendengar suaranya yang lembut, seperti
menghidangkan mutiara-mutiara ilmu dan hikmah. Beliaulah yang selalu
mengajarkan secara lisan atau praktek tentang keikhlasan dalam
menyampaikan ajaran agama. Keikhlasan itulah yang membuahkan apa
yang sering al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih ucapkan, bahwa“
Ta’limūnaYalsya‟(pengajaran kami melekat) karena keikhlasan. Abdul
Qodir juga sering mengingatkan kami bahwa Thariqah atau jalan yang
kita tempuh menuju Allah adalah upaya meraih ilmu dan
mengamalkanya, disertai dengan wara’ dan rendah hati serta rasa takut
kepada Allah yang melahirkan keikhlasan kepada-Nya.40
Demikian juga ucapan Habib Abdullah ( anak dari Habib Abdul
Qadir) yang sering beliau ucapkan, itulah yang Quraish Shihab rasakan
dan telusuri dari Abdul Qadir yang lalu dan leluhurnya, kendati belum
sepenuhnya. namun, jika langkah penulis tafsīr al-Misbāh telah berayun
dijalan lebar yang lurus itu. maka itu merupakan anugerah Allah yang
tidak ternilai.
Tokoh kedua dari guru M.Quraish Shihab adalah Syekh Abdul
Halim Mahmud yang juga digelari dengan Imam al-Ghazali Abad XIV
H”.Beliau adalah dosen Quraish Shihab di fakultas Ushuluddin al-Azar.
Dalam perjalanan menuntut Ilmu, ia pernah berguru dengan Syekh
Mahmud Saltut danSyekh Muhammad Musthata al-Marghi. Syekh
Abdul Halim diangkat menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin al-Azhar
39
Islah Gusmian, KHasanah Tafsir Indonesia... hlm. 23
40
Ibid, hlm. 24
30

pada tahun 1964M.Pandangan- pandangan Syekh Abdul Halim Mahmud


tentang hidup dan keberagaman jelas ikut mewarnai pandangan-
pandangan M. Quraish Shihab.Syekh Abdul Halim Mahmud meraih
gelar Ph.D dari Sorbone University di Prancis. Kendati Dekan Fakultas
Ushuluddin itu hidup lama di Prancis (sejak 1932-1942 M), tetapi hiruk
pikuk glamornya kota itu, sedikitpun tidak berbekas pada pikiran dan
hatinya. Syekh Abdul Halim tetap memelihara identitas keislaman,
penghayatan dan pengalamanya.Menyangkut nilai-nilai spiritual,
sungguh sangat mengagumkan. tokoh yang sangat mengagumi Imam
Ghazali ini, di akui perjuangan dankegigihanya menjelaskan ajaran-
ajaran agama Islam secara rasional oleh semua pihak, kendati beliau
adalah seorang pengamal tasawuf yang sangat percaya kepada hal-hal
yang bersifat suprarasional. Karena kegigihan dan perjuanganya itulah
maka Syekh Abdul Halim terpilih menjadi Imam Akbar, Syekh al-
Azhar, yakni pemimpin tertinggi lembaga-lembaga al- Azardi Mesir
(1970-1978 M) dan ia wafat pada anggal 15 Dzulqo’dah 1397 H.41
Sebagai seorang intelektual, M.Quraish Shihab sepenuhnya sadar
bahwa, proses transportasi Ilmu tidak hanya melalui teorika verbal
(bahasa lisan), tetapi juga melalui bahasa tulisan.Bahkanjangkauannya
lebih jauh dan pengaruhnya lebih bertahan lama dari yang pertama.
Maka, beliau mengikuti para pendahulunya, yaitu para ulama as-Salaf
al-Shalih yangsangat produktif dalam berkarya.Dengan kesibukannya
yang sangat banyak, baik dimasyarakat, kampus, maupun pemerintahan,
M. Quraish Shihab selalu menyempatkan diri untuk menulis, ini agaknya
karena dia menyadari bahwa karya adalah umur kedua seperti yang
dijelaskanoleh penyair dan sastrawan kenamaan Mesir, Ahmad
Syauqi,“kenangan abadi yang tersisa setelah mati menjadi umur kedua
bagi seseorang.” Anak keturunan hanya hidup pada masa tertentu, tidak
demikianhalnya seperti karya, ia akan dapat bertahan hidup sepanjang
masa.
Muchlis Muhammad Hanafi (murid M. Qurish Shihab)
41
M. Quraish Shihab, Logika Agama Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam,
(Jakarta, Lentera hati, 2005) hlm. 20-24.
31

berkata.Bahwa, dirinya sendiri tidak bisa membayangkan, betapa


ditengah-tengah kesibukan yang padat, guruya dapat menghargai
waktu.Ini juga menjadi tradisi para ulama terdahulu sehingga dapat
mewariskan khasanah intelektual yang sedemikian banyaknya kepada
kita. Seorang at-Tabary, guru besar para mufasir misalnya, setiap hari
dan umumnya rata-rata ia mampu menulis 14 lembar, sehingga dalam
hidupnya ia dapatmenulis sebanyak 358.000 lembar halaman, yang
meliputi berbagai disiplin ilmu. Belum lagi ibnu Taimiyyah, an-Nawāwi,
as-Suyūti, dan sebagainya.42
3. Metode dan Corak Penafsiran
Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab ini lebih cenderung
bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan (Adabul ijtima’i). Corak
tafsir yang berusaha memahami nash-nash Al-Qur’an dengan cara
pertama dan utama mengemukakan ungkapan-ungkapan Al-Qur’an
secara teliti. Selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud Al-
Qur’an tersebut dengan bahasa yang indah dan menarik.Kemudian
seorang mufassir berusaha menghubungkan nash-nash Al-Qur’an yang
dikaji dengan kenyataan sosial dengan sistim budaya yangada.43
Corak tafsir ini merupakan corak baru yang menarik pembaca dan
menumbuhkan kecintaan kepada Al-Qur’an serta memotifasi untuk
menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur’an .44 Menurut
Muhammad Husein al- Dzahabi, bahwa corak penafsiran ini terlepas
dari kekurangannya berusaha mengemukakan segi keindahan (balaghah)
bahasa dan kemukjizatan al-Qur’an, menjelaskan makna-makna dan
sasaran-sasaran yang dituju oleh al-Qur’an , mengungkapkan hukum-
hukum alam yang agung dan tatanan kemasyarakatan yang
dikandungnya, membantu memecahkan segala problem yang dihadapi
umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya melalui
petunjuk dan ajaran Al-Qur’an untuk mendapatkan keselamatan di dunia
dan di akhirat, serta berusaha mempertemukan antara Al-Qur’an dengan
42
Muchlis Muhammad Hanafi, hlm.11-12.
43
Abdul HayAl-Farmawi, MetodeTafsirMaudhu’I,... hlm.28.
44
Said Agil Husein al-Munawar, Al-Qur’ān Membangun Tradisi Keshalehan Hakiki, (Jakarta:
Ciputat Pres, 2002), hlm. 20.
32

teori-teoriilmiah yang benar.


Di dalam Al-Qur’an juga berusaha menjelaskan kepada umat
manusia bahwa Al-Qur’an itu adalah kitab suci yang kekal, yang mampu
bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia
sampai akhir masa, juga berusaha melenyapkan kebohongan dan
keraguan yang dilontarkan terhadap Al-Qur’an dengan argumen kuat
yang mampu menangkis segala kebatilan, sehingga jelas bagi mereka
bahwa Al-Qur’an itubenar.45
4. Sekilas tentang Tafsir al-Misbah
M. Quraish Shihab merupakan salah satu seorang penulis yang
produktif yang menulis berbagai karya ilmiah baik yang berupa artikel
dalam majalah maupun yang berbentuk buku yang diterbitkan. M.
Quraish Shihab juga menulis berbagai wilayah kajian yang menyentuh
permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks masyarakat indonesia
kontemporer. Salah satu karya yang fenomenal dari M. Quraish Shihab
adalah Tafsīr al-Misbāh.Tafsir yang terdiri dari 15 volume ini mulai
ditulis tahun 2000 sampai2004.
Pengambilan nama “al-Misbah” pada kitab tafsir yang ditulis oleh
M.Quraish Shihab tentu saja bukan tanpa alasan. Bila dilihat dari makna
kata ditemukan penjelasan yaitu al-Misbāh berarti lampu, pelita, lentera,
atau benda lain yang berfungsi serupa, yaitu memberi penerangan bagi
mereka yang berada dalamkegelapan.
Dengan memilih nama ini, dapat diduga bahwa M. Quraish Shihab
berharap tafsir yang ditulis, dapat memberikan penerangan seseorang
dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang
mengalami kesulitan dalam memahami makan al-Qur’an secara
langsung, karena kendala bahasa. Menurut Prof. Dr. Hamdanianwar.
MA, Alasan pemilihan nama Al-Misbah ini paling tidak mencakup dua
hal yaitu. Pertama, pemilihan nama ini didasarkan fungsinya. al-Misbah
artinya lampu yang fungsinya untuk menerangi kegelapan. Menurut
Hamdani denganmemilih nama ini, penulisnyaberharap agar karyanya

45
Abdul Hayy al-Farmawi, MetodeTafsirMaudhu’I, hlm.71-72.
33

itu dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam
kegelapan dan mencari petunjuk yang dapat dijadikan pegangan hidup.
al-Qur’an itu adalah petunjuk, tapi karenaal-Qur’an disampaikan
dengan bahasa Arab, sehingga ban5yak orang kesulitan memahaminya,
disinilah manfaat tafsīr al-misbāh diharapkan. yaitu dapat membantu
mereka yang kesulitan memahami wahyu Allah tersebut. Kedua,
pemilihan nama ini didasarkan pada awal kegiatan M. Quraish Shihab
dalam hal tulis-menulis di jakarta. Sebelum beliau bermukim di Jakarta
pun, memang sudah aktif menulis, tetapi produksinya sebagai penulis
belum membumi, setelah bermukim di jakarta Pada tahun 1980-an,
beliau menulis rubrik “Pelita Hati” pada harian pelita pada 1994.
Kumpulan tulisanya diterbitkan oleh Mizan dengan judul Lentera Hati.
Lentera merupakan persamaan dari pelita yang arti dan fungsinya sama.
Dalam bahasa arab, lentera, pelita atau lampu disebut misbah, dan kata
inilah yang kemudian dipakai oleh M.Quraish shihab untuk dijadikan
nama karyanya itu.Penerbitanya pun menggunakan nama yang serupa
yaitu LenteraHati.
Latar belakang penulitas Tafsir al-Misbah ini diawali oleh
penafsiran sebelumnya yang berjudul “ Tafsir al-Qur’an al-Karim” pada
tahun 1997 yang dianggap kurang menarik minat orang banyak. Jadi
yang melatarbelakangi lahirnyaTafsīral-
Misbāhiniadalah,karenaantusiasmasyarakatterhadapal-Qur’an sangat
baik, terutamadalam hal cara membaca dan melagukannya. Namun, di
sisi lain dari segi pemahaman terhadap al-Qur’an masih jauh dari
memadai, yang disebabkan oleh faktor bahasa dan ilmu yang kurang
memadai, sehingga tidak jarang orang-orang yang membaca ayat-ayat
tertentu untuk mengusir hal-hal yang gaib, seperti jin dan setan, serta
lain sebagainya. Padahal semestinya ayat-ayat itu harus dijadikan
sebagai hudan (petunjuk) bagi manusia.
Terdapat beberapa metodologi dalam tafsir al-Misbah ini, di
antaranya adalah:
a. Metode Tafsir al-Misbah
34

Dalam Tafsir al-Misbah ini, M. Quraish Shihab menggunakan


metode Tahlily yaitu suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya.46 Dari segi teknis, tafsir
dalam bentuk ini disusun berdasarkan urutan ayat-ayat di dalam al-
Qur’an . Selanjutnya memberikan penjelasan-penjelasan tentang
kosakata makna global ayat, korelasiAsbab an-Nuzul dan hal-hal lain
yang dianggap dapat membantu untuk memahami ayat-ayatal-Qur’an .
Menurut pengamatan penulis, penggunaan metode ini banyak
dipertanyakan oleh para pembaca.Pertama, karena selama ini
Muhammad Quraish Shihab dikenal sebagai tokoh yang
memperkenalkan tafsir maudu’i dan mempopulerkannya ditanah air.
Sebab menurutnya ada beberapa keistimewaan pada metode maudu’i
dibanding metode lain (ijmāli, Tahlili,Muqarran). Kedua, menafsirkan
ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi, satu cara terbaik dalam
menafsirkan al-Qur’an .Ketiga, kesimpulanyang dihasilkan mudah
dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca pada
petunjuk al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan
terperinci dalam satu disiplin ilmu.
Dengan metode ini juga, dapat dibuktikan bahwa persoalan yang
disentuh al-Qur’an bukan bersifat teoritis semata-mata dan tidak dapat
membawa kita kepada pendapat al-Qur’an tentang berbagai problem
hidup disertai dengan jawaban-jawabannya. Ia dapat memperjelas
kembali fungsi al-Qur’an sebagai kitab suci dan dapat membuktikan
keistimewaan al-Qur’an . Keempat, metode ini memungkinkan
seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan
di dalam al- Qur‟an sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-
Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
danmasyarakat.47
b. Corak Tafsir al-Misbah
Hingga saat ini, ketika kita berbicara tentang metodologi Tafsir

46
Abdul Hary al-Farmawy, Metode Tafsir dan Cara Penerapanya, (Jakarta, PT. Raja Grafindo,
1996) hlm. 12.
47
M. Quraish Shihab, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Bandung, Mizan, 2013) hlm. 117.
35

al-Qur’an, banyak yang merujuk pada pemetaan yang dibuat oleh Abd
al-Hayy al-Farmawy, seperti yang termuat dalam bukunya al-Bidāyah
fi Tafsīr al- Maudhu’i. Dalam bukunya itu, al-Farmawi memetakan
metode tafsir menjadi empat macam, yaitu metode tahlili, ijmali,
muqarin, dan metode maudhu’i.
Metode tahlili atau yang menurut Muhammad Baqir Sadr sebagai
metode tajzi’i. Adalah suatu metode panafsiran yang berusaha
menjelaskan al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan
menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al-Qur’an . Dimana seorang
mufasir menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan tertib susunan al-Qur’an
mushhafUtsmani. Ia menafsirkan ayat demi ayat kemudian surah demi
surah dari awal surah al-Fatihah sampai akhir surah al-Nas.48
Menurut al-Farmawi, metode tafsir tahlili ini mencakup tujuh
macam corak tafsir, yaitu.Pertama,Tafsirbi-alMa’tsur. Kedua, Tafsirbi
al- Ra’y. Ketiga, Tafsir Sufi. Keempat, Tafsir Fiqhi, yaitu corak
penafsiran al-Qur’an yang menitik beratkan bahasanya pada aspek
hukum dari al-Qur’an . Corak tafsir jenis ini muncul bersamaan dengan
munculnya tafsirbil al-Ma’tsūr, dan keberadaannya pun sudah ada sejak
zaman Nabi Muhammad saw. Kelima, Tafsir Falsafi, yaitu menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan- pendekatan filosofis, baik
yang berusaha untuk mengadakan sintesis dan singkretisasi antara teori-
teori filsafat dengan ayat-ayat al-Qur’an , maupun berusaha menolak
teori-teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat- ayat al-
Qur’an 49. Corak tafsir ini muncul sebagai akibat dari kemajuan dalam
ilmu pengetahuan dan kebudayaan, dan adanya gerakan penerjemahan
buku- buku asing ke dalam bahasa Arab pada masa Khalifah
Abbasiyyah, di mana buku-buku yang diterjemahkan tersebut
kebanyakan adalah buku-buku filsafat, seperti karya Aristoteles dan
juga Plato. Keenam,Tafsir Ilmiy, yaitu penafsiran yang menggali
kandungan al-Qur’an berdasarkan teori ilmu pengetahuan. Ketujuh,

48
Mohammad Nor Ichwan, Prof. M. Quraish Shihab; Membincang Persoalan Gender,
(Semarang, Rasail, 2013) hlm. 52.
49
Hariffudin Cawidu, Metode dan Aliran Dalam Tafsir, Pesantren No. I/Vol. VIII/1991, hlm. 9.
36

Tafsir Adabi al-Ijtima’I (sosial kemasyarakatan) yaitu corak tafsir yang


berusaha memahami nash-nash al-Qur’an dengan mengemukakan
ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti, selanjutnya menjelaskan
makna-makan yang dimaksud oleh al-Qur’an tersebut dengan gaya
bahasa yang indah dan menarik. Kemudian seorang mufasir berusaha
menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang dikaji dengan kenyataan
sosial dan sistem budaya yang ada. Sementara itu menurut adz-
Dzahabi, yang dimaksud dengan tafsir al-Adabi al-Ijtima’i adalah corak
penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan
penelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas,
dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya al-Qur’an, lalu
mengaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-
masalah umat Islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan
perkembangan masyarakat.50
Dalam tafsir al-Misbah ini, metode yang digunakan Quraish
Shihab adalah metode tahlili (analitik). Pemilihan metode tahlili yang
digunakan dalam tafsir al-Misbah ini didasarkan pada kesadaran
Quraish Shihab bahwa metode maudhu’i yang sering digunakan pada
karyanya yang berjudul “Membumikan al-Qur’an” dan “Wawasan al-
Qur’an”, selain mempunyai keunggulan dalam memperkenalkan
konsep al-Qur’an tentang tema-tema tertentu secara utuh, juga tidak
luput dari kekurangan.51
Sedangkan dari segi corak, tafsir al-Misbah ini lebih cenderung
kepada corak sastra budaya dan kemasyarakatan (adabuijtima’i). Corak
tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara
pertama dan utama mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an
secara teliti. Kemudian menjelaskan makna-makna yang dimaksud al-
Qur’an tersebut dengan bahasa yang indah dan menarik. Selanjutnya
seorang mufasir berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang
dikaji dengan kenyataan serta dengan sistem budaya yang ada.52

50
Mohammad Nor Ichwan, hlm. 54.
51
Ibid., hlm. 58.
52
Abdul Hary l-Farmawi, Metode Tafsir dan Cara Penerapanya, hlm. 27-28.
37

Setidaknya ada tiga karakter yang harus dimiliki oleh sebuah


karya tafsir bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan.Pertama,
menjelaskan petunjuk ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan
kehidupan masyarakat dan menjelaskan bahwa al-Qur’an itu kitab suci
yang kekal sepanjang zaman. Kedua, penjelasan-penjelasan lebih
tertuju pada penanggulangan penyakit dan masalah-masalah yang
sedang mengemuka dalam masyarakat.Ketiga, disajikan dengan bahasa
yang mudah dipahami dan indah didengar.53
c. Karakteristik Tafsir al-Misbah
1) Sumber Penafsiran
Setiap tafsir tentu memiliki rujukan tertentu begitu juga dengan
tafsir al-Misbah. Hamdan Anwar mengatakan “bahwa sumber
penafsiran yang digunakan pada tafsir al-Misbah ada dua. Pertama,
bersumber dari ijtihad penulisnya, sedang yang keduaadalah bahwa
dalam rangka menguatkan ijtihadnya, ia juga mengunakan sumber-
sumber rujukan yang berasal dari pendapat dan fatwa ulama, baik
yang terdahulu maupun mereka yang masih hidup dewasa ini.Tafsir
al-Misbah bukan semata-mata hasil ijtihad M. Quraish Shihab, hal ini
diakui sendiri oleh penulisnya dalam kata pengantarnya ia
mengatakan mengenai penafsiran ini, dapat dinyatakan bahwa tafsīr
al-Misbāh dapat dikelompokkanpada tafsir al-Ra’yi.
Kesimpulan seperti ini dapat dilihat dari pernyataan penulis (M.
Quraish Shihab) yang mengungkapkan pada akhir “sekapur sirih”
yang merupakan sambutan dari karya ini.beliau menulis. “Akhirnya
penulis merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa
apa yang dihidangkan di sini bukan sepenuhnya ijtihad penulis,
melainkan hasil ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-
pandangan mereka, sungguh penulis nukil, khususnya pandangan
pakar tafsir Ibrahim Umar al-Biqa‟i (w 885/1480 M), demikian juga
karya tafsir tertinggi al-Azhar dewasa ini Sayyid Muhammad
Thanthawi, Syeikh Mutawalli al-Sya‟rawi dan tidak ketinggalan pula

53
Mohammad Nor Ichwan, hlm. 61.
38

Sayyid Quttub, Muhammad Thahir Ib ‘Asyur, Sayyid Muhammad


Husein Thabathaba‟i dan beberapa pakar tafsir lainnya).54
2) Langkah-langkah Penafsiran
a) Pada setiap awal penulis surat diawali dengan pengantar mengenai
penjelasan surat yang akan dibahas secara detail, misalnya tentang
jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam surat, nama
lain darisurat.
b) Penulisan ayat dalam tafsir ini, dikelompokkan dalam tema-tema
tertentu sesuai dengan urutannya dan diikuti denganterjemahnya.
c) Menjelaskan kosa kata yang dipandang perlu, serta
menjelaskanmunasabah. Ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat
sebelum maupunsesudahnya.
d) Kemudian menafsirkan ayat yang sedang dibahas, serta diikuti
dengan beberapa pendapat para penafsir lain dan menukil hadis Nabi
yang berkaitan dengan ayat yang sedangdibahas.

54
M. Quraish Shihab,Tafsir Al-Misbah,Vol. I.... hlm.XVIII.
39

BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN/KAJIAN
A. Ayat-ayat al-Qur’an tentang Pemimpin Non Muslim
Ada beberapa ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan pegangan oleh para
Mufassir sebagian anutan umat Muslim untuk tidak menghendaki pimpin
non- Muslim, terutama terkait dengan urusan-urusan publik. Ayat-ayat Al-
Qur’an tersebut yaitu: QS.ali-Imran ayat 28, QS. an-Nisa’ ayat 89, 139, 144,
QS.al-Ma’idah ayat 51, 57, QS. at-Taubah ayat 23, QS. al-Mumtahanah ayat
1. Semua ayat tersebut, meski dengan redaksi yang berbeda-beda, namun
sama-sama menekankan larangan bagi kaum Muslimin untuk tidak memilih
non-Muslim sebagai pemimpin, baik menjadi pemimpin negara atau
pemimpin komunitas Islam.
Dalam pembahasan ini akan penulis paparkan data-data yang
dihasilkan dari penelitian terhadap penafsiran Quraish Shihab dan Sayyid
Quthb yang ada dalam kitab tafsirnya. Seperti biasa beliau mengawalinya
dengan kajian analisis kata-kata kunci. Dalam hal kepemimpinan non-
Muslim ini, salah satu kata kunci yang dianalisis adalah kata auliya’:
1. Larangan mengangkat orang kafir sebagai pemimpin dengan meningalkan
orang mukmin kecuali bersiasat.
‫ك َفلَْيس ِم َن اللَّ ِه فِي َشي ٍء إِاَّل‬
َ ِ‫ين َو َم ْن َي ْف َع ْل ذَل‬ِِ ِ ِ ‫َّخ ِذ الْم ْؤِمنو َن الْ َكافِ ِرين أَولِي‬
َ ‫اء م ْن ُدون ال ُْم ْؤمن‬
ََْ َ ُ ُ ِ ‫اَل َيت‬
ْ َ
ِ ‫أَ ْن َتَّت ُقوا ِم ْن ُهم ُت َقاةً ويح ِّذر ُكم اللَّهُ َن ْفسهُ وإِلَى اللَّ ِه الْم‬
‫صير‬ َ َ َ ُ ُ ََُ ْ
Artinya: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang
kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.barang
siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali
karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan
Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada
Allah kembali mu”. (Q.S. ali- Imran. 28).
2. Larangan mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin.
ٍ ‫ض ُه ْم أ َْولِيَاءُ َب ْع‬
‫ض َو َم ْن َيَت َولَّ ُه ْم ِم ْن ُك ْم‬ ُ ‫اء َب ْع‬ ِ
َ َ‫َّص َارى أ َْولي‬
َ ‫ود َوالن‬
ِ ‫يا أ َُّيها الَّ ِذين آمنُوا اَل َتت‬
َ ‫َّخ ُذوا الَْي ُه‬ َ َ َ َ
ِِ ِ ِ
َ ‫فَِإنَّهُ م ْن ُه ْم إِ َّن اللَّهَ اَل َي ْهدي الْ َق ْو َم الظَّالم‬
‫ين‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu


mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya’ sebahagian
mereka adalah auliya’ bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara
40

kamu mengambil mereka menjadi auliyā‟, Maka Sesungguhnya orang itu


termasuk golongan mereka.Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zalim.” (QS. al-Ma’idah ayat 51)
3. Larangan mengangkat pemimpin orang-orang yang mempermainkan agama.
‫اب ِم ْن َق ْبلِ ُك ْم‬ ِ ِ َّ ِ ِ ِ
َ ‫ين اتَّ َخ ُذوا دينَ ُك ْم ُه ُز ًوا َولَعبًا م َن الذ‬
َ َ‫ين أُوتُوا الْكت‬
ِ َّ ِ
َ ‫آمنُوا اَل َتتَّخ ُذوا الذ‬
َ ‫ين‬
ِ َّ
َ ‫يَا أ َُّي َها الذ‬
ِِ ِ
َ ‫اء َو َّات ُقوا اللَّهَ إِ ْن ُك ْنتُ ْم ُم ْؤمن‬
‫ين‬ َ َ‫َوالْ ُك َّف َار أ َْولي‬
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu mengambil
jadi auliya’, orang-orang yang membuat agamamu Jadi buah ejekan dan
permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab
sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan
bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang
beriman.” (QS. al-Maidah:57)
4. Larangan mengangkat pemimpin kafir karena menyebabkankaum Muslim
terjerumus dalam kekafiran.
‫يل اللَّ ِه‬ ِ ‫َّخ ُذوا ِم ْن ُهم أَولِياء حتَّى ي َه‬
ِ ِ‫اج ُروا فِي َسب‬ ِ ‫ودُّوا لَو تَ ْك ُفرو َن َكما َك َفروا َفتَ ُكونُو َن سواء فَاَل َتت‬
ُ َ ََْ ْ ً ََ ُ َ ُ ْ َ
ِ َ‫َّخ ُذوا ِم ْن ُهم ولِيًّا واَل ن‬
‫ص ًيرا‬ ِ ‫وهم واَل َتت‬ ُ ‫فَِإ ْن َت َولَّ ْوا فَ ُخ ُذ‬
َ َْ َ ْ ُ ‫ث َو َج ْدتُ ُم‬
ُ ‫وه ْم َح ْي‬
ُ ُ‫وه ْم َواق ُْتل‬
Artinya: “mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana
mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).
Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu),
hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling,
tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan
janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung,
dan jangan (pula) menjadi penolong.” (QS. an-Nisa: 89)
5. Larangan mengambil orang-orang kafir sebagai auliya’ karena tujuan
mencari kekuatan.
‫ين أ ََي ْبَتغُو َن ِع ْن َد ُه ُم ال ِْع َّزةَ فَِإ َّن ال ِْع َّزةَ لِلَّ ِه َج ِم ًيعا‬ِِ ِ ِ ‫َّخ ُذو َن الْ َكافِ ِرين أَولِي‬
ِ ‫الَّ ِذين يت‬
َ ‫اء م ْن ُدون ال ُْم ْؤمن‬
ََْ َ ََ
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir
menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu?Maka
Sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS. an-Nisa: 139).
B. Pemimpin Non Muslim menurut M. Quraigh Shibab
1. Pengertian Pemimpin menurut M. Quraish Shihab
Dalam pandangan islam, setiap orang adalah pemimpin, paling
tidak memimpin dirinya sendiri bersama apa yang berada di sekitarnya,
Semakin luas ruang lingkup yang dicakup oleh wewenang seseorang,
41

semakin luas pula tanggung jawabnya, dan semakin luas tanggung


jawabnya, semakin berat dan luas pulapersyaratannya.
Menurut M. Quraish Shihab, merujuk kepada al-Qur’an , istilah
pemimpin yang digunakan oleh al-Qur’an adalah Imam dan Khalifah.
Kata Imām terambil dari kata amma, ya’ummu, yang berarti menuju,
menumpu, dan meneladani. Dalam bahasa agama Imamdinamai
pemimpin, sedang masyarakatnya dinamai ummat. Keduanya Imām dan
Umat terambil dari akar kata yang sama yang berarti, sesuatu yang
dituju. Pemimpin menjadi imām karena kepadanya mata dan harapan
masyarakat tertuju. Di sisi lain, masyarakat dinamai umat karena
aktivitas dan upaya-upaya imam harustertuju demi kamaslahatan umat.
Kesamaan akar kedua kata di atas sekaligus mengisyaratkan bahwa
imam adalah wakil mayarakat.55
Sedangkan kata Khalīfah berakar dari kata khalafa yang pada
mulanya berarti di belakang. Dari sini kata Khalīfah seringkali diartikan
dengan pengganti, karena yang menggantikan selalu berada di
belakang, atau datang sesudah yang digantikan. Dari satusisi, kata ini
menegaskan kedudukan pemimpin yang hendaknya berada di belakang
untuk mengawasi dan membimbing yang dipimpinnya bagaikan
penggembala.56Tujuan pengawasan dan bimbingan itu adalah
memelihara serta mengantar gembalanya menuju arah dan
tujuanbersama.
Dari kedua istilah di atas, kita dapat berkata bahwa al-Qur’an
menggunakan kedua istilah ini, untuk menggambarkan ciri seorang
pemimpin, sekali didepan menjadi panutan, ingngarso sung tulodo, dan
di kali lain di belakang untuk mendorong, sekaligus mengikuti,
kehendak dan arah yang dituju oleh yang dipimpinnya, atau tut
wurihandayani.

55
M. Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an; Kisah Dan Hikmah Kehidupan, (Bandung, PT. Mizan
Pustaka, 2013) hlm 315.
56
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an jilid 2; Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan,
(Tangerang: Lentera Hati, 2006) hlm. 686.
42

Menurut M. Quraish Shihab seorang pemimpin hendaknya


memiliki lima sifat pokok. Kelima sifat tersebut terungkap dalam dua
ayat, yaitu QS as-Sajdah ayat 24:
‫صَب ُروا َو َكانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُو َن‬ ِ ِ
َ ‫َو َج َعلْنَا م ْن ُه ْم أَئ َّمةً َي ْه ُدو َن بِأ َْم ِرنَا ل ََّما‬
Artinya: “dan Kami jadikan di antara mereka itu oemimoin-
pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka
sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami. (QS. As-Sajadah:
24)
Dan QS al-Anbiya>’ ayat 73:
‫الز َك ِاة َو َكانُوا‬ ِ َّ ‫ات وإِقَام‬
َ َ‫الصاَل ة َوإِيت‬
َّ ‫اء‬ ِ ِ ِ ُ َ‫وجعلْن‬
َ َ ‫اه ْم أَئ َّمةً َي ْه ُدو َن بِأ َْم ِرنَا َوأ َْو َح ْينَا إِل َْي ِه ْم ف ْع َل الْ َخ ْي َر‬ ََ َ

‫ين‬ ِِ
َ ‫لَنَا َعابد‬
Artinya: “dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-
pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami
wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan shalat
dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah”
(QS al-Anbiya>’: 73)
Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
a. Kesabaran dan ketabahan,“kami jadikan mereka pemimpin-
pemimpin ketika mereka tabah atausabar”.
b. Mengantar masyarakatnya ketujuan yang sesuai dengan
petunjukTuhan “Yahduna bi amrina”.
c. Telah membudaya pada diri mereka kebajikan “Wa auḥaina>
ilaihim fi>’la al-khaira>t”
d. Beribadah“A<bidi>n”.
e. Penuhkeyaqinan“Yu>qinu>n”.
Dari kelima sifat tersebut, al-shabr (ketekunan dan ketabahan)
dijadikan Allah sebagai konsiderans pengangkatan, sebagaimana firman-
Nya, “kami jadikan mereka pemimpinketika mereka tabah atau sabar”, ,
untuk menegaskan inilah sifat yang amat pokok bagi seorang pemimpin.
Sedangkan sifat-sifat lainnya menggambarkan sifat mental yang melekat
pada diri mereka”.57

57
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama Al-Qur’an, (Bandung, PT. Mizan
Pustaka, cet. II, 2007) hlm. 69
43

Sifat kedua mengandung arti bahwa seorang pemimpin minimal


harus mampu menunjukkan jalan kebahagiaan atau kesejahteraan kepada
rakyatnya, dan yang lebih terpuji adalah pemimpin yang dapat
mengantar mereka kepintu gerbang kebahagiaan, atau dengan kata lain
seorang pemimpin tidak sekedar menunjukkan, tetapi hendaknya mampu
pula memberi contoh sosialisasinya. hal ini dapat mereka capai bila
kebijakan telah mendarah daging dalam diri mereka, atau dengan kata
lain mereka memiliki akhlak luhur sebagaimana dipahami dari sifat
ketiga dan keempat. Itu semua dapat terlaksana karena adanya keyakinan
penuh, yang menghiasi dada mereka.
Berbicara mengenai pentingnyamengangkat pemimpin, M. Quraish
Shihab sependapat dengan sebagian besar para ulama.bahwa, agama
sangat menekankan perlunya kehadiran pemimpin demi menata
kehidupan masyarakat, bahkan demi terlaksananya agama itu sendiri.
Dalam hal ini, M. Quraish Shihab mengutip dari Ibn Taimiyah, dalam
bukunya, al-Siyyasah al- Syar’iyyah “Enam puluh tahun di bawah
pemerintahan yang zalim lebih baik dari semalam tanpa
pemerintahan”.58 Ini dikarenakan tanpa pemimpin di suatu negara akan
terjadi kekacauan. Ketentraman dan stabilitas merupakan kebutuhan
masyarakat, dan itu tidak dapat terwujud tanpa undang-undang dan
peraturan serta tanpa pemimpin yang mengelolanya.59
Kepemimpinan bukan keistimewaan, tetapi tanggung jawab.Ia
bukan fasilitas, tetapi pengorbanan ia juga bukan leha-leha, tetapi kerja
keras. Ia juga bukan kesewenang-wenangan bertindak, tetapi
kewenangan melayani. Selanjutnya, kepemimpinan adalah keteladanan
berbuat dan kepeloporan bertindak.60
2. Pengertian Non Muslim menurut M. Quraish Shihab
Dalam pandangan Islam pengertian non-Muslim diartikan dengan
istilah Kāfir karena tidak mempercayai dan tidak mengimani atau tidak
memeluk agama Islam.pengertian ini mencakup kaum Yahudi, Nasrani,

58
Ibid., hlm. 76.
59
M. Quraish Shihab, Lentera, hlm. 313.
60
M. Quraish Shihab, Secercah, hlm. 65.
44

dan Musyrikīn seperti yang terdapat dalam al-Qur’an . Menurut M.


Quraish Shihab didalam kitab Tafsirnya, makna kāfir adalah orang-orang
yang menutupi tanda- tanda kebesaran Allah dan kebenaran yang
terhampar dengan jelas di alam raya ini. Tetapi perlu diingat bahwa al-
Qur’an menggunakan kata kāfirdalam berbagai bentuknya untuk banyak
arti, puncaknya adalah pengingkaran terhadap wujud atau keesaan Allah,
disusul dengan keengganan melaksanakan perintah atau menjauhi
larangan-Nya walau tidak mengingkari wujub dan keesaan-Nya, sampai
kepada tidak mensyukuri nikmat-Nya yakni kikir. Bukankah Allah
memperhadapkan Syukur dengan kufur untuk mengisyaratkan bahwa
lawan syukur yakni kikir adalah kufur.61
Sedangkan jenis-jenis kufur ada lima macam, yaitu kufur
Juhudyang terdiri dari dua macam kekufuran, pertama mereka yang
tidak mengakui wujud Allah, seperti hal-halnya orang-orang ateis dan
orang-orang komunis, sedang kufur juhud yang kedua adalah mereka
yang mengetahui kebenaran tetapi menolaknya, antara lain karena
dengkidan iri hati kepada pembawa kebenaran itu. Para ulama‟
menyebut kekufuran ketiga dengan istilah kufur ni’mah dalam arti tidak
mensyukuri nikmat Allah, seperti antara lain diisyaratkan oleh firman-
Nya:
‫َوإِ ْذ تَأَذَّ َن َربُّ ُك ْم لَئِ ْن َش َك ْرتُ ْم أَل َ ِزي َدنَّ ُك ْم َولَئِ ْن َك َف ْرتُ ْم إِ َّن َع َذابِي لَ َش ِدي ٌد‬

Artinya: “kalau kamu bersyukur pastilah Ku-tambah untuk kamu


(nikmat- Ku) dan bila kamu kafir, maka sesungguhnya siksa-ku pastilah
amat pedih” (QS. Ibrahim: 7).
Kufur keempat adalah kufur dengan meninggalkan atau tidak
mengerjakan tuntutan agama kendati tetap percaya. Ini seperti firman-
Nya:
ٍ ‫اب َوتَ ْك ُف ُرو َن بَِب ْع‬
‫ض‬ ِ َ‫ْكت‬ ِ ‫أَ َف ُت ْؤِمنُو َن بَِب ْع‬
ِ ‫ض ال‬

Artinya: “apakah kamu percaya kepada sebagian al-Kitab dan


kafir terhadap sebagian lainnya” (QS. al-Baqarah: 85)
Dan yang kelima adalah kufur bara>’ah dalam arti tidak merestui
dan berlepas diri, disebutkan dalam firman-Nya:

61
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, hlm. 72.
45

ِ ‫إِنَّا برآء ِم ْن ُكم وِم َّما َت ْعب ُدو َن ِمن ُد‬


َ ‫ون اللَّ ِه َك َف ْرنَا بِ ُك ْم َوبَ َدا َب ْيَننَا َو َب ْينَ ُك ُم ال َْع َد َاوةُ َوالَْب ْغ‬
ُ‫ضاء‬ ْ ُ َ ْ ُ َُ
‫أَبَ ًدا‬

Artinya: “...kami telah kafir kepada kamu dan telah jelas antara
kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya...”
(QS al-Mumtahanah: 4).62
Sedangkan apabila dilihat dari segi sikap mereka terhadap kaum
Muslimin, M. Qurashs hihab menukil dari M. Sayyid Thanthawi dalam
tafsirnya, membagi mereka menjadi tiga kelompok.Pertama, mereka
yang tinggal bersama kaum Muslimin, dan hidup damai bersama
mereka, tidak melakukan kegiatan untuk kepentingan lawan Islam serta
tidak juga tampak dari mereka tanda-tanda yang mengantar kepada
prasangka buruk terhadap mereka. Kelompok ini mempunyai hak dan
kewajiban sosial yang sama dengan kaum Muslimin. Tidak ada larangan
untuk bersahabat dan berbuat baik kepada mereka. Kedua, kelompok
yang memerangi atau merugikan kaum Muslimin dengan berbagai cara.
Terhadap mereka tidak boleh dijalin hubungan harmonis, tidak boleh
juga didekati.Merekalah yang dimaksud oleh ayat larangan menjadikan
mereka sebagai waliy. Yang ketiga, kelompok yang tidak secara terang-
terangan memenuhi kaum Muslimin, tetapi ditemukan pada mereka
sekian indikator yang menunjukkan bahwa mereka tidak bersimpati
kepada kaum Muslimin tetapi mereka bersimpati kepada musuh-musuh
Islam.Terhadap mereka Allah memerintahkan kaum beriman agar
bersikap hati-hati tanpa memusuhi mereka.63
C. Penafsiran Non Muslim menurut M. Quraish Shihab
Agar mendapatkan sebuah pemahaman M. Quraish Shihab tentang
bagaimana sikap Muslim mengangkat non-Muslim dalam pemerintahan.
Penulis akan menganalisis ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas tentang
interaksi Muslim dan non-Muslim, yang ditafsirkannya.
Landasan normatif yang sering dijadikan sebagai titik tolak ketika
membicarakan persoalan ini adalah QS. al-Ma’idah ayat 57:
62
Ibid, hlm. 118.
63
Ibid, hlm. 154
46

‫اب ِم ْن َق ْبلِ ُك ْم‬ ِ ِ َّ ِ ِ ِ


َ ‫ين اتَّ َخ ُذوا دينَ ُك ْم ُه ُز ًوا َولَعبًا م َن الذ‬
َ َ‫ين أُوتُوا الْكت‬
ِ َّ ِ
َ ‫آمنُوا اَل َتتَّخ ُذوا الذ‬
َ ‫ين‬
ِ َّ
َ ‫يَا أ َُّي َها الذ‬
ِِ ِ
َ ‫اء َو َّات ُقوا اللَّهَ إِ ْن ُك ْنتُ ْم ُم ْؤمن‬
‫ين‬ َ َ‫َوالْ ُك َّف َار أ َْولي‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
Jadi auliya’, orang-orang yang membuat agamamu Jadi buah ejekan dan
permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab
sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan
bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang
beriman”. (QS. al-Ma’idah: 57)
Ayat ini sering dipahami bahwa hak pemimpin dalam pemerintahan
hanya ada pada kalangan Muslim saja.Artinya, non-Muslim tidak berhak
untuk dijadikan pemimpin. Menurut penulis, Hal ini bisa dipahami, karena
sebagaimana non-Muslim sangat membenci kaum Muslimin dan sifat-sifat
buruk yang dimilikinya, dan ada ayat-ayat al-Qur’an yang mengecam
mereka sebagai kaum yang membuat kerusakan didunia Ini. sehingga sangat
mustahil pemerintahan suatu negara diserahkan kepada mereka, apalagi
negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Ditambah lagi orang
yang menjadikannya (non-Muslim) sebagai wali>-nya, diancam akan
dikeluarkan dari barisan kaum Muslimin yang dengan demikian Allah tidak
akan menjadi penolongya..
Dengan demikian tidak salah sekiranya banyak para pemikir islam
melarang kaum Muslimin bahkan mengharamkan secara mutlak mengangkat
mereka menjadi pemimpin pemerintahan yang mengatur ketertiban
kehidupan Muslimin dalam bernegara dan bermasyarakat sepertibeberapa
ulama tafsir seperti Ash-Shabuny dan Mustafa al-Maraghy.64
Dari pengamatan penulis, ada sedikit perbedaan pemahaman M.
Quraish Shihab, tentang kebolehan kaum Muslimin mengangkat non-
Muslim sebagai pemimpin pemerintahan.Ini bisa terlihat dari penafsiran
beliau QS.al-Maidah ayat 51. Sebelum beliau menafsirkan ayat tersebut
secara panjang lebar, Beliau mendahuluinya dengan kata “jika keadaan
Yahudi atau Nasrani atau siapa pun seperti dilukiskan oleh ayat-ayat yang
lalu”.kata-kata ini menunjukkan bahwa, M. Quraish Shihab berpapasan

64
Sukron Kamil, (ed), Syariah Islam dan Ham Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil,
Hak-Hak Perempuan, dan Non-Muslim, (Jakarta: (CRSC), 2007), hlm. 79.
47

kepada kita untuk melihat pada ayat-ayat lainnya berkenaan dengan sikap
buruk mereka yang di kecam oleh al-Qur’an.
Beberapa sifat buruk orang-orang non-Muslim yang dijelaskan oleh al-
Qur’an diantaranya adalah orang-orang Ahlal-Kitab selalu berupaya untuk
mengalihkan umat Islam dari agamanya, atau paling tidak menanamkan
benih- benih keraguan seperti QS al-Baqarah ayat 109.
‫يمانِ ُك ْم ُك َّف ًارا َح َس ًدا ِم ْن ِع ْن ِد أَْن ُف ِس ِه ْم ِم ْن َب ْع ِد َما‬ ِ ِ
َ ِ‫اب ل َْو َي ُردُّونَ ُك ْم م ْن َب ْعد إ‬
ِ ‫و َّد َكثِير ِمن أ َْه ِل ال‬
ِ َ‫ْكت‬ ْ ٌ َ
‫اص َف ُحوا َحتَّى يَأْتِ َي اللَّهُ بِأ َْم ِر ِه إِ َّن اللَّهَ َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِد ٌير‬
ْ ‫ْح ُّق فَا ْع ُفوا َو‬
َ ‫َتَبيَّ َن ل َُه ُم ال‬
Artinya: “Banyak di antara Ahli Kitab menginginkan sekiranya
mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir
kembali, karena rasa dengki dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas
bagi mereka. Maka maafkanlah dan berlapangdadalah, sampai Allah
memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
(QS. al-Baqarah: 109)
Dalam Tafsirnya, M. Quraish Shihab menyatakan, ayat ini
memperingatkan umat Islam bahwa banyak di antara Ahl al-Kitab, yakni
orang Yahudi dan Nasrani, menginginkan dari lubuk hati mereka disertai
dengan upaya nyata seandainya mereka dapat mengembalikan kamu semua
setelah keimanan kamu kepada Allah dan Rasul-Nya kepada kekafiran, baik
dalam bentuk tidak mempercayai tauhid dan rukun-rukun iman maupun
kekufuran yang bersifat kedurhakaan serta pelanggaran pengamalan
Agama.65
Mereka memperolok-olok Agama Islam dan Menghina
kesuciannya.Salah satu pelecehan atau olok-olokan mereka adalah adzan
yang dilakukan orang Islam. Diriwayatkan bahwa sementara orang kāfir
Yahudi dan Nasrani ketika mendengar adzan, mereka datang kepada Rasul
saw. Dan berkata: “engkau telah membuat satu tradisi baru yang tidak
dikenal oleh para Nabi sebelummu. Seandainya engkau Nabi, tentu engkau
tidak melakukan itu, dan seandainya apa yang engkau lakukan ini baik,
tentu para nabi terdahulu telah melakukannya. Alangkah buruk suara
panggilanunta (kafilah) ini”.66

65
M. Quraish Shihab,Tafsir Al-Misbah, Vol. I...hlm. 350.
66
Ibid, Vol. III, hlm. 169.
48

Mereka yang memperolok-olokan agama itu seraya berkata, “kami


tidak mengetahui suatu agama lebih buruk dari agamamu.”Maksud mereka,
agama Islam adalah agama terburuk.67 Diceritakan mengenai sikap orang-
orang kafir Mekkah yang memperolok-olokkan Nabi Muhammad, yang
menganggap bahwa al-Qur’an yang dibacakan kepada mereka hanyalah
berita bohong yang diada-adakan oleh Nabi Muhammad ataukah sihir yang
nyata. diungkapkan mengenai sikap orang-orang kafir yang mengejek
Muhammad berkenaan dengan berita tentang hari kebangkitan yang
disampaikan kepada mereka.68
Sejarah mencatat perbuatan buruk mereka terhadap umat Islam, mulai
sejak masa hidup Nabi dan terus berlanjut hingga masa sekarang. Sayyid
Quthub memberi contoh lembaran-lembaran sejarah tentang sikap kaum
musyrikin terhadap kaum Muslimin guna membuktikan betapa kerasnya
mereka terhadap kaum Muslimin. Kata Sayyid Quthub, keadaan pada masa
turunnya wahyu di Jazirah Arabia cukup jelas, sebelum dan sesudah itu, dan
di luar Jazirah Arabia demikian juga. Sikap kelompok tartar yang
menyerang Baghdad tahun 656 H Sungguh sangat memilukan.Berbeda
pendapat sejarahwan tentang jumlah yang terbunuh dengan kejam ketika
itu.Angka terendah adalah delapan ratus ribu orang dan angka tertinggi
adalah dua juta orang.Mereka membunuh orang tua, wanita, dan anak-
anak.Para korban bergelimpangan dijalan, tidak ada mengurus atau
menguburkannya.69
Setelah kita melihat sebagian sifat-sifat non-Muslim yang di kecam ini.
M. Quraish Shihab mengatakan bahwa, pelarang mengangkat non-Muslim
menjadi pemimpin suatu negara adalah pelarangan yang bersyarat.
Sebagaimana ungkapan beliau sebelum menafsirkan QS.al-Ma‟idah ayat 57.
“Kini kembali dipertegas larangan mengangkat non-Muslim menjadi
auliya’, tetapi kini disertai dengan alasan larangan itu.” imbuhnya
Menurut M. Quraish Shihab, Sebagian orang bahkan ulama, tidak
menyadari bahwa kecaman dan sifat-sifat buruk yang disandangkan kepada

67
Ibid, Vol. V, hlm. 171.
68
Harifuddin Cawidu, hlm. 33.
69
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol V, hlm. 27.
49

non-Muslim hanya tertuju kepada sebagian atau kebanyakan mereka


sehingga menduganya bersifat mutlak, yakni berlaku bagi semua non-
Muslim. Padahal, sikap pro atau kontra yang dapat terjadi pada bangsa-
bangsa dan pemeluk- pemeluk agama, sebagaimana terlihat kemudian pada
orang-orang yahudi. Di masa awal Islam, orang-orang yahudi begitu
membenci orang-orang Mukmin.Namun, mereka berbalik sikap dan
membantu kaum Muslimin dalam beberapa peperangan.seperti di Andalusia,
atau seperti halnya orang-orang Mesir yang membantu kaum Muslimin
berperang melawan Romawi.70
M. Quraish Shihab memperkuat pendapatnya ini dengan
mengemukakan beberapa ayat-ayat al-Qur’an , Untuk menjelaskan hal itu
perlu terlebih dahulu diketahui bahwa, menurut pengamatan M. Quraish
Shihab, bila melihat bagaimana ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang
non-Mualim. Kesan umum yang diperoleh bahwa, bila al-Qur’an
menggunakan kata al-Yahu>d maka isinya adalah kecaman atau gambaran
negatif tentang mereka. Perhatikan misalnya firman-Nya tentang kebencian
orang Yahudi terhadap kaum Muslim, atau ketidak relaan orang-orang
Yahudi dan Nasrani terhadap kaum Muslimin sebelum umat Islam
mengikuti mereka, atau pengakuan mereka bahwa orang Yahudi dan
Nasrani adalah putra-putra dan kekasih Allah atau pernyataan orang Yahudi
bahwa tangan Allah terbelenggu (kikir) QS al- Māidah ayat 64 dan
sebagainya. Ayat tersebut berbunyi:

َ ‫ان ُي ْن ِف ُق َك ْي‬
ُ‫ف يَ َشاء‬
ِ َ‫ت أَي ِدي ِهم ول ُِعنُوا بِما قَالُوا بل ي َداهُ م ْبسوطَت‬
ُ َ َ َْ َ
ِ
َ ْ ْ ْ َّ‫ود يَ ُد اللَّه َم ْغلُولَةٌ غُل‬
ِ ‫وقَال‬
ُ ‫َت الَْي ُه‬ َ
Artinya: “ dan orang-orang Yahudi berkata; tangan Allah
terbelenggu. Sebenarnya tangan merekalah yang terbelenggu dan
merekalah yng dilaknat disebabkan apa yang mereka katakan, padahal
kedua tangan Allah terbuka, Dia memberi rezeki sebagaimana Dia
kehendaki... (QS. al-Ma>’idah: 64).
Ayat tersebut memiliki arti tekstual sebagai kecaman terhadap
golongan Yahudi karena ucapan yang mereka lontarkan. Pada ayat-ayat
yang tersebar di dalam al-Qur’an, ada juga yang mencantumkan sifat
netralitas yang dimiliki sebagian dari mereka. Maka dengan begitu, tidak
semua non-Muslim mempunyai ciri-ciri yang telah dikecam oleh al-
70
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab, hlm. 320.
50

Qur’an .diantara mereka ada yang bersifat netral dengan Muslim, bahkan
ada diantara mereka yang di puji oleh al-Qur’an , karena telah membantu
umat Muslim.
Disebabkan oleh sifat-sifat atau ciri-ciri inilah muncul kecaman itu.
Karenanya, kecaman itu tidak berlaku bagi yang mereka tidak memiliki sifat
dan ciri demikian, meski berasal dari keturunan Ishaq (Yahudi). Sebaliknya,
siapapun yang memilikii sifat-sifat demikian baik dari keturunan Ishaq
maupun keturunan Nabi lain, entah menganut ajaran Yudisme maupun Islam
semuanya wajar untuk dikecam.71
Artinya, non-Muslim yang mempunyai sifat buruk, yang dikecam oleh
al-Qur’an ini, dilarang untuk mengangkatnya menjadi suatu pejabat negara.
Sebaliknya, non-Muslim yang tidak bersifat buruk yang dikecam al-Qur’an
ini, dibolehkan mengangkatnya menjadi salah satu pejabat Negara.
Bukankah kepemimpinan adalah sebuah kemampuan dan kesiapan yang
dimiliki oleh seseorang untuk dapat memelihara, mengawasi dan melindungi
orang-orang yang dipimpinnya.Karena kepemimpinan adalah amanah yang
harus diserahkan oleh orang-orang yang sanggup mengembannya. Salah satu
arti amanat menurut Rasulullah adalah kemampuan atau keadilan dalam
jabatan yang akan dipangku, Nabi juga bersabda:“apabila amanat disia-
siakan, maka natinkanlah kehancuran”. Ketika ditanya: “bagaimana
menyia-nyiakannya?” Beliau menjawab: “apabila wewenang pengelolaan
diserahkan kepada yang tidak mampu. Sebagaimana yang di kutip oleh M.
Quraish Shihab.72Maka tidak salah bila Nabi menolak Abu Dzar ketika
meminta suatu jabatan, karena Nabi tahu abu Dzar orang yang lemah untuk
memegang suatujabatan.
Menurut M. Quraish Shihab. al-Qur’an memberi petunjuk secara
tersurat atau tersirat. Dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia,
termasuk upaya menjawab “siapakah yang layak kita pilih” dari celah ayat-
ayat al-Qur’an ditemukan paling sedikit dua sifat pokok yang harus
disandang oleh seorang yang memikul suatu jabatan yang berkaitan dengan
hak-hak masyarakat. Kedua hal itu hendaknya diperhatikan dalam
71
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab... hlm. 319.
72
Ibid, hlm. 314.
51

menentukan pilihan.“sesungguhnya orang yang paling baik engkau


tugaskan adalah yang kuat lagi terpercaya,” demikian ucapan putri Nabi
Syu‟aib yang dibenarkan dan diabadikan dalam QS al-Qashash ayat 26 yang
disebutkan di atas. Konsiderans pengangkatan yusuf sebagai kepala badan
Logistik kerajaan Mesir yang disampaikan oleh rajanya dan diabadikan pula
oleh al-Qur’an adalah “sesungguhnya engkau menurut penilaian kami
adalah seorang yang kuat lagi terpercaya.”QS Yusuf ayat54.
Arti “kuat” bisa dipahami dengan kesanggupan seseorang
mengemban suatu jabatan, Sebagai mana hadis diatas.Sedangkan kata
“terpercaya” bisa dipahami dengan Adil. Dalam QS al-Baqarah ayat 124
yang berbunyi:
‫ال‬ َ َ‫ال َوِم ْن ذُ ِّريَّتِي ق‬
ُ َ‫ال اَل َين‬ ِ ‫ك لِلن‬
َ َ‫َّاس إِ َم ًاما ق‬ ِ ‫ال إِنِّي ج‬
َ ُ‫اعل‬ َ
ٍ ‫وإِ ِذ ابَتلَى إِبر ِاهيم ربُّهُ بِ َكلِم‬
َ َ‫ات فَأَتَ َّم ُه َّن ق‬ َ َ َ َْ ْ َ
ِِ ِ
َ ‫َع ْهدي الظَّالم‬
‫ين‬
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan
beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya.
Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi
seluruh manusia." Ibrahim berkata, "(Dan saya mohon juga) dari
keturunanku." Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang
zalim." (QS al-Baqarah: 124)

Diuraikannya tentang pengangkatan Nabi Ibrahim sebagai Imam atau


pemimpin. Mendengar hal tersebut, Nabi Ibrahim a.s. bermohon agar
kehormatan ini diperoleh pula anak cucunya. Akan tetapi, Allah
menggariskan suatu syarat, yaitu, “perjanjian-Ku ini tidak diperoleh orang-
orang yang berlaku aniaya”.Ini mengisyaratkan, kepemimpinan harus
berdasar sifat-sifat terpuji yang intinya adalah keadilan.Ayat disini
menjelaskan kepada kita, dasar pengangkatan jabatan bukan dari dasar
agama tetapi atas dasar kesanggupan dan kemampuan seseorang untuk
mengemban jabatan.Tidak dapat disangkal bahwa Dasar pengangkatan
seorang pejabat pemerintahan adalah kepantasan dan kelayakan orang
tersebut terhadap pekerjaan yang ada (fit and proper).73

73
Ahmad Ibrahim, Abu Sinn, Ahmad Ibrahim, Manajemen Syariah Sebuah Kajian Historis dan
Kontemporer, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2006) hlm. 63.
52

Memang banyak ayat-ayat al-Qur’an yang secara tekstual melarang


kaum Muslimin mengangkat non-Muslim sebagai auliyā’ (yang biasa
diterjemahkan pemimpin-pemimpin). Misalnya QS al-Māidah ayat 51 dan
lain sebagainya.
Dalam al-Qur’an dan Terjemahnya oleh Tim Departemen Agama,
kata auliya’ diterjemahkan dengan pemimpin-pemimpin. Sebenarnya,
menerjemahkannya demikian tidak sepenuhnya tepat.Menurut M. Quraish
Shihab, kata (‫ )اولياء‬auliya’ adalah bentuk jamak dari kata (‫ )ولي‬waliy. Kata
ini terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf wawu, lam, ya‟ yang
makna dasarnya adalah dekat.Dari sini kemudian berkembang makna-makna
baru, seperti pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama,
dan lain-lain yang kesemuanya diikat oleh benang merah kedekatan.itu
sebabnya ayah adalah orang paling utama yang menjadi waliy anak
perempuanya karena dia adalah yang terdekat kepadanya. Orang yang amat
taat dan tekun beribadah dinamai waliy karena dia dekat dengan Allah.
Seorang yang bersahabat dengan orang lain sehingga mereka selalu bersama
dan saling menyampaikan rahasia karena kedekatan mereka juga dapat
dinamai waliy. Demikian juga pemimpin karena dia seharusnya dekat
dengan yang dipimpinnya.Demikian terlihat bahwa semua makna yang
dikemukakan di atas dapat dicakup oleh kata auliya>’.74
Dalam menafsirkan kata auliya>’, M. Quraish Shihab juga merujuk kepada
T{haba>t}aba>’i>. Menurut beliau, Dua orang yang saling menyayangi ,
biasanya, saling membantu dan bekerja sama dalam menyelesaikan
permasalahan mereka, dan tidak segan-segan untuk saling membuka rahasia
masing-masing, dengan dasar pengertian ini, maka, menurut al-
T{a>ba>t}aba>’i>, perwalian yang dilarang adalah persekutuan dan
persahabatan rohaniah yang menyebabkan orang-orang mukmin mentaati
orang-orang kafir dan meneladani tradisi dan adat istiadat mereka. 75Al-
Qur’an menjelaskan, dalam membina hubungan persahabatan dengan non-
Muslim adalah tertutupnya kemungkinan untuk bekerja sama dalam

74
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol V, hlm. 151.
75
Harfuddin Cawidu, hlm. 211.
53

masalah-masalah yang langsung menyangkut ritual murni dan akidah seperti


yang tertera pada sebagain firman-Nya:

‫قُ ْل يَا أ َُّي َها الْ َكافِ ُرو َن اَل أَ ْعبُ ُد َما َت ْعبُ ُدو َن َواَل أَْنتُ ْم َعابِ ُدو َن َما أَ ْعبُ ُد َواَل أَنَا َعابِ ٌد َما َعبَ ْدتُ ْم َواَل‬

‫أَْنتُ ْم َعابِ ُدو َن َما أَ ْعبُ ُد لَ ُك ْم ِدينُ ُك ْم َولِ َي ِدي ِن‬

Artinya: “Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan


menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan
yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang
kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan
yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. al-
Ka>firu>n: 1-6)
Sejalan dengan pendapat M. Asad yang mengatakan bahwa pengertian
wali yang dilarang dalam ayat tersebut lebih banyak berkonotasi aliansi
moral ketimbang aliansi polotik bentuk aliansinya, berimplikasi
pengambilan over tradisi dan pandangan hidup orang-orang kafir dan
menjadikanya sebagai preferensi ketimbang tradisi dan pandangan hidup
Muslim sendiri. Membina hubungan dan kerjasama dengan orang-orang
non-Muslim dalam bidang- bidang sosial, ekonomi, politik, ilmu
pengetahuan, teknologi, seni budaya, dan sebagainya dalam rangka
menciptakan masyarakat yang damai, sejahtera dan berkeadilan, tidaklah
dilarang dalam Islam.76
Maka karena sifat-sifat atau ciri-ciri diataslah sehingga muncul
larangan itu. Oleh karena itu, ia hanya berlaku bagi mereka yang
mempunyai berbagai sifat atau ciri demikian, kendati mereka seagama,
sebangsa, dan seketurunan dengan Muslimin. Jadi, memilih pemimpin yang
bukan Muslim tidak terlarang.77

76
Ibid, hlm. 212.
77
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab, hlm. 333.
54

BAB IV
TEMUAN DAN PEMBAHASAN KAJIAN/PEMIKIRAN
A. Penafsiran Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Pemimpin non-Muslim dalam
Tafsīr al-Miṣbah menurut Quraish Shihab
Kata auliya’ yang merupakan jamak dari kata waliy yang makna
dasarnya “dekat”.auliya’ adalah bentuk plural dari waliy yang erat dengan
konsep wala‟ atau muwalah yang mengandung dua arti pertama,
pertemanan dan aliansi, kedua proteksi atau patronase (dalam kerangka
relasi patron klien). Kata waliy berarti pemerintah, putra mahkota, dan orang
darmawan.78Namun juga berarti shiddiq (teman) dan al-nashir
(penolong).79Hal ini sesuai dengan buku Ensiklopedi Islam, kata waliy
berarti penolong, dan yang mencintai.80Dapat juga bermakna (friends)
teman, (protector) pelindung.81Berawal dari pemahaman ini, berkembang
makna di antara salah satunya “pemimpin”.82Semua maknanya diikat dengan
kedekatan oleh karena itu, sebagai pemimpin seharusnya dekat dengan yang
dipimpinya.Demikian dekatnya sehingga yang dipimpinnya menunjukkan
loyalitas dan cinta untuk tunduk, patuh dan membantunya.Hal semacam ini
menjadi larangan mengambil pemimpin non-Muslim dijadikan auliyā‟
karena di dalamnya dibangkitkan rasa loyalitas dan kasih syang antara
pemimpin dengan yang dipimpinnya.Dalam pembahasan ini terjadi
perdebatan di kalangan ulama, berkaitan dengan keterlibatan non-Muslim
dalam pemerintahan. Permasalahan ini muncul baik ketika menafsirkan kata
minkum (dari golongan kamu orang-orang Mukmin) pada surah ali-ma‟idah
ayat 51 yang berbicara tentang auliya’ maaupun dalam ayat lain yang secara
tekstual melarang mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai
auiyā‟ (yang biasa diterjemahkan pemimpin-pemimpin).83

78
M. Napis Djuned, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia: Istilah politik-ekonomi, (Jakarta:
Teraju, 2006), hlm. 833
79
Ibn Mans}u>r, Lisa>n al-Arab, Juz 8, (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), hlm. 826
80
Bisri M. Djaelani, Ensklopedi Islam, (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), hlm. 472
81
Abdul Yusuf Ali. The Meaning of The Holy Qur’an. (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007),
hlm. 83
82
Adib Bisri dan Munawwir Af, kamus al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hlm. 787
83
M. Quraish shihab, Wawancara al-Qur’an: Tafsir Maudhui atas Berbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), hlm. 429
55

Pakar tafsir M. Rasyid Ridha, sambil menunjuk kepada kenyataan


sejarah masa Khalifah Umar r.a dan dinasti Umayyah dan Abbasyiah,
memahami ayat ini dengan ayat-ayat semacamnya secara kontekstual.Ia
merujuk kepada firman Allah Swt dalam QS. ali-Imran: 118 dan menjadi
sebab larangan tersebut. Ia menulis ayat tersebut mengandung larangan dan
penyebabnya, jadi larangan tersebut adalah larangan bersyarat, sehingga
yang dilarang untukdiangkat menjadi pemimpin atau teman kepercayaan
adalah mereka yang selalu dan menginginkan kesulitan bagi kaum Muslim,
serta yang telah tampak dari ucapan mereka kebencian.84
Allah Swt yang menurunkan ayat-ayat ini mengetahui perubahahan-
perubahan sikap pro kontra yang dapat terjadi bagi bangsa-bangsa dan
pemeluk- pemeluk agama seperti yang terlihat kemudian dari orang-orang
Yahudi yang pada awal masa Islam begitu benci terhadapa orang Mukmin,
namun berbalik membantu kaum Muslim dalam beberapa peperangan
seperti di Andalusia atau seperti halnya orang-orang Mesir yang membantu
kaum Muslim melawan Romawi. Dari sini terlihat bahwa Al-Qur’an tidak
menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin kerja
sama apalagi mengambil sikap tidak bersahabat. Al-Qur’an memerintahkan
setiap umat berpacu dalam kebijakan seperti dalam QS.al-Baqarah:148
Bahkan Al-Qur’an sama sekali tidak melarang kaum Muslim untuk
berbuat baik dan memberi sebagian harta mereka kepada siapa pun, selama
mereka tidak memerangi dengan motif keagamaan atau mengusir kaum
Muslim dari tempat asal mereka QS. al-Mumtahanah:8.85
Sekelumit dari kekuasaan Allah Swt dan pengaturan-Nya terhadap
alam raya ini dan manusia serta reseki, maka apakah wajar mengangkat
musuh-musuh- Nya sebagai wali yang diserahi wewenang mengurus urusan
kaum Muslim. Tentu tidak wajar.Quraish Shihab menambahkan dalam tafsir
firman Alllah :
ِِ ِ ‫َّخ ِذ الْم ْؤِمنو َن الْ َكافِ ِرين أَولِي‬
‫ين‬ ِ
َ ‫اء م ْن ُدون ال ُْم ْؤمن‬
ََْ َ ُ ُ ِ ‫اَل َيت‬

84
M. Quraish shihab, Wawancara al-Qur’an: Tafsir Maudhui atas Berbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), hlm. 430
85
Ibid, hlm. 431
56

Artinya: “janganla orang-orang beriman menjadikan orang kafir


sebagai auliya>’, melainkan orang-orang beriman.. (QS. A<li ‘Imra>n: 28)
Wali mempunyai banyak arti, antara lain yang berwenang menangani
urusan, atau penolong, sahabat kental dan lain-lain yang makna kedekatan.
Ayat ini melarang orang-orang Mukmin menjadikan orang-orang kafir
sebagai penolong mereka adapun kerja sama menguntungkan, khususnya
keduniaan maka hal tersebut dapat dibenarkan. Tetapi kerja sama dalam
bidang keduniaan pun hendaknya memprioritaskan orang-orang beriman.
Memang manusia bermacam-macam, kondisi yang mereka hadapi pun
beraneka ragam.Yakni, bahwa larangan tersebut berlaku dalam seluruh
situasi dan kondisi, kecuali dalam situasi dan kondisi siasat memelihara diri
guna menghindar dari suatu yang kamu takuti, Istilah tersebut dinamai
taqiyyah.Menurut Sayyid Thantawi dikutip dalam tafsirnya, taqiyyah adalah
upaya yang bertujuan memelihara jiwa atau kehormatan dari kejahatan
musuh.86
Penafsiran QS. A<li ‘Imra>n: 118 :
ِ ‫َّخ ُذوا بِطَانَةً ِمن ُدونِ ُكم اَل يأْلُونَ ُكم َخبااًل ودُّوا ما َعنِتُّم قَ ْد ب َد‬
ِ ‫يا أ َُّيها الَّ ِذين آمنُوا اَل َتت‬
ُ‫ضاء‬
َ ‫ت الَْب ْغ‬ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ ْ َ َ َ َ
ِ ‫ِمن أَ ْفو ِاه ِهم وما تُ ْخ ِفي ص ُدور ُهم أَ ْكبر قَ ْد بَّينَّا لَ ُكم اآْل ي‬
‫ات إِ ْن ُك ْنتُ ْم َت ْع ِقلُو َن‬َ ُ َ َُ ْ ُ ُ ََ ْ َ ْ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
menjadikan teman orang-orang yang di luar kalanganmu (seagama)
sebagai teman kepercayaanmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya
menyusahkan kamu. Mereka mengharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah
nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati
mereka lebih besar. Sungguh, telah Kami terangkan kepadaamu ayat-ayat
(Kami), jika kamu mengerti. (QS. A<li ‘Imra>n: 118)
Ayat ini dapat dipahami sebagai laranagan bergaul dengan orang-orang
Yahudi dan ada lagi terhadap orang munafik. Teks ayat ini bersifat umum,
walaupun ayat ini turun dalam konteks pembicaraan orang-orang Yahudi.Al-
qurthubi menulis dalam tafsirnya bahwa ayat ini melarang orang-orang
Mukmin untuk menjadikan orang-orang kafir, Yahudi, kelompok-kelompok
yang dikuasai oleh hawa nafsu mereka sebagai teman-teman yang sangat
akrab dengan meminta saran mereka atau menyerahkan urusan kaum

86
M. Quraish shihab, Wawancara al-Qur’an: Tafsir Maudhui atas Berbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), hlm. 54
57

Muslim kepada mereka. Khalifah Umar, Utsman, dan dinastu Umayyah


apalagi Abbasyiah ikut terlibat dalam menangani persoalan masyarakat
Islam ketika itu, namun yang diangkat adalah mereka yang tidak diragukan
dan yang aktivis dan karya-karya bermanfaat untuk seluruh anggota.87
Begitu juga penafsiran QS.an-Nisa: 89:
‫يل اللَّ ِه‬ ِ ‫َّخ ُذوا ِم ْن ُهم أَولِياء حتَّى ي َه‬
ِ ِ‫اج ُروا فِي َسب‬ ِ ‫ودُّوا لَو تَ ْك ُفرو َن َكما َك َفروا َفتَ ُكونُو َن سواء فَاَل َتت‬
ُ َ ََْ ْ ً ََ ُ َ ُ ْ َ
Artinya: “mereka ingin agar kamu sekalian menjadi kafir
sebagaimana mereka telah menjadi kafir, sehingga kamu mennjadi sama
(dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka sebagai
auliya>’ sebelum mereka berpindah pada jalan Allah.. (QS. an-Nisa>’: 89)
Ayat ini hanya melarang hubungan akrab dengan non-Muslim itu pun
bukan dengan semua non-Muslim, tetapi hanya dengan orang-orang terang-
terangan memusuhi Islam.88 Hal ini sama apa yang diungkapkan dalam tafsir
QS. an-Nisa 144 dan Surat an-Nisa 139 yang tealah disebutkan pada Bab
sebelumnya. Yakni orang-orang yang menjadiakan orang-orang kafir
sebagai auliyā‟ dinisbatkan sebagai orang munafik dengan meninggalkan
orang-orang beriman demi mencari kekuatan di sisimereka.89
Quraish Shihab menafsirkan makna dari QS.a l-Ma’idah bahwa kata
auliya>’ diterjemahkan sebagai pemimpin-pemimpin sebenarnaya tidak
sepenuhnya tepat. Kata auliya>’ adalah bentuk jamak dari kata waliy. Kata
ini terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf wauw, lam, ya’ yang
makna dasarnya adalah dekat. Dari sini kemudian berkembang makna-
makna baru, seperti pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih
utama, dan lain- lain, yang kesemuanya diikat oleh benang merahkedekatan.
Demikian juga pemimpin, karena dia seharusnya dekat kepada yang
dipimpinnya. Demikian dekatnya sehingga dialah yang pertama mendengar
panggilan bahkan keluhan dan bisikan siapa yang dipimpinnya.Demikian
terlihat T{aba>t}aba>’i> pada akhirnya berkesimpulan, bahwa kata
auliya>’ yang di sini adalah dalam konsteks hubungan pergaulan dan kasih
sayang.90

87
Ibid,hlm .545
88
Ibid, hlm.629
89
Ibid, hlm.621
90
M. Quraish Shihab, Wawancara al-Qur’an... hlm. 123-124
58

Larangan menjadikan non-Muslim sebagai auliya’ yang disebut QS.al-


ma’idah menurut M. Quraish Shihab Antara lain:
1. Pada larangan tegas menyatakan, janganlah kamu mengambil orang-
orang Yahudi dan Nasrani menjadipemimpin-pemimpin(mu).
2. Penegasan bahwa sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian
yang lain.
3. Ancaman bagi yang mengangkat mereka sebagai pemimpin, bahwa ia
termasuk golongan serta merupakan orang yangzalim.
Kendati demikian, larangan tersebut tidak mutlak, sehingga mencakup
seluruh makna yang dikandung oleh kata auliya>’.91 Muhammad Sayyid
T{ant}awi> dalam tafsirnya mengemukakah bahwa non-Muslim dapat
dibagi menjadi tiga kelompok, pertama, mereka yang tinggal bersama kaum
Muslim, dan hidup damai bersama mereka, tidak melakukan kegiatan untuk
kepentingan lawan Islam serta tidak juga tampak dari mereka tanda-tanda
prasangka buruk terhadap mereka. kelompok ini mempunyai hak dan
kewajiban sosial yang sama dengan kaum Muslim. Tidak ada larangan untuk
bersahabat dan berbuat baik kepada mereka. Kedua, kelompok yang
memerangi atau merugikan kaum Muslim dengan berbagai cara. Terhadap
mereka tidak boleh dijalin hububgan harmonis, tidak boleh juga didekati.
Mmereka yang di maksud oleh ayat ini, demikian dengan ayat-ayat lain.
Ketiga, kelompok yang tidak secara terang-terangan memusuhi kaum
Muslim, tetapi ditemukan pada mereka sekian indikator yang menunjukkan
bahwa, mereka tidak bersimpati kepada umat Muslim tetapi mereka
bersimpati keada musuh-musuh Islam. Allah Swt memerintahkan kaum
beriman agar bersikap hati-hati tanpa memusuhi mereka.92
Setelah melarang menjadikan orang-orang yahudi dan Nasrani sebagai
auliya’ dengan makna yang dikemukakan di atas, kini diuraikannya sanksi
yang timbul akibat pelangaran tersebut, yakni pemurtadan. Seperti firman
Allah Swt. Kemudian siapa seharusnya yang dijadikan auliyā’ hanya Allah
dan Rasul-Nya, dan orang yang beriman.93.

91
Ibid, hlm.125
92
M. Quraish shihab, wawancara al-Qur’an: ... hlm. 125
93
Ibid,hlm.133
59

Penafsiran terhadap ayat-ayat berkaitan kepemimpinan non-Muslim


dalam masyarakat Islam tidak jauh berbeda dengan mufassir kontemporer.
Menurut al-Mara>ghi> makna auliya>’ terkait larangan berkerja sama
mengangkat pemimpin dari golongan non-Muslim tidak serta merta
melarang bekerja sma untuk tidakmenjalin kerja sama apalagi mengambil
sikap tidak bersahabat. Namun dipahami berdasarkan konteks keadaan
larangan bersyarat jika golongan non-Muslim bersikap tidak bersahabat dan
saling mermusuhan dengan umat Islam jadi, yang dilarang untuk diangkat
menjadi pemimpin atau teman kepercayaan adalah mereka yang selalu
menyyusahkan dan mengignginkan kesulitan bagi kaum Muslim serta yang
nampak dari ucapan merekakebencian.
B. Kontekstualisasi Mengangkat Pemimpin non-Muslim menurut Quraish
Shihab
Negara Indonesia adalah negara majemuk, yang di dalamnya terdapat
banyak suku bangsa, adat istiadat, dan kebudayaan, serta mempunyai
beragam Agama yang dianut oleh penduduknya.Untuk menyatukan dan
mempersatukan Bangsa dan Negara, Indonesia mempunyai semboyan
Bhineka Tunggal Eka, yang menjadikan pancasila sebagai dasar
negara.Walaupun Negara Indonesia mayoritas penduduknya adalah
penganut agama Islam, Namun, para pendiri Negara Indonesia tidak
memilih syari’ah Islam sebagai dasar Negara. Mereka sadar, Negara bisa
kuat dan kokoh bukan dari pemahaman bernegara sekelompok orang
tertentu saja, namun dari pemahaman bernegara secara keseluruhan.Kurang
lebih sebagai mana yang dipraktikkan oleh Nabi saat mendirikan Negara
Madinah.
Naiknya seorang non-Muslim menjadi salah satu pejabat pemerintahan
di Negara ini, yang mengatur permasalahan kehidupan permasyarakatan
keduniaan, tidaklah dilarang. Karena tidak ada satu Undang- Undang pun
Negara Indonesia ini, yang melarang mereka mengemban suatu jabatan di
pemerintahan, sebagaimana pendapat M. Quraish Shihab, tentang kebolehan
non-Muslim menjabat dipemerintahan.
60

Menurut penulis, M. Quraish Shihab menghindari pemahaman


penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis secara parsial. karena syari’ah
tradisional memberi peluang bagi diskriminasi yang serius terutama
menyangkut relasi antara agama. Karenanya, syari’ah tradisional yang
berkaitan dengan persoalan non-Muslim tak layak lagi dipertahankan.
Memang banyak faktor yang mempengaruhi cara pandang ulama fikih
(syari’ah) dan juga kaum Muslimin terhadap persoalan non-Muslim. Di
antaranya adalah pergulatan sejarah yang kelam antara Muslim dan non-
Muslim, terutama saat terjadi penghianatan kaum yahudi terhadap Nabi
Muhammad di Madinah, dukungan kaum Nasrani terhadap tentara Salib
dalam perang salib (1097-1291 M), dan belakang kolonialisme Barat
terhadap di dunia Islam pada masa modern. Faktor lain yang ikut
berpengaruh adalah juga cara kaum Muslimin memahami teks-teks al-
Qur’an dan Hadis, yang sering kali dilakukan secara parsial. Akibat
beberapa faktor diatas, beberapa hukum Islam (Syari’ah) yang berkaitan
dengan kaum non-Muslimin yang terdokumentasikan dalam fikih (syari’ah)
tampaknya sulit diharapkan untuk membantu menjembatani hubungan
antara Muslimin dan non-Muslim.
Muhammad al-Ghaza>li> dan al-Ghanaushi>, ulama ternama asal
Mesir dan Tunisia yang sering dianggap beraliran keras, mencoba
mengapresiasi non-Muslim dalam konteks politik modern, menurut
Muhammad al-Ghaza>li> dalam bukunya at-Ta’aṣṣub wa at-Tasamuhbain
al-Masihiyyah wa al-Islam, yang dinukil oleh Sukron Kamil dan Chaidar
menyatakan bahwa masyarakat Islam dibina atas prinsip toleransi, kerja
sama, dan inklusifitas.94 Ia menegaskan bahwa umat Yahudi dan Kristen
yang bersedia hidup berdampingan dengan umat Islam sudah menjadi orang-
orang Islam, dilihat dari sudut pandang politik dan kewarganegaraan” hal ini
karena hak dan kewajiban mereka sama dengan hak dan kewajiban kaum
Muslimin.95Sementara itu, Rasyid al-Ghanaushi, ulama asal Tunisia,
menyatakan bahwa kewarganegaraan tidaklah berdasarkan agama.
94
Sukran Kamil, Chaidar S., Syariah Islam dan Ham; dampak Perda Syariah Terhadap
Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan dan Non-Muslim, Center For The Study of Religion and
Culture (CSRC) (Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah, 2007), hlm.72.
95
Abul A’la Al-Maududi, hlm 306.
61

Kelompok minoritas non- Muslim memiliki hak yang sama dengan umat
Islam. Prinsip-prinsip yang diajarkan Islam seperti keadilan dan persamaan
berlaku bagi seluruh warga negara, baik Muslim maupun bukan. Bagi al-
Ghanaushi>, diskriminasi terhadap kalangan non-Muslimin dan perlakuan
yang menganggap mereka sebagai warga negara kelas dua adalah tindakan
melanggar ajaran agama dan merusak citra Islam.96 Sebagaimana M.
Quraish, Shihab menurut beliau, Al-Qur’an menegaskan bahwa kita disuruh
bekerja sama dalam kebaikan. bekerja sama dengan non-Muslim dalam
bidang sosial tidaklah dilarang selama tidak menyangkut kegiatan agama
yang bersifat ritual dari seorang pemimpin.97
M. Quraish Shihab memberi contoh bahwa kemudahan yang diajarkan
al-Qur’an inilah yang dipraktikkan oleh Umar bin Khathab dengan
menyerahkan tugas perkantoran kepada orang-orang Romawi (yang bukan
Muslim ketika itu). Kebijaksanaan serupa diambil oleh khalifah sesudahnya
(Uthma>n dan ‘Ali> ra.).demikian juga yang diterapkan oleh Dinasti
Abbasiyah dan penguasa-penguasa Muslim sesudah mereka. Yakni
menyerahkan tugas negara kepada orang Yahudi, Nasrani, dan
Buddha.Kerajaan Usmaniyah pun demikian, bahkan duta-duta besar dan
perwakilan-perwakilannya diluar Negri kebanyakan dipegang oleh orang
Nasrani.98 Dari kristiani misalnya terdapat Hunain bin Ishaq (kepala Bait al-
Hikmah), keluarga barmak berkali-kali dijadikan wazir (perdana menteri)
oleh para khalīfah Abbasiyah, dan banyak pula dari kaum Yahudi yang
memegang jabatan penting dalam persoalan ekonomi.
Secara teoritis, tampak sekali bahwa semangat Syari’ah Islam pada
awalnya adalah bersifat melindungi dan memberikan hak-hak non-Muslim,
seperti dalam piagam Madina.Namun, dalam praktiknya dibeberapa negara
Muslim dewasa ini, yang sering terjadi justru penyimpangan, yang
mengaburkan makna serta semangat yang dikandung syari’ah itu
sendiri.Dalam kapasitasnya sebagai non-Muslim, Ahldzimah seringkali
mendapat perlakuan yang tidak setara dengan komunitas Muslim.Kendati

96
Sukran Kamil, Chaidar S,Syariah Islam, hlm.73.
97
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab, hlm. 844.
98
Ibid, hlm. 845.
62

kaum non- Muslim dzimmi diperbolehkan beribadah sesuai keyakinannya


dan diperbolehkan menerapkan hukum keluarganya.Namun, dalamurusan
politik, semua jabatan administratif dan politis haruslah dipegang oleh
Muslim.Mereka tidak bisa menduduki posisi-posisi strategis dalam
pemerintahan.Mereka juga tidak boleh menjadi pemimpin politik dan
anggota majelispermusyawaratan.
Nampaknya, menomor duakan non-Muslim, tidak menjadi masalah
pada masa klasik dan pertengahan Islam, karena pada masa itu agama dan
hereditas menjadi alasan bagi berdirinya sebuah negara. Dalam sejarah awal
Islam, hal itu bisa dibuktikan dari upaya Nabi Muhammad yang
menciptakan bentuk persaudaraan baru berdasarkan agama (ukhuwwah
Islamiyyah) untuk menggantikan persaudaraan berdasarkan darah, meski
Nabi juga membentuk negara multietnis dan agama, sebagaimana terlihat
dalam piagam madinah. Pada masa Dinasti Umayyah (661-750 M),
diterapkan kebijakan Arab sentris yang meminggirkan kaum mawali
(Muslim non-Muslim), kecuali masa Umar bin Abdul Aziz (717-720 M),
masa dinasti Abbasiyah (750-1258 M), danjuga dinasti Umayyah di spanyol
(711-1248 M). Yang jelas sampai pada abad ke-19, kriteria yang paling
signifikan untuk menjadi anggota di sebuahnegara Muslim adalah beragama
Islam sebagai syarat universal dan mutlak.99Paling tidak, hingga Abad ke-19
(hingga Napoleon menduduki Mesir tahun 1798 M), kesadaran kewargaan
di lingkungan kaum Muslim masih berdasarkan agama (al-Ummah al-
Islamiyyah).Mereka hanya menyadari perbedaan agama dan tidak begitu
mendasar terhadap perbedaan suku bangsa.Bahkan, begitu kuatnya
kesadaran kewargaan berdasarkan agama, sehingga menurut Harun
Nasution, untuk menerjemahkan kata bangsa saja, masyarakat Arab- Muslim
sempat mengalamikesulitan.100
Di sinilah letak perbedaan mendasar antara konsep kewarganegaraan
negara bangsa (nation state) dengan negara Islam (Islamic state) yang
menerapkan syariah tradisional.Dalam konsep negara bangsa,

99
Badri Yatim, sejarah Peradapan Islam, (Jakarta, Rajawali Pers, 1997) hlm. 26.
100
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1975) hlm. 32-33.
63

kewarganegaraan (citizenship) seseorang berdasarkan kebangsaan, ras, atau


etnik. Sementara dalam konsep negara Islam terdapat friksi yang cukup
tajam antara posisi muslim dan non-Muslim, terutama menyangkut hak-hak
kewarganegaraan dan politik. Karena itu, para ahli syariah modern
menyerukan agar konsep dzimmah ditinjau kembali. Salah satu argumennya
adalah adanya hal yang kontras antara fikih yang cenderung
menomorduakan Ahl dzimmah dan al-Qur’an yang menekankan
pentingnyamenegakkan keadilan, sekalipun terhadap orang yang dibenci.
Hal ini karena keadilan, menurut al-Qur’an akan membawa ketakwaan.
Demikian juga dengan hadis seperti tercermin dalam piagam Madinah dan
juga Dokumen Aelia yang dibuat oleh Khalīfah Umar bin Khathab.
Selain itu, menomor duakan Ahl dzimmah tersebut juga menjadi
problem dalam konteks hak-hak sipil yang diakui oleh hukum internasional
yang melarang adanya diskriminasi berdasarkan Agama. Yang dimaksud
hukum internasional yang memuat prinsip anti diskriminasi agama itu
adalah pasal 2 DUHAM (Deklarasi Universal tentang HAM) dan pasal 26
Konvenan Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik yang lebih baru
lagi adalah “the Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance
and of Discrimination Based on Religion or Belief” yang telah
dideklerasikan pada sidang umum PBB pada tanggal 25 November 1981.101
Sebab itulah, beberapa ahli syariah modern menolak pelarangan non-
Muslim menjadi pejabat negara, menurut Amien Rais sebagaimana
kebebasan berbicara, beragama, bebas berkehendak, bebas dari ketakutan
dan seterusnya yang dijamin sepenuhnya dalam Islam, hak non-Muslim
dalam Islam untuk menjadi menteri dan menduduki jabatan-jabatan
pemerintahan lainnya juga diakui. Namun, Islam tidak memberikan hak
kepada non-Muslim untuk menjadi kepala negara. Perbedaan ini,
menurutnya, hanya menunjukkan bahwa Islam tidak munafik, sebagaimana
negara-negara demokrasi barat yang mempersamakan secara konstitusi,
tetapi tidak dalam kenyataan.Karenanya, Islam memberlakukan syarat

101
Sukron Kamil, Chaidar S, Syariah Islam... hlm. 81.
64

secara de jure dan de facto bahwa kepala negara harus merupakan anggota
darimayoritas.102
Pandangan yang sama, bahkan lebih liberal dimunculkan mantan
presiden RI Ke-4, KH. Abdurrahman Wahid. Baginya non-Muslim adalah
warga negara yang memiliki hak-hak penuh, termasuk hak untuk menjadi
kepala negara di negara Islam.Ia tidak setuju penggunaan QS. Ali Imrān: 38
dijadikan sebagai alasan untuk menolak hak non-Muslim menjadi kepala
negara. alasannya karena kata yang terdapat dalam ayat itu adalah auliya’
yang berarti teman atau pelindung , bukan umara’ yang berarti penguasa.103
Hal senada diungkapkan oleh HarifuddinCawidu, mengutip pendapat ath-
Thabataba‟i dan Muhammad Asad, bahwa konsep wali dalam ayat ini lebih
dekat kepada prinsip-prinsip moral dan bukan prinsip-prinsip politik.
Maksudnya adalah seorang Muslim tidak layak untuk menjadikan non-
Muslim sebagai acuan moral dan prinsip hidup sebab Islam memiliki konsep
dan tradisi sendiri dalam soal moral dan nilai-nilai kehidupan.104Begitu juga
pandangan M. Quraish Shihab.Di Negara Indonesia, Negara Bangsa (nation
state), yang tidak mengambil syari‟ah Islam sebagai dasar negara.Memilih
pemimpin yang bukan Muslim tidak terlarang, selama membawa manfaat,
untuk semuaitu pun hendaknya memprioritaskan orang- orang yang
beriman.105Tetapi beliau tidak memberi perincian yang mendalam,
menyangkut kebolehan tersebut. Sampai jabatan apa yang memperbolehkan
non-Muslim menjabatnya. Mengakhiri tulisan ini ada baiknya mengutip
pendapat Ibn Taimiyah, (Allah mendukung pemerintahan Adil sekalipun
kāfir, dan tidak mendukung pemerintahan zalim sekalipun Muslim).106

102
Ibid, hlm.82.
103
Sukran Kamil, Islam dan demokrasi.. hlm. 71-72.
104
Harifuddin Cawidu, hlm. 211-212.
105
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah...hlm. 73.
106
Imam Ibn Taimiyah, Majmu>’ Fata>wa> Li Ibni Taimiyah, Jilid. XXVIII, t.th, h. 63.
65

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan dari pemaparan dan penjelasan penulis,
tentang penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang membahas hubungan antara
Muslim dan non-Muslim dalam pemerintahan, menurut M. Quraish Shihab,
Serta kontekstualisasi pengangkatan non-Muslim menjadi salah satu pejabat
di Indonesia.
1. Menurut pemahaman M. Quraish Shihab, kaum Muslimin yang
ingin mengangkat non-Muslim menjadi pemimpinnya adalah sah-
sah saja atau diperbolehkan selama tidak menimbulkan kerugian.
kepemimpinan adalah sebuah kemampuan dan kesiapan yang
dimiliki oleh seseorang untuk dapat memelihara, mengawasi dan
melindungi orang-orang yang dipimpinnya. Karena kepemimpinan
adalah amanah yang harus diserahkan oleh orang-orang yang
sanggupmengembannya.
2. Menurut M. Quraish Shihab, al-Qur’an menegaskan bahwa kita
disuruh bekerja sama dengan non-Muslim, dalam bidang sosial
tidaklah dilarang selama tidak menyangkut kegiatan agama yang
bersifat ritual. M. Quraish Shihab memberikan contoh mengenai
hubungan bernegara yang dipraktikkan oleh para Khalifah pada
masa lalu, seperti salah satu contohnya adalah pada masa kerajaan
Utsmaniyyah, duta-duta besar dan perwakilan-perwakilanya di luar
negri kebanyakan dipegang oleh orang nasrani.
Negara Indonesia adalah negara bangsa (nation state), yang tidak
mengambil syari’ah Islam sebagai dasar Negara.Menurut M. Quraish Shihab
mengangkat pemimpin dari kalangan non-Muslim di negara Indonesia ini
diperbolehkan selama membawa manfaat, tetapi hendaknya lebih
memprioritaskan orang-orang yang beriman.
B. Saran
Sebagai catatan akhir dari penulisan skripsi ini, penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat serta menambah khasanah keilmuan
66

bagi diri penulis khususnya maupun bagi civitas akademik pada


umumnya.Baik di lingkungan Fakultas Ushuluddin Program Studi Ilmu Al-
Qur’am dan Tafsir maupun di lingkungan yang lebih luas.Selain itu, penulis
juga berharap skripsi ini dapat menambah semangat baru dalam dunia
penelitian.Di samping dapat menambah satu pemahaman baru terhadap
pengangkatan non-Muslim sebagai pejabat pemerintahan
denganpersyaratanya.
67

DAFTAR PUSTAKA

Yayasan Penyelenggara Peterjemah/Pentafsir al-Qur’an.al-Qur’an dan


Terjemahnya. Departemen Agama 1999.

Audah.Abdul Qadir.al-Mal wa al-Hukm fi al-Islam. Mansyurat al-‘Ashr Al-


Ḥadiṡ.Bairut. 1971.
BasyirAhmad Azhar. Refleksi Atas Persoalan Keislaman. Seputar Filsafat Hukum
Politik dan Ekonomi.Mizan. Bandung. 1993.
Syarif.Mujar Ibnu. Khamami Zada.Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam.Erlangga.Bandung.2008.
Sjadzali.Islam Dan Tata Negara Ajaran Sejarah Dan Pemikiran.UI-Press. Jakarta.
1993.
TaimiyahIbnu. al-Siyasah al-Syar’iyah fi Iṣlah al-Ra’iy Wa al-Ra’iyyah. al-
Maktabah al- Salafiyyah wa Maktabatuha. Riyadh. 1387H.

Ahmad AghaMahir.Yahudi; Catatan Hitam Sejarah.Terj.YodiIndrayadi. Qisthi


Press. Jakarta. 2011.
AbdullahZulkarnaini. Yahudi Dalam Al-Qur’an. eLSAQ Press. Yogyakarta. 2007.

Shihab.M.Quraish. M. Quraish Shihab Menjawab; 1001 Soal KeIslaman Yang


Patut Anda Ketahui. Lentera Hati. Jakarta. 2008.
http://bio.or.id/biografi-quraish-shihab diunduh pada tanggal 14 juni 2021 jam
10:35
Porwanto.Ngalim. Administrasi Pendidikan. Mutiara. Jakarta. 1984.
Departemen Pendidikan Nasional.Kamus Besar Bahasa Indonesia; Pusat
Bahasa.PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2008.
Rivai.Veithzal Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi. Rajawali Pers. Jakarta.
2009.
Ibnu Syarif. Mujar. Khamami Zada.Fiqh Siyyasah Doktrin dan Pikiran Politik
Islam.Erlangga.Yogyakarta. 2008.
Naṣiruddin, Muhammad. al-Albani. Shahih Sunan Abu Daud. Terj.Abd. Mufid
Ihsan. Pustakaazzam. Jakarta. 2006.
Djazuli.Fiqh Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu
Syariah.Kencana. Jakarta. 2009.
68

Qadir Djaelani,Abdul.Negara Idial Menurut Konsepsi Islam.PT Bina


Ilmu.Surabaya. 1995.
Zada dan Arief Arofah,Khamani.Diskurus Politik Islam. Jakarta. LSIP. 2004.
Abi Bakr Ayyub al-Zar’iy Abu Abdillah,Muhammad bin. Ahkam Ahl al-
Dzimmah.Beirut: Dar Ibn Hazm.1997.
Mesra,Alimin. Tafsir al-Mishbah Pesan Kesandan Keserasian al-Qur’an.Program
Pasca Sarjana S3 IAIN Syarif Hidayatullah. 2001.
Majalah Femina (Serial Femina) bagian 2. No. 15/XXIL-18-24 April 1996.
Shihab,M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsidan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Manusia. Bandung: Mizan. 1992.
Gusmian,Islah. Khasanah Tafsir Indonesia. Yogyakarta: Teraju. 2003.
Shihab,M. Quraish.Logika Agama Kedudukan Wahyu dan batas-batas akal dalam
Islam.Lentera hati. Jakarta. 2005.
Agil Husein al-Munawar,Said. Al-Qur’an Membangun Tradisi Keshalehan
Hakiki. Jakarta: Ciputat Pres. 2002.
al-Farmawy,Abdul Hary.Metode Tafsir dan Cara Penerapanya.PT. Raja Grafindo.
Jakarta. 1996.
Shihab,M. Quraish. Kaidah-Kaidah Tafsir.Mizan. Bandung. 2013.
Nor Ichwan,Mohammad.Prof. M. Quraish Shihab; Membincang Persoalan
Gender.RaSAIL. Semarang. 2013.
Cawidu,Hariffudin. Metode dan Aliran Dalam Tafsir.Pesantren No.I/Vol.
VIII/1991.
Shihab,M. Quraish.Lentera Al-Qur’an; Kisah Dan Hikmah Kehidupan.PT. Mizan
Pustaka. Bandung. 2013.
Shihab,M. Quraish.Membumikan Al-Qur’an jilid 2; Memfungsikan Wahyu dalam
Kehidupan. Lentera Hati. Tangerang. 2006.
Shihab,M. Quraish.Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama Al-Qur’an.PT. Mizan
Pustaka. Bandung. cet. II. 2007.
Kamil,Sukron, Syariah Islam dan Ham Dampak Perda Syariah terhadap
Kebebasan Sipil. Hak-Hak Perempuan.dan Non-Muslim. CRSC. Jakarta.
2007.
69

Ibrahim,Ahmad. Abu Sinn. Ahmad Ibrahim.Manajemen Syariah sebuah Kajian


Historis dan Kontemporer.PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2006.
Djuned,M. Napis. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia: Istilah politik-ekonomi.
Jakarta: Teraju. 2006.
Manzhur,Ibn. Lisan al-Arab.Juz 8. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2003.
M. Djaelani,Bisri. Ensklopedi Islam. Yogyakarta: Panji Pustaka. 2007).
Yusuf Ali, Abdul. The Meaning of The Holy Qur’an. Kuala Lumpur: Islamic
Book Trust. 2007.
Bisri dan Munawwir Af,Adib. kamus al-Bisri. Surabaya: Pustaka Progressif.
1999.
Shihab,M. Quraish.wawancara al-Qur’an: Tafsir Maudhui atas Berbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan Pustaka. 2005.
Nasution,Harun.Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Bulan Bintang. Jakarta. 1975.

Anda mungkin juga menyukai