Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Allah memerintahkan kepada kita untuk puasa Ramadhan agar kita bisa menjadi orang-
orang bertakwa. Kita diperintah untuk meninggalkan hawa nafsu, yang boleh dan ringan untuk
dicapai, dengan harapan kita dapat melaksanakan dengan sepenuh hati untuk mengharapkan
pahala dan mendapatkan ridho-Nya. Diantara bukti bertaqwa kepada Allah adalah bertambah
kuatnya sisi moral seseorang sehingga ia dapat menguasai sisi material pada dirinya sendiri.
Jika sisi material seseorang menang dan menguasai seseorang tersebut maka ia akan menjadi
hewan, pada hal manusia merupakan ruh atau moral. Dan jika ruh atau moral adalah kuat pada
diri manusia, maka ia akan memiliki cita-cita yang dan tujuan luhur melebihi malikat.

Sisi materi adalah jalan setan untuk memperdaya manusia. Dengan berpuasa jalan ini
akan tertutup dan dapat mengkikis habis sisi materi. Di samping hal itu puasa juga akan
menghalangi jalan syahwat yang dapat menjerumuskan pada muda-mudi kedalam jurang
kenistaan.’

Dalam makalah ini akan dibahas surat al-Baqarah ayat 183-184 yang berakaitan dengan
kewajiban berpuasa yaitu; pertama.bagaimanakah bunyi surat al- Baqarah ayat 183-184, kedua,
bagaimanakah arti surat al-Baqarah ayat 183-184, ketiga, bagaimanakah tafsir mufrodat surat
al-Baqarah ayat 183-184, keempat, bagaimanakah sabab an-Nuzaul surat al-Baqarah ayat 183-
184, dan yang terakhir (kelima) bagaimanakah kandungan surat al-Baqarah ayat 183-184.

1.2 Rumusan Masalah

1.Surah Al-Baqarah ayat 184

2.Surah Al-Baqarah ayat 185

1.3 Tujuan penulisan

1. Untuk Mengetahui Tafsir dan Kajian Surah Al-Baqarah ayat 184

2.Untuk Mengetahui Tafsir dan Kajian Surah Al-Baqarah ayat 185

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Surah Al-Baqarah ayat 184

َ ‫علَى الَّ ِذ ْينَ يُطِ ْيقُ ْونَه فِ ْديَة‬


‫طعَا ُم‬ َ ‫س َفر فَ ِعدَّة ِمنْ اَيَّام ا ُ َخ َر َو‬ َ ‫اَيَّا ًما َّم ْعد ُْو ٰدت فَ َمنْ كَانَ مِ ْنكُ ْم َّم ِر ْيضًا اَ ْو ع َٰلى‬
َ‫ع َخي ًْرا فَ ُه َو َخيْر لَّه َواَنْ تَص ُْو ُم ْوا َخيْر لَّكُ ْم اِنْ كُ ْنت ُ ْم تَ ْع َل ُم ْون‬ َ َ‫س ِكيْن فَ َمنْ ت‬
َ ‫ط َّو‬ ْ ِ‫م‬

Terjemahan

(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan
(lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada
hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu
memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.1

2.2. Surah Al-Baqarah ayat 185

َ‫شه َْر فَ ْليَص ُْمهُ َو َمنْ كَان‬


َّ ‫ش ِه َد مِ ْنكُ ُم ال‬َ ْ‫ان فَ َمن‬ ِ َ‫اس َوبَيِ ٰنت ِمنَ ا ْله ُٰدى َوا ْلفُ ْرق‬ ِ َّ‫ِي ا ُ ْن ِز َل فِ ْي ِه ا ْلقُ ْر ٰا ُن هُدًى لِلن‬
ْ ‫شه ُْر َر َمضَانَ الَّذ‬
َ
‫ّللا ع َٰلى َما‬ ُ ٰ ‫سفَر فَ ِعدَّة ِمنْ اَيَّام ا ُ َخ َر يُ ِر ْي ُد‬
َ ٰ ‫ّللا ِبكُ ُم ا ْليُس َْر َو َل يُ ِر ْي ُد ِبكُ ُم ا ْلعُس َْر ۖ َو ِلت ُ ْكمِ لُوا ا ْل ِع َّدةَ َو ِلتُك َِب ُروا‬ َ ‫َم ِر ْيضًا اَ ْو ع َٰلى‬
ْ َ‫ه َٰدىكُ ْم َولَعَلَّكُ ْم ت‬
َ‫شك ُُر ْون‬

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan
yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, agar kamu bersyukur. 2

1
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya,15.

²Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, (Bandung: CV Mikraj Khazanah Ilmu, 2011),

2
A.Asbabun Nuzul

Asbabun Nuzul surah Al-Baqarah ayat 184 adalah: “Berkenaan dengan maula atau
budak yang sudah dimerdekakan yang bernama Qais bin As-Said yang memaksakan diri
berpuasa, padahal ia sudah tua sekali. Dengan turunnya ayat ini, ia berbuka dan membayar
fidyah dengan memberi makan seorang miskin selama ia tidak berpuasa.” (Diriwayatkan oleh
Ibnu Sa’d di dalam Kitab Ath-Thabaqat yang bersumber dari Mujahid)

Asbabun Nuzul dari surat Al Baqarah ayat 185 adalah terkait dengan ayat sebelumnya
yaitu ayat 184 tentang seseorang yang tidak berpuasa pada saat Ramadhan. Yaitu disebutkan
Qais Ibnu Saib yang sakit dan kemudian memberi makan kepada orang miskin setiap harinya
(Fidyah).

B. Makna Mufradat Surah Al-Baqarah Ayat 184

3
C. Makna Mufradat Surah Al-Baqarah ayat 185

D. Tafsir Surah Al-Baqarah ayat 184-185

1. Surah Al-Baqarah ayat 184

Dalam firman Allah SWT

4
َ ‫فَ َمنْ كَانَ مِ ْنكُ ْم َّم ِر ْيضًا اَ ْو ع َٰلى‬
‫سفَر فَ ِعدَّة ِمنْ اَيَّام ا ُ َخ َر‬

“Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka
(wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.3

Jika mau ia boleh berpuasa, atau boleh juga berbuka, tetapi harus memberi makan
kepada seorang miskin setiap harinya. Dan jika ia memberikan makan lebih dari seorang pada
setiap harinya, maka yang demikian itu lebih baik. Dan berpuasa adalah lebih baik daripada
memberi makan. Demikian menurut pendapat Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Mujahid, Thawus,
Muqatil bin Hayyan, dan ulama salaf lainnya. Demikian pula yang diriwayatkan Imam Al-
Bukhari, dari Salamah bin Akwa katanya, ketika turun ayat ini bagi siapa yang hendak berbuka
(tidak berpuasa), maka membayar fidyah, hingga turun ayat yang berikutnya dan
menghapusnya. Dan diriwayatkan dari Ubaidillah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, bahwa hal
tersebut sudah dihapus.

Meskipun ibadah puasa Ramadhan hukumnya wajib bagi setiap muslim, namun karena
dalam pelaksanaanya dapat menyebabkan kesulitan yang membawa mudharat kepada
pelakunya. Maka dalam surat al-Baqarah ayat 184

Terdapat rukhsah akan hal ini, antara lain:

1) Orang sakit. Orang sakit yang diperbolehkan tidak berpuasa yaitu apabila puasa
yang akan dilakukannya berakibat menimbulkan kesulitan besar dan bahaya bagi
dirinya atau akan mengakibatkan penyakitnya semakin parah. Sebagian ulama
menentukan syarat orang sakit yang diperbolehkan tidak puasa, antara lain: orang
yang tidak mampu berpuasa dan jika berpuasa dikhawatirkan sakitnya akan
bertambah parah, orang yang mampu berpuasa, tetapi akan menyulitkan bagi
dirinya, orang sakit yang tidak menyulitkan dirinya dan tidak akan menambah
penyakitnya (sakit yang ringan).
2) Orang yang bepergian (musafir), Bepergian yang membolehkan seseorang berbuka
puasa ialah bepergian yang cukup jauh, yang membolehkan seseorang mengqasar
shalat, dengan syarat musafir tersebut meninggalkan rumahnya sebelum terbit fajar.
Meskipun dari pagi sudah berpuasa, seorang musafir dapat berbuka apabila kondisi
menghendakinya. Namun, ulama madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat
bahwasanya puasa itu hal yang lebih baik sepanjang yang dilakukan tidak

3
Hasbi Ash-Shiddiqiey, Tafsir Al-Quranul Madjid An-Nur, Jilid 1, (Jakarta: Cakrawala Publishing,)

5
mengakibatkan kesusahan bagi dirinya.Sedang ulama madzhab Hanbali
berpendapat, berbuka dihukumkan sunah dan berpuasa dihukumkan makruh.
3) Orang tua yang lemah, Orang tua yang sudah renta dan sekiranya tidak mampu
untuk berpuasa, maka dibolehkan untuk tidak berpuasa. Akan tetapi, yang
bersangkutan atau keluarganya wajib membayar fidyah pada satu orang miskin
untuk 1 hari puasa yang ditinggalkan.
4) Wanita hamil atau menyusui, Wanita yang hamil dan atau menyusui, ia dibolehkan
tidak berpuasa karena dikhawatirkan mengganggu kesehatan diri dan bayinya.
Namun, masih mempunyai kewajiban untuk menggantinya di lain hari.4

Al-Bukhari meriwayatkan dari Atha’, bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas


membaca ayat ini. Kata Ibnu Abbas, “Ayat tersebut tidak dinasakh, karena yang dimaksudkan
dalam ayat itu adalah orang tua laki-laki dan perempuan yang tidak mampu menjalankan
ibadah puasa, maka ia harus memberikan makan setiap harinya seorang miskin.” Demikian
pula diriwayatkan oleh beberapa periwayat dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas.
Kesimpulannya, bahwa nasakh itu tetap berlaku bagi orang sehat yang bermukim (tidak
melakukan perjalanan) dengan kewajiban berpuasa. Sedangkan orang tua renta yang tidak
sanggup menjalankan ibadah puasa, maka diperbolehkan baginya berbuka (tidak berpuasa) dan
tidak perlu menggantinya, karena ia tidak akan mengalami lagi keadaan yang
memungkinkannya untuk mengganti puasa yang ditinggalkannya itu.

Tetapi, apakah jika ia berbuka (tidak berpuasa) juga berkewajiban memberi makan
setiap hari seorang miskin, jika ia kaya? Mengenai hal tersebut di atas terdapat dua pendapat.
Pendapat pertama menyatakan tidak ada kewajiban baginya memberikan makan kepada orang
miskin, karena usianya ia tidak sanggup memenuhinya, sehingga ia tidak diwajibkan
membayar fidyah, seperti halnya bayi, karena Allah Ta’ala tidak akan membebani seseorang
kecuali sesuai dengan kemampuannya. Ini merupakan salah satu pendapat Imam Syafi’i.
Sedangkan pendapat kedua dan merupakan pendapat yang sahih dan yang menjadi pegangan
mayoritas ulama, bahwa wajib baginya membayar fidyah untuk setiap hari puasa yang
ditinggalkannya. Sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dan beberapa ulama salaf
lainnya.5

4
Abiy Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, (Dar As-sahnun), 533.
5
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta Timur: Tinta Abadi Gemilang, Cet.2, 2013), 190,

6
Keadaan-keadaan atau tahapan-tahapan yang dialami oleh ibadah puasa ialah ketika
Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau puasa tiga hari setiap bulannya, juga puasa ‘Asyura
Kemudian Allah mewajibkan puasa atasnya melalui firman-Nya: “Wahai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kalian agar kalian bertakwa” sampai dengan firman-Nya “Dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan
seorang miskin.” (Al-Baqarah: 183-184).

Kemudian Allah SWT menurunkan ayat lain, yaitu firman-Nya: “(Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an” sampai
dengan firman-Nya “Karena itu, barang siapa di antara kalian berada (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (Al-Baqarah: 185) Maka
Allah menetapkan kewajiban puasa atas orang mukim yang sehat, dan memberikan keringanan
kepada orang yang sakit dan orang yang sedang bepergian, serta ditetapkan memberi makan
orang miskin bagi lansia yang tidak kuat lagi melakukan puasa. Demikianlah dua tahapan yang
dialami oleh puasa.

2. Surah Al-Baqarah ayat 185

Dalam ayat ini menjelaskan bahwa bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya
untuk pertama kali diturunkan Al-Qur’an pada lailatul qadar, yaitu malam kemuliaan, sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara
yang benar dan yang salah. Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada, yakni hidup, di bulan
itu dalam keadaan sudah akil balig, maka berpuasalah. Dan barang siapa yang sakit di antara
kamu atau dalam perjalanan lalu memilih untuk tidak berpuasa, maka ia wajib menggantinya
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu dengan membolehkan berbuka, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu
dengan tetap mewajibkan puasa dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan. Hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dengan berpuasa satu bulan penuh dan mengakhiri puasa dengan
bertakbir mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu
bersyukur atasnya.

Ayat ini menerangkan bahwa pada bulan Ramadan, Al-Qur’an diwahyukan. Berkaitan
dengan peristiwa penting ini, ada beberapa informasi Al-Qur’an yang dapat dijadikan sebagai
acuan untuk menetapkan waktu pewahyuan ini. Ayat-ayat itu antara lain surah al-Qadar/97: 1,
ayat ini mengisyaratkan bahwa Al-Qur’an diwahyukan pada malam yang penuh dengan

7
kemuliaan atau malam qadar. Surah ad-Dukhan/44: 3, ayat ini mengisyaratkan bahwa Al-
Qur’an diturunkan pada malam yang diberkahi. Surah al-Anfal/8: 41, ayat ini mengisyaratkan
bahwa Al-Qur’an itu diturunkan bertepatan dengan terjadinya pertemuan antara dua pasukan,
yaitu pasukan Islam yang dipimpin Nabi Muhammad dengan tentara Quraisy yang
dikomandani oleh Abu Jahal, pada perang Badar yang terjadi pada tanggal 17 Ramadan.

Dari beberapa informasi Al-Qur’an ini, para ulama menetapkan bahwa Al-Qur’an
diwahyukan pertama kali pada malam qadar, yaitu malam yang penuh kemuliaan, yang juga
merupakan malam penuh berkah, dan ini terjadi pada tanggal 17 Ramadan, bertepatan dengan
bertemu dan pecahnya perang antara pasukan Islam dan tentara kafir Quraisy di Badar, yang
pada saat turun wahyu itu Muhammad berusia 40 tahun. Selanjutnya peristiwa penting ini
ditetapkan sebagai turunnya wahyu yang pertama dan selalu diperingati umat Islam setiap
tahun di seluruh dunia.

Berkenaan dengan malam qadar, terdapat perbedaan penetapannya, sebagai saat


pertama diturunkannya Al-Qur’an, dan malam qadar yang dianjurkan Nabi Muhammad kepada
umat Islam untuk mendapatkannya. Yang pertama ditetapkan terjadinya pada tanggal 17
Ramadan, yang hanya sekali terjadi dan tidak akan terulang lagi. Sedangkan yang kedua, sesuai
dengan hadis Nabi, terjadi pada sepuluh hari terakhir Ramadan, bahkan lebih ditegaskan pada
malam yang ganjil. Malam qadar ini dapat terjadi setiap tahun, sehingga kita selalu dianjurkan
untuk mendapatkannya dengan persiapan yang total yaitu dengan banyak melaksanakan ibadah
sunah pada sepuluh hari terakhir Ramadan. Ayat ini juga menjelaskan puasa yang diwajibkan
ialah pada bulan Ramadan.

Kemudian dalam ayat ini menegaskan ke-mbali bahwa orang sakit dan dalam
perjalanan boleh tidak berpuasa dengan mengganti puasanya di hari yang lain. Kewajiban
puasa di hari tertentu dapat diketahui dengan melihat hilal. Ada 2 cara agar dapat melihat hilal:
Pertama, melalui pengamatan hilal pada sore hari tanggal 29 sya’ban (metode rukyat). Kedua,
melihat dengan perhitungan astronomi (metode hisab)6

E.Relevansi Puasa dengan Istinbath Hukum

1. Pada surah al-Baqarah ayat 184 menjelaskan bahwa puasa dilakukan pada hari-hari
tertentu dan orang yang sakit atau orang musafir diperbolehkan tidak berpuasa, bahkan

6
Jaenal Arifin, Fiqh Hisab Rukyah Di Indonesia (Telaah Sistem Penetapan Awal Bulan Qamariyyah),
Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Yudisia, Vol. 5, No.2, Desember 2014, 407

8
keduanya boleh mengqadha atau mengganti puasa yang ditinggalkannya sesuai hari
yang mereka tidak berpuasa.
2. Surah al-Baqarah ayat 185 menerangkan kewajiban puasa pada bulan ramadhan karena
bulan ini merupakan bulan yang istimewa bagi umat Islam, dimana bertepatan dengan
diturunkannya kitab suci Al-Qur’an.

Sebagai kesimpulan sederhana dari keterangan di atas, Pada ayat 184 menerangkan
bahwa puasa dilaksanakan pada hari-hari tertentu, maka dari itu puasa tidak dilakukan setiap
hari karena khawatir akan mengakibatkan madharat yang besar, namun ada pengecualian bagi
beberapa orang yang boleh meninggalkan puasa. Kemudian pada ayat 185 baru dijelaskan
bahwa beberapa hari khusus dengan syarat sudah mengetahui masuknya waktu awal bulan
Ramadhan dengan menggunakan metode rukyatul hilal. Ayat 184 surah al-Baqarah hanya
mewajibkan puasa bagi orang yang mampu, adapun bagi yang tidak mampu, boleh membayar
fidyah atau menggantinya di lain hari. Pada ayat 185 surah al-Baqarah, Allah Swt mempertegas
pernyataan terkait rukshah yang ditunjukkan pada ayat sebelumnya. Berdasarkan penjelasan di
atas puasa dapat dipahami bahwa pelaksanaan puasa dapat memberi manfaat dan hikmah yang
begitu besar bagi umat manusia dalam hal mendekatkan diri kepada sang maha penguasa di
bumi maupun di akhirat.

9
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pada ayat 185 ini, Allah memperkuat ayat 184, bahwa walaupun berpuasa diwajibkan,
tetapi diberi kelonggaran bagi orang-orang yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa pada
bulan Ramadan dan menggantikan pada hari-hari yang lain. Kemudian pada penutup ayat ini
Allah menekankan supaya disempurnakan bilangan puasa dan menyuruh bertakbir serta
bersyukur kepada Allah atas segala petunjuk yang diberikan.

Dalam kitab tafsir Al misbah karya prof. Dr. Muhammaa Quraish Shihab disebutkan:
hari yang ditentukan, yakni dua puluh sembilan atau tiga puluh hari saja selama bulan
Ramadan. Bulan tersebut dipilih karena ia adalah bulan yang mulia. Bulan yang didalamnya
diturunkan permulaan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu serta pembeda yang jelas antara yang haq dan yang batil. Penegasan
bahwa al-Qur’an yang demikian itu sifatnya diturunkan pada bulan Ramadan mengisyaratkan
bahwa sangat dianjurkan untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an selama bulan Ramadan.

Saran

Demikian makalah yang kami buat ini,semoga bermanfaat dan menambah ilmu
pengetahuan para pembaca.Kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam ejaan dalam
penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas di mengerti dan lugas.Karena kami hanyalah
manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan kami juga sangat mengharapkan saran dan
kritik dari para pembaca demi kesempurnaaa makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga
dapat diterima di hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar besarnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Arifin Jaenal , Fiqh Hisab Rukyah Di Indonesia (Telaah Sistem Penetapan Awal Bulan
Qamariyyah), Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Yudisia, Vol. 5, No.2, Desember
2014, 407

Ash-Shiddiqiey Hasbi, Tafsir Al-Quranul Madjid An-Nur, Jilid 1, (Jakarta:Cakrawala


Publishing,)

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya,15

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, (Bandung: CV Mikraj Khazanah


Ilmu, 2011),

Muhammad bin Yazid Abiy Abdillah , Sunan Ibnu Majah, (Dar As-sahnun), 533.

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta Timur: Tinta Abadi Gemilang, Cet.2, 2013), 190,

11
12

Anda mungkin juga menyukai