Anda di halaman 1dari 4

SEJARAH PENSYARI’ATAN PUASA RAMADHAN

Puasa Ramadhan disyariatkan pada bulan Syakban tahun 2 Hijriyah.

Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits berikut.

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Adapun periode puasa, ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau puasa setiap bulannya tiga hari. Kemudian beliau
menambah puasa hingga 17 bulan dari Rabi’ul Awwal sampai Ramadhan (Yazid mengatakan 19
bulan dari Rabi’ul Awwal hingga Ramadhan), setiap bulannya tiga hari puasa. Kemudian beliau
juga puasa Asyura (sepuluh Muharram). Kemudian Allah mewajibkan puasa dengan
menurunkan ayat,

َ ُ‫ين ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّق‬


‫ون‬ َ ‫ب َعلَى الَّ ِذ‬
َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ُم الصِّ يَا ُم َك َما ُكت‬ َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذ‬
َ ِ‫ين آ َمنُوا ُكت‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).

Hingga ayat,

َ ‫َو َعلَى الَّ ِذ‬


‫ين ي ُِطيقُونَهُ فِ ْديَةٌ طَ َعا ُم ِم ْس ِكين‬
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184).

Maka barang siapa ingin puasa, silakan. Siapa yang mau tunaikan fidyah dengan memberi makan
orang miskin, dibolehkan pula. Kemudian diturunkan ayat,

ِ eَ‫ َد ٰى َو ْالفُرْ ق‬eُ‫ت ِم َن ْاله‬ ُ ْ‫ر‬eeُ‫ ِه ْالق‬e‫ز َل فِي‬e ‫ُأ‬


‫ان ۚ فَ َم ْن‬e ِ َّ‫دًى لِلن‬eُ‫آن ه‬
ٍ ‫ا‬eeَ‫اس َوبَيِّن‬ ِ e‫ان الَّ ِذي ْن‬ َ ‫َش ْه ُر َر َم‬
َ ‫ض‬
ُ َ‫َش ِه َد ِم ْن ُك ُم ال َّشه َْر فَ ْلي‬
ُ‫ص ْمه‬
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barang
siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah: 185).

Maka diwajibkan puasa bagi yang mukim, sehat, dan diberikan keringanan bagi orang sakit,
musafir. Sedangkan untuk yang sudah berusia lanjut yang tidak sanggup lagi untuk berpuasa,
maka dikenakan fidyah dengan memberi makan pada orang miskin. Inilah periode kedua.

Maka orang-orang saat itu makan, minum, dan menggauli istri mereka selama mereka belum
tidur malam. Ketika sudah tidur, maka tidak boleh melakukan hal-hal tadi lagi.
Diceritakan bahwa ada seseorang bernama Shirmah, siang hari ia bekerja hingga petang.
Kemudian ia mendatangi keluarganya, kemudian ia shalat Isya, kemudian langsung tertidur dan
tidak sempat makan maupun minum hingga datang Subuh, maka ia dari tertidur tadi sudah dalam
keadaan berpuasa. Lantas di pagi hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya yang
sudah dalam keadaan letih berat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan
kepadanya,

ً‫ت َجهْداً َش ِديدا‬ َ ‫َما لِى َأ َرا‬


َ ‫ك قَ ْد َجهَ ْد‬
“Sepertinya engkau dalam keadaan letih berat.” Ia menjawab,

‫ين‬ ْ ‫ت َوَأ‬
ُ ْ‫بَح‬e ‫ص‬
َ ‫ت ِح‬ eُ ‫َأ ْلقَي‬e َ‫ت ف‬
ُ ‫ى فَنِ ْم‬e ‫ْت نَ ْف ِس‬ ُ ‫ين ِجْئ‬ ِ ‫ت َأ ْم‬
ُ ‫س فَ ِجْئ‬
َ ‫ت ِح‬ ُ ‫ول هَّللا ِ ِإنِّى َع ِم ْل‬
َ e ‫ا َر ُس‬eeَ‫ي‬
ً ‫صاِئما‬ َ ‫ت‬ ُ ْ‫َأصْ بَح‬
“Iya wahai Rasulullah. Aku kemarin bekerja berat. Aku pulang lantas tertidur hingga aku
berpuasa pada pagi hari.”

Umar pun menggauli budak wanitanya atau istrinya setelah Umar tidur, kemudian ia mendatangi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kasus yang ia alami. Lantas turunlah
firman Allah,

‫اسٌ لَه َُّن ۗ َعلِ َم هَّللا ُ َأنَّ ُك ْم‬eَ‫اسٌ لَ ُك ْم َوَأ ْنتُ ْم لِب‬eeَ‫اِئ ُك ْم ۚ هُ َّن لِب‬e‫ث ِإلَ ٰى نِ َس‬
ُ َ‫ َّرف‬e‫يَ ِام ال‬e‫الص‬ ِّ َ‫ُأ ِح َّل لَ ُك ْم لَ ْيلَة‬
ۚ ‫ب هَّللا ُ لَ ُك ْم‬ َ َ‫اب َعلَ ْي ُك ْم َو َعفَا َع ْن ُك ْم ۖ فَاآْل َن بَا ِشرُوهُ َّن َوا ْبتَ ُغوا َما َكت‬ َ َ‫ون َأ ْنفُ َس ُك ْم فَت‬ َ ُ‫ُك ْنتُ ْم تَ ْختَان‬
‫ر ۖ ثُ َّم َأتِ ُّموا‬eِ e ْ‫ َو ِد ِم َن ْالفَج‬e ‫ط اَأْل ْس‬e ِ e‫طُ اَأْل ْبيَضُ ِم َن ْال َخ ْي‬e‫َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َحتَّ ٰى يَتَبَي ََّن لَ ُك ُم ْال َخ ْي‬
‫صيَا َم ِإلَى اللَّي ِْل‬
ِّ ‫ال‬
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu;
mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan
memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS.
Al-Baqarah: 187).” (HR. Ahmad, 5:246).

Kesimpulannya, tiga tahapan puasa adalah:

1. Puasa itu wajib, tetapi masih diberikan pilihan untuk bayar fidyah. (QS. Al-Baqarah: 183-
184)
2. Puasa menjadi wajib bagi yang mampu berpuasa. (QS. Al-Baqarah: 185)
3. Puasa wajib mulai dari terbit fajar Shubuh hingga tenggelam matahari, disunnahkan
makan sahur. (QS. Al-Baqarah: 187)

 
Pelajaran dari Sejarah Pensyariatan Puasa
Pertama:  Hikmah dalam pensyariatan puasa secara bertahap. Puasa tidak dijadikan wajib dalam
satu tahapan. Namun, pensyariatan puasa ini datang melalui beberapa tahap.

 Awalnya adalah disyariatkannya puasa tiga hari, lalu beralih hingga puasa sebulan penuh
dengan ketentuan boleh memilih antara puasa atau fidyah.
 Hingga, puasa jadi terbiasa, maka diwajibkanlah puasa sebulan penuh yang tiada tawar
menawar, kecuali bagi orang yang sakit, musafir, atau pun karena uzur yang tidak
mungkin melaksanakan puasa.
 Lalu puasa diberi keringanan dengan dibolehkan makan, minum, dan hubungan intim
hingga waktu terbit fajar Shubuh.

Dengan demikian dapat kita ambil sebuah pelajaran dalam berdakwah itu

Kedua: Pensyariatan puasa dipenuhi dengan kemudahan dan keringanan serta tidak bertujuan
untuk membuat umat ini susah. Dilihat dari awal diwajibkannya puasa mulai setelah shalat Isya
atau dari tidur malam hingga tenggelam matahari. Kemudian diberi keringanan dengan firman
Allah Ta’ala,

‫اسٌ لَه َُّن ۗ َعلِ َم هَّللا ُ َأنَّ ُك ْم‬eَ‫اسٌ لَ ُك ْم َوَأ ْنتُ ْم لِب‬eeَ‫اِئ ُك ْم ۚ هُ َّن لِب‬e‫ث ِإلَ ٰى نِ َس‬
ُ َ‫ َّرف‬e‫يَ ِام ال‬e‫الص‬ِّ َ‫ُأ ِح َّل لَ ُك ْم لَ ْيلَة‬
ۚ ‫ب هَّللا ُ لَ ُك ْم‬ َ َ‫اب َعلَ ْي ُك ْم َو َعفَا َع ْن ُك ْم ۖ فَاآْل َن بَا ِشرُوهُ َّن َوا ْبتَ ُغوا َما َكت‬ َ َ‫ون َأ ْنفُ َس ُك ْم فَت‬
َ ُ‫ُك ْنتُ ْم تَ ْختَان‬
ۖ ‫ر‬eِ ْ‫َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َحتَّ ٰى يَتَبَي ََّن لَ ُك ُم ْال َخ ْيطُ اَأْل ْبيَضُ ِم َن ْال َخي ِْط اَأْلس َْو ِد ِم َن ْالفَج‬
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;
mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan
memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS.
Al-Baqarah: 187).

Hal ini menunjukkan Islam itu mudah, ringan, dan tidak memberatkan.

Ketiga: Pada permulaan ayat tentang pensyariatan puasa,

َ ُ‫ين ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّق‬


‫ون‬ َ ‫ب َعلَى الَّ ِذ‬
َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ُم الصِّ يَا ُم َك َما ُكت‬ َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذ‬
َ ِ‫ين آ َمنُوا ُكت‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183). Dari sini, kita
dapatkan sebuah pelajaran bagi para dai dalam berdakwah untuk memakai metode yang
digunakan oleh Al-Qur’an dalam proses pensyariatan puasa. Puasa itu diwajibkan kepada umat
Muhammad dan umat terdahulu. Dari ayat ini ada dua faedah:
1. Gunakanlah metode motivasi diri dan perbaikan hati, seperti di dalam ayat dimotivasi
untuk meraih takwa. Karena pada dasarnya, ibadah puasa adalah susah dan memberatkan.
Namun, pekerjaan yang susah dan berat jika seseorang tidak merasa terbebani, itu akan
terasa mudah dipikulnya, karena bukan hanya ia seorang yang berpuasa, tetapi yang
lainnya juga.
2. Gunakanlah metode menyemangati untuk berlomba-lomba dengan umat-umat
sebelumnya. Ini berarti kita diajarkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.

Dua metode motivasi diri dan perbaikan hati serta berlomba-lomba dalam kebaikan bisa
digunakan oleh para dai dalam berdakwah.

Keempat: Pensyariatan puasa juga menimbulkan kepekaan sosial yang tinggi.

 Puasa itu mengingatkan pada orang kaya bagaimanakah susahnya orang miskin.
 Puasa juga menguatkan ikatan persaudaraan antarsesama.
 Puasa juga untuk melatih diri agar dapat mengalahkan syahwat.

Kelima: Berpuasa dan berbuka mempunyai batasan waktu yang telah ditentukan. Kita lihat
waktu menahan diri dari pembatal hanya sebentar dan berbuka juga demikian. Selain itu, hal ini
merupakan ciri dari sebuah aturan, juga harus tepat dan konsisten dalam menjalankannya. Sifat
disiplin seperti ini harus diterapkan dalam keseharian kaum muslimin agar terhindar dari
perbuatan sia-sia. Fenomena disiplin ini dapat kita saksikan di Masjidil Haram ketika ratusan
ribu orang berbuka puasa dalam satu waktu pada awal kalimat azan. Sikap disiplin seperti ini
harusnya diterapkan dan dipraktikkan dalam kehidupan kaum muslimin.

Keenam: Kewajiban puasa membiasakan setiap muslim untuk menjaga dirinya sendiri. Seorang
muslim mungkin saja menampakkan dirinya berpuasa. Kemudian ketika di rumah, ia bisa saja
mengunci pintu lalu makan dan minum di dalam kamar semaunya. Itu kalau ia ingin berkhianat
saat berpuasa. Oleh karena itu, Allah memberi pahala yang besar bagi orang yang menjalani
puasa dengan benar sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi,

‫ َّل‬e‫ َّز َو َج‬e‫ال هَّللا ُ َع‬


َ َ‫ْف ق‬ ِ ‫ف ْال َح َسنَةُ َع ْش ُر َأ ْمثَالِهَا ِإلَى َسب ِْع ِماَئ ِة‬
ٍ ‫ضع‬ ُ ‫ُضا َع‬ َ ‫ُكلُّ َع َم ِل اب ِْن آ َد َم ي‬
‫ع َشه َْوتَهُ َوطَ َعا َمهُ ِم ْن َأجْ لِى‬ ُ ‫ِإالَّ الص َّْو َم فَِإنَّهُ لِى َوَأنَا َأجْ ِزى بِ ِه يَ َد‬
“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh
kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
‘Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan
membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku.’” (HR.
Muslim, no. 1151

Sumber https://rumaysho.com/33003-faedah-sirah-nabi-sejarah-pensyariatan-puasa-
ramadhan.html

Anda mungkin juga menyukai