A. Pendahuluan
Puasa merupakan ibadah pokok yang ditetapkan sebagai salah satu rukun
Islam. Dengan demikian karena puasa merupakan ibadah pokok maka dia
harus dilaksanakan sebagai salah satu kewajiban bagi orang yang beriman.
Kewajiban ini secara jelas dengan menggunakan kata kataba yang terdapat
dalam surat al-Baqarah ayat 183.
Apabila diteliti isi kandungan ayat-ayat sesudah ayat 183 dari surat al-
Baqarah tersebut, yang menjelaskan masalah siapa saja yang mendapat
rukhsah, akan dapat menimbulkan permasalahan bagi pekerja berat yang terus
menerus termasuk pada bulan Ramadhan. Bagi mereka puasa adalah persoalan
yang dilematis, disatu sisi puasa merupakan perintah agama yang wajib
dilaksanakan, sementara di sisi lain tuntutan ekonomi yang membuat mereka
tidak bisa untuk meninggalkan pekerjaan tersebut.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai masalah puasa
bagi pekerja berat, apakah ada keringanan bagi mereka tersebut atau tidak.
B. Pembahasan
1. Pengertian Puasa
Kata puasa dalam bahasa Arab digunakan dengan kata al-shaum, di
mana kata al-shaum itu sendiri berarti المساك و الكف عن الشيئ
(menahan diri dari sesuatu)1, baik dalam bentuk perkataan ataupun
perbuatan. Terkait masalah puasa ini, dalam al-Qur’an terdapat unkapan
kata shiyam yang terulang sebanyak delapan kali. Kata shiyamdi sini
menurut hukum syara’ berarti puasa, dan pada surat yang lain digunakan
ungkapan shaum, yang berarti menahan diri untuk tidak berbicara 2. Hal ini
terlihat dalam surat Maryam ayat 26 :
1
. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2002),
Juz III, h. 1616.
2
. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh,(Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), Cet-
1, h. 52.
1
ُ َ إني نذ َرت ِللرحمن صوما فَل
سّيا َ ْم ال ْي َو
ِ ْ م إ ِن َ ّ ن أك َل
ْ ً ْ َ ِ َ ْ ّ ُ ْ َ ِّ
Artinya: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha
Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang Manusia pun pada
hari ini".
“Menahan diri di siang hari dari segala yang membatalkan puasa dengan disertai
niat sejak terbitnya fajar sehingga terbenamnya matahari”4.
3
. M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir atas Berbagai Persoalan Umat,
(Jakarta: Mizan, 1998), h. 522
4
. Wahbah al-Zuhaili, loc.cit.
2
Dalam redaksi yang sedikit berbeda, Abu Abdullah Muhammad al-
Qurthubi dalam kitabnya al-Jami’il Ahkam al-Qur’an menyatakan bahwa al-
shaum itu adalah:
“Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa yang dibarengi dengan niat
sejak terbitnya fajar samapai terbenamnya matahari, menyelesaikan dan
menyempurnakannya dengan menjauhi perbuatan maksit, serta tidak mendatangi
tempat-tempat yang diharamkan”5.
ب عَل َللى َ
َ مللا ك ُت ِل
َ َم ك
ُ ص لَيا ُ ُ ب عَل َي ْك
ّ م ال َ ِ مُنوا ك ُت َ نآ َ ذيِ ّ َيا أي َّها ال
نَ م ت َت ُّقوْ ُ م ل َعَل ّك
ْ ُ ن قَب ْل ِك
ْ م ِ نَ ذي ِ ّ ال
5
. Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi (selanjutnya disebut
Imam al-Qurthubi), al-Jami’il Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,t.th), Jilid
I,h.183.
3
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa"
Dalam tuntutan puasa pada ayat di atas tidak dijelaskan siapa yang
mewajibkan, dan tidak pula dijelaskan berapa kewajiban puasa itu, tetapi hanya
disebutkan sebagaimana diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu. Dengan
demikian maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagi tujuan
puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasa sendiri, yakni agar
menjadi orang yang bertakwa.
Selanjutnya firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 184 sebagai
berikut :
َ َ
ر
ٍ س لَف َ ضللا أوْ عَل َللى ً ريِ مَ م ْ من ْك ُل
ِ نَ ن ك َللا َ َت ف
ْ م ٍ دا َ دو ُ ْ مع َ ما ً أّيا
مُ ة ط َعَللا
ٌ ه فِد ْي َلُ َ طيُقللون
ِ ُن ي َ ذي ِ خَر وَعَل َللى ال ّل َ ُ ن أ َّيام ٍ أ ْ م ِ ٌفَعِد ّة
َ
خي ْلٌر
َ موا ُ صللو ُ َن ت ُ َ خي ٌْر ل
ْ ه وَأ َ َخي ًْرا فَهُو َ َن ت َط َوّع ْ م َ َن ف ٍ كي ِ س ْ مِ
ن
َ موُ َ م ت َعْلْ ُ ن ك ُن ْت ْ ُ ل َك
ْ ِم إ
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di
antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hai-hari lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan
kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik
baginya. Dan puasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
مللا َ
puasa itu bukanlah untuk sepanjang tahun, tetapi hanya ً أّيا
ت
ٍ دا
َ دو
ُ مْعلل
َ (beberapa hari tertentu). Demikian inipun hanya
diwajibkan bagi setiap mukallaf yang berada di kampung halaman tempat
tinggalnya (muqim), dan dalam keadaan sehat, sehingga bagi “siapa saja
yang sakit atau dalam perjalanan” maka boleh untuk tidak berpuasa di
bulan Ramadhan tersebut dan menggantinya pada hari-hari di bulan lain.
Sedangkan terhadap “orang-orang yang merasa sangat berat berpuasa,
4
maka (sebagai gantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi
makan seorang miskin”.
6
. Imam al-Qurthubi, op.cit, h. 185
7
. Ibid.
5
orang yang sakit boleh untuk berbuka dan orang ini diwajibkan untuk
mengqada pada hari lain sebanyak hari yang ia berbuka.
8
.Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, h.63-66 lihat juga Imam al-urthubi,
op.cit, h. 186.
9
. M.Quraish Shihab, op.cit., h.525
6
Keadaan orang yang merasa berat menjalankan puasa diungkapkan
10
. Atabik ‘Ali dan A. Zuhdi Muhdhar, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996), cet-9,h. 1219.
11
. Muhammad Ali al-Ssabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, (Beirut: Dar al
Qur’an al-Karim, t.th), Juz I, h. 133.
7
kesanggupan dapat ditemukan dalam surat al-Baqarah ayat 249
sebagai berikut :
2. Kata Istitha’ah
Kata istitha’ah terbentuk dari tsilasi mazid tiga huruf yang terambil
dari kata tha’a yathi’u-thauan, yang secara etimologi berarti taat,
12
.Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Panji Masyarakat, 1993), Juz 2, h. 385.
8
patuh dan tunduk13. Istitha’ah adalah pecahan dari kata tha’a dalam
bentuk benda, yang biasanya dimaksudkan dengan kemampuan dan
kesanggupan. Oleh karena itu, kata istitha’ah dalam bentuk ini dapat
dipahami dengan keadaan seseorang yang tunduk untuk melakukan
sesuatu yang diperintahkan agama sesuai dengan kondisinya.
Sedangkan dalam al-Qur’an, bentuk yang seperti ini nyaris tidak
ditemukan, karena yang ditemukan hanya dalam bentuk kata kerja,
baik dalam bentuk fi’il madhi ataupun fi’il mudhari’. Ungkapan
seperti ini dapat ditemukan sebanyak 42 kali dalam surat dan ayat
yang kesemuanya berarti sanggup dan mampu14.
Beranjak dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa semakin tinggi
daya kemampuan seseorang, maka semakin tinggi pula tuntutan untuk
mengerjakan suatu perbuatan. Maka begitu juga sebaliknya, seseorang
tidak akan dituntut untuk melakukan perbuatan yang melebihi
kemampuannya. Demikian ini sebagaimana firman Allah yang
terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 286 sebagai berikut:
سعََها
ْ ُسا ِإل و ُ ّ ف الل
ً ه ن َْف ُ ّ ل ي ُك َل
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya”
13
. Al-Raghib al-Isfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th),
h.430.
14
.Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Negeri Baru van
Hoese, 1997), Jilid III, h. 783.
9
dalam pelaksanaannya seseorang dituntut untuk mempunyai kemampuan prima
dari berbagai aspek.
سعََها
ْ ُس ِإل و ُ ّ ل ت ُك َل
ٌ ف ن َْف
“Seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar
kemampuannya”
سعََها ُ ّ ل ت ُك َل
ْ ُف ن َْفسا ِإل و
15
. Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdhar, op. cit,h. 2017
10
“ … kami tidak akan memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar kesanggupannya…”
ما ك َِثيًرا
ً َمَراغ
ُ ض ِ َ ل الل ّهِ ي
ِ جد ْ ِفي الْر ِ سِبي
َ جْر ِفي
ِ ن ي َُهاْ مَ َو
ة
ً َسعَ َو
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya
mereka mendapati di muka bumi Ini tempat hijrah
yang luas dan rezki yang banyak.”
11
سلًعا ُ ن الل ّل
ِ ه َوا َ سلعَت ِهِ وَك َللا
َ ن
ْ مل
ِ كل ُ ن الل ّل
ُ ه ِ ْن ي َت ََفّرَقا ي ُغ
ْ ِ وَإ
ما ً كي
ِ ح َ
Jika keduanya bercerai, Maka Allah akan memberi
kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan
karunia-Nya. dan adalah Allah Maha luas (karunia-
Nya) lagi Maha Bijaksana.
عللا
ً مَتا ُ ْ سِع قَد َُرهُ وَعََلى ال
َ ُمْقت ِرِ قَد َُره ُ ْ ن عََلى ال
ِ مو ّ ُمت ُّعوه
َ َو
نَ سِني
ِ ح ُ ْ حّقا عََلى ال
ْ م َ ف ِ معُْروَ ْ ِبال
dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian)
kepada mereka. orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang
patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.
12
Baqarah ayat 286 memiliki pengertian sama dengan
kata ithaqah yang terdapat dalam ayat 249. Artinya
pemakaian kata tersebut hanya digunakan untuk
pekerjaan yang berat dan tidak sanggup untuk
dilaksanakan. Sebagai contoh kekuatan yang dimiliki
tentara Jalut seperti yang disonyalir dalam ayat 249
tersebut tidak mampu untuk dilawan, karena di
samping mereka memiliki jumlah yang begitu besar
juga punya persenjataan yang lebih lengkap
dibandingkan tentara Thalut. Begitu pula halnya kata
ithaqah yang terdapat dalam ayat 286, sehingga ayat
seolah-olah hendak mengatakan bagi siapa saja yang
benar-benar lemah atau tidak sanggup melaksanakan
puasa, maka silakan untuk tidak berpuasa. Barangkali
pemahaman inilah yang menyebabkan para mufassir
dan fuqaha memasukkan orang yang sudah tua renta,
ibu hamil dan orang sakit yang sudah tidak dapat
diharapkan lagi kesembuhannya ke dalam golongan
yathiqunah.
Selanjutnya dapat dipahami bahwa Allah SWT dalam
berbagai keadaan hanya memberikan tuntutan sesuai
dengan kemampuan hambanya (al-wus’u), yang oleh
Muhammad ali al-sayis kata al-wus’u ini berada dia
atas kata al-ithaqah. Di sisi lain, Allah SWT juga hanya
memberikan kewajiban untuk berbuat kepada
hambanya yang istitha’ah, seperti dalam hal
pelaksanaan ibadah haji, dan masalah pelaksanaan
perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam hadits
Rasulullah SAW. Di mana kata istitha’ah itu sendiri
secara sederhana dapat dipahami denga kemampuan
yang prima.
13
Sedangkan cakupan makna yang terkandung pada
kata yathiqunah menurut sebagian ulama sebagaimana
yang dikemukakan Muhammad Ali al-Sayis dalam
kitabnya menyatakan bahwa dalam kata itu hanya
mencakup orang yang sudah tua renta, wanita hamil
dan wanita yang sedang menyusui.
Demikian halnya menurut al-Jashas, di mana
menurutnya hanya ada tiga golongan yang termasuk ke
dalam cakupan ayat tersebut yaitu; pertama, orang tua
renta dan bagi mereka diwajibkan membayar fidyah.
Kedua, orang yang terlalu berat memikul beban
sehingga tidak mampu melaksanakannya, seperti
wanita hamil. Dan ketiga, orang yang merasa sangat
sukar (betul-betul kesulitan) melaksanakannya maka
bagi mereka juga wajib fidyah. Lebih jauh ia
mengemukakan bahwa orang-orang tersebut
ditetapkan berdasarkan akal, tetapi berdasarkan pada
tauqif dari rasulullah SAW16.
Sdangkan menurut Imam al-Maraghi cakupan kata
yathiqunah dalam ayat 184 di atas adalah bagi setiap
orang yang berat menjalankannya, mereka itu adalah
orang tua yang sudah lemah, orang sakit yang sudah
tidak dapat lagi diharapkan kesembuhannya, pekerja
berat, narapidana yang dijatuhi hukuman berat seumur
hidup, wanita hamil dan menyusui apabila khawatir
terhadap dirinya, anaknya17
Untuk itu, kata yathiqunah yang secara sederhana
dapat dimaknai dengan beban yang disertai dengan
kesulitan yang sangat berat, maka terhadap pekerja
16
. Abu Bakar bin Ali al-Razi al Jashass, Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al
–‘Ilmiyah, t.th), Juz I h.216.
17
. Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Dar al Fikr, 1974), Jilid I,
h. 72.
14
berat, seperti buruh tambang sebagaimana yang
dikemukakan oleh Imam al-Maraghi hanya akan dapat
digolongkan kepada apa yang terkandung pada kata
yathiqunah dalam surat al-Baqarah ayat 184, apabila
pekerjaan itu memang dilakukan sepanjang masa dan
tidak ada pilihan mata pencaharian lain baginya. Sebab
apabila para pekerja berat dimaksud tidak dimasukkan
kepada bagian dari makna yathiqunah, dalam artian
tetap harus berpuasa maka terhadap pekerja itu hanya
ada dua pilihan yaitu berhenti bekerja yang berakibat
akan pada terancamnya kelansungan kehidupan
keluarganya, atau nekad tetap bekerja yang berimbas
pada kesusahan dan kesulitan yang bersangatan atas
dirinya atau bahkan mengancam keselamatan dirinya.
Hal ini tentu tidak sesuai dengan prinsip dalam Islam
yang senantiasa menghendaki kemudahan bagi setiap
umatnya bukan sebaliknya, sebagaimana yang terdapat
dalam surat al-Baqarah ayat 185 :
ْ ُم ال ْع
سَر ُ ُ ريد ُ ب ِك ْ ُ م ال ْي
ِ ُ سَر َول ي ُ ّ ريد ُ الل
ُ ُ ه ب ِك ِ ُي
…Allah Menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu…
15
mengqadha puasanya sebagai mana orang sakit yang
masih diharapkan sembuh dan musafir.
C. Penutup.
Berdasarkan uraian yang terkandung dari makna keumuman lafazh yang
ditelaah dari berbagai pendapat para mufasir sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, dan dari prinsip dalam Islam yang selalu
menghendaki kemudahan bagi setiap umatnya, maka dapat disimpulkan
bahwa bagi pekerja berat seperti pekerja tambang atau pekerja jenis
lainnya yang tidak mempunyai pilihan lain untuk mencukupi kebutuhan
pokok keluarganya, dan itu dilakukan sepanjang hidupnya, maka terhadap
mereka dapat digolongkan kepada kelompok yathiqunah artinya mereka
dapat diberikan rukhsah dalam bentuk kebolehan membatalkan puasa dan
mengganti kewajiban tersebut dengan membayar fidyah. Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka
16
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Dar al Fikr, 1974
Al Jashass, Abu Bakar bin Ali al-Razi, Ahkam al-Qur’an Beirut: Dar al-Kutub al
–‘Ilmiyah
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Negeri Baru van
Hoese, 1997
Muhammad Ali al-Ssabuni, Muhammad Ali, Tafsir Ayat al-Ahkam min al-
Qur’an, Beirut: Dar al Qur’an al-Karim
17