Anda di halaman 1dari 9

1

Khutbah Jumat:

Tujuh Kemudahan di Bulan Ramadhan


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T., M.Sc.

Pengasuh Rumaysho.Com dan Pimpinan Pesantren Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Naskah Khutbah Jumat Jami Al-Adha Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang

)Jumat Wage, 22 Syaban 1438 H (19 Mei 2017

Khutbah Pertama

















:




2









r


Para Jamaah shalat Jumat yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah Taala

Segala puji pada Allah, kita memuji-Nya, meminta pertolongan pada-Nya meminta ampunan
pada-Nya. Kami berlindung dari kejelekan diri kami dan kejelekan amal kami. Siapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Siapa yang disesatkan oleh
Allah, tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya.

Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Semoga shalawat tercurah pada Nabi kita Muhammad -shallallahu alaihi wa sallam-, keluarga
dan sahabat-Nya serta yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Islam itu membawa kemudahan pada umatnya. Kemudahan ini dapat dibuktikan dalam syariat
puasa yang kita jalankan, sebagaimana disebutkan dalam ayat,





Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-
Baqarah: 185).

Sebelumnya Allah Taala berfirman tentang orang sakit dan musafir yang dapat keringanan saat
puasa,



Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah:
185).
3

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, Sesungguhnya diberikan keringanan bagi kalian untuk tidak
berpuasa ketika sakit dan saat bersafar. Namun puasa ini wajib bagi yang mukim dan sehat. Itu
semua adalah kemudahan dan rahmat Allah bagi kalian. (Tafsir Al-Quran Al-Azhim, 2: 59).

Sekarang kita akan melihat tujuh kemudahan dalam syariat ibadah puasa dan amalan yang
dilakukan di bulan Ramadhan yang sebentar lagi akan kita jalani.

Kemudahan pertama:

Bagi orang sakit boleh ambil keringanan tidak berpuasa jika berat berpuasa.

Allah Taala berfirman,





Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS. Al Baqarah:
185)

Kemudahan kedua:

Bagi musafir jika berat dalam safar boleh ambil keringanan tidak berpuasa.

Kalau berpuasa itu berat saat safar, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk tidak
berpuasa. Jabir radhiyallahu anhu mengatakan,



.

.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan.
Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan,
Siapa ini? Orang-orang pun mengatakan, Ini adalah orang yang sedang berpuasa. Kemudian
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa
ketika dia bersafar. (HR. Bukhari, no. 1946 dan Muslim, no. 1115)

Namun kalau safar tersebut penuh kemudahan misal perjalanan yang hanya sebentar dengan
pesawat (misal: Jogja Jakarta, ditempuh hanya 1 jam perjalanan dengan pesawat), maka baiknya
4

tetap berpuasa karena lebih cepat terlepas dari kewajiban. Dari Abu Darda radhiyallahu anhu,
beliau berkata,












Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari
yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena
cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu alaihi
wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu. (HR. Bukhari, no. 1945 dan Muslim,
no. 1122)

Namun kalau kondisi sudah super berat saat safar yaitu bisa celaka bahkan binasa, malah jadi
tercela ketika tetap berpuasa. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu, beliau berkata,

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H)
menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo
Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-orang ketika itu masih berpuasa.
Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang
pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan
hal tadi, ada yang mengatakan, Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun mengatakan,



Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka. (HR. Muslim,
no. 1114)

Kesimpulannya, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, Yang lebih
afdhal adalah yang paling mudah baginya saat safar. Jika dalam puasa terdapat bahaya, maka
puasa dihukumi haram. Allah Taala berfirman,

Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu (QS. An Nisa: 29). Ayat ini menunjukkan bahwa jika ada bahaya, maka terlarang untuk
melakukannya. (Syarh Al-Mumthi, 6: 328)

Kemudahan ketiga:

Bagi tiang sepuh (orang sudah tua renta) boleh tidak berpuasa dan diganti dengan fidyah. Allah
Taala berfirman,



Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS. Al-Baqarah: 184)

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, Orang sakit yang tidak diharapkan lagi
kesembuhannya, maka dia boleh tidak berpuasa dan diganti dengan memberi makan kepada
orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Karena orang seperti ini disamakan dengan orang
yang sudah tua. (Al-Mughni, 4: 396)

Kemudahan keempat:

Bagi wanita hamil dan menyusui kalau berat berpuasa, boleh tidak berpuasa dan puasanya tetap
diqadha. Qadha ini tetap ada sebagaimana pendapat jumhur (kebanyakan ulama).

Namun kalau berat karena utang puasa yang menumpuk -misal selama enam tahun punya tiga
anak berturut-turut-, ketika itu tentu sangat berat untuk diqadha, maka boleh diganti fidyah.
Caranya, satu hari tidak puasa, mengeluarkan satu bungkus makanan.

Kemudahan kelima:

Wanita haidh masih boleh beribadah di bulan Ramadhan seperti yang boleh dilakukan:

1- Membaca Al-Quran asalkan tidak menyentuhnya langsung, bisa baca dari Al-Quran
terjemahan atau menyentuh mushaf Al-Quran (yang murni bahasa Arab) dengan sarung
tangan.
2- Membaca dzikir, sepakat ulama boleh.
3- Membaca doa juga boleh apalagi di bulan Ramadhan adalah waktu diijabahinya doa-
doa.
4- Mencari malam Lailatul Qadar di sepuluh hari terakhir Ramadhan.
5- Masuk masjid untuk mengikuti pengajian, meskipun sedang haidh. Menurut pendapat
terkuat, wanita haidh masih boleh masuk masjid.
6

Ini lima hal dahulu yang dijelaskan mengenai kemudaah saat kita berpuasa dan menjalani amalan
di bulan Ramadhan.

Khutbah Kedua










Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah pada nabi
termulia dari para nabi dan rasul, yaitu kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, kepada
keluarga dan seluruh sahabatnya.

Amma badu,

Maasyirol muslimin jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah

Selanjutnya

Kemudahan keenam dari amalan yang dilakukan di bulan Ramadhan:

Shalat malam tidak dibatasi jumlah rakaat, boleh dengan rakaat sedikit maupun banyak. Dalilnya,


-


- -

-


Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, beliau lantas menjawab, Shalat malam itu dua rakaat salam, dua rakaat
salam. Jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk Shubuh, maka tutuplah dengan satu
rakaat, maka itu jadi rakaat ganjil jadi penutup yang sebelumnya. (HR. Bukhari, no. 990 dan
7

Muslim, no. 749). Kalau seandainya jumlah rakaat shalat tarawih dibatasi 11 rakaat, pasti dalam
jawaban Rasul shallallahu alaihi wa sallam di atas akan diberikan batasan.

Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan
jumlah rakaat tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan
dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit rakaat. Siapa yang mau juga boleh
mengerjakan banyak. (At-Tamhid, 21: 70)

Kemudahan ketujuh:

Boleh melakukan itikaf sunnah di bulan Ramadhan walau hanya sebentar, yang penting dilakukan
di masjid. Allah Taala menyebutkan tentang syariat itikaf,



Sedang kamu beritikaf dalam masjid.(QS. Al Baqarah: 187). Ibnu Hazm rahimahullah berkata,
Allah Taala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beritikaf (dalam ayat ini). Dan
Rabbmu tidaklah mungkin lupa. (Al-Muhalla, 5: 180).

Al-Mardawi rahimahullah mengatakan, Waktu minimal dikatakan itikaf pada itikaf yang sunnah
atau itikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat). (Al-
Inshof, 6: 17)

Sehingga jika ada yang bertanya, bolehkah beritikaf di akhir-akhir Ramadhan hanya pada malam
hari saja karena pagi harinya mesti kerja? Jawabannya, boleh. Karena syarat itikaf hanya berdiam
walau sekejap, terserah di malam atau di siang hari.

Intinya, syariat Isalam membawa kemudahan bagi orang yang menjalani puasa, ibadah serta
amalan di bulan Ramadhan. Ada kemudahan yang diberikan pada orang sakit, musafir, tiang
sepuh (orang sudah tua renta), kemudahan wanita haidh dalam ibadah, sampai pada kemudahan
dalam shalat malam (shalat tarawih) dan itikaf walau hanya sebentar.

Sekarang tinggal kita, mau beramal ataukah tidak.

Moga Allah memudahkan kita berjumpa dengan bulan Ramadhan dan dimudahkan beramal
shalih di dalamnya sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Di akhir khutbah ini, kami ingatkan untuk bershalawat pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Siapa yang bershalawat pada beliau sekali, akan dibalas sepuluh kali.
8








.





Marilah kita berdoa pada Allah, moga setiap doa kita diperkenankan di Jumat penuh berkah ini.

Anda mungkin juga menyukai