Anda di halaman 1dari 5

Dalam buku 

Sejarah Puasa (2021) karya Ustaz Ahmad Sarwat, Lc dijelaskan tentang persyariatan


puasa umat-umat terdahulu, sebelum Islam datang.

Menurutnya, puasa pertama kali, apalagi di Bulan Ramadan, terjadi pada masa Nabi Nuh ketika
beliau keluar dari bahtera setelah banjir bandang yang menyapu sebagian besar bumi.

“Yang pertama kali berpuasa di bulan Ramadan adalah nabi Nuh alaihissalam, yaitu ketika dia
keluar dari bahteranya. Mujahid berkata bahwa telah tegas pertanyaan dari Allah SWT bahwa
setiap umat telah ditetapkan untuk berpuasa Ramadhan, dan sebelum masa Nabi Nuh sudah ada
umat manusia,” tulis Ahmad Sarwat dalam buku tersebut.

Apalagi, syariat puasa ini kita ketahui juga diperintahkan kepada umat-umat sebelum kita seperti
termaktub dalam Surat Al-Baqarah ayat 183 yang sering dijadikan rujukan untuk puasa Ramadan.

Al-Quran secara eksplisit menyebutkan bahwa kita wajib berpuasa sebagaimana dahulu puasa itu
diwajibkan kepada orang-orang sebelum kita.

Pertama, Puasa Nabi Daud

Dijelaskan dalam buku tersebut, puasa juga ada pada zaman sebelum Islam datang. Yakni kepada
Nabi Daud alaihissalam dan umatnya.

Mereka diwajibkan melaksanakan ibadah puasa untuk seumur hidup, dengan setiap dua hari
sekali berselang-seling. Sedang kita hanya diwajibkan puasa satu bulan saja dalam setahun, yaitu
bulan Ramadan.

Kini, umat Islam mengenalnya dengan puasa Nabi Daud, yang dikerjakan sehari puasa dan sehari
tidak. Puasa ini juga sunah dalam Islam. 

Baca Juga: Kisah Nabi Daud Lengkap Beserta Mukjizatnya, Bisa Diceritakan untuk Anak-anak
Kita

Puasa Maryam

Maryam adalah ibunda Nabi Isa. Dalam persyariatanya, pada zaman sebelum Islam datang juga
terdapat puasa. Hal ini sebagaimana ayat khusus dalam Alquran yang juga disebut dengan istilah
Maryam.
Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka
katakanlah, "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka
aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini."(QS. Maryam: 26)

Ustaz Ahmad Sarwat juga mengisahkan, karena sedang berpuasa yang tidak membolehkan
makan, minum dan juga berbicara—ini yang membedakan dengan puasa yang dikenal umat
muslim hari ini, maka itulah ketika ditanya tentang siapa ayah dari putera yang ada di
gendongannya.

Maryam saat itu tidak menjawab dengan perkataan, maka beliau hanya diam. Maryam hanya
menunjuk kepada Nabi Isa’, anaknya itu.

Lantas, sejarah mencatat, lalu Nabi Isa yang masih bayi itu pun menjawab semua pertanyaan
kaumnya. Itu dalam islam dianggap sebagai mukjizat Nabi Isa, bisa berbicara sejak bayi atas
seizin-Nya. 

Selain itu, ada juga puasa yang dilakukan dalam Katolik dan Yahudi. Keduanya menurut
keterangan dalam buku tersebut juga sudah melakukan puasa yang tentu saja berbeda dengan
puasa yang dilakukan umat Islam hari ini.

1. Nabi Adam As

Nabi Adam As berpuasa sebelum diturunkan ke bumi karena terbujuk rayuan


setan untuk mendekati pohon terlarang. Menurut Ibnu Katsir, puasa nabi Adam
As dilakukan selama tiga hari tiap bulan sepanjang tahun. Pendapat lain
mengatakan bahwa nabi Adam As berpuasa setiap tanggal 10 Muharam sebagai
ungkapan syukur atas pertemuannya dengan Hawa di Arafah.

2. Nabi Nuh As

Nabi Nuh As berpuasa ketika sedang berada di atas bahtera yang dibuatnya
untuk menyelamatkan manusia yang beriman dari banjir bandang. Menurut
Ibnu Katsir, puasa nabi Nuh ini dilakukan selama satu tahun penuh kecuali dua
hari raya.

3. Nabi Ibrahim As
Nabi Ibrahim As berpuasa ketika dilemparkan oleh Raja Namrud ke dalam api.
Beliau dalam keadaan berpuasa dan berdoa kepada Allah agar diselamatkan
dari api yang panas sehingga api tersebut menjadi dingin.

4. Nabi Musa As

Nabi Musa As berpuasa saat beliau sedang bermunajat di Gunung Tursina


selama 40 hari.

5. Nabi Yusuf As

Nabi Yusuf As berpuasa saat beliau sedang menjalani hukuman di penjara


akibat fitnah telah berbuat tidak senonoh kepada Zulaikha.

6. Nabi Yunus As

Nabi Yunus As berpuasa saat berada dalam perut ikan nun (ikan paus). Ketika
berbuka dikisahkan bahwa beliau memakan buah yang tumbuh di tepi pantai
yang bentuknya seperti labu setelah dimuntahkan oleh ikan yang menelannya.

7. Nabi Syuaib As

Nabi Syuaib As berpuasa di usia tuanya, beliau terkenal saleh dan banyak
melakukan puasa. Kehidupan beliau pun sangat sederhana. Puasa bagi nabi
Syuaib adalah sarana untuk mendekatkan diri dan bertaqwa kepada Allah.

8. Nabi Ayub As

Nabi Ayub As  hidup dalam kekurangan, dan menderita penyakit menahun.


Beliau banyak melakukan puasa dan beribadah kepada Allah Swt.

9. Nabi Daud As

Nabi Daud As biasa berpuasa satu hari dan berbuka (tidak berpuasa) satu hari.
Disebutkan dalam perjanjian lama bahwa ketika putranya sakit keras nabi Daud
As berpuasa selama tujuh hari untuk memohon kesembuhan anaknya. Namun
sang putra meninggal pada hari ketujuh beliau berpuasa.

Sejarah Puasa Ramadhan pertama kali diwajibkan oleh Allah Swt untuk umat Islam terjadi pada
tahun kedua Hijriyah. Pada waktu itu, Rasulullah SAW baru menerima perintah memindahkan
arah kiblat dari Baitul Maqdis di Palestina ke arah Masjidil Haram di Makkah. 
Sejarah Diwajibkannya Puasa Ramadhan Mengutip Buku Menyambut Ramadhan karya Ustadz
Saiyid Mahadhir MA disebutkan, kata puasa adalah hasil terjamahan dari bahasa Arab yang
diambil dari kata shaum atau shiyam. Dalam bahasa Arab kata shaum atau shiyam diartikan
dengan imsak yang berarti menahan. Di dalam Al-Quran kata shaum menunjukkan makna lebih
umum ketimbang shaum yang justru sering digunkan untuk menunjukkan makna yang lebih
khusus; yaitu berpuasa dengan menaham makan dan minum. Secara istilah, puasa adalah
menahan diri dari segala yang membatalkannya dengan cara-cara yang khusus. Imam At-
Thobari dalam Jami’ Al-Bayan menuliskan bahwa Muadz bin Jabal ra berkata: Ketika Rasulullah
saw datang ke Mekkah maka puasa yang dilakukan oleh beliau adalah puasa Asyura dan puasa
tiga hari pada setiap bulannya, hingga akhirnya Allah mewajibkan puasa Ramadhan, dan Allah
menurunkan ayat-Nya:

Awalnya ketika tiba di Madinah, Rasulullah saw dan para sahabat berpuasa tiga hari pada setiap
bulannya, dan beliau juga berpusa di hari Asyuro’, lalu kemudian turun syariat puasa Ramadhan
(QS. Al-Baqarah: 183), dan ini dinilai sebagai tahapan pertama. Namun diawal-awal puasa
Ramadhan ini masih sifatnya pilihan, siapa yang dengan sengaja tanpa alasan tidak mau
berpuasa mereka boleh tidak berpuasa, asalkan menggantinya dengan fidyah, tapi ketika Allah
menurunkan ayatNya:

ُ ‫“ َف َمنْ َش ِه َد ِم ْن ُك ُم ال َّشه َْر َف ْل َي‬


‫ص ْم ُه‬
Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu”

Maka tidak ada alasan lagi untuk tidak berpuasa, walaupun Allah tetap memberikan keringan
bagi mereka yang sakit, dalam perjalanan dan lanjut usia untuk tidak berpuasa dengan cara
menggantinya, baik dengan cara puasa qadha atau dengan fidyah. Sampai di sini dinilai sebagai
tahapan kedua dalam syariat puasa. Tahap ketiga yakni ketika Umar bin Khattab menceritakan
bahwa dia sempat mendatangi istrinya, padahal itu dilakukankannya setelah bangun dari tidur
yang sebenarnya tidak boleh dilakukan. Hal ini termaktub dalam Al Quran, Surat Al Baqarah ayat
187. Allah SWT berfirman:

{ ُ ‫ث ِإ َلى ِنسَاِئ ُك ْم هُنَّ لِ َباسٌ َل ُك ْم َوَأ ْن ُت ْم لِ َباسٌ َلهُنَّ َعلِ َم هَّللا‬ ُ ‫ص َيام الرَّ َف‬ ‫ُأ‬
ِ ِّ ‫ِح َّل َل ُك ْم َل ْي َل َة ال‬
‫ب‬ َ ‫اآلن بَاشِ رُوهُنَّ َوا ْب َت ُغوا َما َك َت‬ َ ‫اب َع َل ْي ُك ْم َو َع َفا َع ْن ُك ْم َف‬ َ ‫ون َأ ْنفُ َس ُك ْم َف َت‬
َ ‫َأ َّن ُك ْم ُك ْن ُت ْم َت ْخ َتا ُن‬
‫ْط األ ْب َيضُ م َِن ْال َخ ْيطِ األسْ َو ِد م َِن ْال َفجْ ِر‬ ُ ‫هَّللا ُ َل ُك ْم َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َح َّتى َي َت َبي ََّن َل ُك ُم ْال َخي‬
ِ ‫ك ُح ُدو ُد هَّللا‬َ ‫ون فِي ْال َم َسا ِج ِد ت ِْل‬ َ ُ‫ص َيا َم ِإ َلى اللَّي ِْل َوال ُتبَاشِ رُوهُنَّ َوَأ ْن ُت ْم َعا ِكف‬ ِّ ‫ُث َّم َأ ِتمُّوا ال‬
)187( ‫ون‬ ِ ‫} َفال َت ْق َربُو َها َك َذل َِك ُي َبيِّنُ هَّللا ُ آ َيا ِت ِه لِل َّن‬
َ ُ‫اس َل َعلَّ ُه ْم َي َّتق‬
Arrtinya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian;
mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni
kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa
yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi)
janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber-i'tikaf dalam masjid. Itulah larangan
Allah, maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS. Al Baqarah ayat 187) Ayat tersebut kemudian
menjadi penyempurna ibadah puasa di Bulan Ramadhan.

pada awal dijalankannya ibadah puasa, umat Islam diwajibkan berpuasa sampai waktu magrib.
Setelah berbuka mereka diperbolehkan makan, minum, dan melakukan hubungan suami-istri hingga
melaksanakan salat Isya dan tidur. Namun, setelah itu, mereka tidak makan dan minum hingga tiba
saatnya berbuka. Saat itu umat belum mengetahui batas kapan dimulainya puasa dalam sehari. Ada
seorang sahabat dari kalangan Anshar, Qais bin Shirmah Al Anshari. Ketika tiba waktu berbuka, ia
mendatangi sang istri, dan bertanya "apakah kamu punya sesuatu yang bisa dimakan?" Tidak ada
makanan di rumah Qais. Sang istri kemudian berinisiatif untuk mencari sesuatu untuknya. Namun,
ketika istri tersebut pergi, Qais yang kelelahan karena bekerja dan menahan lapar seharian, ketiduran.
Ketika terjaga, otomatis Qais mengira ia tidak diperbolehkan makan lagi. Ia mesti berpuasa hinga tiba
waktu berbuka esok harinya. Qais kemudian kembali bekerja di lahannya, tetapi ia pingsan sebelum
tengah hari. Ia lantas mengadukan kejadian ini kepada Nabi Saw. Dari sinilah turun Surah al-Baqarah
ayat 187. Dalam ayat tersebut, Allah memperbolehkan umat Islam makan, minum, dan berhubungan
intim dengan para istrinya sepanjang malam bulan puasa hingga terbit fajar

َ ‫ون َأنفُ َس ُك ْم َف َت‬


. ‫اب َعلَ ْي ُك ْم َو َع َفا َعن ُك ْم ۖ َف ْٱلـَٰٔ َن‬ َ ‫ث ِإلَ ٰى نِسَٓاِئ ُك ْم ۚ هُنَّ لِ َباسٌ لَّ ُك ْم َوَأن ُت ْم لِ َباسٌ لَّهُنَّ ۗ َعلِ َم ٱهَّلل ُ َأ َّن ُك ْم ُكن ُت ْم َت ْخ َتا ُن‬ ُ ‫ص َيام ٱلرَّ َف‬ ‫ُأ‬
ِ ِّ ‫ِح َّل لَ ُك ْم لَ ْيلَ َة ٱل‬
ۚ ‫ص َيا َم ِإلَى ٱلَّي ِْل‬ ۟ ‫ْط ٱَأْل ْب َيضُ م َِن ْٱل َخيْطِ ٱَأْلسْ َو ِد م َِن ْٱل َفجْ ر ۖ ُث َّم َأ ِتم‬
ِّ ‫ُّوا ٱل‬ ُ ‫ُوا َح َّت ٰى َي َت َبي ََّن لَ ُك ُم ْٱل َخي‬
۟ ‫وا َوٱ ْش َرب‬
۟ ُ‫ب ٱهَّلل ُ لَ ُك ْم ۚ َو ُكل‬
َ ‫وا َما َك َت‬۟ ‫ٰ َبشِ رُوهُنَّ َوٱ ْب َت ُغ‬
ِ
ُ َّ َّ َ َّ ٰ ‫هَّلل‬ َ ٰ ْ ‫اَل‬ ‫هَّلل‬ ْ ٰ ْ ُ ٰ ُ ‫َأ‬ ٰ ُ ‫اَل‬
‫ون‬
َ ‫اس ل َعل ُه ْم َيتق‬ ِ ‫ك ُي َبيِّنُ ٱ ُ َءا َي ِتهِۦ لِلن‬ َ ِ‫ك ُحدُو ُد ٱ ِ َف َتق َربُو َها ۗ َكذل‬ َ ‫ون فِى ٱل َم َس ِج ِد ۗ تِل‬ َ ‫َو ت َبشِ رُوهُنَّ َو نت ْم َع ِكف‬
Arab-Latin: Uḥilla lakum lailataṣ-ṣiyāmir-rafaṡu ilā nisā`ikum, hunna libāsul lakum wa antum libāsul
lahunn, 'alimallāhu annakum kuntum takhtānụna anfusakum fa tāba 'alaikum wa 'afā 'angkum, fal-āna
bāsyirụhunna wabtagụ mā kataballāhu lakum, wa kulụ wasyrabụ ḥattā yatabayyana lakumul-khaiṭul-
abyaḍu minal-khaiṭil-aswadi minal-fajr, ṡumma atimmuṣ-ṣiyāma ilal-laīl, wa lā tubāsyirụhunna wa
antum 'ākifụna fil-masājid, tilka ḥudụdullāhi fa lā taqrabụhā, każālika yubayyinullāhu āyātihī lin-nāsi
la'allahum yattaqụn Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
istri-istrimu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampunimu dan
memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan
Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri
mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka
bertakwa.”

Baca selengkapnya di artikel "Sejarah Puasa Ramadhan & Perintah Berpuasa di Surah Al-Baqarah
183", https://tirto.id/gceu

Anda mungkin juga menyukai