Anda di halaman 1dari 76

Ramadhan bersama Rasulullah saw dan para sahabatnya

oleh: Alwi Alatas *

DALAM al-Qur’an disebutkan tentang perintah berpuasa, “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa.” (QS 2: 83).Perintah puasa ditujukan kepada orang-orang yang beriman dan
dimaksudkan untuk menjadikan mereka pribadi-pribadi yang luhur dan bertakwa.
Perintah puasa bukan merupakan hal yang baru dan khusus bagi umat Rasulullah shallallahu
‘alaihiwasallam.Hal ini telah diperintahkan dan telah dilakukan juga oleh umat-umat terdahulu. Kita
tidak mengetahui secara persis tata cara berpuasa yang dilakukan oleh orang-orang di masa lalu,
tetapi kita bisa menemukan beberapa cuplikan tentang puasa ini di dalam Alkitab misalnya.
Merujuk pada Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) disebutkan adanya perintah berpuasa
baik yang dilakukan pada bulan tertentu atau pun puasa yang secara khusus dilakukan untuk
mendekatkan diri padaTuhan. Di dalam Hakim-Hakim 20: 26 misalnya disebutkan: “Kemudian
pergilah semua orang Israel, yakni seluruh bangsa itu, lalu sampai di Betel; di sana mereka tinggal
menangis di hadapanTuhan, berpuasa sampai senja pada hari itu….” Di bagian lain, pada masa
pemerintahan Daud (‘alaihis salam), disebutkan bahwa mereka “berpuasa sampai matahari
terbenam” (2 Samuel 1: 12).
Ayat yang lain lagi menyebutkan bahwa masyarakat Yerusalem dan sekitarnya diperintahkan untuk
berpuasa pada bulan kesembilan (Yeremia 36: 9). Umat Islam pada hari ini juga berpuasa pada
bulan Ramadhan yang merupakan bulan kesembilan dalam penanggalan hijriah.Mereka dahulu
diperintah berpuasa antara lain untuk “membuka belenggu-belenggu kelaliman” (Yesaya 58: 6).
Amalan puasa juga terus dipraktekkan hingga kemasa Yesus (Nabi Isa ‘alaihissalam) dan juga
dipraktekkan oleh beliau sendiri (lihat misalnya Matius 3: 1-2).
Jadi amaliah puasa merupakan hal yang sudah dijalankan sejak lama oleh umat manusia.Bahkan
sebenarnya bukan hanya manusia, hewan-hewan pun banyak yang melakukan puasa pada momen-
momen tertentu hidupnya yang kadang menjadi sebuah proses transformasi pada hewan-hewan ini.
Di kalangan masyarakat Arab, khususnya orang-orang Quraisy, kebiasaan berpuasa bukan sesuatu
yang sama sekali asing. Di dalam Shahih Bukhari sebagai mana diriwayatkan oleh
Aisyah radhiallahu ‘anha disebutkan bahwa sejak jaman jahiliyah, orang-orang Quraisy biasa
berpuasa pada hari Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah juga biasa melakukannya.Ketika beliau hijrah
ke Madinah, beliau juga memerintahkannya kepada kaum Muslimin, hingga datangnya perintah
berpuasa di bulan Ramadhan. Sejak saat itu puasa Asyura’ menjadi sesuatu yang sunnah bagi
kaum Muslimin.
Puasa di bulan Ramadhan baru diperintahkan pada tahun ke-2 setelah Hijrah Nabi shallallahu
‘alaihiwasallam ke Madinah.Pada bulan Ramadhan tahun itu juga terjadi perang besar yang pertama
di antara kaum Muslimin dan musyrikin Makkah, yaitu ghazwah al-Badr. Dalam sebuah hadits
disebutkan bahwa Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu berkata, “Kami berperang dalam dua
pertempuran bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada bulan Ramadhan, yaitu pada hari
Badrdan Fathu Makkah (penaklukkan Kota Makkah), maka kami tidak berpuasa pada kedua hari itu”
(HR Turmidzi, dikatakan status hadits ini dhaif).
DidalamTarikh Thabari (Jil.2, hlm. 417) disebutkan bahwa perintah berpuasa di bulan Ramadhan
telah diumumkan sejak bulan Sya’ban pada tahun tersebut.Begitu pula satu atau dua hari sebelum
Iedul Fitri pada tahun itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para sahabat untuk
mengeluarkan zakat fitrah. Dan pada hari Ied, Nabi dan para Sahabat keluar untuk mengerjakan
solat Ied. Ketika itulah hal-hal tersebut dilakukan untuk pertamakalinya di tengah kaum Muslimin di
Madinah. Pada bulan itu juga, kurang lebih pada tanggal 17 Ramadhan, kaum Muslimin berperang
menghadapi musyrikin Makkah di Badr. Allah memberi mereka kemenangan besar di Badr, sehingga
mereka menyambut Hari Raya Iedul Fitri pada tahun itu dengan dua kemenangan.Menurut Ibn
Katsir di dalam kitab tarikh-nya, Al-Bidayahwa-l-Nihayah (Jil. 5, hlm. 54), zakat atas harta yang telah
jatuh nishab-nya juga ditetapkan pada tahun ke-2 ini.
Sejak turunnya perintah berpuasa tersebut hingga ke hari ini, kaum Muslimin selalu melaksanakan
kewajiban puasa, menahan lapar dan dahaga serta menahan hawa nafsu, sejak subuh hingga
waktu maghrib sepanjang 29 atau 30 hari bulan Ramadhan. Tidak ada yang tidak menjalankannya
kecuali orang-orang yang memiliki udzur syar’i di antara mereka atau orang-orang yang ada
penyakit di hatinya (yang terakhir ini pun biasanya tidak melakukan pelanggarannya secara
terbuka).
Banyak peristiwa penting terjadi pada bulan ini. Selain Perang Badar, sebagaimana telah disinggung
di atas, peristiwa penaklukkan Kota Makkah juga terjadi pada bulan Ramadhan. Sekitar tanggal 10
Ramadhan tahun 8 Hijriah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat meninggalkan
Madinah menuju Makkah bersama 10.000 tentara. Seminggu kemudian mereka memasuki Makkah
dan menguasainya nyaris tanpa pertempuran (al-Mubarakfury, hlm. 547-556).Dengan begitu,
seolah-olah Ramadhan menjadi pembuka dan penutup terjadinya peperangan besar antara kaum
Muslimin Madinah dan kaum musyrikin Makkah pada masa itu.
Begitu pula halnya, ibadah puasa Ramadhan pada hakikatnya merupakan satu bentuk peperangan
besar antara diri kita dan hawa nafsu.Dan ketika kita berhasil memenangkan peperangan itu, kita
pun merayakan ke-fitri-an diri tepat setelah keluar dari madrasah Ramadhan. Setiap kali kita
berbuka puasa (fathara), tubuh kita dalam keadaan siap menerima makanan dengan rasa nikmat
yang besar. Saat kita kembali kepada fitrah di penghujung Ramadhan, jiwa kita semestinya juga
dalam keadaan siap sepenuhnya untuk menerima curahan ilmu, iman, serta kasih saying dari-Nya.
Sehingga ruhani kita pun bisa tumbuh sehat dan naik tinggi kepada-Nya.*
 Penulis buku “Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III

https://www.hidayatullah.com/ramadhan/mutiara-ramadhan/read/2016/06/20/96729/sejarah-puasa-
sebelum-dan-pada-masa-nabi.html

Puasa Ramadhan merupakan salah satu dari rukun Islam, artinya puasa Ramadhan
merupakan salah satu tiangnya agama Islam. Tiap-tiap Muslim yang beriman wajib
melaksanakannya selama sebulan penuh tiap tahunnya. Namun, tahukah bahwa jika
dilihat dari segi historisitasnya asal muasal puasa Ramadhan tidak langsung
diperintahkan begitu saja? Sebelumnya, puasa tidak langsung diperintahkan berpuasa
simulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Dalam sejarah, puasa
Ramadhan terdapat beberapa langkah sehingga menjadi suatu tataran syariat yang
mengikat bagi umat Muslim.

Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal, sejarah puasa Ramadhan tidak
muncul begitu saja. Dalam riwayatnya, sebelum Nabi menerima perintah puasa
Ramadhan, Nabi telah melaksanakan puasa ‘Asyura dan puasa tiga hari setiap
bulannya. Secara singkat sejarah puasa Ramadhan sendiri mulai diwajibkan (untuk
melakukan ibadah puasa Ramadhan) pada tahun ke 2 Hijriyah atau 624 Masehi setelah
Nabi hijrah ke Madinah, bersamaan dengan disyariatkannya salat ied, zakat fitrah, dan
kurban. Hal ini berarti, bahwa puasa adalah suatu ibadah yang bernilai universal dan
ibadah yang disempurnakan dari umat-umat terdahulu.
1. Puasa Ramadhan Ialah Puasa
Istimewa bagi Umat Nabi
Muhammad
Sejarah puasa Ramadhan tidak lepas dari waktu pelaksaan selama diwajibkan
berpuasa. Menurut Imam As-Sawi dalam kitab tafsirnya, bahwa kewajiban puasa yang
ditetapkan oleh Allah pada bulan Ramadhan dilakukan selama sebulan penuh. Hal itu
mengacu pada tafsiran kata ma’dudat pada awalan Q.S al-Baqarah: 188, yaitu kurang
dari 40. Hal itu karena, kebiasaan orang-orang Arab masa lalu jika menggunakan
kata ma’dudat maka yang dimaksud adalah kurang dari empat puluh. Sedangkan
menurut Ali As-Shabuni, tujuan dari hari-hari yang ditentukan tersebut yaitu sebagai
keringanan dan rahmat bagi umat Nabi Muhammad. Oleh sebab itu, Allah tidak
mewajibkan puasa kepada umat Muhammad sepanjang waktu.

2. Perintah dan Larangan Saat


Puasa
Pada awal-awal diperintahkan ibadah puasa Ramadhan, tata cara berpuasa pada awal-
awal diwajibkannya berbeda dengan sekarang, seperti larangan untuk makan, minum,
dan bersetubuh dengan istri pada malam hari, larangan tidur sebelum berbuka jika itu
dilanggar tidak boleh berbuka sampai tiba waktu berbuka lagi. Hal itu sesuai dengan
hadis riwayat Bukhari yang mengalami serupa yaitu sahabat Qais Sharmah al-Anshary
yang pingsan pada siang harinya karena tertidur sebelum berbuka pada hari
sebelumnya. Akhirnya, ia harus menahan makan dan minum seharian lagi.

Dalam riwayat lain, masih dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, sahabat Umar
bin Khattab juga mengalami demikian. Bahkan, ketika ia tertidur disamping istrinya
pada malam harinya sahabat Umar pun mendatangi istrinya lalu menunaikan hajatnya
karena tidak kuasa menahan hasratnya. Setelah selesai melakukan hajatnya, Umar pun
merasa bersalah pada dirinya mengapa ia tidak kuat untuk menahan keinginannya itu.
Ia tidak bisa tidur dua sampai tiga hari, sampai akhirnya ia ceritakan pada Nabi. Atas
kejadian tersebut, Nabi menjawab dengan firman Allah Q.S. al-Baqarah: 187, sehingga
Allah memberikan maaf dengan diperbolehkannya hal itu.

‫ث إئسلىَ ئن س‬
‫سآَئئككمم‬ ‫أئحل ر لسككمم لسميلسسة ال ص‬
‫صسياَئم الررسف ك‬

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu
…,” (Q.S. al-Baqarah: 187).
Para sahabat semakin gembira dengan adanya dispensasi berkurangnya waktu puasa,
yakni dihapuskannya puasa pada malam hari setelah berbuka. Maka setelah itu, syariat
puasa dan aturan-aturan puasa Ramadhan berlaku seperti yang kita rasakan saat ini.
Seperti yang difirmankan oleh Allah Swt., yaitu membatasi waktu berpuasa dari
terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari:

‫ض ئمسن املسخميئط السمسسوئد ئمسن املسفمجئر‬


‫شسركبوما سحرتىَ سيستسبريسن سلكككم املسخميكط السمبسي ك‬
‫سوكككلوما سوا م‬

… Dan, makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar …,” (Q.S. al-Baqarah: 187).

Itulah sejarah puasa ramadhan yang harus kita ketahui. Sungguh dari hikmah sejarah
puasa ramadhan itu, kita bisa merasakan kemudahan dari Allah untuk semua hamba-
Nya beribadah kepada-Nya sekaligus merupakan kekhususan umat Nabi Muhammad
tersendiri. Oleh karena itu, harus senantiasa bersyukur atas karuni-Nya kepada kita
umat Muslim. Demikianlah penuturan penulis, semoga bermanfaat. Wallahualam
bisawab.

https://abiummi.com/sejarah-puasa-ramadhan-menilik-asal-mula-perintah-puasa/

Sejarah Puasa dalam Peradaban Islam. Secara bahasa, puasa berasal dari bahasa Arab, Shaum
(jamaknya Shiyam) yang bermakna al-Imsak (menahan), sedangkan menurut istilah, puasa itu
menahan makan dan minum serta semua yang membatalkannya dari terbit fajar hingga terbenam
matahari. Untuk lebih lanjut mengenal pengertian puasa, syarat syah puasa dan jenis-jenis puasa
serta hal-hal lain yang berkaitan dengan puasa (Baca: Syarat Syah dan Rukun Puasa Wajib dan
Sunah).
Adapun menurut Ulama terkemuka Syekh Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan puasa sebagai
menahan diri dari segala keinginan syahwat, perut serta faraj (kemaluan), dan dari segala sesuatu
yang masuk ke kerongkongan, baik berupa makanan, minuman, obat, dan semacamnya pada waktu
tertentu-mulai terbit fajar hingga terbenam matahari.

Menurut Syekh az-Zuhaili, puasa dilakukan oleh Muslim yang berakal, tidak haid, dan juga tidak
nifas dengan melakukannya secara yakin. Setiap Muslim yang beriman diwajibkan berpuasa selama
satu bulan penuh pada bulan Ramadhan. Perintah berpuasa telah ditegaskan dalam surah al-
Baqarah [2] ayat 183:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang-orang yang bertakwa.”

Perintah berpuasa Ramadhan bagi umat Nabi Muhammad SAW mulai turun pada 10 Sya’ban, satu
setengah tahun setelah umat Islam hijrah ke Madinah. “Ketika itu,Nabi Muhammad baru saja
diperintahkan untuk mengalihkan arah kiblat dari Baitulmakdis (Yerusalem) ke Ka’bah di Masjidil
Haram, Makkah, Arab Saudi,” tulis Ensiklopedi Islam.
Puasa Ramadhan dimulai ketika melihat atau menyaksikan bulan pada awal bulan tersebut. Apabila
langit dalam keadaan berawan yang mengakibatkan bulan tak dapat dilihat dan disaksikan, bulan
Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari. Kewajiban puasa sebulan penuh pada Ramadhan baru
dimulai pada tahun kedua Hijriah.
Menurut riwayat lain, sebelum turunnya perintah puasa Ramadhan, Rasulullah bersama sahabat-
sahabatnya serta kaum Muslimin melaksanakan puasa pada setiap tanggal 13, 14, dan 15 bulan-
bulan Qomariyah. Selain itu, mereka juga biasa berpuasa tanggal 10 Muharam, sampai datang
perintah puasa wajib di bulan Ramadhan.

Berdasarkan penjelasan di atas, tampaklah bahwa puasa Asyura tak ada hubungannya dengan
peringatan wafatnya Husain bin Ali bin Abi Thalib yang biasa diperingati oleh penganut Syiah.
Namun demikian, sebagian umat Islam, termasuk di Indonesia, ada yang rutin melaksanakan puasa
Asyura.

Rasulullah pun terbiasa berpuasa pada hari Asyura. Bahkan, Rasul SAW memerintahkan kaum
Muslimin untuk juga berpuasa pada hari itu. Menurut Ibnu Umar RA, Rasulullah pernah berpuasa
pada hari Asyura dan menyuruh dia (Ibnu Umar) untuk berpuasa juga. Namun, saat datang perintah
puasa Ramadhan, puasa Asyura itu ditinggalkan oleh Rasulullah SAW.

Tentang perintah Rasulullah untuk berpuasa Asyura, menurut Bukhari, Ahmad dan Muslim adalah
sesudah beliau tiba di Yatsrib (Madinah). Tepatnya, sekitar setahun setelah Rasul SAW dan
sahabat-sahabatnya tinggal di Madinah.

Menurut riwayat, Rasul SAW tiba di kota itu pada Rabiul Awal, sedangkan perintah puasa Asyura itu
disampaikan pada awal tahun kedua. Kemudian, pada tahun kedua hijrah saat memasuki bulan
Ramadhan, turunlah wahyu yang berisi perintah kepada umat Islam akan diwajibkannya puasa pada
bulan Ramadhan. Dan puasa Asyura hanya satu kali dilaksanakan sebagai puasa wajib.

Jakarta, Aktual.com — Puasa Ramadan merupakan salah satu dari rukun Islam, artinya
puasa Ramadan merupakan salah satu tiangnya agama Islam. Oleh karena itu setiap
Muslim yang beriman wajib melaksanakannya selama sebulan penuh tiap tahunnya.
Namun, tahukah bahwa jika dilihat dari segi historisitasnya, asal-muasal puasa
Ramadan tidak langsung diperintahkan begitu saja. Karena sebelumnya, puasa tidak
langsung diperintahkan yang dimulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya
matahari. Dalam sejarah, puasa Ramadan terdapat beberapa langkah sehingga menjadi
suatu tataran syariat yang mengikat bagi umat Muslim.

Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal, sejarah puasa Ramadan tidak
muncul begitu saja. Dalam riwayatnya, sebelum Rasulullah SAW menerima perintah
puasa Ramadan, Rasulullah SAW telah melaksanakan puasa Asyura dan puasa tiga hari
setiap bulannya. Secara singkat sejarah puasa Ramadan sendiri mulai diwajibkan
(untuk melakukan ibadah puasa Ramadan) pada 10 Sya’ban, satu setengah tahun
setelah umat Islam hijrah ke Madinah. Ketika itu, Nabi Muhammad baru saja
diperintahkan untuk mengalihkan arah kiblat dari Baitulmaqdis (Yerusalem) ke Ka’bah
di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.

Dan pada saat itulah puasa Ramadan dimulai ketika melihat atau menyaksikan bulan
pada awal bulan tersebut. Apabila langit dalam keadaan berawan yang mengakibatkan
bulan tak dapat dilihat dan disaksikan, bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari.
Kewajiban puasa sebulan penuh pada Ramadan baru dimulai pada tahun kedua Hijriah.

Menurut riwayat lain, sebelum turunnya perintah puasa Ramadan, Rasulullah bersama
sahabat-sahabatnya serta kaum Muslimin melaksanakan puasa pada setiap tanggal 13,
14, dan 15 bulan-bulan Qomariyah. Selain itu, mereka juga biasa berpuasa tanggal 10
Muharam, sampai datang perintah puasa wajib di bulan Ramadan. Perintah puasa
Ramadan ini didasarkan pada firman Allah SWT yang berbunyi,

‫ب يعيلىَ اللذذيين ذمين قييبلذنكيم لييعللنكيم تيتلنقوُين‬


‫صيياَنم يكيماَ نكتذ ي‬ ‫يياَ أييَييهاَ اللذذيين آيمننوُا نكتذ ي‬
‫ب يعلييينكنم ال ص‬

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Al-Baqarah: 183)

Berdasarkan penjelasan di atas, tampaklah bahwa puasa Asyura tak ada hubungannya
dengan peringatan wafatnya Husain bin Ali bin Abi Thalib yang biasa diperingati oleh
penganut Syiah. Namun demikian, sebagian umat Islam termasuk di Indonesia ada
yang rutin melaksanakan puasa Asyura.

Karena Rasulullah sendiri pun terbiasa berpuasa pada hari Asyura. Bahkan, Rasulullah
SAW memerintahkan kaum Muslimin untuk juga berpuasa pada hari itu. Menurut Ibnu
Umar RA, Rasulullah pernah berpuasa pada hari Asyura dan menyuruh dia (Ibnu Umar)
untuk berpuasa juga. Namun, saat datang perintah puasa Ramadhan, puasa Asyura itu
ditinggalkan oleh Rasulullah SAW.

Tentang perintah Rasulullah untuk berpuasa Asyura, menurut Bukhari, Ahmad dan
Muslim adalah sesudah beliau tiba di Yatsrib (Madinah). Tepatnya, sekitar setahun
setelah Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya tinggal di Madinah.

Yang mana Rasulullah SAW tiba di kota itu pada Rabiul Awal, sedangkan perintah puasa
Asyura itu disampaikan pada awal tahun kedua. Kemudian, pada tahun kedua hijrah
saat memasuki bulan Ramadan, turunlah wahyu yang berisi perintah kepada umat
Islam akan diwajibkannya puasa pada bulan Ramadan. Dan puasa Asyura hanya satu
kali dilaksanakan sebagai puasa wajib.

Jika dalam surat Al-Baqarah ayat 183 dijelaskan bahwasannya, diwajibkan umat Islam
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelumnya agar umat Islam
bertakwa. Mungkin saja pernah terlintas di benak kita tentang bagaimana model puasa
yang dilakukan umat islam pertama kali? Apa yang membedakan puasa islam dengan
agama Ahli kitab? Atau mungkin pertanyaan lain yang berkenaan dengan puasa.

Adapun Persamaan puasa umat Islam dengan umat-umat terdahulu adalah dalam hal
kewajiban, bukan pada tata caranya. Berikut bentuk puasa sebelum kelahiran Nabi
Muhammad SAW.

Umat Nasrani dahulu juga pernah diwajibkan puasa Ramadan, tetapi mereka
menambahnya 10 hari hingga akhirnya berjumlah 40 hari. Dikarenaka pada bulan
Ramadan cuacanya sangat panas, waktunya pun diperpendek dan dipindah pada
musim semi.

Dan umat Yahudi pun juga berpuasa, bahkan puasanya tidak sekadar menahan dari
makan dan minum dari sore hari sampai waktu sore lagi. Akan tetapi, mereka
melaksanakan sambil berbaring di atas pasir dan debu sambil meratap sedih.

Pada masa Jahiliah, penduduk Quraisy Mekah melaksanakan puasa pada bulan Asyura
dan Rasulullah SAW melakukannya sebelum ada perintah berpuasa di bulan Ramadan,
namun setelah ada perintah puasa di bulan Ramadan SAW, Nabi pun berpuasa dan
meninggalkan puasa di bulan Asyura.
Adapun yang membedakan puasa umat Islam dengan umat yang lain di antaranya
adalah adanya perintah makan sahur sebelum terbit fajar. Di dalam hadis riwayat Amr
bin Ash, Rasulullah saw bersabda, “Perbedaan antara puasa kita dengan puasa ahli
kitab adalah pada makan sahur…” (HR Muslim)

Selain itu, puasa yang dilakukan kaum muslimin pada bulan Ramadan berlangsung
selama satu bulan penuh, berbeda dengan ahli kitab yang melaksanakan puasa di luar
bulan Ramadhan. Dalam hadis riwayat Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, “…
Sungguh, telah datang bulan Ramadhan, bulan yang diberkati. Allah telah
memerintahkan kepada kalian untuk berpuasa di dalamnya…” (HR Ahmad dan Nasa’i)

Refrensi :

-Shahih Fiqh Sunnah

-Fathul Bari

-Shahih Bukhari

(Arbie Marwan)

http://www.aktual.com/sejarah-puasa-ramadan-menilik-asal-mula-perintah-puasa/

Kapankah Puasa Ramadhan


Diwajibkan Kepada Umat Manusia?
Allah Ta’ala berfirman,
‫ب يعيلىَ اللذذيين ذمين قييبلذنكيم لييعللنكيم تيتلنقوُين‬
‫صيياَنم يكيماَ نكتذ ي‬ ‫يياَ أييَييهاَ اللذذيين آيمننوُا نكتذ ي‬
‫ب يعلييينكنم ال ص‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu
bertakwa” (QS. Al Baqarah [2]: 183).
Demikian pula beberapa ayat setelahnya, Allah Ta’ala menyebutkan dalam
ayat yang mulia ini bahwa Dia telah mewajibkan puasa atas umat ini
sebagaimana yang telah Allah Ta’ala wajibkan atas umat-umat sebelumnya.
Lafadz (‫ )كتب‬dalam ayat di atas bermakna (‫[ )فرض‬diwajibkan]. Puasa
diwajibkan atas umat ini dan juga umat-umat sebelumnya.
Sebagian ulama berkata tentang tafsir ayat di atas, ”Ibadah puasa diwajibkan
bagi para Nabi dan bagi umat mereka, sejak Adam hingga akhir
zaman.” Allah menyebutkan yang demikian itu karena sesuatu yang berat
untuk dikerjakan, akan terasa mudah dan lebih menenangkan jiwa manusia
jika dikerjakan oleh banyak orang. Oleh karena itu, puasa diwajibkan atas
seluruh umat manusia, meskipun berbeda tata cara dan waktu
pelaksanaannya.
Sa’id bin Jubair berkata, “Dahulu, puasa yang diwajibkan atas umat sebelum
kami adalah dari waktu ‘atamah (waktu shalat ‘Isya) sampai malam
berikutnya, sebagaimana dalam awal-awal Islam.”
Al-Hasan berkata, “Puasa Ramadhan dulu diwajibkan atas orang-orang
Yahudi. Akan tetapi, mereka meninggalkannya dan berpuasa pada satu hari
dalam setahun dan menyangka bahwa hari itu adalah hari
ditenggelamkannya Fir’aun. Padahal mereka berdusta dalam hal tersebut,
karena hari (ditenggelamkannya Fir’aun) tersebut adalah hari ‘Asyura
(tanggal 9 Dzulhijjah) (sehingga puasa yang mereka lakukan tidak dapat
menggantikan kewajiban puasa yang Allah wajibkan bagi mereka, pen.).
Puasa juga diwajibkan atas umat Nashrani, dan hal ini berlangsung lama.
Sampai suatu ketika, Ramadhan ketika itu bertepatan dengan cuaca yang
sangat terik. Puasa ketika itu menyebabkan mereka mendapatkan kesulitan
saat bepergian atau pun saat mencari nafkah. Akhirnya, para ulama Nasrani
bersepakat untuk mem-paten-kan bulan puasa antara musim dingin dan
musim panas. Pilihan jatuh pada musim semi. Akhirnya, puasa di bulan
Ramadhan dipindah ke musim semi sehingga waktunya paten dan tidak
berpindah-pindah musim. Saat mereka menggeser bulan pelaksanaan puasa
wajibnya, mereka mengatakan, ‘Tambahkan puasa selama sepuluh hari
sebagai kaffarah atau penebus dosa karena telah menggeser bulan puasa’.”
Dan firman Allah Ta’ala (yang artinya), ”agar kamu bertakwa”, maksudnya
adalah dengan sebab berpuasa. Puasa menyebabkan ketakwaan karena
menundukkan hawa nafsu dan syahwat.
Pada awal-awal Islam, umat Islam boleh memilih antara berpuasa atau
membayar fidyah, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
‫يويعيلىَ اللذذيين ينذطينقوُنيهن فذيدييةرْ طييعاَنم ذميسذكينن فييمين تيطيلوُيع يخييررا فيهنيوُ يخييرْر ليهن يوأيين تي ن‬
‫صوُنموُا يخييرْر لينكيم إذين نكينتنيم‬
‫تييعلينموُين‬
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah
yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui” (QS. Al Baqarah [2]: 184).
Adanya pilihan tersebut (antara berpuasa atau membayar fidyah) kemudian
dihapus dengan mewajibkan puasa itu sendiri dengan adanya firman Allah
Ta’ala,
‫فييمين يشذهيد ذميننكنم اللشيهير فييليي ن‬
‫صيمهن‬
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS.
Al Baqarah [2]: 185).
Hikmahnya adalah adanya tahapan-tahapan dalam perintah syari’at dan
kelemah-lembutan terhadap umat manusia. Ketika mereka belum terbiasa
berpuasa, jika langsung diwajibkan berpuasa dari awal, maka hal itu akan
memberatkan mereka. Oleh karena itu, mereka boleh memilih terlebih dahulu
antara berpuasa atau membayar fidyah. Kemudian ketika keyakinan mereka
sudah menguat, jiwa-jiwa mereka sudah siap, dan sudah terbiasa berpuasa,
maka wajib bagi mereka untuk berpuasa (tidak ada pilihan yang
lain). Demikianlah syariat Islam lainnya yang berat semacam itu, akan
disyariatkan secara bertahap (tadarruj).
Akan tetapi yang benar bahwa ayat tersebut (tentang pilihan untuk berpuasa
atau membayar fidyah) hanya dihapus untuk orang yang mampu
berpuasa. Adapun bagi orang yang tidak mampu berpuasa, karena tua renta
atau sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, maka ayat tersebut masih
berlaku (tidak dihapus) untuk mereka. Mereka boleh berbuka (tidak
berpuasa) dan memberi makan satu orang miskin untuk setiap satu hari yang
ditinggalkan. Dan mereka tidak wajib meng-qodho’ (membayar hutang)
puasa.
Adapun selain mereka, maka wajib berpuasa. Barangsiapa yang tidak
berpuasa karena sakit atau bepergian (safar), maka wajib bagi mereka untuk
meng-qodho’ puasa karena firman Allah Ta’ala,
‫ضاَ أييو يعيلىَ يسفينر فيذعلدةرْ ذمين أيلياَنم أنيخير‬ ‫فييمين يشذهيد ذميننكنم اللشيهير فييليي ن‬
‫صيمهن يويمين يكاَين يمذري ر‬
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya)
di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain” (QS. Al Baqarah [2]: 185).
Puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun kedua hijriah dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamberpuasa selama sembilan kali
Ramadhan. Sehingga jadilah puasa Ramadhan sebagai kewajiban dan salah
satu rukun Islam. Barangsiapa yang mengingkari wajibnya puasa Ramadhan,
maka dia telah kafir. Barangsiapa yang tidak berpuasa tanpa udzur, dan dia
mengakui kewajiban puasa, maka dia telah melakukan dosa yang sangat
besar dan wajib mendapatkan hukuman. Wajib pula baginya untuk bertaubat
dan meng-qodho’ hari yang ditinggalkan. [1]
***
Selesai diterjemahkan di pagi hari, Sint-Jobskade Rotterdam NL, Sabtu 5
Sya’ban 1436
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:
[1] Diterjemahkan dari: Ittihaaf Ahlil Imaan bi Duruusi Syahri
Ramadhan, karya Syaikh Dr. Shalih Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Daar
‘Ashimah Riyadh KSA, cetakan ke dua, tahun 1422, hal. 128-130.
___
Artikel Muslim.or.id
https://muslim.or.id/25689-kapankah-puasa-ramadhan-diwajibkan-kepada-umat-manusia.html

Ramadhan Nabi dan Para Sahabatnya


"Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan hidup pada bulan Ramadhan tetapi tidak sampai
terampuni dosa-dosanya.."

Rasulullah menaiki mimbar (untuk berkhutbah), menginjak anak tangga pertama beliau mengucapkan
"aamin", begitu pula pada anak tangga kedua dan ketiga. Seusai shalat para sahabat bertanya, mengapa
Rasulullah mengucapkan 'aamin? Lalu beliau menjawab, malaikat Jibril datang dan berkata: Kecewa dan
merugi seseorang yang bila namamu disebut dan dia tidak mengucapkan shalawat atasmu, lalu aku
berucap aamin. Kemudian malaikat berkata lagi, kecewa dan merugi orang yang berkesempatan hidup
bersama kedua orang tuanya tetapi dia tidak sampai bisa masuk surga, lalu aku mengucapkan aamin.
Kemudian katanya lagi, kecewa dan merugi orang yang berkesempatan hidup pada bulan Ramadhan
tetapi tidak sampai terampuni dosa-dosanya, lalu aku mengucapkan aamin. Hadits itu diriwayatkan oleh
Imam Ahmad.

Ramadhan adalah nama salah satu bulan dari dua belas bulan Hijriyah, sama dengan Jum'at yang
merupakan nama hari dari tujuh hari yang terus berputar. Tidak ada perbedaan antara hari Jum'at dengan
hari Senin, demikian juga tidak ada bedanya antara Ramadhan dengan bulan lainnya. Secara fisik,
semua bulan dan hari itu sama saja. Perbedaannya sesungguhnya terletak pada pemaknaan atasnya.
Pemaknaan itu bisa terkait dengan momentum sejarah, bisa juga karena secara sengaja telah ditetapkan
oleh Sang Pencipta hari dan bulan untuk memuliakannya.

Ramadhan telah memenuhi kedua alasan di atas, selain disengaja oleh Allah untuk disucikan dan
dimuliakan, di dalamnya terdapat juga berbagai peristiwa sejarah yang sangat monumental. Sejarah itu
tidak saja terjadi pada Rasulullah Salallaahu 'alaihi wa sallam, tapi juga terjadi pada masa-masa
kenabian jauh sebelumnya.

Dalam beberapa hadits dan keterangan yang lain disebutkan semua kitab suci diturunkan oleh Allah pada
bulan Ramadhan. Nabi Ibrahim 'Alaihis salaam menerima kitab pada hari pertama atau ketiga pada bulan
Ramadhan. Nabi Daud As juga menerima kitab Zabur pada hari kedua belas atau delapan belas bulan
yang sama. Demikian juga nabi Musa As dan Isa As, masing masing telah menerima kitab Taurat dan Injil
pada bulan Ramadhan. Nabi Muhammad Saw, sebagai nabi pamungkas menerima kitab al-Qur'an pada
tanggal 17 bulan Ramadhan.

Adalah desain dari "atas", jika semua kitab suci diturunkan pada bulan Ramadhan. Kesengajaan itu
semata-mata ditujukan untuk mensucikan dan memuliakannya. Memang ada empat bulan lainnya yang
dimuliakan Allah, tapi Ramadhan tetap menempati urutan teratas. Bukan hanya karena momentumnya,
tapi terlebih karena Allah Swt menjanjikan berbagai bonus dan diskon istimewa. Karena alasan itulah,
jauh sebelum bulan Ramadhan tiba, Rasulullah saw telah menyambutnya.
Sejak bulan Sya'ban, Rasulullah menganjurkan ummatnya agar mempersiapkan diri menyambut
kedatangan "tamu mulia" ini, yaitu dengan memperbanyak ibadah, terutama ibadah shaum. Yang belum
terbiasa shaum pada hari Senin dan Kamis, diharapkan pada bulan Sya'ban sudah mulai
menjalankannya. Jika belum mampu, cukup dengan tiga hari di tengah bulan. Hal ini dilakukan semata-
mata untuk mempersiapkan mental sekaligus fisik untuk menghadapi bulan yang disucikan tersebut.

Bulan Sya'ban adalah bulan persiapan. Seorang Muslim yang akan memasuki arena Ramadhan
hendaknya mempersiapkan segala sesuatunya. Dalam dirinya sudah terbayang suasana indah
Ramadhan tersebut. Suasana itu tergambar dalam hatinya dan terukir dalam benak fikirannya.
Kehadirannya dirindukan dan dinanti-nantikan. Ibarat orang dipenjara yang selalu menghitung hari
pembebasannya, maka setiap hati sangatlah berarti. Begitulah gambaran seorang Muslim, terutama para
sahabat Nabi di masa yang lalu.

Saat-saat menanti Ramadhan, para sahabat tak bedanya seperti calon pengantin yang merindukan hari-
hari pernikahannya. Jauh hari sebelum hari "H" nya, mereka sudah memikirkan hal-hal yang sekecil-
kecilnya. Mereka berfikir, gaun apa yang akan dipakai pada saat yang penting itu, apa yang
diucapkannya, sampai bagaimana cara jalannya dan menata senyumnya. Begitulah gambaran seorang
Muslim yang merindukan datangnya Ramadhan. Tiada seorangpun di antara kaum Muslimin yang
bersedih hati ketika menghadapi Ramadhan. Sebaliknya mereka bersuka cita dan bergembira,
menyambutnya dengan penuh antusias dan semangat yang menyala-nyala.

Merupakan tradisi di masa Rasulullah, pada saat akhir bulan Sya'ban para sahabat berkumpul di masjid
untuk mendengar khutbah penyambutan Ramadhan. Saat itu dimanfaatkan oleh kaum Muslimin untuk
saling meminta maaf di antara mereka. Seorang sahabat kepada sahabatnya, seorang anak kepada
orang tuanya, seorang adik kepada kakaknya, dan seterusnya. Mereka ingin memasuki bulan Ramadhan
dengan tanpa beban dosa. Mereka ingin berada dalam suasana ramadhan yang disucikan itu dalam
keadaan suci dan bersih.

Kebiasaan Rasulullah dan para sahabatnya ini perlu dihidupkan lagi tanpa harus mengubah tradisi yang
sudah ada dan eksis sampai saat ini. Biarlah hari raya 'Idul Fitri tetap dalam tradisinya, tapi pada akhir
bulan Sya'ban perlu ditradisikan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan Nabi, yaitu dengan
memperbanyak silaturrahim, saling meminta maaf, dan bertahniah, selain menyambutnya dengan
ceramah yang dikhususkan untuk itu. Tahniah, saling mengucapkan "selamat" adalah kebiasaan baik
yang ditadisikan Rasulullah. Mestinya ummat Islam lebih serius mengirim kartu Ramadhan daripada kartu
lebaran.

Diperlukan kepeloporan dari kita semua untuk memulai tradisi baru dalam menyambut Ramadhan sesuai
dengan tuntunan Rasulullah. Kita perlu sedikit kreatif untuk memulainya. Ide-ide baru juga perlu
dimunculkan untuk menggagas kegairahan ummat dalam menyambut bulan suci tersebut. Perlu ada
energi khusus untuk mengalihkan pusat perhatian ummat yang hanya tertuju pada hari raya kepada
bulan Ramadhan. Ini bukan pekerjaan ringan, karena kebiasaan yang ada saat ini sudah mendarah
mendaging.

Tidaklah salah bila seseorang berziarah kubur saat menjelang Ramadhan, sebagaimana berziarah kubur
di hari-hari yang lain. Hanya saja tradisi itu perlu diluruskan dengan memberi pemahaman kepada
mereka tentang tata cara berziarah kubur, dan terutama tujuannya. Jangan sampai mereka salah niat dan
tujuannya. Jangan pula salah tata caranya. Ini penting karena menyangkut "Aqidah".

Perlu juga dipahamkan, mengapa mereka lebih menyukai berziarah kepada orang yang sudah mati,
sedangkan kepada orang yang masih hidup mereka enggan untuk menziarahinya. Padahal yang masih
hidup itu bisa jadi adalah orang tua mereka sendiri, paman-bibi, saudara-saudara, dan handai tolannya
sendiri. Menziarahi kubur orang yang sudah mati itu baik, tapi menziarahi orang yang masih hidup jauh
lebih dianjurkan lagi. Tujuan berziarah kubur untuk mengingatkan kita akan kematian. Sedangkan tujuan
berziarah kepada orang yang masih hidup adalah untuk menyambung silaturrahim, yang intinya adalah
untuk menjaga kalangsungan hidup itu sendiri.

Dianjurkan kepada kaum Muslimin untuk mengunjungi kaum kerabat, terutama orang tua untuk
mengucapkan tahniah, memohon maaf, dan meminta nasehat menjelang ramadhan. Jika jaraknya jauh,
bisa ditempuh melalui telepon, surat pos, atau dengan cara-cara lain yang memungkinkan pesan itu
sampai ke tujuan. Adalah baik jika kebiasaan itu dikemas secara kreatif, misalnya dengan mengirimkan
kartu ramadhan yang berisi tiga hal di atas.

Adapun tentang ceramah yang diselenggarakan khusus untuk menyambut ramadhan, Rasulullah telah
memberikan contohnya. Pada saat itu sangat tepat jika disampaikan tentang segala hal yang berkait
langsung dengan Ramadhan. Mulai dari janji-janji Allah terhadap mereka yang bersungguh-sungguh
menjalani ibadah Ramadhan, amalan-amalan yang harus dan sunnah dikerjakan selama ramadhan,
sampai tentang tata cara menjalankan seluruh rangkain ibadah tersebut.

Berikut ini adalah contoh khutbah Rasulullah dalam menyambut Ramadhan:

"Wahai ummatku, akan datang kepadamu bulan yang mulia, bulan penuh berkah, yang pada malam itu
ada malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Itulah malam dimana Tuhan memberi perintah bahwa
kewajiban puasa harus dilakukan di siang hari; dan Dia menciptakan shalat khusus (tarawih) di malam
hari.

Barang siapa yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan kebaikan-kebaikan pada
bulan ini maka dia akan mendapatkan ganjaran seperti jika dia menunaikan suatu ibadah di bulan-bulan
lain pada tahun itu. Dan barangsiapa yang menunaikan suatu ibadah kepada Allah, maka dia akan
mendapatkan tujuh puluh kali lipat ganjaran orang yang melakukan ibadah di bulan bulan lain pada tahun
itu.

Sesungguhnya bulan Ramadhan adalah bulan kesabaran, dan pahala kesabaran yang sejati adalah
surga. Inilah bulan yang penuh simpati terhadap sesama manusia; ini juga merupakan bulan di mana
rizqi seseorang ditambah. Barangsiapa memberi makan orang lain untuk berbuka puasa, maka dia akan
mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya dan dijauhkan dari api neraka, dan dia akan mendapatkan
pahala seperti orang yang diberinya makan untuk berbuka puasa, tanpa mengurangi pahala orang
tersebut sedikitpun.

Kami (para sahabat) bertanya, wahai Rasulullah, tak semua orang di antara kami mempunyai cukup
persediaan untuk memberi makan orang lain yang berpuasa. Rasulullah Saw menjawab, Allah
memberikan pahala yang sama bagi orang yang memberi orang lain yang sedang berpuasa sebuah
kurma dan segelas air minum atau seteguk susu untuk mengakhiri puasanya.

Inilah bulan yang bagian awalnya membawa keberkahan dari Allah Swt, bagian tengahnya membawa
ampunan Allah, dan bagian akhirnya menjauhkan dari api neraka. Barangsiapa yang meringankan beban
seseorang di bulan ini, maka Allah akan mengampuninya dan membebaskannya dari api neraka.

Dan pada bulan ini ada empat perkara yang harus kalian lakukan dalam jumlah besar, dua di antaranya
adalah berbakti kepada Allah, sedang dua lainnya adalah hal-hal yang tanpa itu kamu tidak akan berhasil.
Berbakti kepada Allah adalah membaca syahadat yang berarti kamu bersaksi akan keesaan Allah. La
ilaaha illallah (tidak ada tuhan selain Allah) dan memohon ampunan Allah atas kesalahan-kesalahan yang
kalian lakukan. Sedangkan dua hal lainnya yang tanpa itu kalian tak akan berhasil adalah kalian harus
memohon kepada Allah untuk dapat masuk surga dan memohon kepada-Nya untuk dijauhkan dari api
neraka.
Dan barangsiapa yang memberi minum kepada orang yang berpuasa, maka Allah akan memberinya
minum dari sumber airku, air yang jika diminum tak akan pernah membuatnya haus hingga pada hari dia
memasuki surga."

Selamat meraih sukses tertinggi dalam Ramadhan kali ini.· (Hamim Thohari)

http://www.angelfire.com/journal2/alhidayah/Arsip/Renungan/ramadhan_nabi_dan_sahabatnya.htm

Metrotvnews.com, Jakarta: Ketika Rasulullah Muhammad SAW dan para pengikutnya baru tiba dan
berdiam di Madinah, Tuhan belum menurunkan perintah tentang kewajiban menunaikan ibadah
puasa di sepanjang Ramadan. Hingga kemudian dalam dua putaran kalender Hijriah berikutnya,
amar itu turun. Meski begitu, Nabi dan para sahabat tak lantas asing dengan istilah puasa. Mereka
sudah terbiasa menahan makan dan minum dengan mengikuti ketentuan agama-agama tauhid
sebelumnya.

Tahun pertama ibadah puasa diwajibkan, Ramadan jatuh di bulan April yang menyengat. Suatu hari
seorang sahabat bernama Qais ibn Shirmah tampak lunglai menjelang waktu berbuka. Setibanya ia
di pintu rumah, Qais menanyakan kepada istrinya perihal penganan apa yang dapat disantap untuk
menutup puasa hari yang dirasanya cukup berat itu.

BACA JUGA
 Setan Pencuri Zakat
 Cara Nabi Memanjakan Istri di Perjalanan

 Khalifah Umar Menolak Kendaraan Dinas

"Maafkan aku, suamiku. Tak ada satu makanan pun yang dapat dihidangkan hari ini. Baiklah, tunggu
sebentar. Aku akan mencarikannya untukmu," jawab istri Qais.

Para sahabat memang terlatih dalam berpuasa. Hanya saja kala itu belum ada ketentuan pasti
terkait anjuran dan kapan eloknya santap sahur dilaksanakan. Di siang hari, Qais pekerja berat.
Namun karena kecintaannya terhadap Allah dan Rasul-Nya, ia tunaikan segenap kewajiban itu tanpa
mengeluh.

Malam sudah larut. Qais tertidur lelap sekembalinya sang istri mencari makanan.

"Kasihan engkau, wahai suamiku," bisik sang istri, ia mengurungkan diri untuk membangunkan Qais.

Tiba-tiba malam terlempar menjadi fajar. Setelah salat Subuh, Qais kembali bekerja tanpa sempat
memakan secuil apapun sedari satu hari sebelumnya. Hingga di tengah hari kemudian, terdengar
kabar bahwa Qais jatuh pingsan, lemah tak berdaya.

Apa yang menimpa Qais sampai jua ke telinga Rasulullah. Nabi bermenung, kemudian Allah SWT
menurunkan penjelasan dalam QS. Al-Baqarah ayat 2:

"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam."

Juga Rasul pun bersabda, “Pembeda antara puasa kita (muslim) dengan puasa ahli kitab (agama
terdahulu) adalah makan sahur.”

Mendapat kabar baik yang disampaikan Rasulullah, para sahabat merasa lega dan gembira. Di
masing-masing benaknya yakin, anjuran santap sahur itu semakin menjelaskan bahwa Islam adalah
sebenar-benarnya agama keselamatan.

Sumber: Disadur dari hadits yang diriwayatkan al-Barra ibn Azib dalam Sahih Bukhari

RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DI BULAN RAMADHAN

Oleh
Syaikh Dr Muhammad Musa Alu Nashr
Tamu agung nan penuh barakah akan kembali mendatangi kita. Kedatangannya
yang terhitung jarang, hanya sekali dalam setahun menumbuhkan kerinduan
mendalam di hati kaum Muslimin. Leher memanjang dan mata nanar memandang
sementara hati berdegup kencang menunggu kapan gerangan hilalnya terbit.

Itulah Ramadhân, bulan yang sangat dikenal dan benar-benar ditunggu


kehadirannya oleh kaum Muslimin.

Kemuliaanya diabadikan dalam al-Qur’ân dan melalui untaian-untaian sabda


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allâh Azza wa Jalla menjadikannya sarat
dengan kebaikan, mulai dari awal Ramadhan sampai akhir. Allâh Azza wa Jalla
berfirman

‫ت صمسن املكهسدىى سواملفكمرسقاَئن‬ ‫ضاَسن ارلئذي كأنئزل س ئفيئه املقكمرآكن كهددى صللرناَ ئ‬
‫س سوسبصيسناَ ت‬ ‫س‬
‫شمهكر سرسم س‬
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhân, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’ân sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil)”.[al-Baqarah/2:185]

Jiwa yang terpenuhi dengan keimanan tentu akan segera mempersiapkan diri
untuk meraih keutamaan serta keberkahan yang yang ada didalamnya.

Pada bulan ini Allah Azza wa Jalla menurunkan al-Qur’ân. Seandainya bulan
Ramadhan tidak memiliki keutamaan lain selain turunnya al-Qur’ân maka itu
sudah lebih dari cukup. Lalu bagaimana bila ditambah lagi dengan berbagai
keutamaan lainnya, seperti pengampunan dosa, peninggian derajat kaum
Mukminin, pahala semua kebaikan dilipatgandakan, dan pada setiap malam
Ramadhan, Allah Azza wa Jalla membebaskan banyak jiwa dari api neraka.
Pada bulan mulia ini, pintu-pintu Surga dibuka lebar dan pintu-pintu neraka
ditutup rapat, setan-setan juga dibelenggu. Pada bulan ini juga ada dua malaikat
yang turun dan berseru, “Wahai para pencari kebaikan, sambutlah ! Wahai para
pencari kejelekan, berhentilah !”

Pada bulan Ramadhân terdapat satu malam yang lebih utama dari seribu bulan.
Orang yang tidak mendapatkannya berarti dia terhalang dari kebaikan yang
sangat banyak.

Mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dalam


melakukan ketaatan adalah hal yang sangat urgen, terlebih pada bulan
Ramadhan. Karena amal shalih yang dilakukan oleh seorang hamba tidak akan
diterima kecuali jika dia ikhlash dan mengikuti petunjuk Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Jadi, keduanya merupakan rukun diterimanya amal shalih.
Keduanya ibarat dua sayap yang saling melengkapi. Seekor burung tidak bisa
terbang dengan menggunakan satu sayap.

Melalui naskah ringkas ini, marilah kita berusaha untuk mempelajari prilaku
Rasûlullâh di bulan Ramadhân agar kita bisa meneladaninya. Karena orang yang
tidak berada diatas petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dia
tidak akan bisa bersama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat.
Kebahagiaan tertinggi akan bisa diraih oleh seseorang ketika ia mengikuti
petunjuk Rasûlullâh secara lahir dan batin. Dan seseorang tidak akan bisa
mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dengan ilmu yang
bermanfaat. Ilmu itu tidak akan disebut bermanfaat kecuali bila diiringi dengan
amalan yang shalih. Jadi amalan shalih merupakan buah ilmu yang bermanfaat.

Dibawah ini adalah beberapa kebiasaan dan petunjuk Rasûlullâh Shallallahu


‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhân :

1. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memulai puasa kecuali jika
beliau sudah benar-benar melihat hilal atau berdasarkan berita dari orang yang
bisa dipercaya tentang munculnya hilal atau dengan menyempurnakan bilangan
Sya’bân menjadi tiga puluh.

2. Berita tentang terbitnya hilal tetap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terima
sekalipun dari satu orang dengan catatan orang tersebut bisa dipercaya. Ini
menunjukan bahwa khabar ahad bisa diterima.

3. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya mengawali


Ramadhân dengan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali puasa yang
sudah terbiasa dilakukan oleh seseorang. Oleh karena itu, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang umatnya berpuasa pada hari Syak (yaitu hari yang
masih diragukan, apakah sudah tanggal satu Ramadhan ataukah masih tanggal
30 Sya’bân-red)

4. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berniat untuk melakukan puasa saat


malam sebelum terbit fajar dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh
umatnya untuk melakukan hal yang sama. Hukum ini hanya berlaku untuk puasa-
puasa wajib, tidak untuk puasa sunat.
5. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memulai puasa sampai benar-benar
terlihat fajar shadiq dengan jelas. Ini dalam rangka merealisasikan firman Allâh
Azza wa Jalla :

‫ض ئمسن املسخميئط املسمسسوئد ئمسن املسفمجئر‬


‫شسركبوا سحرتىىَ سيستسبريسن لسكككم املسخميكط املسمبسي ك‬
‫سوكككلوا سوا م‬

“Dan makan serta minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar”. [al-Baqarah/2:187]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada umatnya bahwa


fajar itu ada dua macam fajar shâdiq dan kâdzib. Fajar kadzib tidak menghalangi
seseorang untuk makan, minum, atau menggauli istri. Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah ekstrem kepada umatnya, baik pada bulan
Ramadhân ataupun bulan lainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah mensyari’atkan adzan (pemberitahuan) tentang imsak.

6. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyegerakan berbuka dan mengakhirkan


sahur. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫سل ستسزال ك أ كرمئتي ئبسخميتر سماَ سعرجكلوا املفئمطسر‬

“Umatku senantiasa baik selama mereka menyegerakan berbuka”

7. Jarak antara sahur Rasûlullâh dan iqâmah seukuran bacaan lima puluh ayat

8. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki akhlak yang sangat mulia.


Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling mulia akhlaknya.
Bagaimana tidak, akhlak beliau adalah al-Qur’ân, sebagaimana diceritakan oleh
Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat
menganjurkan umatnya untuk berakhlak mulia, orang-orang yang sedang
menunaikan ibadah berpuasa. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫شسراسبكه‬ ‫س ئرئ‬
‫ل سحاَسجةة ئفي أسمن سيسدسع سطسعاَسمكه سو س‬ ‫سممن سلمم سيسدمع سقمول س الززوئر سواملسعسمل س ئبئه سفسلمي س‬
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkatan dan perbuatan dusta, maka
tidak membutuhkan puasanya sama sekali”.

9. Rasûlullâh sangat memperhatikan muamalah yang baik dengan keluarganya.


Pada bulan Ramadhân, kebaikan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
keluarga semakin meningkat lagi.

10. Puasa tidak menghalangi beliau untuk sekedar memberikan kecupan manis
kepada para istrinya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang
paling kuat menahan nafsunya.

11. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan siwak, baik di bulan
Ramadhân maupun diluar Ramadhân guna membersihkan mulutnya dan upaya
meraih keridhaan Allâh Azza wa Jalla.

12. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam padahal beliau


Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang menunaikan ibadah puasa. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan umatnya untuk berbekam sekalipun
sedang berpuasa. Pendapat yang kontra dengan ini berarti mansukh (telah
dihapus).

13. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berjihad pada bulan


Ramadhân dan menyuruh para shahabatnya untuk membatalkan puasa mereka
supaya kuat saat berhadapan dengan musuh.

Diantara bukti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sayang kepada umatnya


yaitu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan orang yang sedang dalam
perjalanan, orang yang sakit dan oranng yang lanjut usia serta wanita hamil dan
menyusui untuk membatalkan puasanya.

14. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih bersungguh-sungguh dalam


menjalankan ibadah pada bulan Ramadhân bila dibandingkan dengan bulan-bulan
lain, terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhân untuk mencari lailatul
qadr.

15. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir
bulan Ramadhân kecuali pada tahun menjelang wafat, beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam beri’tikaf selama dua puluh hari. Ketika beri’tikaf, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam selalu dalam keadaan berpuasa

16. Ramadhân adalah syahrul Qur’ân (bulan al-Qur’ân), sehingga tadarus al-
Qur’ân menjadi rutinitas beliau, bahkan tidak ada seorangpun yang sanggup
menandingi kesungguh-sungguhan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
tadarus al-Qur’ân. Malaikat Jibril Alaihissallam senantiasa datang menemui
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tadarus al-Qur’ân dengan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

17. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang dermawan.


Kedermawanan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhân tidak bisa
digambarkan dengan kata-kata. Kedermawanan beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ibarat angin yang bertiup membawa kebaikan, tidak takut kekurangan
sama sekali.

18. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang mujahid sejati.


Ibadah puasa yang sedang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jalankan tidak
menyurutkan semangat beliau untuk andil dalam berbagai peperangan. Dalam
rentang waktu sembilan tahun, beliau mengikuti enam pertempuran, semuanya
terjadi pada bulan Ramadhân. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
melakukan berbagai kegiatan fisik pada bulan Ramadhân, seperti penghancuran
masjid dhirâr [1], penghancuran berhala-berhala milik orang Arab, penyambutan
duta-duta, penaklukan kota Makkah, bahkan pernikahan beliau dengan Hafshah

Intinya, pada masa hidup Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bulan


Ramadhân merupakan bulan yang penuh dengan keseriusan, perjuangan dan
pengorbanan. Ini sangat berbeda dengan realita sebagian kaum Muslimin saat ini
yang memandang bulan Ramadhân sebagai saat bersantai, malas-malasan atau
bahkan bulan menganggur atau istirahat.
Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik kepada kita untuk selalu
mengikuti jejak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hidup kita diatas sunnah
dan semoga Allah Azza wa Jalla mewafatkan kita juga dalam keadaan mengikuti
sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XIV/1431H/2010M. Diterbitkan


Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Masjid yang dibangun oleh kaum munafik untuk memecah belah kaum
Muslimin

Sumber: https://almanhaj.or.id/3139-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam-di-
bulan-ramadhan.html

https://almanhaj.or.id/3139-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam-di-bulan-ramadhan.html

RAMADHAN BERSAMA PARA ULAMA


Ibnu Umar
Ibnu umar memiliki kebiasaan berbuka ketika puasa bersama anak yatim dan orang
miskin. Bahkan terkadang beliau tidak berbuka ketika keluarganya telah menyuruh
pulang orang miskin sebelum waktunya berbuka.

Beliau termasuk pengusaha kaya, hartanya halal berlimpah. Karena beliau seorang
pedagang sukses yang amanah. Beliau juga mendapat gaji dari baitul mal negara.
Namun semua itu tidak beliau simpan sendiri, akan tetapi beliau bagikan kepada fakir
miskin dan orang yang meminta-minta.

Ayub bin Wail Ar-Rasibi pernah menyaksikan kejadian menakjubkan tentang beliau.

Suatu hari Ibnu Umar mendapat kiriman harta senilai 4000 dirham (sekitar 680 juta)
dan satu baju yang ada bulunya.
Keesokan harinya, Ayub bin Wail ini melihat Ibnu Umar di pasar membeli pakan
kudanya dengan utang. Ayub-pun keheranan. Kemarin orang ini baru mendapat uang
4000 dirham, ini beli pakan kuda saja pake ngutang.

Karena penasaran, Ayub langsung datang menemui keluarga Ibnu Umar, ingin tahu,
apa gerangan yang terjadi.
Cerita keluarganya,
‫إنه لم يبذ ي‬
َ‫ ثم أخذ القطيفة وألقاَهاَ على‬،َ‫ت باَلمس حتىَ فيلرقييهاَ جميرعا‬
َ‫ إنه وهبها‬:‫ فسألناَه عنهاَ فقاَل‬،‫ ثم عاَد وليست معه‬،‫ظهره وخرج‬
‫لفقير‬
Uang itu belum sempat menginap semalam, namun sudah dibagikan semuanya kepada
fakir miskin. Lalu beliau mengambil baju yang ada bulunya, beliau pake keluar rumah,
dan ketika balik pulang baju itu sudah tidak ada. Ketika kami tanyakan, beliau sudah
berikan baju itu kepada fakkir miskin.

Qatadah As-Sadusi
Beliau seorang tabiin, murid Anas bin Malik, beliau dilahirkan tahun 60 hijriyah dan
mata beliau buta. Beliau selalu mengkhatamkan Al-Quran sepekan sekali. Ketika bulan
ramadhan, beliau mengkhatamkan 3 hari sekali, dan pada saat 10 hari terakhir, beliau
mengkhatamkan sehari sekali. Beliau meninggal di daerah Wasith tahun 117 H, di usia
56 tahun.

Ibnu Syihab Az-Zuhri


Nama beliau, Muhammad bin Muslim bin Abdullah Az-Zuhri (58 – 124 H). keturunan
Bani Zuhrah bin Kilab, suku Quraisy. Beliau orang pertama yang mengkodifikasi hadis.
Termasuk salah satu ulama besar dalam hafalan, seorang tabiin, penduduk Madinah.
Beliau menghafal 2200 hadis, separohnya hafal dengan matannya. (Az-Zirikli, Al-A’lam,
7/97)
Abu Zinad (seorang ahli hadis) pernah mengatakan,

‫كناَ نطوُف مع الزهري ومعه اللوُاح والصحف؛ ليكتب كل ماَ يسمع‬


“Kami pernah menyertai Az-Zuhri,dan beliau selalu membawa lembaran kertas dan
buku. Beliau akan tulis setiap hadis yang beliau dengar.”

Beliau tinggal di Syam, dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berpesan kepada
gubernur Syam,

‫عليكم باَبن شهاَب؛ فإنكم ل تجدون أحردا أعلم باَلسنة الماَضية منه‬
Kalian harus memperhatikan Ibnu Syihab, karena kalian tidak akan menjumpai
seorangpun yang lebih tahu tentang sunah para sahabat melebihi beliau.

Sekalipun beliau sangat perhatian dengan bukunya, ketika bulan ramadhan, beliau
tinggalkan kegiatan membaca hadis dan belajar kepada ulama, diganti dengan
membaca Al-Quran dengan mushaf.
Imam As-Syafii
Seorang ulama – pemimpin dalam ijtihad dan fikih, dalam waktu yg sama, beliau
pemimpin dalam iman, taqwa, wara’, dan masalah ibadah. salah satu murid beliau, Ar-
Rabi’ pernah mengatakan,

‫ والثلث‬،‫ الثلث الول يكتب‬:‫كاَن الشاَفعي قد جلزأ الليل ثلثة أجزاء‬


‫ والثلث الثاَلث يناَم‬،‫الثاَني يصلي‬
“Imam As-Syafii membagi waktu malam beliau menjadi tiga: Sepertiga pertama beliau
menulis, sepertiga kedua beliau shalat, dan sepertiga ketiga beliau tidur.”

Di malam hari, beliau tidak membaca Al-Quran kecuali sambil shalat.

Salah satu murid beliau, Al-Muzanni pernah menceritakan,

‫ماَ رأيت الشاَفعي قرأ قرآرناَ قط باَلليل إل وهوُ في الصلة‬


‘Saya tidak pernah melihat As-Syafii membaca Al-Quran di malam hari, selain dalam
keadaan shalat.’
Beliau selama bulan ramadhan mengkhatamkan Al-Quran 60 kali – siang sekali dan
malam sekali – beliau baca di luar shalat.

[Sumber: http://islamstory.com/ar/‫]أئمة_السلف_في_رمضان‬

Artikel www.KisahMuslim.com

http://kisahmuslim.com/3529-ramadhan-bersama-para-ulama.html

Panduan Puasa Ramadhan Sesuai Al-Quran dan As-Sunnah

Berikut ini kami ketengahkan ke hadapan para pembaca tuntunan puasa Ramadhan yang benar, berupa
kesimpulan-kesimpulan yang dipetik dari Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam yang shohih.

Tulisan ini kami sarikan dari pembahasan luas dari berbagai madzhab fiqh dan kami uraikan dengan
kesimpulan-kesimpulan ringkas agar menjadi tuntunan praktis bagi setiap muslim dan muslimah dalam
menjalankan puasa Ramadhan.

Harapan kami mudah-mudahan bermanfaat bagi segenap kaum muslimin dan muslimat dalam
menjalankan ibadah puasa Ramadhan yang mulia. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

1. Beberapa Perkara Yang Perlu Diketahui Sebelum Masuk Ramadhan.

* Tidak boleh berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud berjaga-jaga jangan
sampai Ramadhan telah masuk pada satu atau dua hari itu sementara mereka tidak
mengetahuinya. Adapun kalau berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan karena bertepatan
dengan kebiasaannya seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud dan lain-lain, maka hal tersebut
diperbolehkan.

Seluruh hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim,
Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

ْ‫صصصصصصصصصصصصصصمومماً يفمليي ه‬
‫صصصصصصصصصصصصصصممهْه‬ ْ‫صصصصصصصصصصصصصصموإم ييصصصصصصصصصصصصصمومم أيمو ييصصصصصصصصصصصصصمويمميإن إإلل يرهْجمل يكصصصصصصصصصصصصصاًين يي ه‬
‫صصصصصصصصصصصصصصموهْم ي‬ ‫يل هْتيقصصصصصصصصصصصصصددهْم مواْ يريم ي‬
‫ضصصصصصصصصصصصصصاًين إب ي‬

“Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari kecuali seseorang yang
biasa berpuasa dengan suatu puasa tertentu maka (tetaplah) ia berpuasa.”

* Penentuan masuknya bulan adalah dengan cara melihat Hilal. Hilal adalah bulan sabit kecil yang
nampak di awal bulan.

Dan bulan Islam hanya terdiri dari 29 hari atau 30 hari, sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tatkala
menyebut bulan Ramadhan beliau berisyarat dengan kedua tangannya seraya berkata :

‫صصصصموهْم مواْ لإهْرمؤييإتصصصإه يوأيمفإطصصصهْر مواْ لإهْرمؤييإتصصصإه يفصصصإإمن أ هْمغإمصصصيي يعيلميهْكصصصمم يفاًمقصصصهْدهْر مواْ يلصصصهْه يثيلإثميصصصين‬
ْ‫اْللشصصصمههْر يهيكصصصيذاْ يويهيكصصصيذاْ يويهيكصصصيذاْ هْثصصصلم يعيقصصصيد إإمبيهصصصاًيمهْه إفصصصي اْللثاًلإيثصصصإة يف ه‬

“Bulan (itu) begini, begini dan begini, kemudian beliau melipat ibu jarinya pada yang ketiga (yaitu sepuluh
tambah sepuluh tambah sembilan,-pent.), maka puasalah kalian karena kalian melihatnya (hilal), dan
berbukalah kalian karena kalian melihatnya, kemudian apabila bulan tertutupi atas kalian maka
genapkanlah bulan itu tiga puluh.”

Maka untuk melihat hilal Ramadhan hendaknya dilakukan pada tanggal 29 Sya’ban setelah matahari
terbenam. Selang beberapa saat bila hilal nampak maka telah masuk tanggal 1 Ramadhan dan
apabila hilalnya tidak nampak berarti bulan Sya’ban digenapkan 30 hari dan setelah tanggal 30
Sya’ban secara otomatis besoknya adalah tanggal 1 Ramadhan.

* Apabila hilal telah terlihat pada satu negeri maka diharuskan bagi seluruh negeri di dunia untuk
berpuasa. Ini merupakan pendapat Jumhur ‘Ulama yang bersandarkan kepada surat Al-Baqaroh ayat 185
:

ْ‫يف يمصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصمن يشصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصإهيد إممن هْكصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصهْم اْل لشصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصمهير يفمل يي ه‬


‫صصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصممهْه‬

“Maka barangsiapa dari kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.”

Dan juga dari hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim yang
tersebut di atas dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :

‫صصصصصصصصصصصصصصموهْم مواْ لإهْرمؤييإتصصصصصصصصصصصصصإه يوأيمفإطصصصصصصصصصصصصصهْر مواْ لإهْرمؤييإتصصصصصصصصصصصصصإه يفصصصصصصصصصصصصصإإمن هْغدمصصصصصصصصصصصصصيي يعليميهْكصصصصصصصصصصصصصمم اْللشصصصصصصصصصصصصصمههْر يفيعصصصصصصصصصصصصصدد مواْ يثيلإثميصصصصصصصصصصصصصين‬
ْ‫ه‬

“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya dan apabila bulan
tertutup atas kalian maka sempurnakanlah tiga puluh.”

Ayat dan dua hadits di atas adalah pembicaraan yang ditujukan kepada seluruh kaum muslimin di
manapun mereka berada di belahan bumi ini, wajib atas mereka untuk berpuasa tatkala ada dari kaum
muslimin yang melihat hilal.

2. Niat Dalam Puasa

* Tidak diragukan bahwa niat merupakan syarat syahnya puasa dan syarat syahnya seluruh jenis ibadah
lainnya sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam
hadits ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim :

‫ئ يمصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاً ينصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصيو ي‬
‫ى‬ ‫إإلنيمصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاً اْمليمعيمصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاًهْل إباًلدنليصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاً إ‬
‫ت يوإإلنيمصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاً لإهْكصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصدل اْممصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصإر م‬

“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung pada niatnya dan setiap orang hanyalah
mendapatkan apa yang ia niatkan.”

Karena itu hendaknyalah seorang muslim benar-benar memperhatikan masalah niat ini yang menjadi
tolak ukur diterima atau tidaknya amalannya. Seorang muslim tatkala akan berpuasa hendaknya berniat
dengan sungguh-sungguh dan bertekad untuk berpuasa ikhlash karena Allah Ta’ala.

* Niat tempatnya di dalam hati dan tidak dilafadzkan. Hal ini dapat dipahami dari hadits di atas.

* Diwajibkan bagi orang yang akan berpuasa untuk berniat semenjak malam harinya yaitu setelah
matahari terbenam sampai terbitnya fajar subuh.

* Dan kewajiban berniat dari malam hari ini umum pada puasa wajib maupun puasa sunnah menurut
pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.

* Dan tidak dibenarkan berniat satu kali saja untuk satu bulan bahkan diharuskan berniat setiap malam
menurut pendapat yang paling kuat.

Tiga point terakhir berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshoh radhiyallahu ‘anhuma yang
mempunyai hukum marfu’ (sama hukumnya dengan hadits yang diucapkan langsung oleh Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam) dengan sanad yang shohih :

‫صصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصيياًيم إمصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصين اْلللميصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصإل يفيل إ‬


‫صصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصيياًيم يلصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصهْه‬ ‫يمصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصمن يلصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصمم هْييبديصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصص إ‬
‫ت اْل د‬

“Siapa yang tidak berniat puasa dari malam hari maka tidak ada puasa baginya.”

* Apabila telah pasti masuk 1 Ramadhan dan berita tentang hal itu belum diterima kecuali pada
pertengahan hari, maka hendaknyalah bersegera berpuasa sampai maghrib walaupun telah makan atau
minum sebelumnya dan tidak ada kewajiban qodho` atasnya sebagaimana dalam hadits Salamah Ibnul
Akwa’ riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau berkata :

‫صصمم يويمصمن يكصاًين أييكصيل يفملهْيإتصلم‬


ْ‫صصمم يفمليي ه‬ ‫شمويراْيء يفأ ييميرههْ أيمن هْيمؤإذين إف ي اْللنصاً إ‬
ْ‫س يمصمن يكصاًين يل مم يي ه‬ ْ‫صللىَ اهْ يعيلميإه يويعيلىَ آلإإه يويسلليم يرهْجمل إممن أيمسيليم ييمويم يعاً ه‬
‫ا ي‬
‫ث يرهْس موهْل إ‬‫يبيع ي‬
‫صصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصيياًيمهْه إإ يلصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصىَ اْللل ميصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصإل‬‫إ‬

“Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengutus seorang laki-laki dari Aslam pada hari
‘Asyuro` (10 Muharram,-pent.) dengan memerintahkannya untuk mengumumkan kepada manusia siapa
yang belum berpuasa maka hendaklah ia berpuasa dan siapa yang telah makan maka hendaknya dia
sempurnakan puasanya sampai malam hari.”

3. Waktu Pelaksanaan Puasa

Waktu puasa bermula dari terbitnya fajar subuh dan berakhir ketika matahari terbenam. Allah Subhanahu
wa Ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :

‫ض إمصصصصصين اْمليخميصصصصصإط اْمليمسصصصصصيوإد إمصصصصصين اْمليفمجصصصصصإر هْثصصصصصلم أيإتدمصصصصصواْ اْل د‬


‫صصصصصصيياًيم إإيلصصصصصىَ اْلللميصصصصصإل‬ ْ‫ط اْمليمبييصصصصص ه‬
ْ‫يوهْكهْلصصصصصواْ يواْمشصصصصصيرهْبواْ يحلتصصصصصىَ يييتيبليصصصصصين ليهْكصصصصصهْم اْمليخميصصصصص ه‬

“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar,
kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”

4. Makan Sahur

* Makan sahur adalah suatu hal yang sangat disunnahkan dalam syari’at Islam menurut kesepakatan
para ulama. Hal itu karena Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sangat menganjurkannya
dan mengabarkan bahwa pada sahur itu terdapat berkah bagi seorang muslim di dunia dan di akhirat
sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik riwayat Al-Bukhary dan Muslim :

‫يت يسصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصلحهْر مواْ يفصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصإإلن إفصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصي اْل لسصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصهْحموإر يبير يكصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصمة‬

“Bersahurlah kalian karena sesungguhnya pada sahur itu ada berkah.”

Bahkan beliau menjadikan sahur itu sebagai salah satu syi’ar (simbol) Islam yang sangat agung yang
membedakan kaum muslimin dari orang–orang yahudi dan nashroni, beliau bersabda dalam hadits ‘Amr
bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim :

‫ب أييكيلصصصصصصصصصصصصصصصصصهْة اْللسصصصصصصصصصصصصصصصصصمحإر‬
‫صصصصصصصصصصصصصصصصصصيياًإم أيمهصصصصصصصصصصصصصصصصصإل اْملإكيتصصصصصصصصصصصصصصصصصاً إ‬
‫صصصصصصصصصصصصصصصصصصيياًإميناً يو إ‬ ‫يف م‬
‫صصصصصصصصصصصصصصصصصصهْل يمصصصصصصصصصصصصصصصصصاً يبميصصصصصصصصصصصصصصصصصين إ‬

“Pembeda antara puasa kami dan puasa ahlul kitab adalah makan sahur.”

* Dan juga disunnahkan mengakhirkan sahur sampai mendekati waktu adzan subuh, sebagaimana
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memulai makan sahur dalam selang waktu membaca
50 ayat yang tidak panjang dan tidak pula pendek sampai waktu adzan sholat subuh. Hal tersebut
dinyatakan dalam hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim :

‫ يكصصصمم يكصصصاًين قهْصصصمدهْر يمصصصاً يبميينهْهيمصصصاً؟ يقصصصاًيل يخممإسصصصميين آييصصصمة‬: ‫ت‬ ‫صصصللىَ اهْصصص يعيلميصصصإه يويعيلصصصىَ آلإصصصإه يويسصصصلليم هْثصصصلم قهْممينصصصاً إإيلصصصىَ اْل ل‬
ْ‫ قهْملصصص ه‬.‫صصصصيلإة‬ ‫يتيسصصصلحمريناً يمصصصيع يرهْسصصصموإل إ‬
‫اصصص ي‬

“Kami bersahur bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk
sholat. Saya berkata (Anas bin Malik yang meriwaytkan dari Zaid,-pent.) : “Berapa jarak antara keduanya
(antara sahur dan adzan)?”. Ia menjawab : “Lima puluh ayat”.”

* Dan dari hadits di atas, juga dapat dipetik kesimpulan akan disunnahkannya makan sahur secara
bersama.

* Dan sebaik-baik makanan yang dipakai bersahur oleh seorang mu’min adalah korma.Sebagaimana
dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shohih, Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

‫إن معصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصيم يسصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصهْح موهْر اْ ملهْمصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصمؤإمإن اْللت ممصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصهْر‬


“Sebaik-baik sahur seorang mu’min adalah korma.”

* Batas akhir bolehnya makan sahur sampai adzan subuh, apabila telah masuk adzan subuh maka
hendaknya menahan makan dan minum. Hal ini sebagaimana yang dipahami dari ayat dalam surah Al
Baqoroh ayat 187 :

‫ض إمصصصصصين اْمليخميصصصصصإط اْمليمسصصصصصيوإد إمصصصصصين اْمليفمجصصصصصإر هْثصصصصصلم أيإتدمصصصصصواْ اْل د‬


‫صصصصصصيياًيم إإيلصصصصصىَ اْلللميصصصصصإل‬ ْ‫ط اْمليمبييصصصصص ه‬
ْ‫يوهْكهْلصصصصصواْ يواْمشصصصصصيرهْبواْ يحلتصصصصصىَ يييتيبليصصصصصين يلهْكصصصصصهْم اْمليخميصصصصص ه‬

“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar,
kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”

* Apabila telah yakin akan masuk waktu subuh dan seseorang sedang makan atau minum maka
hendaknyalah berhenti dari makan dan minumnya. Ini merupakan fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah yang
diketuai oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy dan beberapa
ulama lainnya berdasarkan nash ayat di atas. Adapun hadits Abu Daud, Ahmad dan lain-lainnya yang
menyebutkan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

‫ضصصصصصصصصصصصيي يحصصصصصصصصصصصاًيجيتهْه إممنصصصصصصصصصصصهْه‬ ‫إإيذاْ يسصصصصصصصصصصصإميع يأهْحصصصصصصصصصصصهْدهْكهْم اْملإنصصصصصصصصصصصيداْيء يواْملإينصصصصصصصصصصصاًهْء يعيلصصصصصصصصصصصىَ ييصصصصصصصصصصصإدإه يفلي يي ي‬
‫ضصصصصصصصصصصصمعهْه يحلتصصصصصصصصصصصىَ ييمق إ‬

“Apabila salah seorang dari kalian mendengar panggilan (adzan) dan bejana berada di tangannya maka
janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya (dari bejana tersebut).”

Hadits ini adalah hadits yang lemah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Abu Hatim. Baca Al-‘Ilal
1/123 no 340 dan 1/256 no 756 dan An-Nashihah Vol. 02 rubrik Hadits.

Dan andaikata hadits ini shohih maka maknanya tidak bisa dipahami secara zhohir-nya tapi harus
dipahami sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Baihaqy dalam Sunanul Kubra 4/218 bahwa yang
diinginkan dari hadits adalah ia boleh minum apabila diketahui bahwa si muadzin mengumandangkan
adzan sebelum terbitnya fajar shubuh, demikianlah menurut kebanyakan para ‘ulama. Wallahu A’lam.

* Apabila seeorang ragu apakah waktu subuh telah masuk atau tidak, maka diperbolehkan makan dan
minum sampai ia yakin bahwa waktu subuh telah masuk.

Hal ini berdasarkan firman Allah :

‫ض إمصصصصصين اْمليخميصصصصصإط اْمليمسصصصصصيوإد إمصصصصصين اْمليفمجصصصصصإر هْثصصصصصلم أيإتدمصصصصصواْ اْل د‬


‫صصصصصصيياًيم إإيلصصصصصىَ اْلللميصصصصصإل‬ ْ‫ط اْمليمبييصصصصص ه‬
ْ‫يوهْكهْلصصصصصواْ يواْمشصصصصصيرهْبواْ يحلتصصصصصىَ يييتيبليصصصصصين يلهْكصصصصصهْم اْمليخميصصصصص ه‬

“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar,
kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqaroh ayat 187)

Ayat ini memberikan pengertian apabila fajar subuh telah jelas nampak maka harus berhenti dari makan
dan minum, adapun kalau belum jelas nampak seperti yang terjadi pada orang yang ragu di atas masih
boleh makan dan minum.

5. Perkara-Perkara Yang Wajib Ditinggalkan Oleh Orang Yang Berpuasa

* Diwajibkan atas orang yang berpuasa untuk meninggalkan makan, minum dan hubungan seksual.Hal
ini tentunya sangat dimaklumi berdasarkan firman Allah :

‫ض إمصصصصصين اْمليخميصصصصصإط اْمليمسصصصصصيوإد إمصصصصصين اْمليفمجصصصصصإر هْثصصصصصلم أيإتدمصصصصصواْ اْل د‬


‫صصصصصصيياًيم إإيلصصصصصىَ اْلللميصصصصصإل‬ ْ‫ط اْمليمبييصصصصص ه‬
ْ‫يوهْكهْلصصصصصواْ يواْمشصصصصصيرهْبواْ يحلتصصصصصىَ يييتيبليصصصصصين ليهْكصصصصصهْم اْمليخميصصصصص ه‬

“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar,
kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”

Dan dalam hadits Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
‫ ييصصيدهْع يشصصمهيويتهْه يويطيعصصاًيمهْه إمصصمن أيمجلإصصمي‬,‫صيياًيم يفإإلنهْه لإمي يوأييناً أيمجإزمي إبإه‬
‫ إإلل اْل د‬: َ‫ف يقاًيل اهْ يتيعاًيلى‬ ‫ف اْمليحيسينهْة يعيشير أيمميثاًلإيهاً إإيلىَ يسمبإعإماًيئإة إ‬
‫ضمع م‬ ‫هْكدل يعيمإل اْمبإن آيديم هْي ي‬
ْ‫ضاًيع ه‬

“Setiap amalan Anak Adam kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat.
Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan
memberikan pahalanya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena
Aku.” (Lafazh hadits bagi Imam Muslim)

* Diwajibkan meninggalkan perkataan dusta, makan harta riba dan mengadu domba.

* Juga diharuskan meninggalkan segala perkara yang sia-sia dan tidak berguna.

Dua point di atas berdasarkan dalil-dalil umum akan larangan melakukan perkara-perkara di atas,
dan secara khusus menyangkut puasa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah
menjelaskan dalam hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary :

‫لصصصصصصصص يحاًيجصصصصصصصصةة إفصصصصصصصصمي أيمن ييصصصصصصصصيديع يطيعصصصصصصصصاًيمهْه يويشصصصصصصصصيراْيبهْه‬ ‫يمصصصصصصصصمن يلصصصصصصصصمم ييصصصصصصصصيدمع يقصصصصصصصصمويل اْلصصصصصصصصدزموإر يواْمليعيمصصصصصصصصيل إبصصصصصصصصإه يفيلميصصصصصصصص ي‬
‫س إ‬

“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya maka Allah tidak ada
hajat/keperluan padanya apabila ia meninggalkan makan dan minumnya"

Dan juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang
hasan, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :

‫صصصصصصصصصصصصصصيياًهْم إمصصصصصصصصصصصصصين اْلللمغصصصصصصصصصصصصصإو يواْليريفصصصصصصصصصصصصص إ‬


‫ث‬ ‫صصصصصصصصصصصصصصيياًهْم إمصصصصصصصصصصصصصين اْمليمكصصصصصصصصصصصصصإل يواْللشصصصصصصصصصصصصصيراْ إ‬
‫ إإلنيمصصصصصصصصصصصصصاً اْل د‬,‫ب‬ ‫يلميصصصصصصصصصصصصص ي‬
‫س اْل د‬

“Bukanlah puasa itu sekedar (menahan) dari makan dan minumannya, namun puasa itu hanyalah
(menahan) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna.”

* Meninggalkan puasa wishol.


Puasa wishol artinya menyambung puasa dua hari berturut-turut atau lebih tanpa berbuka. Puasa wishol
adalah haram atas umat ini kecuali bagi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menurut
pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.

Hal tersebut berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Umar, Abu Hurairah, ‘Aisyah dan Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhum riwayat Al-Bukhary dan Muslim. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
menyatakan :

َ‫ت إممثيلهْكصصصمم إإدنصصصمي أ هْمطيعصصصهْم يوأ هْمسصصصيقى‬


ْ‫ إإدنصصصمي يلمسصصص ه‬: ‫صصصصهْل يقصصصاًيل‬ ‫صصصصللىَ اهْصصص يعيلميصصصإه يويعيلصصصىَ آلإصصصإه يويسصصصلليم يعصصصإن اْملإو ي‬
‫ إإلنصصصيك هْتيواْ إ‬:ْ‫صصصصاًإل يقصصصاًلهْ موا‬ ‫ينيهصصصىَ يرهْسصصص موهْل إ‬
‫اصصص ي‬

“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melarang dari puasa wishol, maka para sahabat
berkata : “Sesungguhnya engkau melakukan wishol?”. Beliau menjawab : “Sesungguhnya saya tidak
seperti kalian saya diberi (kekuatan) makan dan minum.”

6. Perkara-Perkara Yang Jika Terdapat Pada Orang Yang Berpuasa Boleh Baginya Untuk
Berpuasa.

* Orang yang bangun kesiangan dalam keadaan junub.

Diperbolehkan baginya untuk berpuasa berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu
‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim :

ْ‫ب إمصصصصصصمن أيمهلإصصصصصصإه هْثصصصصصصلم ييمغيتإسصصصصصصهْل يويي ه‬


‫صصصصصصصموهْم‬ ‫أيلن اْللنإبصصصصصصلي ي‬
‫صصصصصصصللىَ اهْصصصصصص يعيلميصصصصصصإه يويعيلصصصصصصىَ آلإصصصصصصإه يويسصصصصصصلليم يكصصصصصصاًين هْيصصصصصصمدإرهْكهْه اْمليفمجهْريوهْهصصصصصصيو هْجهْنصصصصصص ة‬

“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kadang-kadang dijumpai oleh waktu
subuh sedang beliau dalam keadaan junub dari istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa.”
Tidak ada perbedaan apakah dia junub sebab mimpi atau sebab berhubungan. Demikian pula wanita
yang haid atau nifas yang telah suci sebelum terbit fajar akan tetapi dia belum sempat mandi takut
kesiangan dia juga boleh berpuasa menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama
berdasarkan hadits di atas.

* Juga diperbolehkan untuk bersiwak bahkan hal tersebut merupakan sunnah, apakah menggunakan
kayu siwak atau dengan sikat gigi.

* Dan juga dibolehkan menyikat gigi dengan pasta gigi, tetapi dengan menjaga jangan sampai menelan
sesuatu ke dalam kerongkongannya dan juga jangan mempergunakan pasta gigi yang mempunyai
pengaruh kuat ke dalam perut dan tidak bisa diatasi.

Dua point di atas berdasarkan keumuman hadits-hadits yang menunjukkan akan disunnahkannya
bersiwak seperti hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

ْ‫يلصصصصصصصصصصصصصصصصمويل أيمن أيهْشصصصصصصصصصصصصصصصصلق يعيلصصصصصصصصصصصصصصصصىَ أ هْلمإتصصصصصصصصصصصصصصصصمي يلييممرهْتهْهصصصصصصصصصصصصصصصصمم إباًلدسصصصصصصصصصصصصصصصصيواْإك إعمنصصصصصصصصصصصصصصصصيد هْكصصصصصصصصصصصصصصصصدل ه‬


‫صصصصصصصصصصصصصصصصصيلمة‬

“Andaikata tidak akan memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap
hendak sholat.”

Dan dalam riwayat lain Malik, Ahmad, An-Nasa`i dan lain-lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
dengan lafadz :

ْ‫مويل أيمن أيهْشصصصصصصصصصصصصصصصصصصلق يعيلصصصصصصصصصصصصصصصصصصىَ أ هْلمإتصصصصصصصصصصصصصصصصصصمي يلييممرهْتهْهصصصصصصصصصصصصصصصصصصمم إباًلدسصصصصصصصصصصصصصصصصصصيواْإك إعمنصصصصصصصصصصصصصصصصصصيد هْكصصصصصصصصصصصصصصصصصصدل هْو ه‬
‫ضصصصصصصصصصصصصصصصصصصمومء ي‬

“Andaikata tidak akan memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak
bersama setiap wudhu`.”

Dua hadits ini menunjukkan sunnah bersiwak secara mutlak tanpa membedakan apakah dalam keadaan
berpuasa atau tidak.

* Boleh berkumur-kumur dan menghirup air ketika berwudhu`, dengan ketentuan tidak terlalu dalam dan
berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam kerongkongan. Juga tidak ada larangan untuk
berkumur-kumur disebabkan teriknya matahari sepanjang tidak menelan air ke kerongkongan. Seluruh
hal ini berdasarkan hadits shohih dari Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud, At-
Tirmidzy, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
menyatakan :

‫يويبصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاًلإمغ إفصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصي اْملإمسإتمن يشصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاًإق إإلل أيمن يتهْكصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصموين ي‬


ً‫صصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاًئإمما‬

“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air kecuali jika engkau dalam keadaan puasa.”

Dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan disunnahkannya berkumur-kumur dan menghirup air dalam
wudhu`, juga datang dengan bentuk umum tanpa membedakan dalam keadaan berpuasa atau tidak.

* Juga boleh mandi dalam keadaan berpuasa bahkan juga boleh berenang sepanjang ia menjaga tidak
tertelannya air ke dalam tenggorokannya.

* Dan juga boleh bercelak untuk mata ketika berpuasa.

Dua point di atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarangnya.

* Dan juga boleh memeluk/bersentuhan dan mencium istri bila mampu menguasai dirinya. Menurut
pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

‫ يويلإكلنصصصصهْه يكصصصصاًين أيمميليكهْكصصصصمم إلإمرإبصصصصإه‬,‫صصصصصاًإئةم‬ ‫صصصصصللىَ اهْصصصص يعيلميصصصصإه يويعيلصصصصىَ آلإصصصصإه يويسصصصصلليم هْييقدبصصصصهْل يوهْهصصصصيو ي‬
‫صصصصصاًإئةم يوهْييباًإشصصصصهْر يوهْهصصصصيو ي‬ ‫يكصصصصاًين يرهْسصصصص موهْل إ‬
‫اصصصص ي‬

“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mencium dalam keadaan berpuasa dan memeluk
dalam keadaan berpuasa dan beliau adalah orang yang paling mampu menguasai syahwatnya.”

* Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh mengumpulkan ludah
dengan sengaja di mulut kemudian menelannya. Adapun dahak tidaklah membatalkan puasa kalau
ditelan, tetapi menelan dahak tidak boleh karena ia adalah kotoran yang membahayakan tubuh.

* Boleh mencium bau-bauan apakah itu bau makanan, bau parfum dan lain-lain.

Dua point di atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarang.

* Boleh mencicipi masakan dengan ketentuan menjaganya jangan sampai masuk ke dalam tenggorokan
dan kembali mengeluarkannya. Hal ini berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
yang mempunyai hukum marfu’ dengan sanad yang hasan dari seluruh jalan-jalannya :

‫صصصصصصصصصاًإئهْم اْمليخصصصصصصصصلل يواْللشصصصصصصصصمييء اْللصصصصصصصصإذمي هْيإرميصصصصصصصصهْد يشصصصصصصصصيراْيءههْ يمصصصصصصصصاًيلمم هْيصصصصصصصصمدهْخمل يحمليقصصصصصصصصهْه يوهْهصصصصصصصصيو ي‬
‫صصصصصصصصصاًإئةم‬ ‫يل يبصصصصصصصصأم ي‬
‫س أيمن ييصصصصصصصصهْذمويق اْل ل‬

“Tidak apa-apa bagi orang yang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu yang ia ingin beli sepanjang tidak
masuk ke dalam tenggorokannya.”

* Boleh bersuntik dengan apa saja yang tidak mengandung makna makanan dan minuman seperti
suntikan vitamin, suntikan kekuatan, infus, dan lain-lainnya.

Hal ini boleh karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut membatalkan puasa.

7. Hal-Hal Yang Makruh Bagi Orang Yang Berpuasa

* Berbekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala dan anggota tubuh lainnya) adalah makruh karena
bisa mengakibatkan tubuh menjadi lemas dan menyeret orang berbekam untuk berbuka. Demikian pula
halnya yang semakna dengan ini adalah memberikan donor darah.

Hukum ini merupakan bentuk kompromi dari dua hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam, yaitu antara hadits mutawatir yang di dalamnya beliau menyatakan :

‫أيمف يطصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصير اْمل يحصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاًإجهْم يواْمليم محهْجصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصموهْم‬

“Telah berbuka orang yang berbekam dan orang yang membekamnya.”

Dan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary :

‫صصصصصصصصصصصصصصصصللىَ اهْصصصصصصصصصصصصصصص يعيلميصصصصصصصصصصصصصصصإه يويعيلصصصصصصصصصصصصصصصىَ آإلصصصصصصصصصصصصصصصإه يويسصصصصصصصصصصصصصصصلليم يوهْهصصصصصصصصصصصصصصصيو ي‬


‫صصصصصصصصصصصصصصصصاًإئةم‬ ‫اْمحيتيجصصصصصصصصصصصصصصصيم اْللنإبصصصصصصصصصصصصصصصدي ي‬

“Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berbekam dan beliau dalam keadaan berpuasa.”

* Memeluk dan mencium istrinya hingga membangkitkan syahwatnya.


Hal tersebut berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud dengan sanad yang
shahih, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata :

‫ص يلهْه يوأييتاًههْ آيخهْر يفيسأ ييلهْه يفينيهاًههْ يفإإيذاْ اْللإذمي يرلخ ي‬


‫ص يلصصهْه يشصصميةخ يواْللصصإذمي ينيهصصاًههْ يشصصاً ب‬
‫ب‬ ‫صاًإئإم يفيرلخ ي‬ ‫أيلن يرهْجمل يسأ ييل اْللنإبلي ي‬
‫صللىَ اهْ يعيلميإه يويعيلىَ آلإإه يويسلليم يعإن اْمليميباًيشيرإة إلل ل‬
“Sesungguhnya seseorang lelaki bertanya kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentang
berpelukan/bersentuhan bagi orang yang berpuasa maka beliau memberikan keringanan kepadanya
(untuk melakukan hal tersebut) dan datang laki-laki lain bertanya kepadanya dan beliaupun melarangnya
(untuk melakukan hal tersebut), ternyata orang yang diberikan keringanan padanya adalah orang yang
sudah tua dan yang dilarang adalah seseorang yang masih muda.”

* Menyambung puasa dari maghrib sampai waktu sahur (puasa wishol)

Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary. Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

‫صصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصمل يحلتصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصىَ اْللسصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصمحير‬ ‫صصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصل هْ مواْ يفصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصأ يديهْكمم أييراْيد أيمن هْييواْ إ‬
‫صصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصيل يفملهْييواْ إ‬ ‫يل هْتيواْ إ‬

“Janganlah kalian puasa wishol, siapa yang menyambung maka sambunglah sampai waktu sahur.”

8. Pembatal-Pembatal Puasa.

* Makan dan minum dengan sengaja merupakan pembatal puasa, adapun kalau seseorang
melakukannya dengan tidak sengaja atau lupa, tidaklah membatalkan puasanya.

Hal ini adalah perkara diketahui secara darurat dan dimaklumi oleh seluruh kaum muslimin berdasarkan
dalil yang sangat banyak. Di antaranya adalah ayat dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :

‫ض إمصصصصصين اْمليخميصصصصصإط اْمليمسصصصصصيوإد إمصصصصصين اْمليفمجصصصصصإر هْثصصصصصلم أيإتدمصصصصصواْ اْل د‬


‫صصصصصصيياًيم إإيلصصصصصىَ اْلللميصصصصصإل‬ ْ‫ط اْمليمبييصصصصص ه‬
ْ‫يوهْكهْلصصصصصواْ يواْمشصصصصصيرهْبواْ يحلتصصصصصىَ يييتيبليصصصصصين ليهْكصصصصصهْم اْمليخميصصصصص ه‬

“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar,
kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”

Dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :

‫ ييصصيدهْع يشصصمهيويتهْه يويطيعصصاًيمهْه إمصصمن أيمجلإصصمي‬,‫صيياًيم يفإإلنهْه لإمي يوأييناً أيمجإزمي إبإه‬
‫ إإلل اْل د‬: َ‫ف يقاًيل اهْ يتيعاًيلى‬ ‫ف اْمليحيسينهْة يعيشير أيمميثاًلإيهاً إإيلىَ يسمبإعإماًيئإة إ‬
‫ضمع م‬ ‫هْكدل يعيمإل اْمبإن آيديم هْي ي‬
ْ‫ضاًيع ه‬

“Setiap amalan Anak Adam kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat.
Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan
memberikan pahalanya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena
Aku.” (Lafazh hadits bagi Imam Muslim)

Dan juga hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

ْ‫صصصصصصصصصصصمويمهْه يفإإلنيمصصصصصصصصصصاً أيمطيعيمصصصصصصصصصصهْه ه‬


ْ‫اصصصصصصصصصص يويسصصصصصصصصصصيقاًهه‬ ‫صصصصصصصصصصصاًإئةم يفأ ييكصصصصصصصصصصيل أيمو يشصصصصصصصصصصإر ي‬
‫ب يفملهْيإتصصصصصصصصصصلم ي‬ ‫يمصصصصصصصصصصمن ينإسصصصصصصصصصصيي يوهْهصصصصصصصصصصيو ي‬

“Siapa saja yang lupa dan ia dalam keadaan berpuasa lalu ia makan dan minum, maka hendaknyalah ia
sempurnakan puasanya karena sesungguhnya ia hanyalah diberi makan dan minum oleh Allah.”

Pemahaman dari hadits ini bahwa siapa yang makan dan minum dengan sengaja maka batallah
puasanya.

* Suntikan–suntikan penambah kekuatan berupa vitamin dan yang sejenisnya yang masuk dalam makna
makan dan minum.

* Menelan darah mimisan dan darah yang keluar dari bibir juga merupakan pembatal puasa.
Dua point di atas berdasarkan keumuman nash-nash yang tersebut di atas.

* Muntah dengan sengaja juga membatalkan puasa, adapun kalau muntah dengan tidak sengaja tidak
membatalkan.

Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’,
beliau berkata :

‫س يعيلميصصصصصصصصصصإه اْمليق ي‬
‫ضصصصصصصصصصصاًهْء‬ ‫ضصصصصصصصصصصاًهْء يويمصصصصصصصصصصمن يذيريعصصصصصصصصصصهْه اْمليقميصصصصصصصصصصهْء يفيلميصصصصصصصصصص ي‬
‫صصصصصصصصصصصاًإئةم يفيعيلميصصصصصصصصصصإه اْمليق ي‬
‫يمصصصصصصصصصصإن اْمسصصصصصصصصصصيتيقاًيء يوهْهصصصصصصصصصصيو ي‬

“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya untuk membayar
qodho` dan siapa yang tidak kuasai menahan muntahnya (muntah denga tidak sengaja,-pent.) maka
tidak ada qodho` atasnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dengan sanad yang shohih)

* Haid dan nifas.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau
menyatakan :

‫صصصصصصصصصصصصصصصصيلإة‬ ‫صصصصصصصصصصصصصصصصموإم يويل هْنصصصصصصصصصصصصصصصمؤيمهْر إبيق ي‬


‫ضصصصصصصصصصصصصصصصاًإء اْل ل‬ ‫صصصصصصصصصصصصصصصصميهْبيناً يذإلصصصصصصصصصصصصصصصيك يفهْنصصصصصصصصصصصصصصصمؤيمهْر إبيق ي‬
‫ضصصصصصصصصصصصصصصصاًإء اْل ل‬ ‫يكصصصصصصصصصصصصصصصاًين هْي إ‬

“Adalah hal tersebut (haid,-pent.) menimpa kami dan kami diperintah untuk meng-qodho` puasa dan tidak
diperintah untuk meng-qodho` sholat.”

* Bersetubuh.

Dalilnya akan disebutkan kemudian insya Allah.

9. Berbuka Puasa.

* Waktu berbuka puasa adalah ketika siang beranjak pergi dan matahari telah terbenam dan malampun
menyelubunginya. Hal ini berdasarkan firman Allah Jalla Jalaluhu : dalam

‫هْثصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصلم يأت إدمصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصص مواْ اْل د‬


‫صصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصيياًيم إإيلصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصىَ ماْللإميصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصإل‬

“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqaroh ayat 187)

Dan diantara sekian banyak hadits yang menjelaskan tentang hal ini, adalah hadits Umar bin Khaththab
riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫س يفيقصصصصصصصصصصمد أيمفيطصصصصصصصصصصير اْل ي‬


‫صصصصصصصصصصصاًإئهْم‬ ‫إإيذاْ أيمقيبصصصصصصصصصصيل اْلللميصصصصصصصصصصهْل إمصصصصصصصصصصهْن يهاًهْهإنصصصصصصصصصصاً يوأيمديبصصصصصصصصصصير إمصصصصصصصصصصمن يهاًهْهينصصصصصصصصصصاً يويغصصصصصصصصصصاًيب إ‬
ْ‫ت اْللشصصصصصصصصصصمم ه‬

“Apabila malam telah datang dan siang beranjak pergi serta matahari telah terbenam maka orang yang
berpuasa telah waktunya berbuka.”

* Disunnahkan mempercepat berbuka puasa ketika telah yakin bahwa waktunya telah masuk, karena
manusia akan tetap berada di dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka puasa
sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Sahl bin Sa’d
As-Sa’idy Radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari dan Muslim :

‫س إبيخميصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصمر يمصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاً يعلجلهْصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصص مواْ ماْلإفمطصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصير‬


ْ‫لي ييصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصيزاْهْل اْللنصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاً ه‬

“Terus-menerus manusia berada di dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka puasa.”

Bahkan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam menganggap mempercepat berbuka puasa sebagai
salah satu sebab tetap nampaknya agama ini, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu riwayat Ahmad, Abu Daud dan lain-lainnya dengan sanad yang hasan, beliau menegaskan :

‫ إليلن ماْلييهْهصصصصصصصصصصصصصصمويد يوماْللن ي‬,‫لي ييصصصصصصصصصصصصصصيزاْهْل اْلصصصصصصصصصصصصصصددميهْن يظصصصصصصصصصصصصصصاًإهراْم يمصصصصصصصصصصصصصصاً يعلجلهْصصصصصصصصصصصصصص مواْ ماْلإفمطصصصصصصصصصصصصصصير‬
‫صصصصصصصصصصصصصصصاًيرى هْيصصصصصصصصصصصصصصيؤدخهْرموين‬

“Terus-menerus agama ini akan nampak sepanjang manusia masih mempercepat buka puasa karena
orang-orang Yahudi dan Nashoro mengakhirkannya.”

* Dan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berbuka puasa sebelum sholat Maghrib dengan
memakan ruthob (kurma kuning yang mengkal dan hampir matang) dan apabila beliau tidak menemukan
ruthob maka beliau berbuka dengan korma (matang) jika tidak menemukan korma maka beliau berbuka
dengan beberapa teguk air.

Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik riwayat Abu Dawud dengan sanad hasan Rasulullah
Shollallahu ‘alaihi wa sallam beliau berkata :

‫ت يفيعيلىَ يثيمراْ م‬
‫ يفإإمن يلمم يتهْكصمن يحيسصاً يحيسصيواْ م‬,‫ت‬
‫ت إمصمن يمصاًمء‬ ‫ت يقمبيل أيمن هْي ي‬
ْ‫ يفإإمن يلمم يتهْكمن هْريطيباً ه‬,‫صلديي‬ ‫ا يعيلميإه يويعيلىَ آلإإه يويسلليم هْيمفإطهْر يعيلىَ هْريطيباً م‬
‫صللىَ ي‬ ‫يكاًين يرهْس موهْل إ‬
‫ا ي‬

“Adalah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berbuka dengan beberapa biji ruthob
sebelum sholat, apabila tidak ada ruthob maka dengan beberapa korma,dan kalau tidak ada korma maka
dengan beberapa teguk air.

* Dan disunahkan memperbanyak do’a ketika berbuka, karena waktu itu merupakan salah satu tempat
mustajabnya (diterimanya) do’a sebagaimana dalam hadits yang shohih dari seluruh jalan-jalannya.

* Merupakan suatu amalan yang sangat mulia dan mendapatkan pahala yang besar apabila seseorang
memberikan makanan buka puasa pada saudaranya yang berpuasa.

Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Khalid Al-Juhany Radhiyallahu ‘Anhu riwayat Ahmad, At-Tirmidzy, Ibnu
Majah dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
bersabda :

‫ص إمصصصصصصصصصمن أممجصصصصصصصصصإر اْل ل‬


‫صصصصصصصصصصاًإئإم يشصصصصصصصصصيةء‬ ْ‫صصصصصصصصصصاًإئماً م يكصصصصصصصصصاًين يلصصصصصصصصصهْه إممثصصصصصصصصصهْل أيمجصصصصصصصصصإرإه إإلل أيلنصصصصصصصصصهْه لي ييمنهْقصصصصصصصصص ه‬
‫يمصصصصصصصصصمن يفلطصصصصصصصصصير ي‬

“Siapa yang memberikan makanan buka puasa pada orang yang berpuasa maka baginya pahala seperti
pahala orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun.”

10. Orang–Orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Tidak Berpuasa

* Musafir

Secara umum Allah Ta’ala memberikan keringanan kepada musafir yang sedang dalam perjalanan untuk
tidak berpuasa.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqaroh ayat 184 :

‫ضصصصصصصصصصصصصصصصاً أيمو يعيلصصصصصصصصصصصصصصصىَ يسصصصصصصصصصصصصصصصيفمر يفإعصصصصصصصصصصصصصصصلدةة إمصصصصصصصصصصصصصصصمن أيليصصصصصصصصصصصصصصصاًمم أ هْيخصصصصصصصصصصصصصصصير‬


‫يفيمصصصصصصصصصصصصصصصمن يكصصصصصصصصصصصصصصصاًين إممنهْكصصصصصصصصصصصصصصصمم يمإرمي م‬

“Maka barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajib
baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

Dan suatu hal yang kita ketahui bersama bahwa perjalanan safar kadang merupakan perjalanan
meletihkan dan kadang perjalanan yang tidak meletihkan. Adapun perjalanan yang meletihkan, yang
paling utama bagi sang musafir adalah berbuka berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu
‘anhuma riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َ‫ص للى‬‫اصص ي‬ ‫ يرهْجةل ي‬:ْ‫ يماًيلهْه يقاًل هْ موا‬:‫ظلديل يعيلميإه يفيقاًيل‬
‫صاًإئةم يفيقاًيل يرهْس موهْل إ‬ ْ‫صللىَ اهْ يعيلميإه يويعيلىَآلإإه يويسلليم إفمي يسيفمريفيريأى يرهْجلم يقمد اْمجيتيميع اْللناً ه‬
ْ‫س يعيلميإه يويقمد ه‬ ‫ا ي‬ ‫يكاًين يرهْس موهْل إ‬
‫صصصصصصصصصصصصصصصمويم إفصصصصصصصصصصصصصصمي اْللسصصصصصصصصصصصصصصيفإر‬ ‫ي‬ ‫م‬
ْ‫س إمصصصصصصصصصصصصصصين اْلإبصصصصصصصصصصصصصصدر أمن يت ه‬ ‫ ليميصصصصصصصصصصصصصص ي‬:‫اصصصصصصصصصصصصصص يعليميصصصصصصصصصصصصصصإه يويعيلىَصصصصصصصصصصصصصصآلإإه يويسصصصصصصصصصصصصصصلليم‬
ْ‫ه‬

“Adalah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam perjalanannya dan beliau melihat
seorang lelaki telah dikelilingi oleh manusia dan sungguh ia telah diteduhi, maka beliau bertanya :”Ada
apa dengannya?” maka para sahabat menjawab :”Ia adalah orang yang berpuasa,” maka Rasulullah
Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Bukanlah dari kebaikan berpuasa dalam safar”

Kendati demikian, hadits ini tidaklah menunjukkan haramnya berpuasa dalam perjalanan yang meletihkan
karena ada pembolehan dalam syari’at bagi orang yang mampu untuk berpuasa walaupun dalam
perjalanan yang meletihkan.

Hal ini berdasarkan hadits riwayat Malik, Asy-Syafi’I, Ahmad, Abu Daud dan lain-lainnya dengan sanad
yang shohih dari sebagian sahabat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau berkata :

‫صللىَ اهْصص يعيلميصصإه يويعيلىَصصآلإإه يويسصصلليم‬


‫ا ي‬‫صاًيم يرهْس موهْل إ‬‫س إفمي يسيفإرإه يعاًيم اْمليفمتإح إبماًلإفمطإر يويقاًيل يتيقدو مواْ لإيعهْددوهْكمم يو ي‬
‫صللىَ اهْ يعيلميإه يويعيلىَآلإإه يويسلليم أييمير اْللناً ي‬
‫ا ي‬ ‫ت يرهْسمويل إ‬ ْ‫يرأيمي ه‬
‫م‬
‫ش أموإمصمن اْليحصدر‬ ‫ي‬ ‫م‬
‫ص اًإئةم إمصين ماْليعطص إ‬ ‫م‬
‫ب يعيلصىَ يرأإس إه اْليمصاًيء يوهْهصيو ي‬ ْ‫صص ه‬ ‫ل‬
‫صلىَ اهْ يعيلميإه يويعيلىَآلإإه يويسليم إبماًليعمرإج هْي إ‬ ‫ل‬ ‫ا ي‬ ‫ت يرهْسمويل إ‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫م‬ ‫ي‬
ْ‫يقاًيل أهْبمو يبكمر يقاًيل اْلإذمي يحلدثإنمي يليقمد يرأمي ه‬

“Saya melihat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memerintahkan manusia untuk
berbuka dalam suatu perjalanan safar beliau pada tahun penaklukan Makkah dan beliau
berkata :“Persiapkanlah kekuatan kalian untuk menghadapi musuh kalian”, dan Rasulullah Shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sendiri berpuasa. Berkata Abu Bakar (bin ‘Abdurrahman rawi dari sahabat)
sahabat yang bercerita kepadaku bertutur : ”Sesungguhnya saya melihat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam di ‘Araj menuangkan air diatas kepalanya dan beliau dalam keadaan berpuasa karena
kehausan atau karena kepanasan.”

Dan juga dalam hadits Abu Darda’ riwayat Al-Bukhary dan Muslim beliau berkata :

‫ضهْع يييدههْ يعيلىَ يرأإسإه إممن إشلدإة اْملإحدر يويماً إفمييناً ي‬


‫صصصاًإئةم‬ ‫ضاًين إفمي يحرر يشإدميمد يحلتىَ إإمن يكاًين أييحهْديناً يليي ي‬‫صللىَ اهْ يعيلميإه يويعيلىَآلإإه يويسلليم إفمي يشمهإر يريم ي‬
‫ا ي‬ ‫يخيرمجيناً يميع يريسموإل إ‬
‫ا مبصصصصصصصصصصصصصصهْن يريواْيحصصصصصصصصصصصصصصية‬‫صصصصصصصصصصصصصصصللىَ اهْصصصصصصصصصصصصصص يعيلميصصصصصصصصصصصصصصإه يويعيلىَصصصصصصصصصصصصصصآلإإه يويسصصصصصصصصصصصصصصلليم يعمبصصصصصصصصصصصصصصهْد إ‬ ‫إإلل يرهْسصصصصصصصصصصصصصص موهْل إ‬
‫اصصصصصصصصصصصصصص ي‬

“Kami keluar bersama Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di bulan Ramadhan dalam
cuaca yang sangat panas sampai-sampai salah seorang diantara kami meletakkan tangannya diatas
kepalanya karena panas yang sangat dan tak ada seorangpun yang berpuasa diantara kami kecuali
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abdullah bin Rawahah.”

Adapun dalam perjalanan yang tidak meletihkan maka berpuasa lebih utama baginya dari berbuka
menurut pendapat yang paling kuat diantara para ulama. Kesimpulan ini bisa dipahami dari puasa
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam perjalanan yang meletihkan pada hadits-hadits
di atas. Juga dimaklumi bahwa menjalankan kewajiban secepat mungkin adalah lebih bagus
untukmengangkat kewajibannya, karena itulah dalam posisi perjalanan yang tidak meletihkan lebih afdhol
baginya untuk berpuasa.

* Orang yang sakit.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqaroh ayat 184 :

‫ضصصصصصصصصصصصصصصصاً أيمو يعيلصصصصصصصصصصصصصصصىَ يسصصصصصصصصصصصصصصصيفمر يفإعصصصصصصصصصصصصصصصلدةة إمصصصصصصصصصصصصصصصمن أيليصصصصصصصصصصصصصصصاًمم أ هْيخصصصصصصصصصصصصصصصير‬


‫يفيمصصصصصصصصصصصصصصصمن يكصصصصصصصصصصصصصصصاًين إممنهْكصصصصصصصصصصصصصصصمم يمإرمي م‬

“Maka barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajib
baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

* Wanita haid atau nifas

Berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry riwayat Al-Bukhary dan Muslim Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam bersabda :
‫صصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصدل يو يلصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصمم هْت ي‬
‫صصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصمم‬ ‫ت يلصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصمم هْت إ‬
‫ضصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصص م‬ ‫أيليميصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصص ي‬
‫س إإيذاْ يحاً ي‬

“Bukankah wanita apabila haid ia tidak sholat dan tidak puasa.”

Dan wanita yang nifas didalam pandangan syari’at islam hukumnya sama dengan wanita haid, hal ini
berdasarkan hadits Ummi Salamah Radhiyallahu ‘Anha riwayat Imam Al-Bukhary :

ْ‫ضصصيطيجمع ه‬
‫ت‬ ‫ت ينيعمم يفيديعاًإنمي يفاً م‬ ‫ضمي يفيقاًيل أيينإفمس إ‬
ْ‫ت يفقهْمل ه‬ ‫ب يحمي إ‬ ْ‫ت يفأ ييخمذ ه‬
‫ت إثيياً ي‬ ْ‫ت يفاًمنيسيلمل ه‬ ‫صإة إإمذ يح ي‬
‫ض م‬ ‫ضيطإجيعةة إفمي يقإممي ي‬ ‫يبميينيماً أييناً يميع اْللنإبدي ي‬
‫صللىَ اهْ يعيلميإه يويعيلىَآلإإه يويسلليم هْم م‬
‫ي‬ ‫م‬
‫يم يعصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصهْه إفصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصمي اْليخإممي لصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصإة‬

“Tatkala saya berbaring bersama Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di dalam sebuah baju
maka tiba-tiba saya haid maka sayapun pergi lalu saya mengambil pakaian haidku maka beliau
bersabda: “apakah kamu nifas,” maka saya menjawab : “Ya.” Lalu beliau memanggilku lalu sayapun
berbaring bersamanya diatas permadani.”

Pertanyaan beliau : “Apakah kamu nifas” padahal Ummu Salamah ketika itu menjalani haid bukan nifas
sebab tidak pernah melahirkan anak dari Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
menunjukkan bahwa haid dianggap nifas dari sisi hukum dan demikian pula sebaliknya.

* Laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu berpuasa

* Wanita hamil dan menyusui khawatir akan memberikan dampak negatif kepada kandungannya,
anak yang dalam susuannya atau dirinya sendiri apabila ia berpuasa.

Dua point diatas berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas riwayat Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo dan lain-lainnya
dengan sanad yang shohih menjelaskan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184.

‫يويع يلصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصىَ اْ للصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصإذميين هْيإطميهْقصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصموينهْه إفمدييصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصةة يطيعصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاًةم إممسصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصإكميإن‬

Berkata Ibnu ‘Abbas :

‫صمويم أيمن هْيمفإطيراْ إإمن يشاًءاْ أيموهْيمطإعيماً هْكلل ييمومم إممسإكميناً م يولي يق ي‬
‫ضاًيء يعيلميإهيماً هْثصصلم هْنإسصصيخ يذلإصصيك إفصصمي يهصصإذإه‬ ‫ص إلللشميإخ اْمليكإبميإر يوماْليعهْجموإز ماْليكإبمييرإة إفمي يذلإيك يوهْهيماً هْيإطمييقاًإن اْل ل‬
‫يرلخ ي‬
ْ‫ه‬ ‫م‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫م‬ ‫ي‬
‫ضإع إإذاْ يخاًيفيتاً أفطيريتاً يوأطيعيميتاً كصصلل ييصصمومم‬‫ي‬ ‫م‬ ‫ي‬ ‫م‬
‫صمويم يواْلهْحمبلىَ يواْلهْممر إ‬‫ت إلللشميإخ اْمليكإبميإر يوماْليعهْجموهْز اْليكإبمييرإة إإذاْ يكاًيناً ل هْيإطمييقاًإن اْل ل‬
‫ي‬ ‫ي‬ ‫م‬ ْ‫ماْلْييإة يفيممن يشإهيد إممنهْكمم اْللشمهير يفمليي ه‬
‫صممهْه يويثيب ي‬
ً‫إم مسصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصإكمييمنا‬

“Diberikan keringanan bagi laki-laki dan wanita tua untuk hal itu (yaitu untuk tidak berpuasa,-pent)
sementara/walaupun keduanya mampu untuk berpuasa, (diberikan keringanan) untuk berbuka apabila
mereka berdua ingin atau memberi makan satu orang miskin setiap hari dan tidak ada qodho’ atas
mereka berdua, kemudian hal tersebut dinaskh (dihapus hukumnya) dalam ayat ini {barangsiapa diantara
kalian menyaksikan bulan (Ramadhan) maka hendaknya ia berpuasa} dan kemudian hukumnya
ditetapkan bagi laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi wanita hamil
dan menyusui apabila keduanya khawatir (akan membahayakan kandungannya, anak yang ia susui, atau
dirinya sendiri,-pent), boleh untuk berbuka dan keduanya membayar fidyah setiap hari.” (Lafadz hadits
oleh Ibnul Jarud)

11. Meng-qodho` (mengganti) Puasa.

* Diwajibkan meng-qodho` puasa atas beberapa orang :

1. Musafir.
2. Orang Sakit yang Diharapkan Bisa Sembuh.

Yaitu sakit yang menurut para ahli kesehatan atau menurut kebiasaan merupakan penyakit yang bisa
disembuhkan.
Dua point di atas berdasarkan firman Allah Ta’ala :

‫يفيمصصصصصصصصصصصصصصصمن يكصصصصصصصصصصصصصصصاًين إممنهْكصصصصصصصصصصصصصصصمم يمإريضصصصصصصصصصصصصصصصاً م أيمو يعيلصصصصصصصصصصصصصصصىَ يسصصصصصصصصصصصصصصصيفمر يفإعصصصصصصصصصصصصصصصلدةة إمصصصصصصصصصصصصصصصمن أيليصصصصصصصصصصصصصصصاًمم أ هْيخصصصصصصصصصصصصصصصير‬

“Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

* Wanita yang Menangguhkan Puasa Karena Haid dan Nifas

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau
menyatakan :

‫صصصصصصصصصصصصصصصصيلإة‬ ‫صصصصصصصصصصصصصصصصموإم يويل هْنصصصصصصصصصصصصصصصمؤيمهْر إبيق ي‬


‫ضصصصصصصصصصصصصصصصاًإء اْل ل‬ ‫صصصصصصصصصصصصصصصصميهْبيناً يذإلصصصصصصصصصصصصصصصيك يفهْنصصصصصصصصصصصصصصصمؤيمهْر إبيق ي‬
‫ضصصصصصصصصصصصصصصصاًإء اْل ل‬ ‫يكصصصصصصصصصصصصصصصاًين هْي إ‬

“Adalah hal tersebut (haid,-pent.) menimpa kami dan kami diperintah untuk meng-qodho` puasa dan tidak
diperintah untuk meng-qodho` sholat.”

Adapun wanita yang nifas dalam pandangan syari’at Islam hukumnya sama dengan wanita haidh
sebagaimana yang telah dijelaskan.

* Muntah dengan Sengaja

Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’,
beliau berkata :

‫س يعليميصصصصصصصصصصإه اْمليق ي‬
‫ضصصصصصصصصصصاًهْء‬ ‫ضصصصصصصصصصصاًهْء يويمصصصصصصصصصصمن يذيريعصصصصصصصصصصهْه اْمليقميصصصصصصصصصصهْء يفليميصصصصصصصصصص ي‬
‫صصصصصصصصصصصاًإئةم يفيعليميصصصصصصصصصصإه اْمليق ي‬
‫يمصصصصصصصصصصإن اْمسصصصصصصصصصصيتيقاًيء يوهْهصصصصصصصصصصيو ي‬

“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya untuk membayar
qodho` dan siapa yang tidak kuasa menahan muntahnya (muntah dengan tidak sengaja,-pent.) maka
tidak ada qodho` atasnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dengan sanad yang shohih)

* Makan dan Minum Dengan Sengaja.

Orang yang tidak berpuasa karena ketinggalan berita bahwa Ramadhan telah masuk pada hari yang ia
tinggalkan.

Hal ini berdasarkan dalil akan wajibnya berpuasa bulan Ramadhan satu bulan penuh maka jika ia luput
sebagian dari bulan Ramadhan maka ia tidak dianggap berpuasa satu bulan penuh.[1]

Tidak ada qodho` atas selain orang-orang tersebut diatas.

* Waktu Untuk meng-qodho`

Waktu untuk meng-qodho` bisa dilakukan setelah Ramadhan sampai akhir bulan Sya’ban sebagaimana
yang dipahami dalam riwayat Al-Bukhary dan Muslim dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau
berkata :

‫اصص يعيلميصصإه يويعيلصصىَ آإلصصإه يويسصصلليم‬


ْ‫صصصللىَ ه‬ ‫ضصصاًين يفيمصصاً أيمسصصيتإطميهْع أيمن أيمق إ‬
‫ضصصييهْه إإلل إفصصمي يشصصمعيباًين اْلدشصصمغيل إمصصمن يرهْسصصموإل إ‬
‫اصص ي‬ ‫يكصصاًين ييهْكصص موهْن يعيلصصلي اْل ل‬
‫صصصموهْم إمصصمن يريم ي‬

“Kadang ada (tunggakan) puasa Ramadhan atasku, maka saya tidak dapat meng-qadho`nya kecuali
pada (bulan) Sya’ban lantaran sibuk (melayani) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”

Dan ada keluasan didalam mengqodho’nya apakah dengan cara berturut-turut atau secara terpisah.
Hal ini berdasarkan hukum umum dalam firman Allah Ta’ala :
‫يف إعصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصلدةة إمصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصمن أي ليصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاًمم أ هْيخصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصير‬

“Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

Firman-Nya “pada hari-hari yang lain” adalah umum, apakah dilakukan secara berturut-turut atau secara
terpisah. Dan tentunya tidaklah diragukan bahwa mempercepat dalam meng-qodho` puasa adalah
perkara sangat yang afdhol (lebih utama).

Hal ini berdasarkan keumuman perintah Allah untuk bersegera dalam kebaikan yang ditunjukkan oleh
berbagai dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, seperti firman Allah Ta’ala :

‫هْأويلإئصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصيك هْييسصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاًإرهْعوين إفصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصي اْمليخميصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصيراْ إ‬


‫ت يوهْهصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصمم يليهصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاً يسصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاًإبهْقوين‬

“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih
dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun : 61)

Barangsiapa yang tidak meng-qodho` puasanya hingga masuknya bulan Ramadhan berikutnya, padahal
sebelumnya ada kemampuan dan kesempatan baginya untuk meng-qodho` puasanya, maka ia dianggap
orang yang berdosa. Hal ini disimpulkan dari pernyataan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :

‫اصص يعيلميصصإه يويعيلصصىَ آإلصصإه يويسصصلليم‬


ْ‫صصصللىَ ه‬ ‫ضصصاًين يفيمصصاً أيمسصصيتإطميهْع أيمن أيمق إ‬
‫ضصصييهْه إإلل إفصصمي يشصصمعيباًين اْلدشصصمغيل إمصصمن يرهْسصصموإل إ‬
‫اصص ي‬ ‫يكصصاًين ييهْكصص موهْن يعيلصصلي اْل ل‬
‫صصصموهْم إمصصمن يريم ي‬

“Kadang ada (tunggakan) puasa Ramadhan atasku, maka saya tidak dapat meng-qodho`nya kecuali
pada (bulan) Sya’ban lantaran sibuk (melayani) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”

Hal ini menunjukkan tidak bolehnya mengakhirkan qadho` puasa Ramadhan setelah Sya’ban, sebab
andaikata hal tersebut boleh, niscaya ‘Aisyah akan mengakhirkan qadho`nya setelah Ramadhan karena
mungkin saja dibulan Sya’ban beliau juga sibuk melayani Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam. Berangkat dari sini Imam empat dan jumhur ulama salaf dan khalaf bahkan ada dinukil
kesepakatan dikalangan ulama akan tidak bolehnya mengakhirkan qodho` setelah Ramadhan.

Adapun jika seseorang tidak mampu sama sekali untuk meng-qodho` puasanya karena udzur yang terus
menerus menahannya seperti orang yang musafir terus menerus, perempuan yang masa kehamilannya
rapat/dekat dan lain-lainnya, maka tidak ada dosa baginya dan hendaklah mengganti puasanya kapan ia
mampu.

Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

ْ‫ف ل ه‬
ً‫اصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصص ين مفسصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاً م إإلل هْو مسصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصيعيها‬ ْ‫ل هْييك دلصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصص ه‬

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286)

Bagi orang yang meninggal dan belum meng-qodho` tunggakan puasanya pada bulan Ramadhan
padahal sebelumnya ada kemampuan baginya untuk meng-qodho` puasanya, maka wajib atas ahli
warisnya untuk membayar tunggakannya.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

‫صصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاًيم يعمنصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصهْه يولإديصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصهْه‬ ‫ت يويعليميصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصإه إ‬


‫صصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصيياًةم ي‬ ‫يمصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصمن يمصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاً ي‬

“Siapa yang meninggal dan atasnya ada tunggakan puasa, maka ahli warisnya berpuasa untuknya.”

Adapun kalau meninggal sebelum ada kemampuan yang memungkinan baginya untuk meng-qodho`
puasanya maka tidak ada dosa atasnya insya Allah dan juga tidak ada kewajiban atas ahli warisnya untuk
membayar tunggakannya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

ْ‫ف ل ه‬
ً‫اصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصص ين مفسصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاً م إإلل هْو مسصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصيعيها‬ ْ‫ل هْييك دلصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصص ه‬

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286)

12. Ketentuan Membayar Fidyah.


Membayar fidyah diwajibkan atas beberapa orang:
* Laki-laki dan perempuan tua yang tidak mampu berpuasa.
* Perempuan hamil dan perempuan menyusui yang khawatir akan membahayakan kandungannya, anak
yang disusuinya, atau dirinya sendiri jika ia berpuasa.

Dua point diatas berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Abu Daud, Ibnu Jarud
dalam Al-Muntaqo dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih menjelaskan firman Allah Ta’ala dalam
surat Al-Baqarah 184 :

‫يويع يلصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصىَ اْ للصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصإذيين هْيإطيهْقصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصوينهْه إفمدييصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصةة يطيعصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاًهْم إممسصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصإكيمن‬

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”

Berkata Ibnu Abbas :

‫ضاًيء يعيلميإهيماً هْثلم هْنإسصيخ يذإلصيك إفصمي يهصإذإه‬ ‫صمويم أيمن هْيمفإطيراْ إإمن يشاًيءاْ أي مو هْيمطإعيماً يكلل ييمومم إممسإكميمناً يويل يق ي‬‫ص إلللشميإخ اْمليكإبميإر يواْمليعهْجموإز اْمليكإبمييرإة إفمي يذلإيك يوهْهيماً هْيإطمييقاًإن اْل ل‬
‫يرلخ ي‬
‫م‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫م‬ ‫ي‬ ‫ي‬
‫ضإع إإذاْ يخاًيفيتاً أفطيريتاً يوأطيعيميتاً هْكصصلل ييصصمومم‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫ت إلللشميإخ اْمليكإبميإر يواْمليعهْجموإز اْليكإبمييرإة إإذاْ يكاًيناً يل هْيإطمييقاًإن اْل ل‬
‫صمويم يواْلهْحمبيلىَ يواْلهْممر إ‬ ‫ي‬ ‫م‬ ْ‫اْملْييإة يفممين يشإهيد إممنهْكهْم اْللشمهير يفمليي ه‬
‫صممهْه يويثيب ي‬
ً‫إم مسصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصإكميمنا‬

“Diberikan keringanan bagi laki-laki dan wanita tua dalam hal itu (yaitu untuk tidak berpuasa,-pent.)
sementara keduanya mampu untuk berpuasa, (diberikan keringanan) untuk berbuka apabila mereka
berdua ingin atau memberi makan satu orang miskin setiap hari dan tidak ada qodho` atas mereka
berdua, kemudian hal tersebut dinaskh (dihapus hukumnya) dalam ayat ini {Barangsiapa diantara kalian
menyaksikan bulan (Ramadhan) maka hendaknya ia berpuasa}, dan (kemudian) ditetapkan hukumnya
bagi laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui
apabila keduanya khawatir (akan memberikan bahaya kepada kandungannya, anak yang ia susui, atau
dirinya sendiri,-pent.) boleh untuk berbuka dan keduanya membayar fidyah setiap hari.” (Lafazh hadits
oleh Ibnul Jarud)

* Orang sakit terus menerus yang tidak diharapkan kesembuhannya.

Hal diatas berdasarkan riwayat lain dari Ibnu ‘Abbas oleh Imam An-Nasa`i dengan sanad yang
shahih dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184 :

‫يويع يلصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصىَ اْ للصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصإذيين هْيإطيهْقصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصوينهْه إفمدييصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصةة يطيعصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصاًهْم إممسصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصإكيمن‬

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi makan seorang miskin.”

Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :

‫صصصصصصصصصصصصصصصصصصيياًيم أيمو يمإرميصصصصصصصصصصصصصصصصص ة‬


َ‫ض يل هْيمشصصصصصصصصصصصصصصصصصيفى‬ ‫ص إفصصصصصصصصصصصصصصصصصمي يهصصصصصصصصصصصصصصصصصيذاْ إإلل لإللصصصصصصصصصصصصصصصصصإذمي يل هْيإطميصصصصصصصصصصصصصصصصصهْق اْل د‬
ْ‫يل هْييرلخصصصصصصصصصصصصصصصصص ه‬

“Tidak diberikan keringanan untuk ini (tidak berpuasa akan tetapi membayar fidyah) kecuali pada orang
tua yang tidak mampu untuk berpuasa atau pada orang sakit yang tidak bisa sembuh.”

* Cara membayar fidyah adalah dengan memberikan makan orang miskin sejumlah hari yang telah
ditinggalkan, contoh : apabila ia tidak berpuasa 15 hari maka ia memberi makan 15 orang miskin.

* Dan membayar fidyah boleh sekaligus dan boleh sebahagian secara terpisah.

* Membayar fidyah berdasarkan konteks ayat adalah dengan makanan. Maka dengan ini kami tegaskan
bahwa fidyah tidak boleh diuangkan.

* Teks ayat sifatnya umum tidak merinci ketentuan tentang jenis makanan. Jadi kapan suatu makanan
dianggap sebagai makanan menurut kebiasaan manusia di suatu tempat maka hal tersebut telah
dianggap syah/cukup untuk membayar fidyah.

* Dan banyaknya makanan juga tidak dirinci dalam teks ayat sehingga ini juga kembali kepada kebiasaan
orang banyak di suatu tempat atau negeri.

* Namun tidak diragukan akan terpujinya membayar fidyah dengan makanan yang paling baik dan
berharga, berdasarkan firman Allah Jalla wa ‘Azza :

‫ضواْ إفيصصإه يواْمعيلهْمصصواْ أيلن‬


ْ‫ث إممنهْه هْتمنإفهْقوين يوليمسهْتمم إبآإخإذيإه إإلل أيمن هْتمغإم ه‬ ‫ت يماً يكيسمبهْتمم يوإملماً أيمخيرمجيناً ليهْكمم إمين اْمليمر إ‬
‫ض يول يتييلمهْمواْ اْمليخإبي ي‬ ‫يياً أيدييهاً اْللإذيين آيمهْنواْ أيمنإفهْقواْ إممن يطدييباً إ‬
‫اصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصص يغ إنصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصبي يح إميصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصدة‬ ‫لي‬

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik
dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.”

13. Membayar Kaffarah.


Kaffarah adalah denda yang dikenakan atas seseorang dengan tiga syarat pelanggaran:
Melakukan hubungan suami istri. Melakukannya di siang hari Ramadhan.
* Adapun jika ia melakukannya di malam hari atau di luar bulan Ramadhan, seperti pada saat ia
membayar tunggakan puasa Ramadhannya, maka tidaklah dikenakan atasnya kaffarah.

* Dalam keadaan berpuasa. Adapun jika ia melakukan di bulan Ramadhan dan ia dalam keadaan tidak
berpuasa seperti seorang yang kembali dari perjalanan dalam keadaan tidak berpuasa lalu mendapati
istrinya usai mandi suci dari haidh kemudian keduanya melakukan hubungan maka keadaan seperti ini
tidak dikenakan kaffarah.

* Dan menurut pendapat yang paling kuat dikalangan para ulama bahwa dikenakan kaffarah atas sang
istri jika ia mengaja atau taat pada suaminya dengan kemauannya sendiri untuk melakukan hubungan
intim.

* Seseorang membayar kaffarah adalah dengan memilih salah satu dari tiga jenis kaffarah berikut ini
secara berurut sesuai kemampuannya :
1. Membebaskan budak. Tidak ada perbedaaan antara budak kafir dengan budak muslim menurut
pendapat yang paling kuat.
2. Berpuasa dua bulan berturut-turut tanpa terputus. Dan jumhur ulama mensyaratkan agar dua bulan ini
jangan terputus dengan bulan Ramadhan dan hari-hari yang terlarang berpuasa padanya yaitu hari ‘Idul
Fitri, ‘Idul Adha dan hari-hari tasyriq. Dan apabila ia berpuasa kurang dari dua bulan maka belumlah
dianggap membayar kaffarah.
3. Memberi makan 60 orang miskin dengan sesuatu yang dianggap makanan dalam kebiasaan
kebanyakan manusia. Kadar makanan untuk setiap orang miskin sebanyak satu mud yaitu sebanyak dua
telapak tangan orang biasa.

* Tidak syah membayar kaffarah dengan selain dari tiga jenis di atas.

* Apabila tidak ada kemampuan untuk membayar dari salah satu dari tiga jenis di atas maka kewajiban
membayar kaffarah tersebut tetap berada di atas pundaknya sampai ia mempunyai kemampuan untuk
membayarnya.

Seluruh keterangan di atas dipetik dari makna yang tersurat maupun tersirat dari kandungan hadits Abu
Hurairah riwayat Al-Bukhary dan Muslim :

‫صصاًإئةم( يقصصاًيل‬ ‫ضصصاًين )يوأيينصصاً ي‬‫ت يعيلىَ اْمميرأيإتمي إفمي يريم ي‬ ْ‫ يويقمع ه‬: ‫ يقاًيل يويماً أيمهيليكيك ؟ يقاًيل‬,‫ا‬ ‫ت يياً يرهْسمويل إ‬ ْ‫صللىَ اهْ يعيلميإه يويعيلىَ آلإإه يويسلليم يفيقاًيل يهيلمك ه‬ ‫يجاًيء يرهْجةل إإيلىَ اْللنإبدي ي‬
ْ‫ه‬
َ‫س يفصصأإتيي اْللنإبصصدى‬ ‫صمويم يشمهيرميإن هْميتيتاًإبيعميإن يقاًيل يل يقاًيل يفيهمل يتإجهْد يماً هْتمطإعهْم يسصصدتميين إممسصصإكميمناً يقصصاًيل يل يقصصاًيل ثصصلم يجيلصص ي‬
ْ‫ه‬ ْ‫يهمل يتإجهْد يماً هْتمعإتهْق يريقيبمة يقاًيل يل يقاًيل يفيهمل يتمسيتإطميهْع أيمن يت ه‬
‫صصصللىَ اهْصص يعيلميصصإه‬ ‫ضصصإحيك اْللنإبصصدي ي‬ ‫ت أيمحصصيوهْج إإيلميصصإه إملنصصاً يف ي‬‫صلدمق إبيهاًيذاْ يقاًيل أيمفيقهْر إملناً ؟ يفيماً يبميين يليبيتمييهاً أيمههْل يبميصص م‬
‫صللىَ اهْ يعيلميإه يويعيلىَ آلإإه يويسلليم إبيعيرمق إفميإه يتممةر يفيقاًيل يت ي‬ ‫ي‬
‫ك‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫م‬ ‫ي‬
‫ب يفصصصصصصصصصصصصصأطإعممهْه أمهلصصصصصصصصصصصصص ي‬ ‫م‬ ْ‫ه‬ ‫ي‬
‫يويعيلصصصصصصصصصصصصصىَ آإلصصصصصصصصصصصصصإه يويسصصصصصصصصصصصصصلليم يحلتصصصصصصصصصصصصصىَ يبصصصصصصصصصصصصصيدت أنييصصصصصصصصصصصصصاًهْبهْه ثصصصصصصصصصصصصصلم يقصصصصصصصصصصصصصاًيل اْذيهصصصصصصصصصصصصص م‬.
‫م‬ ‫م‬

“Seorang lelaki datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu berkata : “Saya telah
binasa wahai Rasulullah, beliau berkata : “Apakah yang membuatmu binasa,? ia berkata : “Saya telah
menggauli (hubungan intim dengan) istriku dalam (bulan) Ramadhan {padahal saya sedang berpuasa}
[2].” Maka beliau bersabda : “Apakah engkau mampu membebaskan budak ?” , ia berkata : “Tidak.”,
beliau bertanya : “Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut ?”, ia berkata : “Tidak.”, beliau
bertanya : “Apakah kamu mampu untuk memberi makan enam puluh orang miskin ?” ia berkata : “Tidak.”
Lalu iapun duduk. Kemudian dibawakan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam satu ‘araq
(tempat yang sekurang-kurangnya dapat memuat 60 mud,-pent.) berisi korma, maka beliau berkata
kepadanya : “Bershadaqahlah engkau dengan ini.”, ia berkata : “(Apakah) diberikan kepada orang lebih
fakir dari kami?, tidak ada antara dua bukit Madinah keluarga yang lebih fakir dari kami.” Maka tertawalah
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam hingga nampak gigi taring beliau kemudian beliau
berkata : “Pergilah dan beri makan keluargamu dengannya.”

14. Beberapa Kesalahan Dalam Pelaksanaan Puasa Ramadhan.

* Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu falak atau ilmu hisab. Hal ini
tentunya merupakan kesalahan yang sangat besar dan bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan Sunnah
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.

Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan dalam surat Al-Baqaroh ayat 185 :

ْ‫يف يمصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصمن يشصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصإهيد إممن هْكصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصهْم اْل لشصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصمهير يفمل يي ه‬


‫صصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصصممهْه‬

“Maka barangsiapa dari kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.”

Dan juga dari hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim dan hadits
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam :

‫صصصصصصصصصصصصصصموهْم مواْ لإهْرمؤييإتصصصصصصصصصصصصصإه يوأيمفإطصصصصصصصصصصصصصهْر مواْ لإهْرمؤييإتصصصصصصصصصصصصصإه يفصصصصصصصصصصصصصإإمن هْغدمصصصصصصصصصصصصصيي يعيلميهْكصصصصصصصصصصصصصمم اْللشصصصصصصصصصصصصصمههْر يفيعصصصصصصصصصصصصصدد مواْ يثيلإثميصصصصصصصصصصصصصين‬
ْ‫ه‬

“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya dan apabila bulan
tertutup atas kalian maka sempurnakanlah tiga puluh.”

Dalam ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan terkait dengan
melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan menghitung, menghisab dan yang lainnya.

* Mempercepat makan sahur. Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wa sallam yang beliau mengakhirkan sahurnya sebagaimana yang telah berlalu
penjelasannya.

* Menjadikan tanda imsak sebagai batasan waktu sahur. Sering terdengar di bulan Ramadhan tanda-
tanda imsak seperti suara sirine, suara rekaman ayam berkokok, suara beduk dan lain-lainnya, yang
diperdengarkan sekitar seperempat jam sebelum adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang
sangat besar dan bid’ah sesat lagi bertolak belakang dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang mulia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :

‫ض إمصصصصصين اْمليخميصصصصصإط اْمليمسصصصصصيوإد إمصصصصصين اْمليفمجصصصصصإر هْثصصصصصلم أيإتدمصصصصصواْ اْل د‬


‫صصصصصصيياًيم إإيلصصصصصىَ اْلللميصصصصصإل‬ ْ‫ط اْمليمبييصصصصص ه‬
ْ‫يوهْكهْلصصصصصواْ يواْمشصصصصصيرهْبواْ يحلتصصصصصىَ يييتيبليصصصصصين يلهْكصصصصصهْم اْمليخميصصصصص ه‬

“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar,
kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan dalam hadits Abdullah bin
‘Umar riwayat Al-Bukhary dan Muslim :

‫إإلن إبيلمل هْيصصصصصصصصصصصصصصيؤدذهْن إبيلميصصصصصصصصصصصصصصمل يفهْكهْلصصصصصصصصصصصصصص مواْ يواْمشصصصصصصصصصصصصصصيرهْب مواْ يحلتصصصصصصصصصصصصصصىَ يتمسصصصصصصصصصصصصصصيمهْع مواْ يتصصصصصصصصصصصصصصأمإذميين اْمبصصصصصصصصصصصصصصإن أ هْدم يممكهْتصصصصصصصصصصصصصصمومم‬

“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar
seruan adzan Ibnu Ummi Maktum.”

Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa batasan dan akhir makan sahur adalah adzan kedua yaitu
adzan untuk sholat subuh. Inilah seharusnya yang dipegang oleh kaum muslimin yaitu menjadikan waktu
adzan subuh sebagai batasan terakhir makan sahur dan meninggalkan tanda imsak yang tidak pernah
dikenal oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para sahabatnya.

* Melafadzkan niat puasa ketika makan sahur. Dan in juga merupakan perkara yang salah karena
waktu niat tidak dikhususkan pada makan sahur saja, bahkan bermula dari terbenamnya matahari
sampai terbitnya fajar sebagaimana yang telah kami jelaskan. Dan melafadzkan niat juga perkara baru
dalam agama ini yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
dan para sahabatnya.

* Meninggalkan berkumur dan menghirup air ketika berwudhu. Ini juga merupakan kesalahan yang
banyak terjadi di kalangan kaum muslimin. Mereka menganggap bahwa berkumur-kumur dan menghirup
air merupakan pembatal puasa padahal berkumur-kumur dan menghirup air merupakan perkara yang
disunnahkan dalam syari’at Islam sebagaimana yang telah dijelaskan.

* Anggapan tidak bolehnya menelan ludah. Hal ini juga kadang kita dapati pada kaum muslimin
sehingga kita kadang mendapati sebahagian kaum muslimin yang banyak meludah pada saat puasa.
Tidakkah diragukan bahwa hal ini merupakan sikap berlebihan dan memberatkan diri tanpa dilandasi
dengan tuntunan yang benar dalam syari’at Islam.

* Mengakhirkan buka puasa. Ini juga kesalahan yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin
padahal tuntunan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sangatlah jelas akan sunnahnya
mempercepat buka puasa sebagaimana yang telah kami jelaskan.

* Menghabiskan waktu di bulan ramadhan untuk perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.

* Perasaan ragu mencicipi makanan, padahal hal tersebut adalah boleh sepanjang menjaga jangan
sampai menelan makanan tersebut sebagaimana terdahulu keterangannya.

* Menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehingga melalaikannya dari


ibadah di bulan Ramadhan khususnya pada sepuluh hari terakhir.

* Membayar fidyah sebelum meninggalkan puasanya. Seperti wanita hamil 6 bulan yang tidak akan
berpuasa di bulan Ramadhan, lalu ia membayar fidyah untuk 30 hari sebelum Ramadhan atau di awal
Ramadhan. Tentunya ini adalah perkara yang salah karena kewajiban membayar fidyah dibebankan
atasnya apabila ia telah meninggalkan puasa.

Demikian tuntunan ringkas ini, mudah-mudahan bisa menjadi bekal untuk kita semua dalam menjalani
ibadah puasa Ramadhan yang agung dan mulia. Wallahu Ta’ala A’lam
[1] Demikian pendapat yang dahulu kami anggap kuat . Kemudian belakangan ini kami memandang
bahwa pendapat yang kuat adalah tidak bisa di-qodho`. Uraiannya insya Allah akan kami tulis dalam
rangkaian buku khusus berkaitan dengan tuntunan lengkap dan mendetail seputar puasa. Wallahul
Muwaffiq.

[2] Tambahan dalam riwayat Al-Bukhary.

Sumber : Ebook Majalah An-Nashihah Vol. 7 (1425/2008)

http://kisahrasulnabisahabat.blogspot.co.id/2013/07/panduan-puasa-ramadhan-sesuai-al-quran.html

Inilah Menejemen Rasulullah Menyambut Ramadhan


Kamis, 4 Juni 2015 - 06:15 WIB

Demikianlah gambaran dari manajemen Ramadhan Rasulullah dan para sahabat untuk meraih
tujuan puasa Ramadhan yang hakiki

NOUSHAD AKAMBADAM (FLICKR)

Terkait

 Amalan-amalan Sya’ban “Pemanasan” Menuju Ramadhan


 Apa Persiapan Kita Menuju Ramadhan?

 Para Tetangga Rasulullah

 Belajar dari Utsman bin Mazh’un

Oleh: Nofriyanto al-Minangkbawy


Sebelum membahas tentang bagaimana manajemen Ramadhan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, perlu kiranya sedikit menyinggung tentang
definisi manajemen terlebih dahulu.
Goerge R. Terry, mendefinisikan manajemen sebagai, “…sebuah proses yang
khas dan terdiri dari tindakan-tindakan seperti perencanaan,
pengorganisasian, pengaktifan dan pengawasan yang dilakukan untuk
menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui
pemanfaatan sumber daya manusia dan sumbersumber lainnya”. (Basu
Swasta DH, Asas-asas Manajemen Modern).
Manajemen bisa dikatakan sebagai kumpulan usaha yang dilakukan demi
tercapainya tujuan. Berangkat dari pengertian di atas, manajemen
Ramadhan adalah segala usaha menjadikan Ramadhan sebagai bulan penuh
rahmat, ampunan dan keselamatan.
Demi meraih tujuan tersebut, maka momentum yang penuh berkah ini perlu
dijadikan sebagai momentum Training Manajemen Syahwat, dan sekaligus
menjadi Training Manajemen Ibadah. Inilah yang dilakukan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.
Oleh karena itu, demi tercapainya tujuan tersebut mengetahui manajemen
Ramadhan Rasulullah menjadi suatu keharusan.
Demi memperoleh gambaran utuh dan mendetail dari manajamen
Ramadhan Rasulullah, setidaknya ada empat situasi yang perlu kita
perhatikan.
Pertama, sebelum memasuki Ramadhan
Para Salafus shalih selalu merindukan kedatangan Ramadhan. Untaian doa
selalu terucap dari lisan-lisan mereka agar diberi kesempatan menemui
Ramadhan sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba.
Contohnya, Imam Malik setelah pengajiannya sering menyarankan para
murid dan sahabatnya untuk mempelajari bagaimana para sahabat
memenej kehidupan ini, termasuk hal-hal yang terkait dengan Ramadhan
mereka. Meskipun tidak mendapatkan kesempatan untuk hidup bersama
para Sahabat, namun nya mampu meneladani mereka melalui sejarah hidup
mereka.
Ma’la Bin Fadhal berkata: “Dulu Sahabat Rasulullah berdoa kepada Allah sejak enam
bulan sebelum masuk Ramadhan agar Allah sampaikan umur mereka ke bulan yang
penuh berkah itu. Kemudian selama enam bulan sejak Ramadhan berlalu, mereka
berdoa agar Allah terima semua amal ibadah mereka di bulan itu. Di antara doa
mereka ialah : Yaa Allah, sampaikan aku ke Ramadhan dalam keadaan selamat. Yaa
Allah, selamatkan aku saat Ramadhan dan selamatkan amal ibadahku di dalamnya
sehingga menjadi amal yang diterima.” (HR. at Thabrani: 2/1226).

Melihat kepada sikap dan doa yang mereka lakukan, terlihat jelas bagi kita
bahwa para sahabat dan generasi setelahnya sangat merindukan
kedatangan Ramadhan. Mereka sangat berharap dapat berjumpa dengan
Ramadhan demi mendapatkan semua janji dan tawaran Allah dan Rasul-Nya
dengan berbagai keistimewaan yang tidak terdapat di bulan-bulan lain.
Hal tersebut menunjukkan bahwa para sahabat dan generasi setelahnya
betul-betul memahami dan yakin akan keistimewaan dan janji Allah dan
Rasul-Nya yang amat luar biasa seperti rahmah (kasih
sayang), maghfirah (ampunan) dan keselamatan dari api neraka. Inilah yang
diungkapkan Imam Nawawi, “Celakalah kaum Ramadhaniyyin. Mereka tidak
mengenal Allah kecuali di bulan Ramadhan.”

Sesungguhnya Rasulullah, sahabat dan generasi setelahnya mengenal Allah


sejak jauh-jauh hari sebelum Ramadhan dan di bulan Ramadhan pengenalan
mereka kepada Allah lebih bertingkat.
Kedua, saat memasuki Ramadhan
Ketika terbitnya hilal di ufuk pertanda Ramadhan tiba, Rasul dan para
sahabat menyambutnya dengan suka cita sembari membacakan doa seperti
yang diceritakan Ibnu Umar dalam hadits berikut :
، ‫ه أ بك كب برر‬
‫ الل ل ر‬: ‫ل‬ ‫ل بقا ب‬ ‫ذا بربأى ال كههل ب ب‬‫ إ ه ب‬-‫صلى الله عليه وسلم‬- ‫ه‬ ‫ل الل ل ه‬‫سو ر‬‫ن بر ر‬ ‫كا ب‬ ‫ ب‬:‫ل‬
‫مبر بقا ب‬ ‫ن عر ب‬ ‫ن اب ك ه‬‫عب ه‬
‫ب‬ ‫ب‬
‫ برب ببنا‬، ‫ضى‬ ‫ب برب ببنا وبي بكر ب‬ ‫ح ب‬‫ما ي ر ه‬
‫ق له ب‬ ‫س ب‬
‫لم بوالت لوكهفي ه‬ ‫سل ب ب‬
‫مةه بوال ه ك‬ ‫ن بوال ل‬ ‫ما ه‬
‫لي ب‬
‫ن بوا ه‬‫م ه‬‫ه ع بل بي كبنا هبال ك‬
‫م أه هل ل ر‬‫الل لهر ل‬
‫ك الل ل ر‬
‫ه‬ ‫وببرب ب ب‬
“Dari Ibnu Umar dia berkata : Bila Rasul melihat hilal dia berkata : Allah Maha Besar. Ya
Allah, jadikanlah hilal ini bagi kami membawa keamanan, keimanan, keselamatan,
keislaman dan taufik kepada yang dicintai Robb kami dan diridhai-Nya. Robb kami dan
Robbmu (hilal) adalah Allah.” (HR. Addaromi).

Itulah gambaran nyata dari Rasul dan para sahabat ketika meyambut
kedatangan bulan penuh berkah ini. Bukan dengan hiruk pikuk yang penuh
kebisingan dan tabdzir dengan pawai disertai pesta kembang api atau
petasan di jalanan sambil keliling kota atau desa memukul beduk dan
sebagainya.
Namun, Rasulullah dan para sahabat menyambutnya dengan keyakinan, dan
perasaan rindu yang mendalam akan kebesaran Ramadhan. Dengan
harapan, jika amal ibadah Ramadhan dijalankan dengan ikhlas dan khusyu’,
mereka akan meraih rahmat, ampunan dan terbebas dari api neraka. Ketiga
nikmat itu tidak akan ternilai harganya bagi mereka dibandingkan dengan
dunia dan seisinya.
Ketiga, setelah memasuki Ramadhan
Setelah memasuki awal Ramadhan hingga akhir, Rasulullah dan para
sahabat meningkatkan ketaqwaan untuk menahan diri dari berbagai
syahwat dan perbuatan yang dapat merusak kesempurnaan puasa. Mereka
menutup setiap celah syahwat dengan “mengetuk” setiap pintu kebajikan.
Seperti syahwat anggota tubuh atau menyakiti orang lain dan semacamnya.
Semuanya dilakukan sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari.
Rasulullah dan para sahabat menghidupkan siang dan malam dengan
berbagai amal ibadah. Seperti bersedekah, shalat taraweh, berzikir,
membaca dan tadabbur Al-Qur’an dan berbagai ibadah lainnya. (Bahkan,
ibunda Aisyah pernah berkata bahwa Rasulullah adalah orang yang paling
dermawan dan lebih dermawan lagi ketika di bulan Ramadhan.(Muhammad
ad-tirmidzi: 164). Artinya, selama Ramadhan Rasulullah dan para sahabat
benar-benar menfokuskan diri bertaqorrub kepada Allah melalu training
manajemen syahwat dan sekaligus training manajemen ibadah. Dua hal
inilah yang mesti dimiliki oleh setiap hamba yang ingin mendapat ridha Allah
di dunia dan bertemu dengan-Nya di syurga.
Keempat, ketika memasuki sepertiga akhir Ramadhan
Ketika memasuki sepertiga akhir Ramadhan, akan kita temukan sesuatu yang
sangat berbeda pada diri Rasulullah dengan mayoritas Muslim hari ini.
Rasulullah mengencangkan tali ikat pinggangnya pertanda bertambahnya
kesungguhan nya untuk beribadah dan menghidupkan malam-malamnya
dan membangunkan keluarganya untuk shalat dan berdzikir agar tidak
kehilangan keberkahan yang melimpah ruah pada malam-malam tersebut.
danNya menghabiskan waktu tersebut terkhusus untuk beri’tikaf di masijid.
(Muttafaq ‘alaihi)
Adapun masyarakat Muslim dewasa ini mayoritas menghabiskan waktu
mereka di pasar atau pusat perbelanjaan. Artinya, Rasulullah dan para
sahabat lebih giat dalam beribadah di sepertiga akhir Ramadhan, sedangkan
mayoritas umat Muslim menghabiskan waktu dan kekayaannya demi
kepentingan dunia semata.
Demikianlah gambaran dari manajemen Ramadhan Rasulullah dan para
sahabat untuk meraih tujuan puasa Ramadhan yang hakiki.
Dengan semakin dekatnya Ramadhan, semoga kita bisa mempersiapkan diri.
Semoga dengan gambaran tersebut kita dapat memenej Ramadhan
sebagaimana mereka memenejnya demi meraih tujuan puasa Ramadhan
yang hakiki.*
Rep: Admin Hidcom
Editor: Huda Ridwan

https://www.hidayatullah.com/kajian/oase-iman/read/2015/06/04/71111/inilah-menejemen-rasulullah-
menyambut-ramadhan.html

Mujahadah Para Salaf dan Ulama di Bulan Ramadhan


Published Desember 17, 2008 Kontemporer , Tarbiyah , Tentang Ulama' 6 Comments

Benarlah sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) tentang keunggulan generasi salaf:
“Sebaik-baik zaman adalah di zamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan
kemudian orang sesudah mereka (atba’ tabi’in).” (Riwayat Bukhari).

Mujahadah salaf selama bulan Ramadhan membuktikan kebenaran sabda Rasulullah di atas. Khususnya
dalam melakukan amalan shalat dan membaca Al Qur`an, mujahadah mereka amat susah untuk
ditandingi oleh umat Islam generasi terakhir. Bahkan bisa jadi mereka menilai bahwa amalan itu mustahil
dilakukan!

Dalam beberapa literatur Islam, seperti Hilyah Al Auliya karya Al Hafidz Abu Nu’aim dan Thabaqat Al
Qura`n, karya Imam Ad Dzahabi, mujahadah para salaf, khususnya para tabi’in, terekam dengan baik.
Bahkan dalam Al Hilyah, periwayatan itu disertai dengan sanad lengkap.

Nah, bagaimana sebanarnya mujahadah mereka selama bulan Ramadhan? Serta seperti apa persiapan
mereka dalam menyambut bulan itu? Tulisan kali ini akan mengupas bagamana para salaf dan ulama
bermujahadah di bulan mulia itu.

Salaf Khatamkan Al Qur`an dalam Dua Rakaat!


Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Qur`an. Bahkan Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-
nya, bahwa di tiap tahunnya Jibril Alaihissalammembacakan Al Qur`an kepada Rasulullah SAW, dan itu
dilakukan di tiap-tiap malam selama Ramadhan.
Oleh sebab itu, dengan berpedoman dengan hadits ini, Al Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa terus-
menerus membaca Al Qur`an di bulan Ramadhan akan menambah kemulyaan bulan itu. (Fath Al
Bari,9/52).

Rasulullah SAW juga bersabda: “Barang siapa melakukan qiyam Ramadhan dengan didasari keimanan
dan keikhlasan, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Riwayat Al Bukhari).

Karena itulah, para salaf dan ulama amat memperhatikan amalan tilawah, qiyam Ramadhan, serta
pengkajian keilmuan, sehingga mereka siap bermujahadah dalam melakukan amalan-amalan itu.

Adalah Aswad bin Yazid An Nakha’i Al Kufi. Disebutkan dalam Hilyah Al Auliya (2/224) bahwa beliau
mengkhatamkan Al Qur`an dalam bulan Ramadhan setiap dua hari, dan beliau tidur hanya di waktu
antara maghrib dan isya, sedangkan di luar Ramadhan beliau menghatamkan Al Qur`an dalam waktu 6
hari.

Tidak hanya bermujahadah dalam menghatamkan Al Qur`an, dalam ibadah shalat, Imam Adz Dzahabi
menyebutkan bahwa tabi’in ini melakukan shalat 6 ratus rakaat dalam sehari semalam. (Al Ibar wa Al
Idhadh, 1/86).

Adapula Qatadah bin Diamah, dalam hari-hari “biasa”, tabi’in ini menghatamkan Al Qur`an sekali tiap
pekan, akan tetapi tatkala Ramadhan tiba beliau menghatamkan Al Qur`an sekali dalam tiga hari, dan
apabila datang sepuluh hari terakhir beliau menghatamkannya sekali dalam semalam .(Al Hilyah, 2/228).

Tabi’in lain, Abu Al Abbas Atha’ juga termasuk mereka yang “luar biasa” dalam tilawah. Di hari-hari biasa
ia menghatamkan Al Qur`an sekali dalam sehari. Tapi di bulan Ramadhan, Abu Al Abbas mempu
menghatamkan 3 kali dalam sehari. (Al Hilyah 10/302).

Sedangkan Said bin Jubair, dalam Mir’ah Al Jinan, Al Yafi’i menyebutkan sebuah riwayat, bahwa di suatu
saat tabi’in ini membaca Al Qur`an di Al Haram, lalu beliau berkata kepada Wiqa’ bin Abi Iyas pada bulan
Ramadhan: “Pegangkan Mushaf ini”, dan ia tidak pernah beranjak dari tempat duduknya itu, kacuali
setelah menghatamkan Al Qur`an.

Diriwayatkan juga dari Said bin Jubair, beliau pernah mengatakan: “Jika sudah masuk sepuluh hari
terakhir, aku melakukan mujahadah yang hampir tidak mampu aku lakukan.”
Beliau juga menasehati: “Di malam sepuluh terakhir, jangan kalian matikan lentera.” Maksudnya, agar
umat Islam menghidupkan malamnya dengan membaca Al Qur`an.

Thabaqat Fuqaha Madzhab An Nu’man Al Mukhtar, yang dinukil oleh Imam Laknawi dalam Iqamah Al
Hujjah (71,72) disebutkan periwayatan bahwa dalam bulan Ramadhan Said bin Jubair mengimami shalat
dengan dua qira`at, yakni qira`at Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Tsabit.

Manshur bin Zadan, termasuk tabi’in yang terekam amalannya di bulan diturunnya Al Qur`an ini. Hisham
bin Hassan bercerita, bahwa di bulan Ramadhan, Manshur mampu menghatamkan Al Qur`an di antara
shalat Maghrib dan Isya’, hal itu bisa beliau lakukan dengan cara mengakhirkan shalat Isya hingga
seperempat malam berlalu. Dalam hari-hari biasapun beliau mampu menghatamkan Al Qur`an sekali
dalam sahari semalam. (Al Hilyah, 3/57).

Tidak ketinggalan pula Imam Mujahid, salah satu tabi’in yang pernah berguru langsung dengan Ibnu
Abbas juga amat masyur dengan mujahadahnya. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan sanad yang
shahih, bahwa tabi’in ahli tafsir ini juga menghatamkan Al Qur`an pada bulan Ramadhan di antara
maghrib dan isya.

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa Abu Hanifah termasuk pada golongan tabi`in, karena telah
bertemu dengan sahabat Anas bin Malik. Banyak riwayat yang menegaskan bahwa beliau adalah ulama
yang ahli ibadah. Yahya bin Ayub, ahli zuhud yang semasa dengan beliau mengatakan: Tidak ada
seorangpun yang datang ke Makkah, pada zaman ini lebih banyak shalatnya dibanding dengan Abu
Hanifah.

Karena itu beliau dijuluki Al Watad (tiang) karena banyak shalat (Tahdzib Al Asma, 2/220). Lalu,
bagaimana amalan ulama ahli ibadah ini dalam bulan Ramadhan?

Orang yang melakukan shalat fajar dengan wudhu isya selama 40 tahun ini menghatamkan Al Qur`an 2
kali dalam sehari di bulan Ramadhan, pada waktu siang sekali, dan pada waktu malam sekali (Manaqib
Imam AbuHanifah, 1/241-242).
Bahkan disebutkan oleh Imam Al Kardari bahwa Abu Hanifah termasuk 4 imam yang bisa menghatamkan
Al Qur`an dalam 2 rakaat, mereka adalah Utsman bin Affan, Tamim Ad Dari, Said bin Jubair, serta Abu
Hanifah sendiri.

Persiapan Para Salaf Menghadapi Ramadhan

Jika di Bulan Ramadhan para salaf mampu melakukan amalan-amalan “berat”. Bagaimana persiapan
mereka sebelum memasuki bulan suci ini? Ternyata para salaf sudah melakukan persiapan yang cukup
maksimal. Ini bisa dilihat dari mujahadah mereka sebelum Ramadhan.

Habib bin Abi Tsabit mengatakan: “Bulan Sya’ban adalah bulan qura` (para pembaca Al Qur`an)”.
Sehingga pada bulan itu, para salaf konsentrasi terhadap Al Qur`an. Salah satu diantara mereka adalah
Amru bin Qais, ahli ibadah yang wafat tahun 41 Hijriyah ini, ketika Sya’ban tiba, ia menutup tokonya
dan tidak ada aktivitas yang ia lakukan selain membaca Al Qur`an.

Bulan Ramadhan di pandangan para salaf adalah bulan mulia yang amat dinanti-nanti, sehingga mereka
mempersiapkan jauh-jauh untuk menyambut “tamu idaman” ini, yakni dua bulan sebelum bulan suci
datang. Sudahkah mempersiapkannya sebagaimana para salaf bersiap-siap?

Ramadhan Para Ulama


Diungkap dengan gamblang di tulisan sebelumnya, gambaran mujahadahRamadhan para salaf,
khususnya para tabi’in. Lalu bagaimana dengan generasi sesudahnya? Ternyata masih ada juga dari
kalangan ulama yang meneruskan “tradisi baik” ini.

Sebagai contah, Imam Syafi’i (204 H), beliau dalam bulan Ramadhan biasa menghatamkan Al Qur’an dua
kali dalam semalam, dan itu dikerjakan di dalam shalat, sehingga dalam bulan Ramadhan beliau
menghatamkan Al Qur`an enam puluh kali dalam sebulan (Tahdzib Al Asma’ wa Al Lughat, 1/ 45)

Al Qazwini (590 H), seorang ulama madzhab Syafi’i yang masuk golongan mereka yang bermujahadah
dalam bulan Ramadhan, akan tetapi aktivitas beliau agak berbeda dengan amalan-amalan para ulama
lain. Setelah shalat tarawih, beliau membuka majelis tafsir yang dihadiri banyak orang. Beliau
menafsirkan surat demi surat semalam suntuk, hingga datang waktu shubuh. Kemudian beliau
melakukan shalat shubuh bersama para jama’ah dengan wudhu isya’. Sekan tidak memiliki rasa lelah,
setelah itu beliau mengajar di madrasah Nidhamiyah sebagaimana biasanya. (Thabaqat As Syafi’iah Al
Kubra, 6/10).

Ali Khitab bin Muqallad (629 H), seorang ulama Bagdad yang hidup di masa khalifah Al Muntashir, dalam
Ramadhan mampu menghatamkan Al Qur’an 90 kali, dan di hari biasa beliau menghatamkan sekali
dalam sehari. (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 8/294).

Adapun untuk mempersiapkan Ramadhan, kita bisa belajar dari Taqi Ad Din As Subki (756 H). Beliau
memiliki kebiasaan dikala datang bulan Rajab, yakni tidak pernah keluar dari rumah kecuali untuk
melakukan shalat wajib, dan hal itu terus berjalan hingga Ramadhan tiba. (Thabaqat As Syafi’iyah Al
Kubra, 10/168).

Ini ditempuh supaya beliau lebih bisa konstrasi beribadah, sehingga ketika Ramadhan telah tiba, fisik dan
batin sudah memiliki kesiapan untuk melakukan dan meningkatkan mujahadah dalam beribadah.

Selai itu, adapula Khatib As Syarbini (977 H), ulama Mesir penulis Mughni Al Muhtaj, juga memiliki cara
tersendiri agar bisa konsentrasi melakukan ibadah ketika Ramadhan tiba. Yakni, tatkala terlihat hilal
Ramadhan, beliau bergegas dengan perbekalan yang cukup untuk ber’itikaf di masjid Al Azhar, dan tidak
pulang, kecuali setelah selesai menunaikan shalat ied. (lihat, biografi singkat As Syarbini dalam Mughni
Al Muhtaj, 1/5)

Bukan hal yang mustahil

Dan informasi amalan salaf itu sulit untuk ditolak, karena periwatan tentang kabar mujahadah para salaf
juga menyertakan sanad yang semua perawinya tsiqah, bahkan hingga kini sebagian tradisi itu masih
tetap hidup di beberapa wilayah.

Di India pada abad 13 H atau kebiasaan shalat tarawih dengan menghatamkan 30 juz dalam semalam
masih dilestarikan. Hal itu diketahui dari fatwa Imam Laknawi, ulama madzhab Hanafi dari India yang
wafat 1304 H, mengenai bolehnya menghatamkan Al Qur`an 30 juz dalam semalam di waktu tarawih,
guna merespon pertanyaan-pertanyaan mengenai kebiasaan umat Islam menghatamkan Al Qur`an
dalam tarawih di zaman itu. (Iqamat Al Hujjah, 154)
Bahkan hingga kini di Mesir, khususnya di wilayah Hay (distrik) As Syafi’i Kairo, para huffadz Al Qur`an
berkumpul untuk melaksanakan shalat tarawih di masjid Ibad Ar Rahman, yang dimulai setelah Isya’ dan
baru selesai ketika tiba waktu sahur, karena sang imam menghatamkan Al Qur`an hingga 30 juz, dengan
bacaan yang agak cepat, tanpa mengabaikan tajwid dan makharij al huruf (tempat-tempat keluarnya
huruf). Tentu, amat berat untuk bisa mengikuti shalat tarawih hingga selesai di masjid ini, kecuali bagi
mereka yang punya azam tinggi dan telah hafal Al Qur`an 30 juz.

Bertentangan dengan Perbuatan Rasulullah?

Mungkin ada yang bertanya-tanya, apakah perbuatan para ulama dan salaf, seperti menghatamkan Al
Qur`an dalam sehari lebih dari sekali, meninggalkan tidur untuk qiyam lail, serta mujahadah lain tidak
bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan Aisyah Radhiyallahu ‘anha? Yang berbunyi: “Aku tidak
mengetahui Nabi Allah membaca Al Qur’an hingga pagi.” (Riwayat Ibnu Majah).

Begitu pula hadits dari Abdullah bin Amru, dimana Rasulullah bersabda: “Tidakkah aku dikabari bahwa
engkau menghabiskan malam untuk shalat dan berpuasa di siang hari?” Aku menjawab, “benar.” Beliau
mengatakan,”Sesungguhnya jika engkau melakukan hal itu matamu akan rusak dan hatimu akan lemah.
Karena badanmu dan keluargamu memiliki hak, berpuasalah dan berbukalah, shalatlah dan tidurlah” .
(Riwayat Al Bukhari).

Imam Laknawi menjelaskan bahwa nabi tidak melakukan amalan-amalan yang berat, karena takut
memberatkan umatnya. Sebagaimana diterangkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha: ”Jika Rasulullah
meninggalkan sebuah amalan yang beliau sukai, itu dikarenakan beliau takut jika manusia
mengamalkannya, dan hal itu menjadi fardhu bagi mereka.” (Riwayat Al Bukhari).

Adapun mengenai hadist Abdullah bin Amru, Rasulullah SAW mengetahui keadaan Abdullah, jika ia
melakukannya maka justru akan membuatnya bosan dalam beribadah dan lalai terhadap kewajiban yang
lain. Oleh karena itulah Rasulullah SAW menasehatinya.

Kesimpulannya, amalan memperbanyak ibadah tetap dibolehkan, selama tidak melalaikan kewajiban
lain. Karena dalam hadits riwayat Al Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah Saw. melakukan shalat malam
hingga kaki beliau bengkak. Di kesempatan lain beliau juga memerintahkan kepada beberapa sahabat
agar malakukan amalan sesuai dengan kemampuan. Tentu, kemampuan masing-masing pribadi berbeda-
beda. Dan Rasulullah SAW juga memerintahkan kita untuk mengikuti para sahabat beliau. Dan banyak
sahabat beliau yang melakukan mujahadah dalam Ibadah, dan itu tidak diingkari oleh sahabat lain.

Ramadhan di Yaman: Khatamkan Shahih Al Bukhari


Yaman, walau terletak di wilayah yang “kurang strategis”, seperti Hijaz, yang selalu dikunjungi umat Islam
dari seluruh negeri untuk haji dan ziarah serta tanahnya yang tandus, sehingga jarang disinggahi
pedagang, tetapi Yaman memiliki “nuansa” tersendiri bagi para penuntut ilmu. Al Hafidz Ibnu Hajar Al
Atsqalani adalah salah satu dari mereka yang tertarik , hingga beliau mengunjungi negeri ini untuk
menimba ilmu.

Itu disebabkan karena di Yaman banyak terdapat ulama, dan memiliki tradisi keilmuan yang cukup kental,
sehingga memberi kontribusi besar lahirnya para ulama fiqih dan hadits. Imam Al Umrani (558 H),
penulis Al Bayan, Al Quraidhi Al Lahji (576 H), penulis Al Mustashfa, As Shan’ani (1182 H) penulis Subul
Al Salam, Imam As Syaukani (1250 H), penulis Nail Al Authar, atau Abdurrahman Al Ahdal Al Yamani
(1258 H) penulis Hasyiyah Syarh Al Madhal, semuanya termasuk deretan ulama negeri itu, yang tidak
diragukan kapasitasnya, baik dalam fiqih maupun hadits. Maka benarlah sabda Rasulullah Saw.:”Iman
dari orang Yaman, Fiqih dari orang Yaman, HikmahYaman.” (Riwayat Al Bukhari)

Hal ini tidaklah mengherankan, karena, baik ulama maupun awam merekamemiliki perhatian terhadap
ilmu, terutama Sunnah, apalagi terhadap Shahih Al Bukhari. Mereka semangat mengkaji, berlomba-
lomba menghafal dan memperoleh sanad. Sehingga aktivitas menyimak Shahih Al Bukhari
“menghidupkan” masjid-masjid, madrasah-madrasah, dan rumah-rumah penduduk.

Shahih Al Bukhari diprioritaskan, karena diakui oleh para ulama bahwa kitab ini memiliki derajat lebih
tinggi dibanding kitab hadits lain.

Pada tahap selanjutnya, menyebarlah “tradisi positif” di berbagai wilayah Yaman, yakni dengan
menjamurnya halaqah Shahih Al Bukhari di bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.

Imam Al Ahdal menjelaskan beberapa alasan, kenapa dipilih Rajab sebagai waktu permulaan halaqah.
Karena bulan itu sudah mendekati Ramadhan, yang mana di dalamnya syariat puasa, zakat, qiyam lail
digalakkan, sehingga umat Islam lebih memahami amalan-amalan itu. Apalagi setelah itu diikuti amalan
haji yang menyangkut manasik dan safar. (Al Mustashfa,15)

Disamping itu, dengan adanya halaqah ini, maka mereka sudah terkondisi dengan aktivitas positif,
yakni thalabul ilmi, sehingga setelah memasuki bulan Ramadhan, waktu tetap terisi dengan amalan
mulia.

Membaca Shahih Al Bukhari yang dilakukan untuk menyambut Ramadhan ini mulai muncul di awal masa
pemerintah Bani Rasul pada tahun 625 H. Dimana penguasa itu memiliki perhatian besar terhadap
keilmuan, khususnya hadits dan memulyakan para ulamanya.

Al Hazraji pernah merekam aktivitas ini pada tahun 881 H, dimana di awal bulan Rajab, para fuqaha
berkumpul di daerah Zabid, Yaman. Lalu mereka bersama-sama menuju Ibnu Yaqub As Syairazi agar ia
bersedia membacakan Shahih Al Bukhari. Di kota yang mendapat julukan madinah ilmi itu para ulama
yang hadir untuk menyimak Shahih Al Bukhari mencapai 800 orang. (Al ‘Uqud Al Lu’lu’iyah, 2/249,250).

Selain di Zabid, di kota Al Marawa’ah juga terdapat halaqah Shahih Al Bukhari yang telah dirintis oleh Al
Ahdal Ali bin Umar (607 H), dan hingga kini “tradisi” itu juga masih hidup, khususnya halaqah yang
dimulai bulan Rajab.

Kota Bait Faqih pun tidak ketinggalan, halaqah Shahih Al Bukhari di wilayah itu dirintis oleh keluarga Alu
Jam’an, yang dikenal sebagai keluarga yang amat mencintai ilmu, periwayatan hadits dan fatwa.

Sedangkan di kota Adn, halaqah kitab yang dinilai paling shahih setelah Al Qur’an itu lebih mudah
ditemui, karena terdapat di lebih dari satu tempat. Yakni di masjid Syeikh Abdullah Al Amudi (697 H),
masjid Husain Sidiq Al Ahdal (903 H), masjid Al Atsqalani yang dinisbatkan kepada Hafidz Ibnu Hajar Al
Atsqalani yang pernah tinggal di kota ini selama 6 bulan. Di masjid itu Syeikh Al Muhadits Al Bijani (1391
H) juga mengajarkan Shahih Al Bukhari, sehingga saat ini masjid itu dikenal dengan masjid Al Bijani. Di
kota Abyat Husain juga masih terdapat halaqah ini.

Halaqah Shahih Al Bukhari seperti jamur di musim hujan, beberapa kota seperti Zaidiyah, Dhuha, Al
Hadidah, dan Ta’z juga masih hidup. Halaqah itu juga biasa dijumpai di komunitas Hadrami.
Oleh karena itu, banyak Muslim Yaman yang memiliki sanad yang menyambung hingga Imam Al Bukhari,
dan sanad itu masih terus tersambung sampai zaman ini, yang merupakan lanjutan dari rantai
periwayatan para ulama dan hufadz ternama di setiap zaman.

Sesuai dengan perkataan para salaf ,”Bulan Rajab untuk menanam, Sya’ban untuk menyiram dan
Ramadhan untuk menyemai”. Rupanya, umat Islam Yaman tidak hanya menyemai pahala amalan pada
bulan itu, karena banyak pula ilmu yang berhasil mereka “reguk” selama tiga bulan. Sehingga ilmu dan
amal selalu beriringan.

https://almanar.wordpress.com/2008/12/17/m
ujahadah-para-salaf-dan-ulama-di-bulan-
ramadhan/
 Home

 Menu1

 Sub1

 Sub2

 Sub3

 Menu2

 Sub1

 Sub2

 Sub3

 Menu3

 Sub1

 Sub2

 Sub3

 Menu

 Submenu1

 Submenu2

 Submenu3
 Statis

 Error

Home » Ibadah » Kisah » Para Ulama Salaf di Bulan Ramadhan

Para Ulama Salaf di Bulan Ramadhan


Ibadah, Kisah

Generasi as-salafush shalih mereka adalah orang-orang yang mengetahui betapa


berharganya bulan yang penuh barakah ini, mereka melewati bulan tersebut
dengan penuh keseriusan dan bersungguh-sungguh untuk melakukan amal shalih
dengan mengharapkan ridha Allah dan mengharap ganjaran-Nya. Telah tetap
bahwasanya mereka dahulu berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar Allah
menyampaikan mereka kembali kepada Ramadhan kemudian mereka juga berdo’a
kepada-Nya selama 6 bulan agar Dia menerima amalan-amalan mereka.
Generasi as-salafush shalih mereka adalah orang-orang yang mengetahui betapa
berharganya bulan yang penuh barakah ini, mereka melewati bulan tersebut
dengan penuh keseriusan dan bersungguh-sungguh untuk melakukan amal shalih
dengan mengharapkan ridha Allah dan mengharap ganjaran-Nya. Telah tetap
bahwasanya mereka dahulu berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar Allah
menyampaikan mereka kembali kepada Ramadhan kemudian mereka juga berdo’a
kepada-Nya selama 6 bulan agar Dia menerima amalan-amalan mereka.

Abdul Aziz bin Abi Daud berkata : “Aku mendapati mereka bersungguh-sungguh
dalam beramal shalih. Ketika mereka telah melakukannya, mereka pun ditimpa
kekhawatiran, apakah amalan mereka diterima atau tidak.”

Maka kemarilah wahai saudaraku yang mulia! Kita lihat sebagian keadaan para
salaf ketika bulan Ramadhan dan bagaimana semangat, keinginan yang kuat, dan
kesungguhan mereka dalam beribadah agar kita bisa berupaya meneladaninya, dan
agar kita termasuk orang yang mengerti kedudukan bulan Ramadhan ini sehingga
kita pun mau serius beramal shalih padanya.

Pertama : ‘Ulama Salaf dan Membaca Al-Quran.

Ibnu Rajab bekata: Dalam hadits Fathimah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau mengabarkan kepadanya:

‫ن جبريل عليه السلم كان يعارضه القرآن كل عام‬‫أ ن‬


‫مرتين‬ ‫وفاته‬ ‫عام‬ ‫في‬ ‫عارضه‬ ‫وأننه‬ ‫مرةة‬
Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam menyimak Al-Qur’an yang dibacakan Nabi sekali
pada setiap tahunnya, dan pada tahun wafatnya Nabi, Jibril menyimaknya dua kali.
(Muttafaqun ‘Alaihi)

Dan dalam hadits Ibnu Abbas:

‫ليل ة‬ ‫كانت‬ ‫جبريل‬ ‫وبين‬ ‫بينه‬ ‫المدارسة‬ ‫ن‬


‫أ ن‬
Bahwasanya pengkajian terhadap Al-Qur’an antara beliau dengan Jibril terjadi pada
malam bulan Ramadhan. (Muttafaqun ‘Alaihi).

Hadits ini menunjukkan disunnahkannya memperbanyak membaca Al-Quran pada


malam bulan Ramadhan, karena waktu malam terputus segala kesibukan,
terkumpul pada malam itu berbagai harapan, hati dan lisan pada malam bisa
berpadau untuk bertaddabur, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman

‫قيل ة‬
‫ق‬ ‫م‬
‫و م‬ ‫وأ و ق‬
‫ق و‬ ‫و‬ ‫طءا ة‬
‫و ق‬
‫و‬ ‫أو و‬
‫شد د‬ ‫ي‬
‫ه و‬
‫ق‬ ‫الل لي ق ق‬
‫ل‬ ‫شئ و و‬
‫ة‬ ‫ونا ق‬ ‫ن‬
‫إق ل‬
Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan
bacaan di waktu itu lebih berkesan. (Al-Muzammil: 6)
Bulan Ramadhan mempunyai kekhususan tersendiri dengan (diturunkannya) Al-
Qur’an, sebagaimana Allah ta’ala berfirman

‫ل‬ ‫ه ال ق م‬ ‫م‬
‫س‬
‫دى لللنا ق‬ ‫ه ة‬
‫ن م‬
‫ققرآ م‬ ‫في ق‬ ‫ز و‬
‫ل ق‬ ‫ي أن ق‬
‫ذ و‬‫ن ال ل ق‬
‫ضا و‬
‫م و‬
‫همر ور و‬ ‫ش ق‬ ‫و‬
‫ن‬ ‫فقر و‬
‫قا ق‬ ‫وال ق م‬
‫و‬ ‫دى‬ ‫ال ق م‬
‫ه و‬ ‫ن‬
‫م و‬ ‫ل‬ ‫ت‬
‫وب وي لونا ت‬ ‫و‬
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (Al-Baqarah: 185) Latha’iful
Ma’arif hal. 315.

Oleh kerena itulah para ‘ulama salaf rahimahumullah sangat bersemangat untuk
memperbanyak membaca Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, sebagaimana yang
dijelaskan dalam Siyar A’lamin Nubala’, di antaranya:

o Dahulu Al-Aswad bin Yazid mengkhatamkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan


setiap dua malam, beliau tidur antara Magrib dan Isya’. Sedangkan pada selain
bulan Ramadhan beliau mengkhatamkan Al Qur’an selama 6 hari.

o Al-Imam Malik bin Anas jika memasuki bulan Ramadhan beliau


meninggalkan pelajaran hadits dan majelis ahlul ilmi, dan beliau
mengkonsentrasikan kepada membaca Al Qur’an dari mushaf.

o Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri jika datang bulan Ramadhan beliau


meninggalkan manusia dan mengkonsentrasikan diri untuk membaca Al Qur’an.

o Said bin Zubair mangkhatamkan Al-Qur’an pada setiap 2 malam.

o Zabid Al-Yami jika datang bulan Ramadhan beliau menghadirkan mushaf dan
murid-muridnya berkumpul di sekitarnya.

o Al-Walid bin Abdil Malik mengkhatamkan Al-Qur’an setiap 3 malam sekali,


dan mengkhatamkannya sebanyak 17 kali selama bulan Ramadhan.

o Abu ‘Awanah berkata : Aku menyaksikan Qatadah mempelajari Al-Qur’an


pada bulan Ramadhan.
o Qatadah mengkhatamkan Al-Qur’an pada hari-hari biasa selama 7 hari, jika
datang bulan Ramadhan beliau mengkhatamkannya selama 3 hari, dan pada 10
terakhir Ramadhan beliau mengkhatamkannya pada setiap malam.

o Rabi’ bin Sulaiman berkata: Dahulu Al-Imam Syafi’i mengkhatamkan Al-


Qur’an pada bulan Ramadhan sebanyak 60 kali, dan pada setiap bulannya (selain
Ramadhan) sebanyak 30 kali.

o Waki’ bin Al-Jarrah membaca Al-Quran pada malam bulan Ramadhan serta
mengkhatamkannya ketika itu juga dan ditambah sepertiga dari Al Qur’an, shalat
12 rakaat pada waktu dhuha, dan shalat sunnah sejak ba’da zhuhur hingga ashar.

o Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mengkhatamkan Al Qur’an pada


siang bulan Ramadhan setiap harinya dan setelah melakukan shalat tarawih beliau
mengkhatamkannya setiap 3 malam sekali.

o Al-Qasim bin ‘Ali berkata menceritakan ayahnya Ibnu ‘Asakir (pengarang


kitab Tarikh Dimasyqi): Beliau adalah seorang yang sangat rajin melakukan shalat
berjama’ah dan rajin membaca Al-Qur’an, beliau mengkhatamkannya setiap
Jum’at, dan mengkhatamkannya setiap hari pada bulan Ramadhan serta beri’tikaf
di menara timur.

Faidah

Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata: Bahwasanya larangan mengkhatamkan Al-Quran


kurang dari tiga hari itu adalah apabila dilakukan secara terus menerus. Adapun
pada waktu-waktu yang terdapat keutamaan padanya seperti bulan Ramadhan
terutama pada malam-malam yang dicari/diburu padanya lailatul qadr atau pada
tempat-tempat yang memiliki keutamaan seperti Makkah bagi siapa saja yang
memasukinya selain penduduk negeri itu, maka disukainya untuk memperbanyak
membaca Al-Qur’an, dalam rangka memanfaatkan (keutamaan) waktu dan tempat
tersebut. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, dan selainnya dari kalangan ulama’ .
(Latha’iful Ma’arif).

Kedua : ‘Ulama Salaf dan shalat malam (tarawih).

Shalat tarawih ini merupakan kebiasaan orang-orang shalih, perniagaan kaum


mu’minin, dan amalannya orang-orang yang meraih kemenangan. Pada waktu
malam orang-orang yang beriman menyendiri dengan Rabbnya, menghadap
kepada Penciptanya, mengadukan keadaan mereka seraya memohon kepada-Nya
keutamaan-Nya. Jiwa-jiwa mereka berada di antara kedua tangan Pencitanya,
beri’tikaf untuk bermunajat kepada Penciptanya. Mereka berupaya mendapat
percikan cahaya dari ibadah tersebut, berharap dan bersimpuh diri atas adanya
berbagai pemberian dan karunia (dari Rabbnya).

o Al-Hasan Al-Bashri berkata : Aku tidak mendapati suatu ibadah pun yang
lebih besar nilainya daripada shalat pada pertengahan malam.

o Abu ‘Utsman An-Nahdi berkata: Aku bertamu kepada Abu Hurairah selama 7
hari, maka beliau, istri dan pembantunya membagi malam menjadi 3 bagian, yang
satu shalat ini kemudian membangunkan yang lainnya.

o Dahulu Syaddad bin Aus jika beranjak untuk beristirahat di ranjangnya,


kondisinya bagaikan biji yang berada di atas penggorengan (yakni tidak tenang)
kemudian berdoa : Ya Allah! Sesungguhnya Jahannam (terus mengancam)! Jangan
Engkau biarkan aku tidur. Maka beliau pun bangun dan langsung menuju tempat
shalatnya.

o Dahulu Thawus melompat dari atas tempat tidurnya kemudian langsung


bersuci dan menghadap qiblat (melakukan shalat) hingga datang waktu shubuh dan
berkata : Mengingat Jahannam akan menghentikan tidurnya para ahli ibadah.

o Dari As-Saib bin Yazid dia berkata: Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu
memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari radhiyallahu ‘anhuma
mengimami manusia pada malam Ramadhan (dalam shalat tarawih). Kemudian
sang imam membaca 200 ayat, hingga kami bersandar kepada tongkat-tongkat
karena lamanya berdiri, tidaklah kami selesai dari shalat kecuali telah mendekati
waktu shubuh. (HR. Al-Baihaqi).

o Dari Malik bin ‘Abdillah bin Abi Bakr, dia bekata : Aku mendengar ayahku
berkata: Dahulu kami selesai dari shalat malam pada bulan Ramadhan, kami pun
bersegera mempersiapkan makan karena takut datangnya waktu shubuh. (HR.
Malik dalam Al Muwaththa’).

o Dari Dawud bin Al-Hushain, dari ‘Abdurrahman bin Hurmuz, dia berkata:
Para qari’ (para imam tarawih) dahulu membaca surat Al-Baqarah dalam delapan
raka’at. Maka ketika para qari’ (para imam tarawih) membacanya dalam 12 raka’at,
orang-orang melihat bahwa para imam tersebut telah meringankan bacaan untuk
mereka. (HR. Al Baihaqi)

o Nafi’ berkata: Dahulu Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma tinggal di rumahnya


pada bulan Ramadhan. Ketika orang-orang telah pergi dari masjid, beliau
mengambil sebuah wadah yang berisi air kemudian keluar menuju masjid
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau tidak keluar dari masjid sampai
tiba waktu shalat shubuh di masjid tersebut. (HR. Al Baihaqi)

o Dari Nafi’ bin ‘Umar bin Abdillah, dia berkata: aku mendengar Ibnu Abi
Mulaikah berkata: Dahulu aku pernah mengimami manusia pada bulan Ramadhan,
aku membaca pada suatu raka’at surat Alhamdulillahi Fathir (surat Fathir) dan yang
semisalnya. Tidak sampai kepadaku bahwa ada seorang pun yang merasa
keberatan dengannya. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

o Dari ‘Imran bin Hudair, dia berkata: Dahulu Abu Mijlaz tinggal di sebuah
perkampungan, pada bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan Al-Qur’an setiap
tujuh hari. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

o Dari Abdush Shamad, dia berkata: Abul Asyhab telah memberitakan


kepadaku, dia berkata: Dahulu Abu Raja’ mengkhatamkan Al Qur’an ketika
mengimami kami pada sholat malam bulan Ramadhan setiap sepuluh hari.

Sebab-sebab bathiniyah untuk seseorang bisa bangun malam ada empat perkara

Pertama: Selamatnya hati dari hasad terhadap kaum muslimin, selamatnya hati
dari kebid’ahan dan sesuatu yang tidak bermanfaat dari perkara duniawi.

Kedua: Senantiasa hatinya terbiasa takut disertai dengan pendek angan-angan.

Ketiga: Mengetahui keutamaan shalat malam.

Keempat: Ini adalah faktor pendorong yang paling mulia, yaitu cinta karena Allah
dan kuatnya iman bahwasanya dalam shalatnya tersebut tidaklah dia berucap
dengan satu huruf pun melainkan dia sedang bermunajat kepada Rabbnya.
Ketiga : ‘Ulama Salaf dan sifat pemurah dan dermawan ketika menyambut bulan
Ramadhan

1. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:

‫كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس‬


‫ن‬
‫ إ ن‬،‫ وكان أجود ما يكون في شهر رمضان‬،‫بالخير‬
‫جبريل عليه السلم كان يلقاه في كل سنة في رمضان‬
‫حتى ينسلخ فيعرض عليه رسول الله صلى الله عليه‬
‫ فإذا لقيه جبريل كان رسول الله صلى‬،‫وسلم القرآن‬
‫الله عليه وسلم أجود بالخير من الريح المرسلة‬.
Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling pemurah dalam
memberikan kebaikan, dan sifat pemurah beliau yang paling besar adalah ketika
Ramadhan. Sesungguhnya Jibril biasa berjumpa dengan beliau, dan Jibril ‘alaihis
salam senantiasa menjumpai beliau setiap malam bulan Ramadhan sampai selesai
(habis bulan Ramadhan), Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan padanya Al
Qur’an. Ketika berjumpa dengan Jibril’ alaihissalam, beliau sangat dermawan
kepada kebaikan daripada angin yang berhembus. (Muttafaqun ‘Alaihi)

Al-Muhallab berkata: “Dalam hadits tersebut menunjukkan barakahnya beramal


kebajikan dan sebagian amalan kebajikan itu akan membuka dan membantu untuk
dikerjakannya bentuk amalan kebajikan yang lain. Tidakkah kamu tahu bahwa
barakahnya puasa, perjumpaan (Nabi) dengan Jibril, dan dibacakannya Al-Qur’an
kepadanya akan menambah kesungguhan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
beribadah dan bershadaqah sampai-sampai digambarkan lebih cepat daripada
angin yang berhembus.”

Az-Zain bin Al-Munayyir berkata: Yakni semua bentuk kebaikan beliau, baik tatkala
dalam kondisi fakir dan butuh maupun dalam kondisi kaya dan berkecukupan
merata lebih daripada meratanya air hujan menimpa bumi yang dihembuskan
angin.

Ibnu Rajab berkata : Asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata: Yang paling dicintai
bagi seseorang adalah semakin bertambah kedermawanannya pada bulan
Ramadhan dalam rangka meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan
karena kebutuhan manusia agar tercukupi keperluan-keperluan mereka, serta agar
mereka tersibukkan dengan ibadah puasa dan shalat dari pekerjaan mereka.”

2- Adalah Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berpuasa dan tidak berbuka kecuali
bersama orang-orang miskin, namun jika keluarganya menghalangi mereka
darinya, maka ia tidak makan pada malam itu. Jika ada seorang peminta datang
kepada beliau dalam keadaan beliau sedang makan, beliau mengambil bagiannya
dan memberikan kepada si peminta tersebut, beliau pun kembali dan keluarganya
telah memakan apa yang tersisa di mangkuk tempat makanan. Maka beliau
berpuasa pada pagi harinya dan tidak memakan sesuatu apapun.

3- Yunus bin Yazid berkata: Dahulu Al-Imam Ibnu Syihab rahimahullah jika
memasuki bulan Ramadhan, beliau isi bulan tersebut dengan membaca Al-Quran
dan memberi makan.

4- Adalah Hammad bin Abi Salamah rahimahullah memberi jamuan berbuka pada
bulan Ramadhan kepada 500 orang dan setelah ‘idul fithri beliau memberi masing-
masing mereka dengan 500 dirham.

Keempat : Sedikit makan

1. Ibrahim bin Abi Ayyub berkata : Dahulu Muhammad bin ‘Amr Al-Ghazy pada
bulan Ramadhan makan hanya dua kali.

2. Abul ‘Abbas Hasyim bin Al-Qasim berkata : Dahulu aku pernah di sisi Al-
Muhtadi (salah satu khalifah Bani ‘Abbas) pada sore hari di bulan Ramadhan,
kemudian aku berdiri untuk pergi, maka dia (Al Muhtadi) berkata: duduklah. Maka
aku pun duduk, kemudian dia mengimami shalat. Setelah itu dia meminta untuk
dihidangkan makanan, maka dihidangkanlah kepada dia satu nampan yang di
dalamnya terdapat roti dan tempat yang yang berisi garam, minyak, dan cuka.
Kemudian dia mengundangku untuk makan, maka aku pun makan layaknya orang
yang menunggu hidangan makanan yang lain. Dia berkata: bukankah besok
engkau masih berpuasa? Aku katakan: tentu. Dia berkata: makanlah dan cukupkan
makanmu karena tidak ada makanan yang lain selain apa yang kamu lihat ini.

Kelima : Menjaga lisan, sedikit bicara, menjaga diri dari dusta

1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu


‘alaihi wasallam bersabda

‫ة في‬‫من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاج ة‬


‫وشرابه‬ ‫طعامه‬ ‫يدع‬ ‫أن‬
Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan yang haram dan melakukan
perbuatan haram, maka Allah tidak butuh kepada jerih payahnya meninggalkan
makan dan minumnya. (HR. Al-Bukhari)

Al-Muhallab berkata: Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa hukum puasa itu
adalah menahan diri dari perbuatan keji dan perkataan dusta sebagaimana dia
menahan diri dari makan dan minum. Barangsiapa yang tidak menahan dirinya dari
perkara-perkara tersebut, maka sungguh hal itu akan mengurangi nilai puasanya,
menyebabkan murka Allah dan tidak diterimanya puasa dia.

2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

‫إذا أصبح أحدكم يوما ة صائما ة فل يرفث ول يجهل فإن‬


‫م‬ ‫ إني صائ ة‬:‫ؤ شاتمه أو قاتله فليقل‬
‫م إني صائ ة‬ ‫امر ة‬

Jika pada suatu hari salah seorang dari kalian berpuasa, maka janganlah berbuat
keji ataupun bertindak jahil, jika ada seseorang yang mencelanya atau
memusuhinya, maka katakanlah: aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa. (HR.
Muslim)

Al-Maziri berkata -menjelaskan kalimat ‘aku sedang berpuasa’-: mungkin juga yang
dimaksud dengannya adalah dia mengajak bicara kepada dirinya sendiri dalam
rangka memperingatkan dari perbuatan mencela ataupun bermusuhan.

3. ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata :

‫ليس الصيام من الطعام والشراب وحده ولكنه من‬


‫والحلف‬ ‫واللغو‬ ‫والباطل‬ ‫الكذب‬
Bukanlah puasa itu sebatas menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi
puasa itu menahan diri dari perkataan dusta, perbuatan bathil, sia-sia, dan sumpah
yang tidak ada gunanya. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

4. Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :

‫ن الصيام ليس من الطعام والشراب ولكن من الكذب‬


‫إ ن‬
‫واللغو‬ ‫والباطل‬
Sesungguhnya puasa itu tidaklah sebatas menahan diri dari makan dan minum
saja, akan tetapi puasa itu menahan diri dari perkataan dusta, perbuatan batil dan
sia-sia. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

5. Dari Thalq bin Qais, dia berkata: Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu berkata :

‫استطعت‬ ‫ما‬ ‫فتحفظ‬ ‫صمت‬ ‫إذا‬


Jika kamu berpuasa, maka jagalah dirimu semaksimal kemampuanmu.

Adalah Thalq ketika berpuasa, dia masuk rumahnya dan tidak pernah keluar kecuali
untuk mengerjakan shalat. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

6. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Jika kamu
berpuasa, maka jagalah pendengaran, penglihatan, dan lisanmu dari berdusta dan
jagalah dirimu dari perbuatan dosa, jangan menyakiti pembantu, wajib atas kamu
untuk bersikap tenang, (terlebih) pada saat kamu berpuasa, jangan kamu jadikan
hari berbukamu (tidak puasa) dengan hari berpuasamu sama. (HR. Ibnu Abi
Syaibah dalam Kitab Ash-Shiyam Bab ‘Perkara yang diperintahkan kepada orang
yang berpuasa berupa sedikit bicara dan menjaga diri dari berdusta’, II/422)

7. Dan dari ‘Atha’, dia berkata: Aku mendengar Abu Hurairah berkata: Jika
kamu berpuasa, maka janganlah bertindak jahil, dan jangan mencaci maki. Jika
kamu diperlakukan jahil, maka katakanlah: aku sedang berpuasa. (HR.
Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf)

8. Dan dari Mujahid, dia berkata: ada dua perangai yang barangsiapa menjaga
diri darinya, puasanya akan selamat, yakni (1) ghibah, dan (2) berdusta. (HR. Ibnu
Abi Syaibah)
9. Dan dari Abul ‘Aliyah, dia berkata: Puasa itu akan bernilai ibadah selama
pelakunya tidak berbuat ghibah. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Keadaan Salaf terkait dengan waktu

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata : Wahai anak Adam! Sesungguhnya kamu


itu adalah seperti hari-hari, jika satu hari telah pergi, maka telah hilanglah sebagian
dari dirimu.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah juga berkata : Wahai anak Adam! Waktu siangmu
adalah tamumu, maka berbuat baiklah kepadanya, karena sesungguhnya jika kamu
berbuat baik kepadanya, dia akan pergi dengan memujimu, dan jika kamu bersikap
jelek padanya, maka dia akan pergi dalam keadaan mencelamu, demikian juga
waktu malammu.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah juga berkata : Dunia itu ada tiga hari: (1) Adapun
kemarin, maka dia telah pergi dengan amalan-amalan yang kamu lakukan
padanya, (2) adapun besok, mungkin saja kamu tidak akan menjumpainya lagi, (3)
dan adapun hari ini, maka ini untukmu, maka beramallah pada saat itu juga.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: Tidaklah aku menyesal terhadap sesuatu
sebagaimana menyesalku ketika pada hari yang matahari telah tenggelam
sementara umurku berkurang padahal amalanku tidak bertambah pada hari itu.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Menyia-nyiakan waktu itu lebih buruk daripada
kematian, karena menyia-nyiakan waktu itu memutuskan kamu dari Allah dan
negeri akhirat, sementara kematian itu memutuskan kamu dari dunia dan
penghuninya.

As-Suri bin Al-Muflis rahimahullah berkata: Jika kamu merasa sedih karena
hartamu berkurang, maka menangislah karena berkurangnya umurmu.

Penutup

Kita memohon kepada Allah agar menyampaikan kita kapada Ramadhan, dan agar
Allah menerima amalan-amaln kita, puasa kita, shalat malam kita, dan mudah-
mudahan Allah membebaskan kita dari An Nar. Allahumma Amin.
‫العالمين‬ ‫رب‬ ‫لله‬ ‫الحمد‬ ‫أن‬ ‫دعوانا‬ ‫وآخر‬

‫وصلى الله على نبينا محمد صلى الله عليه وسلم‬


‫وعلى آله وأزواجه وصحبه ومن تبعهم باحسان الى‬
‫الدين‬ ‫يوم‬
http://www.assalafy.org/mahad/?p=351#more-351

http://cahayaummulquro.com/kebiasaan-kaum-salaf-di-bulan-ramadhan/

Cara Sahabat Menyambut Ramadhan


Asfuri Bahri, Lc 02/07/13 | 22:40 Tazkiyatun Nufus Belum ada komentar31.095 Hits
ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Saya sampaikan salam dan selamat kepada Anda semua, yang tengah berada di
akhir Sya’ban ini. Semoga Allah menyampaikan kita semua di bulan Ramadhan yang sebentar lagi akan
datang. Tamu agung itu begitu mulia membawa berbagai kebaikan dan keberkahan, menjanjikan
ampunan dan rahmat bagi yang menyambutnya dan berinteraksi dengannya dengan penuh keimanan
dan harapan kepada Allah. Amal perbuatan dilipat-gandakan pahalanya dan dosa-dosa diampuni. Doa
dan munajat didengar dan dikabulkan Allah. Bahkan, padanya terdapat satu malam yang lebih baik
daripada seribu bulan.
Terdapat dua sikap orang dalam menyambut dan menghadapi bulan penuh keberkahan ini. Pertama,
orang yang bergembira dan penuh antusias serta suka cita dalam menyambut bulan Ramadhan. Karena
baginya, bulan Ramadhan adalah kesempatan yang Allah anugerahkan kepada siapa yang dikehendaki
untuk menambah bekal spiritual dan bertaubat dari semua dosa dan kesalahan. Ramadhan baginya
adalah bulan bonus dimana Allah melipatgandakan pahala amal kebaikan. Maka segala sesuatunya
dipersiapkan untuk menyambut dan mengisinya. Baik mental, ilmu, fisik, dan spiritual. Bahagia, karena di
bulan terdapat janji dijauhkannya seseorang dari api neraka. Dan itu merupakan kemenangan yang
membahagiakan. Firman Allah,

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah
disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, Maka
sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.” (Ali Imran: 185)
Sedangkan yang kedua adalah menyambutnya dengan sikap yang dingin. Tidak ada suka-cita dan
bahagia. Baginya, Ramadhan tidak ada ubahnya dengan bulan-bulan lain. Orang seperti ini tidak bisa
memanfaatkan Ramadhan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Dosa dan
kesalahan tidak membuatnya risau dan gelisah hingga tak ada upaya maksimal untuk menghapusnya
dan menjadikan Ramadhan sebagai momen untuk kembali kepada Allah.

Bahkan, ia sambut bulan Ramadhan dengan kebencian. Sebab bulan suci ini hanya akan
menghambatnya melakukan dosa dan kemaksiatan, sebagaimana yang dilakukannya di bulan-bulan lain.
Hatinya tertutup dan penuh benci kepada kebaikan. Menyaksikan kaum Muslimin berlomba-lomba dalam
kebaikan, mengisi hari-hari mereka dengan ibadah adalah pemandangan yang tidak disukainya. Dan
syetan telah menghembuskan kebencian dalam hatinya hingga Ramadhan bagai neraka baginya.
Semoga kita dijauhkan dari sikap dan sifat ini.

Allah berfirman,

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf:
179)
Ia tidak menggunakan akal dan hatinya untuk mencerna kebaikan yang berguna bagi kehidupannya.
Padahal pada tradisi setiap masyarakat hari-hari tertentu atau bulan-bulan tertentu yang memiliki
keistimewaan di banding hari dan bulan yang lain. Sebagaimana pada masyarakat jahiliyah sebelum
Islam terdapat Yaumul ‘Afwi (Hari Pengampunan) bagi para pembesar Quraisy. Sebagaimana Nu’man bin
Al-Mundzir, ia memiliki Hari Pengampunan. Pada hari tersebut kaumnya datang kepadanya untuk
mendapatkan ampunan darinya. Maka ia mengampuni mereka yang salah, membebaskan tawanan,
memberikan amnesti, dan membebaskan kaumnya dari membayar pajak.
Rasulullah menyambut bulan Ramadhan penuh perasaan bahagian dan suka-cita. Beliau ingatkan para
sahabat agar menyiapkan diri mereka untuk menyambut dan mengisinya dengan amal. Diriwayatkan oleh
Salman Al-Farisi bahwa Rasulullah berceramah di harapan para sahabat di akhir Sya’ban, beliau
bersabda,

“Wahai sekalian manusia. Kalian akan dinaungi oleh bulan yang agung nan penuh berkah. Padanya
terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu malam. Allah menjadikan puasa di bulan itu sebagai
kewajiban dan qiyamnya sebagai perbuatan sunnah. Siapa yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan
amal kebaikan seolah-olah ia telah melakukan kewajiban di bulan lain. Dan barangsiapa melakukan
kewajiban pada bulan itu maka ia seolah telah melakukan tujuh puluh kewajiban di bulan lain. Ia adalah
bulan kesabaran dan kesabaran itu adalah jalan menuju surga. Ia adalah bulan keteladanan dan bulan
dimana rezki dimudahkan bagi orang mukmin. Siapa memberi buka kepada orang yang berpuasa maka
ia mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya dan lehernya diselamatkan dari api neraka. Ia juga
mendapatkan pahalanya tanpa mengurangi pahala orang itu sedikit pun.” Sahabat bertanya, “Ya
Rasulullah, tidak semua kita bisa memberi buka bagi orang puasa.” Rasulullah menjawab, “Allah
memberi pahala yang sama kepada orang yang memberi buka walau sekadar kurma dan seteguk air
atau seteguk air susu. Ia adalah bulan dimana permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan, dan
ujungnya diselamatkannya seseorang dari neraka. Barangsiapa meringankan budaknya Allah
mengampuninya dan membebaskannya dari neraka. Perbanyaklah kalian melakukan empat hal: dua hal
pertama Allah ridha kepada kalian, yaitu mengucapkan syahadat tiada ilah selain Allah dan meminta
ampunan kepada-Nya. Sedangkan hal berikutnya adalah yang kalian pasti membutuhkannya; yaitu agar
kalian meminta surga kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari neraka. Barangsiapa memberi
minum orang berpuasa maka Allah akan memberinya minum dari telagaku yang tidak akan pernah haus
sampai dia masuk ke dalam surga.” (Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Para sahabat dan salafus-shalih pun senantiasa menyambut bulan Ramadhan dengan bahagia dan
persiapan mental dan spiritual. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khatthab menyambutnya dengan
menyalakan lampu-lampu penerang di masjid-masjid untuk ibadah dan membaca Al-Qur’an. Dan konon,
Umar adalah orang pertama yang memberi penerangan di masjid-masjid. Sampai pada zaman Ali bin Abi
Thalib. Di malam pertama bulan Ramadhan ia datang ke masjid dan mendapati masjid yang terang itu ia
berkata, “Semoga Allah menerangi kuburmu wahai Ibnul Khatthab sebagaimana engkau terangi masjid-
masjid Allah dengan Al-Qur’an.”

Diriwayatkan Anas bin Malik bahwa para sahabat Nabi saw jika melihat bulan sabit Sya’ban mereka serta
merta meraih mushaf mereka dan membacanya. Kaum Muslimin mengeluarkan zakat harta mereka agar
yang lemah menjadi kuat dan orang miskin mampu berpuasa di bulan Ramadhan. Para gubernur
memanggil tawanan, barangsiapa yang meski dihukum segera mereka dihukum atau dibebaskan. Para
pedagang pun bergerak untuk melunasi apa yang menjadi tanggungannya dan meminta apa yang
menjadi hak mereka. Sampai ketika mereka melihat bulan sabit Ramadhan segera mereka mandi dan
I’tikaf.”

Banyak membaca Al-Qur’an adalah salah satu kegiatan para salafus-shalih dalam menyiapkan diri
mereka menyambut Ramadhan. Karena Ramadhan adalah bulan dimana Al-Qur’an diturunkan.
Bersedekah dan menunaikan semua kewajiban. Juga menunaikan semua tugas dan kewajiban sebelum
datang Ramadhan. Sehingga bisa konsentrasi penuh dalam mengisi hari-hari Ramadhan tanpa
terganggu oleh hal-hal lain di luar aktivitas ibadah di bulan suci ini.

Bukan dengan kegiatan fisik dan materi yang mereka siapkan, namun hati, jiwa, dan pikiran yang mereka
hadapkan kepada Allah. Bukan sibuk dengan pakaian baru dan beragama makanan untuk persiapan
lebaran yang mereka siapkan, namun semua makanan rohani dan pakaian takwa hingga mendapatkan
janji Ramadhan.

Ibnu Mas’ud Al-Ghifari menceritakan,


‫ت أ هْلمإتي أيمن يتهْكموين اْللسينهْة هْكلديهاً يريم ي‬
”‫ضاًين‬ ‫ضاًين يليتيملن م‬ ‫يوأييهلل يريم ي‬- ‫ت ييمومم‬
‫ “يلمو ييمعيلهْم اْملإعيباًهْد يماً إفي يريم ي‬:‫ يفيقاًيل‬-‫ضاًين‬ ‫صللىَ اهْ يعيلميإه يويسلليم يذاْ ي‬ ْ‫“يسإممع ه‬
‫ت يرهْسمويل إ‬
‫ا ي‬

“Aku mendengar Rasulullah saw –suatu hari menjelang Ramadhan – bersabda, “Andai para hamba
mengetahui apa itu Ramadhan tentu umatku akan berharap agar sepanjang tahun itu Ramadhan.”

Marilah kita singsingkan lengan baju dan kencangkan ikat pinggang untuk menyambut jenak-jenak
Ramadhan yang kian saat kian mendekat. Semoga kita disampaikan di bulan suci tersebut. Dan kita tidak
tahu apakah Ramadhan kali ini kita mendapatinya. Juga kita tidak tahu apakah ketika mendapatinya ia
menjadi Ramadhan yang terakhir bagi kita. Seperti tahun-tahun lalu. Wallahu a’lam.

Sumber: https://www.dakwatuna.com/2013/07/02/36097/cara-sahabat-menyambut-
ramadhan/#ixzz5DTB5gASP
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

https://www.dakwatuna.com/2013/07/02/36097/cara-sahabat-menyambut-
ramadhan/#axzz5DT5MT35E

untuk semua orang pastinya sekarang ini sudah tidak asing lagi ketika mendengar bulan ramadhan
bahkan untuk orang non muslim pastinya juga sudah paham betul kalau bulan ini akan datang 1 tahun
sekali, namun sebagai muslim yang baik pastinya kita juga harus mengentahui asal-muasalnya dengan
detail, jangan sampai kita hidup dengan agama yang hanya ikut-ikutan saja dan tidak mendalami dengan
detail dan juga jelas, karena bisa diakui kalau memang banyak sekali remaja yang sekarang ini tidak tahu
sama sekali kenapa ada bulan puasa ini, bahkan untuk anak-anak yang duduk di SMA atau SMP senang
datangnya bulan ini karena adanya libur panjang namun tidak mengetahui asal muasal kenapa adanya
bulan ramadhan ini

Dan sejak zaman dahulu sebelum adanya agama islam ini, masyarakat bangsa arab itu telah
mempergunakan tahun qomariyah walaupun tidak semua masyarakat jahiliah pada seluruh jaziriah di
negara arab ini sepakat untuk menentukan kalender, sehingga dulu bangsa arab ini memiliki
penanggalan yang berbeda-beda, namun walaupun berbeda-beda mereka tetap menggunakan kalender
qamariyah untuk membuat konsep penanggalan untuk suku mereka masing-masing, sedangkan kalender
qamariyah yang ada saat ini itu masih sama dengan kalender qamariyah yang berlaku dahulu kala,
didalam 1 tahun itu memiliki 12 bulan sedangkan datangnnya awal bulan itu ditentukan dari datangnyya
hilal (bulan sabit yang pertama)

Sedangkan bulan Muharram itu ditetapkan sebagai awal tahun, dan juga mereka menetapkan ada 4
bulan haram atau bulan suci ini, dan mereka sangatlah menghormati bulan haram ini dan melakukan
penghormatan dengan cara melarang perang antar suku dan golongan pada 4 bulan haram ini, dan ada
sebagian informasi yang memberikan pernyataan kalau ada 5 bulan yaitu, rabi’ul awal, rabi’ul akhir,
jumadil awal, jumadil akhir dan juga ramadhan, dan nama-nama ini diambil dari keadaan musim yang ada
pada bulan-bulan tersebut
 Untuk Rabi’ul awal dan juga rabi’ul akhir itu diambil dari kata-kata rabi’ yang memiliki arti semi,
karena pada masa itu bertepatan dengan adanya musim semi sehingga dinamakan rabi’
 Jumadil awal dan jumadil akhir, sedangkan kata itu diambil dari kata jamad yang memiliki arti
beku, dan hal ini terjadi karena pada bulan bulan ini terdapat musim dingin dan air-air yang ada
disekitarnya menjadi beku
 Dan untuk bulan Ramadhan ini diambil dari kata Ramdha yang memiliki arti panas, dan memang
nama ini diambil karena bulan ini memang bertepatan dengan adanya musmim panas
Sejarah Bulan Ramadhan

Dan Sejarah bulan ramadhan itu adalah bulan diaman turunnya Al-Quran yang menjadi panduan dan
juga panutan umat manusia, dan juga sebagai acuan untuk menentukan mana yang benar dan juga yang
salah, dan apabila seseorang bisa mencapai atau mendapati bulan ini maka orang tersebut harus
berpuasa, Allah SWT berfirman :

Dan bulan Ramadhan ini adalah bulan ke 9 yang ada pada kalender islam, dan bulan ini adalah bulan
yang penting untuk umat islam, dan Ayat-ayat pertama pada Al-Qur’an itu diturunkan pada bulan
ramadhan, Allah SWT menginginkan para muslim utnuk bisa melaksanakan ibadah puasa pada bulan ini
seperti yang sudah ada pada Hadits diatas ini kalau Allah akan memberikan banyak pahala untuk ibadah
yang dilakukan pada bulan ini, Sedangkan para fuqoha juga menyatakan kalau ramadhan ini merupakan
sebuah bulan yang memiliki banyak kemuliaan yang bisa membuat seorang muslim bisa menghabiskan
waktunya untuk beribadah dan bisa memperoleh pahala yang banyak sampai dengan ibadah selama 80
tahun

Sedangkan untuk penamaan dari bulan ini ada beberapa pendapat dari ahli bahasa yang sudah ada
pada kitab An-Nawawi (Tahdzib al-asma wa al-lughat) yang sudah dibeberkan secara jelas :

Pertama, ramadhan ini diambil beradasarkan kata ar-Ramidh yang memiliki arti awan/hujan yang datang
pada saat musim panas (memasuki musim gugur), dan hujan ini disebut sebagai ar-Ramidh karena hujan
ini yang melunturkan panasnya matahari, dan membuat bulan ini disebut sebagai bulan ramahdan karena
bisa membersihkan badan dari dosa-dosa yang telah dilakukan, dan ini menurut pendapat dari al-kholil
bin ahmad al-farahidi {ulama tabiin ahli bahasa. peletak ilmu ardh(w.170 H)

Kedua Ramadhan diambil dari kata ar-Ramd yang memiliki arti panasnya batu yang terkena terik sinar
matahari, sehingga membuat bulan ini dinamakan sebagai ramadhan, karena kewajiban untuk berpuasa
ini dilakukan pada saat datangnnya musim panas yang terik, sedangkan pendapat ini diutarakan oleh Al-
Ashma’i {ulama ahli bahasa dan juga syair arab} w.216 h

Dan yang terakhir nama Ramadhan ini diambil dari pernyataan yang diberikan orang arab yang memiliki
arti mengasah tombak dengan menggunakan dua batu sehinga membuat tombak itu menjadi tajam,
bulan ini memiliki nama ramadhan karena pada umummya masyarakat arab pada massa itu tengah
mengasah senjata-senjata mereka pada bulan ini, dan senjata ini dipersiapkan untuk berperang pada
bulan syawal, sebelum masuk pada bulan haram, dan pendapat ini diriwayatkan oleh al Azhari-ulama ahli
bahasa dan juga penulis Tahdzib Al-Lughah 1.370 h

Dan itulah Sejarah Bulan Ramadhan yang bisa kami sampaikan untuk anda, semoga anda bisa
melaksanakan ibadah puasa ini dengan baik, agar anda bisa mendapatkan pahala di bulan yang penuh
berkah dan juga mulia ini, karena belum tentu anda bisa menemui
http://rukun-islam.com/sejarah-bulan-ramadhan/

asal mula diwajibkannya puasa ramadhan


Juni 2, 2015 | Filed under: LTQ Artikel,Tsaqofah | Posted by: admin

Ramadhan adalah bulan suci buat umat islam, siapapun yang mengaku sebagai umat islam maka di
bulan Ramadhan diwajibkan untuk berpuasa. Allah SWT berfirman:
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS: Al Baqoroh: 183).
Dalam ayat ini Allah memanggil orang-orang yang beriman untuk melaksanakan puasa yaitu
menahan dari makan, minum, dan hubungan suami istri dengan niat ikhlas karena Allah SWT.
Sebagai pembersih jiwa dan mensucikan dari perbuatan yang tercela dan dimurkai Allah. Dan
disebutkan juga bahwa ini (puasa) diwajibkan kepada kita sebagaimana telah diwajibkan kepada
ummat sebelum kita sebagai teladan yang baik. Dan kita dianjurkan untuk melaksanakan lebih baik
dan sempurna lagi dari pada yang telah dilakukan oleh mereka. Sebagaimana firman Allah SWT.
“untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. (QS: Al Maidah:
48)
Untuk itulah maka Allah menurunkan ayat ini:
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS: Al Baqoroh: 183)
Karena puasa didalamnya bisa mensucikan badan dan menyempitkan jalannya setan masuk
ketubuh manusia, sebagaimana yang telah diseutkan didalam Hadits Nabi :”
“Wahai para pemuda siapa saja diantara kamu yang sudah mampu maka menikahlah dan siapa
yang belum mampu maka berpuasalah sesunguhnya didalam puasa itu merupakan penawar
(penekan nafsu syahwat)” (HR: Bukhori Muslim)
Dan kewajiban puasa pun tidak setiap hari, agar supaya tidak memberatkan kepada manusia tetapi
pada hari-hari yang telah ditetapkan. Pada masa permulaan Islam mereka puasa tiga hari setiap
bulannya, kemudian puasa itu dihapus dan diganti dengan puasa sebulan penuh pada bulan
Ramadhan, yang mana akan kita bahas berikutnya.
Telah diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, ‘atho’, qotadah dan Dhahhaq:” bahwa pertama
kali diwajibkan puasa sebagaimana yang dilakukan oleh umat sebelumnya yaitu 3 hari setiap
bulannya, dan ini berlangsung diwajibkan dari masa Nabi Nuh AS. Sampai Allah menggantinya
dengan puasa Ramadhan.
Imam Ahmad berkata, berkata Abu Nadhir, berkata As Su’udiy, berkata Amr Ibu Murroh dari Abdur
Rahman Ibnu Abi Laila Dari Mu’adz Ibmu Jabal R.A, Berkata :”terjadi perubahan dalam shalat 3 kali
perubahan, dan begitu juga puasa juga ada 3 perubahan, sedangkan perubahan yang terjadi
dengan shalat yaitu ketika Nabi SAW, hijrah ke madinah dan beliau Shalat selama 17 Bulan
menghadap ke Baitul Maqdis kemudian Allah SWT menurunkan ayat yang berbunyi:
“sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[96], Maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.” (QS: AL Baqoroh: 144)
Maka Allah mengganti arah Shalat dari baitul Maqdis ke baitul Haram (Makkah), ini adalah
perubahan arah kiblat.
Dan dikatakan sebelumnya mereka berkumpul untuk Shalat, mereka memanggil satu sama lain,
kemudian mereka menggunakan alat, yaitu lonceng untuk mengumpulkan mereka, kemudian ada
seorang Anshor Abdullah Ibu Zaid ibnu Tsa’labah ibnu Abi rabbah mendatangi Rosulullah SAW dan
berkata :”wahai Rasulullah .! sesungguhnya saya bermimpi seandaiya bukan dalam mimpi maka
anda akan langsung mempercayainya, saya dalam keadaan antara sadar dan tidak saya melihat
seseorang yang memakai pakaian warna biru dan menghadap kiblat dan seraya
mengucapkan :”Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. , Asyhaduallailahaillallah 2 kali.. sampai selesai adzan,
kemudian setelah beberapa waktu berhenti maka dia melanjutkan dengan mengucapkan
sebagaimana yang telah diucapkan sebelumnya hanya saja ditambah denga Qod qomatishsholah…
dua kali. Maka Rosulullah bersabda :”beritahu Bilal dan suruh dia Adzan dengan itu (lafadz)
tersebut) “.
Bilal adalah orang yang pertama melantunkan adzan dengan lafadz itu, dan dikatakan juga, datang
jiga Umar r.a dan berkata, “ya Rasulullah, telah datang kepada saya seperti yang terjadi padanya,
hanya saja dia telah mendahuluiku”. Inilah perubahan untuk menyeru ummat Muslim melaksanakan
Shalat .
Sedangkan perubahan yang terjadi didalam kewajiban puasa ketika Rasulullah hijrah ke madinah
Rasulullah puasa tiga hari setiap bulannya dan puasa ‘Asyuro (10 Muharram), kemudian Allah SWT
mewajibkan puasa, dengan firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka
Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,
Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS: Al
Baqoroh: 183-184)
Pada waktu turunnya ayat ini siapa yang berhendak puasa maka mereka puasa dan bagi yang tidak
berkehendak maka cukup memberi makan kepada orang miskin, maka cukuplah memilih diantara
keduanya. Keudian Allah menurunkan ayat selanjutnya yang berbunyi:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,
dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS: Al Baqoroh: 185)
Dengan ayat itu maka Allah mewajibkan berpuasa bagi yang sehat (tidak sakit) dan muqim (tidak
dalam perjalanan), dan Allah memberikan keringanan kepada orang yang sakit dan dalam
perjalanan, dan membayar fidyah bagi orang tua lanjut usia yang tidak mampu lagi berpuasa. Inilah
perubahan dalam puasa.
Diriwayatkan dari Muadz r.a berkata: “ini ayat pertama yang merupakan perintah bagi siapa yang
mau berpuasa, dan yang tidak pusa tidak mengapa dengan memberikan makan kepada orang
miskin setiap hari” dan diriwayatkan oleh Imam Bukhori, dari salmah bin Al A’wa’ ketika turun ayat ini
mengatakan: siapa yang tidak menginginkan berpusa maka boleh, sampai turun ayat setelah itu,
dan ayat ini di nasakh (di hapus),
Dia berkata: “mereka makan, minum dan mendatangi istri-istri mereka sebelum mereka tidur, jika
sudah tidur maka dilarangnya, kemudian salah satu orang Ansor, suatu ketika dia puasa sampai
sore kemudian mendaangi istrinya, kemudian shalat Isya’ dan kemudian tidur, dan dia tidak makan
ataupun minum sampai pagi dan dilanjutkan dengan puasa pada hari berikutnya, ketika Rasulullah
menjumpainya dengan keadaannya yang sangat kepayahan, kemudian Rasulullah bersabda:
“kenapa saya melihat anda dalam keadaan payah seperti itu? Maka dia menjawab: “wahai
Rasulullah, kemarin saya puasa dan langsung mendatangi istriku kemudian saya pergi tidur dan
paginya langsung puasa”.
Suatu ketika Umar mendatangi istrinya setelah tidur malam pada malam bulan Ramadhan,
kemudian menceritakan apa yang dilakukannya kepada Nabi SAW, maka Allah menurunkan
firmanNya:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka
adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya
kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar.
kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri
mereka itu, sedang kamu beri’tikaf[115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka
bertakwa.” (QS: Al Baqoroh: 187)
Diriwayatkan oleh Au Daud didalam sunannya, Hakim di Mustadrok, Bukhori, Muslim dari Hadits
zuhri dari Urawah dari ‘Aisyah berkata: “ketika puasa Asyuro (10 Muharrom), ketika turun ayat yang
mewajibkan puasa Romadon, siapa yang menghendaki puasa maka berpuasa dan yang tidak maka
berbuka (tidak puasa)”.
Wallahu a’lam bishshowab… /by. Setya-one

http://ltqalhikmah.com/sejarah-awal-mula-puasa-ramadhan/
Tidak terasa kita sudah berada di penghujung bulan Sya’ban. Artinya, sebentar lagi
kita akan segera memasuki bulan suci Ramadhan. Bulan yang penuh berkah, yang
akan membawa rahmat, yang membuka pintu syurga dan menutup pintu neraka
serta membelenggu seluruh syetan yang mengganggu hamba beribadah.

Besarnya keagungan Ramadhan tentu harus disambut dengan penuh bahagia dan
suka cita. Perlu mempersiapkan diri sebaik mungkin agar Ramadhan bisa dilalui
sesuai dengan harapan yang Allah Ta’ala inginkan. Namun pertanyaannya
adalah bagaimana cara kita mempersiapkan diri untuk menyambut bulan mulia
tersebut?

Berikut Sembilan cara terbaik yang ditulis oleh Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid
dalam salah satu risalahnya, Dzadu Shaim Ramadhan Fursatun Li Tarbiyah Wa
Ta’lim, untuk memaksimalkan ramadhan sebaiknya kita memerhatikan poin-poin
berikut ini:

1. Bertobat dan kembali kepada petunjuk Allah

Sejatinya bertaubat diperlukan setiap saat. Sebab, siapa pun kita pasti tidak lepas
dari kesalahan. Bertaubat sebelum memasuki bulan Ramadhan menunjukkan
keseriusan kita dalam memuliakan bulan suci tersebut. Sehingga ketika memasuki
bulan Ramadhan tidak ada lagi sekat-sekat yang bisa mengahalangi dirinya dari
amal shaleh. Allah Ta’ala berfirman:

‫اذ يجذميرعاَ أييَييهاَ ايلنميؤذمننوُين لييعللنكيم تنيفلذنحوُين‬


‫يونتوُنبوُا إذيلىَ ل‬
“Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.” (An Nuur: 31)

2. Berdoa agar disampaikan ke bulan Ramadhan; memohon agar bisa


melaksanakan puasa dan shalat di malam harinya

Ramadhan adalah bulan keberkahan yang hanya diberikan kepada para hamba
pilihan Allah Ta’ala. Tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan tersebut
dengan baik. Karena itu, di antara kebiasaan para salaf adalah senantiasa berdoa
memohon kepada Allah agar disampaikan kepada bulan Ramadhan serta diberika
kekuatan untuk memaksimalkan ibadah di dalamnya. Bahkan, sebagian mereka ada
yang berdoa enam bulan sebelum kedatangan bulan tersebut.

Mu’alla bin Al-Fadhl, salah satu ulama tabiu’ tabiin berkata, “Dulu para sahabat,
selama enam bulan sebelum datang Ramadhan, mereka berdoa agar Allah
mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan. Kemudian, selama enam bulan
sesudah ramadhan, mereka berdoa agar Allah menerima amal mereka selama
bulan Ramadhan.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 264)
Diantara doa yang dicontohkan para salaf adalah apa yang diriwayatkan dari Yahya
bin Abi Katsir:

‫ضاَين يوتييسلليمهن ذمذني نمتيقيبللر‬ ‫يالللهنلم يسلصيمنذـِي إذيلىَ يريم ي‬


‫ضاَين يويسلصيم ذلـِي يريم ي‬
“Ya Allah, antarkanlah aku hingga sampai Ramadhan, dan antarkanlah Ramadhan
kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhan.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm.
264)

3. Bersegera untuk menganti puasa yang tertinggal

Salah satu kewajiban yang penting untuk diperhatikan sebelum memasuki


Ramadhan adalah hutang puasa. Siapa pun yang memiliki tanggungan puasa yang
belum terlunasi maka ia harus segera menyelesaikannya. Qadha tidak mesti
dilakukan setelah bulan Ramadhan yaitu di bulan Syawal secara langsung. Namun
boleh tunda sampai bulan Sya’ban, asalkan sebelum masuk Ramadhan berikutnya.

Diriwayatkan dari Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha mengatakan,

‫ فييماَ أييستيذطينع أيين أييق ذ‬، ‫ضاَين‬


‫ضيىَ إذلل ذفىَ يشيعيباَين‬ ‫صيوُنم ذمين يريم ي‬ ‫يكاَين يينكوُنن يعلي ل‬
‫ىَ ال ل‬
“Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu meng-qadhanya
kecuali di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari-Muslim)

4. Mempelajari hukum-hukum seputar Ramadhan

Ilmu merupakan modal utama dalam beramal. Tanpa ilmu maka akan kehilangan
petunjuk dalam beribadah. Efeknya, kalau dia semangat maka akan jatuh dalam
kesesatan, atau bisa juga dia akan tertinggal, tidak bisa memperbanyak amal
karena tidak mengetahuinya.

Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa
ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan
kebaikan.” (Al-Amru bil Ma’ruf, hal: 15)

5. Mempersiapkan diri dengan amal-amal kebaikan

Memperbanyak amal merupakan salah satu bentuk keseriusan dalam memuliakan


datangnya Ramadhan. Terutama pada bulan Sya’ban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengisinya dengan memperbanyak berpuasa di bulan ini sebagai
persiapan menghadapi bulan Ramadhan.
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia
berkata, “Ya Rasulullah! Saya tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam satu
bulan di banding bulan-bulan lain seperti engkau berpuasa di bulan Sya’ban?”
Beliau menjawab, “Itu adalah bulan yang banyak manusia melalaikannya, terletak
antara bulan Rajab dan Ramadhan. Dia adalah bulan amalan-amalan di angkat
menuju Rabb semesta alam. Dan saya suka jika amalanku diangkat dalam keadaan
saya sedang berpuasa,” (HR. An-Nasa’i)

6. Meninggalkan pengangguran dan berteman dengan orang-orang yang


rajin

Selain mempersiapkan ilmu dan kemantapan jiwa, kita juga penting memerhatikan
pengaruh lingkungan. Memilah-milih teman adalah salah satunya. Pengaruh teman
yang baik sangat signifikan pada aktivitas hidup kita. banyak orang yang terjerumus
ke dalam jurang kesesatan karena temannya. Demikian juga sebaliknya, banyak
orang yang semangat dalam beramal disebabkan oleh tengannya juga. Maka sudah
selayaknya kita memperbanyak teman-teman yang shaleh ketika memasuki bulan
ramadhan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama Seseorang sesuai


dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi
teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

7. Meninggalkan segala bentuk perselisihan dan perpecahan

Perselisihan dan perpecahan merupakan salah satu faktor yang bisa merusak fokus
kita dalam beramal. Ramadhan yang mulia tentu tidak pantas diisi dengan
perbebatan-perbebatan yang berujung pada perpecahan. Terlebih dalam masalah
perbedaan mazhab fikih, ia adalah sesuatu yang tidak layak untuk diperdebatkan.
Sebab, masing-masing memiliki dasar dan pijakan yang dibenarkan.

Bahkan terhadap orang yang meninggalkan perdebatan yang tidak manfaat,


walaupun posisinya benar, maka Rasulullah menjajikan baginya rumah di dalam
syurga. Beliau bersabda, “Saya memberikan jaminan rumah di pinggiran surga bagi
orang yang meningalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar. Saya
memberikan jaminan rumah di tengah surga bagi orang yang meningalkan
kedustaan walaupun dia bercanda. Saya memberikan jaminan rumah di surga yang
tinggi bagi orang yang membaguskan akhlaqnya.” (HR. Abu Dawud)

8. Menjauhi amalan yang dapat menjadikan puasa terasa berat

Kesehatan fisik tidak kalah pentingnya daripada persiapan ilmu dan mental. Agar
hari-hari di bulan puasa lebih maksimal untuk beribadah, perhatian kita terhadap
kesehatan fisik tidak boleh diabaikan. Jangan sampai amal ibadah kita menurun
gegara gangguan kesehatan. Dari itu, meninggalkan pekerjaan-pekerjaan berat
yang bisa memberatkan aktivitas puasa merupakan keharusan yang mesti
dilakukan.

Orang yang merugi adalah yang tidak menggunakan kesehatannya untuk kebaikan
dan yang lebih rugi lagi tidak menjaga kesehatannya. Rasullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Dua nikmat Allah yang di situ banyak orang merugi, yaitu
nikmat kesehatan dan waktu luang,” (HR. Tirmidzi)

9. Memerhatikan kemunculan hilal

Di antara waktu yang menjadi kebiasaan ulama salaf dalam memastikan bulan
Ramadhan adalah mereka keluar pada tanggal 29 Sya’ban, saat menjelang
matahari mulai terbenam untuk mengamati munculnya hilal. Mereka keluar
bersama dengan Qadhi negara. Apabila dapat melihat hilal maka mereka berpuasa.
Namun jika tidak, mereka menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.

Dalam sebuah hadits hasan disebutkan, “Hitunglah (bilangan) bulan Sya’ban untuk
(menentukan masuknya) bulan Ramadhan.” (HR. Tirmidzi)

Makna dari hadits tersebutadalah bersungguh-sungguhlah dalam memastikan akhir


bulan Sya’ban dengan mencermati titik munculnya hilal. Hal ini dilakukan agar dapat
melihat hilal Ramadhan dengan kemantapan hati yang kuat, sehingga itu tidak
terlewatkan sedikit pun. (Tuhfatul Ahwadzi, 3/299)

Demikianlah beberapa cara terbaik yang dicontohkan para salaf dalam menyambut
bulan Ramadhan. Semoga dengan memahami poin-poin tersebut, kita bisa
menyongsong bulan suci Ramadhan dengan amal ibadah yang lebih baik daripada
tahun-tahun sebelumnya.

https://www.kiblat.net/2017/05/23/ya-allah-antarkanlah-aku-hingga-sampai-ramadhan/

Anda mungkin juga menyukai