Al-Qurthubi atau Qurtubi adalah seorang Imam, Ahli hadits, Alim, dan seorang mufassir (penafsir)
Al-Qur'an yang terkenal. Nama lengkapnya adalah "Abu 'Abdullah Muhammad bin Ahmad bin
Abu Bakr Al-Anshari al-Qurthubi" (Arab: )أبو عبدا القرطبي. Dia berasal dari Qurthub (Cordoba,
Spanyol) dan mengikuti mahzab fiqih Maliki. Dia sangat terkenal melalui karyanya sebuah Kitab
Tafsir Al-Qur'an, yang dikenal sebagai Tafsir Al-Qurthubi. Imam Qurthubi meninggal dunia dan
dimakamkan di Mesir, pada Senin, 09 Syawal tahun 671 H.
3. Bentuk penafsirannya
Dari berbagai bentuk penafsiran yang ada, al-Qurthubi dalam tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an”
menggunakan bentuk penafsiran pemikiran (bi ra’yi). Walaupun di dalam penafsirannya terdapat
hadits-hadits Rasul dan pendapat ulama terdahulu. Karna menurut al-Qurthubi penafsiran bi ra’y
adalah penafsiran yang menggunakan pemikiran dan di dukung oleh hadits-hadits dan pendapat
ulama yang terdahulu.
4. Metode penafsirannya
Metode yang dipergunakan oleh para mufasir, menurut al-Farmawi, dapat diklasifikasikan menjadi
empat:
Pertama, Metode Tahlili, dimana dengan menggunakan metode ini mufasir-mufasir berusaha
menjelaskan seluruh aspek yang dikandung oleh ayat-ayat al-Quran dan mengungkapkan segenap
pengertiann yang dituju. Keuntungan metode ini adalah peminat tafsir dapat menemukan
pengertian secara luas dari ayat-ayat al-Quran.
Kedua, Metode Ijmali, yaitu ayat-ayat al-Quran dijelaskan dengan pengertian-pengertian garis
besarnya saja, contoh yang sangat terkenal adalah Tafsir Jalalain.
Ketiga, Metode Muqaran, yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Quran berdasarkan apa yang pernah
ditulis oleh Mufasir sebelumnya dengan cara membandingkannya.
Keempat, Metode Maudlu’I yaitu di mana seorang mufasir mengumpulkan ayat-ayat di bawah
suatu topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Metode yang dipakai al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya adalah metode tahlili, karena ia berupaya
menjelaskan seluruh aspek yang terkandung dalam al-Quran dan mengungkapkan segenap
pengertian yang dituju. Sebagai contoh dari pernyataan ini adalah ketika ia menafsirkan surat al-
Fatihah di mana ia membaginya menjadi empat bab yaitu; bab Keutamaan dan nama surat al-
Fatihah, bab turunnya dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, bab Ta’min, dan bab
tentang Qiraat dan I’rab. Masing-masing dari bab tersebut memuat beberapa masalah.
5. Corak penafsirannya
Al-Farmawi membagi corak tafsir menjadi tujuh corak tafsir, yaitu al-Ma’sur, al-Ra’yu, sufi,
Fiqhi, Falsafi, Ilmi dan Adabi ijtima’i. Para pengkaji tafsir memasukkan tafsir karya al-Qurtubi
kedalam tafsir yang bercorak Fiqhi, sehingga sering disebut sebagai tafsir ahkam. Karena dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Quran lebih banyak dikaitkan dengan persoalan-persoalan hukum.
Sebagai contoh dapat dilihat ketika menafsirkan surat al-Fatihah. al-Qurtubi mendiskusikan
persoalan-persoalan fiqh, terutama yang berkaitan dengan kedudukan basmalah ketika dibaca
dalam salat, juga persoalan fatihah makmum ketika shalah Jahr. Terhadap ayat yang sama-sama
dari kelompok Mufasir ahkam hanya membahasnya secara sepintas, seperti yang dilakukan oleh
Abu Bakr al-Jassas. Ia tidak membahas surat ini secara khusus, tetapi hanya menyinggung dalam
sebuah bab yang diberi judul Bab Qiraah al-Fatihah fi al-salah.
Contoh lain dimana al-Qurtubi memberikan penjelasan panjang lebar mengenai persoalana-
persoalan fiqh dapat diketemukakan ketika ia membahas ayat Qs. Al-Baqarah (2): 43:
نوأنعقيِعموا ال ر
٤٣) صلَّةن نوآَعتوا الرزنكاَةن نواررنكععوا نمنع الرراعكععيِنن
“dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’”
Ia membagi pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Diantara pembahasan yang menarik adalah
masalah ke-16. ia mendiskusikan berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi Imam
salat. Di antara tokoh yang mengatakan boleh adalah al-Sauri, Malik dan Ashab al-Ra’y. Dalam
masalah ini, al-Qurtubi berbeda pendapat dengan mazhab yang dianutnya, dengan pernyataannya:
َإماَمة الصغيِر جاَئزة إذا كاَن قاَرئا
(anak kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik)
Dalam kasus lain ketika ia menafsirkan Qs. Al-Baqarah: 187
… أععحرل لنعكرم لنريِلنةن ال ص.
صنيِاَعم الررفن ع
ث إعنلىَ نعنساَئععكرم
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;…”
Ia membaginya menjadi 36 masalah. Pada pembahsan ke-12, ia mendiskusikan persoalan
makannya orang yang lupa pada siang hari di bulan Ramadhan. Ia berpendapat orang tersebut
tidak berkewajiban berkewajiban mengganti puasanya, yang berbeda dengan pendapat Malik
sebagai imam mazhabnya. Dengan pernyataannya:
إن من أكل أو شرب ناَسيِاَ فلَّ قضاَء عليِه وإن صومه تاَم
“Sesungguhnya orang yang makan atau minum karena lupa, maka tidak wajib baginya
menggantinya dan sesungguhnya puasanya adalah sempurna”
Bila dicermati dari contoh-contoh penafsiran di atas, di satu sisi meggambarkan betapa al-Qurtubi
banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum yang menjadiakan tafsir ini termsuk ke dalam
jajaran tafsir yang bercorak hukum. Di sisi lain, dari contoh-contoh tersebut juga terlihat bahwa al-
Qurtubi yang bermazhab Maliki ternyata tidak sepenuhnya berpegang teguh dengan pendapat
imam mazhabnya
Komentar Ulama’
Imam Adz-Dzahabi pernah berkata, “Al Qurthubi telah mengarang sebuah kitab tafsir yang sangat
spektakuler”.
Ibnu Farhun berkata: Tafsir yang paling bagus dan paling banyak manfaatnya, membuang kisah
dan sejarah, diganti dengan hukum dan istinbat dalil, serta menerangkan I’rob, qiroat, nasikh dan
mansukh.