Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Puasa Ramadhan

Ibadah puasa telah dikenal pada ummat sebelum nabi


Muhammad saw, dalam Al-kitab (perjanjian lama dan perjanjian
baru) misalnya disebutkan: “Kemudian pergilah semua orang
Israel, yakni seluruh bangsa itu, lalu sampai di Betel; di sana
mereka tinggal menangis di hadapan Tuhan, berpuasa sampai
senja pada hari itu….” (Hakim-Hakim 20: 26) dibagian lain, pada
masa pemerintahan Daud as, disebutkan bahwa mereka
“berpuasa sampai matahari terbenam” (2 Samuel 1: 12).
Umat Nasrani dahulu juga pernah diwajibkan puasa Ramadan,
tetapi mereka menambahnya 10 hari hingga akhirnya berjumlah
40 hari. Dikarenakan pada bulan Ramadhan cuacanya sangat
panas, waktunya pun diperpendek dan dipindah pada musim
semi.
Umat Yahudi pun juga berpuasa, bahkan puasanya tidak sekadar
menahan dari makan dan minum dari sore hari sampai waktu
sore lagi. Akan tetapi, mereka melaksanakan sambil berbaring di
atas pasir dan debu sambil meratap sedih. Ayat yang lain lagi
menyebutkan bahwa masyarakat Yerusalem dan sekitarnya
diperintahkan untuk berpuasa pada bulan kesembilan (Yeremia
36: 9). Amalan puasa juga terus dipraktekkan hingga ke masa
Yesus (Nabi Isa as) dan juga dipraktekkan oleh beliau sendiri
(Matius 3: 1-2)
Di kalangan masyarakat Arab, khususnya orang-orang Quraisy,
kebiasaan berpuasa bukan sesuatu yang sama sekali asing. Di
dalam Shahih Bukhari sebagaimana diriwayatkan oleh
Aisyah ra disebutkan bahwa sejak jaman jahiliyah, orang-orang
Quraisy biasa berpuasa pada hari Asyura’ (10 Muharram).
Menurut Ibnu Umar ra, Rasulullah saw pernah berpuasa pada
hari Asyura dan menyuruh dia (Ibnu Umar) untuk berpuasa juga.
Namun, saat datang perintah puasa Ramadhan, puasa Asyura itu
ditinggalkan oleh Rasulullah saw.
Tentang perintah Rasulullah saw untuk berpuasa Asyura,
menurut Bukhari, Ahmad dan Muslim adalah sesudah beliau tiba
di Yatsrib (Madinah). Tepatnya, sekitar setahun setelah Rasul saw
dan sahabat-sahabatnya tinggal di Madinah.
Tahapan Pensyariatan Ibadah Puasa Ramadhan
Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran Al-Azhim, jilid 1, hal. 498
menjelaskan bahwa sebenarnya proses pensyariatan puasa
Ramadhan ini mempunyai kemiripan dengan proses pensyaraitan
shalat, dimana keduanya melalui tiga tahapan pensyariatan.
Dalam ibadah puasa ramadhan terjadi tiga tahapan dalam
terbentuknya syariat puasa yaitu:
Awalnya ketika tiba di Madinah, Rasulullah saw dan para sahabat
berpuasa tiga hari pada setiap bulannya, dan beliau juga berpusa
di hari Asyuro’, lalu kemudian turun syariat puasa Ramadhan
(QS. Al-Baqarah: 183),

‫بمم ْ ععملمعمىَ ْا لملذميِ عنمم ْ لمممنمم ْ قع ممبمللمككممممم ْ لعمععم ل مككمممم‬ ‫ل‬


‫ص ميمعماَ كممم ْعكمعممماَ ْككمتم ع‬
‫بمم ْ ععملعمميمككمكممم ْال ص‬ ‫ل‬ ‫لل‬
‫يِمعماَ ْ أعميِيم معهمماَ ْا مذميِ عنمم ْآ عممنمكموُا ْككمتم ع‬
‫تع متلم مكقمموُعنم‬

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu


berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa,(QS. Al-Baqarah[2]: 183)
Kedua, diawal-awal puasa Ramadhan ini masih sifatnya pilihan,
siapa yang dengan sengaja tanpa alasan tidak mau berpuasa
mereka boleh tidak berpuasa, asalkan menggantinya dengan
fidyah, sesuai firman Allah swt,

‫عوععملمعمىَ ْا لملذميِ عنمم ْ يِكملطممي كقمموُنعمهمكم ْ لفممدميِعم مةم ْ طعمععمماَ كممم ْ لمممسملكممي ننم‬

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika


mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi
makan seorang miskin. (QS. Al-Baqarah[2]: 184)
Ketiga, ketika Allah swt menurunkan ayat:

‫مفممنن مشههمد همننمكمم الششنهمر مفنلمي م‬


‫صنممه‬

“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat


tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada
bulan itu” (QS. Al-Baqarah[2]: 185)
Kaifiyah Ibadah Puasa Ramadhan
Dalam pelaksanaan ibadah puasa ramadhan telah terjadi
beberapa pemahaman diantara para sahabat, yaitu kapan mulai
waktu menahan makan dan minum begitu juga dengan waktu
berbuka, dan hal-hal yang tidak dibolehkan ketika berpuasa
seperti hubungan suami isteri. Seperti kisah Umar bin Khattab
bahwa dia sempat mendatangi istrinya, padahal itu dia
melakukannya setelah bangun dari tidur yang sebenarnya tidak
boleh dilakukan, ketika diceritakan kepada Rasulullah saw maka
Allah swt menurunkan:
‫صمياَم الشرمف م‬
‫ث إهملىَ هنمساَهئمكنم‬ ‫أم ه‬
‫حشل لممكنم لمنيلممة ال ص ه‬
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan isteri-isteri kamu”(QS.Al-Baqarah[2]:) 187)
Kisah kedua yaitu Bahwa Qais bin Shirmah Al-Anshari pernah
berpuasa, dimana siang harinya beliau habiskan untuk mengurus
pohon kurma, ketika waktu berbuka sudah hampir tiba ia datang
kepada istrinya seraya menanyakan apakah ada makanan?
Namun istrinya menjawab tidak ada, akan tetapi istrinya
berusaha mencarikannya.
Ketika menunggu istrinya mencari makan tidak sengaja Qais ini
tertidur, karena capek dari bekerja siang hari tadi. Mengetahui
suaminya tertidur, maka istrinya berucap: “Celakahlah engkau!”,
esok harinya Qais tetap berpuasa walau tanpa berbuka, karena
tidak boleh makan ketika bangun dari tidur. Tapi di pertengahan
hari berikutnya Qais malah pingsan. Lalu cerita ini sampai kepada
nabi saw, maka turunlah ayat:

‫ض هممن انلمخنيهط انلمنسموُهد هممن انلمفنجهر‬


‫ط انلمنبمي م‬
‫موُمكملوُا موُانشمرمبوُا محشتىَ ميمتمبشيمن لممكمم انلمخني م‬

“dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari


benang hitam, Yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah[2]: 187)
Bagaimana menyambut awwal ramadhan?
Ketika terbitnya hilal di ufuk pertanda Ramadhan tiba, Rasul dan
para sahabat menyambutnya dengan suka cita sembari
membacakan doa seperti yang diceritakan Ibnu Umar dalam
hadits berikut :
‫ ش‬: ‫ إهمذا مرمأىَ انلههلممل مقاَمل‬-‫صلىَ ا عليه وُسلم‬- ‫ا‬
‫ام‬ ‫ مكاَمن مرمسوُمل ش ه‬: ‫معهن انبهن معمممر مقاَمل‬
‫م‬ ‫م‬ ‫م‬
َ‫ب مرببمنا‬ ‫لم موُالشتنوُهفيهق لهمماَ مي ه‬
‫ح ب‬ ‫ليمماَهن موُالشسلمممهة موُالهنس م‬‫ اللشمهشم أههلشمه معلمنيمناَ هباَلنمهن موُا ه‬، ‫أنكمبمر‬
‫ك ش‬
‫ام‬ ‫ مرببمناَ موُمربب م‬، َ‫ضى‬
‫موُمينر م‬

“Dari Ibnu Umar dia berkata : Bila Rasul melihat hilal dia
berkata : Allah Maha Besar. Ya Allah, jadikanlah hilal ini bagi
kami membawa keamanan, keimanan, keselamatan, keislaman
dan taufik kepada yang dicintai Robb kami dan diridhai-Nya.
Robb kami dan Robbmu (hilal) adalah Allah.” (HR. Addarimi).

Anda mungkin juga menyukai