Anda di halaman 1dari 12

Pertempuran Badar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pertempuran Badar (bahasa Arab: ‫غزوة بدر‬, translit. gazwah badr), adalah pertempuran besar
pertama antara umat Islam melawan musuh-musuhnya. Perang ini terjadi pada 17 Ramadan 2 H
(13 Maret 624). Pasukan kecil kaum Muslim yang berjumlah 313 orang bertempur menghadapi
pasukan Quraisy[1] dari Mekkah yang berjumlah 1.000 orang. Setelah bertempur habis-habisan
sekitar dua jam, pasukan Muslim menghancurkan barisan pertahanan pasukan Quraisy, yang
kemudian mundur dalam kekacauan.

Sebelum pertempuran ini, kaum Muslim dan penduduk Mekkah telah terlibat dalam beberapa
kali konflik bersenjata skala kecil antara akhir 623 sampai dengan awal 624, dan konflik
bersenjata tersebut semakin lama semakin sering terjadi. Meskipun demikian, Pertempuran
Badar adalah pertempuran skala besar pertama yang terjadi antara kedua kekuatan itu.
Muhammad saat itu sedang memimpin pasukan kecil dalam usahanya melakukan pencegatan
terhadap kafilah Quraisy yang baru saja pulang dari Syam, ketika ia dikejutkan oleh keberadaan
pasukan Quraisy yang jauh lebih besar. Pasukan Muhammad yang sangat berdisiplin bergerak
maju terhadap posisi pertahanan lawan yang kuat, dan berhasil menghancurkan barisan
pertahanan Mekkah sekaligus menewaskan beberapa pemimpin penting Quraisy, antara lain
ialah Abu Jahal alias Amr bin Hisyam.

Bagi kaum Muslim awal, pertempuran ini sangatlah berarti karena merupakan bukti pertama
bahwa mereka sesungguhnya berpeluang untuk mengalahkan musuh mereka di Mekkah. Mekkah
saat itu merupakan salah satu kota terkaya dan terkuat di Arabia zaman jahiliyah. Kemenangan
kaum Muslim juga memperlihatkan kepada suku-suku Arab lainnya bahwa suatu kekuatan baru
telah bangkit di Arabia, serta memperkokoh otoritas Muhammad sebagai pemimpin atas berbagai
golongan masyarakat Madinah yang sebelumnya sering bertikai. Berbagai suku Arab mulai
memeluk agama Islam dan membangun persekutuan dengan kaum Muslim di Madinah; dengan
demikian, ekspansi agama Islam pun dimulai.

Kekalahan Quraisy dalam Pertempuran Badar menyebabkan mereka bersumpah untuk membalas
dendam, dan hal ini terjadi sekitar setahun kemudian dalam Pertempuran Uhud.

Rasulullah mengadakan persiapan untuk keluar bersama 313 atau hingga 317 orang, yang terdiri
dari 82 hingga 86 dari Muhajirin, 61 dari Aus, dan 170 dari Khazraj. Mereka tidak mengadakan
pertemuan khusus dan tidak membawa perlengkapan yang banyak. Kudanya pun hanya dua
ekor; seekor milik Az-Zubair bin Al-Awwam dan seekor lagi milik Al-Miqdad bin Al-Aswad
Al-Kindi. Untanya ada 70 ekor, Satu ekor dinaiki dua atau tiga orang. Rasulullah naik seekor
unta bersama Ali bin Abu Thalib dan Martsad bin Abu Martsad Al-Ghanawi.[2]

Rasulullah SAW, mengangkat Ibnu Ummi Makhtum menjadi wakil beliau di Madinah. Namun,
setibanya di Ar-Rauha', beliau menyuruh Abu Lubabah bin Abdul Mundzir agar kembali ke
Madinah dan menggantikan posisi Ibnu Ummi Makhtum sebagai wakil beliau. Bendera komando
tertinggi yang berwarna putih diserahkan kepada Mush'ab bin Umair Al-Qurasyi Al-Abdari.
Pasukan kaum Muslimin dibagi menjadi dua batalion:[2]

1. Batalion Muhajirin. Benderanya diserahkan kepada Ali bin Abu Thalib.


2. Batalion Anshar. Benderanya diserahkan kepada Sa'ad bin Mu'adz.[2]

Komando sayap kanan diserahkan kepada Az-Zubair bin Al-Awwam' dan sayap kiri diserahkan
kepada Al-Miqdad bin Amr, karena hanya mereka berdualah yang naik kuda dalam pasukan itu.
Sementara titik pertahanan garis belakang diserahkan kepada Qais bin Sha'sha'ah. Komando
tertinggi berada di tangan Rasulullah.[2]

Latar belakang
Muhammad

Pada awal peperangan, Jazirah Arab dihuni oleh suku-suku yang berbicara dalam bahasa Arab.
Beberapa diantaranya adalah suku Badui; bangsa nomad penggembala yang terdiri dari berbagai
macam suku; beberapa adalah suku petani yang tinggal di oasis daerah utara atau daerah yang
lebih subur di bagian selatan (sekarang Yaman dan Oman). Mayoritas bangsa Arab menganut
kepercayaan politeisme. Beberapa suku juga memeluk agama Yahudi, Kristen (termasuk paham
Nestorian), dan Zoroastrianisme.

Nabi Muhammad lahir di Mekkah sekitar tahun 570 dari keluarga Bani Hasyim dari suku
Quraisy. Ketika berumur 40 tahun, ia mengalami pengalaman spiritual yaitu menerima wahyu
ketika sedang menyendiri di suatu gua, yakni Gua Hira di luar kota Mekkah. Ia mulai berdakwah
kepada keluarganya dan setelah itu baru berdakwah kepada umum. Dakwahnya ada yang
diterima dengan baik tapi lebih banyak yang menentangnya. Pada periode ini, Muhammad
dilindungi oleh pamannya Abu Thalib. Ketika pamannya meninggal dunia sekitar tahun 619,
kepemimpinan Mekkah diteruskan kepada salah seorang musuh Muhammad, yaitu Amr bin
Hisyam,[3] yang menghilangkan perlindungan kepada Muhammad serta meningkatkan
penganiayaan terhadap komunitas Muslim.

Pada tahun 622, dengan semakin meningkatnya kekerasan terbuka yang dilakukan kaum Quraisy
kepada kaum Muslim di Mekkah, Muhammad dan banyak pengikutnya hijrah ke Madinah. Hal
ini menandai dimulainya kedudukan Muhammad sebagai pemimpin suatu kelompok dan agama.

Ghazawāt

Setelah kejadian hijrah, ketegangan antara kelompok masyarakat di Mekkah dan Madinah
semakin memuncak dan pertikaian terjadi pada tahun 623 ketika kaum Muslim memulai
beberapa serangan (sering disebut ghazawāt dalam bahasa Arab) pada rombongan dagang kaum
Quraisy Mekkah. Madinah terletak di antara rute utama perdagangan Mekkah. Meskipun
kebanyakan kaum Muslim berasal dari kaum Quraisy juga, mereka yakin akan haknya untuk
mengambil harta para pedagang Quraisy Mekkah tersebut; karena sebelumnya telah menjarah
harta dan rumah kaum muslimin yang ditinggalkan di Mekkah (karena hijrah) dan telah
mengeluarkan mereka dari suku dan kaumnya sendiri, sebuah penghinaan dalam kebudayaan
Arab yang sangat menjunjung tinggi kehormatan.[4] Kaum Quraisy Mekkah jelas-jelas
mempunyai pandangan lain terhadap hal tersebut, karena mereka melihat kaum Muslim sebagai
penjahat dan juga ancaman terhadap lingkungan dan kewibawaan mereka.[5]

Pada akhir tahun 623 dan awal tahun 624, aksi ghazawāt semakin sering dan terjadi di mana-
mana. Pada bulan September 623, Muhammad memimpin sendiri 200 orang kaum Muslim
melakukan serangan yang gagal terhadap rombongan besar kafilah Mekkah. Tak lama setelah
itu, kaum Quraisy Mekkah melakukan "serangan balasan" ke Madinah, meskipun tujuan
sebenarnya hanyalah untuk mencuri ternak kaum Muslim.[6] Pada bulan Januari 624, kaum
Muslim menyerang kafilah dagang Mekkah di dekat daerah Nakhlah, hanya 40 kilometer di luar
kota Mekkah, membunuh seorang penjaga dan akhirnya benar-benar membangkitkan dendam di
kalangan kaum Quraisy Mekkah.[7] Terlebih lagi dari sudut pandang kaum Quraisy Mekkah,
penyerangan itu terjadi pada bulan Rajab; bulan yang dianggap suci oleh penduduk Mekkah.
Menurut tradisi mereka, dalam bulan ini peperangan dilarang dan gencatan senjata seharusnya
dijalankan.[5] Berdasarkan latar-belakang inilah akhirnya Pertempuran Badar terjadi.

Pertempuran

Pergerakan pasukan menuju Badar.

Di musim semi tahun 624, Muhammad mendapatkan informasi dari mata-matanya bahwa salah
satu kafilah dagang yang paling banyak membawa harta pada tahun itu, dipimpin oleh Abu
Sufyan dan dijaga oleh tiga puluh sampai empat puluh pengawal, sedang dalam perjalanan dari
Suriah menuju Mekkah. Mengingat besarnya kafilah tersebut, atau karena beberapa kegagalan
dalam penghadangan kafilah sebelumnya, Muhammad mengumpulkan pasukan sejumlah lebih
dari 300 orang, yang sampai saat itu merupakan jumlah terbesar pasukan Muslim yang pernah
diterjunkan ke medan perang.[8]
Jumlah lengkap dari pasukan Nabi Muhammad yang dikumpulkan adalah 313 orang laki-laki.
Namun, hanya 305 orang saja yang akhirnya mengikuti pertempuran. 8 orang lainnya tertinggal
karena berbagai sebab yang berbeda.[9]

Dari kaum Muhajirin terdapat tiga orang yang tidak bertempur, sedangkan dari kaum Anshar ada
lima orang. Dari kaum Muhajirin ada Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah dan Sa'id bin
Zaid. Utsman bin Affan tidak dapat berangkat ke pertempuran karena menemani istrinya yaitu
Ruqayyah binti Muhammad yang dalam keadaan sekarat hingga akhirnya ia wafat. Sedangkan
Thalhah bin Ubaidillah dan Sa'id bin Zaid diutus oleh Nabi Muhammad untuk menyelidiki
informasi tentang kafilah dagang suku Quraisy.[9]

Dari kaum Anshar terdapat 5 orang yang tidak mengikuti pertempuran, yaitu Abu Lubabah bin
Abdul Mundzir, Ashim bin Adi Al-Ajlani, Al-Harits bin Hathib Al-Amri, Al-Harits bin Ash-
Shamah, dan Khawwat bin Jubair. Abu Lubabah bin Abdul-Mundzir dipilih oleh Nabi
Muhammad untuk mewakili dirinya sebagai pemimpin di Madinah. Ashim bin Adi Al-Ajlani
dipilih oleh Nabi Muhammad untuk mewakili dirinya sebagai pemimpin di Aliyah. Al-Harits bin
Hathib Al-Amri dipulangkan ke Bani Amr bin Auf di Rauha'. Alasannya adalah tersebar kabar
buruk tentang Bani Amr bin Auf. Sedangkan Al-Harits bin Ash-Shamah, dan Khawwat bin
Jubair mengalami patah tulang.[9]

Pergerakan menuju Badar

Muhammad memimpin pasukannya sendiri dan membawa banyak panglima utamanya, termasuk
pamannya Hamzah dan para calon Khalifah pada masa depan, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq,
Umar bin Khattab, dan Ali bin Abi Thalib. Kaum Muslim juga membawa 70 unta dan 3 kuda,
yang berarti bahwa mereka harus berjalan, atau tiga sampai empat orang duduk di atas satu
unta[10] Namun, banyak sumber-sumber kalangan Muslim pada awal masa itu, termasuk dalam
Al-Qur'an sendiri, tidak mengindikasikan akan terjadinya suatu peperangan yang serius,[11] dan
calon khalifah ketiga Utsman bin Affan juga tidak ikut karena istrinya sakit.[12]

Ketika kafilah dagang Quraisy Mekkah mendekati Madinah, Abu Sufyan mulai mendengar
mengenai rencana Muhammad untuk menyerangnya. Ia mengirim utusan yang bernama
Damdam ke Mekkah untuk memperingatkan kaumnya dan mendapatkan bala bantuan. Segera
saja kaum Quraisy Mekkah mempersiapkan pasukan sejumlah 900-1.000 orang untuk
melindungi kelompok dagang tersebut. Banyak bangsawan kaum Quraisy Mekkah yang turut
bergabung, termasuk di antaranya Amr bin Hisyam, Walid bin Utbah, Syaibah bin Rabi'ah, dan
Umayyah bin Khalaf. Alasan keikut-sertaan mereka masing-masing berbeda. Beberapa ikut
karena mempunyai bagian dari barang-barang dagangan pada kafilah dagang tersebut, yang lain
ikut untuk membalas dendam atas Ibnu al-Hadrami, penjaga yang tewas di Nakhlah, dan
sebagian kecil ikut karena berharap untuk mendapatkan kemenangan yang mudah atas kaum
Muslim.[13] Amr bin Hisyam juga disebutkan menyindir setidak-tidaknya seorang bangsawan,
yaitu Umayyah bin Khalaf, agar ikut serta dalam penyerangan ini. [14]

Di saat itu pasukan Muhammad sudah mendekati tempat penyergapan yang telah
direncanakannya, yaitu di sumur Badar, suatu lokasi yang biasanya menjadi tempat persinggahan
bagi semua kafilah yang sedang dalam rute perdagangan dari Suriah. Akan tetapi, beberapa
orang petugas pengintai kaum Muslim berhasil diketahui keberadaannya oleh para pengintai
kafilah dagang Quraisy tersebut[15] dan Abu Sufyan kemudian langsung membelokkan arah
kafilah menuju Yanbu.[16]

Rencana pasukan Muslim

Lukisan Iran (1314), menggambarkan pertemuan para pemimpin Muslim sebelum memulai
Pertempuran Badar.

"Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua
golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang
tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu,[17] dan Allah menghendaki untuk
membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir".
Al-Anfal: 7

Pada saat itu telah sampai kabar kepada pasukan Muslim mengenai keberangkatan pasukan dari
Mekkah. Muhammad segera menggelar rapat dewan peperangan, disebabkan karena masih
adanya kesempatan untuk mundur dan di antara para pejuang Muslim banyak yang baru saja
masuk Islam (disebut kaum Anshar atau "Penolong", untuk membedakannya dengan kaum
Muslim Quraisy), yang sebelumnya hanya berjanji untuk membela Madinah. Berdasarkan pasal-
pasal dalam Piagam Madinah, mereka berhak untuk menolak berperang serta dapat
meninggalkan pasukan. Meskipun demikian berdasarkan tradisi Islam (sirah), dinyatakan bahwa
mereka pun berjanji untuk berperang. Sa'ad bin Ubadah, salah seorang kaum Anshar, bahkan
berkata "Seandainya engkau (Muhammad) membawa kami ke laut itu, kemudian engkau benar-
benar mengarunginya, niscaya kami pun akan mengikutimu."[18] Akan tetapi, kaum Muslim
masih berharap dapat terhindar dari suatu pertempuran terbuka, dan terus melanjutkan
pergerakannya menuju Badar.

Pada tanggal 11 Maret, kedua pasukan telah berada kira-kira satu hari perjalanan dari Badar.
Beberapa pejuang Muslim (menurut beberapa sumber, termasuk Ali bin Abi Thalib) yang telah
berkuda di depan barisan utama, berhasil menangkap dua orang pembawa persedian air dari
pasukan Mekkah di sumur Badar. Pasukan Muslim sangat terkejut ketika mendengar para
tawanan berkata bahwa mereka bukan berasal dari kafilah dagang, melainkan berasal dari
pasukan utama Quraisy. Karena menduga bahwa mereka berbohong, para penyelidik memukuli
kedua tawanan tersebut sampai mereka berkata bahwa mereka berasal dari kafilah dagang. Akan
tetapi berdasarkan catatan tradisi, Muhammad kemudian menghentikan tindakan tersebut.[18]
Beberapa catatan tradisi juga menyatakan bahwa ketika mendengar nama-nama para bangsawan
Quraisy yang menyertai pasukan tersebut, ia berkata "Itulah Mekkah. Ia telah melemparkan
kepada kalian potongan-potongan hatinya."[19] Hari berikutnya Muhammad memerintahkan
melanjutkan pergerakan pasukan ke wadi Badar dan tiba di sana sebelum pasukan Mekkah.

Sumur Badar terletak di lereng yang landai di bagian timur suatu lembah yang bernama "Yalyal".
Bagian barat lembah dipagari oleh sebuah bukit besar bernama "'Aqanqal". Ketika pasukan
Muslim tiba dari arah timur, Muhammad pertama-tama memilih menempatkan pasukannya pada
sumur pertama yang dicapainya. Tetapi, ia kemudian tampaknya berhasil diyakinkan oleh salah
seorang pejuangnya, untuk memindahkan pasukan ke arah barat dan menduduki sumur yang
terdekat dengan posisi pasukan Quraisy. Muhammad kemudian memerintahkan agar sumur-
sumur yang lain ditimbuni, sehingga pasukan Mekkah terpaksa harus berperang melawan
pasukan Muslim untuk dapat memperoleh satu-satunya sumber air yang tersisa.

Rencana pasukan Mekkah

Tayangan dari film The Message: Pasukan Muslim mendekati pasukan Quraisy Mekkah di dekat
daerah 'Aqanqal.

"Semua suku Arab akan mendengar bagaimana kita akan maju ke depan dengan segala
kemegahan kita, dan mereka akan mengagumi kita untuk selama-lamanya." - Amr bin
Hisyam

Di sisi lain, meskipun tidak banyak yang diketahui mengenai perjalanan pasukan Quraisy sejak
saat mereka meninggalkan Mekkah sampai dengan kedatangannya di perbatasan Badar, beberapa
hal penting dapat dicatat: adalah tradisi pada banyak suku Arab untuk membawa istri dan anak-
anak mereka untuk memotivasi dan merawat mereka selama pertempuran, tetapi tidak dilakukan
pasukan Mekkah pada perang ini. Selain itu, kaum Quraisy juga hanya sedikit atau sama sekali
tidak menghubungi suku-suku Badui sekutu mereka yang banyak tersebar di seluruh Hijaz.[20]
Kedua fakta itu memperlihatkan bahwa kaum Quraisy kekurangan waktu untuk mempersiapkan
penyerangan tersebut, karena tergesa-gesa untuk melindungi kafilah dagang mereka.

Ketika pasukan Quraisy sampai di Juhfah, sedikit di arah selatan Badar, mereka menerima pesan
dari Abu Sufyan bahwa kafilah dagang telah aman berada di belakang pasukan tersebut,
sehingga mereka dapat kembali ke Mekkah.[21] Pada titik ini, menurut penelitian Karen
Armstrong, muncul pertentangan kekuasaan di kalangan pasukan Mekkah. Amr bin Hisyam
ingin melanjutkan perjalanan, tetapi beberapa suku termasuk Bani Zuhrah dan Bani 'Adi, segera
kembali ke Mekkah. Armstrong memperkirakan suku-suku itu khawatir terhadap kekuasaan
yang akan diraih oleh Amr bin Hisyam, dari penghancuran kaum Muslim. Sekelompok
perwakilan Bani Hasyim yang juga enggan berperang melawan saudara sesukunya, turut pergi
bersama kedua suku tersebut.[22] Di luar beberapa kemunduran itu, Amr bin Hisyam tetap teguh
dengan keinginannya untuk bertempur, dan bersesumbar "Kita tidak akan kembali sampai kita
berada di Badar". Pada masa inilah Abu Sufyan dan beberapa orang dari kafilah dagang turut
bergabung dengan pasukan utama.[23]

Hari pertempuran

Di saat fajar tanggal 13 Maret, pasukan Quraisy membongkar kemahnya dan bergerak menuju
lembah Badar. Telah turun hujan pada hari sebelumnya, sehingga mereka harus berjuang ketika
membawa kuda-kuda dan unta-unta mereka mendaki bukit 'Aqanqal (beberapa sumber
menyatakan bahwa matahari telah tinggi ketika mereka berhasil mencapai puncak bukit).[24]
Setelah menuruni bukit 'Aqanqal, pasukan Mekkah mendirikan kemah baru di dalam lembah.
Saat beristirahat, mereka mengirimkan seorang pengintai, yaitu Umair bin Wahab, untuk
mengetahui letak barisan-barisan Muslim. Umair melaporkan bahwa pasukan Muhammad
berjumlah kecil, dan tidak ada pasukan pendukung Muslim lainnya yang akan bergabung dalam
peperangan.[25] Akan tetapi ia juga memperkirakan akan ada banyak korban dari kaum Quraisy
bila terjadi penyerangan (salah satu hadits menyampaikan bahwa ia melihat "unta-unta
(Madinah) yang penuh dengan hawa kematian").[26] Hal tersebut semakin menurunkan moral
kaum Quraisy, karena adanya kebiasaan peperangan suku-suku Arab yang umumnya sedikit
memakan korban, dan menimbulkan perdebatan baru di antara para pemimpin Quraisy.
Meskipun demikian, menurut catatan tradisi Islam, Amr bin Hisyam membungkam semua
ketidak-puasan dengan membangkitkan rasa harga diri kaum Quraisy dan menuntut mereka agar
menuntaskan hutang darah mereka.[27]

Pertempuran diawali dengan majunya pemimpin-pemimpin kedua pasukan untuk berperang


tanding. Tiga orang Anshar maju dari barisan Muslim, akan tetapi diteriaki agar mundur oleh
pasukan Mekkah, yang tidak ingin menciptakan dendam yang tidak perlu dan menyatakan bahwa
mereka hanya ingin bertarung melawan Muslim Quraisy. Karena itu, kaum Muslim kemudian
mengirimkan Ali, Ubaidah bin al-Harits, dan Hamzah. Para pemimpin Muslim berhasil
menewaskan pemimpin-pemimpin Mekkah dalam pertarungan tiga lawan tiga, meskipun
Ubaidah mendapat luka parah yang menyebabkan ia wafat.[28]

Selanjutnya kedua pasukan mulai melepaskan anak panah ke arah lawannya. Dua orang Muslim
dan beberapa orang Quraisy yang tidak jelas jumlahnya tewas. Sebelum pertempuran
berlangsung, Muhammad telah memberikan perintah kepada kaum Muslim agar menyerang
dengan senjata-senjata jarak jauh mereka, dan bertarung melawan kaum Quraisy dengan senjata-
senjata jarak pendek hanya setelah mereka mendekat.[29] Segera setelah itu ia memberikan
perintah untuk maju menyerbu, sambil melemparkan segenggam kerikil ke arah pasukan
Mekkah; suatu tindakan yang mungkin merupakan suatu kebiasaan masyarakat Arab, dan
berseru "Kebingungan melanda mereka!"[30][31] Pasukan Muslim berseru "Ya manshur, amit!!"[32]
dan mendesak barisan-barisan pasukan Quraisy. Besarnya kekuatan serbuan kaum Muslim dapat
dilihat pada beberapa ayat-ayat al-Qur'an, yang menyebutkan bahwa ribuan malaikat turun dari
Surga pada Pertempuran Badar untuk membinasakan kaum Quraisy.[31][33] Haruslah dicatat bahwa
sumber-sumber Muslim awal memahami kejadian ini secara harafiah, dan terdapat beberapa
hadits mengenai Muhammad yang membahas mengenai Malaikat Jibril dan peranannya di dalam
pertempuran tersebut. Apapun penyebabnya, pasukan Mekkah yang kalah kekuatan dan tidak
bersemangat dalam berperang segera saja tercerai-berai dan melarikan diri. Pertempuran itu
sendiri berlangsung hanya beberapa jam dan selesai sedikit lewat tengah hari.[34]

Setelah pertempuran
Korban dan tawanan

Lukisan Iran (1314), menggambarkan pasukan Muslim sedang melakukan pengejaran setelah
pertempuran

Imam Bukhari memberikan keterangan bahwa dari pihak Mekkah tujuh puluh orang tewas dan
tujuh puluh orang tertawan.[35] Hal ini berarti 15%-16% pasukan Quraisy telah menjadi korban.
Kecuali bila ternyata jumlah pasukan Mekkah yang terlibat di Badr jauh lebih sedikit, maka
persentase pasukan yang tewas akan lebih tinggi lagi. Korban pasukan Muslim umumnya
dinyatakan sebanyak empat belas orang tewas, yaitu sekitar 4% dari jumlah mereka yang terlibat
peperangan.[31] Enam orang berasal dari kaum Muhajirin dan 8 orang dari kaum Anshar.[36]

Nama korban meninggal dari kaum Muhajirin yaitu Ubaidah bin Al-Harits, Umair bin Abi
Waqqas, Dzusy Syimalain bin Abdu Amr, Aqil bin Al-Bukair, Mihja', dan Shafwan bin Baidha'.
Sedangjan korban meninggal dari kaum Anshar berasal dari Bani Aus dan Bani Khazraj. Korban
meninggal dari Bani Aus ada dua orang, yaitu Sa'ad bin Khaitsamah dan Mubasysyir. Sedangkan
dari Bani Khazraj ada enam orang, yaitu Yazid bin Al-Harits, Umair bin Al-Husam, Rafi' bin Al-
Mu'alla, Haritsah bin Suraqah, Auf bin Afra' dan Mu'awwadz bin Afra'.[37]

Sumber-sumber tidak menceritakan mengenai jumlah korban luka-luka dari kedua belah pihak,
dan besarnya selisih jumlah korban keseluruhan antara kedua belah pihak menimbulkan dugaan
bahwa pertempuran berlangsung dengan sangat singkat dan sebagian besar pasukan Mekkah
terbunuh ketika sedang bergerak mundur.

Selama terjadinya pertempuran, pasukan Muslim berhasil menawan beberapa orang Quraisy
Mekkah. Perbedaan pendapat segera terjadi di antara pasukan Muslim mengenai nasib bagi para
tawanan tersebut.[38][39] Kekhawatiran awal ialah pasukan Mekkah akan menyerbu kembali dan
kaum Muslim tidak memiliki orang-orang untuk menjaga para tawanan. Sa'ad dan Umar
berpendapat agar tawanan dibunuh, sedangkan Abu Bakar mengusulkan pengampunan.
Muhammad akhirnya menyetujui usulan Abu Bakar, dan sebagian besar tawanan dibiarkan
hidup, sebagian karena alasan hubungan kekerabatan (salah seorang adalah menantu
Muhammad), keinginan untuk menerima tebusan, atau dengan harapan bahwa suatu saat mereka
akan masuk Islam (dan memang kemudian sebagian melakukannya).[40] Setidak-tidaknya dua
orang penting Mekkah, Amr bin Hisyam dan Umayyah, tewas pada saat atau setelah
Pertempuran Badar. Demikian pula dua orang Quraisy lainnya yang pernah menumpahkan
keranjang kotoran kambing kepada Muhammad saat ia masih berdakwah di Mekkah, dibunuh
dalam perjalanan kembali ke Madinah.[41] Bilal, bekas budak Umayyah, begitu berkeinginan
membunuhnya sehingga bersama sekumpulan orang yang membantunya bahkan sampai melukai
seorang Muslim yang ketika itu sedang mengawal Umayyah.[42]

Beberapa saat sebelum meninggalkan Badar, Muhammad memberikan perintah agar mengubur
sekitar dua puluh orang Quraisy yang tewas ke dalam sumur Badar.[43] Beberapa hadits
menyatakan kejadian ini, yang tampaknya menjadi penyebabkan kemarahan besar pada kaum
Quraisy Mekkah. Segera setelah itu, beberapa orang Muslim yang baru saja ditangkap sekutu-
sekutu Mekkah dibawa ke kota itu dan dibunuh sebagai pembalasan atas kekalahan yang terjadi.
[44]

Berdasarkan tradisi Mekkah mengenai hutang darah, siapa saja yang memiliki hubungan darah
dengan mereka yang tewas di Badar, haruslah merasa terpanggil untuk melakukan pembalasan
terhadap orang-orang dari suku-suku yang telah membunuh kerabat mereka tersebut. Pihak
Muslim juga mempunyai keinginan yang besar untuk melakukan pembalasan, karena telah
mengalami penyiksaan dan penganiayaan oleh kaum Quraisy Mekkah selama bertahun-tahun.
Akan tetapi selain pembunuhan awal yang telah terjadi, para tawanan lainnya yang masih hidup
kemudian ditempatkan pada beberapa keluarga Muslim di Madinah dan mendapat perlakuan
yang baik; yaitu sebagai kerabat atau sebagai sumber potensial untuk mendapatkan uang tebusan.

Dampak selanjutnya

Pertempuran Badar sangatlah berpengaruh atas munculnya dua orang tokoh yang akan
menentukan arah masa depan Jazirah Arabia pada abad selanjutnya. Tokoh pertama adalah
Muhammad, yang dalam semalam statusnya berubah dari seorang buangan dari Mekkah,
menjadi salah seorang pemimpin utama. Menurut Karen Armstrong, "selama bertahun-tahun
Muhammad telah menjadi sasaran pencemoohan dan penghinaan; tetapi setelah keberhasilan
yang hebat dan tak terduga itu, semua orang di Arabia mau tak mau harus menanggapinya secara
serius."[34] Marshall Hodgson menambahkan bahwa peristiwa di Badar memaksa suku-suku Arab
lainnya untuk "menganggap umat Muslim sebagai salah satu penantang dan pewaris potensial
terhadap kewibawaan dan peranan politik yang dimiliki oleh kaum Quraisy." Kemenangan di
Badar juga membuat Muhammad dapat memperkuat posisinya sendiri di Madinah. Segera
setelah itu, ia mengeluarkan Bani Qainuqa' dari Madinah, yaitu salah satu suku Yahudi yang
sering mengancam kedudukan politiknya. Pada saat yang sama, Abdullah bin Ubay, seorang
Muslim pemimpin Bani Khazraj dan penentang Muhammad, menemukan bahwa posisi
politiknya di Madinah benar-benar melemah. Selanjutnya, ia hanya mampu memberikan
penentangan dengan pengaruh terbatas kepada Muhammad.[45]

Tokoh lain yang mendapat keberuntungan besar atas terjadinya Pertempuran Badar adalah Abu
Sufyan. Kematian Amr bin Hisyam, serta banyak bangsawan Quraisy lainnya[46] telah
memberikan Abu Sufyan peluang, yang hampir seperti direncanakan, untuk menjadi pemimpin
bagi kaum Quraisy. Sebagai akibatnya, saat pasukan Muhammad bergerak memasuki Mekkah
enam tahun kemudian, Abu Sufyan menjadi tokoh yang membantu merundingkan
penyerahannya secara damai. Abu Sufyan pada akhirnya menjadi pejabat berpangkat tinggi
dalam Kekhalifahan Islam, dan anaknya Muawiyah kemudian melanjutkannya dengan
mendirikan Kekhalifahan Umayyah.

Keikutsertaan dalam pertempuran di Badar pada masa-masa kemudian menjadi amat dihargai,
sehingga Ibnu Ishaq memasukkan secara lengkap nama-nama pasukan Muslim tersebut dalam
biografi Muhammad yang dibuatnya. Pada banyak hadits, orang-orang yang bertempur di Badar
dinyatakan dengan jelas sebagai sebentuk penghormatan, bahkan kemungkinan mereka juga
menerima semacam santunan pada tahun-tahun belakangan.[47] Meninggalnya veteran
Pertempuran Badar yang terakhir, diperkirakan terjadi saat perang saudara Islam pertama.[48]
Menurut Karen Armstrong, salah satu dampak Badar yang paling berkelanjutan kemungkinan
adalah kegiatan berpuasa selama Ramadan, yang menurutnya pada awalnya dikerjakan umat
Muslim untuk mengenang kemenangan pada Pertempuran Badar.[49] Meskipun demikian
pandangan ini diragukan, karena menurut catatan tradisi Islam, pasukan Muslim saat itu sedang
berpuasa ketika mereka bergerak maju ke medan pertempuran.

Perang Badar juga berdampak pada kemajuan pendidikan bagi umat Islam. Rasulullah
memutuskan kebijakan yang sangat bijaksana terhadap tawanan Quraisy, kebijakan tersebut
berdasarkan usulan Abu Bakar As-Siddiq.[50]

Sumber sejarah
Badar dalam al-Qur'an

Pertempuran Badar adalah salah satu dari sedikit pertempuran yang secara eksplisit dibicarakan
dalam al-Qur'an. Nama pertempuran ini bahkan disebutkan pada Surah Ali 'Imran: 123, sebagai
bagian dari perbandingan terhadap Pertempuran Uhud.[51]

Sungguh Allah telah menolong kamu dalam Peperangan Badar, padahal kamu adalah
(ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertawakallah kepada Allah, supaya
kamu mensyukuri-Nya. (Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang Mukmin,
"Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang
diturunkan (dari langit)?" Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa dan mereka
datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan
lima ribu malaikat yang memakai tanda. Ali 'Imran: 123-125

Menurut Yusuf Ali, istilah "syukur" dapat merujuk kepada disiplin. Di Badar, barisan-barisan
Muslim diperkirakan telah menjaga disiplin secara ketat; sementara di Uhud mereka keluar
barisan untuk memburu orang-orang Mekkah, sehingga membuat pasukan berkuda Mekkah
dapat menyerang dari samping dan menghancurkan pasukan Muslim. Gagasan bahwa Badar
merupakan "pembeda" (furqan), yaitu menjadi kejadian mukjizat dalam Islam, disebutkan lagi
dalam surah yang sama ayat 13.[52]
"Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu
(bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang
dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang Muslimin dua kali jumlah
mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai mata hati." Ali 'Imran:13

Badar juga merupakan pokok pembahasan Surah kedelapan Al-Anfal, yang membahas mengenai
berbagai tingkah laku dan kegiatan militer.[53] "Al-Anfal" berarti "rampasan perang" dan merujuk
pada pembahasan pasca pertempuran dalam pasukan Muslim mengenai bagaimana membagi
barang rampasan dari pasukan Quraisy. Meskipun surah tersebut tidak menyebut Badar, isinya
menggambarkan pertempuran tersebut, serta beberapa ayat yang umumnya dianggap diturunkan
pada saat atau segera setelah pertempuran tersebut terjadi.[53]

Catatan tradisi Islam

Pertempuran Badar, dalam kuliah Islam kontemporer.


Artikel utama: Historiografi Islam awal

Sesungguhnya seluruh pengetahuan mengenai Pertempuran Badar berasal dari catatan-catatan


tradisi Islam, baik berupa hadits maupun biografi Muhammad, yang dituliskan beberapa puluh
tahun setelah kejadiannya. Ada beberapa alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, banyak suku-
suku Arab yang hidup di jazirah Arabia buta huruf dan tradisi oral merupakan cara mereka untuk
menyampaikan informasi. Pada saat Balatentara Islam dapat menaklukkan suku-suku Arab yang
lebih berpendidikan di Suriah dan Irak, dapat dikatakan seluruh kaum Quraisy telah masuk
Islam, sehingga menghilangkan peluang adanya catatan-catatan non-Muslim mengenai
pertempuran tersebut. Kedua, dengan tersusunnya berbagai kompilasi hadits, maka naskah-
naskah catatan aslinya menjadi tidak dibutuhkan lagi, dan menurut Hugh Kennedy kemudian
dimusnahkan dengan "kecepatan yang menyedihkan".[54] Terakhir, umumnya umat Muslim yang
taat beranggapan bahwa para Muslim yang tewas di Badar adalah para syahid yang mulia,
sehingga besar kemungkinan menjadi kendala bagi usaha yang sungguh-sungguh untuk
melakukan penggalian arkeologis di Badar.
Referensi modern
Militer

Mengingat posisi pertempuran ini dalam sejarah Islam dan makna tersiratnya berupa
kemenangan atas suatu penghalang yang sangat besar, maka pemakaian nama "Badar" menjadi
populer di kalangan tentara atau kelompok paramiliter Islam. "Operasi Badar" adalah nama yang
digunakan oleh Mesir untuk perannya dalam Perang Yom Kippur pada tahun 1973,[55] dan
Pakistan menggunakannya dalam Perang Kargil pada tahun 1999.[56] Di Irak, sayap militer dari
Dewan Tertinggi Revolusi Islam di Irak (SCIRI) menamakan diri sebagai Organisasi Badar.[57]

Anda mungkin juga menyukai