Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

Tafsir Tarbawi

Tentang:

Puasa, Haji, Umrah dan Ayat Tentang Toleransi Serta Etika Beragama

Oleh kelompok IV

Putri Rahmadani : 2214040109

Izzatu Rafiqah : 2214040126

Miftahur Rahmi Permata : 2214040136

Nadila Ilma Zahara : 2214040141

Dosen pembimbing:

Azhariah fatia, S.Ag, MA

JURUSAN TADRIS MATEMATIKA (D)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG

1445H/2023M
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................2
PENDAHULUAN........................................................................................................................3
A. Latar Belakang Masalah..............................................................................................3
B. Rumusan Masalah........................................................................................................3
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................5
A. Makna dan Kandungan Ayat – Ayat tentang ketentuan puasa....................................5
B. Makna dan Kandungan Ayat – Ayat Tentang Ketentuan Haji dan Umrah....................8
C. Makna dan Kandungan Ayat – Ayat Tentang Toleransi dan Etika Beragama.............17
BAB III.....................................................................................................................................29
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah
ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai
penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Padang, 18 September 2023

Penulis, Kelompok IV
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Puasa, Haji dan Umroh merupakan dua praktik keagamaan penting dalam
agama Islam. Puasa adalah ibadah wajib yang dilakukan oleh umat Muslim di seluruh
dunia selama bulan Ramadan. Selama bulan ini, umat Muslim menahan diri dari
makan, minum, dan kegiatan lainnya dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
Puasa memiliki makna spiritual yang mendalam, di mana umat Muslim berusaha
untuk meningkatkan kesadaran diri, mengendalikan hawa nafsu, dan mendekatkan
diri kepada Allah.
Haji Umroh, di sisi lain, adalah ibadah yang dilakukan oleh umat Muslim yang
mampu secara finansial dan fisik untuk melakukan perjalanan ke Mekah, Saudi
Arabia. Haji Umroh terdiri dari serangkaian ritual yang harus dilakukan oleh jamaah
haji di tempat- tempat suci, seperti Masjidil Haram dan Ka'bah. Ibadah ini merupakan
salah satu dari lima rukun Islam dan dianggap sebagai salah satu momen puncak
dalam kehidupan seorang Muslim.
Toleransi dan etika beragama merupakan dua hal yang sangat penting dalam
kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks agama, toleransi merujuk pada sikap saling
menghormati dan menerima perbedaan keyakinan agama antara individu atau
kelompok. Sementara itu, etika beragama mengacu pada prinsip-prinsip moral dan
perilaku yang diikuti oleh penganut agama dalam interaksi mereka dengan sesama.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja makna dan kandungan ayat – ayat tentang ketentuan puasa ?
2. Apa saja makna dan kandungan ayat – tentang ketentuan haji dan umrah ?
3. Apa saja makna dan kandungan ayat tentang toleransi ?
4. Apa saja kandungan ayat tentang etika beragama ?
C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui makna dan kandungan ayat – ayat tentang puasa


2. Mengetahui makna dan kandungan ayat – tentang haji dan umrah
3. Mengetahui makna dan kandungan ayat tentang toleransi
4. Mengetahui kandungan ayat tentang etika beragamana
BAB II

PEMBAHASAN

A. Makna dan Kandungan Ayat – Ayat tentang ketentuan puasa.

(‫علَى الَّ ِذينَ ِمن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ َ ِ‫يأيها الَّ ِذينَ َءا َمنُوا ُكت‬
َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ُم الصِّ يَا ُم َك َما ُكت‬
َ ‫ب‬
)183

َ‫ت فَ َمن َكانَ ِمن ُكم ِّم ِريضًا َأوْ َعلَى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِّم ْن َأي ٍَّام ُأ َخ َر َو َعلَى الَّ ِذين‬ ٍ ‫َأيَّا ًما َم ْع ُدودَا‬
‫ين فَ َمن تَطَ َّو َع َخ ْيرًا فَهُ َو َخ ْي ٌر لَّهُ َوَأن تَصُو ُموا َخ ْي ٌر لَّ ُك ْم ِإن‬ ِ ‫ي ُِطيقُونَهُ فِ ْديَةٌ طَ َعا ُم ِم ْس ِك‬
)184(‫َ ُكنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬

183. “ Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa


sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu
bertakwa,”
184. “(yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Barangsiapa di antara kamu sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya mengganti)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi
orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi
makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan berpuasa lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui.”
Ayat puasa dimulai dengan ajakan kepada setiap orang yang memiliki iman
walau seberat apapun. Ia dimulai dengan satu,pengantar yang mengundang setiap
mukmin untuk sadar akan perlunya melaksanakan ajakan itu. Ia dimulai dengan
panggilan mesra yaitu, Wahai orang-orang yang beriman.

Kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan kewajiban puasa tanpa menunjuk


siapa yang mewajibkannya, Diwajibkan atas kamu. Redaksi ini tidak menunjuk
siapa pelaku yang mewajibkan. Agaknya untuk mengisyaratkan bahwa apa yang
akan diwajibkan ini sedemikian penting dan bermanfaat bagi setiap orang bahkan
kelompok, sehingga seandainya bukan Allah yang mewajibkannya, niscaya
manusia sendiri yang akan mewajibkannya atas dirinya sendiri. Yang diwajibkan

adalah (ُ‫صيَا ُم‬


ِّ ‫ )ال‬ash-shiyam, yakni menahan diri. Menahan diri dibutuhkan oleh
setiap orang, kaya atau miskin, muda atau tua, lelaki atau perempuan, sehat atau
sakit, orang modern yang hidup masaa kini, maupun manusia primitif yang hidup
masa lalu. Bahkan perorangan atau kelompok.

Selanjutnya ayat ini menjelaskan bahwa kewajiban yang dibebankan itu


adalah, sebagaimana telah diwajibkan pula atas umat-umat terdahulu sebelum
kamu. Ini berarati puasa bukan hanya khusus untuk generasi mereka yang diajak
berdialog pada masa turunnya ayat ini, tetapi juga terhadap umat-umat terdahulu,
walaupun rincian cara pelaksanaanya berbeda-beda. Sekali lagi dalam redaksi di
atas tidak ditemukan siapa yang mewajibkannya. Ini karena sebagian umat
terdahulu berpuasa berdasar kewajiban yang ditetapkan oleh tokoh-tokoh agama
mereka, bukan melalui wahyu Ilahi atau petunjuk nabi.

Kewajiban tersebut dimaksudkan agar kamu bertakwa, yakni terhindar dari


segala macam sanksi dan dampak buruk, baik duniawi maupun ukhrawi. Jangan
duga, kewajiban yang akan dibebankan kepada kamu ini sepanjang tahun. Hanya
beberapa hari tertentu, itu pun masih harus melihat kondisi kesehatan dan keadaan
kalian. Karena itu, barang siapa di antara kamu sakit yang memberatkan baginya
puasa, atau menduga kesehatannya akan terlambat pulih bila berpuasa atau ia
benar-benar dalam perjalanan kata benar-benar dipahami dari kata (‫‘ ) على‬ala
dalam redaksi (‫‘ )س||فرعلى‬ala safarin, jadi bukan perjalanan biasa yang mudah.
Dahulu perjalanan itu dinilai sejauh sekitar sembilan puluh kilometer, jika yang
sakit dan yang dalam perjalanan itu berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa
pada hari-hari lain.
‫اس َوبَ ْينَت ِمنَ ْالهُدَى َو ْالفُرْ قَا ِن‬ ُ ‫نز َل فِي ِه ْالقُرْ َء‬ ‫ُأ‬
ِ َّ‫ان هُدًى لِلن‬ ِ ‫ضانَ الَّ ِذي‬ َ ‫َش ْه ُر َر َم‬
‫ص ْمهُ َو َمن َكانَ َم ِريضًا َأوْ َعلَى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِّم ْن َأي ٍَّام‬ ُ َ‫فَ َمن َش ِه َد ِمن ُك ُم ال َّشه َْر فَ ْلي‬
َ ‫ُأ‬
‫خَر ي ُِري ُد هَّللا ُ بِ ُك ُم ْاليُ ْس َر َواَل ي ُِري ُد بِ ُك ُم ْال ُعس َْر َولِتُ ْك ِملُوا ْال ِع َّدةَ َولِتُ َكبِّرُوا هَّللا َ َعلَى‬
‫َما هَ َدنَ ُك ْم َولَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُون‬
185. “ (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran, sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda
(antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu
ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu]. Hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.”
َّ pada posisi nashab sebagai zharf (keterangan waktu), bukan
Kata ‫الش|| ْه ُر‬
sebagai maf’ul bih(obyek penderita), Segolongan salaf dan khalaf mengatakan
bahwa orang yang mendapati bulan Ramadhan dalam keadaan sedang muqim,
tidak sedang bepergian maka ia wajib berpuasa baik setelah itu ia bepergian (safar)
maupun tetap muqim. Mereka berdalih dengan ayat ini. Jumhur ualama
mengatakan bahwa bila seseorang sedang bepergian (safar) maka ia boleh berbuka
karena makna ayat ini adalah bila sedang hadir dari awal hingga akhir, bukan hadir
pada sebagiannya dari bepergian pada sebagian lainnya Jadi ini tidak memastikan
untuk berpuasa hanya pada saat hadir saja Inilah pendapat yang benar, dan ini juga
ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih, karena Nabi SAW pernah bepergian
pada bulan Ramadhan, lalu beliau berbuka.
B. Makna dan Kandungan Ayat – Ayat Tentang Ketentuan Haji dan Umrah

1. QS. Ali imran 96 – 97

ً ‫س لَلَّ ِذي بِبَ َّكةَ ُمبا َركا ً َوهُد‬


)96( َ‫ى لِ ْلعالَ ِمين‬ ِ ‫ض َع لِلنَّا‬ ٍ ‫ِإنَّ َأ َّو َل بَ ْي‬
ِ ‫ت ُو‬

‫ستَطا َع ِإلَ ْي ِه‬ ِ ‫س ِح ُّج ا ْلبَ ْي‬


ْ ‫ت َم ِن ا‬ ِ ‫فِي ِه آياتٌ بَيِّناتٌ َمقا ُم ِإ ْبرا ِهي َم َو َمنْ د ََخلَهُ كانَ آ ِمنا ً َوهَّلِل ِ َعلَى النَّا‬
97( َ‫سبِيالً َو َمنْ َكفَ َر فَِإنَّ هَّللا َ َغنِ ٌّي ع َِن ا ْلعالَ ِمين‬
َ

96. “Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia,


ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi
petunjuk bagi seluruh alam.í”

97. “Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam
Ibrahim. Barang siapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di
antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji
ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke
sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa
Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”

Allah SWT memberitahukan bahwa Baitullah (Ka’bah) adalah rumah

ِ َّ‫لِلن‬
yang pertama kali dibangun untuk manusia bagi kepentingan ibadah ( ‫اس‬

‫ض َع‬ ٍ ‫ ) ِإ َّن َأ َّو َل بَ ْي‬yang terletak di bakkah ( َ‫ ) لَلَّ ِذي بِبَ َّكة‬yaitu Makkah. Ayat
ِ ‫ت ُو‬
ini membantah orang-orang Yahudi yang mengecam umat Islam yang
berkiblat ke Mekah. Orang-orang Yahudi menduga bahwa Baitu Maqdis,
yaitu kiblat mereka lebih utama dari Ka‟bah.

Pada sisi lain, mereka mencela Nabi Muhammad ketika memalingkan


kiblatnya ke arah Ka‟bah. Mereka beranggapan “jika saja engkau
(Muhammad) seorang nabi seperti semua Nabi dari keturunan Nabi Ishaq
yang mengagungkan dan dan shalat menghadap Baitul Maqdis, maka pasti
engkau mengagungkan hal-hal yang telah mereka agungkan dan
tidaklahengkau berpaling dari padanya kemudian mengagungkan tempat lain.
Hal ini berarti engkautelah menentang para Nabi terdahulu.”
Allah kemudian membalas tuduhan mereka dengan menyatakan
bahwa sesungguhnya pertama yang dibangun untuk beribadah adalah Baitul
Haram yang dibangun oleh Nabi Ibrahim Khalilullah as dan anak baliau, Nabi
Ismail as untuk rumah ibadah. Dengan demikian, Nabi Muhamad SAW
berada pada Millah Nabi Ibrahim as dan beliau menghadapdalam ibadah
seperti Nabi Ibrahim dan Ismail.

Allah Ta’ala memberitakan tentang keagungan Baitullah al-Haram,


dan bahwa Baitullah al-Haram itu adalah rumah yang pertama dibangun oleh
Allah di bumi untuk beribadah kepadaNya dan menegakkan dzikir
kepadaNya. Di dalamnya ada keberkahan, berbagai bentuk hidayah, berbagai
macam kemaslahatan dan manfaat yang begitu besar untuk alam semesta dan
keutamaan yang melimpah. Di sana juga ada tanda-tanda yang jelas yang
mengingatkan kepada maqam-maqam Ibrahim al-Khalil ‘alaihissalam dan
perpindahannya dalam melaksanakan haji dan setelahnya, mengingatkan
kepada maqam-maqam penghulu para rasul dan pemimpin mereka, dan
padanya ada ketenangan di mana seseorang bila memasukinya, niscaya dia
akan merasa aman lagi tentram, serta beriman secara syariat maupun agama.

Ketika Baitullah al-Haram mengandung segala kebaikan yang


disebutkan secara umum ini dan akan banyak perincian-perinciannya, maka
Allah mewajibkan para hamba yang mukallaf yang mampu melakukan
perjalanan kepadanya untuk menunaikan Haji. Yaitu orang-orang yang
mampu sampai ke Baitullah dengan mengendarai kendaraan apa pun yang
sesuai dengannya dan perbekalan yang harus disiapkannya. Karena itulah
Allah berfirman dengan lafazh tersebut yang memungkinkannya untuk
mengendarai segala bentuk kendaraan yang modern dan yang akan muncul di
kemudian hari.

Inilah ayat-ayat al-Qur`an, di mana hukum-hukumnya relevan untuk


setiap waktu dan setiap kondisi yang mana tanpanya suatu perkara tidak akan
baik secara sempurna. Barangsiapa yang tunduk patuh kepadanya dan
menunaikannya, maka dia termasuk di antara orang-orang yang diberi
petunjuk lagi beriman. Dan barangsiapa yang ingkar terhadapnya dan tidak
menunaikan haji ke Baitullah, maka dia telah keluar dari agama. َ‫َغنِ ٌّي َع ِن ْالعالَ ِمين‬
َ ‫“ َو َم ْن َكفَ||| َر فَ||||ِإ َّن هَّللا‬Dan barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam.”

2. QS. Albaqarah 196 – 197

‫س ُك ْم َحت َّٰى يَ ْبلُ َغ‬ ِ ‫س َر ِمنَ ا ْل َهد‬


َ ‫ْي ۖ َواَل ت َْحلِقُوا ُر ُءو‬ َ ‫ستَ ْي‬ ِ ‫َوَأتِ ُّموا ا ْل َح َّج َوا ْل ُع ْم َرةَ هَّلِل ِ ۚ َفِإنْ ُأ ْح‬
ْ ‫ص ْرتُ ْم فَ َما ا‬
‫س ٍك ۚ َفِإ َذا‬ ُ ُ‫ص َدقَ ٍة َأ ْو ن‬
َ ‫صيَ ٍام َأ ْو‬
ِ ْ‫س ِه فَفِ ْديَةٌ ِمن‬ِ ‫ضا َأ ْو بِ ِه َأ ًذى ِمنْ َرْأ‬ ً ‫ي َم ِحلَّهُ ۚ فَ َمنْ َكانَ ِم ْن ُك ْم َم ِري‬ ُ ‫ا ْل َه ْد‬
‫صيَا ُم ثَاَل ثَ ِة َأيَّ ٍام فِي‬ِ َ‫ْي ۚ فَ َمنْ لَ ْم يَ ِج ْد ف‬
ِ ‫س َر ِمنَ ا ْل َهد‬ ْ ‫َأ ِم ْنتُ ْم فَ َمنْ تَ َمتَّ َع بِا ْل ُع ْم َر ِة ِإلَى ا ْل َح ِّج فَ َما ا‬
َ ‫ستَ ْي‬
ٰ
ۚ ‫س ِج ِد ا ْل َح َر ِام‬
ْ ‫ض ِري ا ْل َم‬ ِ ‫س ْب َع ٍة ِإ َذا َر َج ْعتُ ْ˜م ۗ تِ ْل َك َعش ََرةٌ َكا ِملَةٌ ۗ َذلِ َك لِ َمنْ لَ ْم يَ ُكنْ َأ ْهلُهُ َحا‬
َ ‫ا ْل َح ِّج َو‬
َ َ ‫َواتَّقُوا هَّللا َ َوا ْعلَ ُموا َأنَّ هَّللا‬
)196( ‫ش ِدي ُد ا ْل ِعقَاب‬

‫ق َواَل ِجدَا َل فِي ا ْل َح ِّج ۗ َو َما‬َ ‫سو‬ ُ ُ‫ض فِي ِهنَّ ا ْل َح َّج َفاَل َرفَ َث َواَل ف‬ َ ‫ش ُه ٌر َم ْعلُو َماتٌ ۚ فَ َمنْ فَ َر‬ ْ ‫ا ْل َح ُّج َأ‬
)197( ‫ب‬ ِ ‫ون يَا ُأولِي اَأْل ْلبَا‬
ِ ُ‫تَ ْف َعلُوا ِمنْ َخ ْي ٍر يَ ْعلَ ْمهُ هَّللا ُ ۗ َوتَزَ َّودُوا فَِإنَّ َخ ْي َر ال َّزا ِد التَّ ْق َو ٰى ۚ َواتَّق‬

196. “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ´umrah karena Allah. Jika kamu
terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah)
korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum
korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit
atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya
berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu
telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ´umrah
sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang
mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak
mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari
(lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang
sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang
yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang
yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.”

197. “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa


yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak
boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya
Allah mengetahuinya.”

Allah telah memerintahkan kaum muslimin agar menyempurnakan


Haji dan um’rah serta menjalankan ibadah secara sempurna semata – mata
karena Allah swt. Apabila orang muknim yang lagi ihram terhalang untuk
menyempurnakan ibadah yang di sebabkan oleh musuh atau sakit atau
memang dia ingin bertahallul ( melepaskan ihramnya , maka wajib bagi dia
untuk menyembelih binatang yang sekiranya ringan baginya berupa unta ,
sapi, atau kambing. Allah swt melarang mencukur dan tahallul sebelum
hadiah sampai pada tempat di mana halal menyembelihnya. . Adapun bagi
orang yang sakit atau ada penyakit di kepalanya , maka dia di perbolehkan
bercukur dan wajib bagi dia untuk membayar fidyah ( denda ) . Adakalanya
puasa tiga hari , atau menyembelih kambing , atau pula bersedekah kepada
enem orang miskin . Tiap – tiap orang miskin satu fidyah atau satu Sha’
berupa makanan.

Ibadah haji adalah rukun Islam yang kelima. Haji mulai diwajibkan
bagi umat Islam pada tahun ke enam Hijri. Sebelumnya, Rasulullah saw
pernah beribadah haji sebagai ibadah sunah. Di samping ibadah haji ada pula
ibadah umrah. Kedua-duanya wajib dikerjakan umat Islam, sekali seumur
hidup. Ibadah haji dan umrah lebih dari sekali, hukumnya sunah. Namun
Imam Malik bin Anas berpendapat bahwa ibadah umrah setahun dua kali
hukumnya makruh. Ibadah haji dan umrah tidak harus segera dikerjakan,
boleh dikerjakan bila keadaan telah mengizinkan. Siapa yang mampu
mengerjakan ibadah haji dan umrah sebaiknya ia segera menunaikannya.

Tempat mengerjakan ibadah haji dan umrah itu hanya di tanah suci
Mekah dan sekitarnya. Mereka yang diwajibkan pergi mengerjakan ibadah
haji dan umrah ialah mereka yang dalam keadaan sanggup dan mampu, yaitu
biaya cukup tersedia, keadaan jasmaniah mengizinkan dan keamanan tidak
terganggu. Perbedaan ibadah haji dengan umrah ialah haji rukunnya lima,
yaitu: niat, wukuf, tawaf, sa’i, dan tahallul, sedangkan umrah rukunnya hanya
empat: niat, tawaf, sa’i, dan tahallul.

Amal-amal dalam ibadah haji ada yang merupakan rukun, ada yang
wajib dan ada yang sunah. Amal-amal yang merupakan rukun ialah jika ada
yang ditinggalkan maka ibadah haji dan umrah tidak sah. Amal-amal yang
wajib ialah jika ada yang ditinggalkan, maka dikenakan denda (dam) tetapi
haji dan umrah sah. Amal-amal yang sunah jika ada yang ditinggalkan, maka
haji dan umrah sah dan tidak dikenakan dam.

Di samping itu, ada larangan-larangan bagi orang yang sedang


beribadah haji dan umrah. Larangan-larangan itu lazimnya disebut
muharramat. Barang siapa melanggar muharramat, dikenakan dam. Besar
kecilnya sepadan dengan besar kecilnya muharramat yang dilanggar.
Bersetubuh sebelum selesai mengerjakan tawaf ifadah membatalkan haji dan
umrah.

Ibadah haji dan umrah mempunyai beberapa segi hukum. Oleh karena
itu, siapa yang akan mengamalkan ibadah itu seharusnya lebih dahulu
mempelajarinya. Amalan-amalan ini biasa disebut manasik. Ayat 196 ini
diturunkan pada waktu diadakan perdamaian Hudaibiah pada tahun ke-6 Hijri
sama dengan turunnya ayat 190 tentang izin berperang bagi kaum Muslimin.

Ayat ini diturunkan berhubungan dengan ibadah haji dan umrah di


mana kaum Muslimin diwajibkan mengerjakan haji dan umrah. Yang
dimaksud dengan perintah Allah untuk menyempurnakan haji dan umrah,
ialah mengerjakannya secara sempurna dan ikhlas karena Allah swt. Ada
kemungkinan seseorang yang sudah berniat haji dan umrah terhalang oleh
bermacam halangan untuk menyempurnakannya.

Dalam hal ini Allah swt memberikan ketentuan sebagai berikut: orang
yang telah berihram untuk haji dan umrah lalu dihalangi oleh musuh sehingga
haji dan umrahnya tidak dapat diselesaikan, maka orang itu harus
menyediakan seekor unta, sapi, atau kambing untuk disembelih.

Hewan-hewan itu boleh disembelih, setelah sampai di Mekah, dan


mengakhiri ihramnya dengan (mencukur atau menggunting rambut).
Mengenai tempat penyembelihan itu ada perbedaan pendapat, ada yang
mewajibkan di Tanah Suci Mekah, ada pula yang membolehkan di luar Tanah
Suci Mekah. Jika tidak menemukan hewan yang akan disembelih, maka
hewan itu dapat diganti dengan makanan seharga hewan itu dan dihadiahkan
kepada fakir miskin.
Jika tidak sanggup menyedekahkan makanan, maka diganti dengan
puasa, tiap-tiap mud makanan itu sama dengan satu hari puasa. Orang-orang
yang telah berihram haji atau umrah, kemudian dia sakit atau pada kepalanya
terdapat penyakit seperti bisul, dan ia menganggap lebih ringan
penderitaannya bila dicukur kepalanya dibolehkan bercukur tetapi harus
membayar fidyah dengan berpuasa 3 hari atau bersedekah makanan sebanyak
3 sa’i (10,5 liter) kepada orang miskin, atau berfidyah dengan seekor
kambing.

Waktu untuk mengerjakan haji itu sudah ada ketetapannya yaitu pada
bulan-bulan yang sudah ditentukan dan tidak dibolehkan pada bulan-bulan
yang lainnya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan sudah berlaku di dalam
mazhab Abu Hanifah, Syafi’i dan Imam Ahmad, bahwa waktu mengerjakan
haji itu ialah pada bulan Syawal, Zulkaidah sampai dengan terbit fajar pada
malam 10 Zulhijah. Ketentuan-ketentuan waktu haji ini telah berlaku dari
sejak Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Setelah agama Islam datang ketentuan-ketentuan itu tidak diubah,


malahan diteruskan sebagai-mana yang berlaku. Orang-orang yang sedang
mengerjakan haji dilarang bersetubuh, mengucapkan kata-kata keji,
melanggar larangan-larangan agama, berolok-olok, bermegah-megah,
bertengkar, dan bermusuhan.

Semua perhatian ditujukan untuk berbuat kebaikan semata-mata. Hati


dan pikiran hanya tercurah kepada ibadah, mencari keridaan Allah dan selalu
mengingat-Nya. Apa saja kebaikan yang dikerjakan seorang Muslim yang
telah mengerjakan haji, pasti Allah akan mengetahui dan mencatatnya dan
akan dibalas-Nya dengan pahala yang berlipat ganda. Agar ibadah haji dapat
terlaksana dengan baik dan sempurna maka setiap orang hendaklah membawa
bekal yang cukup, lebih-lebih bekal makanan, minuman, pakaian dan lain-
lain, yaitu bekal selama perjalanan dan mengerjakan haji di tanah suci dan
bekal untuk kembali sampai di tempat masing-masing.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Abu Daud, an-Nasa’i, dan lain-lain dari


Ibnu ‘Abbas bahwa dia mengatakan, Ada di antara penduduk Yaman, bila
mereka pergi naik haji tidak membawa bekal yang cukup, mereka cukup
bertawakal saja kepada Allah. Setelah mereka sampai di tanah suci, mereka
akhirnya meminta-minta karena kehabisan bekal. Maka bekal yang paling
baik ialah bertakwa, dan hendaklah membawa bekal yang cukup sehingga
tidak sampai meminta-minta dan hidup terlunta-lunta.

Allah mengingatkan, agar ibadah haji itu dikerjakan dengan penuh


takwa kepada Allah dengan mengerjakan segala yang diperintahkan-Nya dan
meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Dengan begitu akan dapat dicapai
kebahagiaan dan keberuntungan yang penuh dengan rida dan rahmat Ilahi.

3. QS. Al-hajj 27 – 29

‫ق‬ َ ‫س بِ ۡال َح ِّج يَ ۡات ُۡو َك ِر َجااًل َّوع َٰلى ُك ِّل‬


ٍ ‫ضا ِم ٍر يَّ ۡاتِ ۡينَ ِم ۡن ُك ِّل فَ ٍّج َع ِم ۡي‬ ِ ‫ۙ واَ ِّذ ۡن فِى النَّا‬
َ

‫ت ع َٰلى َما َرزَ قَ ُهمۡ ِّم ۡۢن بَ ِه ۡي َم ِة ااۡل َ ۡن َع ِام ۚ فَ ُكلُ ۡوا‬ ‫لِّي ۡشهد ُۡوا منَافع لَهمۡ وي ۡذ ُكروا ۡ هّٰللا‬
ٍ ٰ‫اس َم ِ فِ ۡۤى اَ يَّ ٍام َّم ۡعلُ ۡوم‬ ُ ََ ُ َ ِ َ َ َ
َ ‫س ۡالفَقِ ۡي‬ ۡ
‫ـر‬ ِٕ َ‫ِم ۡن َها َواَط ِع ُمو̃ا ۡالب‬
َ ‫ٓاٮ‬

ۡ ِ ‫ض ۡوا تَفَثَ ُهمۡ َو ۡليُ ۡوفُ ۡوا نُ ُذ ۡو َرهُمۡ َو ۡليَطَّ َّوفُ ۡوا بِ ۡالبَ ۡي‬
ُ ‫ثُ َّم ۡليَ ۡـق‬
ِ ‫ت ال َعتِ ۡي‬
‫ق‬

27. “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan
datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang
kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jau,”
Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka
28. “menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan 1
atas
rezeki yang Dia berikan kepada mereka berupa hewan ternak. Maka
makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan
orang-orang yang sengsara dan fakir.”
29. “Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran1 (yang ada di
badan) mereka, menyempurnakan nazar-nazar mereka dan melakukan tawaf
sekeliling rumah tua (Baitullah).”

Di dalam ayat ini, terkandung makna yang mengecam dan mencela


orang-orang yang menyembah selain Allah dan mempersekutukan-Nya
dengan yang lain dari kalangan Quraisy; yang justru hal itu dilakukan di
negeri yang pada mulanya dibangun untuk tujuan mengesakan Allah dan
menyembah-Nya semata, tiada sekutu bagi-Nya. Kemudian Allah
menyebutkan bahwa Dia telah menempatkan Ibrahim di suatu tempat di
Baitullah, yakni Allah memberinya petunjuk ke tempat itu dan me-
nyerahkannya kepada dia serta mengizinkannya untuk membangun rumah di
tempat tersebut. Kebanyakan ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil yang
menunjukkan bahwa sesungguhnya Ibrahim a.s. adalah orang yang pertama
membangun Baitul Atiq (Ka'bah), dan bahwa sebelum itu Ka'bah tidak ada
yang membangunnya.
Sebagian ulama menjadikan ayat ini sebagai dalilnya untuk
mengatakan bahwa ibadah haji dengan berjalan kaki bagi orang yang mampu
melakukannya adalah lebih utama daripada berkendaraan, karena sebutan
jalan kaki menempati rangking yang pertama dalam ayat ini. Hal ini
menunjukkan perhatian Allah yang sangat besar kepada mereka, juga
menunjukkan kekuatan tekad serta kerasnya kemauan mereka.
Waki' telah meriwayatkan dari Abul Umais, dari Abu Halhalah, dari
Muhammad ibnu Ka'b, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Saya tidak
melakukan sesuatu yang buruk, kecuali hanya ingin melakukan ibadah haji
dengan jalan kaki, karena Allah Swt. telah berfirman: 'niscaya mereka akan
datang kepadamu dengan berjalan kaki' (Al-Hajj: 27)
Akan tetapi, pendapat yang dikatakan oleh kebanyakan ulama yaitu
melakukan ibadah haji dengan berkendaraan adalah lebih utama karena
mengikut perbuatan Rasulullah Saw. Sesungguhnya beliau Saw. melakukan
ibadah hajinya dengan berkendaraan, padahal kekuatan beliau Saw. sangat
prima.

C. Makna dan Kandungan Ayat – Ayat Tentang Toleransi dan Etika


Beragama

1. Al kafirun ayat 1-6


‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬
‫) َواَل‬٣(٣‫) َواَل َأنتُ ْم عي ُدونَ َما َأ ْعبُ ُد‬٢( َ‫)اَل َأ ْعبُ ُد َما تَ ْعبُ ُدون‬١( َ‫قُلْ يَتََأيُّهَا ْال َكفِرُون‬
)٥(‫) َواَل َأنتُ ْم عَب ُدونَ َما‬٤(‫َأنَا عَابِ ٌد َّما َعبَدت ْم‬
‫أ ْعبُ ُد لَ ُك ْم ِدي ُك ْم َولَى ِدين‬

"Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah


apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembahTuhan yang aku
sembah. Dan aku tidak pernah menjadipenyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang
aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku"
"Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir," untuk menentukan
jenis. Akan tetapi ketika ayat ini menjadi khithab untuk mereka yang
telah berlalu, yang ditetapkan dalam ilmu Allah bahwa mereka akan mati
dalam keadaan kafir, maka yang dimaksud dengan keumuman ini adalah
kekhususan orang yang demikian. Karena dari sebagian orang- orang
kafir, saat diturunkan ayat ini ada yang masuk islam dan menyembah
Allah. Sebab turun surah ini adalah bahwa orang- orang kafir meminta
kepada Rasulullah untuk menyembah tuhan mereka selama satu tahun
dan mereka menyembah Tuhan beliau selama satu tahun berikutnya.
Maka Allah memerintahkan beliau untuk mengatakan kepad
ْ ‫" اَل َأ‬aku tidak akan menyembah apa yang kam
mereka, َ‫عبُ| ُد َم||ا تَ ْعبُ| ُدون‬
sembah." Yakni: Aku tidak akan melakukan apa yang kalian minta untuk
menyembah berhala-berhala yang kalian sembah. Ada pendapa yang
mengatakan bahwa maksudnya adalah beliau tidak akan pernah
menyembah berhala-berhala mereka di masa yang akan datang Karena
huruf ‫( اَل‬tidak) di sini untuk penafian, dan biasanya tidak masuk pada
kata kerja melainkan pada mudhari' (menunjukkan masa sekarang) yang
berarti masa mendatang, sebagaimana tidak masuk kecuali emiliki arti
haal (menunjukkan kondisi).
‫ اَل َأنتُ ْم عَبدُونَ َما َأ ْعبُدُو‬Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang
" aku sembah." Yakni: dan kalian pun di masa yang akan datang tidak
akan melakukan apa yang aku minta, untuk menyembah Tuhanku.
‫ َواَل َأنَا عَابِ ٌد َّما َعبَدتُم‬Dan aka tidak pernah menjadi penyembah" apa
yang kamu sembah." Yakni: Dan aku sebelumnya tidka pernah sama
sekali menyembah apa yang kalian sembah. Maknanya: Itu tidak pernah
terjadi sama sekali kepadaku.
‫ َواَل َأنتُ ْم عَب˜˜˜دُونَ َم˜˜˜ا َأ ْعبُ˜˜˜ ُد‬Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah." Yakni: Apa yang kalian sembah
dari waktu ke waktu, aku tidak pernah menyembah yang demikian. Ada
pendapat yang mengatakan, "Ini berdasarkan pernyataan bahwa tidak ada
pengulangan pada ayat-ayat di dalam surah ini, karena kalimat yang
pertama berfungsi untuk meniadakan penyembahan di masa yang akan
datang, sebagaimana telah kami jelaskan bahwa huruf ý tidak masuk
kecuali pada fi'il mudhari' (present), maka artinya meniadakan untuk
masa yang akan datang. Dalilnya, bahwa “ lan” menjadi ta'kid (penguat)
untuk yang dinafikan oleh ‫اَل‬.
Al Akhfasy dan Al Farra berkata, "Maknanya: Aku saat initidak
menyembah apa yang kalian sembah, dan kalian saat ini tidak
menyembah apa yang aku sembah. Dan aku di masa mendatang tidak
akan menyembah apa yang kalian, dan kalian di masa mendatang tidak
akan menyembah apa yang aku sembah.
‫ لَ ُك ْم ِدي ُك ْم‬Untukmulah agamamu ini adalah kalimat" permulaan
untuk menegaskan firman-Nya, "aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah." dan firman-Nya, "Dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah." Sebagaimana firman-Nya, "dan
untukkulah agamaku." menjadi penegasan untuk firman-Nya, "Dan kamu
bukan penyembah Tuhan yang aku sembah." di kedua tempat. Yakni: jika
kalian rela dan sengan dengan agama kalian, maka aku pun rela dengan
agamaku, sesuai firman Allah, "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu
amal- amalmu," (QS. Al Qashash [28]: 55). Maknanya: Agama kalian,
yaitu kemusyrikan, hanya berlaku untuk kalian dan tidak akan
mencapaiku sesuai yang kalian inginkan, dan agamaku, yaitu tauhid
(pengesaan Allah) hanya berlaku untukku dan tidak mencapai kalian.

2. Al mumtahanah ayat 8-9


‫ار ُك ْ|م َأ ْن تَبَ ُزوهُْ|م َو‬
ِ َ‫ال يَ ْنه ُك ُم هَّللا ُ َع ِن الَّ ِذينَ لَ ْم يُقَاتِلُو ُك ْ|م فِي الدِّي ِن َولَ ْم ي ُْخ ِرجُو ُك ْم ِم ْن ِدي‬
۸﴿ َ‫تُ ْق ِسطُوا ِإلَ ْي ِه ْم ِإ َّن هللاَ يُ ِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِطين‬
‫ار ُك ْ|م َوظَاهَرُوا| َعلَى‬
ِ َ‫اخ َرجُو ُك ْم ِم ْن ِدي‬ ِ ‫ِإنَّ َما يَ ْنهُ ُك ُم هللاُ ع َِن الَّ ِذينَ قَاتَلُو ُك ْم فِي الد‬
ْ ‫ِّين َو‬
َ‫ك هُ ُم الظَّلِ ُمون‬َ ‫ِإ ْخ َرا ِج ُك ْم ان ت ََولَّوْ هُ ْم َو َم ْن يَت ََولَّهُْ|م فَُأولَِئ‬

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil


terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama
dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah
hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-
orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu
dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka
itulah orang yang zalim.”
Menurut Ibnu Katsir, ayat ini merupakan informasi kebolehan
untuk berbuat baik kepada pemeluk agama lain, bahwa Allah swt tidak
melarang umat Islam berbuat baik kepada non-muslim yang tidak
memerangi mereka, seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang
lemah di antara mereka. Hendaklah manusia berbuat baik dan adil, karena
Allah menyukai orang yang berbuat adil.
Menurut Quraish Shihab,surat al-Mumtahanah [60] ayat 8-9
datang dengan membawa prinsip dasar hubungan interaksi antara kaum
Muslimin dan non-muslim.
Pada ayat ini Allah swt seakan-akan berfirman, “Allah yang
memerintahkan kamu bersikap tegas terhadap orang kafir, namun Dia
tidak melarang kamu menjalin hubungan dan berbuat baik terhadap
orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak pula
mengusir kamu dari negeri kamu. Allah tidak melarang kamu berbuat
baik dalam bentuk apapun bagi mereka dan tidak juga melarang kamu
berlaku adil kepada mereka.”
Kata tabarruhum pada surat al-Mumtahanah [60] ayat 8-9
terambil dari kata birr yang bermakna kebajikan yang luas. Penggunaan
kata tersebut mencerminkan kebolehan melakukan aneka kebaikan bagi
non-muslim selama tidak membawa dampak negatif bagi umat Islam.
dapat dipahami bahwa surat al-Mumtahanah [60] ayat 8-9
menginformasikan kepada umat Islam – terutama mereka yang memilik
perspektif negatif terhadap semua pemeluk agama lain – bahwa mereka
tidak dilarang untuk berbuat baik kepada non-muslim dalam selama itu
tidak merusak akidah dan dapat membahayakan umat Islam. Non-muslim
juga berhak diperlakukan secara adil sebagaimana umat Islam.
3. Al Baqarah 120
َ‫ك ْاليَهُو ُد َواَل النَّصْ رُى َحتَّى تَتَّبِ َع ِملتَهُ ْم قُلْ ِإ َّن هُدَى هَّللا ِ هُ َو ْالهُدَى َولَِئ ِن اتَّبَعْت‬
َ ‫ضى َع ْن‬
َ ْ‫َولَ ْن تَر‬
‫ير‬
ٍ ‫ص‬ ِ َ‫ك ِمنَ ْال ِع ْل ِم َما لَكَ ِمنَ هَّللا ِ ِمن َولِي َواَل ن‬ َ ‫َأ ْه َوا َءهُ ْم بَ ْع َد الَّ ِذي َجا َء‬
Artinya “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela
kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka.
Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang
sebenarnya)." Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu
(kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan
penolong dari Allah”.
‫ضى َع ْن َك ا ْليَ ُه˜˜و ُد‬
َ ‫ َولَنْ ت َْر‬Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak
akan senang kepadamu" al aayah. Yakni: Bukanlah tujuan mereka dan
bukan pula target mereka untuk mengajukan kepadamu berbagai
permintaan pembuktiaan lalu mereka menanggapinya dengan
pembangkangan, karena walaupun engkau mendatangkan kepada mereka
semua yang mereka minta sebagai bukti, dan engkau menyanggah setiap
pembangkangan mereka, mereka tetap tidak akan rela kepadamu.
Kemudian Allah memberitahunya, bahwa mereka itu tidak akan rela
kepadanya sampai ia masuk ke dalam agama mereka dan mengikuti
agama mereka.
Al Millah (agama) adalah ism yang disyari'atkan Allah untuk
para hamba-Nya dalam kitab-kitab-Nya melalui lisan para nabi-Nya,
begitu pula syari'at. Kemudian Allah SWT menyanggah mereka, lalu
memerintahkan belia untuk mengatakan kepada mereka ‫إنَّ ُهدَى هَّللا ِ ُه َو ا ْل ُهدَى‬
“Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar”, bukan
syari'at yang telah dihapus yang masih kalian pegangi itu, dan bukan pula
kitab-kitab yang telah diubah-ubah itu. Kemudian Allah menyusulkan ini
dengan ancaman yang keras bagi Rasulullah SAW, yaitu bila beliau
mengikuti keinginan mereka, dan berusaha meraih kerelaan mereka serta
menyusahkan dirinya untuk mencari-cari apa yang bisa sesuai dengan
selera mereka. Bisa juga ini merupakan peringatan bagi umat beliau agar
tidak menyetujui apa pun dari mereka (yahudi dan nasrani), atau masuk
ke dalam kecenderungan para pemeluk agama lainnya dan mencari
kerelaan para pelaku bid'ah.
Ayat ini mengandung ancaman keras yang menggundahkan hati
dan mendebarkan jantung, sehingga menuntut para ahli ilmu yang
mengusung hujjah- hujjah Allah SWT dan memberikan penjelasan
tentang syari`at-syari`at-Nya agar meninggalkan bujuk rayu para ahli
bid'ah yang berafiliasi kepada madzhab-madzhab yang buruk, yang
meninggalkan pengamalan Al Kitab dan As-Sunnah, yang hanya
mengedepankan pendapat semata terhadap Al Kitab dan As-Sunnah.
Karena mayoritas mereka, walaupun tampaknya menerima dan
menunjukkan sikap lembut, sebenarnya itu tidak akan membuatnya rela
kecuali dengan mengikuti bid'ahnya dan masuk ke dalam komunitasnya
serta melakukan aktifitasnya. Maka tindakan orang berilmu yang
mengikutinya, setelah Allah memberitahunya dengan memberinya ilmu,
bahwa petunjuk Allah adalah yang terdapat dalam kitab-Nya dan Sunnah
Rasul-Nya, bukan yang ada pada mereka, karena yang ada pada mereka
hanyalah bid'ah-bid'ah sesat belaka, kebodohan yang nyata dan
pandangan yang rendahan serta hanya menirukan di tepi jurang yang
runtuh, maka saat itulah ia tidak akan mendapat pelindung maupun
penolong dari Allah. Dan orang yang seperti itu, jelas orang yang
ditinggalkan dan pasti binasa.

4. Al Kahfi ayat 29
‫ق ِمنْ َربِّ ُك ْم فَ َمنْ شَا َء فَ ْليُْؤ ِمنْ َو َمنْ شَا َء فَ ْليَ ْكفُ ْر ِإنَّا َأ ْعتَ ْدنَا لِلظَّلِ ِمينَ نَا ًرا َأ َحاطَ بِ ِه ْم‬ ُّ ‫َوقُ ِل ا ْل َح‬
۲۹ ‫سا َءتْ ُم ْرتَفَقًا‬ َ ‫اب َو‬ُ ‫ش َر‬ َ ِ‫ش ِوي ا ْل ُو ُجوهَ ب‬
َّ ‫ْئس ال‬ ْ َ‫ستَ ِغ ْيثُوا يُ َغاثُوا بِ َما ٍء َكا ْل ُم ْه ِل ي‬
ْ َ‫س َرا ِدقُ َها َواِنْ ي‬ ُ

“Dan katakanlah (Muhammad), "Kebenaran itu datangnya dari


Tuhanmu; barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman,
dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir." Sesungguhnya
Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya
mengepung mereka. Jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka
akan diberi air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan wajah.
(Itulah) minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling
jelek.”
Diriwayatkan bahwa 'Uyainah bin Hishn al-Fazary datang
kepada Nabi Muhammad saw sebelum dia masuk Islam. Ketika itu
beberapa orang sahabat Nabi yang fakir berada di sampingnya, di
antaranya adalah Salman al-Farisi yang sedang berselimut jubah dan
tubuhnya mengeluarkan keringat, karena sedang menganyam daun
korma. 'Uyainah berkata kepada Rasul saw, "Apakah bau mereka
(sahabat-sahabat yang fakir) tidak mengganggumu? Kami ini pemuka-
pemuka bangsawan suku Mudar. Jika kami masuk Islam, maka semua
suku Mudar akan masuk Islam. Tidak ada yang mencegah kami untuk
mengikutimu, kecuali kehadiran mereka. Oleh karena itu, jauhkanlah
mereka agar kami mengikutimu atau adakan untuk mereka majelis
tersendiri, dan kami majelis tersendiri pula." Kemudian turunlah ayat ini.
Dalam ayat ini, Allah swt memerintahkan Rasul-Nya agar bersabar dan
dapat menahan diri untuk duduk bersama dengan beberapa orang
sahabatnya yang tekun dalam ibadah sepanjang hari karena
mengharapkan rida Allah swt semata. Para sahabat itu hidup dalam
kesederhanaan jauh dari kenikmatan duniawi. Mereka itu antara lain
ialah: Ammar bin Yasir, Bilal, shuhaib, Ibnu Mas'ud, dan sahabat-sahabat
lainnya. Di surah yang lain, Allah berfirman:
Janganlah engkau mengusir orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan petang hari, mereka mengharapkan keridaan-Nya.
Engkau tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan
mereka dan mereka tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap
perbuatanmu, yang menyebabkan engkau (berhak) mengusir mereka,
sehingga engkau termasuk orang-orang yang zalim. (al-An'am/6: 52)
Sikap kaum musyrikin terhadap sahabat-sahabat Nabi yang fakir
itu sama halnya dengan sikap kaum Nuh terhadap pengikut-pengikut Nabi
Nuh a.s. sebagaimana difirmankan Allah swt:
Mereka berkata, "Apakah kami harus beriman kepadamu,
padahal pengikut-pengikutmu orang-orang yang hina?" (asy-Syu'ara'/26:
111)
Sudah semestinya Rasul saw tidak mengindahkan sikap orang
kafir itu. Allah swt memperingatkan beliau agar jangan sampai
meninggalkan dan meremehkan sahabat-sahabatnya yang fakir, karena
hanya didorong oleh kepentingan duniawi atau disebabkan adanya
harapan terhadap keimanan orang-orang yang kaya dari kaum musyrikin.
Para sahabat itu adalah orang-orang yang dengan ikhlas hatinya memilih
jalan hidup sederhana dan rela meninggalkan segala kelezatan duniawi
semata-mata untuk mencari rida Allah. Rasul saw mengucapkan syukur
kepada Allah atas kehadiran mereka itu di tengah-tengah umatnya.
Katanya:
Segala puji bagi Allah yang telah menghadirkan di kalangan
umatku orang yang aku diperintahkan untuk sabar menahan diriku
bersama dia. (Riwayat Ibnu Jarir ath-thabari, Ath-thabrani, dan Ibnu
Mardawaih)
Dengan demikian, memandang rendah dan meremehkan orang-
orang yang hidup miskin dan melarat, tidak dibenarkan oleh agama Islam,
terutama bila mereka orang ahli ibadah dan takwa. Allah dengan tegas
melarang Muhammad saw menuruti keinginan para pemuka kaum
musyrikin untuk menyingkirkan orang-orang yang fakir dari majelisnya.
Orang yang meng-ajukan permintaan seperti itu adalah orang-orang yang
sudah tertutup jiwa mereka untuk kembali kepada Tuhan, dan memiliki
tabiat yang buruk. Perbuatan mereka yang melampaui batas, kefasikan,
dan kemaksiatan menambah gelap hati mereka, sehingga akhirnya mereka
bergelimang dalam dosa.

5. Al Hujurat 10-13

َ ‫ِإنَّ َما ْال ُمْؤ ِمنُونَ ِإ ْخ َوةٌ فََأصْ لِحُوا بَ ْينَ َأ‬
10) َ‫خَو ْي ُك ْ|م َوا تَقُوا هللاَ لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُمون‬
‫يََأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوْ ا اَل يَ ْسخَرْ قَوْ ٌم ِم ْن قَوْ ٍم َع َسى َأ ْن يَ ُكونُوا َخ ْيرًا ِم ْنهُ ْم َواَل نِ َسا ٌء ِم ْن‬
ِ ‫ َواَل ت َْل ِم ُزوا َأ ْنفُ َس ُك ْم َواَل تَنَابَ ُزوا بِاَأْل ْلقَا‬، ‫نِ َسا ٍء َع َسى َأ ْن يَ ُك َّن َخ ْيرًا ِم ْنه َُّن‬
َ ‫ب بِْئ‬
‫س ااِل ْس ُم‬
11) َ‫ك هُ ُم الظَّلِ ُمون‬ َ ‫ق بَ ْع َد اِإْل ْي َما ِن َو َم ْن لَ ْم يَتُبْ فَُأ ول ْي‬
ُ ‫ْالفُسُو‬
ْ‫ْض الظَّنَ اثُ َّم َواَل تَ َج َّسسُوا| َواَل يَ ْغتَب‬ َ ‫يََأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اجْ تَنِبُوا| َكثِيرًا ِمنَ الظَّ ِن اِ َّن بَع‬
‫ض ُكم بَ ْعضًا َأيُ ِحبُّ َأ َح ُد ُك ْم َأ ْن يَْأ ُك َل لَحْ َم َأ ِخي ِه َم ْيتًا فَ َك ِر ْهتُ ُموهُ َواتَّقُوا هَّللا َ ِإ َّن هللاَ تَ َّوا‬
ُ ‫ب ْع‬
12)‫ب َّر ِحي ٌم‬
َ ‫يَايُّهَا النَّاسُ ِإنَّا خَ لَ ْقنَ ُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َوُأ ْنثَى| َو َج َع ْلنَ ُك ْم ُشعُوبًا َوقَبَاِئ َ|ل لِتَ َع‬
‫ارفُوا| ِإ َّن َأ ْك َر َم ُك ْ|م‬
13)ٌ‫ِع ْن َد هللاِ ا ْنقُ ُك ْم ِإ َّن هَّللا َ َعلِي ٌم َخبِير‬
Artinya:”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara,
karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. (10)Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum
yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik
dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-
perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi
perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang
mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan
janganlah saling memanggil dengan gelar gelar yang buruk. Seburuk-
buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman.
Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim.(11).Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah
kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara
kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu
yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu
merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha
Penerima Tobat, Maha Perryayang.(12).Orang-orang Arab Badui
berkata, "Kami telah beriman." Katakanlah (kepada mereka), "Kamu
belum beriman, tetapi katakanlah "Kami telah tunduk (Islam)," karena
iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah
dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sediki pun (pahala) amalmu.
Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."(13)
Pada ayat 10 Allah menegaskan bahwa orang-orang mukmin
adalah bersaudara. Meskipun berbeda bangsa, adat, warna kulit, bahasa,
kedudukan, social-ekonomi, tetapi mereka itu satu ikatan persaudaraan
islam. Oleh karennya sesama orang mukmin harus mempunyai jiwa
peraudaraan yang kokoh sebagaimana diajarkan agamanya yaitu islam.
Kandungan ayat 11 merupakan konsekuensi logis dari makna
yang terkandung pada ayat 10. Pada ayat 10 orang mukmin itu
bersaudara, maka konsekuensinya orang-orang mukmin tidak boleh
saling mengolok-olok. Sebab boleh jadi orang-orang mukmin yang
diperolok-olok itu lebih baik dari oarng yang mengolok-olok. Demikian
juga orang mukminah.
Olok-olok disini dapat berupa ejekan atau perkataan, sindiran
dan kelakar yang bersifat merendahkan diri atau menghinanya. Itu semua
dapat menimbulkan pertengkaran atau perkelahian. Oleh karena itu Allah
melarang orang-orang mukmin saling memperolok-olok yang lain agar
terbina persaudaraan, kesatuan, persatuan dikalangan orang mukmin.
Pada ayat 11 juga orang mukmin dilarang mengolok-olok diri
sendiri. Ahli tafsir menjelaskan mengolok-olok diri sendiri maksudnya
mengolok sesama mukmin karan antara sesama muslim itu satu tubuh.
Begitupun di ayat ini Allah melarang orang mukmin memanggil orang
mukmin lain dengan panggilan atau sebutan yang buruk. Yaitu sebutan
yang tidak disukai oleh orang yang dipanggil atau digelarinya. Seperti
memanggil orang beriman dengan panggilan "hai Fasik" atau "hai Kafir".
Dalam ayat ini Allah memperingatkan kepada orang yang berbuat
kesalahan harus segera taubat.
Masih dalam kerangka membina persaudaraan orang-orang
mukmin. Dalam ayat 12 Allah melarang orang-orang yang beriman cepat
berperasangka. Sebab sebagian perasangka itu adalah dosa, karena itu
harus di jauhi. Dalam ayat ini juga Allah melarang oarng mukmin
mencari-cari kesalahan orang lain, menggunjing, menceritakan keburukan
orang lain (ghibah).Allah menggambarkan orang yang begitu bagaikan
seseorang yang makan daging mentah, yang sebenarnya dia sendiri tidak
menyukainya.
Al-Qur'an surat al-hujarat ayat 13 menegaskan kepada semua
manusia bahwa ia diciptakan Allah dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan. Menciptakan manusia secara pluralistic, beraneka bangsa,
suku, bahasa, budaya dan warna kulit. Keanekaragaman dan
kemajemukan manusia seperti itu adalah bukan untuk berpecah belah,
saling membanggakan kedudukan, yang satu lebih terhormat dari yang
lainnya akan tetapi supaya saling mengenal,
bersilaturahmi,berkomunikasi, saling member dan menerima. Suatu hal
penting bahwa semua manusia itu sama di hadapan Allah, yang
membedakan derajat mereka adalah ketaqwaannya kepada Allah SWT.
Contoh dalam surat al hujarat ayat 10-13 :
Abu bakar Ash-siddiq, beliau persaudarakan dengan haritsah bin
zaid, umar bin khattab, beliau bersaudara dengan itbah bin malik.
demikian dengan sahabat yang lainnya. Rasulullah yang
mempersaudarakn kaum muhajirin (dari mekkah) dan kaum ansar
(penduduk asli madinah).
6. Yunus 40 -41
40( َ‫ُّك َأ ْعلَ ُم بِ ْال ُم ْف ِس ِدين‬
|َ ‫َو ِم ْنهُ ْم َم ْن يُْؤ ِمنُ بِ ِه َو ِم ْنهُ ْم َم ْن اَّل يُْؤ ِمنُ بِ ِه َو َرب‬
‫ك فَقُلْ لِي َع َملِي َولَ ُك ْم َع َملُ ُك ْم َأ ْنتُ ْم بَ ِريتُونَ ِمنَا َأ ْع َم ُل َوَأنَا بَ ِري ٌء ِمهَا‬ َ ‫َوِإ ْن َك َّذبُو‬
41( َ‫تَ ْع َملُون‬

“Dan di antara mereka ada orang-orang yang beriman


kepadanya (Al-Qur'an), dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang
tidak beriman kepadanya. Sedangkan Tuhanmu lebih mengetahui tentang
orang-orang yang berbuat kerusakan. Dan jika mereka (tetap)
mendustakanmu (Muhammad) maka katakanlah, "Bagiku pekerjaanku
dan bagimu pekerjaanmu. Kamu tidak bertanggung jawab terhadap apa
yang aku kerjakan dan aku pun tidak bertanggung jawab terhadap apa
yang kamu kerjakan."
Secara khusus, Surat Yunus ayat 40 berbicara tentang orang-
orang Makkah. Namun secara umum, ia juga berlaku untuk semua umat
manusia. Allah SWT. menjelasakan bahwa manusia terbagi menjadi dua
golongan. Ada yang beriman kepada Al Quran dan ada yang tidak
beriman.
Orang-orang musyrikin Makkah menuduh Rasulullah dan kaum
muslimin berbuat kerusakan, pemecah belah dan merusak persatuan
Makkah. Maka Allah menjawab tuduhan mereka. Dia lebih mengetahui
tentang orang-orang yang berbuat kerusakan.Orang-orang yang berbuat
kerusakan ialah orang-orang yang tidak beriman,” tegas Sayyid Qutb
dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an.
Dalam Surat Yunus ayat 41, Allah memberikan taujih (arahan)
kepada Rasulullah untuk menyatakan bahwa segala perbuatan ada
konsekuensinya dan masing-masing orang akan mendapatkan
konsekuensi atas apa yang dilakukannya.
Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar menerangkan, jika mereka
masih saja membantah dan tidak mau percaya, ayat ini memerintahkan
Rasulullah untuk menegaskan bahwa “bagiku amalku, bagi kalian amal
kalian.” Masing-masing ada konsekuensi dan akibatnya.
BAB III

PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai