Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH USHUL FIQH

Syar’u man Qablana

Dosen Pengampu : Dr.A Bima Risyta Al-Faruq, M.Sy

Disusun oleh Kelompok 6 :


1. Anil Husna NIM 2104786208
2. Lutfi Ahmad Cahyo Nugroho NIM 2105686208
3. Yessi Anggraini NIM 2107286208

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MAMBA’UL ULUM

PENDIDIDKAN AGAMA ISLAM

KOTA JAMBI

2022
KATA PENGANTAR

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh
lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan


dalam penuyusunan makalah ini karna keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman kami. Untuk itu kami sangat megharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Jambi, Desember 2022

penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... 1
DAFTAR ISI ........................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 3
A. Latar Belakang ............................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 3
C. Tujuan .......................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 4
A. Pengertian Syar’u Manqablana .................................................................... 4
B. Kedudukan Syar’u Manqablana Sebagai Sumber Hukum dan
Kehujjahannya .................................................................................................. 5
C. Pembagian syar’u Manqablana .................................................................. 11
D. Pendapat Para Ulama Tentang Syar'u Man Qablana ................................. 14
BAB III PENUTUP ........................................................................................... 15
A. Kesimpulan ................................................................................................ 15
B. Saran .......................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 16

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam mempelajari suatu hukum atau ketika kita mengambil


suatu keputusan dalam menetapkan hukum, seringkali kita akan menemukan
masalah-masalah yang rumit dan sedikit memainkan otak untuk bisa
menjawabnya dengan benar, misalnya: hukum-hukum yang terdapat pada masa
Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW apakah masih wajib kita laksanakan
ataukah kita tinggalkan? Banyak para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini,
dan untuk memahami hal tersebut kita harus punya dasar dalam penetapan
hukum.
Banyak orang islam yang menjalankan amal ibadah itu karena faktor
taqlid (ikut-ikutan), bukan berdasarkan ilmu yang ia ketahui. Untuk mengatasi
hal tersebut maka judul ini dirasa penting untuk diangkat, dalam rangka
menyiapkan umat islam yang beramal berdasarkan ilmu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan syar'u man qablana?
2. Bagaimana kedudukan syar’u manqablana sebagai sumber hukum?
3.bagaimana pembagian syar’u manqablana?
4. Bagaimana pendapat para ulama tentang syar'u man qablana?
C. Tujuan
1. Mengetahui yang dimaksud dengan syar'u manqablana
2. Mengetahui kedudukan syar’u manqablana sebagai sumber hukum
3. Mengetahui tentang pembagian syar’u manqablana
4. Mengetahui pendapat para ulama tentang syar’u man qoblana

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Syar’u Manqablana

Syar`u secara etimologi berarti mengalir. Syariat adalah bentuk isim


fa`ilnya, secara bahasa adalah tempat yang didatangi orang yang ingin minum
yang dilintasi manusia untuk menghilangkan rasa haus mereka. Syariat juga
diartikan sebagai jalan yang lurus atau thariqatun mustaqimatun sebagaimana
diisyarakan dalam Alquran Surat Al-Jatsiyah: 18.
Syar’u man qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran Nabi-nabi sebelum
Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi
Musa, dan Nabi Isa as.1
Secara istilah Syar’u man qablana merupakan ketentuan hukum Allah swt
yang disyariatkan kepada umat sebelum umat Nabi Muhammad saw. Bagi umat
islam, mengikuti hukum-hukum tersebut merupakan suatu kewajiban selama
tidak ada dalil-dalil yang menghapusnya.
syariat dalam pengertian di atas yaitu syariat yang diturunkan kepada nabi
Muhammad sebelumnya seperti dalam firman Allah

‫ص ْينَا بِّ ٖ ْٓه‬ ْْٓ ‫صى بِّ ٖه نُ ْو ًحا َّوالَّذ‬


َّ ‫ِّي ا َ ْو َح ْينَا ْٓ اِّلَي َْك َو َما َو‬ ّٰ ‫الدي ِّْن َما َو‬ ِّ َ‫ع لَ ُك ْم ِّمن‬
َ ‫ش ََر‬
‫الديْنَ َو ََل تَتَفَ َّرقُ ْوا ِّف ْي ِّه‬ ِّ ‫اِّب ْٰر ِّهي َْم َو ُم ْوسٰ ى َو ِّعيْسٰ ْٓى ا َ ْن ا َ ِّق ْي ُموا‬
“Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu agama yang Dia wasiatkan (juga)
kepada Nuh, yang telah Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), dan
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: tegakkanlah
agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-belah di
dalamnya.”(asy-syura13)

Apabila yang menurunkan syariat syariat samawi adalah satu


yaitu Allah, maka esensinya juga satu. Nash diatas jelas menerangkan hal itu,
diperkuat dengan ijma’ ulama. Hanya saja memang Allah mengharamkan
sebagian perkara atau perbuatan atas sebagian kaum tertentu. Pengharaman ini
dimaksudkan untuk mencegah dari tenggelam dalam kehidupan yang diliputi

1
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Kencana, Depok, 2009, hlm. 162-163.
4
nafsu syahwat, sebagaimana firman Allah yang berkaitan dengan kaum Yahudi,
seperti dalam surat Al-An’am ayat 146.2

َ ‫ظفُر َو ِّمنَ ْال َبقَ ِّر َو ْالغَن َِّم َح َّر ْمنَا‬


‫علَ ْي ِّه ْم‬ ُ ‫ِّي‬ ْ ‫ع َلى الَّ ِّذيْنَ هَاد ُْوا َح َّر ْمنَا ُك َّل ذ‬ َ ‫َو‬
‫ظم ٰذ ِّل َك‬
ْ ‫ط ِّب َع‬
َ َ‫اختَل‬ْ ‫ظ ُه ْو ُر ُه َما ْٓ ا َ ِّو ْال َح َوا َيا ْٓ ا َ ْو َما‬
ُ ‫ت‬ ْ َ‫ش ُح ْو َم ُه َما ْٓ ا ََِّّل َما َح َمل‬ ُ
َ‫َجزَ ي ْٰن ُه ْم ِّب َب ْغ ِّي ِّه ْم َواِّنَّا لَصٰ ِّدقُ ْون‬
‘’Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang
berkuku dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari
kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang
di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami
hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami
adalah Maha Benar’’.
Selain itu juga bentuk maupun cara ibadah masing-masing syariat samawi
juga berbeda-beda, meski esensinya tetap sama, yaitu menyembah Allah yang
tidak ada sekutu bagi-Nya. Begitu pula mengenai perincian sebagian masalah-
masalah juziyyat seperti pengaturan zakat dan lain sebagainya.3

Oleh karena itu, terdapat beberapa hukum syariat umat terdahulu yang
dinasakh dengan syariat Nabi Muhammad, di samping sebagian diantaranya
masih tetap dilestarikan. Syariat tentang qishas dan sebagaimana hukum had
(dera) misalnya masih tetap berlaku dalam islam sebagaimana tercantum
didalam Taurat.4

B. Kedudukan Syar’u Manqablana Sebagai Sumber Hukum dan


Kehujjahannya

Dalam persoalan ini ada perbedaan di kalangan ulama berikut penjelasannya.


a. Sebagian ulama Hanafiah, salafiyah, malikiyah, Dan hambaliyah
menganggap bahwa syariat umat sebelum kita juga berlaku bagi kita
untuk diikuti dan dijalankan. selama syariat itu diceritakan kepada kita
belum dihapus karena syariat itu satu seperti pada
QS asy-syura ayat 13 di atas
QS Al-An’am ayat 90

2
Prof Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 465
3
Prof Muhammad Abu Zahrah, op. cit, hlm. 465
4
Ibid, hlm. 465
5
ٰٰۤ ُ
َ ‫َل اَسْـَٔلُ ُك ْم‬
‫علَ ْي ِّه اَجْ ًرا ا ِّْن‬ ّٰ ‫ول ِٕى َك الَّ ِّذيْنَ َهدَى‬
ْٓ َّ ‫ّٰللاُ فَ ِّب ُه ٰدى ُه ُم ا ْقت َ ِّد ْه قُ ْل‬ ‫ا‬
٩٠ ࣖ َ‫ُه َو ا ََِّّل ِّذ ْك ٰرى ِّل ْل ٰعلَ ِّميْن‬
“Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Maka,
ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah (Nabi Muhammad), “Aku tidak
meminta imbalan kepadamu atasnya (menyampaikan Al-Qur’an).” (Al-
Qur’an) itu hanyalah peringatan untuk (umat) seluruh alam.”

Atau pada QS.Al-Baqrah Ayat 183

‫علَى الَّ ِّذيْنَ ِّم ْن‬ ِّ ‫علَ ْي ُك ُم‬


َ ِّ‫الصيَا ُم َك َما ُكت‬
َ ‫ب‬ َ ِّ‫ٰيْٓاَيُّ َها الَّ ِّذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ُكت‬
َ ‫ب‬
١٨٣ َ‫قَ ْب ِّل ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم تَتَّقُ ْو َۙن‬
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa.”

Kecuali kalau dalil dalil itu telah dinasakh


b. Bila tidak ada dalil tentang kekhususan atau nasab terhadap hukum
syariat terdahulu maka syariat itu tetap berlaku karena kita diperintahkan
untuk mengikuti nabi-nabi sebelum kita seperti yang
ditunjukkan oleh Alquran :

َ‫ث ُ َّم ا َ ْو َح ْينَا ْٓ اِّلَي َْك ا َ ِّن ات َّ ِّب ْع ِّملَّةَ اِّب ْٰر ِّهي َْم َحنِّ ْيفًا َو َما َكانَ ِّمنَ ْال ُم ْش ِّر ِّكيْن‬
١٢٣

“Kemudian, Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), “Ikutilah


agama Ibrahim sebagai (sosok) yang hanif dan tidak termasuk orang-
orang musyrik.”

6
Atas dasar dalil di atas imam Hanafi mewajibkan seorang muslimin
membunuh seorang kafir harus dituntut hukuman mati karena didasarkan
kepada firman Allah :
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya atau taurat
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa( almaidah ayat 45)”
Dari kedua pendapat itu pendapat yang benar adalah pendapat yang
pertama yaitu hukum-hukum yang berlaku pada umat terdahulu berlaku
pula bagi kita dan hukum itu tidak berlaku jika bertentangan dengan
Quran atau dinasakh oleh Quran.
Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah syariat sebelum
kita itu menjadi dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi
Muhammad. Kaidah Syar`u Man Qablana ini dimasukkan Al-Ghazali ke
dalam empat kaidah yang tidak disepakati oleh para ulama Ushul.
Pendapat mereka dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Jumhur ulama Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan
Malikiyah serta ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat
bahwa hukum-hukum syara’ sebelum kita dalam bentuk yang ketiga
tersebut di atas tidak berlaku untuk kita (umat Nabi Muhammad)
selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat Nabi
Muhammad. Alasannya adalah bahwa syariat sebelum kita itu berlaku
secara umum. Lain halnya syariat yang dibawa Nabi Muhammad
sebagai Rasul terakhir yang berlaku secara umum dan menasakh
syariat sebelumnya.
2. Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian
sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat
mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam Alquran
atau Sunah Nabi meskipun tidak diarahkan untuk umat Nabi
Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka
berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad5. Dari sini muncul kaidah

‫شرع من قبلنا شرع لنا‬


Alasan yang mereka kemukakan adalah beberapa petunjuk dari
ayat Alquran yang diantaranya:
a. Surah As-Su’ara: 13

5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Kencana, Jakarta, 2008, hlm, 392-395
7
َّ ‫ص ٰى ِّب ِّه نُو ًحا َوالَّذِّي أ َ ْو َح ْينَا إِّلَيْكَ َو َما َو‬
‫ص ْينَا ِّب ِّه‬ َّ ‫ِّين َما َو‬ ِّ ‫ع لَ ُك ْم ِّمنَ الد‬ َ ‫ش ََر‬
‫علَى‬ َ ‫س ٰى أ َ ْن أَقِّي ُموا الدِّينَ َو ََل تَتَفَ َّرقُوا فِّي ِّه َكب َُر‬ َ ‫س ٰى َو ِّعي‬ َ ‫يم َو ُمو‬
َ ‫ِّإب َْرا ِّه‬
ُ ‫ّٰللاُ َيجْ تَ ِّبي ِّإلَ ْي ِّه َم ْن َيشَا ُء َو َي ْهدِّي ِّإلَ ْي ِّه َم ْن يُ ِّن‬
‫يب‬ َّ ‫عو ُه ْم ِّإلَ ْي ِّه‬ ُ ‫ْال ُم ْش ِّركِّينَ َما تَ ْد‬
‘’Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa
dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah
belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang
kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang
yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya
orang yang kembali (kepada-Nya)’’.

b. Surat al-Nahl: 123

َ ‫ك أ َ ِّن ا ت َّب ِّ ْع ِّم ل َّ ة َ إ ِّ ب َْر ا ِّه‬


‫يم َح ن ِّ ي ف ً ا َو َم ا كَ ا َن ِّم َن‬ َ ْ‫ث ُمَّ أ َ ْو َح يْ ن َا إ ِّ ل َ ي‬
‫الْ ُم شْ ِّر ِّك ي َن‬
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama
Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang
yang mempersekutukan Tuhan’’.
Sehubungan dengan pendapat tersebut, ulama Hanafiyah
memberlakukan hukum qishash yang seimbang sebagaimana tersebut dalam
surat Al-Maidah: 45 bagi umat Islam, meskipun ayat tersebut diarahkan kepada
orang Yahudi. Berdasarkan pendapat ini orang muslim yang membunuh kafir
dzimmi dikenai qishash sebagaimana orang kafir dzimmi membunuh orang
Islam. Sedangkan kalangan ulama Syafi’iyah yang tidak memberlakukan syariat
umat Yahudi itu untuk umat Islam memahami ayat tersebut bahwa tidak perlu
ada keseimbangan dalam pelaksanaan qishash antara mushlim dan non-muslim
sebagaimana yang diberlakukan terhadap orang Yahudi. Oleh karena itu, bila
orang muslim membunuh kafir dzimmi, maka tidak diberlakukan hukum
qishash. Tetapi bila kafir dzimmi yang membunuh orang Islam, maka
diberlakukan qishash. Sebenarnya perbedaan pendapat dalam soal qishash itu
tidak semata disebabkan oleh perbedaan pendapat dalam hal pemberlakuan
syariat sebelum kita tersebut, tetapi ada beberapa faktor (pertimbangan) lainnya.
Meskipun dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, namun yang berpendapat
bahwa syariat sebelum kita itu dapat menjadi syariat bagi kita adalah bukan
karena ia adalah syariat sebelum kita tetapi karena ia terdapat dalam Alquran
dan Sunah Nabi yang harus dijadikan pedoman. Demikian, kedudukannya

8
sebagai salah satu sumber hukum Islam tidak berdiri sendiri. Nabi Muhammad
Saw. sampai usia 40 tahun belum menerima risalah dari Allah untuk
diberlakukan bagi umatnya. Selama masa menjelang menerima risalah itu,
apakah beliau beramal mengikuti syariat agama sebelumnya atau tidak? Dalam
hal ini ulama ushul berbeda pendapat, yaitu:
1. Sebagian ulama, termasuk Abu Husein al-Bashri, berpendapat bahwa
Nabi Muhammad tidak pernah mengikuti syariat manapun dari syariat
nabi-nabi sebelumnya ketika beliau belum menerima wahyu. Alasannya
karena sekiranya Nabi Muhammad beramal dengan salah satu syariat
yang dibawa Nabi dan Rasul sebelumnya tentu akan ada penukilan dari
beliau dan akan dikenal luas (populer) tentang beramalnya dengan
syariat itu, serta Nabi Muhammad sendiri akan bergabung dan berbaur
dengan sesama umat yang menjalankan syariat tersebut.
2. Pendapat ini dikuatkan oleh Sidi Nazar Bakry yang mengutip para
Jumhur Mutakalimin dan sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa
Nabi sebelum diutus menjadi Rasul tidak terikat dengan
peraturan/syari’at sebelum Islam, karena jika Nabi Saw. terikat dengan
syari’at sebelum Islam, maka akan ada dalil yang menunjukkannya.
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa Nabi Muhammad
mengikuti salah satu syariat yang dibawa oleh Nabi dan Rasul
sebelumnya menjelang beliau menerima risalah. Alasannya ialah bahwa
Muhammad sebelum menerima risalah telah thawaf di Baitullah, dan
biasa makan daging kurban. Hal ini bukanlah suatu amalan yang dapat
ditetapkan dengan akal. Dengan demikian mesti ada petunjuk wahyu
yang diikuti beliau, yaitu syariat dari Nabi dan Rasul terdahulu.
Di kalangan ulama yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad
mengikuti suatu syariat sebelumnya berbeda pendapat dalam hal syariat
Nabi yang diikutinya itu:
a. Ada yang menyatakan beliau mengikuti syariat Nabi Nuh dengan
alasan bahwa Nuh adalah Nabi yang paling awal disebut membawa
syariat, sebagai tersebut dalam surat al-Syura: 13 yang artinya:
‘’Disyariatkan kepadamu dari agama apa yang diwasiatkan
dengannya kepada Nuh dan Kami wahyukan kepadamu’’.
b. Ada yang mengatakan bahwa Muhammad mengikuti syariat Nabi
Ibrahim, karena Nabi Ibrahim adalah yang mengasaskan agama
Islam, sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran: 67 yang
artinya:

9
‘’Ibrahim itu bukan beragama Yahudi dan bukan pulaberagama
Nasrani, tetapi ia adalah orang yang lurus lagi muslim’’.
c. Ada juga yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti
syariat Nabi Musa, karena Nabi Musa adalah yang pertama disebut
sebagai pembawa kitab.
3. Pendapat ulama yang bersikap tawaqquf, dalam arti tidak menentukan
sikap tentang apakah Nabi menjalankan syariat yang dibawa Nabi dan
Rasul sebelumnya atau tidak, meskipun ada kemungkinan masih
berlakunya syariat lama tersebut. Pendapat ini adalah yang terpilih
menurut Al-Amidi dan Qadhi Abdul Jabbar dan ulama lain yang
sependapat.
Pembahasan ulama ushul berikutnya berkembang kepada kemungkinan
Nabi Muhammad mengikuti syariat sebelumnya sesudah beliau menerima risalah.
Dalam hal ini timbul beberapa pendapat:
1. Abu Hanifah, Ahmad (dalam salah satu riwayat) dan sebagian pengikut
Syafi’i berpendapat bahwa Nabi Muhammad ada mengikuti syariat
sebelumnya yang sah yang diterimanya melalui wahyu, dan tidak melalui
kitab suci para nabi dan rasul terdahulu yang sudah diperbarui Allah atau
diubah oleh para pendetanya, selama syariat tersebut belum dinasakh.
Mereka mengajukan argumen dengan beberapa ayat Alquran dan Hadis
yang diantaranya adalah:
a. Surat al-Nahl: 123
‘’Kemudian Kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim
yang hanif’’.
b. Surat Al-Maidah: 44
‘’Kami telah menurunkan Taurat yang di dalamnya terdapat petunjuk dan
cahaya yang para nabi berhukum berhukum dengannya’’.
2. Ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi setelah
menerima risalah (wahyu) tidak pernah mengikuti syariat sebelumnya.
Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut:
a. Dalam dialog yang berlangsung antara Nabi dengan Mu’az ibn Jabal
tentang cara Mu’az menyelesaikan perkara sewaktu tidak menemukan
jawabannya dalam Alquran dan Sunah, Mu’az mengatakan bahwa ia
akan menggunakan ijtihad dengan akal pikirannya (ra’yu). Dia tidak
menyinggung untuk mengambil ketentuan dari syariat sebelumnya.
Jawaban Mu’az itu mendapat pujian (persetujuan) Nabi.

10
b. Kalau Nabi dan umatnya mengikuti syariat sebelumnya dalam beribadah,
tentu mempelajari syariat sebelumnya itu menjadi wajib kifayah dan
Nabi sendiri wajib merujuknya, dan Nabi sendiri tidak akan berhenti
memberikan jawaban terhadap suatu masalah saat tidak (belum)
menerima wahyu. Kenyataannya menunjukkan bahwa Nabi tidak pernah
berpedoman pada syariat sebelumnya.
c. Ijma’ ulama menetapkan bahwa syariat Islam yang dibawa Nabi
Muhammad itu menasakh syariat sebelumnya. Seandainya Nabi pernah
mengikuti syariat sebelumnya, maka tentu syariat Islam akan
memberikan pengakuan terhadap syariat-syariat sebelumnya, dan tidak
akan menasakhnya.

C. Pembagian syar’u Manqablana

Pengelompokan Syar’u Man Qablana Syariat sebelum kita dalam


pengertian di atas, dapat dibagi dalam tiga kelompok:
Pertama, Syariat terdahulu yang terdapat dalam Alquran atau penjelasan
Nabi yang disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan
pula dalam Alquran atau Hadis Nabi bahwa yang demikian telah dinasakh dan
tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad. Umpamanya firman Allah dalam
surat AlAn`am: 146

َ ‫ظفُر َو ِّمنَ ْالبَقَ ِّر َو ْالغَن َِّم َح َّر ْمنَا‬


‫علَ ْي ِّه ْم‬ ُ ‫علَى الَّذِّينَ هَادُوا َح َّر ْمنَا ُك َّل ذِّي‬ َ ‫َو‬
‫ظم ٰذَ ِّل َك‬ْ َ‫ط بِّع‬
َ َ‫اختَل‬ ْ ‫ور ُه َما أ َ ِّو ْال َح َوايَا أ َ ْو َما‬ُ ‫ظ ُه‬ ُ ‫ت‬ ْ َ‫ش ُحو َم ُه َما إِّ ََّل َما َح َمل‬ ُ
َ‫صا ِّدقُون‬
َ َ‫َجزَ ْينَا ُه ْم بِّبَ ْغيِّ ِّه ْم َوإِّنَّا ل‬
‘’Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang
berkuku dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari
kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang
di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami
hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami
adalah Maha Benar’’.
Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang Yahudi
dahulu. Kemudian dijelaskan pula dalam Alquran bahwa hal itu tidak berlaku
lagi untuk umat Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam surat Al-
An`am: 145

11
َ‫ط َع ُمهُ ِّإ ََّل أ َ ْن يَ ُكون‬ْ َ‫طا ِّعم ي‬َ ‫علَ ٰى‬ َ ‫ي ُم َح َّر ًما‬ َّ َ‫ي ِّإل‬ ِّ ُ ‫قُ ْل ََل أ َ ِّجدُ فِّي َما أ‬
َ ‫وح‬
َّ ‫َم ْيتَةً أ َ ْو دَ ًما َم ْسفُو ًحا أ َ ْو لَحْ َم ِّخ ْن ِّزير فَإِّنَّهُ ِّرجْ س أ َ ْو فِّ ْسقًا أ ُ ِّه َّل ِّلغَي ِّْر‬
‫ّٰللاِّ ِّب ِّه‬
‫غفُور َر ِّحيم‬ َ ‫عاد فَإِّ َّن َرب ََّك‬ َ ‫غي َْر بَاغ َو ََل‬ َ ‫ط َّر‬ُ ‫ض‬ْ ‫فَ َم ِّن ا‬
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -- karena
sesungguhnya semua itu kotor -- atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Hadis Nabi:

‫احلت ﱃ الغنام وﱂ ﲢل َلحد من قبلى‬


‘’Dihalalkan untukku harta rampasan yang tidak pernah dihalalkan untuk
orang sebelumku’’.
Hadis Nabi ini menjelaskan bahwa ghanimah (harta rampasan perang)
itu tidak halal untuk umat terdahulu, namun kemudian dihalalkan untuk umat
Nabi Muhammad.
Ulama telah sepakat menyatakan bahwa syariat terdahulu yang dalam
bentuk ini (yang telah dinasakh) tidak berlaku untuk umat Nabi Muhammad.
Kedua, Hukum-hukum dijelaskan dalam Alquran maupun Hadis Nabi
disyariatkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat
Nabi Muhammad dan dinyatakan berlaku untuk selanjutnya. Umpamanya
firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 183

َ‫علَى الَّ ِّذيْنَ ِّم ْن قَ ْب ِّل ُك ْم لَ َعلَ ُك ْم تَتَّقُون‬ ِّ ‫علَ ْي ُك ُم‬


َ ‫الص َيا ُم َكما َ ُك ِّت‬
َ ‫ب‬ َ ‫ياَا َ ُّي َها الَّذِّينَ أ َ َمنُوا ُك ِّت‬
َ ‫ب‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-
Baqarah: 183)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa puasa disyariatkan untuk terdahulu dan
diwajibkan atas umat Nabi Muhammad. Contoh dalam Hadis Nabi adalah
tentang berkurban yang dijelaskan disyariatkan untuk Nabi Ibrahim, juga
disyariatkan untuk umat Nabi Muhammad. Hal ini ditegaskan dalam sabda
Nabi:

12
‫ضحوا فاا سنة ابيكم ابراهيم‬
‘’Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunah bapakmu, Ibrahim’’.
Hukum-hukum dalam bentuk ini berlaku untuk umat Nabi Muhammad.
Hal ini telah disepakati oleh semua ulama. Pemberlakuan hukum untuk umat
Nabi Muhammad bukan karena ia adalah syara’Hukum-hukum dalam bentuk ini
berlaku untuk umat Nabi Muhammad. Hal ini telah disepakati oleh semua
ulama. Pemberlakuan hukum untuk umat Nabi Muhammad bukan karena ia
adalah syara’sebelum kita yang harus berlaku untuk kita, tetapi karena
kewajiban tersebut ditetapkan pemberlakuannya unutk kita dalam Alquran atau
Hadis Nabi.
Ketiga, Hukum-hukum yang disebutkan dalam Alquran atau hadis Nabi
dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas
tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum
tersebut telah dinasakh. Dari ketiga kelompok syariat sebelum kita, bentuk
pertama sudah jelas kedudukannya yaitu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi
Muhammad. Demikian juga dengan bentuk kedua yang disepakati telah menjadi
hukum Islam. Bentuk ketiga inilah sebenarnya yang disebut “syariat sebelum
kita” yang menjadi bahan kajian ulama Ushul pada waktu membicarakan dalil-
dalil syara` atau metode ijtihad. Pembahasan tentang syariat “syariat sebelum
kita” ini mucul karena di satu sisi ia terdapat (disebut) dalam Alquran yang tentu
dengan sendirinya mengikat untuk umat Nabi Muhammad, namun di sisi lain
Alquran itu sendiri menyebutkan bahwa hukum itu berlaku untuk umat tertentu
sebelum Nabi Muhammad. Ayat Alquran dalam hal ini mengisahkan isi sebuah
kitab suci terdahulu yang menetapkan hukum bagi umatnya. Umpamanya
firman Allah dalam surat Al-Maidah: 45

‫ف َو ْاْلُذُنَ ِّب ْاْلُذُ ِّن‬ ِّ ‫ف ِّب ْاْل َ ْن‬ َ ‫س ِّبال َّن ْف ِّس َو ْالعَيْنَ ِّب ْالعَي ِّْن َو ْاْل َ ْن‬ َ ‫علَ ْي ِّه ْم فِّي َها أ َ َّن ال َّن ْف‬
َ ‫َو َكتَ ْبنَا‬
‫ارة لَهُ َو َم ْن لَ ْم َيحْ ُك ْم ِّب َما‬ َ َّ‫صدَّقَ ِّب ِّه فَ ُه َو َكف‬ َ َ‫صاص فَ َم ْن ت‬ َ ِّ‫َوالس َِّّن ِّبالس ِِّّن َو ْال ُج ُرو َح ق‬
َ‫الظا ِّل ُمون‬َّ ‫ّٰللاُ فَأُو ٰلَئِّكَ ُه ُم‬ َّ ‫أ َ ْنزَ َل‬
‘’Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang zalim’’.

13
Ayat ini mengisahkan hukum yang berlaku pada orang Yahudi di masa
dahulu kala. Hukum-hukum dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi
disyari’atkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat
Nabi Muhammad dan berlaku untuk selanjutnya.

D. Pendapat Para Ulama Tentang Syar'u Man Qablana

1. Pada dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang dari Allah juga
oleh karena itu, apa yang disyari’atkan kepada para nabi terdahulu dan
disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat Muhammad SAW.
2. Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi
terdahulu, antara lain firman Allah:
‫ث ُ َّم أ َ ْو َح ْينَا ِإلَ ْيكَ أ َ ِن ات َ ِبحْ ِملَّةَ ِإ ْب َرا ِه ْي َم َحنِ ْيفًا‬
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama
Ibrahim yang hanif.” (QS. An-Nahl:123).6

Para ulama Ushul Fiqih sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu
yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tidak
berlaku lagi bagi umat Islam, karena datang syari’at Islam telah
mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu. Demikian pula para
ulama Ushul Fiqih sepakat, bahwa syari’at sebelum Islam yang di
cantumkan dalam Al-Qur’an adalah berlaku bagi umat Islam bilamana ada
ketegasan bahwa syari’at itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW.,
namun keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya sebagai syari’at
sebelum Islam tetapi karena di tetapkan oleh Al-Qur’an. Misalnya puasa
Ramadhan yang di wajibkan kepada umat Islam adalah syariat sebelum
Islam.7

6
Satria Effendi, op. cit., hlm. 165-166.
7
Ibid., hlm. 144
14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Yang dimaksud syar'u manqoblana yaitu syariat yang diturunkan oleh


Allah melalui nabi-nabi yang diutus sebelum nabi Muhammad.
Sebagian ulama Hanafiah, salafiyah, malikiyah, Dan hambaliyah
menganggap bahwa syariat umat sebelum kita juga berlaku bagi kita untuk
diikuti dan dijalankan. selama syariat itu diceritakan kepada kita belum dihapus
karena syariat itu satu.
Pembagiannya syariat terdahulu yang masih tetap berlaku sampai
sekarang Dengan berdasarkan Nash Alquran dalam bagian ini tanpa
diperselisihkan kita harus mengamalkannya, karena bagian ini termasuk kepada
syariat kita . syariat yang berlaku bagi umat terdahulu tetapi telah dinasakh bagi
kita. yang disebutkan oleh nas atau sunnah tetapi tidak tegas disebutkan tetap
berlaku atau dinasaknya seperti almaidah ayat 45.
Para ulama Ushul Fiqih sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang
tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi
umat Islam, karena datang syari’at Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-
syariat terdahulu. Demikian pula para ulama Ushul Fiqih sepakat, bahwa
syari’at sebelum Islam yang di cantumkan dalam Al-Qur’an adalah berlaku bagi
umat Islam bilamana ada ketegasan bahwa syari’at itu berlaku bagi umat Nabi
Muhammad SAW., namun keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya
sebagai syari’at sebelum Islam tetapi karena di tetapkan oleh Al-Qur’an.
Misalnya puasa Ramadhan yang di wajibkan kepada umat Islam adalah syariat
sebelum Islam.
B. Saran

Semoga dengan adanya makalah ini kita semua dapat mengetahui dan
mewarisi syari’at yang ada sebelum ( islam) ini.

15
DAFTAR PUSTAKA

Dr.A. Bima Rista Al-Faruq, Al Afkarul Mukhtaroh Limafihimi Syar’iyah, Jambi, 2021

https://quran.kemenag.go.id

Effendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh,Depok: Kencana.

Abu Zahrah, Muhammad. 1994. Ushul Fiqh. Pustaka Firdaus.

Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqih. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.


Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh, Jilid 2. Jakarta: Kencana, Jakarta.

16

Anda mungkin juga menyukai