“IJTIHAD MAQOSHIDY”
Khotijah (22070001114)
FAKULTAS KEISLAMAAN
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk
itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Maalah..........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................2
A. Kesimpulan..................................................................................................
B. Penutup.........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam melakukan istinbat hukum dan upaya yang dilakukan oleh para Mujtahid
untuk memahami nash tidak saja memperhatikan apa yang tersurat yaitu bentuk lafal
nash dan susunan kalimatnya, tetapi juga memperhatikan yang tersirat, seperti isyarat
yang terkandung dibalik lafal nash serta begitu pula dengan dalalahnya.Berkenaan
dengan cara penunjukan dalalah lafal nash ini, ternyata dikalangan ulama ushul fiqh
terdapat perbedaan cara atau metode dalam penunjukan nash yang mereka tempuh.
Menurut ulama Hanafiah, metode dalam penunjukan nass terbagi menjadi 4 yaitu
ibarah nas, isyarah nash, dalalah nash, dan iqtida’ nash.Dalam makalah ini akan
dijelaskan mengenai istilah-istilah tersebut serta cara bagaimana penunjukannya.
B. Rumusan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
اَل ِإْك َر اَه ِفي الِّديِن
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) (QS. Al-Baqarah : 256)
َو َلْو اَل َد ْفُع ِهَّللا الَّناَس َبْع َض ُهْم ِبَبْع ٍض َلُهِّد َم ْت َص َو اِم ُع َو ِبَيٌع َو َص َلَو اٌت َو َم َس اِج ُد ُيْذ َك ُر ِفيَها اْس ُم ِهَّللا َك ِثيًرا
Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang
lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat
orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. (QS.
Al-Hajj : 40).
2. Memelihara Nyawa
Syariat Islam sangat menghargai nyawa seseorang, bukan hanya nyawa pemeluk Islam,
bahkan meski nyawa orang kafir atau orang jahat sekali pun.Adanya ancaman hukum
qishash menjadi jaminan bahwa tidak boleh menghilangkan nyawa.
ِم ْن َأْج ِل َٰذ ِلَك َك َتْبَنا َع َلٰى َبِني ِإْس َر اِئيَل َأَّنُه َم ْن َقَتَل َنْفًسا ِبَغْيِر َنْفٍس َأْو َفَس اٍد ِفي اَأْلْر ِض َفَك َأَّنَم ا َقَتَل الَّناَس َجِم يًعا َو َم ْن
ۚ َأْح َياَها َفَك َأَّنَم ا َأْح َيا الَّناَس َجِم يًعا
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (QS. Al-Maidah :
32).
3. Memelihara Akal
Syariat Islam sangat menghargai akal manusia, sehingga diharamkan manusia minum
khamar biar tidak mabuk lantaran menjaga agar akalnya tetap waras.
َيْس َأُلوَنَك َع ِن اْلَخ ْم ِر َو اْلَم ْيِس ِر ُقْل ِفيِهَم ا ِإْثٌم َك ِبيٌر َو َم َناِفُع ِللَّناِس َو ِإْثُم ُهَم ا َأْك َبُر ِم ْن َنْفِع ِهَم ا
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah,”Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tapi dosa keduanya lebih besar
dari manfaatnya. . . . (QS. Al-Baqarah : 219).
3
4. Memelihara Nasab Syariat Islam menjaga urusan nasab lewat diharamkannya
perzinaan, dimana pelakunya diancam dengan hukum cambuk dan rajam.
ْأ ْأ
الَّز اِنَيُة َو الَّز اِني َفاْج ِلُدوا ُك َّل َو اِحٍد ِّم ْنُهَم ا ِم َئَة َج ْلَدٍة َو َال َت ُخ ْذ ُك م ِبِهَم ا َر َفٌة ِفي ِد يِن ِهَّللا ِإن ُك نُتْم ُتْؤ ِم ُنوَن ِباِهَّلل َو اْلَيْو ِم اآلِخ ِر
َو ْلَيْش َهْد َع َذ اَبُهَم ا َطاِئَفٌة ِّم َن اْلُم ْؤ ِمِنيَن
Wanita dan laki-laki yang berzina maka jilidlah masing-masing mereka 100 kali. Dan
janganlah belas kasihan kepada mereka mencegah kamu dari menjalankan agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Dan hendaklah pelaksanaan hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman. (QS. An-Nuur : 2).
5. Memelihara Harta
Syariat Islam sangat menghargai harta milik seseorang, sehingga mengancam siapa
mencuri harta hukumannya adalah dipotong tangannya.
َو الَّساِر ُق َو الَّساِر َقُة َفاْقَطُعوْا َأْيِدَيُهَم ا َج َزاء ِبَم ا َك َسَبا َنَك اًال ِّم َن ِهّللا َو ُهّللا َع ِز يٌز َحِكيٌم
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. Al-Maidah : 38).
Hajiyat, yaitu maslahat yang bersifat sekunder, yang diperlukan oleh manusia untuk
mempermudah dalam kehidupan dan menghilangkan kesulitan maupun kesempitan. Jika
ia tidak ada, akan terjadi kesulitan dan kesempitan yang implikasinya tidak sampai
merusak kehidupan.
Kebutuhan ini berlaku dalam bidang ibadat, adat, dan muamalah. Misalnya
disyariatkannya jual beli dalam bidang muamalat guna menyempurnakan syariat tersebut
maka juga disyariatkan mencari saksi. Contoh yang lainnya juga disyariatkan qiradh
(berhutang) dan untuk menyempurnakannya disyariatkan juga untuk mencatat entah itu
dari yang berhutang atau yang diberikan untuk berhutang.Tahsiniyat, yaitu maslahat
yang merupakan tuntutan muru’ah (moral), dan itu dimaksudkan untuk kebaikan dan
kemuliaan.
Jika ia tidak ada, maka tidak sampai merusak ataupun menyulitkan kehidupan manusia.
Maslahat tahsiniyat ini diperlukan sebagai kebutuhan tersier untuk meningkatkan
kualitas kehidupan manusia (Al-Zuhaili, 1986:1020-1023).Misalnya telah disyariatkan
berkurban untuk menyempurnakannya disyariatkan juga untuk memilih hewan yang
bagus dalam berkurban atau aqiqah, dan dalam berinfak disyariatkan berinfak dengan
harta yang baik.Mukammilat artinya menyempurnakan atau sebagai penyempurna dari
4
tingkatan pertama (Dharuriyyat), tingkatan kedua (Hajjiyat), dan tingkat ke tiga
(Tasliyat)2
B.Klarifikasi Maqashid al-syariah
klasifikasi Maqashid Syariah. Menurutnya, dari segi keluasan cakupannya, Maqashid
tiga tingkatan, yaitu: maslahat esensial (dharuriyyah), maslahat primer (hajiyyah), dan
maslahat komplementer (tahsiniyyah).
1.Daruriyyat
Duriyyat secara bahasa adalah kebutuhan yang mendesak atau darurat.Dalam hal ini
ada 5 hal yang harus diperhatikan yaitu memelihara agama, memelihara
jiwa,memelihara akal pikiran, memelihara kehormatan dan keturunanan, serta
memelihara harta benda. Di dalam kebutuhan daruriyyat, apabila tingkat kebutuhan ini
tidak terpenuhi, maka akan mengancam keselamatan umat manusia baik di dunia
maupun di akhirat.
2.Hajiyyat
Hajiyat secara bahasa berarti kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan ini
tidak terwujud tidak sampai mengancam keselamatan, namun akan mengalami kesulitan.
Untuk menghilangkan kesulitan tersebut, di dalam Islam terdapat hukum rukhsa
(keringanan), yaitu hukum yang dibutuhkan untuk meringankan beban, sehingga hukum
dapat dilaksanakan tanpa rasa tertekan dan terkekang.
3.Tahsiniyyat
Tahsiniyyat secara bahasa berarti hal-hal penyempurna. Tingkat kebutuhan ini
berupa kebutuhan pelengkap. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka tidak akan
mengancam dan tidak pula menimbulkan kesulitan.2wsa
2
Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia. Vol 10. Hal 27
5
redaksi yang diungkap oleh Imam Syatibi, terindikasi dua syarat operasional yang
dikemukakan,Yaitu
Pertama, 3
Perintah dan larangan itu diungkapkan secara eksplisit dan mandiri (ibtidai) Berdasarkan
syarat ini, maka perintah yang sifatnya penguat saja tidak bisa digunakan dalam metode
ini. Misalnya, larangan jual beli dalam firman Allah SWT dalam surat al Jum’ah ayat 9:
“bukan merupakan larangan jual beli secara murni dan mandiri (ibtida’i), melainkan
sebatas larangan untuk menguatkan perintah as sa’yu ila adz dzikr (bersegera untuk
melaksanakan shalat jum’at)”.
Kedua,
perintah dan larangan itu harus diungkapkan secara eksplisit (sarih) Dengan adanya
syarat ini, maka perintah dan larangan yang bersifat dhimni, atau yang dipahami dari
mafhum an nushush (seperti mafhum muwafaqah dan mukhalafah, dll), maupun yang
dipahami dari kaidah-kaidah fiqih (seperti ma la yatimm al wajib illa bihi fa huwa wajib,
atau alarm bi asy syai’ nahyun an dhiddih, dll), tidak bisa digunakan untuk menetapkan
maqashid al Syariahberdasarkan pendekatan ini.
2. Memperhatikan konteks illat dari setiap perintah dan larangan Metode ini pada
hakikatnya masih memiliki keterkaitan erat dengan metode pertama, tetapi titik fokusnya
lebih pada pelacakan illat di balik perintah dan larangan. Pada tataran ini, penetapan
maqashid berangkat dari pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang ada apa di balik
perintah dan larangan itu? Mengapa perkara ini diperintahkan? Mengapa hal itu
dilarang? Dengan pembahasan ini, al Syatibi tidak menjadikan illat sebagai maqashiditu
sendiri, melainkan sebatas alamat atau isyarat yang mengarahkan kepada maqashid.
Adapun yang dijadikan maqashid adalah konsekwensi ideal dari illat (muqtadha al ilal)
dari sisi terlaksananya perbuatan yang diperintahkan dan tercegahnya perkara yang
dilarang.
Illat dibedakan menjadi dua, yaitu illat yang diketahui (ma’lumah) dan illat yang tidak
diketahui (ghairu ma’lumah). Illat ma’lumah, wajib untuk diikuti oleh seorang mujtahid
dalam proses ijtihadnya, berdasarkan kaidah-kaidah masalik al illat yang banyak dibahas
dalam ilmu ushul fiqh. Adapun illat ghairu ma’lumah, sikap yang wajib diambil adalah
tawaqquf, serta tidak secara gegabah dan spekulatif memutlakkan klaim bahwa yang
dikehendaki Allah SWT adalah begini dan begitu. Sebab dipilihnya sikap tawaqquf
terhadap illat ghairu ma’lumah karena dua hal, yaitu: Pertama, tawaqquf karena
ketiadaan dalil yang menunjukkan illat dalam nash. Kedua, tawaqquf karena sekalipun
ada illat yang manshush, tetapi bisa jadi bukan merupakan maqshud asy syari’ (al
Syathibi.
6
tanasul). Sementara setelahnya, terdapat beberapa maqashid turunan (tabi’ah) seperti
mendapatkan ketenangan (as sakinah), tolong-menolong dalam kemaslahatan duniawi
dan ukhrawi, penyaluran hasrat biologis manusiawi (al istimta’) secara halal,
membentengi diri dari terpaan fitnah, dll, semua itu merupakan akumulasi dari maqashid
at tabi’ah dalam syari’at nikah.
4
4. Tidak adanya keterangan syar’i (sukut asy sayri’)Maksud dalam bahasan ini adalah
tidak adanya keterangan nash mengenai sebab hukum atau disyari’atkannya suatu
perkara, baik yang memiliki dimensi ubudiyah maupun mu’amalah, padahal terdapat
indikasi yang memungkinkan terjadinya perkara tersebut pada tataran empirik. Secara
rinci, cakupan perkara yang tidak ada keterangan syar’i ini dipetakan pada dua jenis:
a. Ketiadaan keterangan karena belum adanya kebutuhan tasyri’ untuk menjelaskannya.
Persoalan yang masuk dalam kategori ini adalah semua persoalan baru yang muncul (an
nazilah) setelah wafatnya Rasulullah. Karena pada hakikatnya, hal itu belum eksis pada
masa tasyri’ ketika Rasulullah SAW masih hidup (seperti kodifikasi al Quran,
pembukuan ilmu pengetahuan, dll). Terkait dengan hal ini, upaya mengetahui dan
menetapkan maqashid-nya adalah dengan mengembalikan furu’ kepada ushul yang
relevan, atau dengan menelusuri nash-nash yang memiliki keterkaitan dan
menyimpulkannya secara induktif atau al istiqra’.5
b. Perkara yang telah berkemungkinan ada di masa tasyri’, tetapi tidak ada keterangan
syari’at terhadapnya.Permasalahan ini lebih terkait dengan hal hal berdimensi ubudiyah.
Dalam hal ini, persoalannya dipetakan kepada tiga bagian
1. Mengerjakan sesuatu yang tidak ada keterangan syari’at terhadap status
pelaksanaannya, atau meninggalkan sesuatu yang diizinkan oleh syari’at. Seperti sujud
syukur, do’a berjama’ah setelah shalat, berkumpul untuk berdo’a ba’da ashar pada hari
arafah bagi yang sedang tidak wuquf di arafah, dll.
2. Mengerjakan sesuatu yang tidak ada dalil syari’at terhadap izin pelaksanaannya, atau
meninggalkan sesuatu yang diizinkan syari’at. Misalnya, berpuasa sambil menahan diri
dari berbicara, atau riyadhah nafsiyah dengan meninggalkan makanan halal tertentu.
3. Melakukan sesuatu yang tidak ada keterangan syari’at, tetapi hal itu menyelisihi
ketetapan syari’at yang lain. Misalnya, mewajibkan berpuasa dua bulan berturut-turut
dalam kafarat dzihar, bagi orang yang mampu memerdekakan budak.
6
4
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm. 246-247.
5
Ibid,hlm. 235.
6
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, hlm. 51.
7
BAB III
PENNUTUP
Kesimpulan
1. Mujarrad al amr wa an nahy al ibtida’i at tasrihi Secara sederhana, metode ini dapat
dipahami sebagai sebuah upaya melihat ungkapan eksplisit perintah dan larangan dalam
nash, yang eksistensi kedua unsur tersebut ada secara mandiri (ibtidai).
2. Memperhatikan konteks illat dari setiap perintah dan larangan .
3. Memperhatikan semua maqashid turunan (at tabi’ah)
4. Tidak adanya keterangan syar’i (sukut asy sayri’)
8
DAFTAR PUSTAKA
Satria Effendi, M. Zeni, Ushul Fiqh, Edisi. I. cet. 7. (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 213.
Ibid,hlm. 235.