Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

MASALAH SHOLAT: TATA CARA SHOLAT QASHAR, JAMAK,

KHAUF DAN ANCAMAN BAGI ORANG YANG MENINGGALKAN

SHOLAT JUMAT

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah Hadist Ahkam

Dosen Pengampu : Ahmad Dzuhri, M.A

Disusun oleh:

Sofi ananda putri 0206232053

Nia Utami ritonga 0206231043

Hanum Latifah 0206231051

PRODI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah SWT. Dan tidak lupa shalawat beriring salam saya
hanturkan kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan kita
cahaya dalam kegelapan Semoga kita diberikan syafa’atnya kelak di Akhirat nanti.

Rasa terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak dosen pengampu yang telah
membimbing saya agar dapat membuat Makalah yang berjudul Masalah Sholat, tata cara
solat qosor,jamak qouf dan ancaman bagi orang yang meninggalkan solat jumat.
Dalam penulisan makalah, materi diambil dari beberapa bahan bacaan yang berkaitan
dengan tema. Dalam penulisan makalah ini dibuat dengan usaha semaksimal mungkin.
Kemungkinan salah bisa saja terjadi, dalam penulisan dan lain sebagainya. Untuk itu,
kritik dan saran sangat penulis harapkan demi mendapatkan hasil yang lebih baik.

Medan, 24 Maret 2024


`

penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

`....................................................................................................................................................i

penulis.........................................................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.....................................................................................................................1

A. Latar Belakang...................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..............................................................................................................2

C. Tujuan Penulisan................................................................................................................2

BAB II........................................................................................................................................3

PEMBAHASAN........................................................................................................................3

A. Tata Cara Shalat Qashar, Jamak dan Khauf...................................................................3

Hadis nomor 3818 menceritakan bahwa Saalih bin Khawwat melaporkan bahwa Saalih
bin Abu Hathmah dari An-Nabi ‫لَّ َم‬222‫لَّى اهللَُّ َعلَ ْی ِھ َو َس‬222‫ َص‬, dia berkata: "Imam berdiri
menghadap kiblat dan sebagian dari mereka bersamanya, sedangkan sebagian dari
mereka menghadap musuh, dengan wajah mereka menghadap musuh. Kemudian dia
shalat bersama yang bersamanya satu rakaat. Kemudian mereka berdiri, shalat untuk
diri mereka sendiri satu rakaat, dan sujud dua kali di tempat masing-masing.
Kemudian mereka pergi ke tempat mereka yang lain dan dia shalat bersama mereka
satu rakaat. Mereka juga melakukan dua rakaat dan sujud dua kali." (HR. Al-
Bukhari)..................................................................................................................................10

Hdist lainnya : Telah menceritakan kepada kami Isma'il, dia berkata: Telah
menceritakan kepada kami saudaraku dari Sulaiman, dari Muhammad bin Abi 'Atiq,
dari Ibnu Syihab, dari Sinan bin Abi Sinan Ad-Dauli, dari Jabir bin Abdullah, semoga
Allah meridhainya berdua, ia mengabarkan kepadaku bahwa ia pernah berperang
bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam ekspedisi ke Najd. Ketika

ii
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpindah ke suatu tempat di Najd, maka
Sinan menemani beliau. Kemudian mereka dihadang oleh musuh di lembah yang
banyak pohonnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam turun, dan orang-orang
terpisah di antara pohon-pohon. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam turun dan
beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang, beliau menggantungkan pedangnya
di dahan pohon itu. Jabir berkata: Kami tertidur sejenak, kemudian tiba-tiba
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memanggil kami. Kami pun mendatangi beliau,
dan di sampingnya ada seorang Arab Badui yang duduk. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda: "Sesungguhnya orang ini mengambil pedangku ketika aku sedang
tidur." Aku pun terbangun, dan ternyata pedang itu ada di tangan orang itu. Beliau
berkata padaku, "Siapakah yang mencegahmu dariku?" Aku jawab, "Allah." Orang
itu masih dibiarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Abu An-Nu'man
mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Abi Kathir dari Abu Salamah dari Jabir
bin Abdullah, dia berkata: Kami bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di tempat
yang berbatu-batu. Ketika kami sampai di sebuah pohon yang rindang, kami
tinggalkan untuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian datanglah seorang dari
musyrikin, dan pedang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tergantung pada pohon itu.
Orang itu mencabut pedang itu, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bangun, dia
memegang pedangnya. Orang itu berkata, "Takutlah padaku!" Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam menjawab, "Tidak." Orang itu berkata lagi, "Siapa yang akan mencegahmu
dariku?" Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Allah." Para sahabat Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam menakut-nakuti orang itu, lalu shalat wajib pun didirikan,
beliau shalat dengan satu kelompok dua rakaat, kemudian mereka mundur, dan beliau
shalat dengan kelompok yang lain dua rakaat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
shalat empat rakaat, sedangkan kaumnya shalat dua rakaat. Dan Masdad
mengabarkan kepada kami dari Abu Awanah dari Abu Bishr, nama orang itu Ghaurs
bin Al-Harith, ia bertempur dalam peperangan itu dan Abu Zubair mengabarkan
kepada kami dari Jabir bahwa kami bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di
antara pohon kurma, maka beliau mendirikan shalat takbir. Abu Hurairah berkata:
Aku shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam ekspedisi Najd dalam
shalat takbir. Dan Abu Hurairah hanya datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam pada masa Khaibar....................................................................................................10

B. Ancaman Bagi Orang Yang Meninggalkan Sholat Jumat.............................................11

iii
BAB IV....................................................................................................................................15

KESIMPULAN.......................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Shalat merupakan kewajiban utama bagi seorang muslim. Kedudukan


shalat sebagai ibadah wajib terdapat dalam nash (Al-Qur’an dan Hadits). Selain
itu, Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa shalat ialah kewajiban yang
pelaksanaannya dibagi kedalam beberapa waktu yang ditentukan. 1 Shalat adalah
ibadah yang tak bisa ditinggalkan. Dalam mengerjakan shalat lima waktu, kaum
muslimin sepakat bahwa shalat lima waktu harus dikerjakan pada waktunya dan
sesuai dengan pembagian waktu-waktunya. Shalat merupakan ma’lum min al din
bi al dharurah (bagian dari urusan agama yang difahami urgensitasnya). Shalat
adalah kewajiban dalam Islam yang paling utama dan menjadi pilar agama yang
paling agung, agama tidak akan tertegak tanpanya.
Shalat merupakan rutinitas ibadah yang tetap saja dilakukan dalam
kondisi apa pun, apakah itu dalam kondisi sehat atau pun sakit, ketika menetap di
suatu tempat maupun ketika dalam perjalanan. Islam memandang shalat sebagai
tiang agama yang dapat membuktikan keislaman seseorang dan untuk mengukur
sejauh mana keimanannya. Selain shalat fardhu, upaya taqarrub juga dapat
dilanjutkan dengan shalat-shalat nawafil atau shalat-shalat yang disunnahkan
untuk meraih fadhilat-fadhilat tertentu. Kewajiban shalat sudah sangat jelas
sumbernya dari al-Quran dan al-Sunnah serta Ijma’, tiada satu pun kaum
muslimin yang menyelisihi tentang kewajiban shalat yang difardhukan atas
mereka lima waktu sehari semalam. Menafikan kewajiban tersebut atau
meremehkannya berimplikasi berat sehingga dapat dihukumi murtad. Maka tidak
ada kondisi apapun yang mengizinkan seorang muslim untuk meninggalkan
shalat.

1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusanc masalah untuk pembahasan kali ini adalah :
a. Jelaskan secara hadist terkait tata cara shalat qashar, jamak dan khauf!
b. Bagaimana ancaman seorang lelaki muslim meninggalkan sholat jumat!

C. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui pengertian secara hadist terkait tata cara shalat qashar,
jamak dan khauf !
b. Mampu mengetahui terkait ancaman seorang lelaki muslim
mmeninggalkan sholat jumat!

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tata Cara Shalat Qashar, Jamak dan Khauf

perkataan jama‟ berarti shalat yang dilaksanakan dengan mengumpulkan dua


shalat wajib dalam satu waktu, seperti shalat Zuhur dengan Asar dan shalat Magrib
dengan shalat Isya. Seperti halnya seseorang melakukan jama‟ taqdim dan jama‟
ta‟khir. Jama‟ taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam
waktu shalat pertama, yaitu: zhuhur dan ashar dikerjakan dalam waktu zuhur, dan
magrib „isya‟ dikerjakan dalam waktu magrib. Jama‟ taqdim harus dilakukan secara
beruturan sebagaimana urutan shalat tidak boleh terbalik. Adapun jama‟ ta‟khir
adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu:
zuhur dan ashar dikerjakan dalam waktu ashar, magrib dan „isya‟ dikerjakan dalam
waktu „isya‟. Jama‟ ta‟khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak
secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Menjama‟ shalat
boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya, baik musafir atau bukan dan
tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan
saja. Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama‟ shalatnya
adalah musafir ketika masih dalam perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan,
turun hujan, dan orang sakit.
Jama‟ berakar kata dari jama‟a, yajma‟u, jam‟an, yang berarti kumpul atau
bergabung. Secara terminology shalat jama‟ adalah dua shalat yang dikerjakan
bergantian dalam satu waktu. Sedangkan pembahasan mengenai pengertian shalat
qaṣar ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu pengertian menurut bahasa dan
istilah. Kata Qaṣar menurut bahasa adalah ‫ ء لش ر‬- yang berarti ‫ )نقص‬meringkas) dan
‫( رخص‬dispensasi). Sedangkan menurut istilah adalah shalat yang diringkas, yaitu
meringkas raka‟at shalat yang empat raka‟at menjadi dua raka‟at, akan tetapi shalat
magrib dan subuh tidak dapat diqaṣar (diringkas). Memendekkan rakaat shalat yang
berjumlah empat menjadi dua rakaat saja.1

1
Muhammad Jawad Mughniyah, al-fiqh „ala al-Madzahib al-Khamsah, hlm.143

3
Misalnya ketika seorang muslim dalam perjalanan maka ada keringanan
(rukhshah) yang diberikan Allah kepadanya dalam melaksanakan shalat boleh ia
melaksanakan shalat secara jama‟ ataupun qaṣar Selain berdassarkan pada ayat di
atas juga berdasarkan hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abdullah bin
Umar :

Artinya : “Abdullah bin Maslamah bin Qa‟nab telah menceritakan kepada


kami. Isa bin Hafs bin „Ashim bin Umar bin al-Khatthab dari ayahnya telah
menceritakan kepada kami, ia berkata : Aku menemani Ibnu Umar dalam perjalanan
ke Mekkah lalu ia shalat zhuhur bersama kami dua rakaat. Kemudian beliau datang
dan kami menghadap bersamanya sehingga tiba perjalanannya. Dia duduk dan kami
duduk bersamanya. Beliau membuka daripadanya mengenai shalat. Maka, neliau
melihat manusia berdiri. Beliau berkata apa yang menjadi penghalang bagi mereka ?
Saya menjawab : mereka berlari. Ibnu Umar berkata : Adalah saya berlari untuk
menyempurnakna shalat saya. Wahai anak saudaraku? Aku menemani Rasulullah
saw dalam sebuah perjalanan, maka beliau tidak pernah menambah (dalam shalatnya)
dari dua rakaat hingga beliau wafat, dan Aku menemani Abu Bakar dan dia tidak
pernah menambah (dalam shalatnya) dari dua rakaat hingga beliau wafat, dan Aku
menemani Umar dan tidak pernah menambah (dalam shalatnya) dari dua rakaat
hingga wafat dan Aku menemani Utsman dan dia tidak pernah menambag (dalam
shalatnya) dua rakaat hingga wafatnya. Allah Swt telah berfirman, “ Sesungguhnya

4
telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.” Al-Ahzaab : 21.2

Menurut Wahbah az-Zuhaili, ahli fikih kontemporer dari Suria, hadis ini
mencapai tingkat mutawatir dan hadis mutawatir kehujjahannya qat‟i (pasti).
Berdasarkan alasan dari ayat dan hadits Rasulullah saw tersebut, „ulama
sepakat bahwa musafir boleh melakukan shalat qaṣar, baik perjalanan itu
menyangkut perjalanan wajib, dan perjalanan yang sifatnya mubah. Pada dasarnya di
dalam al-Qur‟an tidak disebutkan tentang shalat jama‟, hanya saja Al-Qur‟an
menyebutkan tentang shalat qaṣar dan tentang keringanan yang diberikan oleh Allah
dalam agama Islam. Dalil yang menjadi landasan dalam melaksanakan shalat jama‟
adalah hadis-hadis Rasulullah saw, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud
dan Al-Turmudzi dari sahabat Mu‟adz yang berbunyi ;

Artinya: “Dari Muadz, “ bahwasannya Nabi SAW dalan perang tabuk, apabila beliau
berangkat sebelum tergeincir matahari, beliau menta‟khirkan shalat Zuhur hingga
beliau kumpulkan dengan waktu Asar, dan apabila berangkat sesudah tergelincir
matahari, beliau kerjakan shalat Zuhur dan Asar sekaligus, kemudian beliau berjalan.
Dan apabila beliau berangkat sebelum Magrib, beliau menta‟khirkan Magrib hingga
beliau melakukan shalat Magrib beserta Isya dan apabila beliau berangkat sesudah
waktu Magrib beliau segerakan shalat Isya dan beliau menggabungkan shalat Isya
bersama Magrib”. (HR.Abu Daud).
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang mengatakan bahwa Rasulullah saw
juga pernah melakukan shalat jama‟ selain dalam ketakutan (khauf) maupun dalam

2
Muhammad Jawad Mughniyah, al-fiqh „ala al-Madzahib al-Khamsah, hlm.143

5
perjalanan (safar).

Artinya: “Dari Ibu Abbas berkata:Rasulullah saw pernah menggabungkan antara shalat
dhuhur dan shalat asar ataupun magrib dan isya dalam satu waktu dalam keadaan tanpa
rasa takut dan bukan sedang dalam perjalan”. (HR.Muslim)
Shalat merupakan ibadah yang dikenal sejak dahulu kala dan ritual yang ada pada
banyak agama secara umum. Islam sangat memperhatikan perintah shalat, tidak boleh
mengabaikannya dan mengancam dengan ancaman yang berat bagi yang
meninggalkannya. Shalat adalah tiang agama, kunci surga, sebaik-baik amalan, dan
yang pertama kali dihisab atas seorang mukmin pada hari kiamat. Allah membolehkan
shalat jama‟ dan qaṣar adalah untuk memberikan keringanan dan kemudahan kepada
setiap manusia agar dapat menjalankan ibadah dalam kondisi apapun, dan shalat adalah
ibadah yang tidak boleh ditinggal, sedangkan manfaat dari keduanya ialah untuk
memudahkan setiap umat manusia dalam berpergian jauh hendak menunaikan
shalatnya, dan Allah selalu memberikan kemudahan kepada setiap hamba-Nya dalam
melaksanakan ibadah.
Shalat jama‟ ialah mengerjakan 2 shalat fardhu dalam satu waktu. Jika dikerjakan pada
waktu yang pertama disebut jama‟ taqdim dan jika dikerjakan pada waktu shalat yang
kedua disebut jama‟ ta‟khir. Sedangkan shalat qaṣar adalah meringkas shalat dari 4
raka‟at menjadi 2 raka‟at. Jama‟ dan qaṣar ini memiliki syarat masing-masing. Syarat
jama‟ taqdim adalah :
1. Niat untuk menjama‟, yaitu niat untuk menjama‟ taqdim ketika memulai shalat
pertama dan dibolehkan ketika sudah melakukannya. Maksud dari niat untuk menjama‟
ialah seseorang yang melaksanakan jama‟ taqdim harus di awali oleh niat untuk
menjama‟ shalat, karena segala perbuatan tergantung kepada niat masing-masing.
Waktu niat jama‟ taqdim ketika memulai shalat pertama dan dibolehkan ketika sudah
melakukannya shalat pertama, menurut pendapat yang paling jelas, meskipun sudah
mengucapkan salam.
2. Tertib, yaitu harus dimulai dengan shalat pertama yang masuk waktunya.

6
3. Bersambung, yaitu berurutan dengan tidak dipisah antara dua shalat yang dijama‟
dengan jarak yang panjang.

Karena, menjama‟ shalat menjadikan dua shalat itu seperti satu shalat maka diharuskan
adanya kesinambungan seperti rakaat-rakaat dalam shalat, yaitu tidak dipisahkan antara
dua shalat tersebut sebagaimana tidak dibolehkan dipisah oleh jarak yang panjang
meskipun udzur, baik itu lupa ataupun pingsan maka shalat jama‟ itu menjadi batal dan
wajib untuk mengakhiri shalat kedua pada waktu yang seharusnya, karena syarat untuk
menjama‟ telah hilang.
4. Terus berada dalan perjalanan hingga melakukan takbiratul iḥram pada shalat kedua,
meskipun perjalanannya itu baru berhenti setelah takbiratul iḥram dan shalat kedua.
Adapun jika perjalanan itu berhenti sebelum dimulainya shalat kedua maka tidak boleh
untuk menjama‟, karena hilangnya sebab.
5. Tetapnya waktu shalat pertama dengan keyakinan dapat melakukan shalat kedua.

6. Menganggap sahnya shalat pertama. Jika seseorang menjama‟ shalat ashar dengan
shalat jumat di tempat yang sedang pelaksanaan shalat jumat tanpa adanya kebutuhan,
juga ragu tentang siapa yang lebih dahulu atau berbarengan dalam pelaksanaan shalat
jumatnya maka tidak boleh melakukan jama‟ shalat ashar dengan jama‟ taqdim.

Sedangkan syarat-syarat jama‟ ta‟khir ialah :


1. Niat untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat jama‟ sebelum keluar waktu shalat
pertama meski ukuran satu rakaat, yaitu waktu tersisa untuk memulai shalat hingga bisa
menjadi tepat waktu.
2. Perjalanan terus berlangsung hingga tiba waktu shalat kedua.3

Sedangkan shalat qaṣar menjadi sah apabila dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
1. Hendaknya perjalanan itu panjang kira-kira ditempuh sejauh dua marhalah atau dua
hari, ataupun enam belas farsakh, menurut mayoritas ulama.
3
Abdullah bin Abdurrahman Bafadhl Al-Hadrami, Al-Muqaddimah Al-Hadramiyyah, (Beirut: Darul
Minhaj, 2011), hlm.91.

7
2. Hendaknya perjalanan itu merupakan perjalanan yang dibolehkan bukan perjalanan
yang diharamkan ataupun dilarang.

3. Shalat yang boleh diqaṣar hanya shalat yang empat raka‟at saja, dan bukan shalat
qadha, shalat yang empat raka‟at ialah shalat zhuhur, „ashar dan „isya. Cara mengqaṣar
ialah shalat yang empat raka‟at itu dikerjakan (dijadikan) dua raka‟at saja sebagaimana
sabda Nabi saw :
Artinya : Abu Ma‟mar menyampaikan kepada kami Abdul Warits, dari Yahya bin Abu
Ishaq yang berkata, saya mendengar Anas berkata, “kami bepergian bersama Nabi dari
Madinah ke Mekah. Dalam perjalanan, Nabi SAW melakukan shalat dua rakaat-dua
rakaat sampai kami pulang kembali ke Madinah.” Aku (Abu Ishaq) bertanya, “Apakah
kalian tinggal sementara di Mekah?” Anas menjawab,”kami tinggal di Mekah selama
sepuluh hari.” Adapun shalat subuh dan magrib tidak boleh diqaṣar.
4. Niat mengqaṣar pada waktu takbiratul ihram.
5. Tidak menjadi ma‟mum kepada orang shalat yang bukan musafir.
6. Baligh adalah syarat menurut mażhab Hanafi. Akan tetapi, mayoritas ulama tidak
mensyaratkannya maka anak kecil boleh mengqaṣar shalat. Karena, setiap orang yang
memiliki tujuan yang benar dan niat melakukan perjalanan, serta mencapai jarak yang
ditentukan maka ia boleh mengqaṣar shalat.
7. Tempat yang dituju untuk melaksanakan shalat qaṣar haruslah tempat yang tertentu
untuk mengqaṣarnya, jika tidak maka tidak boleh qaṣar.
8. Kekal perjalanan sehingga sempurna shalat. Menurut Jumhur ulama seorang musafir
yang sudah menentukan lama musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh
menqaṣar shalatnya. Tetapi kalau waktunya empat hari atau kurang maka ia boleh
mengqaṣarnya.
Apabila ditinjau kembali terdapat perbedaan antara pendapat jumhur ulama yang
mengatakan bahwa seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya lebih
dari empat hari maka ia tidak boleh menqaṣar shalatnya. Tetapi kalau waktunya empat
hari atau kurang maka ia boleh mengqaṣarnya dengan hadist yang mengatakan bahwa
Anas dan Nabi melaksanakan qashar shalat selama 10 hari mereka tinggal di Mekkah. 4
4
Nashr Farid Muḥammad Washil dan Abdul Aziz Muḥammad Azzam, Qawaid Fiqhiyyah, terj.
Wahyu Setiawan, (Jakarta: Amzah, 2016), hlm. 56.

8
Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Fathul Baari “tidak diragukan lagi Nabi SAW
keluar dari Mekkah pada pagi hari tanggal ke empat belas. Dengan begitu lamanya
Beliau bermukim di Mekkah dan wilayah sekitarnya selama sepuluh hari sepuluh
malam sebagaimana dikatakan oleh Anas, adapun lamanya beliau bermukim di
Mekkah hanya empat hari saja, karena setelahnya beliau keluar dari Mekkah pada
tanggal kedelapan. Lalu beliau melakukan shalat di Mina.
Masalah tempat dibolehkannya shalat qaṣar, para ahli fiqh sepakat bahwa awal
dimulainya perjalanan yang dibolehkan untuk mengqaṣar shalat dan kemudahan
lainnya yaitu ketika seorang musafir keluar dari deretan rumah-rumah yang ada di
desanya yang menjadi tempat keluar dan memposisikan rumah-rumah itu berada di
belakang punggungnya, atau melewati perkampungan dari sisi tempat keluar dari
kotanya, sedang jika ia belum melewatinya dari sisi lain karena bermukim itu berkaitan
dengan masuknya maka berpergian juga berkaitan dengan keluar darinya, seperti
firman Allah SWT, “dan apabila kamu berpergian di muka bumi maka tidaklah
mengapa kamu mengqaṣar shalatmu. Seorang musafir tidak disebut sedang melakukan
perjalanan sebelum ia keluar dari tempat tinggalnya. Seorang musafir juga jangan
menyempurnakan raka‟at shalatnya sampai ia memasuki deretan rumah-rumah yang
ada di tempat tujuan bermukim. Seorang Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa
Adillatuhu , hlm. 432. musafir juga tetap dihukumi dalam perjalanan sampai ia berniat
untuk bermukim beberapa waktu tertentu.5

Shalat khauf, Dalam ajaran Islam, shalat merupakan landasan pokok dalam beragama.
Oleh karena shalat adalah tiang agama, dan fardu `ain bagi setiap umat Islam. Itulah
sebabnya shalat tidak boleh ditinggalkan dalam kondisi apapun, baik pada kondisi
aman maupun dalam kondisi perang. Berkaitan dengan hal tersebut, shalat dalam
kondisi perang, Rasululullah saw., telah mengerjakannya, yang disebut dengan shalat
khauf. Alasan yang mendasari disyariatkannya shalat khauf karena adanya
kekhawatiran serangan mendadak dari pihak musuh sementara umat Islam sedang
5
Syaikh As-Sa’di Abdurrahman bin Nashir, Bahjah Qulub Al-Abrar Wa Quratu ‘Uyun al Akhyar fi
Syarh Jawami’al Akhbar jilid I, (Beirut: Maktabah Al Malk Fahd Al Wathaniyah, 1994), hlm.106.

9
melakukan shalat berjama’ah seperti biasanya. Untuk itu, Allah swt. melalui malaikat
Jibril mengajarkan tata cara shalat dalam kondisi berperang dengan tetap tidak
menghilangkan nilai jama’ah yang mereka cintai melebihi anak-anak dan nyawa
mereka sendiri. Karena shalat berjama’ah merupakan ikatan yang kuat, kokoh dan
kentinyu sehingga meskipun dalam suasana mengkhawatirkan, menegangkan lagi
mendebarkan, shalat khauf tetap jalan, akan tetapi dengan cara yang berbeda sesuai
dengan kebutuhan keamanan. Rasulullah saw., melakasnakan shalat khauf berdasarkan
tuntunan al-Qur`an atau bimibngan dari Allah swt., oleh karenanya, hadis Nabi
Muhammad saw., selain sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur`an,1
juga berfungsi sebagai sumber historis perjuangan Rasulullah saw. Hadis Nabi saw.,
juga mempunyai fungsi penjelas bagi al-Qur`an, menjelaskan yang global,
mengkhususkan yang umum, dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an.

Hadis nomor 3818 menceritakan bahwa Saalih bin Khawwat melaporkan bahwa Saalih
bin Abu Hathmah dari An-Nabi ‫ َصلَّى اهللَّ ُ َعلَ ْی ِھ َو َسلَّ َم‬, dia berkata: "Imam berdiri menghadap
kiblat dan sebagian dari mereka bersamanya, sedangkan sebagian dari mereka
menghadap musuh, dengan wajah mereka menghadap musuh. Kemudian dia shalat
bersama yang bersamanya satu rakaat. Kemudian mereka berdiri, shalat untuk diri
mereka sendiri satu rakaat, dan sujud dua kali di tempat masing-masing. Kemudian
mereka pergi ke tempat mereka yang lain dan dia shalat bersama mereka satu rakaat.
Mereka juga melakukan dua rakaat dan sujud dua kali." (HR. Al-Bukhari)

Hdist lainnya : Telah menceritakan kepada kami Isma'il, dia berkata: Telah menceritakan
kepada kami saudaraku dari Sulaiman, dari Muhammad bin Abi 'Atiq, dari Ibnu Syihab,
dari Sinan bin Abi Sinan Ad-Dauli, dari Jabir bin Abdullah, semoga Allah meridhainya
berdua, ia mengabarkan kepadaku bahwa ia pernah berperang bersama Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dalam ekspedisi ke Najd. Ketika Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam berpindah ke suatu tempat di Najd, maka Sinan menemani beliau.

10
Kemudian mereka dihadang oleh musuh di lembah yang banyak pohonnya. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam turun, dan orang-orang terpisah di antara pohon-pohon.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam turun dan beristirahat di bawah sebuah pohon
yang rindang, beliau menggantungkan pedangnya di dahan pohon itu. Jabir berkata:
Kami tertidur sejenak, kemudian tiba-tiba Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
memanggil kami. Kami pun mendatangi beliau, dan di sampingnya ada seorang Arab
Badui yang duduk. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya
orang ini mengambil pedangku ketika aku sedang tidur." Aku pun terbangun, dan
ternyata pedang itu ada di tangan orang itu. Beliau berkata padaku, "Siapakah yang
mencegahmu dariku?" Aku jawab, "Allah." Orang itu masih dibiarkan oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Abu An-Nu'man mengabarkan kepada kami dari Yahya
bin Abi Kathir dari Abu Salamah dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: Kami bersama
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di tempat yang berbatu-batu. Ketika kami sampai di
sebuah pohon yang rindang, kami tinggalkan untuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kemudian datanglah seorang dari musyrikin, dan pedang Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam tergantung pada pohon itu. Orang itu mencabut pedang itu, lalu Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bangun, dia memegang pedangnya. Orang itu berkata, "Takutlah
padaku!" Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Tidak." Orang itu berkata lagi,
"Siapa yang akan mencegahmu dariku?" Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,
"Allah." Para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menakut-nakuti orang itu, lalu
shalat wajib pun didirikan, beliau shalat dengan satu kelompok dua rakaat, kemudian
mereka mundur, dan beliau shalat dengan kelompok yang lain dua rakaat. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam shalat empat rakaat, sedangkan kaumnya shalat dua rakaat.
Dan Masdad mengabarkan kepada kami dari Abu Awanah dari Abu Bishr, nama orang
itu Ghaurs bin Al-Harith, ia bertempur dalam peperangan itu dan Abu Zubair
mengabarkan kepada kami dari Jabir bahwa kami bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam di antara pohon kurma, maka beliau mendirikan shalat takbir. Abu Hurairah
berkata: Aku shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam ekspedisi Najd
dalam shalat takbir. Dan Abu Hurairah hanya datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam pada masa Khaibar.6

B. Ancaman Bagi Orang Yang Meninggalkan Sholat Jumat

6
Muḥammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan ibn Majah jilid 1, Alih Bahasa Ahmad Taufiq
Abdurrahman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 88.

11
Setiap muslim pasti sudah tau dengan salat jumat, sesuai dengan namanya
salat ini dilaksanakan pada hari jumat. Pelaksanaan salat jumat dilakukan secara
berjamaah. Karena itu seorang muslim harus melaksanakan salat jumat sesuai
dengan waktu yang ditetapkan. Salat jumat merupakan satu ibadah yang
hukumnya wajib, bahkan kewajiban salat jumat sama dengan kewajiban salat lima
waktu bagi laki-laki. Bahkan wajibnya salat jumat untuk setiap individu sudah
menjadi kesepakatan kalangan fuqoha . Melaksanakan salat jumat sangat
ditekankan, sampai-sampai terdapat peringatan harus disegerakan bahkan ketika
sedang melakukan jual-beli. Keadaan yang tidak dapat melaksanakan sholat jumat
antaralain di antaranya karena sakit, Dalam keadaan darurat, ketika seorang sedang
sakit, maka hal tersebut tidak membuat laki-laki tersebut wajib melaksanakan salat
jumat Syarat wajib salat jumat salah satunya sehat. “seumpama sakitnya lebih dari
tiga jumat, atau dalam keadan safar, ataun dalam kondisi darurat seperti pandemic
covid 19, maka bagaimana hukumnya meninggalkan salat jumat tiga kali berturut-
turut di masa pamdemic” .

Adapun bagi musafir, Sebagian fuqaha berpendapat tidak wajib salat jumat
bagi musafir. Sebagian fuqaha lain berpendirian bahwa salat jumat itu wajib.
Kelompik terakhir ini terbagi menjadi beberapa bagian:

1. Yang berpendapat bahwa orang yang dalam perjalanan satu hari dari
tempat jumat, maka ia wajib mengejar salat jumat pendapat ini tidak mendapat
dukungan;

2.Berpendapat wajib salat jumat bagi yang menempuh jarak tiga mil, atau
setara dengan 1,6 KM;

3.Wajib salat bagi orang yang mendengar azan jumat, yakni tiga mil dari
dari seruan azan. Dua pendapat terakhir ini diriwayatkan Imam Malik, dan masaah
ini diperbincangkan dalam kajian persyaratan salat jumat. Berikut ini beberapa
alasan yang dibenarkan secara syar’i meninggalkan salat Jumat adalah sebagai
berikut:

1. Hujan lebat yang dapat membasahi pakaian (tidak bisa ke masjid).

2. Turun salju (yang membuat tidak bisa ke masjid).

3. Cuaca dingin (ekstrem).

12
4. Sakit berat yang membuatnya sulit untuk menghadiri shalat Jumat dan
shalat berjamaah atau orang yang ditugasi menjaga orang sakit.

5. Ada kekhawatiran terhadap gangguan keselamatan jiwa, kehormatan


diri, dan harta bendanya karena suatu dan lain hal. Seperti saat ini, karena ada
wabah Covid-19. Dengan demikian setiap orang yang diwajibkan salat jumat, jika
tanpa uzur syar’i sebagaimana tersebut di atas, haram meninggalkan salat jumat.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud Nomor 105 disebutkan
bahwa orang yang meninggalkan shalat jumat berturut-turut tiga kali secara
sengaja dengan alasan meremehkannya dan menganggap enteng, maka orang itu
akan ditutup hatinya oleh Allah SWT. Dalam hadis tersebut menerangkan
perawinya Abi Al-Ja’di, dari Rasulullah SAW beliau pernah bersabda:

‘Man taroka tsalaatsa juma’in tahawunan biha…………..” kalimat’


tahaawunan biha ’thbba’allahu’ala qolbihi’ siapa yang dengan sengaja
meninggalkan shalat jumat sebanyak tiga kali , karena meremehkan
itu,’tahaawunan’ menggangap remeh. Jadi sengaja meninggalkan shalat jumat.
Bukan karena ada sebab tertentu, yang secara syariat dia boleh mengganti (salat)
jumat dengan zuhur’.

Orang yang meninggalkan sholat jumat berturut-turut sebanyak tiga kali


secara sengaja atau tanpa halangan yang membenarkan maka ia akan mendapat
ancaman dari Allah SWT. Barang siapa yang meninggalkan shalat jumat tiga kali
tanpa uzur. Maka ia dicatat termasuk orang-orang munafik. (HR.Thabarani No.
425) Maka di hadits ini dikatakan siapa yang sengaja meninggalkan shalat jumat
sebanyak tiga kali, karena meremehkan, menggangap ibadah jumat itu ringan.
Maka thoba’allaaha’ala qolbihi. Allah akan menutup. Memberikan cap pada
hatinya’.orang yang sudah tertutup hatinya akan menjadi tidak peduli terhadap
kebaikan. Bahkan hadis lain juga menjelaskan yang diriwayatkan Ibnu Umar dan
juga Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda: "Hendaknya orang yang suka meninggalkan Jumatan itu

13
menghentikan kebiasaan buruknya, atau Allah akan mengunci mati hatinya,
kemudian dia menjadi orang ghafilin (orang lalai)." (HR. Muslim 865).

Ketika ada kebaikan muncul, maka hatinya tidak terketuk atau tergugah
akan hal tersebut. Maka diancam oleh Allah SWT hati-hati nanti qolbunya
(hatinya) bisa tertutup, bila qolbu tertutup, pada akhirnya sulit untuk menerima
kebaikan pada puncaknya sulit menerima Nur (cahaya) dari Allah SWT.
Kemudian puncaknya dia akan menjadi orang yang anti terhadap kebaikan dalam
agama. Bahkan mendengar adzan jadi komplain, liat orang shalat jadi sewot. Allah
akan menutup dan mencegah hati orang yang meninggalkan shalat jumat
menerima kasih sayang Allah, kering dan keras sebagaimana hati orang munafik.
Bahaya dari meninggalkan shalat jumat tanpa uzur kaitannya dengan keislaman
seseorang intinya tidak memprioritaskan Allah SWT dalam kehidupannya Barang
siapa yang meninggalkan shalat jumat tiga kali berturut-turut, maka ia telah
mencampakan islam di balik punggungnya. (Musnad Abi Ya’la No 2712), maka
bisa dipahami bahwa terdapat tiga kriteria orang yang meninggalkan salat jumat
dan dihukum negatif dalam Islam. Yakni, pertama, mereka yang menggangap
remeh atau mengentengkan ibadah shalat jumat. Kedua. Mereka yang
meninggalkan salat jumat bukan disebabkan uzur yang dibenarkan syar’i, ketiga
mereka yang meninggalkan shalat jumat sebanyak tiga kali dan dilakukan secara
berturut-turut. Namun meninggalkan shalat jumat berdasarkan hadits di atas tak
ada satu yang menggolongkan mereka termasuk orang kafir karena meninggalkan
sholat jumat.

Artinya: “Siapa meninggalkan tiga kali sholat jum’at karena meremehkan,


niscaya Allah menutup hatinya.”

Adapun halangan yang menggugurkan kewajiban mengikuti salat jum’at


yaitu sebagai berikut: Hujan yang dapat membasahi pakaian, salju dingin baik
siang maupun malam, sakit berat, gangguan jiwa.7
7
Abdul Manan Muhammad Sobari, Jangan Tinggalkan Shalat Jum’at-fiqih Shalat Jum’at, Bandung:
Pustaka Hidayah, 2008.

14
BAB IV
KESIMPULAN

dilarang mengqaṣar shalat jika berniat untuk bermukim meskipun sedang shalat
selama belum keluar dari waktunya dan tidak lebih dari setengah bulan, lima belas
hari penuh atau lebih. Maksudnya adalah apabila seseorang melakukan perjalanan
dengan niat untuk menjadi mukim atau untuk tinggal tetap di daerah tertentu, maka
ia tidak dibolehkan untuk mengqaṣar shalatnya meskipun masih dalam waktu
Seseorang boleh mengqasar shalatnya apabila ia tidak melakukan perjalanan dan
tidak memiliki niat untuk bermukim atau tetap didaerah tertentu. tidak boleh
mengerjakan jama‟ antara dua macam shalat dalam satu waktu, baik dalam keadaan
bepergian (safar) maupun di rumah (hadhar) dengan uzur apapun juga
disyariatkannya shalat khauf karena adanya kekhawatiran serangan mendadak dari
pihak musuh sementara umat Islam sedang melakukan shalat berjama’ah seperti
biasanya. Untuk itu, Allah swt. melalui malaikat Jibril mengajarkan tata cara shalat
dalam kondisi berperang dengan tetap tidak menghilangkan nilai jama’ah yang
mereka cintai melebihi anak-anak dan nyawa mereka sendiri. Hukum seorang lelaki
muslim (mukallaf) yang meninggalkan salat jumat selama tiga kali berturut-turut
tidak dibenarkan dalam Islam, apalagi tidak ada uzur syar’i,hukum laki-laki yang
meninggalkan shalat jumat tanpa halangan akan ditutup hatinya oleh Allah Swt
bahkan ada ancaman sebagai munafik dan sama dengan mencampakan Islamnya
dari punggungya, meski demikian tidak serta merta kemudian bagi orang yang
meninggalkan salat jumat tiga kali tanpa uzur dianggap kafir atau munafik

saran : adapun penulisan ini kami mengetahui masih bnyak kekurangan di


dalamnya, maka dari itu kami sebagai penulis meminta saran kepada bapak
pengampu matakuliah dan teman teman sekalian untuk memberikan koreksi agar
kedepannya tidak ada kesalahan penulisan berikutnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan Muhammad Sobari, Jangan Tinggalkan Shalat Jum’at-fiqih Shalat


Jum’at, Bandung: Pustaka Hidayah, 2008.
Abdul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah
Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, Ter. Ma’ruf Zariq dan Ali Abdul Hamid Baithajy,
(Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 167
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Imani, 2003), hlm.167
Abdullah bin Abdurrahman Bafadhl Al-Hadrami, Al-Muqaddimah Al-Hadramiyyah,
(Beirut: Darul Minhaj, 2011), hlm.91.
Muhammad Jawad Mughniyah, al-fiqh „ala al-Madzahib al-Khamsah, hlm.143
Nashr Farid Muḥammad Washil dan Abdul Aziz Muḥammad Azzam, Qawaid
Fiqhiyyah, terj. Wahyu Setiawan, (Jakarta: Amzah, 2016), hlm. 56.
Syaikh As-Sa’di Abdurrahman bin Nashir, Bahjah Qulub Al-Abrar Wa Quratu
‘Uyun al Akhyar fi Syarh Jawami’al Akhbar jilid I, (Beirut: Maktabah Al Malk
Fahd Al Wathaniyah, 1994), hlm.106.

16

Anda mungkin juga menyukai