1
Kata pengantar
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
2
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar belakang
Ushul fiqh adalah Ilmu yang membahas dalil-dalil fiqih yang umum dan cara
mengambil faidah darinya dan kondisi orang yang mengambil faidah.1 Ilmu Ushul
Fiqih adalah ilmu yang agung kedudukannya, sangat penting dan banyak sekali
faidahnya. Faidahnya adalah kokoh dalam menghasilkan kemampuan yang
seseorang mampu dengan kemampuan itu mengeluarkan hukum-hukum syar'i dari
dalil-dalilnya dengan landasan yang selamat. Dan yang pertama kali
mengumpulkannya menjadi suatu bidang tersendiri adalah al-Imam asy-Syafi'i
Muhammad bin Idris rohimahulloh, kemudian para 'ulama sesudahnya
mengikutinya dalam hal tersebut. Maka mereka menulis dalam ilmu Ushul Fiqih
tulisan-tulisan yang bermacam-macam. Ada yang berupa tulisan, sya'ir, tulisan
ringkas, tulisan yang panjang, sampai ilmu Ushul Fiqih ini menjadi bidang
tersendiri keberadaannya dan kelebihannya.
b. Rumusan Masalah
1
Al utsaimin, Muhammad bin shalih, Al-Ushul min 'Ilmil UshulJumadi ats-Tsaniyah 1428H/ Juni
2007 hal 4
3
c. Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Taklifi
a) Pengertian
Melakukan ibadah haji bagi yang mampu. Lihat QS. Al Imran/3 ayat 97
2
Zubaidah.Ushul fiqh 1.2016.bogor:Ghalia Indonesia HAL 124
3
QS. Al Baqarah/2 ayat 183
4
هّٰلِل
ِ اس ِحجُّ ْالبَ ْي
ت َم ِن ا ْستَطَا َع اِلَ ْي ِه َسبِ ْياًل ِ ََّو ِ َعلَى الن
97.Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah
haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke
sana.4
berkata tidak sopan kepada kedua orang tua. Lihat Al isra/17 ayat 23
Contoh hukum taklifi yang boleh bagi si mukallaf antara mengerjakan atau
meninggalkan
a.Bertebaran atau tidak bertebaran setelah melaksanakan sholat Jum’at. Lihat QS.
Al Jumuah/62 ayat 10
ٰ
ِ ْت الصَّلوةُ فَا ْنتَ ِشرُوْ ا فِى ااْل َر
ض ِ ُفَا ِ َذا ق
ِ َضي
4
QS. Al Imran/3 ayat 97
5
QS. Al Jumuah/62 ayat 10
5
b.mengqossor sholat ketika perjalanan jauh.lihat QS. An Nisa/4 ayat 101
Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qasar
salat, jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah
musuh yang nyata bagimu.6
Wajib
Pada umumnya ulama ushul fiqih menjelaskan, kata wajib secara etimologi berarti
tetap. Sedangkan secara terminologi ialah perbuatan yang dituntut Allah untuk
dilaksanakan oleh mukallaf dengan sifat mesti ( tidak boleh tidak) dilakukan, yang
jika perbuatan itu dilaksanakan, maka pelakunya diberi pahala dan jika
ditinggalkan, maka ia dikenakan dosa.7
6
QS. An Nisa/4 ayat 101
7
https://contohmakalah.id/MAKALAHHUKUMTAKLIFIDANHUKUMWADH ’I HAL 4
6
Ketika seseorang melanggar sumpah maka wajib bagi dia untuk membayar
sumpah tersebut seperti”memberi makan fakir miskin, memerdekakan budak, atau
puasa 3 hari.
Contoh : puasa Ramadhan, dimulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
Contoh : shalat wajib, ketika seseorang ingin melaksanakan shalat isya maka dia
boleh melaksanakan diawal waktu atau diakhir waktu asalkan tidak keluar dari
waktu yang telah ditentukan.
Contoh: ibadah haji. Ibadah haji telah ditentukan waktunya seperti ibadah Arafah
jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah, sedangkan disisi longgarnya ibadah haji
dilaksanakan dengan umrah terlebih dahulu kemudia haji, atau haji dan umrah
secara bersamaan, atau haji terlebih dahulu kemudia umrah.
Contoh : pencuri yang mencuri hal hal kecil, seperti mencuri roti
7
c) Dari segi orang yang dibebani
a.wajib ‘ain
Wajib ‘ain adalah wajib yang harus dikerjakan oleh setiap orang
b.wajib kifayah
Wajib kifayah adalah wajib yang bersifat kolektif, apabila satu orang telah
melakukan suatu perintah maka semuanya tidak dibebani hukum wajib lagi.
d) Kandungan perintah
A.wajib mu’ayyan
Wajib mu’ayyan adalah suatu perbuatan wajib yang diperintahkan oleh syari’at
dan dilakukan sesuai hakikatnya tanpa ada pilihan perbuatan lainnya.8
Contoh dari wajib mu’ayyan ini adalah shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat,
dan lain sebagainya. Dan kebanyakan perbuatan wajib dalam syari’at ini berupa
wajib mu’ayyan.
Hukum dari wajib mu’ayyan adalah seorang mukallaf tidak akan terbebas dari
kewajibannya kecuali setelah melakukan perbuatan tertentu yang telah diwajibkan
ini.
B.wajib mukhayyar
Wajib mukhayyar adalah menjadikan wajib suatu perbuatan yang belum
ditentukan dari sekelompok perbuatan yang telah dibatasi.9
Contoh dari wajib mukhayyar dalam syari’at adalah dalam masalah kafarat
(denda) karena melanggar sumpah. Dalam perkara ini, syari’at memberi alternatif
bagi orang yang ingkar dari sumpahnya untuk membayar denda berupa salah satu
8
Ushul Fiqh Alladzi La Yasa’u Al-Faqiha Jahluhu, hlm. 32, Al-Muhadzdzab, hlm. 162.
9
Al-Bahr Al-Muhiith (1/246).
8
dari tiga hal: memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian mereka,
atau membebaskan seorang budak.
ii. Mandub
Secara etimologi mandub berarti sesuatu yang dianjurkan karena ia bersifat
penting. Sedangkan dari segi terminology, para ahli ushul fiqih mendefinisikannya
dengan berbagai ungkapan, antara lain :
Suatu perbuatan yang Asy-Syari memberi pahala kepada pelakunya tetapi tidak
menimpakan dosa kepada orang yang tidak melakukannya.
Pembagian mandub
1. Sunnah mu’kkad
Berdasarkan tinjauan ilmu Ushul Fiqh, sunnah muakkad adalah amalan sunnah
yang dilakukan untuk menyempurnakan suatu ibadah wajib dan dianjurkan
dilakukan sebab tingkatannya hampir mendekati ibadah wajib. Sunnah muakkad
dianggap sebagai cara menyempurnakan suatu ibadah. Sebab, ketika seseorang
melaksanakan ibadah fardhu, bisa saja ada bagian-bagian sunnah yang tidak ia
kerjakan sehingga mengurangi pahalanya.11
Sunnah muakkad juga dapat dipahami sebagai suatu amalan yang sangat
dianjurkan untuk dikerjakan karena tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah
10
https://contohmakalah.id/MAKALAHHUKUMTAKLIFIDANHUKUMWADH ’I HAL 6
11
https://plus.kapanlagi.com/pengertian-sholat-sunnah-muakkad-beserta-dengan-jenis-dan-
ketentuannya-2c6998.html
9
SAW. Hanya sekali atau dua kali saja beliau meninggalkannya untuk
menunjukkan kepada umatnya bahwa ibadah tersebut tidaklah wajib.
Beberapa contoh di antaranya seperti salat qabliyah isya empat rakaat, puasa
Senin Kamis setiap minggu dan lain-lain. 12
3.Sunnah za’idah
Sunnah za’idah adalah sunnah yang apabila dilakukan oleh mukalaf dinyatakan
baik tapi bila ditinggalkan tidak diberi sanksi apapun. Misalnya mengikuti yang
biasa dilakukan nabi sehari-hari seperti makan, minum, dan tidur.
Haram
Yang diamksud dengan haram ialah Suatu perbuatan yang Asy-Syari menurut
mukallaf harus meninggalkannya ( melarang melakukannya) yang jika mukallaf
menjauhi larangan itu karena patut kepada Allah, maka ia akan diberi pahala
sedangkan jika melanggar larangan itu maka ia dinilai melakukan pendurhakaan
kepada Allah sehingga akan dikenai dosa dan ancaman siksa.13
12
(Lihat Tsuraya Mahmud Abdul Fattah [Muhadharat fi Ushulil Fiqih], halaman 82-83).
13
https://contohmakalah.id/MAKALAHHUKUMTAKLIFIDANHUKUMWADH ’I HAL 7
10
Macam macam haram
Contohnya adalah
Daging babi.
Darah.
Khamar.
2.Haram Li Ghairihi : Segala sesuatu yang menjadi haram karena hal-hal yang
menyebabkannya menjadi haram.
Contohnya adalah
Bangkai.
Makruh
Dari segi etimologi makruh berarti yang dibenci sedangkan dari segi terminology
ialah Suatu perbuatan yang Asy-Syari menurut mukallaf untuk meninggalkan
perbuatan tersebut secara tidak mesti ( menganjurkan untuk meninggalkannya)
yang jika mukallaf menjauhi larangan itu karena patuh kepada Allah maka ia akan
11
di beri pahala tetapi jika ia melanggar larangan itu maka ia tidak dikenai dosa dan
ancaman siksa14
Mubah
Dari segi etimologi mubah berarti melepaskan atau mengizinkan sedang dari segi
terminology yang dimaksud dengan mubah ialah Suatu perbuatan yang Asy-Syari
memberikan pilihan kepada mukallaf untuk melakukannya atau meninggalkannya,
yang jika melakukan salah satunya tidak diberi pahala dan tidak pula diancam
dengan dosa dan siksa. Sebagian ulama lain mendefinisikan mubah dengan : suatu
perbuatan yang tidak diberi ujian atau celaan jika mukallaf mengerjakan atau
meninggalkannya. Menurut sebagian ulama hokum mubah itu sendiri identic
dengan halal dan jaiz (boleh).15
B. Hukum Wadl’i
a) Pengertian Hukum Wadl’i
Hukum wadli’ ialah hukum yang menjadikan sesuatu itu sebagai suatu sebab
adanya yang lain, atau syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagai penghalang bagi
sesuatu yang lain. Di dalam ilmu hukum ia disebut pertimbangan hukum. Atau
Hukum wadl’i adalah perintah Allah yang berkaitan dengan penetapan sesuatu
sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi yang lain.
Para ulama telah menelitikan pula hukum-hukum wadl’i ini, tentang Pembagian
Hukum Wadh’i, yaitu:
14
https://contohmakalah.id/MAKALAHHUKUMTAKLIFIDANHUKUMWADH ’I HAL 7
15
https://contohmakalah.id/MAKALAHHUKUMTAKLIFIDANHUKUMWADH ’I HAL 8
12
i. Sebab
Dalam bahasa Indonesia berarti sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu
yang lain. Secara istilah, sebab didefinisikan sebagai sesuatu yang dijadikan
syariat, sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda
bagi tidak adanya hukum.
Seperti dalam contoh tibanya waktu shalat dan menimbulkan wajibnya shalat.
Dalam firman Allah SWT.:
Contoh hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain,
yang juga berkaitan dengan dalil-dalil diatas, seperti :
13
Mencuri menjadi sebab adanya hukum potong tangan bagi tangan pelakunya.
ii. Syarat
menurut para ulama mendefinisikan ialah sesuatu yang tergantung kepadanya
adanya hukum, lazim dengan tidak adanya tidak ada hukum, tetapi tidaklah lazim
dengan adanya ada hukum. Dari definisi kedua dapat dipahami bahwa syarat
merupakan penyempurna bagi suatu perintah syara’.
b) Syarat Al-Ja’liyyah
Ialah syarat yang menyempurnakan sebab dan menjadikan efeknya yang timbul
padanya yang ditentukan oleh mukallaf.
Contoh hukum yang menjadikan sesuatu sebagai syarat adanya yang lain :
seperti hubungan perkawinan suami istri adalah menjadi syarat untuk menjatuhkan
talak, tidak adanya perkawinan maka tidak ada talak.
Kahadiran saksi dalam akad pernikahan merupakan syarat bagi sahnya akad
nikah.17
iii. Mani’(penghalang)
17
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2009), Cet ke-3, 63-64
14
secara bahasa kata mani’ yaitu penghalang. Dalam istilah ushul fiqh mani’ adalah
sesuatu yang ditetapkan Syara’ sebagai penghalang bagi adanya hukum atau
berfungsinya sebab (batalnya hukum).
Mani’ al-hukm,
yaitu : sesuatu yang ditetapkan srari’at sebagai penghalang bagi adanya hukum.
Misalnya, keadaan haidnya wanita itu merupakan mani’ bagi kecakapan wanita
untuk melakukan sholat, oleh karena itu sholat tidak wajib dilakukannya pada
waktu haid.
Contohnya, bahwa sampainya harta minimal satu nisab, menjadi sebab bagi wajib
mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya sudah tergolong orang kaya.
Namun jika pemilik harta itu dalam keadaan berhutang dimana hutang itu bila
dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka dalam kajian fiqih
keadaan berhutang itu menjadi mani’ bagi wajib zahat pada harta yang dimilikinya
itu. Dalam hal ini, keadaan berhutang telah mnghilangkan predikat orang kaya
sehingga tidak lagi dikenakan kewajiban zakat harta.
Contoh hukum yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang adanya yang lain
seperti : seorang anak berhak mendapatkan warisan dari ayahnya yang sudah
meninggal. Tetapi kemudian si anak diputuskan tidak mendapat warisan dari
peninggalan ayahnya karena ada penghalang (mani’). Penghalang itu bisa berupa
karena si anak itu murtad atau kematiaan ayahnya ternyata karena dibunuh oleh
anak itu sendiri.
iv. Rukhsah dan Azimah
15
rukhsah menurut salah satu istilah syara’ yaitu menurut istilah ahli ushul ialah
sesuatu yang ditetapkan karna uzur (halanganberat) dikecualikan dari asal umum
dengan sekedar mencukupi kebutuhan.
Keadaan uzur berat ialah kekhususan yang membedakannya dari azimah dan
keadaan beratnya ialah untuk mengeluarkan penetapan hukumnya sekedar
keperluan tanpa adanya kepayahan seperti salam misalnya. Sedangkan secara
umum Rukhsah ialah keringan hukum yang diberikan oleh Allah kepada mukallaf
dalam kondisi-kondisi tertentu. Sedangkan Azimah ialah hukum yang berlaku
secara umum yang telah disyariatkan oleh Allah sejak semula dimana tidak ada
kekhususan karena suatu kondisi.
Contoh seperti : shalat lima waktu yang diwajibkan kepada semua mukallaf
dalam semua situasi dan kondisi, begitu juga kewajiban zakat, puasa. Semua
kewajiban ini berlaku untuk semua mukallaf dan mjtidak ada hukum yang
mendahului hukum wajib tersebut. Hukum dari rukhsah adalah ibahah (boleh).
Ibnu hajib berpendapat, shihhah (sah) dan buthlan (batal) dalam ibadah adalah
urusan akal yang tergantung dalam pendapat syari’, karena shihhah ialah keadaan
amal yang bersesuaian dengan perintah as-syari’ dan buthlan serta fasad ialah
keadaan amal yang berlawanan dengan perintah as-syari’. Inilah adalah hal yang
16
bisa dipahami sendirian oleh akal setelah mengetahui hal yang mewujudkan
ibadah.
Sedangkan shihha dan buthlan dalam muammalah adalah masalah syar’i yang
hanya diketahui denga penetapan dari syari’. Maka keduanya jika begitu termasuk
hukum pentapan (wadl).
vi. Fasad
Fasad adalah juga kebalikan dari shah, istilah ini tidak berlaku dikalangan ulama
jumhur karena bagi mereka, fasid memiliki arti yang sama dengan bathlan-baik
dalam bidang ibadat maupun muamalah. Pengerttian fasad hanya berlaku
dikalangan ulama hanafiyah; itupun hanya bidang muammalat. Artinya, dalam
bidang muammalat ini ada perbedaan fasad dengan bathlan.
Menurut ulama hanafiyah bila kekurangan atau kesalahan terdapat pada rukun
suatu akad, perbuatan itu disebut bathal dan tidak memberi bekas apa-apa kerena
tidak terdapat sebab dan tidak membawa akibat hukum. Bila kekurangan atau
kesalahan terdapat padasalah satu syarat diantara syarat yang berkaitan dengan
hukum disebut fasad. Dalam bentuk perbuatan dapat berlangsung karena telah
menghasilkan sebagian bekasnya telah adanya sebab hukum itu.
Dasar perbedaan pendapat antara jumhur ulama dengan ulama hanafiyah ialah:
Tidak terdapat syara yang ditetapkan syari’ untuk mengakibatkan suatu hukum,
mencegah adanya akibat itu. Menurut padangan hanafiyah dalam muammalah
tidak menyebabkan rusaknya yang dilarang itu kecuali bila larangan itu mengenai
hakikat pokok pada yang dilarang sedangkan ketiadaan syarat yang mengalangi
akibat hukum adalah syarat yang melengkapi sebab, bukan semua syarat.
17
haram, namun secara wadh’i hukumnya sah. Sebab haram dan sah adalah dua
“jenis” hukum yang berbeda dan pada hakikatnya tidak terkait satu sama lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum Taklifi adalah hukum yang berisi perintah, larangan atau pilihanantara
berbuat atau tidak berbuat. Hukum taklifi erat kaitannya dengan maqaashidsyariah
yang lima. Yaitu, wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Masing-masing dari
kelima tersebut memiliki pembagian ditinjau dari beberapa segi olehbeberapa
imam.
Hukum wadli’ ialah hukum yang menjadikan sesuatu itu sebagai suatu sebab
adanya yang lain, atau syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagai penghalang bagi
sesuatu yang lain. Di dalam ilmu hukum ia disebut pertimbangan hukum.
18
DAFTAR PUSTAKA
Al utsaimin, Muhammad bin shalih, Al-Ushul min 'Ilmil Ushul.Jumadi ats-Tsaniyah
1428H/Juni 2007.tolib.wordpress.com
Zubaidah.Ushul fiqh 1.2016.bogor:Ghalia
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, tt
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2009),
Amir, saipuddin,Ushul Fiqh, (Jakarta:kencana,2011)
19