Anda di halaman 1dari 19

Bab III

1. Hukum Penolakan Terhadap Kehamilan

Childfree merupakan keputusan seorang atau pasangan yang memilih

untuk tidak memiliki anak. Fenomena childfree ini sedang menjadi trending

topik di beberapa media sosial indonesia, di twitter maupun platform online

lainya. Trend ini yang sedang berkembang di indonesia dan mulai ramai

diperbincangkan salah satu youtuber membawa fenomena ini ketengah

masyarakat umum.

Hal ini menimbulkan banyak pro kontra terkait kebebasan untuk tidak

mempunyai anak. Apalagi jika melihat data yang dikeluarkan world bank

trend angka kelahiran di indonesia terus mengalami penurunan, bahkan pada

2019 angka kelahiran kasar per 1000 penduduk di indonesia berada pada

angka 17,75. Data ini didukung oleh hasil sensus penduduk yang dikeluarkan

BPS dimana ada penurunan laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan

penduduk pada 2010-2020 menunjukan angka 1,25% menurun dari periode

sebelumnya pada 2000-2010 menunjukan angka 1,49%. dengan melihat data

tersebut, memperkuat adanya dugaan terkait dengan munculnya fenomena

childfree.1

Istilah childfree merupakan penolakan terhadap hadirnya anak dalam

rumah tangga seseorang, maka tujuan daripada childfree itu mencegah

kehamilan. Mencegah adalah menahan sesuatu untuk tidak terjadi. Berarti,

childfree termasuk pencegah terhadap kehamilan atau tidak menghendaki

kehamilan terjadi. Melihat daripada definisi childfree maka pembahasan


1
Jami’ah Perempuan Pengasuh Pesantren dan Mubalighoh, “Menyoal Childfree dan Hukumnya alam
Fiqih” Diakses dari http://www.jp3mnusantara.id/2021/09/menyoal-childfree-dan-hukumnya-
dalam.html, pada 2 April 2022
childfree berkaitan dengan hukum penolakan terhadap wujud seorang anak,

yaitu sebelum sperma berada di dalam rahim wanita.

Mencegah kehamilan pada zaman sekarang biasa disebut dengan KB,

pada umumnya dalam praktek mencegah kehamilan di zaman ini biasa

menggunakan satu alat kontasepsi yang sudah dikenal seperti pil, suntikan,

spiral, dan sebagainya. Adapun alat kontrasepsi seperti kondom, diafragma,

tablet vagina dan akhir-akhir ini ada semacam tisu yang dimasukan ke dalam

vagina sebelum coitius, semuanya dapat dikategorikan kepada azl yang tidak

dipermasalahkan hukumnya. Yang dipermasalahkan hukumnya adalah

penggunaan berbagai alat kontrasepsi teknologoi seperti IUD, suntikan, pil,

susuk KB, vasektomi dan tubektomi atau yang sejenisnya.2

Pencegahan terhadap kehamilan merupakan hal yang telah dibahas

hukumnya oleh para ulama. Agama islam membagi praktik pencegahan

terhadap kehamilan menjadi dua bagian, yaitu tanzim nasl (‫)تنظيم النسل‬ dan (

‫)حتديد النسل‬.3

(‫)تنظيم النسل‬ terdiri dari kata ‫تنظيم‬ yang berarti mengatur, dan nasl

‫النسل‬ berarti keturunan atau kelahiran maka tanzim nasl merupakan

penundaan untuk mengatur atau menjarak kelahiran.

Tandziim an-nasl (pengaturan keturunan atau kelahiran) mempunyai

arti pasangan suami istri yang telah mempunyai perencanaa yang konkrit
2
Tihami dan sohari sahrani, masail fiqhiyyah, hlm 29, hlm. 38
3
Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, cet. Ke- 3, (Jakarta: Prenamedia, 2019), hlm 20
mengenai kapan anak diharapkan lahir agar setiap anak yang lahir disambut

dengan rasa gembira dan syukur.4

Pengaturan keturunan juga dapat diartikan sebagai kesepakatan suami

istri untuk mengatur keturunan dengan menggunakan alat atau cara yang

bersifat temporal untuk mencegah kehamilan, baik dengan cara yang lama

ataupun modern.5 berarti mengatur kelahiran dengan menunda dan memberi

jarak kelahiran dengan alat seperti alat kontrasepsi yang sifatnya kontemporer

dan tidak permanen. Hal ini dapat di lakukan dengan menggunakan alat

kontrasepsi atau dengan suntikan, pil Kb. Islam menyerukan untuk

memperbanyak keturunan, menjaga kelestariannya, serta memperhatikannya.

Karena menjaga keturunan adalah salah satu dari lima hal al-kulliyat al-khams

atau tujuan syari‟at Islam6

Pembagian selanjutnya yaitu (‫ النسل‬F‫ )تحديد‬tahdid an nas, Tahdid an nasl

berasal dari dua kata, tahdid dan an nasl. Tahdid berarti al-Man’u

(mencegah)7 yaitu memisahkan atau mencegah antara dua hal atau pembatasan

antara keduanya agar tidak bercampur dengan yang lain, atau agar salah satu

dari keduanya tidak melampaui batas terhadap yang lain.8

An nasl bermakna anak dan keturunan, akan tetapi an nasl lebih umum

dari kata anak, dikatakan ‫ النس ل عب ارة عن اخلروج ش يئ عن ش يئ مطلقا‬keturunan

4
Masail fiqhiyyah kapita selekta hukum islam masjfuk zuhdi
5
Basam Jarar, Dirasat Al Fikr Al Islamy, Cet. II, (Palestina: Nun Al Abhas Li Ad Dirasahwa Al Abhas
Al-Quraniyah, 2006), 345
6
Ihya ulumudin
7
Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, jilid 3, (Kairo: Dar at-Taufiqiyah li at-Turats, 2009), hlm. 93

8
Shofa Khalid Hamid Zabin, Tanzimun Nasl Fil Fiqhil Islami, Tesis, (Palestina: Perpustakaan PPS
Jami'ah An-Najah Al-Watoniyah, 2005), hlm. 59
adalah ibarat keluarnya sesuatu dari sesuatu yang mutlaq. 9 tahdid an nasl

bermakna menghentikan proses kelahiran secara mutlak dengan pembatasan

jumlah anak atau dapat bermakna benar-benar tidak ingin terjadi kehamilan.10

Tidak membedakan baik wanita itu cepat hamil, lalu menyusui

anaknya dalam keadaan hamil, dan yang sulit untuk hamil sehingga dapat

menyusui dan dapat menyusui dan merawat anaknya tanpa kehamilan, dan

tidak pula membedakan antara wanita yang kuat dan sehat terbebas dari

penyakit turunan atau wanita yang sakit dan memiliki penyakit yang bisa

menular pada anaknya.

Tidak membedakan juga antara yang kaya dan lapang rezekinya

sehingga mampu mendidik anaknya meskipun dalam jumlah banyak, dengan

orang yang miskin dan kesulitan sehingga tidak mampu untuk mendidik anak-

anaknya yang banyak sehingga menggoncangkan ketenangan dan merusak

kehidupan, dan anak-anaknya terlantar.11

Adapun hukum mengenai penghalang terhadap kehamilan terdapat

dalam keputusan fatwa Lajnah Daimah nomor 42 tahun 1496 hijriyah

disebutkan bahwasanya membatasi keturunan (tahdid an-nasl) secara mutlaq

tidak diperbolehkan yang mana tidak sesuai dengan fitrah seorang manusia

yang sehat dan telah Allah tetapkan fitrah kepada setiap jiwa manusia, sebab

9
Husain Al-Kafawi, Al Kuliyat Mu’jam Fii al-Mustholahat wal al-Furuq al-Lughowiyah, (Beirut: Al-
Resalah, 1998), cet. Ke- 2, hlm. 462
10
Muhammad Shafwat Nuruddin, Fathul Karim bi Ahkamil Haml wal Janin, (Kairo: Dar Al-Jauzy,
2006), cet I, h. 137.

Masfuk Zuhdi, Islam Dan Keluarga Berencana Di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), 40,

Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, cet. Ke- 3, (Jakarta: Prenamedia, 2019), hlm 20

11
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, (Kairo: Dar asy-Syuruq, 2001), cet. Ke-18, hlm. 295
bertentangan dengan tujuan syari’at islam dalam penjagaan terhadap

keturunan, dan hal itu dapat melemahkan eksistensi kaum muslimin dengan

mengurangi jumlah kaum muslimin. Tidak diperbolehkan pula mencegah atau

menahan kehamilan apabila dengan maksud takut akan kemiskinan sebab hal

tersebut meragukan Allah ta’ala yang maha memberi rizki, sebagaimana

dalam firman Allah:

‫ني‬ِ ِ َّ ‫ِإ َّن اللَّهَ ُه َو‬


ُ ‫َّاق ذُو الْ ُق َّوة الْ َمت‬
ُ ‫الرز‬

“sesungguhnya Allah, dialah pemberi rezeki yang mempunyai

kekuatan lagi sangat kokoh” (Q.S Az-Zariyat: 58)

‫ض ِإاَّل َعلَى اللَّ ِه ِر ْز ُق َها‬ ٍ ِ


ْ ‫َو َما م ْن َدابَّة يِف‬
ِ ‫اَأْلر‬

“Dan tidak ada satupun mahluk bergerak (bernyawa) di bumi

melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya” (Q.S Hud: 6)

Adapun pencegahan terhadap kehamilan diperbolehkan ketika dalam

keadaan darurat seperti jika seorang wanita tidak bisa melahirkan dengan jalan

yang seharusnya sehingga ia harus menjalani operasi untuk dapat

mengeluarkan bayi, atau menunda untuk sementara waktu12 karena jika

terjadinya kehamilan menyebabkan bahaya pada sang ibu, maka mencegah

bahaya dengan membatasi kehamilan lebih utama. Dan hendaknya bahaya

yang diperkirakan berdasarkan vonis dokter yang ahli dalam spesialisnya,

muslim dan dikenal dengan keshalihan dan ketaqwaanya.13

12
Ahmad bin Abdurrazak Ad-duwaysy, Fatawa Lajnah Daimah lilbuhutsi al-Alamiyah wa Al-Ifta,
(Riyad: Dar al-Ashima, 1996) jilid. 19, hlm. 307

Faraj Zahran al-Damardasy, Tandzhim an-Nasl Baina al-Hilli wa al-Hurmah, (Iskandariyah: Dar al-
13

Ma’rifah al-Azhariyah), hlm. 346


Pencegahan kehamilan juga dilarang jika demi menjaga keindahan

tubuh wanita agar tetap segar dan cantik, hal ini juga menentang hikmah Allah

dimana Allah telah mensyari’atkan pernikahan dan tujuan dari pada

pernikahan itu untuk melestarikan keturunan14

Syeikh mahmud syaltut juga berpendapat bahwasanya pembatasan

keluarga (‫د النسل‬FF‫)تحدي‬ bertentangan dengan syari’st islam. Umpamanya

membatasi keluarga hanya tiga anak saja dalam segala macam kondisi dan

situasi. Dalam bahasa inggris disebut Birth Control.15 dalam kitab beliau

dijelaskan Tahdid an-nasl yang bertujuan untuk membatasi jumlah kelahiran

karena jumlah penduduk tidak seimbang sehingga kesediaan bahan pangan

atau karena takut kemiskinan sehingga tidak bisa memberi makan anak maka

pemikiran ini tidak tepat. Allah telah menciptakan makanan yang cukup untuk

seluruh manusia dan keturunannya, walaupun jumlahnya sangat banyak dan

terus berkembang.16

Syeikh mahmud syaltut juga berpendapat bahwasanya mencegah

kehamilan untuk maksud memberi jarak kehamilan pada wanita yang mudah

hamil, atau memberi jarak karena memiliki penyakit yang dapat menular

kepada janin, atau karena memiliki fisik tubuh yang lemah sehingga

ditakutkan akan menimbulkan banyak permasalahan maka hal ini tidak

dilarang oleh syari’at.

14
Ahmad bin Abdurrazak Ad-duwaysy, Fatawa Lajnah Daimah lilbuhutsi al-Alamiyah wa Al-Ifta,
(Riyad: Dar al-Ashima, 1996) jilid. 19, hlm. 292
15
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-haditsah, (Jakarta: Grafindo Persada, 1998), cet. Ke-3, hlm. 37
16
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, (Kairo: Dar asy-Syuruq, 2001), cet. Ke-18, hlm. 295
Ulama telah bersepakat mengenai kebolehan menahan kehamilan

untuk waktu tertentu atau tanzim an-nasl. Al-Qur’an telah memberikan

batasan penyususuan selama dua tahun, dan rosulullah memperingatkan untuk

tidak menyusui saat wanita sedang hamil, sehingga dengan demikian

dibolehkan untuk menunda kehamilan dalam waktu tertentu.17

َ‫اعة‬
َ‫ض‬ َّ ‫ات يُْر ِض ْع َن َْأواَل َد ُه َّن َح ْولَنْي ِ َك ِاملَنْي ِ لِ َم ْن ََأر َاد َأ ْن يُتِ َّم‬
َ ‫الر‬
ِ
ُ ‫َوالْ َوال َد‬

“para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun

penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (Q.S Al-

Baqarah: 233)

Sebagaimana dalam hadits Rosul tentang azl

ِ ِ ِ
َ ‫ص لَّى اهلل َعلَْي ِه َو َس لَ َم َفَبلَ َغ ذَل‬
َ ‫ك نَيِب َّ اهلل‬
‫ص لّى‬ ِ
َ ‫ ُكنَّا َن ْع ِز ٌل َعلَى َع ْه د َر ُس ْول اهلل‬:‫َجابِ ٍر قَ َال‬
َ ‫َع ْن‬

‫اهلل َعلَْي ِه َو َسلَ َم َفلَ ْم َيْن َهنَا‬

“Dari Jabir dia berkata: kami melakukan ‘azl dimasa Rosulullah

sallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian hal itu disampaikan kepada Nabi

sallallahu ‘alaihi wasallam, namun beliau tidak melarang kami.”18

Menurut pendapat syeikh al hariri seorang mufti besar mesir, menahan

kehamilan atau KB bagi perorang (individu) hukumnya adalah boleh dengan

ketentuan untuk menjarangkan anak, menghindari suatu penyakit bila ia

17
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, (Kairo: Dar asy-Syuruq, 2001), cet. Ke-18, hlm. 297
18
Muslim bin Al-Hajaj, Shahih Muslim, cet. Ke-3, (Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2011), jilid. 2,
hlm. 362
mengandung, untuk menghindari kemudharatan seperti jika mengandung dan

melahirkan akan mengakibatkan kematian (secara medis), untuk menjaga

kesehatan ibu apabila setiap hamil selalu menderita suatu penyakit (penyakit

kandungan), dan untuk menghindari anak dari cacat fisik bila suami atau istri

mengidap penyakit kotor.19

Dalam kitabnya fiqhus sunnah karangan sayid sabiq dijelaskan

bahwasanya diperbolehkan membatasi keturunan jika keadaan suami banyak

memiliki anggota keluarga, sehingga dikhawatirkan tidak mampu memberikan

pendidikan kepada putra putrinya secara baik. Demikian pula jika si istri

dalam keadaan lemah atau secara terus menerus hamil, sementara suami dalam

keadaan miskin, pada kondisi seperti ini maka pembatasan terhadap kelahiran

diperbolehkan. Bahkan sebagian ulama berpendapat pada kondisi seperti itu

bukan hanya diperbolehkan akan tetapi dianjurkan.20

2. Childfree Dalam Pandangan Maqashid Syari’ah

Tujuan Allah ta’ala mensyari’atkan hukum-Nya adalah untuk memelihara

kemaslahatan dan mencegah mafsadat, baik di dunia atau di akhirat. Dalam

mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, ada lima pokok yang

harus dipelihara dan diwujudkan, yaitu pemeliharaan terhadap agama, jiwa,

akal, nasab dan harta.

Untuk kepentingan hukum, kelima pokok tersebut dibedakan menjadi tiga

jenis yaitu, dharuriyat hajiyat dan tahsiniyat, yang dimaksud dharuriyat adalah

memelihara kebutuhan yang bersifat pokok (primer) bagi kehidupan manusia.

Kebutuhan pokok itu adalah memelihara agama, jiwa, akal, nasab dan harta. Ketika
19
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-haditsah, (Jakarta: Grafindo Persada, 1998), cet. Ke-3, hlm. 37
20
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Terj. Asep Sobari dkk, (Jakarta: Al-I’tishom, 2013), jilid. 2, 371
tidak terpenuhinya lima unsur tadi maka akan berakibat pada keseimbangan hidup

manusia.21 sedangkan kebutuhan hajiyat adalah kebutuhan yang harus ada untuk

memberikan kenyamanan hidup manusia dan menghilangkan kesulitan.22 sedangkan

tahsiniyat adalah kebutuhan yng menopang kehidupan martabat manusia dengan

mengaplikasikan keindahan adat kebiasaan dan adab yang mulia.

Pernikahan dalam syari’at yang mulia adalah hal yang diinginkan, dan salah

satu tujuan daripada pernikahan yaitu memiliki keturunan, sebab anak-anak adalah

perpajangan dari kehidupan orang tua. Dengan adanya keturunan menjadikan estafet

kehidupan umat yang akan memikul tanggung jawab di masa depan.

Menjaga keturunan merupakan pilar utama dalam kehidupan dan termasuk

sebab terjadinya kemakmuran di bumi, denganya dapat menguatkan suatu kaum,

membuat musuh menjadi takut, dengan menjaga keturunan maka dapat menjaga

menjaga diri, kemuliaan dan harta seorang manusia. Maka agama Islam

memperhatikan untuk menjaga keturunan dan menyeru untuk memperbanyak, dan

melarang apasaja yang dapat menghentikan keturunan.

Sedangkan tujuan daripada childfree yaitu meniadakan keturunan, yaitu

dengan cara tidak menikah sama sekali, tidak ingin memiliki keturunan sama sekali

setelah menikah dengan memutus jalan untuk menghasilkan keturunan. Sedangkan

Syari’at mendatangkan penjagaan nasl dari dua sisi, sisi pertama yaitu penjagaan

dalam hal keberadaan. Yaitu dengan anjuran untuk tercapainya kelanjutan dan

keberlangsungan hidup. Sisi yang kedua yaitu penjagaan dalam hal ketidakaadaan,

21
Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawi, Maqashid Syari’ah ‘inda Ibnu Taimiyyah, (Urdun: Dar an-
Nafais, t.t), hlm. 126

Muhammad al-Yubi, Maqashid Syari’ah Wa A’laqatuha Bi Adallah Syari’ah, cet. 1, (Riyad:


22

Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyah, 1998), hlm. 318


yaitu dengan mencegah dan memutus segala sesuatunya atau mempersedikit, atau

melenyapkanya setelah ada wujudnya.

1. Sisi penjagaan dalam hal keberadaan

Tujuan daripada childfree yaitu enggan untuk memiliki keturunan

dengan berbagai alasan, yang mana alasan dari setiap pelaku childfree

berdasarkan latar belakang masing-masing individu. Jika gaya hidup

childfree terus berkembang dimasyarakat maka, semakin sedikit jumlah

populasi manusia di dunia sehingga sedikit pula generasi penerus yang akan

melanjutkan estafet dalam perjuangan umat islam.

Syari’at yang sempurna telah mengatur segalanya secara sempurna,

semua yang Allah syari’atkan pasti mengandung tujuan sebagaimana dalam

hal penjagaan keturunan. Tujuan syari’at dalam Penjagaan keturunan dari

sisi yang terlihat keberadaanya yaitu seperti anjuran untuk menikah.23

Maqashid yang menjadi tujuan syari’at dalam pernikahan yaitu

untuk bersenang senang, dan memperbanyak keturunan, hal itu merupakan

tujuan asli dharuriyah dalam menetapkan sebuah hukum baik pernikahan

dengan adanya keridhaan ataupun tidak24, sebagaimana dalil dalam Al-

Qur’an:

‫اج ا لِتَ ْس ُكنُوا ِإلَْي َه ا َو َج َع َل‬ ِ ِ ِِ ِ


ً ‫َوم ْن آيَات ه َأ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن َأْن ُفس ُك ْم َْأز َو‬

‫ات لَِق ْوٍم َيَت َف َّكُرو َن‬


ٍ ‫ك آَل ي‬ِ ‫ِإ‬
َ َ ‫َبْينَ ُك ْم َم َو َّدةً َو َرمْح َةً َّن يِف ذَل‬

Muhammad al-Yubi, Maqashid Syari’ah Wa A’laqatuha Bi Adallah Syari’ah, cet. 1, (Riyad:


23

Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyah, 1998), hlm. 258,

24
Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia

menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri,

agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia

menjadikan diantaramu rasa kasih sayang. Sungguh, pada yang

demikian itu benar-benar tanda-tanda kebesaran Allah bagi

kaum yang berpikir. (QS Ar-Rum: 21)

Perkataan Ibnu Taimiyah yang dinukil oleh Yusuf Ahmad

Muhammad Al-Badawi yaitu,

‫النكاح هو صلة بني الزوين يتضمن عشرة ومودة ورمحة وسكنا وازدواجا فإن‬
‫صالح اخللق وبقاءه ال يتم هبذ الصلة خبالف تلك الصالت فإهنا مكمالت للمصاحل‬

Menikah adalah wasilah terbesar untuk memperbanyak keturunan

dari pernikahan dan menghasilkan keturunan maka akan tercapai hifz nasl

dimana nasab akan terjaga dan keturunan akan berlanjut25, tertulis di Nash

syar'i untuk mendukung pernikahan dan mengharuskannya,

‫ث‬ ِ ‫وِإ ْن ِخ ْفتم َأاَّل ُت ْق ِسطُوا يِف الْيتامى فَانْ ِكحوا م ا طَاب لَ ُكم ِمن الن‬
َ ‫ِّس اء َم ْثىَن َوثُاَل‬
َ َ ْ َ َ ُ َ ََ ُْ َ

ِ ِ ِ ِ
‫ك َْأدىَن َأاَّل َتعُولُوا‬ ْ ‫اع فَِإ ْن خ ْفتُ ْم َأاَّل َت ْعدلُوا َف َواح َد ًة َْأو َما َملَ َك‬
َ ‫ت َأمْيَانُ ُك ْم َذل‬ َ َ‫َو ُرب‬

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap

(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah

perempuan lain yang kamu senangi dua tiga atau empat. Tetapi jika kamu

khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka nikahilah seorang saja,

25
Muhammad Abdul ‘Atha muhammad, Al-Maqashid Asy-Syar’iyah wa Atsariha fii Fiqhi Al-Islami,
(Kairo: Dar al-Hadits, 2007), hlm. 183
atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih

dekat agar kamu tidak berbust zalim.” (QS An-Nisa: 3)

Dan ayat diatas merupakan ayat anjuran untuk menikah dan ayat

poligami, Sedangkan hadits yang menunjukan anjuran menikah yaitu:

ِ ُّ ‫ فَِإنَّه َأ َغ‬،‫ م ِن استطَاع ِمْن ُكم الْباء َة َف ْليتز َّوج‬،‫اب‬


‫ص ُن‬ ْ ‫ َو‬،‫ص ِر‬
َ ‫َأح‬ َ َ‫ض ل ْلب‬ ُ ْ َ ََ َ َ ُ َ َ ْ َ ِ َ‫يَا َم ْع َشَر الشَّب‬

‫ ومن مَلْ يستَ ِط ْع َف َعلَْي ِه بِ َّ ِ ِإ‬،‫لِْل َفر ِج‬


ٌ‫ فَ نَّهُ لَهُ ِو َجاء‬،‫الص ْوم‬
26
ْ َ ْ ََ ْ

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalianyang telah

mampu menikah, hendaknya dia menikah karena dengan pernikahan itu

bisa lebih menundukan pandangan dan menjaga kemaluan. Barangsiapa

yang tidak mampu (menikah), maka hendaknya dia berpuasa karena hal itu

bisa meredam syahwat.” (HR Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400)

Dalam teks hadits tersebut mengandung anjuran untuk menikah

dimana tujuan menikah yaitu untuk memperbanyak keturunan, ulama telah

bersepakat mengenai pensyariatan menikah serta anjuran untuk menikah.

Mayoritas ulama mewajibkan menikah ketika seseorang takut terjerumus

dalam perbuatan zina. Tujuan syariah untuk mempertahankan keturunan

didalam pernikahan meliputi tiga sisi yaitu:

1. Anjuran untuk menikah dan menginginkannya mempertimbangkan

bahwa menikah adalah jalan syar'i untuk mempertahankan keturunan.

Sebagaimana dalam hadits

26
Al- Bukhari, Sahih Al-Bukhari, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2014), cet. Ke-7, jilid 3, hlm.
363, Muslim bin Al-Hajaj, Sahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), jilid 2, hlm. 327
،‫ص ُن لِْل َف ْر ِج‬ ْ ‫ َو‬،‫ص ِر‬
َ ‫َأح‬
ِ ُّ ‫ فَِإنَّه َأ َغ‬،‫ م ِن اس تطَاع ِمْن ُكم الْب اء َة َف ْليت ز َّوج‬،‫اب‬
َ َ‫ض ل ْلب‬ ُ ْ َ ََ َ َ ُ َ َ ْ َ ِ َ‫يَا َم ْع َشَر الشَّب‬

‫ومن مَلْ يستَ ِط ْع َف َعلَْي ِه بِ َّ ِ ِإ‬


ٌ‫ فَ نَّهُ لَهُ ِو َجاء‬،‫الص ْوم‬
27
ْ َ ْ ََ

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalianyang telah mampu

menikah, hendaknya dia menikah karena dengan pernikahan itu bisa lebih

menundukan pandangan dan menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak

mampu (menikah), maka hendaknya dia berpuasa karena hal itu bisa

meredam syahwat.” (HR Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400)

2. Anjuran untuk menikahi gadis yang subur untuk memperbanyak

keturunan atau menambahnya. Seagaimana dalam hadits:

ِ
ٍ ‫ات َحس‬
‫ب‬ َ َ َ‫ت ْامَرَأةً ذ‬ َ ‫ ِإيِّن‬:‫ َف َق َال‬،‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
ُ ‫َأصْب‬ َ ِّ ‫َجاءَ َر ُج ٌل ِإىَل النَّيِب‬

:‫ َف َق َال‬،َ‫ مُثَّ َأتَاهُ الثَّالِثَة‬،ُ‫ (اَل ) مُثَّ َأتَاهُ الثَّانِيَةَ َفَن َهاه‬:‫ قَ َال‬،‫ َأفََأَتَز َّو ُج َها‬،‫ َوِإن ََّها اَل تَلِ ُد‬،‫َومَجَ ٍال‬

28
)‫اُأْلم َم‬ ِ ِ ‫ود الْولُ َ ِإ‬
َ ‫ود فَ يِّن ُم َكاثٌر ب ُك ُم‬ َ َ ‫( َتَز َّو ُجوا الْ َو ُد‬

“Seorang laki-laki datang menemui Nabi Sallallahu Alaihi

wasallam, lalu ia berkata, ‘sesungguhnya aku menyukai wanita yang kaya

dan berkedudukan, hanya saja ia tida dapat melahirkan, apakah aku boleh

menikahinya?’ maka beliau melarangnya, kemudian lelaki tersebut datang

untuk kedua kalinya, beliau pun tetap melarangnya, kemudian datang

untuk ketiga kalinya dan beliau pun melarangnya. Kemudian beliau

27
Al- Bukhari, Sahih Al-Bukhari, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2014), cet. Ke-7, jilid 3, hlm.
363, Muslim bin Al-Hajaj, Sahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), jilid 2, hlm. 327
28
Abu Dawud Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2015), cet. Ke-6,
hlm. 327, An-Nasa’i, Sunan An-Nasa’i, (Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2015), cet. Ke-4, hlm. 526
bersabda, ‘nikahilah wanita yang subur yang penyayang, sebab aku

berbangga di hadapan umat lain dengan jumlah kalian yang banyak.”

(HR. Abu Dawud no. 2050, An-Nasa’i no. 3223)

Hadits diatas menunjukkan bahwa memperbanyak keturunan

merupakan hal yang dianjurkan oleh syariat, dalam hadist disebutkan

anjuran untuk menikahi (walud) yaitu wanita yang bisa memiliki banyak

keturunan meskipun bukan seorang gadis.29

3. Bolehnya berpoligami, tujuannya untuk memperbanyak keturunan.

ِ ‫وِإ ْن ِخ ْفتم َأاَّل ت ْق ِس طُوا يِف الْيت امى فَ انْ ِكحوا م ا طَ اب لَ ُكم ِمن الن‬
‫ِّس اء َم ْثىَن‬
َ َ ْ َ َ ُ َ ََ ُ ُْ َ

ِ ِ ِ ِ
‫ك َْأدىَن َأاَّل َتعُولُوا‬ ْ ‫اع فَِإ ْن خ ْفتُ ْم َأاَّل َت ْعدلُوا َف َواح َدةً َْأو َما َملَ َك‬
َ ‫ت َأمْيَانُ ُك ْم ذَل‬ َ َ‫ث َو ُرب‬
َ ‫َوثُاَل‬

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil

terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya),

maka nikahilah perempuan lain yang kamu senangi dua tiga atau empat.

Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka

nikahilah seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu

miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbust zalim.”

(QS An-Nisa: 3)

2. Menjaga Keturunan dari Segi Ketidakadaanya

29
Muhammad al-Yubi, Maqashid Syari’ah Wa A’laqatuha Bi Adallah Syari’ah, cet. 1, (Riyad:
Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyah, 1998), hlm. 258
Menjaga keturunan dari segi ketidakadaanya yaitu melarang

kemadharatan yang terjadi pada realita baik secara sedikit atau

keseluruhan.30 Yaitu dengan memutus jalan keturunan baik secara sedikit

atau keseluruhan. Dalam penjagaan keturunan dari sisi ketidakadaanya

yaitu dengan motivasi untuk terus menerus melestarikan keturunan.

Penjagaan keturunan dari sisi ketidak adaanya yaitu dengan larangan untuk

tidak menikah seumur hidup, larangan untuk tidak hamil dan larangan

untuk aborsi.31

Sebutan childfree tidak hanya untuk pasangan yang tidak ingin

memiliki keturunan akan tetapi bagi mereka yang tidak ingin terlibat dalam

dunia pernikahan, mereka yang lajang untuk seumur hidupnya maka hal itu

juga dapat disebut dengan istilah childfree. Sedangkan meninggalkan

pernikahan dan mengingkarinya terdapat dalam hadits Nabi sallalahu

‘alaihi wasallam dimana Rosul melarang utsman bin madh’un membujang

untuk fokus dan menyibukan diri hanya beribadah:

ِ ٍ ِ َّ ُ ‫ر َّد رس‬
َ ‫ول الله ص لى اهلل علي ه وس لم َعلَى عُثْ َم ا َن بْ ِن َمظْعُ ون التَّبَت‬
ُ‫ َولَ ْو َأذ َن لَ ه‬،‫ُّل‬ َُ َ

32
‫صْينَا‬
َ َ‫الَ ْخت‬

30
Muhammad Abdul ‘Atha muhammad, Al-Maqashid Asy-Syar’iyah wa Atsariha fii Fiqhi Al-Islami,
(Kairo: Dar al-Hadits, 2007), hlm. 184

31
Muhammad al-Yubi, Maqashid Syari’ah Wa A’laqatuha Bi Adallah Syari’ah, cet. 1, (Riyad:
Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyah, 1998), hlm. 260

32
Al- Bukhari, Sahih Al-Bukhari, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2014), cet. Ke-7, jilid 3, hlm.
364
“Rasulullah sallahu alaihi wasallam tidak memberikan izin

kepada utsman bin madh’un untuk melakukan tabattul. Kalau

sekiranya beliau mengizinkannya, niscaya kami akan mengebiri diri

kami.” (HR Bukhari no. 5073)

Ibnu Hajar berkata: Adapun hikmah dalam pelarangan

perbuatan mengebiri adalah syari’at ingin memperbanyak nasab agar

terus berkesinambungan dalam memerangi orang-orang kafir, jika

hal itu diperbolehkan maka akan terjadi kepunahan dan akan

terputuslah nasab, dan kaum muslimin menjadi sedikit karenanya,

sedangkan kaum kafir akan bertambah banyak, maka hal itu

bertentangan dengan diutusnya Nabi.33

Larangan untuk meninggalkan pernikahan dengan alasan

fokus beribadah terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam

Muslim, hadits tersebut berbunyi:

‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َس َألُوا‬ ِ ْ ‫َأن َن َف را ِمن‬


َ ِّ ‫َأص َحاب النَّيِب‬ ْ ً َّ ،‫س‬ ٍ َ‫َع ْن َأن‬

‫ اَل‬:‫ض ُه ْم‬ ِّ ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َع ْن َع َملِ ِه يِف‬


ُ ‫الس ِّر؟ َف َق َال َب ْع‬ َ ِّ ‫اج النَّيِب‬
َ ‫َْأز َو‬

ُ ‫ َوقَ َال َب ْع‬،‫ اَل آ ُك ُل اللَّ ْح َم‬:‫ض ُه ْم‬


‫ اَل َأنَ ُام‬:‫ض ُه ْم‬ َ ‫َأَت َز َّو ُج الن‬
ُ ‫ َوقَ َال بَ ْع‬،َ‫ِّس اء‬

ٍ ‫َعلَى فِ َر‬
ُ َ‫ َم ا ب‬:‫ َف َق َال‬.‫ فَ َح ِم َد اهللَ َوَأْثىَن َعلَْي ِه‬،‫اش‬
‫ال َأْق َو ٍام قَالُوا َك َذا َو َك َذا؟‬

33
Muhammad al-Yubi, Maqashid Syari’ah Wa A’laqatuha Bi Adallah Syari’ah, cet. 1, (Riyad:
Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyah, 1998), hlm. 261
ِ ِ ِ
‫ب َع ْن ُس نَّيِت‬ َ ‫ َوَأَت َز َّو ُج الن‬،‫وم َوُأفْط ُر‬
َ ‫ فَ َم ْن َرغ‬،َ‫ِّس اء‬ ُ ‫ َو‬،‫ُأص لِّي َوَأنَ ُام‬
ُ ‫َأص‬ َ ‫لَكيِّن‬

34
‫س ِميِّن‬
َ ‫َفلَْي‬

“Annas bin Malik menuturkan bahwa ada beberapa

orang sahabat Nabi bertanya kepada istri-istri nabi tentang

amal ibadah Nabi ketika di rumah. Sebagian diantara sahabat

tersebut berkata, ‘aku tidak akan menikah dengan wanita.’

sebagian lagi mengatakan ‘aku tidak akan makan daging.’

sebagian yang lain mengatakan, ‘aku tidak akan tidur diatas

ranjang.’ berita itu lalu sampai kepaa Nabi, oleh karena itu

Nabi lalu memuji dan menyanjung Allah. Beliau bersabda,

bagaimanakah dengan sekelompok orang yang menyatakan

demikian dan demikian?, adapun aku, mengerjakan shalat

malam dan juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku

menikahi wanita. Barangsiapa bembenci sunnahku, maka dia

tidak berjalan di atas jalan hidupku.” (HR Muslim no. 1401)

Tidak diragukan lagi bahwasanya dalam pernikahan terdapat

maslahat yang banyak, dan Syara’ lebih mengetahui tujuannya, maka

jika seorang mukalaf tidak mengetahui maslahatnya maka baginya

mengikuti apa yang telah diperintahkan Syara’ lebih baik. 35 Dan

ulama telah menetapkan bahwasanya menikah itu lebih utama

daripada menyendiri untuk beribadah, dengan tujuan

34
Muslim bin Al-Hajaj, Sahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), jilid 2, hlm. 328
35
Ibnu Daqiq, Ihkam Al-Ahkam, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2009), jilid. 2, hlm. 24
kemaslahatannya secara umum dan kemaslahatan ibadah secara

khusus.36

Adapun gaya hidup childfree dengan cara menghalangi

kehamilan maka hal itu bisa dilihat dari latar belakang memilih hidup

childfree, dari beberapa alasan yang telah dibahas dalam bab

sebelumnya maka alasan yang diperbolehkan yaitu alasan yang

berkaitan dengan kesehatan, bukan perihal alasan duniawi karir dan

pekerjaan, ekonomi ataupun ketakutan nafkah anak yang tidak

maksimal.37

Untuk mencapai tujuan hifz nasl dari sisi ketidakadaanya

maka diharamkannya aborsi dan membunuh anak dengan alasan takut

akan kemiskinan,38 Dalam hal ini meliputi apa saja yang memutus

jalan untuk mendapatkan keturunan, maka menghalangi kehamilan

termasuk dari menghalangi keturunan.

Sebagaimana keputusan fatwa Lajnah Daimah nomor 42

tahun 1496 hijriyah disebutkan bahwasanya membatasi keturunan

(tahdid an-nasl) secara mutlaq tidak diperbolehkan yang mana tidak

sesuai dengan fitrah seorang manusia yang sehat dan telah Allah

36
Muhammad al-Yubi, Maqashid Syari’ah Wa A’laqatuha Bi Adallah Syari’ah, cet. 1, (Riyad:
Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyah, 1998), hlm. 262, Al-Kasani, Bada’i ash-Shana’i, (Kairo: Dar
Al-Hadits, 2005), jilid. 3, hlm. 334, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 2008), jilid. 5, hlm. 358

37
Abdul Hadi dkk, “Childfree an Childless ditinjau dalam Ilmu Fiqih dan Perspektif Pendidikan Islam”,
Journal of Educational and language Research, Vol. 1 No. 6 (Januari, 2022), 649-650
38
Muhammad Abdul ‘Atha muhammad, Al-Maqashid Asy-Syar’iyah wa Atsariha fii Fiqhi Al-Islami,
(Kairo: Dar al-Hadits, 2007), hlm. 185
tetapkan fitrah kepada setiap jiwa manusia, sebab bertentangan

dengan tujuan syari’at islam dalam penjagaan terhadap keturunan,

dan hal itu dapat melemahkan eksistensi kaum muslimin dengan

mengurangi jumlah kaum muslimin. Tidak diperbolehkan pula

mencegah atau menahan kehamilan apabila dengan maksud takut

akan kemiskinan sebab hal tersebut meragukan Allah ta’ala yang

maha memberi rizki, sebagaimana dalam firman Allah:

‫ني‬ِ ِ َّ ‫ِإ َّن اللَّهَ ُه َو‬


ُ ‫َّاق ذُو الْ ُق َّوة الْ َمت‬
ُ ‫الرز‬

“sesungguhnya Allah, dialah pemberi rezeki yang mempunyai

kekuatan lagi sangat kokoh” (Q.S Az-Zariyat: 58)

‫ض ِإاَّل َعلَى اللَّ ِه ِر ْز ُق َها‬ ٍ ِ


ْ ‫َو َما م ْن َدابَّة يِف‬
ِ ‫اَأْلر‬

“Dan tidak ada satupun mahluk bergerak (bernyawa) di bumi

melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya” (Q.S Hud: 6)

Anda mungkin juga menyukai