Anda di halaman 1dari 7

Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa.

Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental,
emosional, sosial, dan fisik. Pada masa ini sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena
tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua (dalam Ali.M dan Asrori.M,
2016).

Masa remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal anak-anak hingga masa awal dewasa, yang
dimulai pada usia sekitar 10-12 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun. Masa remaja ini juga
biasa dijuluki dengan masa pencarian jati diri dan identitas diri. Para remaja berbondong-bondong
mengikuti suatu hal yang mereka rasa benar untuk mencari jati diri mereka.

Tak jarang karena pembuktian jati diri tersebut malah membuat mereka terjerumus dalam kubangan
hitam yaitu pergaulan bebas. Pergaulan bebas dapat terjadi karena beberapa hal diantaranya faktor
lingkungan yang ditempati oleh remaja, kurangnya wawasan dan pendidikan, kontrol diri yang
rendah, dan kurangnya perhatian serta pengawasan dari orang tua.

Salah satu dampak pergaulan bebas yang sangat berat adalah hamil diluar nikah atau yang kita sebut
dengan kehamilan tidak diinginkan. Kehamilan tidak diinginkan (KTD) merupakan keadaan dimana
ketika kehamilan terjadi, salah satu pasangan baik dari pihak laki-laki maupun perempuan dan
bahkan keduanya tidak menginginkan adanya kehamilan tersebut.

KTD biasa terjadi pada pasangan yang sudah menikah maupun yang belum menikah dimana
keduanya tidak sedang merencanakan kehamilan. KTD yang menimpa pasangan dengan status belum
menikah hingga saat ini masih menjadi salah satu bahan perbincangan publik yang tiada habisnya
apalagi jika terjadi pada usia remaja.

Dari hasil Survey Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun
2017, setiap tahun ada sekitar 15 juta remaja yang berusia 15-25 tahun melahirkan dan 20% dari
sekitar 2,5 juta kasus KTD dan aborsi di Indonesia yang dilakukan oleh remaja. Hal ini
membuktikan bahwa kasus KTD yang ada di Indonesia paling banyak menimpa kaum remaja.

Sebagian kaum remaja yang mengalami KTD akan mengambil jalan pintas dengan aborsi, lalu
sebagian dari sisanya memilih melahirkan bayi dalam kandungannya dan menikah dengan ayah
biologis dari janin tersebut.

Namun dengan adanya kasus KTD yang menimpa remaja, masalah yang hingga saat ini masih
menjadi PR bagi para bidan dan juga tenaga kesehatan adalah kurangnya kesadaran para ibu hamil
ini untuk memeriksakan kehamilannya. Hal ini dapat dipengaruhi karena kurangnya pengetahuan dan
wawasan remaja mengenai kehamilan, dan juga karena mereka malu sehingga menyembunyikan
kehamilannya dan tidak memeriksakannya sama sekali.    

Pemeriksaan kehamilan atau ANC terpadu merupakan Pelayanan antenatal komprehensif dan
berkualitas yang diberikan kepada ibu hamil dengan tujuan kehamilan yang sehat, bersalin dengan
selamat, dan melahirkan bayi yang sehat. Melakukan pemeriksaan ANC terpadu ini adalah hal yang
wajib dilakukan oleh seorang perempuan ketika sedang hamil. Pemeriksaan ANC terpadu ini
alangkah baiknya dilakukan dari trimester 1 atau 12 minggu pertama kehamilan. Hal ini dikarenakan
proses berkembangnya janin yang paling berpengaruh pada pertumbuhan otak, organ, dan sistem
yang lainnya terjadi pada trimester ini. Sehingga harapannya jika pemeriksaan dilakukan pada
trimester awal dapat mendeteksi sedari dini keadaan janin yang ada di kandungan ibu dan juga
apabila ada kelainan pada janin tersebut.
Rata-rata, para remaja yang mengalami KTD baru berani memeriksakan kehamilannya pada usia
kehamilan di atas 20 minggu. Dan tak jarang dari mereka yang melakukan pemeriksaan tersebut
karena paksaan dari orang tua dan bukan dari kehendak remaja itu sendiri.

Peran seorang bidan sangat penting dalam kasus seperti ini. Peran bidan diantaranya:

Bidan harus mampu menempatkan dirinya sebagai seorang yang netral dan tidak menghakimi remaja
tersebut atas kehamilannya.

Bidan harus selalu memberikan komunikasi, konseling, dan juga informasi (KIE) yang mengenai
kehamilan yang mungkin belum diketahui oleh remaja tersebut.

Bidan harus meyakinkan, memastikan, dan menguatkan remaja tersebut melalui komunikasi
konseling agar dengan kuat hati bersedia menerima kehamilan tersebut dan bersedia merawat
kehamilannya.

Bidan harus memastikan remaja tersebut mendapatkan pemeriksaan yang seharusnya didapatkan
oleh ibu hamil tanpa adanya diskriminasi dan perbedaan perlakuan.

Dalam praktik klinis maupun konsultasi via telemedicine, beberapa dokter mungkin menghadapi
pasien yang meminta aborsi karena kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). 

Beberapa alasan pasien ingin meminta aborsi antara lain seperti hamil di luar nikah, masalah dengan
pasangan, masalah ekonomi, sudah memiliki banyak anak, khawatir janin telah terpapar substansi
teratogenik, korban perkosaan, kegagalan kontrasepsi, ingin konsentrasi pada pendidikan atau
pekerjaan, dan sebagainya. Aturan normatif legal formal secara umum melarang tindakan aborsi
dengan memberikan ruang darurat untuk kasus-kasus tertentu.[1,2] 

Mengingat aspek legalitas abortus provokatus di Indonesia serta besarnya resiko kesehatan dan
keselamatan pada wanita yang melakukan aborsi terutama unsafe abortion  (menggugurkan
kandungan sendiri atau dibantu dukun beranak), tentunya dokter memiliki peranan penting untuk
dapat edukasi pasien yang meminta aborsi. Menurut data dari World Health Organization  (WHO),
jumlah unsafe abortion  pada tahun 2008 adalah sekitar 21 sampai 22 juta di seluruh dunia. Masih
dari data di tahun yang sama, mortalitas akibat unsafe abortion  diperkirakan sekitar 47.000 kematian
ibu (yang merupakan 13% dari kematian total ibu di tahun 2008).[1,3]

Dokter harus dapat memberikan konseling yang memadai pada pasien yang meminta aborsi, tanpa
berusaha menggurui atau menghakimi. Tanggung jawab seorang dokter sebagai tenaga medis
profesional adalah memberikan informasi yang meluruskan terkait keamanan dari tindakan aborsi
tanpa indikasi kesehatan ibu, legalitas aborsi di Indonesia, serta menasehati pasien untuk tetap
mempertahankan kehamilannya sembari memberi informasi seputar antenatal care  yang memadai.

Oleh karena itu, akan sangat dibutuhkan kemampuan komunikasi yang efektif agar membuat pasien
merasa nyaman dan didengarkan sehingga bisa membuat pasien mengurungkan niatnya untuk
melakukan aborsi yang tidak aman.

Sekilas Mengenai Aborsi

Aborsi merupakan suatu ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan dengan usia kehamilan kurang dari 20 minggu dan berat badan janin kurang dari 500 mg.
Aborsi yang dilakukan secara sengaja disebut juga aborsi induksi atau abortus provokatus. Data
statistik di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Tengah menunjukkan 95% pasien
yang datang konseling adalah untuk konsultasi soal aborsi. Maka, dokter harus mempersiapkan diri
untuk berdiskusi dan mengedukasi pasien yang menanyakan perihal abortus.[4,5]

Legalitas Aborsi di Indonesia

Menurut hukum di Indonesia abortus provokatus dapat dibedakan menjadi dua kondisi yaitu abortus
provokatus terapeutik yang tidak mengandung sifat kriminal dan abortus provokatus kriminalis yang
memiliki sifat kriminal. Abortus provokatus terapeutik biasanya diindikasikan pada kondisi medis
yang berbahaya untuk kesehatan dan keselamatan ibu, sementara abortus provokatus kriminalis
dilakukan bukan atas indikasi kesehatan tapi atas permintaan pasien atau keluarga.

Pengaturan aborsi terkait hal pelaksanaan pengguguran tanpa indikasi medis untuk kesehatan ibu
dalam sistem hukum pidana di Indonesia diatur dalam Pasal 299, Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348 dan
Pasal 349 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

 Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Abortus provocatus criminalis terdapat dalam Pasal 346
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ialah seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun. Sanksi pidana terhadap wanita yang menggugurkan kandungannya
tercantum pada Pasal 347 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:

Pasal 347 

1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita
tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.

Sanksi bagi pelaku pengguguran kandungan seorang wanita dengan persetujuan wanita yang
bersangkutan tercantum pada Pasal 348 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:

Pasal 348 

1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita
dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan. 

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.[7]

Sementara itu, ketentuan pada Pasal 349 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ialah, Jika seorang
dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun
melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan
348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.[7]

Selain di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana juga telah diundangkannya dalam Undang-
Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang juga mengatur tindak pidana aborsi yang
terdapat dalam Pasal 75, Pasal 76, dan Pasal 77. Sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal diatur dalam
Pasal 194 Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.[8]

Kondisi yang Membolehkan Tindakan Aborsi


Aturan normatif legal formal secara umum melarang tindakan aborsi dengan memberikan ruang
darurat untuk kasus-kasus tertentu. Syarat dan ketentuan yang lebih jelas tentang pelaksanaan
aborsi yang diizinkan termuat dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan:

Pasal 76 

Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: 

1. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir,
kecuali dalam hal kedaruratan medis; 

2. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat
yang ditetapkan oleh menteri; 

3. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; 

4. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan 

 penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

Edukasi Pasien yang Meminta dan Menginginkan Aborsi

Abortus provokatus bukan solusi yang tepat dari kehamilan yang tidak diinginkan, mengingat janin
yang dikandung mempunyai hak untuk hidup sesuai dengan hukum di Republik Indonesia, apalagi
jika tidak terdapat indikasi kedaruratan medis yang memang dapat membahayakan ibu. Jalan keluar
terbaik adalah dengan memberikan konseling secara khusus dari konselor, dokter umum atau dokter
kandungan, maupun dokter psikiatri jika memang dibutuhkan.

Pedoman dari National Abortion Federation terkait Permintaan Aborsi

Berdasarkan pedoman klinis dari National Abortion Federation Amerika Serikat pada tahun 2020,


pasien yang meminta aborsi harus mendapatkan layanan konseling yang memadai tanpa ada kesan
menghakimi atau menggurui. 

Beberapa tahap konseling antara lain sebagai berikut:

 Lakukan anamnesis yang memadai untuk memastikan riwayat seksual, riwayat kehamilan,
riwayat penggunaan kontrasepsi, ada tidaknya percobaan abortus provokatus yang dilakukan
sendiri maupun tenaga kesehatan, dan lainnya.

 Pada fase ini dokter mencoba menggali perasaan pasien dan memastikan pasien merasa
nyaman agar berani lebih terbuka akan apa yang dialami sebenarnya, selama fase
mendengarkan ini diharapkan dokter tidak menginterupsi pasien, sampai pasien selesai
bicara. Dokter diharapkan dapat menunjukkan empati pada pasien.

 Setelah itu, dokter memberikan opsi untuk pasien tetap melanjutkan kehamilannya, nantinya
setelah melahirkan, pasien bisa memilih untuk tetap merawat bayinya atau memberikan
bayinya untuk diadopsi.
 Jika pasien bersikeras untuk melakukan aborsi, diskusikan kembali dengan pasien terkait
resiko kesehatan yang dapat terjadi dari abortus provokatus serta prosedur detail yang harus
dijalani pasien.

 Meski demikian, pedoman ini masih tidak dapat diterapkan di Indonesia sepenuhnya karena
pedoman ini dikembangkan di negara di mana aborsi provokatif merupakan pilihan yang
legal dan aman.

Mengedukasi Pasien yang Meminta Aborsi di Indonesia

Tujuan edukasi pasien yang meminta aborsi adalah menyarankan pasien untuk menerima
kehamilannya dengan sukarela serta memberikan opsi untuk merawat sendiri bayinya setelah lahir
atau menyerahkan bayinya pada orang terpercaya untuk diadopsi. 

Beberapa poin yang harus disampaikan oleh dokter adalah:

1. Ketahui keadaan pasien sebelumnya. 

2. Jelaskan terkait dampak dan risiko kesehatan yang bisa terjadi dari abortus provokatus.

3. Berikan informasi terkait legalitas dari abortus provokatus di Indonesia.

4. Berikan informasi yang tepat, lengkap, dan baik kepada pasien terutama keluarga. Berikan
kesempatan pasien atau keluarga untuk bertanya.

Pada tahap awal konseling dokter bisa menggali alasan pasien untuk meminta aborsi.

Beberapa pertanyaan yang dapat ditanyakan pada pasien seperti:

 Saya ingin memastikan bahwa Anda memahami pilihan apa saja yang bisa Anda ambil
setelah sesi diskusi ini berakhir, jadi jangan ragu untuk bercerita pada Saya ya Bu.

 Bagaimana perasaan Ibu saat mengetahui Anda hamil?

 Apa orang di sekitar Anda tahu? Kalau iya, bagaimana reaksi dan tanggapan dari orang-orang
terdekat Anda?

 Apa yang sudah ibu ketahui terkait aborsi?

 Apa sudah ada tindakan yang ibu lakukan untuk mengakhiri kehamilan?

 Apa ibu mengerti legalitas aborsi di Indonesia?

 Apa ibu terpikir untuk menyerahkan bayi Anda nantinya untuk diasuh orang lain atau
diadopsi?

Dokter Memberikan Respons Positif:

Dokter selanjutnya dapat memberi respon positif dengan mengatakan bahwa dokter memahami
situasi yang dialami pasien adalah hal yang berat dan rumit, namun tetap menjelaskan bahwa
abortus provokatus tanpa indikasi yang legal bukanlah suatu penyelesaian masalah yang baik.
Jelaskan pada pasien dampak dan risiko kesehatan yang dapat terjadi dari tindakan abortus
provokatus apalagi yang dilakukan secara tidak aman. Berikan dukungan sosial untuk pasien agar
dapat bangkit kembali untuk dapat menjalani kehidupan secara normal dan tetap melanjutkan
kehamilannya hingga dilahirkan.
Konseling pada pasien yang meminta aborsi di Indonesia juga harus diberikan informasi mengenai
aspek legalitas dari abortus provokatus, kapan abortus provokatus dibolehkan, dan kapan abortus
provokatus dianggap sebagai suatu tindak kriminal.

Memberikan Dukungan Pada Pasien Untuk Menpertahankan Kehamilan:

Jika pasien berkehendak, pasien dapat didukung untuk tetap menjaga kehamilannya bahkan tetap
merawat bayinya setelah dilahirkan dengan dukungan dari orang-orang terdekat. Tetapi, jika si pasien
tidak menginginkan anaknya tersebut, maka nanti bayi dapat segera dijauhkan dari pasien setelah
dilahirkan, seperti diberikan ke anggota keluarga yang menginginkan ataupun diserahkan untuk
diadopsi secara legal. Jika memungkinkan anjurkan juga pasien untuk berkonsultasi dengan pemuka
agama setempat.

Dokter juga dapat menanyakan apakah pasien memiliki orang-orang di sekitarnya yang dapat
mendukung pasien dalam situasi yang sulit saat ini. Tanyakan juga pada pasien apakah pasien
mengalami kekerasan fisik dari anggota keluarga terdekatnya. Anjurkan sesi konseling berikutnya
dengan membawa serta keluarga atau kerabat yang dipercaya untuk menjadi support system. Jika
terdapat tanda-tanda gangguan psikologis atau bila pasien adalah korban perkosaan, jangan ragu
untuk merujuk pasien untuk berkonsultasi langsung dengan dokter psikiater.

Edukasi Mengenai Pelayanan Antenatal:

Pada fase konseling ini dokter sebaiknya juga memberikan informasi yang memadai terkait pelayanan
antenatal yang meliputi nutrisi yang baik selama kehamilan, pemeriksaan kondisi ibu dan janin, cara
mencegah penyakit atau komplikasi selama kehamilan, konseling pada masalah psikologis tertentu,
hingga persiapan persalinan.

Konseling Khusus Pascapersalinan:

Pasca persalinan, pasien sebaiknya tetap diberikan terapi dan konseling khusus kalau memang pasien
mengalami trauma secara psikis dan mau menerima kembali anaknya untuk dirawat sendiri.[1,2]

Setiap sebelum sesi konseling berakhir, sebaiknya dokter memberikan kesempatan pada pasien
untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas ataupun mungkin ada hal lain yang ingin disampaikan
pasien. Setelah itu, dokter menutup sesi konsultasi dengan memberikan kesimpulan dari konseling
yang telah dilakukan serta menganjurkan konseling lanjutan secara berkala atau merujuk ke dokter
ahli jika dibutuhkan.

Kesimpulan

Aturan normatif legal formal di Indonesia secara umum melarang tindakan aborsi dengan
memberikan ruang darurat untuk kasus-kasus tertentu, hal ini membuat beberapa wanita memilih
abortus provokatus illegal atau unsafe abortion  untuk mengatasi kehamilan yang tidak diinginkan
(KTD).  Tingginya mortalitas ibu akibat unsafe abortion turut meningkatkan angka kematian ibu (AKI).
Tentunya karena hal itu, dokter memiliki peranan penting dalam mengedukasi pasien dengan KTD
yang meminta aborsi. 

Dokter diharapkan mampu memberikan konseling yang memadai dengan teknik komunikasi yang
efektif pada pasien yang meminta aborsi, tanpa berusaha menggurui atau menghakimi. Tanggung
jawab seorang dokter sebagai tenaga medis profesional adalah memberikan informasi yang
meluruskan terkait keamanan dari tindakan aborsi tanpa indikasi kesehatan ibu, legalitas aborsi di
Indonesia, serta menasihati pasien untuk tetap mempertahankan kehamilannya sembari memberi
informasi seputar antenatal care  yang memadai. Anjurkan pasien untuk mencari support
system  yang akan mendukung di masa berat sehingga mengurungkan niatnya untuk meminta aborsi.
Rujukan ke dokter ahli seperti psikiater dapat dilakukan jika terdapat gejala gangguan psikologis.

Anda mungkin juga menyukai