Anda di halaman 1dari 8

KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN : Aborsi akibat kehamilan

yang tidak diinginkan

A. Pendahuluan

Aborsi adalah salah satu isu kesehatan reproduksi yang mendapat perhatian sangat serius, dan
menguras energi juga emosi. Berbagaikalangan telah membincang nya dalam bingkai perdebatan
dan bedapendapat yang tiada ujung. Apalagi saataborsidikaitkandenganhukum, moralitas,
kesehatan, atauhakasasimanusiauntukhidup, aborsimenjadisangatproblematis dan kontroversial.

Keragamanpandanganmengenailegalitasaborsiadalahrealitasdiskursusnormatif yang diwacanakan


oleh berbagaikalanganuntukmenjawabproblematika yang muncul di masyarakat.
Perbincanganmengenaiaborsisudahsetuausiamanusia dan kehidupannya. Titik ‘tengkar’ dan
polarisasidariperbedaanpandanganiniadalahpembelaansecaraekstremterhadaphakhidupjanin/embri
oataupembelaanterhadapkepentinganperempuan yang mengandung. Poininilah yang
kemudianmenyebabkan ‘pertengkaran’ antarakubu pro-choice dan pro-live
dalammenyikapitindakanaborsi. Apakah demi hakhidupjaninataupenyelamatanibu yang
mengandung janin.

Dalamkonteks Indonesia, legislasi dan regulasimengenaiaborsidibincangmulaidari UU hingga fatwa.


Namun, proses legislasi dan regulasitentangaborsitidakmampumeredambedapendapat yang
mengemuka. Tetapsajaaborsimenjaditopikhangat yang selalumenarikuntukdiperdebatkan. Paper
initidakberpretensiuntukmenguraisecaramendalambedapendapat pada semuajenisaborsi,
namunhanya pada aborsikasuskehamilan yang takdiinginkan (KTD) yang
belakangankembalimengemukapascadisahkannya PP No. 61 tahun 2014
tentangKesehatanReproduksitertanggal 21 Juli 2014. Salah satupoinkontroversialdalam PP
iniadalahlegalisasiaborsibagi korban perkosaan. Makapersoalanutamadalam paper
iniadalahmengelaborasiduakutub yang mempertentangkantindakanaborsi dan
mencobamenunjukkanbahwalegalisasiaborsibukanlahsolusi, tanpadibarengidenganrekayasasosial
yang komprehensif.

Berdasarkan hasil penelitian Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Daerah Istimewa


Yogyakarta (PKBI DIY) pada tahun 2015, sebanyak 53-55 orang perempuan Indonesia meninggal
karena unsafe abortion, yang menyumbang 11-14 % AKI di Indonesia. AKI merupakan indikator
kualitas kesehatan ibu di suatu negara. Indonesia gagal mencapai target AKI MDGs sebesar
102/100.000 kelahiran. Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan (SDKI) tahun 2012, AKI Indonesia
masih sebesar 390/100.000 kelahiran, dan angka ini masih tergolong tinggi dibandingkan negara-
negara ASEAN lainnya.

Tulisan ini berusaha untuk menguraikan kaitan antara unsafe abortion sebagai salah satu penyebab
AKI dan hak kesehatan reproduksi perempuan serta upaya preventif yang dapat dilakukan untuk
menurunkan AKI.

B. Pembahasan

Masalah kesehatan reproduksi, termasuk aborsi, di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Aborsi dalam undangundang ini secara tegas dilarang. Hal
itu diatur dalam Pasal 75 ayat (1). Namun demikian dalam ayat selanjutnya dinyatakan bahwa aborsi
dapat dilakukan bila terdapat indikasi medis yang menunjukkan bahwa kehamilan akan mengancam
nyawa ibu dan janin atau kehamilan akibat perkosaan, yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2a) dan (2b).
Selanjutnya untuk melaksanakan amanat undang-undang tersebut, Pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (PP Kespro). Terbitnya
PP ini kemudian mendapatkan reaksi yang beragam dari berbagai kalangan masyarakat, karena
kemudian dikaitkan dengan isu aborsi. Klausul terkait aborsi terdapat pada Pasal 31 yang intinya
menyatakan bahwa aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau
kehamilan akibat pemerkosaan.

Aborsi atas dua alasan itu hanya bisa dilakukan pada usia kehamilan maksimal 40 hari dihitung sejak
hari pertama haid terakhir. Ketentuan usia kehamilan maksimal 40 hari ini telah merujuk pada Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 tentang Aborsi. Penentuan aborsi dan
pelaksanaannya diatur secara ketat dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 38. Sebagai contoh,
penentuan indikasi medis ditentukan oleh tim kelayakan aborsi, harus ada bukti indikasi
pemerkosaan dari keterangan ahli, aborsi harus dengan persetujuan perempuan hamil, serta
konseling sebelum dan sesudah aborsi.

Unsafe Abortion dan Kehamilan yang Tidak Diinginkan

Sampai saat ini perempuan masih rentan terhadap tindakan unsafe abortion. Aborsi tidak aman ini
merupakan salah satu faktor penyebab tingginya AKI di Indonesia dan negara-negara lainnya,
terutama negara berkembang. World Health Organization (WHO) memperkirakan 10-50%
disebabkan oleh aborsi (Maria Ulfah Anshor dan Abdullah Ghalib, 2004). WHO (1998) mendefinisikan
unsafe abortion sebagai prosedur penghentian kehamilan oleh tenaga kurang terampil (tenaga
medis/ nonmedis), alat tidak memadai, dan lingkungan tidak memenuhi syarat kesehatan. Umumnya
unsafe abortion terjadi karena terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Dari perspektif
feminisme, KTD memang masih menjadi salah satu permasalahan reproduksi dan seksualitas
perempuan. Mengutip Oka Negara (2005), KTD selalu menimbulkan konflik yang mendalam dalam
diri perempuan yang mengalami, karena harus mengambil keputusan untuk meneruskan atau tidak
meneruskan kehamilannya. KTD dapat dialami korban perkosaan, mereka yang tidak mapan secara
ekonomi sehingga kesulitan membiayai kebutuhan bayi, atau mereka yang hamil di luar nikah. KTD
di luar nikah ada hubungannya dengan perilaku seks bebas/perilaku seks pranikah yang
mengakibatkan risiko KTD. Sebanyak 60% remaja pernah mengalami kehamilan yang berakhir aborsi,
dan 13% di antaranya berakibat kematian (Yeni Lucin, tanpa tahun). Data lain menunjukkan bahwa
setiap tahun lebih dari 65 ribu perempuan berusia remaja meninggal karena aborsi yang tidak aman
(Oka Negara, 2005). Dengan aborsi, perempuan berharap dapat menghilangkan trauma, rasa malu,
atau beban yang akan dipikul jika harus melahirkan bayinya. Akan tetapi, mengingat di Indonesia
aborsi hanya dapat dilakukan dalam kondisi tertentu, yaitu berdasarkan indikasi kedaruratan medis
atau kehamilan akibat pemerkosaan, maka banyak perempuan yang melakukan aborsi ilegal, yang
keamanannya tidak terjaga.

Upaya Preventif

Mengingat tindakan aborsi di Indonesia dilarang, kecuali dalam kondisi tertentu, maka upaya yang
dapat dilakukan adalah yang bersifat preventif. Mengacu kepada PP Kespro, pelayanan kesehatan
reproduksi harus dilakukan sedini mungkin, yaitu sejak remaja. Pelayanan itu diberikan melalui
layanan kesehatan reproduksi remaja. Pada masa pubertas ini tubuh dan hormon seksual
berkembang pesat. Proses perubahan yang cepat di satu sisi dan minimnya informasi di sisi lain
membuat remaja rentan dan beresiko terhadap kesehatan reproduksi dan seksual, sehingga mereka
memerlukan pendidikan kesehatan reproduksi sesuai masalah dan tahapan tumbuh kembang
remaja serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender, mempertimbangkan moral, nilai
agama, dan perkembangan mentalnya.

Pelayanan kesehatan reproduksi remaja ini bertujuan untuk:

(1) mencegah dan melindungi remaja dari perilaku seksual berisiko dan perilaku berisiko lainnya
yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi; dan

(2) mempersiapkan remaja untuk menjalani kehidupan reproduksi yang sehat dan bertanggung
jawab. Pelayanan kesehatan reproduksi remaja ini dilaksanakan melalui pemberian: komunikasi,
informasi, dan edukasi; konseling; dan pelayanan klinis medis.
Selain itu, layanan kesehatan masa prakehamilan, selama kehamilan, persalinan, pascamelahirkan,
layanan kontrasepsi, kesehatan seksual, dan kesehatan sistem reproduksi juga diperlukan untuk
menjamin perempuan mendapat layanan kesehatan yang baik. Upaya ini antara lain dilakukan dalam
bentuk pelayanan pengaturan kehamilan, kontrasepsi, dan kesehatan seksual. Dengan seluruh
pelayanan kesehatan reproduksi sejak remaja hingga pasca-melahirkan ini diharapkan KTD dapat
dicegah dan pada akhirnya AKI dapat menurun.

Aborsi dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam (Analisis terhadap Peraturan
Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi)

PP No. 61 Tahun 2014 mengatur tentang mekanisme dan prosedur aborsi bagi korban perkosaan
dari perpektif HAM dan Hukum Islam. Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Pasal
75 ayat (1)UU Kesehatan, yang menyebutkan bahwa aborsi dilarang terkecuali ada indikasi
kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Menurut peraturan tersebut pelaksanaan
aborsiharus memenuhi prosedur pembuktian berupa pembuktian usia kehamilan melalui surat
keterangan dokter, keterangan penyidik dan keterangan psikolog tentang terjadinya perkosaan.
Menurut hukum Islam, hukum melakukan aborsi bagi korban perkosaan berbeda-beda tergantung
situasi dan kondisi. Sementara Menurut Undang –Undang No 39 Tahun 1999 tentang HAM aborsi
hanya boleh dilakukan untuk melindungi jiwa ibu dan anak, alasan selain itu dianggap melanggar
HAM.

Lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, yang
membolehkan praktik aborsi atau legalisasi aborsi telah menimbulkan keresahan dan kontroversi di
tengah masyarakat. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 75 ayat (1) UU Kesehatan, bahwa aborsi dilarang
terkecuali ada indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan
trauma psikologis bagi korban perkosaan. Banyak tokoh agama menghimbau kepada pemerintah
untuk meninjau kembali PP tersebut. Langkah ini guna menghindarkan sebagian masyarakat atau
tenaga medis yang cenderung pragmatis. Jika tidak, maka praktik aborsi bisamenggejala terutama di
kalangan remaja yang selama ini telah dikhawatirkan semakin banyak yang melakukan hubungan
seks bebas. PP tentang legalisasi aborsi ini bisa dimanfaatkan juga untuk sengaja menggugurkan
janin dalam kandungan karena tidak dikehendaki.

Berdasarkan PP yang baru itu, tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi
kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Seperti Pasal 75 UU Kesehatan, PP ini juga
menyatakan bahwa aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling
lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Sementara yang
dimaksud indikasi kedaruratan medis adalah: a. Kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan
ibu; dan/atau b. Kesehatan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita
penyakit genetik berat dan atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.

Penilaian atas indikasi medis dilakukan oleh paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang tenaga
kesehatan, yang diketuai dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan. Di samping itu, indikasi
adanya perkosaan adalah jika ada unsur pemaksaan, adanya gangguan psikologis akibat perkosaan
tersebut, yang perlu melalui tahapan pemeriksaan oleh tim ahli, sehingga perkosaan dapat
dibuktikan, bukan hanya alasan yang dibuat-buat. Adanya indikasi medis dan korban perkosaan
inilah yang menimbulkan kontroversi, karena dikaitkan dengan asumsi adanya pembenaran legalisasi
aborsi.

Legalisasi aborsi korban perkosaan ini bertujuan untuk melindungi masa depan korban perkosaan.
Untuk menghindarkan trauma psikologis dan beban sosial wanita korban perkosaan. Alasan ini juga
dijadikan argumen bagi pendukung legalisasi aborsi sebagai realisasi penegakan Hak Asasi Manusia.
Wanita korban perkosaan juga memiliki kebebasan menentukan sesuatu atas dirinya, apalagi
menyangkut kehamilan yang tidak diinginkan itu akan memberi dampak sosial dan psikologis. Jika
wanita korban perkosaan ingin melakukan aborsi, itu juga semata-mata karena mereka juga
mempunyai hak asasi untuk menentukan kehidupan pribadinya yang bebas dari tekanan psikologis
dan sosial akibat kehamilan yang tidak dikehendaki tersebut.

Dengan alasan melindungi hak asasi wanita korban perkosaan, serta melindungi masa depannya.
Sementara janin yang ada dalam kandungan wanita tersebut juga mempunyai hak untuk hidup,
perlu dilindungi. Terjadi benturan antara kepentingan melindungi hak asasi janin yang akan tumbuh
dalam rahim dengan hak ibu yang ingin terlepas dari beban psikologis dan sosial. Di sisi lain, Islam
bukanlah agama yang kaku, tetapi dinamis, yang memandang kehidupan manusia ini dari berbagai
sudut, sehingga dari berbagai permasalahan yang dihadapi manusia dapatditemukan solusinya.

Oleh karena itu, perlu dikaji prosedur pemeriksaan terhadap korban perkosaan sebelum melakukan
tindakan aborsi dan bagaimana hukum melakukan aborsi menurut Hak Asasi Manusia dan Hukum
Islam. Terjadi kontroversi tentang legalisiasi aborsi menurut PP No 61 Tahun 2014 tentang kesehatan
reproduksi. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana
prosedur periksaan terhadap korban perkosaan sebelum melakukan aborsi? bagaimana hukum
melakukan aborsi bagi korban perkosaan menurut PP No. 61 Tahun 2014 tentang kesehatan
reproduksi dalam perspektif hak asasi manusia (HAM) dan hukum Islam?
Aborsi bagi Korban Perkosaan dalam Perspektif HAM dan Hukum Islam

Hak asasi menggambarkan sesuatu yang melekat dalam diri manusia, baik akibat hukum Negara
maupun ketentuan dari Tuhan.

Menurut Baharuddin Lopa (1996), bahwa di dalam Piagam Universal Hak Asasi Manusia yang dikenal
dengan UDHR (Universal Declaration of Human Rights) juga diatur tentang hak kesehatan dan hidup
manusia. Mengenai hak hidup dan keselamatan disebutkan dalam Pasal 3, bahwa setiap orang
berhak atas kehidupan, bebas merdeka dan keamanan (keselamatan) sebagai individu.12

UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM mengatur tentang hak-hak yaitu hak untuk hidup, hak
berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak
atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam
pemerintahan, hak wanita, dan hak anak.

Mengenai hak untuk hidup, Pasal 9 (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, mengatur bahwa setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya. Ketentuan ini menunjukkan bahwa hak untuk hidup merupakan
hak mendasar yang melekat atau dimiliki seseorang sebagai karunia Tuhan. Selanjutnya pada pasal
53 (1) Undang-Undang Hak Asasi Manusia mengatur tentang hak anak. Dalam pasal tersebut
dinyatakan bahwa setiap anak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya.

Sejalan dengan Undang-Undang HAM, maka Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak juga mengatur tentang perlindungan anak. Perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat, martabat kemanusiaan

Proses Pengambilan Keputusan Aborsi : Perspektif Gender.

Budaya patriarki yang ada di Indonesia juga dipengaruhi dengan adanya sistem patrilineal. Patrilineal
merupakan adat masyarakat yang mengatur alur atau garis keturunan dari pihak laki-laki atau ayah.
Hal tersebut sudah sangat melekat dalam masyarakat dan secara tidak sadar, budaya patriarkhi
tersebut telah membingkai pemikiran masyarakat bahkan dalam tingkah laku sehari-hari.
Contohnya, masih ada masyarakat yang berpikir bahwa perempuan harus mengurus urusan rumah
tangga saja dan tidak boleh bekerja, perempuan tidak boleh menjadi ketua dalam suatu organisasi
karena dianggap terlalu emosional, perempuan dianggap harus selalu mengalah dan harus mau
menuruti semua permintaan laki-laki.

Tanpa kita sadari, budaya patriarkhi tersebut tidak hanya terjadi pada dunia karir dan dalam
hubungan pasangan suami-istri, namun juga hubungan remaja yang masih berpacaran, khususnya
dalam hal perilaku seksual dimana perempuan dipaksa oleh laki-laki untuk berhubungan seks
dengan alasan sebagai pembuktian rasa cinta dan apabila perempuan tersebut menolak, maka laki-
laki mengancam akan memutuskan hubungan mereka. Hal tersebut mencerminkan perepuan dalam
posisi yang tidak berdaya, apalagi berada dibawah ancaman laki-laki. Sehingga banyak prempuan
yang “rela” untuk melakukan hubungan seks pranikah karena takut akan diputuskan oleh
pasangannya.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan beberapa subyek terkait dengan alasan para remaja
tersebut melakukan aborsi ilegal, secara garis besar para subyek mengatakan belum siap untuk
hamil dan masih memikirkan kehidupannya diantaranya keluarga, kuliah dan pekerjaan. Aborsi ilegal
yang dilakukan oleh para remaja memiliki alasan yang rasional yaitu berpikir bahwa aborsi ilegal
adalah jalan satu-satunya yang dapat dijalani saat itu dan juga alasan emosional (afektif) yaitu untuk
menghilangkan rasa malu.

Seperti yang diungkapkan oleh Max Weber yang mengatakan bahwa perilaku manusia yang
merupakan perilaku sosial harus mempunyai tujuan tertentu, yang terwujud dengan jelas. Artinya,
perilaku itu harus mempunyai arti bagi pihak-pihak yang terlibat, yang kemudian berorientasi
terhadap perilaku yang sama dengan pihak lain. Dengan kata lain, suatu perilaku mungkin
mempunyai arti tertentu pada perilaku tersebut.
Kesimpula

Perdebatan antara kutub pro-choice dan pro-life. Pro-life adalah kutub yang menentang

aborsi, berpegangan bahwa hasil konsepsi/embrio telah memiliki hak hidup dan bahwa
aborsi sama dengan pembunuhan. Kelompok ini mengklaim sebagai penyokong hak atas

kehidupan, yang justru terlihat sebagai hak atas kelahiran (pro-life).

Di sisi lain, kelompok yang mendukung legalisasi (pengaturan) terkait aborsi atau dikenal

dengan nama pro-choice. Argumen kelompok ini bersandar bahwa umumnya perempuan


memiliki hak untuk mengambil keputusan atas tubuhnya sendiri (pro-choice)

praktik aborsi sering distigmatisasi karena peran perempuan masih sangat terkait dengan
melahirkan anak. Kecaman sosial terhadap aborsi berhubungan dengan konsepsi peran

perempuan dalam masyarakat. Negara yang menganggap peran ibu sebagai peran utama
perempuan akan menganggap pilihan untuk tidak memiliki anak atau melakukan aborsi

sebagai sesuatu yang menyimpang.

i Indonesia, misalnya, keputusan untuk melakukan aborsi ketika KTD terjadi bukanlah sebuah

pilihan bagi perempuan, karena pilihan seharusnya didasari dengan pengetahuan yang
cukup setelah mendapat informasi yang lengkap dan disediakannya pilihan-pilihan tersebut

oleh negara. 

I am pro choice, setiap perempuan yang hamil di luar nikah dan memutuskan untuk aborsi

Anda mungkin juga menyukai