Anda di halaman 1dari 6

Nama : Tamara NIM : 32210008

Relevansi Peran Agama, Etika, Moral, dan Hukum dalam Kasus Aborsi

A. PENDAHULUAN
Dalam kehidupannya, manusia hampir selalu terjadi hubungan hukum. Salah satu masalah
yang diatur dalam KUHP yang berlaku di Indonesia adalah masalah aborsi, dan saat ini telah
diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009. Masalah aborsi
atau lebih dikenal dengan istilah pengguguran kandungan, keberadaannya merupakan suatu
fakta yang tidak dapat dipungkiri dan bahkan menjadi pembahasan yang menarik serta dilema
yang saat ini menjadi fenomena sosial.
Aborsi merupakan cara yang paling sering digunakan untuk mengakhiri kehamilan yang
tidak diinginkan, tetapi juga merupakan cara yang paling berbahaya. Aborsi menurut
terjadinya dibedakan atas abortus spontan dan abortus provokatus. Abortus spontan adalah
aborsi yang terjadi dengan sendirinya tanpa disengaja atau dengan tidak didahului faktor-
faktor mekanis atau medisialis, semata-mata disebabkan oleh faktor alamiah. Sedangkan,
abortus provokatus merupakan aborsi yang disengaja tanpa indikasi medis, baik dengan obat-
obatan maupun dengan alat-alat.
Aborsi (pengguguran kandungan) merupakan masalah yang cukup pelik, karena
menyangkut banyak aspek kehidupan manusia yang berkaitan dengan etika, moral, dan
agama serta hukum. Setiap tahunnya, dari 175 juta kehamilan yang terjadi di dunia terdapat
sekitar 75 juta perempuan yang mengalami kehamilan tak diinginkan. Banyak hal yang
menyebabkan seorang perempuan tidak menginginkan kehamilannya, antara lain karena
perkosaan, kehamilan yang terlanjur datang pada saat yang belum diharapkan, janin dalam
kandungan menderita cacat berat, hamil di luar nikah, dan sebagainya. Ketika seorang
perempuan mengalami kehamilan tak diinginkan (KTD), di antara jalan keluar yang
ditempuh adalah melakukan upaya aborsi, baik yang dilakukan sendiri maupun dengan
bantuan orang lain.
Aborsi sering kali ditafsirkan sebagai pembunuhan bayi, walaupun secara jelas Badan
Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan aborsi sebagai penghentian kehamilan sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan atau kurang dari 22 minggu. Sebuah studi yang
diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia memperkirakan
angka kejadian aborsi di Indonesia per tahunnya sebesar 2 juta.

1
Melihat adanya dampak negatif dari perbuatan aborsi, baik dari segi kesehatan perempuan
hamil, segi agama, etika, moral, maupun hukum, saya tertarik untuk menganalisa kasus
aborsi ini lebih dalam. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, saya akan menjelaskan
bagaimana relevansi peran agama, etika, moral, dan hukum dalam kasus aborsi. Saya sangat
berharap karya tulis ini dapat memberikan wawasan yang benar kepada para pembaca
mengenai kasus aborsi dan dapat membantu ditemukannya jalan keluar atas permasalahan
aborsi ini.

B. PEMBAHASAN

Aborsi dari Sudut Pandang Agama


Dapat dikatakan bahwa sebagian besar agama melarang tindakan “aborsi” karena
menganggap bahwa tindakan tersebut tergolong ke dalam tindakan “pembunuhan” yang
artinya melawan kehendak dan rencana Sang Pencipta. Saya akan menjelaskan pandangan
dari agama yang saya anut (Kristen) mengenai aborsi yang menimbulkan banyak pro dan
kontra. Terdapat perbedaan pendapat mengenai bagaimana pandangan kalangan Kristen awal
mengenai aborsi, dan tidak ada larangan secara eksplisit dalam Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru Alkitab Kristen. Beberapa akademisi menyimpulkan bahwa kalangan Kristen
awal mengambil sikap yang bervariasi tentang isu yang sekarang disebut aborsi ini.
Akademisi lainnya menyimpulkan bahwa kalangan Kristen awal memandang aborsi sebagai
dosa pada setiap tahap kehamilan meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai jenis
dosanya dan seberapa serius dosa tersebut. Dikatakan lagi bahwa beberapa orang Kristen
awal meyakini kalau embrio belum memiliki jiwa pada saat konsepsi atau pembuahan, dan
karenanya ketika itu terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah aborsi pada tahap awal
kehamilan merupakan pembunuhan atau secara etika setara dengan pembunuhan.
Denominasi Kristen masa kini memiliki beragam posisi, pemikiran, dan ajaran mengenai
aborsi, terutama dalam keadaan-keadaan khusus. Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur,
Ortodoksi Oriental, dan kebanyakan Protestan Injili menentang aborsi yang disengaja sebagai
perbuatan tak bermoral, meski terkadang juga mengizinkan apa yang disebut aborsi tidak
langsung. Secara lebih umum, sejumlah denominasi Kristen dapat dipandang sebagai pro-
kehidupan sementara yang lainnya mungkin dipandang sebagai pro-pilihan. Selain itu, dalam
beberapa denominasi, terdapat kelompok minoritas yang tidak setuju dengan sikap
denominasi mereka mengenai aborsi.

2
Aborsi dari Sudut Pandang Etika
Masalah etika atas aborsi pada dasarnya tergantung dari sisi mana kita memandangnya.
Kelompok pro-pilihan membenarkan aborsi atas dasar untuk menyelamatkan nyawa sang ibu;
mencegah resiko kehidupan bayi yang cacat jika dilahirkan; fetus dianggap sebagai seseorang
yang belum memiliki hak penuh sebagai manusia; dan korban pemerkosaan. Sedangkan,
kelompok pro-kehidupan tidak membenarkan aborsi atas dasar embrio dianggap sebagai
manusia sejak awal konsepsi serta mempunyai hak untuk hidup; aborsi dianggap
pembunuhan jika dilakukan di luar alasan medis; dan aborsi yang dilakukan secara ilegal.
Dapat disimpulkan bahwa aborsi yang dilakukan dengan alasan yang jelas atau legal, seperti
untuk menyelamatkan nyawa sang ibu (Kondisi yang benar-benar sudah tidak mungkin bagi
sang bayi untuk lahir) atas persetujuan medis tentunya, maka tindakan tersebut tergolong etis
atau tidak melanggar etika. Sedangkan, aborsi yang dilakukan dengan alasan yang tidak jelas
atau ilegal, seperti karena hamil di luar nikah (tanpa adanya rasa tanggung jawab), kegagalan
alat kontrasepsi, dan sebagainya, maka tindakan tersebut tergolong tidak etis atau melanggar
etika.

Aborsi dari Sudut Pandang Moral


Pada usia-usia awal kehamilan, aborsi dapat dilakukan demi “kepentingan” ibu atau
keluarga serta keamanan dari aborsi itu sendiri. Tetapi ketika usia kehamilan sudah berada
pada tahap pertengahan dengan janin yang sudah menyerupai seorang pribadi, aborsi hanya
dapat dilakukan apabila kelanjutan kehamilan atau kelahiran bayi akan menyulitkan sang ibu
secara fisik, psikologis, ekonomis, dan sosial. Pada usia kehamilan yang terakhir, meskipun
dengan pengandaian bahwa janin bukanlah seorang pribadi juga, aborsi tetap salah, kecuali
untuk menyelamatkan wanita dari kematian atau cacat permanen. Dapat disimpulkan bahwa
tindakan aborsi hanya dapat dibenarkan secara moral apabila tindakan tersebut bertujuan
untuk menyelamatkan nyawa sang ibu maupun sang anak dengan alasan medis yang jelas,
yaitu kondisi sang ibu yang sudah tidak mungkin lagi untuk melahirkan sang bayi (Sang ibu
dapat meninggal jika tetap melahirkan bayi yang dikandungnya) dan kondisi sang bayi yang
sudah tidak mungkin lagi untuk dilahirkan (Kondisi sang bayi yang cacat berat dan tidak
dapat bertahan hidup di luar kandungan). Jika tindakan aborsi dilakukan di luar dari alasan
tersebut, maka tindakan tersebut akan bertentangan dengan moral dalam masyarakat dan akan
dianggap sebagai bentuk lain dari pembunuhan yang keji atas nyawa seseorang yang tak
berdosa.

3
Aborsi dari Sudut Pandang Hukum
Pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan aborsi berdasarkan Pasal 75 ayat (1) UU

No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). Menurut Pasal 75 ayat (2) UU
Kesehatan, pengecualian terhadap larangan melakukan aborsi diberikan hanya dalam 2
kondisi berikut :
a) Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat
dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga dapat
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b) Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.
Selain itu, menurut Pasal 76 UU Kesehatan, aborsi hanya dapat dilakukan :
a) Sebelum kehamilan berumur 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir,
kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b) Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan serta memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c) Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d) Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e) Oleh penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri.
Jadi, praktik aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
sebagaimana disebutkan di atas merupakan aborsi ilegal. Sanksi pidana bagi pelaku aborsi
ilegal diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang berbunyi :
"Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 tahun dan denda paling banyak sebesar Rp1 miliar."

C. PENUTUP
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai bagaimana relevansi peran agama, etika, moral,
dan hukum dalam kasus aborsi, maka dapat disimpulkan bahwa aborsi bukanlah suatu
tindakan yang dapat dipandang sebelah mata saja. Kita harus melihatnya dari berbagai sudut
pandang agar tidak memicu timbulnya pemahaman yang salah mengenai aborsi. Dari segi
etika, moral, dan hukum, aborsi hanya diperbolehkan pada kasus di mana kondisi sang ibu

4
benar-benar sudah tidak memungkin lagi untuk melahirkan sang bayi (Sang ibu dapat
meninggal jika tetap melahirkan bayi tersebut) dan kondisi sang bayi yang juga tidak
memungkinkan lagi untuk dilahirkan (Sang bayi mengalami cacat berat atau tidak dapat
bertahan hidup di luar kandungan jika tetap dilahirkan), serta pada kasus pemerkosaan.
Sedangkan dari segi agama, sebagian besar agama melarang tindakan aborsi karena
menganggap bahwa tindakan tersebut tergolong ke dalam tindakan pembunuhan yang artinya
sama dengan melawan kehendak dan rencana Sang Pencipta. Aborsi yang dilakukan secara
ilegal dan tanpa asalan yang rasional pastinya akan mendapatkan sanksi, baik sanksi agama,
sanksi etika, sanksi moral, maupun sanksi hukum.
Saya sangat berharap bahwa tindakan aborsi ini tidak dilakukan secara sembarangan
apalagi tanpa pertanggung jawaban. Tindakan aborsi yang dilakukan sebaiknya tidak
bertentangan dengan etika dan moral, serta tidak melanggar hukum. Di antara semua itu,
perizinan dari agama lah yang paling penting karena menyangkut pertanggung jawaban kita
dengan Sang Pencipta. Sebaiknya, jika agama tidak mengizinkan, maka jangan dilakukan.
Sudah seharusnya bagi agama, etika, moral, dan hukum mengarahkan hidup manusia ke arah
yang benar dan memberikan batasan-batasan bagi manusia agar tidak menyalahgunakan
kehidupannya, serta menjalankan tugas sebagaimana mestinya sesuai dengan peran masing-
masing dalam hidup bermasyarakat. Sanksi-sanksi yang diberikan pun harus sewajarnya
(tidak dilebih-lebihkan ataupun dikurang-kurangkan) dan tidak mengandung maksud lain,
serta penuh pertimbangan.

D. DAFTAR PUSTAKA

Prince. “Abortus”,
http://repo.unand.ac.id/2358/4/BAB%25201%2520ABORTUS.pdf, diakses pada tanggal 8
Oktober 2021 pukul 13.00.
Wikipedia. 2021. “Agama dan Aborsi”,
https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_dan_aborsi, diakses pada tanggal 8 Oktober 2021 pukul
14.05.
Sutjipta, Michael. 2019. “Aborsi Ditinjau dari Segi Hukum, Etika, dan Moral”,
https://pspk.fkunissula.ac.id/sites/default/files/3.%20KULIAH%20BIOETIKA
%20ABORSI.pdf, diakses pada tanggal 8 Oktober 2021 pukul 14.56.
Atalim, Stanislaus. 2012. “Perspektif Moralitas dalam Perkara Aborsi”,

5
https://jurnal.komisiyudisial.go.id/index.php/jy/article/viewFile/185/151, diakses pada
tanggal 8 Oktober 2021 pukul 15.33.
Kusumasari, Diana. 2011. “Ancaman Pidana Terhadap Pelaku Aborsi Ilegal”,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl840/penerapan-hukum-pidana-dalam-
aborsi-ilegal, diakses pada tanggal 8 Oktober 2021 pukul 16.05.

Anda mungkin juga menyukai