Anda di halaman 1dari 17

Aborsi Menurut Hukum di Indonesia Desember 16, 2010

Posted by teknosehat in Bioetik & Biohukum, HUKUM KESEHATAN.


trackback

Aborsi Menurut Hukum di Indonesia


Billy N. <billy@hukum-kesehatan.web.id>

Aborsi merupakan salah satu topik yang selalu hangat & menjadi perbincangan di berbagai
kalangan masyarakat, di banyak tempat & di berbagai negara, baik itu di dalam forum resmi
maupun forum-forum non-formal lainnya. Sebenarnya, masalah ini sudah banyak terjadi
sejak zaman dahulu, di mana dalam penanganan aborsi, cara-cara yang digunakan meliputi
cara-cara yang sesuai dengan protokol medis maupun cara-cara tradisional, yang dilakukan
oleh dokter, bidan maupun dukun beranak, baik di kota-kota besar maupun di daerah
terpencil.
Pertentangan moral & agama merupakan masalah terbesar yang sampai sekarang masih
mempersulit adanya kesepakatan tentang kebijakan penanggulangan masalah aborsi. Oleh
karena itu, aborsi yang ilegal & tidak sesuai dengan cara-cara medis masih tetap berjalan &
tetap merupakan masalah besar yang masih mengancam perempuan dalam masa reproduksi.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, baik teknologi maupun hukum sampai saat ini,
para dokter kini harus berhadapan dengan adanya hak otonomi pasien. Dalam hak otonomi
ini, pasien berhak menentukan sendiri tindakan apa yang hendak dilakukan dokter terhadap
dirinya, maupun berhak menolaknya. Sedangkan jika tidak puas, maka pasien akan berupaya
untuk menuntut ganti rugi atas dasar kelalaian yang dilakukan dokter tersebut. Timbulnya
berbagai pembicaraan & undang-undang soal hak otonomi perempuan membuat hak atas diri
sendiri ini memasuki area wacana soal aborsi, atau penentuan dari pihak perempuan yang
merasa berhak juga untuk menentukan nasibnya sendiri terhadap adanya kehamilan yang
tidak diinginkannya. Namun, bila dilihat dari sisi para pelaku pelayanan kesehatan ini,
seorang dokter pada waktu lulus, sudah bersumpah untuk akan tetap selalu menghormati
setiap kehidupan insani mulai dari saat pembuahan sampai saat meninggal. Karenanya,
tindakan aborsi ini sangat bertentangan dengan sumpah dokter sebagai pihak yang selalu
menjadi pelaku utama (selain para tenaga kesehatan baik formal maupun non-formal lainnya)
dalam hal tindakan aborsi ini. Pengguguran atau aborsi dianggap suatu pelanggaran pidana.
Sampai saat ini, di banyak negara masih banyak tanggapan yang berbeda-beda tentang aborsi.
Para ahli agama, ahli kesehatan, ahli hukum, & ahli sosial-ekonomi memberikan pernyataan
yang masing-masing ada yang bersifat menentang, abstain, bahkan mendukung. Para ahli
agama memandang bahwa apapun alasannya aborsi merupakan perbuatan yang bertentangan
dengan agama karena bersifat menghilangkan nyawa janin yang berarti melakukan
pembunuhan, walaupun ada yang berpendapat bahwa nyawa janin belum ada sebelum 90
hari. Ahli kesehatan secara mutlak belum memberikan tanggapan yang pasti, secara samar-
samar terlihat adanya kesepakatan bahwa aborsi dapat dilakukan dengan mempertimbangkan
penyebab, masa depan anak serta alasan psikologis keluarga terutama ibu, asal dilakukan
dengan cara-cara yang memenuhi kondisi & syarat-syarat tertentu. Begitu juga dengan ahli
sosial kemasyarakatan yang mempunyai pandangan yang tidak berbeda jauh dengan ahli
kesehatan. Namun pada umumnya, para ahli-ahli tersebut menentang dilakukannya aborsi
buatan, meskipun jika berhadapan dengan masalah kesehatan (keselamatan nyawa ibu)
mereka dapat memahami dapat dilakukannya aborsi buatan. Dilihat dari adanya undang-
undang yang diberlakukan di banyak negara, setiap negara memiliki undang-undang yang
melarang dilakukannya aborsi buatan meskipun pelarangannya tidak bersifat mutlak.
Sampai saat ini praktik aborsi masih terus berlangsung, baik yang legal maupun yang ilegal.
Bahkan menurut Azrul Azwar, sumbangan aborsi ilegal di Indonesia mencapai kurang lebih
50 persen dari angka kematian ibu (AKI), sementara angka kematian ibu di Indonesia (AKI)
ini adalah yang tertinggi di Asia.
Adapun para penyebab dari kejadian aborsi ini antara lain adalah:
1. Faktor ekonomi, di mana dari pihak pasangan suami isteri yang sudah tidak mau
menambah anak lagi karena kesulitan biaya hidup, namun tidak memasang kontrasepsi, atau
dapat juga karena kontrasepsi yang gagal.
2. Faktor penyakit herediter, di mana ternyata pada ibu hamil yang sudah melakukan
pemeriksaan kehamilan mendapatkan kenyataan bahwa bayi yang dikandungnya cacat secara
fisik.
3. Faktor psikologis, di mana pada para perempuan korban pemerkosaan yang hamil harus
menanggung akibatnya. Dapat juga menimpa para perempuan korban hasil hubungan saudara
sedarah (incest), atau anak-anak perempuan oleh ayah kandung, ayah tiri ataupun anggota
keluarga dalam lingkup rumah tangganya.
4. Faktor usia, di mana para pasangan muda-mudi yang masih muda yang masih belum
dewasa & matang secara psikologis karena pihak perempuannya terlanjur hamil, harus
membangun suatu keluarga yang prematur.
5. Faktor penyakit ibu, di mana dalam perjalanan kehamilan ternyata berkembang menjadi
pencetus, seperti penyakit pre-eklampsia atau eklampsia yang mengancam nyawa ibu.
6. Faktor lainnya, seperti para pekerja seks komersial, perempuan simpanan, pasangan yang
belum menikah dengan kehidupan seks bebas atau pasangan yang salah satu/keduanya sudah
bersuami/beristri (perselingkuhan) yang terlanjur hamil.
Dari banyaknya penyebab permasalahan aborsi di atas, semua pihak dihadapkan pada adanya
pertentangan baik secara moral & kemasyarakatan di satu sisi maupun dengan secara agama
& hukum di lain sisi. Dari sisi moral & kemasyarakatan, sulit untuk membiarkan seorang ibu
yang harus merawat kehamilan yang tidak diinginkan terutama karena hasil pemerkosaan,
hasil hubungan seks komersial (dengan pekerja seks komersial) maupun ibu yang mengetahui
bahwa janin yang dikandungnya mempunyai cacat fisik yang berat. Anak yang dilahirkan
dalam kondisi & lingkungan seperti ini nantinya kemungkinan besar akan tersingkir dari
kehidupan sosial kemasyarakatan yang normal, kurang mendapat perlindungan & kasih
sayang yang seharusnya didapatkan oleh anak yang tumbuh & besar dalam lingkungan yang
wajar, & tidak tertutup kemungkinan akan menjadi sampah masyarakat.
Di samping itu, banyak perempuan merasa mempunyai hak atas mengontrol tubuhnya
sendiri. Di sisi lain, dari segi ajaran agama, agama manapun tidak akan memperbolehkan
manusia melakukan tindakan penghentian kehamilan dengan alasan apapun. Sedangkan dari
segi hukum, masih ada perdebatan-perdebatan & pertentangan dari yang pro & yang kontra
soal persepsi atau pemahaman mengenai undang-undang yang ada sampai saat ini. Baik dari
UU kesehatan, UU praktik kedokteran, kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), UU
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), & UU hak azasi manusia (HAM).
Keadaan seperti di atas inilah dengan begitu banyak permasalahan yang kompleks yang
membuat banyak timbul praktik aborsi gelap, yang dilakukan baik oleh tenaga medis formal
maupun tenaga medis informal. Baik yang sesuai dengan standar operasional medis maupun
yang tidak, yang kemudian menimbulkan komplikasi komplikasi dari mulai ringan sampai
yang menimbulkan kematian.
Definisi dari aborsi sendiri adalah adanya perdarahan dari dalam rahim perempuan hamil di
mana karena sesuatu sebab, maka kehamilan tersebut gugur & keluar dari dalam rahim
bersama dengan darah, atau berakhirnya suatu kehamilan sebelum anak berusia 22 minggu
atau belum dapat hidup di dunia luar. Biasanya disertai dengan rasa sakit di perut bawah
seperti diremas-remas & perih. Aborsi dibagi lagi menjadi aborsi spontan yang terjadi akibat
keadaan kondisi fisik yang turun, ketidakseimbangan hormon didalam tubuh, kecelakaan,
maupun sebab lainnya. Aborsi buatan, yang dibagi menjadi aborsi provokatus terapetikus
(buatan legal) & aborsi provokatus kriminalis (buatan ilegal). aborsi provokatus terapetikus
adalah pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat-syarat medis & cara yang
dibenarkan oleh peraturan perundangan, biasanya karena alasan medis untuk menyelamatkan
nyawa/mengobati ibu. Aborsi provokatus kriminalis adalah pengguguran kandungan yang
tujuannya selain untuk menyelamatkan/mengobati ibu, dilakukan oleh tenaga medis/non-
medis yang tidak kompeten, serta tidak memenuhi syarat & cara-cara yang dibenarkan oleh
peraturan perundangan. Biasanya di dalamnya mengandung unsur kriminal atau kejahatan.
Dari segi medis adapun tahapan-tahapan aborsi spontan adalah sebagai berikut:
Aborsi iminens, yaitu adanya tanda-tanda perdarahan yang mengancam adanya aborsi, di
mana janin sendiri belum terlepas dari rahim. Keadaan seperti masih dapat diselamatkan
dengan pemberian obat hormonal serta istirahat total.
Aborsi insipiens, yaitu aborsi yang sedang berlangsung, di mana terjadi perdarahan yang
banyak disertai janin yang terlepas dari rahim. Jenis seperti ini biasanya janin sudah tidak
dapat lagi diselamatkan.
Aborsi inkomplitus, yaitu sudah terjadi pembukaan rahim, janin sudah terlepas & keluar dari
dalam rahim namun masih ada sisa plasenta yang menempel dalam rahim, & menimbulkan
perdahan yang banyak sebelum akhirnya plasenta benar-benar keluar dari rahim.
Pengobatannya harus dilakukan kuretase untuk mengeluarkan sisa plasenta ini.
Aborsi komplitus, yaitu aborsi di mana janin & plasenta sudah keluar secara lengkap dari
dalam rahim, walaupun masih ada sisa-sisa perdarahan yang kadang masih memerlukan
tindakan kuretase untuk membersihkannya.
Di Indonesia adapun ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan soal aborsi & penyebabnya
dapat dilihat pada:
KUHP Bab XIX Pasal 229,346 s/d 349:
Pasal 229: Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang perempuan atau menyuruhnya
supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu
hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau
denda paling banyak tiga ribu rupiah.
Pasal 346: Seorang perempuan yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
Pasal 347:
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
perempuan tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama duabelas
tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, diancam dengan pidana
penjara paling lama limabelas tahun.
Pasal 348:
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
perempuan dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, diancam dengan pidana
penjara tujuh tahun.
Pasal 349: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam pasal 347
& 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga &
dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
Dari rumusan pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Seorang perempuan hamil yang dengan sengaja melakukan aborsi atau ia menyuruh orang
lain, diancam hukuman empat tahun penjara.
2. Seseorang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil dengan tanpa
persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, & jika ibu hamil tersebut
mati, diancam penjara 15 tahun penjara.
3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara & bila ibu
hamil tersebut mati diancam hukuman 7 tahun penjara.
4. Jika yang melakukan & atau membantu melakukan aborsi tersebut seorang dokter, bidan
atau juru obat ancaman hukumannya ditambah sepertiganya & hak untuk berpraktik dapat
dicabut.
5. Setiap janin yang dikandung sampai akhirnya nanti dilahirkan berhak untuk hidup serta
mempertahankan hidupnya.

UU HAM, pasal 53 ayat 1(1): Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup & meningkatkan taraf kehidupannya.

UU Kesehatan:
Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat
bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di
luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan
yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir,
kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung
jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada penjelasan UU Kesehatan pasal 77 dinyatakan sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung
jawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan perempuan yang
bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak profesional, tanpa mengikuti
standar profesi dan pelayanan yang
berlaku, diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalan materi dari pada indikasi medis.
Namun sayangnya didalam UU Kesehatan ini belum disinggung soal masalah kehamilan
akibat hubungan seks komersial yang menimpa pekerja seks komersial.
(3) Dalam peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari pasal ini dijabarkan antara lain
mengenai keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian & kewenangan bentuk persetujuan, sarana kesehatan
yang ditunjuk.

UU Penghapusan KDRT, pasal 10 mengenai hak-hak korban pada butir (b): Korban berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
Di sini dicoba disimpulkan sesuatu & mempunyai persepsi dari pernyataan butir-butir pasal
UU KDRT sebelumnya yang saling berkaitan:
1. Pasal 2(a): Lingkup rumah tangga ini meliputi: Suami, isteri, anak.
2. Pasal 5: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang
dalam lingkup rumahtangganya dengan cara:
a. Kekerasan fisik
b. Kekerasan psikis
c. Kekerasan seksual
d. Penelantaran rumah tangga
3. Pasal 8(a): Kekerasan seksual meliputi:
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut.
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu.
Dalam UU ini memang tidak disebutkan secara tegas apa yang dimaksud dengan pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis pada pasal 10, namun apabila dikaitkan dengan
kekerasan seksual yang berefek pada kehamilan yang tidak diinginkan, maka korban
diasumsikan dapat meminta hak atas pelayanan medis untuk mengakhiri kehamilannya,
karena secara medis, korban akan mengalami stres ataupun depresi, & bukan tidak mungkin
akan menjadi sakit jiwa apabila kehamilan tersebut diteruskan.
Dari uraian penyebab inilah mungkin didapatkan gambaran mengenai penggolongan aborsi
yang akan dilakukan. Pada butir ke-5 sudah jelas dapat digolongkan pada aborsi terapetikus,
sesuai dengan UU Kesehatan tentang tindakan medis tertentu yang harus diambil terhadap
ibu hamil demi untuk menyelamatkan nyawa ibu. Butir ke-2 & 3, mungkin para ahli
kesehatan & ahli hukum dapat memahami alasan aborsi karena merupakan hal-hal yang di
luar kemampuan ibu, dimana pada butir ke 2, apabila bayi dibiarkan hidup, mungkin akan
menjadi beban keluarga serta kurang baiknya masa depan anak itu sendiri. Namun keadaan
ini bertetangan dengan UU HAM pasal 53 mengenai hak hidup anak dari mulai janin sampai
dilahirkan, & pasal 54 mengenai hak untuk mendapatkan perawatan, pendidikan, pelatihan &
bantuan khusus atas biaya negara bagi setiap anak yang cacat fisik & mental. Pada butir ke 3,
kemungkinan besar bayi tidak akan mendapatkan kasih sayang yang layak, bahkan mungkin
akan diterlantarkan ataupun dibuang, yang bertentangan dengan UU Kesehatan pasal 4
tentang perlindungan anak mengenai hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang &
berpartisipasi secara wajar sesuai dgn harkat & martabat kemanusiaan. Sedangkan bagi ibu
yang merupakan korban pemerkosaan itu sendiri, hal ini merupakan keputusan yang kurang
adil apabila kehamilan akibat perkosaan itu dilanjutkan, karena dia sendiri adalah korban
suatu kejahatan, & pasti akan merupakan suatu beban psikologis yang berat. Sedangkan pada
butir 1, 4, & 6, jelas terlihat adalah kehamilan diakibatkan oleh terjadinya hubungan seks
bebas, yang apabila dilakukan tindakan aborsi, dapat digolongkan pada aborsi provokatus
kriminalis bertentangan dengan KUHP Pasal 346-349 & UU Kesehatan pasal 133 tentang
perlindungan anak.
Dari penjelasan tersebut, didapatkan gambaran mengenai aborsi legal & ilegal. aborsi
provokatus/buatan legal yaitu aborsi buatan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan
sebagaimana diatur dalam UU Kesehatan, yaitu memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Berdasarkan indikasi medis yang kuat yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian & kewenangan;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami ataupun keluarganya;
d. Pada sarana kesehatan tertentu.
Setiap dokter pada waktu baru lulus bersumpah untuk menghormati hidup mulai sejak saat
pembuahan, karena itu hendaknya para dokter agar selalu menjaga sumpah jabatan & kode
etik profesi dalam melakukan pekerjaannya. Namun pada kehidupan sehari-hari, banyak
faktor-faktor yang berperan, seperti rasa kasihan pada perempuan yang mengalami kehamilan
yang tidak diinginkan, faktor kemudahan mendapatkan uang dari praktik aborsi yang
memakan biaya tidak sedikit ataupun faktor-faktor lainnya.
Sejak abad 5 SM, Hipokrates sudah bersumpah antara lain bahwa ia tidak akan memberikan
obat kepada seorang perempuan untuk menggugurkan kandungannya. Sumpah itu kemudian
kemudian menjadi dasar bagi sumpah dokter sampai sekarang. Pernyataan Geneva yang
dirumuskan pada tahun 1984 & memuat sumpah dokter antara lain menyatakan bahwa para
dokter akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan. Pernyataan itu
juga termuat dalam sumpah dokter Indonesia yang dirumuskan dalam PP no.26/1960. Sikap
para dokter se-dunia terhadap pengguguran terutama dirumuskan dalam Pernyataan Oslo
pada tahun 1970, yang terutama menyoroti hal pengguguran berdasarkan indikasi medis.
Rumusan itu berbunyi sebagai berikut:
1. Prinsip moral dasar yang menjiwai seorang dokter ialah rasa hormat terhadap kehidupan
manusia sebagaimana diungkapkan dalam sebuah pasal Pernyataan Geneva: Saya akan
menjujung tinggi rasa hormat terhadap hidup insani sejak saat pembuahan.
2. Keadaan yang menimbulkan pertentangan antara kepentingan vital seorang ibu &
kepentingan vital anaknya yang belum dilahirkan ini menciptakan suatu dilema &
menimbulkan pertanyaan: Apakah kehamilan ini harusnya diakhiri dengan sengaja atau
tidak?
3. Perbedaan jawaban atas keadaan ini dikarenakan adanya perbedaan sikap terhadap hidup
bayi yang belum dilahirkan. Perbedaan sikap ini adalah soal keyakinan pribadi & hati nurani
yang harus dihormati.
4. Bukanlah tugas profesi kedokteran untuk menentukan sikap & peraturan negara atau
masyarakat manapun dalam hal ini, tetapi justru adalah kewajiban semua pihak
mengusahakan perlindungan bagi pasien-pasien & melindungi hak dokter di tengah
masyarakat.
5. Oleh sebab itu di mana hukum memperbolehkan pelaksanaan pengguguran terapetis, atau
pembuatan UU ke arah itu sedang dipikirkan, & hal ini tidak bertentangan dengan
kebijaksanaan dari ikatan dokter nasional, serta dimana dewan pembuat undang-undang itu
ingin atau mau mendengarkan petunjuk dari profesi medis, maka prinsip-prinsip berikut ini
diakui:
a. Pengguguran hendaklah dilakukan hanya sebagai suatu tindakan terapetis.
b. Suatu keputusan untuk menghentikan kehamilan seyogyanya sedapat mungkin disetujui
secara tertulis oleh dua orang dokter yang dipilih berkat kompetensi profesional mereka.
c. Prosedur itu hendaklah dilakukan oleh seorang dokter yang kompeten dalam instalasi-
instalasi yang disetujui oleh suatu otoritas yang sah.
d. Jika seorang dokter merasa bahwa keyakinan hati nuraninya tidak mengizinkan dirinya
menganjurkan atau melakukan pengguguran, ia berhak mengundurkan diri & menyerahkan
kelangsungan pengurusan medis kepada koleganya yang kompeten.
6. Meskipun pernyataan ini didukung oleh General Assembly of The World Medical
Association, namun tidak perlu dipandang sebagai mengikat ikatan-ikatan yang menjadi
anggota, kecuali kalau hal itu diterima oleh ikatan itu.
Karenanya dihimbau bagi para dokter ataupun tenaga kesehatan lainnya agar:
1. Tindakan aborsi hanya dilakukan sebagai suatu tindakan terapeutik.
2. Suatu keputusan untuk menghentikan kehamilan, sedapat mungkin disetujui secara tertulis
oleh minimal dua orang dokter yang kompeten & berwenang.
3. Prosedur tersebut hendaknya dilakukan oleh seorang dokter yang kompeten di instansi
kesehatan tertententu yang diakui oleh suatu otoritas yang sah.
4. Jika dokter tersebut merasa bahwa hati nuraninya tidak sanggup melakukan tindakan
pengguguran, maka hendaknya ia mengundurkan diri serta menyerahkan pelaksanaan
tindakan medis ini pada teman sejawat lainnya yang juga kompeten .
5. Selain memahami & menghayati sumpah profesi & kode etik, para dokter & tenaga
kesehatan juga perlu meningkatkan pemahaman agama yang dianutnya.
Pada beberapa negara seperti Singapura, Cina, & Tunisia, aborsi dilegalkan oleh
pemerintahnya masing-masing dengan tujuan untuk membatasi pertumbuhan guna
meningkatkan kesejahteraan. Negara Swedia, Inggris, & Italia atas dasar sosiomedik,
sedangkan di Jepang atas dasar sosial.

Untuk masyarakat agar dihimbau untuk:


1. Sedapat mungkin menghindari hubungan suami isteri pada pasangan yang tidak/belum
menikah.
2. Bagi para suami isteri yang tidak merencanakan untuk menambah jumlah anak, agar
mengikuti program KB.
3. Bagi para pekerja seks komersial agar selalu menggunakan kondom pada saat melakukan
hubungan intim dengan pelanggannya.
4. Meningkatkan pengetahuan agama agar selalu terhindar dari perbuatan yang dilarang oleh
agamanya.
5. Menuntut pada pemerintah agar memberikan tindakan hukuman yang seberat-beratnya
bagi para pemerkosa ataupun pelaku tindakan pelecehan/kekerasan seksual lainnya, agar para
kriminal maupun calon pelaku kriminal ini berpikir panjang untuk melakukan tindakan-
tindakan tersebut.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah kiranya ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. aborsi secara umum dibagi atas aborsi spontan & aborsi provokatus (buatan). Aborsi
provokatus (buatan) secara aspek hukum dapat golongkan menjadi dua, yaitu aborsi
provokatus terapetikus (buatan legal) & aborsi provokatus kriminalis (buatan ilegal).
2. Dalam perundang-undangan Indonesia, pengaturan tentang aborsi terdapat dalam dua
undang-undang yaitu KUHP & UU Kesehatan.
3. Dalam KUHP & UU Kesehatan diatur ancaman hukuman melakukan aborsi (pengguguran
kandungan, tidak disebutkan soal jenis aborsinya), sedangkan aborsi buatan legal (terapetikus
atau medisinalis), diatur dalam UU Kesehatan.
4. Penghayatan & pengamalan sumpah profesi & kode etik masing-masing tenaga kesehatan,
secara tidak langsung dapat mengurangi terjadinya aborsi buatan ilegal, lebih lagi jika diikuti
dengan pendalaman & pemahaman ajaran agama masing-masing.
(c)Hukum-Kesehatan.web.id
MAKALAH KASUS ABORTUS DALAM ETIKA PERAWATAN MATERNITAS
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asuhan keperawatan maternitas dan perinatal sering menimbulkan lebih banyak pertanyaan
etik dan hukum kepada perawat dibandingkan area asuhan keperawatan lain. Perawat maternitas
dan perinatal memerikan pelayanan dan keperawatan yang luas untuk klien diberbagai lingkungan
praktik yang berbeda. Perawat ini dihadapkan dengan isu seputar kelahiran, kehidupan, kematian
dan kemampuan untuk menjalani kehidupan sehari- hari. Hal yang penting dalam isu ini adalah
keterlibatan dua klien, ibu dan janin atau bayi baru lahir.

Perawat profesional harus menghadapi tanggung jawab etik dan konflik yang mungkin
meraka alami sebagai akibat dari hubungan mereka dalam praktik profesional. Kemajuan dalam
bidang kedokteran, hak klien, perubahan sosial dan hukum telah berperan dalam peningkatan
perhatian terhadap etik.

Standart perilaku perawat ditetapkan dalam kode etik yang disusun oleh asosiasi
keperawatan internasional, nasional, dan negera bagian atau provinsi. Perawat harus mampu
menerapkan prinsip etik dalam pengambilan keputusan dan mencakup nilai dan keyakinan dari
klien, profesi, perawat, dan semua pihak yang terlibat. Perawat memiliki tanggung jawab untuk
melindungi hak klien dengan bertindak sebagai advokat klien.Keperawatan sebagai suatu profesi
harus memiliki suatu landasan dan lindungan yang jelas. Para perawat harus tahu berbagai konsep
hukum yang berkaitan dengan praktik keperawatan karena mereka mempunyai akuntabilitas
terhadap keputusan dan tindakan profesional yang mereka lakukan.

Secara umum terdapat dua alasan terhadap pentingnya para perawat tahu tentang hukum
yang mengatur praktiknya. Alasan pertama untuk memberikan kepastian bahwa keputusan dan
tindakan perawat yang dilakukan konsisten dengan prinsip-prinsip hukum. Kedua, untuk melindungi
perawat dari liabilitas.Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang etik dan hukum dalam
keperawatan

B. Tujuan

a. Mengetahui pengertian Abortus


b. Mengetahui Pertimbangan Etik dan Hukum dalam Aborsi
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Etik
Etik merupakan prinsip prilaku yang mengarahkan hubungan seseorang dengan orang lain.
Etik merupakan keyakinan dasar tentang nilai- nilai yang benar dan salah menyediakan sebuah
kerangka untuk pengambilan keputusan dan tindakan. Misalnya, etik menyediakan dasar untuk
memutuskan apakah seseorang harus pergi keja atau tidak dipagi hari. Tidak ada aturan dalam
situasi seperti itu sehingga keputusan pribadi harus seperti itu sehingga keputusan pribadi harus
dibuat untuk melakukan apa yang benar.
Seseorang dapat berpura- pura sakit dan tinggal dirumah; namun, rekan sejawat, para
sahabat, akan sepakat bahwa pura- pura sakit adalah tingkah laku yang tidak pantas. Terlebih lagi,
seseorang atasan memiliki hak untuk mencatat bawahannya jika hal seperti itu terjadi berulang-
ulang. Kadang- kala muncul situasi yang mengharuskan pengambilan keputusan, tetapi tidak ada
satupun solusi yang tampaknya benar- benar memuaskan. Sebuah dilema etik muncul. Muncul lebih
dari satu solusi; mungkin solusi tersebut saling bertentangan. Satu atau seluruh solusi yang mungkin
tidak disukai. Keputusan etik memiliki konsekuensi terhadap diri seseorang dan orang lain (Ellis et
al., 1995).
Ahli filosofi moral telah mengidentifikasi tiga perinsip etik yang mendasari penilaian moral
dan pengambilan keputusan etik. Ketiga prinsip ini adalah beneficience, menghargai otonom,
dankeadilan (Good Et all., 1993; kontak 5-1). Perawat perlu memprhatikan ketiga perinsip tersebut
saat mengambil keputusan etik mengenai ksejahteraan kliennya.
Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu ethos yang berarti adat istiadat/ kebiasaan
yang baik. Etika sendiri adalah Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk,tentang hak dan
kewajiban moral. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) Etika adalah nilai mengenai benar
dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Sedangkan menurut Maryani & Ludigdo (2001) Etika adalah seperangkat aturan atau norma
atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus
ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi
1. Fungsi Etika
a. Sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan berbagai moralitas yang
membingungkan.
b. Etika ingin menampilkanketrampilan intelektual yaituketrampilan untuk berargumentasi secara
rasional dan kritis.
c. Orientasi etis ini diperlukan dalam mengabil sikapyang wajar dalam suasana pluralism
2. Macam-Macam Etika
a. ETIKA DESKRIPTIF, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku
manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika
Deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap
yang mau diambil.
b. ETIKA NORMATIF, yaitu etika yang mengajarkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang
seharusnya dimiliki oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Etika Normatif juga memberi
penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan dilakukan.
Secara umum etika dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

a. Etika Umum, mengajarkan tentang kondisi-kondisi & dasar-dasar bagaimana seharusnya manusia
bertindak secara etis, bagaimana pula manusia bersikap etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip
moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolok ukur dalam menilai
baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat pula dianalogkan dengan ilmu pengetahuan,
yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori etika.
b. Etika Khusus, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan.
Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana seseorang bersikap dan bertindak dalam kehidupannya
dan kegiatan profesi khusus yang dilandasi dengan etika moral. Namun, penerapan itu dapat juga
berwujud Bagaimana manusia bersikap atau melakukan tindakan dalam kehidupan terhadap
sesama. Etika Khusus dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1) Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
2) Etika sosial, yaitu mengenai sikap dan kewajiban, serta pola perilaku manusia sebagai anggota
bermasyarakat. Etika sosial meliputi banyak bidang, antara lain :
a) Sikap terhadap sesama

b) Etika keluarga

c) Etika profesi misalnya etika untuk pustakawan, arsiparis,dokumentalis, pialang informasi.

d) Etika politik

e) Etika lingkungan
f) Etika idiologi adalah filsafat atau pemikiran kritisrasional tentang ajaran moral sedangka moral
adalahajaran baik buruk yang diterima umum mengenaiperbuatan, sikap, kewajiban dsb. Etika selalu
dikaitkandengan moral serta harus dipahami perbedaan antaraetika dengan moralitas.

B. Hukum
Hukum adalah peraturan perilaku atau tindakan yang dikenal mengikat atau ditegakkan oleh
pihak berwenang, seperti pemerintah lokal, negara bagian, atau nasional. Hukum dirancang untuk
mencegah tindakan satu pihak yang mengganggu pihak- pihak lain. Seluruh hukum pada dasarnya
berasal dari hukum dasar, kecendrungan pembawaan lahir manusia untuk melakukan hal yang baik
dan menghindari hal yang buruk. Pemerintah Federal Amerika Serikat dan ngara- negara bagiannya
memegang konstitusi untuk membuat dan menegakkan hukum.
Sistem hukum menyusun pedoman, bukan menetapkan peraturan yang kaku untuk praktik.
Semua hukum, tidak peduli asal usulnya, adalah subyek terhadap perubahan dan interprestasi. Ellis
et al. (1995) menyatakan bahwa etik dan hukum dapat berjalan berdampingan dan saling
mendukung. Jika, seseorang individu memilih untuk mencuri uang dari majikannya, prilaku tersebut
bukan saja tidak etis, tetapi juga melanggar hukum. Banyak hukum ditulisuntuk menyediakan
sebuah dasar untuk menegakan prinsip etik yang dianggap perlu untuk kesejahteraan sebagaian
besar masyarakat.

C. Hubungan Antar Etik dan Hukum


Etik mungkin membahas tentang pertanyan yang berbeda dari hukum. Sebagai contoh
datang ketempat kerja sesuai dengan yang diharapkan tidak diperintah oleh hukum walaupun
kebanyakan orang memiliki pandangan yang sama pada situasi seperti ini. Meskipun demikian,
kadang- kadang individu menemukan bahwa hukum dan keyakinan etik mereka berbeda. Contohnya
adalah seseorang tentara yang dituntut membunuh musuhnya dalam peperangan. Seluruh negara
menganggap hal tersebut sah secara hukum, tetapi sebagian orang memiliki syarat etik dan
menetapkan keberatan yang besar jika diberikan kesediaannya dalam berperang. Individu semacam
ini sering sering diberi tugas untuk tidak berperang walaupun mereka berada dizona perang. Contoh
dalam keperawatan adalah seorang perawat yang menolak membantu aborsi karena merasa tidak
etis mengambil nyawa janin. Perawat semacam ini mungkin diberi tugas lain yang tidak memiliki
pertentangan antara etika pribadi dengan kegiatan dan hukum yang berlaku.
Para penulis dibidang etik menyimpulkan bahwa tidak semua pilihan atau masalah bersifat
etis (Ellis et al., 1995, Busy et al., 1989). Mereka menguraikan beberapa karakteristik yang membuat
masalah etik menjadi unik :
1. Masalah tidak dapat seluruhnya dipecahkan dari data empiris; misalnya haruskah
orang yang sehat dipaksa untuk mendonorkan organ tubuhnya keseseorang yang akan mati jika
tidak mendapat donor organ tersebut ? jelas, ilmu pengetahuan apapun tidak akan dapat menjawab
pertanyaan ini dengan pasti. Beragam ilmu pengetahuan dan rasa kemanuasiaan dapat memberikan
informasi, tetapi jawabannya berada diluar disiplin ilmu.

2. Masalah bersifat membingungkan. Terdapat konfik dan ketidakpastian tentang jumlah dan jenis
informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan. Jika bayi yang baru lahir memiliki anomali
kongenital mulipel yang dapat diperbaiki, tetapi memiliki penyimpangan kromosom yang pada
akhirnya menyebabkan kematian pada usia dini, haruskah dilakukan upaya yang agresif untuk
membutnya tetap hidup selama mungkin walaupun upaya tersebut dapat menyebabkan sakit dan
penderitaan bagi orang tua dan bayi tersebut ?

3. Jawaban atas maslah etik akan sangat besar hubungannya dengan bberapa bidang yang menjadi
perhatian manusi. Keputusan tersebut akan sangat luas pengaruhnya pada persepsi seseorang
terhadap orang lain, hubungan sesama manusia, hubungan mereka dengan masyarakat, dan
hubungan berbagai masyarakat dan dunia luas. Jika misalnya, dibuat keputusan untuk memaksa
seseorang mendonorkan bagian salah satu anggota tubuhnya ke seseorang anggota keluarga,
keputusan tersebut berdasarkan pada beberapa premis dan asumsi (yang mungkin tidak dimiliki oleh
seluruh masyarakat): Hak seseorang akan integritas tubuhnya mungkin dilanggar jika orang lain
hendak mengambil hak orang lain hendak, mengambil keuntungan darinya , hak manusia untuk
hidup mencakup hak untuk mengharuskan orang lain untuk menjalankan operasi yang menyakitkan
dengan hasil kehilangan bagian tubuh secara permanen dan kerusakan integritas tubuh secara
umum, dan profesional kesehatan dan orang lain yang berwenang dapat mendesak atau memaksa
seseoranguntuk mengorbankan integritas tubuhnya demi kesejahteraan orang lain. Pilihan ini
melibatkan konsep hak asasi manusia, batasan- batas kebajikan, dan kekuasaan dari pihak yang
berwenang. Walaupun contoh tersebut dramatis, isu lain, hak wanita untuk mengkonsumsi obat-
obatan dan alkohol pada masa kehamilan atau berapa lama untuk memperpanjang hidup bayi baru
lahir yang mengalami gangguan yang tidak dapat disembuhkan, adalah kurang jelas. Perawat harus
menggunakan karakteristik tersebut saat menentukan apakah keputusan melibatkan suatu masalah
etik atau tidak.

D. Aspek Hukum pada Perawatan Maternitas dan Perinatal


Bidang maternitas dan perinatal terutama memiliki resiko tinggi untuk terjadinya malpraktik
dan kelalaian profesional karena beberapa alasan. Beberapa rumah sakit menghadapi krisis
keuangan sehingga mereka menerapkan pola staf yang tidak memadai, yang asangat berbahaya bagi
klien dan perawat. Selain itu, kemajuan teknologi untuk memantau ibu dan janin pada masa
prakonsepsi, konsep dan pasca konsepsi dan banyaknya pelaksaan teknik dan prosedur yang
menyebabkan resiko yang menghasilkan pengaruh iatrogenik yang dapat merusak ibu, janin atau
kedua- duanya, yang kadang- kadang ireversibel. Mungkin yang paling penting, kemungkinan adanya
du dua pegklaim di setiap kesukan yang terjadi di kedua ibu dan bayi sehingga menggandakan resiko
yng dimiliki perawat dan tenaga kesehatan lain (Ellis et al., 1995; Lederman et al., 1991).
BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengertian Abortus
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari
20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan
pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan.
Berdasarkan variasi berbagai batasan yang ada tentang usia / berat lahir janin viable (yang
mampu hidup di luar kandungan), akhirnya ditentukan suatu batasan abortus sebagai pengakhiran
kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 g atau usia kehamilan 20 minggu. (terakhir,
WHO/FIGO 1998 : 22 minggu)
Berdasarkan keadaan janin yang sudah dikeluarkan, abortus dibagi menjadi :
1. Abortus iminens, perdarahan pervaginam pada kehamilan kurang dari 20
minggu, tanpa ada tanda-tanda dilatasi serviks yang meningkat.
2. Abortus insipiens, bila perdarahan diikuuti dengan dilatasi serviks.
3. Abortus inkomplit, bila sudah sebagian jaringan janin dikeluarkan dari uterus.
Bila abortus inkomplit disertai infeksi genetalia disebut abortus infeksiosa
4. Abortus komplit, bila seluruh jaringan janin sudah keluar dari uterus
5. Missed abortion, kematian janin sebelum 20 minggu, tetapi tidak dikeluarkan
selama 8 minggu atau lebih.
Proses abortus dapat berlangsung spontan (suatu peristiwa patologis), atau artifisial /
terapeutik (suatu peristiwa untuk penatalaksanaan masalah / komplikasi).

Abortus spontan diduga disebabkan oleh :

1. kelainan kromosom (sebagian besar kasus)


2. infeksi (chlamydia, mycoplasma dsb)
3. gangguan endokrin (hipotiroidisme, diabetes mellitus)
4. oksidan (rokok, alkohol, radiasi dan toksin)

B. Pertimbangan Etik dan Hukum dalam Aborsi


Konflik saat ini, antara kelompok pro- pilihan (prochoice) dan pro kehidupan (profile) telah
menyulutkan api yang membangkitkan sekitar topik aborsi. Perawat harus mengerti posisi etik
mereka dalam masalah ini jika ingin memberikan keperawatan yang berkualitas kepada klien.
Perawat terlibat konseling pada klien tentang aborsi dari sudut pandang yang beragam, ulasan
singkat tentang pertimbangan etik dan hukum dijelaskan pada bagian selanjutnya.
1. Perkembangan Etik
Etika dalam masalah aborsi berkisar pada masalah mengakhiri kehidupan janin dengan cara
memindahkan janin dari sistem pendukung kehidupannya. Telah diperdebatkan bahwa apbila
manusia diberika sebuah pilihan, ia akan memilih kesehatan dan tidak akan mengalami penderitaan.
Lebih jauh, perdebatan berlanjut, manusia tudak memiliki hak untuk membebankan oleh akibat
tragis dari penyakit yang terdeteksi pada janin. Dengan menggugurkan janin yang cacat, ketiadaan
terjadi bukan penderiataan karena hidup dengan abnormalitas. Janin yang rusak dapat diganti
dengan yang normal pada kehamilan berikutnya. Walaupun alasan ini mendukung pengguguran
janin yang rusak, alasan ini tidak mebahas tindaka etika aborsi pada hasil konsepsi yang sehat (atau
tidak direncanakan). Hal ini juga menimbulkan masalah tentang siapa yang menetukan normal atau
sehat (cohen, 1990 ; Overall, 1990 ; Freda , 1994).
Pendukung kelompok pro- pilihan mengambil sikap bahwa ibu memiliki tanggung jawab pokok
dan kebebasan memilih atas apa yag terjadi pada tbuhnya. Kelompok pro- pilihan ini bukan
kelompok pro- aborsi. Pendukung kelompok pro- pilihan menekankan penggunaan aborsi hanya
untuk sebagai usaha terakhir. Meraka menjunjung tinggi nilai penggunaan kontasepsi, amniosintesis
untuk menentukan defek janin, dan adopsi jika memungkinkan. Pendukung kelompok pro kehidupan
percaya bahwa janin adalah manusia sejak konsepsi dan karena itu menghancurkan kehidupan
manusia adalah pembunuhan dan tidak dapat dipertahankan secara moral.
2. Pertimbangan Hukum
Pada tahun 1973, dalam kasus bersejarah Ros vs wade, Mahkamah Agung Amerika Serikat
memutuskan bahwa aborsi adalah tindakan yang sah di Amerika serikat. Keputrusan tersebut
membuat hukum- hukum negara bagian yang melarang aborsi menjadi tidak berlaku karena hukum-
hukum semacam itu menyerang privasi ibu (Annas, 1986). Keputusan tersebut juga menetapkan
beberapa point lain sebagai berikut.
a. Negara bagian tidak dapat mencegah sorang wanita untuk melakukan aborsi setiap saat pada
trisemester pertama yang dilakukan oleh dokter yang memiliki izin.
b. Negara bagian dapat mengatur dan bahkan melarang aborsi pada trisemester ke tiga, kecuali jika
kehidupan atau keselamatan ibu terancam.
c. Negara bagian memiliki hak untuk memberi perlindungan terhadap janin pada trisemester terakhir.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu ethos yang berarti adat istiadat/ kebiasaan yang
baik. Etika sendiri adalah Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk,tentang hak dan kewajiban
moral. Hukum merupakan peraturan-peraturan hidup didalam masyarakat yang dapat memaksa
orang supaya mentaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sangsi yang tegas (berupa
hukuman) terhadap siapa yang tidak mau patuh mentaatinya.
Aborsi dapat dibenarkan sccara hukum apabila dilakukan dengan adanya pertimbangan
medis. Tanggung jawab (responsibility) merupakan penerapan ketentuan hukum terhadap tugas-
tugas yang berhubungan dengan peran tertentu dari perawat, agar tetap kompeten dalam
pengetahuan, sikap dan bekerja sesuai kode etik. Abortus hanya dipraktikkan dalam klinik atau
fasilitas kesehatan yang ditunjuk oleh pemerintah dan organisaso-organisasi profesi medis. Aborsi
hanya dilakukan oleh tenaga profesional yang terdaftar dan memperoleh izin untuk itu, yaitu dokter
spesialis kebidanan dan genekologi atau dokter umum yang mempunyai kualifikasi untuk itu.
.
B. Saran
Kesadaran perawat akan pentingnya mempelajari hukum, sangat diperlukan. Tidak hanya
untuk perlindungan untuk perawat itu sendiri dalam melaksanakan tugas, akan tetapi juga
masyarakat pada umunya. Perawat yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan koridor hokum, akan
menjamin keamanan dalam bidang hokum bagi perawat dan juga pasien. Penting untuk perawat
melaksanakan tugasnya sesuai dengan etika keperawatan, mengetahuai hak dan kewajiban, peran
dan fungsi, tanggung jawab dan tanggung gugat.
Hendaknya mahasiswa dapat benar-benar memahami dan mewujud nyatakan peran perawat
yang legal etis dalam pengambilan keputusan dalam konteks etika keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

http://nersrezasyahbandi.blogspot.com/2013/08/pertimbangan-etik-dan-hukum-dalam.htm

http://4syamm.wordpress.com/2010/12/01/etika-keperawatan

http://www.aborsi.org/resiko.htm.

Anda mungkin juga menyukai