Anda di halaman 1dari 11

https://lavendina.wordpress.

com/2010/09/26/as
pek-hukum-aborsi-bayi-tabung-dan-adopsi/

ASPEK HUKUM ABORSI, BAYI TABUNG


DAN ADOPSI
Posted September 26, 2010 by lavendina in Uncategorized. Tinggalkan sebuah Komentar

KERANGKA KONSEP
1. Aborsi
Gugur kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) adalah berhentinya kehamilan
sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir
selamat (hidup) sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah
kelahiran prematur. (Wikipedia, 2009)
Abortus provokatus merupakan jenis abortus yang sengaja dibuat/dilakukan, yaitu dengan
cara menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu. Pada umumnya
bayi dianggap belum dapat hidup diluar kandungan apabila usia kehamilan belum mencapai
28 minggu, atau berat badan bayi kurang dari 1000 gram, walaupun terdapat beberapa
kasus bayi dengan berat dibawah 1000 gram dapat terus hidup.
Abortus Provokatus Medisinalis/Artificialis/Therapeuticus.
Merupakan abortus yang dilakukan dengan disertai indikasi medik. Di Indonesia yang
dimaksud dengan indikasi medik adalah demi menyelamatkan nyawa ibu. Syarat-syaratnya:
1. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukannya (yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan) sesuai
dengan tanggung jawab profesi.
2. Harus meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum, psikologi).
3. Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.
4. Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai, yang
ditunjuk oleh pemerintah.
5. Prosedur tidak dirahasiakan.
6. Dokumen medik harus lengkap.
Alasan-alasan untuk melakukan tindakan abortus medisinalis :
1. Abortus yang mengancam (threatened abortion) disertai dengan perdarahan yang
terus menerus, atau jika janin telah meninggal (missed abortion).
2. Mola Hidatidosa atau hidramnion akut.
3. Infeksi uterus akibat tindakan abortus kriminalis.
4. Penyakit keganasan pada saluran jalan lahir, misalnya kanker serviks atau jika dengan
adanya kehamilan akan menghalangi pengobatan untuk penyakit keganasan lainnya
pada tubuh seperti kanker payudara.
5. Prolaps uterus gravid yang tidak bisa diatasi.
6. Telah berulang kali mengalami operasi caesar.
7. Penyakit-penyakit dari ibu yang sedang mengandung, misalnya penyakit
jantung organik dengan kegagalan jantung, hipertensi, nephritis, tuberkulosis paru
aktif, toksemia gravidarum yang berat.
8. Penyakit-penyakit metabolik, misalnya diabetes yang tidak terkontrol yang
disertaikomplikasi vaskuler, hipertiroid, dan lain-lain.
9. Epilepsi, sklerosis yang luas dan berat.
10. Hiperemesis gravidarum yang berat, dan chorea gravidarum.
11. Gangguan jiwa, disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri. Pada kasus seperti
ini, sebelum melakukan tindakan abortus harus dikonsultasikan dengan psikiater.
Abortus Provokatus Kriminalis
Merupakan aborsi yang sengaja dilakukan tanpa adanya indikasi medik (ilegal). Biasanya
pengguguran dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau obat-obat tertentu. Aborsi
provokatus kriminalis adalah pengguguran kandungan yang tujuannya selain untuk
menyelamatkan/mengobati ibu, dilakukan oleh tenaga medis/non-medis yang tidak
kompeten, serta tidak memenuhi syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh peraturan
perundangan. Biasanya di dalamnya mengandung unsur kriminal atau kejahatan.
Alasan-alasan melakukan abortus provokatus kriminalis :
1. Alasan kesehatan, di mana ibu tidak cukup sehat untuk hamil.
2. Alasan psikososial, di mana ibu sendiri sudah enggan/tidak mau untuk punya anak
lagi.
3. Kehamilan di luar nikah.
4. Masalah ekonomi, menambah anak berarti akan menambah beban ekonomi keluarga.
5. Masalah sosial, misalnya khawatir adanya penyakit turunan, janin cacat.
6. Kehamilan yang terjadi akibat perkosaan atau akibat incest (hubungan antar keluarga).
7. Selain itu tidak bisa dilupakan juga bahwa kegagalan kontrasepsi juga termasuk
tindakan kehamilan yang tidak diinginkan.
Dari banyaknya penyebab permasalahan aborsi di atas, semua pihak dihadapkan pada
adanya pertentangan baik secara moral dan kemasyarakatan di satu sisi maupun dengan
secara agama dan hukum di lain sisi. Dari sisi moral dan kemasyarakatan, sulit untuk
membiarkan seorang ibu yang harus merawat kehamilan yang tidak diinginkan terutama
karena hasil pemerkosaan, hasil hubungan seks komersial (dengan pekerja seks komersial)
maupun ibu yang mengetahui bahwa janin yang dikandungnya mempunyai cacat fisik yang
berat. Anak yang dilahirkan dalam kondisi dan lingkungan seperti ini nantinya
kemungkinan besar akan tersingkir dari kehidupan sosial kemasyarakatan yang normal,
kurang mendapat perlindungan dan kasih sayang yang seharusnya didapatkan oleh anak
yang tumbuh dan besar dalam lingkungan yang wajar, dan tidak tertutup kemungkinan akan
menjadi sampah masyarakat.
Di samping itu, banyak perempuan merasa mempunyai hak atas mengontrol tubuhnya
sendiri. Di sisi lain, dari segi ajaran agama, agama manapun tidak akan memperbolehkan
manusia melakukan tindakan penghentian kehamilan dengan alasan apapun. Sedangkan
dari segi hukum, masih ada perdebatan-perdebatan dan pertentangan dari yang pro dan
yang kontra soal persepsi atau pemahaman mengenai undang-undang yang ada sampai saat
ini. Baik dari UU kesehatan, UU praktik kedokteran, kitab undang-undang hukum pidana
(KUHP), UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan UU hak azasi
manusia (HAM). Keadaan seperti di atas inilah dengan begitu banyak permasalahan yang
kompleks yang membuat banyak timbul praktik aborsi gelap, yang dilakukan baik oleh
tenaga medis formal maupun tenaga medis informal. Baik yang sesuai dengan standar
operasional medis maupun yang tidak, yang kemudian menimbulkan komplikasi –
komplikasi dari mulai ringan sampai yang menimbulkan kematian.
2. Bayi Tabung
Bayi tabung atau pembuahan in vitro (bahasa Inggris: in vitro fertilisation) adalah sebuah
teknikpembuahan dimana sel telur (ovum) dibuahi di luar tubuh wanita. Bayi tabung adalah
salah satu metode untuk mengatasi masalah kesuburan ketika metode lainnya tidak berhasil.
Prosesnya terdiri dari mengendalikan proses ovulasi secara hormonal, pemindahan sel telur
dari ovariumdan pembuahan oleh sel sperma dalam sebuah medium cair.
Dalam melakukan fertilisasi-in-virto transfer embrio dilakukan dalam tujuh tingkatan dasar
yang dilakukan oleh petugas medis, yaitu :
1. Istri diberi obat pemicu ovulasi yang berfungsi untuk merangsang indung telur
mengeluarkan sel telur yang diberikan setiap hari sejak permulaan haid dan baru
dihentikan setelah sel-sel telurnya matang.
2. Pematangan sel-sel telur sipantau setiap hari melalui pemeriksaan darah Istri dan
pemeriksaan ultrasonografi.
3. Pengambilan sel telur dilakukan dengan penusukan jarum (pungsi) melalui vagina
dengan tuntunan ultrasonografi.
4. Setelah dikeluarkan beberapa sel telur, kemudian sel telur tersebut dibuahi dengan sel
sperma suaminya yang telah diproses sebelumnya dan dipilih yang terbaik.
5. Sel telur dan sperma yang sudah dipertemukan di dalam tabung petri kemudian
dibiakkan di dalam lemari pengeram. Pemantauan dilakukan 18-20 jam kemudian dan
keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembuahan sel
6. Embrio yang berada dalam tingkat pembelahan sel ini. Kemudian diimplantasikan ke
dalam rahim istri. Pada periode ini tinggal menunggu terjadinya kehamilan.
7. Jika dalam waktu 14 hari setelah embrio diimplantasikan tidak terjadi menstruasi,
dilakukan pemeriksaan air kemih untuk kehamilan, dan seminggu kemudian
dipastikan dengan pemeriksaan ultrasonografi.
Pelayanan terhadap bayi tabung dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah fertilisasi-
in-vitro yang memiliki pengertian sebagai berikut : Fertilisasi-in-vitro adalah pembuahan sel
telur oleh sel sperma di dalam tabung petri yang dilakukan oleh petugas medis. Inseminasi
buatan pada manusia sebagai suatu teknologi reproduksi berupa teknik menempatkan
sperma di dalam vagina wanita, pertama kali berhasil dipraktekkan pada tahun 1970. Awal
berkembangnya inseminasi buatan bermula dari ditemukannya teknik pengawetan sperma.
Sperma bisa bertahan hidup lama bila dibungkus dalam gliserol yang dibenamkan dalam
cairan nitrogen pada temperatur -321 derajat Fahrenheit.
Pada mulanya program pelayanan ini bertujuan untuk menolong pasangan suami istri yang
tidak mungkin memiliki keturunan secara alamiah disebabkan tuba falopii istrinya
mengalami kerusakan yang permanen. Namun kemudian mulai ada perkembangan dimana
kemudian program ini diterapkan pula pada pasutri yang memiliki penyakit atau kelainan
lainnya yang menyebabkan tidak dimungkinkan untuk memperoleh keturunan.
Otto Soemarwoto dalam bukunya “Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global” dengan
tambahan dan keterangan dari Drs. Muhammad Djumhana, S.H., menyatakan bahwa bayi
tabung pada satu pihak merupakan hikmah. Ia dapat membantu pasangan suami istri yang
subur tetapi karena suatu gangguan pada organ reproduksi, mereka tidak dapat mempunyai
anak. Dalam kasus ini, sel telur istri dan sperma suami dipertemukan di luar tubuh dan zigot
yang terjadi ditanam dalam kandungan istri. Dalam hal ini kiranya tidak ada pendapat pro
dan kontra terhadap bayi yang lahir karena merupakan keturunan genetik suami dan istri.
Akan tetapi seiring perkembangannya, mulai timbul persoalan dimana semula program ini
dapat diterima oleh semua pihak karena tujuannya yang “mulia” menjadi pertentangan.
Banyak pihak yang kontra dan pihak yang pro. Pihak yang pro dengan program ini sebagian
besar berasal dari dunia kedokteran dan mereka yang kontra berasal dari kalangan alim
ulama.
3. Adopsi
Adopsi diambil dari bahasa Inggris adoption yang berarti pengangkatan atau pemungutan.
Dalam hal ini adopsi berarti pengangkatan anak oleh seseorang atau keluarga yang
dikalukan untuk tujuan tertentu. Adopsi dapat dilakukan seseorang pada seorang anak, baik
saat masih bayi maupun sudah balita bahkan sudah remaja, namun umumnya dilakukan
pada saat si anak masih bayi.
Pada umumnya orang mengadopsi tidak memiliki surat resmi atau secara sah hukum telah
mengadopsi karena tidak tahu mengenai hokum dari adopsi sendiri, apalagi bila yang
diadopsi dalah anak dari saudara sendiri yang biasanya hanya dari keluarga saja yang tahu.
ASPEK HUKUM ABORSI, BAYI TABUNG DAN ADOPSI
A. Aspek Hukum Aborsi
Aspek hukum pada aborsi mengenai :
1. Wanita yang menggugurkan kandungan;
2. Orang lain yang menggugurkan kandungan si wanita (bisa dokter, atau tenaga medis
lainnya, dan juga dukun beranak, atau orang lain);
3. Orang lain yang membantu atau turut serta menggugurkan kandungan si wanita;
4. Orang yang menyuruh menggugurkan kandungan si wanita.
Faktor-faktor yang memengaruhi tindakan aborsi :
1. Faktor ekonomi, di mana dari pihak pasangan suami isteri yang sudah tidak mau
menambah anak lagi karena kesulitan biaya hidup, namun tidak memasang
kontrasepsi, atau dapat juga karena kontrasepsi yang gagal.
2. Faktor penyakit herediter, di mana ternyata pada ibu hamil yang sudah melakukan
pemeriksaan kehamilan mendapatkan kenyataan bahwa bayi yang dikandungnya cacat
secara fisik.
3. Faktor psikologis, di mana pada para perempuan korban pemerkosaan yang hamil
harus menanggung akibatnya. Dapat juga menimpa para perempuan korban hasil
hubungan saudara sedarah (incest), atau anak-anak perempuan oleh ayah kandung,
ayah tiri ataupun anggota keluarga dalam lingkup rumah tangganya.
4. Faktor usia, di mana para pasangan muda-mudi yang masih muda yang masih belum
dewasa & matang secara psikologis karena pihak perempuannya terlanjur hamil, harus
membangun suatu keluarga yang prematur.
5. Faktor penyakit ibu, di mana dalam perjalanan kehamilan ternyata berkembang
menjadi pencetus, seperti penyakit pre-eklampsia atau eklampsia yang mengancam
nyawa ibu.
6. Faktor lainnya, seperti para pekerja seks komersial, ‘perempuan simpanan’, pasangan
yang belum menikah dengan kehidupan seks bebas atau pasangan yang salah
satu/keduanya sudah bersuami/beristri (perselingkuhan) yang terlanjur hamil.
Di Indonesia adapun ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan soal aborsi dan
penyebabnya dapat dilihat pada:
1. 1. KUHP Bab XIX Pasal 229,346 s/d 349
1. Pasal 229: Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang perempuan atau
menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan,
bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu
rupiah.
2. Pasal 346: Seorang perempuan yang dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
3. Pasal 347:
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
perempuan tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama duabelas
tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, diancam dengan
pidana penjara paling lama limabelas tahun.
1. Pasal 348:
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
perempuan dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, diancam dengan pidana
penjara tujuh tahun.
1. Pasal 349: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam
pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana
kejahatan dilakukan.
2. Pasal 535 : Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana untuk
menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta
menawarkan, ataupun secara terang-terangn atau dengan menyiarkan tulisan tanpa
diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan yang demikian itu,
diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
Dari rumusan pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Seorang perempuan hamil yang dengan sengaja melakukan aborsi atau ia menyuruh
orang lain, diancam hukuman empat tahun penjara.
2. Seseorang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil dengan tanpa
persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, dan jika ibu hamil
tersebut mati, diancam penjara 15 tahun penjara.
3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara dan bila
ibu hamil tersebut mati diancam hukuman 7 tahun penjara.
4. Jika yang melakukan dan atau membantu melakukan aborsi tersebut seorang dokter,
bidan atau juru obat ancaman hukumannya ditambah sepertiganya dan hak untuk
berpraktik dapat dicabut.
5. Setiap janin yang dikandung sampai akhirnya nanti dilahirkan berhak untuk hidup
serta mempertahankan hidupnya.
Meskipun dalam KUHP tidak terdapat satu pasal pun yang memperbolehkan seorang dokter
melakukan abortus atas indikasi medik, sekalipun untuk menyelamatkan jiwa ibu, dalam
prakteknya dokter yang melakukannya tidak dihukum bila ia dapat mengemukakan alasan
yang kuat dan alasan tersebut diterima oleh hakim (Pasal 48).
1. 2. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan
1. a. Pasal 15 ayat 1 dan 2
1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau
janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
2) Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
1. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut.
2. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan
dilakukan sesuai dengan tanggungjawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim
ahli.
3. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.
4. Pada sarana kesehatan tertentu.
Pada penjelasan UU Kesehatan pasal 15 dinyatakan sebagai berikut:
1. Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun
dilarang, karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan
dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk
menyelamatkan jiwa ibu atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis
tertentu.
2. Butir a: Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil
tindakan medis tertentu, sebab tanpa tindakan medis tertentu itu ibu hamil dan
janinnya terancam bahaya maut.
Butir b: Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga
yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya, yaitu seorang dokter ahli
kebidanan dan penyakit kandungan.
Butir c: Hak utama untuk memberikan persetujuan (informed consent) ada pada ibu hamil
yang bersangkutan, kecuali dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan
persetujuannya, dapat diminta dari suami atau keluarganya.
Butir d: Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan
peralatan yang memadai untuk tindakan tersebut dan telah ditunjuk pemerintah.
Didalam UU Kesehatan ini belum disinggung soal masalah kehamilan akibat perkosaan,
akibat hubungan seks komersial yang menimpa pekerja seks komersial ataupun kehamilan
yang diketahui bahwa janin yang dikandung tersebut mempunyai cacat bawaan yang berat.
1. Dalam peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari pasal ini dijabarkan antara lain
mengenai keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan bentuk persetujuan, sarana
kesehatan yang ditunjuk.
2. b. Pasal 80
Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2),
dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
1. 3. UU HAM, pasal 53 ayat 1
Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya.
1. 4. UU Penghapusan KDRT
Pasal 10 mengenai hak-hak korban pada butir (b): Korban berhak mendapatkan pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
Di sini dicoba disimpulkan sesuatu dan mempunyai persepsi dari pernyataan butir-butir
pasal UU KDRT sebelumnya yang saling berkaitan:
1. Pasal 2(a): Lingkup rumah tangga ini meliputi: Suami, isteri, anak.
2. Pasal 5: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap
orang dalam lingkup rumahtangganya dengan cara:
1. Kekerasan fisik
2. Kekerasan psikis
3. Kekerasan seksual
4. Penelantaran rumah tangga
5. Pasal 8(a): Kekerasan seksual meliputi:
1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut.
2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan
tertentu.
Dalam UU ini memang tidak disebutkan secara tegas apa yang dimaksud dengan ‘pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis’ pada pasal 10, namun apabila dikaitkan dengan
kekerasan seksual yang berefek pada kehamilan yang tidak diinginkan, maka korban
diasumsikan dapat meminta hak atas pelayanan medis untuk mengakhiri kehamilannya,
karena secara medis, korban akan mengalami stres ataupun depresi, dan bukan tidak
mungkin akan menjadi sakit jiwa apabila kehamilan tersebut diteruskan.
Dari uraian penyebab inilah mungkin didapatkan gambaran mengenai penggolongan aborsi
yang akan dilakukan. Pada bfaktor ke-5 sudah jelas dapat digolongkan pada aborsi
terapetikus, sesuai dengan UU Kesehatan pasal 15 tentang tindakan medis tertentu yang
harus diambil terhadap ibu hamil demi untuk menyelamatkan nyawa ibu. Faktor ke-2 dan 3,
mungkin para ahli kesehatan dan ahli hukum dapat memahami alasan aborsi karena
merupakan hal-hal yang di luar kemampuan ibu, dimana pada faktor ke 2, apabila bayi
dibiarkan hidup, mungkin akan menjadi beban keluarga serta kurang baiknya masa depan
anak itu sendiri. Namun keadaan ini bertetangan dengan UU HAM pasal 53 mengenai hak
hidup anak dari mulai janin sampai dilahirkan, dan pasal 54 mengenai hak untuk
mendapatkan perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya negara bagi
setiap anak yang cacat fisik dan mental. Pada faktor ke 3, kemungkinan besar bayi tidak
akan mendapatkan kasih sayang yang layak, bahkan mungkin akan diterlantarkan ataupun
dibuang, yang bertentangan dengan UU Kesehatan pasal 4 tentang perlindungan anak
mengenai hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Sedangkan bagi ibu yang merupakan
korban pemerkosaan itu sendiri, hal ini merupakan keputusan yang kurang adil apabila
kehamilan akibat perkosaan itu dilanjutkan, karena dia sendiri adalah korban suatu
kejahatan, dan pasti akan merupakan suatu beban psikologis yang berat. Sedangkan pada
faktor 1, 4, dan 6, jelas terlihat adalah kehamilan diakibatkan oleh terjadinya hubungan seks
bebas, yang apabila dilakukan tindakan aborsi, dapat digolongkan pada aborsi provokatus
kriminalis bertentangan dengan KUHP Pasal 346-349 dan UU Kesehatan pasal 4 tentang
perlindungan anak.
Dari penjelasan tersebut, didapatkan gambaran mengenai aborsi legal dan illegal. Aborsi
provokatus/buatan legal yaitu aborsi buatan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan
sebagaimana diatur dalam UU Kesehatan, yaitu memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Berdasarkan indikasi medis yang kuat yang mengharuskan diambilnya tindakan
tersebut;
2. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan;
3. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami ataupun keluarganya;
4. Pada sarana kesehatan tertentu.
Setiap dokter pada waktu baru lulus bersumpah untuk menghormati hidup mulai sejak saat
pembuahan, karena itu hendaknya para dokter agar selalu menjaga sumpah jabatan dan
kode etik profesi dalam melakukan pekerjaannya. Namun pada kehidupan sehari-hari,
banyak faktor-faktor yang berperan, seperti rasa kasihan pada perempuan yang mengalami
kehamilan yang tidak diinginkan, faktor kemudahan mendapatkan uang dari praktik aborsi
yang memakan biaya tidak sedikit ataupun faktor-faktor lainnya.
Sejak abad 5 SM, Hipokrates sudah bersumpah antara lain bahwa ia “tidak akan
memberikan obat kepada seorang perempuan untuk menggugurkan kandungannya”.
Sumpah itu kemudian kemudian menjadi dasar bagi sumpah dokter sampai sekarang.
Pernyataan Geneva yang dirumuskan pada tahun 1984 dan memuat sumpah dokter antara
lain menyatakan bahwa para dokter akan “menghormati setiap hidup insani mulai dari saat
pembuahan”. Pernyataan itu juga termuat dalam sumpah dokter Indonesia yang
dirumuskan dalam PP no.26/1960. Sikap para dokter se-dunia terhadap pengguguran
terutama dirumuskan dalam “Pernyataan Oslo” pada tahun 1970, yang terutama menyoroti
hal pengguguran berdasarkan indikasi medis.
Oleh sebab itu di mana hukum memperbolehkan pelaksanaan pengguguran terapetis, atau
pembuatan UU ke arah itu sedang dipikirkan, dan hal ini tidak bertentangan dengan
kebijaksanaan dari ikatan dokter nasional, serta dimana dewan pembuat undang-undang itu
ingin atau mau mendengarkan petunjuk dari profesi medis, maka prinsip-prinsip berikut ini
diakui:
1. Pengguguran hendaklah dilakukan hanya sebagai suatu tindakan terapetis.
2. Suatu keputusan untuk menghentikan kehamilan seyogyanya sedapat mungkin
disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang dipilih berkat kompetensi
profesional mereka.
3. Prosedur itu hendaklah dilakukan oleh seorang dokter yang kompeten dalam instalasi-
instalasi yang disetujui oleh suatu otoritas yang sah.
4. Jika seorang dokter merasa bahwa keyakinan hati nuraninya tidak mengizinkan
dirinya menganjurkan atau melakukan pengguguran, ia berhak mengundurkan diri
dan menyerahkan kelangsungan pengurusan medis kepada koleganya yang kompeten.
Dihimbau bagi para dokter ataupun tenaga kesehatan lainnya agar:
1. Tindakan aborsi hanya dilakukan sebagai suatu tindakan terapeutik.
2. Suatu keputusan untuk menghentikan kehamilan, sedapat mungkin disetujui secara
tertulis oleh minimal dua orang dokter yang kompeten dan berwenang.
3. Prosedur tersebut hendaknya dilakukan oleh seorang dokter yang kompeten di instansi
kesehatan tertententu yang diakui oleh suatu otoritas yang sah.
4. Jika dokter tersebut merasa bahwa hati nuraninya tidak sanggup melakukan tindakan
pengguguran, maka hendaknya ia mengundurkan diri serta menyerahkan pelaksanaan
tindakan medis ini pada teman sejawat lainnya yang juga kompeten .
5. Selain memahami dan menghayati sumpah profesi dan kode etik, para dokter dan
tenaga kesehatan juga perlu meningkatkan pemahaman agama yang dianutnya.
Aspek Hukum Bayi Tabung
Inseminasi buatan atau bayi tabung menjadi permasalahan hukum dan etis moral bila
sperma/sel telur datang dari pasangan keluarga yang sah dalam hubungan pernikahan. Hal
ini pun dapat menjadi masalah bila yang menjadi bahan pembuahan tersebut diambil dari
orang yang telah meninggal dunia.
Permasalahan yang timbul antara lain adalah:
1. Bagaimanakah status keperdataan dari bayi yang dilahirkan melalui proses inseminasi
buatan?
2. Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan orang tua biologisnya? Apakah
ia mempunyai hak mewaris?
3. Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan surogate mother-nya (dalam
kasus terjadi penyewaan rahim) dan orang tua biologisnya? Darimanakah ia memiliki
hak mewaris?
Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap Inseminasi Buatan (Bayi Tabung) :
1. Jika benihnya berasal dari Suami Istri.
1. Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro
transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak tersebut
baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah
(keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan
mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.
2. Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah
bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian
mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika
dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami
ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami
ibunya. Dasar hukum pasal 255 KUH Perdata.
3. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka
secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan
pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan
pasal 250 KUH Perdata. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat
menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau
dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan
tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai
dengan pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata.)
4. Jika salah satu benihnya berasal dari donor
1. Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-in-
vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri
akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah
terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang
dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan
hubungan keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya
dengan melakukan tes golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum pasal
250 KUH Perdata.
2. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami
maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil
tersebut. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata.
3. Jika semua benihnya dari donor
1. Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak
terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim
seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir
mempunyai status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena
dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan
yang sah.
2. Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak
tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut
tidak terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak
tersebut bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal
darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara
yuridis dan biologis sebagai anaknya.
Dari tinjauan yuridis menurut hukum perdata barat di Indonesia terhadap kemungkinan
yang terjadi dalam program fertilisasi-in-vitro transfer embrio ditemukan beberapa kaidah
hukum yang sudah tidak relevan dan tidak dapat menutup kebutuhan yang ada serta sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada khususnya mengenai status sahnya anak
yang lahir dan pemusnahan kelebihan embrio yang diimplantasikan ke dalam rahim ibunya.
Secara khusus, permasalahan mengenai inseminasi buatan dengan bahan inseminasi berasal
dari orang yang sudah meninggal dunia, hingga saat ini belum ada penyelesaiannya di
Indonesia. Perlu segera dibentuk peraturan perundang-undangan yang secara khusus
mengatur penerapan teknologi fertilisasi-in-vitro transfer embrio ini pada manusia
mengenai hal-hal apakah yang dapat dibenarkan dan hal-hal apakah yang dilarang.
C. Aspek Hukum Adopsi
Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak
mempunyai anak dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak.
Demikian juga bagi mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam
perkawinan.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan adopsi :
1. 1. Pihak yang mengajukan adopsi
1. Pasangan Suami Istri
Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri diatur dalam SEMA No.6 tahun
1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan
permohonan pengesahan/ pengangkatan anak. Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No.
41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga
menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus
kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya
sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada
dalam asuhan organisasi sosial.
1. Orang tua tunggal
1. i. Staatblaad 1917 No. 129
Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi orang-orang Tionghoa yang selain
memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang
pernah terikat perkawinan (duda atau janda). Namun bagi janda yang suaminya telah
meninggal dan sang suami meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki
pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak dapat melakukannya.
Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan
hanya dapat dilakukan dengan Akte Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan
Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak
perempuan.
1. ii. Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan
anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan
yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private
adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga
negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah
(single parent adoption). Jadi, jika Anda belum menikah atau Anda memutuskan
untuk tidak menikah dan Anda ingin mengadopsi anak, ketentuan ini sangat
memungkinkan Anda untuk melakukannya.
2. 2. Tata cara mengadopsi
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak
menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan
pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu
berada.
Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera.
Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan
dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat .
1. 3. Isi permohonan
Adapun isi Permohonan yang dapat diajukan adalah:
1. motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak
tersebut.
2. penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan datang.
Untuk itu dalam setiap proses pemeriksaan, juga harus membawa dua orang saksi yang
mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. Dua orang saksi itu harus pula orang
yang mengetahui betul tentang kondisi pemohon (baik moril maupun materil) dan
memastikan bahwa pemohon akan betul- betul memelihara anak tersebut dengan baik.
1. 4. Yang dilarang dalam permohonan
Ada beberapa hal yang tidak diperkenankan dicantumkan dalam permohonan pengangkatan
anak, yaitu:
1. menambah permohonan lain selain pengesahan atau pengangkatan anak.
2. pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli waris dari pemohon.
Hal ini disebabkan karena putusan yang dimintakan kepada Pengadilan harus bersifat
tunggal, tidak ada permohonan lain dan hanya berisi tentang penetapan anak tersebut
sebagai anak angkat dari pemohon, atau berisi pengesahan saja.
Mengingat bahwa Pengadilan akan mempertimbangkan permohonan, maka pemohon perlu
mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, termasuk pula mempersiapkan bukti-bukti
yang berkaitan dengan kemampuan finansial atau ekonomi. Bukti-bukti tersebut akan
memberikan keyakinan kepada majelis hakim tentang kemampuan pemohon dan
kemungkinan masa depan anak tersebut. Bukti tersebut biasanya berupa slip gaji, Surat
Kepemilikan Rumah, deposito dan sebagainya.
1. 5. Pencatatan di kantor Catatan Sipil
Setelah permohonan Anda disetujui Pengadilan, Anda akan menerima salinan Keputusan
Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan yang Anda peroleh ini harus Anda bawa
ke kantor Catatan Sipil untuk menambahkan keterangan dalam akte kelahirannya. Dalam
akte tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan itu
disebutkan pula nama Anda sebagai orang tua angkatnya.
1. 6. Akibat hukum pengangkatan anak
Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
1. Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat
menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang
tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama
Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua
kandungnya atau saudara sedarahnya.
1. Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional,
memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama,
artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan
pewarisan bagi anak angkat.
1. i. Hukum Adat
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada
hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, —Jawa misalnya—, pengangkatan
anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua
kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia
juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali,
pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari
keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari
yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H,
Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).
1. ii. Hukum Islam
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal
hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua
angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap
memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari
Segi hukum, AKAPRESS, 1991)
1. iii. Peraturan Per-Undang-undangan
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut
secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan
dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat
pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada
keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.

Anda mungkin juga menyukai