Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Hukum Kesehatan

Dosen : DR. Maryati SPd, SST, MARS, MH

DISUSUN OLEH :

Chairul Amaliah (190602002)

Lidia Auzalika (190602006)

Melisa Fitria (190602009)

Nurhayati Islami El rizal (190602014)

SARJANA KEBIDANAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ABDI NUSANTARA JAKARTA

TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena hanya dengan izin dari-Nya
tugas makalah ini dapat terlaksana. Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada
Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Sekaligus pula kami
menyampaikan rasa terima kasih untuk Ibu DR. Maryati, SPd, SST, MARS, MH selaku
dosen mata kuliah Hukum Kesehatan Stikes Abdi Nusantara Jakarta.

Sejak merencanakannya, menyusun sampai dengan terwujudnya makalah ini, kami telah
banyak mendapat ilmu baru mengenai Hukum kesehatan. Pada akhirnya kami menyadari
bahwa dalam menyusun makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna
karena segala kesempurnaan hanya milik Tuhan Yang Maha Esa sedangkan kekurangan
adalah milik kita sebagai makhluk-Nya. Untuk itu, kekurangan yang ada akan menjadi
sebuah pelajaran bagi kami dan kami mengharapkan koreksi berupa kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca terutama pengoreksi untuk perbaikan di masa yang akan
datang.

Semoga tugas makalah yang telah kami sajikan ini dapat bermanfaat, khususnya bagi kami
sendiri sebagai penyusun dan umumnya bagi para pembaca. Pada akhirnya, kelak suatu
penulisan atau materi ini akan menjadi salah satu tonggak pembentukan kreativitas dan
semangat para mahasiswa.
PERUNDANG UNDANGAN ABORSI KHUHP

A. Latar Belakang
Aborsi merupakan bagian yang paling kontroversial dari masalah kesehatan reproduksi.
Salah satu alasan utama aborsi adalah kehamilan yang tidak direncanakan, diantaranya karena
kegagalan alat kontrasepsi itu sendiri,kesalahan pemakaian, konseling kontrasepsi yang tidak
kuat, kekerasan termasuk pemerkosaan, usia terlalu muda, pergaulan bebas dan terlalu
banyak anak. Aborsi bukanlah semata-mata masalah medis atau kesehatan masyarakat, tetapi
juga menyangkut unsur–unsur agama, hukum, sosial, yang terkait dengan paham kebebasan
(freedom/liberalism). Keberadan aborsi yang dilarang dalam syariah Islam dan hukum
pidana, memunculkan beragam tempat praktik ilegal aborsi yang tidak aman (unsafe
abbortion), yang tak jarang mengakibatkan kematian.

B. Pembahasan
Aborsi dibagi menjadi dua macam, yaitu: Aborsi alamiah atau spontan (abortus
spontaneous) adalah aborsi yang terjadi spontan atau alami, tanpa campur tangan manusia.
Aborsi alamiah biasanya disebut dengan keguguran. Aborsi buatan atau disengaja (abortus
provokatus) adalah proses pengguguran janin secara sengaja dengan campur tangan manusia,
baik dokter, dukun atau pun dilakukan sendiri dengan minum obat dan ramuan tertentu.
Aborsi buatan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Abortus sprovokatus terapetikus adalah aborsi yang sengaja dilakukan atas dasar indikasi
medis dimana terdapat faktor yang dapat membahayakan ibu dan janin.
2. Abortus provokatus criminalis adalah aborsi yang sengaja dilakukan tanpa adanya alasan
medis. Aborsi macam inilah yang sampai sekarang senantiasa menuai kontroversi.
Aborsi tidak hanya dilakukan oleh mereka yang hamil diluar nikah, akan tetapi juga oleh
mereka yang sudah berkeluarga. Di antara alasan-alasan wanita melakukan aborsi adalah:
tidak ingin memiliki anak karena khawatir mengganggu karir atau sekolah, merasa sudah
memiliki banyak anak, tidakmemiliki cukup biaya untuk merawat anak, Tidak ingin memiliki
anak tanpa ayah sehingga menjadi aib keluarga, Menganggap diri masih terlalu muda untuk
memiliki anak.
Penegakan hukum tidak bisa dilepaskan dari keberadaan undang-undang dan peraturan-
peraturan yang menentukan perilaku para penegak hukum dalam memberi sanksi-sanksi dan
solusi-solusi legalitas di masyarakat. Di Indonesia, berbagai pelanggaran dan kejahatan yang
berlaku dan dapat diselidiki/dituntut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Salah satu diantaranya adalah tentang aborsi. Terdapat beberapa aturan perundang-
undangan yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum aborsi di Indonesia, yaitu:
1. Undang - Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang - undang Hukum
Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan
melanggar hukum. Dalam hal ini, KUHP melarang keras dilakukannya aborsi dengan
alasan apapun sebagaimana diatur pasal 283, 299 serta pasal 346-349. Pasal 299
menyatakan ancaman pidana maksimal 4 tahun bagi seseorang yang memberi
harapan kepada seorang perempuan bahwa kandungannya dapat digugurkan.
2. Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
3. Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan yang menuliskan dalam
kondisi tertentu, bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi).
4. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa
setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya. Hal ini menjelaskan bahwa HAM menentang
aborsi sekalipun hal itu berkaitan dengan hak hidup.
5. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT mengenai hak- hak
korban pada butir (b).
6. Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menuliskan bahwa
aborsi dapat dilakukan berdasarkan indikasi medis yang terdeteksi pada kehamilan
usia dini, baik yang mengancam nyawa ibu atau janin, menderita cacat genetic atau
bawaan, dan keadaan yang menyulitkan bayi untuk hidup diluar kandungan. Selain
itu kehamilan yang diakibatkan Karena perkosaan sehingga menimbulkan trauma
psikologis bagi korban. Dalam UU ini juga disebutkan bahwa pemerintah wajib
melindungi dan mencegah aborsi yang tidak aman, tidak bermutu dan tidak
bertanggung jawab dengan alasan tersebut diatas. Aborsi sebagaimana dimaksud
diatas hanya dapat dilakukan dengan persyaratan.
Dari penjabaran undang-undang tersebut dapat dengan jelas diketahui bahwa tindakan aborsi
bertentangan dengan peraturan perundang - undangan yang ada di x. Hanya saja, fakta yang
ada selama ini, tindakan aborsi banyak dilakukan dengan alasan non medis.
Selain bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, aborsi juga dapat memberikan
resiko yang tinggi terhadap kesehatan maupun keselamatan seorang wanita. Ada dua macam
resiko kesehatan bagi wanita yang melakukan aborsi:
a. Resiko kesehatan dan keselamatan secara fisik Pada saat melakukan aborsi dan setelah
melakukan aborsi ada beberapa resiko yang akan dihadapi seorang wanita sebagai mana
dijelaskan oleh Brian Clowes dalam bukunya Facts of Life.
b. Resiko gangguan psikologis Selain kesehatan dan keselamatan ibu, aborsi juga dapat
memberikan dampak psikologis yang tidak biasa dianggap remeh pasca aborsi, “Post-
Abortion Syndrome” (Sindrom Pasca-Aborsi) atau PAS. Diantara gejala-gejala yang timbul
adalah merasa kehilangan harga diri, senantiasa mimpi buruk, histeris, dan munculnya rasa
bersalah yang berkepanjangan.
Prosess aborsi dapat dilakukan sendiri ataupun dengan bantuan orang lain. Aborsi yang
dilakukan sendiri yaitu dengan cara minum obat-obatan atau melakukan tindakan-tindakan
yang secara sengaja dapat menggugurkan janin. Untuk pelaksanaan aborsi yang dibantu
orang lain berbeda-beda pada tiap tingkatan usia kehamilan. Semakin besar usia kandungan,
maka semakin sulit dan besar pula resiko yang harus ditanggung oleh ibu.3 Dokter sebagai
pemberi jasa pelayanan kesehatan dianggap tahu segalanya oleh pasien, sehingga melahirkan
hubungan yang baik antara dokter dengan asien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan.
Kedudukan dan peran dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien karena keadaan, bahwa dokter
yang dianggap mampu memberikan bantuan pertolongan berdasarkan kemampuan
profesionalnya. Sebagaimana telah dijelaskan pada beberapa kewajiban dokter terhadap
pasien yang tertuang di dalam kode etik dokter. Dengan berlakunya Undang-Undang praktik
Kedokteran, kewajiban tersebut semakin diperjelas
Pelanggaran terhadap kewajiban yang tercantum dalam Undang –undang praktik
kedokteran tersebut dapat mengakibatkan dokter yang melakukan praktik kedokteran terkena
ancaman pidana, namun apabila dokter dalam melakukan tugasnya tidak sesuai standar maka
dokter tidak berhak mendapatkan perlindungan hukum. Bila dokter tidak melakukan
kewajibannya dalam hal ini sampai merupakan penyebab dari cederanya pasien, maka ia
dianggap turut bersalah sehingga ganti kerugian yang timbul secara porprosional antara
dokter dan pasien, namun bila cedera itu hanya disebabkan oleh kesalahan pasien itu sendiri,
maka ia tidak akan dapat menerima ganti kerugian yang diminta pasien.
Dalam prosesnya, kejahatan aborsi sering terjadi karena ada dua faktor yaitu : pertama,
adanya seorang wanita yang bersedia untuk digugurkan kandungannya. Yang kedua, adanya
orang lain yang mau melakukan atau membantu pengguguran kandungan.
Orang yang membantu atau turut serta melakukan tindak pidana aborsi disebut dengan
deelneming. Turut serta (deelneming) adalah tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari
satu orang, artinya ada orang lain dalam jumlah tertentu yang turut serta, turut campur, turut
berbuat membantu melakukan agar suatu tindak pidana itu terjadi, atau dalam kata lain, orang
yang lebih dari satu orang secara bersama-sama melakukan tindak pidana, sehingga harus
cari pertanggungjawaban dan peranan masing-masing peserta dalam persitiwa pidana
tersebut. tujuan deelneming adalah untuk minta pertanggungjawaban terhadap orang-orang
yang ikut ambil bagian sehingga terjadinya suatu tindak pidana.

Di dalam Kitab Undang –undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat dua bentuk
penyertaan, yang disebut sebagai pembuat (dader) dan pembantu (mededader). Adapun
kedudukan dari pembuat (dader) dan pembantu (mededader) diatur didalam KUHP, yaitu:
dalam Pasal 55 KUHP menyebutkan empat golongan pembuat (dader) yang dapat dipidana
yaitu “pelaku (pleger), menyuruh melakukan (doenpleger), turut serta (medepleger), dan
penganjur (uitlokker)” Menurut pasal 56 KUHP, menerangkan yang dipidana sebagai
pembantu suatu kejahatan, yaitu : “mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu
kejahatan dilakukan dan mereka yang memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk
melakukan kejahatan”.
Apapun alasan yang diajukan untuk menggugurkan kandungan, jika hal itu bukan
disebabkan alasan medis maka calon ibu dan orang yang membantu menggugurkan
kandungan akan dihukum pidana. Sebagaimana pengguguran dan pembunuhan kandungan
atas persetujuan perempuan yang mengandung dapat dijerat dengan pasal 348 KUHP yang
berbunyi :
1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
perempuan dengan persetujuannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6
bulan.
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, dipidana dengaan pidana
paling lama 7 tahun.

Seperti pada contoh kasus yang terjadi di daerah Surabaya lebih tepatnya di Pengadilan
Negeri Surabaya dengan nama terdakwa : Dr. H. Edward Armando (66 Tahun) yang berlatar
belakang pendidikan sarjana kedokteran, yang terjadi pada tahun 2011 dengan Perkara Pidana
No.1077/Pid.B/2011/PN.SBY. Tindakan aborsi yang dilakukan oleh Dr. H. Edward Armando
terjadi pada tanggal 2 Februari 2011, terungkapnya masalah ini dikarenakan awalnya Edward
Armando adalah seorang dokter yang pernah dipidana dan dicabut ijin praktek dokter
umumnya, karena alasan Edward ingin mendapatkan penghasilan atau menafkahi
keluarganya maka sejak tahun 2008 tanpa memiliki izin praktek yang sah Edward membuka
tempat praktek umum disebuh rumah dijalan Dukuh Kupang Timur Nomor 4 Surabaya yang
dilaksanakan pada enam hari kerja, dalam prakteknya Edward menentukan sendiri syarat-
syarat pasiennya seperti usia pasiennya harus dewasa 17 tahun keatas, kandungan pasien
tidak lebih dari tiga bulan dan juga pasiennya dikenakan uang administrasi sebesar 1.500.000
(satu juta lima ratus ribu rupiah) jika pasien tidak mampu membayar 1.000.000 (satu juta
rupiah). Dalam menangani pasien Edward dibantu oleh beberapa pegawai tidak tetap yaitu
Retno sebagai asisten khusus KB dan merawat terdakwa, Hadi sebagai kasir keuangan
seluruh operasional praktek dan juga ada Suwondo sebagai penerima resep dan memberikan
obat kepada pasien aborsi, Lide membantu mencuci alat-alat aborsi dan menyiapkan
peralatan yang akan digunakan untuk aborsi, dan Abdul Munif sebagai tukang suntik serta
memeriksa awal terhadap pasien saat akan di aborsi.

Dalam RKUHP dinyatakan bahwa setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau meminta orang lain untuk menggugurkan kandungannya dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 tahun penjara. Rumusan pasal ini bertentangan dengan Pasal
75 UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan bahwa larangan aborsi kecualikan untuk
kedaruratan medis dan untuk korban perkosaan. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4
Tahun 2005 tentang aborsi juga mengecualikan aborsi yang diperbolehkan untuk dilakukan
atas kedaruratan medis dan untuk korban perkosaan. Sedangkan RKUHP berusaha
mengkriminalkan semua bentuk perbuatan pengguguran kandungan, terlebih lagi
secara spesifik pasal tersebut mengkriminalkan perempuan. Pengecualian pemidanaan
hanya berlaku pada dokter yang melakukan aborsi tersebut, namun tetap berlaku
untuk perempuan yang melakukan. Hal ini jelas diskriminatif dan akan membahayakan
program pemerintah yang berkomitmen untuk menurunkan angka kematian ibu hamil dan
angka kematian dini bayi.
Bukan terkait dengan aborsi sebagaimana dituliskan dalam Pasal 74 dan 75 UU Kesehatan.
Maka dengan itu seharusnya

untuk aborsi tetap mengacu pada lex spesialis yaitu UU Kesehatan termasuk di dalamnya


pengecualian aborsi, yaitu untuk indikasi kedaruratan medis dan korban perkosaan. Akan
tetapi di sana pula letak ketidakpastian hukumnya. Saat ini KUHP mengatur bahwa barang
siapa yg melakukan aborsi akan dipidana. Namun jika kita melihat rumusan pasal saat ini,
maka perempuan yang mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) akan menjadi
korban, baik aborsi aman itu dilakukan dengan persetujuannya ataupun tidak.

Sejauh ini perempuan korban perkosaan pun selalu menggunakan KUHP dalam penyelesaian
perkaranya. Hal ini tentunya akan menjadi salah satu kekawatiran yang cukup besar, di mana
RKUHP jika disahkan akan semakin melemahkan UU Kesehatan dalam memberikan
pengecualian kepada perempuan yang mengalami KTD karena indikasi kedaruratan medis
dan korban perkosaan. Perlu diingat RKUHP saat ini memberikan penegasan pada
“perempuan” sebagai pelaku. Hal ini merupakan hal baru yang berbeda KUHP lama dan UU
Kesehatan. Sehingga RKUHP hampir pasti diyakini akan berdampak buruk pada perempuan
korban ataupun kepemilikan perempuan atas penguasaan tubuhnya sendiri.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, aborsi adalah pengguguran kandungan. Pada
dasarnya, setiap orang dilarang melakukan aborsi berdasarkan Pasal 75 ayat (1) UU No.
36Tahun 2009 tentang Kesehatan ("UU Kesehatan").

Pengecualian terhadap larangan melakukan aborsi diberikan HANYA dalam 2 kondisi


berikut:

a)     indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau
cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut
hidup di luar kandungan; atau

b)     kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.

(lihat Pasal 75 ayat [2] UU Kesehatan)

Namun, tindakan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan itu pun
HANYA DAPAT dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan
diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang (lihat Pasal 75 ayat [3] UU Kesehatan).

Selain itu, aborsi hanya dapat dilakukan:

a)     sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;

b)     oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;

c)     dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;

d)     dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e)     penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

(lihat Pasal 76 UU Kesehatan)

Jadi, praktik aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana


disebut di atas merupakan aborsi ilegal. Sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal diatur
dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang berbunyi;

"setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar."

Pasal 194 UU Kesehatan tersebut dapat menjerat pihak dokter dan/atau tenaga kesehatan
yang dengan sengaja melakukan aborsi ilegal, maupun pihak perempuan yang dengan sengaja
melakukannya.

Selain itu, sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal juga diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana("KUHP"). Ketentuannya antara lain sebagai berikut:

Pasal 299

1)      Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya
diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu
hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau
pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.

2)      Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan
perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan
atau juru-obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.

3)      Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencarian,


maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.

Pasal 346

Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh
orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Pasal 347

1)      Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang


wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.

Pasal 348

1)      Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang


wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
enam bulan.

Pasal 349

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal
346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan
dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan
dilakukan.

Pasal Aborsi di KUHP Baru Bertentangan dengan UU Kesehatan dan MUI


Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah diselesaikan. Setelah itu akan
disahkan di dalam rapat paripurna DPR pada akhir bulan September ini. Namun, ada
beberapa pasal yang memicu polemik.

Salah satunya adalah Pasal 470 revisi KUHP tentang aborsi. Dalam pasal tersebut disebutkan
dokter bisa melakukan aborsi dalam kedaruratan maka tidak bisa dikenakan pidana.
Sebelumnya, aborsi di Indonesia tidak pernah diizinkan tanpa alasan kedaruratan medis yang
mendesak.

Menanggapi pasal itu, Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar
mengatakan, pasal 470 itu jelas mengkriminaliasi terhadap kaum perempuan saat melakukan
pengguguran kandungan.

“Ini diskriminatif terhadap perempuan, ada beberapa kasus korban perkosaan yang
melakukan aborsi kemudian dikriminaliasasi. Saya khawatir ini akan terus terjadi,” ujar
Abdul Fickar saat dibubungi, Kamis (19/9).

Sementara dokter yang melakukan aborsi tidak akan dipidana menurutnya Revisi KUHP ini
bertentangan dengan UU Nomor 36/2009 tentang kesehatan. Begitupun pada Pasal 75 UU
Kesehatan, disebutkan larangan aborsi berdasarkan kedaruratan medis dan akibat perkosaan
dapat menyebabkan trauma prsikologis.

Jadi ini bertentangan dengan Pasal 75 UU Kesehatan dan Fatwa MUI Nomor 4/2005,”
tegasnya.

Ada pun pasal mengenai aborsi diatur dalam Pasal 470, 471 dan 472 dalam Revisi UU
KUHP. Berikut ini bunyi pasalnya:

Pengguguran Kandungan

Pasal472
(1) Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta
orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun.

(2)  Setiap Orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa
persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

(3)  Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya perempuan
tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 471
(1) Setiap Orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan
persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

(2)  Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya perempuan
tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.
Pasal 472
(1) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang membantu melakukan Tindak Pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 470 dan Pasal 471, pidana dapat ditambah 1/3 (satu per
tiga).

(2)  Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan Tindak Pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 86 huruf a dan huruf f.

(3) Dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau
terhadap Korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak
dipidana.

Penegakan Hukum Terhadap Tindakan Aborsi Menurut Undang-undang Nomor 36


Tahun 2009

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana Pengaturan Terhadap
Aborsi Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan bagaimana
Sanksi Terhadap Tindakan Aborsi Menurut Ketentuan Berlaku. Dengan menggunakan
metode penelitian yuridis normatif disimpulkan: 1. Pengaturan aborsi di dalam Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan diatur dalam Pasal 75 sampaidengan Pasal
77 serta Pasal 194. Sedikit berbeda dengan pengaturan aborsi pada KUHP, pengaturan aborsi
di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan ruang
terjadinya aborsi dengan alasan tertentu. . Pasal 75 undang-undang tersebut memberikan 2 n
untuk dapat dilakukannya aborsi, yaitu indikasi medis berupa cacat bawaan/genetis dan bagi
korban perkosaan. Selain terpenuhinya alasan dalam Pasal 75, untuk dapat dilakukan aborsi
juga harus terpenuhi syarat-syarat yang tertuang di Pasal 76. 2. Dalam hukum pidana
Indonesia (KUHP) abortus provocatus criminalis dilarang dan diancam hukuman pidana
tanpa memandang latar belakang dilakukannya dan orang yang melakukan yaitu semua orang
baik pelaku maupun penolong abortus. Sedangkan Undang-undang No 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan memberikan pengecualian abortus dengan alasan medis yang dikenal
dengan abortus provocatus medicalis. Mengenai legalisasi terhadap korban perkosaan dan
legalisasi aborsi di Indonesia masih menuai berbagai pro dan kontra dikalangan masyarakat.
2105 yang mempidana setiap orang yang menunjukan suatu alat, menawarkan, menyiarkan
tulisan, menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan

 Pasal 586 dan 587 RKUHP 2015 mempidana wanita dan setiap orang yang
melakukan aborsi dengan persetujuan dan atau tanpa persetujuan perempuan yang
mengalami kehamilan tersebut, yang terdapat pada pasal 346, 347 dan 348 KUHP
yang berlaku sekarang.

 Pada pasal 588 RKUHP 2015 pemidanaan terhadap dokter, bidan, paramedic atau
juru obat yang melakukan aborsi, yang dimana hal tersebut terdapat dalam Pasal 349
KUHP yang berlaku sekarang, namun mengalami sedikit perluasan pemidanaan
terhadap paramedic. Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa pemidanaan yang
terdapat dalam RKUHP 2015 tidak mengalami perbedaan yang signifikan dengan
KUHP yang berlaku seakarang. Rancangan KUHP 2015 tetap tidak mengatur
mengenai pengecualian pelaksanaan aborsi bagi kehamilan akibat perkosaan.
Rancangan KUHP 2015 yang dikatakan akan segera rampung seharusnya dapat
memberikan harapan bagi ketidak selarasan norma antara KUHP dan Undang-Undang
No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, namun nyatanya RKUHP 2015 tetap
bertentangan dengan Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Rancangan KUHP 2015 tidak semestinya membuat wanita yang melakukan aborsi
atas kehamilan akibat perkosaan mengalami kriminalisasi, karenaseharusnya ia adalah
pihak yang harus dilindungi. Dengan mengkriminalisasi korban perkosaan hanyalah
membuat mereka menjadi korban berulang-ulang kali dimana hal tersebut dapat
berdampak bagi keadaan mental, fisik dan sosialnya. Hal tersebut juga menjadikan
mereka untuk memaksakan melanjutkan 2105 yang mempidana setiap orang yang
menunjukan suatu alat, menawarkan, menyiarkan tulisan, menunjukkan untuk dapat
memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan

 Pasal 586 dan 587 RKUHP 2015 mempidana wanita dan setiap orang yang
melakukan aborsi dengan persetujuan dan atau tanpa persetujuan perempuan yang
mengalami kehamilan tersebut, yang terdapat pada pasal 346, 347 dan 348 KUHP
yang berlaku sekarang.

 Pada pasal 588 RKUHP 2015 pemidanaan terhadap dokter, bidan, paramedic atau
juru obat yang melakukan aborsi, yang dimana hal tersebut terdapat dalam Pasal 349
KUHP yang berlaku sekarang, namun mengalami sedikit perluasan pemidanaan
terhadap paramedic. Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa pemidanaan yang
terdapat dalam RKUHP 2015 tidak mengalami perbedaan yang signifikan dengan
KUHP yang berlaku seakarang. Rancangan KUHP 2015 tetap tidak mengatur
mengenai pengecualian pelaksanaan aborsi bagi kehamilan akibat perkosaan.
Rancangan KUHP 2015 yang dikatakan akan segera rampung seharusnya dapat
memberikan harapan bagi ketidak selarasan norma antara KUHP dan Undang-Undang
No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, namun nyatanya RKUHP 2015 tetap
bertentangan dengan Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Rancangan KUHP 2015 tidak semestinya membuat wanita yang melakukan aborsi
atas kehamilan akibat perkosaan mengalami kriminalisasi, karenaseharusnya ia adalah
pihak yang harus dilindungi. Dengan mengkriminalisasi korban perkosaan hanyalah
membuat mereka menjadi korban berulang-ulang kali dimana hal tersebut dapat
berdampak bagi keadaan mental, fisik dan sosialnya. Hal tersebut juga menjadikan
mereka untuk memaksakan melanjutkankehamilannya tanpa adanya persiapan yang
dapat berpotensi pada penyebab gangguan psikologis hingga depresi. Rancangan
KUHP 2015 baru dapat berdampak pada pembatasan ruang gerak tenaga kesehatan
dalam usaha untuk memberikan pertolongan bagi perempuan hamil akibat perkosaan
dan dalam keadaan darurat medis yang dimana sebenarnya diperboleh oleh Undang-
undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan karena takut akan terjerat pidana
sehingga mereka akan menolak untuk memberikan informasi atau layanan mengenai
aborsi. Dalam RKUHP 2015 Pengecualian hanya terbatas kepada dokter yang
terdapat dalam ketentuan Pasal 588 ayat (2) dimana hal tersebut tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 75 ayat (3) Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
yang menyatakan bahwa aborsi dapat dilakukan setelah melalui konseling dan
penasehatan pra dan pasca tindakan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
RKUHP juga mengancam keberadaan tim kelayakan aborsi yang terdiri dari paling
sedikit 2 orang yang diketuai oleh dokter yang berkompeten dan berwenang menurut
Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
RKUHP 2015 yang tidak menaruh perhatian pada aborsi atas kehamilan akibat
perkosaan ditunjukan dengan mempersempit ruang gerak tenaga kesehatan, hal
tersebut dapat menimbulkan potensi besar terhadap wanita yang melakukan aborsi
yang membahayakan jiwanya karena dilakukan secara tidak aman.

Daftar Pustaka

http://repository.ubharajaya.ac.id/1019/2/201210115128_Anggun%20Wulansari_BAB
%20I.pdf
https://pkbi.or.id/aborsi-dalam-kerangka-rkuhp-dan-uu-kesehatan/
https://hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl840/penerapan-hukum-pidana-dalam-aborsi-
ilegal
https://www.neliti.com/publications/147466/penegakan-hukum-terhadap-tindakan-aborsi-
menurut-undang-undang-nomor-36-tahun-20

https://www.jawapos.com/nasional/politik/19/09/2019/pasal-aborsi-di-kuhp-baru-
bertentangan-dengan-uu-kesehatan-dan-mui/

rudin dan Zainal Asikin, 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. IX, Rajawali Pers,
Jakarta
Arief, Barda Nawawi, 2016, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, Prenadamedia Group, Jakarta

Arrasjid, Chainur, 2001, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Cet.2, Sinar Grafika, Bandung

Ekotama, Suryono, 2001, Abortus Provokatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif


Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Universitas Atmajaya, Yogyakarta
Gosita, Arif, 1985, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), Akademika Presindo,
Jakarta.
Kusmayanto, SCJ, 2002, Kontroversi Aborsi, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Prasetyo, Teguh , 2015, Hukum Pidana, Cet.VI, Rajawali Pers, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Ui Press, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai