Anda di halaman 1dari 2

WANITA DI TENGAH BANGSA ARAB JAHILIYAH

Sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab adalah bangsa terbelakang. Jazirah Arab saat
itu diapit oleh dua peradaban yang saling bersaing. Di sebelah timur ada peradaban Persia,
sementara di sebelah barat ada peradaban Romawi.

Status Wanita
Kaum wanita dalam masyarakat jahiliyah menjadi objek penipuan dan kekejaman
kaum lelaki. Haknya dirampas, hartanya dikuasai, diharamkan mewarisi, dan setelah dicerai
atau kematian suami mereka pun dicampakkan, tak boleh kawin dengan lelaki yang
disenangi, tetapi diwarisi bagaikan harta benda atau hewan kendaraan.
Tentang hal ini, Ibnu Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ bercerita, “Jika seorang laki-laki
meninggal wali atau ayahnya, ia berhak mewarisi istri yang ditinggalkannya yang bisa
dikawininya atau menjadi tawanannya sehingga wanita itu menebus dirinya dengan
mengembalikan maskawin yang pernah diterimanya. Kalau tidak, laki-laki itu menunggunya
sampai wanita itu mati dan meninggalkan harta untuknya.”
As-Suddi berkata, “Laki-laki pada zaman jahiliyah yang mempunyai ayah atau
saudara atau anak yang mati meninggalkan istri, lalu ia mendahului melemparkan pakaiannya
kepada wanita itu, maka laki-laki tersebut berhak menikahinya dengan maskawin dari
temannya atau menikahkan wanita tadi kepada laki-laki lain tetapi maskawinnya jatuh ke
tangannya. Jika wanita itu mendahuluinya pergi ke rumah keluarganya, maka ia tidak boleh
diganggu gugat.”
Kaum wanita diperlakukan sewenang-wenang. Hak-haknya dirampas lelaki serta
maskawinnya diambil. Ia direnggut dengan paksa dari suaminya, tapi dibiarkan terkatung-
katung. Sebagian makanan yang boleh dimakan laki-laki diharamkan bagi wanita. Kaum laki-
laki boleh mengawini wanita mana saja yang dikehendaki tanpa batas.
Kebencian terhadap anak perempuan di kalangan bangsa Arab telah demikian
parahnya sehingga mereka mengubur hidup-hidup anak yang lahir sebagai perempuan. Al-
Haitsam bin Adi menerangkan bahwa penguburan hidup-hidup anak perempuan merupakan
tradisi di seluruh kabilah Arab dengan perbandingan satu orang mengerjakan lawan sepuluh
orang tidak mengerjakannya. Motif perbuatan ini bermacam-macam. Ada yang mengubur
anak perempuannya karena ingin menambah kewibawaan dan takut akan mendapatkan malu
di kalangan penduduk karena ulah anak perempuannya. Ada yang menguburnya karena anak
perempuannya cacat, seperti berkulit hitam, kakinya pincang, dan menderita sopak; sehingga
orang tuanya takut mendapatkan cemoohan orang lain. Ada yang menguburnya karena tidak
mampu menafkahinya atau takut jatuh miskin. Ada pula anak-anak perempuan yang dijual
oleh orang tua mereka yang miskin kepada para bangsawan dan pemimpin mereka. Ada juga
yang berdalih bahwa oleh karena malaikat adalah putri-putri Allah, maka mereka
mengembalikan putri-putri mereka kepada Allah karena Dia-lah yang paling berhak atas
mereka.
Terkadang mereka melakukan pembunuhan itu dengan kekejaman yang tiada taranya.
Misalnya jika seseorang yang pulang dari perantauan mendapatkan anak perempuannya
sudah remaja, maka pembunuhan itu tetap dijalankan meskipun anaknya yang sudah mengerti
nasib yang akan dijalaninya terus menangis dan meronta-ronta. Adakalanya pembunuhan
dilakukan dengan melemparkan anak perempuan dari lereng gunung ke dalam jurang.

Budaya Zina
Zina bukanlah hal langka dan tabu bagi bangsa Arab pada zaman jahiliyah. Menurut
budaya mereka, seorang laki-laki boleh mengambil beberapa teman wanita untuk menikmati
hidup bersama tanpa akad nikah. Demikian pula, seorang wanita bisa hidup bersama
beberapa teman laki-laki. Terkadang mereka juga memaksa wanita untuk berzina. Ibnu
Abbas menyatakan bahwa orang-orang Arab jahiliyah suka mengkomersilkan budak-budak
wanita mereka dalam perzinaan.
Tentang pernikahan, Ummul Mukminin Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ menerangkan
sebagai berikut. “Pernikahan zaman jahiliyah terbagi dalam empat macam. Pertama, ada
pernikahan seperti dilakukan orang zaman sekarang. Seseorang meminang calon istri kepada
walinya lalu membayar maskawinnya dan menikahinya. Kedua, nikah istibdha‘, yaitu
seseorang menyuruh istrinya untuk berhubungan seks dengan laki-laki lain sampai wanita itu
hamil. Setelah hamil, barulah suaminya menggaulinya lagi jika mau. Hal ini dilakukan si
suami untuk memperoleh keturunan yang baik dari laki-laki lain tadi. Ketiga, sekelompok
laki-laki terdiri kurang dari sepuluh orang sama-sama berhubungan seks dengan seorang
wanita. Apabila wanita itu hamil lalu melahirkan, maka para lelaki tadi dikumpulkan. Si
wanita memilih salah seorang di antara mereka yang pantas menjadi ayah dari anaknya tanpa
boleh membantah. Keempat, pernikahan model wanita pelacur. Ia memancangkan bendera
sebagai tanda di depan pintu rumahnya. Para lelaki yang ingin berhubungan seks dengannya
mendatanginya. Apabila wanita itu hamil dan melahirkan anaknya, maka para lelaki tadi
berkumpul, lalu si wanita menunjuk siapa yang harus menjadi ayah bagi si anak tanpa boleh
membantah.” (HR Bukhari bab nikah) (Abul Hasan Ali An-Nadwi, Islam Membangun
Peradaban Dunia, hlm. 93-97) Wallahu a‘alam.

Anda mungkin juga menyukai