Anda di halaman 1dari 22

1

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Umum Jual beli

1. Definisi

Jual beli (ُ‫ )البَ ْيع‬secara bahasa adalah masdar dari ‫ع‬
ُ ‫ُيَبُُْي‬-‫ع‬
َُ ‫ ََب‬yang berarti

membeli1 yaitu ُ‫َمبَادلُ َم ٍالُ ِبَ ٍالُ أ َْوُ م َقابَلَةُ َش ْي ٍءُ ب َش ْي ٍء‬ yang berarti proses tukar

menukar harta dengan harta atau tukar menukar barang dengan barang.2 Jual

beli juga berarti pertukaran sesuatu secara mutlak.3 Kata al-bai’ dan asy-syira’

digunakan untuk makna yang sama. Keduanya termasuk kata yang memiliki

dua makna yang saling berlawanan.4 Seperti halnya kata syiraa’5 yang

termaktub dalam ayat:6

ُ‫َو َشَر ۡوهُبثَ َم ِۭن‬

“Dan mereka menjualnya (yusuf) dengan harga rendah.” (Q.S Yusuf:

20)

Jual beli menurut istilah terdapat beberapa definisi,

1. Menurut ulama Hanafiyah 7

1
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, cet. Ke-14, (Surabaya:
Pustaka Progesif, 1917), hlm. 119
2
Abdurrahman al-Jazairi, Kitab al-Fiqh ‘Ala al- Madzhahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Kotob al-
Ilmiyah, 1971),jilid: 2, hal: 134
3
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Kairo: dar al-Fath lil I’lam al-arabiy, 2000), jilid: 3, hal: 89
4
Ibid.
5
Seperti halnya kata ‫ القُ ُر ْو ُُء‬yang memiliki dua arti yang bersebrangan dapat diartikan dengan haid
dan suci begitu juga kata bay’dan syiraa’
6
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Aadilatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2007), jilid: 5, hal:
3304
7
Abdurrahman Aljazairi, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibi Arba’ah, (Beirut: dar al-kotob al-ilmiyah,
2014), jilid: 2, hal: 134-135. Al-Kasani Al-Hanafi, Badai’ash-Shonai’ Fii Tartiibi Asy-Syarai’, ( Beirut:
2

Secara istilah ulama Hanafiyah membagi makna jual beli menjadi

dua yaitu secara khusus dan secara umum. Jual beli dalam

pengertian khusus yaitu jual beli barang dengan harga (emas dan

perak atau alat tukar semacamnya). Sedang jual beli secara umum

berarti tukar menukar maal (barang dan harga) dengan maal yang

dilakukan melalui cara tertentu ( ijab dan qabul). Dalam pengertian

‫لتاضُ ُى‬ ٍ ٍ
lain disebutkan juga jual beli adalah ََُ ُ‫َمبَادلُ املَالُ َبُُملَالَُُُب‬

pertukaran harta dengan harta dengan adanya keridhoan.

Pengertian ini diikat dengan lafadz ‫لتاضُى‬


ََُ ُ‫َب‬ merupakan pengikat

secara syar’i. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

ُ‫اضُمنك ۡم‬
ٍ ‫ُعنُتَ َر‬ َٰ ‫إاَّلُٓأَنُتَكو َن‬
َ ً‫ُتََرة‬

“kecuali dalam perdagangan atas dasar suka sama suka diُantara

kamu.” ( QS. An-Nisa’: 29)

2. Menurut Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-

Muhadzdzab

Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.8

3. Menurut ulama Hanbali dalam kitab Muntahal Iradaat

Jual beli adalah pertukaran barang yang berharga atau sesuatu yang

boleh dimanfaatkan secara mutlak dengan salah satu di antara

Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 1986), jilid: 5, hal: 133. Ibn Abidin Al-Hambali, Hasyiyah Ibn Abidin, (Beirut:
Dar Al-Fikr, 1966), jilid: 4, hal: 3
8
Imam an-Nawawi, Majmu’Syarh al-Muhadzdzab, (Damaskus: Dar al-Fikr, tth), jilid: 9, hal: 149.
Syamsuddin, Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifati Alfadz al-Minhaj, (Damaskus: Dar al-Fikr, tth), jilid: 2. Hal: ُ
320
3

keduanya atau dengan sesuatu yang masih menjadi tanggungan

untuk memilikinya selamanya yang bukan riba juga bukan

pinjaman.9

4. Menurut Ibn Qudamah dalam kitab al-Mughni

Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk saling

menjadikan milik.10

5. Menurut Sayyid Sabiq

Jual beli merupakan pertukaran harta tertentu dengan harta lain

yang berlandaskan rasa saling ridha di antara penjual dan pembeli

atau memindahkan hak kepemilikan barang kepada orang lain

dengan ganti tertentu dengan cara yang diperbolehkan oleh

syariat.11

Berdasarkan definisi diُُatas dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah

suatu bentuk perikatan atau perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang

mempunyai nilai bermanfaat atau barang dengan uang secara suka rela antara

kedua belah pihak, dimana yang satu menerima benda atau barang dan pihak

lainnya menerima sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah

disepakati dan dibenarkan syara’.

Jual beli adalah akad muawwadhah,12 yaitu akad yang dilakukan oleh dua

pihak, dimana pihak pertama menyerahkan barang dan pihak kedua

9
Taqiyuddin al-Hambali, Muntahal Iraadaat Ma’a Hasyiyah Ibn Qaid, (ttp: Muasasah ar-Risalah,
1999), jilid: 2, hal: 249
10
Ibn Qudamah, Al-mughni li Ibn Qudamah, (Kairo: Maktabah al-Khahiro, 1969), jilid: 3, hal:
480
11
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Kairo: dar al-Fath lil I’lam al-arabiy, 2000), jilid: 3, hal: 89
12
Ahmad Bin Muhammad Ash-Shawi Al-Maliki, Hasyiyah Ash-Shawi ‘Ala Asy-Syarh Ash-
Shogir, (ttp: Maktabah Musthafa Al-Babii Al-Halbi, 1952), Jilid: 2, Hal: 2
4

menyerahkan imbalan, baik berupa uang maupun barang.13 Akibat hukum

dari jual beli adalah terjadinya perpindahan kepemilikan.

2. Dasar hukum jual beli

Dalam hukum taklifi fuqaha’sepakat bahwasannya Jual beli merupakan

tindakan atau transaksi yang telah disyariatkan, dalam arti telah jelas

hukumnya dalam islam.14 Hukumnya adalah boleh berdasarkan dalil al-qur’an

, sunnah, serta ijma’.

1) Al-qurán

ۡ ۡ
ُْ‫ُٱَّللُٱلبَ ي َع َُو َحارَمُٱلربَ َٰوا‬
‫َح ال ا‬
َ ‫ُ َوأ‬

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Q.S al-

Baqarah: 275)

Potongan ayat ini merupakan bantahan bagi mereka (orang-orang

musyrik) yang mengatakan bahwasannya jual beli itu mirip dengan

riba. Allah Ta’la menegaskan bahwasannya jual beli dan riba itu

berbeda. Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.15

Dalil berikutnya:
ۡ ۡ
ۡ ‫َُتكلواُأ َۡم َٰولَكمُب‬
‫ا‬ ‫ا‬
ُ‫ُعنُتََُراض‬ ‫ة‬
‫ر‬ َٰ
‫ُت‬ ‫ن‬‫و‬
َ ً ََ َ َ ‫ك‬ ‫ت‬ُ‫َن‬
‫أ‬ ُٓ‫َّل‬ ‫ُإ‬ ‫ل‬ ‫َٰط‬
‫ب‬
َ ‫ٱل‬ ‫مُب‬ ‫ك‬ َ ‫َََٰٓيَيُّ َهاُٱلذ‬
َ َ َ ْ ٓ َ ‫ينُءَ َامنواْ ََُّل‬
‫ن‬ ‫ي‬

ُ‫منك ۡم‬

13
Ahmad Wardi, fiqh muamalah
14
Wizaratul Auqaf Wa Syu’uni Al-Islami, Al-Maushu’ah Al-Fiqhiyah, (Kuwait: Dar as-Salasil,
1987), jilid: 9, hal. 7
15
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, ( Jakarta: Pustaka imam asy-syafi’I, 2008), jilid: 3, hal: 696
5

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling

memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan

jalan pernigaan yang berlaku dengan suka sama suka antara kamu”

(QS. An-Nisa’: 29)

Dalam ayat ini seakan-akan Allah berfirman:”janganlah kalian

menjalankan (melakukan) sebab-sebab yang diharamkan dalam

mencari harta, akan tetapi ada pengecualian yakni dengan perniagaan

yang disyri’atkan, yang terjadi dengan saling meridhai antara penjual

dan pembeli.16

2) Hadits

Hadist yang diriwayatkan oleh al-Bazzar yang dishahihkan oleh al-

Hakim dari Rifa’at bin Rafi’:17

ُ:‫ُُسئ َل‬-ُ‫ُعلَْيه َُو َسلا َم‬ ‫صلا ا‬


َ ‫ىُاَّلل‬ ‫ُ«أَ انُالن ا‬-ُ‫ُعنْه‬
َ ُُ-ُ‫اِب‬ َ ‫ُاَّلل‬
‫ُ َرض َي ا‬-ُ‫اعةَُبْنُ َراف ٍع‬
َ َ‫َع ْنُرف‬

ُ‫ص اح َحه‬
َ ‫ُو‬ َ ‫ُم ْْبوٍر‬
َُ ‫»ُرَواهُالْبَ ازار‬ َ ‫ُوك ُّلُبَْي ٍع‬،
َ ‫ُع َملُالارجلُبيَده‬:
َ ‫ال‬َ َ‫َيُالْ َك ْسبُأَطْيَب؟ُق‬
ُّ ‫أ‬

ُ‫ا ْْلَاكم‬

Artinya:”Dari Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu’anhu , Nabi Shalallahu

‘Alaihi Wassalam ditanya tentang pencaharian yang paling baik,

beliau menjawab: seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap

jual beli yang mabrur.” (HR. al-Bazzar, dishahihkan oleh al-Hakim,

no. 734)

16
Ibid.358
17
As-Shan’aani, Subulus Salam, (ttp: dar al-hadits, tth), jilid: 2, hal: 2
6

Maksud dari jual beli yang mabrur adalah jual beli yang

memelihara pelakunya (dengan memenuhi akad-akad di dalam jual

beli) tidak mengandung tipuan, tidak berkhianat dan tidak ada maksiat

didalamnya kepada Allah, dimana kedua pihak dapat mengambil

manfaat dan ter-realisasikannya sikap tolong menolong diantara

manusia.18

Dalil berikutnya:

َ َ‫ُعلَْيه َُو َسلا َمُق‬


ُ‫ُ«ََلَ ْنُ ََيْخ َذ‬:‫ال‬ َ ‫ُصلاىُهللا‬
َ ‫ُعنُالناِب‬،
َ ‫ُعْنه‬
َ ‫ُاَّلل‬
‫ُالع اوام َُرض َي ا‬
َ ‫ُالزبَْْيُبْن‬
ُّ ‫َعن‬

ُ‫ُخ ْْيٌُلَه‬
َ ‫اُو ْج َهه‬
َ َ‫ُاَّللُِب‬
‫ف ا‬ َ ‫ُفَيَأِْتَُِب ْزَمةُاْلَطَب‬،‫َحدك ْمُ َحْب لَه‬
‫ُفَيَك ا‬،‫ُفَيَب َيع َها‬،‫ُعلَىُظَ ْهره‬ َ‫أ‬

ُ‫ُمنَعوه‬
َ ‫ااسُأ َْعطَ ْوهُأ َْو‬
َ ‫»م ْنُأَ ْنُيَ ْسأ ََلُالن‬

Artinya:” Dari Zubair bin awwam radhiyallahu’anhu, dari Nabi

Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:”sungguh seorang di antara

kalian yang mengambil talinya lalu dia mencari seikat kayu bakar dan

di bawa dengan punggungnya kemudian menjualnya lalu Allah

mencukupkannya dengan kayu itu, lebih baik baginya daripada ia

meminta-minta kepada manusia, baik manusia itu memberinya atau

menolaknya.” (HR.Bukhori, no 1471)19

Hadits ini menunjukkan salah satu kewajiban bagi manusia adalah

bekerja untuk memenuhi kehidupannya. Sesungguhnya hasil usaha

18
Abdurrahman Aljazairi, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibi Arba’ah, (Beirut: dar al-kotob al-ilmiyah,
2014), jilid: 2, hal: 140
19
Al-bukhori, al-jaami’ash-shohih (shohih al-bukhori), ( beirut: dar thouq an-najah, tth), jilid 2,
hal 123
7

seseorang dari pekerjaan yang ia usahakan lebih baik daripada

meminta-minta kepada manusia.

3) Ijma’

Ijma’ merupakan sumber hukum ketiga setelah al-qur’an dan

hadits. Dari dalil ijma’ umat islam sepakat bahwa jual beli hukumnya

boleh dan terdapat hikmah didalamnya.20 Jual beli juga menjadi salah

satu sebab kepemilikan.21 Kebutuhan manusia melekat pada apa yang

berada tangan orang lain sehingga terjadinya transaksi jual beli

merupakan hal yang sangat urgen, dengan transaksi jual beli seseorang

mampu memiliki barang orang lain yang diinginkan tanpa melanggar

syari’at. Dari jual beli manusia dapat mancapai tujuannya

(mendapatkan apa yang diinginkan) dan dapat memenuhi

kebutuhannya.22

Pada prinsipnya hukum segala sesuatau adalah boleh 23

َ ‫َصلُِفُاَلَ ْشيَاءَُاإل ََب َحةُُ َح اَّتُيَد ُّلُالدالْيل‬


ُ‫ُعلَىُالتَ ْحرْي‬ ْ ‫اَل‬

Imam asy-Syafi’I mengatakan semua jenis jual beli hukumnya

boleh jikalau dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing

mempunyai kelayakan untuk melakukan transaksi, kecuali jual beli

20
Wizaratul Auqaf Wa Syu’uni Al-Islami, Al-Maushu’ah Al-Fiqhiyah, (Kuwait: Dar as-Salasil,
1987), jilid: 9, hal. 8
21
Imam Fakhruddin al-Hanafi, Tabyinul Haqaiq Syahrh Kanzu ad-Daqaiq, (Beirut: darall-Kotob
al-Ilmiyah, 2010), jilid:4, hal: 275
22
Manshur bin Yunus bin Idris al-Bahuti, Kasyaful Qinaa’ ‘An Matan al-Iqna’, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1968), jilid: 3, hal: 145 . Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, (Libanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah,
2008), jilid: 3, hal: 279.ُ Kamaluddin as-Sakandari dan Syamsuddin ahmad, Fathul Qadir ‘Ala Hidayah, (
Libanon: Dar al-Fikr, 1970), jilid: 6, hal: 247
23
Jalaluddin Abdirrahman bin Abi Bakar Asy-Syuyuthi, Al-Asbah wa An-Nadzhoir, (Beirut: Dar
Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2010), hlm: 103
8

yang di larang atau diharamkan dengan izin-Nya maka termasuk

dalam kategori yang di larang. Adapun selain itu maka jual beli boleh

hukumnya selama pada bentuk yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala

dalam kitabnya, seperti dalam firman-Nya:

ُ ‫ُو َح ارمَ ُالر ََب‬


َ َ‫ُاَّلل ُا لْبَ يْ ع‬
‫أَح لا ا‬
َ ‫َو‬

“Allah telah menghalalkan jual beli, dan mengharamkan riba’’

(QS.Al-Baqarah: 275)

ٍ ‫ُعنُتَ َر‬
ُ‫اضُمنك ْم‬ َٰ ‫إاَّلُٓأَنُتَكو َن‬
َ ً‫ُتََرة‬

“kecuali dalam perdagangan atas dasar suka sama suka diantara

kamu.” (QS. An-nisa: 29)

3. Rukun dan syarat jual beli

Rukun merupakan unsur yang membangun transaksi jual beli itu sendiri,

maka jika salah satu dari unsur itu tidak terpenuhi maka jual beli itu tidak akan

terjadi. Syarat adalah ketentuan yang harus di penuhi, dalam arti mungkin

saja jual beli itu terjadi akan tetapi belum tentu ia menjadi transaksi jual beli

yang sah, maka di lihat dari syaratnya apakah sesuai syarat atau tidak.

Mengenai rukun dan syarat jual beli fuqoha’ berbeda pendapat

didalamnya. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan qabul

(shighoh) saja. Ijab- qabul merupakan petunjuk adanya maksud untuk saling

menukar dan selainnya (muathah). Adapun pelaku akad (penjual dan pembeli)

dan barang akan mengikuti akad dan bukan merupakan rukun, karena tidak
9

akan dikatakan jual beli jika tidak ada sighoh meskipun di dapati penjual dan

pembeli serta barang.24

Rukun jual beli menurut jumhur adalah unsur yang menyebabkan adanya

(terwujudnya) sesuatu secara akalُُ baik yang merupakan hakikat dari sesuatu

itu ataupun bukan. Oleh karena itu rukun dari jual beli menurut jumhur

adalah:25

1) Al-‘aqidaani ( penjual dan pembeli)

2) Shighoh ( ijab dan qabul)

3) Ma’qud ‘alaih ( harta dan barang)

Dalam jual beli harus terpenuhi empat syarat26 yaitu

1) Syarat terjadinya transaksi (syuruth in’iqad)

Syarat terjadinya transaksi jual beli adalah hal-hal yang

disyaratkan terpenuhi agar transaksi di anggap legal menurut syari’at,

sedang jika tidak terpenuhi maka transaksinya di anggap batal.

2) Syarat sah jual beli (syuruth shihah)

Syarat sah jual beli adalah syarat-syarat yang harus di penuhi

dalam jual beli jika tidak terpenuhi maka jual beli menjadi batal menurut

jumhur dan fasid menurut hanafiyah.

3) Syarat berlaku dalam jual beli (syuruth nafadz)

24
Wizaratul Auqaf Wa Syu’uni Al-Islami, Al-Maushu’ah Al-Fiqhiyah, (Kuwait: Dar as-Salasil,
1987), jilid: 9, hal: 10. Abu Bakar Alauddiin as-Samarqandi, Tuhfatul Fuqaha’, (Beirut: dar al-kotob al-
ilmiyah, 1994), jilid: 2, hal: 29. Abdurrahman Aljazairi, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibi Arba’ah, (Beirut: dar al-
kotob al-ilmiyah, 2014), jilid: 2, hal: 141. Kamaluddin Muhammad bin abdul Wahab, Fathul Qadir ‘Ala
Hidayah,( libanon: dar al-fikr, 1970), jilid: 6, hal: 246
25
Imam an-Nawawi, As-Subkhi, Muhammad Najib, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzhab, ( Beirut:
dar al-kotob al-ilmiyah, 2011), jilid: 10, hal: 165. Al-Khotib as-Sarbini, Mughni al-Muhtaj, ( Beirut: dar al-
kotob al-ilmiyah, 1994), jilid: 2, hal: 323. Wizaratul Auqaf Wa Syu’uni Al-Islami, Al-Maushu’ah Al-
Fiqhiyah, (Kuwait: Dar as-Salasil, 1987), jilid: 9, hal. 10
26
Wahbah az-zuhaili, Fikih Islam Wa Adilatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr 2007), jilid: 5, hal
10

Syarat berlaku dalam jual beli adalah syarat-syarat yang harus di penuhi

dan jika salah satu tidak terpenuhi maka akad dari transaksi tersebut

mauquf.

4) Syarat keharusan (komitmen) jual beli (syuruth luzum)

Syarat luzum adalah syarat yang harus diperhatikan setelah

terpenuhinya syarat-syarat sah dan berlakunya transaksi. Dalam syarat

luzum salah pelaku transaksi memiliki hak untuk membatalkan atau

meneruskan teransaksi. Seperti hak khiyar syarath, khiyar naqd, khiyar

‘aib, khiyar ru’yah, khiyar ta’yin, khiyar ghubni. Dengan demikian jika

dalam transaksi yang dilakukan terdapat salah satu dari hak pilihan

tersebut maka jual beli tidak berlaku pada pihak yang memiliki hak pilih

tersebut. Secara otomatis, ia berhak untuk meneruskan ataupun

membatalkan transaksi itu jika terjadi halangan untuk menerapkannya.

B. Konsep Bai’ul ‘Inah

1. Definisi

Al‘inah (ُ‫ُيُنَُة‬
ْ‫ )الع‬dengan kashroh ‘ain berarti as-salaf yaitu hutang.
27

Dikatakan ُ‫إُ ُْعُتَا َُنُُ ُالرجُل‬ yang maksudnya seseorang laki-laki membeli

sesuatu dengan pembayaran di belakang/utang atau tidak kontan.28 ‫ي‬


ُ ‫الع‬

juga berarti uang cash karena ada tujuan dalam membeli barang untuk

27
Wizaratul Auqaf Wa Syu’uni Al-Islami, Al-Maushu’ah Al-Fiqhiyah, (Kuwait: dar as-salasil,
1987), jilid: 9, hal: 95
28
Al-Imam Jamaluddin Abi Fadl, Lisanul Arab, (Beirut: Dar al-Kotob al- Ilmiyah, 2009), jilid:
13, hal: 373
11

mendapatkan uang cash. Jika dikatakan ُ‫ُالعْب َد َُب َلديْنُ أ َْوَُب َلع ْي‬
َ ‫ا ْش َتَيْت‬ maka

berati arti “aku membeli budak dengan hutang atau kontan”. 29 Disebut

‘inah karena seseorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga

tempo, kemudian penjual itu membeli kembali barangnya tadi secara

kontan dengan harga yang lebih rendah dari harga pertama. Kamal Ibnu

Hamam berpendapat dinamakan baiul ‘inah karena ia berasal dari al-‘ain

al mustarja’ah (barang -yang satu/sama- yang kembali).30 Dinamakan

‘inah juga karena sebagai bentuk pertolongan: Seolah-olah penjualan

membantu pembeli untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.31

Fuqaha’ berbeda-beda dalam memberi pengertian bai’ul ‘inah, hal

tersebut sesuai dengan gambaran yang diberikan mengenai bai’ul ‘inah.

1. Menurut Hanafiyah

Ba’iul‘inah adalah Seorang menjual suatu barang , kemudian

diserahkan kepada pembeli, dan penjual belum menerima uang

(kredit) setelah itu penjual membelinya (kembali) dengan harga yang

lebih rendah dari harga pertama.32

Seperti contoh seseorang meminjam sepuluh dirham dari seorang

pedagang, namun pedagang menolaknya (tidak mau menghutangi).

Pedagang ingin menggunakan mekanisme yang lain yang dengannya

ia bisa mendapatkan untung. Maka Pedangang mengatakan,”aku tidak

29
Ibid. 372
30
Wizaratul Auqaf Wa Syu’uni Al-Islami, Al-Maushu’ah Al-Fiqhiyah, (Kuwait: dar as-salasil,
1987), jilid: 9, hal: 95
31
Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad al-Khalwati, Hasyiyah al-shawii ‘ala asy-Syahi ash-
Shaghir (ttp: Daar al-Ma’arif, tth), jilid: 3, hal: 129
32
Imam Fakhruddin al-Hanafi, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzu Daqaiq, (Libanon: Dar al-Kotob al-
Ilmiyah, 2010), Jilid: 4, hal 382
12

mau menghutangimu akan tetapi aku akan menjual pakaian ini

kepadamu yang senilai sepuluh dirham dengan harga lima belas

dirham -misalnya-, kemudian engkau menjualnya kembali kepadaku

senilai sepuluh dirham. Hal ini karena ia berkeinginan untuk

mendapatkan keutungan, dan si penghutang menyetujuinya, hingga

dia menanggung lima dirham tersebut.33

Dalam Hasyiyah Ibnu ‘Abidin disebutkan harus adanya orang

ketiga dalam jual beli ‘inah yakni muqridh (orang yang dihutangi)

menjual baju kepada mustaqridh (yang berhutang) dengan harga 12

dirham, kemudian mustaqridh menjual baju tersebut kepada orang

ketiga dengan harga 10 dirham, setelah itu orang ketiga menjualnya

kepada muqridh dengan harga 10 dirham.34

2. Madzhab Malikiyah

Ibn Rusyd menyebutnya dengan bai’ul aajaal dengan memberi

pengertian seseorang menjual barang secara tangguh kemudian ia

membelinya kembali dengan harga lain ( lebih tinggi/ lebih rendah)

baik secara tempo ataupun kontan.35

3. Madzhab Syafi’i

Imam asy-Syafi’i menyebut bai’ul ‘Inah dengan bai’ul aajaal.

Bai’ul ‘inah adalah seorang menjual sesuatu pada orang lain dengan

harga tempo seraya menyerahkannya, kemudian sebelum di lunasi,

barang tersebut di beli lagi dengan harga yang lebih rendah secara

33
Ibnu Abidin , Hasyiyah Ibn Abidin,(Kairo: Dar al-Hadits, 2016),Jilid: 8, hal: 32
34
Ibid
35
Imam Ibn Rusyd Al-Andalusi Al-Qurtubi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid,
(Jakarta: Dar Al-Kutub al-Islamiyah, 2012), hal:131
13

tunai36 begitupula sebaliknya boleh menjualnya dengan harga kontan

lalu membelinya dengan harga lebih tinggi secara kredit.37

4. Madzhab Hambali

Bai’ul ‘inah adalah seorang yang menjual barang dagangan

dengan harga yang tempo kemudian membelinya kembali dengan

lebih rendah secara tunai.38

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa bai’ul

‘inah menurut jumhur adalah pembelian suatu barang yang telah

diketahui harganya, dibayar secara tempo/tangguh/cicil kemudian

pembeli menjual barang tersebut kepada penjual asal (dari barang

tersebut) secara tunai dengan harga yang lebih rendah dari harga

pertama.

2. Dasar Hukum Jual Beli ‘Inah

Jumhur ulama (Hanafi, Maliki, dan Hambali), tidak membolehkan

bai’ul ‘inah, berikut dalil yang digunakan:39

36
Imam an-Nawawi ad-Dimasyqi, Raoudhatut Thalibin, (Libanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah,
2013), jilid:3, hal:85-86
37
Imam an-Nawawi, Raudhatuth Thalibiin, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2013), jilid: 3,
hlm: 85

38
Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Hasyiyah Ibn Qudmah,(Kairo: Dar al-Hadits, 2016),Jilid: 8, hal: 32
39
Imam Fakhruddin al-Hanafi, Tabyinul Haqaiq Syahrh Kanzu ad-Daqaiq, (Beirut: darall-Kotob
al-Ilmiyah, 2010), jilid:4, hal: 382, Imam Ibn Rusyd Al-Andalusi Al-Qurtubi, Bidayatul Mujtahid Wa
Nihayatul Muqtashid, (Jakarta: Dar Al-Kutub al-Islamiyah, 2012), hal:131, Ibn M uflih al-Hambali
14

ُ،‫ُ"إُ ُذَاُتَُُبَايَُ ُْعت ُْمَُبُلعينَة‬:ُ‫ُيَُقُ ُْول‬-ُ‫صلاىُهللاُعليهُوسلم‬-ُ‫ُس ْعُت َُُرسُ ُْوَلُهللا‬:


َُ ‫ال‬
َُ َ‫ُُق‬،‫َُع ُْنُ ُابْنُُعُ َُمَُر‬

ُُ‫ُعُلَُْيكُ ُْمُذَّلًّ ََُّلُُيَُنُْزعهُُ َُح اّت‬ َُ ‫ُسلا‬،


َُ ‫طُهللا‬ َ ‫ُوتََُرُْكتمُُالُ َُه َاد‬،
َُ ُ‫ُوَُرضُْيُت ُْمَُبُلازْرع‬،
َُ ‫بُالبَُ َُقر‬
َ ‫َُوأَُ َُخ ُْذ ُْتُأَُُْذ َُن‬

ُ‫لُدُيُُْنَكُ ْم‬
َُ ُ‫تَرجعواُإ‬

Dari Ibn Umar Radhiallahu ‘anhu berkata: “aku mendengar Rasulullah

Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda,: apabila kalian melakukan

jualbeli dengan ‘inah, mengikuti ekor sapi (sibuk bertani) dan

meninggalkan jihad fi sabilillah, maka Allah SWT akan menurunkan bala

dan tidak akan mengangkatnya kembali kecuali (mereka) kembali kepada

(ajaran) agama mereka” (HR. Abu Daud no. 3462)40

Ar-Rafi’i berkata ‘inah adalah menjual sesuatu kepada orang lain

secara tempo kemudian ia membelinya kembali dengan harga yang lebih

rendah dari harga awal. Diharamkannya ‘inah karena Allah Ta’ala

mengharamkan riba dan sesuatu yang menjadi wasilah kepada riba. ‘Inah

merupakan wasilah yang sangat dekat di antara wasilah-wasilah yang

menghantarkan pada keharaman sesuatu.41

Dalam Riwayat lain disebutkan Kisah Zaid bin Arqam bersama

Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha. bahwa ‘Aliyah binti Ayfa’

berkata,’’ saya, ibunda Zaid bin Arqam beserta istri Zaid, masuk menemui

‘Aisyah, lalu saya berkata kepada Aisyah, Saya menjual seorang budak

Zaid dengan harga delapan ratus dirham secara kredit kepada Atho’ lalu

40
HR. Abi Daud no. 3462
41
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Aunul Ma’bud, (Kairo: Dar al-Hadits, 2001), jilid: 6, hal: 317
15

saya membelinya kembali dari Atho’ dengan harga enam ratus dirham

tunai. Aisyah menjawab jelek sekali jual belimu! Sampaikan kepada

kepada Zaid bahwa jihadnya bersama Rasulullah akan sia-sia jika ia tidak

bertaubat.’’42

ُ‫ُم َع َهاُأ ُّم َُولَد َُزيْد‬


َ‫ت‬ ْ َ‫ىُعائ َشةَُقَ ْد َخل‬
َ َ‫تُعل‬
َ ‫أتهُأهناُد َخ ْل‬
َ ‫ُامَر‬
ْ ‫ُع ْن‬:‫نُإسحاقُالسبيعي‬
َ ْ‫َع ْنُاب‬

ًُ‫يُإّنُب ْعتُغ ََلماًُُمنُزيدُبنُأرقمُبثَ َماِنائةُد ْرَه ٍمُنَسْي ئَة‬


َ ْ ‫ُ«َيُأ امُُُامل ْؤمن‬:
َ ‫ت‬ ْ َ‫ُفَ َقال‬،ُ‫بْنُأ َْرقَ َم‬

ُ،‫تُوبئسُماُاشتيت‬
َ ْ‫ُماُ ْش َتَي‬
َ‫س‬ َ ‫ُبْئ‬:‫تُهلاُعائشة‬
ْ َ‫ُفَ َقال‬,‫ُوإّنُابْتَ ْعتهُمنهُبستمائةُنقدا‬،
َ

ُ‫ُلُُإََُّلُُأَُ ُْنُُيَتوب»(رواه إ انُج َهادهُمعُرسول‬


َُ َ‫هللاُصلىُهللاُعليهُوسلمُوآلهُوسلمُُقَ ْدُُبَط‬

43)2255 ‫الدارقطين‬

Dalil selanjutnya diharamkannya ‘inah

َ ُُ‫ُإذَا‬:‫ُيقول‬-ُ‫صلاىُهللاُعليهُوسلم‬-ُ‫ُس ْعُت َُُرسُ ُْوَلُهللا‬:


ُ‫ض انُالنَاس‬ َُ ‫ال‬
َُ َ‫ُُق‬،‫َُع ُْنُ ُابْنُُعُ َُمَُر‬

ُ‫ُُأَنَُُْزَُل‬،ُ‫ِفُ َُسبُُْيلُُهللا‬
ُْ ُُ‫ُوُتَركُواُالُ َُهاد‬، َُ ‫ُواتاُبَُعُُْواُأَُُْذ َُن‬،
َُ ُ‫بُالبَُ َُقر‬ َ ‫ُوتَبَايَع ْواَُبلع ْي نَة‬،
َ ‫َبلديْنَار َُوالد ْرَهام‬

.‫ّتُُيَُُْرجُعُواُدُيُْنَُهُ ُْم‬
َ ‫ُُفَ ََلُُيَُُْرفَُعُهُُ َُح‬،ُ‫َلء‬
ََُ‫اَّللُِبُ ُْمُُب‬
َُ

Artinya : “Apabila manusia kikir dengan dinar dan dirham, melakukan

jual-beli ‘inah, mengikuti ekor sapi (sibuk bertani) dan meninggalkan

jihad fi sabilillah, maka Allah Ta’al akan menurunkan bala dan tidak akan

42
Ibid. hal: 318
43
HR. Daruthni no. 2255
16

mengangkatnya kembali kecuali (mereka) kembali kepada (ajaran) agama

mereka”ُ (HR. Abu Daud dengan sanad shahih)44

Hadist di atas dengan jelas menyatakan larangan Nabi Shalallahu

‘Alaihi Wassalam dalam beberapa perkara diantaranya baiul ‘inah,

larangan menunjukkan keharaman atas sesuatu selagi tidak ada qorinah

/indikasi yang memalingkannya kepada hukum makruh. Dan indikasi itu

tidak ditemukan dalam perkara ini. bahwa transaksi ‘inah adalah salah

satu penyebab dari murka Allah Ta’ala. Untuk itu, segala yang

menyebabkan murka Allah SWT hukumnya adalah haram.45

3. Hukum Jual Beli ‘Inah

Fuqaha’ berbeda pendapat pada jual beli dari suatu barang tertentu

secara kredit, seraya diserahkan kepada pembeli kemudian oleh pembeli

di jual kembali dengan harga yang lebih kecil. Ada dua pendapat terkait

bai’ul ‘inah:

Pertama, jual beli ‘inah hukumnya bathil, tidak diperbolehkan. Ini adalah

pendapat jumhur ulama karena baiul ‘inah merupakan alasan pembenar

(hilah) untuk meligistimasi riba,46 juga sabda Nabi tentang larangan jual

beli ‘inah,

44
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Aunul Ma’bud, (Kairo: Dar al-Hadits, 2001), jilid: 6, hal: 320
45
Abdul ‘Adzim Ahmad ‘Adwan, Bai’al -‘Inah Wa Hukmuhu Fiil Islam, (2008), Majalah al-Fath,
https://www.researchgate.net/publication/320621057_by_alynt_whkmh_fy_alaslam
46
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adilatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, tth), jilid: 5, hal: 3454
17

ُ‫ُ"إُ ُذَاُتَُُبَايَُ ُْعت ُْم‬:‫ُيقول‬-ُ‫صلاىُهللاُعليهُوسلم‬-ُ‫ُرسولُهللا‬


َ ‫ُسعت‬:‫ُقال‬،‫َُع ُْنُ ُابْنُُعُ َُمَُر‬

َُ ًّ‫ُعُلَُْيكُ ُْمُذَّل‬
ُ‫َُّل‬ َُ ‫ُسلا‬،
َُ ‫طُهللا‬ َ ‫ُوتََُرُْكتمُُالُ َُه َاد‬،
َُ ُ‫ُوَُرضُْيُت ُْمَُبُلازْرع‬،
َُ ‫بُالبَُ َُقر‬
َ ‫ُوأَُ َخُ ُْذ ُْتُأَُُْذ َُن‬،
َُ ‫َبُلعينَة‬

ُ‫لُدُيُُْنَكُ ْم‬
َُ ُ‫يَُنُْزعهُُ َُح اّتُُتَُْرجعواُإ‬

“Apabila kamu melakukan jual beli dengan sistem ‘inah dan menjadikan

dirimu berada di belakang ekor sapi, ridho dengan cocok tanam dan

meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menjadikanmu dikuasai oleh

kehinaan, Allah tidak akan mencabut kehinaan itu dari mu sebelum kamu

kembali kepada agamamu.” (HR.Abu Daud no. 3462)47

Kedua, jual beli ‘inah diperbolehkan tapi makruh, ini adalah pendapat

madzhab syafi’i.

Berikut hukum jualbeli ‘inah menurut ulama madzahib:

1. Madzhab Hanafi

Dalam jualbeli keutungan adalah hak penjual, karena barang bukan

lagi menjadi tanggungan penjual ketika ia telah menyerahkan, dan

harga adalah tanggungan pembeli. Namun dalam kasus ini uang belum

menjadi hak penjual karena ia belum menerimanya, maka jika ia

membelinya (barang yang ia jual) kembali dengan harga yang lebih

rendah ia akan mendapatkan untung, hal ini tidak diperbolehkan,

sebagaiman sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:

ُ‫فُُ َُوُبَُُْي ٌع‬


ٌ َ‫ََُّل َُيلُُ َُسُل‬

47
HR.Abu Daud no. 3462
18

“Tidak halal menggabungkan antara akad hutang dengan akad jual

beli” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-

Albani)

Hadits tersebut sebagai bentuk larangan untuk menggabungkan antara

jual beli dengan hutang, menjadikan jual beli sebagai syarat

mengambil keuntungan dalam utang.48

Abu Hanifah manghukumi transaksi ini fasid jika tidak adanya

orang ketiga yang terlibat.49 Pendapatnya bahwa transaksi ini fasid di

ambil dengan pendekatan istihsan karena adanya teks hadits yang

berbicara langsung mengenai kasus ini (kisah Zaid bin Arqam). Selain

itu, harga (alat tukar) bila belum terbayar, maka jual beli belum di

anggap terjadi sehingga jual beli keduanya secara otomatis juga tidak

bisa di anggap terjadi. Dalam arti, penjual pertama tidak mempunyai

hak untuk membeli barang dari orang yang belum memiliki atau

menerimanya. Oleh sebab itu jual beli ini di anggap fasid.50

Adapun dua sahabat Abu Hanifah sekilas terlihat berbeda

pendapat, Abu yusuf berpendapat jual beli ‘inah diperbolehkan dan

tidak makruh. Sedang Muhammad asy-Syaibani mengatakan

meskipun jual beli ini sah tapi tetap dianggap makruh, hingga ia

mengatakan,”posisi jual beli ini dalam hati saya bagaikan gunung-

48
Imam Fakhruddin al-Hanafi, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzu ad-Daqaiq, (Beirut: Dar al-Kotob
al-Ilmiyah, 2010), jilid:4, hal: 382
49
Ibnu Abidin , Hasyiyah Ibn Abidin,(Kairo: Dar al-Hadits, 2016),Jilid: 8, hal: 32
50
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adilatuhu.terj,(Jakarta: gema insani, 2011), jilid: 5, hal:135
19

gunung hina yang dibuat oleh pemakan riba.51 Namun sebenarnya Abu

Yusuf dan Muhammad asy-Syaibani memiliki pendapat yang sama

yakni mengacu pada pendapat madzhab Hanafi dengan yang

menghukuminya fasid.

2. Madzhab Maliki

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Imam

Ibn Rusyd Al-Andalusi Al-Qurtubi menyebutkan bai’ul ‘inah dengan

bai’ul Aajaal dalam bab “fii buyu’i adz-dzarai’ ar-ribawiyah”. Jumhur

Maliki menghukumi bai’ul ‘inah sebagai transaksi yang tidak

diperbolehkan dan batal, karena jual beli yang kedua termasuk jual beli

yang pertama, juga terdapat tujuan dengan pembayaran yang lebih

banyak secara tempo termasuk riba yang di larang. Ini yang

menyebabkan haramnya transaksi tersebut. 52

Seperti contoh, seorang berkata:”hutangi aku 10 dinar dalam

tempo satu bulan, maka aku akan mengembalikan kepadamu dengan

20 dinar”. Ini jelas tidak boleh, oleh karenanya mekanisme yang

digunakan adalah bai’ul ‘inah:” aku jual keledai ini kepadamu dengan

harga 20 dinar dalam tempo satu bulan. Kemudian aku beli kembali

darimu dengan harga 10 dinar kontan”.

51
Kamaluddin Muhammad bin abdul Wahab Fathul Qadir ‘Ala Hidayah, ( Libanon: Dar al-Fikr,
1970), jilid: 2, hal: 207, Raddul Mukthtar 4/ 255,291; Ibnu Abidin , Hasyiyah Ibn Abidin,(Kairo: Dar al-
Hadits, 2016),Jilid: 8, hal: 33
52
Imam Ibn Rusyd Al-Andalusi Al-Qurtubi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid,
(Jakarta: Dar Al-Kutub al-Islamiyah, 2012), hal:131
20

Dalam madzhab Maliki hal tersebut di larang karena adanya

praduga pada tujuan yang di larang syari’at. Hal tersebut sebagai

bentuk saad adz-dzari’ah dari riba dalam transaksi tersebut.53

3. Madzhab Syafi’i

Bai’ul inah dalam madzhab Syafi’i diperbolehkan, akan tetapi

makruh ini adalah Pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Syafi’i

karena rukunnya telah terpenuhi. Adapun mengenai niat diserahkan

kepada Allah Ta’la.54

Imam syafi’i mengkritik hadits ‘Aliyah yang menjadi dalil dari

pelarangan jual beli ‘inah adalah tidak tsubut (terbukti). Pelarangan

jual beli ini karena ‘Aliyah melakukan jual beli yang pembayarannya

ditangguhkan sampai pembeli menerima tunjangan dan itu merupakan

batas waktu yang tidak di ketahui. Atsar ini bukan berarti ‘Aisyah

mengkritik lantaran membeli dengan tunai dan menjualnya secara

tempo. Selain itu Zaid bin Arqam adalah seorang sahabat Nabi yang

selalu menjauhkan dirinya dari perkara riba tidak mungkin melakukan

jual beli kecuali dipandangnya halal.55

Namun Imam asy-Syafi’i juga melarang jika hal ini telah menjadi

adat yang berarti jual beli kedua menjadi syarat dalam jual beli

pertama. 56

53
Imam Muhammad bin Ahmad ad-Dasuki, Hasyiyah ad-Dasuki, (Beirut: Dar al-Kotob al-
Ilmiyah,ُُ 2011), jilid: 4, hal: 22
54
Imam asy-Syafi’i, Al-Umm, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2009), jilid: 3, hal: 95. Wahbah
az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adilatuhu.terj,(Jakarta: gema insani, 2011), jilid: 5, hal:135

55
Imam asy-Syafi’i, Al-Umm, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2009), jilid: 3, hal: 95
56
Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah,2008), jilid: 3, hal: 351
21

4. Madzhab Hanbali

Adapun madzhab Hanbali berpendapat sama sebagaimana

madzhab Maliki bahwasannya transaksi jual beli semacam ini batal

berdasakan syaddu dzariáh akan riba57 yaitu adanya tujuan-tujuan

yang tidak baik yang mendorong pelaku untuk melakukannya.

Transaksi itulah yang menjadi penyebab terwujudnya niat-niat tidak

baik tersebut.58

Adanya riwayat tentang kisah Zaid bin Arqam bersama sayyidah

Aisyah juga mendasari pendapat ini. Dimana sayyidah Aisyah

mengomentari seorang wanita yang menjual budak dengan harga

enam ratus dirham setelah ia membelinya dengan harga delapan ratus

dirham “Buruk sekali jual beli yang kamu lakukan! sampaikan kepada

Zaid bahwa jihadnya bersama Rasulullah akan sia-sia jika ia tidak

tobat.59

Imam Ahmad sendiri menilai jual beli ini adalah riba, karena

mengambil ganti dengan sesuatu yang lebih kecil sehingga ada selisih

yang menjadi kelebihan di antara keduanya.60

Dalam kitab al- inayah syarh dari kitab al-hidayah disebutkan

bahwa hukum jual beli ‘inah adalah makruh, karena adanya

pengalihan hutang terhadap barang -Oleh karenanya jual beli ini

dinamakan al-‘inah yang menunjukkan sifat kikir seseorang dan tidak

57
Ibnu Muflih al-hambali, Al-Mubdi’Syarh al-Muqni’, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1997),
jilid: 4, hal: 48
58
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adilatuhu.terj,(Jakarta: gema insani, 2011), jilid: 5, hal:135
59
Abi Bakar al-Maghinani, al-Hidayah, (Kairo: Dar as-Salasil, 2006), jilid:3, hal: 980
60
Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2008), jilid: 3, hal: 351
22

mau menolong orang lain, dimana keduanya merupakan sifat yang

tercela-.61

61
Muhammad bin mahmud, al-‘Inayah, (Libanon: Dar al-Fikr, 1970), jilid: 7, hal: 211

Anda mungkin juga menyukai