Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kalau kita menengok sejarah masa silam, ketika pada permulaan abad ke
4 , sikap taqliq sudah mempegaruhi para ulama, sehingga muncul pernyataan
Pintu Ijitihad telah tertutup karena apa yang mereka lakukan pada masa itu
hanyalah meringkas dari karanan ulama masa lankau, tetapi kemajuan yang
dicapai bangsa barat menimbulkan kembali kesadaran umat Islam akan perlunya
pemikiran kembali dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan Keislaman.
Adapun dimasa sekarang dimana perkembangan ilmu dan teknologi
sangat pesat yang pada akhirnya membawa masalah baru dengan cepat, untuk
mengadakan Ijtihad penetapan _okum masalah baru itu sangat diperlukan bekal
yang cukup untuk perkembangan ilmu pengetahuan yang bersifat modern pula,
sebab seandainya pada masa kini tidka diadakan ijtihad

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Ijtihd Pada Akad Jual Beli ?
2. Bagaimana pengertian Salam, Istisna, Murabahah, Ba Al-wafa, Jual Beli
Secara Berutang?
3. Bagaimana Bai Al-Inah, Bai Tawaruq dan Bai Al-Da?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Apa Pengertian Ijtihd Pada Akad Jual Beli
2. Untuk mengetahui Bagaimana pengertian Salam, Istisna, Murabahah, Ba Al-
wafa, Jual Beli Secara Berutang
3. Untuk mengetahui Bagaimana Bai Al-Inah, Bai Tawaruq dan Bai Al-Da
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN IJTIHD PADA AKAD JUAL BELI


Dari segi bahasa Ijtihad ialah mengerjakan sesuatu dengan segala
kesungguhan. Perkataan ijtihad tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang
harus dilakukan dengan susah payah. Adapun ijtihad secara istilah cukup
beragam dikemukakan oleh ulama usul fiqh.1 Namun secara umum adalah

Artinya : Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara


dari dalil terperinci dalam syariat2

Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang


faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu
melalui dalil syara (agama). Dalam istilah inilah ijtihad lebih banyak dikenal dan
digunakan bahkan banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad dilakukan
di bidang fiqih.3
Peerapan ijtihad melalui jual beli dapat dilihat dari Urf, yaitu tindakan
menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat
setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan
prinsipal dalam Alquran dan Hadis. Contohnya dalah dalam hal jual beli. Si
pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah
diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama
antara penjual dan pembeli. Yang menjadi landasan diperbolehkannya ijtihad

1 Muhammad Abu Zahrah, 1965, Ushul al-Fiqh, Mesr ; Dar al-Fikr al-Arabi. Hal. 19
2 Wahbah Zuhaili, 1986, Ushl al-Fiqh Al-Islmi, Juz II, Damaskus Seria ; Dar al-Fikr, Cet. I. hal.
36
3 Quthub Mustafa Sanu, 2000, Mujam Mustalahat Ushul al-Fiqh, Damaskus-Seria, Cet, I, hal. 27
3

banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat,
diantaranya yaitu :
1. Firman Allah SWT
{105 : }
Artinya : Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa
yang telah Allah wahyukan kepadamu (Q.S An Nisa : 105)4

2. Adanya keterangan sunnah, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Umar :



Artinya : Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia


mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala5

Sebagai kesimpulanialah bahwa Ijtihad itu bersungguh sungguh memeriksa


dan dan menggali serta memahami dalam-dalam akan keterangan dari Al-Quran
dan Al-Hadits, hingga buat pertanyaan yang sulit-sulit dan buat kejadian-kejadian
yang luar biasa itu, bisa mereka dapatkan hukumnya dari Al-Quran dan Al-
Hadits atas jalan faham dengan susah payah atau jalan Qiyas. Orang berusaha
seperti itu dinamakan Mujtahid. Imam Syafii mengatakan bahwa seorang
mujtahid tidak boleh mengtakan tidak tahu dalam suatu permasalahan sebelum
ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti, menelaah, menggali dan
tidak boleh mengatakan aku tahu seraya menyebutkan hukum yang diketahui
itu sebelum ia mencurahkan kemampuan dan mendapatkan hukum itu.
Sedangkan aplikasi Ijtihad itu dapat di terapkan pada empat cara dalam bentuk
transaksi yaitu; 6

Wahbah Zuhaili, 1986, Ushl al-Fiqh Al-Islmi, Juz II, Damaskus Seria ; Dar al-Fikr, Cet. I. hal. 62
4 Al-Quran dan Terjemahannya surat An Nisa.105. Departemen Agama R.I Jakarta : Bumi.
5 Wahbah Zuhaili, 1986, Ushl al-Fiqh Al-Islmi, Juz II, Damaskus Seria ; Dar al-Fikr, Cet. I. hal.
44
6 Amir Syarifuddin, 2001, Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta ; Logos Wacana Ilmu, Cet. II, hal. 227
4

1. Lisan. Para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan


secara jelas
2. Tulisan. Adakalanya, suatu perikataan (transaksi) dilakukan secara tertulis.
Hal ini dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu langsung
dalam melakukan transaksi, atau untuk transaksi-transaksi yang sifatnya lebih
sulit, seperti yang dilakukan oleh badan hukum.
3. Isyarat. Suatu transaksi tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang normal,
orang yang cacat pun dapat melakukan transaksi (Al-Aqdu). Apabila cacatnya
adalah tuna wicara maka dimungkinkan akadnya dengan isyarat, asalkan
terdapat sepemahaman dalam transaksi tersebut.
4. Perbuatan. Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, kini
transaksi dapat pula dilakukan dengan cara perbuatan saja, tanpa secara lisan,
tulisan maupun isyarat.7
Hal ini dapat disebut dengan taati atau muatah (saling memberi dan
menerima). Adanya perbuatan ini dari pihak yang telah saling memahami
perbuatan transaksi tersebut dengan segala akibat hukumnya. Hal ini sering
terjadi di supermarket yang tidak ada proses tawar menawar. Pihak pembeli telah
mengetahui harga barang yang secara tertulis dicantumkan pada barang tersebut.
Pada saat pembeli datang ke meja kasir menunjukkan bahwa di antara mereka
akan melakukan transaksi jual-beli. 8

B. Salam, Istisna, Murabahah, Ba Al-wafa, Jual Beli Secara Berutang


1. Salam
Secara bahasa, salam ( )adalah al-i'tha' ( )dan at-taslif ().
Keduanya bermakna pemberian. Ungkapan aslama ats tsauba lil al-khayyath
bermakna: dia telah menyerahkan baju kepada penjahit.
7 Quthub Mustafa Sanu, 2000, Mujam Mustalahat Ushul al-Fiqh, Damaskus-Seria, Cet, I. hal. 38
8 Lihat dalam Amir Syarifuddin, 2001, Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta ; Logos Wacana Ilmu, Cet. II, hal.
227
5

Sedangkan secara istilah syariah, akad salam didefinisikan oleh para


fuqaha secara umumnya: () . Jual-beli barang
yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan pembayaran)
yang dilakukan saat itu juga.9
Penduduk Hijaz mengungkapkan akad pemesanan barang dengan istilah
salam, sedangkan penduduk Irak menyebutnya Salaf. Jual beli salam adalah
suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang
didepan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian/ untuk waktu yang
ditentukan. Menurut ulama syafiiyyah akad salam boleh ditangguhkan
hingga waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara tunai. Secara lebih
rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka
dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atauforward
buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal
dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam
perjanjian.10
Fuqaha menamakan jual beli ini dengan penjualan Butuh (Bai Al-
Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak ada, dan
didorong oleh adanya kebutuhan mendesak pada masing-masing penjual dan
pembeli. Pemilik modal membutuhkan untuk membeli barang, sedangkan
pemilik barang butuh kepada uang dari harga barang. Berdasarkan ketentuan-
ketentuannya, penjual bisa mendapatkan pembiayaan terhadap penjualan
produk sebelum produk tersebut benar-benar tersedia.11
2. Istisna
Berasal dari kata ( shanaa) yang artinya membuat kemudian ditambah
huruf alif, sindan ta menjadi ( istashnaa) yang berarti meminta
dibuatkan sesuatu. Istishna atau pemesanan secara bahasa artinya: meminta di
buatkan. Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: perjanjian terhadap barang
jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan oleh

9Amir Muallim-Yusdani, 1997, Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi. Yogyakarta; Titian
Ilahi Press. Cet. I. hal. 61
10Syarifuddin Amir, 2012. Garis-garis Besar Usuk Fiqh. Jakarta : Fajar Interpratama Offset. Hal. 74
11 Muhammad Abu Zahrah, 1965, Ushul al-Fiqh, Mesr ; Dar al-Fikr al-Arabi. Hal. 120
6

penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari
pihak penjual.12
3. Murabahah
Murabahah atau disebut juga ba bitsmail ajil. Kata murabahah berasal dari
kata ribhu (keuntungan). Sehingga murabahah berarti saling menguntungkan.
Secara sederhana murabahah berarti jual beli barang ditambah keuntungan
yang disepakati. Jual beli murabahah secara terminologis adalah pembiayaan
saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang
membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga
pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan
keuntungan atau laba bagi shaib al-mal dan pengembaliannya dilakukan
secara tunai atau angsur 13
Jual beli murabahah adalah pembelian oleh satu pihak untuk kemudian dijual
kepada pihak lain yang telah mengajukan permhonan pembelian terhadap
suatu barang dengan keuntungan atau tambahan harga yang transparan. Atau
singkatnya jual beli murabahah adalah akad jual beli barang dengan
menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh
penjual dan pembeli. Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty
contracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa required rate profit-
nya (keuntungan yang ingin diperoleh)14
4. Bai Alwaha
Menurut Musthafa Ahmad az-Zarqa, dan Abdurrahman Ashabuni dalam
sejarahnya, bai al-wafa baru mendapat justifikasi para ulama fiqh setelah
berjalan beberapa lama. Maksudnya, bentuk jual beli ini telah berlangsung
beberapa lama dan bai al-wafa telah menjadi urf (adat kebiasaan) masyarakat

12 Amir Muallim-Yusdani, 1997, Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi. Yogyakarta;
Titian Ilahi Press. Cet. I. hal. 69
13 Salam Madkur, 1984, Al-Ijtihd Fi Tasyr al-Islmi, Kairo ; Dar al-Nahda al-Arabiyah, Cet. I,
halanan 107-114.
14 Salam Madkur, 1984, Al-Ijtihd Fi Tasyr al-Islmi, Kairo ; Dar al-Nahda al-Arabiyah, Cet. I, hal.
127
7

Bukhara dan Balkh. Baru kemudian para ulama fiqh, dalam hal ini ulama
Hanafi melegalisasi jual beli ini.15
Ulama Hanafiyah dalam memberikan justifikasi terhadap bain al-wafa
adalah didasarkan pada istihsan urfi. Akan tetapi para ulama fiqh lainnya tidak
boleh melagalisasi jual beli ini. Alasan mereka diantaranya:16
a. Dalam suatu akad jual beli tidak dibenarkan adanya tenggang waktu,
karena jual beli adalah akad yang mengakibatkan perpindahan hak milik
secara sempurna dari penjual kepada pembeli.
b. Dalam jual beli tidak boleh ada syarat bahwa barang yang dijual itu harus
dikembalikan oleh pembeli kepada penjual semula, apabila ia telah siap
mengembalikan uang seharga jual semula.
c. Bentuk jual beli ini tidak pernah ada di zaman Rasulullah SAW maupun di
zaman sahabat.
d. Jual beli ini merupakan hillah yang tidak sejalan dengan maksud syara
pensyariatan jual beli.
Namun, para ulama mutaakhiriin (generasi belakangan) dapat menerima
baik bentuk jual beli ini, dan menganggapnya sebagai akad yang sah. Bahkan
dijadikan hukum positif dalam majalah al-ahkam aladhliyah (Kodifikasi
Hukum Perdata Turki Ustmani) yang disusun pada tahun 1287 H. Begitupun
dalam hukum positif Indonesia bai al-wafa telah diatur didalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah Pasal 1112 s/d 115.17
5. Jual Beli Secara Berutang
Dikenal juga dengan jual beli tertangguh yaitu menjual sesuatu dengan
disegerakan penyerahan barang-barang yang dijual kepada pembeli dan
ditangguhkan pembayarannya. Dari segi bentuknya, jual beli ini berbeda

15 Lihat Muhammad al-Syaukani, op.cit, hal. 250-252


16 Amir Muallim-Yusdani, 1997, Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi. Yogyakarta;
Titian Ilahi Press. Cet. I. hal. 104
17 Quthub Mustafa Sanu, 2000, Mujam Mustalahat Ushul al-Fiqh, Damaskus-Seria, Cet, I. hal. 168
8

dengan bai al-salam yang mana pembayaran dilakukan secara tunai,


sedangkan pengantaran barang ditangguhkan.18
Dengan demikian jual beli secara beretangguh adalah boleh. Pensyariatan bai
bidhaman ajil tidak dijelaskan secara khusus tetapi berpedoman kepada
keumuman ayat tentang jual beli yang terdapat dalam Q.S al-Baqarah/2:275
dan Q.S al-Baqarah/2:282 yang membicarakan tentang bolehnya hukum jual
beli secara berutang (bai al-muajjal). Kontrak bai bidhama ajail tidak
dibahas secara khusus dalam kitab klasik, seperti jual beli bertangguh yang
lain. Namun, Ibnu Qudamah menyatakan bahwa secara ijma jual beli secara
tangguh tidak diharamkan..19

C. Bai Al-Inah, Bai Tawaruq dan Bai Al-Da


1. Bai Al-Inah
a. Pengertian
Kata inah menurut bahasa berarti meminjam/berutang. Dikatakan
itana ar-rajul, yang maksudnya seorang laki-laki membeli sesuatu dengan
pembayaran dibelakang atau utang atau tidak kontan. Jual beli seperti ini
disebut inah karena pembeli suatu barang dagangan dalam tempo tertentu
mengambil konpensasi barang itu dengan uang secara kontan. Jual beli
inah secara terminologis adalah menjual suatu benda dengan harga lebih
dibayarkan belakangan dalam tempo tertentu untuk dijual lagi oleh orang
yang beutang dengan harga saat itu yang lebih murah untuk menutup
utangnya.20
Praktik jual beli inah adalah jika seorang penjual menjual barang
dagangannya dengan suatu harga yang dibayar belakangan dengan tempo
tertentu, kemudian penjual itu membeli lagi barang dagangan itu dari
pembeli (sebelum pembeli membayar harganya) dengan harga yang lebih

18 Muhammad Abu Zahrah, 1965, Ushul al-Fiqh, Mesr ; Dar al-Fikr al-Arabi. Hal. 174
19 Amir Syarifuddin, 2001, Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta ; Logos Wacana Ilmu, Cet. II, hal. 227
20 Quthub Mustafa Sanu, 2000, Mujam Mustalahat Ushul al-Fiqh, Damaskus-Seria, Cet, I. hal. 170
9

murah, dan saat jatuh tempo pembeli membayar harga yang dibelinya
dengan harga awal.21
b. Hukum Bai Inah
Bentuk jual ini menjadi perbincangan para ulama. Mahzab Syafii
berpendapat bahwa bai al-inah dibolehkan karena akad jual beli ini telah
memenuhi rukun, yaitu ijab dan kabul tanpa memandang kepada niat
pelaku. Menurut pandangan ulama mahzab ini nia adalah urusan Allah
SWT, dan akad jual beli yang dilakukan dengan niat yang salah tidak
dianggap batal dan tidak bisa dibuktikan dengan jelas. Jual beli semacam
ini dibolehkan agar terhindar dari mafsadat (kerusakan), dan bukan
dimaksudkan untuk mengeruk keuntungan.22
2. Bai Tawaruq
a. Pengertian
Dalam kamus, kata tawarruq diartikan daun. Dalam konteks ini,
maknanya adalah memperbanyak harta. Menurut Ibnu Taimiyah, tawarruw
adalah seseorang membeli barang dengan harga tertangguh kemudian
menjualnya kepada orang lain (bukan penjual pertama) secara tunai,
karena ingin mendapatkan uang tunai dengan segera. Secara umum
tawarruq adalah akad jual beli seperti bai al-inaj (sale and buy back)
yang melibatkan tiga pihak, bukan dua pihak seperti dalam kasus bai
al-inah. Akad tawarruq digunakan banyak di negara Timur Tengah
sebagai alat untuk manajemen likuiditas. Tawarruq disebut juga sebagai
kredit murabahah.23
b. Hukum Jual Beli Tawarruq
Dalam hal jual beli tawarruq ulama berbeda pendapat. Menurut Ibnu
Taimiyah, jual beli tawarruq hukumnya adalah haram, karena merupakan

21 Syarifuddin Amir, 2012. Garis-garis Besar Usuk Fiqh. Jakarta : Fajar Interpratama Offset. Hal. 163
22 Quthub Mustafa Sanu, 2000, Mujam Mustalahat Ushul al-Fiqh, Damaskus-Seria, Cet, I. hal. 172
23 Ibid, hal. 34
10

sarana bagi riba mendapatkan keuntungan yang besar. Menurut Imam


Nawawi, jual beli tawarruq hukumnya halal karena tidak ada larangan jual
beli secara inah dan tawarruq. Begitu juga menurut Ismail ibn Yahya al-
Muzni Syafii, tidak ada larangan seseorang menjual harta bendanya
secara kredit kemudian membelinya kembali dari si pembeli dengan harga
lebih murah baik secara kontan, penawaran, maupun kredit.24
3. Bai Al- dayn
a. Pengertian
Al-dayn merupakan utang dalam bentuk pembiayaan. Dalam
majallah al-ahkam bagian ke-158 dijelaskan al-dayn adalah sesuatu yang
dhabit dalam tanggungan. Al-dayn merupakan utang dengan maksud
penundaan tanggungan yang muncul dalam suatu kontrak yang
melibatkan pertukaran nilai25

b. Hukum Bai al-Dayn


Jual beli utang merupakan salah satu bentuk perniagaan yang
diperdebatkan statusnya. Sebagian ulama membolehkan jual beli utang
kepada pengutang (orang yang berutang). Dengan demikian jual beli
utang, baik kepada pengutang (al-adin) atau selain pihak yang
pengutang.26
4. Jual Beli Utang Secara Tunai
a) Jual utang kepada orang yang berutang itu sendiri
Jumhur ulama mengatakan bahwa jual utrang yang telah milik tetap
(mustaqir) boleh atau dapat dihibahkan kepadanya, baik dan tukaran
(bayaran) atau tanpa tukaran atau hibah. Hal ini dikenal dengan istibdal.

24 Amir Syarifuddin, 2001, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu, Cet. II, hal. 267-268
25 Amir Syarifuddin, 2001, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu, Cet. II, hal. 267-268
26 Quthub Mustafa Sanu, 2000, Mujam Mustalahat Ushul al-Fiqh, Damaskus-Seria, Cet, I. hal. 197
11

Akan tetapi jual beli utang yang tidak tetap (ghairu mustaqir) tidak
dibolehkan menjualnya sebelum serah terima karena bisa terjadi
pembatalan kontrak perjanjian sebelum barang yang dipesan diterima.27
b) Jual beli utang kepada selain dari orang yang berutang
Jumhur ulama berpendapat jual beli ini tidak dibenarkan. Sementara
mahzab syafii menjelaskan boleh hukumnya menjual barang kepada
pighak ketiga sekiranya utang tersebut tetap dan ia jual dengan barang
secara tunai.28

27 Quthub Mustafa Sanu, 2000, Mujam Mustalahat Ushul al-Fiqh, Damaskus-Seria, Cet, I. hal. 29
28 Fathurrahman Djamil. 1987. Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta ; Logos
Pablishing Haouse, Cet. I, hal. 31-32.
12

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang
mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima
benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan
yang telah dibenarkan Syara dan disepakati. Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad (ijab
qabul), orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli), dan makud alaih (objek
akad).
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi, ditinjau dari segi hukumnya, jual
beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum,
dari segi objek jual beli dan segi pelaku jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat dikemukakan
pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk.

"jual beli itu ada tiga macam: 1jual beli benda yang kelihatan, 2 jual beli yang
disebutkan sifat-sifatnya dalam janji, dan 3 jual beli benda yang tidak ada."

B. Kritik dan saran


Dalam pembuatan makalah ini, kami menyadari bahwa masih banyak
mengalami kekurangan dan kekeliruan baik dalam penyusunan maupun dalam
penyajian materi yang kami sampiakan. Sehubungan dari itu semua kami
mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah ini dan kami ucapkan
terima kasih
13

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas rahmat yang diberikan Allah SWT sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
membantu penulis dalam membuat makalah ini dan teman-teman yang telah memberi
motivasi dan dorongan serta semua pihak yang berkaitan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.

Bengkulu, April 2017

Penyusun

i
14

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................


KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFATR ISI..................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Tujuan ...................................................................................... 1
C. Rumusan Masalah................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihd Pada Akad Jual Beli ............................................. 2
B. Salam, Istisna, Murabahah, Ba Al-wafa, Jual Beli Secara Berutang.. 5
C. Bai Al-Inah, Bai Tawaruq dan Bai Al-Da........................................... 8

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan........................................................................................... 12
B. Kritik dan Saran ................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... iii

ii
15

DAFTAR PUSTAKA

SyafiI, Rahmat. 1999, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia : Bandung


Muhammad Abu Zahrah, 1965, Ushul al-Fiqh, Mesr ; Dar al-Fikr al-Arabi

Quthub Mustafa Sanu, 2000, Mujam Mustalahat Ushul al-Fiqh, Damaskus-Seria,


Cet, I

Amir Muallim-Yusdani, 1997, Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi.
Yogyakarta; Titian Ilahi Press. Cet. I

Wahbah Zuhaili, 1986, Ushl al-Fiqh Al-Islmi, Juz II, Damaskus Seria ; Dar al-
Fikr, Cet. I

Syarifuddin Amir, 2012. Garis-garis Besar Usuk Fiqh. Jakarta : Fajar Interpratama
Offset.
16

MAKALAH
USHUL FIQIH EKONOMI ISLAM
Memahami Ijtihad Dan Penerapan Dalam Ekonomi Keuangan

Oleh :
Ade Rezita Suryani : 1516130051
Mei Sri Rahayu : 1516130085
Yumi Anggraini : 1516130076

Dosen
Drs. Suansar Kihatib, SH,M.Ag

PRODI BIMBINGAN KONSELING ISLAM


FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN (BENGKULU)
2017

Anda mungkin juga menyukai