Anda di halaman 1dari 2

FIKIH FEMINIS

Selain masuk ke ranah tafsir Al-Qur’an, pengaruh feminisme juga masuk ke ranah
fikih Islam. Sebagaimana tafsir feminis, istilah fikih feminis juga merupakan istilah baru
yang tidak dikenal oleh fuqaha’. Beberapa tahun belakangan, istilah fikih feminis mulai
diperkenalkan oleh pendukung pemikiran impor dari Barat itu.

Memahami Istilah Fikih Feminis


Sampai sekarang tidak ada pengertian baku mengenai fikih feminis. Meskipun istilah
baru ini belakangan muncul, hampir tidak pernah kita mendengar istilah faqih atau fuqaha’
feminis. Jika ada fikih feminis, semestinya ada pula faqih atau fuqaha’ feminis.
Ada dua kata yang mesti dipahami dari istilah fikih feminis, yaitu fikih dan feminis.
Para ulama mendefinisikan fikih sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara‘ yang berupa
perbuatan yang digali dari dalil-dalil terperinci. Sementara itu, feminis adalah kata benda
yang berarti penganut feminisme. Jika dua kata itu digabung sehingga menjadi istilah baru,
barangkali yang dimaksud fikih feminis adalah pemahaman ulang atas hukum-hukum syara‘
berupa perbuatan yang dilakukan oleh para feminis.

Bias Gender dalam Fikih


Feminisme mengandung kecurigaan kepada laki-laki yang dipandang selalu menindas
dan mengekang hak wanita. Oleh karena itu, wanita harus bangkit melawan laki-laki. Salah
satu bentuk perlawanan tersebut adalah membongkar pemahaman agama yang dipandang
sarat kepentingan laki-laki dan cenderung bias gender.
Sofyan A. P. Kau dan Zulkarnaen Sulaeman menyatakan bahwa latar belakang
munculnya fikih feminis adalah adanya ketidakadilan gender atau bias gender dalam fikih
dan atau dalam buku-buku fikih. Ketidakadilan gender itu bisa ditakar dari lima hal, yaitu:
burden (beban kerja domestik perempuan lebih banyak dan lebih lama dari lak-laki);
subordinasi (sikap menomorduakan perempuan dalam segala bidang); marginalisasi (proses
pemiskinan dan peminggiran perempuan dalam pengambilan keputusan dalam urusan-urusan
penting); stereotype (pelabelan negatif terhadap perempuan); dan violence (tindak kekerasan
baik fisik maupun psikis terhadap perempuan). (Fikih Feminis, hlm. 4-7)
Dengan mengacu pada kelima hal tersebut, Sofyan A. P. Kau dan Zulkarnaen
Sulaeman kemudian menunjukkan beberapa isu bias gender dalam masalah fikih. Di
antaranya: Pertama, perbedaan dalam cara pembersihan benda yang terkena air kencing bayi:
cukup dipercikkan dengan air untuk air kencing bayi laki-laki dan dicuci atau dibasuh untuk
air kencing bayi perempuan. Kedua, bersentuhan dengan perempuan membatalkan wudhu’.
Ketiga, perempuan dilarang menjadi imam shalat jama‘ah kecuali sesama kaum perempuan.
Salah satu syarat menjadi imam shalat jama‘ah adalah laki-laki. Salat berjama‘ah tidak sah
yang diimami oleh perempuan, dan karenanya harus diulangi. Keempat, istri tidak boleh
puasa sunnah kecuali atas izin suami. Bila ingin berpuasa sunnah, istri dapat melakukannya
saat mana suami tidak berada di rumah. Bila tidak, istri harus minta izin suaminya. Kelima,
dalam masalah aqiqah dibedakan jumlah kambing yang disembelih. Dua ekor kambing untuk
anak bayi laki-laki, dan seekor kambing untuk anak bayi perempuan. Keenam, tidak
diperbolehkan adanya wali dan saksi perempuan dalam perkawinan. Tegasnya perempuan
tidak boleh menjadi wali dan saksi dalam perkawinan. Ketujuh, perempuan hanya boleh
menjadi anggota hakim ketua dalam pengadilan. Itu berarti, yang menjadi hakim ketua hanya
laki-laki. (Fikih Feminis, hlm. 59-65)
Secara konseptual, bias gender yang disebut pertama dan kedua, masuk dalam
kategori stereotype. Sementara yang disebut ketiga termasuk bagian dari marginalisasi-
subordinasi. Sedangkan yang disebut kelima merupakan subordinasi-stereotype. Adapun
yang disebut keempat dan ketujuh masuk dalam kategori subordinasi. Yang disebut keenam
dapat dikategorikan sebagai marginalisasi. (Fikih Feminis, hlm. vi-vii)

Keserasian Gender; Bukan Kesetaraan Gender


Untuk menghadapi apa yang oleh para feminis dipandang sebagai bias gender, mereka
kemudian menyerukan kesetaraan gender, termasuk dalam masalah fikih. Istilah “kesetaraan
gender” sering dilontarkan sebagai ekspresi ketidakpuasan untuk menuntut kesamaan peran
dan kedudukan. Kesetaraan sering menimbulkan ketidakserasian. Ketidakserasian sendiri
berarti ketidakharmonisan. Serasi itu tidak harus setara.
Allah telah menjadikan hubungan laki-laki dan wanita dengan serasi. Masing-masing
diberi tugas dan peran yang tidak mesti sama. Allah dengan indah menggambarkan
keserasian laki-laki dan wanita dalam firman-Nya, “Janganlah kalian iri hati terhadap apa
yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain.
(karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para
wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian
dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa’: 32)
Ayat ini turun karena Ummu Salamah merasa iri terhadap pahala jihad yang diberikan
kepada laki-laki. Allah pun menurunkan ayat ini untuk menjelaskan bahwa laki-laki maupun
wanita mempunyai tugas masing-masing. Semuanya akan diberi balasan kebaikan jika
menjalankan tugasnya dengan baik. Wallahu a‘lam.

Anda mungkin juga menyukai