Anda di halaman 1dari 11

REVIEW BUKU QIRA’AH MUBADALAH

Tafsir Progresif Untuk Keadilan Gender Dalam Islam

(Karya : Faqihuddin Abdul Kodir)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Tambahan Mata Kuliah Metode Tafsir Kontekstual

Dosen Pengampu : Fitriana Firdausi, S.Th.I., M.Hum.

Oleh :

Amirah Saniyah Serepa 20105030115

Putri Nurlaela 201050301110

Wafirotus Shofiyah 20105030149

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR B

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2022
Ketika mereka pertama kali mendengar tentang gagasan mubadalah, atau timbal balik,
banyak yang mengambil kesimpulan yang salah. Jadi menurut Mubadalah, jika laki-laki bisa
berpoligami, maka perempuan juga bisa berpoligami? Itu juga reaksi pertama saya ketika
pertama kali mendengar tentang pendekatan ini di lokakarya Rahima tentang pelatihan ulama
untuk perempuan. Kesimpulan ini jelas keliru karena yang diabaikan adalah kemaslahatan
ajaran Islam. Terkadang dapat diubah langsung dalam teks. Dalam kebanyakan kasus, Anda
harus melampaui teks sehingga Anda tidak memutuskan keuntungan pihak lain dengan
menempatkan beban yang tidak sama pada pihak lain. Ketika timbal balik dapat dicapai
secara tekstual dan ketika seseorang harus melampaui teks dijelaskan secara rinci dalam buku
ini.

Pada Q. S An-Nisa’ [4]:3 yang berisi pesan tentang poligami, dan monogami juga
mengisyaratkan kemaslahatan perkawinan yaitu kewajiban menegakkan keadilan dalam
keluarga. Poligami ditonjolkan sebagai bentuk perkawinan yang mengancam akan
menimbulkan ketidakadilan. Sebaliknya, monogami lebih ditekankan sebagai perkawinan
yang lebih dekat dengan eksploitasi (adna an la ta’ulu). Meski secara tekstual ayat tersebut
ditujukan untuk laki-laki, menurut Mubadah pesan kemaslahatan ini berlaku untuk semua
pihak. Baik pria maupun wanita memiliki kewajiban untuk mendukung pernikahan untuk
menciptakan keadilan bagi semua yang terlibat. Keduanya harus menghindari berbagai
bentuk perkawinan yang dapat menimbulkan mafsadat, apalagi merugikan pihak lain,
sekalipun bentuk perkawinan itu menguntungkan mereka.

Qira’ah Mubadalah yang ditawarkan buku ini memang merupakan kontribusi penting,
tidak hanya untuk pemahaman teks-teks agama tetapi juga sebagai pandangan dunia.
Meskipun metode ini bertujuan untuk menyesuaikan diri dengan teks-teks utama Islam yang
menggunakan bahasa dengan beberapa kesadaran gender, metode yang sama juga bisa
menjadi cara baru dalam memandang keragaman masyarakat sehingga tidak muncul
ketimpangan relatif. Ketimpangan dalam hubungan, apapun itu, dapat menimbulkan
ketidakadilan karena muncul dari sudut pandang negatif terhadap perbedaan antara pihak-
pihak yang ada dalam hubungan tersebut.

Salah satu tantangan besar dalam menerapkan keadilan gender adalah pandangan
dikotomis antara laki-laki dan perempuan: Laki-laki dan perempuan sangat berbeda sehingga
keduanya dipandang bertentangan. Satu sisi harus mengalahkan yang lain. Jika tidak, dia
akan dikalahkan. Sistem patriarki memberikan kontribusi signifikan terhadap dikotomi ini.
Laki-laki ditempatkan lebih tinggi sedangkan perempuan lebih rendah dari pembantunya.
Nilai seorang wanita ditentukan oleh seberapa banyak dia menguntungkan pria.

Perspektif dikotomis seperti itu mengarah pada stigmatisasi perempuan. Misalnya


perempuan adalah sumber kekacauan (panjau), maka laki-laki mendapat masalah. Pria
memperkosa karena wanita memakai pakaian mini. Meski seluruh tubuh tertutup, namun
perilaku mereka dianggap menghasut seorang pria untuk diperkosa. Misalnya, mereka keluar
pada malam hari tidak peduli seberapa mendesak kebutuhan mereka. Pada dasarnya, wanita
yang harus disalahkan ketika pria melakukan hal yang salah dan menyakiti wanita. Jadi laki-
laki tidak memperkosa karena tidak bisa mengendalikan diri.

Terakhir, ketidakadilan gender selanjutnya muncul dari stigmatisasi perempuan, yaitu


pengucilan, penaklukan, kekerasan dan beban ganda. Perbedaan gender menjadi dalih untuk
melemahkan perempuan dan sebaliknya memperkuat superioritas laki-laki. Perspektif
dikotomis seperti itu mempengaruhi sistem kehidupan, mempengaruhi keduanya pada tingkat
yang berbeda. Oleh karena itu efek negatifnya tersebar merata di seluruh dunia pernikahan
dan kehidupan keluarga, masyarakat dan negara.

Pandangan dikotomi tentang perbedaan laki-laki dan perempuan dalam patriarki ini
berbahaya tidak hanya bagi perempuan tetapi juga bagi laki-laki. Mengapa? Karena patriarki
juga mencakup pandangan bahwa yang lebih kuat dapat menindas yang lebih lemah. Pria
kuat bisa menggertak wanita. Di sisi lain, wanita yang kuat bisa menggertak pria yang lebih
lemah. Faktanya, wanita yang kuat memiliki hak untuk menindas wanita yang lebih lemah.

Dikotomi bukan satu-satunya cara untuk melihat perbedaan, karena perbedaan juga
dapat dilihat secara sinergis. Perbedaan bahkan keberagaman bukanlah sumber konflik,
melainkan modal sosial yang bergerak maju bersama. Perbedaan bawaan seperti jenis
kelamin, suku, bangsa, warna kulit, warna mata, serta perbedaan selanjutnya seperti tingkat
kekayaan, kecerdasan, status, dll tidak boleh menjadi alasan. Yang sewenang-wenang lebih
kuat atau lebih lemah.

Dalam perspektif sinergis, perbedaan laki-laki dan perempuan tidak dilihat sebagai
sumber konflik yang negatif, tetapi sebagai modal sosial positif yang memungkinkan kita
untuk maju bersama sebagai manusia. Ada berbagai kekuatan atau kekuatan orang, fisik,
ilmiah, kekayaan, status, iman dan lain-lain. Selain itu, kekuasaan atau supremasi juga
bersifat dinamis. Beberapa jenis kelamin tidak selalu lebih baik dari jenis kelamin lainnya
sepanjang hidup. Meski beragam dan dinamis, manfaatnya sama. Pertama, masing-masing
pihak memiliki tugas yang sama untuk menciptakan atau mempertahankan kebaikan dan
menolak atau mengatasi kejahatan dalam semua kehidupan. Kedua, keunggulan satu pihak
atas pihak lain bukanlah alasan penindasan, dan sebaliknya, ketiadaan satu pihak bukanlah
alasan penindasan. Ketiga, dalam hal apapun, pihak yang lebih kuat memiliki kewajiban
untuk memastikan bahwa pihak yang lebih lemah diperlakukan secara manusiawi.

Urgensi Qiraah Mubadalah

Cara pandang tauhidik atas laki-laki dan perempuan yang dibawa oleh Islam memiliki
kendala serius pada masa kehadiran Islam karena mengakarnya sistem kehidupan patriarki di
tanah Arab. Selama 23 tahun, cara pandang tauhidik ini bergulat dengan sistem patriarki yang
sangat kuat. Karenanya, teks al-Qur’an maupun hadits sama-sama merefleksikan dinamika
ini, yakni tarik menarik antara ajaran ideal Islam dengan kenyataan faktual masyarakat Arab.
Jika dipotret secara utuh, maka ada dua jenis strategi yang dipakai Islam dalam membangun
tata kehidupan yang sepenuhnya manusiawi pada perempuan, yaitu langsung ke target final
dan melalui target antara. Strategi langsung ke target final, misalnya, adalah larangan keras
atas penguburan bayi perempuan secara hidup-hidup, menjadikan perempuan sebagai
jaminan utang, hadiah, harta warisan, dan perkawinan sedarah. Semua tindakan ini dilarang
keras. Strategi melalui target antara menuju final antara lain pada tiga hal berikut Pertama,
perkawinan. Semula, seorang laki-laki bisa menikahi perempuan dalam jumlah tak terbatas
dan tanpa ssyarat

Islam kemudian membatasi satu laki-laki hanya bisa menikahi perempuan maksimal
empat orang, dan dengan syarat adil sambil mengingatkan bahwa syarat tersebut tidak
mungkin dipenuhi, lalu mendorong untuk monogami dan menegaskan bahwa monogami
lebih menjaga perkawinan dari tindakan sewenang-wenang. Kedua, nilai kesaksian
perempuan. Semula, perempuan tidak diakui kesaksiannya sama sekali. Kemudian,
perempuan diakui setengah dari laki-laki dalam kasus utang piutang, dan sama persis dengan
laki-laki dalam kasus li’an. Ketiga, bagian waris perempuan. Semula, perempuan tidak
mendapatkan warisan sama sekali, bahkan diwariskan seperti harta. Kemudian, perempuan
mendapatkan setengah bagian waris laki-laki. Namun, adakalanya keduanya mendapatkan
bagian yang sama persis. Al-Qur’an dan kitab-kitab hadits sesungguhnya merekam
pergulatan panjang antara nilai tauhid dan kemanusiaan manusia, termasuk kemanusiaan
perempuan. Karena itu, kedua teks ini mengandung teks-teks yang merefleksikan ajaran ideal
tauhid dan kemanusiaan penuh perempuan, namun juga mengandung teks- teks yang
merefleksikan tradisi patriarki masyarakat Arab yang sedang diubah menuju kesetaraan
penuh laki-laki dan perempuan dalam tauhid.

Tafsir dan tradisi Islam hingga kini sejatinya adalah pergulatan terus-menerus antara
nilai tauhid dan patriarki Dalam praktiknya, penerapan kesetaraan penuh antara laki-laki dan
perempuan sebagaimana dikehendaki oleh tauhid mempunyai kendala serius karena beberapa
hal. Pertama, teks-teks primer Islam menggunakan bahasa Arab yang mempunyai cara
pandang dunia berdasarkan jenis kelamin (mudzakar-muannats) dengan aturan bahasa yang
bias gender atas keduanya. Namun, mengetahui cara gender dikonstruksi dalam bahasa Arab
menjadi penting agar pesan tauhid dan kemanusiaan penuh perempuan tidak terkubur oleh
karakter bahasa ini. Kedua, dominasi pendekatan tekstual atas teks-teks utama Islam sebagai
bentuk kehati-hatian. Namun demikian, pendekatan tekstual cenderung menuntun
pembacanya untuk mengabaikan pemahaman kontekstual meskipun ketika pemahaman
model kedua ini lebih merefleksikan kemanusiaan perempuan. Ketiga, sistem patriarki masih
sangat kuat tidak hanya di Saudi Arabia pada masa turunnya, melainkan hingga kini.
Demikian pula di wilayah-wilayah di mana Islam menyebar.

Pemahaman tekstual yang lebih merefleksikan pandangan patriarki masyarakat Arab


saat kehadiran Islam lebih mungkin diterapkan karena sesuai dengan sistem nilai setempat.
Di sinilah gird’ah mubadalah menemukan signifikansiny dikategorikan menjadi tiga.

1. Mabádi, yaitu teks yang mengandung nilai dasar Islam yang menjiwai seluruh
ajaran dalam sendi kehidupan apa pun. Misalnya, teks tentang tauhid,
kemaslahatan, maqashid al-syari’ah, kemanusiaan, penghormatan, kebaikan,
kebenaran, dan lain-lain.
2. Qawa’id, yaitu teks yang mengandung nilai dasar Islam dalam bidang tertentu
kehidupan. Misalnya, dalam perdagangan, ada teks tentang keharusan nilai saling
rela, kejujuran, saling menguntungkan, dll. Dalam perkawinan, ada teks tentang
sakinah, mawaddah, rahmah, janji kokoh (mitsäqan ghalizhan), memperlakukan
istri atau suami secara bermartabat (mu’asyarah bil ma’ruf), dll
3. Juzi, yaitu teks tentang perilaku tertentu yang bersifat spesifik. Misalnya, teks
tentang pemberian nafkah keluarga, pemenuhan kebutuhan seksual suami atau
istri, dll.
Ketiga jenis teks ini mesti diletakkan secara hierarkis, yaitu teks mabadi’, qawa’id,
dan juzi. Artinya, teks qawa’id tidak boleh dipahami secara bertentangan dengan teks
mabadi’, dan teks juz’i tidak boleh bertentangan dengan teks qawa’id, apalagi mabad.
Dengan cara kerja seperti ini, maka teks-teks tentang petunjuk parsial yang merefleksikan
pandangan dan sikap masyarakat Arab yang bias gender mesti dipahami dengan cara-cara
yang sesuai dengan nilai- nilai dalam qawa’id dan mabadi’ yang menjiwai dan
memayunginya. Qira’ah mubadalah memungkinkan teks-teks keislaman di- pahami kembali
dengan spirit tauhid yang menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi sejajar sebagai
subjek penuh kehidupan manusia. Utamanya, teks-teks yang merefleksikan cara pandang dan
sikap masyarakat Arab yang bias gender ketika itu. Qira’ah mubadalah secara umum juga
membantu mengubah cara pandang dikotomis yang negatif menjadi sinergis yang positif atas
perbedaan-perbedaan umat manusia lainnya. Hal ini sangat diperlukan agar relasi apa pun
antarmanusia secara luas yang semula timpang dapat kembali adil dan imbang.

Sebelum menjelaskan penerapan metode mubadalah, penulis buku ini terlebih dahulu
mengevaluasi interpretasi dan metodenya dari sudut pandangnya sendiri. Menurutnya, tafsir
para ulama adalah upaya untuk memperkirakan (taqrīb) dan menebak (taghlib) maksud Allah
dari ayat-ayat-Nya. Karya tafsir dilakukan dengan pengalaman ulama dalam menanggapi
situasi/konteks. Pengarang menyatakan: “Karena (penafsiran) dilakukan oleh orang-orang
yang tidak terpisahkan dari dosa, maka harus dikaitkan dengan konteks di mana penafsir itu
hidup dan bekerja. Karya-karya tersebut merupakan dinamika keterhubungan antara teks dan
konteks dalam pengalaman setiap ulama di setiap generasi” (ibid.:134). Karena interpretasi
dalam hal ini hanya merupakan upaya perkiraan dan asumsi, interpretasi dipandang sebagai
produk murni peneliti, dipengaruhi oleh konteks di mana dia hidup, dan hasilnya bervariasi
sesuai dengan kondisi dan keadaan kehidupan. Peneliti/Penerjemah.

Itulah sebabnya Qira’ah mubadalah didahului oleh spekulasi yang kadarnya masih
Dzan (dugaan). Sayangnya, penulis buku tersebut tidak dapat menjelaskan spekulasi dan
Dzan ini sampai tingkat tertentu. Seperti yang dijelaskan di sini, metode ini masih diselimuti
dengan tebakan, dugaan dan “fantasi” yang dibungkus dengan bahasa ilmiah.

Secara metodologis, penafsiran masih dipandang sebagai pengembangan cara kerja


yang baru dan berbeda. Ia menyebut metode yang ada sebagai metode “lama” dan merasa
metode tersebut bersifat tekstual dan tidak mempromosikan/menghormati perempuan. Dia
mengutip Nasr Hamid Abu Zayd, seorang modernis Mesir yang dituduh oleh pengadilan
tidak loyal atas karyanya, dan menulis bahwa “protagonis peradaban Islam adalah orientasi
tekstual” (hal. 135). Agaknya, interpretasi harus berorientasi pada konteks untuk
memperhitungkan manfaatnya. Padahal, katanya, “tak bisa dikatakan bahwa teks itu ada
untuk memuat realitas... keduanya harus didialogkan demi keuntungan” (hlm. 144). Dengan
kata lain, realitas (keinginan dan keadaan seseorang) adalah pedoman utama, bukan wahyu,
dan karena itu wahyu harus tunduk pada realitas. Mengenai Mubadalah, penulis menyebutkan
bahwa metode ini menarik perhatian pada realitas perempuan untuk menciptakan interpretasi
“alternatif” (ibid.). Dari sini dapat dilihat bahwa evaluasi tafsir dan metodenya terkait dengan
pencarian tempat penerimaan mubadalah sebagai metode baru dalam penafsiran.

Ciri-ciri Mubadalah yang diuraikan di atas tidak terlepas dari sikap hidup
penciptanya, yaitu feminisme. Hal ini sesuai dengan latar belakang kelahiran yang
interpretasi peneliti tidak ramah perempuan. Perspektif feminis tentang kehidupan berarti
bahwa segala sesuatu didasarkan pada prinsip kesetaraan gender (laki-laki dan perempuan
harus setara dalam semua aspek, termasuk interpretasi). Tak heran jika ulama yang
mendasarkan interpretasinya pada pengetahuan dan bukan pada kesetaraan gender dianggap
salah dan misoginis. Padahal, cara pandang tentang kesetaraan gender ini bermasalah karena
karakter laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda sesuai kodratnya dan juga terdapat
persamaan di antara keduanya, yaitu derajatnya di hadapan Tuhan. Mereka menyebut
perspektif ini sebagai interpretasi gender, bukan interpretasi Islam gender.

Sudut pandang ini sebenarnya bukan hal baru. Itu sudah ada sejak 1990-an ketika
feminis Amerika Amina Wadud menulis buku Quran and Women. Amina menjelaskan
bahwa “tidak ada metode interpretasi yang sepenuhnya objektif. Setiap penafsir membuat
keputusan subjektif.” Oleh karena itu, “penafsir tradisional (Amina) dipengaruhi oleh
pengalaman laki-laki mereka, seperti perspektif, tujuan, kecenderungan dan kebutuhan
mereka terhadap perempuan. Terakhir, hasil tafsir Alquran tidak sesuai dengan pendapat
perempuan”. Jika demikian, maka tafsir feminis tentang mubadalah hanyalah pengulangan
dari pembahasan-pembahasan sebelumnya.

Adapun salah satu contoh ayat yang menegaskan perspektif kesalingan antara laki-
laki dan perempuan adalah sebagai berikut :

‫ه‬Sٖ Sِ‫ ظُ ب‬S‫كَ ي ُۡو َع‬SS‫فؕ ٰذ ِل‬ ِ ‫ال َم ۡعر ُۡو‬Sۡ Sِ‫ ۡوا بَ ۡينَهُمۡ ب‬S‫اض‬
َ ‫ضلُ ۡوه َُّن اَ ۡن ي َّۡن ِك ۡحنَ اَ ۡز َوا َجه َُّن اِ َذا تَ َر‬ُ ‫َواِ َذا طَلَّ ۡقتُ ُم النِّ َسٓا َء فَبَلَ ۡغنَ اَ َجلَه َُّن فَاَل ت َۡع‬
٢٣٢ َ‫َم ۡن َكانَ ِم ۡن ُكمۡ ي ُۡؤ ِمنُ بِاهّٰلل ِ َو ۡاليَ ۡو ِم ااۡل ٰ ِخرِؕ ٰذ لِ ُكمۡ اَ ۡز ٰکى لَـ ُكمۡ َواَ ۡطهَرُؕ َوهّٰللا ُ يَ ۡعلَ ُم َواَ ۡنـتُمۡ اَل ت َۡعلَ ُم ۡون‬
Artinya : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila
telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan
kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih
baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

۞ ‫ َوتُه َُّن‬S‫هٗ ِر ۡزقُه َُّن َو ِك ۡس‬Sَ‫َّضا َعةَ  ؕ َو َعلَى ۡال َم ۡولُ ۡو ِد ل‬ َ ‫ض ۡعنَ اَ ۡواَل َده َُّن َح ۡولَ ۡي ِن َكا ِملَ ۡي ِن لِ َم ۡن اَ َرا َد اَ ۡن يُّتِ َّم الر‬ ُ ‫َو ۡال َوالِ ٰد‬
ِ ‫ت ي ُۡر‬
َ ُ‫فؕ اَل تُ َكلَّفُ ن َۡفسٌ اِاَّل ُو ۡس َعهَا ۚ اَل ت‬
‫ ِد ٖه‬Sَ‫و ٌد لَّهٗ بِ َول‬Sۡ Sُ‫ ِدهَا َواَل َم ۡول‬Sَ‫ضٓا َّر َوالِ َدةٌ ۢ بِ َول‬ ِ ‫بِ ۡال َم ۡعر ُۡو‬ ‫ا ِ ۡن اَ َرادَا‬Sَ‫ك ۚ ف‬ َ Sِ‫ ُل ٰذ ل‬S‫ث ِم ۡث‬ ۡ
ِ ‫ َو‬S‫َو َعلَى ال‬
ِ ‫ار‬
ۡ‫لَّمۡ تُمۡ َّمٓا ٰات َۡيتُم‬S‫اح َعلَ ۡي ُكمۡ اِ َذا َس‬Sَ ِ ‫ا ؕ َواِ ۡن اَ َر ْدتُّمۡ اَ ۡن ت َۡست َۡر‬S‫ا َح َعلَ ۡي ِه َم‬Sَ‫اض ِّم ۡنهُ َما َوتَ َشا ُو ٍر فَاَل جُ ن‬
َ ‫ع ۡ ُٓوا اَ ۡواَل َد ُكمۡ فَاَل ُجن‬S‫ض‬ ٍ ‫صااًل ع َۡن تَ َر‬ َ ِ‫ف‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
٢٣٣ ‫ص ۡي ٌر‬ ِ َ‫اعلَ ُم ۡ ٓوا اَ َّن َ بِ َما ت َۡع َملُ ۡونَ ب‬ ۡ ‫فؕ َواتَّقُوا َ َو‬ ِ ‫بِ ۡال َم ۡعر ُۡو‬

Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anakanaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak
ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak
ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

٢١ ‫ض َّواَخ َۡذنَ ِم ۡن ُكمۡ ِّم ۡيثَاقًا َغلِ ۡيظًا‬ ٰ ‫َو َك ۡيفَ ت َۡا ُخ ُذ ۡونَهٗ َوقَ ۡد اَ ۡف‬
ٰ ُ ‫ضى بَ ۡع‬
ٍ ‫ض ُكمۡ اِلى بَ ۡع‬

Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu


telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu)
telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

Pada Q.S. al-Baqarah (2):233 menjelaskan komitmen ayat tersebut untuk tidak
menyinggung satu sama lain dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Korban dalam
pengasuhan dan pendidikan anak, dalam hal ini juga perlu memperhatikan kondisi ibu dan
ayah dari anak tersebut. Menurut ayat ini, seorang ibu dan ayah tidak boleh menderita untuk
anaknya. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan, persiapan, ketelitian, kematangan dan
keterampilan yang sangat baik, yang juga harus dibarengi dengan kemauan, kekompakan dan
pengertian antara kedua orang tua. Kata “tudharra”, diucapkan secara struktural dalam bahasa
Arab, juga merupakan ungkapan timbal balik (mufa’alah) dan kerja sama (musyarakah).
Artinya, di antara para pihak “tidak boleh saling menyakiti”. Bisa antara suami istri, bisa juga
antara anak dan orang tua.
Kemudian dalam QA. Al-Baqarah [2]:233 Ada pula ungkapan “taradhi baynahuma”
dan “tasyawurin” yang susunannya menggunakan bentuk timbal balik (mufa’alah), yang
berarti “mufakat” dan “musyawarah mufakat” antara suami dan istri. “Banyak yang mau”
berarti yang lain harus berusaha membuat pasangannya mengerti, mengerti, menerima dan
melepaskan. Demikian pula, dia juga membutuhkan (bagi pasangannya) kemampuan untuk
memahami, memahami, menerima, dan melepaskan. Pada saat yang sama, “refleksi timbal
balik” menunjukkan bahwa kedua belah pihak, antara laki-laki dan perempuan, dapat
memiliki pendapat dan juga memberikan ruang dan kesempatan kepada pasangan untuk
menyatakan pendapatnya. Oleh karena itu, ayat ini sarat dengan kata dan ungkapan yang
menekankan perspektif timbal balik dan kerja sama antara suami istri dan ayah ibu. Ayat
tersebut juga melarang timbal balik yang negatif, yaitu “saling menyakiti”, dan mendorong
yang positif, yaitu, “saling membebaskan dan mengungkapkan pendapat”. Selain itu, ayat ini
juga sangat berprinsip tentang kesetaraan dan keadilan. Karena dalam suatu hubungan tidak
mungkin masing-masing dari mereka dapat dengan nyaman berpendapat tanpa posisi dan
hubungan yang setara.

Meskipun QS. Al-Baqarah [2]:232 berbicara tentang hak seorang wanita untuk tidak
dipaksa mengakhiri pernikahan pilihannya. Jika istri dan tunangan telah mencapai
kesepakatan, maka keluarga istri harus menghormati komitmen tersebut. Dalam ayat tersebut
juga terdapat kalimat tardhaw baymahum yang merupakan salah satu bentuk mufa’alah,
artinya saling pengertian antara wanita yang akan dinikahi dengan suaminya. Mungkin juga
ada pihak lain, seperti keluarga perempuan dan perempuan itu sendiri, berusaha saling rela.
Ayat ini juga merupakan sumber inspirasi yang jelas mengenai resiprokal dalam sumpah
pernikahan.

Hal yang sama juga terdapat di QS. An-Nisa’ [4]:21, yang menggambarkan
perkawinan sebagai suatu kontrak yang kuat antara dua pihak yang saling meneguhkan untuk
saling menikmati tubuh masing-masing, membangun kehidupan bersama dan mewujudkan
cita-cita bersama. Dalam ayat ini muncul kembali ungkapan ba’dhukum ila ba’dh yang
menekankan timbal balik dan menunjukkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Kedua belah pihak diminta untuk saling menjaga stabilitas akad nikah. Karena setiap orang
menjadi utuh ketika mereka merasa menjadi bagian dari yang lain.

Implementasi metode penafsiran makna Mubadalah dalam teks sumber Islam terdiri
dari tiga langkah yang harus diikuti. Tahapan ini bersifat kronologis. Tetapi ketika kesadaran
akan pengetahuan langkah pertama semakin kuat dan kokoh, beberapa orang biasanya dapat
langsung melanjutkan ke langkah kedua atau bahkan ketiga. Langkah pertama adalah
menemukan dan menetapkan prinsip-prinsip Islam dalam teks-teks universal sebagai
landasan pemaknaan. Kedua prinsip tersebut, yang bersifat umum, melampaui semua mata
pelajaran (al-mabadi’) maupun yang khusus untuk mata pelajaran tertentu (al-qawa’id).
Prinsip-prinsip ini menjadi dasar inspirasi bagi seluruh rangkaian metode mubadalah.

Sesuatu yang disebut prinsip adalah ajaran yang melampaui perbedaan gender.
Misalnya, keyakinan yang mendasari setiap perbuatan bahwa perbuatan baik itu dibalas dan
perbuatan baik itu dihormati tanpa memandang jenis kelamin, keadilan dihormati, amal dan
kasih sayang disebarkan. Bahwa kerja keras, sabar, syukur, ikhlas dan pasrah adalah kebaikan
dan nilai-nilai Islam.

Langkah kedua adalah menemukan gagasan utama yang ditangkap dalam teks yang
kita tafsirkan. Dalam hal ini, teks-teks relasional yang menyebutkan peran suami dan istri
sebagian besar merupakan sesuatu yang memenuhi, praktis, partisipatif, dan mencontohkan
prinsip-prinsip Islam dalam ruang dan waktu tertentu. Karena teks-teks terkait terpenuhi
sebagian, maka perlu dicari makna atau gagasan pokok yang dapat sejalan dan berkorelasi
dengan prinsip-prinsip yang ditekankan dalam Ayat-ayat Ditemukan tingkat pertama.
Sederhananya, langkah kedua ini bisa dilakukan dengan subjek dan objek teks. Kemudian
predikat teks tersebut menjadi makna atau gagasan yang kita bicarakan di antara kedua jenis
kelamin tersebut. Jika ingin lebih dalam, langkah ini bisa dilakukan dengan menggunakan
metode Ushul Fiqh yang ada, seperti: B. Analogi hukum (qiyas), mencari kebaikan (istihsan),
mencari kebaikan (istishläh), atau mencari dan menggali makna. Pengucapan. (dalalat al-
alfazh). Atau mendalami teori dan metode “Tujuan Hukum Islam” (maqashid al-syariah).
Metode-metode ini mencari makna yang terkandung dalam teks dan menghubungkannya
dengan semangat prinsip dari langkah pertama.

Langkah ketiga, dari teks Reduksi ide-ide yang ditemukan (yang muncul dari proses
langkah kedua) menjadi genre yang tidak disebutkan dalam teks. Jadi teks tidak berhenti pada
satu jenis kelamin saja, tetapi juga mencakup jenis kelamin lainnya. Jadi metode mubadalah
ini menekankan bahwa nash laki-laki juga untuk perempuan dan nash perempuan juga untuk
laki-laki, asalkan kita sudah menemukan makna atau ide pokok dari nash yang berlaku dan
bisa berlaku untuk keduanya. Makna pokok ini harus selalu mengacu pada prinsip-prinsip
dasar yang terdapat dalam teks-teks yang terdapat pada langkah pertama.
Maka dari itu, cara pandang dan metode Mubadalah menekankan bahwa hubungan
suami istri harus dibina oleh keduanya. Oleh karena itu, gagasan utama dari teks-teks ini
adalah untuk secara eksplisit memuji kebaikan, pentingnya melayani kebutuhan biologis
pasangan, kejahatan perceraian tanpa alasan yang baik. Ide-ide ini ditemukan pada tahap
kedua, ketika pada tahap pertama kita meyakini prinsip hubungan yang setara, adil dan
kooperatif antara laki-laki dan perempuan. Cara mudah memunculkan ide pada tahap ini
adalah dengan membuang objek subjek dan fokus pada predikat kalimat. Predikat ini adalah
makna dan gagasan teks. Pada langkah ketiga, sang suami juga menerima teks yang sama:
Terima kasih wanita itu atas kebaikannya, dan Anda mungkin diancam neraka jika tidak
(artinya mubi berasal dari HR. Bukhori, tidak. 305); untuk melayani kebutuhan biologis
wanita ketika diminta melakukannya (arti mub adalah HR. Bukhari, no. 5248); juga dilarang
memerintahkan talak tanpa alasan yang sah (dengan maksud Mubādalah Hadits HR. Abu
Dawud, no. 2228).

Anda mungkin juga menyukai