Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

BANGSA ARAB PRA-ISLAM

Disusun Oleh :
1. Muhammad Ripki : 23061230102
2. Diva Dzulhijjah : 28282828282
3. Dwi Sherly : 19191919191

Dosen Pengampu : Lili Kaina, M.Ag

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT. Karena dengan Rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-nya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini. Penyusun sangat
berharap makalah ini dapa diperguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan
kita mengenai “BANGSA ARAB PRA-ISLAM”. Kami juga sepenuhnya menyadari bahwa
didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh ,dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang telah dibuat untuk perbaikan
dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
pembangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi bagu siapapun yang membacanya
sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi penyusun sendiri maupun orang
yang membacanya.

ii
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN1

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Keadaan politik Arab Pra Islam


B. Keadaan Sosial Arab Pra Islam
C. Kepercayaan Arab Pra Islam
D. Kebudayaan Arab Pra Islam

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Agama Islam yang merupakan agama yang paling sempurna tentunya


tidak dapat dipisahkan dari bangsa Arab. Mengapa demikian, salah satu
faktornya adalah karena agama Islam diturunkan oleh Allah SWT ke muka
bumi ini melalui perantara Nabi Muhammad SAW yang berasal dari Arab.
Sebelum kedatangan Islam bangsa Arab ini telah memiliki peradaban sendiri,
mulai dari sistem pemerintahan sampai kepada kepercayaan mereka masing-
masing. Peristiwa yang terjadi sebelum datangnya Islam sangat penting untuk
kita pelajari karena nantinya akan memiliki kesinambungan dengan peradaban
Islam itu sendiri. Suatu peristiwa yang terjadi sekarang tentunya tidak lepas
dari histori-histori dengan apa yang terjadi sebelumnya, bahkan kita dapat
membandingkan keadaan dua zaman yang berbeda.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keadaan politik Arab Pra Islam
2. Bagaimana keadaan Sosial Arab Pra Islam
3. Bagaimana kepercayaan Arab Pra Islam
4. Bagaimana kebudayaan Arab Pra Islam

C. Tujuan
1. Mengetahui keadaan politik Arab Pra Islam
2. Mengetahui keadaan social Arab Pra Islam
3. Mengetahui Kepercayaan Arab Pra Islam
4. Mengetahui Kebudayaan Arab Pra Islam
BAB III

PEMBAHASAN

A. Keadaan politik Arab Pra Islam

Terdapat dua Negara adi kuasa di masa Jahiliyah, yaitu kerajaan Bizantium
Romawi di barat dan kerajaan Persia di timur. Selama zaman Jahiliyah, seluruh
Simenanjung Arabia, menikmati kemerdekaan penuh, kecuali daerah utara
(Palestina, Libanon, Yordania dan Syam) berada dibawah kekuasaan Bizantium dan
Irak berada di bawah kekuasaan Persia. Mungkin karena kegersangannya, dua
negara adi kuasa Bizantium dan Persia tidak tertarik menjajah Arab, kecuali daerah
utara yang tunduk di bawah kekuasaan mereka. Di kalangan orang Arab Badwi
tidak ada pemerintahan. Kesatuan politik mereka bukanlah bangsa, tetapi suku yang
dipimpin kepala suku yang disebut Syaikh. Mereka sangat menekankan hubungan
kesukuan sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan
bagi suatu kabilah atau suku. Bagi masing-masing suku terdapat seorang pemimpin
(Syaikh).1

Kedudukan pemimpin kabilah di tengah kaumnya, seperti halnya seorang


raja. Anggota kabilah harus mentaati pendapat atau keputusan pemimpin kabilah,
baik itu seruan damai ataupun perang. Dia mempunyai kewenangan hukum dan
otoritas pendapat, seperti layaknya pemimpin diktator yang perkasa. Sehingga
adakalanya jika seorang pemimpin murka, sekian ribu mata pedang ikut bicara,
tanpa perlu bertanya apa yang membuat pemimpin kabilah itu murka. Kekuasaan
yang berlaku saat itu adalah sistem diktator. Banyak hak yang terabaikan. Rakyat
bisa diumpamakan sebagai ladang yang harus mendatangkan hasil dan memberikan
pendapatan bagi pemerintah. Lalu para pemimpin menggunakan kekayaan itu untuk
foya-foya mengumbar syahwat, bersenang-senang, memenuhi kesenangan dan
kesewenangannya. Sedangkan rakyat dengan kebutaan semakin terpuruk dan
dilingkupi kezhaliman dari segala sisi. Rakyat hanya bisa merintih dan mengeluh,
ditekan dan mendapatkan penyiksaan dengan sikap harus diam, tanpa mengadakan
perlawanan sedikitpun2.

1
Dr. H. Syamruddin Nasution. M.Ag, Sejarah Peradaban Islam (Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau: 2007),
hal.17
2
Dr. Siti Zubaidah, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam (Medan: PERDANA PUBLISHING: 2016), hal.10

2
B. Keadaan sosial Arab Pra Islam

Bangsa Arab memiliki karakter yang positif seperti pemberani, ketahanan


fisik, kekuatan daya ingat, hormat akan harga diri dan martabat, penganut
kebebasan, loyal terhadap pemimpin, pola hidup sederhana, ramah, ahli syair dan
sebagainya. Tapi karakter baik mereka terkikis oleh sifat buruknya. Mereka
melakukan kebiasaan-kebiasaan buruk seperti minum khamr (arak) sampai mabuk,
berzina berjudi, merampok dan sebagainya. Perbudakan, menempatkan kaum
perempuan pada kedudukan yang sangat rendah. Perempuan dipandang ibarat
binatang piaraan dan tidak memiliki kehormatan dan kekuatan untuk membela diri.3

Di kalangan bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat, yang


kondisinya berbeda satu sama lain. Hubungan seseorang dengan keluarga di
kalangan bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati, dan dijaga,
sekalipun harus dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah. Jika
seseorang ingin dipuji dan terpandang di mata bangsa Arab karena kemuliaan dan
keberaniannya, maka dia harus banyak dibicarakan kaum wanita. Jika seseorang
wanita menghendaki, maka dia bisa mengumpulkan beberapa kabilah untuk suatu
perdamaian, dan jika mau dia bisa menyalakan api peperangan dan pertempuran di
antara mereka. Sekalipun begitu, seorang laki-laki tetap dianggap sebagai pemimpin
di tengah keluarga, yang tidak boleh dibantah dan setiap perkataannya harus
dituruti. Hubungan laki-laki dan wanita harus melalui persetujuan wali wanita.
Seseorang wanita tidak bisa menentukan pilihannya sendiri.

Begitulah gambaran secara ringkas kelas masyarakat bangsawan. Sedangkan


kelas masyarakat lainnya beraneka ragam dan mempunyai kebebasan hubungan
antara laki-laki dan wanita. Kami tidak bisa menggambarkannya secara detil kecuali
dengan ungkapan-ungkapan yang keji, buruk, dan menjijikan. Abu Dawud
meriwayatkan dari Aisyah, bahwa pernikahan pada masa Jahiliyah ada empat
macam:

1. Pernikahan secara spontan. Seorang laki-laki mengaj ukan lamaran kepada laki-
laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa menikahinya setelah menyerahkan
mas kawin seketika itu pula.

3
Hakim Lukman Suyud, Buku siswa sejarah kebudayaan Islam, (Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah:2020)

3
2. Seorang laki-laki bisa berkata kepada istrinya yang baru suci dari haid,
“Temuilah Fulan dan berkumpulah bersamanya!” Suaminya tidak mengumpulinya
dan sama sekali tidak menyentuhnya, hingga ada kejelasan bahwa istrinya hamil
dari orang yang disuruh mengumpulinya. Jika sudah jelas kehamilannya, maka
suami bisa mengambil kembali istrinya jika memang dia menghendaki hal itu. Yang
demikian ini dilakukan, karena dia menghendaki kelahiran seorang anak yang baik
dan pintar. Pernikahan semacam ini disebut nikah istibdha

3. Pernikahan poliandri, yaitu pernikahan beberapa orang laki-laki yang jumlahnya


tidak mencapai sepuluh orang, yang semuanya mengumpuli seorang wanita. Setelah
wanita itu hamil dan melahirkan bayinya, maka selang beberapa hari kemudian dia
mengundang semua laki-laki yang berkumpul dengannya, dan mereka tidak bisa
menolaknya hingga berkumpul di hadapannya. Lalu dia berkata, “Kalian sudah
mengetahui apa yang sudah terjadi dan kini aku telah melahirkan. Bayi ini adalah
anakmu hai Fulan.” Dia menunjuk siapa pun yang dia sukai di antara mereka seraya
menyebutkan namanya, lalu laki-laki itu bisa mengambil bayi tersebut.

4. Sekian banyak laki-laki bisa mendatangi wanita yang dikehendakinya yang juga
disebut wanita pelacur. Biasanya mereka memasang bendera khusus di depan
pintunya, sebagai tanda bagi laki-laki yang ingin mengumpulinya. Jika wanita
pelacur ini hamil dan melahirkan anak, dia bisa mengundang semua laki-laki yang
pernah mengumpulinya. Setelah semua berkumpul, diselenggarakan undian. Siapa
yang namanya keluar dalam undian, maka dia yang berhak mengambil anak itu dan
mengaku sebagai anaknya. Dia tidak bisa menolak hal itu.4

4
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah (Jakarta: PUSTAKA AL-KAUTSAR:1997)

Anda mungkin juga menyukai