Anda di halaman 1dari 26

RELEVANSI KEPEMIMPINAN KYAI DENGAN UPAYA MENGEMBANGKAN

PENDIDIKAN MULTIKULTURALITAS

Disusun untuk memenuhi Tugas


Mata Kuliah Pengembangan Kelembagaan
Pendidikan Islam Multikultural

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Maskuri, Msi

Oleh :
ZAINUL HAKIM (22203011010)

PROGRAM DOKTOR
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MULTIKULTURAL
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2023
A. Pendahuluan
Kepemimpinan seorang kiai dalam mengembangkan pendidikan Islam
multikultural mengakar dalam sejarah yang kaya dan warisan budaya yang dalam.
Kiai, sebagai pemimpin spiritual dan intelektual dalam tradisi Islam Indonesia,
memainkan peran penting dalam membentuk wawasan multikulturalisme dalam
sistem pendidikan mereka.
Sejak awal kedatangan Islam di Indonesia, para kiai telah menjadi pilar dalam
memelihara nilai-nilai Islam yang inklusif dan beradaptasi dengan keberagaman
budaya lokal. Mereka mengintegrasikan ajaran Islam dengan tradisi lokal,
menciptakan pendekatan pendidikan yang menghormati dan memahami
keberagaman etnis, budaya, dan agama.
Kiai-kiai seperti KH Hasyim Asy'ari, Jombang, pendiri Nahdlatul Ulama (NU),
dan KH Ahmad Dahlan, Yogyakarta, pendiri Muhammadiyah, menjadi tokoh sentral
dalam gerakan pendidikan Islam multikultural. Mereka tidak hanya mendirikan
madrasah dan pesantren untuk memperkuat pendidikan agama, tetapi juga
menggalakkan pengetahuan umum, ilmu pengetahuan modern, dan nilai-nilai moral
yang inklusif.
Pendekatan kiai dalam pendidikan multikultural mencakup pembelajaran
agama Islam yang tidak terpisahkan dari kearifan lokal, kesenian, dan budaya
setempat. Mereka mendidik para santri untuk menjadi pemimpin yang mampu
berinteraksi secara harmonis dengan masyarakat yang beragam.
Selain itu, kiai-kiai juga mempromosikan toleransi, kerukunan, dan dialog
antaragama. Mereka mendorong para siswa untuk memahami dan menghargai
perbedaan, membangun jembatan antar-etnis, agama, dan budaya sebagai landasan
harmoni sosial.
Melalui pengajaran mereka, kiai-kiai membentuk karakter pemimpin yang
tidak hanya memiliki pengetahuan agama yang kokoh tetapi juga pemahaman yang
luas tentang pluralitas budaya. Mereka menciptakan lingkungan pendidikan yang
memupuk semangat inklusivitas, saling menghormati, dan kerjasama lintas batas.
Kepemimpinan kiai dalam mengembangkan pendidikan Islam multikultural
tidak hanya menghasilkan sarjana agama, tetapi juga pembawa perdamaian,
pemersatu, dan pembangun masyarakat yang beragam. Melalui prinsip-prinsip
inklusifitas ini, mereka telah meninggalkan jejak yang kuat dalam membentuk
karakter masyarakat Indonesia yang beragam namun bersatu dalam kesatuan yang
kokoh.
KH Abdul Ghofur, Kiai kharismatik asal lamongan dalam pandangan penulis
memiliki karakter yang diharapkan sebagai seorang pemimpin yang multikultural
dengan segudang prestasi dalam bidang pendidikan, ekonomi dan perdamaian. Latar
belakang ini mendorong penulis untuk mencari Relevansi Kepemimpinan Kiai dengan
Upaya Mengembangkan Pendidikan Multikulturalitas.
B. Study Kepemimipinan KH Abdul Ghofur
1) Profil Singkat
Kiai Ghofur1 bernama Abdul Ghofur, beliau putra ke tiga dari pasangan H
Martokan dengan Hj Kasiyami. Lahir pada 12 Februari 1949 di Banjaranyar
Banjarwati Paciran Lamongan. Ayahnya adalah seorang guru ngaji di kampung
yang juga merupakan seorang petani juga merupakan pedagang batu gamping dan
ibunya adalah seorang penjahit pakaian.2
Kiai Ghofur kecil hidup dalam keluarga yang sangat sederhana bahkan cukup
memprihatinkan, di mana dikisahkan bahwa beliau dan keluarga makan seadanya,
beliau dan sekeluarga waktu kecil pernah sesekali hanya bisa makan parutan
ketela pohon.3 Masa ini merupakan masa di mana masyarakat masih banyak yang
kekurangan bahan makanan.
Kiai Ghofur kecil adalah anak yang cerdas. Sebagaimana anak seusianya, ia juga
sering bermain dengan teman-temannya, mencari burung bersama, dan bercanda
bersama. Semenjak kecil ia sudah ikut mengaji di mushala ayahnya, terletak di
depan rumah. Dari ayahnya secara langsung ia belajar al-Qur’an, panduan ibadah,
akhlaq dan tauhid.
Pendidikan formal Kiai Ghofur dimulai di sekolah SDN Kranji Paciran di waktu
pagi, juga belajar di Madrasah Ibtidaiyah Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran di
waktu sore. Beliau lulus dari Kedua sekolah tersebut pada tahun 1962. Selain
sekolah di pendidikan formal, Kiai Ghofur juga belajar di bawah asuhan Kiai Abu

1 Panggilan ini yang paling sering dipakai


2 Aguk Irawan, Sang Pendidik “Novel Bografi KH Abdul Ghafur”, Yogyakarta: Qalam Nusantrara,
2015, hal 288.
3 Mohammad Rofiq, “Konstruksi Sosial Dakwah Multidimensional KH Abdul Ghofur Paciran

Lamongan Jawa Timur, Tesis Pascasarjana Jurusan Dakwah, IAIN Sunan Ampel, 2011, hal 84-86.
Bakrin tentang Ilmua agama, kiai Abu Bakrin dikenal sebagai seorang ‘alim dan
mempunyai karamah. Selain mengajar ilmu agama, Kiai Abu Bakrin juga
merupakan juru kunci makam Sunan Drajat.4
Di jenjang menengah, Kiai Ghofur sekolah di MTs Tarbiyatut Tholabah Kranji
Paciran hingga lulus di tahun 1965 dan tiap sore ia belajar ilmu agama pada Kiai
Adlan,12 pengasuh Ponpes Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan.
Di jenjang Menengah atas, beliau melanjutkan sekolah di MA Mamba’ul Ma’arif
beserta mondok di Ponpes Mamba’ul Ma’arif Denanyar Selatan Denanyar Jombang
hingga lulus tahun 1968. Di sana, ia juga sempat belajar langsung dari KH. Bisri
Syamsuri, tokoh awal berdirinya Organisasi Nahdlatul Ulama.5
Selepas dari MA, beliau melanjutkan mondok ke Ponpes Keramat Pasuruan
dan Ponpes Sidogiri Pasuruan, selama setahun. Pada 1970, ia belajar di Ponpes
Sarang Rembang Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. Zubeir selama setahun. Di sana
beliau belajar ilmu nahwu dan sharf serta kitab-kitab kuning di bidang ilmu fiqih.
Di Sarang selain belajar di Ponpes yang diasuh oleh KH Zubeir beliau juga
belajar ke orang ‘Alim yang bernama Mbah Bolah. Dari beliau, Kiai Ghofur belajar
beberapa ilmu di bidang Ilmu tasawuf, kanuragan, dan pengobatan, hal ini
berlangsung pada tahun 1968 sampai tahun 1969.6
Tahun 1971 sampai 1975 Kiai Ghofur kembali melanjutkan belajarnya, beliau
mondok di Ponpes Lirboyo kemudian Ponpes Tetek yang diasuh oleh KH Ma’ruf
Zuaeni dan Ponpes Roudlotul Qur’an dalam asuhan KH. Asy’ari Kediri. ia belajar
beberapa ilmu, diantaranya ilmu tradisional dan bela diri di sana. Di waktu luang
ia menimba ilmu di Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo.
Sepulang dari perjalanan mencari ilmu, beliau tidak segan untuk berkumpul
dengan pemuda di desanya. Sehingga beliau pun akhirnya dekat dengan pemuda
di desanya yang kebanyakan hobby sepak bola, pencak silat dan menonton orkes.
Walaupun tidak dipungkiri ada juga yang hobi minum minuman keras, tawuran,
judi dan lain-lain. Namun tentu Kiai Ghofur tidak menyertai mereka dalam
kegiatan tersebut, bahkan beliau selalu berusaha mencoba untuk mengajak
kembali kepada hal-hal yang positif.

4 Ainur Rofiq, “Jurnal Manajemen Pendidikan”, Volume 2, Nomor 1, Januari 2020, hal. 49
5 Ibid
6 Ibid
Di sisi lain, beliau berusaha merintis kembali pesantren milik Sunan Drajat
yang lama terkubur, beliau menggunakan pendekatan kesenian. Selain itu, untuk
menarik hati para pemuda, beliau juga mendirikan klub sepak bola, grup musik,
perguruan pencak silat dan hipnotis di tahun 1974, beliau memberi nama pencak
silat tersebut dengan GASPI (Gabungan Silat Pemuda Islam ).7 Berikutnya pada
tahun 1975 beliau mendirikan mushala dan pada tahun 1976 beliau mendirikan
madrasah diniyah yang merupakan cikal bakal didirikannya kembali Ponpes
Sunan Drajat yang telah terkubur, pendirian kembali pondok tersebut pada pada
tanggal 7 September 1977 atau Syawal 1357 H.
2) Kepemimpinan

a. Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah proses mengarahkan dan menggerakkan orang lain


untuk mencapai tujuan suatu organisasi, menstimulasi perilaku pengikut agar
sesuai dengan tujuan, dan memengaruhi untuk meningkatkan kualitas
kelompok dan budayanya.8 Kepemimpinan dalam bahasa Arab dapat
diungkapkan sebagai al-ri’ayah, al-imarah, al-qiyadah, atau al-za’amah.9 Kata-
kata tersebut adalah kata-kata yang sama artinya sehingga disebut sinonim
atau murodif, sehingga kita dapat memilih salah satu dari keempat kata
tersebut untuk mengartikan kata kepemimpinan. Sedangkan untuk menyebut
konsep kepemimpinan pendidikan, Muzamil Qomar lebih suka menggunakan
istilah qiyadah tarbawiyah.10 Berikut adalah penjelasan tentang kepemimpinan
menurut beberapa tokoh yang dapat penulis sampaikan sebagai berikut:

1) Salah satu definisi kepemimpinan yang diberikan oleh Hadari Nawawi


adalah kemampuan untuk mendorong, menginspirasi dan memengaruhi
orang agar mau melakukan aksi-aksi yang sesuai dengan arah tujuan

7 Nur Huda, “Model Pondok Pesantren Industri, “Studi Kasus Pondok Pesantren Sunan Drajat”

(Tesis—UIN Sunan Ampel, 2002), 51


8 Veithzal Rivai Zainal, et.all, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, cet. Ke-11, Rajawali Pers,

Jakarta, 2014, hal. 2.


9 Muzamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam Strategi Baru Pengelolaan Pendidikan Islam,

Erlangga, Jakarta, 2007, hal. 268.


10 Ibid, hal. 269.
melalui proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan aktivitas
tersebut.11
2) Menurut Miftah Toha yang dirujuk oleh Idhochi Anwar, kepemimpinan
adalah penerapan wewenang dan pengambilan keputusan. Definisi ini
menggambarkan bagaimana seorang pemimpin dapat memanfaatkan
kewenangannya untuk mengarahkan organisasi melalui keputusan yang
diambil. Definisi yang lebih umum menunjukkan pola keselarasan interaksi
antara pemimpin dengan bawahan sehingga kewenangan yang dimiliki oleh
seorang pemimpin direalisasikan dalam bentuk bimbingan dan arahan
terhadap bawahan.12
b. Teori Kepemimpinan

Beberapa teori kepemimpinan yang bisa dijelaskan oleh penulis adalah


sebagai berikut :
a. Teori Sifat

Teori yang mencoba untuk menemukan ciri-ciri khusus (fisik, mental,


kepribadian) yang berhubungan dengan kepemimpinan yang berhasil.
Teori ini menyoroti pada sifat-sifat pribadi dari para pemimpin. Teori ini
didasari oleh anggapan bahwa beberapa orang adalah pemimpin bawaan
yang memiliki beberapa ciri yang berbeda dari orang lain seperti energi
yang tak pernah habis, intuisi yang dalam, visi masa depan yang hebat dan
daya tarik yang luar biasa. Teori kepemimpinan ini mengatakan bahwa
keberhasilan manajerial terjadi karena adanya kemampuan-kemampuan
istimewa dari seorang pemimpin.13
b. Teori Kepribadian Perilaku

Pada akhir 1940-an, para peneliti mulai mengkaji gagasan bahwa


perilaku seseorang dapat mempengaruhi keberhasilan kepemimpinan
seseorang. Dan mereka menemukan karakteristik-karakteristik, mereka

11 Hadari Nawawi, Administrasi Pendidikan, Haji Mas Agung, Jakarta, 1998, hal. 81.
12 Moch. Idochi Anwar, Administrasi Pendidikan Dan manajemen Biaya Pendidikan, Alfabeta,
Bandung, 2004, hal. 77.
13 Ibid
menelusuri dampaknya pada prestasi dan kebahagiaan dari pengikut-
pengikutnya.19
Teori ini berdasarkan pada hukum pengaruh (law effect) yang
mengatakan bahwa perilaku yang mendapat konsekuensi memuaskan
cenderung berulang, sedangkan perilaku yang mendapat konsekuensi
menghukum cenderung berhenti.14
c. Teori Kepemimpinan Situasional

Sebuah cara untuk melihat kepemimpinan yang mengatakan bahwa


pemimpin mengetahui perilakunya, karakteristik bawahannya, dan kondisi
sebelum memilih suatu gaya kepemimpinan tertentu. Cara ini
mengharuskan pemimpin untuk memiliki kemampuan diagnostis dalam
perilaku manusia.22
Sebuah kutipan dari G.R. Terry oleh Kartini Kartono menyebutkan bahwa
ada beberapa teori kepemimpinan sebagai berikut :

a. Teori Otokratis

Teori ini mengatakan bahwa kepemimpinan didasarkan pada


perintah-perintah, pemaksaan, dan aksi-aksi yang sewenang-wenang
(sebagai hakim). Ia melakukan pengawasan yang ketat, agar semua
pekerjaan berjalan dengan efisien. Kepemimpinannya fokus pada struktur
organisasi dan tugas-tugas.15
b. Teori Psikologis

Teori ini mengatakan bahwa tugas seorang pemimpin adalah


menciptakan dan meningkatkan sistem motivasi terbaik, untuk mendorong
kesediaan bekerja dari para pengikut dan bawahan. Pemimpin
menginspirasi bawahan agar mereka bersedia bekerja untuk mencapai
tujuan-tujuan organisasi maupun untuk memenuhi kepentingan-
kepentingan pribadi.24
c. Teori Sosiologis

14 Husaini Usman, Manjemen, Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, Cet. 3, Bumi Aksara, Jakarta,
2011, hal. 265-266.
15 Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta: Rajawali Press, 1998),h. 72..
Kepemimpinan dipandang sebagai upaya-upaya untuk memperlancar
hubungan antara anggota organisasi dan sebagai upaya untuk menangani
setiap konflik organisasi antara para pengikutnya, agar tercipta kerja sama
yang baik. Pemimpin menentukan tujuan-tujuan dengan melibatkan para
pengikutnya dalam pengambilan keputusan akhir. Selain itu juga
menetapkan tujuan, dan sering kali memberikan arahan yang berlaku bagi
para pengikut untuk melakukan setiap aksi yang terkait dengan
kepentingan kelompoknya. Setiap anggota mengetahui hasil apa, keyakinan
apa, dan perilaku apa yang diinginkan dari mereka oleh pemimpin dan
kelompoknya. Pemimpin diharapkan dapat melakukan tindakan-tindakan
perbaikan apabila terdapat hambatan-hambatan dan penyimpangan-
penyimpangan dalam organisasi.16
d. Teori Suportif

Teori ini mengatakan bahwa para pengikut harus berjuang keras, dan
bekerja dengan penuh semangat, sedangkan pemimpin akan mengarahkan
dengan sebaik mungkin melalui kebijakan tertentu. Untuk tujuan ini
pemimpin perlu menciptakan suatu lingkungan kerja yang nyaman, dan
bisa membantu menguatkan motivasi setiap pengikutnya untuk melakukan
pekerjaan sebaik mungkin, mampu bekerja sama dengan pihak lain, mau
mengasah bakat dan keterampilannya, dan mengetahui benar keinginan
sendiri untuk berkembang.17
e. Teori Laissez Faire

Teori ini menggambarkan seorang tokoh “ketua dewan” yang


sebenarnya tidak mampu mengelola dan dia menyerahkan semua tanggung
jawab dan pekerjaan kepada bawahan atau kepada semua anggotanya. Dia
adalah seorang “ketua” yang berperan sebagai simbol, dengan berbagai
hiasan atau ornamen yang mencolok. Biasanya dia tidak memiliki
keterampilan teknis. Sedangkan posisi sebagai pemimpin (direktur, ketua
dewan, kepala, komandan, dan lain-lain) didapat oleh sistem nepotisme
atau lewat praktik suap.27

16 Ibid, hal. 75.


17 Kartini Kartono, Op. cit., hal. 75.
f. Teori kelakuan pribadi

Teori ini mengatakan bahwa kepemimpinan muncul berdasarkan


sifat-sifat pribadi atau perilaku-perilaku para pemimpinnya. Teori ini
mengatakan, bahwa seorang pemimpin itu selalu berperilaku lebih kurang
sama, yaitu ia tidak melakukan aksi-aksi yang sama persis dalam setiap
situasi yang dihadapi. Dengan kata lain, dia harus mampu bersikap lentur,
gesit, cerdas, “paham situasi”, dan mempunyai daya tahan yang tinggi
karena dia harus mampu mengambil tindakan-tindakan yang paling sesuai
untuk suatu masalah. Sedangkan masalah sosial itu tidak akan pernah sama
persis di dalam rentang waktu yang berbeda.18
g. Teori sifat Orang-Orang Besar

Banyak orang telah berusaha untuk menemukan sifat-sifat istimewa


dan kualitas hebat dan unik, yang diinginkan ada pada seorang pemimpin
untuk memprediksi keberhasilan kepemimpinannya. Ada beberapa ciri-ciri
istimewa sebagai prasyarat yang diinginkan akan dimiliki oleh seorang
pemimpin, yaitu memiliki kecerdasan tinggi, banyak inisiatif, bersemangat,
punya kematangan emosional, memiliki daya tarik dan keterampilan
komunikasi, memiliki percaya diri, sensitif, kreatif, mau memberikan
partisipasi sosial yang tinggi dan lain-lain. 19
h. Teori situasi

Teori ini mengatakan bahwa pemimpin harus memiliki daya tahan


yang tinggi/fleksibel, untuk beradaptasi dengan kebutuhan situasi,
lingkungan sekitar dan zamannya. Faktor lingkungan itu harus dijadikan
peluang untuk diatasi. Maka pemimpin itu harus mampu menangani
masalah-masalah nyata. Sebab masalah-masalah hidup dan momen-
momen krisis (perang, revolusi, malaise dan lain-lain) yang penuh gejolak
dan ancaman bahaya, selalu akan menimbulkan satu jenis kepemimpinan
yang sesuai dengan masa itu.20

18 Ibid, hal. 77.


19 Ibid., hal. 77-78..
20 Ibid
Pemimpin dapat menempatkan bawahan pada posisi yang cocok
dengan menganalisis motivasi mereka. Hubungan yang baik antara
pemimpin dengan anggotanya akan mempengaruhi keberhasilan
kepemimpinannya sehingga kepemimpinannya tidak bergantung pada
kekuasaan formalnya.21
i. Teori humanistic/populistik

Teori ini mengatakan bahwa fungsi kepemimpinan adalah


mewujudkan kemerdekaan manusia dan memenuhi semua kebutuhan
manusiawi, yang dicapai melalui interaksi pemimpin dengan rakyat. Untuk
itu diperlukan organisasi yang baik dan pemimpin yang baik, yang mau
mengindahkan kepentingan dan kebutuhan rakyat. Organisasi tersebut
juga berfungsi sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial, agar
pemerintah menjalankan fungsinya dengan baik, serta menghargai
kemampuan dan potensi rakyat. Semua itu dapat dilakukan melalui
interaksi dan kerja sama yang baik antara pemerintah dan rakyat, dengan
mempertimbangkan kepentingan masing-masing.22
c. Gaya Kemimpinan

Dalam kenyataannya, gaya kepemimpinan yang berhasil ada empat, yaitu:


gaya perintah, gaya konsultasi, gaya partisipasi, dan gaya delegasi.23
1) Gaya Instruktif

Gaya kepemimpinan instruktif ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:


a) memberi arahan secara jelas tentang apa, bagaimana, dan kapan
kegiatan dilakukan; b) kegiatan lebih banyak dikontrol secara ketat; c)
kadar perintah tinggi; d) kadar antusiasme rendah; e) kurang dapat
mengembangkan kemampuan pegawai; f) kemampuan motivasi rendah; g)
tingkat kedewasaan bawahan rendah.24
2) Gaya Konsultatif

21 Husaini Usman, Op. cit, hal. 313.


22 Kartini Kartono, Op. cit., hal. 72.
23 Ibid., hal. 53-54.

24 Ibid., hlm. 53-54.


Gaya ini digunakan kepala sekolah dengan memberikan arahan yang
cukup banyak dan mengambil keputusan. Pemimpin berkomunikasi dua
arah dan memberikan dukungan terhadap guru, staf dan pegawai
lainnya.25
Gaya kepemimpinan konsultatif ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) kadar perintah rendah; b) antusiasme tinggi; c) komunikasi dilakukan
secara dua arah; d) masih memberikan arahan yang jelas; e) pemimpin
secara perlahan memberikan tanggung jawab kepada pegawai meskipun
bawahan masih dianggap kurang mampu; f) tingkat kedewasaan bawahan
rendah ke sedang.41
3) Gaya Partisipatif

Gaya kepemimpinan partisipatif adalah gaya kepemimpinan di mana


pengendalian atas penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan
antara pemimpin dengan bawahan dilakukan secara adil.26
Gaya partisipatif ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a) pemimpin
berkomunikasi dua arah; b) secara aktif mendengar dan menanggapi
semua kesulitan bawahan; c) mendorong bawahan untuk memanfaatkan
kemampuan secara operasional; d) melibatkan bawahan dalam
pengambilan keputusan; e) mendorong bawahan untuk berpartisipasi; f)
tingkat kedewasaan bawahan dari sedang ke tinggi.27
4) Gaya Delegatif

Gaya delegatif ini digunakan pemimpin dengan membahas masalah


yang ada dengan bawahan, lalu menyerahkan pengambilan keputusan
kepada bawahan dengan memberi kewenangan untuk menuntaskan tugas
sesuai dengan keputusan sendiri.28
Gaya kepemimpinan delegatif ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) memberi arahan hanya bila dibutuhkan; b) memberi semangat
dianggap sudah tidak penting; c) penyerahan tanggung jawab kepada

25 Donni Juni Priansa Dan Rismi Somad, Manajemen Sipervisi Dan Kepemimpinan Kepala Sekolah,
(Bandung: Alfabeta, 2014), hal. 201.
26 Ibid, hal. 201.
27 Baharuddin dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruz, 2002) hal. 54.

28 Donni Juni Priansa dan Rismi Somad, Op. cit., hal. 201
bawahan untuk menyelesaikan tugas; d) tidak perlu memberi motivasi;
dan e) tingkat kedewasaan bawahan tinggi.
d. Model Kepemimpinan

Model kepemimpinan diantaranya adalah :

a. Kharismatik

Gaya kepemimpinan ini memiliki kekuatan energi, daya tarik dan


kharisma yang hebat untuk memengaruhi orang lain, sehingga ia memiliki
pengikut yang sangat banyak dan penjaga-penjaga yang dapat diandalkan.29
b. Paternalistik

Gaya kepemimpinan ini adalah gaya kepemimpinan yang


paternalistik, dengan karakteristik-karakteristik sebagai berikut :
Berikut adalah parafrase dari ciri-ciri gaya kepemimpinan
paternalistik yang Anda sebutkan:

1) Memperlakukan bawahan sebagai manusia yang tidak/masih belum


dewasa, atau anak sendiri yang harus dibina.

2) Bersikap terlalu memayungi (overly protective).

3) Jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk menentukan


keputusan sendiri.

4) Hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahan untuk


berkreasi.

5) Tidak memberi atau jarang sekali memberi kesempatan kepada


pengikutnya dan bawahan untuk mengembangkan imajinasi dan daya
kreativitas. Selalu bersikap maha-tahu dan maha-benar30

c. Tipe Militeristik

Tipe ini memiliki gaya yang menyerupai militer. Namun, hanya


penampilannya saja yang mengikuti gaya militer. Jika diperhatikan lebih

29 Kartini Kartono, Op. cit., hal. 81.


30 Ibid, hal. 81-82.
teliti, tipe ini sebenarnya sama dengan tipe kepemimpinan yang otoriter.
Beberapa ciri-ciri pemimpin militeristik di antaranya adalah:
1) Lebih banyak menggunakan sistem perintah kepada bawahannya, sering
kurang bijaksana, kaku dan keras sangat otoriter.
2) Berharap ketaatan utuh dari bawahan.

3) Suka dengan formalitas, tanda-tanda kebesaran dan upacara ritual yang


berlebih-lebihan.
4) Menuntut dengan kuat agar bawahannya disiplin.
5) Tidak menyukai kritikan, usul, saran dan sugesti dari bawahannya.
6) Hanya berlangsung komunikasi dari atas ke bawah.31

d. Tipe Otokratis (outhoritative, Dominator)

Otokrat berarti kekuasaan absolute. Kepemimpinan otoktratis


berdasar pada paksaan yang harus dipatuhi secara mutlak. Pemain tunggal
adalah peran dari pemimpinnya. Sangat berambisi merajai keadaan.
Kebijakan dan perintah tidak dikomunikasikan dulu dengan bawahan.
Detail rencana dan tindakan tidak pernah diberitahukan kepada anak buah.
Memberikan pujian dan kritikan kepada bawahan atas pandangan
pribadinya.32
e. Tipe Laissez Faire

Kepemimpinan ini tidak memimpin dan membiarkan setiap orang


dan kelompoknya berbaut semaunya. Kelompoknya melakukan kegiatan
tanpa adanya campur tangan dari dia. Bawahan melakukan semua kegiatan
dan bertanggung jawab atas kegiatan tersebut. Cenderung dianggap simbol
dan tidak memiliki kecakapan teknis. Hal ini disebabkan karena
kepemimpnannya tidak diperoleh secara benar, baik karena sogokan atau
nepotisme. Tidak bisa mengontrol anak buahnya dan tak berwibawa. Tidak
mampu melaksanakan koodinasi kerja, dan tidak berdaya sama sekali
menciptakan suasana kerja yang kooperatif. Sehingga organisasi yang

31 Ibid, hal. 82-83.


32 Ibid, hal. 83.
53 Ibid, hal. 84.

54 Ibid, hal. 85.


dikepalainya menjadi berantakan, kacau, dan pada dasarnya sama dengan
satu perusahaan tanpa pemimpin.53
f. Tipe Populistis

Kepemimpinan populis adalah kepemimpinan yang dapat


menciptakan solidaritas rakyat -seperti Soekarno dengan idealisme
marhaenismenya-, yang menyoroti masalah persatuan nasional,
nasionalisme, dan sikap waspada terhadap kolonialisme dan penindasan-
penindasan serta dominasi oleh kekuatan-kekuatan asing. Kepemimpinan
populis ini berpegang pada nilai-nilai masyarakat yang tradisional. Juga
kurang mengandalkan dukungan kekuatan dan bantuan pinjaman luar
negeri (asing). Kepemimpinan jenis ini mengedepankan kebangkitan
nasionalisme.54

g. Tipe Administratif atau Eksekutif

Kepemimpinan tipe administratif itu mampu melaksanakan tugas-


tugas administrasi secara efektif. Sedangkan para pemimpinnya terdiri dari
teknokrat dan administrator yang mampu menggerakkan dinamika
modernisasi dan pembangunan. Dengan demikian dapat tercipta sistem
administrasi dan birokrasi yang efisien untuk pemerintahan yaitu untuk
memperkuat integritas bangsa secara khusus, dan usaha pembangunan
secara umum. Dengan kepemimpinan administratif ini diharapkan adanya
perkembangan teknis-yaitu teknologi, industri, manajemen modern dan
perkembangan sosial di tengah masyarakat.33
h. Tipe Demokratis

Kepemimpinan demokratis berfokus pada manusia, dan memberikan


arahan yang efektif kepada para pengikutnya. Ada koordinasi pekerjaan
pada semua bawahan, dengan menekankan pada rasa tanggung jawab
internal (pada diri sendiri) dan kerja sama yang baik. Kekuatan
kepemimpinan demokratis ini tidak terletak pada “person atau individu
pemimpin”, melainkan kekuatan justru terletak pada partisipasi aktif dari

33 Ibid, hal. 85.


56 Ibid, hal. 86.
setiap anggota kelompok. Kepemimpinan demokratis menghormati potensi
setiap individu mau mendengarkan nasihat dan saran bawahan. Juga mau
mengakui keahlian para spesialis dengan bidangnya masing-masing dan
memanfaatkan kapasitas setiap anggota seoptimal mungkin pada saat-saat
dan kondisi yang tepat. Kepemimpinan demokratis juga sering disebut
sebagai kepemimpinan group developer.
3) Pendidikan Islam Multikultural

Nilai-nilai utama dalam pendidikan Islam multikultural meliputi beberapa


aspek yaitu:
1. Tauḥīd, yaitu mengesakan Tuhan. Tujuan pandangan hidup manusia adalah
untuk mewujudkan konsep keesaan Tuhan dalam hubungan antar sesama
manusia. Tuhan adalah sumber pokok bagi umat manusia, oleh karena itu
sesama manusia adalah bersaudara (ukhuwah basyariyah).
2. Ummah, yaitu Hidup bersama. Setiap orang memiliki hak yang sama untuk
hidup di alam semesta ini, saling bersebelahan, dan menjalin hubungan sosial
dalam sebuah kelompok, komunitas, masyarakat, atau bangsa.
3. Raḥmah, yaitu Kasih sayang, yaitu pengejawantahan sifat-sifat tuhan yang
maha kasih lagi maha sayang kepada manusia yang di ciptakan oleh tuhan
untuk berhubungan dan berdialog satu sama lain atas dasar semangat saling
cinta dan perduli.
4. Musāwah, takwa (egalitarianisme) yaitu bahwa seluruh manusia adalah
saudara dan mendapatkan perlakuan yang sama di sisi Allah Swt. Walaupun
berbeda jenis kelamin, gender, ras, warna kulit dan agama.34

Berikut ini beberapa penerapan nilai multikultural dalam Islam yaitu:


a. Ta’āruf (saling mengenal dan berbuat baik) adalah kesadaran dan keinginan
untuk hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda budaya, etnis, dan
agama. Dengan ta'aruf, kita dapat saling mengenal dan memahami perbedaan-
perbedaan tersebut, sehingga kita dapat saling menghargai, bekerja sama, dan
berkorban demi terciptanya kehidupan yang harmonis dan sejahtera.

34 Tri Astutik Haryat. 2009. “ISLAM DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL”. TADRIS: Jurnal
Pendidikan Islam 4 (2). https://doi.org/10.19105/tjpi.v4i2.250.”, h. 24.
b. Tafāhum (saling memahami) kesadaran bahwa orang lain memiliki nilai-nilai
yang berbeda dari kita. Namun, perbedaan tersebut bukanlah sesuatu yang
perlu dipertentangkan, melainkan sesuatu yang dapat saling melengkapi.
Dengan saling memahami perbedaan tersebut, kita dapat membangun
hubungan yang dinamis dan saling menguntungkan.
c. Fastabiq al-khairāt (berlomba-lomba dalam kebaikan) adalah semangat untuk
berlomba-lomba dalam kebaikan. Persamaan dan perbedaan antar individu
dan kelompok dapat menjadi dasar untuk membangun komunikasi dan
kompetisi yang sehat. Komunikasi yang baik akan meningkatkan pemahaman
dan saling menghormati, sementara kompetisi yang sehat akan mendorong
individu dan kelompok untuk terus meningkatkan diri dan mencapai
keunggulan. Hal ini akan berdampak positif pada semua aspek kehidupan
sosial, mulai dari ekonomi, politik, hingga budaya.
d. Amānah, adalah kepercayaan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain.
Amanah dapat berupa benda, tugas, atau tanggung jawab. Amanah harus dijaga
dengan baik dan penuh tanggung jawab.
e. Ḥusnuẓan, adalah sikap berbaik sangka. Berbaik sangka berarti selalu berpikir
positif terhadap orang lain, bahkan ketika mereka melakukan kesalahan.
f. Tasāmuḥ, toleransi adalah jembatan yang menghubungkan perbedaan. Ia
adalah jalan yang membuka ruang bagi kita untuk saling menerima dan
menghormati, tanpa memandang perbedaan agama, budaya, atau etnis.
g. ‘Afw, adalah kekuatan yang dapat menyembuhkan luka dan melepaskan
dendam. Pemberi ampunan adalah orang yang berani memaafkan, bahkan
ketika mereka memiliki kekuatan untuk membalas.
h. Takrīm, saling menghormati Saling menghormati adalah sikap menghargai
orang lain, tanpa memandang perbedaan agama, budaya, atau etnis. Saling
menghormati dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti
mendengarkan pendapat orang lain dan menghormati perbedaan.
i. Ṣulḥ, Perdamaian atau rekonsiliasi adalah proses untuk membangun kembali
hubungan yang rusak akibat konflik. Proses ini membutuhkan pengakuan
kebenaran, pengampunan, dan keadilan.
j. Iṣlāḥ atau Resolusi konflik adalah jalan untuk menyembuhkan luka dan
membangun kembali hubungan. Jalan ini membutuhkan keberanian untuk
memahami, kebesaran hati untuk memaafkan, dan ketegasan untuk
menyelesaikan masalah.35

Berikut tujuan mempelajari nilai-nilai utama dalam pendidikan Islam


multikultural:
a. Ṣilāḥ, adalah jalan untuk menciptakan dunia yang lebih damai. Jalan ini
membutuhkan keberanian untuk membangun, keteguhan untuk menjaga, dan
kebijaksanaan untuk membuat perdamaian.
b. Layyin, dalam bahasa Arab berarti lemah lembut. Dalam konteks ini, layyin
dapat diartikan sebagai budaya anti kekerasan. Budaya anti kekerasan adalah
budaya yang mengutamakan kedamaian dan harmoni, serta menolak
kekerasan dalam segala bentuk.
c. ‘Adl atau keadilan adalah prinsip penting dalam semua agama dan budaya.
Dalam Islam, keadilan adalah salah satu dari lima rukun iman. Adl didefinisikan
sebagai keseimbangan, kesetaraan, dan kebenaran.36

C. Relasi Kepemimpinan Kiai dalam upaya mengembangkan Pendidikan Islam


Multikultural
1) Negara Pesantren
Ahmad Ali Adhim, mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dalam
tulisannya tentang pemikiran KH Abdul Ghofur dalam hal sistem pendidikan
pesantren menyebut pemikiran tersebut dengan “Negara Pesantren”.37
Ahmad Ali Adhim percaya pengalaman KH Abdul Ghofur sebagai kiai yang
setiap hari menjadi tempat curhat berbagai permasalahan kehidupan masyarakat,
membuat beliau menyimpulkan bahwa pendidikan di pesantren adalah ruang
belajar yang paling baik. Selain tidak terpengaruh pergaulan bebas, seks bebas,
dan narkoba, pesantren juga membuat seseorang selain mendapat ijazah resmi
dari negara juga bisa mengaji (baik Al-Qur’an maupun kitab kuning), berceramah

35Ibid, hal. 25.


36 Abd. Rahcman Assegaf, Filasafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011), hal.
313-314.
37 Ahmad Ali Adhim, “Negara Pesantren Kiai Abdul Ghofur”, 19 Desember 2023,

https://m.nu.or.id/opini/negara-pesantren-kiai-abdul-ghofur-dJkgL
agama dan berkhutbah, memimpin doa, kemampuan-kemampuan keahlian
keagamaan lainnya yang bermanfaat saat terjun di masyarakat nanti.
Ahmad Ali Adhim menyatakan bahwa pendidikan pesantren tidak hanya
meliputi aspek akademik, tetapi juga aspek non-akademik. Hal ini terlihat dari
berbagai budaya dan tradisi pesantren yang membina kepribadian santri menjadi
sabar, sederhana, rendah hati, peduli, ikhlas, rajin, disiplin, hemat, bersahaja,
santun, dan beradab.
Ali Adhim mengutip pendapat Imam Ghazali dalam karyanya Maroqil
Ubudiyah fi Syarhi Bidayatil Hidayah bahwa kata thariqah merupakan
pelaksanaan kewajiban dan kesunnahan atau keutamaan, meninggalkan larangan,
menghindari perbuatan mubah yang tidak bermanfaat, sangat berhati-hati dalam
hal menjaga diri dari apa saja yang tidak disukai oleh Allah serta yang meragukan,
sebagaimana dilakukan oleh beberapa orang yang memilih untuk mengasingkan
diri dari memikirkan dunia dengan cara memperbanyak ibadah sunnah di malam
hari, berpuasa sunah di siang hari, serta meninggalkan ucapan yang tidak
bermanfaat.
Berikutnya Ali Adhim menjelaskan bahwa dalam memahami thoriqoh yang
dimaksud oleh Kiai Abdul Ghofur, kita bisa membaca ulang riwayat Ibnu Abdil barr
yang artinya ”Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun
muslim perempuan”. Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi
Rasulullah pernah bersabda ”Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu maka
ia berada di jalan Allah hingga ia pulang”. Kedua Hadits ini jelas bahwa menuntut
ilmu adalah suatu jalan yang harus ditempuh.
Ali adhim melanjutkan bahwa yang lebih menarik dari tujuan sebuah
pendidikan adalah bagaimana kita melawan kemalasan dan kebodohan yang
melekat pada diri kita masing-masing. Sebagaimana dawuh Kiai Abdul Ghofur
“Sekarang sudah bukan masanya berjihad dengan peperangan, akan tetapi yang
lebih tepat adalah berjihad melawan kemalasan dan kebodohan, yaitu dengan cara
memperbanyak beribadah, serius dalam belajar.”
Apabila Pendidikan Pesantren menjadi contoh pendidikan di Indonesia,
maka dipercaya, rasa kekeluargaan dan tanggung jawab akan menjadi pijakan
yang kokoh untuk kemajuan bangsa kelak. Pesantren dianggap mampu
menciptakan banyak tokoh yang memiliki peran penting dalam keragaman di
Indonesia, hal ini tidak terlepas dari kebiasaan mereka untuk hidup bersama
dengan orang-orang yang baru mereka temui dengan berbagai macam kebiasaan,
adat dan bahasanya.
Berbekal kepemimpinan tipe Kharismatik dengan menggunakan
penerapan nilai multikultural fastabiqul khairat KH Abdul Ghofur mempersiapkan
negara pesantren tersebut dengan mendirikan berbagai macam lembaga
pendidikan dalam berbagai bidang, yakni MI al Muawanah pada 1966, Madrasah
Diniyah pada 1976, Ponpes Sunan Drajat pada 1977, SMP 45 pada 1983, MTs al
Muawanah pada 1986, MA Ma’arif pada 1991, Muallimin Muallimat pada 1994,
SMK NU 1 pada 1995, Madrasatul Qur’an pada 1996, SMP 2 Paciran pada 1997,
SMK NU 2 pada 1997, SUPM pada 2003, STAIRA pada 2008 dan INSUD pada
2015.38
2) Entrepreneur Demokratis dan Egaliter
Dalam disertasi yang ditulis oleh Imam Syafi’i39, ditemukan dan
disimpulkan bahwa Kh Abdul Ghofur adalah kiai yang demokratis dan egaliter. Di
mana dalam penelitiannya, ia mengambil pendapat yang disampaikan oleh
Muhammad Yunus yang mengatakan bahwa KH Abdul Ghofur adalah pimpinan
yang memiliki sikap dan gaya demokratis dan egaliter.40
Kepemimpinan gaya demokratis adalah kemampuan menggerakkan orang
lain, agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan dan diputuskan bersama,
antara pimpinan dan bawahan. Gaya kepemimpinan demokratis selalu
memberikan kebebasan dan kelonggaran kepada para bawahan dan pengikutnya
untuk menyampaikan pendapatnya, saran dan kritiknya dan selalu mengikuti
nilai-nilai demokrasi secara umum. Pemimpin yang demokratis biasanya melihat
perannya sebagai koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen
organisasi. Sejalan dengan hal ini Ali Azis menyampaikan dalam disertasinya yang
berjudul‚ Kepemimpinan di Pondok Pesantren‛ bahwa pemimpin yang bertipe
demokratis, kepemimpinannya bukan sebagai penguasa tunggal melainkan

38 Muhammad Masrur, Sejarah Pondok Pesantren Sunan Drajat Banjarwati Paciran, Skripsi
Jurusan
Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, 2020, hal. 29-30
39 Imam Syafi’i, Kepemimpinan Kiai Abdul Ghofur dalam pengembangan pendidikan

entrepreneurship di Pondok Pesantren Sunan Drajat Lamongan. PhD thesis, UIN Sunan Ampel
Surabaya.(2017), hal
40 Ibid
sebagai pemimpin di antara anggota kelompok.41 Tipe kepemimpinan yang
seperti ini banyak diminati karena mampu menampung segala aspirasi dalam
wadah yang lebih besar.
Pemimpin yang egaliter adalah seorang pemimpin yang mampu berperan
sebagai rakyat, bukan sebagai golongan atas. Egaliter memberikan arti bahwa
seorang pemimpin itu mampu menempatkan dirinya sebagai bagian dari
masyarakat umum. Kepemimpinan gaya egaliter banyak disukai oleh bawahan,
karena tidak ada batas antara pemimpin dan yang dipimpin.
Tidak seperti kepemimpinan otoriter yang merupakan gaya kepemimpinan
yang paling lama dikenal manusia. Karena itu, gaya kepemimpinan ini
memberikan kekuasaan kepada satu orang atau sekelompok orang kecil, di mana
masih ada satu orang yang paling berkuasa. Pemimpin berperan sebagai penguasa
mutlak. Orang-orang yang dipimpin yang berjumlah lebih banyak, adalah pihak
yang dikuasai, yang disebut bawahan atau anak buah. Posisi bawahan hanya
sebagai pelaksana keputusan, perintah, dan bahkan keinginan pimpinan. Gaya
kepemimpinan seperti ini cukup jarang diminati, karena pemahaman manusia
tentang makna kepemimpinan telah berkembang. Sejalan dengan hal ini Charler J.
Keating menyatakan, bahwa gaya kepemimpinan otokratis adalah ditandai dengan
ketergantungan kepada yang berwenang dan biasanya mengasumsikan bahwa
orang-orang tidak akan berbuat apa-apa kecuali jika diperintah.42
Setiap gaya kepemimpinan di atas tentu memiliki plus minus di setiap
aspek. Tidak ada gaya kepemimpinan yang sempurna untuk diterapkan. Semua
gaya kepemimpinan harus disesuaikan dengan situasi yang ada. Ini sejalan dengan
teori yang dikembangkan oleh Fiedler bahwa situasi favorableness adalah tingkat
kemungkinan seseorang menggunakan pengaruh atas kelompok kerja.43 Oleh
karena itu, penulis dapat menyimpulkan bahwa setiap pemimpin yang baik harus
mengerti ketiga gaya kepemimpinan tersebut. Tidak hanya memuja salah satu di
antaranya, sehingga mempengaruhi cara dalam mengambil keputusan. Dalam
penerapannya, Kiai Ghofur dapat bersikap demokratis ketika keputusan yang

41 Moh. Ali Azis, Kepemimpinan Kiai di Pondok Pesantren (Disertasi—UNTAG, Surabaya, 2004),
42 Charles J. Keating, Kepemimpinan (Yogyakarta: Kanisius, 1990).
43 Paul Hersey, Kenneth H. Blanchard, Management of Organizational Behavior (New Jersey:

Prentice-Hall, 1998), 108


diambil dalam situasi yang tenang, tidak dalam tekanan dan ada kesempatan
untuk diskusi untuk menentukan pilihan yang terbaik.
Dengan gaya Kepemimpinan Demokratis yang menerapkan nilai
multikultural Fastabiqul Khairat, KH Abdul Ghofur membangun berbagai bisnis,
antara lain Kantin, food court, toko lengkap, Pembuatan air minum kemasan
”AIDRAT, salon, Mini market ”SUNAN DRAJAT”, foto kopi, laundry, Smesco Mart,
Usaha garam, Usaha kapal, Produksi jus mengkudu ”Sunan”, PT. SDL (Sunan Drajat
Lamongan), Penanaman mengkudu seluas 10Ha Pembuatan pupuk majemuk
”Granul Phosphat”, Kerajinan dari limbah kulit, Produksi garam dapur
"SAMUDRA", Peternakan sapi, Pembuatan madu asma’ ”Tawon Bunga”, Koperasi,
Radio ”PERSADA 97”2 FM”, Peternakan bebek pedaging dan PERSADA TV.
3) Beda tapi mesra
Beda tapi Mesra, tema yang dipakai dalam acara yang dilangsungkan di
ponpes Sunan Drajat Paciran Lamongan (16/12/2017).44 Tidak ada halangan
untuk bersahabat dan berkasih sayang antara sesama manusia meskipun berbeda.
Ini dibuktikan oleh kehadiran para pemuka lintas agama dalam sebuah acara.
Acara ini bertujuan untuk menciptakan perdamaian dan budaya toleransi di
Indonesia, sebagai negara yang kaya akan budaya dan agama. Para tokoh ini
diterima dengan baik oleh keluarga besar pondok pesantren Sunan Drajat.
Forum “Beda tapi Mesra” adalah sebuah komunitas yang terdiri dari
beberapa pemeluk agama, seperti Islam, Kristen, Katolik, Aliran Sapta Darma, dan
lain-lain. Dalam komunitas ini, mereka mengadakan pertemuan berkala setiap
minggu yang mana dalam forum tersebut menonjolkan rasa persaudaraan dan
saling berbagi pengalaman antara anggota, acara tersebut telah dimulai sejak
Jumat lalu yang diawali dengan mengunjungi Islamic Center dan ditutup di bumi
damai pondok pesantren Sunan Drajat. Perdamaian merupakan penawar untuk
setiap umat, perbedaan yang kita hadapi sangat banyak di dunia ini seperti etnis
juga bahasa, tapi hal tersebut bukanlah dalih terjadinya perpecahan antar
pemeluk agama, termasuk kegiatan ini yang memunculkan banyak pendapat .

44 Redaksi Majalah Menara, ““Beda tapi Mesra” Kunjungan Lintas Agama di Pondok Pesantren
Sunan Drajat Lamongan.”, ppsd.or.id 19 Desember 2023, https://ppsd.or.id/beda-tapi-mesra-kunjungan-
lintas-agama-di-pondok-pesantren-sunan-drajat-lamongan/
Dengan gaya kepemimpinan yang mengutamakan rakyat dan menerapkan
nilai toleransi antarbudaya tafahum Prof. Dr. K.H. Abdul Ghofur menyerahkan
sorban hijau kepada para pemuka lintas agama sebagai simbol telah menjadi
bagian dari pondok pesantren Sunan Drajat, mereka adalah KH. Ahmad Suyanto
(Islam), Pendeta Robert (Kristen), Mardikim (Aliran Sapta Darma), Susatyo
(Hindu), Lien (Kong Hu Cu) dan Edi Tarmidzi (Budha).45

45 Ibid
Faktor Pemikiran:
Pendidikan, Pengalaman,
Keluarga dan Pergaulan

penerapan nilai multikultural Tipe Kepemimpinan :


Ta'aruf, Tafahum, Fastabiqul Karismatis, Paternalistis,
Khairat, Amanah, Husnuzan, Militeristis, Otokratis, Laissez
Tasamuh, 'Afw, Takrim, Sulh, Faire, Populistis, Administratif
Islah atau Eksekutif, Demokratis
(Tri Astutik Haryati) (Kartini Kartono)

Kepemimpinan
KH Abdul
Ghofur

Relevansi Kepemimpinan
Kiai dalam Pengembangan
Pendidikan Islam
Multikultural

Enterprener Demokratis
Negara Pesantren Beda tapi mesra
dan Egaliter
Kharismatik + Fastabiqul Demokrasi + Fastabiqul
Khairat Khairat Populis + Tafahum

Mendirikan Banyak Membuka banyak usaha, Menyelenggarakan


Lembaga Pendidikan dalam dari bisnis garam hingga kegiatan silaturrahim lintas
berbagai sektor kapal agama
D. Kesimpulan
Dari telaah yang telah penulis lakukan terhadap kepemimpinan dan pemikiran
multikultural KH Abdul Ghofur, penulis menyimpulkan beberapa ide dan gagasan :
1. Negara Pesantren,
Ahmad Ali Adhim menyimpulkan pemikiran KH Abdul Ghofur dengan sebutan
Negara pesantren sebagai suatu bekal untuk membangun negara yang dicita-
citakan. Berbekal kepemimpinan tipe Kharismatik dengan menggunakan
penerapan nilai multikultural fastabiqul khairat KH Abdul Ghofur mempersiapkan
negara pesantren tersebut dengan mendirikan berbagai macam lembaga
pendidikan dalam berbagai bidang.
2. Enterprenur Demokratis dan Egaliter
Imam Syafii dalam Disertasinya menyimpulkan bahwa salah satu tipe
enterpreneur yang dikembangkan KH Abdul Ghofur adalah Demokratis dan
Egaliter serta penerapan nilai multikultural fastabiqul khairat yang dengan ini
beliau kemudian mendirikan banyak sekali bidang usaha dari bisnis garam sampai
kapal
3. Beda tapi mesra
Judul postingan salah satu postingan di ppsd.id menggiring penulis pada
kesimpulan bahwa tipe kepemimpinan KH Abdul Ghofur adalah tipe populis dan
tafahum yang berhasil mempersatukan persepsi hidup bersama antar ummat
beragama.
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahcman Assegaf, Filasafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2011)

Aguk Irawan, Sang Pendidik (Novel Bografi KH Abdul Ghafur) (Yogyakarta: Qalam
Nusantrara, 2015)

Ainur Rofiq, “Jurnal Manajemen Pendidikan”, Volume 2, Nomor 1, Januari 2020

Baharuddin dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruz, 2002)

Charles J. Keating, Kepemimpinan (Yogyakarta: Kanisius, 1990).

Donni Juni Priansa Dan Rismi Somad, Manajemen Sipervisi Dan Kepemimpinan Kepala
Sekolah, (Bandung: Alfabeta, 2014)

Hadari Nawawi, Administrasi Pendidikan, Haji Mas Agung, Jakarta, 1998

Husaini Usman, Manjemen, Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, Cet. 3, Bumi Aksara,
Jakarta, 2011

Imam Syafi’i, Kepemimpinan Kiai Abdul Ghofur dalam pengembangan pendidikan


entrepreneurship di Pondok Pesantren Sunan Drajat Lamongan. PhD thesis, UIN
Sunan Ampel Surabaya.(2017)

Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta: Rajawali Press, 1998)

Moch. Idochi Anwar, Administrasi Pendidikan Dan manajemen Biaya Pendidikan,


Alfabeta, Bandung, 2004

Moh. Ali Azis, Kepemimpinan Kiai di Pondok Pesantren (Disertasi—UNTAG, Surabaya,


2004),

Mohammad Rofiq, “Konstruksi Sosial Dakwah Multidimensional KH. Abdul Ghofur


Paciran Lamongan Jawa Timur, Tesis Pascasarjana Jurusan Dakwah, IAIN Sunan
Ampel, 2011

Muhammad Masrur, Sejarah Pondok Pesantren Sunan Drajat Banjarwati Paciran, Skripsi
Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, 2020
Muzamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam Strategi Baru Pengelolaan Pendidikan
Islam, Erlangga, Jakarta, 2007

Nur Huda, “Model Pondok Pesantren Industri (Studi Kasus Pondok Pesantren Sunan
Drajat” (Tesis—UIN Sunan Ampel, 2002),

Paul Hersey, Kenneth H. Blanchard, Management of Organizational Behavior (New Jersey:


Prentice-Hall, 1998)

Tri Astutik Haryat. 2009. “ISLAM DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL”. TADRIS: Jurnal
Pendidikan Islam 4 (2). https://doi.org/10.19105/tjpi.v4i2.250.”,

Veithzal Rivai Zainal, dkk.,Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, PT RajaGrafindo


Persada, Jakarta, 2014,

Web :

Ahmad Ali Adhim, “Negara Pesantren Kiai Abdul Ghofur”, nu.or.id, 19 Desember 2023,
https://m.nu.or.id/opini/negara-pesantren-kiai-abdul-ghofur-dJkgL

Redaksi Majalah Menara, ““Beda tapi Mesra” Kunjungan Lintas Agama di Pondok
Pesantren Sunan Drajat Lamongan.”, ppsd.or.id 19 Desember 2023,
https://ppsd.or.id/beda-tapi-mesra-kunjungan-lintas-agama-di-pondok-pesantren-
sunan-drajat-lamongan/

Anda mungkin juga menyukai