PENDIDIKAN MULTIKULTURALITAS
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Maskuri, Msi
Oleh :
ZAINUL HAKIM (22203011010)
PROGRAM DOKTOR
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MULTIKULTURAL
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2023
A. Pendahuluan
Kepemimpinan seorang kiai dalam mengembangkan pendidikan Islam
multikultural mengakar dalam sejarah yang kaya dan warisan budaya yang dalam.
Kiai, sebagai pemimpin spiritual dan intelektual dalam tradisi Islam Indonesia,
memainkan peran penting dalam membentuk wawasan multikulturalisme dalam
sistem pendidikan mereka.
Sejak awal kedatangan Islam di Indonesia, para kiai telah menjadi pilar dalam
memelihara nilai-nilai Islam yang inklusif dan beradaptasi dengan keberagaman
budaya lokal. Mereka mengintegrasikan ajaran Islam dengan tradisi lokal,
menciptakan pendekatan pendidikan yang menghormati dan memahami
keberagaman etnis, budaya, dan agama.
Kiai-kiai seperti KH Hasyim Asy'ari, Jombang, pendiri Nahdlatul Ulama (NU),
dan KH Ahmad Dahlan, Yogyakarta, pendiri Muhammadiyah, menjadi tokoh sentral
dalam gerakan pendidikan Islam multikultural. Mereka tidak hanya mendirikan
madrasah dan pesantren untuk memperkuat pendidikan agama, tetapi juga
menggalakkan pengetahuan umum, ilmu pengetahuan modern, dan nilai-nilai moral
yang inklusif.
Pendekatan kiai dalam pendidikan multikultural mencakup pembelajaran
agama Islam yang tidak terpisahkan dari kearifan lokal, kesenian, dan budaya
setempat. Mereka mendidik para santri untuk menjadi pemimpin yang mampu
berinteraksi secara harmonis dengan masyarakat yang beragam.
Selain itu, kiai-kiai juga mempromosikan toleransi, kerukunan, dan dialog
antaragama. Mereka mendorong para siswa untuk memahami dan menghargai
perbedaan, membangun jembatan antar-etnis, agama, dan budaya sebagai landasan
harmoni sosial.
Melalui pengajaran mereka, kiai-kiai membentuk karakter pemimpin yang
tidak hanya memiliki pengetahuan agama yang kokoh tetapi juga pemahaman yang
luas tentang pluralitas budaya. Mereka menciptakan lingkungan pendidikan yang
memupuk semangat inklusivitas, saling menghormati, dan kerjasama lintas batas.
Kepemimpinan kiai dalam mengembangkan pendidikan Islam multikultural
tidak hanya menghasilkan sarjana agama, tetapi juga pembawa perdamaian,
pemersatu, dan pembangun masyarakat yang beragam. Melalui prinsip-prinsip
inklusifitas ini, mereka telah meninggalkan jejak yang kuat dalam membentuk
karakter masyarakat Indonesia yang beragam namun bersatu dalam kesatuan yang
kokoh.
KH Abdul Ghofur, Kiai kharismatik asal lamongan dalam pandangan penulis
memiliki karakter yang diharapkan sebagai seorang pemimpin yang multikultural
dengan segudang prestasi dalam bidang pendidikan, ekonomi dan perdamaian. Latar
belakang ini mendorong penulis untuk mencari Relevansi Kepemimpinan Kiai dengan
Upaya Mengembangkan Pendidikan Multikulturalitas.
B. Study Kepemimipinan KH Abdul Ghofur
1) Profil Singkat
Kiai Ghofur1 bernama Abdul Ghofur, beliau putra ke tiga dari pasangan H
Martokan dengan Hj Kasiyami. Lahir pada 12 Februari 1949 di Banjaranyar
Banjarwati Paciran Lamongan. Ayahnya adalah seorang guru ngaji di kampung
yang juga merupakan seorang petani juga merupakan pedagang batu gamping dan
ibunya adalah seorang penjahit pakaian.2
Kiai Ghofur kecil hidup dalam keluarga yang sangat sederhana bahkan cukup
memprihatinkan, di mana dikisahkan bahwa beliau dan keluarga makan seadanya,
beliau dan sekeluarga waktu kecil pernah sesekali hanya bisa makan parutan
ketela pohon.3 Masa ini merupakan masa di mana masyarakat masih banyak yang
kekurangan bahan makanan.
Kiai Ghofur kecil adalah anak yang cerdas. Sebagaimana anak seusianya, ia juga
sering bermain dengan teman-temannya, mencari burung bersama, dan bercanda
bersama. Semenjak kecil ia sudah ikut mengaji di mushala ayahnya, terletak di
depan rumah. Dari ayahnya secara langsung ia belajar al-Qur’an, panduan ibadah,
akhlaq dan tauhid.
Pendidikan formal Kiai Ghofur dimulai di sekolah SDN Kranji Paciran di waktu
pagi, juga belajar di Madrasah Ibtidaiyah Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran di
waktu sore. Beliau lulus dari Kedua sekolah tersebut pada tahun 1962. Selain
sekolah di pendidikan formal, Kiai Ghofur juga belajar di bawah asuhan Kiai Abu
Lamongan Jawa Timur, Tesis Pascasarjana Jurusan Dakwah, IAIN Sunan Ampel, 2011, hal 84-86.
Bakrin tentang Ilmua agama, kiai Abu Bakrin dikenal sebagai seorang ‘alim dan
mempunyai karamah. Selain mengajar ilmu agama, Kiai Abu Bakrin juga
merupakan juru kunci makam Sunan Drajat.4
Di jenjang menengah, Kiai Ghofur sekolah di MTs Tarbiyatut Tholabah Kranji
Paciran hingga lulus di tahun 1965 dan tiap sore ia belajar ilmu agama pada Kiai
Adlan,12 pengasuh Ponpes Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan.
Di jenjang Menengah atas, beliau melanjutkan sekolah di MA Mamba’ul Ma’arif
beserta mondok di Ponpes Mamba’ul Ma’arif Denanyar Selatan Denanyar Jombang
hingga lulus tahun 1968. Di sana, ia juga sempat belajar langsung dari KH. Bisri
Syamsuri, tokoh awal berdirinya Organisasi Nahdlatul Ulama.5
Selepas dari MA, beliau melanjutkan mondok ke Ponpes Keramat Pasuruan
dan Ponpes Sidogiri Pasuruan, selama setahun. Pada 1970, ia belajar di Ponpes
Sarang Rembang Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. Zubeir selama setahun. Di sana
beliau belajar ilmu nahwu dan sharf serta kitab-kitab kuning di bidang ilmu fiqih.
Di Sarang selain belajar di Ponpes yang diasuh oleh KH Zubeir beliau juga
belajar ke orang ‘Alim yang bernama Mbah Bolah. Dari beliau, Kiai Ghofur belajar
beberapa ilmu di bidang Ilmu tasawuf, kanuragan, dan pengobatan, hal ini
berlangsung pada tahun 1968 sampai tahun 1969.6
Tahun 1971 sampai 1975 Kiai Ghofur kembali melanjutkan belajarnya, beliau
mondok di Ponpes Lirboyo kemudian Ponpes Tetek yang diasuh oleh KH Ma’ruf
Zuaeni dan Ponpes Roudlotul Qur’an dalam asuhan KH. Asy’ari Kediri. ia belajar
beberapa ilmu, diantaranya ilmu tradisional dan bela diri di sana. Di waktu luang
ia menimba ilmu di Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo.
Sepulang dari perjalanan mencari ilmu, beliau tidak segan untuk berkumpul
dengan pemuda di desanya. Sehingga beliau pun akhirnya dekat dengan pemuda
di desanya yang kebanyakan hobby sepak bola, pencak silat dan menonton orkes.
Walaupun tidak dipungkiri ada juga yang hobi minum minuman keras, tawuran,
judi dan lain-lain. Namun tentu Kiai Ghofur tidak menyertai mereka dalam
kegiatan tersebut, bahkan beliau selalu berusaha mencoba untuk mengajak
kembali kepada hal-hal yang positif.
4 Ainur Rofiq, “Jurnal Manajemen Pendidikan”, Volume 2, Nomor 1, Januari 2020, hal. 49
5 Ibid
6 Ibid
Di sisi lain, beliau berusaha merintis kembali pesantren milik Sunan Drajat
yang lama terkubur, beliau menggunakan pendekatan kesenian. Selain itu, untuk
menarik hati para pemuda, beliau juga mendirikan klub sepak bola, grup musik,
perguruan pencak silat dan hipnotis di tahun 1974, beliau memberi nama pencak
silat tersebut dengan GASPI (Gabungan Silat Pemuda Islam ).7 Berikutnya pada
tahun 1975 beliau mendirikan mushala dan pada tahun 1976 beliau mendirikan
madrasah diniyah yang merupakan cikal bakal didirikannya kembali Ponpes
Sunan Drajat yang telah terkubur, pendirian kembali pondok tersebut pada pada
tanggal 7 September 1977 atau Syawal 1357 H.
2) Kepemimpinan
a. Pengertian Kepemimpinan
7 Nur Huda, “Model Pondok Pesantren Industri, “Studi Kasus Pondok Pesantren Sunan Drajat”
11 Hadari Nawawi, Administrasi Pendidikan, Haji Mas Agung, Jakarta, 1998, hal. 81.
12 Moch. Idochi Anwar, Administrasi Pendidikan Dan manajemen Biaya Pendidikan, Alfabeta,
Bandung, 2004, hal. 77.
13 Ibid
menelusuri dampaknya pada prestasi dan kebahagiaan dari pengikut-
pengikutnya.19
Teori ini berdasarkan pada hukum pengaruh (law effect) yang
mengatakan bahwa perilaku yang mendapat konsekuensi memuaskan
cenderung berulang, sedangkan perilaku yang mendapat konsekuensi
menghukum cenderung berhenti.14
c. Teori Kepemimpinan Situasional
a. Teori Otokratis
14 Husaini Usman, Manjemen, Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, Cet. 3, Bumi Aksara, Jakarta,
2011, hal. 265-266.
15 Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta: Rajawali Press, 1998),h. 72..
Kepemimpinan dipandang sebagai upaya-upaya untuk memperlancar
hubungan antara anggota organisasi dan sebagai upaya untuk menangani
setiap konflik organisasi antara para pengikutnya, agar tercipta kerja sama
yang baik. Pemimpin menentukan tujuan-tujuan dengan melibatkan para
pengikutnya dalam pengambilan keputusan akhir. Selain itu juga
menetapkan tujuan, dan sering kali memberikan arahan yang berlaku bagi
para pengikut untuk melakukan setiap aksi yang terkait dengan
kepentingan kelompoknya. Setiap anggota mengetahui hasil apa, keyakinan
apa, dan perilaku apa yang diinginkan dari mereka oleh pemimpin dan
kelompoknya. Pemimpin diharapkan dapat melakukan tindakan-tindakan
perbaikan apabila terdapat hambatan-hambatan dan penyimpangan-
penyimpangan dalam organisasi.16
d. Teori Suportif
Teori ini mengatakan bahwa para pengikut harus berjuang keras, dan
bekerja dengan penuh semangat, sedangkan pemimpin akan mengarahkan
dengan sebaik mungkin melalui kebijakan tertentu. Untuk tujuan ini
pemimpin perlu menciptakan suatu lingkungan kerja yang nyaman, dan
bisa membantu menguatkan motivasi setiap pengikutnya untuk melakukan
pekerjaan sebaik mungkin, mampu bekerja sama dengan pihak lain, mau
mengasah bakat dan keterampilannya, dan mengetahui benar keinginan
sendiri untuk berkembang.17
e. Teori Laissez Faire
25 Donni Juni Priansa Dan Rismi Somad, Manajemen Sipervisi Dan Kepemimpinan Kepala Sekolah,
(Bandung: Alfabeta, 2014), hal. 201.
26 Ibid, hal. 201.
27 Baharuddin dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruz, 2002) hal. 54.
28 Donni Juni Priansa dan Rismi Somad, Op. cit., hal. 201
bawahan untuk menyelesaikan tugas; d) tidak perlu memberi motivasi;
dan e) tingkat kedewasaan bawahan tinggi.
d. Model Kepemimpinan
a. Kharismatik
c. Tipe Militeristik
34 Tri Astutik Haryat. 2009. “ISLAM DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL”. TADRIS: Jurnal
Pendidikan Islam 4 (2). https://doi.org/10.19105/tjpi.v4i2.250.”, h. 24.
b. Tafāhum (saling memahami) kesadaran bahwa orang lain memiliki nilai-nilai
yang berbeda dari kita. Namun, perbedaan tersebut bukanlah sesuatu yang
perlu dipertentangkan, melainkan sesuatu yang dapat saling melengkapi.
Dengan saling memahami perbedaan tersebut, kita dapat membangun
hubungan yang dinamis dan saling menguntungkan.
c. Fastabiq al-khairāt (berlomba-lomba dalam kebaikan) adalah semangat untuk
berlomba-lomba dalam kebaikan. Persamaan dan perbedaan antar individu
dan kelompok dapat menjadi dasar untuk membangun komunikasi dan
kompetisi yang sehat. Komunikasi yang baik akan meningkatkan pemahaman
dan saling menghormati, sementara kompetisi yang sehat akan mendorong
individu dan kelompok untuk terus meningkatkan diri dan mencapai
keunggulan. Hal ini akan berdampak positif pada semua aspek kehidupan
sosial, mulai dari ekonomi, politik, hingga budaya.
d. Amānah, adalah kepercayaan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain.
Amanah dapat berupa benda, tugas, atau tanggung jawab. Amanah harus dijaga
dengan baik dan penuh tanggung jawab.
e. Ḥusnuẓan, adalah sikap berbaik sangka. Berbaik sangka berarti selalu berpikir
positif terhadap orang lain, bahkan ketika mereka melakukan kesalahan.
f. Tasāmuḥ, toleransi adalah jembatan yang menghubungkan perbedaan. Ia
adalah jalan yang membuka ruang bagi kita untuk saling menerima dan
menghormati, tanpa memandang perbedaan agama, budaya, atau etnis.
g. ‘Afw, adalah kekuatan yang dapat menyembuhkan luka dan melepaskan
dendam. Pemberi ampunan adalah orang yang berani memaafkan, bahkan
ketika mereka memiliki kekuatan untuk membalas.
h. Takrīm, saling menghormati Saling menghormati adalah sikap menghargai
orang lain, tanpa memandang perbedaan agama, budaya, atau etnis. Saling
menghormati dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti
mendengarkan pendapat orang lain dan menghormati perbedaan.
i. Ṣulḥ, Perdamaian atau rekonsiliasi adalah proses untuk membangun kembali
hubungan yang rusak akibat konflik. Proses ini membutuhkan pengakuan
kebenaran, pengampunan, dan keadilan.
j. Iṣlāḥ atau Resolusi konflik adalah jalan untuk menyembuhkan luka dan
membangun kembali hubungan. Jalan ini membutuhkan keberanian untuk
memahami, kebesaran hati untuk memaafkan, dan ketegasan untuk
menyelesaikan masalah.35
https://m.nu.or.id/opini/negara-pesantren-kiai-abdul-ghofur-dJkgL
agama dan berkhutbah, memimpin doa, kemampuan-kemampuan keahlian
keagamaan lainnya yang bermanfaat saat terjun di masyarakat nanti.
Ahmad Ali Adhim menyatakan bahwa pendidikan pesantren tidak hanya
meliputi aspek akademik, tetapi juga aspek non-akademik. Hal ini terlihat dari
berbagai budaya dan tradisi pesantren yang membina kepribadian santri menjadi
sabar, sederhana, rendah hati, peduli, ikhlas, rajin, disiplin, hemat, bersahaja,
santun, dan beradab.
Ali Adhim mengutip pendapat Imam Ghazali dalam karyanya Maroqil
Ubudiyah fi Syarhi Bidayatil Hidayah bahwa kata thariqah merupakan
pelaksanaan kewajiban dan kesunnahan atau keutamaan, meninggalkan larangan,
menghindari perbuatan mubah yang tidak bermanfaat, sangat berhati-hati dalam
hal menjaga diri dari apa saja yang tidak disukai oleh Allah serta yang meragukan,
sebagaimana dilakukan oleh beberapa orang yang memilih untuk mengasingkan
diri dari memikirkan dunia dengan cara memperbanyak ibadah sunnah di malam
hari, berpuasa sunah di siang hari, serta meninggalkan ucapan yang tidak
bermanfaat.
Berikutnya Ali Adhim menjelaskan bahwa dalam memahami thoriqoh yang
dimaksud oleh Kiai Abdul Ghofur, kita bisa membaca ulang riwayat Ibnu Abdil barr
yang artinya ”Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun
muslim perempuan”. Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi
Rasulullah pernah bersabda ”Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu maka
ia berada di jalan Allah hingga ia pulang”. Kedua Hadits ini jelas bahwa menuntut
ilmu adalah suatu jalan yang harus ditempuh.
Ali adhim melanjutkan bahwa yang lebih menarik dari tujuan sebuah
pendidikan adalah bagaimana kita melawan kemalasan dan kebodohan yang
melekat pada diri kita masing-masing. Sebagaimana dawuh Kiai Abdul Ghofur
“Sekarang sudah bukan masanya berjihad dengan peperangan, akan tetapi yang
lebih tepat adalah berjihad melawan kemalasan dan kebodohan, yaitu dengan cara
memperbanyak beribadah, serius dalam belajar.”
Apabila Pendidikan Pesantren menjadi contoh pendidikan di Indonesia,
maka dipercaya, rasa kekeluargaan dan tanggung jawab akan menjadi pijakan
yang kokoh untuk kemajuan bangsa kelak. Pesantren dianggap mampu
menciptakan banyak tokoh yang memiliki peran penting dalam keragaman di
Indonesia, hal ini tidak terlepas dari kebiasaan mereka untuk hidup bersama
dengan orang-orang yang baru mereka temui dengan berbagai macam kebiasaan,
adat dan bahasanya.
Berbekal kepemimpinan tipe Kharismatik dengan menggunakan
penerapan nilai multikultural fastabiqul khairat KH Abdul Ghofur mempersiapkan
negara pesantren tersebut dengan mendirikan berbagai macam lembaga
pendidikan dalam berbagai bidang, yakni MI al Muawanah pada 1966, Madrasah
Diniyah pada 1976, Ponpes Sunan Drajat pada 1977, SMP 45 pada 1983, MTs al
Muawanah pada 1986, MA Ma’arif pada 1991, Muallimin Muallimat pada 1994,
SMK NU 1 pada 1995, Madrasatul Qur’an pada 1996, SMP 2 Paciran pada 1997,
SMK NU 2 pada 1997, SUPM pada 2003, STAIRA pada 2008 dan INSUD pada
2015.38
2) Entrepreneur Demokratis dan Egaliter
Dalam disertasi yang ditulis oleh Imam Syafi’i39, ditemukan dan
disimpulkan bahwa Kh Abdul Ghofur adalah kiai yang demokratis dan egaliter. Di
mana dalam penelitiannya, ia mengambil pendapat yang disampaikan oleh
Muhammad Yunus yang mengatakan bahwa KH Abdul Ghofur adalah pimpinan
yang memiliki sikap dan gaya demokratis dan egaliter.40
Kepemimpinan gaya demokratis adalah kemampuan menggerakkan orang
lain, agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan dan diputuskan bersama,
antara pimpinan dan bawahan. Gaya kepemimpinan demokratis selalu
memberikan kebebasan dan kelonggaran kepada para bawahan dan pengikutnya
untuk menyampaikan pendapatnya, saran dan kritiknya dan selalu mengikuti
nilai-nilai demokrasi secara umum. Pemimpin yang demokratis biasanya melihat
perannya sebagai koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen
organisasi. Sejalan dengan hal ini Ali Azis menyampaikan dalam disertasinya yang
berjudul‚ Kepemimpinan di Pondok Pesantren‛ bahwa pemimpin yang bertipe
demokratis, kepemimpinannya bukan sebagai penguasa tunggal melainkan
38 Muhammad Masrur, Sejarah Pondok Pesantren Sunan Drajat Banjarwati Paciran, Skripsi
Jurusan
Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, 2020, hal. 29-30
39 Imam Syafi’i, Kepemimpinan Kiai Abdul Ghofur dalam pengembangan pendidikan
entrepreneurship di Pondok Pesantren Sunan Drajat Lamongan. PhD thesis, UIN Sunan Ampel
Surabaya.(2017), hal
40 Ibid
sebagai pemimpin di antara anggota kelompok.41 Tipe kepemimpinan yang
seperti ini banyak diminati karena mampu menampung segala aspirasi dalam
wadah yang lebih besar.
Pemimpin yang egaliter adalah seorang pemimpin yang mampu berperan
sebagai rakyat, bukan sebagai golongan atas. Egaliter memberikan arti bahwa
seorang pemimpin itu mampu menempatkan dirinya sebagai bagian dari
masyarakat umum. Kepemimpinan gaya egaliter banyak disukai oleh bawahan,
karena tidak ada batas antara pemimpin dan yang dipimpin.
Tidak seperti kepemimpinan otoriter yang merupakan gaya kepemimpinan
yang paling lama dikenal manusia. Karena itu, gaya kepemimpinan ini
memberikan kekuasaan kepada satu orang atau sekelompok orang kecil, di mana
masih ada satu orang yang paling berkuasa. Pemimpin berperan sebagai penguasa
mutlak. Orang-orang yang dipimpin yang berjumlah lebih banyak, adalah pihak
yang dikuasai, yang disebut bawahan atau anak buah. Posisi bawahan hanya
sebagai pelaksana keputusan, perintah, dan bahkan keinginan pimpinan. Gaya
kepemimpinan seperti ini cukup jarang diminati, karena pemahaman manusia
tentang makna kepemimpinan telah berkembang. Sejalan dengan hal ini Charler J.
Keating menyatakan, bahwa gaya kepemimpinan otokratis adalah ditandai dengan
ketergantungan kepada yang berwenang dan biasanya mengasumsikan bahwa
orang-orang tidak akan berbuat apa-apa kecuali jika diperintah.42
Setiap gaya kepemimpinan di atas tentu memiliki plus minus di setiap
aspek. Tidak ada gaya kepemimpinan yang sempurna untuk diterapkan. Semua
gaya kepemimpinan harus disesuaikan dengan situasi yang ada. Ini sejalan dengan
teori yang dikembangkan oleh Fiedler bahwa situasi favorableness adalah tingkat
kemungkinan seseorang menggunakan pengaruh atas kelompok kerja.43 Oleh
karena itu, penulis dapat menyimpulkan bahwa setiap pemimpin yang baik harus
mengerti ketiga gaya kepemimpinan tersebut. Tidak hanya memuja salah satu di
antaranya, sehingga mempengaruhi cara dalam mengambil keputusan. Dalam
penerapannya, Kiai Ghofur dapat bersikap demokratis ketika keputusan yang
41 Moh. Ali Azis, Kepemimpinan Kiai di Pondok Pesantren (Disertasi—UNTAG, Surabaya, 2004),
42 Charles J. Keating, Kepemimpinan (Yogyakarta: Kanisius, 1990).
43 Paul Hersey, Kenneth H. Blanchard, Management of Organizational Behavior (New Jersey:
44 Redaksi Majalah Menara, ““Beda tapi Mesra” Kunjungan Lintas Agama di Pondok Pesantren
Sunan Drajat Lamongan.”, ppsd.or.id 19 Desember 2023, https://ppsd.or.id/beda-tapi-mesra-kunjungan-
lintas-agama-di-pondok-pesantren-sunan-drajat-lamongan/
Dengan gaya kepemimpinan yang mengutamakan rakyat dan menerapkan
nilai toleransi antarbudaya tafahum Prof. Dr. K.H. Abdul Ghofur menyerahkan
sorban hijau kepada para pemuka lintas agama sebagai simbol telah menjadi
bagian dari pondok pesantren Sunan Drajat, mereka adalah KH. Ahmad Suyanto
(Islam), Pendeta Robert (Kristen), Mardikim (Aliran Sapta Darma), Susatyo
(Hindu), Lien (Kong Hu Cu) dan Edi Tarmidzi (Budha).45
45 Ibid
Faktor Pemikiran:
Pendidikan, Pengalaman,
Keluarga dan Pergaulan
Kepemimpinan
KH Abdul
Ghofur
Relevansi Kepemimpinan
Kiai dalam Pengembangan
Pendidikan Islam
Multikultural
Enterprener Demokratis
Negara Pesantren Beda tapi mesra
dan Egaliter
Kharismatik + Fastabiqul Demokrasi + Fastabiqul
Khairat Khairat Populis + Tafahum
Abd. Rahcman Assegaf, Filasafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2011)
Aguk Irawan, Sang Pendidik (Novel Bografi KH Abdul Ghafur) (Yogyakarta: Qalam
Nusantrara, 2015)
Donni Juni Priansa Dan Rismi Somad, Manajemen Sipervisi Dan Kepemimpinan Kepala
Sekolah, (Bandung: Alfabeta, 2014)
Husaini Usman, Manjemen, Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, Cet. 3, Bumi Aksara,
Jakarta, 2011
Muhammad Masrur, Sejarah Pondok Pesantren Sunan Drajat Banjarwati Paciran, Skripsi
Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, 2020
Muzamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam Strategi Baru Pengelolaan Pendidikan
Islam, Erlangga, Jakarta, 2007
Nur Huda, “Model Pondok Pesantren Industri (Studi Kasus Pondok Pesantren Sunan
Drajat” (Tesis—UIN Sunan Ampel, 2002),
Tri Astutik Haryat. 2009. “ISLAM DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL”. TADRIS: Jurnal
Pendidikan Islam 4 (2). https://doi.org/10.19105/tjpi.v4i2.250.”,
Web :
Ahmad Ali Adhim, “Negara Pesantren Kiai Abdul Ghofur”, nu.or.id, 19 Desember 2023,
https://m.nu.or.id/opini/negara-pesantren-kiai-abdul-ghofur-dJkgL
Redaksi Majalah Menara, ““Beda tapi Mesra” Kunjungan Lintas Agama di Pondok
Pesantren Sunan Drajat Lamongan.”, ppsd.or.id 19 Desember 2023,
https://ppsd.or.id/beda-tapi-mesra-kunjungan-lintas-agama-di-pondok-pesantren-
sunan-drajat-lamongan/