Anda di halaman 1dari 26

Kajian Ormas Hidayatullah

HIDAYATULLAH (ORGANISASI)
Hidayatullah adalah sebuah organisasi massa (ormas) Islam di Indonesia. Namanya
berasal dari dua kata dalam bahasa Arab: hidayat/hidayah dan Allah, yang berarti petunjuk
Allah.
Sejarah
Hidayatullah didirikan pada tanggal 7 Januari 1973 (kalender Islam: 2 Dzulhijjah 1392
Hijr) di Balikpapan dalam bentuk sebuah pesantren oleh Ust. Abdullah Said (alm), kemudian
berkembang dengan berbagai amal usaha di bidang sosial, dakwah, pendidikan dan ekonomi
serta menyebar ke berbagai daerah di seluruh provinsi di Indonesia. Melalui Musyawarah
Nasional I pada tanggal 913 Juli 2000 di Balikpapan, Hidayatullah mengubah bentuk
organisasinya menjadi organisasi kemasyarakatan (ormas) dan menyatakan diri sebagai gerakan
perjuangan Islam.
Sejak 1978 Hidayatullah melakukan pengiriman dai ke seluruh Indonesia dan
mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Hidayatullah (STIM-HIDA) di Depok, Sekolah
Tinggi Agama Islam Lukman Al-Hakim (STAIL) di Surabaya dan Sekolah Tinggi Ilmu Syariah
Hidayatullah (STIS Hidayatullah) di Balikpapan sebagai lembaga pendidikan untuk pengkaderan
dai dengan memberlakukan beasiswa penuh (biaya pendidikan dan biaya hidup) bagi mahasiswa
STAIL dan STIS dengan pola ikatan dinas. Da'i ini kemudian mendapatkan tunjangan maksimal
hingga 3 tahun atau sampai mereka mampu menjadi pelaku ekonomi di tempatnya berada.
Mulai tahun 1998 lembaga pendidikan kader dai ini telah menghasilkan lulusan dan
telah mengirimkan dai ke berbagai daerah terutama Indonesia Bagian Timur dan Tengah.
Setidaknya setiap tahun, Hidayatullah mengirimkan 150 dai ke berbagai daerah di Indonesia
dengan 50 di antaranya adalah lulusan strata satu dari lembaga pendidikan kader dai.
Lembaga pendidikan Hidayatullah meliputi Taman Kanak-Kanak dan kelompok bermain
pra sekolah, Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah di hampir semua Daerah, Sekolah
Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah
setidaknya ada di setiap Wilayah dan 3 perguruan tinggi di Surabaya, Balikpapan dan Depok.
Pusat Pendidikan Anak Shaleh (PPAS) adalah institusi berupa pesantren bagi anak yatim
piatu. Ada lebih dari 200 Pusat Pendidikan Anak Shaleh (PPAS) dengan jumlah anak yatim piatu
dan tidak mampu dimana setiap PPAS menampung sekitar 150 orang anak.
Jaringan kerja Hidayatullah (hingga Desember 2005) didukung dengan keberadaan 26
DPW dan 194 DPD, 51 DPD terdapat di Pulau Jawa dan 143 DPD ada di luar Pulau Jawa. Pada
akhir 2006 direncanakan terdapat tambahan 66 DPD dan 4 DPW. Jumlah DPC, PR dan PAR
tidak dicantumkan karena pertumbuhannya yang terus berubah.
Untuk periode 2005-2010, Pimpinan Umum/Ketua Dewan Syura adalah Ustadz H
Abdurrahman Muhammad sedangkan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dijabat oleh
Dr. H. Abdul Mannan, didampingi Sekjend BM Wibowo.
Sebagai organisasi massa Islam yang berbasis kader, Hidayatullah menyatakan diri
sebagai Gerakan Perjuangan Islam (Al-Harakah al-Jihadiyah al-Islamiyah) dengan dakwah dan
tarbiyah sebagai program utamanya. Keanggotaan Hidayatullah bersifat terbuka, dimana
usahanya berfungsi sebagai basis pendidikan dan pengkaderan.
1

Metode (manhaj nubuwwah') Hidayatullah yaitu berpegang pada al Quran dan asSunnah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Hidayatullah berfokus pada
pelurusan masalah aqidah, imamah dan jamaah (tajdid); pencerahan kesadaran (tilawatu
ayatillah); pembersihan jiwa (tazkiyatun-nufus); pengajaran dan pendidikan (talimatul-kitab
wal-hikmah) dengan tujuan akhir melahirkan kepemimpinan dan ummat.
Mengenal Sosok Abdullah Said, Pendiri Hidayatullah
Semangat sebagai aktivis dipadukan dengan moral pesantren. Berdakwah tidak hanya
secara verbal, tapi juga dengan membuahkan karya-karya yang dibutuhkan oleh umat.
Anak ketiga dari empat bersaudara buah pasangan Abdul Kahar dengan Aisyah itu
terlahir dengan nama Muchsin Kahar (Lahir di Panreng, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, 17
Agustus 1945). Tingginya 155 cm dengan tubuh tambun, berkumis dan berjambang. Itulah
penampilan Muchsin Kahar yang lebih dikenal dengan nama Ustad Abdullah Said. Nama ini
menjadi tenar karena kiprahnya di bidang pembaruan pondok pesantren dalam bentuk memompa
etos kerja para santrinya.
Muchsin Kahar, ketika lahir, tak seperti umumnya bayi yang dikandung selama 9 bulan
10 hari. Aisyah melahirkan Muchsin setelah mengandungnya selama 2 tahun penuh. Berita
tentang jabang bayi yang tak mau keluar dari perut ibunya itu menyebar ke seantero Sinjai.
Berita miring nan mistis pun kerap diperbicangkan orang. Yang dikandung Aisyah itu bukan
manusia, tapi buaya atau ular, begitu sebagian perbincangan masyarakat ketika usia kandungan
Aisyah sudah melewati bulan ke-10.
Tapi sang ayah, Abdul Kahar, yang juga seorang ustad, dengan sabar dan tawakal
menunggu kelahiran anaknya, kapanpun anak tersebut lahir ke dunia yang fana ini. Ia tak
percaya dengan semua omongan atau rumor yang berkembang di masyarakat saat itu. "Dan
memang betul, yang lahir saya. Manusia normal," kata Muchsin sembari melepas tawa.
Untuk pertama kalinya Muchsin mendapat pelajaran agama dari ayahnya. Sedangkan
pendidikan dasarnya ditempuh di Sinjai dan Makassar. Setelah lulus SD ia melanjutkan ke PGA
(Pendidikan Guru Agama) 6 tahun, selesai pada 1964. Selama di PGA inilah Muchsin Kahar
menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku dan latihan pidato sejak kecil. Tak heran,
sejak usia 12 tahun ia sudah pandai berpidato dan diundang ke berbagai tempat. Ketika di PGA
itulah Muchsin dikenal sebagai mubaligh yang cukup tenar di jamannya. Bahasa yang dipakai
lugas, mudah dicerna, dan selalu optimistis.
Muchsin punya keistimewaan, antara lisan dan perbuatannya selalu mencerminkan
optimistis dalam menjalani hidup ini. Ia selalu melihat ke depan dengan terang benderang. Tak
ada kamus pesimistis dalam hidupnya. Percaya dirinya tinggi. Itu pula yang membuatnya selalu
meyakinkan ketika berdialog dengan lawan bicaranya. Ya, optimistis, itulah bahasa dakwah yang
selalu ia utarakan, tulis, dan praktikkan dalam hidup sehari-hari. Sifatnya yang ramah dan
sederhana dalam pembawaan membuatnya disegani, bukan ditakuti. Ia selalu merangkul untuk
berbuat kebaikan bersama-sama, tapi, ia juga tak segan-segan untuk bersikap tegas terhadap
segala sesuatu yang berbau kemunkaran.
Seusai lulus dari PGA, Muchsin mendapat tugas belajar di IAIN Ujungpandang pada
Fakultas Tarbiyah. Ketika menjadi mahasiswa itulah Muchsin aktif di berbagai organisasi yang
dimasukinya. Antara lain Pelajar Islam Indonesia, Pemuda Muhammadiyah, Himpunan
Mahasiswa Islam, dan Mahasiswa Abituren Siswa Departemen Agama. Selain berorganisasi dan
membaca buku, Muchsin juga menimba ilmu agama dari ketiga gurunya, yakni: KH Abdul

Malik Ibrahim, KH Abdul Djabbar Asjiri, dan KH Ahmad Marzuki Hasan-ketiganya berada di
Sulawesi Selatan.
Tapi, setelah tahun kedua, karena kesibukannya berdakwah, kuliahnya keteteran.
"Nilainya tidak memenuhi standar yang dituntut. Akhirnya saya berhenti," katanya
mengomentari mengapa ia keluar dari IAIN. Nilainya tak memenuhi standar bukan berarti
Muchsin lamban atau tak mampu mengikuti studi di perguruan tinggi.
Anak yang dikenal cerdas ini tak betah di IAIN lebih disebabkan karena ia melihat
kehidupan di kampusnya kurang mencerminkan apa yang dibayangkannya, yakni, kehidupan
yang benar-benar Islami. Ia bahkan melihat bahwa IAIN hanya tempat untuk belajar, mengkaji,
tapi belum nampak pengamalan atas ajaran dan nilai-nilai Islami secara ketat. Inilah yang
membuatnya tidak betah, lalu ia mencari aktivitas di luar yang lebih konkrit. Dan itu pula yang
membuatnya tenggelam dalam kreasi dakwah yang, tentunya, menyebabkan kuliahnya
terbengkalai. Keluar dari IAIN tak membuatnya duka, ia bahkan lebih bebas dan bisa optimal
berekspresi sambil berdakwah.
Adapun keaktifannya di organisasi membuat Muchsin belajar ilmu dan seni
kepemimpinan, manajemen, pengambilan keputusan, dan memotivasi orang. Perhatiannya pun
makin peka kepada realita kehidupan. Muchsin peduli kepada lingkungan sekitar. Ia selalu
gelisah terhadap persoalan yang mengimpit umat Islam.
Lewat organisasi pula Muchsin bertandang ke Pulau Jawa, ketika pada tahun 1968 ia
mengikuti Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Yogyakarta. Pengalaman pertamanya ini
menggugah keinginannya untuk kembali mendalami ilmu agama di pesantren-pesantren yang
tersebar di Jawa. Setelah kembali sebentar ke Makassar, mulailah pengembaraannya di Pesantran
Gontor, Bangil, (keduanya di Jawa Timur) dan berlabuh di Pekalongan (Jawa Tengah) dengan
berguru kepada KH Abdul Ghaffar Ismail.
Tapi, setiap kali berlabuh di pesantren-pesantren itu Muchsin tak lebih dari tiga bulan. Ia
selalu gelisah. Dalam dirinya terjadi konflik akibat tidak berdaya memainkan dua peran yang
kontras: sikap meledak-ledak sebagai hasil bentukan organisasi dan sikap diam serta tekun
sebagai keharusan hidup di pesantren. "Ada rasa tidak puas, dan memberontak," tuturnya. Ia pun
mulai mengkritik bahwa organisasi Islam tempat ia berkecimpung tidak memprioritaskan ajaran
Islam dalam pemecahan masalah di masyarakat. Begitu pula dengan pesantren. Ia ingin
mengawinkan pola kerja organisasi dengan pesantren, sehingga bisa menutupi kelemahan yang
dirasakannya.
Puncak dari "pemberontakannya" terjadi tahun 1969. Saat itu perjudian sedang merajalela
di Ujungpandang. "Sebagai mubalig, tidak nyaman melihat keadaan itu," katanya. Maka
beraksilah ia beserta teman-teman yang sepaham. Agen perjudian diserbu dan diobrak-abrik.
"Tindakan ini mengundang amarah aparat. Beberapa rekan saya ditahan. Sedangkan saya sempat
lolos ke Balikpapan," katanya. Muchsin dikejar-kejar polisi karena menggalang pemuda
Muhammadiyah untuk merusak tempat-tempat perjudian yang meletus pada 28 Agustus 1969.
Oleh para Kiai, Muhsin disuruh menghilang dari Makassar. Maka, pada 25 Desember 1969 ia
meninggalkan Makassar menuju Balikpapan, Kalimantan Timur.
Di Balikpapan inilah Muchsin mengganti namanya menjadi Abdullah Said, dan kembali
berdakwah. Pada 1971, ia mengajukan ide mendirikan pondok dan perkampungan muslim,
kepada pengurus Muhammadiyah. Tapi, cita-cita tersebut dianggap sulit diwujudkan. Ia tak mau
berpangku tangan. Ia merantau ke Pulau Jawa, mencari guru ngaji, dan berhasil mengajak lima
pemuda jebolan pesantren, yaitu Hasyim HS (Gontor, Ponorogo), Usman Palese (Persis Bangil),

A Hasan Ibrahim (Krapyak-Yogyakarta), serta A. Nazir Hasan dan Kisman (Akademi Tarjih
Muhammadiyah, Yogyakarta).
Perintisan pesantren yang diberi nama Hidayatullah itu dimulai dengan pengajian kecilkecilan dan berpindah-pindah. Ia sempat meminjam tempat jemuran padi berukuran 3x4 meter
persegi. Di sanalah dilakukan semua kegiatan, mulai makan, tidur, salat, sampai belajar.
Kemudian, ada yang meminjamkan emperan rumah. Santrinya tak lebih dari 10 orang.
Pengajian yang dilakukan oleh sekumpulan anak muda itu sempat dicibir oleh sebagian
masyarakat. Bahkan, ada yang menuduhnya sebagai aliran sesat. Rupanya, ketenaran Abdullah
Said ada yang mengendusnya. Pada 1974, ada yang melaporkan ke polisi bahwa Abdullah Said
adalah Muhsin Kahar yang terlibat dalam aksi menentang judi lotto di Makassar. Ia pun akhirya
mendekam di tahanan Wisma Purwa, Balikpapan, selama sepekan. Salah seorang pengurus
pesantren Hidayatullah yang juga anggota DPR Kodya Balikpapan, Abdul Syukur Ismail,
menjadi jaminan agar Abdullah dibebaskan.
Bebas dari sel tahanan, Oktober 1974, Abdullah secara kesatria datang ke Makassar,
untuk menyelesaikan masalah yang sudah sekian lama tersimpan. Ia datang ke Makassar,
selama sebulan. Di sana, ia melakukan dakwah keliling, dengan suara yang kritis, termasuk
terhadap sikap pemerintah yang membiarkan semua bentuk kemaksiatan berjalan tanpa ada
halangan. Ia pun mendatangi pihak kejaksaan. Ternyata, karena masalahnya dianggap
kadaluwarsa, oleh pihak kejaksanaan Abdullah dibebaskan. Tentang tudingan sebagai aliran
sesat, Wali Kota Balikpapan, Letkol (Pol) H Asnawi Arbain, datang untuk memastikannya.
Bukan larangan yang ia keluarkan. Ia malah mendukung. Asnawi lalu menunjuk daerah di
Gunung Tembak, bekas HPH, yang mungkin bisa dijadikan pesantren. Dalam jangka lima bulan,
hutan semak belukar dan rawa berhasil dibenahi dan jadi permukiman yang artistik. Sarana pun
memadai, ada masjid, perpustakaan, asrama, dan ruang belajar.
Abdullah Said dikenal ulet, tekun, dan penuh percaya diri. Ia juga seorang motivator
ulung dan pemompa semangat. Tak pernah mengenal kata kalah. Keuletan inilah yang membuat
Abdullah Said berhasil "menundukkan" Balikpapan yang pada awalnya tidak bersahabat. Pada 5
Agustus 1976, Pondok Pesantren Hidayatullah diresmikan Menteri Agama Prof. Dr. H.A. Mukti
Ali. Berbagai fasilitas di sini ada. Mulai dari pendidikan, asrama, masjid, rumah sakit, asrama
yatim piatu, lapangan olah raga, perkebunan, peternakan, dan perikanan.
Keberhasilan Abdullah Said tidak menjadikan hidupnya lain dengan santrinya. Ia tetap
sederhana, sehari-hari hanya memakai sarung dan baju takwa serta kopiah hitam. Bila ada tamu
pejabat, baru ia memakai setelan safari. Tidak memiliki rumah pribadi, mobil pribadi, apalagi
memikirkan warisan untuk anak- anaknya. Ia tetap mendiami salah satu rumah di lingkungan
pondok beserta istrinya, Aida Cheret, dan anak-anaknya.
Abdullah Said belum merasa selesai berjuang. Ia menginginkan napas Hidayatullah bisa
meresap dalam pemerintahan, secara luas. "Kita ingin Hidayatullah landing di tiap kabupaten
sampai menjadi kekuatan yang diminati aparatur Pemerintah sehingga dapat ikut membentuk
pola pikiran yang Islami dalam menjalankan tugasnya," katanya.
Rupanya, Allah punya rencana lain. Di usianya yang baru 52 tahun, 4 Maret 1998,
Abdullah Said meninggal dunia. Ia boleh tiada, tapi semangat juangnya tak pernah redup.
Pesantren Hidayatullah misalnya, sudah beranak pinak, tersebar di berbagai kota dan pelosok
nusantra. Dari pesantren inilah etos kerja Islami benar-benar dipompakan secara maksimal.
Para santri dan dai di lingkungan Hidayatullah dikenal sebagai orang-orang yang
khusyuk beribadah, tapi juga giat dalam beraktivitas untuk kehidupan sehari-hari. Sebagaimana

Abdullah Said, para aktivis di Hidayatullah tak pernah mengenal kata tidak bila diberi amanah.
Dan semangat itulah yang terus terpelihara di dimana pun keberadan mereka.
Struktur dan Mekanisme Organisasi
Pengurus organisasi tingkat pusat terdiri dari Dewan Syura dan Dewan Pimpinan Pusat.
Dewan Syura merupakan lembaga tertinggi organisasi, dipimpin oleh Ketua Dewan Syura yang
sekaligus merupakan Imam bagi jamaah Hidayatullah, dengan sebutan Pemimpin Umum. Ketua
Umum Dewan Pimpinan Pusat dipilih lewat Musyawarah Nasional, dan Pengurus DPP disahkan
oleh Pemimpin Umum di dalam Munas tersebut untuk jangka waktu 5 tahun.
Struktur di bawah Dewan Pimpinan Pusat (DPP)terdiri dari Dewan Pimpinan Wilayah
(DPW/tingkat Provinsi), Dewan Pimpinan Daerah (DPD/tingkat Kabupaten/Kota), Dewan
Pimpinan Cabang (DPC/tingkat Kecamatan), Pimpinan Ranting (PR/tingkat Desa/Kelurahan),
Pimpinan Anak Ranting (PAR/tingkat RW/RT). Ketua Dewan Pimpinan Wilayah/Daerah/
Cabang dipilih oleh Musyawarah di tingkat masing-masing dan disahkan oleh struktur di
atasnya.
Pesantren Hidayatullah
Pesantren Hidayatullah adalah jaringan pesantren milik organisasi massa (ormas) Islam
Hidayatullah, didirikan di Balikpapan pada tanggal 7 Januari 1973/2 Dzulhijjah 1392 H.
Pesantren Hidayatullah seperti halnya pesantren di tempat lain, berfungsi sebagai tempat
untuk mendalami ilmu-ilmu agama (dinniyah). Pesantren dengan luasan kampus yang dimiliki
juga berfungsi sebagai miniatur atau percontohan bagi kehidupan berimamah dan berjamaah
dalam Islam. Selain dihuni santri yang tinggal di asrama, di pesantren juga tinggal guru,
pengasuh, pengelola dan jamaah Hidayatullah yang berkeinginan tinggal di dalam Pesantren
dalam rangka belajar hidup berimamah dan berjamaah.
Dengan segala keterbatasan namun dengan penuh kesungguhan, syariat coba ditegakkan.
Kepemimpinan dipatuhi, kewajiban shalat berjamaah, puasa dan zakat dilaksanakan, infak dan
shadaqah digalakkan.
Salah satu kelebihan Pesantren Hidayatullah adalah memiliki majalah dakwah bulanan
bernama Majalah Hidayatullah yang tersebar ke seluruh Indonesia melalui jaringan pesantren ini.
Pesantren-pesantren Hidayatullah berfungsi sebagai tempat untuk mendalami ilmu.
Pesantren ini dihuni santri yang tinggal di asrama, guru, pengasuh, pengelola dan jamaah
Hidayatullah.
Pola pengajaran di Pesantren Hidayatullah adalah sistem pesantren modern, yaitu
penggabungan mata ajaran umum dan mata ajaran khusus atau keislaman. Mata ajaran umum
sama seperti mata ajaran pada sekolah-sekolah umum lainnya, contohnya matematika, fisika,
kimia dll. Mata ajaran khusus yaitu mata ajaran yang berkaitan dengan keislaman, contohnya
aqidah, fiqih, bahasa arab, dan hafalan/tahfidz Al-Qur'an, serta masih banyak lagi mata ajaran
yang lain, sesuai dengan jenjang pendidikan dan letak kampus (contoh: kurikulum di Surabaya
sedikit berbeda dengan di Jakarta).
Baitul Maal Hidayatullah
Baitul Maal Hidayatullah (BMH) adalah lembaga di bawah Hidayatullah yang berfungsi
mengelola dana zakat, infaq, shadaqah dan wakaf ummat. Baitul Maal Hidayatullah (BMH)
mendapat pengukuhan sebagai lembaga amil zakat nasional melalui Surat Keputusan Menteri
Agama Republik Indonesia No. 538 tahun 2001.
5

BMH mengelola dana milik ummat yang dipercayakan kepada Hidayatullah untuk
disalurkan bagi pemberdayaan ummat, memajukan lembaga-lembaga pendidikan maupun sosial,
memajukan dakwah Islam, mengentaskan kaum dhuafa (lemah) maupun mustadhafin
(tertindas).
Kini Baitul Maal Hidayatullah telah memiliki 30 kantor perwakilan dan 144 jaringan pos
peduli (mitra).
Majalah Suara Hidayatullah
Majalah Suara Hidayatullah, atau biasa disingkat Majalah Hidayatullah merupakan salah
satu dari badan usaha di lingkungan Hidayatullah yang menggarap bidang pers. Majalah ini
dikelola oleh PT Lentera Jaya Abadi, sebuah badan usaha milik ormas Hidayatullah.
Awalnya, majalah ini hanya berupa buletin hasil karya beberapa santri di Pesantren
Hidayatullah Balikpapan. Mengingat betapa strategisnya dakwah bil qalam melalui media massa,
buletin tersebut terus dikembangkan sampai akhirnya berbentuk majalah seperti sekarang.
Majalah Suara Hidayatullah berisi tentang problematika dan dinamika dakwah, baik di
Indonesia maupun dunia. Di dalamnya ada rubrik wawancara dengan tokoh ternama, kajian alQur`an dan Hadits, kisah kepahlawanan perjuangan dai di berbagai pelosok tanah air, hingga
masalah keluarga.
Tiras majalah yang terbit sebulan sekali ini sekarang mencapai 50.000-55.000 eksemplar,
tersebar di seluruh pelosok tanah air, mulai dari Banda Aceh sampai Merauke. Majalah Suara
Hidayatullah berkantor pusat di Surabaya, Jawa Timur.
Sejarah berdirinya Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Bontang
Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah (YPPH) Bontang Adalah salah satu Cabang
pondok pesantren Hidayatullah yang berpusat di Balikpapan, YPPH adalah Pesantren yang
mencetak santrinya menjadi kader yang tangguh untuk berjuang dalam pengembangan Islam
secara menyeluruh Pesantren Hidayatullah memiliki kekhasan tersendiri dibanding dengan
pondok pesantren lainnya.
Spesifikasi (kekhasan) pondok pesantren ini terutama terletak pada konsistensinya yang
kuat sebagai pondok pesantren pencetak kader dakwah yang didasarkan pada filosofi perjalanan
perjuangan Rasulullah Saw., dengan metode (manhaj) Sistematika Nuzulnya Wahyu, ide dan
metode pendidikan ini merupakan kontinuitas dan pengembangan dari gagasan besar almarhum
ustadz Abdullah Said selaku perintis dan pendiri YPPH Pusat Balikpapan.
21 Januari Masuk lewat Berbas, Ust. Abdrurrahman Muhammad (Sekarang Pimpinan
Umum Pesantren Hidayatullah dan KetuaUmum Dewan Syuro Hidayatullah) bersama Ust.
Latief Usman ditugaskan dalam jangka satu bulan pada 28 februari 1982 kedua ustazd ini mulai
menyebarkan dawah di Wilayah Bontang, namun pada 18 Maret 1982 Abdul Latief Usman
ditarik kembali ke Balikpapan, Ust.Abdurrahman Muhammad masih tetap tinggal di daerah
Berbas.
Abdul Madjid Aziz didampingi Bakhtiar Abdul Razak dan Abdul Haris Amin Bachrun
ditugaskan ke berbas untuk menangani proyek madrasah PP.Hidayatullah pada 9 Juni 1982.
Pada 24 Oktober ditugaskan tiga orang bujang Jazman, Jamaluddin Sinjai, Burhanuddin
Noor (Pinrang) Menjelang pernikahan 28 Januari 1983 Jazman kembali ke balikpapan bersama
Mursidi dan Abdurrahim Ambo Tang yang bertugas di Hidayatullah Cab. ITCI Kenangan, Abidin
Sahab menggantikan posisi Jazman di Berbas, Mansur Aziz bersama keluarga ditugaskan
diberbaspada 18 juli 1983 setelah ust. Abdurrahman Muhammad ditarik kembali ke Balikpapan,
6

Ditempat lain juga yang masih wilayah bontang, Lhok Tuan Muhammad Natsir memimpin
sebuah madrasah, karena telah memiliki santri yang banyak, akhirnya datang ke Balikpapan
menghadap ust. Abdullah Said menyampaikan bahwa beliau mulai kewalahan membina
santrinya yang mulai banyak, oleh karena itu belia mengharapkan bantuan tenaga untuk
membantu mengelola madrasah itu. Permohonan ini di respon oleh ustazd Abdullah Said dengan
menugaskan Abdul Majid Aziz dan Ismail Kalosi Serta M. Natsir sendiri untuk mengelola
madarasah itu.
Abdul Madjid Aziz dan Muhammad Amin Abdul Fattah, seorang pebisnis yang sudah
bergabung dengan Hidayatullah juga. Beliau mempunyai teman namanya Muhammad Noor
yang ada sangkutan utang sebanyak Rp.800.000,- yang kemudian menyerahkan tanahnya di
Km8 seluas 1,5 Ha, dan utangnya dianggap lunas, dan Muhammad Noor Sangat senang dapat
menyerahkan tanah tersebut untuk pengembangan pesantren Hidayatullah.
Diatas tanah itulah dimulai kegiatan pesantren , sebagai tukang ahli Pak Madjid Aziz
dengan segera berfikir bangunan, Masjid segera dibangun kemudian gedung sekolah untuk
Diniyah. Dari Km. 8 berkembang ke Gunung Sari, sebuah tempat yang dapat dijadikan
secretariat, wakaf Pak Rauf, luasnya 6m x 7 m. sebagian dibeli. Pak Madjid Aziz dan akhirnya
memboyong keluarganya ke tempat itu.
Amin Fattah yang menempati rumah di Gunung Sari Luar itu menukar dengan tempat
yang ada di Gunung Sari Dalam ( kampus yang ada sekarang ) dengan tanah milik H.Pua Edi
seluas 1,5 Ha ditambah uang sebanyak Rp. 74.000.000,Setelah persiapan kampus baru ini sudah dapat dimasuki walaupun masih hutan belukar,
Usman Palese berusaha membebaskan lagi tanah seluas tiga hektar kemudian membangun
sebuah Mushallah mungil bersegi enam filosofinya karena rukun Islam ada 6, asrama santri dan
rumah untuk guru. Di Zaman Amin Fattah, yang ditugaskan menggantikan Usman Palese karena
ditarik ke Balikpapan. Untuk menangani Baitul Maal, membangun enam local madrasah. Disaat
itu juga dibangun pondasi Masjid tapi akhirnya kiblatnya di betulkan. Amin Fattah juga
mengembangkan peternakan ayam kampong di Km.8. seterusnya Muhmmad Amin Abdul Fattah
di tugaskan ke Sangatta untuk merintis usaha dan membuka cabang Hidayatullah di sangatta.
Di Zaman Abdurrahman Muhammad yang sebelumnya bertugas di Irian Jaya, Bontang
kian meningkat baik dari segi fisik yakni perluasan kampus dan bangunan juga pengembangan
pendidikan dan pembinaan emat. Jamaluddin Ibrahim ditunjuk sebagai bendahara sekaligus
belajar memimpin dari Ust. Abdurrahman Muhammad yang dikenal sangat tinggi komitmen
kelembagaannya.
Atas komando Ust. Abudrrahman Muhammad, seluruh personil di sampingnya, bergerak
seperti mesin. Sehingga banyak sekali kemajuan diperoleh. Terutama penertiban kampus dan
manuver Dawah Jamaluddin Ibrahim sebagai tulang punggung selalu siap menunggu dan
melaksanakan komando. Pembangunan Masjid yang cukup besar dan indah ( masjid sekarang
AR-Riyadh) itu mulai pembangunannya di zaman Ust. Abdurrahman Muhammad spirit
kelembagaan juga dirasakan sangat tajam karena pengarahan-pengarahan yang diberikan tidak
pernah lepas dari koridor manhaj sistimatika nuzulnya wahyu.
Kepemimpinan di Bontang diteruskan oleh Ust. Jamaluddin Ibrahim cukup banyak
perkembangan dibawah kepemimpinan beliau, terutama penyelesaian Masjid besar. Purta asal
Donggala ini semasa nyantri di balikpapan ditugaskan mencari dana, sehingga dunia pencarian
dana adalah dunianya. Ada dua perusahaan besar di Bontang yang cukup membantu yakni PT
Badak dan Pupuk Kaltim yang tokoh-tokohnya cukup mengenal baik Ust. Jamaluddin Ibrahim

sehingga kalau ada kesulitan di pesantren tak segan-segan bersilaturrahim ketokoh-tokoh kedua
perusahaan besar ini. Zakat Infak dan Sadoqah dari kedua perusahaan tersebut cukup tinggi.
Pendidikan juga cukup berkembang di bawah kepemimpinan beliau, jenjang pendidikan
mulai dari Pendidikan Usiah Dini/ TK hingga SMU telah berjalan dengan baik, lengkap dengan
fasilitas gedung bertingkat dan peralatan untuk memudahkan proses belajar mengajar. Rumahrumah warga telah dibangun dengan jaminan yang cukup lumayan, Kemudian kepemimpinan
dilanjutkan oleh Ust. Sofyan Sumlang selama tiga tahun lebih, dan system pendidikan mulai
dibenahi dari metode klasik dirubah methodenya menjadi methode active learning, Hingga
sekarang dibawah kepemimpinan Ust. H. Ahmad Nurdin, Mulai dari (PAUD) TK, MI, SMP dan
SMA telah menggunakan Methode Active Learning yang mengarah kepada standar nasional .
Dikota Bontang sekolah milik Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah ini sudah mulai
diperhitungkan.
Visi
Menjadi Lembaga Pendidikan dan Pengkaderan Islam yang unggul, amanah dan mandiri.
Misi
Menjadikan masjid sebagai pusat gerakan dan pembinaan spiritual.
Menyelenggarakan pendidikan profesional yang dapat melahirkan kader berahlak mulia,
cerdas, mandiri dan memiliki tanggung jawab mengangkat martabat ummat.
3. Menjadikan kampus sebagai alat peraga dakwah dan pendidikan yang Islamiah,ilmiah dan
alamiah.
4. Membentuk lembaga-lembaga ekonomi yang dapat mendukung terselenggaranya proses
pendidikan dan pengkaderan.
1.
2.

Struktur Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah


Ketua
: Ustadz Mathori S., HP. 0813-540466597, 0812-53040340
Sekretaris
: Ustadz Muhammad Randi, HP. 0815-9986526, 0878-11102971
Bendahara : Ustadz Nurdin AR, HP. 0813-46399439
Dewan Pimpinan Daerah Hidayatullah Bontang
Ketua
: Ustadz Zulkifli MS, HP. 0812-5335833
Sekretaris
: Ustadz Islamuddin, HP. 0813-46305308
Bendahara : Ustadz Nur Robbani, HP. 0812-5524882

1.
2.
3.

Profil Pengurus DPP Hidayatullah Dewan Syura


Pimpinan Umum / Ketua Dewan Syura : Ust H Abdurrahman Muhammad
Sekretaris : Drs Hamim Thohari, MSi
Anggota lain sejumlah 15 orang termasuk Ketua Umum DPP selaku anggota ex officio.

1.
2.
3.
4.
5.

Dewan Pimpinan Pusat


Ketua Umum: Dr. H. Abdul Mannan, SE, MM
Ketua Bidang Pembinaan Organisasi & Politik: Drs. Nursyamsa Hadist
Ketua Bidang Pelayanan Ummat: Ir. Abu A'la Abdullah, MHI
Ketua Bidang Perekonomian: H..A Hasan Ibrahim, MA
Sekretaris Jenderal: BM Wibowo, SE
8

6.
7.
8.
9.

10.
11.
12.
13.

Sekretaris I: Ir Candra Kurnianto


Sekretaris II: Drs. Aghis Mahruri
Bendahara Umum: H.A Hasan Ibrahim, MA
Bendahara: drg. Fathul Adhim
Bidang Pembinaan Organisasi dan Politik
Ketua Departemen Pembinaan Wilayah: Ir. Khairil Baits
Ketua Departemen Organisasi dan Pengelolaan Sumberdaya Insani: Abdul Muhaimin, S.Pi
Ketua Departemen Pengkaderan: Drs. Ahkam Sumadiana
Ketua Departemen Litbang: Ali Imran, M.Ag
14. Ketua Departemen Hukum dan Advokasi: Abdul Madjid, SH, MH
Bidang Pelayanan Ummat
15. Ketua Departemen Pendidikan: Ir Abu Ala Abdullah
16. Ketua Departemen Dakwah: Drs Tasyrif Amin
17. Ketua Departemen Sosial dan Ortom: Muhammad Ishlah
Bidang Perekonomian
18. Ketua Departemen Pengelolaan Asset Organisasi: Ir Omar Abu Khalid
19. Ketua Departemen Pengembangan Ekonomi Kelembagaan: Asih Subagyo
20. Ketua Departemen Pemberdayaan Ekonomi Ummat: Ir. Muhammad Musyafir
Bidang Kesekretariatan dan Humas
21. Kepala Kantor Pusat DPP Hidayatullah: Ir Candra Kurnianto
22. Ketua Departemen Hubungan Masyarakat dan Antar Organisasi: drh Haryono Madari.[1]
Metode Dakwah Hidayatullah
Hidayatullah sebagai lembaga dakwah tentu saja dalam dakwahnya ia memberikan
penyampaian dakwah ke seluruh penjruru negeri. Baru-baru ini Dewan Pimpinan Pusat (DPP)
Hidayatullah mengirimkan 37 Dai ke berbagai daerah Provinsi di Indonnesia. Pelepasan Dai
hasil gemblengan Hidayatullan tersebut dilakukan Menteri Sosial Menteri Sosial Bachtiar
Chamsyah didampingi Ketua Umum DPP Hidayatullah Abdul Manan dan Walikota Bogor H
Diani Budiarto di Gedung Suryakencana Sindang Barang Kota Bogor Minggu (14/9) siang.
Ketua Umum Hiyatullah Abdul Manan mengatakan, Hidayatullah adalah salah satu
ormas Islam terbesar di Indonesia. Sejak berdirinya ormas Islam ini tahun 1976, kami telah
mencetak 76 ribu dai yang ditugaskan ke berbagai daerah Provinsi di tanah air, jelas Abdul
Manan kepada wartawan usai pelepasan dai dan seminar Nasional Pendidikan yang digelar
Hidayatullah.
Abdul Manan menjelaskan, 37 dai yang dilepas merupakan angkatan ke tiga tahun 2008
yang digembleng selama tiga bulan dalam program pendidikan dawah mandiri oleh
Hidayatullah. Hingga saat ini sudah 135 dai yang direkrut dari berbagai jenjang pendidikan
mulai dari SMA, Aliyah, D-3 sampai dengan S1, telah dikirim ke berbagai daerah Provinsi di
tanah air, khususnya yang banyak dikirim ke wilayah Provinsi Indonesia bagian Timur,
ungkapnya.

Menurut Abdul Manan, dipilhnya wilayah Provinsi Indonesia bagian Timur karena
kondisi umat Islam masih sangat memprihatinkan. Buta huruf Al Quran, dan buta huruf latin di
wilayahwilayah bagian Timur masih mendominasi,
Abdul Manan menuturkan pengamannya di salah satu daerah pedalaman Kalimantan
Timur, dimana disana ada seorang yang masuk Islam selama 20 tahun tidak ada yang
membinanya. Selama ini kalau melaksanakan sholat dia hanya mendengarkan stasiun Radio dari
Malaysia. Setelah kita tau bahwa dia ingin menganut Agama Islam dengan baik, maka kita
mengirimkan tenaga untuk membimbingnya, tuturnya.
Diakuinya, rekuitmen dai-dai yang akan dikirimkan ke berbagai Provinsi di tanah air ini
tidak semudah yang diharapkan, karena menyangkut berbagai aspek Salah satunya adalah
pengaruh aspek ekonomi yang menjadi pertimbangan utama. Sejauh ini kita hanya membiayai
pengirimannya ke daerah yang menjadi tujuan, untuk selanjutnya para dai harus berdikari,
ujarnya.
Mengenai berapa lama mereka bertugas di daerah, Abdul Manan mengatakan, minimal
mereka bertugas selama tiga tahun, dan ditarik kembali ke pusat pendidikan Hidayatullah di
Balikpapan, Surabaya dan Depok, untuk selanjutnya akan dikirim ke kembali ke daerah asal,
atau ke daerah-daerah yang baru.
Meskipun demiikian, dakwah Hidayatullah tidak sebatas penyamapi kebenaran dalam
bentuk lisan, tapi juga berdakawah dalam berbagai bentuk lembaga keislamannya seperti
mendrikan sekolah gratis, membuat majalah hidayatullah, membuat baitul mal Hidayatullah dan
lain sebagainya.
Sebagai wujud dakwah tersebut Hidayatullah betul-betul melebarkan sayapnya dengan
berbagai bidang dakwah. Alhamdulillah, kini setelah membangun 2 sekolah tinggi Islam yakni
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIL) Luqmanul Hakim di Surabaya dan Sekolah Tinggi Ilmu
Syariah (STIS) di Balikpapan, kini Hidayatullah kembali membangun sekolah tinggi ekonomi
gratis pertama di Indonesia yang diperuntukkan untuk calon-calon dai yang akan disebar di
seluruh Indonesia.
Selasa kemarin (11/8) pukul 09.30 WIB bertempat di lokasi pembangunan gedung STIE
Hidayatullah Jalan Raya Kalimulya RT.01/01, Kelurahan Kalimulya, Kecamatan Sukmajaya,
Depok, Jawa Barat, diadakan peletakan batu pertama pembangunan gedung STIE tersebut. Insya
Allah, acara ini akan dihadiri oleh Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menpora) Adhyaksa
Dault dan Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf.
Melalui SK Mendiknas No.06/D/2009, STIE Hidayatullah resmi mendapat pengakuan
dari pemerintah. Yang membedakan antara STIE Hidayatullah dengan sekolah tinggi ekonomi
Islamnya adalah biayanya yang gratis, kurikulumnya yang memadukan ilmu-ilmu agama dan
ekonomi, dan ikatan dinas para alumninya yang selama batas waktu yang tidak ditentukan.
Seluruh mahasiswa tidak dipungut biaya sepeser pun untuk kuliah di tempat ini bahkan
diasramakan. Pada semester pertama dan kedua, mereka wajib tinggal di asrama selanjutnya
mereka diwajibkan berinteraksi dengan masyarakat sekitar sebagai modal terjun ke medan
dakwah. Mereka hanya dibebani kewajiban untuk berdinas sebagai dai di seluruh wilayah
Indonesia.
Baitul Maal Hidayatullah (BMH) bertindak sebagai penyandang dana untuk STIE
Hidayatullah. Menurut direktur eksekutif BMH, M. Isnaini, untuk gedungnya saja membutuhkan
dana sekitar Rp 4 milyar. Seluruh pendanaan berasal dari donasi para dermawan Islam yang
peduli terhadap dakwah di kalangan masyarakat pedesaan.

10

Diharapkan para dai mampu membangun kemandirian ekonomi dalam melaksanakan


tugas dakwahnya di tengah-tengah masyarakat pedesaan. Masyarakat desa membutuhkan dai
yang mampu mengajarkan kepada mereka kemampuan untuk berdikari. (Hanvitra)[2]
Teologi SNW Hidayatullah
September lalu, Hidayatullah telah memproklamirkan dirinya secara publik sebagai
pemain baru dalam gerakan dakwah Islam di Indonesia. Pertanyaannya kemudian, apakah
Hidayatullah mampu bahu-membahu bersama-sama Muhammadiyah dan NU yang mempunyai
'teologi' dan sasaran dakwah yang segmented, untuk bergiat dalam dakwah di Indonesia? Apa
deferensiator yang dimiliki oleh Hidayatullah dan bagaimana arah perjuangannya? Tulisan
berikut tidak berpretensi untuk mengatasi semua pertanyaan di atas. Namun demikian, mudahmudahan bisa memberi inspirasi bagi perjalanan dakwah Hidayatullah ke depan.
Selama ini, mainstream gerakan dakwah Islam di pentas sejarah Indonesia didominasi
oleh dua kutub pemikiran yang sudah populer, yakni pemikiran tradisionalis Islam yang
seringkali dialamatkan kepada NU, dan pemikiran modernis Islam untuk mengidentifikasi
organisasi massa Islam seperti Muhammadiyah, DDII, dan sebagainya. Pemikiran tradisionalis
Islam lahir dari rahim semangat Islam untuk mengapresiasi tradisi masa lalu, tradisi lokal, dan
tradisi budaya dimana Islam akan dikembangkan. Sedangkan pemikiran modernis bermula dari
fenomena adanya kecenderungan keberagamaan yang dianggap melenceng dari tradisi adiluhung
Nabi Muhammad saw yang bersumber alQur'an dan al-Hadits. Untuk itu, fenomena tersebut harus dipurifikasi, yakni diluruskan kembali
supaya tetap berada di jalur yang benar, dengan kembali ke al-Qur'an dan al-Hadis.
Belakangan, muncul sebuah mode of thought dalam agama (baca: teologi) yang
mengkritik pemikiran tradisionalis dan modernis tersebut, yakni teologi transformatif. Kritik
teologi ini atas pemikiran tradisionalis, (terutama) mengarah pada corak keberagamaannya yang
memelihara hirarki; kiai-santri, guru-murid, da'i-mad'u (ummat), dan sebagainya. Sehingga
posisi santri, murid, dan ummat selalu sebagai obyek penerima paham-paham keagamaan secara
taken for granted, dan hampir tidak ada dalam diri mereka sebuah 'ruang merdeka' untuk
bertanya secara kritis. Sedangkan kritik yang dialamatkan kepada pemikiran modernis, terletak
pada kecenderungannya yang seringkali menyanyikan normatifitas keagamaan dan
menggaungkan kejayaan masa lalu, tanpa dibarengi dengan upaya metodologis maupun praksis
bagi perjuangan ummat, baik untuk saat ini maupun saat-saat yang akan datang. Trend pemikiran
modernis ini dianggap terlalu normatif- rasionalistik, sehingga kurang empirik.
Berangkat dari kritik yang diarahkan pada visi pemikiran tradisionalis dan modernis,
teologi transformatif merambah ranah pemikiran yang lebih memberi peluang bagi proklamasi
kemerdekaan diri ummat (fungsi emansipatoris). Aksentuasinya diberikan pada upaya untuk
menderivasikan normatifitas keagamaan menjadi ilmu, metodologi, dan aksi yang membela
kaum dhu'afa dan mustadl'afien. Dari sudut ini, kita akan melihat Hidayatullah sebagai sebuah
gerakan dakwah Islam yang mempunyai coraknya tersendiri di dalam kancah dakwah Nusantara.
Pada tataran normatif, kita akan menelaah alasan untuk ber'ada' (raison d'etre) dan
'teologi' (mode of thougth)nya. Muhammadiyah mempunyai catch word "pembaruan" melalui
semboyan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadis, dengan pendayagunaan akal. Maka model
transmisi tema dan apresiasi keagamaannya selalu diukur oleh nalar (rasio), kecuali untuk tematema aqidah yang memang sudah given. Sementara NU memakai kata pengait "Ahlussunnah Wal
jama`ah" untuk mengikat emosi jamaahnya dalam sebuah jam`iyyah. Dengan menjadikan alQur'an, al- Hadis, ijma', dan qiyas sebagai landasan normatif keberagamaannya. Untuk pola
11

seperti ini, dibutuhkan model transmisi dan distribusi paham keagamaan yang bersandar pada
otoritas ulama, 'melestarikan tradisi dan mewarisi tradisi ulama. Teologi 'aswaja' membawa NU
yang dicap tradisionalis itu, kepada kelenturan dan keluwesan dalam mempraktikkan agama. Dia
kaya akan perspektif kaidah fiqih. Sedangkan teologi 'tajdid" Muhammadiyah yang dipandang
modernis itu, juga memandu arah Muhammadiyah untuk senantiasa melakukan progress yang
sesuai dengan tuntutan zaman.
Sedangkan Hidayatullah? Yang sering disebut sebagai psychological striking force
jamaahnya adalah Sistematika Nuzul Wahyu (selanjutnya ditulis: SNW). Ijtihad normatif SNW
ini berawal dari al-Qur'an Surat Al Maidah ayat 48 yang mengatakan bahwa pada tiap sesuatu itu
terdapat sistem (syir'atan) dan metode (minhajan). Demikian pula dalam tartib (urutan) nuzul alQur'an, tidak mungkin Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah Saw secara sembarangan.
Maka apa hikmah syir'ah dan minhaj yang berada di balik turunnya wahyu tersebut menjadi
concern Hidayatullah dalam melaksanakan gerakan dakwahnya. Pada perkembangan lebih
lanjut, Hidayatullah berhasil menemukan kesimpulan ijtihadi bahwa dari tartib nuzul wahyu,
nilai-nilai al-Qur'an dan al-Hadis bisa direkonstruksi menjadi sebuah paradigma (manhaj)
dakwah. Inilah yang dalam bahasa Dr. Hidayat Nataatmadja (2001) dikatakan sebagai sebuah
bentuk intelejensi (baca: paradigma) yang bersumber pada konstruksi al-Qur'an. Bukan
intelejensi yang dihasilkan dari sumber referensi-referensi kepustakaan pemikiran seseorang.
Secara singkat, SNW bisa dijabarkan melalui keterangan Ibnu Abbas dan beberapa ulama
tafsir lainnya tentang tartib nuzul wahyu, yang terdiri dari: al-'Alaq ayat 1-5, al-Qalam ayat 1-7,
al-Muzammil ayat 1-10, Al-Muddatstsir ayat 1-7, dan Al-Fatihah ayat 1-7. Sistematika semacam
inilah yang oleh Hidayatullah disebut sebagai SNW. Dalam perspektif Hidayatullah, al-Alaq
merupakan kunci pembuka kesadaran bertauhid dengan beberapa key word-nya, semisal:
Iqra'(bacalah), bismi rabbik (dengan nama Tuhanmu), bi al-qalam (dengan pena), dan
sebagainya. Al-Qalam memberi landasan pemikiran bagi khitthah perjuangan dakwah, melalui
beberapa aksentuasinya pada kaitan antara qalam (pena) dengan hasil goresan pena (ma
yasthurun). Berikutnya, al-Muzammil memberi penekanan terhadap landasan spiritual dakwah
melalui proses tazkiyah (purifikasi diri). Baru kemudian, al-Muddatstsir dengan bekal kesadaran
tauhid, landasan pemikiran, dan landasan spritual tadi, menggerakkan aktivitas dakwah itu
sendiri dengan memancang formulasi nilai-nilai yang ada dalam al-Fatihah sebagai ultimate goal
masyarakat Qur'ani.
Dari Pesantren ke Ormas: Visi Transformatif?
Namun demikian, pada beberapa hal SNW berbeda dengan Aswaja kaum tradisionalis
dan the idea of progress kaum modernis. Sebab keduanya merupakan respon teologis untuk
menghadapi situasi keagamaan waktu itu. Sementara SNW adalah respon strategis untuk
mengatasi problem masyarakat pada waktu yang lain. Dus, kesadaran yang dibangun corak
keberagaman Muhammadiyah, NU, dan kelompok-kelompok Islam lainnya diawali kesadaran
pada tataran teologis. Sedangkan SNW, pada awalnya merupakan jawaban metodologis dan
strategis. Yang tertanam dalam kesadaran Ust. Abdullah Said atau Muhsin Kahar pada waktu itu
adalah kekurangan kader-kader dakwah; muballigh-muballigh yang dapat menangani dakwah ini
secara berkelanjutan dan bertanggungjawab (SPD Hidayatulah, 2001). Kursus-kursus muballigh
merupakan prioritas gerakan dakwahnya. Hal ini untuk menanggulangi kekurangan da'i di
daerah-daerah yang memang luas, dan tak terjangkau oleh aktivitas dakwah (daerah Sulsera
awalnya, dan kemudian Kaltim).

12

Nah, karena kesadaran yang dibangun Hidayatullah tidak hanya pada level teologis,
namun juga pada level methodologi praksis, maka gayung visi yang dilempar oleh "pemikiran
transformatif" logisnya akan bersambut secara lebih massif pada lembaga dakwah semacam
Hidayatullah ini. Pemikiran trasnformatif yang dimaksud adalah pemikiran yang memadukan
aqidah-syariah-muamalah, teologi-ilmu-amal, dan teori-metodologi-aksi yang memihak kalangan
dhu`afa (lemah) dan mustadl`afien (dilemahkan).
Adapun basis dari perjuangan dakwah transformatif ini nantinya akan diletakkan pada
komunitas-komunitas masyarakat yang menganut nilai-nilai keagamaan tertentu (Religious
Based Community Development). Dan SNW, hemat saya, sangat berpotensi untuk membawa
Hidayatullah ke arah gerakan Islam transformatif ini.
Selama ini, Hidayatullah telah memulai aktivitas transformatif ini melalui penyebaran
da'i ke daerah-daerah periferal untuk mendirikan pesantren dan pusat kegiatan agama. Pesantrenpesantren itulah yang kemudian menjadi basis gerakan Hidayatullah. Namun disadari bahwa
ternyata untuk membangun kegiatan dakwah yang menyeluruh tidak cukup hanya mengandalkan
pesantren. Dibutuhkan pengorganisasian dakwah secara lebih komprehensif, profesional, dan
lebih banyak melibatkan partisipasi masyarakat luas di dalamnya. Barangkali, argumen semacam
inilah yang melatari proses perkembangan jaringan Pesantren Hidayatulah menjadi salah satu
ormas Islam di Indonesia.
Namun demikian, 'metamorfosa' atau langkah maju Hidayatullah yang pada mulanya
berupa pesantren-pesantren yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara, kemudian menjadi
ormas Islam, apakah semakin meneguhkan semangat transformasi yang dimilikinya atau malah
menganulir semangat tersebut? Simak penjelasan berikutnya!
Hidayatullah, Perjuangkan Tauhid untuk Tegaknya Peradaban Islami Khasanah
Pemikiran dan Pergerakan Islam
Hidayatullah lahir pada saat umat Islam sedang menantikan datangnya abad ke-15 yang
diyakini sebagai Abad Kebangkitan Islam. Tema pokoknya pada saat itu adalah Back to Quran
and Sunnah. Hidayatullah adalah sebuah gerakan pemikiran yang mencoba menerjemahkan
slogan Back to Quran and Sunnah secara lebih konkret, sehingga Al-Qur'an dan As-Sunnah
menjadi blue print pengembangan peradaban Islami.
Hidayatullah memandang bahwa kemunduran umat Islam lebih disebabkan karena
pandangan yang parsial dalam memahami keholistikan ajaran Islam. Masing-masing kelompok
mengambil tema dan titik tekan program sesuai dengan pandangannya yang sangat parsial
bahkan tema dan titik program itu seringkali menjadi semacam ideologi kelompok
Sebagai organisasi massa Islam yang berbasis kader, Hidayatullah menyatakan diri
sebagai Gerakan Perjuangan Islam (Al-Harakah al-Jihadiyah al-Islamiyah) dengan dakwah dan
tarbiyah sebagai program utamanya.
Menurut ketua DPW Hidayatullah Palu, Ahmad Arsyad, Hidayatullah didirikan pada
tanggal 7 Januari 1973/2 Dzulhijjah 1392 H di Balikpapan dalam bentuk yayasan sebuah
pesantren, oleh Ust. Abdullah Said (alm). Dari sebuah bentuk pesantren inilah, Hidayatullah
kemudian berkembang dengan berbagai amal usaha di bidang sosial, dakwah, pendidikan dan
ekonomi serta menyebar ke berbagai daerah di seluruh provinsi di Indonesia. Melalui
Musyawarah Nasional I pada tanggal 913 Juli 2000 di Balikpapan, Hidayatullah mengubah
bentuk organisasinya menjadi organisasi kemasyarakatan (ormas), dan menyatakan diri sebagai
gerakan perjuangan Islam.
13

Sebagai organisasi massa, keanggotaan Hidayatullah bersifat terbuka, demikian pula


misi, visi, dan konsep dasar gerakannya. Hidayatullah menjadikan amal-amal usahanya bersifat
otonom, dan berfungsi sebagai basis pendidikan dan perkaderan. Hidayatullah merupakan wadah
bagi komponen ummat Islam yang ingin mewujudkan idealismenya membangun masyarakat
Islami dengan mengacu kepada metode/manhaj nubuwwah. Hidayatullah berpegang teguh
kepada Al-Qur'an dan as-Sunnah. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak, karena
itu segala urusan dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Agenda utama Hidayatullah adalah pelurusan masalah aqidah, imamah dan jamaah
(tajdid), pencerahan kesadaran (tilawatu ayatillah), pembersihan jiwa (tazkiyatun-nufus),
pengajaran dan pendidikan (talimatul-kitab wal-hikmah) menuju lahirnya kepemimpinan dan
ummat terbaik, katanya.
Dikatakan, Hidayatullah bertujuan untuk membangun peradaban Islam, dengan visi
menjadi organisasi tingkat nasional yang unggul dan berpengaruh, di dukung jaringan yang loyal
dan berkualitas. Sedangkan misinya, adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM,
mengintensifkan pelayanan ummat melalui aktivitas pendidikan dan dakwah, mewujudkan
kemandirian ekonomi, dan mendorong penegakan Islam pada tingkat individu, keluarga, dan
masyarakat.
Sejak awal melangkah, Hidayatullah telah melakukan pengiriman santri untuk berdakwah
sebagai bagian dari proses tarbiyah. Keberadaan Hidayatullah di berbagai tempat adalah upaya
untuk membangun jaringan dakwah yang luas dan mampu menyentuh dan melayani seluruh
lapisan ummat. Hidayatullah berupaya memposisikan dai sebagai missionaris Islam sehingga
sosok dai adalah sosok yang memiliki karakteristik unggul dan militan serta mempunyai potensi
untuk membangun peradaban yang seimbang antara duniawi dan ukhrawi.
Untuk mendukung gerakan dai itu, Hidayatullah telah mendirikan Sekolah Tinggi
Agama Islam Lukman Al-Hakim (STAIL) di Surabaya dan Sekolah Tinggi Ilmu Syariah
Hidayatullah (STIS Hidayatullah) di Balikpapan, yang memberikan beasiswa (ikatan dinas dai)
bagi mahasiswanya. Dari keduanya, pada akhir 2005 telah tersebar 150 dai strata satu (S1) ke
seluruh Indonesia.
Hidayatullah juga mendirikan Pos Dai, Baitul Maal Hidayatullah (BMH), Majalah Suara
Hidayatullah (Sahid), situs Hidayatullah.com, dan Pos-pos Majelis Taklim al-Quran (MTQ)
untuk mengukuhkan keberadaannya sebagai lembaga dakwah di Indonesia. Pada awal 2006,
Hidayatullah meluncurkan program Grand MBA (Gerakan Membudayakan Mengajar dan
Belajar Al-Qur'an), dengan fokus mengajarkan membaca Al-Qur'an, menerjemah secara cepat,
dan menafsirkannya, melalui Metoda MBA.
Dalam tahapan 25 tahun kedua Hidayatullah, pendidikan mempunyai peranan yang
sangat sentral dan strategis, terutama jika dikaitkan dengan upaya peningkatan mutu sumber
daya manusia. Sumber daya manusia yang berkualitas menurut terminologi Islam adalah
manusia yang mampu memfungsikan segala potensi fikir dan potensi zikir dalam dirinya secara
seimbang sehingga segala penguasaan ilmu, penguasaan teknologi dan keahliannya memberi
manfaat bagi dirinya, lingkungannya dan dunia pada umumnya. Oleh karena itu, pengembangan
sumber daya manusia harus ditekankan pada prinsip-prinsip ketauhidan dan akhlakul karimah
tanpa menafikan harkat intelektualitas.
Bertolak dari pemikiran di atas, Hidayatullah memperkenalkan konsep pendidikan Islam
integral dan diimplementasikan dalam pengelolaan sekolah-sekolah Hidayatullah sejak dari
tingkat Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi, urai Ahmad.

14

Istilah integral menunjukkan satu kesatuan dari seluruh unsur pendidikan yang ada, baik
iman dan taqwa maupun ilmu pengetahuan dan teknologi, sekolah dan masyarakat, formal
maupun non-formal, dan sebagainya. Mulai 2005, Hidayatullah menegaskan penggunaan
Kurikulum Berbasis Tauhid (KBT) untuk seluruh Sekolah Integral yang dikelolanya. Sekolahsekolah milik Hidayatullah tidak diwajibkan mempergunakan nama Hidayatullah namun wajib
mempergunakan KBT dan sistem integral.
Lembaga Pendidikan Hidayatullah meliputi Taman Kanak-Kanak dan Play Group,
Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah di hampir semua Daerah, Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah setidaknya ada di
setiap Wilayah dan 3 perguruan tinggi di Surabaya, Balikpapan, dan Depok. Pada tahun 2006,
setelah didapatkan ijin dari Menteri Pendidikan Nasional, didirikanlah Universitas Hidayatullah
di Jakarta. Universitas ini tidak mengeliminir keberadaan STAIL, STIS, maupun Sekolah Tinggi
Ilmu Manajemen (STIM) Hidayatullah Depok yang telah ada.
Pesantren-Pesantren Hidayatullah seperti halnya pesantren di tempat lain, berfungsi
sebagai tempat untuk mendalami ilmu-ilmu diniyah. Lingkungan kampus Pesantren juga
berfungsi sebagai miniatur kehidupan berimamah dan berjamaah. Selain dihuni santri yang
tinggal di asrama, di Pesantren juga tinggal guru, pengasuh, pengelola, dan jamaah Hidayatullah
yang berkeinginan menetap di sekitar Pesantren dalam rangka belajar menegakkan Islam.
Pesantren Hidayatullah mengupayakan tersedianya kawasan di sekitar kampus yang dapat dibeli
oleh masyarakat secara selektif.
Baitul Maal Hidayatullah (BMH) adalah lembaga di bawah Hidayatullah yang
mempunyai fungsi untuk mengelola dana zakat, infaq, shadaqah, wakaf ataupun hibah ummat.
Sebagai wujud kepercayaan masyarakat dan pemerintah terhadap Hidayatullah, Baitul Maal
Hidayatullah (BMH) mendapat pengukuhan sebagai lembaga amil zakat nasional melalui Surat
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 538 tahun 2001.
BMH ini mengelola dana ummat untuk disalurkan bagi pemberdayaan ummat,
memajukan lembaga-lembaga pendidikan maupun sosial, memajukan dakwah Islam,
mengentaskan kaum dhuafa (lemah) maupun mustadhafin (tertindas). Dan kini Baitul Maal
Hidayatullah telah memiliki 30 kantor perwakilan dan 144 jaringan pos peduli (mitra). Sebagai
komitmen layanan sosial, BMH juga telah mendirikan klinik-klinik IMS (Islamic Medical
Service) di berbagai lokasi.
Begitupun untuk mewadahi aspirasi kalangan remaja dan mahasiswa, Hidayatullah telah
membentuk organisasi otonom Pemuda Hidayatullah. Gerakan utama organisasi ini adalah
menyelenggarakan kegiatan pengkaderan pemuda, mahasiswa, dan remaja Islam, untuk
menumbuhkan ghirah perjuangan dan semangat berkurban.
Sedangkan untuk pemberantas buta aksara alquan, Hidayatullah membentuk Grand MBA
yakni Gerakan Membudayakan Mengajar dan Belajar Al-Qur'an, yang meruapakan program
Hidayatullah setelah melalui kajian mendalam mengenai perkembangan Islam di Indonesia.
Kemunduran ummat disebabkan oleh rendahnya pemahaman tehaadap Al-Qur'an lantaran ummat
tidak lagi akrab dengan kitab sucinya itu.
Jarangnya kaum muslimin mempelajari Al-Qur'an mengakibatkan kurangnya pemahaman
terhadap ajaran Islam yang sesungguhnya. Sehingga banyak sekali ajaran Islam yang tidak
diketahui, atau tidak dimengerti, tidak dipahami, atau disalahpahami oleh ummat Islam.
Akibatnya, ummat mayoritas ini memposisikan Islam secara taklid (meniru-niru) dari sumber
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

15

Untuk itu, perlu ditumbuhkan gerakan mempelajari Al-Qur'an. Bagi yang belum dapat
membaca, perlu belajar membaca. Bagi yang belum benar, perlu belajar membaca secara benar
untuk menghindari kesalahan arti. Bagi yang tidak mengerti bahasa Arab, perlu membaca
terjemahan Al-Qur'an hingga tamat. Bagi yang belum dapat mengartikan, perlu mempelajari cara
menerjemahkannya. Dan bagi yang telah memiliki kemampuan, wajib untuk mengajarkannya
kepada orang lain, minimal 10 orang dalam suatu kurun tertentu, demikian ulas Ahmad.[3]
Re-Eksistensi Peradaban Islam dalam Teologi Sistematika Nuzulnya Wahyu (SNW)[4]
Untuk mengetahui konsep paradigma Re-eksistensi mengenai penjabaran Teologi SNW
Hidayatullah ini, kita akan coba menyimaknya dari tuturan ketua umum DPP Hidayatullah, Dr.
Abdul Mannan, sendiri agar lebih afdhal.
Menurut Dr. Abdul Mannan, bahwa, dalam sejarah dikenal adanya masa kejayaan slam
(peradaban Islam) yang dimulai masa Rasulullah sampai runtuhnya sistem kekhalifahan Turki
Usmani tahun 1924 M. Kemudian dalam perjalanan sejarah sampai sekarang dikatakan sebagai
masa kelam karena dianggap peradaban Islam tidak nampak.
Peradaban merupakan istilah yang memiliki makna multi tafsir, tergantung sudut
pandang mana yang digunakan. Banyak tulisan baik dalam bentuk buku maupun tulisan lepas
lainnya yang menjelaskan tentang makna peradaban dengan segala ruang lingkupnya. Dalam
tulisan ini akan mencoba memberikan pandangan baru tentang peradaban Islam berdasarkan
perspektif wahyu dengan topik re-eksistensi peradaban Islam. Maksudnya adalah suatu upaya
memberikan alternatif makna peradaban khususnya makna Peradaban Islam berdasarkan tata
urutan wahyu yang turun pertama kali (Tartibu Nuzulil wahyi).
Tulisan ini juga akan memberikan paradigma baru bagaimana membangun peradaban
Islam berdasarkan wahyu (al-Qura'n) dengan mengggunakan istilah strategi pencapaian
eksisnya peradaban Islam. Startegi yang dimaksud dibangun bertolak dari penggal ayat-ayat
pertama turun di Makkah dengan penjelasan sebagai berikut : (1) Al-Alaq : Filosofi Peradaban
Islam, (2) Al-Qalam : Visi, Misi, Strategi Peradaban Islam, (3) Al-Muzammil : Spirit Peradaban
Islam, (4) Al-Mudatsir : Manajemen Strategi Peradaban Islam, (5) Al-Fathehah : Existensi
Peradaban Islam.
Kata kunci : Peradaban Islam,teologi, dan Sistematika Nuzulnya Wahyu
Karena itu dalam bahasan silabus teologi SNW ini, Dr. Abdul Mannan membagi
konsepnya dalam empat sub, yaitu: pendahuluan, tinjauan literaratur, metodologi, pembahasan,
sistematika nuzulnya wahyu, dan kesimpulan.
Pendahuluan
Akhir-akhir ini, telah bermunculan tokoh tingkat nasional dan internasional yang
memainkan peran sebagai pencerah umat dengan beragam konsep membangun peradaban.
Konsep membangun peradaban itu ditawarkan mulai dari rumah tangga hingga tingkat rumah
tangga negara dan dunia. Jika kita merujuk kembali pada sejarah peradaban mayor, maka
sumber inspirasi perjuangan para ahli peradaban Islam adalah Nabiullah Muhammad Saw.
Adalah suatu momen yang sangat tepat bahwa kita sebagai pencerah (enlighter) umat menggagas
diadakannya berbagai diskusi dan seminar tentang peradaban sebagai proses re-eksistensi
peradaban Islam.
Filosofi diadakan diskusi tentang peradaban ini adalah karena adanya ketidakpuasan bagi
aktivis pencerah umat terhadap kondisi umat manusia yang bertambah terpuruk dari nilai
kemanusiaannya. Ketidakpuasan tersebut cukup beralasan karena secara faktual bahwa umat
16

manusia kini eksistensinya sudah menjadi budak materi yang mengindikasikan bahwa fungsi
manusia sebagai subyek berubah menjadi obyek. Kegelisahan para pencerah umat khususnya
para pemikir Hidayatullah, berkesimpulan bahwa perlu mengadakan suatu terobosan berpikir dan
beraksi nyata dalam dunia pencerahan tentang peradaban Islam agar umat manusia pada
umumnya dan umat Islam khususnya tidak terjebak dalam rutinitas kehidupan bendawi yang
menjenuhkan.
Berkaitan dengan rasa ketidakpuasan tersebut, menimbulkan suatu kerisauan yang
melahirkan beberapa pertanyaan: Sejauhmana para pencerah (muballigh) mempengaruhi pola
pikir umat dalam memahami ajarannya? Pijakan dan perspektif peradaban apa yang akan
ditawarkan? Bagaimana strategi mengeksplorasi konsep peradaban tersebut? Untuk apa konsep
peradaban tersebut dieksplorasi? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dijawab dalam
hubungannya dengan tema peradaban Islam yang akan ditawarkan kepada publik.
Selanjutnya sebagai harapan terhadap diskusi tentang peradaban ini, semoga dapat
menghasilkan rumusan konsep peradaban yang dapat diretas lebih lanjut oleh tim khusus
peradaban dalam hal ini adalah INISIASI[5] (Institute of Islamic Civilization Studies and
Development) hingga menjadi suatu konsep peradaban yang komprehensif. Untuk itu, kami
yakin bahwa tim INISIASI akan dapat merumuskan dan menyimpulkan dari berbagai makalah
yang disajikan oleh para nara sumber sebagai kunci pembuka inspirasi untuk menggali
Sistemaika Nuzulnya Wahyu (SNW) sebagai konsep dasar peradaban Islam yang akan dibangun.
Harapan tersebut disampaikan, tentunya didasari oleh suatu pertimbangan idealisme yang tinggi
agar kiranya Islam dapat tegak dan jaya kembali melalui sentuhan pemikiran para pakar yang
dihimpun oleh INISIASI. Untuk menuju ke arah sana tiada jalan lain kecuali dimulai dari
menggali konsep dasar peradaban Islam yaitu merujuk kepada SNW yang dikemas sesuai dengan
tuntutan zaman dan kebutuhan umat.

Tinjauan Literatur
Sejarah manusia pada dasarnya merupakan sebuah proses penciptaan dan kehancuran
masyarakat beserta kebudayaan dan peradabannya secara terus-menerus sesuai dengan normanorma yang pada prinsipnya bersifat moral. Sumber norma-norma itu bersifat transenden, tapi
keseluruhan aplikasinya berada dalam eksistensi kesejarahan kolektif manusia yang imanen.
Norma-norma yang dimaksud adalah apa yang dalam Islam disebut Sunnatullah (Fazlur
Rahman, 1983)
Dari perspektif al-Quran, siklus sejarah manusia dan peradabannya yang demikian itu
kemudian menetapkan bahwa al-Quran telah menjadi saksi atas "hukuman sejarah" yang telah
ditimpakan kepada masyarakat, bangsa-bangsa pemilik peradaban terdahulu. Islam pernah
berada pada posisi puncak peradaban dunia sampai tiba saatnya mengalami kemunduran, persis
seperti peradaban-peradaban masa lampau sebelum Islam hingga runtuhnya Marxisme di negaranegara bekas Uni Soviet pada dasa warsa terakhir milenium kedua.
Sebagian peradaban masa lampau telah musnah dan dimusnahkan setutantas-tuntasnya
hingga yang tersisa tinggal artefak-artefak material dan kenangan akan kejayaan kognisi
intelektual dan spiritualnya. Dikatakan sebagian karena tidak atau belum seluruh dunia
dihancurkan. al-Quran membenarkan akan "hukuman sejarah" (baca: kehancuran) itu. Mengapa
hukuman sejarah ditimpakan? "Katakanlah, itu dari (kelalaian) dirimu sendiri" (QS. 3:165, juga
3:139-140).
17

Oleh sebab dosa-dosa dan kelalaian kolektif manusianya, sebuah peradaban dimusnahkan
agar menjadi bahan permenungan generasi berikutnya. Munculnya kehendak untuk introspeksi
dan itikad untuk memperbaiki diri, menjamin -- setidaknya demikian pesan al-Quran-- sebagian
peradaban masih hidup dan bertahan (QS. 11:100, juga QS. 100:24). Itulah grand design Tuhan,
Sunnatullah yang secara sinergis dan relasional dipersaksikan dalam al-Quran.
Peradaban umumnya dipahami sebagai entitas sosial yang besar melebihi individu,
keluarga, masyarakat, bahkan negara. Peradaban juga berarti pengelompokan tertinggi orangorang dan tingkat identitas budaya yang luas dan komprehensif yang membedakannya dengan
entitas lainnya. Peradaban dibatasi oleh unsur-unsur objektif seperti bahasa, sejarah, agama, adat
istiadat, pandangan dunia (world view), lembaga-lembaga. Ia juga dibatasi unsur subjektif berupa
identitas diri peradaban.
Keluasan dan komprehensivitas peradaban menjadikannya tidak eksklusif milik suatu
bangsa atau negara tertentu. Ia bersifat melintasi (beyond) batas-batas geografis dan geopolitis
sebuah negara. Dalam catatan Arnold Toynbee setidaknya ada dua puluh satu peradaban yang
pernah hidup dan mendiami dunia ini, namun sebagian besarnya sudah mengalami siklus
kemusnahan sehingga tidak meninggalkan sisa apa pun (Munawar, AM, 2002).
Dalam bahasa Indonesia, kata peradaban sering diidentikkan dengan kata kebudayaan.
Akan tetapi dalam bahasa Inggris, terdapat perbedaan pengertian antara civilization untuk
peradaban dan culture untuk kebudayaan. Demikian pula dalam bahasa Arab dibedakan antara
tsaqafah (kebudayaan), hadharah (kemajuan) dan tamaddun (peradaban). Dalam bahasa Melayu
istilah tamaddun dimaksudkan untuk menyebutkan keduanya yaitu kebudayaan dan peradaban
(LESF,2004.,h.7).
Peradaban (civilization) dapat diartikan sebagai hubungannya dengan kewarganegaraan
karena diambil dari kata civies (Latin) atau civil (Inggris) yang berarti seorang warga Negara
yang berkemajuan. Dalam hal ini dapat diartikan dengan dua cara (1) proses menjadi
berkeadaban, (2) suatu masyarakat manusia yang sudah berkembang atau maju. Berdasarkan
pengertian tersebut maka indikasi suatu peradaban adalah adanya gejala-gejala lahir seperti;
masyarakat yang telah memiliki berbagai perangkat kehidupan (Fyzee,1982.,h.7-11)
Peradaban adalah identik dengan gagasan tentang kemajuan sosial, baik dalam bentuk
kemenangan akal dan rasionalitas terhadap dogma maupun doktrin agama, memudarnya normanorma lokal tradisional dan perkembangan pesat ilmu pengetahuan alam dan teknologi. Secara
metafisis, peradaban juga berarti bahwa manusialah yang merupakan pusat alam semesta (man
centred universe) dan bukan Tuhan (God centred universe). Dalam perkembangan selanjutnya,
konsep peradaban kemudian diasosiasikan dengan kebangkitan negara-negara absolut, otonomi
politik lokal dan uniformitas kultural yang lebih besar dalam negara-negara itu. Segala hal,
berupa perbuatan dan pemikiran manusia tak bisa dilepaskan dari peradaban. Jadi, konsep
peradaban bersifat mencakup semua. Oleh karena itu, menjadi beradab adalah menjadi santun
dan berakhlak baik dan peduli pada orang lain, bersih dan sopan dan higienis dalam kebiasaan
pribadi dan sebagainya (Mennell, Norbert Elias, 1989.,h. 35).
Sebuah peradaban tinggi seharusnya bisa menjaga keagungan manusianya, memberikan
kepuasan terhadap fisik, estetika psikis, dan kreativitas manusianya. Oleh sebab itu, ia
meniscayakan adanya fleksibilitas yang saling menunjang antara manusia dan peradabannya.
Dari perspektif Bateson itu, kita bisa mengemukakan bahwa superioritas sebuah peradaban tidak
merupakan jaminan bahwa ia dan manusia pendukungnya memiliki pencitraan tinggi dan luhur.
Hal itu akan sangat ditentukan dan bergantung pada apa-apa yang menjadi pondasi dan tiang
penyangganya (Gregory Bateson, 1972).
18

Peradaban Islam sesungguhnya adalah suatu peradaban yang mempunyai kerangka


pedoman berdasarkan Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Kedua intisari
sumber ajaran Islam, al-Quran dan al-Hadits adalah seiring dengan perkembangan zaman dan
perluasan wilayah penyebaran Islam telah melahirkan sistem gagasan yang tumbuh melalui jalurjalur pemikiran ke-Islaman. Secara tradisional, jalur pemikiran yang mendorong gerak peradaban
umat Islam, ialah dibidang hukum (fiqh), teologi (tauhid) dan mistisisme (tasawuf) (LESF,
2004.,h.10).
Peradaban adalah manifestasi keyakinan dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dengan
demikian, peradaban Islam adalah manifestasi keyakinan Islam (tawhid) dalam setiap aspek
kehidupan Islam (Suharsono,dalam makalah 2006., h.3).
Peradaban Islam adalah membangun setiap aspek dan strategi kehidupan yang merupakan
manifestasi dari pada keyakinan atau iman (DPP, 2006).
Selanjutnya, teologi berbicara menyangkut aktivitas mental dan intelektual berupa
kesadaran manusia yang paling mendalam dalam menentukan pilihan-pilihan metafisisnya, yang
terkait dengan hubungannya dengan Tuhan, alam lingkungan dan sesamanya, yang kemudian
mewujud dalam tingkah laku nyata kesehariannya. Dengan demikian teologi dalam makna
fungsionalnya adalah suatu dorongan hati dan akal yang melahirkan kesadaran metafisis yaitu
suatu matra yang paling dalam dari diri manusia baik individu atau kelompok yang memformat
pandangan dunianya (world view), yang kemudian merefleksikan pola sikap dan tindakan yang
selaras dengan pandangan dunia. Oleh karena itu, teologi pada akhirnya akan mempunyai
implikasi yang sangat sosiologis, psikologis, antropologis bahkan politis (Agus Purwadi,
2002.,h.53).
Teologi berangkat dari keimanan terhadap sifat kebenaran mutlak bahan-bahan tekstual
kewahyuan-al-Quran dan al-Hadits. Para teolog membangun argumentasinya secara dialektis
berdasarkan keyakinan baik-buruk tekstual, dari situ berupaya mencapai kebenaran kebenaran
baru (Haidar Baqir, 2005, h.70).
Teologi adalah upaya sistematis untuk menampilkan, menafsirkan, dan membenarkan
kepercayaan pada Tuhan dengan cara yang konsisten dan bermakna (kamus filsafat,
1995.,h.341).
Teologi memiliki makna yang sangat luas dan dalam. Sedangkan yang dimaksud dengan
teologi dalam ruang lingkup filsafat metafisika adalah filsafat ketuhanan yang bertitik tolak
semata-mata kepada kejadian alam (teologi naturalis). Pemikiran kefilsafatan tentang ketuhanan
ini dengan meningkatkan keteraturan hubungan antara alam dan Pengatur alam tersebut.
(Sudarsono, 2001.,h.129).
Adapun Sistematika Nuzulnya Wahyu adalah rumusan pemikiran secara baku
berdasarkan urut-urutan turunnya wahyu (ayat-ayat) yang turun pada awal mula (al-Alaq, alQalam, al-Muzammil, al-Mudatsir) dan surah al-Fathehah (Wawasan Idiil, 1988).
Re-eksistensi Perdaban Islam dalam Teologi Sistematika Nuzulnya Wahyu adalah
Membangun kembali Peradaban Islam pada setiap aspek dan strategi kehidupan sebagai
manifestasi dari pada iman atau keyakinan yang tumbuh dari Sistematika Nuzulnya Wahyu (ayatayat) yang turun pada awal mula (al-Alaq, al-Qalam, al-Muzammil, al-Mudatsir) dan surah alFathehah.
Al-Quran tidak hadir ke dunia di ruang hampa peradaban. Penelusuran Fazlur Rahman
(1983) menunjukkan bahwa menurut al-Quran, ada sebuah diskontinyuitas yang esensial antara
peradaban yang tua serta mati dan peradaban yang datang menggantikannya. Dalam al-Quran,
pernyataan seperti "maka Kami ciptakan generasi baru" sering ditemui (lihat. QS 6:6, juga QS.
19

23:31), juga pernyataan bahwa "Kami akan mewariskan dunia kepada bangsa baru yang lebih
berhak" (QS. 21:105, juga QS. 33:27).
Sudah barang tentu, yang sesungguhnya mewarisi dunia ini adalah Allah sendiri, tetapi
Dia memberikan tanggung jawab untuk menangani masalah-masalah dunia ini kepada bangsabangsa yang berhak, selama mereka berkesanggupan (QS. 15:23, juga QS. 19:40). Dari sini bisa
ditegaskan lebih lanjut bahwa keniscayaan sebuah peradaban baru akan menggantikan peradaban
yang menjelang usang dan uzur, harus terlebih dahulu "memetik pelajaran" dari peradaban yang
telah dan menjelang musnah. Jika tidak, mereka akan mengulangi (lagi) siklus sejarah penciptaan
dan kehancuran yang sama, karena satu hal; "hukum Allah tidak akan pernah berubah" bagi
setiap bangsa dan peradaban.
Itulah sebuah "pandangan dunia Qurani", yang dalam konteks siklus peradaban manusia,
al-Quran terus-menerus menyuruh manusia (tidak hanya Muslimin) "Untuk berjalan di atas
bumi dan (dengan) menyaksikan (merenungkan sebab-musabab dan akibat-akibat yang
ditimbulkan dari) nasib yang telah menimpa bangsa-bangsa pemilik peradaban terdahulu" (QS.
3:137, 6:11 dan lainnya).
Tiba saatnya, para pencerah umat menggagas diskusi tentang peradaban khususnya
peradaban Islam yang akan membuktikan bahwa al-Quran adalah Mujizat yang dapat
mengungguli segala konsep pemikiran man centred. Oleh karena itu, mampukah para pemikir
Hidayatullah melahirkan pemikiran-pemikiran strategis yang bersumber dari konsep dasar
Sistematika Nuzulnya Wahyu? Salah satu pemikiran strategis itu adalah konsep peradaban Islam
yang dapat dijadikan rujukan semua pihak dalam membangun peradaban manusia yang tinggi.
Metodologi
Metode berasal dari bahasa Yunani methodos berarti melalui jalan, cara, arah. Metode
dapat pula diartikan sebagai uraian ilmiah penelitian, metode ilmiah. Metode juga dapat diartikan
sebagai cara bertindak menurut sistem aturan tertentu dengan tujuan agar aktivitas praktis dapat
terlaksana secara rasional dan terarah supaya dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya
(Sudarsono.2001,.h.86).
Kemudian bagaimana cara menyusun pengetahuan yang benar agar mendapatkan suatu
jawaban yang benar pula. Masalah inilah yang dalam kajian filsafat termasuk dalam wilayah
epistemologi dan landasannya adalah metode ilmiah. Metode ilmiah adalah cara yang dilakukan
ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Kemudian apa yang disebut dengan suatu
kebenaran itu? Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa
(ontologi), bagaimana (epistemoogi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun.
Ketiga landasan tersebut saling jalin berkelindan tak dapat dipisahkan antara satu sama lain.
Berdasarkan landasan ontologi dan aksiologi maka bagaimana mengembangkan epistemologi
yang cocok. Persoalan utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya
adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dan valid dengan memperhitungkan
aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Demikian juga, masalah yang dihadapi
epistemologi keilmuan yaitu bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab
permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan
mengontrol gejala alam.
Dengan berkembangnya metode ilmiah dan diterimanya metode ini sebagai paradigma
oleh masyarakat keilmuan, maka sejarah kemanusiaan menyaksikan perkembangan pengetahuan
yang sangat cepat. Metode ilmiah ini dipelopori oleh Copernicus (1473-1543), Kepler (15711630), Galileo (1564-1642) dan Newton (1642-1727), dan menurut Whitehead bahwa periode
20

antara 1870-1880 sebagai titik kulminasi perkembangan ilmu sejak Helmhoultz, Pasteur, Darwin
dan Clerk-Maxwell behasil mengembangkan penemuan ilmiahnya (Alfred N.
Whitehead.1948,.h.106, dalam Yuyun).
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.
Metode, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkahlangkah yang sistematis (Peter R. Senn. 1971,.h.4). Metodologi merupakan suatu pengkajian
dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut (ibid.,h.6). Metodologi ilmah
adalah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah.
Metodologi ini secara filsafati termasuk dalam apa yang disebut epistemologi. Epistemologi
merupakan pembahasan mengenai bagaimana untuk mendapatkan pengetahuan. Apakah sumbersumber pengetahuan? Apakah hakekat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap
mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia (William S. Sahakian. 1965.,h.3).
Berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan (T.H. Huxley. 1964., h. 2).
Dengan cara bekerja ini, maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan dapat mempunyai
karakteristik-karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah yaitu sifat rasional dan
teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang
dapat diandalkan. Dalam hal ini, metode ilmiah mengembangkan cara berpikir deduktif dan
induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya.
Terkait dengan aksiolgi peradaban Islam adalah sebagai entitas hidup dan kehidupan
manusia maka perpespektif pengetahuan yang akan dibangun adalah epistemologi pengetahuan
yang bersumber dari Wahyu al-Quran dan as-Sunnah. Metodologi seluruh pemikiran Islam salaf
bersumber dari sistem logika Aristotelian yang diterjemahkan oleh al-Farabi kedalam lmu
mantiq. Berbagai tesis filosofis didalam dunia Islam bersumber dari tradisi Platonian dan
Plotinos, sementara tesis-tesis filsafat Barat dibangun dari tesis Aristotelian. Akan tetapi,
referensi metodologis keduanya dapat dirujukkan pada tradisi logika Aristotelian.
Paling tidak sedikitnya ada lima aliran dalam filsafat Islam yang menggunakan metode
epistemologi untuk mendapatkan suatu kesimpulan (silogisme) dalam mencari tingkat suatu
kebenaran. Metode epistemologi yang digunakan oleh Teologi Dialektik hampir sama dengan
metode Peripatetistik yaitu bersifat deduktif-silogistik. Yaitu prosedur untuk mendapatkan dari
pemahaman baik-buruk suatu kesimpulan (silogisme) dari mempersandingkan dua premis
(pernyataan yang sudah disepakati terlebih dahulu nilai kebenarannya). Hanya saja Peripatetisme
proses silogistik tersebut didasarkan atau dimulai dari premis-premis yang telah disepakati
sebagai kebenaran yang tidak perlu dipersoalkan lagi (primary truth). Sedangkan Teologi
Dialektik bertolak dari pemahaman baik dan buruk yang menyebabkan teologi Islam disebut
sebagai bersifat dialektik yang dilandaskan pada kebenaran keagamaan (seperti halnya bahwa
Tuhan harus Maha Kuasa).
Adapun metode epistemologi yang digunakan oleh Illuminisme dan Sufisme atau Teosofi
(Irfan) adalah metode intuitif atau eksperiensial (pengalaman). Peran intuisi tidak hanya
ditemukan oleh para pemikir keagamaan saja, akan tetapi telah dilontarkan oleh Aristoteles
bahwa orang-orang yang bisa mencapai kesimpulan silogistik tanpa harus merumuskan
silogisme. Yaitu, tanpa harus melalui prosedur analitis penetapan premis-premis dan penarikan
kesimpulan berdasarkan penyandingan premis-premis tersebut. Intuisi ini, dalam khazanah
filsafat Islam diidentikkan dengan hati (qalb, fuaad, ruuh, sb). Namun demikian, prinsip dasar
Illuminisme juga Sufisme adalah mengetahui sesuatu adalah untuk memperoleh suatu
pengalaman tentangnya, yang berarti intuisi langsung atas hakekat sesuatu. Dengan demikian,

21

pengetahuan eksperiensial tentang sesuatu dianalisis secara diskursif (logis) demonstrasional


(burhan) diraih secara total, intuitif dan langsung (immediate).
Adapun perbedaan Illuminisme dengan Sufisme atau Irfan (teosofi) antara lain adalah
bahwa keduanya mengandalkan pengalaman langsung, akan tetapi Illuminisme percaya bahwa
pengungkapan pengalaman tersebut dapat melalui diskursif-logis (metode ilmiah) yang mana hal
ini juga diyakini oleh aliran filsafat Hikmah bahkan lebih ekstrem lagi yaitu segala pengalaman
intuitif harus dapat diungkapan secara diskursif-logis untuk kepercayaan verifikasi publik
(Haidar Baqir,2005.,h.84-99).
Epistemologi berarti pengetahuan yang sering disebut teori pengetahuan (theory of
knowlege). Persoalan sentral epistemologi adalah mengenai persoalan apa yang didapat kita
ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya, what can we know and how do we know it (Lacy:
1976, dalam Suhartono.2005.,h.157). Dalam epistemologi terdapat beberapa perbedaan
mengeanai teori pengetahuan. Hal ini disebabkan karena setiap ilmu pengetahuan memiliki
potensi obyek, metode, sistem dan tingkat kebenaran yang bebeda-beda. Perbedaan itu terletak
pada sudut pandang dan metode yang bersumber dari rasionalisme dan empirisme. Dengan
demikian, epistemologi merupakan suatu bidang filsafat nilai yang mempersoalkan tentang
hakekat kebenaran, karena semua pengetahuan mempersoalkan tentang kebenaran. Proses
metodis dalam rangka memperoleh kebenaran, secara epistemologis harus ditopang oleh sistem,
yaitu adanya hubungan yang teratur dan konsisten diantara bagian-bagian sehingga membentuk
suatu keseluruhan yang utuh.
Epistemologi Bayani (dalil agama) adalah model atau cara memperoleh pengetahuan
melalui pendekatan terhadap batin teks : al-Quran dan as-Sunnah. Apa yang disebut berpikir
hanya merupakan tindakan atau penjelasan bagaimana seseorang mesti berbuat berdasarkan teks
al-Quran dan as-Sunnah. Rasio dalam hal ini hanya sebagai pengawal atau pembuka secara
langsung atau tidak langsung (penalaran) secara bebas tetapi tetap bersandar pada teks.
Sedangkan model metodologi Irfani (dalil spiritual), berpikir yang didasarkan pada pendekatan
pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan, yang mengungkapkan pengetahuan yang
diperoleh melalui penyinaran hakekat Tuhan kepada hamba-Nya (kassyaf), latihan (riyaadhah)
dan kesungguhan (mujahadah). Adapun metode burhani (dalil logika), merupakan pendekatan
yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman, akan tetapi didasarkan pada pemikiran dan
kekuatan rasio atau akal yang dilakukan melalui dalil-dalil logika (Sumarna.2005.,h.160).
Dua sumber ajaran Islam yaitu al-Quran dan Sunnatullah. Jika wahyu pertama dibacakan
Jibril atau bentuk lain, wahyu kedua adalah segala yang wujud ciptaan Allah Swt yang berupa
benda mati, tumbuhan, hewan, manusia dan makhluk ghaib. Semua ciptaan ini mempunyai
kaidah keberadaannya sendiri yang lebih dikenal sebagai sunnatullah atau prinsip-prinsip dasar
keberadaan yang juga disebut hukum alam.
Wahyu pada ranah pertama dipahami dengan menafsirkan teks secara eksploratif, dan
wahyu ranah kedua dipahami dengan melakukan deskripsi, eksplorasi, dan eksperimentasi secara
sistematis. Bertolak dari kedua pemahaman tersebut, lahirlah dua bagian ilmu paling dasar yaitu;
ilmu tekstual tentang segala ciptaan dalam bentuk teks, dan ilmu kontekstual tentang segala
ciptaan yang empiris. Kedua ilmu itu disatukan dalam filsafat dengan segala tingkatannya. Oleh
karena itu, filsafat sebagai akar ilmu tersusun dalam suatu hierarkhis yang meletakkan metafisika
sebagai dasar yang dari padanya lahir berbagai cabang ilmu pengetahuan (teologi, ontologi,
fisika, kosmologi, aksiologi, etika, aestetika, logika, epistemologi, dlsb).
Sesuai dengan sifat dasarnya bahwa kebenaran keseluruhan jenis ilmu di atas adalah
relatif dan belum final. Hanya Allah Swt dan firman-Nya yang bersifat final. Akan tetapi fungsi
22

dari segala ilmu itu ialah panduan bagaimana manusia hidup dalam hubungan dengan segala
benda mati, tumbuhan, hewan dan manusia serta makhluk ghaib dan khususnya hubungan
dengan Allah Swt. Dan, perlu diketahui bahwa puncak metafisika itulah terletak keberadaan ilmu
tentang Yang Maha Ghaib (Allah Swt). Ilmu tauhid hanyalah sebuah penghampiran atas obyek
Maha Ghaib (Allah Swt) yang hanya bisa diteruskan dengan proses yang disebut hudhuri
(unspeakable), yaitu kesatuan subyek dan obyek, seperti yang ditempuh oleh Suhrawardi alMaqtul dan Immanuel Kant.
Jika eksplorasi pengetahuan dilakukan untuk mencari dasar atau pondasi re-eksistensi
peradaban Islam secara tekstual dan operasional hendaknya dilakukan suatu pendekatan historis
yaitu Sirah Nabawy. Secara epistemologis berakar dari pada teks Nuzulnya Wahyu pada awalawal turunnya di Makkah. Epistemologi re-eksistensi peradaban Islam pada era ini menduplikasi
sebagaimana Nabi Muhammad Saw meletakkan dasar peradaban Islam pada awal mula.
Pemikiran ini pula yang diadopsi oleh Suhrawardi al-Maqtul yang telah mengklaim dirinya
sebagai pemersatu peradaban yang sempurna. Dalam pengembaraan pemikirannya untuk
menemukan suatu kebenaran mutlak ia mencari sampai kepada sumber yang paling awal.
Menurutnya, bahwa hikmah kebenaran itu satu, abadi, dan tidak terbagi-bagi. Bahkan ia
menyarankan kepada semua orang agar mengikuti cahaya hikmah dimana saja, kapan saja
cahaya itu menyinarinya, yang disebut al-hikmah al-laduniyah. Adapun sebagai metode
pendekatan untuk mendapatkan pengetahuan ia membaginya kedalam dua metode yaitu metode
hushuuli dan metode hudhuri (Amroeni,2005.,h.30-135).
Sistematika nuzulnya Wahyu berupa penggalan ayat-ayat yang turun di Makkah seperti
penggal lima ayat pertama surah al-Alaq, penggal tujuh ayat surah al-Qalam, penggal 10 ayat
surah al-Muzammil, penggal tujuh ayat surah al-Mudatsir, dan surah al-Fathehah, adalah sebagai
kerangka dasar berpikir sistemik untuk mewujudkan suatu peradaban. Jika dan hanya jika alQuran dan as-Sunnah dijadikan sebagai landasan pemikiran (unspeakable) dan aksi (speakable)
peradaban Islam yang komprehensif dalam membangun tatanan nilai hidup dan kehidupan yang
tumbuh dari suatu ideologi (iman) yang implementasinya diyakini akan mendatangkan
kebahagiaan, tentu saja diskusi ini harus bertolak dari person changer sebagai subyek atau agen
perubahan.
Selanjutnya, ontologi adalah bidang kajian spesifik tentang benda mati, tumbuhan, hewan,
manusia, dan makhluk ghaib yang pada umumnya dikaji dalam metafisika. Misalnya, tauhid
merupakan derivasi teologi, sementara ilmu ke-Islaman yang lain berposisi sejajar dengan ilmu
alam, sosial, humaniora, dlsb. Letak bedanya jika ilmu ke-Islaman dibangun secara deduktif dari
data verbal al-Quran dan as-Sunnah, maka Purwadi. 2002). Mengingat tauhid adalah merupakan
derivasi teologi yang akan membahas tentang causa prima sebagai dasar lahirnya akar peradaban
Islam maka sumber utama kajian peradaban Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah. Secara
ontologis diskusi akan bertolak dari realita umat Islam yang secara politis terpuruk posisinya dan
terjadi gap atau kesenjangan yang sangat dalam antara visi ajaran al-Quran dan as-Sunnah
dengan realita masyarakat Islam di seluruh dunia kini. ilmu alam, sosial, humaniora
(sunnatullah) dibangun dari data kuantitas alam, sosial, budaya dalam proses induktif
Pembahasan
Pada tataran yang luas, dalam sejarah manusia peradaban-peradaban besar umumnya
identik dengan agama-agama besar dunia, dan orang-orang yang memiliki kesamaan etnis dan
bahasa namun berbeda agama bisa saja saling membunuh satu sama lain. Statemen ini

23

melahirkan peradaban plural yang ujungnya adalah agama adalah sama, bahkan tidak perlu lagi
agama sehingga lahir pemikiran suatu peradaban universal. Itulah jati diri Kapitalis.
Kemudian untuk apa agama diturunkan ke dunia ? Para pakar peradaban seperti; Oswald
Spengler, Max Weber, Emile Durkheim, Marcel Mauss, Alfred Weber, Carol Quigley, Rushton
Coulborn, Fernand Braudel, Toynbee, dlsb. sependapat bahwa akar peradaban adalah agama.
Bahwa orang-orang yang memiliki kesamaan ras dapat benar-benar terpisahkan melalui
peradaban, dan orang-orang yang memiliki perbedaan ras dapat dipersatukan oleh peradaban.
Utamanya melalui dua agama besar yaitu; Islam dan Kristen yang mampu melindungi dan
menaungi kelompok-kelompok masyarakat yang berasal dari pelbagai suku bangsa. Pembedaan
krusial antara pelbagai golongan-golongan manusia berkaitan dengan nilai-nilai, keyakinankeyakinan, institusi-institusi, dan struktur-struktur sosial mereka, bukan pada ciri-ciri pisikal
mereka.
Berdasarkan statemen para pakar peradaban tersebut, maka fokus diskusi peradaban ini
adalah peradaban Islam. Para sarjana besar peradaban mengakui bahwa keberadaan Islam
sebagai suatu peradaban tersendiri. Peradaban Islam terlahir dari semenanjung Arabia pada abad
ke VII M, dan menyebar keseluruh Afrika Utara, semenanjung Iberia, Asia Tengah, Anak Benua
dan Asia Tenggara. Peradaban Islam dibangun atas dasar Wahyu al-Quran dan as-Sunnah
Rasulullah Muhammad Saw. Bertolak dari kedua sumber dasar tersebut lahir suatu peradaban
Islam yang komprehensif. Tampaknya, peradaban Islam itu sebuah refleksi atas pemahaman
terhadap penggal ayat-ayat al-Quran yang diturunkan pada awal mula. Dari sinilah segala ilmu
(metafisika dan fisika) dibangun. Dengan demikian, dasar ilmu pengetahuan dan sains
hendaknya mempunyai hubungan erat dengan ajaran Islam, sehingga tidak ada lagi dikotomi
antara ilmu agama dan umum. Hal ini demi memastikan agar kemajuan sains dapat
mendatangkan kebaikan bukan keburukan.
Suatu peluang yang sangat strategis jika dilihat dari sudut pandang strategi anti decline
yang menurut istilah Charles Handy (1994) bahwa perubahan mengikuti kurva S (Sigmoid
Curve) yaitu segala sesuatu pasti melalui pasang surut dalam siklus kehidupan termasuk
didalamnya suatu peradaban. Bagi orang yang berpikir strategik, didalam benaknya senantiasa
berpikir suatu perubahan. Dan, perubahan itu sendiri merupakan mindset yaitu berpikir
antisipatif agar segala sesuatu yang telah dicapai itu tidak terjadi decline. Mengapa decline
peradaban Islam pasca Rasulullah Muhammad Saw dan Khulafaur Rasyidin yang bakal terjadi
tidak diantisipasi oleh para khalifah Bany Abbasiyah dan Umayah ? Dan, yang lebih penting dari
itu semua apa yang harus dilakukan oleh umat Islam saat ini dalam upaya mengembalikan
eksistensi peradaban Islam? Apa konsep yang tepat sebagai rujukan membangun peradaban
Islam dewasa ini? Perspektif peradaban Islam apa dan bagaimana yang akan dibangun?
Pertanyaan-pertanyaan diatas men-stressing pada pernyataan pertanyaan (statement
questions) tentang peradaban Islam yang akan dibangun. Oleh karena itu, jika sependapat bahwa
peradaban Islam dibangun diatas Wahyu al-Quran dan as-Sunnah, tentu saja ayat-ayat awal
surah al-Alaq (1- 5) merupakan fondasi lahirnya peradaban Islam yang dimulai dari pada
pencerahan tata nilai dasar peradaban Islam, yaitu tauhid / aqidah / ideologi.
Bagi kaum muslimin atau ideolog muslim dewasa ini sudah saatnya untuk berpikir
rekonstruksi fondasi peradaban Islam untuk mengentaskan krisis eksistensi manusia . Dalam
kerangka ini, INISIASI hendaknya memberikan kontribusi penting dengan menawarkan
pandangan dunia (world view) yang utuh, holisitik, dan penuh makna kepada manusia modern,
baik dalam kajian epistemologi, metafisika, etika, kosmologi, dan psikologi yang merupakan
manifestasi nilai tauhid. Pada sifat-sifatnya yang seperti inilah diharapkan manusia dapat
24

memperoleh kembali pegangan hidup yang hakiki yang bersamanya pula dapat memuasi
tuntutan intelektual dan spiritualnya.
Dari uraian diatas, paling tidak ada tiga manfaat yang dapat diperoleh dengan
mengembalikan tauhid sebagai dasar sistem kehidupan, diantaranya adalah; (1) intelektual dapat
memajukan sikap kritis dan analitis terhadap sistem kehidupan yang ada, (2) mendorong kaum
muslimin agar memahami kompleksitas pesoalan dalam upayanya membangun sistem-sistem
kehidupan Islami, (3) penguasaan isue-isu filosofis mendasar untuk mengakhiri perbedaan.
Proses dialog yang digalakkan dalam diskusi ini adalah membahas masalah-masalah eksistensi
sehari-hari yang umumnya bersifat fisikal dan inderawi ke dunia lain yakni didalamnya
pengertian agama dan keimanan beroperasi. Kenyataan inilah yang dapat mendekatkan diri kita
kepada (pengetahuan) tentang elemen-elemen keimanan termasuk tentang Tuhan (ALLAH
SWT), Malaikat, Nabi dan Rasul, Hari Akhir, dan sebagainya. Dalam konteks keimanan bahwa
Tuhan sebagai pusat keimanan merupakan misteri yang mengandung kedahsyatan (misterium
tremendum). Aspek ketuhanan ini sangat penting sebagai sarana menimbulkan ketaatan dan
penghambaan kepada hukum Tuhan diantara para penyembah-Nya. Namun Tuhan juga memiliki
aspek pesona dan rasa cinta (fascinosum) kepada semua hamba-Nya. Oleh karena itu, kajian
dasar peradaban Islam harus dan hanya dimulai dari misteri puncak (the ultimate mystery) yaitu
mengenal Tuhan (marifatullah atau gnosis).
Pelaku utama sebagai peletak pondasi peradaban yang bertolak dari ajaran tauhid adalah
para Nabi dan Rasul. Para ahli peradaban dunia telah mengakui bahwa peletak dan penegak
peradaban Islam adalah Nabiullah Muhammad Saw. Pada saat ini merupakan moment strategis
bagi ideolog Islam merekonstruksi ajaran tauhid sebagai basis re-eksistensi peradaban Islam.
Metodologi yang tepat sebagai sarana pendekatan adalah Sistematika Nuzulnya Wahyu (SNW)
dengan benchmark sirah Nabawiyah.
Sistematika Nuzulnya Wahyu
Adalah suatu keberanian yang sangat menantang. Mendefinitifkan bahwa peradaban
Barat saat ini sudah sekarat merupakan statemen yang mengundang kontroversial ditengah
internal dan eksternal umat Islam. Statemen ini juga suatu keberanian para futurolog Muslim
yang berpikir antisipatif untuk mengisi chaos peradaban Barat. Indikator sekaratnya peradaban
Barat diantaranya adalah sikap memaksakan diri untuk eksis tunggal didunia. Menurut hukum
life cycle of organization bahwa kondisi peradaban Barat sudah pada puncaknya sehingga
decline secara frontal terjal atau gradual tinggal menunggu waktu yang tepat.
Seusai pasca perang dingin berakhir, arah kebijakan politik agen peradaban Barat adalah
melakukan represif dinegara-negara yang dianggap reval. Setelah Komunis dinyatakan ambruk
berkeping, yang menjadi sasaran utama adalah Islam. Fakta membeberkan bahwa penyerangan
terhadap Afghanistan, penjajahan terhadap Irak, serta intervensi politik di berbagai negara yang
dilakukan Amerika dan sekutunya adalah representasi peradaban Barat yang berperilaku biadab
menjelang sekarat. Kebiadaban itu, akan lebih mempercepat proses decline nya Amerika dan
sekutunya yang suatu saat kondisinya akan dibawah duli kehinaan. Jika mereka tidak beriman
kepada Allah Swt.
Perspektif ajaran Islam menawarkan kepada dunia bahwa hanya dengan Islam dunia ini
akan damai, sejahtera seperti yang telah dibuktikan oleh para pelaku sejarah peradaban Islam
sejak zaman Nabiulah Muhammad Saw hingga Turki Usmani. Mengingat peradaban Islam telah
membuktikan eksistensinya sebagai suatu sistem hidup dan kehidupan yang berdimensi dunia
dan akhirat, maka umat Islam tidak gentar menghadapi segala risiko yang akan terjadi sebagai
25

proses re-eksistensi peradaban Islam abad ini. Bagi umat Islam, dunia bukanlah tujuan akhir,
tetapi merupakan media transit menuju dunia baru yaitu akhirat yang kekal dan abadi. Oleh
karena itu, berjuang atau tidak, mati pasti terjadi sehingga bagi umat Islam mati itu merupakan
suatu hal yang biasa bahkan diidamkan untuk mati yang lebih mulia yaitu mati Syahid, demi
eksistensi peradaban Islam.
Konsep dasar peradaban Islam yang dapat mengantarkan pelakunya untuk rela berkorban
segala yang dimiliki adalah Sistematika Nuzulnya Wahyu. Keikhlasan dan kematian dalam
syahid merupakan rabuk perjuangan tegaknya peradaban Islam. Adapun strategi mengeksplorasi
konsep peradaban Islam tersebut diperlukan keseriusan para ideolog Islam untuk terus menggali
kedalaman makna al-Quran dan as-Sunnah dengan benchmark sirah nabawiyah. Untuk itu,
ditawarkan kepada seluruh audiensi bahwa strategi pencapaian eksisnya peradaban Islam yang
dibangun bertolak dari penggal ayat-ayat pertama turun di Makkah dengan judul sebagai
berikut : (1) Al-Alaq : Filosofi Peradaban Islam, (2) Al-Qalam : Visi, Misi, Strategi Peradaban
Islam, (3) Al-Muzammil : Spirit Peradaban Islam, (4) Al-Mudatsir: Manajemen Strategi
Peradaban Islam, (5) Al-Fatehah: Existensi Peradaban Islam.
Kesimpulan
Bahasan tentang peradaban adalah merupakan masalah yang sangat besar dan
mendasar. Oleh karena itu, diperlukan konsentrasi diskusi yang intensif dan fokus, sehingga akan
melahirkan suatu konsep peradaban Islam yang dapat dijadikan rujukan oleh semua pihak.
Peradaban Islam sebuah keniscayaan yang harus dibangun kembali sebagai
indikator bangkitnya Islam jilid dua pada milenium III. Dengan demikian, diperlukan strategi
kebangkitan itu sendiri.
Mengingat peradaban Islam yang akan dibangun, tentu saja harus ditentukan
perspektif peradaban Islam yang bagaimana dan apa serta siapa standard peradaban itu ?
Perlu ditetapkan tujuan membangun peradaban Islam agar supaya semua aktivitas
diskusi dan aksi serta proses implementasi konsep peradaban tidak bias.
Anggaran diskusi peradaban adalah tidak terbatas (unlimited) karena besarnya
cakupan konsep dan implementasi peradaban itu sendiri. Sehingga, diperlukan kreasi atau
innovasi untuk mencari sumber dana yang dapat membiayai diskusi dan implementasi hasil
diskusi.
[1] http://www.hidayatullahbontang.or.id/
[2] http://www.eramuslim.com/berita/info-umat/kuliah-dan-asrama-gratis-dari-hidayatullah.htm
[3] http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Palu&id=56982#top
[4] Pernah disampaikan pada acara eksplorasi gagasan tentang Peradaban Islam di Pusat Dewan
Pimpinan Hidayatullah, Jakarta 10 Maret 2008 oleh Dr. Abdul Mannan, Ketua Umum DPP
Hidayatullah.
[5] Adalah lembaga Kajian yang dibentuk oleh Dewan Eksekutif Hidayatullah pada tahun 1999.
http://fahmi-assaifi.blogspot.co.id/2013/11/kajian-ormas-hidayatullah.html

26

Anda mungkin juga menyukai