Anda di halaman 1dari 22

PROBLEMATIKA MANAJERIAL PESANTREN

Makalah disusun guna memenuhi tugas kuliah Kapita Selekta Pendidikan


Pesantren

DOSEN PENGAMPU :

Dr. Muhammad Isa Anshory

Disusun oleh :
Agus Saripudin
NIM : 235007066

PROGRAM PASCASARJANA (S2)


INSTITUT ISLAM MAMBA’UL ‘ULUM (IIM) SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

I
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam shalawat dan salam semoga
tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad Saw, keluarga dan para shahabatnya.
Penulis bersyukur kepada Allah yang maha Esa karena bisa menyelesaikan
penulisan makalah ini. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Kapita Selekta Pendidikan Pesantren.

Makalah ini berisi materi tentang Problematika Manajerial Pesantren,


dimana Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam paling tua di
Indonesia ini memiliki pola manajerial yang unik. Dalam perkembangannya,
konsep manajemen kadang berbeda dengan apa yang selama ini berjalan di
pesantren, sehingga banyak kalangan yang mengkritisi pesantren dan menganggap
pesantren tidak mengikuti perkembangan. Tapi, sampai saat ini pesantren masih
banyak memberikan sumbangsih untuk kebaikan dan kemaslahatan bangsa ini
dengan terus melahirkan alumni-alumni yang berperan aktif dalam pembinaa,
pendidikan dan dakwah Islam.

Dengan selesainya tugas ini penulis menghaturkan banyak terima kasih


kepada dosen pengampuh mata kuliah kapita selekta pendidikan pesantren atas
segala motivasi dan bimbingannya dalam penyelesaian makalah ini.

Kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan terutama dapat
memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Surakarta , Juni 2023

Penulis

II
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .…………………………………….………. i


KATA PENGANTAR …………………….……………………… ii
DAFTAR ISI ....……………………………………………........ iii 
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………… 1
C. Tujuan …………………………………………………….. 2

D. Kegunaan dan Manfa’at …………………………………... 2

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian ………………………………………..…….……. 3
B. Problematika Manajerial Pesantren ……………….………... 4
1 Nilai-nilai salaf yang harus di pertahankan di pesantren … 4
2 Unsur-unsur Modernitas yang perlu diakomodasikan Pesantren
Masa Depan ………………………………..…………….. 8

3 Problem-problem Manajerial Pesantren ………………… 10

BAB III : KESIMPULAN DAN SARAN ……………………. 17

A. Kesimpulan ……………………………………………... 17
B. Saran ……………………………………………………. 17

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………… 19

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari


pembicaraan tentang pesantren. Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia. Bahkan sebelum islam masuk ke nusantara ini pesantren
sudah ada. Menurut Nurcholis Madjid, (Nurcholis, 1997: 3) secara historis
pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman tetapi juga
mengandung makna keaslian (indigenous) Indonesia. Jadi pesantren
merupakan hasil penyerapan akulturasi kebudayaan Hindu-Budha dan
kebudayaan Islam kemudian menjelma menjadi suatu lembaga yang kita
kenal sebagai pesantren sekarang ini.

Sampai sekarang pesantren dengan segala kekhasannya masih eksis


sebagai lembaga dan sentral perkembangan pendidikan Islam. Keberadaan
pesantren masih mendapat respon positif dari masyarakat karena pesantren
mampu memberikan nilai tambah di lingkungan masarakat, ini terbukti
pesantren telah banyak melahirkan manusia-manusia beriman, berilmu dan
mampu merubah perilaku dan mental.

Seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi di era


globalisasi ini pesantren dituntut untuk menyesuaikan diri dan mengikuti
perkembangan tersebut. Sekian kekhasan pesantren kadang di dalamnya
menyimpan problematika yang harus diselesaikan sehingga tidak menjadi
hambatan dalam mengikuti perkembangan zaman. Diantara problem yang
banyak dihadapi oleh beberapa pesantren saat ini adalah problem manajerial.

B. Rumusan Masalah

Sebagai penegasan dan untuk memfokuskan pembahasan dalam


makalah ini penulis membuat rumusan dengan beberapa pertanyaan berikut

1 Apa saja nilai-nilai baku yang menjadi kekhasan Pesantren, yang harus
dijaga dan dipertahankan

1
2 Apa saja nilai-nilai baru yang perlu diakomodir pesantren dalam rangka
meningkatkan kualitas manajerial pesantren.

3 Apa saja problem-problem yang dihadapi pesantren dalam menjalankan


manajemen pengelolaan pesantren.

C. Tujuan

Tujuan kajian ini adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjadi


rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu :

1 Mengethui nilai-nilai baku yang menjadi kekhasan Pesantren, yang harus


dijaga dan dipertahankan

2 Mengetahui nilai-nilai baru yang perlu diakomodir pesantren dalam


rangka meningkatkan kualitas manajerial pesantren

3 Mengetahui problem-problem yang dihadapi pesantren dalam


menjalankan manajemen pengelolaan pesantren.

D. Kegunaan dan manfaat

Semoga paparan ini bisa berguna dan bermanfaat baik secara teoritis
maupun praktis. Secara teoritis menjadi bahan tambahan rujukan dalam
kajian yang lebih mendalam bagi para akademisi. Secara praktis menjadi
tambahan bahan petunjuk bagi para praktisi dunia pesantren dalam
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi di pondok pesantren.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Peroblematika merupakan kata turunan yang terbentuk dari kata


problem. Kata problem sendiri diartikan sebagai (1) persoalan, (2) masalah.
Problematika merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menunjukkan
suatu permasalahan yang harus dipecahkan (KBBI, 2008:1215). Yang
dimaksud dengan problematika adalah suatu kesenjangan antara harapan dan
kenyataan yang membutuhkan penyelesaian atau pemecahan. Masalah
diartikan sebagai suatu hal yang menghalangi tercapainya tujuan (Suharso,
2009).

Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) Manajerial diartikan


dengan hal-hal yang berhubungan dengan manajer dan pekerjaannya. Adapun
manajer dartikan dengan dua pengertian yaitu: (1) orang yang mengatur
pekerjaan atau kerja sama di antara berbagai kelompok atau sejumlah orang
untuk mencapai sasaran; (2) orang yang berwenang dan bertanggung jawab
membuat rencana, mengatur, memimpin, dan mengendalikan pelaksanaannya
untuk mencapai sasaran tertentu. Sedangkan pekerjaan dari manajer
diistilahkan dengan manajemen.

Manajemen adalah proses pengorganisasian, pengaturan,


pengelolaan SDM, sampai dengan pengendalian agar bisa mencapai tujuan
dari suatu kegiatan.

Adapun pesantren berasal dari kata santri dengan ditambahkan


awalan pe dan akhiran an yang mengandung arti asrama tempat santri atau
tempat murid-murid belajar mengaji dan sebagainya. Sedangkan kata santri
itu sendiri dalam KBBI diartikan: (1) orang yg mendalami agama Islam; (2)
orang yg beribadah dengan sungguhsungguh; orang yg saleh.

Menurut Imam Bawani pesantren atau pondok pesantren adalah


sebuah komplek atau lembaga pendidikan di situ ada seorang kyai sebagai

3
pengasuh atau pemimpin utamanya dan ada santri yang belajar serta tinggal di
kawasan tersebut sebagaimana yang ada sekarang ini.

Setelah kita uraikan pengertian tiga kata tersebut maka


Problematika manajerial Pesantren maksudnya adalah persoalan-persoalan
atau masalah-masalah yang harus diselesaikan terkait dengan
pengorganisasian, pengaturan, pengelolaan sampai dengan pengendalian
SDM yang ada di Pesantren agar bisa mencapai tujuan dari pesantren tersebut

B. Problematika Manajerial Pesantren

Sejak berdirinya pondok pesantren pada abad yang sama dengan


masuknya islam hingga sekarang. Pesantren telah bergumul dengan
masarakat luas. Pesantren telah berpengalaman dengan berbagai corak
masarakat dalam rentang waktu itu dan pesantren tumbuh berkembang
bersama dan atas dukungan mereka.

Sebagaimana diketahui, bahwa globalisasi meniscayakan terjadinya


perubahan di segala aspek kehidupan, termasuk perubahan orientasi, persepsi,
dan tingkat selektifitas masyarakat Indonesia terhadap pendidikan. Maka,
pesantren dituntut untuk bisa menyesuaikan dengan tuntutan persaingan
global. Memegang teguh prinsip-prinsip dasar yang akan menguatkan
pergerakan pesantren tetap di atas jalan Islam yang lurus adalah sebuah
keharusan. Namun pesantren juga harus bisa mengikuti perkembangan zaman
sehingga ia tetap berada dalam fungsinya sebaga lembaga pendidikan,
dakwah dan pembinaan umat.

Al-Muhafadlatu ‘ala al-qadim al-sholeh wal al-ahdu bi al-jadid al-


aslah. Adagium ini sangat terkenal di kalangan para ulama, santri,dan dunia
pesantren. Ia menjadi salah satu pegangan dan rujukan mereka dalam banyak
hal dan berbagai persoalan. Adagium ini bermakna mempertahankan nilai-
nilai lama yang baik dan menginovasikan nilai-nilai baru yang lebih baik.

1 Nilai-nilai salaf yang harus di pertahankan di pesantren.

a) Niat awal dan tujuan utama mendirikan pesantren

4
Dalam mendirikan dan mengelola pesantren, para ulama dan santri
selalu berniat semata-mata untuk ibadah kepada Allah. Tinjauan
utama mereka untuk melaksanakan dakwah sebagai kelanjutan
risalah yang telah di rintis para Nabi. Melalui pendidikan di
pesantrenya, mereka bermaksud untuk mencetak umat yang
berkualitas terbaik (khairo ummah) dan menyiapkan kader-kader
ulama atau pemimpin umat yang mendalami dan mengusai
agamanya (mufaqqih fiddin), agar kelak mampu mengingatkan dan
memberdayakan kaumnya (indzaru al-qoum).

b) Elemen Fungsional Pesantren.

Paling tidak ada 7 elemen fungsional yang ada di pesantren yang


menjadi ciri has dan rukun pesantren, yaitu :
1) kyai, adalah tokoh sentral pesantren yang bukan saja fungsional
sebagai pemimpin dan manager bagi pesantren, tapi sekaligus
sebagai penekan kekuasaan moral (moral force) yang shiddiq,
amanah, cerdas, dan komunikatif, seorang yang ‘alim (mufaqqih
fiddin) yang berwibawa, di percaya, dihormati, di segani, serta
di ta'ati oleh seluruh penghuni pondok dan masyarakat
sekitanya.
2) Santri, yaitu pemuda/i yang sengaja datang ke pesantren untuk,
mencari ilmu dan mengikuti pendidikan yang di programkan
atau yang di tawarkan oleh kyai.
3) Masjid/musholla, sebagai pusat kegiatan ibadah dan pendidikan
pengajaran sehari-hari.
4) Asrama/pemondokan santri yang pada dasarnya dibangun dan di
kelola sendiri oleh para santri secara gotong royong, di bantu
oleh masyarakat sekitar pesantren.
5) Roh/jiwa pesantren, yang berpijak pada nilai agama Islam dan
bersumber dari budaya bangsa dan budaya masyarakat sekitar
pesantren (indigenous).

5
6) Pendidikan dan pengajaran Islam yang bersumber dari alQuran,
al-Hadits, dan kitab-kitab warisan ulama salaf yang biasa
dikenal dengan kitab kuning.
7) Dukungan masyarakat sekitar yang sejak awal memang
menginginkan berdirinya pesantren di lingkungan mereka.
Ketujuh elemen tersebut saling berjalin berkelindan dan
tidak bisa dipisahkan yang satu dengan yang lainya. Apabila salah
satu dari elemen-elemen tersebut tidak ada, maka sebuah lembaga
pendidikan tidak bisa lagi disebut pondok pesantren, tetapi
barangkali sekedar menjadi sekolah yang di asramakan, tempat kos-
kosan, penampungan, atau hotel penginapan.

c) Nila-nilai Dasar Pesantren.

Para ulama dari santri salaf senantiasa berpijak di atas, dan


berpegang teguh pada nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip
kepesantrenan yang bersumber dari ajaran Islam, budaya bangsa dan
budaya lokal. Nilai nilai dasar tersebut antara lain:

1) keikhlasan; yaitu suasana jiwa yang bersih dan bebas


dariberbagai pamrih atau yang suci, luhur dan bermakna. Secara
implementatif ikhlas berarti melakukan yang terbaik dalam
bidang apapun, kepada siapapun dan dalam keadaan
bagaimanapun sepi ing pamrih rame ing gawe, dalam segala hal,
para kyai dan santri salaf selalu ikhlas lillahi ta'ala, semata-mata
mengharap ridhonya. Ini tercermin dalam sikap jujur, amanah,
istiqomah, sungguh-sungguh, penuh integritas, dan sifat-sifat
atau akhlakul karimah lainya.

2) Kesederhanaan; adalah sikap yang wajar, apa adanya, tidak


mewah, tidak berlebihan dan tidak melampaui batas. Sederhana
artinya melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuan yang dia
miliki dan kebutuhan (bukan keinginan) yang logis dan
proporsional. Sederhana bukan berarti miskin dan stagnan, tetapi
jusru menjadi pendorong untuk lebih maju dan berkembang.

6
Kasederhanaan para kyai dan santri salaf nampak dalam segala
aspek, baik dalam berpikir, berperasaan, dan berkemauan,
maupun dalam berbicara, berpakaian, dan bertingkah laku.

3) Kemandirian (pada hakeketnya merupakan implementasi dari


niai-nilai tauhid yang sebenarnya), para kyai dan santri salaf
adalah orang-orang yang berkepribadian terpuji, percaya pada
diri sendiri, mampu menolong diri sendiri, tidak tergantung pada
orang lain, selain pada kemampuanya sendiri, setelah taufiq,
hidayah, ma'unah dan rahmat Allah swt.

4) Kebersamaan; suasana kehidupan para kyai dan sanri salaf


diliputi oleh rasa diri satu, suasana gotong royong, kooperatif
dan tidak egoistis, menegakkan jama'ah dan saling membantu
(ta'awun 'alal birri wattaqwa), atas dasar ukhuwah islamiyah
yang sebenarnya, tanpa menghilangkansuasana kompetitif
dalam kebaikan.

5) Kebebasan yang positif, bebas dari belenggu-belenggu hawa


nafsu dan setan, seperti belenggu kebodohan, kemiskinan, sifat
malas, sombong, kecil hati, putus asa, fanatisme buta, dll, serta
bebas dari tekanan-tekanan pihak manapun yang merugikan.
Para kyai dan santri salaf merasa bebas untuk memilih yang
paling baik dan paling bermanfaat dalam bidang apapun, atas
dasar kriteria-kriteria yang benar, baik dan proporsional

6) Isiqomah atau konsistensi; para kyai dan santri rata-rata teguh


memegang prinsip, tidak mudah berubah-ubah mengikuti arah
angin berhembus, konsisten dalam berpikir, berperasaan dan
kemauan, konsisten dalam berbicara, dan berbuat, selalu sesuai
antara hati nurani, ucapan dan perbuatannya.

d) Tradisi-tradisi Kepesantrenan

Tradisi-tradisi kepesantrenan yaitu budaya-budaya hidup di


pesantren yang sudah berjalan sejak berabad-abad yang lalu secara

7
turun temurun, terutama dalam hubungan antara kyai, santri, dan
masyarakat sekitar pesantren. Hubungan antara mereka berlangsung
dalam suasana kekeluargaan dan keakraban yang harmonis, dengan
kyai sebagai sentral figurnya. Hubungan ini tidak saja berlangsung
ketika para santri masih bersama di pesantren, tetapi harus berlanjut
sampai kembali ke masyarakat, bukan saja dalam hak-hal yang
menyangkut masalah pendidikan, tetapi juga yang berhubungan
dengan masalah ekonomi, sosial, budaya, politik, bahkan sampai ke
masalah jodoh dan pemberian nama untuk anak-anaknya.

2 Unsur-unsur Modernitas yang perlu diakomodasikan Pesantren Masa


Depan

a. Leadership atau kepemimpinan di pesantren masa depan, seharusnya


ditata sedemikian rupa, sehingga tidak tergantung kepada orang-
perorang dalam segala aspek (seorang Kyai saja). Kepemimpinan
tunggal ini, selain pelaksanaanya di lapangan sangat sulit seiring
dengan kompleksitas masalah yang dihadapi pesantren, juga bisa
mengganggu proses kelangsungan eksistensi pesantren selanjutnya,
terutama sepeninggal si kiyai, apalagi jika di ikuti dengan mitos-
mitos yang tidak rasional. Kepemimpinan pesantren masa depan bisa
berbentuk kolektif atau tetap tunggal, tapi harus ada pembagian
tugas, hak dan wewenang yang jelas.

b. Organisasi, sebagai sebuah lembaga pendidikan, dakwah dan


pengkaderan, pesantren masa depan seharusnya dikelola dengan
paradigma organisasi modern. Di pesantren perlu dibentuk organisasi
yang terstruktur, mulai level yang paling tinggi, sampai organisasi di
lingkungan yang paling rendah. Perlu di bentuk yayasan atau badan
hukum yang lainnya, dengan anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga yang mengikat seluruh personil pesantren. Organisasi-
organisasi ini harus difungsikan dengan baik, sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

8
c. Manajemen pesantren seharusnya di kelola dengan prinsip-prinsip
manajemen yang efektif dan fungsional; baik yang menyangkut
manajemen strategis, (perencanaan, pelaksnaan, pengendalian,
pengawasan dan evaluasi), ataupun manajemen operasional (tata
warkat, tata personalia, tata keuangan, tata inventaris, dan tata
lainnya).

d. Kurikulum dan sistem pendidikan pesantren yang harus memiliki


kurikulum yang baku dan standar, meliputi substansi, tujuan, sistem
dan proses transformasi, sesuai dengan prinsipprinsip kurikulum
modern. Kurikulum ini harus mencakup segala jenis interaksi
manusia dengan dirinya dan dengan selain dirinya yaitu harus
meliputi semua ilmu Allah swt, yang di berikan kepada manusia;
baik ilmu-ilmu yang di hamparkannya seperti ilmu alam, tekhnologi
dan sosial, ataupun ilmu-ilmu yang di turunkanya atau ilmu-ilmu
yang di ilhamkan-Nya, seperti matematika, logika, bahasa, seni dan
ilmu terapan lainnya. Selain itu, karena pendidikan di pesantren
berlangsung selama 24 jam, maka kurikulum tersebut harus
mencakup seluruh aspek kehidupan siang dan malam, baik di kelas,
di asrama, di masjid/musholla, di dapur, di kantin, di aula, di kantor,
ataupun di tempat-tempat pelayanan dan fasilitas umum lainnya
sehingga bisa disebut "kurikulum hidup dan kehidupan". Kurikulum
yang sudah tersusun ini harus menjadi "pedoman dasar" yang
diketahui dan dikuasai oleh seluruh personal pesantren, guru, santri
dan wali santri- dalam merencanakan, melaksanakan, mengendalikan
dan mengevaluasi pendidikan bersama-sama. Kesemuanya itu harus
dijalankan secara terpadu, simultan dan komprehensif, tanpa adanya
dikotomi atau pemilahan yang tidak perlu, serta dengan cara-cara
yang sistematis (memakai sistem yang produktif dan relevan,
memakai sub-sub sistem yang teratur dan terencana).

e. Sarana dan Instrrumen Pendidikan Pesantren. Pesantren masa depan


seharusnya memiliki prasarana, sarana dan instrumen-instrumen
pendidikan yang modern. Bangunan-bangunan dan lingkungan alam

9
sekitar harus diatur sekondusif mungkin, sesuai dengan konsep tata
ruang yang baik, edukatif dan higienis. Selain masjid atau musholla
dan pemondokan dengan segala kelengkapannya, di dalam pesantren
harus tersedia instrument-instrumen pendidikan dan pembelajaran
yang lengkap dan fungsional, seperti ruang belajar, perpustakaan,
multi laboratorium, lapangan olah raga, auditorium, perkantoran,
sanggar-sanggar kesenian dan keterampilan, balai kesehatan, dapur
umum, kantin, alat-alat komunikasi dan transportasi, serta saran-
sarana fisik lainnya. Yang paling penting, seharusnya ada pemisahan
yang jelas (dalam sebuah akta) antara hak-hak pribadi Kyai dan
keluarganya dengan hak-hak pesantren atau yayasan, untuk
menghindari hal-hal yang tidak diingikan dibelakang hari.

3 Problem-problem manajerial Pesantren

Beberapa permasalahan yang terjadi di pesantren seringkali sebab


dan penyelesaiannya adalah kembali kepada manajerial pesantren itu
sendidri. Mulai dari kurangnya kualitas keilmuan dan akhlak alumni
yang lulus, Keterbatasan sarana dan prasarana, stagnasi manajemen,
kurangnya dukungan dari masyarakat merupakan beberapa contoh
permasalahan yang terjadi khususnya di pesantren, umumnya di
lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ini semua bisa saja diselesaikan
dengan memulai dari memberikan penguatan-penguatan bekal yang
mestinya dimiliki oleh seorang manajer dalam hal ini Kyai sebagai
pimpinan pesantren. Selanjutnya melakukan perbaikan terhadap konsep
pola dan sistem manajerial.

Diantara Faktor-faktor penyebab problem-problem manajerial


pesantren kembali kepada dua hal yaitu : pertama, personal pemimpin
dan SDM dibawahnya. Kedua, sistem dan pola kepemimpinan yang
berjalan.

Adapun permasalahan personal pemimpin diantaranya :

1 Tidak memiliki kemampuan manajerial

10
Seorang pemimpin yang baik bukan hanya dapat mengefektifkan
segala segmen atau divisi yang ada tetapi harus dapat mengatur (me-
manage) akan semua yang terkait demi kemajuan perusahaan yang
dipimpinnya.

Seorang pemimpin yang baik bukan hanya mampu memberikan


motivasi yang konsisten terhadap karyawan/anak buahnya untuk
mendorong mereka mencapai keberhasilan dan kualitas kinerja
mereka, tetapi juga harus dapat selalu mencari cara untuk
meningkatkan produksi dan standard perusahaan.

Seorang pemimpin yang dapat dikatakan memiliki kemampuan


manajerial yang baik adalah seorang pemimpin yang memiliki
ketrampilan manajerial dalam melaksanakan pekerjaan dengan atau
tanpa adanya orang lain. Ketrampilan manajerial ini tergambar dari
bagaimana cara sang pemimpin mendidik, memotivasi ,
mengembangkan akan potensi anak buahnya.

2 Tidak memiliki kafa’ah keilmuan yang mumpuni

Secara definitif pondok pesantren dapat diartikan sebagai lembaga


pendidikan tradisional Islam untuk memahami dan mendalami ilmu
agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup
keseharian atau hidup bermasyarakat yang bertempat di
asrama/pondok di bawah pimpinan kiai (Anasom, 2006: 2).

Keberadaan seorang kiai sebagai pemimpin pesantren, ditinjau dari


tugas dan fungsinya dapat dipandang sebagai fenomena
kepemimpinan yang unik. Legitimasi kepemimpinan seorang kiai
secara langsung diperoleh dari masyarakat yang dinilai dari segi
keahlian ilmu-ilmu agama dan kewibawaan (karisma) yang
bersumber dari ilmu, kesaktian, sifat pribadi, dan sering kali
keturunan (Arifin, 1993: 3).

3 Tidak memiliki kemampuan komunikasi dan lobi

11
Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan Public Relation.
Yaitu kemampuan membangun relasi dengan pihak lain yang
nantinya akan berdampak kepada kemajuan perusahaan atau unit
yang dipimpinnya. Ia harus mampu memiliki kemampuan Lobby dan
Negosiasi.

Lobi adalah pendekatan yang dilakukan agar terjadi kerjasama antara


kita dengan sasaran lobi dan itu kegiatan melobi adalah suatu bentuk
pendekatan yang tidak resmi. Sedangkan negosiasi adalah proses
tawar menawar antara kita dengan sasaran lobi untuk mencapai suatu
kesepakatan.

4 Tidak Kharismatik

Sekalipun secara umum keberadaan kiai hanya dipandang sebagai


pemimpin informal (informal leader), tetapi kiai dipercayai memiliki
keunggulan baik secara moral maupun sebagai seorang alim.
Pengaruh kiai diperhitungkan baik oleh pejabat-pejabat Nasional
maupun oleh masyarakat umum. Pengaruh mereka (kiai) sepenuhnya
ditentukan oleh kualitas kekarismaan mereka. Lebih dari itu, kualitas
kekarismaan seorang kiai pada gilirannya diyakini oleh masyarakat
dapat memancarkan barokah bagi umat yang dipimpinnya, di mana
muncul konsep barokah ini berkaitan dengan kapasitas seorang
pemimpin yang sudah dianggap memiliki karomah, yaitu suatu
kekuatan gaib yang diberikan oleh Allah SWT kepada siapa yang
dikehendakinya (Arifin, 1993: 45).

5 Kurang memahami fiqhul waqi’

Ibnul Qaiyim rahimahullah berkata: “Seseorang mufti atau hakim


tidak akan mampu berfatwa dan mengeluarkan (memutuskan)
hukum kecuali setelah memahami dua pemahaman. Pertama:
Memahami tentang waqi’ (kejadian/keadaan/kondisi), berilmu
tentang ilmu hakikat (peristiwa/kejadian yang sedang berlaku pada
masyarakat) Kemudian mampu membuat keputusan secara hakikat

12
yang sebenarnya dari kejadian tersebut, disertai dengan pembuktian-
pembuktian, tanda-tanda dan ciri-cirinya sehingga dirinya menguasai
ilmu tersebut. Kedua: Faham (menguasai) ilmu yang wajib yang
berkaitan dengan kenyataan. Yaitu memahami hukum-hakam Allah
di dalam al-Quran dan lisan (Sunnah) Rasul-Nya yang dengannya
Allah telah menentukan sesuatu hukum berdasarkan kenyataan
kejadian yang berlaku”

Sedangkan penyebab kedua problem-problem manajerial


pesantren adalah faktor sistem, pola, model dan gaya kepemimpinan
yang penulis rangkum dalam poin-poin berikut:

1 Kepemimpinan yang turun temurun

Estafet pergantian kepemimpinan yang ada di pesantren biasanya


turun-temurun dari pendiri ke anak, ke menantu, ke cucu, atau ke
santri senior. Artinya, ahli waris pertama adalah anak laki-laki, yang
senior dan dianggap cocok oleh kiai dan masyarakat untuk menjadi
kiai, baik dari segi kealimannya (moralitas/akhlak) maupun dari segi
ke dalaman ilmu agamanya. Jika hal ini tidak mungkin, misalnya
karena pendiri tidak punya anak laki-laki yang cocok untuk
menggantikannya, maka ahli waris kedua adalah menantu, kemudian
sebagai ahli waris ketiga adalah cucu. Jika semuanya tidak mungkin,
maka ada kemungkinan dilanjutkan oleh bekas santri senior. Suksesi
kepemimpinan pesantren sebagaimana digambarkan di atas tidak
hanya berlaku bagi pesantren yang berstatus sebagai yayasan, tetapi
juga berlaku bagi pesantren-pesantren yang berstatus pribadi.
Meskipun secara resmi sudah ada ketentuan bahwa ahli waris pendiri
tidak dengan sendirinya menjadi pengganti (Ginanjar, 212).

Kepemimpinan yang turun temurun ini bisa menjadi masalah ketika


seorang Kyai tidak menyiapkan pengganti berikutnya dari ahli
warisnya untuk melanjutkan kepemimpinan pesantren. Sehingga
kepemimpinan berikutnya jatuh kepada yang tidak kompeten.

13
2 Model kepemimpinan pesantren individual dan kolektif

Menurut Kasful Anwar US (2010), berdasarkan beberapa literatur


yang dihimpunnya, terdapat pembagian dua model kepemimpinan
kiai di pesantren, yakni kepemimpinan individual dan kepemimpinan
kolektif.

Peran yang begitu sentral yang dilaksanakan oleh kiai seorang diri
menjadikan pesantren sulit berkembang. Perkembangan atau besar
tidaknya pesantren semacam ini sangat ditentukan oleh kekarismaan
kiai pengasuh. Dengan kata lain, semakin karismatik kiai
(pengasuh), semakin banyak masyarakat yang akan berduyun-duyun
untuk belajar bahkan hanya untuk mencari berkah dari kiai tersebut,
dan pesantren tersebut akan lebih besar dan berkembang pesat.
Kepemimpinan individual kiai inilah yang sesungguhnya mewarnai
pola relasi di kalangan pesantren dan telah berlangsung dalam
rentang waktu yang lama, sejak pesantren berdiri pertama hingga
sekarang. Lantaran kepemimpinan individual kiai itu pula, ada kesan
bahwa pesantren adalah milik pribadi kiai. Karena pesantren tersebut
milik pribadi kiai, kepemimpinan yang dijalankan adalah
kepemimpinan individual (Qomar, 2004: 40).

Dengan kepemimpinan semacam itu, pesantren terkesan eksklusif.


Tidak ada celah yang longgar bagi masuknya pemikiran atau usulan
dari luar walaupun untuk kebaikan dan pengembangan pesantren
karena hal itu wewenang mutlak kiai. Hal seperti itu biasanya masih
berlangsung di pesantren salaf. Model kepemimpinan tersebut
mempengaruhi eksistensi pesantren. Bahkan belakangan ada
pesantren yang dilanda masalah kepemimpinan ketika ditinggal oleh
kiai pendirinya. Hal itu disebabkan tidak adanya anak kiai yang
mampu meneruskan kepemimpinan pesantren yang ditinggalkan
ayahnya, baik dari segi penguasaan ilmu keislaman maupun
pengelolaan kelembagaan. Karena itu, kesinambungan pesantren
menjadi terancam (Rahardjo, 1985: 114).

14
Akibat fatal dari kepemimpinan individual tersebut menyadarkan
sebagian pengasuh pesantren, Kementerian Agama, di samping
masyarakat sekitar. Mereka berusaha menawarkan solusi terbaik
guna menanggulangi musibah kematian pesantren. Kementerian
Agama pernah mengintroduksi bentuk yayasan sebagai badan hukum
pesantren, meskipun jauh sebelum dilontarkan, beberapa pesantren
sudah menerapkannya. Pelembagaan semacam itu mendorong
pesantren menjadi organisasi impersonal. Pembagian wewenang
dalam tata laksana kepengurusan diatur secara fungsional, sehingga
akhirnya semua itu harus diwadahi dan digerakkan menurut tata
aturan manajemen modern. Kepemimpinan kolektif dapat diartikan
sebagai proses kepemimpinan kolaborasi yang saling
menguntungkan, yang memungkinkan seluruh elemen suatu institusi
turut ambil bagian dalam membangun suatu kesepakatan yang
mengakomodasi tujuan semua. Kolaborasi dimaksud bukan hanya
berarti "setiap orang" dapat menyelesaikan tugasnya, melainkan
yang terpenting adalah semua dilakukan dalam suasana kebersamaan
dan saling mendukung (al-jam'iyah al murassalah atau collegiality
and supportiveness) (Haedar dan El-Saha, 2008: 22).

Namun, tidak semua kiai pesantren merespons positif solusi tersebut.


Mereka lebih mampu mengungkapkan kelemahan-kelemahan yang
mungkin timbul dibanding kelebihannya. Keberadaan yayasan
dipahami sebagai upaya menggoyahkan kepemimpinan kiai.
Padahal, keberadaan yayasan justru ingin meringankan beban baik
akademik maupun moral. Kecenderungan untuk membentuk yayasan
ternyata hanya diminati pesantren-pesantren yang tergolong modern,
belum berhasil memikat pesantren tradisional. Kiai pesantren
tradisional cenderung lebih otoriter daripada kiai pesantren modern
(Qomar, 2004: 40).

3 Gaya kepemimpinan Kharismatik

15
Kepemimpinan kiai yang karismatik cenderung individual dan
memunculkan timbulnya sikap otoriter mutlak kiai. Otoritas mutlak
tersebut kurang baik bagi kelangsungan hidup pesantren, terutama
dalam hal suksesi kepemimpinan. Kaderisasi hanya terbatas
keturunan dan saudara, menyebabkan tidak adanya kesiapan
menerima tongkat estafet kepemimpinan ayahnya. Oleh karena itu,
tidak semua putra kiai mempunyai kemampuan, orientasi, dan
kecenderungan yang sama dengan ayahnya. Selain itu, pihak luar
sulit sekali untuk bisa menembus kalangan elite kepemimpinan
pesantren, maksimal mereka hanya bisa menjadi menantu kiai.
Padahal, menantu kebanyak- an tidak berani untuk maju memimpin
pesantren kalau masih ada anak atau saudara kiai, walaupun dia lebih
siap dari segi kompetensi maupun kepribadiannya. Akhirnya sering
terjadi pesantren yang semula maju dan tersohor, tiba-tiba
kehilangan pamor bahkan mati lantaran kiainya meninggal.

16
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Sebagai lemabaga pendidkan Islam tertua yang masih diharapkan


keberlangsungannya, pesantren dituntut untuk bisa mengikuti perkembangan
zaman tanpa menghilangkan dan meninggalkan kekhasan dan kelebihan yang
dimilikinya. Sinergitas tradisi pesantren dengan era disrupsi—sebagai ciri
modernitas—juga bukan hal yang utopis, mengingat keduanya merupakan
respon atas realitas. Seyogyanya, pembaruan dalam sistem, tradisi, dan
kurikulum pesantren tetaplah mengedepankan spiritualitas memelihara hal
lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik.

Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam juga tidak kebal terhadap


berbagai permasalahan yang muncul di era global ini. Beberapa permasalahan
muncul ketika pesantren berupaya mengikuti dan menyesuaikan dengan
perkembangan teknologi global ini. Di semua lini pesantren memiliki
problem yang dihadapi namun kesemunya kembali kepada problem
manajerial pesantren, baik personal pemimpin dan SDM yang ada ataupun
sistem, pola dan model kepemimpinan Pesantren.

B. Saran

Menghadapi terpaan arus desrupsi yang terus mengalir dengan membawa


perubahan yang demikian cepat. Maka, mau tidak mau, lembaga pendidikan
pesantren harus mempersiapkan semua perangkatnya, sehingga tidak mudah
larut dengan arus besar, sekaligus tidak serta merta menutup diri dengan
dinamika kehidupan. Bersikap kritis dan kreatif merupakan sesuatu yang
tidak bisa dinafikan.

Peran Kyai sebagai Pemimpin, sumber belajar atau pemberi pengetahuan,


menjadi mentor, fasilitator, motivator, dan inspirator dalam pembentkan
karakter sangat dibutuhkan pesantren untuk menjaga eksistensi dan fungsinya
sebagai lembaga pelestarian nilai-nilai agama, etika, budaya, hingga tanggung
jawab sosial karena nilai nilai itulah yang menjadi kekuatan spiritual

17
inteligensi dalam menghadapi era disrupsi. Maka, seorang kyai dituntut harus
terus menguatkan kemampuan manajerialnya disamping menguatkan
keilmuan dan ketaqwaannya sebagai bekal menghadapi perubahan-perubahan
dan tantanga-tantangan di era disrupsi ini.

18
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Noor., HR, Mahmutarom., Aminudin, Sanwar, M., Ali, Mudzakir.


(2011). Peran Kyai dan Eksistensi Pesantren di Era Revormasi. Wahid
Hasyim University Press

Alaika M. Bagus Kurnia Ps. Problematika Pesantren Sebagai Lembaga


Pendidikan Islam Di Indonesia. Tawazun : Jurnal Pendidikan Islam. 10
(10) hlm. 225-233

Anasom, Kyai. (2006). Kepemimpinan dan Patronase. Semarang : Pustaka Rizki


Putra.

https://www.blj.co.id/2013/03/25pentingnya-kemampuan-manajerial-dari-
seorang-pemimpin

Kompri. (2018) Manajemen dan Kepemimpinan Pondok Pesantren. Jakarta :


Prenadamedia Group.

Lubis, Maesaroh, Dr. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Tasikmalaya : Edu


Publisher. 2018

Madjid, Nurcholis. (1997). Bilik-bilik pesantren. Jakarta : Paramadina

Tim Penyusun. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

H. M., Purnomo, Hadi Dr., M. Pd. (2017). Manajemen Pendidikan Pondok


Pesantren. Jogjakarta : Bildung Nusantara

Ma’arif, Syamsul. (2015). Pesantren Inklusif berbasi Kearifan Lokal. Jogjakarta:


Kaukaba Dipantara

Atiqullah, Dr. Prilaku Kepemimpinan Kolektif Pondok Pesantren.

19

Anda mungkin juga menyukai