DOSEN PENGAMPU :
Disusun oleh :
Agus Saripudin
NIM : 235007066
I
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam shalawat dan salam semoga
tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad Saw, keluarga dan para shahabatnya.
Penulis bersyukur kepada Allah yang maha Esa karena bisa menyelesaikan
penulisan makalah ini. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Kapita Selekta Pendidikan Pesantren.
Kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan terutama dapat
memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Penulis
II
DAFTAR ISI
Halaman
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian ………………………………………..…….……. 3
B. Problematika Manajerial Pesantren ……………….………... 4
1 Nilai-nilai salaf yang harus di pertahankan di pesantren … 4
2 Unsur-unsur Modernitas yang perlu diakomodasikan Pesantren
Masa Depan ………………………………..…………….. 8
A. Kesimpulan ……………………………………………... 17
B. Saran ……………………………………………………. 17
III
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1 Apa saja nilai-nilai baku yang menjadi kekhasan Pesantren, yang harus
dijaga dan dipertahankan
1
2 Apa saja nilai-nilai baru yang perlu diakomodir pesantren dalam rangka
meningkatkan kualitas manajerial pesantren.
C. Tujuan
Semoga paparan ini bisa berguna dan bermanfaat baik secara teoritis
maupun praktis. Secara teoritis menjadi bahan tambahan rujukan dalam
kajian yang lebih mendalam bagi para akademisi. Secara praktis menjadi
tambahan bahan petunjuk bagi para praktisi dunia pesantren dalam
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi di pondok pesantren.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
3
pengasuh atau pemimpin utamanya dan ada santri yang belajar serta tinggal di
kawasan tersebut sebagaimana yang ada sekarang ini.
4
Dalam mendirikan dan mengelola pesantren, para ulama dan santri
selalu berniat semata-mata untuk ibadah kepada Allah. Tinjauan
utama mereka untuk melaksanakan dakwah sebagai kelanjutan
risalah yang telah di rintis para Nabi. Melalui pendidikan di
pesantrenya, mereka bermaksud untuk mencetak umat yang
berkualitas terbaik (khairo ummah) dan menyiapkan kader-kader
ulama atau pemimpin umat yang mendalami dan mengusai
agamanya (mufaqqih fiddin), agar kelak mampu mengingatkan dan
memberdayakan kaumnya (indzaru al-qoum).
5
6) Pendidikan dan pengajaran Islam yang bersumber dari alQuran,
al-Hadits, dan kitab-kitab warisan ulama salaf yang biasa
dikenal dengan kitab kuning.
7) Dukungan masyarakat sekitar yang sejak awal memang
menginginkan berdirinya pesantren di lingkungan mereka.
Ketujuh elemen tersebut saling berjalin berkelindan dan
tidak bisa dipisahkan yang satu dengan yang lainya. Apabila salah
satu dari elemen-elemen tersebut tidak ada, maka sebuah lembaga
pendidikan tidak bisa lagi disebut pondok pesantren, tetapi
barangkali sekedar menjadi sekolah yang di asramakan, tempat kos-
kosan, penampungan, atau hotel penginapan.
6
Kasederhanaan para kyai dan santri salaf nampak dalam segala
aspek, baik dalam berpikir, berperasaan, dan berkemauan,
maupun dalam berbicara, berpakaian, dan bertingkah laku.
d) Tradisi-tradisi Kepesantrenan
7
turun temurun, terutama dalam hubungan antara kyai, santri, dan
masyarakat sekitar pesantren. Hubungan antara mereka berlangsung
dalam suasana kekeluargaan dan keakraban yang harmonis, dengan
kyai sebagai sentral figurnya. Hubungan ini tidak saja berlangsung
ketika para santri masih bersama di pesantren, tetapi harus berlanjut
sampai kembali ke masyarakat, bukan saja dalam hak-hal yang
menyangkut masalah pendidikan, tetapi juga yang berhubungan
dengan masalah ekonomi, sosial, budaya, politik, bahkan sampai ke
masalah jodoh dan pemberian nama untuk anak-anaknya.
8
c. Manajemen pesantren seharusnya di kelola dengan prinsip-prinsip
manajemen yang efektif dan fungsional; baik yang menyangkut
manajemen strategis, (perencanaan, pelaksnaan, pengendalian,
pengawasan dan evaluasi), ataupun manajemen operasional (tata
warkat, tata personalia, tata keuangan, tata inventaris, dan tata
lainnya).
9
sekitar harus diatur sekondusif mungkin, sesuai dengan konsep tata
ruang yang baik, edukatif dan higienis. Selain masjid atau musholla
dan pemondokan dengan segala kelengkapannya, di dalam pesantren
harus tersedia instrument-instrumen pendidikan dan pembelajaran
yang lengkap dan fungsional, seperti ruang belajar, perpustakaan,
multi laboratorium, lapangan olah raga, auditorium, perkantoran,
sanggar-sanggar kesenian dan keterampilan, balai kesehatan, dapur
umum, kantin, alat-alat komunikasi dan transportasi, serta saran-
sarana fisik lainnya. Yang paling penting, seharusnya ada pemisahan
yang jelas (dalam sebuah akta) antara hak-hak pribadi Kyai dan
keluarganya dengan hak-hak pesantren atau yayasan, untuk
menghindari hal-hal yang tidak diingikan dibelakang hari.
10
Seorang pemimpin yang baik bukan hanya dapat mengefektifkan
segala segmen atau divisi yang ada tetapi harus dapat mengatur (me-
manage) akan semua yang terkait demi kemajuan perusahaan yang
dipimpinnya.
11
Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan Public Relation.
Yaitu kemampuan membangun relasi dengan pihak lain yang
nantinya akan berdampak kepada kemajuan perusahaan atau unit
yang dipimpinnya. Ia harus mampu memiliki kemampuan Lobby dan
Negosiasi.
4 Tidak Kharismatik
12
yang sebenarnya dari kejadian tersebut, disertai dengan pembuktian-
pembuktian, tanda-tanda dan ciri-cirinya sehingga dirinya menguasai
ilmu tersebut. Kedua: Faham (menguasai) ilmu yang wajib yang
berkaitan dengan kenyataan. Yaitu memahami hukum-hakam Allah
di dalam al-Quran dan lisan (Sunnah) Rasul-Nya yang dengannya
Allah telah menentukan sesuatu hukum berdasarkan kenyataan
kejadian yang berlaku”
13
2 Model kepemimpinan pesantren individual dan kolektif
Peran yang begitu sentral yang dilaksanakan oleh kiai seorang diri
menjadikan pesantren sulit berkembang. Perkembangan atau besar
tidaknya pesantren semacam ini sangat ditentukan oleh kekarismaan
kiai pengasuh. Dengan kata lain, semakin karismatik kiai
(pengasuh), semakin banyak masyarakat yang akan berduyun-duyun
untuk belajar bahkan hanya untuk mencari berkah dari kiai tersebut,
dan pesantren tersebut akan lebih besar dan berkembang pesat.
Kepemimpinan individual kiai inilah yang sesungguhnya mewarnai
pola relasi di kalangan pesantren dan telah berlangsung dalam
rentang waktu yang lama, sejak pesantren berdiri pertama hingga
sekarang. Lantaran kepemimpinan individual kiai itu pula, ada kesan
bahwa pesantren adalah milik pribadi kiai. Karena pesantren tersebut
milik pribadi kiai, kepemimpinan yang dijalankan adalah
kepemimpinan individual (Qomar, 2004: 40).
14
Akibat fatal dari kepemimpinan individual tersebut menyadarkan
sebagian pengasuh pesantren, Kementerian Agama, di samping
masyarakat sekitar. Mereka berusaha menawarkan solusi terbaik
guna menanggulangi musibah kematian pesantren. Kementerian
Agama pernah mengintroduksi bentuk yayasan sebagai badan hukum
pesantren, meskipun jauh sebelum dilontarkan, beberapa pesantren
sudah menerapkannya. Pelembagaan semacam itu mendorong
pesantren menjadi organisasi impersonal. Pembagian wewenang
dalam tata laksana kepengurusan diatur secara fungsional, sehingga
akhirnya semua itu harus diwadahi dan digerakkan menurut tata
aturan manajemen modern. Kepemimpinan kolektif dapat diartikan
sebagai proses kepemimpinan kolaborasi yang saling
menguntungkan, yang memungkinkan seluruh elemen suatu institusi
turut ambil bagian dalam membangun suatu kesepakatan yang
mengakomodasi tujuan semua. Kolaborasi dimaksud bukan hanya
berarti "setiap orang" dapat menyelesaikan tugasnya, melainkan
yang terpenting adalah semua dilakukan dalam suasana kebersamaan
dan saling mendukung (al-jam'iyah al murassalah atau collegiality
and supportiveness) (Haedar dan El-Saha, 2008: 22).
15
Kepemimpinan kiai yang karismatik cenderung individual dan
memunculkan timbulnya sikap otoriter mutlak kiai. Otoritas mutlak
tersebut kurang baik bagi kelangsungan hidup pesantren, terutama
dalam hal suksesi kepemimpinan. Kaderisasi hanya terbatas
keturunan dan saudara, menyebabkan tidak adanya kesiapan
menerima tongkat estafet kepemimpinan ayahnya. Oleh karena itu,
tidak semua putra kiai mempunyai kemampuan, orientasi, dan
kecenderungan yang sama dengan ayahnya. Selain itu, pihak luar
sulit sekali untuk bisa menembus kalangan elite kepemimpinan
pesantren, maksimal mereka hanya bisa menjadi menantu kiai.
Padahal, menantu kebanyak- an tidak berani untuk maju memimpin
pesantren kalau masih ada anak atau saudara kiai, walaupun dia lebih
siap dari segi kompetensi maupun kepribadiannya. Akhirnya sering
terjadi pesantren yang semula maju dan tersohor, tiba-tiba
kehilangan pamor bahkan mati lantaran kiainya meninggal.
16
BAB III
A. Kesimpulan
B. Saran
17
inteligensi dalam menghadapi era disrupsi. Maka, seorang kyai dituntut harus
terus menguatkan kemampuan manajerialnya disamping menguatkan
keilmuan dan ketaqwaannya sebagai bekal menghadapi perubahan-perubahan
dan tantanga-tantangan di era disrupsi ini.
18
DAFTAR PUSTAKA
https://www.blj.co.id/2013/03/25pentingnya-kemampuan-manajerial-dari-
seorang-pemimpin
19