Anda di halaman 1dari 84

HSI Silsilah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam – Halaqah 1 | Pengantar Penjelasan

Kitab Nawaqidul Islam Bagian 1

Halaqah yang pertama dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam yang
ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Insya Allah kita akan mempelajari bersama kitab Nawaqidul Islam yang ditulis oleh
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab.
Penulis kitab ini adalah Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman At
Tamimi yang lahir pada tahun 1115 H di Uyainah, sebuah daerah di Jazirah Arab.

Beliau lahir di tengah-tengah keluarga yang sangat memperhatikan ilmu agama.


Beliau memulai menghafal Al Qur’an sejak kecil, sehingga beliau pun menyelesaikan
hafalannya sebelum berumur 10 tahun. Kemudian mulailah beliau menuntut
berbagai cabang ilmu agama, seperti tafsir, fiqih, akidah, dan lain-lain.

Diantara guru pertama beliau adalah Syeikh Abdul Wahab bin Sulaiman, bapak
beliau sendiri. Kemudian setelah itu, beliau rahimahullah melakukan perjalanan
dalam menuntut ilmu, pergi ke kota Mekkah, Madinah, Baghdad, dan kota lainnya.

Ketika beliau pergi ke kota Madinah, beliau mengambil ilmu dari Syeikh Muhammad
Hayah bin Ibrahim As Sindi. Dan hampir beliau melakukan perjalanan ke Syam.
Tetapi karena suatu sebab, beliau tidak bisa pergi ke sana.

Beliau menghabiskan waktunya untuk mempelajari ilmu agama dan mengajarkannya


kepada orang lain.
Selain kitab Nawaqidul Islam ini, beliau juga memiliki kitab-kitab yang lain yang
sangat bermanfaat bagi kaum muslimin, diantaranya:
• Kitabut Tauhid
• Kasyfu Syubuhat
• Al Ushulu Sittah
• Al Ushulu Tsalatsah
• Mukhtashar Zadil Ma’ad
• Dan kitab-kitab yang lain
Syeikh meninggal dunia pada tahun 1206 H di usia sekitar 91 tahun, setelah
menghabiskan waktu dan hidupnya dengan mempelajari ilmu agama, mengajar, dan
berdakwah.

Kitab Nawaqidul Islam yang akan kita pelajari adalah kitab yang sangat ringkas,
hanya terdiri dari beberapa halaman saja. Meskipun demikian, kitab ini mengandung
perkara-perkara yang penting, yang seharusnya diketahui oleh seorang muslim.

Nawaqid artinya adalah pembatal-pembatal. Jamak dari Naqidun yang artinya


pembatal atau perusak.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

‫ض ۡت غ َۡزلَهَا ِم ۢن بَ ۡع ِد قُ َّو ٍة َأن َك ٰـ ࣰثا‬ ۟ ُ‫َواَل تَ ُكون‬


َ َ‫وا كَٱلَّتِی نَق‬
[Surat An-Nahl 92]

“Janganlah kalian seperti seorang wanita yang merusak (mencerai beraikan)


pintalannya, setelah dia kuat.”

Kata ‫ض ۡت‬
َ َ‫ نَق‬artinya merusak atau mencerai beraikan.

Lalu Allah mengatakan,

‫ٱلَّ ِذینَ َینقُضُونَ ع َۡه َد ٱهَّلل ِ ِم ۢن بَ ۡع ِد ِمیثَ ٰـقِ ِهۦ‬


[Surat Al-Baqarah 27]

“Yaitu orang-orang yang merusak/membatalkan perjanjian mereka dengan Allah


setelah mereka berjanji kepada Allah.”

Ayat ini menceritakan tentang sifat orang yang merusak perjanjian mereka kepada
Allah. Mereka berjanji kepada Allah dengan sebuah janji, kemudian membatalkannya
dan merusaknya.

Di dalam kitab fiqih ada istilah Nawaqidul Wudhu (perusak-perusak wudhu). Artinya
amalan-amalan atau perkara-perkara yang membatalkan wudhu seseorang.

Adapun Islam di sini, maka maksudnya adalah Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, yang memiliki lima rukun.
Dan Islam, secara bahasa adalah mashdar dari kata ‫( اَسلَ َم – يُسلِ ُم‬aslama – yuslimu)
artinya di dalam Bahasa Arab adalah menyerahkan.

Agama Islam dinamakan sebagai agama penyerahan, karena orang yang masuk
dalam agama Islam berarti dia telah siap dan bersedia menyerahkan ibadahnya
hanya kepada Allah, siap untuk taat kepada Allah, dan berlepas diri dari kesyirikan
dan pelakunya.

Seorang Nasrani yang dahulunya dia menyembah Allah, Nabi Isa, dan Maryam, maka
ketika dia masuk Islam, dia harus menyerahkan ibadahnya hanya kepada Allah dan
meninggalkan peribadatan kepada Nabi Isa dan Maryam.

Seseorang ketika masuk ke dalam agama Islam dengan dua kalimat syahadat, maka
dengannya dia dianggap sebagai seorang muslim, dijaga darahnya, kehormatannya,
sebagaimana sabda Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam,

َ َّ‫ت َأ ْن ُأقَاتِ َل الن‬


َّ ‫ َويُقِي ُموا ال‬،ِ ‫اس َحتَّى يَ ْشهَدُوا َأ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ هَّللا ُ و َأ َّن ُم َح َّمدًا َرسُو ُل هَّللا‬
‫ فَِإ َذا‬،َ‫ َويُْؤ تُوا ال َّزكَاة‬،َ‫صالَة‬ ُ ْ‫ُأ ِمر‬
‫ َو ِح َسابُهُ ْم َعلَى هللا‬،‫ق اِإل ْسالَ ِم‬ ِّ ‫ص ُموا ِمنِّي ِد َما َءهُ ْم َوَأ ْم َوالَهُ ْم ِإالَّ بِ َح‬
َ ‫فَ َعلُوا َذلِكَ َع‬
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan dan
bersyahadat laailaha illallaah dan bersyahadat Muhammad Rasulullah, kemudian
mendirikan sholat, membayar zakat. Maka apabila mereka melakukan itu semua,
sungguh mereka telah menjaga dariku darah mereka dan harta mereka, kecuali
dengan hak Islam. Dan hisab mereka adalah atasAllah.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Keislaman tersebut bisa batal apabila melakukan satu diantara Nawaqidul Islam. Dan
pembatal-pembatal keislaman ada yang berupa ucapan, keyakinan di dalam hati,
dan perbuatan anggota badan.

Pembatal berupa ucapan, seperti orang yang mencela Allah dan Rasul-Nya, berdo’a
kepada selain Allah, dan lain-lain, yang nanti akan datang penjelasannya, Insya Allah.

Diantara dalil yang menunjukkan bahwa di sana ada ucapan yang bisa menjadikan
seseorang kufur adalah firman Allah,
۟ ‫وا َكلِمةَ ۡٱل ُك ۡفر َو َكفَر‬
ۡ‫ُوا بَ ۡع َد ِإ ۡسلَ ٰـ ِم ِهم‬ ۟ ُ‫َولَقَ ۡد قَال‬
ِ َ
[Surat At-Tawbah 74]
“Dan sungguh mereka (yaitu orang-orang munafik) telah mengucapkan ucapan yang
kufur. Dan mereka telah kufur setelah keislaman mereka.”

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

HSI Silsilah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam – Halaqah 1 | Pengantar Penjelasan


Kitab Nawaqidul Islam Bagian 1

Halaqah yang pertama dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam yang
ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Insya Allah kita akan mempelajari bersama kitab Nawaqidul Islam yang ditulis oleh
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab.
Penulis kitab ini adalah Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman At
Tamimi yang lahir pada tahun 1115 H di Uyainah, sebuah daerah di Jazirah Arab.

Beliau lahir di tengah-tengah keluarga yang sangat memperhatikan ilmu agama.


Beliau memulai menghafal Al Qur’an sejak kecil, sehingga beliau pun menyelesaikan
hafalannya sebelum berumur 10 tahun. Kemudian mulailah beliau menuntut
berbagai cabang ilmu agama, seperti tafsir, fiqih, akidah, dan lain-lain.

Diantara guru pertama beliau adalah Syeikh Abdul Wahab bin Sulaiman, bapak
beliau sendiri. Kemudian setelah itu, beliau rahimahullah melakukan perjalanan
dalam menuntut ilmu, pergi ke kota Mekkah, Madinah, Baghdad, dan kota lainnya.

Ketika beliau pergi ke kota Madinah, beliau mengambil ilmu dari Syeikh Muhammad
Hayah bin Ibrahim As Sindi. Dan hampir beliau melakukan perjalanan ke Syam.
Tetapi karena suatu sebab, beliau tidak bisa pergi ke sana.

Beliau menghabiskan waktunya untuk mempelajari ilmu agama dan mengajarkannya


kepada orang lain.
Selain kitab Nawaqidul Islam ini, beliau juga memiliki kitab-kitab yang lain yang
sangat bermanfaat bagi kaum muslimin, diantaranya:
• Kitabut Tauhid
• Kasyfu Syubuhat
• Al Ushulu Sittah
• Al Ushulu Tsalatsah
• Mukhtashar Zadil Ma’ad
• Dan kitab-kitab yang lain

Syeikh meninggal dunia pada tahun 1206 H di usia sekitar 91 tahun, setelah
menghabiskan waktu dan hidupnya dengan mempelajari ilmu agama, mengajar, dan
berdakwah.

Kitab Nawaqidul Islam yang akan kita pelajari adalah kitab yang sangat ringkas,
hanya terdiri dari beberapa halaman saja. Meskipun demikian, kitab ini mengandung
perkara-perkara yang penting, yang seharusnya diketahui oleh seorang muslim.

Nawaqid artinya adalah pembatal-pembatal. Jamak dari Naqidun yang artinya


pembatal atau perusak.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

‫ض ۡت غ َۡزلَهَا ِم ۢن بَ ۡع ِد قُ َّو ٍة َأن َك ٰـ ࣰثا‬ ۟ ُ‫َواَل تَ ُكون‬


َ َ‫وا كَٱلَّتِی نَق‬
[Surat An-Nahl 92]

“Janganlah kalian seperti seorang wanita yang merusak (mencerai beraikan)


pintalannya, setelah dia kuat.”

Kata ‫ض ۡت‬
َ َ‫ نَق‬artinya merusak atau mencerai beraikan.

Lalu Allah mengatakan,

‫ٱلَّ ِذینَ یَنقُضُونَ ع َۡه َد ٱهَّلل ِ ِم ۢن بَ ۡع ِد ِمیثَ ٰـقِ ِهۦ‬


[Surat Al-Baqarah 27]

“Yaitu orang-orang yang merusak/membatalkan perjanjian mereka dengan Allah


setelah mereka berjanji kepada Allah.”
Ayat ini menceritakan tentang sifat orang yang merusak perjanjian mereka kepada
Allah. Mereka berjanji kepada Allah dengan sebuah janji, kemudian membatalkannya
dan merusaknya.

Di dalam kitab fiqih ada istilah Nawaqidul Wudhu (perusak-perusak wudhu). Artinya
amalan-amalan atau perkara-perkara yang membatalkan wudhu seseorang.

Adapun Islam di sini, maka maksudnya adalah Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, yang memiliki lima rukun.

Dan Islam, secara bahasa adalah mashdar dari kata ‫( اَسلَ َم – يُسلِ ُم‬aslama – yuslimu)
artinya di dalam Bahasa Arab adalah menyerahkan.

Agama Islam dinamakan sebagai agama penyerahan, karena orang yang masuk
dalam agama Islam berarti dia telah siap dan bersedia menyerahkan ibadahnya
hanya kepada Allah, siap untuk taat kepada Allah, dan berlepas diri dari kesyirikan
dan pelakunya.

Seorang Nasrani yang dahulunya dia menyembah Allah, Nabi Isa, dan Maryam, maka
ketika dia masuk Islam, dia harus menyerahkan ibadahnya hanya kepada Allah dan
meninggalkan peribadatan kepada Nabi Isa dan Maryam.

Seseorang ketika masuk ke dalam agama Islam dengan dua kalimat syahadat, maka
dengannya dia dianggap sebagai seorang muslim, dijaga darahnya, kehormatannya,
sebagaimana sabda Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam,

َ َّ‫ت َأ ْن ُأقَاتِ َل الن‬


َّ ‫ َويُقِي ُموا ال‬،ِ ‫اس َحتَّى يَ ْشهَدُوا َأ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ هَّللا ُ و َأ َّن ُم َح َّمدًا َرسُو ُل هَّللا‬
‫ فَِإ َذا‬،َ‫ َويُْؤ تُوا ال َّزكَاة‬،َ‫صالَة‬ ُ ْ‫ُأ ِمر‬
‫ َو ِح َسابُهُ ْم َعلَى هللا‬،‫ق اِإل ْسالَ ِم‬ ِّ ‫ص ُموا ِمنِّي ِد َما َءهُ ْم َوَأ ْم َوالَهُ ْم ِإالَّ بِ َح‬
َ ‫فَ َعلُوا َذلِكَ َع‬
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan dan
bersyahadat laailaha illallaah dan bersyahadat Muhammad Rasulullah, kemudian
mendirikan sholat, membayar zakat. Maka apabila mereka melakukan itu semua,
sungguh mereka telah menjaga dariku darah mereka dan harta mereka, kecuali
dengan hak Islam. Dan hisab mereka adalah atasAllah.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Keislaman tersebut bisa batal apabila melakukan satu diantara Nawaqidul Islam. Dan
pembatal-pembatal keislaman ada yang berupa ucapan, keyakinan di dalam hati,
dan perbuatan anggota badan.
Pembatal berupa ucapan, seperti orang yang mencela Allah dan Rasul-Nya, berdo’a
kepada selain Allah, dan lain-lain, yang nanti akan datang penjelasannya, Insya Allah.

Diantara dalil yang menunjukkan bahwa di sana ada ucapan yang bisa menjadikan
seseorang kufur adalah firman Allah,
۟ ‫وا َكلِمةَ ۡٱل ُك ۡفر َو َكفَر‬
ۡ‫ُوا بَ ۡع َد ِإ ۡسلَ ٰـ ِم ِهم‬ ۟ ُ‫َولَقَ ۡد قَال‬
ِ َ
[Surat At-Tawbah 74]

“Dan sungguh mereka (yaitu orang-orang munafik) telah mengucapkan ucapan yang
kufur. Dan mereka telah kufur setelah keislaman mereka.”

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

Halaqah 3 | Pengantar Penjelasan Kitab Nawaqidul Islam Bagian 3

Halaqah yang ke tiga dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam yang
ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Diantara kaidah yang disebutkan oleh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di dalam
masalah pembatal keislaman adalah:

• Terkadang seseorang mengucapkan ucapan yang kufur atau melakukan amalan


yang kufur akan tetapi tidak dihukumi sebagai orang yang kafir, karena di sana ada
syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika seseorang dihukumi sebagai orang yang
kafir. Diantaranya:

1. Baligh
Apabila dia belum baligh, anak kecil misalnya, dia mengatakan Aku adalah Tuhan.
Ucapan dia ini adalah ucapan yang kufur dan tidak diragukan dia adalah ucapan yang
kufur. Tapi karena yang mengucapkan adalah seorang anak kecil yang belum baligh,
maka tidak dihukumi anak kecil tersebut sebagai orang yang keluar dari agama Islam.

Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

‫ وعن مجنون حتى يفيق‬، ‫ وعن نائم حتى يستيقظ‬،‫ عن صبي حتى يبلغ‬: ‫رفع القلم عن ثالثة‬

“Diangkat pena dari tiga golongan: dari anak kecil sampai dia baligh, dan dari orang
yang tidur sampai dia bangun, dan dari orang yang gila sampai dia sadar.” [HR. At
Tirmidzi]

2. Berakal
Apabila ada seorang muslim yang tidak berakal mengucapkan ucapan yang kufur,
maka tidak dianggap kafir, karena dia mengucapkan ucapan tersebut dalam keadaan
dia tidak berakal.
Orang yang mabuk misalnya, dia mengucapkan ucapan yang kufur, maka tidak
dianggap sebagai orang yang kafir.

3. Diantara syaratnya seseorang mengucapkan atau melakukan kekufuran, dalam


keadaan dia memiliki kehendak sendiri dan bukan sedang dipaksa oleh orang lain.
Terkadang seseorang dipaksa untuk mengucapkan ucapan yang kufur atau
melakukan perbuatan yang kufur, padahal hatinya mengingkari. Dia beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, dia yakin seyakin-yakinnya dengan Islam, tetapi apabila dia
tidak mengucapkan kalimat kufur tersebut, dia akan dibunuh atau diancam akan
disiksa. Kondisinya dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur. Kalau itu terjadi,
maka hal ini tidak mengeluarkan dia dari Islam.
Ucapan dia adalah ucapan yang kufur, akan tetapi tidak dihukumi sebagai orang yang
kafir atau musyrik.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

(ِ ‫ض ࣱب ِّمنَ ٱهَّلل‬ َ ‫َمن َكفَ َر بِٱهَّلل ِ ِم ۢن بَ ۡع ِد ِإی َم ٰـنِ ۤ ِهۦ ِإاَّل َم ۡن ُأ ۡك ِرهَ َوقَ ۡلبُهۥُ ُم ۡط َم ِٕى ۢ ُّن بِٱِإۡل ی َم ٰـ ِن َولَ ٰـ ِكن َّمن ش ََر َح بِ ۡٱل ُك ۡف ِر‬
َ ‫ص ۡد ࣰرا فَ َعلَ ۡی ِهمۡ َغ‬
ِ ‫) َولَهُمۡ َع َذابٌ ع‬
‫َظی ࣱم‬
[Surat An-Nahl 106]

“Barangsiapa yang kufur kepada Allah setelah keimanan dia, kecuali orang yang
dipaksa, sedangkan hatinya dalam keadaan tenang dengan keimanan. Akan tetapi
orang yang lapang dengan kekufuran, maka merekalah orang-orang yang
mendapatkan kemarahan dari Allah dan merekalah orang-orang yang mendapatkan
adzab yang besar.”

Ayat ini turun ketika Ammar bin Yasir radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dipaksa oleh orang-
orang musyrikin untuk mengucapkan kalimat kufur, disuruh untuk mencela
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan saat itu beliau dalam keadaan disiksa,
sehingga beliau pun terpaksa mengucapkan kalimat kufur padahal di dalam hati,
beliau tenang dengan keimanan.

Rasulullah shallallāhu’ alaihi wa sallam bersabda,

‫ِإ َّن هللاَ تَ َجا َو َز لِي ع َْن ُأ َّمتِي ْالخَ طََأ َوالنِّ ْسيَانَ َو َما ا ْستُ ْك ِرهُوْ ا َعلَ ْي ِه‬

“Sesungguhnya Allah telah memaafkan untukku dari ummatku, kesalahan, lupa, dan
apa yang mereka dipaksa untuk melakukannya.” [HR. Ibnu Majah]

Dari sini kita mengetahui kehati-hatian ahlussunnah di dalam masalah Nawaqidul


Islam dan di dalam masalah pengkafiran. Apalagi di dalam sebuah hadits, Rasulullah
shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َمن قَال َأِل ِخ ْي ِه يَا كَافِ ُر فَقَ ْد بَا َء بِهَا َأ َح ُدهُ َما‬

“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya, Wahai orang yang kafir, maka
sungguh kekafiran ini kembali kepada salah satu diantara keduanya.” [HR. Bukhari
dan Muslim]

Menghukumi bahwasanya si fulan adalah kafir,


si fulan adalah musyrik, ini dilakukan oleh para ulama yang ilmunya sudah
mendalam, yang terpenuhi pada dirinya syarat-syarat sebagai seorang mujtahid
(mufti) yang berfatwa di dalam hukum-hukum agama.

Masuk kita pada pembahasan kitab ini.

Berkata Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, Bismillahirrahmanirrahim, dengan


menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Beliau memulai kitab ini dengan Basmalah, meniru Allah di dalam Al-Qur’an, karena
ayat yang pertama di dalam mushaf adalah Basmalah. Dan yang ke dua meneladani
Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam karena ketika Beliau menulis surat-surat
dakwah kepada Islam, Beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam memulai surat-surat
tersebut dengan Basmalah. Dan inilah yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman
‘alaihissalam ketika mengirim surat kepada Bilqis. Beliau memulai dengan Basmalah.

Allah berfirman menceritakan ucapan Ratu Bilqis,

(‫)ِإنَّهۥُ ِمن ُسلَ ۡی َمـٰنَ َوِإنَّهۥُ بِ ۡس ِم ٱهَّلل ِ ٱلر َّۡح َم ٰـ ِن ٱل َّر ِح ِیم‬
[Surat An-Naml 30]

“(berkata Ratu Bilqis), Ini adalah dari Sulaiman dan isinya Bismillahirrahmanirrahim.”

Yaitu surat Nabi Sulaiman diawali dengan Basmalah.

Memulai dengan Basmalah maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Allah.


Karena ‫ ب‬di dalam ucapan ‫ بسم هللا‬adalah ‫ ب‬Al Isti’anah, yaitu huruf ‫ ب‬yang maknanya
memohon pertolongan.

‫ بسم هللا‬Dengan menyebut nama Allah, maksudnya adalah Aku memohon pertolongan
kepada Allah dengan menyebut nama-Nya.

Ismullah, yaitu nama Allah di sini mencakup seluruh nama Allah. Karena di dalam
Bahasa Arab, apabila sebuah kata yang mufrod (tunggal) disandarkan, maka
maknanya adalah umum.
Ismu (nama) adalah tunggal. Disandarkan kepada lafdzul jalalah yaitu Allah, sehingga
maknanya semua nama Allah. Ini seperti kata ‫ نعمة هللا‬di dalam firman Allah,
۟ ‫وا ۡٱذ ُكر‬
ۡ‫ُوا نِ ۡع َمةَ ٱهَّلل ِ َعلَ ۡی ُكم‬ ۟ ُ‫یَ ٰۤـَأیُّهَا ٱلَّ ِذینَ َءامن‬
َ
[Surat Al-Ahzab 9]

“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah nikmat Allah atas kalian.”

Nikmat di sini adalah mufrod (tunggal), tapi maksudnya adalah sebutlah atau
ingatlah nikmat-nikmat Allah atas kalian.
Demikian pula dengan kalimat Basmalah. Dengan menyebut nama Allah, maksudnya
adalah nama-nama Allah. Dan nama-nama Allah yang paling baik maksudnya adalah
nama-nama Allah yang paling baik yang Allah sebutkan di dalam firman-Nya,

‫َوهَّلِل ِ ٱَأۡل ۡس َم ۤا ُـء ۡٱلح ُۡسن َٰى فَ ۡٱدعُوهُ بِهَ ۖا‬


[Surat Al-A’raf 180]

“Dan Allah, Dia-lah yang memiliki Asmaul Husna, maka hendaklah kalian berdo’a
dengannya.”

Allah adalah lafdzul jalalah dan Dia adalah nama Allah yang paling besar. Nama-nama
Allah yang lain disandarkan pada lafdzul jalalah.
Seseorang mengatakan Ar Rahman adalah diantara nama-nama Allah, Ar Rahim
adalah diantara nama-nama Allah, Al ‘Aziz adalah diantara nama-nama Allah. Namun
tidak bisa dia mengatakan bahwa Allah adalah diantara nama-nama Ar Rahman.

Dan lafdzul jalalah berasal dari kata Al Ilaah, artinya adalah Al Ma’bud (yang
disembah). Sehingga makna Allah adalah sesembahan yang berhak disembah.

Ar Rahman adalah nama Allah yang maknanya Maha Penyayang. Nama ini
mengandung sifat Rahmah (kasih sayang). Dan nama-nama Allah adalah nama-nama
yang memiliki makna, sehingga dinamakan dengan Asmaul Husna karena dia
mengandung makna yang paling baik. Berbeda dengan nama makhluk. Terkadang
seseorang memiliki nama yang baik, namun dia memiliki perangai yang buruk.
Namanya Sholeh tetapi dia bukan orang yang sholeh. Namanya Abdullah, tetapi dia
menyekutukan Allah.

Ar Rahim artinya juga Maha Penyayang. Nama ini mengandung sifat Ar Rahmah.
Perbedaan antara Ar Rahman dan Ar Rahim bahwa Ar Rahman mengandung sifat
kasih sayang Allah yang mencakup seluruh makhluk, baik yang beriman maupun
yang tidak beriman. Orang yang kafir di dunia juga mendapatkan sebagian dari
rahmat Allah, seperti nikmat hidup, nikmat waktu, nikmat sehat, nikmat rezeki, dll.
Ar Rahim mengandung sifat kasih sayang Allah yang Allah khususkan bagi orang-
orang yang beriman, seperti hidayah kepada Islam, kenikmatan di dalam alam kubur,
kenikmatan di dalam surga, dll.
Allah berfirman,
‫َو َكانَ بِ ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِینَ َر ِحی ࣰما‬
[Surat Al-Ahzab 43]

“Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla sangat sayang kepada orang-orang yang beriman.”

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Halaqah 4 | Penjelasan Pembatal Keislaman Pertama Bagian 1

Halaqah yang ke empat dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam
yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Beliau mengatakan,

‫ض اِإل سْاَل ِم َع َش َرة‬ ِ ِ‫ا ْعلَ ْم َأ َّن ِم ْن َأ ْعظَ ِم نَ َواق‬:ً


﴾‫ك ِل َمن يَشَاء‬ َ ِ‫ك بِ ِه َويَ ْغفِ ُر َما ُدونَ َذل‬ َ ‫ ﴿ِإ َّن هَّللا َ الَ يَ ْغفِ ُر َأن يُ ْش َر‬:‫ال هَّللا ِ تَ َعالَى‬ ُ ْ‫ ال ِّشر‬:ُ‫اَأل َّول‬
َ َ‫ ق‬،‫ك فِي ِعبَا َد ِة هللاِ تعالى‬
‫ َك َم ْن يَ ْذبَ ُح لِ ْل ِجنِّ َأوْ لِ ْلقَب ِْر‬،ِ‫و ِم ْنهُ ال َّذ ْب ُح لِ َغي ِْر هللا‬.
َ

Beliau mengatakan,
“Ketahuilah, sesungguhnya termasuk Nawaqidul Islam atau pembatal-pembatal
keislaman yang paling besar adalah 10 perkara.

1. Menyekutukan di dalam beribadah kepada Allah.


Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik
dan mengampuni dosa yang lain, yang di bawahnya, bagi siapa yang dikehendaki.”
Dan diantaranya adalah menyembelih untuk selain Allah, seperti orang yang
menyembelih untuk jin atau untuk kuburan.
Ucapan beliau ‫ ا ْعلَ ْم‬yang artinya adalah ‘pelajarilah’, kalimat ini digunakan oleh orang
Arab untuk memberitahu sesuatu yang penting.

Beliau mengatakan,

ِ ِ‫َأ َّن ِم ْن َأ ْعظَ ِم نَ َواق‬


‫ض اِإل سْاَل ِم َع َش َرة‬

“Sesungguhnya diantara pembatal-pembatal keislaman yang paling besar adalah 10


perkara.”

Ucapan beliau ‫ ِم ْن َأ ْعظَ ِم‬atau diantara yang paling besar, menunjukkan bahwa di sana
sebenarnya banyak pembatal-pembatal keislaman, akan tetapi yang paling besar dan
yang sering terjadi adalah 10 pembatal keislaman yang akan beliau sebutkan.

1. Syirik di dalam beribadah kepada Allah


Beliau menjadikan syirik sebagai pembatal keislaman yang pertama karena syirik
adalah dosa yang paling besar. Tidak ada dosa yang lebih besar daripada syirik
kepada Allah.
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َأاَل ُأنَبُِّئ ُك ْم بَِأ ْكبَ ِر ْال َكبَاِئ ِر؟‬

“Maukah aku kabarkan kepada kalian dengan dosa-dosa besar yang paling besar?”

Mereka berkata, Iya wahai Rasulullah.


Maka Beliau menyebutkan yang pertama adalah ِ ‫ك بِاهَّلل‬
ُ ‫( اِإْل ْش َرا‬menyekutukan Allah).
[HR. Bukhari dan Muslim]

Di dalam hadits yang lain, beliau ditanya oleh sebagian sahabat,

‫ب َأ ْعظَ ُم ِع ْن َد هَّللا ِ؟‬


ِ ‫َأيُّ ال َّذ ْن‬

“Wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar di sisi Allah?”


Beliau mengatakan,

َ‫َأ ْن تَجْ َع َل هَّلِل ِ نِ ًّدا َوه َُو خَ لَقَك‬

“Engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia-lah yang telah menciptakan
dirimu.” [Hadits shahih diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim].
Orang yang beriman dengan Rububiyyah Allah, beriman bahwasanya Allah yang
telah menciptakan dia dan orang-orang sebelumnya, menciptakan langit dan bumi,
menciptakan seluruh alam semesta, seharusnya hanya menyerahkan ibadahnya
kepada Allah Azza wa Jalla.
Allah berfirman,
۟ ‫ٱعبُد‬
( َ‫ُوا َربَّ ُك ُم ٱلَّ ِذی خَ لَقَ ُكمۡ َوٱلَّ ِذینَ ِمن قَ ۡبلِ ُكمۡ لَ َعلَّ ُكمۡ تَتَّقُون‬ ۡ ُ‫)یَ ٰۤـَأیُّهَا ٱلنَّاس‬
[Surat Al-Baqarah 21]

“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan
menciptakan orang-orang sebelum kalian supaya kalian bertakwa.”
Dan Allah berfirman,

ُ‫ٱعبُدُو ۚه‬ ُ ِ‫ذلِ ُك ُم ٱهَّلل ُ َربُّ ُكمۡۖ اَل ۤ ِإلَ ٰـهَ ِإاَّل ه ۖ َُو خَ ٰـل‬
ۡ َ‫ق ُكلِّ ش َۡی ࣲء ف‬
[Surat Al-An’am 102]

“Itulah Rabb kalian, yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia.
Dia-lah yang menciptakan segala sesuatu, maka hendaklah kalian hanya
menyembah-Nya.”

Di dalam Al-Qur’an, ketika Allah menyebutkan perkara-perkara yang diharamkan,


yang pertama kali Allah sebutkan ada syirik.
Allah berfirman,
۟ ‫قُ ۡل تَ َعالَ ۡو ۟ا َأ ۡت ُل ما َح َّرم َربُّ ُكمۡ َعلَ ۡی ُكمۡۖ َأاَّل تُ ۡشر ُك‬
‫وا بِ ِهۦ ش َۡی ࣰٔـ ۖا‬ ِ َ َ
[Surat Al-An’am 151]

“Katakanlah (Wahai Muhammad), kemarilah kalian, aku bacakan kepada kalian


perkara-perkara yang diharamkan oleh Rabb kalian, yaitu supaya kalian tidak
menyekutukan Allah sedikit pun.”

Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla ketika menyebutkan tentang 10 hak di dalam surat
An Nisa, hak yang pertama yang disebutkan adalah hak Allah sebelum hak yang lain.
Allah berfirman,
ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۖ ۟ ۟ ۡ ‫َو‬
ِ ‫ار ِذی ٱلقُ ۡربَ ٰى َوٱل َج‬
‫ار‬ ِ ‫ٱعبُدُوا ٱهَّلل َ َواَل تُ ۡش ِر ُكوا بِ ِهۦ ش َۡی ࣰٔـا َوبِٱلوالِد َۡی ِن ِإ ۡح َس ٰـ ࣰنا َوبِ ِذی ٱلقُ ۡربَ ٰى َوٱلیَتَ ٰـ َم ٰى َوٱل َم َس ٰـ ِكی ِن َوٱل َج‬
ِ ‫ب بِ ۡٱل َج ۢن‬
ۗۡ‫ب َو ۡٱب ِن ٱل َّسبِی ِل َو َما َملَك َۡت َأ ۡی َم ٰـنُ ُكم‬ ِ ‫ب َوٱلصَّا ِح‬ ِ ُ‫ۡٱل ُجن‬
[Surat An-Nisa’ 36]

“Dan sembahlah Allah, dan janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu
apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman, ibnu
sabil, dan hamba sahaya yang kalian miliki.”

Oleh karena itu, Syeikh menjadikan pembatal keislaman yang pertama adalah syirik
di dalam beribadah kepada Allah.

Syirik membatalkan keislaman karena syirik bertentangan dengan persaksian


seorang muslim bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.

Persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah
konsekuensinya tidak boleh dia serahkan ibadah sekecil apapun kepada selain Allah,
baik jin, pohon, batu, Nabi, malaikat, dll.

Kalau seseorang menyerahkan sebagian ibadah kepada selain Allah, berarti dia telah
membatalkan keislamannya.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

Halaqah 5 | Penjelasan Pembatal Keislaman Pertama Bagian 2

Halaqah yang ke lima dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam yang
ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Setelah kita mengetahui bahwa menyekutukan Allah di dalam ibadah membatalkan


keislaman, maka wajib bagi kita mengetahui apa itu ibadah. Orang yang tidak
mengetahui makna ibadah, dikhawatirkan dia akan menyerahkan sebagian ibadah
kepada selain Allah.
Ibadah adalah:

‫ال الظَّا ِه َر ِة َوالبَا ِطنَ ِة‬


ِ ‫ضاهُ ِم ْن اَأْل ْق َوا ِل َواَأْلف َع‬
َ ْ‫ا ْس ٌم َجا ِم ٌع لِ ُكلِّ َما يُ ِحبُّهُ هَّللا ُ َويَر‬
“Seluruh perkara yang dicintai dan diridhoi oleh Allah, baik berupa ucapan maupun
perbuatan yang dhohir maupun yang batin.”

Kita mengetahui sesuatu ucapan atau perbuatan dicintai dan diridhoi oleh Allah dari
kabar yang Allah sebutkan di dalam Al Qur’an atau kabar Rasulullah shallallāhu ‘alaihi
wa sallam sebagai utusan-Nya.

Terkadang kita mengetahui sesuatu ucapan atau amalan dicintai oleh Allah ketika
Allah mengabarkan bahwa Allah mencintai orang-orang yang melakukan perbuatan
tersebut, misalnya Allah berfirman,

َّ ‫َوٱهَّلل ُ یُ ِحبُّ ٱل‬


َ‫ص ٰـبِ ِرین‬
[Surat Ali Imran 146]

“Dan Allah mencintai orang-orang yang bersabar.”

Dalam ayat ini Allah mengabarkan bahwasanya Allah mencintai orang-orang yang
bersabar, mencintai sifat sabar. Kalau sabar dicintai oleh Allah, berarti sabar adalah
ibadah. Dan kalau ibadah, maka tidak boleh diserahkan kepada selain Allah.

Dalam ayat yang lain Allah mengabarkan bahwa Allah mencintai orang-orang yang
berbuat baik (Al Baqarah 195). Mencintai orang-orang yang bertaubat dan
membersihkan diri dari dosa (Al Baqarah 222). Dan terkadang kita mengetahui Allah
mencintai sebuah amalan atau ucapan karena Allah memerintahkan dengan amalan
tersebut. Dan setiap yang Allah perintahkan berarti dicintai Allah. Dan kalau amalan
tersebut dicintai maka amalan tersebut adalah ibadah. Dan kalau amalan tersebut
adalah ibadah, maka tidak boleh diserahkan kepada selain Allah.

Contoh amalan yang diperintahkan adalah sholat dan zakat.


Allah Subhānahu wa Ta’āla mengatakan,
۟ ُ‫صلَ ٰوةَ َو َءات‬
َ‫وا ٱل َّزك َٰوة‬ ۟ ‫َوَأقِی ُم‬
َّ ‫وا ٱل‬
“Dan hendaklah kalian mendirikan sholat dan membayar zakat.” [Al Baqarah 43]

Di sini Allah memerintahkan untuk mendirikan sholat dan membayar zakat. Berarti
keduanya dicintai oleh Allah, karena Allah tidak memerintahkan kecuali sesuatu yang
dicintai dan diridhoi. Berarti sholat dan zakat adalah ibadah, hanya untuk Allah dan
tidak boleh diserahkan kepada selain Allah.

Dan terkadang kita mengetahui Allah mencintai sebuah amalan ketika Allah memuji
orang-orang yang mengamalkannya. Karena Allah tidak memuji kecuali orang-orang
yang Dia cintai. Yang mereka mengamalkan apa yang dicintai oleh Allah. Misalnya
Allah berkata memuji orang-orang yang menunaikan nadzarnya.

(‫)یُوفُونَ بِٱلنَّ ۡذ ِر َویَخَافُونَ یَ ۡو ࣰما َكانَ شَرُّ هۥُ ُم ۡستَ ِطی ࣰرا‬
[Surat Al-Insan 7]

Pujian Allah Subhānahu wa Ta’āla, mereka adalah orang-orang yang


menyempurnakan nadzarnya dan takut dengan suatu hari yang kejelekannya
menyelimuti.

Pujian Allah Subhānahu wa Ta’āla menunjukkan bahwasanya Allah mencintai orang-


orang yang menyempurnakan nadzar dan perbuatan tersebut.

Ibadah ada yang berupa ucapan dan ada yang berupa perbuatan. Berupa ucapan
seperti mengucapkan tasbih, tahlil, tahmid, bersholawat atas Nabi shallallāhu ‘alaihi
wa sallam, membaca Al Qur’an, berdo’a, dll.
Berupa amalan seperti melakukan sholat, membayar zakat, berjihad, berhaji, dll.

Ibadah ada yang dhohir dan ada yang batin. Ibadah yang dhohir artinya adalah
ibadah yang bisa terlihat oleh orang lain, seperti sholat, jihad, dll.
Ibadah yang batin adalah ibadah yang ada di dalam hati manusia, seperti tawakal
kepada Allah, cinta kepada Allah, takut kepada Allah, kembali atau inabah kepada
Allah, dll. Semua ini adalah ibadah. Dan semua ibadah harus diserahkan hanya
kepada Allah. Tidak boleh sedikitpun diserahkan kepada selain Allah. Barangsiapa
yang menyerahkan sebagian ibadah dari ibadah-ibadah tadi kepada selain Allah,
maka dia telah menyekutukan Allah di dalam ibadah, dan ini merupakan pembatal
keislaman yang paling besar.
Kemudian Syeikh menyebutkan dalil bahwa kesyirikan adalah pembatal keislaman,
yaitu firman Allah,

‫ك بِ ِهۦ َویَ ۡغفِ ُر َما ُدونَ َذلِكَ لِ َمن یَش َۤا ۚ ُء‬
َ ‫ ِإ َّن ٱهَّلل َ اَل یَ ۡغفِ ُر َأن ی ُۡش َر‬
[Surat An-Nisa’ 48 dan 116]

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa
yang di bawah syirik bagi siapa yang dikehendaki.”

Allah tidak mengampuni dosa syirik padahal Allah adalah Al Ghofur (Yang Maha
Pengampun). Dan ini menunjukkan tentang betapa besarnya dosa syirik.
Dan yang dimaksud dosa syirik yang tidak diampuni di sini adalah ketika seseorang
bertemu dengan Allah dalam keadaan membawa dosa syirik tersebut dan belum
bertaubat di masa hidupnya. Dan maksud tidak diampuni adalah dia harus diadzab.

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

َ َّ‫ات و ْه َو يَ ْدعُو ِمن دُو ِن هَّللا ِ نِ ًّدا َدخَ َل الن‬


‫ار‬ ‫َمن َم َـ‬

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan dia menyekutukan Allah, maka dia masuk ke
dalam neraka.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Seorang yang meninggal dunia dalam keadaan menyekutukan Allah, inilah orang
yang masuk ke dalam neraka dan dialah yang tidak akan diampuni.

Dalam hadits yang lain, Beliau mengatakan,

ُ ‫َمن لَقِ َي هللاَ يُ ْش ِر‬


َ َّ‫ك بِ ِه َش ْيًئا َد َخ َل الن‬
‫ار‬

“Barangsiapa yang bertemu dengan Allah dalam keadaan dia menyekutukan Allah,
maka dia masuk ke dalam neraka.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Tapi kalau dia bertaubat dari perbuatan syirik tersebut di masa hidupnya, maka Allah
Maha Pengampun dan Maha Pemberi Taubat. Sebesar apapun dosanya, baik berupa
syirik, kekufuran, kenifakan, kalau dia bertaubat dengan taubat yang nasuha
sebelum dia meninggal dunia, maka akan diampuni oleh Allah.
Allah berfirman,
(۞ ‫وب َج ِمیع ًۚا ِإنَّهۥُ هُ َو ۡٱل َغفُو ُر‬ ۟ ُ‫وا َعلَ ٰۤى َأنفُ ِس ِهمۡ اَل ت َۡقنَط‬
َ ُ‫وا ِمن ر َّۡح َم ِة ٱهَّلل ۚ ِ ِإ َّن ٱهَّلل َ یَ ۡغفِ ُر ٱل ُّذن‬ ۟ ُ‫ی ٱلَّ ِذینَ َأ ۡس َرف‬
َ ‫قُ ۡل یَ ٰـ ِعبَا ِد‬
‫)ٱل َّر ِحی ُم‬
[Surat Az-Zumar 53]

“Katakanlah, Wahai hamba-hambaku yang telah berlebih-lebihan terhadap dirinya


sendiri (melakukan kemaksiatan), janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Halaqah 6 | Penjelasan Pembatal Keislaman Pertama Bagian 3

Halaqah yang ke enam dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam yang
ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Berkata Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab,

ِ‫َو ِم ْنهُ ال َّذ ْب ُح لِ َغي ِْرهللا‬

“Dan diantara contoh kesyirikan adalah menyembelih untuk selain Allah.”

Menyembelih untuk selain Allah adalah syirik, karena menyembelih adalah ibadah.
Allah berfirman,

( َ‫ت َوَأن َ۠ا َأ َّو ُل ۡٱل ُم ۡسلِ ِمین‬


ُ ‫ك ُأ ِم ۡر‬ ۡ
ِ ‫ای َو َم َماتِی هَّلِل ِ َربِّ ٱل َع ٰـلَ ِمینَ ۝ اَل ش‬
َ ِ‫َریكَ لَ ۖۥهُ َوبِ َذ ل‬ َ ‫)قُ ۡل ِإ َّن‬
َ َ‫صاَل تِی َونُ ُس ِكی َو َم ۡحی‬
[Surat Al-An’am 162 – 163]
“Katakanlah, sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku, adalah
untuk Allah, Rabbul ‘Alamin. Tidak ada sekutu baginya. Dan demikianlah aku
diperintahkan, dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.”

Allah menyebutkan bahwa menyembelih adalah untuk Allah. Kata ِ ‫ هَّلِل‬artinya adalah
hanya untuk Allah. Tidak boleh diserahkan kepada selain Allah. Orang yang
menyerahkan sembelihan kepada selain Allah maka dia telah menyekutukan Allah di
dalam ibadah.
Allah berfirman dalam ayat yang lain,

(‫ك َو ۡٱن َح ۡر‬ َ َ‫)ف‬


َ ِّ‫ص ِّل لِ َرب‬
[Surat Al-Kautsar 2]

“Hendaklah engkau sholat untuk Rabb-mu dan hendaklah engkau menyembelih


untuk Rabb-mu.”

Allah memerintahkan menyembelih hanya untuk Allah. Dan telah berlalu bahwa
perintah menunjukkan bahwa menyembelih adalah amalan yang dicintai Allah. Dan
kalau dicintai maka dia adalah ibadah, sehingga tidak boleh diserahkan kepada selain
Allah. Barangsiapa yang menyembelih untuk selain Allah maka dia telah terjerumus
ke dalam syirik yang besar. Dan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫لغيرهَّللا‬
ِ َ ‫لَعنَ هَّللا ُ َمن‬
‫ذبح‬

“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.” [HR. Muslim]

Di sini Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam berdo’a kepada Allah supaya orang
yang menyembelih untuk selain Allah mendapatkan laknat dari Allah. Dan yang
dimaksud dengan laknat adalah dijauhkan dari rahmat Allah. Dan yang dimaksud
dengan menyembelih untuk selain Allah adalah menyembelih seekor hewan dengan
tujuan bertaqarrub atau mendekatkan diri kepada selain Allah.

Syeikh mengatakan,

ِّ‫َك َم ْن يَ ْذبَ ُح لِ ْل ِجن‬

“Seperti orang yang menyembelih untuk jin.”


Jin di sini, terkadang oleh manusia diberi gelar-gelar tertentu, seperti ‘penguasa laut
selatan’, ‘penguasa gunung A’, ‘yang mbaureksa sungai B’, dll. Di sebagian daerah
penduduknya menyembelih seekor hewan kemudian kepala hewan tersebut
ditanam dan tujuannya adalah untuk mendekatkan diri kepada yang menunggu laut
atau sungai atau gunung tersebut, supaya penunggu-penunggu tersebut tidak
memudhoroti orang-orang yang tinggal di sekitarnya.

Kemudian beliau berkata,

‫َأوْ لِ ْلقَبْر‬

“Atau menyembelih untuk kuburan.”

Maksudnya untuk orang yang dikuburkan di tempat tersebut, baik yang dikuburkan
adalah seorang Nabi, atau wali, atau yang lain.
Barangsiapa yang menyembelih di samping kuburan seseorang dengan tujuan
mendekatkan diri kepada orang tersebut, maka dia telah terjerumus ke dalam
kesyirikan yang besar.

Apa yang beliau sebutkan hanyalah sekedar contoh. Di sana banyak contoh-contoh
kesyirikan yang tidak beliau sebutkan di dalam kitab ini.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Halaqah 7 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke Dua Bagian 1

Halaqah yang ke tujuh dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam yang
ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.
Berkata Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab,

‫ َويَتَ َو َّك ُل َعلَ ْي ِه ْم َكفَ َر ِإجْ َماعًا‬،َ‫ َم ْن َج َع َل بَ ْينَهُ َوبَ ْينَ هللاِ َو َساِئطَ يَ ْدعُوهُ ْم َوي ْسَألُهُ ْم ال َّشفَا َعة‬:‫الثَّانِي‬

“Ke dua, barangsiapa yang menjadikan antara dia dan Allah perantara-perantara,
berdo’a kepada mereka, meminta kepada mereka syafa’at, dan bertawakal kepada
mereka, maka dia telah kufur, dengan kesepakatan para ulama.”

Hubungan antara pembatal keislaman yang pertama dan ke dua, bahwa pembatal
keislaman yang pertama lebih umum, karena yang pertama mencakup berbagai jenis
syirik besar. Sedangkan yang ke dua ini berbicara tentang satu diantara jenis-jenis
syirik yang besar. Dan dikhususkan oleh penulis – Wallahu Ta’ala A’lam – karena
banyaknya manusia yang terjerumus ke dalam jenis kesyirikan yang satu ini.

Beliau mengatakan, barangsiapa yang menjadikan antara dia dengan Allah


perantara-perantara. Maksudnya adalah di dalam ibadah, menjadikan makhluk, baik
itu seorang Nabi, malaikat, atau orang yang shalih, sebagai perantara di dalam
ibadahnya kepada Allah agar mendekatkan dia kepada Allah. Atau menjadikan dia
sebagai syufa’a (orang-orang yang memberikan syafa’at baginya di sisi Allah) dan
bertawakal kepada perantara tersebut, maka ini adalah perbuatan yang diharamkan,
termasuk kesyirikan, karena berdo’a dan bertawakal adalah ibadah yang tidak boleh
diserahkan kepada selain Allah.

Dalil yang menunjukkan bahwa do’a adalah ibadah, firman Allah,

ِ ‫ال َربُّ ُك ُم ۡٱدعُونِ ۤی َأ ۡستَ ِج ۡب لَ ُكمۡۚ ِإ َّن ٱلَّ ِذینَ یَ ۡست َۡكبِرُونَ ع َۡن ِعبَا َدتِی َسیَ ۡد ُخلُونَ َجهَنَّ َم د‬
( َ‫َاخ ِرین‬ َ َ‫)وق‬
َ
[Surat Ghafir 60]

“Dan Rabb kalian berkata, ‘Berdo’alah kalian kepada-Ku niscaya aku akan
mengabulkan untuk kalian.’ Sesungguhnya orang-orang yang sombong dari
beribadah kepada-Ku, niscaya mereka akan masuk ke dalam neraka Jahannam dalam
keadaan hina.”

Ayat ini menunjukkan bahwa do’a adalah ibadah, dari dua sisi:
1. Allah memerintahkan kita untuk berdo’a kepada-Nya. Berarti Allah mencintai do’a.
Dan ini menunjukkan bahwa do’a adalah ibadah.
2. Allah menamakan do’a dengan ibadah. Karena setelah Allah mengatakan,
‘Berdo’alah kalian kepada-Ku’ Allah berkata setelahnya, ‘Sesungguhnya orang-orang
yang sombong dari beribadah kepada-Ku’.
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ُ‫ال ُّدعَاء هُ َو ْال ِعبَا َدة‬, Do’a itu
adalah ibadah.” [HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, dan juga Ibnu Majah, dan
dishahihkan oleh Syeikh Al Albani Rahimahullah.

Kemudian beliau membaca ayat yang ke-60 dari surat Ghafir di atas.
Sehingga barangsiapa yang berdo’a kepada selain Allah, sungguh dia telah
terjerumus ke dalam syirik yang besar, meskipun isi do’anya adalah minta
dimohonkan ampunan atau minta syafa’at, atau minta didekatkan kepada Allah.

Kemudian dalil yang menunjukkan tawakal adalah ibadah, firman Allah,

َ‫َو َعلَى ٱهَّلل ِ فَتَ َو َّكلُ ۤو ۟ا ِإن ُكنتُم ُّم ۡؤ ِمنِین‬


[Surat Al-Ma’idah 23]

“Dan hanya kepada Allah hendaklah kalian bertawakal, kalau kalian benar-benar
beriman.”

Ayat ini menunjukkan bahwa tawakal adalah ibadah, dari dua sisi:
1. Allah memerintahkan untuk bertawakal.
2. Allah menjadikan tawakal sebagai bagian dari keimanan, di dalam firman-Nya,
‘kalau kalian benar-benar beriman’.
Dan iman adalah bagian dari ibadah, karena Allah Subhānahu wa Ta’āla
memerintahkan untuk beriman seperti dalam firman-Nya,
۟ ُ‫یَ ٰۤـَأیُّهَا ٱلَّ ِذینَ َءامنُ ۤو ۟ا َءا ِمن‬
‫وا بِٱهَّلل ِ َو َرسُولِ ِهۦ‬ َ
[Surat An-Nisa’ 136]

“Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Menjadikan orang yang shalih sebagai perantara, berdo’a, meminta syafa’at, dan
bertawakal kepada mereka adalah perbuatan orang-orang musyrikin Quraisy.
Allah telah mengabarkan di dalam Al Qur’an,
( ‫ُون ٱهَّلل ِ َما اَل یَضُرُّ هُمۡ َواَل یَنفَ ُعهُمۡ َویَقُولُونَ هَ ٰۤـُؤاَل ۤ ِء ُشفَ َع ٰۤـُؤ نَا ِعن َد ٱهَّلل ۚ ِ قُ ۡل َأتُنَبِّـُٔونَ ٱهَّلل َ بِ َما اَل یَ ۡعلَ ُم فِی‬
ِ ‫َویَ ۡعبُ ُدونَ ِمن د‬
ُ ۡ َ ۡ ۚ ۡ ‫َأۡل‬
َ‫ض سُب َح ٰـنَهۥُ َوتَ َع ٰـل ٰى َع َّما یُش ِركون‬ ِ ‫ت َواَل فِی ٱ ر‬ ِ ‫)ٱل َّس َم ٰـ َو‬
[Surat Yunus 18]

“Dan mereka (orang-orang musyrikin Quraisy) menyembah kepada selain Allah,


sesuatu yang tidak memberikan mudhorot kepada mereka dan juga tidak
memberikan manfaat. Kemudian mereka berkata, ‘Mereka ini (orang-orang shalih
yang kami sembah), adalah orang-orang yang memberikan syafa’at untuk kami di sisi
Allah. Katakanlah (Wahai Muhammad), apakah kalian memberi tahu kepada Allah,
sesuatu yang tidak Allah ketahui di langit maupun di bumi? Maha Suci Allah dari apa
yang mereka persekutukan.”

Dan ayat ini, Allah mengabarkan kepada kita, tentang hakikat dari peribadatan
sebagian orang-orang musyrikin yang ada di zaman Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam,
yaitu ada diantara mereka yang menjadikan orang-orang shalih sebagai syufa’a, yaitu
orang-orang yang memberikan syafa’at bagi mereka di sisi Allah. Caranya adalah
dengan menyerahkan sebagian ibadah kepada orang-orang shalih tersebut, baik
berupa nadzar, menyembelih, berdo’a, atau meminta syafa’at kepada mereka
seperti mengatakan, ‘Ya Fulan, berikanlah aku syafa’at di sisi Allah.’

Allah berfirman,

ۡ‫َویَ ۡعبُ ُدونَ ِمن دُو ِن ٱهَّلل ِ َما اَل یَضُرُّ هُمۡ َواَل یَنفَ ُعهُم‬

“Mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak memberikan mudhorot


kepada mereka dan tidak memberikan manfaat.”

Seharusnya seseorang beribadah hanya kepada dzat yang memberikan mudhorot


dan memberikan manfaat. Dialah Allah, yang manfaat dan mudhorot seluruhnya di
bawah kekuasaan Allah. Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang,
memberikan manfaat kepada seseorang, maka tidak ada yang bisa menolaknya. Dan
apabila Allah menghendaki mudhorot, maka tidak ada yang bisa menolaknya.

( ‫صیبُ بِ ِهۦ َمن یَش َۤا ُء ِم ۡن ِعبَا ِد ۚ ِهۦ َوهُ َو‬ ۡ َ‫َاشفَ لَ ۤۥهُ ِإاَّل هُ ۖ َو وَِإن ی ُِر ۡدكَ بِ َخ ۡی ࣲر فَاَل َر ۤا َّد لِف‬
ِ ُ‫ضلِ ِۚۦه ی‬ ُ ِ‫َوِإن یَمۡ َس ۡسكَ ٱهَّلل ُ ب‬
ِ ‫ض ࣲّر فَاَل ك‬
ۡ
‫)ٱل َغفُو ُر ٱل َّر ِحی ُم‬
[Surat Yunus 107]
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudhorotan kepadamu, maka tidak ada yang
dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan
untukmu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dialah yang memberikan
kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya, dan
Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Orang-orang yang shalih, mereka sudah meninggal dunia. Menolong diri mereka
sendiri saja mereka tidak mampu, lalu bagaimana mereka bisa menolong orang lain?
Memohonkan ampun untuk diri sendiri sudah tidak bisa, lalu bagaimana mereka
memohonkan ampunan untuk orang lain?
Telah terputus amalan mereka sebagaimana telah terputus amalan selain mereka.
Lalu apa alasan mereka berdo’a kepada orang-orang shalih tersebut?

Allah mengatakan,

ِ ۚ ‫َویَقُولُونَ هَ ٰۤـُؤاَل ۤ ِء ُشفَ َع ٰۤـُؤ نَا ِعن َد ٱهَّلل‬

“Mereka mengatakan, ‘Merekalah yang akan memberikan syafa’at bagi kami di sisi
Allah.'”

Alasan orang-orang musyrikin ketika berdo’a kepada orang-orang shalih tersebut


bukan karena meyakini bahwa mereka mencipta, memberikan rezeki, atau mengatur
alam semesta. Akan tetapi tujuannya adalah supaya mereka-mereka ini memberikan
syafa’at bagi mereka di sisi Allah.

Diantara sesembahan mereka adalah Latta.


Allah berfirman,

(‫)َأفَ َر َء ۡیتُ ُم ٱللَّ ٰـتَ َو ۡٱل ُع َّز ٰى‬


[Surat An-Najm 19]

“Kabarkan kepadaku tentang Al Latta dan Al ‘Uzza.”

Ada yang membaca dengan Al Latta, dengan mentasydid ‫ت‬.


Sebagian salaf menyebutkan bahwa Al Latta ini adalah orang yang shalih. Dan dahulu
apabila datang musim haji, dia sering memberi makan kepada orang-orang yang
sedang beribadah haji. Dan ketika meninggal dunia, maka dia disembah selain Allah.
Orang-orang musyrikin datang ke kuburannya dengan maksud meminta syafa’at.

Kemudian Allah Subhānahu wa Ta’āla membantah keyakinan orang-orang musyrikin


tersebut. Allah mengatakan,

ِ ۚ ‫ت َواَل فِی ٱَأۡل ۡر‬


‫ض‬ ِ ‫قُ ۡل َأتُنَبِّـُٔونَ ٱهَّلل َ بِ َما اَل یَ ۡعلَ ُم فِی ٱل َّس َم ٰـ َو‬

“Katakanlah (Wahai Muhammad), apakah kalian wahai orang-orang musyrikin


mengabarkan kepada Allah sesuatu yang Allah tidak ketahui di langit maupun di
bumi?”

Dari mana kalian tahu?


Maksudnya, dari mana kalian tahu bahwa cara mendapatkan syafa’at adalah dengan
menyembah mereka dan menyerahkan sebagian ibadah kepada mereka?

Ini adalah bantahan dari Allah terhadap orang-orang musyrikin karena mereka
berkata atas nama Allah, apa yang mereka tidak ketahui. Padahal Allah Subhānahu
wa Ta’āla dan Rasul-Nya tidak pernah mengabarkan bahwa untuk mendapatkan
syafa’at dari orang-orang shalih adalah dengan cara mendekatkan diri, beribadah,
atau berdo’a kepada mereka. Cara seperti ini berasal dari bisikan syaithan kemudian
persangkaan mereka semata.

Allah mengatakan,

َ‫س ُۡب َح ٰـنَهۥُ َوتَ َع ٰـلَ ٰى َع َّما ی ُۡش ِر ُكون‬

“Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka sekutukan.”

Allah menamakan perbuatan yang mereka lakukan tersebut sebagai perbuatan


syirik.
Oleh karena itu Syeikh mengatakan,
‫“ َكفَ َر ِإجْ َماعًا‬Dia telah kufur secara ijma’.”
Karena syirik yang besar adalah satu diantara jenis kekufuran.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.
‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Halaqah 8 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke Dua Bagian 2

Halaqah yang ke delapan dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam
yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Diantara keyakinan orang-orang musyrikin Quraisy, bahwa dengan menyembah


orang-orang shalih tersebut mereka bisa semakin dekat dengan Allah.

Allah berfirman,

ۗ ُ‫وا ِمن دُونِ ِۤۦه َأ ۡولِیَ ۤا َء َما ن َۡعبُ ُدهُمۡ ِإاَّل لِیُقَ ِّربُون َۤا ِإلَى ٱهَّلل ِ ُز ۡلفَ ٰۤى ِإ َّن ٱهَّلل َ یَ ۡح ُك ُم بَ ۡینَهُمۡ فِی َما هُمۡ فِی ِه یَ ۡختَلِف‬
(َ ‫ونَ ِإ َّن ٱهَّلل‬ ۟ ‫َوٱلَّ ِذینَ ٱتَّخَ ُذ‬
‫)اَل یَ ۡه ِدی َم ۡن هُ َو َك ٰـ ِذ ࣱب َكفَّا ࣱر‬
[Surat Az-Zumar 3]

“Dan orang-orang yang menjadikan sekutu bagi Allah, mereka mengatakan, ‘Tidaklah
kami menyembah mereka kecuali supaya mereka mendekatkan diri kami kepada
Allah.'”

Mereka mengatakan, “Kami adalah orang-orang yang jauh dari Allah, banyak berbuat
maksiat, banyak melakukan dosa, banyak lalai kepada Allah. Sedangkan orang-orang
shalih tersebut, mereka adalah orang-orang yang memiliki derajat yang tinggi di sisi
Allah. Sehingga kalau kami beribadah kepada orang-orang tersebut, mereka akan
mendekatkan diri kami kepada Allah, sehingga kami pun memiliki kemuliaan di
dunia.”

Kemudian Allah membantah dan mengatakan,

َ‫ِإ َّن ٱهَّلل َ یَ ۡح ُك ُم بَ ۡینَهُمۡ فِی َما هُمۡ فِی ِه یَ ۡختَلِفُون‬


“Sesungguhnya Allah menghukumi diantara mereka di dalam apa yang mereka
perselisihkan.”

Yaitu antara Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang musyrikin


tersebut, siapa yang benar diantara mereka, apakah Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam yang mengajak kepada tauhid dan memperingatkan mereka dari kesyirikan
ataukah yang benar adalah orang-orang musyrikin tersebut yang mereka berdo’a
dan beribadah kepada orang-orang shalih tersebut dengan maksud supaya dekat
dengan Allah.

Allah mengatakan,

‫ِإ َّن ٱهَّلل َ اَل یَ ۡه ِدی َم ۡن هُ َو َك ٰـ ِذ ࣱب َكفَّا ࣱر‬

“Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang yang berdusta
dan sangat kufur.”

Allah mensifati ucapan mereka tadi dengan dua sifat:


1. Dusta
Menunjukkan bahwa ucapan mereka ‫ َما ن َۡعبُ ُدهُمۡ ِإاَّل لِیُقَرِّ بُون َۤا ِإلَى ٱهَّلل ِ ُز ۡلفَ ٰۤى‬yang artinya
“Tidaklah kami menyembah mereka kecuali supaya mereka mendekatkan diri kami
kepada Allah” ini adalah ucapan yang tidak benar. Allah katakan, ini adalah
kedustaan. Dan Allah lebih tahu tentang hakikatnya.

2. Sangat kufur
Menunjukkan bahwa cara seperti ini tidak dibenarkan secara syari’at.

Diantara alasan mereka meminta do’a orang-orang shalih tersebut dan meminta
syafa’at kepada mereka adalah bahwa orang-orang shalih tersebut dalam keadaan
hidup. Dan apabila hidup maka dia mendengar. Dan apabila dia mendengar maka
kita boleh meminta do’a kepada mereka, sebagaimana ketika orang-orang shalih
tersebut hidup kita boleh meminta do’a dari mereka.

Jawabannya:
1. Kita meyakini bahwa mereka, di alam kubur mereka hidup dengan kehidupan alam
barzakh, yang berbeda dengan alam kita di dunia. Para Nabi, para syuhada, hidup
dengan kehidupan yang lebih baik dan lebih sempurna daripada kehidupan kita.
Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ‫صلُّون‬ ِ ‫اَأل ْنبِيَا ُء َأحْ يَا ٌء فِي قُب‬


َ ُ‫ُور ِه ْم ي‬

“Para Nabi, mereka hidup di dalam kuburan mereka, dalam keadaan sholat.” [HR. Al
Bazzaar, dan dihasankan oleh Syeikh Al Albani Rahimahullah]

Dan Allah berfirman,


۟ ُ‫َواَل ت َۡح َسبَ َّن ٱلَّ ِذینَ قُتِل‬
ۡ َ‫وا فِی َسبِی ِل ٱهَّلل ِ َأمۡ وا ۢتَ ۚا بَ ۡل َأ ۡحیَ ۤا ٌء ِعن َد َربِّ ِهمۡ ی ُۡر َزقُونَ ۝ فَ ِر ِحینَ بِ َم ۤا َءاتَ ٰىهُ ُم ٱهَّلل ُ ِمن ف‬
( ‫ضلِ ِهۦ‬
َ‫ف َعلَ ۡی ِهمۡ َواَل هُمۡ یَ ۡحزَ نُون‬ ۟ ُ‫)ویَ ۡست َۡب ِشرُونَ بٱلَّ ِذینَ لَمۡ یَ ۡل َحق‬
ٌ ‫وا بِ ِهم ِّم ۡن َخ ۡلفِ ِهمۡ َأاَّل خ َۡو‬ َ
ِ
[Surat Aal-E-Imran 169 – 170]

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati.
Bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapatkan rezeki. Mereka
dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan oleh Allah kepada
mereka dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di
belakang, yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”

Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan kepada
mereka dan mereka pun memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang
masih tinggal di belakang mereka, yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak bersedih.

2. Hidupnya seseorang tidak berarti dia mendengar, karena ada orang yang hidup
dan dia tidak mendengar.

3. Seandainya dia mendengar di alam barzakh, maka belum tentu dia mendengar
do’a orang yang ada di alam dunia ini.
Allah berfirman,

(‫ك ِم ۡث ُل خَ بِی ࣲر‬ ۟ ‫ٱستَ َجاب‬


َ ‫ُوا لَ ُكمۡۖ َویَ ۡو َم ۡٱلقِیَ ٰـ َم ِة یَ ۡكفُرُونَ بِ ِش ۡر ِك ُكمۡۚ َواَل یُنَبُِّئ‬ ۟ ‫ُوا ُدع َۤا َء ُكمۡ َولَ ۡو َس ِمع‬
ۡ ‫ُوا َما‬ ۟ ‫) ن ت َۡدعُوهُمۡ اَل یَ ۡسمع‬
َ ‫ِإ‬
[Surat Fatir 14]
“Kalau kalian berdo’a kepada mereka, mereka tidak mendengar do’a kalian. Dan
seandainya mereka mendengar, mereka tidak mengabulkan do’a kalian. Dan di hari
kiamat mereka mengingkari kesyirikan kalian dan tidak ada yang mengabarkan
kepadamu seperti Allah Yang Maha Mengetahui.”

4. Tidak semua suara di dunia ini bisa kita dengar, meskipun kita berada di alam yang
sama. Lalu bagaimana dengan suara yang ada di alam yang lain?

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Halaqah 9 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke Dua Bagian 3

Halaqah yang ke sembilan dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam
yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam membedakan antara keadaan Beliau ketika


hidup dan keadaan Beliau setelah meninggal dunia. Dalam keadaan hidup, Beliau
bisa mendo’akan. Ketika Beliau sudah meninggal dunia, maka Beliau tidak bisa
mendo’akan.

Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari di dalam ‫ضى‬َ ْ‫ ِكتَاب ْال َمر‬dari
Aisyah radhiyallāhu ‘anha, ketika Aisyah sakit kepala dan mengatakan, ‫ارْأ َسا ْه‬
َ ‫“ َو‬Aduh,
sakit kepalaku.”
Kemudian Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar ucapan Aisyah,
Beliau bersabda,

ِ َ‫ك وَأ ْدعُو ل‬


‫ك‬ ِ َ‫ك لو كانَ وَأنَا َح ّي فأ ْستَ ْغفِ ُر ل‬
ِ ‫َذا‬
“Wahai Aisyah, seandainya itu terjadi (yaitu meninggalnya dirimu karena sakit ini)
dan aku dalam keadaan masih hidup, niscaya aku akan memohonkan ampun
untukmu dan niscaya aku akan mendo’akan kebaikan untukmu.”

Ucapan Beliau, ‘dan aku dalam keadaan masih hidup’, menunjukkan bahwa
seandainya Beliau masih hidup niscaya Beliau masih bisa mendo’akan, tetapi kalau
Beliau sudah meninggal dunia maka Beliau tidak bisa mendo’akan dan tidak bisa
memohonkan ampun untuk orang lain, bahkan untuk istrinya pun, Beliau tidak bisa.

Demikian pula para sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka membedakan antara


keadaan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam ketika masih hidup bersama mereka
dan keadaan Beliau setelah meninggal dunia.

Di zaman Umar bin Khatab radhiyallāhu ‘anhu, terjadi kemarau panjang yang dahsyat
karena lama tidak turun hujan, sehingga banyak tanaman yang rusak dan hewan-
hewan yang mati. Bahkan karena sangat parahnya keadaan saat itu, terjadilah
banyak pencurian. Karena saking banyaknya, sampai Umar bin Khatab radhiyallāhu
‘anhu saat itu memaafkan orang-orang yang mencuri dan tidak memotong tangan
mereka. Kemudian beliau radhiyallāhu ‘anhu mengumpulkan para sahabat dan para
penduduk Madinah saat itu untuk mengadakan sholat istisqo’, meminta hujan
kepada Allah. Kemudian beliau berkata,

َ ‫اللَّهُ َّم ِإنَّا ُكنَّا ِإ َذا َأجْ َد ْبنَا نَتَ َو َّس ُل ِإلَ ْي‬
‫ك بِنَبِيِّنَا فَتَ ْسقِينَا‬

“Ya allah, dahulu kami ketika kami mendapatkan kemarau (di masa Rasulullah
shallallāhu ‘alaihi wa sallam) kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu,
kemudian Engkau memberikan hujan kepada kami.”

Bertawassulnya para sahabat di sini adalah dengan meminta do’a Beliau shallallāhu
‘alaihi wa sallam, sebagaimana ini praktek para sahabat di dalam hadits yang lain di
mana para sahabat meminta kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam supaya
berdo’a kepada Allah. Sebagaimana di dalam hadits, seorang Badui Arab yang masuk
ke dalam Masjid Nabawi dan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan
berkhutbah. Kemudian orang Arab Badui ini berkata kepada Rasulullah shallallāhu
‘alaihi wa sallam supaya Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam berdo’a kepada Allah
meminta hujan. Maka Allah pun mengabulkan.
Kemudian Umar berkata,

َ ‫َوِإنَّا نَت ََو َّس ُل ِإلَ ْي‬


‫ك بِ َع ِّم نَبِيِّنَا فَا ْسقِنَا‬

“Kemudian sekarang Ya Allah, kami bertawassul dengan paman Nabi-Mu, maka


hendaklah Engkau memberikan hujan kepada kami.”

Saat itu, Abbas bin Abdul Mutholib, paman Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam
masih hidup. Dan bertawassul dengan paman Nabi saat itu dengan meminta do’a
beliau supaya Allah menurunkan hujan.

Perhatikanlah! Beliau bertawassul dengan do’a-do’a orang yang shalih yang masih
hidup. Dan tidak datang ke kuburan Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam untuk meminta
do’a, karena beliau radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu tahu bahwa yang demikian adalah
kesyirikan dan tidak ada faidahnya. Padahal saat itu keadaan sangat parah. Dan
tentunya dalam keadaan seperti itu, mereka mencari sebab atau cara yang paling
manjur agar bisa keluar dari permasalahan tersebut.

Ternyata Umar radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu meminta do’a dari Abbas yang masih hidup
saat itu dan tidak meminta do’a dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Demikianlah, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat membedakan
antara keadaan hidup dan mati.

Jadi alasan bahwasanya orang-orang shalih tersebut hidup di dalam kuburan dan
mendengar ucapan mereka, sehingga boleh meminta do’a darinya, maka ini adalah
alasan yang tidak benar.

Diantara mereka ada yang meminta do’a kepada orang-orang yang shalih yang
meninggal dunia dengan alasan bahwa Allah adalah Al Khaliq (Yang Maha Pencipta)
dan kita adalah hamba-hamba-Nya. Kita saja di dunia ketika ingin bertemu dengan
seorang presiden, kita tidak bisa langsung bertemu dengan presiden tersebut,
menyampaikan permintaan kita secara langsung. Akan tetapi di sana ada menteri,
ajudan, pembantu-pembantu. Sulit bagi seseorang untuk sampai ke sana, kecuali
melalui perantara-perantara tersebut. Kemudian orang ini mengatakan, demikian
pula kita kepada Allah. Kita perlu wasithoh (perantara) yang menyampaikan hajat
kita kepada Allah. Ini adalah alasan yang sangat lemah, karena Allah tidak bisa
disamakan dengan makhluk. Allah adalah As Sami’ (Yang Maha Mendengar), Al
Bashir (Yang Maha Melihat), Al Qadir (Yang Maha Mampu untuk melakukan segala
sesuatu).

Seandainya seluruh manusia dan jin berkumpul dalam satu tempat lalu masing-
masing berdo’a kepada Allah dengan bahasa masing-masing untuk meminta
dipenuhi hajatnya, niscaya Allah bisa mendengar semuanya dan bisa menunaikan
hajat mereka semuanya.

‫َوٱهَّلل ُ َعلَ ٰى ُك ِّل ش َۡی ࣲء قَ ِدی ٌر‬


[Surat Al-Baqarah 284]

“Dan Allah Maha Mampu untuk melakukan segala sesuatu.”

Adapun makhluk, maka dia adalah lemah. Makhluk tidak bisa mendengar ucapan
beberapa orang yang berbicara di depannya dalam satu waktu. Apalagi menunaikan
hajat mereka dalam satu waktu. Dia memerlukan pembantu, ajudan, menteri,
apalagi yang diurusnya adalah jutaan manusia.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Halaqah 10 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke Dua Bagian 4

Halaqah yang ke sepuluh dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam
yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Apabila seseorang mengatakan, kita memerlukan perantara kepada Allah


sebagaimana kita memerlukan perantara ketika akan berbicara dengan presiden,
maka dia telah menyamakan Allah dengan makhluk. Padahal Allah berfirman,
ِ َ‫س َك ِم ۡثلِ ِهۦ ش َۡی ࣱۖء َوهُ َو ٱل َّس ِمی ُع ۡٱلب‬
‫صی ُر‬ َ ‫لَ ۡی‬
[Surat Asy-Syura 11]

“Tidak ada yang serupa dengan Allah. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.”

Oleh karena itu, Allah menyuruh kita berdo’a kepada-Nya langsung tanpa perantara.
Allah berfirman,

( ۚۡ‫) َوقَا َل َربُّ ُك ُم ۡٱدعُونِ ۤی َأ ۡست َِج ۡب لَ ُكم‬


[Surat Ghafir 60]

“Dan Rabb kalian telah berkata, ‘Berdo’alah kalian kepada-Ku niscaya aku akan
mengabulkan do’a kalian.'”

Allah tidak mengatakan, ‘Berdo’alah kalian kepada-Ku dengan perantara’ tapi Allah
berkata, ‘Berdo’alah kepada-Ku niscaya aku akan mengabulkan’.

Dan Allah juga berfirman di dalam ayat yang lain,

ِ ۖ ‫اع ِإ َذا َدع‬ ‫ۖ ُأ‬ َ َ‫)وِإ َذا َسَأل‬


(‫َان‬ ِ ‫ك ِعبَا ِدی َعنِّی فَِإنِّی قَ ِریبٌ ِجیبُ د َۡع َوةَ ٱل َّد‬ َ
[Surat Al-Baqarah 186]

“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka


beritahukanlah kepada mereka, sesungguhnya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
do’a orang yang berdo’a apabila berdo’a kepada-Ku.”

Diantara mereka ada yang beralasan bahwa kita adalah hamba yang berdosa dan
banyak maksiat. Apabila kita berdo’a sendiri maka Allah tidak mengabulkan dan kita
tidak diampuni dosanya sehingga kita harus punya perantara.
Maka kita katakan, selama kita mau berdo’a kepada Allah dan masih mengharap
kepada Allah, justru itu adalah sebab kita mendapatkan ampunan dari Allah.
Sebagaimana dalam hadits qudsi Allah mengatakan,

‫ك َوال ُأبَالِ ْي‬


َ ‫ك َعلَى َما َكانَ ِمن‬
َ َ‫ت ل‬ َ َّ‫يَا ا ْبنَ َآ َد َم ِإن‬
ُ ْ‫ك َما َدعَوْ تَنِ ْي َو َر َجوْ تَنِ ْي َغفَر‬

“Wahai anak Adam, selama engkau masih berdo’a kepada-Ku dan engkau masih
berharap kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni dosamu, apapun dosa yang
engkau lakukan dan Aku tidak akan peduli.” [HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh
Syeikh Al Albani]

Hadits ini menunjukkan bahwasanya Allah akan mengampuni dosa kita selama kita
masih mau berdo’a kepada-Nya dan masih mengharap kepada Allah. Bukan justru
kita membuat perantara antara kita dengan Allah di dalam ibadah.

Saudaraku, marilah kita kembali kepada Al Qur’an dan Hadits untuk mengetahui cara
meraih syafa’at.
Ketahuilah, bahwa untuk mendapatkan syafa’at di hari kiamat, syaratnya adalah
mentauhidkan Allah.
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ‫اختَبَْأ‬
ُ ‫ت َد ْع َوتِي َشفَا َعةً ُأِل َّمتِي يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة فَ ِه َي نَاِئلَةٌ ِإ ْن شَا َء هَّللا‬ ْ ‫لِ ُكلِّ نَبِ ٍّي َد ْع َوةٌ ُم ْست ََجابَةٌ فَتَ َعج ََّل ُكلُّ نَبِ ٍّي َد ْع َوتَهُ وَِإنِّي‬
ُ ‫ات ِم ْن ُأ َّمتِي اَل يُ ْش ِر‬
‫ك بِاهَّلل ِ َش ْيًئا‬ ‫َم ْن َم َـ‬

“Setiap Nabi memiliki do’a yang mustajab. Dan masing-masing dari Nabi telah
menyegerakan do’anya di dunia. Dan sesungguhnya aku menyimpan do’aku di hari
kiamat sebagai syafa’at bagi umatku. Maka syafa’atku tersebut akan diberikan Insya
Allah kepada umatku yang meninggal dunia dan dia dalam keadaan tidak
menyekutukan Allah sedikitpun.” [HR Muslim]

Dalam hadits yang lain ketika Beliau ditanya oleh Abu Huroiroh,

ِ َّ‫من أسع ُد الن‬


‫اس بشفاعتِك يو َم القيامة؟‬

“Siapakah orang yang paling gembira mendapatkan syafa’atmu di hari kiamat?”

Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

‫َمن قَا َل ال إلهَ إاَّل هَّللا ُ خَالِصًا ِمن قَلبِ ِه‬

“Orang yang mengatakan ‫ ال إلهَ إاَّل هَّللا‬ikhlas dari hatinya.” [HR Al Imam Al Bukhari]

Maksudnya di sini adalah mentauhidkan Allah Azza wa Jalla. Inilah modal utama
untuk mendapatkan syafa’at di hari kiamat. Oleh karena itu, masing-masing kita
hendaknya mempersiapkan diri dengan bertauhid, mempelajarinya, istiqomah di
atasnya sampai meninggal dunia.
Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Halaqah 11 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke Tiga Bagian 1

Halaqah yang ke sebelas dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam
yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Berkata Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah,

‫ْ َكفَ َر ِإجْ َماعًا‬،‫ص َّح َح َم ْذهَبَهُم‬


َ ْ‫ َأو‬،‫ك فِي ُك ْف ِر ِه ْم‬
َّ ‫ َم ْن لَ ْم يُ َكفِّرْ ال ُم ْش ِر ِكينَ َأوْ َش‬:‫ث‬
ُ ِ‫الثَّال‬.

Yang ke tiga ,
“Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrikin atau dia ragu tentang
kekufuran mereka atau membenarkan madzhab mereka, maka dia telah kafir dengan
ijma’ para ulama.”

Seorang muslim percaya pada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan kabar yang datang
dari Allah dan Rasul-Nya, sehingga dia dinamakan sebagai seorang mukmin (orang
yang beriman).
Tidak boleh ada satupun kabar yang datang dari Allah dan Rasul-Nya didustakan oleh
seorang muslim. Barangsiapa yang mendustakan apa yang datang dari Allah dan juga
Rasul-Nya berupa kabar dan juga berita, maka dia telah keluar dari agama Islam.

Dan diantara kabar yang datang dari Allah dan juga Rasul-Nya adalah kekafiran
orang-orang yang kafir. Di dalam Al Qur’an Allah mengkafirkan orang-orang
musyrikin, ahlul kitab baik Yahudi maupun Nasrani, dan orang-orang munafikin.
Kewajiban kita adalah meyakini kekafiran mereka. Allah berfirman,
ۚ ۟ ‫) َّن ٱلَّ ِذینَ َكفَر‬
َ ‫َار َجهَنَّ َم َخ ٰـلِ ِدینَ فِیهَ ۤا ُأ ۟ولَ ٰۤـ ِٕى‬
(‫ك هُمۡ شَرُّ ۡٱلبَ ِریَّ ِة‬ ۡ ِ ‫ُوا ِم ۡن َأ ۡه ِل ۡٱل ِكتَ ٰـ‬
ِ ‫ب َوٱل ُم ۡش ِر ِكینَ فِی ن‬ ‫ِإ‬
[Surat Al-Bayyinah 6]

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan ahlul kitab dan orang-orang
musyrikin, mereka di dalam neraka Jahannam, kekal di dalamnya. Dan mereka
adalah makhluk yang paling buruk.”

Allah mengatakan di sini,

َ‫ب َو ۡٱل ُم ۡش ِر ِكین‬ ۟ ‫َّن ٱلَّ ِذینَ َكفَر‬


ِ ‫ُوا ِم ۡن َأ ۡه ِل ۡٱل ِكتَ ٰـ‬ ‫ِإ‬

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan ahlul kitab”, maksudnya adalah
dari orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Mereka dinamakan ahlul kitab karena mereka mengaku beriman dengan kitab yang
Allah turunkan. Orang Yahudi mengaku beriman dengan Taurat yang diturunkan
kepada Nabi Musa dan orang Nasrani mengaku beriman dengan Injil yang
diturunkan kepada Nabi Isa ‘alaihissalam.
Dan mereka dinamakan kafir oleh Allah, diantaranya karena mereka tidak beriman
dengan Muhammad Rasulullah setelah mendengar diutusnya Beliau untuk seluruh
manusia.
Ketika Allah mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir, maka tidak
boleh seorang muslim mengatakan bahwa ahlul kitab sama dengan kaum muslimin.

Allah juga mengabarkan di dalam ayat ini tentang kekafiran orang-orang musyrikin,
orang-orang yang menyekutukan Allah dengan yang lain. Menyembah kepada Allah
dan juga menyembah kepada selain Allah.
Seorang muslim harus meyakini kekafiran mereka.

Di dalam ayat yang lain Allah mengabarkan tentang salah satu bentuk kekafiran
orang-orang Nasrani di dalam firman-Nya,

ُ ِ‫لَّقَ ۡد َكفَ َر ٱلَّ ِذینَ قَالُ ۤو ۟ا ِإ َّن ٱهَّلل َ ثَال‬


‫ث ثَلَ ٰـثَ ࣲۘة‬
[Surat Al-Ma’idah 73]

“Dan sungguh telah kafir orang yang mengatakan bahwasanya Allah adalah yang ke
tiga diantara tiga tuhan.”
Diantara bentuk kekufuran mereka, meyakini bahwa di sana ada tuhan bapak, tuhan
anak, dan tuhan ibu. Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan.

Diantara bentuk kekufuran sebagian orang-orang Nasrani adalah meyakini bahwa


Allah adalah Al Masih bin Maryam.

Allah mengatakan,

‫لَّقَ ۡد َكفَ َر ٱلَّ ِذینَ قَالُ ۤو ۟ا ِإ َّن ٱهَّلل َ ه َُو ۡٱل َم ِسی ُح ۡٱبنُ َم ۡریَ ۚ َم‬
[Surat Al-Ma’idah 17]

“Dan sungguh telah kafir orang yang mengatakan bahwasanya Allah adalah Al Masih,
Isa Ibnu Maryam.”

Diantara bentuk kekafiran ahlul kitab adalah membeda-bedakan diantara para Rasul
Allah. Beriman kepada sebagian Rasul dan mendustakan Rasul yang lain.
Orang-orang Yahudi mengaku beriman dengan Nabi Musa tetapi mereka kufur
dengan Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Orang-orang Nasrani mengaku beriman kepada Nabi Isa tapi mereka kufur dengan
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Allah berfirman,

‫ْض َوي ُِري ُدونَ َأ ْن‬ ٍ ‫ْض َونَ ْكفُ ُر بِبَع‬ ٍ ‫ِإ َّن الَّ ِذينَ يَ ْكفُرُونَ بِاهَّلل ِ َو ُر ُسلِ ِه َوي ُِري ُدونَ َأ ْن يُفَرِّ قُوا بَ ْينَ هَّللا ِ َو ُر ُسلِ ِه َويَقُولُونَ نُْؤ ِمنُ بِبَع‬
َ ِ‫يَتَّ ِخ ُذوا َب ْينَ َذل‬
‫ك َسبِياًل‬
َ ‫ُأ ۟ولَ ٰۤـ ِٕى‬
‫ك هُ ُم ۡٱل َك ٰـفِرُونَ َح ࣰّق ۚا َوَأ ۡعت َۡدنَا لِ ۡل َك ٰـفِ ِرینَ َع َذا ࣰبا ُّم ِهی ࣰنا‬
[Surat An-Nisa’ 150 – 151]

“Sesungguhnya orang-orang yang kufur kepada Allah dan para Rasul-Nya dan
mereka ingin membedakan antara Allah dan para Rasul-Nya, kemudian mereka
mengatakan, ‘Kami beriman kepada sebagian mereka (sebagian para Rasul) dan kami
kufur dengan Rasul yang lain’ dan mereka menginginkan jalan tengah. Mereka
adalah orang-orang yang benar-benar kafir dan kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir itu, siksaan yang menghinakan.”

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa kekafiran mereka


terhadap Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam menyebabkan mereka masuk
neraka.
Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ‫وت َولَ ْم يُْؤ ِم ْن بِالَّ ِذي ُأرْ ِس ْل‬


‫ت بِ ِه ِإاَّل َكانَ ِم ْن َأصْ َحا ِـ‬
ِ َّ‫ب الن‬
‫ار‬ ُ ‫اَل يَ ْس َم ُع بِي َأ َح ٌد ِم ْن هَ ِذ ِه اُأْل َّم ِة يَهُو ِديٌّ َواَل نَصْ َرانِ ٌّي ثُ َّم يَ ُم‬

“Tidaklah mendengar tentang kedatanganku salah seorang diantara umat ini, baik
seorang Yahudi maupun Nasrani kemudian dia meninggal dunia dan tidak beriman
dengan apa yang aku bawa, kecuali dia adalah termasuk penduduk neraka.” [HR
Muslim]

Allah juga mengabarkan tentang kekafiran orang-orang munafik, di dalam firman-


Nya,
۟ ‫وا َكلِمةَ ۡٱل ُك ۡفر َو َكفَر‬
ۡ‫ُوا بَ ۡع َد ِإ ۡسلَ ٰـ ِم ِهم‬ ۟ ُ‫َولَقَ ۡد قَال‬
ِ َ
[Surat At-Tawbah 74]

“Dan sungguh mereka (orang-orang munafik) telah mengucapkan ucapan yang kufur,
dan mereka kafir setelah keislaman mereka.”

Ini menunjukkan tentang kekufuran orang-orang munafik, meskipun mereka dengan


lisan dan dhohir mereka menampakkan seakan-akan mereka adalah orang-orang
yang beriman.
Mengucapkan ‫ ال إله إال هللا‬dengan lisannya, bersaksi bahwa Muhammad adalah
Rasulullah dengan lisannya, hidup bersama kaum muslimin, melakukan sholat
bersama kaum muslimin, akan tetapi hati mereka kufur terhadap itu semua. Maka
Allah memasukkan mereka diantara golongan orang-orang yang kafir.

Allah Subhānahu wa Ta’āla telah mengabarkan bahwasanya orang-orang munafik


berada di tingkat yang paling bawah di dalam neraka.
Allah mengatakan,

ِ ‫)ِإ َّن ۡٱل ُمنَ ٰـفِقِینَ فِی ٱل َّد ۡر‬


ِ َّ‫ك ٱَأۡل ۡسفَ ِل ِمنَ ٱلن‬
(‫ار‬
[Surat An-Nisa’ 145]

“Sesungguhnya orang-orang munafik, mereka berada di dalam neraka di tingkat yang


paling bawah.”
Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Halaqah 12 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke Tiga Bagian 2

Halaqah yang ke dua belas dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam
yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Syeikh berkata,

َّ ‫َأوْ َش‬
‫ك فِي ُك ْف ِر ِه ْم‬

“Barangsiapa yang meragukan kekafiran orang-orang musyrikin”, mengatakan


dengan hatinya ‘mungkin mereka kafir dan mungkin mereka muslim’.

Tidak meyakini kekafiran orang-orang musyrikin adalah kekafiran. Dan meragukan


kekafiran mereka juga bentuk kekafiran.
Seorang yang beriman yang mengucapkan ‫ ال إله إال هللا‬dan dia yakin serta tidak ragu
tentang maknanya, yaitu bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah
kecuali Allah, maka dia harus yakin tentang kekafiran orang yang menyekutukan
Allah.

Allah berfirman,
ٓ
َّ ٰ ‫يل ٱهَّلل ِ ۚ ُأ ۟و ٰلَِئكَ هُ ُم ٱل‬
َ‫ص ِدقُون‬ ۟ ‫ُوا َو ٰ َجهَد‬
ِ ِ‫ُوا بَِأ ْم ٰ َولِ ِه ْم َوَأنفُ ِس ِه ْم فِى َسب‬ ۟ ‫وا بٱهَّلل ِ َو َرسُولِ ِهۦ ثُ َّم لَ ْم يَرْ تَاب‬
۟
ِ ُ‫ِإنَّ َما ْٱل ُمْؤ ِمنُونَ ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
[Surat Al-Hujurat 15]

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah orang yang beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya dan mereka tidak ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa
mereka di jalan Allah. Merekalah orang-orang yang jujur dalam keimanannya.”

Kemudian beliau berkata,


‫ْ َكفَ َر ِإجْ َماعًا‬،‫ص َّح َح َم ْذهَبَهُم‬
َ ْ‫َأو‬.

“Atau membenarkan madzhab mereka, maka dia telah kafir dengan ijma.”

Contohnya membenarkan keyakinan orang-orang Nasrani, bahwa Allah adalah Isa


bin Maryam. Atau membenarkan ajaran orang-orang musyrikin yang menyekutukan
Allah dengan yang lain. Jika ada orang yang membenarkan ajaran-ajaran tersebut,
maka dia telah kufur. Dan ini dengan kesepakatan para ulama. Meskipun dia sholat
bersama kita dan hidup bersama kaum muslimin.

Seorang muslim meyakini bahwa agama Islam adalah satu-satunya agama yang
diridhoi oleh Allah, Rabb semesta alam. Sebagaimana firman Allah,

‫ِإ َّن ٱل ِّدینَ ِعن َد ٱهَّلل ِ ٱِإۡل ۡسلَ ٰـ ۗ ُم‬


[Surat Ali Imran 19]

“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.”

Dan Allah berfirman,

( َ‫َٔاخ َر ِة ِمنَ ۡٱلخَ ٰـ ِس ِرین‬


ِ ‫) َو َمن یَ ۡبت َِغ غ َۡی َر ٱِإۡل ۡسلَ ٰـ ِم ِدی ࣰنا فَلَن ی ُۡقبَ َل ِم ۡنهُ َوهُ َو فِی ۡٱلـ‬
[Surat Ali Imran 85]

“Dan barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka tidak akan diterima
darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”

Saudaraku, kalau kita meyakini tentang kekufuran orang-orang yang kafir


sebagaimana yang Allah kabarkan, maka kita harus tempatkan mereka pada
tempatnya sesuai dengan aturan syari’at.

Ada hal yang boleh kita lakukan terkait orang-orang yang kafir dan ada hal yang tidak
boleh kita lakukan terkait dengan mereka.
Diantara yang boleh dilakukan:
1. Berbuat baik kepada orang-orang kafir.
2. Berbuat adil kepada mereka.

Allah berfirman,
ُّ‫ِّين َولَ ْم ي ُْخ ِرجُو ُكم ِّمن ِد ٰيَ ِر ُك ْم َأن تَبَرُّ وهُ ْم َوتُ ْق ِسطُ ٓو ۟ا ِإلَ ْي ِه ْم ۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ ي ُِحب‬ ٰ
ِ ‫ال يَ ْنهَ ٰى ُك ُم ٱهَّلل ُ ع َِن ٱلَّ ِذينَ لَ ْم يُقَتِلُو ُك ْم فِى ٱلد‬
َ‫ْٱل ُم ْق ِس ِطين‬
[Surat Al-Mumtahanah 8]

“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-
orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir kalian dari
negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Allah membolehkan kita untuk berbuat baik kepada mereka selama mereka:
1. Tidak memerangi kita di dalam agama kita
2. Tidak mengeluarkan kita dari daerah kita

Perbuatan baik misalnya: memberikan sodaqoh kepada tetangga yang kafir,


mengantarnya ke rumah sakit, dll. Maka ini tidak masalah dan tidak dilarang di dalam
agama Islam. Yang harus tetap kita yakini adalah bahwa mereka adalah orang-orang
yang kafir.

Diperbolehkan juga kita untuk:


3. Jual beli dengan mereka
Dahulu di kota Madinah terdapat pasar dimana orang-orang Yahudi dan kaum
muslimin saling jual beli satu dengan yang lain.
4. Boleh berhutang kepada orang-orang kafir, karena Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam pernah menggadaikan pakaian perang Beliau kepada seorang Yahudi.
5. Boleh membuat perjanjian damai dengan orang-orang kafir sebagaimana
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dahulu membuat perjanjian dengan orang-
orang Yahudi, yaitu ketika awal kedatangan Beliau di kota Madinah dan di
Hudaibiyah Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam membuat perjanjian damai dengan
orang-orang musyrikin Quraisy.

Diantara yang tidak boleh kita lakukan adalah:


1. Mendzolimi orang-orang kafir
2. Mewarisi harta mereka
3. Menguburkan mereka di pekuburan kaum muslimin
4. Mendahului mengucapkan salam kepada mereka
5. Mengucapkan selamat atas hari raya mereka
6. Menyerupai mereka
7. Mentaati mereka dalam kekafiran atau kemaksiatan

Seorang anak yang memiliki orang tua yang kafir harus meyakini kekafiran mereka
dan tidak boleh dia ragu. Dan silakan dia berbakti kepada orang tua tersebut karena
Allah memerintahkan seorang anak untuk berbakti kepada kedua orang tua secara
umum meskipun orang tuanya kafir. Kecuali apabila diperintahkan untuk berbuat
maksiat dan menyekutukan Allah, maka tidak boleh seorang anak patuh kepada
orang tuanya di dalam masalah ini.

Allah berfirman,

‫صا ِح ۡبهُ َما فِی ٱل ُّد ۡنیَا َم ۡعرُو ࣰف ۖا‬


َ ‫ك بِ ِهۦ ِع ۡل ࣱم فَاَل تُ ِط ۡعهُ َم ۖا َو‬ َ ‫ك َعلَ ٰۤى َأن تُ ۡش ِركَ بِی َما لَ ۡی‬
َ َ‫س ل‬ َ ‫َوِإن َج ٰـهَدَا‬
[Surat Luqman 15]

“Apabila keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang


engkau tidak punya ilmu, maka janganlah engkau taati. Akan tetapi gaulilah mereka
berdua di dunia dengan cara yang baik.”

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Halaqah 13 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke Empat

Halaqah yang ke tiga belas dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam
yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Berkata Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah,


‫ال َربِيع‬:
‫ كالذين‬،‫غيره أح َسنُ ِمن ُح ْك ِمه‬
ِ ‫أن ُح ْك َم‬ َّ ‫ أو‬،‫بي صلَّى هللاُ عليه وسلَّم أك َم ُل ِمن هَ ْديِه‬
ِّ َّ‫ي الن‬
ِ ‫أن غي َر هَ ْد‬
َّ ‫من اعتقد‬
‫ت على ُح ْك ِمه؛ فهو كافِ ٌر‬ ِ ‫ضلون ُح ْك َم الطَّواغي‬ ِّ َ‫يُف‬

Pembatal keislaman yang ke empat:


“Barangsiapa yang meyakini bahwa selain petunjuk Nabi lebih sempurna daripada
petunjuk Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam, atau meyakini bahwa selain hukum
Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam lebih baik daripada hukum Beliau shallallāhu
‘alaihi wa sallam, seperti orang-orang yang mengutamakan hukum thaghut di atas
hukum Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam, maka dia telah kafir.”

Di dalam pembatal keislaman yang ke empat ini, Syeikh menyebutkan dua poin
utama:

1. Barangsiapa yang meyakini bahwa selain petunjuk Nabi shallallāhu ‘alaihi wa


sallam lebih sempurna daripada petunjuk Beliau.

Petunjuk Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah wahyu dari Allah, baik berupa Al
Qur’an atau berupa Hadits Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Allah mengatakan,
ۤ
َ ‫ق َع ِن ۡٱلهَ َو ٰى ۝ ِإ ۡن هُ َو ِإاَّل َو ۡح ࣱی ی‬
(‫ُوح ٰى‬ ُ ‫) َو َما یَن ِط‬
[Surat An-Najm 3 – 4]

“Apa yang Beliau ucapkan kecuali itu adalah wahyu dari Allah yang diwahyukan
kepada Beliau.”

Di dalam hadits Beliau mengatakan,

ُ‫َاب َو ِم ْثلَهُ َم َعه‬ ُ ِ‫َأاَل ِإنِّي ُأوت‬


َ ‫يت ْال ِكت‬

“Ketahuilah, bahwasanya aku diberikan Al Qur’an dan yang semisalnya bersamanya


(yaitu hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam).” [HR. Abu Dawud dan
dishahihkan oleh Syeikh Al Albani rahimahullah]
Kalau demikian, kita harus meyakini bahwa apa yang datang dari Beliau shallallāhu
‘alaihi wa sallam pasti lebih sempurna daripada petunjuk selain Beliau shallallāhu
‘alaihi wa sallam.

Dalam sebuah hadits, Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

ِ ‫ث ِكتَابُ هَّللا ِ َوَأحْ سَنَ ْالهَ ْد‬


ُ ‫ى هَ ْد‬
‫ى ُم َح َّمد صلى هللا عليه وسلم‬ ِ ‫ق ْال َح ِدي‬
َ ‫ِإ َّن َأصْ َد‬

“Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah dan petunjuk yang paling
baik adalah petunjuk Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam [HR. An Nasai dan
dishahihkan oleh Syeikh Al Albani]

Allah Subhānahu wa Ta’āla, dialah ‫ال َعلِي ُم ال َح ِكي ُم‬


‫ ال َعلِي ُم‬artinya Yang Maha Mengetahui. Mengetahui apa yang menjadi maslahat bagi
manusia dan mudhorot atas mereka.
Dan Allah adalah ‫ ال َح ِكي ُم‬artinya Yang Maha Bijaksana di dalam hukum-hukum-Nya.
Baik hukum-hukum yang berkaitan dengan syari’at-Nya maupun hukum-hukum
kauniyah yang Allah takdirkan di alam semesta. Dialah yang menempatkan segala
sesuatu pada tempatnya.

Allah berfirman,

َ‫َوٱهَّلل ُ یَ ۡعلَ ُم َوَأنتُمۡ اَل ت َۡعلَ ُمون‬


[Surat Al-Baqarah 232]

“Dan Allah, Dialah Yang Mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.”

Allah yang lebih mengetahui apa yang maslahat bagi kita dan apa yang mudhorot
bagi kita.
Allah mengatakan,

(ُ‫ق َوهُ َو ٱللَّ ِطیفُ ۡٱلخَ بِیر‬


َ َ‫)َأاَل یَ ۡعلَ ُم َم ۡن َخل‬
[Surat Al-Mulk 14]

“Bukankah Yang Menciptakan, Dialah Yang Mengetahui? Dan Dialah Yang Maha
Lembut dan Mengetahui.”
Syari’at Allah adalah syari’at yang bijaksana. Syari’at Nabi-Nabi sebelum Nabi
Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah khusus untuk umatnya. Adapun
syari’at Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam maka untuk seluruh manusia,
sesuai untuk semua tempat dan zaman. Kewajiban seorang muslim adalah meyakini
bahwa petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya lebih sempurna daripada petunjuk dari
selain Allah dan Rasul-Nya.

Di dalam Al-Qur’an, ketika Allah menyebutkan tentang ayat warisan, Allah berfirman,

‫َر ِم ۡث ُل َحظِّ ٱُأۡلنثَیَ ۡی ۚ ِن‬


ِ ‫صی ُك ُم ٱهَّلل ُ فِ ۤی َأ ۡولَ ٰـ ِد ُكمۡۖ لِل َّذك‬
ِ ‫یُو‬
[Surat An-Nisa’ 11]

“Allah mewasiatkan kepada kalian dalam perkara anak-anak kalian, laki-laki


mendapat dua bagian wanita.”

Allah menyebutkan di dalam ayat ini tentang beberapa hal yang berkaitan dengan
hukum waris, seperti bagian anak laki-laki, bagian anak wanita, bagian seorang ibu
apabila ada anaknya, dll. Ini semua adalah ketentuan dari Allah Azza wa Jalla.

Kemudian Allah mengatakan,

َ ‫َءابَ ۤاُؤ ُكمۡ َوَأ ۡبن َۤاُؤ ُكمۡ اَل ت َۡدرُونَ َأیُّهُمۡ َأ ۡق َربُ لَ ُكمۡ ن َۡف ࣰع ۚا فَ ِری‬
‫ض ࣰة ِّمنَ ٱهَّلل ۗ ِ ِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َعلِی ًما َح ِكی ࣰما‬
[Surat An-Nisa’ 11]

“Bapak-bapak kalian dan anak-anak kalian, kalian tidak tahu siapa diantara mereka
yang lebih manfaatnya daripada kalian, sebagai kewajiban dari Allah. Sesungguhnya
Allah, Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Kewajiban kita membagi harta warisan sesuai dengan ketentuan Allah, bukan
dengan adat istiadat manusia.

2. Kemudian Syeikh mengatakan,

‫غيره أح َسنُ ِمن ُح ْك ِمه‬


ِ ‫أن ُح ْك َم‬
َّ ‫أو‬

“Atau dia meyakini bahwa hukum atau keputusan selain Beliau lebih baik daripada
hukum Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam.”
Poin yang ke dua ini adalah termasuk pembatal keislaman yang ke empat, yaitu
meyakini bahwa hukum selain Beliau lebih baik daripada hukum Beliau.

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah. Tugas Beliau


menyampaikan hukum Allah. Hukum yang datang dari Beliau adalah hukum Allah.
Allah berkata,

(‫خَصی ࣰما‬
ِ َ‫ك ٱهَّلل ۚ ُ َواَل َت ُكن لِّ ۡلخ َۤا ِٕىنِین‬
َ ‫اس بِ َم ۤا َأ َر ٰى‬ َ ‫)ِإنَّ ۤا َأنزَ ۡلن َۤا ِإلَ ۡیكَ ۡٱل ِكتَ ٰـ‬
ِّ ‫ب بِ ۡٱل َح‬
ِ َّ‫ق لِت َۡح ُك َم بَ ۡینَ ٱلن‬
[Surat An-Nisa’ 105]

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Al Qur’an dengan haq, supaya


engkau menghukumi diantara manusia dengan apa yang Allah perlihatkan
kepadamu. Dan janganlah engkau menjadi pembela bagi orang-orang yang
berkhianat.”

Dan hukum Allah adalah sebaik-baik hukum. Allah berfirman,

ۚ ‫)َأفَح ُۡك َم ۡٱل َج ٰـ ِهلِیَّ ِة یَ ۡب ُغ‬


( َ‫ونَ َو َم ۡن َأ ۡح َسنُ ِمنَ ٱهَّلل ِ ح ُۡك ࣰما لِّقَ ۡو ࣲم یُوقِنُون‬
[Surat Al-Ma’idah 50]

“Apakah hukum jahiliyyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih baik daripada
hukum Allah bagi orang-orang yang yakin.”

Yang berhak memberikan hukum-hukum tersebut untuk kita hanyalah Allah.

ِ ‫ِإ ِن ۡٱلح ُۡك ُم ِإاَّل هَّلِل‬


[Surat Yusuf 40]

“Tidaklah hukum kecuali untuk Allah.”

Berhukum dengan hukum Allah adalah kewajiban. Allah berfirman,


۟ ‫ض ۡیتَ َویُ َسلِّ ُم‬
(‫وا ت َۡسلِی ࣰما‬ ۟ ‫)فَاَل َو َربِّكَ اَل ی ُۡؤ ِمنُونَ َحتَّ ٰى ی َُح ِّك ُموكَ فِیما َش َج َر بَ ۡینَهُمۡ ثُ َّم اَل یَ ِجد‬
َ َ‫ُوا فِ ۤی َأنفُ ِس ِهمۡ َح َر ࣰجا ِّم َّما ق‬ َ
[Surat An-Nisa’ 65]

“Tidak, Demi Rabb-mu. Mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan engkau
sebagai hakim di dalam apa yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak
mendapatkan di dalam hati mereka rasa berat, dan mereka menyerahkan diri
dengan sebenar-benar penyerahan.”

Allah bersumpah dengan dirinya sendiri bahwa mereka tidak beriman sampai
berhukum dengan hukum Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Dan di dalam
batinnya dia ridho dan tidak merasa berat.
Ini menunjukkan bahwa berhukum dengan hukum Beliau shallallāhu ‘alaihi wa
sallam dan ridho dengannya adalah sebuah kewajiban.

Apabila ada seseorang yang meyakini bahwa keputusan atau hukum selain
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam lebih baik daripada keputusan atau hukum
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam, maka keyakinan tersebut telah membatalkan
keislamannya.

Orang munafik dahulu tidak mau berhukum kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam. Mereka mencari hukum selain Beliau dalam memutuskan perselisihan
mereka. Berhukum dengan selain hukum Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam
adalah diantara sifat orang-orang munafik.
Di dalam sebuah ayat Allah mengatakan,

( ‫ت َوقَ ۡد‬ِ ‫نز َل ِمن قَ ۡبلِكَ ی ُِری ُدونَ َأن یَت ََحا َك ُم ۤو ۟ا ِإلَى ٱلطَّ ٰـ ُغو‬ ِ ‫ك َو َما‬ ِ
۟ ُ‫َألَمۡ ت ََر لَى ٱلَّ ِذینَ یَ ۡز ُع ُمونَ َأنَّهُمۡ َءامن‬
‫وا بِ َم ۤا ُأنز َل ِإلَ ۡی َ ۤ ُأ‬ َ ‫ِإ‬
‫ضلَ ٰـاَۢل بَ ِعی ࣰدا‬
َ ۡ‫ُم‬ ‫ه‬َّ ‫ل‬ ‫ُض‬
ِ ‫ی‬ ‫ن‬‫َأ‬ ُ‫ن‬ ‫ـ‬
ٰ َ ‫ط‬ ۡ
‫ی‬ َّ
‫ش‬ ‫ٱل‬ ُ
‫د‬ ‫ی‬ ‫ُر‬ ‫ی‬‫و‬
ِ َ ِِۖ
‫ۦ‬
‫ه‬ ‫ب‬ ۟
‫ُوا‬‫ر‬ ُ ‫ف‬ ۡ
‫ك‬ َ ‫ی‬ ‫ن‬‫َأ‬ ‫ا‬۟ ۤ
‫ُو‬ ‫ر‬ ‫م‬ِ ‫ُأ‬)
[Surat An-Nisa’ 60]

“Tidaklah engkau Muhammad memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa


mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang
diturunkan sebelummu, tetapi mereka masih menginginkan berhukum kepada
thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan
syaithan bermaksud menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya.”

Kemudian beliau mengatakan,

ِ ‫كالذين يُفَضِّ لون ُح ْك َم الطَّواغي‬


‫ت على ُح ْك ِمه‬

“Seperti orang yang mengutamakan hukum thaghut lebih baik daripada hukum Nabi
shallallāhu ‘alaihi wa sallam.”
Hukum thaghut adalah hukum-hukum yang dibuat oleh manusia. Kalau diyakini itu
sama dengan hukum Allah atau lebih baik daripada hukum Allah, maka pelakunya
keluar dari agama Islam. Tapi kalau dia berhukum dengan hukum tersebut karena
sebab dunia, seperti harta dan jabatan, namun di dalam hatinya meyakini hukum
Allah lebih baik, maka dia fasik, tidak keluar dari agama Islam.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Halaqah 14 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke Lima

Halaqah yang ke empat belas dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul
Islam yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata,

َ ‫ َم ْن َأ ْبغ‬: ُ‫الخَا ِمس‬


‫ َكفَ َر ِإج َماعًا‬،‫َض َش ْيًئا ِم َّما َجا َء بِ ِه ال َّرسُو ُل ﷺ َولَوْ َع ِم َل بِ ِه‬
‫وال َّدلِي ُل قَوْ لُهُ تَ َعالَى‬:
َ
‫َرهُوا َما َأ ْن َز َل هللاُ فََأحْ بَطَ َأ ْع َمالَهُ ْم‬
ِ ‫ك بَِأنَّهُ ْم ك‬
َ ِ‫َذل‬

Yang ke lima:
“Barangsiapa yang membenci sesuatu diantara yang dibawa Rasulullah shallallāhu
‘alaihi wa sallam meskipun dia mengamalkannya, maka dia telah kufur dengan ijma’.
Dalilnya adalah firman Allah yang artinya ‘Yang demikian karena mereka membenci
apa yang diturunkan oleh Allah, maka Allah membatalkan amalan-amalan mereka.'”
Ucapan beliau ‫ َش ْيًئا‬artinya ‘sesuatu’, tidak harus membenci semuanya.
‫ ِم َّما َجا َء بِ ِه ال َّرسُو ُل‬, diantara yang dibawa oleh Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam,
yaitu baik berupa Al Qur’an maupun Al Hadits, dan apa yang ada di dalam keduanya
berupa hukum-hukum maupun kabar-kabar.

‫ولَوْ َع ِم َل بِ ِه‬,
َ meskipun dia mengamalkannya. Menunjukkan bahwa seseorang meskipun
dia mengamalkan, kalau dia membenci syari’at tersebut, maka akan menjadi sebab
keluarnya dia dari Islam.

Orang-orang munafik di zaman Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam terkadang


mereka berjihad, sholat lima waktu berjamaah di masjid, berinfak, tetapi mereka
membenci semuanya itu di dalam hati mereka. Secara umum mereka membenci
syari’at Islam.
Allah mengatakan,

َّ ‫ُوا بِٱهَّلل ِ َوبِ َرسُولِ ِهۦ َواَل یَ ۡأتُونَ ٱل‬


( ‫صلَ ٰوةَ ِإاَّل َوهُمۡ ُك َسالَ ٰى َواَل یُنفِقُونَ ِإاَّل‬ ۟ ‫َوما منَ َعهُمۡ َأن تُ ۡقبَ َل ِم ۡنهُمۡ نَفَقَ ٰـتُهُمۡ اَّل ۤ َأنَّهُمۡ َكفَر‬
‫ِإ‬ َ َ
ُ َ
َ‫)وهُمۡ ك ٰـ ِرهون‬َ
[Surat At-Tawbah 54]

“Dan tidaklah mencegah dari menerima shodaqoh-shodaqoh mereka (orang-orang


munafik) kecuali karena mereka kufur kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan mereka tidak
melakukan sholat kecuali dalam keadaan malas dan mereka tidak
berinfak/bershodaqoh kecuali dalam keadaan benci dengan shodaqoh tersebut.

Seorang muslim harus ridho Allah sebagai Rabb-nya dan rela Rasulullah shallallāhu
‘alaihi wa sallam sebagai Nabinya dan ridho Islam sebagai agamanya.
Seorang muslim mencintai seluruh apa yang datang dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi
wa sallam dan tidak membencinya. Mengetahui bahwa petunjuk Beliau di dalamnya
ada kebaikan untuk dirinya di dunia dan di akhirat. Dia berusaha memerangi segala
bisikan syaithan yang menghalangi dia dari melakukan petunjuk tersebut.

Dan dalil yang menunjukkan kekufuran orang yang membenci apa yang dibawa oleh
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah firman Allah,
۟ ‫ك بَأنَّهُمۡ كَره‬
( ۡ‫ُوا َم ۤا َأن َز َل ٱهَّلل ُ فََأ ۡحبَطَ َأ ۡع َم ٰـلَهُم‬ ۟ ‫) َوٱلَّ ِذینَ َكفَر‬
ِ ِ َ ِ‫ض َّل َأ ۡع َم ٰـلَهُمۡ ۝ َذ ل‬
َ ‫ُوا فَت َۡع ࣰساـ لَّهُمۡ َوَأ‬
[Surat Muhammad 8 – 9]
“Dan orang-orang kafir, maka kecelakaan bagi mereka dan Allah membatalkan
amalan mereka. Yang demikian, karena mereka membenci apa yang Allah turunkan.
Maka Allah pun menghapuskan seluruh amalan mereka.”

Ketika Allah membicarakan tentang orang-orang kafir, Allah sebutkan diantara sebab
kekufuran mereka adalah membenci apa yang Allah turunkan.
Dan yang dimaksud dengan ‘apa yang diturunkan oleh Allah’ di sini adalah Al Qur’an.
Dan ini mencakup semua yang terkandung di dalamnya. Termasuk tentang Tauhid,
Kerasulan, Hari Kebangkitan, dan lainnya.

Kekafiran mereka adalah penyebab batalnya amalan-amalan mereka. Yang dimaksud


dengan ‘amalan yang batal’ di sini adalah amalan yang mereka harapkan manfaatnya
di dunia, mereka mengharapkan amalan kebaikan tersebut mendapat keridhoan dari
Allah dan keridhoan berhala-berhala mereka agar mereka mendapatkan kehidupan
yang baik, mendapatkan rezeki yang melimpah, keselamatan, kesehatan.
Dan yang dimaksud dengan ‘batalnya’ adalah tidak terwujud apa yang mereka
harapkan tersebut.

Diantara hal yang harus dipahami:


1. Kemaksiatan yang dilakukan oleh seseorang, bukan berarti dia benci dengan apa
yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Terkadang seseorang melakukan sebuah
kemaksiatan, melakukan hal yang diharamkan Allah, akan tetapi di dalam hatinya dia
mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dia sebenarnya membenci kemaksiatan tersebut.
Namun hawa nafsu dan bisikan syaithan menjadikan dia melakukan kemaksiatan
tersebut.
Allah berfirman,

ۡ
ِ ‫)اَل ۤ ُأ ۡق ِس ُم بِیَ ۡو ِم ٱلقِیَ ٰـ َم ِة ۝ َواَل ۤ ُأ ۡق ِس ُم بِٱلنَّ ۡف‬
( ‫س ٱللَّوَّا َم ِة‬
[Surat Al-Qiyamah 1 – 2]

“Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan aku bersumpah demi jiwa yang selalu
mencela (dirinya sendiri).

Maksudnya adalah jiwa yang ketika dia melakukan kemaksiatan, dia mencela dirinya
sendiri.
Ketika kita sendiri merasakan di dalam jiwa kita kebencian dengan kemaksiatan
meskipun terkadang kita melakukannya.

Dalam sebuah hadits dari Umar bin Khatab radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, ada seorang
laki-laki di zaman Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bernama Abdullah. Gelarnya
Himar (‫) ِح َمار‬. Dahulu sering menghibur Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan
Nabi dahulu mencambuk beliau dengan sebab minum minuman keras.

Suatu saat laki-laki tersebut didatangkan dan diperintahkan untuk dicambuk karena
minum minuman keras. Kemudian ada seseorang yang berkata, “Ya Allah, laknatlah
dia. Betapa sering dia dibawa ke sini.” Maka Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam
mengatakan, “Janganlah kalian melaknat laki-laki ini. Demi Allah, aku tidak
mengetahui kecuali dia adalah orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya.” [HR
Bukhari dan Muslim].

Ini menunjukkan bahwa kemaksiatan tidak menunjukkan kebencian kepada Allah


dan Rasul-Nya.

2. Kita harus membedakan antara ‫ال ُكرهُ اِإل عتِقَا ِدي‬, kebencian yang merupakan
keyakinan. Dia membenci syari’at Allah baik syari’at tersebut berat atau tidak. Dan
inilah yang merupakan kekufuran.
Dan ‫ ال ُكرهُ الطَّبِي ِعي‬kebencian yang merupakan tabiat manusia, seperti kebencian karena
beratnya syari’at tersebut bagi dirinya, disertai keyakinan bahwa syari’at Allah itulah
yang benar. Di dalamnya ada kebaikan dan harus diikuti, seperti berat bagi
seseorang berperang karena harus menahan sakit ketika terluka, berpisah dengan
keluarga, dll. Seperti beratnya seseorang ketika berwudhu di waktu yang dingin.
Maka kebencian seperti ini adalah tabiat manusia, bukan merupakan kekufuran.
Allah berfirman,
۟ ‫ُوا ش َۡی ࣰٔـا َوهُ َو َخ ۡی ࣱر لَّ ُكمۡۖ َو َع َس ٰۤى َأن تُ ِحب‬
( ‫ُّوا ش َۡی ࣰٔـا َوهُ َو َش ࣱّر لَّ ُكمۡۚ َوٱهَّلل ُ یَ ۡعلَ ُم‬ ۟ ‫ب َعلَ ۡی ُك ُم ۡٱلقِتَا ُل َوه َُو ُك ۡر ࣱه لَّ ُكمۡۖ َو َع َس ٰۤى َأن ت َۡك َره‬
َ ِ‫ُكت‬
َ‫)و نتُمۡ اَل ت َۡعلَ ُمون‬ ‫َأ‬ َ
[Surat Al-Baqarah 216]

“Telah diwajibkan atas kalian berperang, sedangkan itu adalah sesuatu yang kalian
benci. Dan mungkin kalian membenci sesuatu sedangkan itu lebih baik bagi kalian.
Dan terkadang kalian mencintai sesuatu tapi itu jelek bagi kalian. Dan Allah, Dialah
Yang Mengetahui dan kalian tidak mengetahui.”

Dan Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫غ ْال ُوضُو ِء َعلَى ْال َمك‬


‫َار ِه‬ ُ ‫ت قَالُوا بَلَى َيا َرسُو َل هَّللا ِ قَا َل ِإ ْسبَا‬ِ ‫َأاَل َأ ُدلُّ ُك ْم َعلَى َما يَ ْمحُو هَّللا ُ ِب ِه ْالخَ طَايَا َويَرْ فَ ُع بِ ِه ال َّد َر َجا‬
ُ‫صاَل ِة فَ َذلِ ُك ْم ال ِّربَاط‬ َّ ‫َوك َْث َرةُ ْال ُخطَا ِإلَى ال َم َسا ِج ِد َوا ْنتِظَا ُر ال‬
َّ ‫صاَل ِة بَ ْع َد ال‬ ْ

“Maukah aku tunjukkan kepada kalian, apa yang dengannya Allah menghapus dosa
kalian dan mengangkat derajat kalian? Mereka berkata, Iya wahai Rasulullah. Beliau
berkata, ‘Menyempurnakan wudhu ketika dalam keadaan yang dibenci,
memperbanyak langkah ke masjid, menunggu sholat setelah melakukan sholat,
maka itulah Ar Ribath, menjaga yang sebenarnya.” [HR Muslim]

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

Halaqah 15 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke Enam Bagian 1

Halaqah yang ke sepuluh dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam
yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Beliau berkata,

‫ َكفَ َر‬،‫ َأوْ ِعقَابِ ِه‬،‫ َأوْ ثَ َوابِ ِه‬،ِ‫َي ٍء ِم ْن ِد ْي ِن هللا‬ ْ ‫ َم ِن ا ْستَ ْه َزَأ بِش‬: ُ‫السَّا ِدس‬
‫وال َّدلِي ُل قَوْ لُهُ تَ َعالَى‬: َ
ْ ‫قُلْ َأبِاهللِ َوآيَاتِ ِه َو َرسُولِ ِه ُكنتُ ْم تَ ْستَه ِْزُؤ ونَ الَ تَ ْعتَ ِذر‬
‫ُوا قَ ْد َكفَرْ تُم بَ ْع َد ِإي َمانِ ُك ْم‬
Yang ke enam:
“Barangsiapa yang mengejek sesuatu dari agama Allah atau pahala-Nya atau siksaan-
Nya, sungguh dia telah kufur.
Dalilnya firman Allah yang artinya: Katakanlah, apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya,
Rasul-Rasul-Nya, kalian mengejek? Janganlah minta udzur, sungguh kalian telah
kufur setelah keimanan kalian.”

ْ ‫ َم ِن ا ْستَ ْه َزَأ بِش‬،


Beliau mengatakan, ِ‫َي ٍء ِم ْن ِدي ِْن هللا‬
Barangsiapa yang mengejek sesuatu yang berkaitan dengan agama Allah, seperti
Allah Azza wa Jalla yang mensyari’atkan agama Islam, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi
wa sallam yang membawa agama Islam, ayat-ayat Allah yang merupakan sumber
agama Islam, perintah-perintah dan larangan-larangan, para sahabat yang mereka
adalah orang pertama yang menerima agama Islam dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi
wa sallam, para ulama yang mereka adalah pewaris para Nabi, dll.

Beliau berkata setelahnya, ‫ َأوْ ِعقَابِ ِه‬،‫ َأوْ َث َوابِ ِه‬atau mengejek pahala Allah atau siksaan-
Nya, seperti mengejek surga dan kenikmatan di dalamnya, dan mengolok-olok
neraka dan berbagai siksaan di dalamnya.

Seorang muslim apabila di dalam hatinya ada keimanan, maka keimanan tersebut
akan mendorong dia untuk mengagungkan apa yang berkaitan dengan agamanya.
Dia akan mengagungkan Allah, Dzat yang menurunkan agama Islam.
Allah berkata,

(‫ك فَ َكب ِّۡر‬


َ َّ‫)و َرب‬
َ
[Surat Al-Muddaththir 3]

“Dan Rabb-mu hendaklah engkau agungkan.”

Dan Allah berfirman,

َ ۢ ِ‫َو َكب ِّۡرهُ ت َۡكب‬


‫یرا‬
[Surat Al-Isra’ 111]

“Dan hendaklah engkau mengagungkan Allah dengan sebenar-benar pengagungan.”


Mengagungkan Allah diantaranya dengan hanya menyembah kepada Allah. Dan juga
menyifati Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan sesuai dengan keagungan-Nya, dll.
Barangsiapa yang menyekutukan Allah, sungguh dia telah merendahkan Allah,
karena dia menyamakan makhluk yang lemah dengan Al Khaliq, Yang Maha Mampu
untuk melakukan segala sesuatu.

Barangsiapa yang menyifati Allah dengan kekurangan, sungguh dia telah


merendahkan Allah. Seperti orang-orang yang meyakini bahwa Allah memiliki anak.
Sebagaimana keyakinan orang-orang musyrikin.
Allah berfirman,

ِ ‫)ویَ ۡج َعلُونَ هَّلِل ِ ۡٱلبَنَ ٰـ‬


( َ‫ت س ُۡب َح ٰـنَهۥُ َولَهُم َّما یَ ۡشتَهُون‬ َ
[Surat An-Nahl 57]

“Dan mereka menjadikan bagi Allah, anak-anak wanita. Maha Suci Allah. Dan bagi
mereka apa yang mereka senangi (anak laki-laki).”

Orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka juga mengatakan bahwasanya Allah


memiliki anak.
Allah berfirman,

ِ ۖ ‫ص ٰـ َرى ۡٱل َم ِسی ُح ۡٱبنُ ٱهَّلل‬ ِ َ‫ت ۡٱلیَهُو ُد ُعز َۡی ٌر ۡٱبنُ ٱهَّلل ِ َوقَال‬
َ َّ‫ت ٱلن‬ ِ َ‫َوقَال‬
[Surat At-Tawbah 30]

“Orang-orang Yahudi mengatakan ‘Uzair adalah anak Allah dan orang-orang Nasrani
mengatakan Isa Al Masih adalah anak Allah.”

Diantara contoh merendahkan Allah, apa yang diucapkan orang-orang Yahudi ketika
mereka menyifati Allah dengan kefakiran.
Allah berfirman,

‫لَّقَ ۡد َس ِم َع ٱهَّلل ُ قَ ۡو َل ٱلَّ ِذینَ قَالُ ۤو ۟ا ِإ َّن ٱهَّلل َ فَقِی ࣱر َون َۡحنُ َأ ۡغنِیَ ۤا ۘ ُء‬
[Surat Ali Imran 181]

“Allah telah mendengar ucapan orang-orang (Yahudi) yang mengatakan,


sesungguhnya Allah adalah fakir dan kami adalah orang-orang kaya.”
Mereka menyifati Allah. Mereka menyifati bahwa tangan Allah terbelenggu.
Allah berfirman,

‫ق ك َۡیفَ یَش َۤا ۚ ُء‬ ۟ ُ‫وا بما قَال‬


۟ ۚ
ُ ِ‫وا بَ ۡل یَدَاهُ َم ۡبسُوطَتَا ِن یُنف‬ َ ِ ُ‫ت ۡٱلیَهُو ُد یَ ُد ٱهَّلل ِ َم ۡغلُولَةٌ ُغلَّ ۡت َأ ۡی ِدی ِهمۡ َولُ ِعن‬
ِ َ‫َوقَال‬
[Surat Al-Ma’idah 64]

“Dan berkata orang-orang Yahudi, tangan Allah terbelenggu. Tangan merekalah yang
terbelenggu. Dan mereka dilaknat dengan sebab apa yang mereka ucapkan. Bahkan
kedua tangan Allah terbentang. Dia berinfak sesuai dengan cara yang dia kehendaki.

Seseorang yang di dalam hatinya ada keimanan, dia akan menghormati ayat-ayat
Allah.
Ayat-ayat Allah ada dua:
1. Ayat-ayat kauniyah, yaitu tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di alam semesta
ini.
2. Ayat-ayat sam’iyyah. yaitu tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di dalam kitab-
Nya, seperti yang ada di dalam Al Qur’an.
Kewajiban seorang muslim adalah menghormati ayat-ayat Allah dan tidak
menghinakannya.
Allah berfirman,

ِ ‫َواَل تَتَّ ِخ ُذ ۤو ۟ا َءایَ ٰـ‬


‫ت ٱهَّلل ِ هُ ࣰُوز ۚا‬
[Surat Al-Baqarah 231]

“Dan janganlah menjadikan ayat-ayat Allah sebagai senda gurau.”

Kewajiban seorang muslim adalah menghormati Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa


sallam.
Allah berfirman,

َ ‫نز َل َم َع ۤۥهُ ُأ ۟ولَ ٰۤـ ِٕى‬


َ‫ك هُ ُم ۡٱل ُم ۡفلِحُون‬ ‫ُأ‬ ۟ ۟ ُ‫فَٱلَّ ِذینَ َءامن‬
ِ ‫َصرُوهُ َوٱتَّبَعُوا ٱلنُّو َر ٱلَّ ِذ ۤی‬
َ ‫وا بِ ِهۦ َو َع َّزرُوهُ َون‬ َ
[Surat Al-A’raf 157]

“Maka orang-orang yang beriman dengan Beliau dan mereka menghormati Beliau
dan menolong Beliau dan mengikuti cahaya yang diturunkan bersama Beliau, maka
merekalah orang-orang yang beruntung.
Dan diantara bentuk penghormatan kita kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam adalah menghormati istri-istri Beliau yang mereka merupakan ibu-ibu kita dan
menghormati para sahabat Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Halaqah 16 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke Enam Bagian 2

Halaqah yang ke enam belas dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul
Islam yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Dalil bahwasanya orang yang mengejek agama Allah dan apa yang berkaitan
dengannya menjadi kafir adalah firman Allah,

ْ ‫قُلْ َأبِاهللِ َوآيَاتِ ِه َو َرسُولِ ِه ُكنتُ ْم تَ ْستَه ِْزُؤ ونَ الَ تَ ْعتَ ِذر‬
‫ُوا قَ ْد َكفَرْ تُم بَ ْع َد ِإي َمانِ ُك ْم‬

“Katakanlah wahai Muhammad, apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya,


kalian mengejek-ejek? Janganlah kalian minta udzur. Sungguh kalian telah kufur
setelah keimanan kalian.” [At Taubah 65-66]

Pada tahun ke-9 ketika Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat
dalam perjalanan dalam rangka perang Tabuk, ada seseorang berkata di dalam
sebuah majelis yang dihadiri oleh yang lain,

‫ َوال َأجْ بَنَ ِع ْن َد اللِّقَا ِء‬، ً‫ب َأ ْل ِسنَة‬


َ ‫ َوال َأ ْك َذ‬، ‫َب بُطُونًا‬
َ ‫ْت ِم ْث َل قُرَّاِئنَا هَُؤال ِء ال َأرْ غ‬
ُ ‫َما َرَأي‬

“Aku tidak melihat orang-orang yang lebih besar perutnya (lebih banyak makannya),
lebih dusta ucapannya, dan lebih pengecut ketika berperang, daripada mereka.”
Dan dia memaksudkan mengejek Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan juga
para sahabatnya.

Auf bin Malik radhiyallāhu ‘anhu salah seorang sahabat Rasulullah shallallāhu ‘alaihi
wa sallam ketika mendengar ucapan ini, beliau mengingkari, seraya berkata,

َ ‫ق ُأَلخبِ َر َّن َرس‬


‫ُول هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬ َ َّ‫ َولَ ِكن‬، َ‫َك َذبت‬
ٌ ِ‫ك ُمنَاف‬

“Engkau telah berdusta. Akan tetapi engkau adalah seorang munafik, sungguh aku
akan mengabarkan kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.”

Kemudian beliau segera pergi menuju kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam
dan ternyata wahyu telah mendahului.
Allah telah mengabarkan kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam tentang
ucapan laki-laki tersebut.

Maka orang munafik tadi datang dan meminta maaf, meminta udzur kepada Beliau
shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Allah berkata,

ُ‫َولَ ِٕىن َسَأ ۡلتَهُمۡ لَیَقُولُ َّن ِإنَّ َما ُكنَّا نَ ُخوضُ َون َۡل َع ۚب‬
[Surat At-Tawbah 65]

“Dan kalau engkau bertanya kepada mereka, mereka berkata, sesungguhnya kami
hanya berbincang dan bermain-main saja.”

Maka Allah menyuruh Nabi-Nya untuk menjawab,

ْ ‫قُلْ َأبِاهللِ َوآيَاتِ ِه َو َرسُولِ ِه ُكنتُ ْم تَ ْستَه ِْزُؤ ونَ الَ تَ ْعتَ ِذر‬
‫ُوا قَ ْد َكفَرْ تُم بَ ْع َد ِإي َمانِ ُك ْم‬

“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan juga Rasul-Nya, kalian mengejek?


Janganlah kalian minta udzur. Sungguh kalian telah kufur setelah keimanan kalian.”

Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengulang-ulang ucapan tersebut dan tidak


menambahnya.
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya, kalian mengejek? Janganlah
kalian minta udzur. Sungguh kalian telah kufur setelah keimanan kalian.”
Ini menunjukkan kepada kita tentang bahayanya mengejek-ejek segala sesuatu yang
berkaitan dengan agama Allah.

Firman Allah, ‫قَ ْد َكفَرْ تُم بَ ْع َد ِإي َمانِ ُك ْم‬


“Sungguh kalian telah kufur setelah keimanan kalian.” menunjukkan bahwa
mengejek Allah, ayat-ayat-Nya, serta Rasul-Nya, adalah kekufuran.

Allah mengatakan, ‫( َكفَرْ تُم‬kalian telah kufur).


Padahal saat itu yang mengucapkan ucapan ejekan hanyalah satu orang. Yang
demikian karena orang-orang yang mendengar saat itu ridho terhadap ejekan
tersebut, meskipun mereka tidak mengucapkan.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,


۟ ‫ُوا م َعهُمۡ َحتَّ ٰى َی ُخوض‬ ۟ ِ ‫َوقَ ۡد نَ َّز َل َعلَ ۡی ُكمۡ فِی ۡٱل ِكتَ ٰـ‬
( ‫ُوا فِی‬ َ ‫ت ٱهَّلل ِ ی ُۡكفَ ُر بِهَا َوی ُۡست َۡه َزُأ بِهَا فَاَل ت َۡق ُعد‬ ِ ‫ب َأ ۡن ِإ َذا َس ِم ۡعتُمۡ َءایَ ٰـ‬
‫ث غ َۡی ِرۦۤ ِه ِإنَّ ُكمۡ ِإ ࣰذا ِّم ۡثلُهُمۡۗ ِإ َّن ٱهَّلل َ َجا ِم ُع ۡٱل ُمنَ ٰـفِقِینَ َو ۡٱل َك ٰـفِ ِرینَ فِی َجهَنَّ َم َج ِمیعًا‬
ٍ ‫) َح ِدی‬
[Surat An-Nisa’ 140]

“Dan sungguh telah Allah turunkan kepada kalian di dalam Al Qur’an, apabila kalian
mendengar ayat-ayat Allah dikufuri dan diejek, maka janganlah kalian duduk
bersama mereka sampai mereka berbicara tentang pembicaraan lain. Sesungguhnya
kalau kalian demikian, maka kalian semisal dengan mereka. Sesungguhnya Allah
mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam,
semuanya.”

Apabila mendengar di sana ada ayat Allah dihina atau Rasulullah shallallāhu ‘alaihi
wa sallam dihina, atau para sahabat dihina, maka janganlah kalian duduk bersama
mereka, sampai mereka merubah tema pembicaraan mereka.
Apabila kalian duduk bersama mereka, santai bersama mereka, tidak tergerak hati
kalian ketika mendengar Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya dihina, niscaya kalian
semisal dengan mereka.

Dan perlu diketahui bahwa mengejek terkadang dengan lisan, terkadang dengan
tulisan, bahkan bisa dengan isyarat, seperti isyarat mata atau tangan.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.
‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Halaqah 17 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke Tujuh Bagian 1

Halaqah yang ke tujuh belas dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam
yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Beliau berkata,

‫السَّابِ ُع‬:
‫ض َي بِ ِه َكفَ َر‬ ِ ‫طفُ فَ َم ْن فَ َعلَهُ َأوْ َر‬ ْ ‫السِّحْ ُر َو ِم ْنهُ الصَّرْ فُ َوال َع‬
ْ‫َوال َّدلِي ُل قَوْ لُهُ تَ َعالَى َو َما يُ َعلِّ َما ِن ِم ْن َأ َح ٍد َحتَّى يَقُوالَ ِإنَّ َما نَحْ نُ فِ ْتنَةٌ فَالَ تَ ْكفُر‬

“Yang ke tujuh adalah sihir. Dan diantara macamnya, Ash Shorfu dan Al ‘Athfu.
Barangsiapa yang mengerjakannya atau ridho dengan sihir, maka dia telah kufur,
keluar dari Islam. Dalilnya adalah firman Allah yang artinya ‘Dan tidaklah keduanya
mengajarkan sihir kepada seseorang sampai keduanya berkata sesungguhnya kami
adalah ujian, maka janganlah engkau kufur.’ [Al Baqarah 102]”

‫ السِّحْ ُر‬di dalam Bahasa Arab adalah segala hal yang samar sebabnya.
‫ الس ََّح ُر‬artinya di akhir malam. Dinamakan demikian karena waktu tersebut adalah
waktu yang samar.

Sihir yang dilarang ada dua jenis:

1. Sihir hakiki
Yaitu sihir yang benar-benar, maksudnya sihir yang memudhoroti orang lain,
membuat sakit, membunuh, sihir yang menjadikan kecintaan menjadi sebuah
kebencian, dan sebaliknya.
2. Sihir takhyili, yaitu sihir yang hanya sekedar hayalan, menjadikan penglihatan
orang lain melihat sesuatu yang tidak sebenarnya, seperti yang terjadi di zaman Nabi
Musa ‘alaihissalam ketika Fir’aun mengumpulkan tukang sihir-tukang sihir di Mesir
untuk melawan Nabi Musa ‘alaihissalam. Mereka menggunakan sihir takhyili,
menyihir mata-mata manusia sehingga melihat tali-tali yang mereka lempar seakan-
akan itu adalah ular.
Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,
۟ ۟ ۡ ۤ ۖ۟ ۡ َ َ‫وا یَ ٰـ ُمو َس ٰۤى َّم ۤا َأن تُ ۡلقِی و َّم ۤا َأن نَّ ُكونَ ن َۡحنُ ۡٱل ُم ۡلقِینَ ۝ ق‬
۟ ُ‫قَال‬
( ۡ‫ٱست َۡرهَبُوهُم‬
ۡ ‫اس َو‬ِ َّ‫ال َألقُوا فَلَ َّما َألقَ ۡوا َس َحر ُۤوا َأ ۡعیُنَ ٱلن‬ ‫َ َِإ‬ ‫ِإ‬
ِ ‫) َو َج ۤا ُءو بِ ِس ۡح ٍر ع‬
‫َظی ࣲم‬
[Surat Al-A’raf 115 – 116]

“Mereka berkata, wahai Musa silakan engkau yang melempar tongkatmu dahulu
atau kami yang melempar? Beliau berkata, silakan kalian melempar tali-tali kalian.
Ketika mereka melempar tali-tali tersebut, mereka menyihir mata-mata manusia dan
manusia menjadi takut, yaitu ketika mereka melihat dengan mata mereka, bahwa
tali-tali tersebut seakan-akan berubah menjadi ular. Dan mereka pun datang dengan
sihir yang besar.”

Ini berbeda dengan mukjizat Nabi Musa ‘alaihissalam dimana Allah benar-benar
menjadikan tongkat Nabi Musa, ular yang hidup yang bergerak yang memakan tali-
tali yang dilempar.

Kedua jenis sihir ini diharamkan di dalam agama Islam dan sihir memiliki macam-
macam yang banyak, diantaranya kata beliau adalah As Shorfu dan Al ‘Athfu.

Ash Shorfu artinya adalah memalingkan. Maksudnya memalingkan rasa cinta


menjadi rasa benci. Misalnya seorang suami yang mencintai istrinya berubah
menjadi kebencian dengan sebab sihir ini.

Al ‘Athfu artinya adalah cinta. Sihir ini menjadikan seseorang yang awalnya
membenci akhirnya menjadi mencintai.

Beliau mengatakan,

ِ ‫فَ َم ْن فَ َعلَهُ َأوْ َر‬


‫ض َي بِ ِه َكفَ َر‬

“Barangsiapa yang mengamalkan sihir ini atau ridho dengan sihir ini, maka dia telah
kufur.”
Jika seseorang bekerjasama dengan syaithan untuk menyihir orang lain atau dia
ridho dengan sihir tersebut meskipun dia tidak melakukannya, maka dia telah kufur.
Karena ridho dengan sihir adalah ridho dengan kekufuran. Dalil yang menunjukkan
bahwa sihir adalah kufur dan bisa mengeluarkan seseorang dari Islam adalah firman
Allah,

ْ‫َو َما يُ َعلِّ َما ِن ِم ْن َأ َح ٍد َحتَّى يَقُوالَ ِإنَّ َما نَحْ نُ فِ ْتنَةٌ فَالَ تَ ْكفُر‬

“Dan tidaklah keduanya (Harut dan Marut) mengajarkan kepada orang lain sihir,
sampai keduanya berkata sesungguhnya kami adalah fitnah, maka janganlah engkau
kufur.” [Al Baqarah 102]

Dan maksud janganlah engkau kufur yaitu janganlah engkau mempelajari sihir.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

Halaqah 18 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke Tujuh Bagian 2

Halaqah yang ke delapan belas dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul
Islam yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Allah berfirman,

ْ‫َو َما يُ َعلِّ َما ِن ِم ْن َأ َح ٍد َحتَّى يَقُوالَ ِإنَّ َما نَحْ نُ فِ ْتنَةٌ فَالَ تَ ْكفُر‬

“Dan tidaklah keduanya (Harut dan Marut) mengajarkan kepada orang lain sihir,
sampai keduanya berkata sesungguhnya kami adalah ujian, maka janganlah engkau
kufur.”

Ayat ke-102 dari surat Al Baqarah ini menceritakan tentang orang-orang Yahudi dan
kebiasaan mereka melakukan sihir.

Allah berfirman,
۟ ُ‫ُوا ما ت َۡتل‬
ِ ‫وا ٱل َّشیَ ٰـ ِطینُ َعلَ ٰى ُم ۡل‬
( َ‫ك ُسلَ ۡی َمـ ٰۖن‬ ۟
َ ‫) َوٱتَّبَع‬
[Surat Al-Baqarah 102]

“Dan mereka (orang-orang Yahudi mengikuti apa yang dibaca oleh syaithan-syaithan
kepada tukang sihir-tukang sihir di zaman kerajaan Sulaiman.”

Maksudnya orang-orang Yahudi meyakini bahwa Sulaiman bisa menundukkan jin


dengan sihir sebagaimana tukang sihir-tukang sihir. Padahal tidak demikian. Allah
telah menjadikan jin dan syaithan tunduk kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam,
sehingga mereka pun menurut ketika diperintah oleh Nabi Sulaiman.
Allah berfirman,

(‫) َوٱل َّشیَ ٰـ ِطینَ ُك َّل بَنَّ ۤا ࣲء َو َغوَّا ࣲص‬


ۡ ‫) َو َءا َخ ِرینَ ُمقَ َّرنِینَ فِی ٱَأۡل‬
(‫صفَا ِد‬
[Surat Sad 37 – 38]

“Dan syaithan-syaithan, ada diantara mereka yang membangun, dan ada diantara
mereka yang menyelam, dan ada diantara mereka yang dibelenggu.”

Dan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam pernah berdo’a kepada Allah,

‫َوه َۡب لِی ُم ۡل ࣰكا اَّل یَ ۢنبَ ِغی َأِل َح ࣲد ِّم ۢن بَ ۡع ِد ۤی‬
[Surat Sad 35]

“Ya Allah, berikanlah aku kekuasaan yang tidak Engkau berikan kepada seorang pun
setelahku.”

Adapun tukang sihir-tukang sihir, maka mereka menundukkan jin dengan mantra-
mantra yang isinya adalah kekufuran kepada Allah. Apabila diucapkan oleh seorang
tukang sihir, maka syaithan akan ridho karena syaithan sangat senang dengan
kekufuran. Apabila dia ridho, maka dengan senang hati dia dan pasukannya
membantu apa yang diinginkan oleh tukang sihir, berupa santet dll.

Kemudian Allah mengatakan,


۟ ‫َوما َكفَ َر ُسلَ ۡیم ٰـنُ َولَ ٰـ ِك َّن ٱل َّشیَ ٰـ ِطینَ َكفَر‬
َ َّ‫ُوا یُ َعلِّ ُمونَ ٱلن‬
‫اس ٱلس ِّۡح َر‬ َ َ
[Surat Al-Baqarah 102]
“Dan Sulaiman tidaklah kufur. Akan tetapi syaithan-syaithan itulah yang kufur.
Dimana mereka mengajarkan kepada manusia sihir.”

Syaithan-syaithan itu adalah makhluk-makhluk yang kufur. Diantara sebabnya adalah


mereka mengajarkan manusia sihir. Bukan hanya mengamalkan sihir, bahkan
mengajarkan sihir tersebut kepada orang lain. Ini adalah termasuk kekufuran.
Allah berfirman,
ۚ ‫َوم ۤا ُأنز َل َعلَى ۡٱلملَك َۡین ببَاب َل هَ ٰـرُوتَ َوم ٰـر‬
َ‫ُوت‬ َ ِ ِ ِ َ ِ َ
[Surat Al-Baqarah 102]

“Dan apa yang Allah turunkan kepada keduanya, yaitu malaikat Harut dan Marut
(berupa sihir).”

Allah mengatakan setelahnya,

ْ‫َو َما يُ َعلِّ َما ِن ِم ْن َأ َح ٍد َحتَّى يَقُوالَ ِإنَّ َما نَحْ نُ فِ ْتنَةٌ فَالَ تَ ْكفُر‬

“Dan tidaklah keduanya mengajarkan kepada orang lain sihir tersebut, kecuali
setelah berkata, kami hanyalah ujian, janganlah engkau kufur.”

Kemudian Allah berfirman,

‫فَیَتَ َعلَّ ُمونَ ِم ۡنهُ َما َما یُفَ ِّرقُونَ بِ ِهۦ بَ ۡینَ ۡٱل َم ۡر ِء َو َز ۡو ِج ۚ ِهۦ‬
[Surat Al-Baqarah 102]

“Maka mereka pun belajar dari keduanya (Harut dan Marut), apa yang bisa
memisahkan antara seseorang dengan istrinya.”

Kemudian Allah berfirman,

ِ ۚ ‫ض ۤا ِّرینَ بِ ِهۦ ِم ۡن َأ َح ٍد ِإاَّل بِِإ ۡذ ِن ٱهَّلل‬


َ ِ‫َو َما هُم ب‬
[Surat Al-Baqarah 102]

“Dan mereka tidak bisa memudhoroti seorang pun dengan sihirnya kecuali dengan
izin Allah.

Dan Allah berfirman,


ۚۡ‫َویَتَ َعلَّ ُمونَ َما یَضُرُّ هُمۡ َواَل یَنفَ ُعهُم‬
[Surat Al-Baqarah 102]

“Dan mereka mempelajari apa yang memudhoroti mereka dan apa yang tidak
memberikan manfaat kepada mereka.”

Kemudian selanjutnya Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

‫ٱشتَ َر ٰىهُ َما لَهۥُ فِی ۡٱلـَٔا ِخ َر ِة ِم ۡن َخلَ ٰـ ࣲۚق‬ ۟ ‫َولَقَ ۡد َعلِ ُم‬
ۡ ‫وا لَ َم ِن‬
[Surat Al-Baqarah 102]

“Padahal mereka sudah tahu bahwa orang yang membeli sihir, maka di akhirat dia
tidak memiliki bagian.”

Menunjukkan kepada kita bahwa orang yang melakukan sihir, nanti di akhirat tidak
memiliki bagian sedikitpun. Artinya dia tidak memiliki kenikmatan sedikitpun.
Kemudian juga menunjukkan bahwa orang yang melakukan sihir adalah kufur.
Allah berfirman,
۟ ُ‫س ما َش َر ۡو ۟ا ب ِۤۦه َأنفُ َسهُمۡۚ لَ ۡو كَان‬
‫وا یَ ۡعلَ ُمون‬ ِ َ َ ‫َولَبِ ۡئ‬
[Surat Al-Baqarah 102]

“Dan sungguh jelek apa yang mereka beli seandainya mereka mengetahui.”

Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwasanya sihir adalah sebuah kekufuran
kepada Allah yang bisa mengeluarkan seseorang dari Islam.

Oleh karena itu seorang muslim menjauhi sihir dan menasihati orang lain yang masih
melakukan sihir. Dan hendaklah berusaha membersihkan masyarakat dari para
tukang sihir.

Hukuman berat di dalam Islam bagi orang yang menjadi tukang sihir. Jundub, beliau
mengatakan,

ِ ‫ضرْ بَةٌ بِال َّسي‬


‫ْف‬ ِ ‫َح ُّد الس‬
َ ‫َّاح ِر‬

“Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal kepalanya dengan pedang.” [Atsar
riwayat Tirmidzi]
Yang demikian karena mereka telah melakukan kemurtadan dengan sebab sihir yang
merupakan syirik akbar kepada Allah.

Riwayat membunuh tukang sihir dengan pedang telah datang dari beberapa sahabat,
diantaranya Umar bin Khatab radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu.
Di zaman beliau, beliau memerintahkan untuk membunuh setiap tukang sihir, baik
laki-laki maupun wanita, dan ini disetujui oleh para sahabat yang lain radhiyallāhu
‘anhum.

Demikian pula telah shahih dari Hafshoh, putri Umar bin Khatab, bahwasanya pernah
ada salah seorang budak Hafshoh yang menyihir Hafshoh. Kemudian dia mengaku,
maka setelah itu tukang sihir tersebut dibunuh.

Telah datang dari Jundub bin Ka’ab, salah seorang sahabat Rasulullah shallallāhu
‘alaihi wa sallam, suatu saat beliau berada di depan salah seorang khalifah Bani
Umayyah yang saat itu ada seorang laki-laki yang melakukan sihir takhyili (sihir
berupa hayalan) seakan-akan dilihat oleh manusia ia sedang membunuh seseorang,
kemudian dia bisa menghidupkan kembali orang tersebut. Ini dilakukan di depan
Jundub bin Ka’ab dan salah seorang khalifah di zaman Bani Umayyah. Maka Jundub
bin Ka’ab mendekati orang tersebut kemudian membunuhnya.

Menunjukkan bahwa hukuman bagi tukang sihir adalah dibunuh, dan yang
menegakkan hukuman adalah hak pemerintah yang sah, bukan dilakukan secara
individu.
Misalnya seseorang menemukan tetangganya, ada yang menjadi tukang sihir.
Akhirnya dia pun datang dan membunuhnya, maka ini tidak diperbolehkan.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

Halaqah 19 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke Delapan Bagian 1


Halaqah yang ke sembilan belas dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul
Islam yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Berkata Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah,

ُ‫الثَّا ِمن‬:
َ‫ُمظَاهَ َرةُ ال ُم ْش ِر ِكينَ َو ُم َعا َونَتُهُ ْم َعلَى ال ُم ْسلِ ِمين‬
‫َوال َّدلِي ُل قَوْ لُهُ تَ َعالَى َو َمن يَتَ َولَّهُم ِّمن ُك ْم فَِإنَّهُ ِم ْنهُ ْم ِإ َّن هللاَ الَ يَ ْه ِدي ْالقَوْ َم الظَّالِ ِمين‬

“Yang ke delapan: menolong orang-orang musyrikin dan membantu mereka di dalam


memerangi kaum muslimin. Dalilnya adalah firman Allah yang artinya ‘Dan
barangsiapa yang menolong mereka maka sesungguhnya dia termasuk mereka.
Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang
dzalim.’ [Al Maidah : 51]”

Yang dimaksud dengan menolong orang-orang musyrikin atau orang-orang kafir dan
membantu mereka di dalam memerangi orang-orang Islam adalah menolong orang-
orang kafir ketika terjadi peperangan antara kaum muslimin dengan orang-orang
kafir, dengan maksud supaya mereka menang dan mengalahkan kaum muslimin
sehingga agama orang-orang kafir lebih nampak daripada agama kaum muslimin.

Seorang muslim yang sejati adalah seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya,
senang ketika Allah dan Rasul-Nya ditaati, gembira melihat agama Allah nampak di
bumi, melihat tauhid dan sunnah tersebar. Sebaliknya, dia bersedih ketika melihat
kekufuran, kebid’ahan, dan kemaksiatan.

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ث َم ْن ُك َّن فِي ِه َو َج َد َحاَل َوةَ اِإْل ْي َم‬


‫ان‬ ٌ َ‫ثَال‬:
‫ َك َما‬،‫ َو ْن يَ ْك َرهَ ْن يَعُو َد فِي ال ُك ْف ِر‬،ِ ‫ َوَأ ْن يُ ِحبَّ ْال َمرْ َء الَ يُ ِحبُّهُ إالَّ هلِل‬،‫َأ ْن يَ ُكونَ هللاُ َو َرسُولُهُ أ َحبَّ ِإلَ ْي ِه ِم َّما َس َواهُ َما‬
ْ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ِ َّ‫يَ ْك َرهُ َأ ْن يُ ْق َذفَ فِي الن‬
‫ار‬

“Tiga perkara apabila ada pada diri seseorang, maka dia menemukan kelezatan iman.
1. Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.
2. Mencintai orang lain, tidak mencintainya kecuali karena Allah. Yaitu mencintainya
karena dia taat kepada Allah.
3. Dia benci untuk kembali kepada kekufuran, sebagaimana dia benci apabila
dilempar ke dalam api.”
[Hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim]

Kalau demikian, maka menolong orang-orang kafir dan mencintai kekufuran mereka
dan senang apabila orang-orang musyrikin tersebut agamanya lebih nampak
daripada agama kaum muslimin, maka ini adalah sebuah kekufuran.

Adapun orang yang membantu orang-orang musyrikin dan orang-orang kafir dalam
memerangi kaum muslimin tetapi bukan karena cinta dengan agama orang-orang
kafir tersebut dan bukan karena senang apabila agama orang-orang kafir lebih
nampak dari agama kaum muslimin, contohnya dia menolong karena keinginan
duniawi seperti jabatan, harta, wanita, dll, maka orang yang demikian telah
melakukan dosa besar tetapi tidak sampai keluar dari agama Islam. Ini termasuk
kefasikan. Kalau dia meninggal dalam keadaan seperti ini, maka dia telah meninggal
dunia dalam keadaan membawa dosa besar. Keadaannya di akhirat adalah seperti
pelaku dosa besar yang lain. Dia di bawah kehendak Allah. Kalau Allah menghendaki
maka Allah mengampuni, dan kalau Allah menghendaki maka Allah akan mengadzab
dia terlebih dahulu di dalam neraka.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬


Halaqah 20 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke Delapan Bagian 2

Halaqah yang ke dua puluh dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam
yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Allah Ta’ala di dalam Al Qur’an mengabarkan bahwa diantara sifat orang-orang


Yahudi, mereka dahulu menolong dan mencintai orang-orang kafir, yaitu orang-
orang musyrikin yang menyembah berhala. Padahal orang-orang Yahudi adalah ahlul
kitab yang menisbahkan diri mereka kepada wahyu.
Allah berfirman,
ۚ۟ َ َ
ِ ‫س َما قَ َّد َم ۡت لَهُمۡ َأنفُ ُسهُمۡ َأن َس ِخطَ ٱهَّلل ُ َعلَ ۡی ِهمۡ َوفِی ۡٱل َع َذا‬
( َ‫ب هُمۡ َخ ٰـلِ ُدون‬ َ ‫ُوا لَبِ ۡئ‬‫)ت ََر ٰى َكثِی ࣰرا ِّم ۡنهُمۡ یَت ََولَّ ۡونَ ٱلَّ ِذینَ كفر‬
[Surat Al-Ma’idah 80]

“Kamu akan melihat sebagian besar mereka (orang-orang Yahudi) mencintai dan
menolong orang-orang kafir (orang-orang musyrikin). Sungguh jelek perbuatan
tangan mereka. Allah marah kepada mereka. Dan di dalam neraka, mereka akan
kekal.”

Kemudian Allah mengatakan,

( َ‫نز َل ِإلَ ۡی ِه َما ٱتَّ َخ ُذوهُمۡ َأ ۡولِیَ ۤا َء َولَ ٰـ ِك َّن َكثِی ࣰرا ِّم ۡنهُمۡ فَ ٰـ ِسقُون‬‫ۤ ُأ‬ ۟
ِ ‫) َولَ ۡو كَانُوا ی ُۡؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َوٱلنَّبِ ِّی َو َما‬
[Surat Al-Ma’idah 81]

“Seandainya mereka benar-benar beriman kepada Allah, Nabi, dan apa yang
diturunkan kepada Nabi berupa wahyu, tentunya mereka tidak akan menjadikan
orang-orang kafir tersebut sebagai penolong. Tetapi banyak diantara mereka yang
fasik.”

Mencintai dan menolong orang-orang kafir ternyata juga termasuk sifat orang-orang
munafik.

Allah berfirman,

(‫)بَ ِّش ِر ۡٱل ُمنَ ٰـفِقِینَ بَِأ َّن َلهُمۡ َع َذابًا َألِی ًما‬
[Surat An-Nisa’ 138]
“Kabarkanlah (berikan kabar gembira) kepada orang-orang munafik, bahwa mereka
mendapatkan adzab yang pedih.”

Kemudian Allah berfirman,

ۚ ِ‫)ٱلَّ ِذینَ َیتَّ ِخ ُذونَ ۡٱل َك ٰـفِ ِرینَ َأ ۡولِیَ ۤا َء ِمن دُو ِن ۡٱل ُم ۡؤ ِمن‬
(‫ینَ َأیَ ۡبتَ ُغونَ ِعن َدهُ ُم ۡٱل ِع َّزةَ فَِإ َّن ۡٱل ِع َّزةَ هَّلِل ِ َج ِمی ࣰعا‬
[Surat An-Nisa’ 139]

“Mereka adalah orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong,


bukan orang-orang yang beriman. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang-
orang kafir tersebut? Padahal kemuliaan semuanya hanyalah milik Allah.”

Seorang muslim loyalnya hanyalah kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman.
Allah berfirman,
۟ ُ‫)  نَّما َولِیُّ ُك ُم ٱهَّلل ُ َو َرسُولُهۥُ َوٱلَّ ِذینَ َءامن‬
َّ ‫وا ٱلَّ ِذینَ یُقِی ُمونَ ٱل‬
( َ‫صلَ ٰوةَ َوی ُۡؤتُونَ ٱل َّزك َٰوةَ َوهُم َرا ِكعُون‬ َ َ ‫ِإ‬
[Surat Al-Ma’idah 55]

“Sesungguhnya wali kalian (penolong kalian) adalah Allah dan Rasul-Nya dan orang-
orang yang beriman yang mereka mendirikan sholat, membayar zakat, dan mereka
dalam keadaan rukuk.”

Dan Allah berfirman,

( َ‫ب ٱهَّلل ِ هُ ُم ۡٱل َغ ٰـلِبُون‬ ۟ ُ‫)ومن یَتَ َو َّل ٱهَّلل َ َو َرسُولَهۥُ َوٱلَّ ِذینَ َءامن‬
َ ‫وا فَِإ َّن ِح ۡز‬ َ َ َ
[Surat Al-Ma’idah 56]

“Dan barangsiapa yang loyal kepada Allah, dan Rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman, maka sesungguhnya golongan Allah, merekalah orang-orang yang
menang.”

Dalil bahwasanya menolong kaum musyrikin di dalam memerangi kaum muslimin


dengan maksud ingin menampakkan agama orang-orang musyrikin, ini adalah
termasuk kekufuran, adalah firman Allah dalam surat Al Maidah 51,

‫َو َمن يَتَ َولَّهُم ِّمن ُك ْم فَِإنَّهُ ِم ْنهُ ْم ِإ َّن هللاَ الَ يَ ْه ِدي ْالقَوْ َم الظَّالِ ِمين‬
“Barangsiapa diantara kalian yang menjadikan mereka sebagai penolong, maka
sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberikan
petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.”

Firman Allah, ‫فَِإنَّهُ ِم ْنهُ ْم‬, maka dia adalah termasuk mereka, yaitu termasuk orang-orang
kafir.

Ibnu ‘Athiyah menjelaskan di dalam tafsirnya, bahwa orang yang loyal dengan
keyakinan dan agamanya maka dia termasuk mereka di dalam kekufuran dan sama-
sama berhak mendapatkan bencana dan kekal di neraka.
Adapun orang-orang yang loyal dengan perbuatannya, yaitu menolong mereka dan
semisalnya tanpa keyakinan dan kerusakan iman, maka dia termasuk mereka dalam
hal ikut mendapatkan celaan dan kebencian yang menimpa mereka. [Al Muharrar Al
Wajiz jilid 2 halaman 204].

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Halaqah 21 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke Sembilan Bagian 1

Halaqah yang ke dua puluh satu dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul
Islam yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Berkata Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah,

“Yang ke sembilan, barangsiapa yang meyakini bahwa sebagian manusia tidak wajib
mengikuti Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan bahwa dia boleh keluar dari syari’at
Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam sebagaimana Nabi Khadhir keluar dari syari’at Nabi
Musa ‘alaihissalam, maka dia kafir.”
Wajib bagi seluruh manusia semenjak diutusnya Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam untuk beriman kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti
risalah Beliau, karena Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah untuk
seluruh manusia, baik orang Arab maupun selain orang Arab, baik ahlul kitab, orang-
orang musyrikin, maupun pengikut Nabi sebelumnya.
Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

( َ‫) َو َم ۤا َأ ۡر َس ۡلنَـٰكَ ِإاَّل َر ۡح َم ࣰة لِّ ۡل َع ٰـلَ ِمین‬


[Surat Al-Anbiya’ 107]

“Dan tidaklah kami mengutusmu Wahai Muhammad, kecuali sebagai rahmat bagi
seluruh alam.”

Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla mengatakan,

‫قُ ۡل یَ ٰۤـَأیُّهَا ٱلنَّاسُ ِإنِّی َرسُو ُل ٱهَّلل ِ ِإلَ ۡی ُكمۡ َج ِمیعًا‬


[Surat Al-A’raf 158]

“Katakanlah wahai manusia, sesungguhnya aku adalah Rasulullah untuk kalian


semuanya.”

Dan ini adalah keistimewaan Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Adapun para Nabi
sebelumnya, maka mereka diutus untuk kaumnya saja.
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ً‫اس عَا َّمة‬ ُ ‫صةً َوب ُِع ْث‬


ِ َّ‫ت ِإلَى الن‬ ُ ‫َو َكانَ النَّبِ ُّي يُ ْب َع‬
َّ ‫ث ِإلَى قَوْ ِم ِه خَا‬

“Dahulu seorang Nabi diutus kepada kaumnya secara khusus dan aku diutus ke
seluruh manusia.” [Muttafaqun ‘Alaihi]

Nabi Musa ‘alaihissalam diutus kepada Bani Israil. Nabi Isa ‘alaihissalam diutus
kepada Bani Israil. Nabi Shalih ‘alaihissalam diutus kepada Tsamud. Nabi Hud kepada
‘Aad. Nabi Syu’aib diutus kepada Madyan. Nabi Nuh diutus kepada kaumnya.

Apabila ada seorang Yahudi yang mengaku beriman dengan Nabi Musa atau seorang
Nasrani yang mengaku beriman kepada Nabi Isa, mendengar tentang kedatangan
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam, maka dia wajib mengikuti Rasulullah
shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Apabila dia meninggal dan tidak beriman dengan Beliau,
maka dia meninggal dalam keadaan kufur.
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ‫وت َولَ ْم يُْؤ ِم ْن بِالَّ ِذي ُأرْ ِس ْل‬


‫ت بِ ِه ِإاَّل َكانَ ِم ْن َأصْ َحا ِـ‬
ِ َّ‫ب الن‬
‫ار‬ ُ ‫اَل يَ ْس َم ُع بِي َأ َح ٌد ِم ْن هَ ِذ ِه اُأْل َّم ِة يَهُو ِديٌّ َواَل نَصْ َرانِ ٌّي ثُ َّم يَ ُم‬

“Tidaklah mendengar kedatanganku, seseorang diantara umat ini, baik seorang


Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia meninggal dunia dan tidak beriman dengan
apa yang aku bawa, kecuali dia adalah termasuk penghuni neraka.” [Hadits shahih
diriwayatkan oleh Imam Muslim]

Bahkan bukan hanya itu. Seandainya sekarang ada seorang Nabi yang masih hidup,
maka diwajibkan bagi Nabi tersebut untuk mengikuti Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam. Tidak boleh Nabi tersebut melaksanakan syari’atnya sendiri.

Allah Subhānahu wa Ta’āla telah mengambil perjanjian dari para Nabi dan
mewajibkan mereka untuk mengikuti, beriman, dan menolong Rasulullah shallallāhu
‘alaihi wa sallam apabila menemui Beliau.
Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

( ‫ال‬َ َ‫ص ُرنَّ ۚۥهُ ق‬ َ ‫ق ٱلنَّبِیِّـۧنَ لَ َم ۤا َءات َۡیتُ ُكم ِّمن ِكتَ ٰـ ࣲب َو ِح ۡك َم ࣲة ثُ َّم َج ۤا َء ُكمۡ َرسُو ࣱل ُّم‬
ُ ‫ص ِّد ࣱق لِّ َما َم َع ُكمۡ لَتُ ۡؤ ِمنُ َّن بِ ِهۦ َولَتَن‬ َ ‫َوِإ ۡذ َأ َخ َذ ٱهَّلل ُ ِمیثَ ٰـ‬
َ‫ُوا َوَأن َ۠ا َم َع ُكم ِّمنَ ٱل َّش ٰـ ِه ِدین‬ ۟ ‫ٱشهَد‬ ۡ َ‫ص ِر ۖی قَالُ ۤو ۟ا َأ ۡق َر ۡرن َۚا قَا َل ف‬
ۡ ‫) َءَأ ۡق َر ۡرتُمۡ َوَأخ َۡذتُمۡ َعلَ ٰى َذالِ ُكم ِإ‬
[Surat Ali Imran 81]
( َ‫ك هُ ُم ۡٱلفَ ٰـ ِسقُون‬ َ ‫ك فَُأ ۟ولَ ٰۤـ ِٕى‬
َ ِ‫)فَ َمن تَ َولَّ ٰى بَ ۡع َد َذ ال‬
[Surat Ali Imran 82]

“Ketika Allah Subhānahu wa Ta’āla mengambil perjanjian dari para Nabi, ‘Seandainya
Aku memberikan kepada kalian kitab dan hikmah, kemudian datang kepada kalian
seorang Rasul yang membenarkan apa yang kalian bawa, maka kalian harus beriman
dengan Rasul tersebut dan kalian harus menolongnya.’
Kemudian Allah berkata, ‘Apakah kalian mengakui perjanjian ini dan mengambil
perjanjian ini?’ Mereka mengatakan, ‘Kami berikrar.’
Allah berkata, ‘Maka saksikanlah, dan Aku bersama kalian, termasuk yang bersaksi.’
Maka barangsiapa yang berpaling dari perjanjian ini, maka mereka adalah orang-
orang yang fasik.”
Di dalam sebuah hadits, suatu saat Umar bin Khatab radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu
membaca sebuah kitab yang beliau dapatkan dari ahlul kitab. Maka Rasulullah
shallallāhu ‘alaihi wa sallam marah dan berkata, “Apakah engkau bingung wahai anak
Al Khatab?”
Kemudian Beliau berkata,

‫َوالَّ ِذي نَ ْف ِسي بِيَ ِد ِه لَوْ َأ َّن ُمو َسى َكانَ َحيًّا َما َو ِس َعهُ ِإاَّل َأ ْن يَتَّبِ َعنِي‬

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa ‘alaihissalam


sekarang ini hidup, niscaya dia tidak boleh kecuali harus mengikuti diriku.” [HR Imam
Ahmad dan dihasankan oleh Syeikh Al Albani Rahimahullah]

Oleh karena itu, di akhir zaman ketika Nabi Isa ‘alaihissalam turun ke dunia, maka
beliau akan turun sebagai salah satu diantara umat Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam, mengikuti syar’iat Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam, dan tidak berhukum
dengan Injil.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

Halaqah 22 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke Sembilan Bagian 2

Halaqah yang ke dua puluh dua dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul
Islam yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Risalah Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah umum untuk seluruh manusia dan
jin. Apabila ada jin yang mendengar kedatangan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam, maka mereka wajib untuk mengikuti Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak mengikuti Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam.

Allah menceritakan di dalam Al Qur’an bahwa ada sebagian jin yang datang kepada
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan mendengar Al Qur’an dari Beliau.
Allah berfirman,
ۖ۟ ُ ‫َ ُ ۤ ۟ َأ‬
( َ‫ض َی َولَّ ۡو ۟ا ِإلَ ٰى قَ ۡو ِم ِهم ُّمن ِذ ِرین‬
ِ ُ‫وا فَلَ َّما ق‬ ‫صت‬
ِ ‫ضرُوهُ قالوا ن‬ َ ‫ص َر ۡفن َۤا ِإلَ ۡی‬
َ ‫ك نَفَ ࣰرا ِّمنَ ۡٱل ِجنِّ یَ ۡستَ ِمعُونَ ۡٱلقُ ۡر َءانَ فَلَ َّما َح‬ َ ‫) َوِإ ۡذ‬
[Surat Al-Ahqaf 29]

“Dan ketika kami palingkan kepadamu serombongan dari jin yang mereka
mendengar Al Qur’an yang engkau baca. Ketika mereka menghadirinya, mereka
mengatakan ‘Hendaklah kalian diam.’ Ketika Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam
selesai membaca Al Qur’an tersebut, maka jin-jin tersebut pergi kepada kaum
mereka dalam keadaan memberikan peringatan.”

ِّ ‫ص ِّد ࣰقا لِّ َما بَ ۡینَ یَد َۡی ِه یَ ۡه ِد ۤی ِإلَى ۡٱل َح‬ ‫ُأ‬ ۤ ۟
َ ‫ق َوِإلَ ٰى‬
(‫ط ِری ࣲق ُّم ۡستَقِی ࣲم‬ ِ ‫)قَالُوا یَ ٰـقَ ۡو َمنَا ِإنَّا َس ِم ۡعنَا ِكتَ ٰـبًا‬
َ ‫نز َل ِم ۢن بَ ۡع ِد ُمو َس ٰى ُم‬
[Surat Al-Ahqaf 30]

“Mereka berkata, ‘Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengar sebuah
kitab yang diturunkan setelah Musa yang membenarkan apa yang sebelumnya, yang
memberikan petunjuk kepada kebenaran, dan memberikan petunjuk kepada jalan
yang lurus.”

Para jin tersebut, mereka mengetahui bahwa Al Qur’an apabila dipelajari dan
diamalkan, akan membimbing seseorang kepada jalan yang lurus.

Kemudian mereka mengatakan,


۟ ُ‫َاعی ٱهَّلل ِ َو َءا ِمن‬ ۟
ٍ ‫وا بِ ِهۦ یَ ۡغفِ ۡر لَ ُكم ِّمن ُذنُوبِ ُكمۡ َوی ُِج ۡر ُكم ِّم ۡن َع َذا‬
(‫ب َألِی ࣲم‬ َ ِ ‫)یَ ٰـقَ ۡو َمن َۤا َأ ِجیبُوا د‬
[Surat Al-Ahqaf 31]

“Wahai kaum kami, hendaklah kalian menjawab penyeru dari Allah (Rasulullah
shallallāhu ‘alaihi wa sallam) dan hendaklah kalian beriman dengan Beliau, niscaya
Allah mengampuni dosa kalian dan akan menyelamatkan kalian dari adzab yang
pedih.”

Ini menunjukkan kepada kita tentang kewajiban jin untuk beriman dengan Rasulullah
shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan beribadah kepada Allah dengan syari’at Beliau
shallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Setelah ini semua, apabila ada seseorang di zaman sekarang meyakini bahwa
sebagian manusia boleh untuk tidak mengikuti Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam, boleh untuk tidak beriman dengan Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam, boleh
untuk keluar dari syari’at Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam, maka dia telah keluar
dari agama Islam.
Kenapa demikian?
Karena dia telah mendustakan kabar Allah dan karena dia telah mendustakan kabar
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Masuk di dalam golongan ini sebagian manusia yang mengaku telah mencapai
derajat tertentu di dalam agama, maka dia sudah tidak terikat dengan perintah dan
larangan, boleh baginya tidak sholat lima waktu, tidak puasa Ramadhan, meminum
minuman keras, berzina, dll. Dan mereka mengatakan bahwasanya syari’at hanyalah
untuk orang-orang yang memiliki derajat yang rendah di dalam agama.
Barangsiapa yang meyakini keyakinan ini, maka dia telah keluar dari agama Islam.

Seharusnya seorang muslim semakin mengenal Allah, nama-nama-Nya, dan sifat-


sifat-Nya, maka semakin rajin beribadah kepada Allah.
Orang yang paling mengenal Allah adalah orang yang paling takut kepada Allah.

Allah Subhānahu wa Ta’āla memuji para ulama karena mereka mengenal Allah dan
mengenal agamanya.
ۗ۟ ۤ َ ۡ
‫ُؤا‬ ‫ِإنَّ َما یَ ۡخشَى ٱهَّلل َ ِم ۡن ِعبَا ِد ِه ٱل ُعل َم ٰـ‬
[Surat Fatir 28]

“Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah


para ulama.”

Di dalam hadits, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa Beliau


adalah orang yang paling mengenal Allah. [HR Al Bukhari]

Dan Beliau juga mengabarkan bahwa Beliau adalah orang yang paling bertakwa dan
paling takut kepada Allah. [HR Muslim]

Disebutkan di dalam hadits bahwa Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam sholat malam
sampai kaki Beliau pecah-pecah. Kemudian Beliau ditanya tentang perkara ini, maka
Beliau mengatakan,

‫َأفَالَ أ ُكونَ عبْداً ش ُكوراً؟‬


“Bukankah aku ingin menjadi hamba yang bersyukur?” [HR Bukhari dan Muslim]

Seseorang semakin mengenal Allah, semakin mengenal agamanya, harusnya semakin


takut kepada Allah dan semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan beribadah
kepada-Nya, bukan semakin jauh dari Allah.

Kemudian Syeikh mengatakan,

‫َري َع ِة ُمو َسى َعلَي ِه ال َّساَل ُم‬


ِ ‫ض ُر ال ُخرُو َج ع َْن ش‬
ِ ‫َك َما َو ِس َع ال َخ‬
‫فَهُ َو كَافِ ٌر‬

“Sebagaimana Nabi Khadhir boleh keluar dari syari’at Nabi Musa, maka dia telah
kafir.”

Maksudnya adalah kisah yang Allah sebutkan di dalam surat Al Kahfi, yang
ringkasnya bahwa Nabi Khadhir tidak mengikuti syar’iat Nabi Musa ‘alaihissalam.
Nabi Khadhir merusak sebagian kapal orang-orang miskin, membunuh seorang anak
kecil yang tidak berdosa, kemudian ketika keduanya (Nabi Musa dan Nabi Khadhir)
mampir ke sebuah desa dan penduduknya tidak menghormati beliau berdua, tidak
menjamu beliau berdua, maka Nabi Khadhir ‘alaihissalam justru memperbaiki
sebuah dinding yang sudah hampir roboh.

Maka kita katakan ini adalah sebuah alasan yang tidak benar dan alasan yang bathil,
karena Nabi Khadhir ‘alaihissalam bukan termasuk Bani Israil. Sedangkan Nabi Musa
‘alaihissalam hanya diutus kepada Bani Israil.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Halaqah 23 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke Sepuluh


Halaqah yang ke dua puluh tiga dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul
Islam yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Berkata Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah,

“Yang ke sepuluh adalah berpaling dari agama Allah. Tidak mempelajarinya dan
tidak mengamalkannya. Dalilnya adalah firman Allah yang artinya “Dan siapa yang
lebih dzalim daripada orang-orang yang diingatkan dengan ayat-ayat Rabb-nya
kemudian dia berpaling dari ayat-ayat Allah. Sesungguhnya kami akan mengadzab
orang-orang yang mujrimin.” [As Sajdah 22]”

Seseorang apabila dia sungguh-sungguh dalam bersyahadat, sungguh-sungguh


secara dhohir dan batin dan mengatakan,

‫َأ ْشهَ ُد َأ ّن اَّل ِإ ٰلَهَ ِإإَّل هللا وَأ ْشهَ ُد ان محمداً رسول هللا‬

“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan
aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah” maka persaksian tersebut akan
menggerakkan dia untuk mempelajari makna dua kalimat syahadat tersebut.

Syahadat yang pertama:


Persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dan diibadahi
kecuali Allah.
Maka dia harus mengetahui makna ibadah, macam-macamnya, supaya dia
menyerahkan seluruh ibadah tadi hanya kepada Allah.
Dan juga harus mempelajari macam-macam kesyirikan, supaya tidak terjerumus ke
dalam kesyirikan yang merupakan perkara yang bertentangan dengan ‫ال إله إال هللا‬

Orang yang mengatakan,


‫َأ ْشهَ ُد ان محمداً رسول هللا‬

Apabila dia yakin dan percaya bahwasanya Muhammad adalah seorang utusan Allah,
maka yang namanya utusan pasti membawa sesuatu dari yang mengutus, sehingga
dia harus mempelajari apa yang Beliau bawa dari Allah.

Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,


َ ‫طَلَبُ ْال ِع ْل ِم فَ ِر ْي‬
‫ضةٌ َعلَى ُك ِّل ُم ْسلِ ٍم‬

“Menuntut ilmu itu adalah wajib atas setiap muslim.” [Hadits shahih diriwayatkan
oleh Ibnu Majah]

Dan ilmu yang dimaksud di dalam Al Qur’an dan juga Sunnah adalah ilmu yang
bermanfaat, yaitu ilmu yang diamalkan oleh orang yang memilikinya. Bukan hanya
sekedar pengetahuan.
Orang yang berilmu dan dia tidak mengamalkan ilmunya, maka dia seperti orang-
orang Yahudi.
Dan orang yang beramal tanpa berdasarkan ilmu, maka ini seperti orang-orang
Nasrani.

Ucapan Syeikh,

‫اَل يَتَ َعلَّ ُمهُ َواَل يَ ْع َم ُل بِ ِه‬

“Tidak mau mempelajari agama Allah dan tidak mau mengamalkan agama Allah.”

Berpaling, maksudnya adalah tidak mau mempelajari Islam, tidak peduli dengan
agamanya, tidak mau mempelajari akidah, mempelajari tauhid, hal-hal yang
diwajibkan di dalam agama Islam.

‫َواَل يَ ْع َم ُل بِ ِه‬
“Dan dia tidak mengamalkannya.”

Tidak mau mengamalkan apa yang ada di dalam agama Islam sama sekali. Maka
orang yang perbuatannya demikian, dia telah keluar dari agama Islam.

Seandainya persaksian dia jujur secara dhohir dan batin, tentunya dia akan
mempelajari agama Allah sesuai dengan kemampuan dia dan akan mengamalkan
agama Allah sesuai dengan kemampuan dia.

Beliau mendatangkan firman Allah,


ۚ
( َ‫ض ع َۡنهَ ۤا ِإنَّا ِمنَ ۡٱل ُم ۡج ِر ِمینَ ُمنتَقِ ُمون‬ ِ ‫) َو َم ۡن َأ ۡظلَ ُم ِم َّمن ُذ ِّك َر بِـَٔایَ ٰـ‬
َ ‫ت َربِّ ِهۦ ثُ َّم َأ ۡع َر‬
[Surat As-Sajdah 22]
“Dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang-orang yang diingatkan dengan ayat-
ayat Allah (diingatkan dengan Al Qur’an, diingatkan dengan hadits) kemudian dia
berpaling dari ayat-ayat Allah. Sesungguhnya kami akan mengadzab orang-orang
yang mujrimin. [As Sajdah 22]”

Al Mujrimun di dalam ayat ini adalah orang-orang kafir.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman di dalam ayat yang lain,


۟ ‫ُوا َع َّم ۤا ُأن ِذر‬
َ‫ُوا ُم ۡع ِرضُون‬ ۟ ‫َوٱلَّ ِذینَ َكفَر‬
[Surat Al-Ahqaf 3]

“Dan orang-orang yang kafir, mereka berpaling dari apa yang diingatkan kepada
mereka.”

Di dalam ayat yang lain, Allah Subhānahu wa Ta’āla juga berfirman,

( َ‫ُوا ٱهَّلل َ َوٱل َّرسُو ۖ َل فَِإن تَ َولَّ ۡو ۟ا فَِإ َّن ٱهَّلل َ اَل یُ ِحبُّ ۡٱل َك ٰـفِ ِرین‬
۟ ‫)قُ ۡل َأ ِطیع‬
[Surat Ali Imran 32]

“Katakanlah, hendaklah kalian taat kepada Allah dan juga Rasul. Apabila kalian
berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang kafir.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Halaqah 24 | Penjelasan Penutup Kitab Pembatal Keislaman Bagian 1

Halaqah yang ke dua puluh empat dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab
Nawaqidul Islam yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab
rahimahullah.
Berkata Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah,

‫ف ِإاَّل ال ُم ْك َره‬
ِ ‫از ِل َوال َجا ِّد َوالخَاِئ‬ ِ ِ‫يع هَ ِذ ِه النَّ َواق‬
ِ َ‫ض بَ ْينَ اله‬ َ ْ‫واَل فَر‬.
ِ ‫ق فِي َج ِم‬ َ

“Tidak ada bedanya di dalam pembatal-pembatal keislaman yang sepuluh ini antara
orang yang bercanda, orang yang bersungguh-sungguh, dan orang yang takut,
kecuali orang yang dipaksa.”

Telah berlalu penyebutan kisah orang munafik yang mengejek Rasulullah shallallāhu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dan dia menyebutkan bahwa ejekan dia
dilakukan karena permainan saja. Namun ternyata yang demikian tidak bermanfaat
dan dia tidak diberikan udzur.

Kalau yang bercanda saja dan main-main saja, dia keluar dari agama Islam, lalu
bagaimana dengan orang yang sungguh-sungguh dan serius.

Orang yang ditimpa rasa takut dan kekhawatiran tapi tidak sampai keadaan dipaksa,
tidak sampai diancam akan dibunuh atau disiksa, kemudian dia melakukan salah satu
diantara pembatal keislaman, maka dia telah keluar dari agama Islam.
Seperti misalnya, seseorang yang mengaku sebagai seorang muslim, dia ikut
mengejek Allah karena takut atasannya yang kafir padahal tidak ada paksaan.

Kemudian beliau mengatakan (rahimahullah),

‫ِإاَّل ال ُم ْك َره‬

“Kecuali orang yang terpaksa.”

Apabila dalam keadaan terpaksa, seseorang jika tidak mengucapkan ucapan yang
kufur atau melakukan amalan yang kufur, maka dia akan dibunuh, akan disiksa
dengan siksaan yang berat, kemudian dia mengucapkan ucapan yang kufur atau
perbuatan yang kufur, maka dia tidak kafir. Tetapi disyaratkan hatinya harus dalam
keadaan tenang dengan keimanan. Beriman kepada Allah, beriman kepada Rasul,
dengan ayat-ayat-Nya.

Orang kafir bisa memaksa lisan dan juga amalan seseorang. Tetapi orang kafir tidak
bisa memaksa hati. Allah Subhānahu wa Ta’āla mengatakan,
(ِ ‫ض ࣱب ِّمنَ ٱهَّلل‬ َ ‫َمن َكفَ َر بِٱهَّلل ِ ِم ۢن بَ ۡع ِد ِإی َم ٰـنِ ۤ ِهۦ ِإاَّل َم ۡن ُأ ۡك ِرهَ َوقَ ۡلبُهۥُ ُم ۡط َم ِٕى ۢ ُّن بِٱِإۡل ی َم ٰـ ِن َولَ ٰـ ِكن َّمن ش ََر َح بِ ۡٱل ُك ۡف ِر‬
َ ‫ص ۡد ࣰرا فَ َعلَ ۡی ِهمۡ َغ‬
ِ ‫) َولَهُمۡ َع َذابٌ ع‬
‫َظی ࣱم‬
[Surat An-Nahl 106]

“Barangsiapa yang kufur setelah keimanannya, kecuali orang yang dipaksa


sedangkan hatinya dalam keadaan tenang dengan keimanan. Akan tetapi orang yang
lapang dadanya dengan kekufuran, maka mereka mendapatkan kemarahan dari
Allah dan mereka mendapatkan adzab yang besar.”

Ayat ini turun ketika Ammar bin Yasir dipaksa oleh orang-orang musyrikin untuk
mencela Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Dan kita tahu bagaimana ujian besar yang
menimpa keluarga Yasir.

Yasir (bapak beliau) dan Sumayyah (ibu beliau) telah mati syahid terlebih dahulu di
tangan orang-orang musyrikin. Ammar bin Yasir pun mengucapkan ucapan yang
kufur. Kemudian dalam keadaan menangis dan menyesal, beliau mendatangi Nabi
shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Maka Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bertanya,
“Bagaimana engkau mendapatkan hatimu?”
Beliau berkata, “Hatiku tenang dengan keimanan.”
Maka Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kalau mereka kembali (untuk
memaksamu), maka kembalilah (lakukan seperti yang kamu lakukan sebelumnya).”

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Halaqah 25 | Penjelasan Penutup Kitab Pembatal Keislaman Bagian 2

Halaqah yang ke dua puluh lima dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul
Islam yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.
Beliau berkata,

‫ َوَأ ْكثَ ِر َما يَ ُكونُ ُوقُوعًا‬،‫و ُكلُّهَا ِم ْن َأ ْعظَ ِم َما يَ ُكونُ َخطَرًا‬،
َ
ْ َ ْ َ ‫َأ‬ ْ ْ
‫فيَنبَ ِغي لِل ُم ْسلِ ِم ْن يَحْ ذ َرهَا َويَ َخافَ ِمنهَا َعلى نَف ِس ِه‬َ
‫ َوَألِ ِيم ِعقَابِ ِه‬،‫َضبِ ِه‬
َ ‫تغ‬ِ ‫نَعُو ُذ بِاهللِ ِم ْن ُمو ِجبَا‬

“Dan semuanya ini termasuk yang paling berbahaya dan paling banyak terjadi. Maka
sepantasnya seorang muslim waspada dan takut terjadi atas dirinya sendiri. Kita
berlindung kepada Allah dari perkara-perkara yang menyebabkan kemarahan-Nya
dan kita berlindung kepada Allah dari pedihnya siksaan-Nya.”

Ini menunjukkan bahwa di sana masih ada perkara-perkara yang lain yang tidak
beliau sebutkan di sini.

Ucapan beliau,

‫فَيَ ْنبَ ِغي لِ ْل ُم ْسلِ ِم َأ ْن يَحْ َذ َرهَا َويَ َخافَ ِم ْنهَا َعلَى نَ ْف ِس ِه‬

“Maka wajib bagi seorang muslim untuk waspada dan takut dia terjatuh di dalam
perkara-perkara tersebut.

Diantara bentuk kewaspadaan kita dan ketakutan kita adalah:


1. Berdo’a dan berlindung kepada Allah dari seluruh pembatal keislaman.
2. Mempelajari agama Allah, dimulai dari masalah akidah.
3. Mengamalkan apa yang sudah dipelajari.

Beliau rahimahullah mengatakan,

‫ َوَألِ ِيم ِعقَابِ ِه‬،‫َضبِ ِه‬ ِ ‫نَعُو ُذ بِاهللِ ِم ْن ُمو ِجبَا‬


َ ‫تغ‬

“Kami berlindung kepada Allah dari segala hal yang menjadikan kemarahan Allah dan
kami berlindung dari pedihnya siksaan Allah.”

Ini adalah do’a terbaik dari pengarang rahimahullah. Beliau mendo’akan untuk beliau
sendiri dan mendo’akan setiap orang yang membaca buku beliau ini. Berlindung
kepada Allah dari segala hal yang menjadikan amarah Allah.

Kemudian beliau mengatakan,


‫صحْ بِ ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَى نَبِيِّنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى آلِ ِه َو‬
َ ‫َو‬

“Dan shalawat Allah serta salam-Nya atas Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan
para sahabatnya.”

Menggabungkan di dalam kalimat terakhir ini, antara shalawat dan salam, karena
Allah Subhānahu wa Ta’āla memerintahkan kita untuk melakukan shalawat dan
salam seperti dalam firman Allah,
۟ ‫وا َعلَ ۡی ِه َو َسلِّ ُم‬
(‫وا ت َۡسلِی ًما‬ ۟ ُّ‫صل‬ ۟ ُ‫ُصلُّونَ َعلَى ٱلنَّب ۚ ِّی یَ ٰۤـَأیُّهَا ٱلَّ ِذینَ َءامن‬
َ ‫وا‬ َ ‫)ِإ َّن ٱهَّلل َ َو َملَ ٰۤـ ِٕى َكتَهۥُ ی‬
َ ِ
[Surat Al-Ahzab 56]

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersholawat atas Nabi. Wahai orang-
orang yang beriman, hendaklah kalian bersholawat atas Beliau dan ucapkanlah
salam dengan sebenarnya.”

Dengan demikian kita sudah menyelesaikan kitab yang mulia ini, kitab yang sangat
bermanfaat, yaitu Nawaqidul Islam, yang berisi tentang 10 perkara yang paling besar
yang bisa membatalkan keislaman seseorang.

Semoga Allah Subhānahu wa Ta’āla memberikan kita ilmu yang bermanfaat dan
menjadikan ilmu yang kita dapatkan adalah ilmu yang diamalkan.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan
sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Anda mungkin juga menyukai