Anda di halaman 1dari 53

‫نواقداإلسالم‬

AN NAWAQIDHUL ISLAM karangan syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At


Tamimi..

Beliau adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Ibn Sulaiman at Tamimi yang
lahir pada tahun 1115 H, disebuah daerah di jazirah Arab yaitu di Al Uyainah &
beliau lahir ditengah-tengah keluarga yang sangat memperhatikan tentang ilmu
Agama & beliau menghafal Al-Qur’an dan memulai menghafal Al-Qur’an sejak
kecil sehingga beliau menyelesaikan menghafal Al-Qur’an sebelum berumur 10
tahun.

Kemudian memulai menuntut ilmu agama mempelajari tafsir, mempelajari fiqh


& Diantara gurunya adalah bapak beliau sendiri Syaikh Abdul Wahab Ibn
Sulaiman kemudian setelah itu beliau rohimahullôh mempelajari ilmu Agama
dari beberapa guru yang lain & melakukan rihlah ilmiah, melakukan perjalanan
dalam menuntut ilmu pergi ke kota Mekkah, ke kota Madinah, pergi ke Baghdad
dan juga kota- kota lain dengan bertujuan untuk menuntut ilmu agama.

Beliau belajar di kota Madinah dan menuntut ilmu dari seorang syaikh al
Muhadits yang terkenal yaitu syaikh Muhammad Hayah As Sindy dan hampir
beliau melakukan perjalanan ke Syam, akan tetapi karena satu sebab akhirnya
beliau tidak bisa pergi kesana & beliau menghabiskan waktunya untuk
mempelajari ilmu agama dan juga mengajarkan kepada orang lain &telah
mengarang kitab² yang banyak yang bermanfaat bagi kaum muslimin,
diantaranya adalah:

• Kitabut Tauhid
• Kasyfu asy Syubhaat
• Ushulul Sithah
• Al Ushulul tsalasah
• Mukhtashor Zaadul maad
Beliau meninggal dunia pada tahun 1206 H, umur beliau saat itu sekitar 91 tahun.
Setelah menghabiskan waktunya & hidupnya didalam mencari ilmu agama &
juga mengajarkan kepada orang lain.

AN NAWAQIDHUL ISLAM artinya adalah pembatal

Nawaqidh adalah jamak dari naqidhun & dalam bahasa Arab adalah perusak
atau pembatal.. Inilah yang dinamakan naqidhun.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman : ‫ضتْ َغ ْزلَ َها ِمنْ بَ ْع ِد قُ َّو ٍة َأ ْن َكاثًا‬
َ َ‫َواَل تَ ُكونُوا َكالَّتِي نَق‬

“Janganlah kalian seperti seorang wanita yang merusak pintalannya (yang


mencerai beraikan) pintalannya setelah dia kuat ”[Surat An-Nahl 92]

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman – ‫ضتْ َغ ْزلَ َها‬


َ َ‫نَق‬- (jangan kalian seperti seorang
wanita yang merusak & mencerai beraikan pintalannya Memintal kemudian
merusaknya)
َ َ‫ نَق‬Artinya merusak atau mencerai beraikan
ْ‫ضت‬

Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman : ‫الَّ ِذينَ يَ ْنقُضُونَ َع ْه َد هَّللا ِ ِمنْ بَ ْع ِ'د ِميثَاقِ ِه‬

Menceritakan tentang sifat orang orang yang merusak perjanjian mereka dengan
Allāh. Berjanji kepada Allāh dengan sebuah janji kemudian membatalkannya &
merusak nya. [Surat Al-Baqarah 27]

Allāh mengatakan : ‫الَّ ِذينَ يَ ْنقُضُونَ َع ْه َد هَّللا ِ ِمنْ بَ ْع ِ'د ِميثَاقِ ِه‬

” orang² yang mereka – ‫ – ينـقضـون‬merusak & membatalkan perjanjian mereka


dengan Allāh..

‫ مـن بـعد مـيثاقه‬Setelah mereka berjanji kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

‫ نـقض – ينـقض‬Artinya merusak Inilah makna Nawaqidh adalah pembatal –


pembatal / perusak – perusak.

Sebagaimana “Nawaqidhul wudhu“ – perusak² wudhu artinya adalah amalan² /


perkara² yang membatalkan wudhu seseorang dinamakan “Nawaqidhul Wudhu“
“Al Nawaqidhul Islam“ Yang dimaksud dengan Al Islam adalah
‫سال ُم هللِ بِالتَّ ْو ِحي ِد َواال ْنقِيَا ُد لَهُ بِالطَّا َع ِة َوا ْلبَ َرا َءةُ ِمنَ الش ِّْر ِك َوَأ ْهلِ ِه‬
ْ ِ‫ست‬
ْ ‫اال‬

“Menyerahkan diri kepada Allah Ta’ala dengan tauhid & menyerahkan dengan
ketaatan & berlepas diri dari kesyirikan & juga para pelaku syirik ”
Inilah yang dinamakan Al Islam.

Al Islam dari kata aslama yuslimu ‫اإلسالم – أسلم – يسلم‬

Artinya didalam bahasa Arab adalah menyerahkan diri. Aslam Ali fulan adalah
menyerahkan diri kepada si fulan.
Aslama (‫ – )ألسالم‬yuslimu (‫ – )يسلم‬islaman (‫ )إسالما‬artinya adalah penyerahan diri.

Kenapa islam atau agama islam dinamakan dengan islam, karena orang yang
masuk ke dalam agama islam & mengaku bahwasanya dirinya adalah seorang
yang memeluk agama islam dia telah menyerahkan dirinya hanya kepada Allāh,
menyerahkan dirinya dan juga ibadahnya kepada Allāh, oleh karena itu
dinamakan dengan Islam.

Seorang Nashrani yang dahulunya dia menyembah kepada Allāh yang mereka
namakan dengan Tuhan bapa & menyembah Nabi Isa yang mereka namakan
Tuhan anak & menyembah kepada Maryam ketika dia masuk Islam dia harus
menyerahkan ibadahnya hanya kepada Allāh. Meninggalkan peribadatan kepada
Nabi Isa alaihi salam, meninggalkan peribadatan kepada ibunya Maryam &
hanya menyerahkan ibadah nya kepada Allāh maka dia dinamakan sebagai
seorang Muslim,
kenapa?
Karena dia menyerahkan dirinya & juga ibadah nya hanya kepada Allāh
Subhānahu wa Ta’āla.

Oleh karena itu yang dinamakan islam adalah : ‫حي ِد‬


ِ ‫بِالت َّْو‬ ِ‫سال ُم هلل‬
ْ ِ ‫ست‬
ْ ‫اال‬

“penyerahan diri kepada Allāh dengan TAUHID ”

Yaitu meng Esa kan Allāh dengan ibadah & Ini adalah inti ajaran Islam

‫ ” َواال ْنقِيَ''ا ُد لَ''هُ بِالطَّاعَة‬Dan melaksanakan ketaatan kepada Allāh Subhānahu wa


Ta’āla”

bukan hanya meng-Esa-kan Allāh didalam ibadah tetapi juga melaksanakan


perintah meninggalkan larangan. Apabila diperintah oleh Allāh & juga RasulNya
melaksanakan, apabila dilarang dengan sesuatu maka dia meninggalkan maka ini
juga bagian dari Islam

ِ ‫“ َوا ْلبَ َرا َءةُ ِمنَ الش ِّْر ِك‬dan berlepas diri dari kesyirikan ”

Yaitu menyekutukan Allāh Subhānahu wa Ta’āla

‫ ” َوَأ ْهلِ ِه‬demikian pula berlepas diri dari orang-orang yang melakukan kesyirikan ”
Sebagaimana dahulu Nabi Ibrahim alaihi salam beliau & juga orang² yang
beriman bersama beliau berkata kepada kaum nya

ِ‫ض'ا ُء َأبَ'داً َحتَّى تُْؤ ِمنُ'وا بِاهلل‬


َ ‫َاوةُ َوا ْلبَ ْغ‬
َ ‫ُون هللاِ َكفَ ْرنَ'ا' بِ ُك ْم َوبَ'دَا بَ ْينَنَ'ا' َوبَ ْينَ ُك ُم ا ْل َع'د‬
ِ ‫'رآ ُء ِم ْن ُك ْم َو ِم َّما تَ ْعبُ'دُونَ ِمنْ د‬
َ ُ‫ِإنَّا ب‬
ُ‫َو ْح َده‬

Mereka berkata kepada kaumnya “Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada


kalian (wahai orang orang musyrikin)

‫ َكفَ ْرنَا بِ ُك ْم‬dan kami mengkufuri kalian

ُ‫ضا ُء َأبَداً َحتَّى تُْؤ ِمنُوا بِاهللِ َو ْح َده‬


َ ‫َاوةُ َوا ْلبَ ْغ‬
َ ‫َوبَدَا بَ ْينَنَا َوبَ ْينَ ُك ُم ا ْل َعد‬

Dan akan terus ada permusuhan antara kami dengan kalian selama lamanya

ُ‫ َحتَّى تُْؤ ِمنُوا بِاهللِ َو ْح' َده‬Sampai kalian beriman hanya kepada Allāh Subhānahu wa
Ta’āla
[QS Al Mumtahanah: 4]

Inilah yang dinamakan dengan – ‫وا ْلبَ َرا َءةُ ِمنَ الش ِّْر ِك َوَأ ْهلِ ِه‬.
َ

Seorang Muslim menyembah kepada Allāh semata & melaksanakan perintah


Allāh menjauhi larangan Allāh & dia harus berlepas diri dari apa yang
dinamakan kesyirikan & juga orang² yang melakukan kesyirikan tersebut…

“Nawaqidhul Islam artinya adalah pembatal – pembatal ke-Islam-an“

Halaqah yang ke dua dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam
yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.

Diantara pembatal keislaman, ada yang berupa keyakinan, seperti:

• Meyakini bahwa ada illah (sesembahan) selain Allah


• Meyakini bahwa hukum selain hukum Allah adalah lebih baik daripada hukum
Allah
• Meyakini bahwa shalat lima waktu tidak wajib
• Meyakini kehalalan sesuatu yang jelas diharamkan di dalam agama Islam,
seperti zina, homoseks, minuman keras, dan lain-lain.
Ini adalah beberapa keyakinan yang bisa membatalkan keislaman seseorang.

Orang-orang munafik meskipun mengucapkan kalimat – ‫ – ال إل ه إال هللا‬dan


mengucapkan syahadat – ‫ – محم داً رس ول هللا‬akan tetapi mereka kafir karena tidak
meyakini makna dua kalimat syahadat tersebut.

Pembatal keislaman ada yang berupa perbuatan anggota badan, seperti:

• Bersujud kepada selain Allah


• Menyembah untuk selain Allah, dll

Mengetahui Nawaqidul Islam (pembatal-pembatal keislaman) merupakan


perkara yang sangat penting, karena seseorang harus mengetahui kebaikan
untuk diamalkan dan mengetahui kejelekan supaya bisa terhindar dari kejelekan
tersebut.

Orang yang hanya mengetahui kebaikan tetapi tidak mengetahui kejelekan,


dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam kejelekan tersebut, disadari atau tidak
disadari. Apalagi kejelekan tersebut adalah kekufuran yang barangsiapa
meninggal di atas kekufuran, maka kesengsaraan selamanya yang akan dia
rasakan.

Hudzaifah Ibnu Yaman, seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam


mengatakan,

‫ش ِر َم َخافَةَ َأنْ يُ ْد ِر َكنِي‬


َّ ‫ و ُكنتُ أسَألُه عن ال‬،‫الخي ِر‬
َ ‫أصحاب النَّب ِّي صلَّى هللاُ عليه وسلَّ َم يَسَألُونَه عن‬
ُ ‫كان‬

“Dahulu, para sahabat Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, mereka bertanya


kepada Beliau tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada Beliau tentang
kejelekan, karena aku takut terjerumus ke dalam kejelekan tersebut.”
[Muttafaqun’ Alaihi]

Hal ini dilakukan oleh para sahabat Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhu. Mereka
mengetahui kebenaran dan juga berusaha untuk mengetahui kesalahan.
Mempelajari Al Haq dan juga mempelajari jenis-jenis kebathilan. Mengetahui
kebenaran tersebut supaya bisa diamalkan dan mengetahui kebathilan
(kesalahan) supaya bisa terhindar.

Di dalam sebuah bait syair dikatakan ‫ش ِّر لَ ِكنْ لِت ََوقّي ِه‬ ّ ‫َع َر ْفتُ ال‬
ّ ‫ش َّر ال لِل‬
‫س يق ْع في ِه‬ ّ ‫فَ َمن ال يع ِرفُ ال‬
ِ ‫شرَّمنَ النا‬

“Aku mengetahui kejelekan bukan untuk mengamalkan kejelekan tersebut, akan


tetapi supaya terhindar dari kejelekan tersebut. Dan barangsiapa diantara
manusia yang tidak mengetahui suatu kejelekan, maka dikhawatirkan dia akan
terjerumus ke dalam kejelekan tersebut.”

Salah satu penyebab utama seseorang terjatuh di dalam Nawaqidul Islam adalah
karena tidak tahu, tidak belajar, dan tidak berusaha mempelajarinya.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

‫والجهل داء قات''ل وش''فاؤه أم''ران في ال''تركيب متفق''ان نص من الق''رآن أو من س''نة وط''بيب ذاك الع''الم‬
‫الرباني‬

“Kebodohan adalah penyakit yang mematikan dan obatnya adalah dua hal yang
digabung menjadi satu, yaitu nash dari Al Qur’an atau dari As Sunnah dan
dokternya ada seorang ‘alim robbani.”

Oleh karena itu para ulama di dalam kitab-kitab mereka (kitab akidah atau kitab
fiqih) menyebutkan tentang bab Ar Riddah (kemurtadan). Yang dibahas adalah
perkara-perkara yang bisa menjadikan seseorang murtad (keluar dari agama
Islam).

Para ulama membuat bab ini tujuannya adalah supaya kita tahu pembatal-
pembatal keislaman dan supaya kita waspada, jangan sampai kita dan orang-
orang yang kita cintai, serta kaum muslimin terjatuh ke dalam apa yang
dinamakan dengan Nawaqidul Islam. Yang apabila dia meninggal dalam keadaan
demikian, maka batal seluruh amalannya dan dia kekal di dalam neraka bersama
orang-orang yang kafir.

Allah mengatakan,

‫ب‬
ُ ‫ص َح ٰـ‬ ۡ ‫اخ َر ۖ ِة َوُأ ۟ولَ ٰۤـ ِٕىكَ َأ‬
ِ ‫َو َمن یَ ۡرتَ ِد ۡد ِمن ُكمۡ عَن ِدینِ ِهۦ فَیَ ُم ۡت َو ُه َو َكافِ ࣱر فَُأ ۟ولَ ٰۤـ ِٕىكَ َحبِطَ ۡت َأ ۡع َم ٰـلُ ُهمۡ فِی ٱل'د ُّۡنیَا َو ۡٱلَٔـ‬
َ‫[ ٱلنَّا ۖ ِر هُمۡ فِی َها َخ ٰـلِدُون‬Surat Al-Baqarah 217]

“Dan barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya, kemudian dia
meninggal dunia dan dia dalam keadaan kafir, maka merekalah orang-orang
yang batal amalannya di dunia maupun di akhirat, dan merekalah penduduk
neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Tentunya di dalam memahami Nawaqidul Islam, seseorang harus kembali
kepada Al Qur’an, hadits-hadits Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam dengan
pemahaman para sahabat Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhum dan melihat kembali
ucapan-ucapan para ulama di dalam masalah Nawaqidul Islam. Karena
menentukan sebuah ucapan, keyakinan, atau perbuatan, apakah dia
mengeluarkan seseorang dari Islam atau tidak, ini adalah hukum syar’i, harus
kembali kepada dalil.

Tidak boleh seseorang menghukumi sebuah amalan atau sebuah ucapan atau
sebuah keyakinan, bahwa ini adalah kekufuran, mengeluarkan pelakunya dari
Islam, kecuali di sana ada dalil yang jelas di dalam Al Qur’an atau di dalam hadits.
Jangan sampai seseorang berdusta atas nama Allah.

Allah berkata, ( َّ‫ِإن‬ ۟ ‫سنَتُ ُك ُم ۡٱل َك ِذ َب َه ٰـ َذا َحلَ ٰـ ࣱل َو َه ٰـ َذا َح َرا ࣱم لِّت َۡفتَ ُر‬
‫وا َعلَى ٱهَّلل ِ ۡٱل َك ِذ ۚ َب‬ ِ ‫صفُ َأ ۡل‬ ۟ ُ‫َواَل تَقُول‬
ِ َ‫وا لِ َما ت‬
َ‫[ )ٱلَّ ِذینَ یَ ۡفتَرُونَ َعلَى ٱهَّلل ِ ۡٱل َك ِذ َب اَل یُ ۡفلِ ُحون‬Surat An-Nahl 116]

“Janganlah kalian mengatakan dengan lisan-lisan kalian, ini adalah halal, ini
adalah haram, untuk berdusta atas nama Allah. Orang-orang yang berdusta atas
nama Allah, maka dia tidak akan beruntung.”

Jangan sampai seseorang mengatakan, ini adalah kufur, padahal Allah dan Rasul-
Nya tidak mengatakan demikian. Atau sebaliknya, mengatakan ini tidak kufur
padahal Allah dan Rasul-Nya menghukumi itu sebagai sebuah kekufuran.

Di sana ada dua kelompok yang tersesat di dalam masalah ini.

1. Kelompok yang berlebih-lebihan, hingga mengatakan bahwasanya ini adalah


sesuatu yang kufur, padahal Allah tidak mengatakan itu adalah sebuah
kekufuran. Seperti orang-orang Khawarij yang berkeyakinan bahwa orang yang
melakukan dosa besar, dia keluar dari Islam.

2. Orang-orang yang berlebihan, sehingga mengatakan bahwa ini sesuatu yang


tidak kufur, padahal Allah telah menjelaskan bahwa itu adalah kekufuran.
Seperti orang-orang Murji’ah, yang mereka menganggap bahwasanya keimanan
cukup dengan keyakinan di dalam hati. Seandainya seseorang mengucapkan
ucapan yang kufur atau melakukan amalan yang kufur, yang penting hatinya
mengenal dan meyakini Allah, maka dia tidak keluar dari agama Islam.

Ahlussunnah wal Jama’ah bukan termasuk Khawarij dan juga bukan termasuk
Murji’ah. Mereka berada di pertengahan. Mereka kembali kepada Al Qur’an dan
Hadits dengan pemahaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Apa yang
dihukumi oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai bentuk kekufuran, maka mereka
katakan ini adalah kufur. Dan apa yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya ini
bukan kekufuran, maka mereka tidak mengatakan ini adalah kekufuran.

Diantara kaidah yang disebutkan oleh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di dalam
masalah pembatal keislaman adalah:

• Terkadang seseorang mengucapkan ucapan yang kufur atau melakukan amalan


yang kufur akan tetapi tidak dihukumi sebagai orang yang kafir, karena di sana
ada syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika seseorang dihukumi sebagai orang
yang kafir. Diantaranya:

1. Baligh

Apabila dia belum baligh, anak kecil misalnya, dia mengatakan Aku adalah
Tuhan. Ucapan dia ini adalah ucapan yang kufur dan tidak diragukan dia adalah
ucapan yang kufur. Tapi karena yang mengucapkan adalah seorang anak kecil
yang belum baligh, maka tidak dihukumi anak kecil tersebut sebagai orang yang
keluar dari agama Islam.

Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

‫ وعن مجنون حتى يفيق‬، ‫ وعن نائم حتى يستيقظ‬،‫ عن صبي حتى يبلغ‬: ‫رفع القلم عن ثالثة‬

“Diangkat pena dari tiga golongan: dari anak kecil sampai dia baligh, dan dari
orang yang tidur sampai dia bangun, dan dari orang yang gila sampai dia sadar.”
[HR. At Tirmidzi]

2. Berakal

Apabila ada seorang muslim yang tidak berakal mengucapkan ucapan yang
kufur, maka tidak dianggap kafir, karena dia mengucapkan ucapan tersebut
dalam keadaan dia tidak berakal. Orang yang mabuk misalnya, dia mengucapkan
ucapan yang kufur, maka tidak dianggap sebagai orang yang kafir.

3. Diantara syaratnya seseorang mengucapkan atau melakukan kekufuran, dalam


keadaan dia memiliki kehendak sendiri dan bukan sedang dipaksa oleh orang
lain.
Terkadang seseorang dipaksa untuk mengucapkan ucapan yang kufur atau
melakukan perbuatan yang kufur, padahal hatinya mengingkari. Dia beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya, dia yakin seyakin-yakinnya dengan Islam, tetapi
apabila dia tidak mengucapkan kalimat kufur tersebut, dia akan dibunuh atau
diancam akan disiksa. Kondisinya dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur.
Kalau itu terjadi, maka hal ini tidak mengeluarkan dia dari Islam.

Ucapan dia adalah ucapan yang kufur, akan tetapi tidak dihukumi sebagai orang
yang kafir atau musyrik.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

َ ‫'ٱل ُك ۡف ِر‬
( ۡ‫ص' ۡد ࣰرا فَ َعلَ ۡی ِهم‬ َ ‫َمن َكفَ َر بِٱهَّلل ِ ِم ۢن بَ ۡع ِد ِإی َم ٰـنِ ۤ ِهۦ ِإاَّل َم ۡن ُأ ۡك' ِرهَ َوقَ ۡلبُهۥُ ُم ۡط َم ِٕى ۢنُّ بِٱِإۡل ی َم ٰـ ِن َولَ ٰـ ِكن َّمن‬
ۡ 'ِ‫ش' َر َح ب‬
‫اب ع َِظی ࣱم‬ ٌ ‫ض ࣱب ِّمنَ ٱهَّلل ِ َولَ ُهمۡ َع َذ‬َ ‫[ ) َغ‬Surat An-Nahl 106]

“Barangsiapa yang kufur kepada Allah setelah keimanan dia, kecuali orang yang
dipaksa, sedangkan hatinya dalam keadaan tenang dengan keimanan. Akan
tetapi orang yang lapang dengan kekufuran, maka merekalah orang-orang yang
mendapatkan kemarahan dari Allah dan merekalah orang-orang yang
mendapatkan adzab yang besar.”

Ayat ini turun ketika Ammar bin Yasir radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dipaksa oleh
orang-orang musyrikin untuk mengucapkan kalimat kufur, disuruh untuk
mencela Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan saat itu beliau dalam
keadaan disiksa, sehingga beliau pun terpaksa mengucapkan kalimat kufur
padahal di dalam hati, beliau tenang dengan keimanan.

Rasulullah shallallāhu’ alaihi wa sallam bersabda,

‫ستُ ْك ِره ُْوا َعلَ ْي ِه‬ ْ ِّ‫او َز لِي عَنْ ُأ َّمتِي ا ْل َخطََأ َوالن‬
ْ ‫سيَانَ َو َما ا‬ َ ‫ِإنَّ هللاَ ت ََج‬

“Sesungguhnya Allah telah memaafkan untukku dari ummatku, kesalahan, lupa,


dan apa yang mereka dipaksa untuk melakukannya.” [HR. Ibnu Majah]

Dari sini kita mengetahui kehati-hatian ahlussunnah di dalam masalah


Nawaqidul Islam dan di dalam masalah pengkafiran. Apalagi di dalam sebuah
ِ ‫َمن قَال َأِل‬
hadits, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‫خ ْي ِه يَا َكافِ ُر فَقَ ْد بَا َء‬
‫بِ َها َأ َح ُد ُه َما‬
“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya, Wahai orang yang kafir, maka
sungguh kekafiran ini kembali kepada salah satu diantara keduanya.” [HR.
Bukhari dan Muslim]

Menghukumi bahwasanya si fulan adalah kafir, si fulan adalah musyrik, ini


dilakukan oleh para ulama yang ilmunya sudah mendalam, yang terpenuhi pada
dirinya syarat-syarat sebagai seorang mujtahid (mufti) yang berfatwa di dalam
hukum-hukum agama.

Masuk kita pada pembahasan kitab ini.

Berkata Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, Bismillahirrahmanirrahim,


dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Beliau memulai kitab ini dengan Basmalah, meniru Allah di dalam Al-Qur’an,
karena ayat yang pertama di dalam mushaf adalah Basmalah. Dan yang ke dua
meneladani Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam karena ketika Beliau menulis
surat-surat dakwah kepada Islam, Beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam memulai
surat-surat tersebut dengan Basmalah. Dan inilah yang dilakukan oleh Nabi
Sulaiman ‘alaihissalam ketika mengirim surat kepada Bilqis. Beliau memulai
dengan Basmalah.

Allah berfirman menceritakan ucapan Ratu Bilqis,

ِ ‫سلَ ۡی َمـٰنَ وَِإنَّهۥُ بِ ۡس ِم ٱهَّلل ِ ٱل َّر ۡح َم ٰـ ِن ٱل َّر ِح‬


(‫یم‬ ُ ‫[ )ِإنَّهۥُ ِمن‬Surat An-Naml 30]

“(berkata Ratu Bilqis), Ini adalah dari Sulaiman dan isinya


Bismillahirrahmanirrahim.”

Yaitu surat Nabi Sulaiman diawali dengan Basmalah.

Memulai dengan Basmalah maksudnya adalah memohon pertolongan kepada


Allah. Karena ‫ ب‬di dalam ucapan ‫ بسم هللا‬adalah ‫ ب‬Al Isti’anah, yaitu huruf ‫ ب‬yang
maknanya memohon pertolongan.

‫ بس م هللا‬Dengan menyebut nama Allah, maksudnya adalah Aku memohon


pertolongan kepada Allah dengan menyebut nama-Nya.
Ismullah, yaitu nama Allah di sini mencakup seluruh nama Allah. Karena di
dalam Bahasa Arab, apabila sebuah kata yang mufrod (tunggal) disandarkan,
maka maknanya adalah umum.

Ismu (nama) adalah tunggal. Disandarkan kepada lafdzul jalalah yaitu Allah,
sehingga maknanya semua nama Allah. Ini seperti kata ‫ نعمة هللا‬di dalam firman
Allah,

۟ ‫وا ۡٱذ ُك ُر‬


ۡ‫وا نِ ۡع َمةَ ٱهَّلل ِ َعلَ ۡی ُكم‬ ۟ ُ‫[ یَ ٰۤـَأیُّ َها ٱلَّ ِذینَ َءا َمن‬Surat Al-Ahzab 9]

“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah nikmat Allah atas kalian.”

Nikmat di sini adalah mufrod (tunggal), tapi maksudnya adalah sebutlah atau
ingatlah nikmat-nikmat Allah atas kalian.

Demikian pula dengan kalimat Basmalah. Dengan menyebut nama Allah,


maksudnya adalah nama-nama Allah. Dan nama-nama Allah yang paling baik
maksudnya adalah nama-nama Allah yang paling baik yang Allah sebutkan di
dalam firman-Nya,

‫[ َوهَّلِل ِ ٱَأۡل ۡس َم ۤا ُء ۡٱل ُح ۡسنَ ٰى فَ ۡٱدعُوهُ بِ َه ۖا‬Surat Al-A’raf 180]

“Dan Allah, Dia-lah yang memiliki Asmaul Husna, maka hendaklah kalian berdo’a
dengannya.”

Allah adalah lafdzul jalalah dan Dia adalah nama Allah yang paling besar.
Nama-nama Allah yang lain disandarkan pada lafdzul jalalah.

Seseorang mengatakan Ar Rahman adalah diantara nama-nama Allah, Ar Rahim


adalah diantara nama-nama Allah, Al ‘Aziz adalah diantara nama-nama Allah.
Namun tidak bisa dia mengatakan bahwa Allah adalah diantara nama-nama Ar
Rahman.

Dan lafdzul jalalah berasal dari kata Al Ilaah, artinya adalah Al Ma’bud
(yang disembah). Sehingga makna Allah adalah sesembahan yang berhak
disembah.

Ar Rahman adalah nama Allah yang maknanya Maha Penyayang. Nama ini
mengandung sifat Rahmah (kasih sayang). Dan nama-nama Allah adalah nama-
nama yang memiliki makna, sehingga dinamakan dengan Asmaul Husna karena
dia mengandung makna yang paling baik. Berbeda dengan nama makhluk.
Terkadang seseorang memiliki nama yang baik, namun dia memiliki perangai
yang buruk. Namanya Sholeh tetapi dia bukan orang yang sholeh. Namanya
Abdullah, tetapi dia menyekutukan Allah.

Ar Rahim artinya juga Maha Penyayang. Nama ini mengandung sifat Ar Rahmah.

Perbedaan antara Ar Rahman dan Ar Rahim bahwa Ar Rahman mengandung sifat


kasih sayang Allah yang mencakup seluruh makhluk, baik yang beriman maupun
yang tidak beriman. Orang yang kafir di dunia juga mendapatkan sebagian dari
rahmat Allah, seperti nikmat hidup, nikmat waktu, nikmat sehat, nikmat rezeki,
dll.

Ar Rahim mengandung sifat kasih sayang Allah yang Allah khususkan bagi orang-
orang yang beriman, seperti hidayah kepada Islam, kenikmatan di dalam alam
kubur, kenikmatan di dalam surga, dll.

Allah berfirman, ‫[ َو َكانَ بِ ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِینَ َر ِحی ࣰما‬Surat Al-Ahzab 43]

“Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla sangat sayang kepada orang-orang yang


beriman.”

Beliau mengatakan,

َ ‫ساَل ِم َع‬
‫ش َرة‬ ِ ِ‫ا ْعلَ ْم َأنَّ ِمنْ َأ ْعظَ ِم نَ َواق‬:ً
ْ ‫ض اِإل‬

'﴾‫ش'اء‬ َ َ‫ ﴿ِإنَّ هَّللا َ الَ يَ ْغفِ ُر َأن يُش َْركَ بِ' ِه َويَ ْغفِ' ُر َم''ا دُونَ َذلِ' َك لِ َمن ي‬:‫' قَا َل هَّللا ِ تَ َعالَى‬،‫ الش ِّْر ُ'ك فِي ِعبَا َد ِة هللاِ تعالى‬:‫اَأل َّو ُل‬
‫ َك َمنْ يَ ْذبَ ُح لِ ْل ِجنِّ َأ ْو لِ ْلقَ ْب ِر‬،‫هللا‬ َّ ُ‫و ِم ْنه‬.
ِ ‫الذ ْب ُح لِ َغ ْي ِر‬ َ

Beliau mengatakan,

“Ketahuilah, sesungguhnya termasuk Nawaqidul Islam atau pembatal-pembatal


keislaman yang paling besar adalah 10 perkara.

1. Menyekutukan di dalam beribadah kepada Allah.

Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa


syirik dan mengampuni dosa yang lain, yang di bawahnya, bagi siapa yang
dikehendaki.” Dan diantaranya adalah menyembelih untuk selain Allah, seperti
orang yang menyembelih untuk jin atau untuk kuburan.

Ucapan beliau ‫ ا ْعلَ ْم‬yang artinya adalah ‘pelajarilah’, kalimat ini digunakan oleh
orang Arab untuk memberitahu sesuatu yang penting.

َ ‫ساَل ِم‬
Beliau mengatakan, ‫عش ََرة‬ ِ ِ‫َأنَّ ِمنْ َأ ْعظَ ِم نَ َواق‬
ْ ‫ض اِإل‬

“Sesungguhnya diantara pembatal-pembatal keislaman yang paling besar adalah


10 perkara.”

Ucapan beliau ‫ ِم ْن َأ ْعظَ ِم‬atau diantara yang paling besar, menunjukkan bahwa di
sana sebenarnya banyak pembatal-pembatal keislaman, akan tetapi yang paling
besar dan yang sering terjadi adalah 10 pembatal keislaman yang akan beliau
sebutkan.

1. Syirik di dalam beribadah kepada Allah

Beliau menjadikan syirik sebagai pembatal keislaman yang pertama karena syirik
adalah dosa yang paling besar. Tidak ada dosa yang lebih besar daripada syirik
kepada Allah.

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, '‫َأاَل ُأنَبُِّئ ُك ْم بَِأ ْكبَ ِر ا ْل َكبَاِئ ِر؟‬

“Maukah aku kabarkan kepada kalian dengan dosa-dosa besar yang paling
besar?”

Mereka berkata, Iya wahai Rasulullah.

Maka Beliau menyebutkan yang pertama adalah ِ ‫ك بِاهَّلل‬


ُ ‫( اِإْل ْش َرا‬menyekutukan Allah).
[HR. Bukhari dan Muslim]

Di dalam hadits yang lain, beliau ditanya oleh sebagian sahabat,

‫ب َأ ْعظَ ُم ِع ْن َد هَّللا ِ؟‬ َّ ‫ي‬


ِ ‫الذ ْن‬ ُّ ‫“ َأ‬Wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar di sisi Allah?”

ُ ‫َأنْ ت َْج َع َل هَّلِل ِ نِ ًّدا َو‬


Beliau mengatakan, َ‫ه َو َخلَقَك‬
“Engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia-lah yang telah menciptakan
dirimu.” [Hadits shahih diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim].

Orang yang beriman dengan Rububiyyah Allah, beriman bahwasanya Allah yang
telah menciptakan dia dan orang-orang sebelumnya, menciptakan langit dan
bumi, menciptakan seluruh alam semesta, seharusnya hanya menyerahkan
ibadahnya kepada Allah Azza wa Jalla.

۟ ‫ٱعبُ'''د‬
Allah berfirman,( َ‫ُوا َربَّ ُك ُم ٱلَّ ِذی َخلَقَ ُكمۡ َوٱلَّ ِذینَ ِمن قَ ۡبلِ ُكمۡ لَ َعلَّ ُكمۡ تَتَّقُ'''ون‬ 'ُ َّ‫[)یَ ٰۤـَأیُّ َها ٱلن‬Surat Al-
ۡ ‫اس‬
Baqarah 21]

“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan
menciptakan orang-orang sebelum kalian supaya kalian bertakwa.”

Dan Allah berfirman, ُ‫ٱعبُدُو ۚه‬ ُ ِ‫[ ذلِ ُك ُم ٱهَّلل ُ َربُّ ُكمۡ ۖ اَل ۤ ِإلَ ٰـهَ ِإاَّل ُه ۖ َو َخ ٰـل‬Surat Al-An’am 102]
ۡ َ‫ق ُك ِّل ش َۡی ࣲء ف‬

“Itulah Rabb kalian, yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali
Dia. Dia-lah yang menciptakan segala sesuatu, maka hendaklah kalian hanya
menyembah-Nya.”

Di dalam Al-Qur’an, ketika Allah menyebutkan perkara-perkara yang


diharamkan, yang pertama kali Allah sebutkan ada syirik.

۟ ‫[ قُلۡ تَ َعالَ ۡو ۟ا َأ ۡت ُل َما َح َّر َم َر ُّب ُكمۡ َعلَ ۡی ُكمۡ ۖ َأاَّل ت ُۡش ِر ُك‬Surat Al-An’am 151]
Allah berfirman, ‫وا بِ ِهۦ ش َۡی ࣰٔـ ۖا‬

“Katakanlah (Wahai Muhammad), kemarilah kalian, aku bacakan kepada kalian


perkara-perkara yang diharamkan oleh Rabb kalian, yaitu supaya kalian tidak
menyekutukan Allah sedikit pun.”

Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla ketika menyebutkan tentang 10 hak di dalam


surat An Nisa, hak yang pertama yang disebutkan adalah hak Allah sebelum hak
yang lain.

Allah berfirman,

‫ین َو ۡٱل َج' ا ِ'ر ِذی ۡٱلقُ' ۡ'ربَ ٰى‬ َ ‫س ٰـ ࣰنا َوبِ' ِذی ۡٱلقُ' ۡ'ربَ ٰ'ى َو ۡٱلیَت َٰـ َم ٰى َو ۡٱل َم‬
ِ ‫س ٰـ ِك‬ َ ‫وا بِ ِهۦ ش َۡی ࣰٔـ ۖا َوبِ ۡٱلوا' لِ'د َۡی ِن ِإ ۡح‬
۟ ‫ُوا ٱهَّلل َ َواَل ت ُۡش' ِر ُك‬
۟ ‫ٱعبُ'د‬
ۡ ‫َو‬
ۗ ۡ‫یل َو َما َملَ َك ۡت َأ ۡی َم ٰـنُ ُكم‬ َّ ‫ب َو ۡٱب ِن ٱل‬
ِ ِ‫سب‬ ۢ ۡ
ِ ‫ب بِٱل َجن‬ 'ِ ‫اح‬ ِ ‫ص‬ َّ ‫ب َوٱل‬ ۡ ۡ
ِ ُ‫[ َوٱل َجا ِر ٱل ُجن‬Surat An-Nisa’ 36]
“Dan sembahlah Allah, dan janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu
apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman, ibnu
sabil, dan hamba sahaya yang kalian miliki.”

Oleh karena itu, Syeikh menjadikan pembatal keislaman yang pertama adalah
syirik di dalam beribadah kepada Allah. Syirik membatalkan keislaman karena
syirik bertentangan dengan persaksian seorang muslim bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.

Persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah
konsekuensinya tidak boleh dia serahkan ibadah sekecil apapun kepada selain
Allah, baik jin, pohon, batu, Nabi, malaikat, dll.

Kalau seseorang menyerahkan sebagian ibadah kepada selain Allah, berarti dia
telah membatalkan keislamannya. Setelah kita mengetahui bahwa menyekutukan
Allah di dalam ibadah membatalkan keislaman, maka wajib bagi kita mengetahui
apa itu ibadah. Orang yang tidak mengetahui makna ibadah, dikhawatirkan dia
akan menyerahkan sebagian ibadah kepada selain Allah.

Ibadah adalah: ‫اطنَ ِة‬ ِ ‫ال َواَأْلف َع‬


ِ َ‫ال الظَّا ِه َر ِة َوالب‬ ِ ‫ضاهُ ِمنْ اَأْل ْق َو‬
َ ‫س ٌم َجا ِم ٌع لِ ُك ِّل َما يُ ِحبُّهُ هَّللا ُ َويَ ْر‬
ْ ‫ا‬

“Seluruh perkara yang dicintai dan diridhoi oleh Allah, baik berupa ucapan
maupun perbuatan yang dhohir maupun yang batin.”

Kita mengetahui sesuatu ucapan atau perbuatan dicintai dan diridhoi oleh Allah
dari kabar yang Allah sebutkan di dalam Al Qur’an atau kabar Rasulullah
shallallāhu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya.

Terkadang kita mengetahui sesuatu ucapan atau amalan dicintai oleh Allah ketika
Allah mengabarkan bahwa Allah mencintai orang-orang yang melakukan
َّ ‫َوٱهَّلل ُ یُ ِح ُّب ٱل‬
perbuatan tersebut, misalnya Allah berfirman, َ‫ص ٰـبِ ِرین‬

“Dan Allah mencintai orang-orang yang bersabar.” [Surat Ali Imran 146]

Dalam ayat ini Allah mengabarkan bahwasanya Allah mencintai orang-orang


yang bersabar, mencintai sifat sabar. Kalau sabar dicintai oleh Allah, berarti
sabar adalah ibadah. Dan kalau ibadah, maka tidak boleh diserahkan kepada
selain Allah.
Dalam ayat yang lain Allah mengabarkan bahwa Allah mencintai orang-orang
yang berbuat baik (Al Baqarah 195). Mencintai orang-orang yang bertaubat dan
membersihkan diri dari dosa (Al Baqarah 222). Dan terkadang kita mengetahui
Allah mencintai sebuah amalan atau ucapan karena Allah memerintahkan
dengan amalan tersebut. Dan setiap yang Allah perintahkan berarti dicintai Allah.
Dan kalau amalan tersebut dicintai maka amalan tersebut adalah ibadah. Dan
kalau amalan tersebut adalah ibadah, maka tidak boleh diserahkan kepada selain
Allah.

Contoh amalan yang diperintahkan adalah sholat dan zakat.

۟ ‫صلَ ٰوةَ َو َءات‬


Allah Subhānahu wa Ta’āla mengatakan, َ‫ُوا ٱل َّز َك ٰوة‬ ۟ ‫َوَأقِی ُم‬
َّ ‫وا ٱل‬

“Dan hendaklah kalian mendirikan sholat dan membayar zakat.” [Al Baqarah 43]

Di sini Allah memerintahkan untuk mendirikan sholat dan membayar zakat.


Berarti keduanya dicintai oleh Allah, karena Allah tidak memerintahkan kecuali
sesuatu yang dicintai dan diridhoi. Berarti sholat dan zakat adalah ibadah, hanya
untuk Allah dan tidak boleh diserahkan kepada selain Allah.

Dan terkadang kita mengetahui Allah mencintai sebuah amalan ketika Allah
memuji orang-orang yang mengamalkannya. Karena Allah tidak memuji kecuali
orang-orang yang Dia cintai. Yang mereka mengamalkan apa yang dicintai oleh
Allah. Misalnya Allah berkata memuji orang-orang yang menunaikan nadzarnya.

(‫[ )یُوفُونَ بِٱلنَّ ۡذ ِر َویَ َخافُونَ یَ ۡو ࣰما َكانَ ش َُّرهۥُ ُم ۡستَ ِطی ࣰرا‬Surat Al-Insan 7]

Pujian Allah Subhānahu wa Ta’āla, mereka adalah orang-orang yang


menyempurnakan nadzarnya dan takut dengan suatu hari yang kejelekannya
menyelimuti.

Pujian Allah Subhānahu wa Ta’āla menunjukkan bahwasanya Allah mencintai


orang-orang yang menyempurnakan nadzar dan perbuatan tersebut.

Ibadah ada yang berupa ucapan dan ada yang berupa perbuatan. Berupa ucapan
seperti mengucapkan tasbih, tahlil, tahmid, bersholawat atas Nabi shallallāhu
‘alaihi wa sallam, membaca Al Qur’an, berdo’a, dll.

Berupa amalan seperti melakukan sholat, membayar zakat, berjihad, berhaji, dll.
Ibadah ada yang dhohir dan ada yang batin. Ibadah yang dhohir artinya adalah
ibadah yang bisa terlihat oleh orang lain, seperti sholat, jihad, dll.

Ibadah yang batin adalah ibadah yang ada di dalam hati manusia, seperti tawakal
kepada Allah, cinta kepada Allah, takut kepada Allah, kembali atau inabah
kepada Allah, dll. Semua ini adalah ibadah. Dan semua ibadah harus diserahkan
hanya kepada Allah. Tidak boleh sedikitpun diserahkan kepada selain Allah.
Barangsiapa yang menyerahkan sebagian ibadah dari ibadah-ibadah tadi kepada
selain Allah, maka dia telah menyekutukan Allah di dalam ibadah, dan ini
merupakan pembatal keislaman yang paling besar.

Kemudian Syeikh menyebutkan dalil bahwa kesyirikan adalah pembatal


keislaman, yaitu firman Allah,

‫ ِإنَّ ٱهَّلل َ اَل یَ ۡغفِ ُر َأن یُ ۡش َر َك بِ ِهۦ َویَ ۡغفِ ُر َما دُونَ َذلِ َك لِ َمن یَش َۤا ۚ ُء‬

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa
yang di bawah syirik bagi siapa yang dikehendaki.” [Surat An-Nisa’ 48 dan 116]

Allah tidak mengampuni dosa syirik padahal Allah adalah Al Ghofur (Yang Maha
Pengampun). Dan ini menunjukkan tentang betapa besarnya dosa syirik. Dan
yang dimaksud dosa syirik yang tidak diampuni di sini adalah ketika seseorang
bertemu dengan Allah dalam keadaan membawa dosa syirik tersebut dan belum
bertaubat di masa hidupnya. Dan maksud tidak diampuni adalah dia harus
diadzab.

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

‫َمن َماتَ و ْه َو يَ ْدعُو ِمن دُو ِن هَّللا ِ نِ ًّدا د ََخ َل النَّا َر‬

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan dia menyekutukan Allah, maka dia
masuk ke dalam neraka.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Seorang yang meninggal dunia dalam keadaan menyekutukan Allah, inilah orang
yang masuk ke dalam neraka dan dialah yang tidak akan diampuni.

Dalam hadits yang lain, Beliau mengatakan, ‫َخ َل النَّا َ'ر‬


َ ‫ش ْيًئا د‬ ْ ُ‫َمن لَقِ َي هللاَ ي‬
َ ‫ش ِر ُك بِ ِه‬

“Barangsiapa yang bertemu dengan Allah dalam keadaan dia menyekutukan


Allah, maka dia masuk ke dalam neraka.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Tapi kalau dia bertaubat dari perbuatan syirik tersebut di masa hidupnya, maka
Allah Maha Pengampun dan Maha Pemberi Taubat. Sebesar apapun dosanya,
baik berupa syirik, kekufuran, kenifakan, kalau dia bertaubat dengan taubat yang
nasuha sebelum dia meninggal dunia, maka akan diampuni oleh Allah.

ُّ ‫وا ِمن َّر ۡح َم ِة ٱهَّلل ۚ ِ ِإنَّ ٱهَّلل َ یَ ۡغفِ ُر‬


َ ُ‫ٱلذن‬
Allah berfirman, (۞ ‫وب‬ ِ ُ‫وا َعلَ ٰۤى َأنف‬
۟ ُ‫س ِهمۡ اَل ت َۡقنَط‬ ۟ ُ‫ی ٱلَّ ِذینَ َأ ۡس َرف‬
َ ‫قُلۡ یَ ٰـ ِعبَا ِد‬
‫)ج ِمی ًع ۚا ِإنَّهۥُ ه َُو ۡٱل َغفُو ُر ٱل َّر ِحی ُم‬
َ

“Katakanlah, Wahai hamba-hambaku yang telah berlebih-lebihan terhadap


dirinya sendiri (melakukan kemaksiatan), janganlah kalian berputus asa dari
rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya
Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Surat Az-Zumar 53]

Berkata Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab , َّ ُ‫َو ِم ْنه‬


ِ‫الذ ْب ُح لِ َغ ْي ِرهللا‬

“Dan diantara contoh kesyirikan adalah menyembelih untuk selain Allah.”

Menyembelih untuk selain Allah adalah syirik, karena menyembelih adalah


ibadah.

Allah berfirman, dalam Qur’an Surat Al-An’am 162-163

( َ‫ش ِری َك لَ ۖۥهُ َوبِ َذ لِ َك ُأ ِم ۡرتُ َوَأنَ ۠ا َأ َّو ُل ۡٱل ُم ۡسلِ ِمین‬
َ ‫ب ۡٱل َع ٰـلَ ِمینَ ۝ اَل‬
ِّ ‫ای َو َم َماتِی هَّلِل ِ َر‬
َ َ‫س ِكی َو َم ۡحی‬ َ َّ‫)قُلۡ ِإن‬
ُ ُ‫صاَل تِی َون‬

“Katakanlah, sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku, adalah


untuk Allah, Rabbul ‘Alamin. Tidak ada sekutu baginya. Dan demikianlah aku
diperintahkan, dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.”

Allah menyebutkan bahwa menyembelih adalah untuk Allah. Kata ِ ‫ هَّلِل‬artinya


adalah hanya untuk Allah. Tidak boleh diserahkan kepada selain Allah. Orang
yang menyerahkan sembelihan kepada selain Allah maka dia telah
menyekutukan Allah di dalam ibadah.

Allah berfirman dalam ayat yang lain, (‫َو ۡٱن َح ۡر‬ َ َ‫[ )ف‬Surat Al-Kautsar 2]
‫ص ِّل لِ َربِّ َك‬

“Hendaklah engkau sholat untuk Rabb-mu dan hendaklah engkau menyembelih


untuk Rabb-mu.”
Allah memerintahkan menyembelih hanya untuk Allah. Dan telah berlalu bahwa
perintah menunjukkan bahwa menyembelih adalah amalan yang dicintai Allah.
Dan kalau dicintai maka dia adalah ibadah, sehingga tidak boleh diserahkan
kepada selain Allah. Barangsiapa yang menyembelih untuk selain Allah maka dia
telah terjerumus ke dalam syirik yang besar. Dan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi
wa sallam bersabda, ِ ‫ذبح لغي ِرهَّللا‬
َ ‫لَعنَ هَّللا ُ َمن‬

“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.” [HR. Muslim]

Di sini Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam berdo’a kepada Allah supaya


orang yang menyembelih untuk selain Allah mendapatkan laknat dari Allah. Dan
yang dimaksud dengan laknat adalah dijauhkan dari rahmat Allah. Dan yang
dimaksud dengan menyembelih untuk selain Allah adalah menyembelih seekor
hewan dengan tujuan bertaqarrub atau mendekatkan diri kepada selain Allah.

Syeikh mengatakan, ِّ‫“ َك َمنْ يَ ْذبَ ُح لِ ْل ِجن‬Seperti orang yang menyembelih untuk jin.”

Jin di sini, terkadang oleh manusia diberi gelar-gelar tertentu, seperti ‘penguasa
laut selatan’, ‘penguasa gunung A’, ‘yang mbaureksa sungai B’, dll. Di sebagian
daerah penduduknya menyembelih seekor hewan kemudian kepala hewan
tersebut ditanam dan tujuannya adalah untuk mendekatkan diri kepada yang
menunggu laut atau sungai atau gunung tersebut, supaya penunggu-penunggu
tersebut tidak memudhoroti orang-orang yang tinggal di sekitarnya.

Kemudian beliau berkata, ‫لِ ْلقَ ْبر‬ ‫“ َأ ْو‬Atau menyembelih untuk kuburan.”

Maksudnya untuk orang yang dikuburkan di tempat tersebut, baik yang


dikuburkan adalah seorang Nabi, atau wali, atau yang lain.

Barangsiapa yang menyembelih di samping kuburan seseorang dengan tujuan


mendekatkan diri kepada orang tersebut, maka dia telah terjerumus ke dalam
kesyirikan yang besar.

Apa yang beliau sebutkan hanyalah sekedar contoh. Di sana banyak contoh-
contoh kesyirikan yang tidak beliau sebutkan di dalam kitab ini.

Berkata Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab,

َّ ‫سَألُ ُه ْم ال‬
‫ َويَت ََو َّك ُل َعلَ ْي ِه ْم َكفَ َر ِإ ْج َماعًا‬،َ‫شفَا َعة‬ َ ‫ َمنْ َج َع َل بَ ْينَهُ َوبَيْنَ هللاِ َو‬:‫الثَّانِي‬
ْ ‫ساِئطَ يَ ْدعُو ُه ْم َوي‬
“Ke dua, barangsiapa yang menjadikan antara dia dan Allah perantara-perantara,
berdo’a kepada mereka, meminta kepada mereka syafa’at, dan bertawakal
kepada mereka, maka dia telah kufur, dengan kesepakatan para ulama.”

Hubungan antara pembatal keislaman yang pertama dan ke dua, bahwa


pembatal keislaman yang pertama lebih umum, karena yang pertama mencakup
berbagai jenis syirik besar. Sedangkan yang ke dua ini berbicara tentang satu
diantara jenis-jenis syirik yang besar. Dan dikhususkan oleh penulis – Wallahu
Ta’ala A’lam – karena banyaknya manusia yang terjerumus ke dalam jenis
kesyirikan yang satu ini.

Beliau mengatakan, barangsiapa yang menjadikan antara dia dengan Allah


perantara-perantara. Maksudnya adalah di dalam ibadah, menjadikan makhluk,
baik itu seorang Nabi, malaikat, atau orang yang shalih, sebagai perantara di
dalam ibadahnya kepada Allah agar mendekatkan dia kepada Allah. Atau
menjadikan dia sebagai syufa’a (orang-orang yang memberikan syafa’at baginya
di sisi Allah) dan bertawakal kepada perantara tersebut, maka ini adalah
perbuatan yang diharamkan, termasuk kesyirikan, karena berdo’a dan
bertawakal adalah ibadah yang tidak boleh diserahkan kepada selain Allah.

Dalil yang menunjukkan bahwa do’a adalah ibadah, firman Allah, Surat Ghafir 60

( َ‫َاخ ِرین‬ َ ‫)وقَا َل َر ُّب ُك ُم ۡٱدعُونِ ۤی َأ ۡست َِج ۡب لَ ُكمۡۚ ِإنَّ ٱلَّ ِذینَ یَ ۡست َۡكبِرُونَ ع َۡن ِعبَا َدتِی‬
ِ ‫سیَ ۡد ُخلُونَ َج َهنَّ َم د‬ َ

“Dan Rabb kalian berkata, ‘Berdo’alah kalian kepada-Ku niscaya aku akan
mengabulkan untuk kalian.’ Sesungguhnya orang-orang yang sombong dari
beribadah kepada-Ku, niscaya mereka akan masuk ke dalam neraka Jahannam
dalam keadaan hina.”

Ayat ini menunjukkan bahwa do’a adalah ibadah, dari dua sisi:

1. Allah memerintahkan kita untuk berdo’a kepada-Nya. Berarti Allah mencintai


do’a. Dan ini menunjukkan bahwa do’a adalah ibadah.

2. Allah menamakan do’a dengan ibadah. Karena setelah Allah mengatakan,


‘Berdo’alah kalian kepada-Ku’ Allah berkata setelahnya, ‘Sesungguhnya orang-
orang yang sombong dari beribadah kepada-Ku’.
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ُ‫ال ُّدعَاء ه َُو ا ْل ِعبَا َدة‬, Do’a
itu adalah ibadah.” [HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, dan juga Ibnu Majah,
dan dishahihkan oleh Syeikh Al Albani Rahimahullah.

Kemudian beliau membaca ayat yang ke-60 dari surat Ghafir di atas.

Sehingga barangsiapa yang berdo’a kepada selain Allah, sungguh dia telah
terjerumus ke dalam syirik yang besar, meskipun isi do’anya adalah minta
dimohonkan ampunan atau minta syafa’at, atau minta didekatkan kepada Allah.

Kemudian dalil yang menunjukkan tawakal adalah ibadah, firman Allah,

َ‫[ َو َعلَى ٱهَّلل ِ فَتَ َو َّكلُ ۤو ۟ا ِإن ُكنتُم ُّم ۡؤ ِمنِین‬Surat Al-Ma’idah 23]

“Dan hanya kepada Allah hendaklah kalian bertawakal, kalau kalian benar-benar
beriman.”

Ayat ini menunjukkan bahwa tawakal adalah ibadah, dari dua sisi:

1. Allah memerintahkan untuk bertawakal.

2. Allah menjadikan tawakal sebagai bagian dari keimanan, di dalam firman-Nya,


‘kalau kalian benar-benar beriman’.

Dan iman adalah bagian dari ibadah, karena Allah Subhānahu wa Ta’āla
memerintahkan untuk beriman seperti dalam firman-Nya, Surat An Nisa’ 136

۟ ُ‫یَ ٰۤـَأیُّ َها ٱلَّ ِذینَ َءا َمنُ ۤو ۟ا َءا ِمن‬


ُ ‫وا بِٱهَّلل ِ َو َر‬
‫سولِ ِهۦ‬

“Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-
Nya.”

Menjadikan orang yang shalih sebagai perantara, berdo’a, meminta syafa’at, dan
bertawakal kepada mereka adalah perbuatan orang-orang musyrikin Quraisy.

Allah telah mengabarkan di dalam Al Qur’an, Surat Yunus 18


( ‫شفَ َع ٰۤـُؤ نَا ِعن َد ٱهَّلل ۚ ِ قُلۡ َأتُنَبُِّٔـونَ ٱهَّلل َ بِ َم''ا اَل‬
ُ ‫ض ُّرهُمۡ َواَل یَنفَ ُع ُهمۡ َویَقُولُونَ َه ٰۤـُؤ اَل ۤ ِء‬
ُ َ‫ُون ٱهَّلل ِ َما اَل ی‬
ِ ‫َویَ ۡعبُدُونَ ِمن د‬
َ‫س ۡب َح ٰـنَهۥُ َوتَ َع ٰـلَ ٰى َع َّما یُ ۡش ِر ُكون‬ ُ ‫ض‬ ِ ۚ ‫ت َواَل فِی ٱَأۡل ۡر‬ َّ ‫)یَ ۡعلَ ُم فِی ٱل‬
ِ ‫س َم ٰـ َو‬

“Dan mereka (orang-orang musyrikin Quraisy) menyembah kepada selain Allah,


sesuatu yang tidak memberikan mudhorot kepada mereka dan juga tidak
memberikan manfaat. Kemudian mereka berkata, ‘Mereka ini (orang-orang
shalih yang kami sembah), adalah orang-orang yang memberikan syafa’at untuk
kami di sisi Allah. Katakanlah (Wahai Muhammad), apakah kalian memberi tahu
kepada Allah, sesuatu yang tidak Allah ketahui di langit maupun di bumi? Maha
Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”

Dan ayat ini, Allah mengabarkan kepada kita, tentang hakikat dari peribadatan
sebagian orang-orang musyrikin yang ada di zaman Nabi shallallāhu ‘alaihi wa
sallam, yaitu ada diantara mereka yang menjadikan orang-orang shalih sebagai
syufa’a, yaitu orang-orang yang memberikan syafa’at bagi mereka di sisi Allah.
Caranya adalah dengan menyerahkan sebagian ibadah kepada orang-orang
shalih tersebut, baik berupa nadzar, menyembelih, berdo’a, atau meminta
syafa’at kepada mereka seperti mengatakan, ‘Ya Fulan, berikanlah aku syafa’at di
sisi Allah.’

Allah berfirman, ‫ض ُّرهُمۡ َواَل یَنفَ ُع ُهۡ'م‬


ُ َ‫َویَ ۡعبُدُونَ ِمن دُو ِن ٱهَّلل ِ َما اَل ی‬

“Mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak memberikan mudhorot


kepada mereka dan tidak memberikan manfaat.”

Seharusnya seseorang beribadah hanya kepada dzat yang memberikan mudhorot


dan memberikan manfaat. Dialah Allah, yang manfaat dan mudhorot seluruhnya
di bawah kekuasaan Allah. Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang,
memberikan manfaat kepada seseorang, maka tidak ada yang bisa menolaknya.
Dan apabila Allah menghendaki mudhorot, maka tidak ada yang bisa
menolaknya.

(‫ش ' ۤا ُء ِم ۡن‬ َ َ‫یب بِ ِهۦ َمن ی‬ُ '‫ص‬ ۡ َ‫اش 'فَ لَ ۤۥهُ ِإاَّل ُه ' ۖ َو وَِإن یُ ' ِر ۡدكَ بِ َخ ۡی ࣲر َفاَل َر ۤا َّد لِف‬
ِ ُ‫ض 'لِ ِۚۦه ی‬ ِ ‫ض ' ࣲّر فَاَل َك‬
ُ ِ‫س ۡس ' َك ٱهَّلل ُ ب‬
َ ۡ‫وَِإن یَم‬
‫)عبَا ِد ِۚۦه َوه َُو ۡٱل َغفُو ُر ٱل َّر ِحی ُم‬
ِ [Surat Yunus 107]

“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudhorotan kepadamu, maka tidak ada yang
dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan
untukmu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dialah yang
memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-
hamba-Nya, dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Orang-orang yang shalih, mereka sudah meninggal dunia. Menolong diri mereka
sendiri saja mereka tidak mampu, lalu bagaimana mereka bisa menolong orang
lain? Memohonkan ampun untuk diri sendiri sudah tidak bisa, lalu bagaimana
mereka memohonkan ampunan untuk orang lain? Telah terputus amalan mereka
sebagaimana telah terputus amalan selain mereka. Lalu apa alasan mereka
berdo’a kepada orang-orang shalih tersebut?

Allah mengatakan, ِ ۚ ‫ٱهَّلل‬ ‫شفَ َع ٰۤـُؤ نَا ِعن َد‬


ُ ‫َویَقُولُونَ َه ٰۤـُؤ اَل ۤ ِء‬

“Mereka mengatakan, ‘Merekalah yang akan memberikan syafa’at bagi kami di


sisi Allah.’”

Alasan orang-orang musyrikin ketika berdo’a kepada orang-orang shalih tersebut


bukan karena meyakini bahwa mereka mencipta, memberikan rezeki, atau
mengatur alam semesta. Akan tetapi tujuannya adalah supaya mereka-mereka ini
memberikan syafa’at bagi mereka di sisi Allah.

Diantara sesembahan mereka adalah Latta.

ٰ ‫َو ۡٱل ُع َّز‬


Allah berfirman, Surat An Najm 19 (‫ى‬ َ‫)َأفَ َر َء ۡیتُ ُم ٱللَّ ٰـت‬

“Kabarkan kepadaku tentang Al Latta dan Al ‘Uzza.”

Ada yang membaca dengan Al Latta, dengan mentasydid ‫ت‬.

Sebagian salaf menyebutkan bahwa Al Latta ini adalah orang yang shalih. Dan
dahulu apabila datang musim haji, dia sering memberi makan kepada orang-
orang yang sedang beribadah haji. Dan ketika meninggal dunia, maka dia
disembah selain Allah. Orang-orang musyrikin datang ke kuburannya dengan
maksud meminta syafa’at.

Kemudian Allah Subhānahu wa Ta’āla membantah keyakinan orang-orang


ِ ۚ ‫ت َواَل فِی ٱَأۡل ۡر‬
musyrikin tersebut. Allah mengatakan, ‫ض‬ َّ ‫قُلۡ َأتُنَبِّـُٔونَ ٱهَّلل َ بِ َما اَل یَ ۡعلَ ُم ِفی ٱل‬
ِ ‫س َم ٰـ َو‬

“Katakanlah (Wahai Muhammad), apakah kalian wahai orang-orang musyrikin


mengabarkan kepada Allah sesuatu yang Allah tidak ketahui di langit maupun di
bumi?”
Dari mana kalian tahu? Maksudnya, dari mana kalian tahu bahwa cara
mendapatkan syafa’at adalah dengan menyembah mereka dan menyerahkan
sebagian ibadah kepada mereka?

Ini adalah bantahan dari Allah terhadap orang-orang musyrikin karena mereka
berkata atas nama Allah, apa yang mereka tidak ketahui. Padahal Allah
Subhānahu wa Ta’āla dan Rasul-Nya tidak pernah mengabarkan bahwa untuk
mendapatkan syafa’at dari orang-orang shalih adalah dengan cara mendekatkan
diri, beribadah, atau berdo’a kepada mereka. Cara seperti ini berasal dari bisikan
syaithan kemudian persangkaan mereka semata.

Allah mengatakan, َ‫س ۡب َح ٰـنَهۥُ َوتَ َع ٰـلَ ٰى َع َّما یُ ۡش ِر ُكون‬


ُ

“Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka sekutukan.”

Allah menamakan perbuatan yang mereka lakukan tersebut sebagai perbuatan


syirik.

َ 'َ‫“ َكف‬Dia telah kufur secara ijma’.”


Oleh karena itu Syeikh mengatakan, ‫'ر ِإ ْج َماعًا‬
Karena syirik yang besar adalah satu diantara jenis kekufuran.

Diantara keyakinan orang-orang musyrikin Quraisy, bahwa dengan menyembah


orang-orang shalih tersebut mereka bisa semakin dekat dengan Allah.

Allah berfirman, dalam Surat Az Zumar 3

(‫وا ِمن دُونِ ِۤۦه َأ ۡولِیَ ۤ'ا َء َم'ا نَ ۡعبُ' ُدهُمۡ ِإاَّل لِیُقَ ِّربُونَ ۤ'ا ِإلَى ٱهَّلل ِ ُز ۡلفَ ٰۤى ِإنَّ ٱهَّلل َ یَ ۡح ُك ُم بَ ۡینَ ُهمۡ فِی َم'ا هُمۡ فِی ِه‬
۟ ‫َوٱلَّ ِذینَ ٱت ََّخ ُذ‬
ۗ ُ‫)یَ ۡختَلِف‬
‫ونَ ِإنَّ ٱهَّلل َ اَل یَ ۡه ِدی َم ۡن ه َُو َك ٰـ ِذ ࣱب َكفَّا ࣱر‬

“Dan orang-orang yang menjadikan sekutu bagi Allah, mereka mengatakan,


‘Tidaklah kami menyembah mereka kecuali supaya mereka mendekatkan diri
kami kepada Allah.’”

Mereka mengatakan, “Kami adalah orang-orang yang jauh dari Allah, banyak
berbuat maksiat, banyak melakukan dosa, banyak lalai kepada Allah. Sedangkan
orang-orang shalih tersebut, mereka adalah orang-orang yang memiliki derajat
yang tinggi di sisi Allah. Sehingga kalau kami beribadah kepada orang-orang
tersebut, mereka akan mendekatkan diri kami kepada Allah, sehingga kami pun
memiliki kemuliaan di dunia.”
'َ ُ‫ِإنَّ ٱهَّلل َ یَ ۡح ُك ُم بَ ۡینَ ُهمۡ فِی َما هُمۡ فِی ِه یَ ۡختَلِف‬
Kemudian Allah membantah dan mengatakan , ‫ون‬

“Sesungguhnya Allah menghukumi diantara mereka di dalam apa yang mereka


perselisihkan.”

Yaitu antara Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang musyrikin


tersebut, siapa yang benar diantara mereka, apakah Rasulullah shallallāhu ‘alaihi
wa sallam yang mengajak kepada tauhid dan memperingatkan mereka dari
kesyirikan ataukah yang benar adalah orang-orang musyrikin tersebut yang
mereka berdo’a dan beribadah kepada orang-orang shalih tersebut dengan
maksud supaya dekat dengan Allah.

Allah mengatakan, ‫ࣱر‬ ‫ِإنَّ ٱهَّلل َ اَل یَ ۡه ِدی َم ۡن ه َُو َك ٰـ ِذ ࣱب َكفَّا‬

“Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang yang


berdusta dan sangat kufur.”

Allah mensifati ucapan mereka tadi dengan dua sifat:

1. Dusta

Menunjukkan bahwa ucapan mereka ‫ َم ا ن َۡعبُ ُدهُمۡ ِإاَّل لِیُقَرِّ بُونَ ۤا ِإلَى ٱهَّلل ِ ُز ۡلفَ ٰۤى‬yang artinya
“Tidaklah kami menyembah mereka kecuali supaya mereka mendekatkan diri
kami kepada Allah” ini adalah ucapan yang tidak benar. Allah katakan, ini adalah
kedustaan. Dan Allah lebih tahu tentang hakikatnya.

2. Sangat kufur

Menunjukkan bahwa cara seperti ini tidak dibenarkan secara syari’at.

Diantara alasan mereka meminta do’a orang-orang shalih tersebut dan meminta
syafa’at kepada mereka adalah bahwa orang-orang shalih tersebut dalam
keadaan hidup. Dan apabila hidup maka dia mendengar. Dan apabila dia
mendengar maka kita boleh meminta do’a kepada mereka, sebagaimana ketika
orang-orang shalih tersebut hidup kita boleh meminta do’a dari mereka.

Jawabannya:
1. Kita meyakini bahwa mereka, di alam kubur mereka hidup dengan kehidupan
alam barzakh, yang berbeda dengan alam kita di dunia. Para Nabi, para syuhada,
hidup dengan kehidupan yang lebih baik dan lebih sempurna daripada
kehidupan kita.

Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, َ ُ‫اَأل ْنبِيَا ُء َأ ْحيَا ٌء فِي قُبُو ِر ِه ْم ي‬
َ‫صلُّون‬

“Para Nabi, mereka hidup di dalam kuburan mereka, dalam keadaan sholat.” [HR.
Al Bazzaar, dan dihasankan oleh Syeikh Al Albani Rahimahullah]

Dan Allah berfirman, Surat Aali-Imran 169 – 170

ۤ ‫یل ٱهَّلل ِ َأمۡ وا ۢتَ ۚا بَلۡ َأ ۡحیَ ۤا ٌء ِعن َد َربِّ ِهمۡ یُ ۡرزَ قُونَ ۝ فَ ِر ِحینَ بِ َم‬
(‫''ا َءات َٰى ُه ُم ٱهَّلل ُ ِمن‬ ِ ِ ‫سب‬َ ‫وا فِی‬ ۟ ُ‫سبَنَّ ٱلَّ ِذینَ قُتِل‬
َ ‫َواَل ت َۡح‬
َ‫وا بِ ِهم ِّم ۡن َخ ۡلفِ ِهمۡ َأاَّل َخ ۡوفٌ َعلَ ۡی ِهمۡ َواَل هُمۡ یَ ۡح َزنُون‬
'۟ ُ‫شرُونَ بِٱلَّ ِذینَ لَمۡ یَ ۡل َحق‬ ۡ َ‫)ف‬
ِ ‫ضلِ ِۦه َویَ ۡست َۡب‬

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati.
Bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapatkan rezeki. Mereka
dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan oleh Allah
kepada mereka dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih
tinggal di belakang, yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”

Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan


kepada mereka dan mereka pun memberikan kabar gembira kepada orang-orang
yang masih tinggal di belakang mereka, yang belum menyusul mereka, bahwa
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak bersedih.

2. Hidupnya seseorang tidak berarti dia mendengar, karena ada orang yang hidup
dan dia tidak mendengar.

3. Seandainya dia mendengar di alam barzakh, maka belum tentu dia mendengar
do’a orang yang ada di alam dunia ini.

Allah berfirman, dalam Surat Fatir 14

(‫ش ۡر ِك ُكمۡۚ َواَل یُنَبُِّئ َك ِم ۡث ُل َخبِی ࣲر‬


ِ ِ‫وا لَ ُكمۡ ۖ َویَ ۡو َم ۡٱلقِیَ ٰـ َم ِة یَ ۡكفُ ُرونَ ب‬
۟ ُ‫ٱست ََجاب‬ َ ‫وا ُدع َۤا َء ُكمۡ َولَ ۡو‬
۟ ‫س ِم ُع‬
ۡ ‫وا َما‬ ۟ ‫)ِإن ت َۡدعُوهُمۡ اَل یَ ۡس َم ُع‬

“Kalau kalian berdo’a kepada mereka, mereka tidak mendengar do’a kalian. Dan
seandainya mereka mendengar, mereka tidak mengabulkan do’a kalian. Dan di
hari kiamat mereka mengingkari kesyirikan kalian dan tidak ada yang
mengabarkan kepadamu seperti Allah Yang Maha Mengetahui.”

4. Tidak semua suara di dunia ini bisa kita dengar, meskipun kita berada di alam
yang sama. Lalu bagaimana dengan suara yang ada di alam yang lain?

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam membedakan antara keadaan Beliau


ketika hidup dan keadaan Beliau setelah meninggal dunia. Dalam keadaan hidup,
Beliau bisa mendo’akan. Ketika Beliau sudah meninggal dunia, maka Beliau tidak
bisa mendo’akan.

Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari di dalam ‫ضى‬ َ ْ‫ِكتَاب ْال َمر‬
dari Aisyah radhiyallāhu ‘anha, ketika Aisyah sakit kepala dan mengatakan, ‫َوا َرْأ َسا ْه‬
“Aduh, sakit kepalaku.”

Kemudian Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar ucapan


ِ َ‫ل‬
Aisyah, Beliau bersabda,‫ك‬ ‫ستَ ْغفِ ُر لَ ِك وَأ ْدعُو‬
ْ ‫َذا ِك لو كانَ وَأنَا َح ّي فأ‬

“Wahai Aisyah, seandainya itu terjadi (yaitu meninggalnya dirimu karena sakit
ini) dan aku dalam keadaan masih hidup, niscaya aku akan memohonkan ampun
untukmu dan niscaya aku akan mendo’akan kebaikan untukmu.”

Ucapan Beliau, ‘dan aku dalam keadaan masih hidup’, menunjukkan bahwa
seandainya Beliau masih hidup niscaya Beliau masih bisa mendo’akan, tetapi
kalau Beliau sudah meninggal dunia maka Beliau tidak bisa mendo’akan dan
tidak bisa memohonkan ampun untuk orang lain, bahkan untuk istrinya pun,
Beliau tidak bisa.

Demikian pula para sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka membedakan antara


keadaan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam ketika masih hidup bersama
mereka dan keadaan Beliau setelah meninggal dunia.

Di zaman Umar bin Khatab radhiyallāhu ‘anhu, terjadi kemarau panjang yang
dahsyat karena lama tidak turun hujan, sehingga banyak tanaman yang rusak
dan hewan-hewan yang mati. Bahkan karena sangat parahnya keadaan saat itu,
terjadilah banyak pencurian. Karena saking banyaknya, sampai Umar bin Khatab
radhiyallāhu ‘anhu saat itu memaafkan orang-orang yang mencuri dan tidak
memotong tangan mereka. Kemudian beliau radhiyallāhu ‘anhu mengumpulkan
para sahabat dan para penduduk Madinah saat itu untuk mengadakan sholat
istisqo’, meminta hujan kepada Allah. Kemudian beliau berkata,
َّ ‫اللَّ ُه َّم ِإنَّا ُكنَّا ِإ َذا َأ ْج َد ْبنَا نَت ََو‬
ْ َ‫س ُل ِإلَ ْيكَ بِنَبِيِّنَا فَت‬
‫سقِينَا‬

“Ya Allah, dahulu kami ketika kami mendapatkan kemarau (di masa Rasulullah
shallallāhu ‘alaihi wa sallam) kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu,
kemudian Engkau memberikan hujan kepada kami.”

Bertawassulnya para sahabat di sini adalah dengan meminta do’a Beliau


shallallāhu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana ini praktek para sahabat di dalam
hadits yang lain di mana para sahabat meminta kepada Rasulullah shallallāhu
‘alaihi wa sallam supaya berdo’a kepada Allah. Sebagaimana di dalam hadits,
seorang Badui Arab yang masuk ke dalam Masjid Nabawi dan Rasulullah
shallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berkhutbah. Kemudian orang Arab
Badui ini berkata kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam supaya Beliau
shallallāhu ‘alaihi wa sallam berdo’a kepada Allah meminta hujan. Maka Allah
pun mengabulkan.

ْ ‫س ُل ِإلَ ْي َك بِ َع ِّم نَبِيِّنَا' فَا‬


Kemudian Umar berkata, ‫سقِنَا‬ َّ ‫وَِإنَّا نَت ََو‬

“Kemudian sekarang Ya Allah, kami bertawassul dengan paman Nabi-Mu, maka


hendaklah Engkau memberikan hujan kepada kami.”

Saat itu, Abbas bin Abdul Mutholib, paman Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam masih hidup. Dan bertawassul dengan paman Nabi saat itu dengan
meminta do’a beliau supaya Allah menurunkan hujan.

Perhatikanlah! Beliau bertawassul dengan do’a-do’a orang yang shalih yang


masih hidup. Dan tidak datang ke kuburan Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam
untuk meminta do’a, karena beliau radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu tahu bahwa yang
demikian adalah kesyirikan dan tidak ada faidahnya. Padahal saat itu keadaan
sangat parah. Dan tentunya dalam keadaan seperti itu, mereka mencari sebab
atau cara yang paling manjur agar bisa keluar dari permasalahan tersebut.

Ternyata Umar radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu meminta do’a dari Abbas yang masih
hidup saat itu dan tidak meminta do’a dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam.

Demikianlah, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat


membedakan antara keadaan hidup dan mati. Jadi alasan bahwasanya orang-
orang shalih tersebut hidup di dalam kuburan dan mendengar ucapan mereka,
sehingga boleh meminta do’a darinya, maka ini adalah alasan yang tidak benar.
Diantara mereka ada yang meminta do’a kepada orang-orang yang shalih yang
meninggal dunia dengan alasan bahwa Allah adalah Al Khaliq (Yang Maha
Pencipta) dan kita adalah hamba-hamba-Nya. Kita saja di dunia ketika ingin
bertemu dengan seorang presiden, kita tidak bisa langsung bertemu dengan
presiden tersebut, menyampaikan permintaan kita secara langsung. Akan tetapi
di sana ada menteri, ajudan, pembantu-pembantu. Sulit bagi seseorang untuk
sampai ke sana, kecuali melalui perantara-perantara tersebut. Kemudian orang
ini mengatakan, demikian pula kita kepada Allah. Kita perlu wasithoh (perantara)
yang menyampaikan hajat kita kepada Allah. Ini adalah alasan yang sangat
lemah, karena Allah tidak bisa disamakan dengan makhluk. Allah adalah As Sami’
(Yang Maha Mendengar), Al Bashir (Yang Maha Melihat), Al Qadir (Yang Maha
Mampu untuk melakukan segala sesuatu).

Seandainya seluruh manusia dan jin berkumpul dalam satu tempat lalu masing-
masing berdo’a kepada Allah dengan bahasa masing-masing untuk meminta
dipenuhi hajatnya, niscaya Allah bisa mendengar semuanya dan bisa
menunaikan hajat mereka semuanya.

‫[ َوٱهَّلل ُ َعلَ ٰى ُك ِّل ش َۡی ࣲء قَ ِدی ٌر‬Surat Al-Baqarah 284]

“Dan Allah Maha Mampu untuk melakukan segala sesuatu.”

Adapun makhluk, maka dia adalah lemah. Makhluk tidak bisa mendengar ucapan
beberapa orang yang berbicara di depannya dalam satu waktu. Apalagi
menunaikan hajat mereka dalam satu waktu. Dia memerlukan pembantu, ajudan,
menteri, apalagi yang diurusnya adalah jutaan manusia.

Apabila seseorang mengatakan, kita memerlukan perantara kepada Allah


sebagaimana kita memerlukan perantara ketika akan berbicara dengan presiden,
maka dia telah menyamakan Allah dengan makhluk. Padahal Allah berfirman,

‫صی ُر‬ َّ ‫س َك ِم ۡثلِ ِهۦ ش َۡی ࣱۖء َوه َُو ٱل‬


ِ َ‫س ِمی ُع ۡٱلب‬ َ ‫[ لَ ۡی‬Surat Asy-Syura 11]

“Tidak ada yang serupa dengan Allah. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.”

Oleh karena itu, Allah menyuruh kita berdo’a kepada-Nya langsung tanpa
perantara. Allah berfirman,

( ۚۡ‫[ ) َوقَا َل َربُّ ُك ُم ۡٱدعُونِ ۤی َأ ۡستَ ِج ۡب لَ ُكم‬Surat Ghafir 60]


“Dan Rabb kalian telah berkata, ‘Berdo’alah kalian kepada-Ku niscaya aku akan
mengabulkan do’a kalian.’”

Allah tidak mengatakan, ‘Berdo’alah kalian kepada-Ku dengan perantara’ tapi


Allah berkata, ‘Berdo’alah kepada-Ku niscaya aku akan mengabulkan’.

Dan Allah juga berfirman di dalam ayat yang lain,

(‫َّاع ِإ َذا َدعَا ۖ ِن‬


ِ ‫یب د َۡع َوةَ ٱلد‬ ٌ ۖ ‫سَألَكَ ِعبَا ِدی َعنِّی فَِإنِّی قَ ِر‬
ُ ‫یب ُأ ِج‬ َ ‫[ )وَِإ َذا‬Surat Al-Baqarah 186]

“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka


beritahukanlah kepada mereka, sesungguhnya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan do’a orang yang berdo’a apabila berdo’a kepada-Ku.”

Diantara mereka ada yang beralasan bahwa kita adalah hamba yang berdosa dan
banyak maksiat. Apabila kita berdo’a sendiri maka Allah tidak mengabulkan dan
kita tidak diampuni dosanya sehingga kita harus punya perantara.

Maka kita katakan, selama kita mau berdo’a kepada Allah dan masih mengharap
kepada Allah, justru itu adalah sebab kita mendapatkan ampunan dari Allah.
Sebagaimana dalam hadits qudsi Allah mengatakan,

‫يَا ابْنَ َآ َد َم ِإنَّ َك َما َدع َْوتَنِ ْي َو َر َج ْوتَنِ ْي َغفَ ْرتُ لَكَ َعلَى َما َكانَ ِمن َك َوال ُأبَالِ ْي‬

“Wahai anak Adam, selama engkau masih berdo’a kepada-Ku dan engkau masih
berharap kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni dosamu, apapun dosa yang
engkau lakukan dan Aku tidak akan peduli.” [HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh
Syeikh Al Albani]

Hadits ini menunjukkan bahwasanya Allah akan mengampuni dosa kita selama
kita masih mau berdo’a kepada-Nya dan masih mengharap kepada Allah. Bukan
justru kita membuat perantara antara kita dengan Allah di dalam ibadah.

Saudaraku, marilah kita kembali kepada Al Qur’an dan Hadits untuk mengetahui
cara meraih syafa’at. Ketahuilah, bahwa untuk mendapatkan syafa’at di hari
kiamat, syaratnya adalah mentauhidkan Allah.

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,


َ ‫اختَبَْأتُ َدع َْوتِي‬
ٌ‫شفَا َعةً ُأِل َّمتِي يَ ْو َم ا ْلقِيَا َم ِة فَ ِه َي نَاِئلَة‬ ْ ‫ست ََجابَةٌ فَتَ َع َّج َل ُك ُّل نَبِ ٍّي َد ْع َوتَهُ وَِإنِّي‬
ْ ‫لِ ُك ِّل نَبِ ٍّي َدع َْوةٌ ُم‬
ْ ُ‫ِإنْ شَا َء هَّللا ُ َمنْ َماتَ ِمنْ ُأ َّمتِي اَل ي‬
َ ِ ‫ش ِر ُك بِاهَّلل‬
‫ش ْيًئا‬

“Setiap Nabi memiliki do’a yang mustajab. Dan masing-masing dari Nabi telah
menyegerakan do’anya di dunia. Dan sesungguhnya aku menyimpan do’aku di
hari kiamat sebagai syafa’at bagi umatku. Maka syafa’atku tersebut akan
diberikan Insya Allah kepada umatku yang meninggal dunia dan dia dalam
keadaan tidak menyekutukan Allah sedikitpun.” [HR Muslim]

Dalam hadits yang lain ketika Beliau ditanya oleh Abu Huroiroh,

ِ ‫من أسع ُد النَّا‬


‫س بشفاعتِك يو َم القيامة؟‬

“Siapakah orang yang paling gembira mendapatkan syafa’atmu di hari kiamat?”

Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‫صا ِمن قَلبِ ِه‬


ً ِ‫َمن قَا َل ال إلهَ إاَّل هَّللا ُ َخال‬

“Orang yang mengatakan ‫ ال إلهَ إاَّل هَّللا‬ikhlas dari hatinya.” [HR Al Imam Al Bukhari]

Maksudnya di sini adalah mentauhidkan Allah Azza wa Jalla. Inilah modal utama
untuk mendapatkan syafa’at di hari kiamat. Oleh karena itu, masing-masing kita
hendaknya mempersiapkan diri dengan bertauhid, mempelajarinya, istiqomah di
atasnya sampai meninggal dunia.

Berkata Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah,

‫ْ َكفَ َر ِإ ْج َماعًا‬،‫ص َّح َح َم ْذ َهبَ ُهم‬


َ ‫ َأ ْو‬،‫ش َّك فِي ُك ْف ِر ِه ْم‬
َ ‫ش ِر ِكينَ َأ ْو‬ ُ ِ‫الثَّال‬.
ْ ‫ َمنْ لَ ْم يُ َكفِّ ْر ال ُم‬:‫ث‬

Yang ke tiga , “Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrikin atau


dia ragu tentang kekufuran mereka atau membenarkan madzhab mereka, maka
dia telah kafir dengan ijma’ para ulama.”

Seorang muslim percaya pada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan kabar yang
datang dari Allah dan Rasul-Nya, sehingga dia dinamakan sebagai seorang
mukmin (orang yang beriman).

Tidak boleh ada satupun kabar yang datang dari Allah dan Rasul-Nya didustakan
oleh seorang muslim. Barangsiapa yang mendustakan apa yang datang dari Allah
dan juga Rasul-Nya berupa kabar dan juga berita, maka dia telah keluar dari
agama Islam.

Dan diantara kabar yang datang dari Allah dan juga Rasul-Nya adalah kekafiran
orang-orang yang kafir. Di dalam Al Qur’an Allah mengkafirkan orang-orang
musyrikin, ahlul kitab baik Yahudi maupun Nasrani, dan orang-orang munafikin.
Kewajiban kita adalah meyakini kekafiran mereka. Allah berfirman,dalam Surat
Al -Bayyinah 6

(‫ب َو ۡٱل ُم ۡش ِر ِكینَ ِفی نَا ِر َج َهنَّ َم َخ ٰـلِ ِدینَ فِی َه ۤۚا ُأ ۟ولَ ٰۤـ ِٕى َك هُمۡ ش َُّر ۡٱلبَ ِریَّ ِة‬
ِ ‫وا ِم ۡن َأ ۡه ِل ۡٱل ِكتَ ٰـ‬
۟ ‫)ِإنَّ ٱلَّ ِذینَ َكفَ ُر‬

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan ahlul kitab dan orang-orang
musyrikin, mereka di dalam neraka Jahannam, kekal di dalamnya. Dan mereka
adalah makhluk yang paling buruk.”

Allah mengatakan di sini, َ‫ب َو ۡٱل ُم ۡش ِر ِكین‬


ِ ‫وا ِم ۡن َأ ۡه ِل ۡٱل ِكتَ ٰـ‬
۟ ‫ِإنَّ ٱلَّ ِذینَ َكفَ ُر‬

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan ahlul kitab”, maksudnya


adalah dari orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Mereka dinamakan ahlul kitab karena mereka mengaku beriman dengan kitab
yang Allah turunkan. Orang Yahudi mengaku beriman dengan Taurat yang
diturunkan kepada Nabi Musa dan orang Nasrani mengaku beriman dengan Injil
yang diturunkan kepada Nabi Isa ‘alaihissalam.

Dan mereka dinamakan kafir oleh Allah, diantaranya karena mereka tidak
beriman dengan Muhammad Rasulullah setelah mendengar diutusnya Beliau
untuk seluruh manusia.

Ketika Allah mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir, maka
tidak boleh seorang muslim mengatakan bahwa ahlul kitab sama dengan kaum
muslimin.

Allah juga mengabarkan di dalam ayat ini tentang kekafiran orang-orang


musyrikin, orang-orang yang menyekutukan Allah dengan yang lain. Menyembah
kepada Allah dan juga menyembah kepada selain Allah.

Seorang muslim harus meyakini kekafiran mereka.


Di dalam ayat yang lain Allah mengabarkan tentang salah satu bentuk kekafiran
orang-orang Nasrani di dalam firman-Nya Surat Al-Ma’idah 73,

ُ ِ‫لَّقَ ۡد َكفَ َر ٱلَّ ِذینَ قَالُ ۤو ۟ا ِإنَّ ٱهَّلل َ ثَال‬


‫ث ثَلَ ٰـثَ ࣲۘة‬

“Dan sungguh telah kafir orang yang mengatakan bahwasanya Allah adalah yang
ke tiga diantara tiga tuhan.”

Diantara bentuk kekufuran mereka, meyakini bahwa di sana ada tuhan bapak,
tuhan anak, dan tuhan ibu. Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan.

Diantara bentuk kekufuran sebagian orang-orang Nasrani adalah meyakini


bahwa Allah adalah Al Masih bin Maryam.

Allah mengatakan, dalam Surat Al-Ma’idah 17 ُ‫ۡٱبن‬ ‫یح‬ ِ ‫لَّقَ ۡد َكفَ َر ٱلَّ ِذینَ قَالُ ۤو ۟ا ِإنَّ ٱهَّلل َ ه َُو ۡٱل َم‬
ُ '‫س‬
‫َم ۡریَ ۚ َم‬

“Dan sungguh telah kafir orang yang mengatakan bahwasanya Allah adalah Al
Masih, Isa Ibnu Maryam.”

Diantara bentuk kekafiran ahlul kitab adalah membeda-bedakan diantara para


Rasul Allah. Beriman kepada sebagian Rasul dan mendustakan Rasul yang lain.

Orang-orang Yahudi mengaku beriman dengan Nabi Musa tetapi mereka kufur
dengan Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Orang-orang Nasrani mengaku beriman kepada Nabi Isa tapi mereka kufur
dengan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Allah berfirman, dalam Surat An-Nisa’ 150 – 151

ٍ ‫ض َونَ ْكفُ' ُر بِبَ ْع‬


‫ض‬ ٍ ‫سلِ ِه َويَقُولُ''ونَ نُ''ْؤ ِمنُ بِبَ ْع‬ ُ ‫سلِ ِه َويُ ِريدُونَ َأنْ يُفَ ِّرقُوا بَيْنَ هَّللا ِ َو ُر‬
ُ ‫ِإنَّ الَّ ِذينَ يَ ْكفُرُونَ بِاهَّلل ِ َو ُر‬
َ ‫َويُ ِري''''''''''''''''''''''''''''دُونَ َأنْ يَت َِّخ'''''''''''''''''''''''''''' ُذوا بَيْنَ َذلِ'''''''''''''''''''''''''''' َك‬
‫س''''''''''''''''''''''''''''بِياًل‬
‫ُأ ۟ولَ ٰۤـ ِٕى َك ُه ُم ۡٱل َك ٰـفِرُونَ َح ࣰّق ۚا َوَأ ۡعت َۡدنَا لِ ۡل َك ٰـفِ ِرینَ َع َذا ࣰبا ُّم ِهی ࣰنا‬

“Sesungguhnya orang-orang yang kufur kepada Allah dan para Rasul-Nya dan
mereka ingin membedakan antara Allah dan para Rasul-Nya, kemudian mereka
mengatakan, ‘Kami beriman kepada sebagian mereka (sebagian para Rasul) dan
kami kufur dengan Rasul yang lain’ dan mereka menginginkan jalan tengah.
Mereka adalah orang-orang yang benar-benar kafir dan kami telah menyediakan
untuk orang-orang yang kafir itu, siksaan yang menghinakan.”

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa kekafiran


mereka terhadap Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam menyebabkan mereka
masuk neraka.

Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ص' َرانِ ٌّي ثُ َّم يَ ُم''وتُ َولَ ْم يُ''ْؤ ِمنْ بِالَّ ِذي ُأ ْر‬
ْ‫س' ْلتُ بِ' ِه ِإاَّل َك''انَ ِمن‬ ٌّ ‫س َم ُع بِي َأ َح ٌد ِمنْ َه ِذ ِه اُأْل َّم ِة يَ ُه''و ِد‬
ْ َ‫ي َواَل ن‬ ْ َ‫اَل ي‬
‫ب النَّا ِر‬ ْ ‫َأ‬
ِ ‫ص َحا‬

“Tidaklah mendengar tentang kedatanganku salah seorang diantara umat ini,


baik seorang Yahudi maupun Nasrani kemudian dia meninggal dunia dan tidak
beriman dengan apa yang aku bawa, kecuali dia adalah termasuk penduduk
neraka.” [HR Muslim]

Allah juga mengabarkan tentang kekafiran orang-orang munafik, di dalam


۟ ‫وا َكلِ َمةَ ۡٱل ُك ۡف ِر َو َكفَ ُر‬
ِ ‫وا بَ ۡع َد ِإ ۡسلَ ٰـ ِم‬
firman-Nya, Surat At-Tawbah 74 ۡ‫هم‬ ۟ ُ‫َولَقَ ۡد قَال‬

“Dan sungguh mereka (orang-orang munafik) telah mengucapkan ucapan yang


kufur, dan mereka kafir setelah keislaman mereka.”

Ini menunjukkan tentang kekufuran orang-orang munafik, meskipun mereka


dengan lisan dan dhohir mereka menampakkan seakan-akan mereka adalah
orang-orang yang beriman.

Mengucapkan ‫ ال إل ه إال هللا‬dengan lisannya, bersaksi bahwa Muhammad adalah


Rasulullah dengan lisannya, hidup bersama kaum muslimin, melakukan sholat
bersama kaum muslimin, akan tetapi hati mereka kufur terhadap itu semua.
Maka Allah memasukkan mereka diantara golongan orang-orang yang kafir.

Allah Subhānahu wa Ta’āla telah mengabarkan bahwasanya orang-orang


munafik berada di tingkat yang paling bawah di dalam neraka.

Allah berfirman dalam Surat An-Nisa’ 145 (‫ٱلنَّا ِر‬ َ‫)ِإنَّ ۡٱل ُمنَ ٰـفِقِینَ فِی ٱلد َّۡر ِك ٱَأۡل ۡسفَ ِل ِمن‬

“Sesungguhnya orang-orang munafik, mereka berada di dalam neraka di tingkat


yang paling bawah.”
ِ ‫ُك ْف ِر‬
Syeikh berkata, ‫ه ْم‬ َ ‫َأ ْو‬
‫ش َّك فِي‬

“Barangsiapa yang meragukan kekafiran orang-orang musyrikin”, mengatakan


dengan hatinya ‘mungkin mereka kafir dan mungkin mereka muslim’.

Tidak meyakini kekafiran orang-orang musyrikin adalah kekafiran. Dan


meragukan kekafiran mereka juga bentuk kekafiran.

Seorang yang beriman yang mengucapkan ‫ ال إله إال هللا‬dan dia yakin serta tidak ragu
tentang maknanya, yaitu bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah
kecuali Allah, maka dia harus yakin tentang kekafiran orang yang menyekutukan
Allah.

Allah berfirman, dalam Surat Al-Hujurat 15

ٓ
َّ ٰ ‫يل ٱهَّلل ِ ۚ ُأ ۟و ٰلَِئكَ ُه ُم ٱل‬
َ‫ص ِدقُون‬ ِ ِ ‫سب‬ ۟ ‫وا َو ٰ َج َهد‬
ِ ُ‫ُوا بَِأ ْم ٰ َولِ ِه ْم َوَأنف‬
َ ‫س ِه ْم فِى‬ ۟ ُ‫سولِ ِهۦ ثُ َّم لَ ْم يَ ْرتَاب‬ ۟ ُ‫ِإنَّ َما ٱ ْل ُمْؤ ِمنُونَ ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ُ ‫وا بِٱهَّلل ِ َو َر‬

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah orang yang beriman kepada


Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak ragu dan mereka berjihad dengan harta
dan jiwa mereka di jalan Allah. Merekalah orang-orang yang jujur dalam
keimanannya.”

Kemudian beliau berkata, ‫ْ َكفَ َر ِإ ْج َماعًا‬،‫ص َّح َح َم ْذ َهبَ ُهم‬


َ ‫َأ ْو‬.

“Atau membenarkan madzhab mereka, maka dia telah kafir dengan ijma.”

Contohnya membenarkan keyakinan orang-orang Nasrani, bahwa Allah adalah


Isa bin Maryam. Atau membenarkan ajaran orang-orang musyrikin yang
menyekutukan Allah dengan yang lain. Jika ada orang yang membenarkan
ajaran-ajaran tersebut, maka dia telah kufur. Dan ini dengan kesepakatan para
ulama. Meskipun dia sholat bersama kita dan hidup bersama kaum muslimin.

Seorang muslim meyakini bahwa agama Islam adalah satu-satunya agama yang
diridhoi oleh Allah, Rabb semesta alam. Sebagaimana firman Allah, Surat Ali
Imran 19 ‫سلَ ٰـ ۗ ُم‬
ۡ ‫ِ ٱِإۡل‬ ‫“ ِإنَّ ٱلدِّینَ ِعن َد ٱهَّلل‬Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.”

Dan Allah berfirman,dalam Surat Ali Imran 85

ِ ‫َٔاخ َر ِة ِمنَ ۡٱل َخ ٰـ‬


( َ‫س ِرین‬ ِ ‫) َو َمن یَ ۡبت َِغ َغ ۡی َر ٱِإۡل ۡسلَ ٰـ ِم ِدی ࣰنا فَلَن یُ ۡقبَ َل ِم ۡنهُ َوه َُو فِی ۡٱلـ‬
“Dan barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka tidak akan
diterima darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”

Saudaraku, kalau kita meyakini tentang kekufuran orang-orang yang kafir


sebagaimana yang Allah kabarkan, maka kita harus tempatkan mereka pada
tempatnya sesuai dengan aturan syari’at.

Ada hal yang boleh kita lakukan terkait orang-orang yang kafir dan ada hal yang
tidak boleh kita lakukan terkait dengan mereka. Diantara yang boleh dilakukan:

1. Berbuat baik kepada orang-orang kafir.

2. Berbuat adil kepada mereka.

Allah berfirman, dalam Surat Al-Mumtahanah 8

ِ ‫سطُ ٓو ۟ا ِإلَ ْي ِه ْم ۚ ِإنَّ ٱهَّلل َ يُ ِح ُّب ٱ ْل ُم ْق‬


ِ ‫ِّين َولَ ْم يُ ْخ ِر ُجو ُكم ِّمن ِد ٰيَ ِر ُك ْم َأن تَبَ ُّرو ُه ْم َوتُ ْق‬ ٰ
َ‫س ِطين‬ ِ ‫ال يَ ْن َه ٰى ُك ُم ٱهَّلل ُ َع ِن ٱلَّ ِذينَ لَ ْم يُقَتِلُو ُك ْم فِى ٱلد‬

“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir
kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil.”

Allah membolehkan kita untuk berbuat baik kepada mereka selama mereka:

1. Tidak memerangi kita di dalam agama kita

2. Tidak mengeluarkan kita dari daerah kita

Perbuatan baik misalnya: memberikan sodaqoh kepada tetangga yang kafir,


mengantarnya ke rumah sakit, dll. Maka ini tidak masalah dan tidak dilarang di
dalam agama Islam. Yang harus tetap kita yakini adalah bahwa mereka adalah
orang-orang yang kafir.

Diperbolehkan juga kita untuk:

3. Jual beli dengan mereka


Dahulu di kota Madinah terdapat pasar dimana orang-orang Yahudi dan kaum
muslimin saling jual beli satu dengan yang lain.

4. Boleh berhutang kepada orang-orang kafir, karena Rasulullah shallallāhu


‘alaihi wa sallam pernah menggadaikan pakaian perang Beliau kepada seorang
Yahudi.

5. Boleh membuat perjanjian damai dengan orang-orang kafir sebagaimana


Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dahulu membuat perjanjian dengan
orang-orang Yahudi, yaitu ketika awal kedatangan Beliau di kota Madinah dan di
Hudaibiyah Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam membuat perjanjian damai
dengan orang-orang musyrikin Quraisy.

Diantara yang tidak boleh kita lakukan adalah:

1. Mendzolimi orang-orang kafir


2. Mewarisi harta mereka
3. Menguburkan mereka di pekuburan kaum muslimin
4. Mendahului mengucapkan salam kepada mereka
5. Mengucapkan selamat atas hari raya mereka
6. Menyerupai mereka
7. Mentaati mereka dalam kekafiran atau kemaksiatan

Seorang anak yang memiliki orang tua yang kafir harus meyakini kekafiran
mereka dan tidak boleh dia ragu. Dan silakan dia berbakti kepada orang tua
tersebut karena Allah memerintahkan seorang anak untuk berbakti kepada
kedua orang tua secara umum meskipun orang tuanya kafir. Kecuali apabila
diperintahkan untuk berbuat maksiat dan menyekutukan Allah, maka tidak boleh
seorang anak patuh kepada orang tuanya di dalam masalah ini.

Allah berfirman,dalam Surat Luqman 15

‫اح ۡب ُه َما ِفی ٱلد ُّۡنیَا َم ۡع ُرو ࣰف ۖا‬


ِ ‫ص‬ َ ‫وَِإن َج ٰـ َهدَا َك َعلَ ٰۤى َأن ت ُۡش ِر َك بِی َما لَ ۡی‬
َ ‫س لَ َك بِ ِهۦ ِع ۡل ࣱم فَاَل ت ُِط ۡع ُه َم ۖا َو‬

“Apabila keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang


engkau tidak punya ilmu, maka janganlah engkau taati. Akan tetapi gaulilah
mereka berdua di dunia dengan cara yang baik.”

Berkata Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah,


‫ال َربِيع‬:

‫ كال'ذين‬،‫أحس'نُ ِمن ُح ْك ِم'ه‬


َ ‫ أو أنَّ ُح ْك َم غ'ي ِره‬،‫بي صلَّى هللاُ عليه وسلَّم أك َم' ُل ِمن َه ْديِ'ه‬
ِّ َّ‫ْي الن‬
ِ ‫غير َهد‬
َ َّ‫من اعتقد أن‬
‫ت على ُح ْك ِمه؛ فهو كافِ ٌر‬ ِ ‫ضلون' ُح ْك َم الطَّواغي‬ِّ َ‫يُف‬

Pembatal keislaman yang ke empat: “Barangsiapa yang meyakini bahwa selain


petunjuk Nabi lebih sempurna daripada petunjuk Beliau shallallāhu ‘alaihi wa
sallam, atau meyakini bahwa selain hukum Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam
lebih baik daripada hukum Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam, seperti orang-
orang yang mengutamakan hukum thaghut di atas hukum Beliau shallallāhu
‘alaihi wa sallam, maka dia telah kafir.”

Di dalam pembatal keislaman yang ke empat ini, Syeikh menyebutkan dua poin
utama:

1. Barangsiapa yang meyakini bahwa selain petunjuk Nabi shallallāhu ‘alaihi wa


sallam lebih sempurna daripada petunjuk Beliau.

Petunjuk Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah wahyu dari Allah, baik berupa
Al Qur’an atau berupa Hadits Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Allah mengatakan, dalam Surat An-Najm 3 – 4

ۤ
َ ُ‫َن ۡٱل َه َو ٰى ۝ ِإ ۡن ُه َو ِإاَّل َو ۡح ࣱی ی‬
(‫وح ٰى‬ ِ ‫قع‬
ُ ‫) َو َما یَن ِط‬

“Apa yang Beliau ucapkan kecuali itu adalah wahyu dari Allah yang diwahyukan
kepada Beliau.”

Di dalam hadits Beliau mengatakan, ُ‫َو ِم ْثلَهُ َم َعه‬ َ ‫َأاَل ِإنِّي ُأوتِيتُ ا ْل ِكت‬
‫َاب‬

“Ketahuilah, bahwasanya aku diberikan Al Qur’an dan yang semisalnya


bersamanya (yaitu hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam).” [HR. Abu
Dawud dan dishahihkan oleh Syeikh Al Albani rahimahullah]

Kalau demikian, kita harus meyakini bahwa apa yang datang dari Beliau
shallallāhu ‘alaihi wa sallam pasti lebih sempurna daripada petunjuk selain
Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Dalam sebuah hadits, Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengatakan,


‫ى ُم َح َّمد صلى هللا عليه وسلم‬
ُ ‫ْى َه ْد‬ َ ‫َاب هَّللا ِ َوَأ ْح‬
ِ ‫سنَ ا ْل َهد‬ ِ ‫ق ا ْل َح ِدي‬
ُ ‫ث ِكت‬ ْ ‫ِإنَّ َأ‬
َ ‫ص َد‬

“Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah dan petunjuk yang
paling baik adalah petunjuk Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam [HR. An Nasai dan
dishahihkan oleh Syeikh Al Albani]

Allah Subhānahu wa Ta’āla, dialah ‫ال َعلِي ُم ال َح ِكي ُم‬

‫ ال َعلِي ُم‬artinya Yang Maha Mengetahui. Mengetahui apa yang menjadi maslahat bagi
manusia dan mudhorot atas mereka.

Dan Allah adalah ‫ ال َح ِكي ُم‬artinya Yang Maha Bijaksana di dalam hukum-hukum-Nya.
Baik hukum-hukum yang berkaitan dengan syari’at-Nya maupun hukum-hukum
kauniyah yang Allah takdirkan di alam semesta. Dialah yang menempatkan
segala sesuatu pada tempatnya.

Allah berfirman,dalam Surat Al-Baqarah 232 َ‫َوٱهَّلل ُ یَ ۡعلَ ُم َوَأنتُمۡ اَل ت َۡعلَ ُمون‬

“Dan Allah, Dialah Yang Mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.”

Allah yang lebih mengetahui apa yang maslahat bagi kita dan apa yang mudhorot
bagi kita.

Allah mengatakan, dalam Surat Al-Mulk 14 (‫ق َوه َُو ٱللَّ ِطیفُ ۡٱل َخبِی ُر‬
َ َ‫)َأاَل یَ ۡعلَ ُم َم ۡن َخل‬

“Bukankah Yang Menciptakan, Dialah Yang Mengetahui? Dan Dialah Yang Maha
Lembut dan Mengetahui.”

Syari’at Allah adalah syari’at yang bijaksana. Syari’at Nabi-Nabi sebelum Nabi
Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah khusus untuk umatnya. Adapun
syari’at Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam maka untuk seluruh
manusia, sesuai untuk semua tempat dan zaman. Kewajiban seorang muslim
adalah meyakini bahwa petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya lebih sempurna
daripada petunjuk dari selain Allah dan Rasul-Nya.

Di dalam Al-Qur’an, ketika Allah menyebutkan tentang ayat warisan, Allah


ۡ
ِ ۚ ‫لذ َك ِر ِمث ُل َحظِّ ٱُأۡلنثَیَ ۡی‬
berfirman, dalam Surat An-Nisa’ 11 ‫ن‬ َّ ِ‫صی ُك ُم ٱهَّلل ُ فِ ۤی َأ ۡولَ ٰـ ِد ُكمۡۖ ل‬
ِ ‫یُو‬
“Allah mewasiatkan kepada kalian dalam perkara anak-anak kalian, laki-laki
mendapat dua bagian wanita.”

Allah menyebutkan di dalam ayat ini tentang beberapa hal yang berkaitan
dengan hukum waris, seperti bagian anak laki-laki, bagian anak wanita, bagian
seorang ibu apabila ada anaknya, dll. Ini semua adalah ketentuan dari Allah Azza
wa Jalla.

Kemudian Allah mengatakan, dalam Surat An-Nisa’ 11

ُ ‫َءابَ ۤاُؤ ُكمۡ َوَأ ۡبنَ ۤاُؤ ُكمۡ اَل ت َۡدرُونَ َأ ُّی ُهمۡ َأ ۡق َر‬
َ ‫ب لَ ُكمۡ نَ ۡف ࣰع ۚا فَ ِر‬
‫یض ࣰة ِّمنَ ٱهَّلل ۗ ِ ِإنَّ ٱهَّلل َ َكانَ َعلِی ًما َح ِكی ࣰما‬

“Bapak-bapak kalian dan anak-anak kalian, kalian tidak tahu siapa diantara
mereka yang lebih manfaatnya daripada kalian, sebagai kewajiban dari Allah.
Sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Kewajiban kita membagi harta warisan sesuai dengan ketentuan Allah, bukan
dengan adat istiadat manusia.

2. Kemudian Syeikh mengatakan, ‫سنُ ِمن ُح ْك ِمه‬


َ ‫أو أنَّ ُح ْك َم غي ِره أح‬

“Atau dia meyakini bahwa hukum atau keputusan selain Beliau lebih baik
daripada hukum Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam.”

Poin yang ke dua ini adalah termasuk pembatal keislaman yang ke empat, yaitu
meyakini bahwa hukum selain Beliau lebih baik daripada hukum Beliau.

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah. Tugas Beliau


menyampaikan hukum Allah. Hukum yang datang dari Beliau adalah hukum
Allah.

Allah berkata, ( َ‫''ا َأ َر ٰى' كَ ٱهَّلل ۚ ُ َواَل تَ ُكن لِّ ۡل َخ' ۤا ِٕىنِین‬
ۤ ‫س بِ َم‬
ِ ‫ق لِت َۡح ُك َم بَ ۡینَ ٱلنَّا‬ ۡ 'ِ‫ِإنَّ ۤا َأن َز ۡلنَ ۤ''ا ِإلَ ۡی' َك ۡٱل ِكت َٰـ َب ب‬
ِّ ‫'ٱل َح‬
ِ ‫) َخ‬
‫صی ࣰما‬

[Surat An-Nisa’ 105]

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Al Qur’an dengan haq,


supaya engkau menghukumi diantara manusia dengan apa yang Allah
perlihatkan kepadamu. Dan janganlah engkau menjadi pembela bagi orang-orang
yang berkhianat.”

Dan hukum Allah adalah sebaik-baik hukum. Allah berfirman, dalam Surat Al-
Ma’idah 50 ( َ‫یُوقِنُون‬ ‫سنُ ِمنَ ٱهَّلل ِ ُح ۡك ࣰما لِّقَ ۡو ࣲم‬ ۚ ‫)َأفَ ُح ۡك َم ۡٱل َج ٰـ ِهلِیَّ ِة یَ ۡب ُغ‬
َ ‫ونَ َو َم ۡن َأ ۡح‬

“Apakah hukum jahiliyyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih baik
daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin.”

Yang berhak memberikan hukum-hukum tersebut untuk kita hanyalah Allah.

ِ ‫“ ِإ ِن ۡٱل ُح ۡك ُ'م ِإاَّل هَّلِل‬Tidaklah hukum kecuali untuk Allah.” [Surat Yusuf 40]

Berhukum dengan hukum Allah adalah kewajiban. Allah berfirman,

(‫وا‬ ۟ ‫س''لِّ ُم‬ َ َ‫س ِهۡ'م َح َر ࣰجا ِّم َّما ق‬


َ ُ‫ض ۡیتَ َوی‬ ۟ ‫فَاَل َو َربِّ َك اَل یُ ۡؤ ِمنُونَ َحت َّٰى یُ َح ِّك ُموكَ فِی َما ش ََج َر بَ ۡینَ ُهمۡ ثُ َّم اَل یَ ِجد‬
ِ ُ‫ُوا فِ ۤی َأنف‬
‫)ت َۡسلِی ࣰما‬

“Tidak, Demi Rabb-mu. Mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan


engkau sebagai hakim di dalam apa yang mereka perselisihkan. Kemudian
mereka tidak mendapatkan di dalam hati mereka rasa berat, dan mereka
menyerahkan diri dengan sebenar-benar penyerahan.” [Surat An-Nisa’ 65]

Allah bersumpah dengan dirinya sendiri bahwa mereka tidak beriman sampai
berhukum dengan hukum Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Dan di dalam
batinnya dia ridho dan tidak merasa berat.

Ini menunjukkan bahwa berhukum dengan hukum Beliau shallallāhu ‘alaihi wa


sallam dan ridho dengannya adalah sebuah kewajiban.

Apabila ada seseorang yang meyakini bahwa keputusan atau hukum selain
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam lebih baik daripada keputusan atau
hukum Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam, maka keyakinan tersebut telah
membatalkan keislamannya.

Orang munafik dahulu tidak mau berhukum kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi
wa sallam. Mereka mencari hukum selain Beliau dalam memutuskan perselisihan
mereka. Berhukum dengan selain hukum Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam
adalah diantara sifat orang-orang munafik.
Di dalam sebuah ayat Allah mengatakan, dalam Surat An-Nisa’ 60

(‫'وا بِ َم' ۤ'ا ُأن' ِز َل ِإلَ ۡی' َك َو َم' ۤ'ا ُأن' ِز َل ِمن قَ ۡبلِ''كَ یُ ِریدُونَ َأن یَت ََح' ا َك ُم ۤو ۟ا ِإلَى‬
۟ 'ُ‫'ر ِإلَى ٱلَّ ِذینَ یَ ۡز ُع ُم''ونَ َأنَّ ُهمۡ َءا َمن‬
َ 'َ‫َألَمۡ ت‬
‫ضلَ ٰـاَۢل بَ ِعی ࣰدا‬ ۟ ‫ت َوقَ ۡد ُأ ِم ُر ۤو ۟ا َأن یَ ۡكفُ ُر‬
ِ ُ‫وا بِ ِۖۦه َویُ ِری ُد ٱلش َّۡیطَ ٰـنُ َأن ی‬
َ ۡ‫ضلَّ ُهم‬ ِ ‫)ٱلطَّ ٰـ ُغو‬

“Tidaklah engkau Muhammad memperhatikan orang-orang yang mengaku


bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa
yang diturunkan sebelummu, tetapi mereka masih menginginkan berhukum
kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut
itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka dengan kesesatan yang
sejauh-jauhnya.”

Kemudian beliau mengatakan, ‫ُح ْك ِمه‬ ِ ‫ضلون ُح ْك َم الطَّواغي‬


‫ت على‬ ِّ َ‫كالذين يُف‬

“Seperti orang yang mengutamakan hukum thaghut lebih baik daripada hukum
Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam.”

Hukum thaghut adalah hukum-hukum yang dibuat oleh manusia. Kalau diyakini
itu sama dengan hukum Allah atau lebih baik daripada hukum Allah, maka
pelakunya keluar dari agama Islam. Tapi kalau dia berhukum dengan hukum
tersebut karena sebab dunia, seperti harta dan jabatan, namun di dalam hatinya
meyakini hukum Allah lebih baik, maka dia fasik, tidak keluar dari agama Islam.

Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata,

‫ َكفَ َر ِإج َماعًا‬،‫سو ُل ﷺ َولَ ْو َع ِم َل بِ ِه‬


ُ ‫ش ْيًئا ِم َّما َجا َء بِ ِه ال َّر‬ َ ‫' َمنْ َأ ْب َغ‬:‫س‬
َ ‫ض‬ َ
ُ ‫الخا ِم‬

‫وال َّدلِي ُل قَ ْولُهُ تَ َعالَى‬:


َ

‫َذلِ َك بَِأنَّ ُه ْم َك ِرهُوا َما َأ ْنزَ َل هللاُ فََأ ْحبَطَ َأ ْع َمالَ ُه ْم‬

Yang ke lima: “Barangsiapa yang membenci sesuatu diantara yang dibawa


Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam meskipun dia mengamalkannya, maka
dia telah kufur dengan ijma’. Dalilnya adalah firman Allah yang artinya ‘Yang
demikian karena mereka membenci apa yang diturunkan oleh Allah, maka Allah
membatalkan amalan-amalan mereka.’”

Ucapan beliau ‫ش ْيًئا‬


َ artinya ‘sesuatu’, tidak harus membenci semuanya.
‫سو ُل‬
ُ ‫ ِم َّما َجا َء بِ ِه ال َّر‬, diantara yang dibawa oleh Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam,
yaitu baik berupa Al Qur’an maupun Al Hadits, dan apa yang ada di dalam
keduanya berupa hukum-hukum maupun kabar-kabar.

ْ َ‫ َول‬, meskipun dia mengamalkannya. Menunjukkan bahwa seseorang


‫'''و َع ِم''' َل بِ''' ِه‬
meskipun dia mengamalkan, kalau dia membenci syari’at tersebut, maka akan
menjadi sebab keluarnya dia dari Islam.

Orang-orang munafik di zaman Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam


terkadang mereka berjihad, sholat lima waktu berjamaah di masjid, berinfak,
tetapi mereka membenci semuanya itu di dalam hati mereka. Secara umum
mereka membenci syari’at Islam.

Allah mengatakan, dalam Surat At-Tawbah 54

( ‫س'الَ ٰى َواَل‬َ ‫ٱلص 'لَ ٰوةَ ِإاَّل َوهُمۡ ُك‬


َّ َ‫س 'ولِ ِهۦ َواَل یَ' ۡ'أتُون‬ ۟ ‫َو َما َمنَ َع ُهمۡ َأن ت ُۡقبَ َل ِم ۡن ُهمۡ نَفَقَ ٰـتُ ُهمۡ ِإاَّل ۤ َأنَّ ُهمۡ َكفَ' ُر‬
ُ ‫وا بِٱهَّلل ِ َوبِ َر‬
َ‫)یُنفِقُونَ ِإاَّل َوهُمۡ َك ٰـ ِرهُون‬

“Dan tidaklah mencegah dari menerima shodaqoh-shodaqoh mereka (orang-


orang munafik) kecuali karena mereka kufur kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan
mereka tidak melakukan sholat kecuali dalam keadaan malas dan mereka tidak
berinfak/bershodaqoh kecuali dalam keadaan benci dengan shodaqoh tersebut.

Seorang muslim harus ridho Allah sebagai Rabb-nya dan rela Rasulullah
shallallāhu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabinya dan ridho Islam sebagai agamanya.

Seorang muslim mencintai seluruh apa yang datang dari Rasulullah shallallāhu
‘alaihi wa sallam dan tidak membencinya. Mengetahui bahwa petunjuk Beliau di
dalamnya ada kebaikan untuk dirinya di dunia dan di akhirat. Dia berusaha
memerangi segala bisikan syaithan yang menghalangi dia dari melakukan
petunjuk tersebut.

Dan dalil yang menunjukkan kekufuran orang yang membenci apa yang dibawa
oleh Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah firman Allah,

( ۡ‫ُوا َم ۤا َأنزَ َل ٱهَّلل ُ فََأ ۡحبَطَ َأ ۡع َم ٰـلَ ُهم‬


۟ ‫ض َّل َأ ۡع َم ٰـلَ ُهمۡ ۝ َذ لِكَ بَِأنَّ ُهمۡ َك ِره‬ ۟ ‫) َوٱلَّ ِذینَ َكفَ ُر‬
َ ‫وا فَت َۡع ࣰسا لَّ ُهمۡ َوَأ‬

[Surat Muhammad 8 – 9]
“Dan orang-orang kafir, maka kecelakaan bagi mereka dan Allah membatalkan
amalan mereka. Yang demikian, karena mereka membenci apa yang Allah
turunkan. Maka Allah pun menghapuskan seluruh amalan mereka.”

Ketika Allah membicarakan tentang orang-orang kafir, Allah sebutkan diantara


sebab kekufuran mereka adalah membenci apa yang Allah turunkan.

Dan yang dimaksud dengan ‘apa yang diturunkan oleh Allah’ di sini adalah Al
Qur’an. Dan ini mencakup semua yang terkandung di dalamnya. Termasuk
tentang Tauhid, Kerasulan, Hari Kebangkitan, dan lainnya.

Kekafiran mereka adalah penyebab batalnya amalan-amalan mereka. Yang


dimaksud dengan ‘amalan yang batal’ di sini adalah amalan yang mereka
harapkan manfaatnya di dunia, mereka mengharapkan amalan kebaikan
tersebut mendapat keridhoan dari Allah dan keridhoan berhala-berhala mereka
agar mereka mendapatkan kehidupan yang baik, mendapatkan rezeki yang
melimpah, keselamatan, kesehatan.

Dan yang dimaksud dengan ‘batalnya’ adalah tidak terwujud apa yang mereka
harapkan tersebut.

Diantara hal yang harus dipahami:

1. Kemaksiatan yang dilakukan oleh seseorang, bukan berarti dia benci dengan
apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Terkadang seseorang melakukan
sebuah kemaksiatan, melakukan hal yang diharamkan Allah, akan tetapi di
dalam hatinya dia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dia sebenarnya membenci
kemaksiatan tersebut. Namun hawa nafsu dan bisikan syaithan menjadikan dia
melakukan kemaksiatan tersebut.

Allah berfirman, ( ِ ‫س ُم بِیَ ۡو ِم ۡٱلقِیَ ٰـ َم ِة ۝ َواَل ۤ ُأ ۡق‬


ِ ‫س ُم بِٱلنَّ ۡف‬
‫س ٱللَّ َّوا َم ِة‬ ِ ‫)اَل ۤ ُأ ۡق‬

“Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan aku bersumpah demi jiwa yang selalu
mencela (dirinya sendiri). [Surat Al-Qiyamah 1 – 2]

Maksudnya adalah jiwa yang ketika dia melakukan kemaksiatan, dia mencela
dirinya sendiri. Ketika kita sendiri merasakan di dalam jiwa kita kebencian
dengan kemaksiatan meskipun terkadang kita melakukannya.
Dalam sebuah hadits dari Umar bin Khatab radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, ada
seorang laki-laki di zaman Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bernama Abdullah.
Gelarnya Himar (‫)ح َمار‬.
ِ Dahulu sering menghibur Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam dan Nabi dahulu mencambuk beliau dengan sebab minum minuman
keras.

Suatu saat laki-laki tersebut didatangkan dan diperintahkan untuk dicambuk


karena minum minuman keras. Kemudian ada seseorang yang berkata, “Ya Allah,
laknatlah dia. Betapa sering dia dibawa ke sini.” Maka Rasulullah shallallāhu
‘alaihi wa sallam mengatakan, “Janganlah kalian melaknat laki-laki ini. Demi
Allah, aku tidak mengetahui kecuali dia adalah orang yang mencintai Allah dan
Rasul-Nya.” [HR Bukhari dan Muslim].

Ini menunjukkan bahwa kemaksiatan tidak menunjukkan kebencian kepada


Allah dan Rasul-Nya.

2. Kita harus membedakan antara ‫ال ُك''رهُ اِإل عتِقَ''ا ِدي‬, kebencian yang merupakan
keyakinan. Dia membenci syari’at Allah baik syari’at tersebut berat atau tidak.
Dan inilah yang merupakan kekufuran.

Dan ‫يعي‬ِ ِ‫ ال ُك''رهُ الطَّب‬kebencian yang merupakan tabiat manusia, seperti kebencian
karena beratnya syari’at tersebut bagi dirinya, disertai keyakinan bahwa syari’at
Allah itulah yang benar. Di dalamnya ada kebaikan dan harus diikuti, seperti
berat bagi seseorang berperang karena harus menahan sakit ketika terluka,
berpisah dengan keluarga, dll. Seperti beratnya seseorang ketika berwudhu di
waktu yang dingin. Maka kebencian seperti ini adalah tabiat manusia, bukan
merupakan kekufuran.

Allah berfirman, (‫َس' ٰۤى َأن‬ ۟ ‫س ٰۤى َأن ت َۡك َره‬


َ ‫ُوا ش َۡی ࣰٔـا َوه َُو َخ ۡی ࣱر لَّ ُكمۡۖ َوع‬ َ ‫ُكتِ َب َعلَ ۡی ُك ُم ۡٱلقِتَا ُل َوه َُو ُك ۡر ࣱه لَّ ُكمۡۖ َو َع‬
َ‫ش ࣱّر لَّ ُكمۡۚ َوٱهَّلل ُ یَ ۡعلَ ُم َوَأنتُمۡ اَل ت َۡعلَ ُمون‬
َ ‫وا ش َۡی ࣰٔـا َوه َُو‬۟ ُّ‫)تُ ِحب‬

“Telah diwajibkan atas kalian berperang, sedangkan itu adalah sesuatu yang
kalian benci. Dan mungkin kalian membenci sesuatu sedangkan itu lebih baik
bagi kalian. Dan terkadang kalian mencintai sesuatu tapi itu jelek bagi kalian.
Dan Allah, Dialah Yang Mengetahui dan kalian tidak mengetahui.” [Surat Al-
Baqarah 216]

Dan Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ضو ِء َعلَى‬ ُ ‫غ ا ْل ُو‬ ُ ‫سبَا‬ْ ‫سو َل هَّللا ِ قَا َل ِإ‬


ُ ‫ت قَالُوا بَلَى يَا َر‬ ِ ‫َأاَل َأ ُدلُّ ُك ْم َعلَى َما يَ ْم ُحو هَّللا ُ بِ ِه ا ْل َخطَايَا َويَ ْرفَ ُع بِ ِه ال َّد َر َجا‬
ُ‫صاَل ِة فَ َذلِ ُك ْم ال ِّربَاط‬
َّ ‫صاَل ِة بَ ْع َد ال‬َّ ‫اج ِد َوا ْنتِظَا ُر ال‬
ِ ‫س‬َ ‫ا ْل َم َكا ِر ِه َو َك ْث َرةُ ا ْل ُخطَا ِإلَى ا ْل َم‬
“Maukah aku tunjukkan kepada kalian, apa yang dengannya Allah menghapus
dosa kalian dan mengangkat derajat kalian? Mereka berkata, Iya wahai
Rasulullah. Beliau berkata, ‘Menyempurnakan wudhu ketika dalam keadaan yang
dibenci, memperbanyak langkah ke masjid, menunggu sholat setelah melakukan
sholat, maka itulah Ar Ribath, menjaga yang sebenarnya.” [HR Muslim]

Beliau berkata,

‫ َكفَ َر‬،‫ َأ ْو ِعقَابِ ِه‬،‫ َأ ْو ثَ َوابِ ِه‬،ِ‫ستَ ْهزَ َأ بِش َْي ٍء ِمنْ ِد ْي ِن هللا‬
ْ ‫ َم ِن ا‬:‫س‬
ُ ‫سا ِد‬
َّ ‫ال‬

‫وال َّدلِي ُل قَ ْولُهُ تَ َعالَى‬:


َ

‫ستَ ْه ِزُؤ ونَ الَ تَ ْعتَ ِذ ُرو ْا قَ ْد َكفَ ْرتُم بَ ْع َد ِإي َمانِ ُك ْم‬ ُ ‫قُ ْل َأبِاهللِ َوآيَاتِ ِه َو َر‬
ْ َ‫سولِ ِه ُكنتُ ْم ت‬

Yang ke enam: “Barangsiapa yang mengejek sesuatu dari agama Allah atau
pahala-Nya atau siksaan-Nya, sungguh dia telah kufur. Dalilnya firman Allah yang
artinya: Katakanlah, apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, Rasul-Rasul-Nya, kalian
mengejek? Janganlah minta udzur, sungguh kalian telah kufur setelah keimanan
kalian.”

ْ ‫ستَ ْهزَ َأ بِش‬


Beliau mengatakan, ِ‫َي ٍء ِمنْ ِد ْي ِن هللا‬ ْ ‫ َم ِن ا‬،

Barangsiapa yang mengejek sesuatu yang berkaitan dengan agama Allah, seperti
Allah Azza wa Jalla yang mensyari’atkan agama Islam, Rasulullah shallallāhu
‘alaihi wa sallam yang membawa agama Islam, ayat-ayat Allah yang merupakan
sumber agama Islam, perintah-perintah dan larangan-larangan, para sahabat
yang mereka adalah orang pertama yang menerima agama Islam dari Rasulullah
shallallāhu ‘alaihi wa sallam, para ulama yang mereka adalah pewaris para Nabi,
dll.

Beliau berkata setelahnya, ‫ َأ ْو ِعقَابِ ِه‬،‫ َأ ْو ثَ َوابِ ِه‬atau mengejek pahala Allah atau siksaan-
Nya, seperti mengejek surga dan kenikmatan di dalamnya, dan mengolok-olok
neraka dan berbagai siksaan di dalamnya.

Seorang muslim apabila di dalam hatinya ada keimanan, maka keimanan


tersebut akan mendorong dia untuk mengagungkan apa yang berkaitan dengan
agamanya. Dia akan mengagungkan Allah, Dzat yang menurunkan agama Islam.

Allah berkata, (‫) َو َربَّ َك فَ َكبِّ ۡر‬


“Dan Rabb-mu hendaklah engkau agungkan.” [Surat Al-Muddaththir 3]

Dan Allah berfirman, َ ۢ ِ‫َو َكبِّ ۡرهُ ت َۡكب‬


‫یرا‬

“Dan hendaklah engkau mengagungkan Allah dengan sebenar-benar


pengagungan.” [Surat Al-Isra’ 111]

Mengagungkan Allah diantaranya dengan hanya menyembah kepada Allah. Dan


juga menyifati Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan sesuai dengan keagungan-
Nya, dll.

Barangsiapa yang menyekutukan Allah, sungguh dia telah merendahkan Allah,


karena dia menyamakan makhluk yang lemah dengan Al Khaliq, Yang Maha
Mampu untuk melakukan segala sesuatu.

Barangsiapa yang menyifati Allah dengan kekurangan, sungguh dia telah


merendahkan Allah. Seperti orang-orang yang meyakini bahwa Allah memiliki
anak. Sebagaimana keyakinan orang-orang musyrikin.

ۡ َ‫ی‬
Allah berfirman, ( َ‫شتَهُون‬ ‫س ۡب َح ٰـنَهۥُ َولَ ُهم َّما‬ ِ ‫) َویَ ۡج َعلُونَ هَّلِل ِ ۡٱلبَنَ ٰـ‬
ُ ‫ت‬

“Dan mereka menjadikan bagi Allah, anak-anak wanita. Maha Suci Allah. Dan
bagi mereka apa yang mereka senangi (anak laki-laki).” [Surat An-Nahl 57]

Orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka juga mengatakan bahwasanya Allah


memiliki anak.

Allah berfirman, ِ ۖ ‫یح ۡٱبنُ ٱهَّلل‬


ُ ‫س‬ِ ‫ص ٰـ َرى ۡٱل َم‬ ِ َ‫ت ۡٱلیَ ُهو ُد ُع َز ۡی ٌر ۡٱبنُ ٱهَّلل ِ َوقَال‬
َ َّ‫ت ٱلن‬ ِ َ‫َوقَال‬

“Orang-orang Yahudi mengatakan ‘Uzair adalah anak Allah dan orang-orang


Nasrani mengatakan Isa Al Masih adalah anak Allah.” [Surat At-Tawbah 30]

Diantara contoh merendahkan Allah, apa yang diucapkan orang-orang Yahudi


ketika mereka menyifati Allah dengan kefakiran.

Allah berfirman, ‫س ِم َع ٱهَّلل ُ قَ ۡو َل ٱلَّ ِذینَ قَالُ ۤو ۟ا ِإنَّ ٱهَّلل َ فَقِی ࣱر َونَ ۡحنُ َأ ۡغنِیَ ۤا ۘ ُء‬
َ ‫لَّقَ ۡد‬
“Allah telah mendengar ucapan orang-orang (Yahudi) yang mengatakan,
sesungguhnya Allah adalah fakir dan kami adalah orang-orang kaya.” [Surat Ali
Imran 181]

Mereka menyifati Allah. Mereka menyifati bahwa tangan Allah terbelenggu.

Allah berfirman, ‫ق‬ ِ ‫سوطَت‬


ُ ِ‫َان یُنف‬ ُ ‫وا بَلۡ یَدَاهُ َم ۡب‬ ۟ ُ‫ت ۡٱلیَ ُهو ُد یَ ُد ٱهَّلل ِ َم ۡغلُولَ ۚةٌ ُغلَّ ۡت َأ ۡی ِدی ِهمۡ َولُ ِعن‬
۟ ُ‫وا بِ َما قَال‬ ِ َ‫َوقَال‬
‫َك ۡیفَ یَش َۤا ۚ ُء‬

“Dan berkata orang-orang Yahudi, tangan Allah terbelenggu. Tangan merekalah


yang terbelenggu. Dan mereka dilaknat dengan sebab apa yang mereka ucapkan.
Bahkan kedua tangan Allah terbentang. Dia berinfak sesuai dengan cara yang dia
kehendaki. [Surat Al-Ma’idah 64]

Seseorang yang di dalam hatinya ada keimanan, dia akan menghormati ayat-ayat
Allah.

Ayat-ayat Allah ada dua:

1. Ayat-ayat kauniyah, yaitu tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di alam


semesta ini.

2. Ayat-ayat sam’iyyah. yaitu tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di dalam


kitab-Nya, seperti yang ada di dalam Al Qur’an.

Kewajiban seorang muslim adalah menghormati ayat-ayat Allah dan tidak


menghinakannya.

Allah berfirman, ِ ‫َواَل تَت َِّخ ُذ ۤو ۟ا َءایَ ٰـ‬


‫ت ٱهَّلل ِ ُه ُز ࣰو ۚا‬

“Dan janganlah menjadikan ayat-ayat Allah sebagai senda gurau.” [Surat Al-
Baqarah 231]

Kewajiban seorang muslim adalah menghormati Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa


sallam.

Allah berfirman,

َ‫ور ٱلَّ ِذ ۤی ُأن ِز َل َم َع ۤۥهُ ُأ ۟ولَ ٰۤـ ِٕىكَ ُه ُم ۡٱل ُم ۡفلِ ُحون‬ '۟ ‫ص ُروهُ َوٱتَّبَ ُع‬
َ ُّ‫وا ٱلن‬ ۟ ُ‫فَٱلَّ ِذینَ َءا َمن‬
َ َ‫وا بِ ِۦه َو َع َّز ُروهُ َون‬
“Maka orang-orang yang beriman dengan Beliau dan mereka menghormati
Beliau dan menolong Beliau dan mengikuti cahaya yang diturunkan bersama
Beliau, maka merekalah orang-orang yang beruntung. [Surat Al-A’raf 157]

Dan diantara bentuk penghormatan kita kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa


sallam adalah menghormati istri-istri Beliau yang mereka merupakan ibu-ibu kita
dan menghormati para sahabat Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Dalil bahwasanya orang yang mengejek agama Allah dan apa yang berkaitan
dengannya menjadi kafir adalah firman Allah,

‫ستَ ْه ِزُؤ ونَ الَ تَ ْعتَ ِذ ُرو ْا قَ ْد َكفَ ْرتُم بَ ْع َد ِإي َمانِ ُك ْم‬ ُ ‫قُ ْل َأبِاهللِ َوآيَاتِ ِه َو َر‬
ْ َ‫سولِ ِه ُكنتُ ْم ت‬

“Katakanlah wahai Muhammad, apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-


Nya, kalian mengejek-ejek? Janganlah kalian minta udzur. Sungguh kalian telah
kufur setelah keimanan kalian.” [At Taubah 65-66]

Pada tahun ke-9 ketika Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat
dalam perjalanan dalam rangka perang Tabuk, ada seseorang berkata di dalam
sebuah majelis yang dihadiri oleh yang lain,

‫ َوال َأ ْجبَنَ ِع ْن َد اللِّقَا ِء‬، ً‫سنَة‬


ِ ‫ َوال َأ ْك َذ َب َأ ْل‬، ‫َما َرَأ ْيتُ ِم ْث َل قُ َّراِئنَا هَُؤال ِء ال َأ ْر َغ َب بُطُونًا‬

“Aku tidak melihat orang-orang yang lebih besar perutnya (lebih banyak
makannya), lebih dusta ucapannya, dan lebih pengecut ketika berperang,
daripada mereka.”

Dan dia memaksudkan mengejek Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan


juga para sahabatnya.

Auf bin Malik radhiyallāhu ‘anhu salah seorang sahabat Rasulullah shallallāhu
‘alaihi wa sallam ketika mendengar ucapan ini, beliau mengingkari, seraya
berkata,

ُ ‫ق ُأَلخبِ َرنَّ َر‬


‫سو َل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬ ٌ ِ‫ َولَ ِكنَّ َك ُمنَاف‬، َ‫َك َذبت‬

“Engkau telah berdusta. Akan tetapi engkau adalah seorang munafik, sungguh
aku akan mengabarkan kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.”
Kemudian beliau segera pergi menuju kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam dan ternyata wahyu telah mendahului. Allah telah mengabarkan kepada
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam tentang ucapan laki-laki tersebut. Maka
orang munafik tadi datang dan meminta maaf, meminta udzur kepada Beliau
shallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Allah berkata, ُ ۚ ‫وض َونَ ۡل َع‬


‫ب‬ ُ ‫سَأ ۡلتَ ُهمۡ لَیَقُولُنَّ ِإنَّ َما ُكنَّا نَ ُخ‬
َ ‫َولَ ِٕىن‬

“Dan kalau engkau bertanya kepada mereka, mereka berkata, sesungguhnya


kami hanya berbincang dan bermain-main saja.” [Surat At-Tawbah 65]

Maka Allah menyuruh Nabi-Nya untuk menjawab,

‫ستَ ْه ِزُؤ ونَ الَ تَ ْعتَ ِذ ُرو ْا قَ ْد َكفَ ْرتُم بَ ْع َد ِإي َمانِ ُك ْم‬ ُ ‫قُ ْل َأبِاهللِ َوآيَاتِ ِه َو َر‬
ْ َ‫سولِ ِه ُكنتُ ْم ت‬

“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan juga Rasul-Nya, kalian mengejek?


Janganlah kalian minta udzur. Sungguh kalian telah kufur setelah keimanan
kalian.”

Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengulang-ulang ucapan tersebut dan tidak


menambahnya.

“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya, kalian mengejek? Janganlah


kalian minta udzur. Sungguh kalian telah kufur setelah keimanan kalian.”

Ini menunjukkan kepada kita tentang bahayanya mengejek-ejek segala sesuatu


yang berkaitan dengan agama Allah.

Firman Allah, ‫قَ ْد َكفَ ْرتُم بَ ْع َد ِإي َمانِ ُك ْم‬

“Sungguh kalian telah kufur setelah keimanan kalian.” menunjukkan bahwa


mengejek Allah, ayat-ayat-Nya, serta Rasul-Nya, adalah kekufuran.

Allah mengatakan, ‫( َكفَ ْرتُم‬kalian telah kufur).

Padahal saat itu yang mengucapkan ucapan ejekan hanyalah satu orang. Yang
demikian karena orang-orang yang mendengar saat itu ridho terhadap ejekan
tersebut, meskipun mereka tidak mengucapkan.
Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

۟ ‫ت ٱهَّلل ِ یُ ۡكفَ ' ُر بِ َه''ا َویُ ۡس 'ت َۡهزَ ُأ بِ َه''ا فَاَل ت َۡق ُع 'د‬
(‫ُوا َم َع ُهمۡ َحت َّٰى‬ ِ ‫س ' ِم ۡعتُمۡ َءایَ ٰـ‬ ِ ‫َوقَ' ۡ'د نَ ' َّز َل َعلَ ۡی ُكمۡ فِی ۡٱل ِكت َٰـ‬
َ ‫ب َأ ۡن ِإ َذا‬
‫ث َغ ۡی ِر ِۤۦه ِإنَّ ُكۡ'م ِإ ࣰذا ِّم ۡثلُ ُهمۡۗ ِإنَّ ٱهَّلل َ َجا ِم ُع ۡٱل ُمنَ ٰـفِقِینَ َو ۡٱل َك ٰـفِ ِرینَ ِفی َج َهنَّ َم َج ِمی ًعا‬
ٍ ‫وا ِفی َح ِدی‬ ۟ ‫ض‬ ُ ‫)یَ ُخو‬

“Dan sungguh telah Allah turunkan kepada kalian di dalam Al Qur’an, apabila
kalian mendengar ayat-ayat Allah dikufuri dan diejek, maka janganlah kalian
duduk bersama mereka sampai mereka berbicara tentang pembicaraan lain.
Sesungguhnya kalau kalian demikian, maka kalian semisal dengan mereka.
Sesungguhnya Allah mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir
di dalam Jahannam, semuanya.” [Surat An-Nisa’ 140]

Apabila mendengar di sana ada ayat Allah dihina atau Rasulullah shallallāhu
‘alaihi wa sallam dihina, atau para sahabat dihina, maka janganlah kalian duduk
bersama mereka, sampai mereka merubah tema pembicaraan mereka.

Apabila kalian duduk bersama mereka, santai bersama mereka, tidak tergerak
hati kalian ketika mendengar Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya dihina, niscaya
kalian semisal dengan mereka. Dan perlu diketahui bahwa mengejek terkadang
dengan lisan, terkadang dengan tulisan, bahkan bisa dengan isyarat, seperti
isyarat mata atau tangan.

Beliau berkata,

‫سابِ ُع‬
َّ ‫ال‬:

ِ ‫ص ْرفُ َوال َع ْطفُ فَ َمنْ فَ َعلَهُ َأ ْو َر‬


‫ض َي بِ ِه َكفَ َر‬ َّ ‫س ْح ُر َو ِم ْنهُ ال‬
ِّ ‫ال‬

‫َوال َّدلِي ُل قَ ْولُهُ تَ َعالَى َو َما يُ َعلِّ َما ِ'ن ِمنْ َأ َح ٍد َحتَّى يَقُوالَ ِإنَّ َما نَ ْحنُ فِ ْتنَةٌ فَالَ تَ ْكفُ ْر‬

“Yang ke tujuh adalah sihir. Dan diantara macamnya, Ash Shorfu dan Al ‘Athfu.
Barangsiapa yang mengerjakannya atau ridho dengan sihir, maka dia telah kufur,
keluar dari Islam. Dalilnya adalah firman Allah yang artinya ‘Dan tidaklah
keduanya mengajarkan sihir kepada seseorang sampai keduanya berkata
sesungguhnya kami adalah ujian, maka janganlah engkau kufur.’ [Al Baqarah
102]”

‫س ْح ُر‬
ِّ ‫ ال‬di dalam Bahasa Arab adalah segala hal yang samar sebabnya.
‫الس'' َح ُر‬
َّ artinya di akhir malam. Dinamakan demikian karena waktu tersebut
adalah waktu yang samar.

Sihir yang dilarang ada dua jenis:

1. Sihir hakiki

Yaitu sihir yang benar-benar, maksudnya sihir yang memudhoroti orang lain,
membuat sakit, membunuh, sihir yang menjadikan kecintaan menjadi sebuah
kebencian, dan sebaliknya.

2. Sihir takhyili, yaitu sihir yang hanya sekedar hayalan, menjadikan


penglihatan orang lain melihat sesuatu yang tidak sebenarnya, seperti yang
terjadi di zaman Nabi Musa ‘alaihissalam ketika Fir’aun mengumpulkan tukang
sihir-tukang sihir di Mesir untuk melawan Nabi Musa ‘alaihissalam. Mereka
menggunakan sihir takhyili, menyihir mata-mata manusia sehingga melihat tali-
tali yang mereka lempar seakan-akan itu adalah ular.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

(‫س‬ 'ۖ۟ 'ُ‫س ٰۤى ِإ َّم ۤا َأن ت ُۡلقِ َی وَِإ َّم ۤا َأن نَّ ُك''ونَ نَ ۡحنُ ۡٱل ُم ۡلقِینَ ۝ قَ''ا َل َأ ۡلق‬
َ ‫'وا فَلَ َّم ۤا َأ ۡلقَ' ۡ'و ۟ا‬
ِ ‫س' َح ُر ۤو ۟ا َأ ۡعیُنَ ٱلنَّا‬ ۟ ُ‫قَ''ال‬
َ ‫وا یَ ٰـ ُمو‬
ِ ِ‫ٱست َۡر َهبُوهُمۡ َو َج ۤا ُءو ب‬
‫س ۡح ٍر ع َِظی ࣲم‬ ۡ ‫) َو‬

“Mereka berkata, wahai Musa silakan engkau yang melempar tongkatmu dahulu
atau kami yang melempar? Beliau berkata, silakan kalian melempar tali-tali
kalian. Ketika mereka melempar tali-tali tersebut, mereka menyihir mata-mata
manusia dan manusia menjadi takut, yaitu ketika mereka melihat dengan mata
mereka, bahwa tali-tali tersebut seakan-akan berubah menjadi ular. Dan mereka
pun datang dengan sihir yang besar.” [Surat Al-A’raf 115 – 116]

Ini berbeda dengan mukjizat Nabi Musa ‘alaihissalam dimana Allah benar-benar
menjadikan tongkat Nabi Musa, ular yang hidup yang bergerak yang memakan
tali-tali yang dilempar.

Kedua jenis sihir ini diharamkan di dalam agama Islam dan sihir memiliki
macam-macam yang banyak, diantaranya kata beliau adalah As Shorfu dan Al
‘Athfu.
Ash Shorfu artinya adalah memalingkan. Maksudnya memalingkan rasa cinta
menjadi rasa benci. Misalnya seorang suami yang mencintai istrinya berubah
menjadi kebencian dengan sebab sihir ini.

Al ‘Athfu artinya adalah cinta. Sihir ini menjadikan seseorang yang awalnya
membenci akhirnya menjadi mencintai.

Beliau mengatakan, ‫ي بِ ِه َكفَ َر‬ ِ ‫فَ َمنْ فَ َعلَهُ َأ ْو َر‬


َ ‫ض‬

“Barangsiapa yang mengamalkan sihir ini atau ridho dengan sihir ini, maka dia
telah kufur.”

Jika seseorang bekerjasama dengan syaithan untuk menyihir orang lain atau dia
ridho dengan sihir tersebut meskipun dia tidak melakukannya, maka dia telah
kufur. Karena ridho dengan sihir adalah ridho dengan kekufuran. Dalil yang
menunjukkan bahwa sihir adalah kufur dan bisa mengeluarkan seseorang dari
Islam adalah firman Allah,

‫ان ِمنْ َأ َح ٍد َحتَّى يَقُوالَ ِإنَّ َما نَ ْحنُ فِ ْتنَةٌ فَالَ تَ ْكفُ ْر‬
ِ ‫َو َما يُ َعلِّ َم‬

“Dan tidaklah keduanya (Harut dan Marut) mengajarkan kepada orang lain sihir,
sampai keduanya berkata sesungguhnya kami adalah fitnah, maka janganlah
engkau kufur.” [Al Baqarah 102]

Dan maksud janganlah engkau kufur yaitu janganlah engkau mempelajari sihir.

Anda mungkin juga menyukai