SULAIMAN AT TAMIMI
HSI AbdullahRoy
Sebelum kita memulai mempelajari kitab, akan memperkenalkan pengarang kitab ini.
Beliau adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Ibn Sulaiman at Tamimi yang lahir pada
tahun 1115 H, disebuah daerah di jazirah Arab yaitu di Al Uyainah & beliau lahir ditengah-
tengah keluarga yang sangat memperhatikan tentang ilmu Agama & beliau menghafal Al-
Qur’an dan memulai menghafal Al-Qur’an sejak kecil sehingga beliau menyelesaikan
menghafal Al-Qur’an sebelum berumur 10 tahun.
Kemudian memulai menuntut ilmu agama mempelajari tafsir, mempelajari fiqh & Diantara
gurunya adalah bapak beliau sendiri Syaikh Abdul Wahab Ibn Sulaiman kemudian setelah
itu beliau rohimahullôh mempelajari ilmu Agama dari beberapa guru yang lain & melakukan
rihlah ilmiah, melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu pergi ke kota Mekkah, ke kota
Madinah, pergi ke Baghdad dan juga kota- kota lain dengan bertujuan untuk menuntut ilmu
agama.
Beliau belajar di kota Madinah dan menuntut ilmu dari seorang syaikh al Muhadits yang
terkenal yaitu syaikh Muhammad Hayah As Sindy dan hampir beliau melakukan perjalanan
ke Syam, akan tetapi karena satu sebab akhirnya beliau tidak bisa pergi kesana & beliau
menghabiskan waktunya untuk mempelajari ilmu agama dan juga mengajarkan kepada
orang lain &telah mengarang kitab² yang banyak yang bermanfaat bagi kaum muslimin,
diantaranya adalah:
• Kitabut Tauhid
• Kasyfu asy Syubhaat
• Ushulul Sithah
• Al Ushulul tsalasah
• Mukhtashor Zaadul maad
& diantaranya adalah kitab yang sangat ringkas yang insyaallah akan kita pelajari yang
dinamakan *An Nawaqidhul Islam* & kitab ini hanya dua halaman tetapi mengandung
faedah faedah yang besar yang hendaknya dipelajari oleh seorang muslim.
Beliau meninggal dunia pada tahun 1206 H, umur beliau saat itu sekitar 91 tahun. Setelah
menghabiskan waktunya & hidupnya didalam mencari ilmu agama & juga mengajarkan
kepada orang lain.
Ini Adalah biografi singkat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Ibn Sulaiman at tamimi
rohimahullôh. Semoga Allah merahmati kita & juga beliau rohimahullôh.
Kemudian setelah itu tentang kitab beliau yaitu An Nawaqidhul Islam.
Nawaqidh adalah jamak dari naqidhun & dalam bahasa Arab adalah perusak atau pembatal
َو اَل َتُكوُنوا َك اَّلِتي َنَقَض ْت َغ ْز َلَها ِم ْن َبْع ِد ُقَّو ٍة َأْن َك اًثا
“Janganlah kalian seperti seorang wanita yang merusak pintalannya (yang mencerai
beraikan) pintalannya setelah dia kuat ”[Surat An-Nahl 92]
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman – َنَقَض ْت َغ ْز َلَها- (jangan kalian seperti seorang wanita
yang merusak & mencerai beraikan pintalannya Memintal kemudian merusaknya)
َنَقَض ْت
Artinya merusak atau mencerai beraikan
Menceritakan tentang sifat orang orang yang merusak perjanjian mereka dengan Allāh.
Berjanji kepada Allāh dengan sebuah janji kemudian membatalkannya & merusak nya.
[Surat Al-Baqarah 27]Allāh mengatakan :
” orang² yang mereka – – ينـقضـونmerusak & membatalkan perjanjian mereka dengan Allāh..
نـقض – ينـقض
Artinya merusak Inilah makna Nawaqidh adalah pembatal – pembatal / perusak – perusak.
االْس ِتْسالُم ِهلل ِبالَّتْو ِح يِد َو االْن ِقَياُد َلُه ِبالَّطاَع ِة َو اْل َبَر اَء ُة ِم َن الِّش ْر ِك َو َأْه ِلِه
“Menyerahkan diri kepada Allah Ta’ala dengan tauhid & menyerahkan dengan ketaatan &
berlepas diri dari kesyirikan & juga para pelaku syirik ”
Inilah yang dinamakan Al Islam.
Al Islam dari kata aslama yuslimu
Artinya didalam bahasa Arab adalah menyerahkan diri. Aslam Ali fulan adalah menyerahkan
diri kepada si fulan.
Kenapa islam atau agama islam dinamakan dengan islam, karena orang yang masuk ke
dalam agama islam & mengaku bahwasanya dirinya adalah seorang yang memeluk agama
islam dia telah menyerahkan dirinya hanya kepada Allāh, menyerahkan dirinya dan juga
ibadahnya kepada Allāh, oleh karena itu dinamakan dengan Islam.
Seorang Nashrani yang dahulunya dia menyembah kepada Allāh yang mereka namakan
dengan Tuhan bapa & menyembah Nabi Isa yang mereka namakan Tuhan anak &
menyembah kepada Maryam ketika dia masuk Islam dia harus menyerahkan ibadahnya
hanya kepada Allāh. Meninggalkan peribadatan kepada Nabi Isa alaihi salam, meninggalkan
peribadatan kepada ibunya Maryam & hanya menyerahkan ibadah nya kepada Allāh maka
dia dinamakan sebagai seorang Muslim,
kenapa?
Karena dia menyerahkan dirinya & juga ibadah nya hanya kepada Allāh Subhānahu wa
Ta’āla.
Oleh karena itu yang dinamakan islam adalah :
Yaitu meng Esa kan Allāh dengan ibadah & Ini adalah inti ajaran Islam
Sebagaimana dahulu Nabi Ibrahim alaihi salam beliau & juga orang² yang beriman bersama
beliau berkata kepada kaum nya
ِإَّنا ُبَر آُء ِم ْن ُكْم َو ِم َّما َتْعُبُدوَن ِم ْن ُدوِن ِهللا َك َفْر َنا ِبُكْم َو َبَدا َبْي َنَنا َو َبْي َنُكُم اْل َعَداَو ُة
َو اْل َبْغ َض اُء َأَبدًا َح َّتى ُتْؤ ِم ُنوا ِباِهلل َو ْح َدُه
Mereka berkata kepada kaumnya “Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada kalian (wahai
orang orang musyrikin)
َو َبَدا َبْي َنَنا َو َبْي َنُكُم اْل َعَداَو ُة َو اْل َبْغ َض اُء َأَبدًا َح َّتى ُتْؤ ِم ُنوا ِباِهلل َو ْح َدُه
Dan akan terus ada permusuhan antara kami dengan kalian selama lamanya
َح َّتى ُتْؤ ِم ُنوا ِباِهلل َو ْح َدُه
Inilah yang dinamakan dengan – َو اْل َبَر اَء ُة ِمَن الِّش ْر ِك َو َأْه ِلِه.
Seorang Muslim menyembah kepada Allāh semata & melaksanakan perintah Allāh menjauhi
larangan Allāh & dia harus berlepas diri dari apa yang dinamakan kesyirikan & juga orang²
yang melakukan kesyirikan tersebut…
Orang yang hanya mengetahui kebaikan tetapi tidak mengetahui kejelekan, dikhawatirkan
akan terjerumus ke dalam kejelekan tersebut, disadari atau tidak disadari.
Apalagi kejelekan tersebut adalah kekufuran yang barangsiapa meninggal di atas kekufuran,
maka kesengsaraan selamanya yang akan dia rasakan.
Hudzaifah Ibnu Yaman, seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
وُكنُت أسَأُله عن الَّش ِر َمَخ اَفَة َأْن ُيْد ِر َك ِني، كان أصحاُب الَّنبِّي صَّلى ُهللا عليه وسَّلَم َيسَأُلوَنه عن الَخ يِر
“Dahulu, para sahabat Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, mereka bertanya kepada
Beliau tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada Beliau tentang kejelekan, karena
aku takut terjerumus ke dalam kejelekan tersebut.” [Muttafaqun’ Alaihi]
Hal ini dilakukan oleh para sahabat Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhu. Mereka mengetahui
kebenaran dan juga berusaha untuk mengetahui kesalahan. Mempelajari Al Haq dan juga
mempelajari jenis-jenis kebathilan. Mengetahui kebenaran tersebut supaya bisa diamalkan
dan mengetahui kebathilan (kesalahan) supaya bisa terhindar.
“Aku mengetahui kejelekan bukan untuk mengamalkan kejelekan tersebut, akan tetapi
supaya terhindar dari kejelekan tersebut. Dan barangsiapa diantara manusia yang tidak
mengetahui suatu kejelekan, maka dikhawatirkan dia akan terjerumus ke dalam kejelekan
tersebut.”
Salah satu penyebab utama seseorang terjatuh di dalam Nawaqidul Islam adalah karena
tidak tahu, tidak belajar, dan tidak berusaha mempelajarinya.
والجهل داء قاتل وشفاؤه أمران في التركيب متفقان نص من القرآن أو من سنة وطبيب ذاك العالم الرباني
“Kebodohan adalah penyakit yang mematikan dan obatnya adalah dua hal yang digabung
menjadi satu, yaitu nash dari Al Qur’an atau dari As Sunnah dan dokternya ada seorang
‘alim robbani.”
Oleh karena itu para ulama di dalam kitab-kitab mereka (kitab akidah atau kitab fiqih)
menyebutkan tentang bab Ar Riddah (kemurtadan). Yang dibahas adalah perkara-perkara
yang bisa menjadikan seseorang murtad (keluar dari agama Islam).
Para ulama membuat bab ini tujuannya adalah supaya kita tahu pembatal-pembatal
keislaman dan supaya kita waspada, jangan sampai kita dan orang-orang yang kita cintai,
serta kaum muslimin terjatuh ke dalam apa yang dinamakan dengan Nawaqidul Islam. Yang
apabila dia meninggal dalam keadaan demikian, maka batal seluruh amalannya dan dia
kekal di dalam neraka bersama orang-orang yang kafir.
Allah mengatakan,
َو َمن َیۡر َتِدۡد ِم نُك ۡم َع ن ِد یِنِهۦ َفَیُم ۡت َو ُهَو َك اِف ࣱر َفُأ۟و َلٰۤـ ِٕىَك َح ِبَطۡت َأۡع َم ٰـ ُلُهۡم ِفی ٱلُّدۡن َیا َو ٱۡل َٔـاِخَر ِۖة َو ُأ۟و َلٰۤـ ِٕىَك َأۡص َح ٰـ ُب ٱلَّناِۖر ُهۡم ِفیَها َخ ٰـ ِلُدوَن
“Dan barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya, kemudian dia meninggal
dunia dan dia dalam keadaan kafir, maka merekalah orang-orang yang batal amalannya di
dunia maupun di akhirat, dan merekalah penduduk neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Tentunya di dalam memahami Nawaqidul Islam, seseorang harus kembali kepada Al Qur’an,
hadits-hadits Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabat
Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhum dan melihat kembali ucapan-ucapan para ulama di dalam
masalah Nawaqidul Islam. Karena menentukan sebuah ucapan, keyakinan, atau perbuatan,
apakah dia mengeluarkan seseorang dari Islam atau tidak, ini adalah hukum syar’i, harus
kembali kepada dalil.
Tidak boleh seseorang menghukumi sebuah amalan atau sebuah ucapan atau sebuah
keyakinan, bahwa ini adalah kekufuran, mengeluarkan pelakunya dari Islam, kecuali di sana
ada dalil yang jelas di dalam Al Qur’an atau di dalam hadits. Jangan sampai seseorang
berdusta atas nama Allah.
Allah berkata,
( )َو اَل َتُقوُلو۟ا ِلَما َتِص ُف َأۡل ِس َنُتُك ُم ٱۡل َك ِذَب َهٰـ َذا َح َلٰـ ࣱل َو َهٰـ َذا َح َر ا ࣱم ِّلَتۡف َتُر و۟ا َع َلى ٱلَّلِه ٱۡل َك ِذ َۚب ِإَّن ٱَّلِذیَن َیۡف َتُر وَن َع َلى ٱلَّلِه ٱۡل َك ِذَب اَل ُیۡف ِلُح وَن
[Surat An-Nahl 116]
“Janganlah kalian mengatakan dengan lisan-lisan kalian, ini adalah halal, ini adalah haram,
untuk berdusta atas nama Allah. Orang-orang yang berdusta atas nama Allah, maka dia
tidak akan beruntung.”
Jangan sampai seseorang mengatakan, ini adalah kufur, padahal Allah dan Rasul-Nya tidak
mengatakan demikian. Atau sebaliknya, mengatakan ini tidak kufur padahal Allah dan Rasul-
Nya menghukumi itu sebagai sebuah kekufuran.
2. Orang-orang yang berlebihan, sehingga mengatakan bahwa ini sesuatu yang tidak kufur,
padahal Allah telah menjelaskan bahwa itu adalah kekufuran. Seperti orang-orang Murji’ah,
yang mereka menganggap bahwasanya keimanan cukup dengan keyakinan di dalam hati.
Seandainya seseorang mengucapkan ucapan yang kufur atau melakukan amalan yang kufur,
yang penting hatinya mengenal dan meyakini Allah, maka dia tidak keluar dari agama Islam.
Ahlussunnah wal Jama’ah bukan termasuk Khawarij dan juga bukan termasuk Murji’ah.
Mereka berada di pertengahan. Mereka kembali kepada Al Qur’an dan Hadits dengan
pemahaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Apa yang dihukumi oleh Allah dan Rasul-
Nya sebagai bentuk kekufuran, maka mereka katakan ini adalah kufur. Dan apa yang
dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya ini bukan kekufuran, maka mereka tidak mengatakan ini
adalah kekufuran.
Dan mereka di dalam masalah ini berpegang dengan kaidah-kaidah yang berdasarkan Al
Qur’an dan Hadits. Dan Insya Allah akan kita bahas sebagian kaidah-kaidah tersebut di
dalam pertemuan selanjutnya.
Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini. Semoga bermanfaat dan sampai
bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.
Diantara kaidah yang disebutkan oleh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di dalam masalah
pembatal keislaman adalah:
• Terkadang seseorang mengucapkan ucapan yang kufur atau melakukan amalan yang
kufur akan tetapi tidak dihukumi sebagai orang yang kafir, karena di sana ada syarat-syarat
yang harus dipenuhi ketika seseorang dihukumi sebagai orang yang kafir. Diantaranya:
1. Baligh
Apabila dia belum baligh, anak kecil misalnya, dia mengatakan Aku adalah Tuhan.
Ucapan dia ini adalah ucapan yang kufur dan tidak diragukan dia adalah ucapan
yang kufur. Tapi karena yang mengucapkan adalah seorang anak kecil yang belum
baligh, maka tidak dihukumi anak kecil tersebut sebagai orang yang keluar dari
agama Islam.
“Diangkat pena dari tiga golongan: dari anak kecil sampai dia baligh, dan dari orang yang
tidur sampai dia bangun, dan dari orang yang gila sampai dia sadar.” [HR. At Tirmidzi]
2. Berakal
Apabila ada seorang muslim yang tidak berakal mengucapkan ucapan yang kufur, maka
tidak dianggap kafir, karena dia mengucapkan ucapan tersebut dalam keadaan dia tidak
berakal.
Orang yang mabuk misalnya, dia mengucapkan ucapan yang kufur, maka tidak dianggap
sebagai orang yang kafir.
Terkadang seseorang dipaksa untuk mengucapkan ucapan yang kufur atau melakukan
perbuatan yang kufur, padahal hatinya mengingkari. Dia beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya, dia yakin seyakin-yakinnya dengan Islam, tetapi apabila dia tidak mengucapkan kalimat
kufur tersebut, dia akan dibunuh atau diancam akan disiksa. Kondisinya dipaksa untuk
mengucapkan kalimat kufur. Kalau itu terjadi, maka hal ini tidak mengeluarkan dia dari
Islam.
Ucapan dia adalah ucapan yang kufur, akan tetapi tidak dihukumi sebagai orang yang kafir
atau musyrik.
( ِنِه ِإاَّل َمۡن ُأۡك ِر َه َو َقۡل ُبُهۥ ُم ۡط َم ِٕىُّۢن ِبٱِإۡلیَم ٰـ ِن َو َلٰـ ِك ن َّمن َش َر َح ِبٱۡل ُكۡف ِر َص ۡد ࣰرا َفَع َلۡی ِهۡم َغ َض ࣱب ِّمَن ٱلَّلِه َو َلُهۡم َع َذاٌب
َمن َك َفَر ِبٱلَّلِه ِم ۢن َبۡع ِد ِإیَم ٰـ ۤۦ
[ )َع ِظ ی ࣱمSurat An-Nahl 106]
“Barangsiapa yang kufur kepada Allah setelah keimanan dia, kecuali orang yang dipaksa,
sedangkan hatinya dalam keadaan tenang dengan keimanan. Akan tetapi orang yang
lapang dengan kekufuran, maka merekalah orang-orang yang mendapatkan kemarahan
dari Allah dan merekalah orang-orang yang mendapatkan adzab yang besar.”
Ayat ini turun ketika Ammar bin Yasir radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dipaksa oleh orang-orang
musyrikin untuk mengucapkan kalimat kufur, disuruh untuk mencela Rasulullah shallallāhu
‘alaihi wa sallam dan saat itu beliau dalam keadaan disiksa, sehingga beliau pun terpaksa
mengucapkan kalimat kufur padahal di dalam hati, beliau tenang dengan keimanan.
ِإَّن َهللا َتَج اَو َز ِلي َع ْن ُأَّمِتي اْلَخ َطَأ َو الِّنْسَياَن َو َما اْسُتْك ِر ُهْو ا َع َلْيِه
“Sesungguhnya Allah telah memaafkan untukku dari ummatku, kesalahan, lupa, dan apa
yang mereka dipaksa untuk melakukannya.” [HR. Ibnu Majah]
Dari sini kita mengetahui kehati-hatian ahlussunnah di dalam masalah Nawaqidul Islam dan
di dalam masalah pengkafiran. Apalagi di dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
َمن َقال َأِلِخْيِه َيا َك اِفُر َفَقْد َباَء ِبَها َأَح ُدُهَما
“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya, Wahai orang yang kafir, maka sungguh
kekafiran ini kembali kepada salah satu diantara keduanya.” [HR. Bukhari dan Muslim]
si fulan adalah musyrik, ini dilakukan oleh para ulama yang ilmunya sudah mendalam, yang
terpenuhi pada dirinya syarat-syarat sebagai seorang mujtahid (mufti) yang berfatwa di
dalam hukum-hukum agama.
Beliau memulai kitab ini dengan Basmalah, meniru Allah di dalam Al-Qur’an, karena ayat
yang pertama di dalam mushaf adalah Basmalah. Dan yang ke dua meneladani Rasulullah
Shallallāhu ‘alaihi wa sallam karena ketika Beliau menulis surat-surat dakwah kepada Islam,
Beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam memulai surat-surat tersebut dengan Basmalah. Dan
inilah yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam ketika mengirim surat kepada Bilqis.
Beliau memulai dengan Basmalah.
“(berkata Ratu Bilqis), Ini adalah dari Sulaiman dan isinya Bismillahirrahmanirrahim.”
Memulai dengan Basmalah maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Allah. Karena
بdi dalam ucapan بسم هللاadalah بAl Isti’anah, yaitu huruf بyang maknanya memohon
pertolongan.
بسم هللاDengan menyebut nama Allah, maksudnya adalah Aku memohon pertolongan
kepada Allah dengan menyebut nama-Nya.
Ismullah, yaitu nama Allah di sini mencakup seluruh nama Allah. Karena di dalam Bahasa
Arab, apabila sebuah kata yang mufrod (tunggal) disandarkan, maka maknanya adalah
umum.
Ismu (nama) adalah tunggal. Disandarkan kepada lafdzul jalalah yaitu Allah, sehingga
maknanya semua nama Allah. Ini seperti kata نعمة هللاdi dalam firman Allah,
[ َیٰۤـ َأُّیَها ٱَّلِذیَن َءاَمُنو۟ا ٱۡذ ُك ُر و۟ا ِنۡع َم َة ٱلَّلِه َع َلۡی ُك ۡمSurat Al-Ahzab 9]
Nikmat di sini adalah mufrod (tunggal), tapi maksudnya adalah sebutlah atau ingatlah
nikmat-nikmat Allah atas kalian.
Demikian pula dengan kalimat Basmalah. Dengan menyebut nama Allah, maksudnya adalah
nama-nama Allah. Dan nama-nama Allah yang paling baik maksudnya adalah nama-nama
Allah yang paling baik yang Allah sebutkan di dalam firman-Nya,
[ َو ِلَّلِه ٱَأۡلۡس َمۤا ُء ٱۡل ُح ۡس َنٰى َفٱۡد ُع وُه ِبَهۖاSurat Al-A’raf 180]
“Dan Allah, Dia-lah yang memiliki Asmaul Husna, maka hendaklah kalian berdo’a
dengannya.”
Allah adalah lafdzul jalalah dan Dia adalah nama Allah yang paling besar. Nama-nama Allah
yang lain disandarkan pada lafdzul jalalah.
Dan lafdzul jalalah berasal dari kata Al Ilaah, artinya adalah Al Ma’bud (yang disembah).
Sehingga makna Allah adalah sesembahan yang berhak disembah.
Ar Rahman adalah nama Allah yang maknanya Maha Penyayang. Nama ini mengandung
sifat Rahmah (kasih sayang). Dan nama-nama Allah adalah nama-nama yang memiliki
makna, sehingga dinamakan dengan Asmaul Husna karena dia mengandung makna yang
paling baik. Berbeda dengan nama makhluk. Terkadang seseorang memiliki nama yang
baik, namun dia memiliki perangai yang buruk. Namanya Sholeh tetapi dia bukan orang
yang sholeh. Namanya Abdullah, tetapi dia menyekutukan Allah.
Ar Rahim artinya juga Maha Penyayang. Nama ini mengandung sifat Ar Rahmah.
Perbedaan antara Ar Rahman dan Ar Rahim bahwa Ar Rahman mengandung sifat kasih
sayang Allah yang mencakup seluruh makhluk, baik yang beriman maupun yang tidak
beriman. Orang yang kafir di dunia juga mendapatkan sebagian dari rahmat Allah, seperti
nikmat hidup, nikmat waktu, nikmat sehat, nikmat rezeki, dll.
Ar Rahim mengandung sifat kasih sayang Allah yang Allah khususkan bagi orang-orang
yang beriman, seperti hidayah kepada Islam, kenikmatan di dalam alam kubur, kenikmatan
di dalam surga, dll.
Allah berfirman,
“Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla sangat sayang kepada orang-orang yang beriman.”
“Dahulu para sahabat Rasulullãh ﷺ, mereka bertanya kepada Rasulullãh ﷺtentang
kebaikan sedangkan aku bertanya kepada Rasulullãh ﷺtentang kejelekan
[HR Bukhari 6/615-616 dan 13/35 beserta Fathul Baari. Muslim 12/235-236 beserta Syarh
Nawawi. Baghowi dalam Syarhus Sunnah 14/14. Dan Ibnu Majah 2979] Hudzaifah Ibn
Yaman bertanya kepada Rasulullãh ﷺtentang kejelekan², tujuannya adalah
⇒ supaya tidak terjerumus ke dalam kejelekan tersebut.
Dilakukan oleh para sahabat radhiallahu anhum, mereka mengetahui kebenaran maupun
kesalahan, mengetahui al haq & mengetahui kebatilan.
✓ mengetahui kebenaran supaya diamalkan
✓ dan mereka mengetahui kebatilan / kesalahan supaya bisa terhindar dari kesalahan
tersebut.
didalam sebuah bait dikatakan
عرفت الشر ال للش ولكن لتوقيه
ومن لم يعرف الشر من الناس يقع فيه
Tujuan para ulama membuat masalah riddah (masalah perkara² yang bisa mengeluarkan
dari islam) tujuannya adalah:
✓ supaya kita tahu pembatal² keIslaman dan
✓ supaya kita waspada jangan sampai kita & keluarga kita & orang-orang yang kita cintai &
kaum muslimin terjatuh di dalam apa yang dinamakan An-Nawāqidhul Islām.
Dan membatalkan amal seseorang & apabila dia meninggal dunia dalam keadaan riddah
maka tidak diterima taubat nya oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla & dia kekal didalam neraka
bersama orang-orang yang kafir.
Ini Adalah akibat yang fatal bagi orang yang keluar dari agama Islām & meninggal dalam
keadaan sebagai orang yang kafir, batal amalannya dan dia diakherat termasuk penduduk
neraka yang kekal didalamnya.
َو َمْن َيْر َتِد ْد ِم ْن ُكْم َع ْن ِد يِنِه َفَيُم ْت َو ُهَو َك اِفٌر َفُأوَٰل ِئَك َح ِبَطْت َأْع َماُلُهْم ِفي الُّدْن َيا َو اآْل ِخ َر ِة
ۖ َو ُأوَٰل ِئَك هم اْل َخ اِس ِر يَن
َفَيُم ْت
Kemudian dia meninggal dunia
ۖ َفُأوَٰل ِئَك َح ِبَطْت َأْع َماُلُهْم ِفي الُّدْن َيا َو اآْل ِخ َر ِة
Halaqah yang ke lima dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam yang ditulis
oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.
Ibadah adalah:
اْس ٌم َج اِمٌع ِلُك ِّل َما ُيِح ُّبُه الَّلُه َو َيْر َض اُه ِمْن اَأْلْق َو اِل َو اَأْلفَعاِل الَّظاِهَر ِة َو الَباِط َنِة
“Seluruh perkara yang dicintai dan diridhoi oleh Allah, baik berupa ucapan maupun
perbuatan yang dhohir maupun yang batin.”
Kita mengetahui sesuatu ucapan atau perbuatan dicintai dan diridhoi oleh Allah dari kabar
yang Allah sebutkan di dalam Al Qur’an atau kabar Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam
sebagai utusan-Nya.
Terkadang kita mengetahui sesuatu ucapan atau amalan dicintai oleh Allah ketika Allah
mengabarkan bahwa Allah mencintai orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut,
misalnya Allah berfirman,
Dalam ayat ini Allah mengabarkan bahwasanya Allah mencintai orang-orang yang bersabar,
mencintai sifat sabar. Kalau sabar dicintai oleh Allah, berarti sabar adalah ibadah. Dan kalau
ibadah, maka tidak boleh diserahkan kepada selain Allah.
Dalam ayat yang lain Allah mengabarkan bahwa Allah mencintai orang-orang yang berbuat
baik (Al Baqarah 195). Mencintai orang-orang yang bertaubat dan membersihkan diri dari
dosa (Al Baqarah 222). Dan terkadang kita mengetahui Allah mencintai sebuah amalan atau
ucapan karena Allah memerintahkan dengan amalan tersebut. Dan setiap yang Allah
perintahkan berarti dicintai Allah. Dan kalau amalan tersebut dicintai maka amalan tersebut
adalah ibadah. Dan kalau amalan tersebut adalah ibadah, maka tidak boleh diserahkan
kepada selain Allah.
“Dan hendaklah kalian mendirikan sholat dan membayar zakat.” [Al Baqarah 43]
Di sini Allah memerintahkan untuk mendirikan sholat dan membayar zakat. Berarti keduanya
dicintai oleh Allah, karena Allah tidak memerintahkan kecuali sesuatu yang dicintai dan
diridhoi. Berarti sholat dan zakat adalah ibadah, hanya untuk Allah dan tidak boleh
diserahkan kepada selain Allah.
Dan terkadang kita mengetahui Allah mencintai sebuah amalan ketika Allah memuji orang-
orang yang mengamalkannya. Karena Allah tidak memuji kecuali orang-orang yang Dia
cintai. Yang mereka mengamalkan apa yang dicintai oleh Allah. Misalnya Allah berkata
memuji orang-orang yang menunaikan nadzarnya.
()ُیوُفوَن ِبٱلَّنۡذ ِر َو َیَخ اُفوَن َیۡو ࣰما َك اَن َش ُّر ُهۥ ُمۡس َتِط ی ࣰرا
[Surat Al-Insan 7]
Ibadah ada yang berupa ucapan dan ada yang berupa perbuatan. Berupa ucapan seperti
mengucapkan tasbih, tahlil, tahmid, bersholawat atas Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam,
membaca Al Qur’an, berdo’a, dll.
Berupa amalan seperti melakukan sholat, membayar zakat, berjihad, berhaji, dll.
Ibadah ada yang dhohir dan ada yang batin. Ibadah yang dhohir artinya adalah ibadah yang
bisa terlihat oleh orang lain, seperti sholat, jihad, dll.
Ibadah yang batin adalah ibadah yang ada di dalam hati manusia, seperti tawakal kepada
Allah, cinta kepada Allah, takut kepada Allah, kembali atau inabah kepada Allah, dll. Semua
ini adalah ibadah. Dan semua ibadah harus diserahkan hanya kepada Allah. Tidak boleh
sedikitpun diserahkan kepada selain Allah. Barangsiapa yang menyerahkan sebagian ibadah
dari ibadah-ibadah tadi kepada selain Allah, maka dia telah menyekutukan Allah di dalam
ibadah, dan ini merupakan pembatal keislaman yang paling besar.
Kemudian Syeikh menyebutkan dalil bahwa kesyirikan adalah pembatal keislaman, yaitu
firman Allah,
ِإَّن ٱلَّلَه اَل َیۡغ ِفُر َأن ُیۡش َر َك ِبِهۦ َو َیۡغ ِفُر َما ُدوَن َذِلَك ِلَمن َیَشۤا ُۚء
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa yang di
bawah syirik bagi siapa yang dikehendaki.”
Allah tidak mengampuni dosa syirik padahal Allah adalah Al Ghofur (Yang Maha
Pengampun). Dan ini menunjukkan tentang betapa besarnya dosa syirik.
Dan yang dimaksud dosa syirik yang tidak diampuni di sini adalah ketika seseorang bertemu
dengan Allah dalam keadaan membawa dosa syirik tersebut dan belum bertaubat di masa
hidupnya. Dan maksud tidak diampuni adalah dia harus diadzab.
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan dia menyekutukan Allah, maka dia masuk ke dalam
neraka.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Seorang yang meninggal dunia dalam keadaan menyekutukan Allah, inilah orang yang
masuk ke dalam neraka dan dialah yang tidak akan diampuni.
“Barangsiapa yang bertemu dengan Allah dalam keadaan dia menyekutukan Allah, maka dia
masuk ke dalam neraka.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Tapi kalau dia bertaubat dari perbuatan syirik tersebut di masa hidupnya, maka Allah Maha
Pengampun dan Maha Pemberi Taubat. Sebesar apapun dosanya, baik berupa syirik,
kekufuran, kenifakan, kalau dia bertaubat dengan taubat yang nasuha sebelum dia
meninggal dunia, maka akan diampuni oleh Allah. Allah berfirman,
(۞ [ )ُقۡل َیٰـ ِع َباِد َی ٱَّلِذیَن َأۡس َر ُفو۟ا َع َلٰۤى َأنُفِس ِهۡم اَل َتۡق َنُطو۟ا ِم ن َّر ۡح َمِة ٱلَّلِۚه ِإَّن ٱلَّلَه َیۡغ ِفُر ٱلُّذُنوَب َج ِمیًع ۚا ِإَّنُهۥ ُهَو ٱۡل َغ ُفوُر ٱلَّر ِح یُمSurat
Az-Zumar 53]
Apabila dia belum baligh / anak kecil (misalnya) mengatakan “aku adalah Tuhan” ucapan dia
adalah ucapan kufur & tidak diragukan, ini adalah ucapan kufur tapi karena mengucapkan
seorang anak kecil yang belum baligh maka tidak dihukumi dia sebagai orang yang kafir.
Diantaranya adalah dari anak kecil sampai dia dewasa, pencatat amal diangkat dari tiga
orang diantaranya dari anak kecil sampai dia dewasa
Demikian pula berakal bila ada seorang muslim yang gila atau tidak waras kemudian dia
mengucapkan ucapan yang kufur maka tidak dianggap dia sebagai orang yang kafir, karena
dia mengucapkan ucapan ini dalam keadaan tidak berakal.
Demikian pula orang yang _mabuk_ misalnya dia mengucapkan ucapan yang
kufur maka dia tidak dianggap sebagai orang yang kafir.
Ucapan dia adalah ucapan yang kufur tetapi dia _tidak dianggap sebagai orang yang kafir.
Ini maksudnya.
Demikian pula diantara syaratnya adalah dia dalam keadaan memiliki kehendak memiliki
pilihan & bukan sedang dipaksa oleh orang lain, terkadang seseorang dipaksa untuk
mengucapkan ucapan yang kufur atau melakukan perbuatan yang kufur “`padahal didalam
hatinya dia mengingkari & tidak mau & beriman kepada Allāh & beriman kepada Rasul &
dia merasa yakin dengan seyakin yakinnya dengan Islām tetapi diancam akan dibunuh
/akan disiksa dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur.
Apabila dia mengucapkan dalam keadaan terpaksa dan dipaksa maka ini tidak
mengeluarkan dia dari Islām.“`
Ucapan dia adalah ucapan yang kufur akan tetapi tidak dihukumi dia sebagai seorang yang
kafir atau musyrik
“` َمْن َك َفَر ِبالَّلِه ِم ْن َبْع ِد ِإيَماِنِه ِإاَّل َمْن ُأْك ِر َه َو َقْل ُبُه ُم ْطَم ِئٌّن ِباِإْليَماِن َو َلِك ْن َمْن َش َر َح
…ِباْل ُكْف ِر َص ْدًر ا.
ُأ
إَّال َمْن ْك ِر َه َو َقْل ُبُه ُم ْطَم ِئٌّن ِباِإْليَماِن
kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya dalam keadaan – – ُم ْطَمِئٌّن ِباِإْليَماِنdalam
keadaan hatinya tenang & beriman” [QS. An-Nahl : 106]“`
Dan ayat ini turun ketika Ammar bin Yasir radhiallahu anhu dipaksa oleh orang-orang
musyrikin untuk mengucapkan kalimat yang kufur, disuruh untuk mencela Rasulullãh ﷺ
& saat itu beliau dalam keadaan disiksa sehingga beliau terpaksa mengucapkan ucapan
yang kufur padahal didalam hati beliau, beliau tenang dengan keimanan beliau.
ُأ
إَّال َمْن ْك ِر َه َو َقْل ُبُه ُم ْطَم ِئٌّن ِباِإْليَماِن
Rasulullãh ﷺbersabda
َح َسٌن َر َو اُه اْبُن. ِإَّن َهللا َتـَج اَو َز ِلـْي َع ْن ُأَّم ِتْي اْل ـَخ َطَأ َو الِّنْس َياَن َو َما اْس ُتْك ِر ُهْو ا َع َلْي ِه
َماَج ْه َو اْل َبْي َهِقُّي َو َغ ْيُر ُهَمـا
”sesungguhnya Allāh telah memaafkan dari umatku kesalahan & juga lupa & apa yang
mereka dipaksa untuk melakukan “
Terkadang seseorang melakukan perbuatan yang kufur mengucapkan ucapan² yang kufur
akan tetapi dalam keadaan terpaksa.
Ini Adalah diantara Qoidah-qoidah yang disebutkan oleh para ulama. Jadi mereka sangat
berhati-hati sekali didalam masalah ini, tidak mengucapkan ucapan ini tidak meyakini
kecuali dengan berdasarkan dalil yang jelas dari Al-Qur’an & Hadits nabi ﷺ.
Dalam suatu hadits Rasulullãh ﷺbersabda :
` َفَقْد َباَء ِبَها َأَح ُدُهَما, َيا َك اِفُر: من قال َأِلِخ ْي ِه
“Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya “hai Kafir”, maka sungguh kekafiran ini
kembali kepada salah satu diantara keduanya ““`
Menunjukkan tentang bahayanya hukum ini, yaitu masalah kekufuran, masalah syirik,
masalah nifaq, seseorang hendaklah _berhati-hati_ didalam masalah ini & menghukumi
dengan jelas bahwasanya bahwasanya” si Fulan adalah kafir /si fulan adalah musyrik ” ini
dilakukan oleh para ulama yang sudah dalam keilmuannya yang terpenuhi didalamnya
syarat-syarat seorang Mufti.
Maka inilah ulama ulama yang *berhak* mengatakan” si fulan adalah kafir, si fulan adalah
Musrik.
“kata Ratu Bilqis ini adalah dari Sulaiman dan isinya [ ” ِبــسم هللا الرحمن الرحيمQS An-Naml 30]“`
Memulai sebuah risalah memulai sebuah kitab dengan Basmallah maka ini meniru apa yang
ada di dalam Al-Qur’an dan juga dilakukan oleh sebagian Nabi demikian pula dilakukan
Rasulullãh ﷺ. Makna memulai dengan Basmallah maksudnya adalah memohon
pertolongan kepada Allāh.Karena بdidalam ucapan bismillah ini adalah بal istianah (yang
maknanya istianah). Istianah artinya memohon pertolongan.
ِبــسم هللا
“`”Dengan menyebut Nama Allāh ““` Maksudnya adalah *aku memohon pertolongan kepada
Allāh, dengan menyebut nama-Nya. Ismullah : dengan nama Allāh. Nama Allāh disini
mencakup semua nama Allāh.* Didalam bahasa Arab apabila kalimat yang mufrad kata yang
mufrad (tunggal) disandarkan maka dia maknanya adalah umum
“`”hendaklah kalian mengingat nikmat Allāh ““`Nikmat disini adalah mufrad (tunggal), tapi
maksudnya adalah” sebutlah / ingatlah Nikmat-nikmat Allāh Subhānahu wa Ta’āla”
Demikian pula dalam kalimat Basmallah
ِبــسم هللا
“`”Dengan menyebut nama Allāh”“` _Ini Adalah nama-nama Allāh Subhānahu wa Ta’āla,
dimana Allāh Subhānahu wa Ta’āla memiliki Asmaul husna,
Allāh adalah lafdzul dzalallah, dan dia adalah nama Allāh yang paling A’dzom yang paling
besar, nama-nama yang lain dsandarkan kepada nama Allāh.
Seseorang mengatakan Ar-Rohman ( )الرحمنadalah diantara nama Allāh, Ar-Rohim adalah
diantara nama Allāh, Al-Azis adalah diantara nama Allāh, tetapi tidak mengatakan, Allāh
adalah diantara nama Ar-Rohman .
Kenapa demikian?
Karena lafdzul Dzalallah yaitu Allāh adalah nama Allāh yang paling besar.
Disandarkan nama-nama yang lain kepada lafdzul Dzalallah yaitu kepada lafadz Allāh
Subhānahu wa Ta’āla._ Makna dari Allāh / lafdzul Dzalallah di ambil dari kata Al-uluhah yang
artinya adalah ibadah, Al-illah artinya adalah Al-Ma’bud (yang disembah), oleh karena itu
makna atau nama Allāh, ini mengandung makna bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla
dialah satu²nya yang disembah
Allāh berasal dari kata Al-Illah & Al-Illah artinya adalah Al-Ma’bud : yang disembah. Ana
Rohman ( ) الرحمنjuga termasuk nama Allāh dan maknanya adalah yang maha penyayang
diambil dari kata Rohmah. Dan nama Allāh Ar-Rohman mengandung sifat Ar-Rohmah yaitu
mengandung sifat kasih sayang. Nama Allāh Subhānahu wa Ta’āla adalah nama yang
memiliki makna. Oleh karena itu dinamakan dengan Asmaul husna yang baik karena dia
mengandung makna yang paling baik berbeda dengan nama makhluk terkadang seseorang
memiliki nama yang baik akan tetapi belum tentu orang yang memiliki nama tersebut
adalah orang yang baik. Terkadang seorang pencuri namanya Muhammad, terkadang
seorang penjahat namanya Abdullāh. Karena nama yang dimiliki manusia belum tentu dia
memiliki sifat didalam nama tersebut.
Adapun Allāh maka nama-nama Allāh mengandung sifat-sifat, Ar-Rohman dia adalah Maha
Penyayang mengandung makna mengandung sifat Rohmah, Ar-Rohim ( ) الرحيمjuga
demikian, berasal dari Rohmah dan mengandung makna Rohmah yaitu kasih sayang.
Perbedaan antara Ar-Rohman dengan Ar-Rohim disebutkan oleh para ulama bahwasanya
Ar-Rohman adalah kasih sayang Allāh yang mencakup seluruh makhluk / kasih sayang Allāh
mencakup seluruh makhluk yang beriman maupun yg tidak beriman, orang yang kafir pun
didunia mendapatkan sebagian dari rahmat Allāh, diberikan rezeki, diberikan kenikmatan
dan ini semua adalah termasuk Rahmat dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Adapun Ar-Rohim maka ini adalah kasih sayang Allāh yang Allāh khususkan bagi orang-
orang yang beriman, berupa hidayah, berupa ketenangan hidup didunia, berupa
kenikmatan dialam kubur, kenikmatan di surga. Ini adalah rahmat Allāh yang Allāh
khususkan bagi orang-orang yang beriman.Ini adalah perbedaan antara Ar-Rohman dengan
Ar-Rohim.
[QS Al-Ahzab 43] “dan Dia (Allāh Subhānahu wa Ta’āla) sangat sayang kepada orang-orang
yang beriman ““`
Ar-Rohim adalah kasih sayang Allāh yang khusus Allāh berikan kepada orang yang beriman
Allah berfirman,
( ِنِه َأۡو ِلَیۤا َء َما َنۡع ُبُدُهۡم ِإاَّل ِلُیَقِّر ُبوَنۤا ِإَلى ٱلَّلِه ُز ۡل َفٰۤى ِإَّن ٱلَّلَه َیۡح ُك ُم َبۡی َنُهۡم ِفی َما ُهۡم ِفیِه َیۡخ َتِلُفوَۗن ِإَّن ٱلَّلَه اَل َیۡه ِد ی َمۡن
َو ٱَّلِذیَن ٱَّتَخ ُذو۟ا ِم ن ُدو ۤۦ
[ )ُهَو َك ٰـ ِذ ࣱب َك َّفا ࣱرSurat Az-Zumar 3]
“Dan orang-orang yang menjadikan sekutu bagi Allah, mereka mengatakan, ‘Tidaklah kami
menyembah mereka kecuali supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah.’”
Mereka mengatakan, “Kami adalah orang-orang yang jauh dari Allah, banyak berbuat
maksiat, banyak melakukan dosa, banyak lalai kepada Allah. Sedangkan orang-orang shalih
tersebut, mereka adalah orang-orang yang memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah.
Sehingga kalau kami beribadah kepada orang-orang tersebut, mereka akan mendekatkan
diri kami kepada Allah, sehingga kami pun memiliki kemuliaan di dunia.”
ِإَّن ٱلَّلَه َیۡح ُكُم َبۡی َنُهۡم ِفی َما ُهۡم ِفیِه َیۡخ َتِلُفوَن
Yaitu antara Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang musyrikin tersebut,
siapa yang benar diantara mereka, apakah Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam yang
mengajak kepada tauhid dan memperingatkan mereka dari kesyirikan ataukah yang benar
adalah orang-orang musyrikin tersebut yang mereka berdo’a dan beribadah kepada orang-
orang shalih tersebut dengan maksud supaya dekat dengan Allah.
Allah mengatakan,
“Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang yang berdusta dan
sangat kufur.”
1. Dusta
Menunjukkan bahwa ucapan mereka َما َنۡع ُبُدُهۡم ِإاَّل ِلُیَقِّر ُبوَنۤا ِإَلى ٱلَّلِه ُز ۡل َفٰۤىyang artinya “Tidaklah kami
menyembah mereka kecuali supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah” ini adalah
ucapan yang tidak benar. Allah katakan, ini adalah kedustaan. Dan Allah lebih tahu tentang
hakikatnya.
2. Sangat kufur
Menunjukkan bahwa cara seperti ini tidak dibenarkan secara syari’at.
Diantara alasan mereka meminta do’a orang-orang shalih tersebut dan meminta syafa’at
kepada mereka adalah bahwa orang-orang shalih tersebut dalam keadaan hidup. Dan
apabila hidup maka dia mendengar. Dan apabila dia mendengar maka kita boleh meminta
do’a kepada mereka, sebagaimana ketika orang-orang shalih tersebut hidup kita boleh
meminta do’a dari mereka.
Jawabannya:
1. Kita meyakini bahwa mereka, di alam kubur mereka hidup dengan kehidupan alam
barzakh, yang berbeda dengan alam kita di dunia. Para Nabi, para syuhada, hidup dengan
kehidupan yang lebih baik dan lebih sempurna daripada kehidupan kita.
“Para Nabi, mereka hidup di dalam kuburan mereka, dalam keadaan sholat.” [HR. Al Bazzaar,
dan dihasankan oleh Syeikh Al Albani Rahimahullah]
( َو اَل َتۡح َسَبَّن ٱَّلِذیَن ُقِتُلو۟ا ِفی َس ِبیِل ٱلَّلِه َأۡم واَۢت ۚا َبۡل َأۡح َیۤا ٌء ِع نَد َر ِّبِهۡم ُیۡر َز ُقوَن َفِر ِحیَن ِبَمۤا َءاَتٰى ُهُم ٱلَّلُه ِم ن َفۡض ِلِهۦ َو َیۡس َتۡب ِش ُر وَن ِبٱَّلِذیَن
[ )َلۡم َیۡل َح ُقو۟ا ِبِهم ِّمۡن َخ ۡل ِفِهۡم َأاَّل َخ ۡو ٌف َع َلۡی ِهۡم َو اَل ُهۡم َیۡح َز ُنوَنSurat Aali-Imran 169 – 170]
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Bahkan
mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapatkan rezeki. Mereka dalam keadaan
gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan oleh Allah kepada mereka dan mereka
bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang, yang belum menyusul
mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih
hati.”
Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan kepada mereka
dan mereka pun memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang masih tinggal di
belakang mereka, yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan mereka tidak bersedih.
2. Hidupnya seseorang tidak berarti dia mendengar, karena ada orang yang hidup dan dia
tidak mendengar.
3. Seandainya dia mendengar di alam barzakh, maka belum tentu dia mendengar do’a
orang yang ada di alam dunia ini. Allah berfirman,
([ )ِإن َتۡد ُع وُهۡم اَل َیۡس َمُع و۟ا ُدَع ۤا َء ُك ۡم َو َلۡو َسِمُع و۟ا َما ٱۡس َتَج اُبو۟ا َلُك ۖۡم َو َیۡو َم ٱۡل ِقَیٰـ َمِة َیۡك ُفُر وَن ِبِش ۡر ِك ُك ۚۡم َو اَل ُیَنِّبُئَك ِم ۡث ُل َخ ِبی ࣲرSurat Fatir
14]
“Kalau kalian berdo’a kepada mereka, mereka tidak mendengar do’a kalian. Dan seandainya
mereka mendengar, mereka tidak mengabulkan do’a kalian. Dan di hari kiamat mereka
mengingkari kesyirikan kalian dan tidak ada yang mengabarkan kepadamu seperti Allah
Yang Maha Mengetahui.”
4. Tidak semua suara di dunia ini bisa kita dengar, meskipun kita berada di alam yang sama.
Lalu bagaimana dengan suara yang ada di alam yang lain?
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam membedakan antara keadaan Beliau ketika hidup dan
keadaan Beliau setelah meninggal dunia. Dalam keadaan hidup, Beliau bisa mendo’akan.
Ketika Beliau sudah meninggal dunia, maka Beliau tidak bisa mendo’akan.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari di dalam ِك َتاب اْل َمْر َض ىdari Aisyah
radhiyallāhu ‘anha, ketika Aisyah sakit kepala dan mengatakan, “ َو اَر ْأ َساْهAduh, sakit
kepalaku.”
Kemudian Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar ucapan Aisyah, Beliau
bersabda,
“Wahai Aisyah, seandainya itu terjadi (yaitu meninggalnya dirimu karena sakit ini) dan aku
dalam keadaan masih hidup, niscaya aku akan memohonkan ampun untukmu dan niscaya
aku akan mendo’akan kebaikan untukmu.”
Ucapan Beliau, ‘dan aku dalam keadaan masih hidup’, menunjukkan bahwa seandainya
Beliau masih hidup niscaya Beliau masih bisa mendo’akan, tetapi kalau Beliau sudah
meninggal dunia maka Beliau tidak bisa mendo’akan dan tidak bisa memohonkan ampun
untuk orang lain, bahkan untuk istrinya pun, Beliau tidak bisa.
Demikian pula para sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka membedakan antara keadaan
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam ketika masih hidup bersama mereka dan keadaan
Beliau setelah meninggal dunia.
Di zaman Umar bin Khatab radhiyallāhu ‘anhu, terjadi kemarau panjang yang dahsyat
karena lama tidak turun hujan, sehingga banyak tanaman yang rusak dan hewan-hewan
yang mati. Bahkan karena sangat parahnya keadaan saat itu, terjadilah banyak pencurian.
Karena saking banyaknya, sampai Umar bin Khatab radhiyallāhu ‘anhu saat itu memaafkan
orang-orang yang mencuri dan tidak memotong tangan mereka. Kemudian beliau
radhiyallāhu ‘anhu mengumpulkan para sahabat dan para penduduk Madinah saat itu untuk
mengadakan sholat istisqo’, meminta hujan kepada Allah. Kemudian beliau berkata,
الَّلُهَّم ِإَّنا ُكَّنا ِإَذا َأْج َدْبَنا َنَتَو َّسُل ِإَلْيَك ِبَنِبِّيَنا َفَتْسِقيَنا
“Ya Allah, dahulu kami ketika kami mendapatkan kemarau (di masa Rasulullah shallallāhu
‘alaihi wa sallam) kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, kemudian Engkau
memberikan hujan kepada kami.”
Bertawassulnya para sahabat di sini adalah dengan meminta do’a Beliau shallallāhu ‘alaihi
wa sallam, sebagaimana ini praktek para sahabat di dalam hadits yang lain di mana para
sahabat meminta kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam supaya berdo’a kepada
Allah. Sebagaimana di dalam hadits, seorang Badui Arab yang masuk ke dalam Masjid
Nabawi dan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berkhutbah. Kemudian
orang Arab Badui ini berkata kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam supaya Beliau
shallallāhu ‘alaihi wa sallam berdo’a kepada Allah meminta hujan. Maka Allah pun
mengabulkan. Kemudian Umar berkata,
“Kemudian sekarang Ya Allah, kami bertawassul dengan paman Nabi-Mu, maka hendaklah
Engkau memberikan hujan kepada kami.”
Saat itu, Abbas bin Abdul Mutholib, paman Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam masih
hidup. Dan bertawassul dengan paman Nabi saat itu dengan meminta do’a beliau supaya
Allah menurunkan hujan.
Perhatikanlah! Beliau bertawassul dengan do’a-do’a orang yang shalih yang masih hidup.
Dan tidak datang ke kuburan Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam untuk meminta do’a, karena
beliau radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu tahu bahwa yang demikian adalah kesyirikan dan tidak ada
faidahnya. Padahal saat itu keadaan sangat parah. Dan tentunya dalam keadaan seperti itu,
mereka mencari sebab atau cara yang paling manjur agar bisa keluar dari permasalahan
tersebut.
Ternyata Umar radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu meminta do’a dari Abbas yang masih hidup saat itu
dan tidak meminta do’a dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Demikianlah, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat membedakan antara
keadaan hidup dan mati.
Jadi alasan bahwasanya orang-orang shalih tersebut hidup di dalam kuburan dan
mendengar ucapan mereka, sehingga boleh meminta do’a darinya, maka ini adalah alasan
yang tidak benar.
Diantara mereka ada yang meminta do’a kepada orang-orang yang shalih yang meninggal
dunia dengan alasan bahwa Allah adalah Al Khaliq (Yang Maha Pencipta) dan kita adalah
hamba-hamba-Nya. Kita saja di dunia ketika ingin bertemu dengan seorang presiden, kita
tidak bisa langsung bertemu dengan presiden tersebut, menyampaikan permintaan kita
secara langsung. Akan tetapi di sana ada menteri, ajudan, pembantu-pembantu. Sulit bagi
seseorang untuk sampai ke sana, kecuali melalui perantara-perantara tersebut. Kemudian
orang ini mengatakan, demikian pula kita kepada Allah. Kita perlu wasithoh (perantara) yang
menyampaikan hajat kita kepada Allah. Ini adalah alasan yang sangat lemah, karena Allah
tidak bisa disamakan dengan makhluk. Allah adalah As Sami’ (Yang Maha Mendengar), Al
Bashir (Yang Maha Melihat), Al Qadir (Yang Maha Mampu untuk melakukan segala sesuatu).
Seandainya seluruh manusia dan jin berkumpul dalam satu tempat lalu masing-masing
berdo’a kepada Allah dengan bahasa masing-masing untuk meminta dipenuhi hajatnya,
niscaya Allah bisa mendengar semuanya dan bisa menunaikan hajat mereka semuanya.
Adapun makhluk, maka dia adalah lemah. Makhluk tidak bisa mendengar ucapan beberapa
orang yang berbicara di depannya dalam satu waktu. Apalagi menunaikan hajat mereka
dalam satu waktu. Dia memerlukan pembantu, ajudan, menteri, apalagi yang diurusnya
adalah jutaan manusia.
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam membedakan antara keadaan Beliau ketika hidup dan
keadaan Beliau setelah meninggal dunia. Dalam keadaan hidup, Beliau bisa mendo’akan.
Ketika Beliau sudah meninggal dunia, maka Beliau tidak bisa mendo’akan.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari di dalam ِك َتاب اْل َمْر َض ىdari Aisyah
radhiyallāhu ‘anha, ketika Aisyah sakit kepala dan mengatakan, “ َو اَر ْأ َساْهAduh, sakit
kepalaku.”
Kemudian Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar ucapan Aisyah, Beliau
bersabda,
َذاِك لو كاَن وَأَنا َح ّي فأْس َتْغ ِفُر َلِك وَأْدُع و َلِك
“Wahai Aisyah, seandainya itu terjadi (yaitu meninggalnya dirimu karena sakit ini) dan aku
dalam keadaan masih hidup, niscaya aku akan memohonkan ampun untukmu dan niscaya
aku akan mendo’akan kebaikan untukmu.”
Ucapan Beliau, ‘dan aku dalam keadaan masih hidup’, menunjukkan bahwa seandainya
Beliau masih hidup niscaya Beliau masih bisa mendo’akan, tetapi kalau Beliau sudah
meninggal dunia maka Beliau tidak bisa mendo’akan dan tidak bisa memohonkan ampun
untuk orang lain, bahkan untuk istrinya pun, Beliau tidak bisa.
Demikian pula para sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka membedakan antara keadaan
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam ketika masih hidup bersama mereka dan keadaan
Beliau setelah meninggal dunia.
Di zaman Umar bin Khatab radhiyallāhu ‘anhu, terjadi kemarau panjang yang dahsyat
karena lama tidak turun hujan, sehingga banyak tanaman yang rusak dan hewan-hewan
yang mati. Bahkan karena sangat parahnya keadaan saat itu, terjadilah banyak pencurian.
Karena saking banyaknya, sampai Umar bin Khatab radhiyallāhu ‘anhu saat itu memaafkan
orang-orang yang mencuri dan tidak memotong tangan mereka. Kemudian beliau
radhiyallāhu ‘anhu mengumpulkan para sahabat dan para penduduk Madinah saat itu untuk
mengadakan sholat istisqo’, meminta hujan kepada Allah. Kemudian beliau berkata,
الَّلُهَّم ِإَّنا ُكَّنا ِإَذا َأْج َدْبَنا َنَتَو َّسُل ِإَلْيَك ِبَنِبِّيَنا َفَتْسِقيَنا
“Ya Allah, dahulu kami ketika kami mendapatkan kemarau (di masa Rasulullah shallallāhu
‘alaihi wa sallam) kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, kemudian Engkau
memberikan hujan kepada kami.”
Bertawassulnya para sahabat di sini adalah dengan meminta do’a Beliau shallallāhu ‘alaihi
wa sallam, sebagaimana ini praktek para sahabat di dalam hadits yang lain di mana para
sahabat meminta kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam supaya berdo’a kepada
Allah. Sebagaimana di dalam hadits, seorang Badui Arab yang masuk ke dalam Masjid
Nabawi dan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berkhutbah. Kemudian
orang Arab Badui ini berkata kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam supaya Beliau
shallallāhu ‘alaihi wa sallam berdo’a kepada Allah meminta hujan. Maka Allah pun
mengabulkan.
“Kemudian sekarang Ya Allah, kami bertawassul dengan paman Nabi-Mu, maka hendaklah
Engkau memberikan hujan kepada kami.”
Saat itu, Abbas bin Abdul Mutholib, paman Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam masih
hidup. Dan bertawassul dengan paman Nabi saat itu dengan meminta do’a beliau supaya
Allah menurunkan hujan.
Perhatikanlah! Beliau bertawassul dengan do’a-do’a orang yang shalih yang masih hidup.
Dan tidak datang ke kuburan Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam untuk meminta do’a, karena
beliau radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu tahu bahwa yang demikian adalah kesyirikan dan tidak ada
faidahnya. Padahal saat itu keadaan sangat parah. Dan tentunya dalam keadaan seperti itu,
mereka mencari sebab atau cara yang paling manjur agar bisa keluar dari permasalahan
tersebut.
Ternyata Umar radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu meminta do’a dari Abbas yang masih hidup saat itu
dan tidak meminta do’a dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Demikianlah, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat membedakan antara
keadaan hidup dan mati.
Jadi alasan bahwasanya orang-orang shalih tersebut hidup di dalam kuburan dan
mendengar ucapan mereka, sehingga boleh meminta do’a darinya, maka ini adalah alasan
yang tidak benar.
Diantara mereka ada yang meminta do’a kepada orang-orang yang shalih yang meninggal
dunia dengan alasan bahwa Allah adalah Al Khaliq (Yang Maha Pencipta) dan kita adalah
hamba-hamba-Nya. Kita saja di dunia ketika ingin bertemu dengan seorang presiden, kita
tidak bisa langsung bertemu dengan presiden tersebut, menyampaikan permintaan kita
secara langsung. Akan tetapi di sana ada menteri, ajudan, pembantu-pembantu. Sulit bagi
seseorang untuk sampai ke sana, kecuali melalui perantara-perantara tersebut. Kemudian
orang ini mengatakan, demikian pula kita kepada Allah. Kita perlu wasithoh (perantara) yang
menyampaikan hajat kita kepada Allah. Ini adalah alasan yang sangat lemah, karena Allah
tidak bisa disamakan dengan makhluk. Allah adalah As Sami’ (Yang Maha Mendengar), Al
Bashir (Yang Maha Melihat), Al Qadir (Yang Maha Mampu untuk melakukan segala sesuatu).
Seandainya seluruh manusia dan jin berkumpul dalam satu tempat lalu masing-masing
berdo’a kepada Allah dengan bahasa masing-masing untuk meminta dipenuhi hajatnya,
niscaya Allah bisa mendengar semuanya dan bisa menunaikan hajat mereka semuanya.
Adapun makhluk, maka dia adalah lemah. Makhluk tidak bisa mendengar ucapan beberapa
orang yang berbicara di depannya dalam satu waktu. Apalagi menunaikan hajat mereka
dalam satu waktu. Dia memerlukan pembantu, ajudan, menteri, apalagi yang diurusnya
adalah jutaan manusia.
Apabila seseorang mengatakan, kita memerlukan perantara kepada Allah sebagaimana kita
memerlukan perantara ketika akan berbicara dengan presiden, maka dia telah menyamakan
Allah dengan makhluk. Padahal Allah berfirman,
[ َلۡی َس َك ِم ۡث ِلِهۦ َش ۡی ࣱۖء َو ُهَو ٱلَّسِمیُع ٱۡل َبِص یُرSurat Asy-Syura 11]
“Tidak ada yang serupa dengan Allah. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.”
Oleh karena itu, Allah menyuruh kita berdo’a kepada-Nya langsung tanpa perantara. Allah
berfirman,
( [ ) َو َقاَل َر ُّبُك ُم ٱۡد ُع وِنۤی َأۡس َتِج ۡب َلُك ۚۡمSurat Ghafir 60]
“Dan Rabb kalian telah berkata, ‘Berdo’alah kalian kepada-Ku niscaya aku akan
mengabulkan do’a kalian.’”
Allah tidak mengatakan, ‘Berdo’alah kalian kepada-Ku dengan perantara’ tapi Allah berkata,
‘Berdo’alah kepada-Ku niscaya aku akan mengabulkan’.
( [ )َو ِإَذا َس َأَلَك ِع َباِد ی َع ِّنی َفِإِّنی َقِر یٌۖب ُأِج یُب َدۡع َو َة ٱلَّداِع ِإَذا َدَع اِۖنSurat Al-Baqarah 186]
Diantara mereka ada yang beralasan bahwa kita adalah hamba yang berdosa dan banyak
maksiat. Apabila kita berdo’a sendiri maka Allah tidak mengabulkan dan kita tidak diampuni
dosanya sehingga kita harus punya perantara.
Maka kita katakan, selama kita mau berdo’a kepada Allah dan masih mengharap kepada
Allah, justru itu adalah sebab kita mendapatkan ampunan dari Allah. Sebagaimana dalam
hadits qudsi Allah mengatakan,
َيا اْبَن َآَدَم ِإَّنَك َما َدَع ْو َتِنْي َو َر َج ْو َتِنْي َغ َفْر ُت َلَك َع َلى َما َك اَن ِمنَك َو ال ُأَباِلْي
“Wahai anak Adam, selama engkau masih berdo’a kepada-Ku dan engkau masih berharap
kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni dosamu, apapun dosa yang engkau lakukan dan
Aku tidak akan peduli.” [HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syeikh Al Albani]
Hadits ini menunjukkan bahwasanya Allah akan mengampuni dosa kita selama kita masih
mau berdo’a kepada-Nya dan masih mengharap kepada Allah. Bukan justru kita membuat
perantara antara kita dengan Allah di dalam ibadah.
Saudaraku, marilah kita kembali kepada Al Qur’an dan Hadits untuk mengetahui cara
meraih syafa’at.
ِلُك ِّل َنِبٍّي َدْع َو ٌة ُمْس َتَج اَبٌة َفَتَعَّج َل ُك ُّل َنِبٍّي َدْع َو َتُه َو ِإِّني اْخ َتَبْأ ُت َدْع َو ِتي َشَفاَع ًة ُأِلَّمِتي َيْو َم اْل ِقَياَمِة َفِهَي َناِئَلٌة ِإْن َش اَء الَّلُه َمْن َم اَت ِمْن
ُأَّمِتي اَل ُيْش ِر ُك ِبالَّلِه َش ْي ًئا
“Setiap Nabi memiliki do’a yang mustajab. Dan masing-masing dari Nabi telah
menyegerakan do’anya di dunia. Dan sesungguhnya aku menyimpan do’aku di hari kiamat
sebagai syafa’at bagi umatku. Maka syafa’atku tersebut akan diberikan Insya Allah kepada
umatku yang meninggal dunia dan dia dalam keadaan tidak menyekutukan Allah
sedikitpun.” [HR Muslim]
Dalam hadits yang lain ketika Beliau ditanya oleh Abu Huroiroh,
“Orang yang mengatakan ال إلَه إاَّل الَّلهikhlas dari hatinya.” [HR Al Imam Al Bukhari]
Maksudnya di sini adalah mentauhidkan Allah Azza wa Jalla. Inilah modal utama untuk
mendapatkan syafa’at di hari kiamat. Oleh karena itu, masing-masing kita hendaknya
mempersiapkan diri dengan bertauhid, mempelajarinya, istiqomah di atasnya sampai
meninggal dunia.
Halaqah 11 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke
Tiga Bagian 1
Halaqah yang ke sebelas dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam yang
ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.
َك َفَر ِإْج َماًع ا،ْ َأْو َص َّح َح َم ْذ َهَبُهم، َمْن َلْم ُيَك ِّفْر الُم ْش ِر ِكيَن َأْو َش َّك ِفي ُك ْف ِر ِهْم: الَّثاِلُث.
Yang ke tiga ,
“Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrikin atau dia ragu tentang
kekufuran mereka atau membenarkan madzhab mereka, maka dia telah kafir dengan ijma’
para ulama.”
Seorang muslim percaya pada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan kabar yang datang dari
Allah dan Rasul-Nya, sehingga dia dinamakan sebagai seorang mukmin (orang yang
beriman).
Tidak boleh ada satupun kabar yang datang dari Allah dan Rasul-Nya didustakan oleh
seorang muslim. Barangsiapa yang mendustakan apa yang datang dari Allah dan juga
Rasul-Nya berupa kabar dan juga berita, maka dia telah keluar dari agama Islam.
Dan diantara kabar yang datang dari Allah dan juga Rasul-Nya adalah kekafiran orang-
orang yang kafir. Di dalam Al Qur’an Allah mengkafirkan orang-orang musyrikin, ahlul kitab
baik Yahudi maupun Nasrani, dan orang-orang munafikin. Kewajiban kita adalah meyakini
kekafiran mereka. Allah berfirman,
( )ِإَّن ٱَّلِذیَن َك َفُر و۟ا ِمۡن َأۡه ِل ٱۡل ِك َتٰـ ِب َو ٱۡل ُم ۡش ِر ِكیَن ِفی َناِر َج َهَّنَم َخ ٰـ ِلِدیَن ِفیَهۚۤا ُأ۟و َلٰۤـ ِٕىَك ُهۡم َش ُّر ٱۡل َبِر َّیِة
[Surat Al-Bayyinah 6]
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan ahlul kitab dan orang-orang
musyrikin, mereka di dalam neraka Jahannam, kekal di dalamnya. Dan mereka adalah
makhluk yang paling buruk.”
ِإَّن ٱَّلِذیَن َك َفُر و۟ا ِمۡن َأۡه ِل ٱۡل ِك َتٰـ ِب َو ٱۡل ُم ۡش ِر ِكیَن
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan ahlul kitab”, maksudnya adalah dari
orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Mereka dinamakan ahlul kitab karena mereka mengaku beriman dengan kitab yang Allah
turunkan. Orang Yahudi mengaku beriman dengan Taurat yang diturunkan kepada Nabi
Musa dan orang Nasrani mengaku beriman dengan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa
‘alaihissalam.
Dan mereka dinamakan kafir oleh Allah, diantaranya karena mereka tidak beriman dengan
Muhammad Rasulullah setelah mendengar diutusnya Beliau untuk seluruh manusia.
Ketika Allah mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir, maka tidak boleh
seorang muslim mengatakan bahwa ahlul kitab sama dengan kaum muslimin.
Allah juga mengabarkan di dalam ayat ini tentang kekafiran orang-orang musyrikin, orang-
orang yang menyekutukan Allah dengan yang lain. Menyembah kepada Allah dan juga
menyembah kepada selain Allah.
Di dalam ayat yang lain Allah mengabarkan tentang salah satu bentuk kekafiran orang-
orang Nasrani di dalam firman-Nya,
[ َّلَقۡد َك َفَر ٱَّلِذیَن َقاُلۤو ۟ا ِإَّن ٱلَّلَه َثاِلُث َثَلٰـ َث ࣲۘةSurat Al-Ma’idah 73]
“Dan sungguh telah kafir orang yang mengatakan bahwasanya Allah adalah yang ke tiga
diantara tiga tuhan.”
Diantara bentuk kekufuran mereka, meyakini bahwa di sana ada tuhan bapak, tuhan anak,
dan tuhan ibu. Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan.
Diantara bentuk kekufuran sebagian orang-orang Nasrani adalah meyakini bahwa Allah
adalah Al Masih bin Maryam.
Allah mengatakan,
[ َّلَقۡد َك َفَر ٱَّلِذیَن َقاُلۤو ۟ا ِإَّن ٱلَّلَه ُهَو ٱۡل َمِس یُح ٱۡب ُن َمۡر َیَۚمSurat Al-Ma’idah 17]
“Dan sungguh telah kafir orang yang mengatakan bahwasanya Allah adalah Al Masih, Isa
Ibnu Maryam.”
Diantara bentuk kekafiran ahlul kitab adalah membeda-bedakan diantara para Rasul Allah.
Beriman kepada sebagian Rasul dan mendustakan Rasul yang lain.
Orang-orang Yahudi mengaku beriman dengan Nabi Musa tetapi mereka kufur dengan
Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Orang-orang Nasrani mengaku beriman kepada Nabi Isa tapi mereka kufur dengan
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Allah berfirman,
ِإَّن اَّلِذيَن َيْك ُفُر وَن ِبالَّلِه َو ُر ُسِلِه َو ُيِر يُدوَن َأْن ُيَفِّر ُقوا َبْيَن الَّلِه َو ُر ُسِلِه َو َيُقوُلوَن ُنْؤ ِمُن ِبَبْعٍض َو َنْك ُفُر ِبَبْعٍض َو ُيِر يُدوَن َأْن َيَّتِخ ُذوا َبْيَن
َذِلَك َس ِبياًل
[ ُأ۟و َلٰۤـ ِٕىَك ُهُم ٱۡل َك ٰـ ِفُر وَن َح ࣰّقۚا َو َأۡع َتۡد َنا ِلۡل َك ٰـ ِفِر یَن َع َذا ࣰبا ُّم ِهی ࣰناSurat An-Nisa’ 150 – 151]
“Sesungguhnya orang-orang yang kufur kepada Allah dan para Rasul-Nya dan mereka ingin
membedakan antara Allah dan para Rasul-Nya, kemudian mereka mengatakan, ‘Kami
beriman kepada sebagian mereka (sebagian para Rasul) dan kami kufur dengan Rasul yang
lain’ dan mereka menginginkan jalan tengah. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar
kafir dan kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu, siksaan yang
menghinakan.”
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa kekafiran mereka terhadap
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam menyebabkan mereka masuk neraka.
“Tidaklah mendengar tentang kedatanganku salah seorang diantara umat ini, baik seorang
Yahudi maupun Nasrani kemudian dia meninggal dunia dan tidak beriman dengan apa
yang aku bawa, kecuali dia adalah termasuk penduduk neraka.” [HR Muslim]
[ َو َلَقۡد َقاُلو۟ا َك ِلَم َة ٱۡل ُكۡف ِر َو َك َفُر و۟ا َبۡع َد ِإۡس َلٰـ ِم ِهۡمSurat At-Tawbah 74]
“Dan sungguh mereka (orang-orang munafik) telah mengucapkan ucapan yang kufur, dan
mereka kafir setelah keislaman mereka.”
Ini menunjukkan tentang kekufuran orang-orang munafik, meskipun mereka dengan lisan
dan dhohir mereka menampakkan seakan-akan mereka adalah orang-orang yang beriman.
Mengucapkan ال إله إال هللاdengan lisannya, bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah
dengan lisannya, hidup bersama kaum muslimin, melakukan sholat bersama kaum muslimin,
akan tetapi hati mereka kufur terhadap itu semua. Maka Allah memasukkan mereka diantara
golongan orang-orang yang kafir.
Allah mengatakan,
( [ )ِإَّن ٱۡل ُم َنٰـ ِفِقیَن ِفی ٱلَّدۡر ِك ٱَأۡلۡس َفِل ِمَن ٱلَّناِرSurat An-Nisa’ 145]
Syeikh berkata,
Tidak meyakini kekafiran orang-orang musyrikin adalah kekafiran. Dan meragukan kekafiran
mereka juga bentuk kekafiran.
Seorang yang beriman yang mengucapkan ال إله إال هللاdan dia yakin serta tidak ragu tentang
maknanya, yaitu bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, maka
dia harus yakin tentang kekafiran orang yang menyekutukan Allah.
Allah berfirman,
[ ِإَّنَما ٱْل ُم ْؤ ِمُنوَن ٱَّلِذيَن َءاَمُنو۟ا ِبٱلَّلِه َو َر ُسوِلِهۦ ُثَّم َلْم َيْر َتاُبو۟ا َو َٰج َهُدو۟ا ِبَأْم َٰو ِلِهْم َو َأنُفِس ِهْم ِفى َس ِبيِل ٱلَّلِه ۚ ُأ۟و َٰٓلِئَك ُهُم ٱلَّٰص ِد ُقوَنSurat Al-
Hujurat 15]
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya dan mereka tidak ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di
jalan Allah. Merekalah orang-orang yang jujur dalam keimanannya.”
“Atau membenarkan madzhab mereka, maka dia telah kafir dengan ijma.”
Contohnya membenarkan keyakinan orang-orang Nasrani, bahwa Allah adalah Isa bin
Maryam. Atau membenarkan ajaran orang-orang musyrikin yang menyekutukan Allah
dengan yang lain. Jika ada orang yang membenarkan ajaran-ajaran tersebut, maka dia telah
kufur. Dan ini dengan kesepakatan para ulama. Meskipun dia sholat bersama kita dan hidup
bersama kaum muslimin.
Seorang muslim meyakini bahwa agama Islam adalah satu-satunya agama yang diridhoi
oleh Allah, Rabb semesta alam. Sebagaimana firman Allah,
[ ِإَّن ٱلِّدیَن ِع نَد ٱلَّلِه ٱِإۡلۡس َلٰـ ُۗمSurat Ali Imran 19]
( [ )َو َمن َیۡب َتِغ َغ ۡی َر ٱِإۡلۡس َلٰـ ِم ِد ی ࣰنا َفَلن ُیۡق َبَل ِم ۡن ُه َو ُهَو ِفی ٱۡل َٔـاِخَر ِة ِمَن ٱۡل َخ ٰـ ِس ِر یَنSurat Ali Imran 85]
“Dan barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka tidak akan diterima
darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”
Saudaraku, kalau kita meyakini tentang kekufuran orang-orang yang kafir sebagaimana
yang Allah kabarkan, maka kita harus tempatkan mereka pada tempatnya sesuai dengan
aturan syari’at.
Ada hal yang boleh kita lakukan terkait orang-orang yang kafir dan ada hal yang tidak boleh
kita lakukan terkait dengan mereka.
Allah berfirman,
[ ال َيْن َهٰى ُك ُم ٱلَّلُه َع ِن ٱَّلِذيَن َلْم ُيَٰق ِتُلوُك ْم ِفى ٱلِّد يِن َو َلْم ُيْخ ِر ُج وُك م ِّم ن ِد َٰي ِر ُكْم َأن َتَبُّر وُهْم َو ُتْق ِس ُطٓو ۟ا ِإَلْي ِهْم ۚ ِإَّن ٱلَّلَه ُيِحُّب ٱْلُم ْق ِس ِط يَنSurat
Al-Mumtahanah 8]
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir kalian dari negeri kalian.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Allah membolehkan kita untuk berbuat baik kepada mereka selama mereka:
Perbuatan baik misalnya: memberikan sodaqoh kepada tetangga yang kafir, mengantarnya
ke rumah sakit, dll. Maka ini tidak masalah dan tidak dilarang di dalam agama Islam. Yang
harus tetap kita yakini adalah bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.
Dahulu di kota Madinah terdapat pasar dimana orang-orang Yahudi dan kaum muslimin
saling jual beli satu dengan yang lain.
4. Boleh berhutang kepada orang-orang kafir, karena Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam
pernah menggadaikan pakaian perang Beliau kepada seorang Yahudi.
Seorang anak yang memiliki orang tua yang kafir harus meyakini kekafiran mereka dan tidak
boleh dia ragu. Dan silakan dia berbakti kepada orang tua tersebut karena Allah
memerintahkan seorang anak untuk berbakti kepada kedua orang tua secara umum
meskipun orang tuanya kafir. Kecuali apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat dan
menyekutukan Allah, maka tidak boleh seorang anak patuh kepada orang tuanya di dalam
masalah ini.
Allah berfirman,
[ َو ِإن َج ٰـ َهَداَك َع َلٰۤى َأن ُتۡش ِر َك ِبی َما َلۡی َس َلَك ِبِهۦ ِع ۡل ࣱم َفاَل ُتِط ۡع ُهَم ۖا َو َص اِحۡب ُهَما ِفی ٱلُّدۡن َیا َمۡع ُر و ࣰفۖاSurat Luqman 15]
“Apabila keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau
tidak punya ilmu, maka janganlah engkau taati. Akan tetapi gaulilah mereka berdua di dunia
dengan cara yang baik.”
الَر ِبيع:
كالذين ُيَفِّض لون ُح ْك َم، أو أَّن ُح ْك َم غيِر ه أحَسُن ِم ن ُح ْك ِم ه،من اعتقد أَّن غيَر َهْد ِي الَّنبِّي صَّلى ُهللا عليه وسَّلم أكَمُل ِم ن َهْد ِيه
الَّطواغيِت على ُح ْك ِم ه؛ فهو كاِفٌر
“Barangsiapa yang meyakini bahwa selain petunjuk Nabi lebih sempurna daripada petunjuk
Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam, atau meyakini bahwa selain hukum Beliau shallallāhu
‘alaihi wa sallam lebih baik daripada hukum Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam, seperti
orang-orang yang mengutamakan hukum thaghut di atas hukum Beliau shallallāhu ‘alaihi
wa sallam, maka dia telah kafir.”
Di dalam pembatal keislaman yang ke empat ini, Syeikh menyebutkan dua poin utama:
1. Barangsiapa yang meyakini bahwa selain petunjuk Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam lebih
sempurna daripada petunjuk Beliau.
Petunjuk Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah wahyu dari Allah, baik berupa Al Qur’an
atau berupa Hadits Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Allah mengatakan,
( [ )َو َما َینِط ُق َع ِن ٱۡل َهَو ٰۤى ِإۡن ُهَو ِإاَّل َو ۡح ࣱی ُیوَح ٰىSurat An-Najm 3 – 4]
“Apa yang Beliau ucapkan kecuali itu adalah wahyu dari Allah yang diwahyukan kepada
Beliau.”
“Ketahuilah, bahwasanya aku diberikan Al Qur’an dan yang semisalnya bersamanya (yaitu
hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam).” [HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh
Syeikh Al Albani rahimahullah]
Kalau demikian, kita harus meyakini bahwa apa yang datang dari Beliau shallallāhu ‘alaihi wa
sallam pasti lebih sempurna daripada petunjuk selain Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
ِإَّن َأْص َدَق اْلَح ِد يِث ِك َتاُب الَّلِه َو َأْح َسَن اْل َهْدِى َهْدُى ُمَح َّمد صلى هللا عليه وسلم
“Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah dan petunjuk yang paling baik
adalah petunjuk Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam [HR. An Nasai dan dishahihkan oleh
Syeikh Al Albani]
الَعِليُمartinya Yang Maha Mengetahui. Mengetahui apa yang menjadi maslahat bagi manusia
dan mudhorot atas mereka.
Dan Allah adalah الَح ِك يُمartinya Yang Maha Bijaksana di dalam hukum-hukum-Nya. Baik
hukum-hukum yang berkaitan dengan syari’at-Nya maupun hukum-hukum kauniyah yang
Allah takdirkan di alam semesta. Dialah yang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Allah berfirman,
Allah yang lebih mengetahui apa yang maslahat bagi kita dan apa yang mudhorot bagi kita.
Allah mengatakan,
( [ )َأاَل َیۡع َلُم َمۡن َخ َلَق َو ُهَو ٱلَّلِط یُف ٱۡل َخ ِبیُرSurat Al-Mulk 14]
“Bukankah Yang Menciptakan, Dialah Yang Mengetahui? Dan Dialah Yang Maha Lembut
dan Mengetahui.”
Syari’at Allah adalah syari’at yang bijaksana. Syari’at Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad
Shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah khusus untuk umatnya. Adapun syari’at Nabi
Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam maka untuk seluruh manusia, sesuai untuk semua
tempat dan zaman. Kewajiban seorang muslim adalah meyakini bahwa petunjuk dari Allah
dan Rasul-Nya lebih sempurna daripada petunjuk dari selain Allah dan Rasul-Nya.
Di dalam Al-Qur’an, ketika Allah menyebutkan tentang ayat warisan, Allah berfirman,
[ ُیوِص یُك ُم ٱلَّلُه ِفۤی َأۡو َلٰـ ِد ُكۖۡم ِللَّذَك ِر ِم ۡث ُل َح ِّظ ٱُأۡلنَثَیۡی ِۚنSurat An-Nisa’ 11]
“Allah mewasiatkan kepada kalian dalam perkara anak-anak kalian, laki-laki mendapat dua
bagian wanita.”
Allah menyebutkan di dalam ayat ini tentang beberapa hal yang berkaitan dengan hukum
waris, seperti bagian anak laki-laki, bagian anak wanita, bagian seorang ibu apabila ada
anaknya, dll. Ini semua adalah ketentuan dari Allah Azza wa Jalla.
[ َءاَبۤا ُؤُك ۡم َو َأۡب َنۤا ُؤُك ۡم اَل َتۡد ُر وَن َأُّیُهۡم َأۡق َر ُب َلُكۡم َنۡف ࣰعۚا َفِر یَض ࣰة ِّمَن ٱلَّلِۗه ِإَّن ٱلَّلَه َك اَن َع ِلیًما َح ِك ی ࣰماSurat An-Nisa’ 11]
“Bapak-bapak kalian dan anak-anak kalian, kalian tidak tahu siapa diantara mereka yang
lebih manfaatnya daripada kalian, sebagai kewajiban dari Allah. Sesungguhnya Allah, Dialah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Kewajiban kita membagi harta warisan sesuai dengan ketentuan Allah, bukan dengan adat
istiadat manusia.
“Atau dia meyakini bahwa hukum atau keputusan selain Beliau lebih baik daripada hukum
Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam.”
Poin yang ke dua ini adalah termasuk pembatal keislaman yang ke empat, yaitu meyakini
bahwa hukum selain Beliau lebih baik daripada hukum Beliau.
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah. Tugas Beliau menyampaikan
hukum Allah. Hukum yang datang dari Beliau adalah hukum Allah. Allah berkata,
([ )ِإَّنۤا َأنَز ۡل َنۤا ِإَلۡی َك ٱۡل ِك َتٰـ َب ِبٱۡل َح ِّق ِلَتۡح ُك َم َبۡی َن ٱلَّناِس ِبَمۤا َأَر ٰى َك ٱلَّلُۚه َو اَل َتُكن ِّلۡل َخ ۤا ِٕىِنیَن َخ ِص ی ࣰماSurat An-Nisa’ 105]
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Al Qur’an dengan haq, supaya engkau
menghukumi diantara manusia dengan apa yang Allah perlihatkan kepadamu. Dan
janganlah engkau menjadi pembela bagi orang-orang yang berkhianat.”
( [ )َأَفُح ۡك َم ٱۡل َج ٰـ ِهِلَّیِة َیۡب ُغ وَۚن َو َمۡن َأۡح َسُن ِمَن ٱلَّلِه ُح ۡك ࣰما ِّلَقۡو ࣲم ُیوِقُنوَنSurat Al-Ma’idah 50]
“Apakah hukum jahiliyyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih baik daripada hukum
Allah bagi orang-orang yang yakin.”
([ )َفاَل َو َر ِّبَك اَل ُیۡؤ ِمُنوَن َح َّتٰى ُیَح ِّكُموَك ِفیَما َش َج َر َبۡی َنُهۡم ُثَّم اَل َیِج ُدو۟ا ِفۤی َأنُفِس ِهۡم َح َر ࣰجا ِّم َّما َقَض ۡی َت َو ُیَسِّلُم و۟ا َتۡس ِلی ࣰماSurat An-
Nisa’ 65]
“Tidak, Demi Rabb-mu. Mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan engkau sebagai
hakim di dalam apa yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak mendapatkan di
dalam hati mereka rasa berat, dan mereka menyerahkan diri dengan sebenar-benar
penyerahan.”
Allah bersumpah dengan dirinya sendiri bahwa mereka tidak beriman sampai berhukum
dengan hukum Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Dan di dalam batinnya dia ridho dan
tidak merasa berat.
Ini menunjukkan bahwa berhukum dengan hukum Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan
ridho dengannya adalah sebuah kewajiban.
Apabila ada seseorang yang meyakini bahwa keputusan atau hukum selain Rasulullah
shallallāhu ‘alaihi wa sallam lebih baik daripada keputusan atau hukum Rasulullah
shallallāhu ‘alaihi wa sallam, maka keyakinan tersebut telah membatalkan keislamannya.
Orang munafik dahulu tidak mau berhukum kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Mereka mencari hukum selain Beliau dalam memutuskan perselisihan mereka. Berhukum
dengan selain hukum Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah diantara sifat orang-
orang munafik.
( َأن َیۡك ُفُر و۟ا َأَلۡم َتَر ِإَلى ٱَّلِذیَن َیۡز ُع ُموَن َأَّنُهۡم َءاَمُنو۟ا ِبَمۤا ُأنِز َل ِإَلۡی َك َو َمۤا ُأنِز َل ِم ن َقۡب ِلَك ُیِر یُدوَن َأن َیَتَح اَك ُم ۤو ۟ا ِإَلى ٱلَّطٰـ ُغوِت َو َقۡد ُأِمُر ۤو ۟ا
َض َلٰـ اَۢل َبِع ی ࣰدا [ )ِب ۖۦِه َو ُیِر یُد ٱلَّشۡی َطٰـ ُن َأن ُیِض َّلُهۡمSurat An-Nisa’ 60]
“Seperti orang yang mengutamakan hukum thaghut lebih baik daripada hukum Nabi
shallallāhu ‘alaihi wa sallam.”
Hukum thaghut adalah hukum-hukum yang dibuat oleh manusia. Kalau diyakini itu sama
dengan hukum Allah atau lebih baik daripada hukum Allah, maka pelakunya keluar dari
agama Islam. Tapi kalau dia berhukum dengan hukum tersebut karena sebab dunia, seperti
harta dan jabatan, namun di dalam hatinya meyakini hukum Allah lebih baik, maka dia fasik,
tidak keluar dari agama Islam.
َك َفَر ِإجَماًع ا، َمْن َأْب َغ َض َش ْي ًئا ِم َّما َج اَء ِبِه الَّر ُسوُل ﷺ َو َلْو َع ِمَل ِبِه: الَخ اِمُس
َذِلَك ِبَأَّنُهْم َك ِر ُهوا َما َأْن َز َل ُهللا َفَأْح َبَط َأْع َماَلُهْم
Yang ke lima:
“Barangsiapa yang membenci sesuatu diantara yang dibawa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam meskipun dia mengamalkannya, maka dia telah kufur dengan ijma’. Dalilnya adalah
firman Allah yang artinya ‘Yang demikian karena mereka membenci apa yang diturunkan
oleh Allah, maka Allah membatalkan amalan-amalan mereka.’”
ِم َّما َج اَء ِبِه الَّر ُسوُل, diantara yang dibawa oleh Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam, yaitu baik
berupa Al Qur’an maupun Al Hadits, dan apa yang ada di dalam keduanya berupa hukum-
hukum maupun kabar-kabar.
َو َلْو َع ِمَل ِبِه, meskipun dia mengamalkannya. Menunjukkan bahwa seseorang meskipun dia
mengamalkan, kalau dia membenci syari’at tersebut, maka akan menjadi sebab keluarnya
dia dari Islam.
Orang-orang munafik di zaman Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam terkadang mereka
berjihad, sholat lima waktu berjamaah di masjid, berinfak, tetapi mereka membenci
semuanya itu di dalam hati mereka. Secara umum mereka membenci syari’at Islam.
Allah mengatakan,
( )َو َما َم َنَع ُهۡم َأن ُتۡق َبَل ِم ۡن ُهۡم َنَفَقٰـ ُتُهۡم ِإۤاَّل َأَّنُهۡم َك َفُر و۟ا ِبٱلَّلِه َو ِبَر ُسوِلِهۦ َو اَل َیۡأ ُتوَن ٱلَّص َلٰو َة ِإاَّل َو ُهۡم ُك َساَلٰى َو اَل ُینِفُقوَن ِإاَّل َو ُهۡم َك ٰـ ِر ُهوَن
[Surat At-Tawbah 54]
Seorang muslim harus ridho Allah sebagai Rabb-nya dan rela Rasulullah shallallāhu ‘alaihi
wa sallam sebagai Nabinya dan ridho Islam sebagai agamanya.
Seorang muslim mencintai seluruh apa yang datang dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam dan tidak membencinya. Mengetahui bahwa petunjuk Beliau di dalamnya ada
kebaikan untuk dirinya di dunia dan di akhirat. Dia berusaha memerangi segala bisikan
syaithan yang menghalangi dia dari melakukan petunjuk tersebut.
Dan dalil yang menunjukkan kekufuran orang yang membenci apa yang dibawa oleh
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah firman Allah,
( [ )َو ٱَّلِذیَن َك َفُر و۟ا َفَتۡع ࣰسا َّلُهۡم َو َأَض َّل َأۡع َم ٰـ َلُهۡم َذ ِلَك ِبَأَّنُهۡم َك ِر ُهو۟ا َمۤا َأنَز َل ٱلَّلُه َفَأۡح َبَط َأۡع َم ٰـ َلُهۡمSurat Muhammad 8 – 9]
“Dan orang-orang kafir, maka kecelakaan bagi mereka dan Allah membatalkan amalan
mereka. Yang demikian, karena mereka membenci apa yang Allah turunkan. Maka Allah pun
menghapuskan seluruh amalan mereka.”
Ketika Allah membicarakan tentang orang-orang kafir, Allah sebutkan diantara sebab
kekufuran mereka adalah membenci apa yang Allah turunkan.
Dan yang dimaksud dengan ‘apa yang diturunkan oleh Allah’ di sini adalah Al Qur’an. Dan
ini mencakup semua yang terkandung di dalamnya. Termasuk tentang Tauhid, Kerasulan,
Hari Kebangkitan, dan lainnya.
Dan yang dimaksud dengan ‘batalnya’ adalah tidak terwujud apa yang mereka harapkan
tersebut.
1. Kemaksiatan yang dilakukan oleh seseorang, bukan berarti dia benci dengan apa yang
datang dari Allah dan Rasul-Nya. Terkadang seseorang melakukan sebuah kemaksiatan,
melakukan hal yang diharamkan Allah, akan tetapi di dalam hatinya dia mencintai Allah dan
Rasul-Nya. Dia sebenarnya membenci kemaksiatan tersebut. Namun hawa nafsu dan bisikan
syaithan menjadikan dia melakukan kemaksiatan tersebut.
Allah berfirman,
( [ )ۤاَل ُأۡق ِس ُم ِبَیۡو ِم ٱۡل ِقَیٰـ َمِة َو ۤاَل ُأۡق ِس ُم ِبٱلَّنۡف ِس ٱلَّلَّو اَمِةSurat Al-Qiyamah 1 – 2]
“Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan aku bersumpah demi jiwa yang selalu mencela
(dirinya sendiri).
Maksudnya adalah jiwa yang ketika dia melakukan kemaksiatan, dia mencela dirinya sendiri.
Ketika kita sendiri merasakan di dalam jiwa kita kebencian dengan kemaksiatan meskipun
terkadang kita melakukannya.
Dalam sebuah hadits dari Umar bin Khatab radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, ada seorang laki-laki
di zaman Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bernama Abdullah. Gelarnya Himar ()ِح َمار. Dahulu
sering menghibur Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan Nabi dahulu mencambuk
beliau dengan sebab minum minuman keras.
Suatu saat laki-laki tersebut didatangkan dan diperintahkan untuk dicambuk karena minum
minuman keras. Kemudian ada seseorang yang berkata, “Ya Allah, laknatlah dia. Betapa
sering dia dibawa ke sini.” Maka Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Janganlah kalian melaknat laki-laki ini. Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali dia adalah
orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya.” [HR Bukhari dan Muslim].
Ini menunjukkan bahwa kemaksiatan tidak menunjukkan kebencian kepada Allah dan Rasul-
Nya.
2. Kita harus membedakan antara الُك رُه اِإلعِتَقاِد ي, kebencian yang merupakan keyakinan. Dia
membenci syari’at Allah baik syari’at tersebut berat atau tidak. Dan inilah yang merupakan
kekufuran.
Dan الُكرُه الَّطِبيِع يkebencian yang merupakan tabiat manusia, seperti kebencian karena
beratnya syari’at tersebut bagi dirinya, disertai keyakinan bahwa syari’at Allah itulah yang
benar. Di dalamnya ada kebaikan dan harus diikuti, seperti berat bagi seseorang berperang
karena harus menahan sakit ketika terluka, berpisah dengan keluarga, dll. Seperti beratnya
seseorang ketika berwudhu di waktu yang dingin. Maka kebencian seperti ini adalah tabiat
manusia, bukan merupakan kekufuran.
Allah berfirman,
( ُكِتَب َع َلۡی ُك ُم ٱۡل ِقَتاُل َو ُهَو ُك ۡر ࣱه َّلُك ۖۡم َو َع َس ٰۤى َأن َتۡك َر ُهو۟ا َش ۡی ࣰٔـا َو ُهَو َخ ۡی ࣱر َّلُكۖۡم َو َع َس ٰۤى َأن ُتِحُّبو۟ا َش ۡی ࣰٔـا َو ُهَو َش ࣱّر َّلُك ۚۡم َو ٱلَّلُه َیۡع َلُم َو َأنُتۡم اَل
[ )َتۡع َلُموَنSurat Al-Baqarah 216]
“Telah diwajibkan atas kalian berperang, sedangkan itu adalah sesuatu yang kalian benci.
Dan mungkin kalian membenci sesuatu sedangkan itu lebih baik bagi kalian. Dan terkadang
kalian mencintai sesuatu tapi itu jelek bagi kalian. Dan Allah, Dialah Yang Mengetahui dan
kalian tidak mengetahui.”
“Maukah aku tunjukkan kepada kalian, apa yang dengannya Allah menghapus dosa kalian
dan mengangkat derajat kalian? Mereka berkata, Iya wahai Rasulullah. Beliau berkata,
‘Menyempurnakan wudhu ketika dalam keadaan yang dibenci, memperbanyak langkah ke
masjid, menunggu sholat setelah melakukan sholat, maka itulah Ar Ribath, menjaga yang
sebenarnya.” [HR Muslim]
Beliau berkata,
َك َفَر، َأْو ِع َقاِبِه، َأْو َثَو اِبِه، َم ِن اْس َتْه َز َأ ِبَش ْي ٍء ِمْن ِدْي ِن ِهللا: الَّساِدُس
ُقْل َأِباِهلل َو آَياِتِه َو َر ُسوِلِه ُكنُتْم َتْس َتْه ِز ُؤ وَن َال َتْع َتِذُر وْا َقْد َك َفْر ُتم َبْع َد ِإيَماِنُك ْم
Yang ke enam:
“Barangsiapa yang mengejek sesuatu dari agama Allah atau pahala-Nya atau siksaan-Nya,
sungguh dia telah kufur.
Dalilnya firman Allah yang artinya: Katakanlah, apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, Rasul-
Rasul-Nya, kalian mengejek? Janganlah minta udzur, sungguh kalian telah kufur setelah
keimanan kalian.”
Beliau berkata setelahnya, َأْو ِع َقاِبِه، َأْو َثَو اِبِهatau mengejek pahala Allah atau siksaan-Nya,
seperti mengejek surga dan kenikmatan di dalamnya, dan mengolok-olok neraka dan
berbagai siksaan di dalamnya.
Seorang muslim apabila di dalam hatinya ada keimanan, maka keimanan tersebut akan
mendorong dia untuk mengagungkan apa yang berkaitan dengan agamanya. Dia akan
mengagungkan Allah, Dzat yang menurunkan agama Islam.
Allah berkata,
Mengagungkan Allah diantaranya dengan hanya menyembah kepada Allah. Dan juga
menyifati Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan sesuai dengan keagungan-Nya, dll.
Barangsiapa yang menyekutukan Allah, sungguh dia telah merendahkan Allah, karena dia
menyamakan makhluk yang lemah dengan Al Khaliq, Yang Maha Mampu untuk melakukan
segala sesuatu.
Barangsiapa yang menyifati Allah dengan kekurangan, sungguh dia telah merendahkan
Allah. Seperti orang-orang yang meyakini bahwa Allah memiliki anak. Sebagaimana
keyakinan orang-orang musyrikin.
Allah berfirman,
( [ )َو َیۡج َع ُلوَن ِلَّلِه ٱۡل َبَنٰـ ِت ُسۡب َح ٰـ َنُهۥ َو َلُهم َّما َیۡش َتُهوَنSurat An-Nahl 57]
“Dan mereka menjadikan bagi Allah, anak-anak wanita. Maha Suci Allah. Dan bagi mereka
apa yang mereka senangi (anak laki-laki).”
Orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka juga mengatakan bahwasanya Allah memiliki
anak.
Allah berfirman,
[ َو َقاَلِت ٱۡل َیُهوُد ُع َز ۡی ٌر ٱۡب ُن ٱلَّلِه َو َقاَلِت ٱلَّنَص ٰـ َر ى ٱۡل َمِس یُح ٱۡب ُن ٱلَّلِۖهSurat At-Tawbah 30]
“Orang-orang Yahudi mengatakan ‘Uzair adalah anak Allah dan orang-orang Nasrani
mengatakan Isa Al Masih adalah anak Allah.”
Diantara contoh merendahkan Allah, apa yang diucapkan orang-orang Yahudi ketika
mereka menyifati Allah dengan kefakiran.
Allah berfirman,
[ َّلَقۡد َسِمَع ٱلَّلُه َقۡو َل ٱَّلِذیَن َقاُلۤو ۟ا ِإَّن ٱلَّلَه َفِقی ࣱر َو َنۡح ُن َأۡغ ِنَیۤا ُۘءSurat Ali Imran 181]
Allah berfirman,
[ َو َقاَلِت ٱۡل َیُهوُد َیُد ٱلَّلِه َم ۡغ ُلوَلٌۚة ُغ َّلۡت َأۡی ِد یِهۡم َو ُلِع ُنو۟ا ِبَما َقاُلو۟ا َبۡل َیَداُه َمۡب ُسوَطَتاِن ُینِفُق َك ۡی َف َیَشۤا ُۚءSurat Al-Ma’idah 64]
“Dan berkata orang-orang Yahudi, tangan Allah terbelenggu. Tangan merekalah yang
terbelenggu. Dan mereka dilaknat dengan sebab apa yang mereka ucapkan. Bahkan kedua
tangan Allah terbentang. Dia berinfak sesuai dengan cara yang dia kehendaki.
Seseorang yang di dalam hatinya ada keimanan, dia akan menghormati ayat-ayat Allah.
1. Ayat-ayat kauniyah, yaitu tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di alam semesta ini.
2. Ayat-ayat sam’iyyah. yaitu tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di dalam kitab-Nya,
seperti yang ada di dalam Al Qur’an.
Kewajiban seorang muslim adalah menghormati ayat-ayat Allah dan tidak menghinakannya.
Allah berfirman,
Allah berfirman,
“Maka orang-orang yang beriman dengan Beliau dan mereka menghormati Beliau dan
menolong Beliau dan mengikuti cahaya yang diturunkan bersama Beliau, maka merekalah
orang-orang yang beruntung.
Dan diantara bentuk penghormatan kita kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam
adalah menghormati istri-istri Beliau yang mereka merupakan ibu-ibu kita dan
menghormati para sahabat Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Dalil bahwasanya orang yang mengejek agama Allah dan apa yang berkaitan dengannya
menjadi kafir adalah firman Allah,
ُقْل َأِباِهلل َو آَياِتِه َو َر ُسوِلِه ُكنُتْم َتْس َتْه ِز ُؤ وَن َال َتْع َتِذُر وْا َقْد َك َفْر ُتم َبْع َد ِإيَماِنُك ْم
“Katakanlah wahai Muhammad, apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya, kalian
mengejek-ejek? Janganlah kalian minta udzur. Sungguh kalian telah kufur setelah keimanan
kalian.” [At Taubah 65-66]
Pada tahun ke-9 ketika Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat dalam
perjalanan dalam rangka perang Tabuk, ada seseorang berkata di dalam sebuah majelis
yang dihadiri oleh yang lain,
َو ال َأْج َبَن ِع ْن َد الِّلَقاِء، َو ال َأْكَذَب َأْل ِس َنًة، َما َر َأْيُت ِم ْث َل ُقَّر اِئَنا َهُؤ الِء ال َأْر َغ َب ُبُطوًنا
“Aku tidak melihat orang-orang yang lebih besar perutnya (lebih banyak makannya), lebih
dusta ucapannya, dan lebih pengecut ketika berperang, daripada mereka.”
Dan dia memaksudkan mengejek Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan juga para
sahabatnya.
Auf bin Malik radhiyallāhu ‘anhu salah seorang sahabat Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam ketika mendengar ucapan ini, beliau mengingkari, seraya berkata,
َو َلِكَّنَك ُمَناِفٌق ُأَلخِبَر َّن َر ُسوَل ِهللا صلى هللا عليه وسلم، َكَذبَت
“Engkau telah berdusta. Akan tetapi engkau adalah seorang munafik, sungguh aku akan
mengabarkan kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.”
Kemudian beliau segera pergi menuju kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan
ternyata wahyu telah mendahului.
Allah telah mengabarkan kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam tentang ucapan
laki-laki tersebut.
Maka orang munafik tadi datang dan meminta maaf, meminta udzur kepada Beliau
shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Allah berkata,
[َو َلِٕىن َس َأۡل َتُهۡم َلَیُقوُلَّن ِإَّنَما ُكَّنا َنُخ وُض َو َنۡل َع ُۚبSurat At-Tawbah 65]
“Dan kalau engkau bertanya kepada mereka, mereka berkata, sesungguhnya kami hanya
berbincang dan bermain-main saja.”
ُقْل َأِباِهلل َو آَياِتِه َو َر ُسوِلِه ُكنُتْم َتْس َتْه ِز ُؤ وَن َال َتْع َتِذُر وْا َقْد َك َفْر ُتم َبْع َد ِإيَماِنُك ْم
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan juga Rasul-Nya, kalian mengejek? Janganlah
kalian minta udzur. Sungguh kalian telah kufur setelah keimanan kalian.”
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya, kalian mengejek? Janganlah kalian
minta udzur. Sungguh kalian telah kufur setelah keimanan kalian.”
Ini menunjukkan kepada kita tentang bahayanya mengejek-ejek segala sesuatu yang
berkaitan dengan agama Allah.
Padahal saat itu yang mengucapkan ucapan ejekan hanyalah satu orang. Yang demikian
karena orang-orang yang mendengar saat itu ridho terhadap ejekan tersebut, meskipun
mereka tidak mengucapkan.
(َو َقۡد َنَّز َل َع َلۡی ُك ۡم ِفی ٱۡل ِك َتٰـ ِب َأۡن ِإَذا َسِمۡع ُتۡم َءاَیٰـ ِت ٱلَّلِه ُیۡك َفُر ِبَها َو ُیۡس َتۡه َز ُأ ِبَها َفاَل َتۡق ُعُدو۟ا َمَع ُهۡم َح َّتٰى َیُخ وُض و۟ا ِفی َح ِد یٍث َغ ۡی ِر ۤۦِه ِإَّنُكۡم ِإ ࣰذا
)ِّم ۡث ُلُهۗۡم ِإَّن ٱلَّلَه َج اِمُع ٱۡل ُم َنٰـ ِفِقیَن َو ٱۡل َك ٰـ ِفِر یَن ِفی َج َهَّنَم َج ِم یًعا
“Dan sungguh telah Allah turunkan kepada kalian di dalam Al Qur’an, apabila kalian
mendengar ayat-ayat Allah dikufuri dan diejek, maka janganlah kalian duduk bersama
mereka sampai mereka berbicara tentang pembicaraan lain. Sesungguhnya kalau kalian
demikian, maka kalian semisal dengan mereka. Sesungguhnya Allah mengumpulkan orang-
orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam, semuanya.”
Apabila mendengar di sana ada ayat Allah dihina atau Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam dihina, atau para sahabat dihina, maka janganlah kalian duduk bersama mereka,
sampai mereka merubah tema pembicaraan mereka.
Apabila kalian duduk bersama mereka, santai bersama mereka, tidak tergerak hati kalian
ketika mendengar Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya dihina, niscaya kalian semisal dengan
mereka.
Dan perlu diketahui bahwa mengejek terkadang dengan lisan, terkadang dengan tulisan,
bahkan bisa dengan isyarat, seperti isyarat mata atau tangan.
Halaqah 17 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke
Tujuh Bagian 1
Halaqah yang ke tujuh belas dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam yang
ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.
Beliau berkata,
الَّساِبُع:
الِّس ْح ُر َو ِم ْنُه الَّص ْر ُف َو الَع ْطُف َفَمْن َفَع َلُه َأْو َر ِض َي ِبِه َك َفَر
َو الَّدِليُل َقْو ُلُه َتَعاَلى َو َما ُيَعِّلَماِن ِمْن َأَح ٍد َح َّتى َيُقوَال ِإَّنَما َنْح ُن ِفْتَنٌة َفَال َتْك ُفْر
“Yang ke tujuh adalah sihir. Dan diantara macamnya, Ash Shorfu dan Al ‘Athfu. Barangsiapa
yang mengerjakannya atau ridho dengan sihir, maka dia telah kufur, keluar dari Islam.
Dalilnya adalah firman Allah yang artinya ‘Dan tidaklah keduanya mengajarkan sihir kepada
seseorang sampai keduanya berkata sesungguhnya kami adalah ujian, maka janganlah
engkau kufur.’ [Al Baqarah 102]”
الِّس ْح ُرdi dalam Bahasa Arab adalah segala hal yang samar sebabnya.
الَّسَح ُرartinya di akhir malam. Dinamakan demikian karena waktu tersebut adalah waktu yang
samar.
1. Sihir hakiki
Yaitu sihir yang benar-benar, maksudnya sihir yang memudhoroti orang lain, membuat
sakit, membunuh, sihir yang menjadikan kecintaan menjadi sebuah kebencian, dan
sebaliknya.
2. Sihir takhyili, yaitu sihir yang hanya sekedar hayalan, menjadikan penglihatan orang lain
melihat sesuatu yang tidak sebenarnya, seperti yang terjadi di zaman Nabi Musa
‘alaihissalam ketika Fir’aun mengumpulkan tukang sihir-tukang sihir di Mesir untuk melawan
Nabi Musa ‘alaihissalam. Mereka menggunakan sihir takhyili, menyihir mata-mata manusia
sehingga melihat tali-tali yang mereka lempar seakan-akan itu adalah ular.
( َقاُلو۟ا َیٰـ ُموَس ٰۤى ِإَّمۤا َأن ُتۡل ِقَی َو ِإَّمۤا َأن َّنُك وَن َنۡح ُن ٱۡل ُم ۡل ِقیَن َقاَل َأۡل ُقوۖ۟ا َفَلَّمۤا َأۡل َقۡو ۟ا َسَح ُر ۤو ۟ا َأۡع ُیَن ٱلَّناِس َو ٱۡس َتۡر َهُبوُهۡم َو َج ۤا ُءو ِبِس ۡح ٍر
[ )َع ِظ ی ࣲمSurat Al-A’raf 115 – 116]
“Mereka berkata, wahai Musa silakan engkau yang melempar tongkatmu dahulu atau kami
yang melempar? Beliau berkata, silakan kalian melempar tali-tali kalian. Ketika mereka
melempar tali-tali tersebut, mereka menyihir mata-mata manusia dan manusia menjadi
takut, yaitu ketika mereka melihat dengan mata mereka, bahwa tali-tali tersebut seakan-
akan berubah menjadi ular. Dan mereka pun datang dengan sihir yang besar.”
Ini berbeda dengan mukjizat Nabi Musa ‘alaihissalam dimana Allah benar-benar menjadikan
tongkat Nabi Musa, ular yang hidup yang bergerak yang memakan tali-tali yang dilempar.
Kedua jenis sihir ini diharamkan di dalam agama Islam dan sihir memiliki macam-macam
yang banyak, diantaranya kata beliau adalah As Shorfu dan Al ‘Athfu.
Ash Shorfu artinya adalah memalingkan. Maksudnya memalingkan rasa cinta menjadi rasa
benci. Misalnya seorang suami yang mencintai istrinya berubah menjadi kebencian dengan
sebab sihir ini.
Al ‘Athfu artinya adalah cinta. Sihir ini menjadikan seseorang yang awalnya membenci
akhirnya menjadi mencintai.
Beliau mengatakan,
“Barangsiapa yang mengamalkan sihir ini atau ridho dengan sihir ini, maka dia telah kufur.”
Jika seseorang bekerjasama dengan syaithan untuk menyihir orang lain atau dia ridho
dengan sihir tersebut meskipun dia tidak melakukannya, maka dia telah kufur. Karena ridho
dengan sihir adalah ridho dengan kekufuran. Dalil yang menunjukkan bahwa sihir adalah
kufur dan bisa mengeluarkan seseorang dari Islam adalah firman Allah,
َو َما ُيَعِّلَماِن ِمْن َأَح ٍد َح َّتى َيُقوَال ِإَّنَما َنْح ُن ِفْتَنٌة َفَال َتْك ُفْر
“Dan tidaklah keduanya (Harut dan Marut) mengajarkan kepada orang lain sihir, sampai
keduanya berkata sesungguhnya kami adalah fitnah, maka janganlah engkau kufur.” [Al
Baqarah 102]
Dan maksud janganlah engkau kufur yaitu janganlah engkau mempelajari sihir.
Allah berfirman,
َو َما ُيَعِّلَماِن ِمْن َأَح ٍد َح َّتى َيُقوَال ِإَّنَما َنْح ُن ِفْتَنٌة َفَال َتْك ُفْر
“Dan tidaklah keduanya (Harut dan Marut) mengajarkan kepada orang lain sihir, sampai
keduanya berkata sesungguhnya kami adalah ujian, maka janganlah engkau kufur.”
Ayat ke-102 dari surat Al Baqarah ini menceritakan tentang orang-orang Yahudi dan
kebiasaan mereka melakukan sihir.
Allah berfirman,
( [ )َو ٱَّتَبُع و۟ا َما َتۡت ُلو۟ا ٱلَّش َیٰـ ِط یُن َع َلٰى ُم ۡل ِك ُس َلۡی َم ٰـ َۖنSurat Al-Baqarah 102]
“Dan mereka (orang-orang Yahudi mengikuti apa yang dibaca oleh syaithan-syaithan
kepada tukang sihir-tukang sihir di zaman kerajaan Sulaiman.”
Maksudnya orang-orang Yahudi meyakini bahwa Sulaiman bisa menundukkan jin dengan
sihir sebagaimana tukang sihir-tukang sihir. Padahal tidak demikian. Allah telah menjadikan
jin dan syaithan tunduk kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, sehingga mereka pun menurut
ketika diperintah oleh Nabi Sulaiman. Allah berfirman,
“Dan syaithan-syaithan, ada diantara mereka yang membangun, dan ada diantara mereka
yang menyelam, dan ada diantara mereka yang dibelenggu.”
[ َو َهۡب ِلی ُم ۡل ࣰكا اَّل َیۢن َبِغ ی َأِلَح ࣲد ِّم ۢن َبۡع ِد ۤیSurat Sad 35]
“Ya Allah, berikanlah aku kekuasaan yang tidak Engkau berikan kepada seorang pun
setelahku.”
Adapun tukang sihir-tukang sihir, maka mereka menundukkan jin dengan mantra-mantra
yang isinya adalah kekufuran kepada Allah. Apabila diucapkan oleh seorang tukang sihir,
maka syaithan akan ridho karena syaithan sangat senang dengan kekufuran. Apabila dia
ridho, maka dengan senang hati dia dan pasukannya membantu apa yang diinginkan oleh
tukang sihir, berupa santet dll.
[ َو َما َك َفَر ُس َلۡی َم ٰـ ُن َو َلٰـ ِكَّن ٱلَّش َیٰـ ِط یَن َك َفُر و۟ا ُیَعِّلُموَن ٱلَّناَس ٱلِّس ۡح َرSurat Al-Baqarah 102]
“Dan Sulaiman tidaklah kufur. Akan tetapi syaithan-syaithan itulah yang kufur. Dimana
mereka mengajarkan kepada manusia sihir.”
“Dan apa yang Allah turunkan kepada keduanya, yaitu malaikat Harut dan Marut (berupa
sihir).” Allah mengatakan setelahnya,
َو َما ُيَعِّلَماِن ِمْن َأَح ٍد َح َّتى َيُقوَال ِإَّنَما َنْح ُن ِفْتَنٌة َفَال َتْك ُفْر
“Dan tidaklah keduanya mengajarkan kepada orang lain sihir tersebut, kecuali setelah
berkata, kami hanyalah ujian, janganlah engkau kufur.”
[ َفَیَتَع َّلُموَن ِم ۡن ُهَما َما ُیَفِّر ُقوَن ِبِهۦ َبۡی َن ٱۡل َمۡر ِء َو َز ۡو ِج ۚۦِهSurat Al-Baqarah 102]
“Maka mereka pun belajar dari keduanya (Harut dan Marut), apa yang bisa memisahkan
antara seseorang dengan istrinya.” Kemudian Allah berfirman,
[ َو َما ُهم ِبَض ۤا ِّر یَن ِبِهۦ ِمۡن َأَح ٍد ِإاَّل ِبِإۡذ ِن ٱلَّلِۚهSurat Al-Baqarah 102]
“Dan mereka tidak bisa memudhoroti seorang pun dengan sihirnya kecuali dengan izin
Allah. Dan Allah berfirman,
[ َو َیَتَع َّلُموَن َما َیُض ُّر ُهۡم َو اَل َینَفُع ُهۚۡمSurat Al-Baqarah 102]
“Dan mereka mempelajari apa yang memudhoroti mereka dan apa yang tidak memberikan
manfaat kepada mereka.”
[ َو َلَقۡد َع ِلُم و۟ا َلَم ِن ٱۡش َتَر ٰى ُه َما َلُهۥ ِفی ٱۡل َٔـاِخَر ِة ِمۡن َخ َلٰـ ࣲۚقSurat Al-Baqarah 102]
“Padahal mereka sudah tahu bahwa orang yang membeli sihir, maka di akhirat dia tidak
memiliki bagian.”
Menunjukkan kepada kita bahwa orang yang melakukan sihir, nanti di akhirat tidak memiliki
bagian sedikitpun. Artinya dia tidak memiliki kenikmatan sedikitpun.
Kemudian juga menunjukkan bahwa orang yang melakukan sihir adalah kufur. Allah
berfirman,
[ َو َلِبۡئ َس َما َش َر ۡو ۟ا ِب ۤۦِه َأنُفَس ُهۚۡم َلۡو َك اُنو۟ا َیۡع َلُمونSurat Al-Baqarah 102]
“Dan sungguh jelek apa yang mereka beli seandainya mereka mengetahui.”
Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwasanya sihir adalah sebuah kekufuran kepada Allah
yang bisa mengeluarkan seseorang dari Islam.
Oleh karena itu seorang muslim menjauhi sihir dan menasihati orang lain yang masih
melakukan sihir. Dan hendaklah berusaha membersihkan masyarakat dari para tukang sihir.
Hukuman berat di dalam Islam bagi orang yang menjadi tukang sihir. Jundub, beliau
mengatakan,
“Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal kepalanya dengan pedang.” [Atsar riwayat
Tirmidzi]
Yang demikian karena mereka telah melakukan kemurtadan dengan sebab sihir yang
merupakan syirik akbar kepada Allah.
Riwayat membunuh tukang sihir dengan pedang telah datang dari beberapa sahabat,
diantaranya Umar bin Khatab radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu.
Di zaman beliau, beliau memerintahkan untuk membunuh setiap tukang sihir, baik laki-laki
maupun wanita, dan ini disetujui oleh para sahabat yang lain radhiyallāhu ‘anhum.
Demikian pula telah shahih dari Hafshoh, putri Umar bin Khatab, bahwasanya pernah ada
salah seorang budak Hafshoh yang menyihir Hafshoh. Kemudian dia mengaku, maka
setelah itu tukang sihir tersebut dibunuh.
Telah datang dari Jundub bin Ka’ab, salah seorang sahabat Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam, suatu saat beliau berada di depan salah seorang khalifah Bani Umayyah yang saat itu
ada seorang laki-laki yang melakukan sihir takhyili (sihir berupa hayalan) seakan-akan dilihat
oleh manusia ia sedang membunuh seseorang, kemudian dia bisa menghidupkan kembali
orang tersebut. Ini dilakukan di depan Jundub bin Ka’ab dan salah seorang khalifah di
zaman Bani Umayyah. Maka Jundub bin Ka’ab mendekati orang tersebut kemudian
membunuhnya.
Menunjukkan bahwa hukuman bagi tukang sihir adalah dibunuh, dan yang menegakkan
hukuman adalah hak pemerintah yang sah, bukan dilakukan secara individu.
Misalnya seseorang menemukan tetangganya, ada yang menjadi tukang sihir. Akhirnya dia
pun datang dan membunuhnya, maka ini tidak diperbolehkan.
الَّثاِمُن:
َو الَّدِليُل َقْو ُلُه َتَعاَلى َو َمن َيَتَو َّلُهم ِّم نُك ْم َفِإَّنُه ِم ْن ُهْم ِإَّن َهللا َال َيْه ِد ي اْل َقْو َم الَّظاِلِم ين
Yang dimaksud dengan menolong orang-orang musyrikin atau orang-orang kafir dan
membantu mereka di dalam memerangi orang-orang Islam adalah menolong orang-orang
kafir ketika terjadi peperangan antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir, dengan
maksud supaya mereka menang dan mengalahkan kaum muslimin sehingga agama orang-
orang kafir lebih nampak daripada agama kaum muslimin.
Seorang muslim yang sejati adalah seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, senang
ketika Allah dan Rasul-Nya ditaati, gembira melihat agama Allah nampak di bumi, melihat
tauhid dan sunnah tersebar. Sebaliknya, dia bersedih ketika melihat kekufuran, kebid’ahan,
dan kemaksiatan.
َك َما َيْك َر ُه َأْن ُيْق َذَف ِفي، َو َأْن َيْك َر َه َأْن َيُعوَد ِفي اْل ُك ْف ِر، َو َأْن ُيِحَّب اْل َمْر َء َال ُيِح ُّبُه إَّال ِللِه،َأْن َيُك وَن ُهللا َو َر ُسوُلُه أَح َّب ِإَلْيِه ِم َّما َسَو اُهَما
الَّناِر
“Tiga perkara apabila ada pada diri seseorang, maka dia menemukan kelezatan iman.
Kalau demikian, maka menolong orang-orang kafir dan mencintai kekufuran mereka dan
senang apabila orang-orang musyrikin tersebut agamanya lebih nampak daripada agama
kaum muslimin, maka ini adalah sebuah kekufuran.
Adapun orang yang membantu orang-orang musyrikin dan orang-orang kafir dalam
memerangi kaum muslimin tetapi bukan karena cinta dengan agama orang-orang kafir
tersebut dan bukan karena senang apabila agama orang-orang kafir lebih nampak dari
agama kaum muslimin, contohnya dia menolong karena keinginan duniawi seperti jabatan,
harta, wanita, dll, maka orang yang demikian telah melakukan dosa besar tetapi tidak
sampai keluar dari agama Islam. Ini termasuk kefasikan. Kalau dia meninggal dalam keadaan
seperti ini, maka dia telah meninggal dunia dalam keadaan membawa dosa besar.
Keadaannya di akhirat adalah seperti pelaku dosa besar yang lain. Dia di bawah kehendak
Allah. Kalau Allah menghendaki maka Allah mengampuni, dan kalau Allah menghendaki
maka Allah akan mengadzab dia terlebih dahulu di dalam neraka.
Allah Ta’ala di dalam Al Qur’an mengabarkan bahwa diantara sifat orang-orang Yahudi,
mereka dahulu menolong dan mencintai orang-orang kafir, yaitu orang-orang musyrikin
yang menyembah berhala. Padahal orang-orang Yahudi adalah ahlul kitab yang
menisbahkan diri mereka kepada wahyu.
Allah berfirman,
( [ )َتَر ٰى َك ِثی ࣰرا ِّم ۡن ُهۡم َیَتَو َّلۡو َن ٱَّلِذیَن َك َفُر وۚ۟ا َلِبۡئ َس َما َقَّدَم ۡت َلُهۡم َأنُفُس ُهۡم َأن َسِخ َط ٱلَّلُه َع َلۡی ِهۡم َو ِفی ٱۡل َع َذاِب ُهۡم َخ ٰـ ِلُدوَنSurat Al-
Ma’idah 80]
“Kamu akan melihat sebagian besar mereka (orang-orang Yahudi) mencintai dan menolong
orang-orang kafir (orang-orang musyrikin). Sungguh jelek perbuatan tangan mereka. Allah
marah kepada mereka. Dan di dalam neraka, mereka akan kekal.”
( [ )َو َلۡو َك اُنو۟ا ُیۡؤ ِمُنوَن ِبٱلَّلِه َو ٱلَّنِبِّی َو َمۤا ُأنِز َل ِإَلۡی ِه َما ٱَّتَخ ُذوُهۡم َأۡو ِلَیۤا َء َو َلٰـ ِكَّن َك ِثی ࣰرا ِّم ۡن ُهۡم َفٰـ ِس ُقوَنSurat Al-Ma’idah 81]
“Seandainya mereka benar-benar beriman kepada Allah, Nabi, dan apa yang diturunkan
kepada Nabi berupa wahyu, tentunya mereka tidak akan menjadikan orang-orang kafir
tersebut sebagai penolong. Tetapi banyak diantara mereka yang fasik.”
Mencintai dan menolong orang-orang kafir ternyata juga termasuk sifat orang-orang
munafik. Allah berfirman,
([ )َبِّش ِر ٱۡل ُم َنٰـ ِفِقیَن ِبَأَّن َلُهۡم َع َذاًبا َأِلیًماSurat An-Nisa’ 138]
([ )ٱَّلِذیَن َیَّتِخ ُذوَن ٱۡل َك ٰـ ِفِر یَن َأۡو ِلَیۤا َء ِم ن ُدوِن ٱۡل ُم ۡؤ ِمِنیَۚن َأَیۡب َتُغوَن ِع نَدُهُم ٱۡل ِعَّز َة َفِإَّن ٱۡل ِعَّز َة ِلَّلِه َج ِم ی ࣰعاSurat An-Nisa’ 139]
“Mereka adalah orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong, bukan
orang-orang yang beriman. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang-orang kafir
tersebut? Padahal kemuliaan semuanya hanyalah milik Allah.”
Seorang muslim loyalnya hanyalah kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman. Allah berfirman,
( [ ) ِإَّنَما َو ِلُّیُك ُم ٱلَّلُه َو َر ُسوُلُهۥ َو ٱَّلِذیَن َءاَمُنو۟ا ٱَّلِذیَن ُیِقیُموَن ٱلَّص َلٰو َة َو ُیۡؤ ُتوَن ٱلَّز َك ٰو َة َو ُهم َر اِكُعوَنSurat Al-Ma’idah 55]
“Sesungguhnya wali kalian (penolong kalian) adalah Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang
yang beriman yang mereka mendirikan sholat, membayar zakat, dan mereka dalam keadaan
rukuk.” Dan Allah berfirman,
( [ )َو َمن َیَتَو َّل ٱلَّلَه َو َر ُسوَلُهۥ َو ٱَّلِذیَن َءاَمُنو۟ا َفِإَّن ِحۡز َب ٱلَّلِه ُهُم ٱۡل َغ ٰـ ِلُبوَنSurat Al-Ma’idah 56]
“Dan barangsiapa yang loyal kepada Allah, dan Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman,
maka sesungguhnya golongan Allah, merekalah orang-orang yang menang.”
Dalil bahwasanya menolong kaum musyrikin di dalam memerangi kaum muslimin dengan
maksud ingin menampakkan agama orang-orang musyrikin, ini adalah termasuk kekufuran,
adalah firman Allah dalam surat Al Maidah 51,
َو َمن َيَتَو َّلُهم ِّم نُك ْم َفِإَّنُه ِم ْن ُهْم ِإَّن َهللا َال َيْه ِد ي اْل َقْو َم الَّظاِلِم ين
Firman Allah, َفِإَّنُه ِم ْن ُهْم, maka dia adalah termasuk mereka, yaitu termasuk orang-orang kafir.
Ibnu ‘Athiyah menjelaskan di dalam tafsirnya, bahwa orang yang loyal dengan keyakinan
dan agamanya maka dia termasuk mereka di dalam kekufuran dan sama-sama berhak
mendapatkan bencana dan kekal di neraka.
Adapun orang-orang yang loyal dengan perbuatannya, yaitu menolong mereka dan
semisalnya tanpa keyakinan dan kerusakan iman, maka dia termasuk mereka dalam hal ikut
mendapatkan celaan dan kebencian yang menimpa mereka. [Al Muharrar Al Wajiz jilid 2
halaman 204].
الَّتاِس ُع:
َم ِن اْع َتَقَد َأَّن َبْعَض الَّناِس اَل َيِج ُب َع َلْيِه اِّتَباُع الَّنِبِّي ﷺ،
َو َأَّنُه َيَسُعُه الُخ ُر وُج َع ْن َش ِر يَعِة ُمَح َّمٍد ﷺ
َك َما َو ِس َع الَخ ِض ُر الُخ ُر وَج َع ْن َش ِر يَعِة ُموَسى َع َليِه الَّس اَل ُم
َفُهَو َك اِفٌر
“Yang ke sembilan, barangsiapa yang meyakini bahwa sebagian manusia tidak wajib
mengikuti Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan bahwa dia boleh keluar dari syari’at Nabi
shallallāhu ‘alaihi wa sallam sebagaimana Nabi Khadhir keluar dari syari’at Nabi Musa
‘alaihissalam, maka dia kafir.”
Wajib bagi seluruh manusia semenjak diutusnya Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam
untuk beriman kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti risalah Beliau,
karena Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah untuk seluruh manusia, baik
orang Arab maupun selain orang Arab, baik ahlul kitab, orang-orang musyrikin, maupun
pengikut Nabi sebelumnya.
“Dan tidaklah kami mengutusmu Wahai Muhammad, kecuali sebagai rahmat bagi seluruh
alam.”
[ ُقۡل َیٰۤـ َأُّیَها ٱلَّناُس ِإِّنی َر ُسوُل ٱلَّلِه ِإَلۡی ُك ۡم َج ِم یًعاSurat Al-A’raf 158]
“Katakanlah wahai manusia, sesungguhnya aku adalah Rasulullah untuk kalian semuanya.”
Dan ini adalah keistimewaan Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Adapun para Nabi
sebelumnya, maka mereka diutus untuk kaumnya saja.
َو َك اَن الَّنِبُّي ُيْبَع ُث ِإَلى َقْو ِمِه َخ اَّص ًة َو ُبِع ْث ُت ِإَلى الَّناِس َع اَّم ًة
“Dahulu seorang Nabi diutus kepada kaumnya secara khusus dan aku diutus ke seluruh
manusia.” [Muttafaqun ‘Alaihi]
Nabi Musa ‘alaihissalam diutus kepada Bani Israil. Nabi Isa ‘alaihissalam diutus kepada Bani
Israil. Nabi Shalih ‘alaihissalam diutus kepada Tsamud. Nabi Hud kepada ‘Aad. Nabi Syu’aib
diutus kepada Madyan. Nabi Nuh diutus kepada kaumnya.
Apabila ada seorang Yahudi yang mengaku beriman dengan Nabi Musa atau seorang
Nasrani yang mengaku beriman kepada Nabi Isa, mendengar tentang kedatangan
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam, maka dia wajib mengikuti Rasulullah shallallāhu
‘alaihi wa sallam. Apabila dia meninggal dan tidak beriman dengan Beliau, maka dia
meninggal dalam keadaan kufur.
“Tidaklah mendengar kedatanganku, seseorang diantara umat ini, baik seorang Yahudi
maupun Nasrani, kemudian dia meninggal dunia dan tidak beriman dengan apa yang aku
bawa, kecuali dia adalah termasuk penghuni neraka.” [Hadits shahih diriwayatkan oleh Imam
Muslim]
Bahkan bukan hanya itu. Seandainya sekarang ada seorang Nabi yang masih hidup, maka
diwajibkan bagi Nabi tersebut untuk mengikuti Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Tidak
boleh Nabi tersebut melaksanakan syari’atnya sendiri.
Allah Subhānahu wa Ta’āla telah mengambil perjanjian dari para Nabi dan mewajibkan
mereka untuk mengikuti, beriman, dan menolong Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam
apabila menemui Beliau.
( [ )َفَمن َتَو َّلٰى َبۡع َد َذ اِلَك َفُأ۟و َلٰۤـ ِٕىَك ُهُم ٱۡل َفٰـ ِس ُقوَنSurat Ali Imran 81-82]
“Ketika Allah Subhānahu wa Ta’āla mengambil perjanjian dari para Nabi, ‘Seandainya Aku
memberikan kepada kalian kitab dan hikmah, kemudian datang kepada kalian seorang
Rasul yang membenarkan apa yang kalian bawa, maka kalian harus beriman dengan Rasul
tersebut dan kalian harus menolongnya.’
Kemudian Allah berkata, ‘Apakah kalian mengakui perjanjian ini dan mengambil perjanjian
ini?’ Mereka mengatakan, ‘Kami berikrar.’
Allah berkata, ‘Maka saksikanlah, dan Aku bersama kalian, termasuk yang bersaksi.’ Maka
barangsiapa yang berpaling dari perjanjian ini, maka mereka adalah orang-orang yang
fasik.”
Di dalam sebuah hadits, suatu saat Umar bin Khatab radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu membaca
sebuah kitab yang beliau dapatkan dari ahlul kitab. Maka Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa
sallam marah dan berkata, “Apakah engkau bingung wahai anak Al Khatab?”
َو اَّلِذ ي َنْف ِس ي ِبَيِدِه َلْو َأَّن ُموَسى َك اَن َح ًّيا َما َو ِس َعُه ِإاَّل َأْن َيَّتِبَعِني
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa ‘alaihissalam sekarang ini
hidup, niscaya dia tidak boleh kecuali harus mengikuti diriku.” [HR Imam Ahmad dan
dihasankan oleh Syeikh Al Albani Rahimahullah]
Oleh karena itu, di akhir zaman ketika Nabi Isa ‘alaihissalam turun ke dunia, maka beliau
akan turun sebagai salah satu diantara umat Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam,
mengikuti syar’iat Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam, dan tidak berhukum dengan Injil.
Risalah Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah umum untuk seluruh manusia dan jin.
Apabila ada jin yang mendengar kedatangan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam, maka
mereka wajib untuk mengikuti Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada alasan bagi
mereka untuk tidak mengikuti Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Allah menceritakan di dalam Al Qur’an bahwa ada sebagian jin yang datang kepada
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan mendengar Al Qur’an dari Beliau.
Allah berfirman,
( [ )َو ِإۡذ َص َر ۡف َنۤا ِإَلۡی َك َنَف ࣰرا ِّمَن ٱۡل ِجِّن َیۡس َتِمُعوَن ٱۡل ُقۡر َءاَن َفَلَّما َح َض ُر وُه َقاُلۤو ۟ا َأنِص ُتوۖ۟ا َفَلَّما ُقِض َی َو َّلۡو ۟ا ِإَلٰى َقۡو ِم ِهم ُّمنِذ ِر یَنSurat Al-
Ahqaf 29]
“Dan ketika kami palingkan kepadamu serombongan dari jin yang mereka mendengar Al
Qur’an yang engkau baca. Ketika mereka menghadirinya, mereka mengatakan ‘Hendaklah
kalian diam.’ Ketika Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam selesai membaca Al Qur’an
tersebut, maka jin-jin tersebut pergi kepada kaum mereka dalam keadaan memberikan
peringatan.”
([ )َقاُلو۟ا َیٰـ َقۡو َم َنۤا ِإَّنا َسِمۡع َنا ِك َتٰـ ًبا ُأنِز َل ِم ۢن َبۡع ِد ُموَسٰى ُمَص ِّد ࣰقا ِّلَما َبۡی َن َیَدۡی ِه َیۡه ِد ۤی ِإَلى ٱۡل َح ِّق َو ِإَلٰى َطِر ی ࣲق ُّمۡس َتِقی ࣲمSurat Al-Ahqaf
30]
“Mereka berkata, ‘Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengar sebuah kitab
yang diturunkan setelah Musa yang membenarkan apa yang sebelumnya, yang memberikan
petunjuk kepada kebenaran, dan memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus.”
Para jin tersebut, mereka mengetahui bahwa Al Qur’an apabila dipelajari dan diamalkan,
akan membimbing seseorang kepada jalan yang lurus.
([ )َیٰـ َقۡو َم َنۤا َأِج یُبو۟ا َداِع َی ٱلَّلِه َو َءاِم ُنو۟ا ِبِهۦ َیۡغ ِفۡر َلُك م ِّم ن ُذُنوِبُك ۡم َو ُیِج ۡر ُكم ِّمۡن َع َذاٍب َأِلی ࣲمSurat Al-Ahqaf 31]
“Wahai kaum kami, hendaklah kalian menjawab penyeru dari Allah (Rasulullah shallallāhu
‘alaihi wa sallam) dan hendaklah kalian beriman dengan Beliau, niscaya Allah mengampuni
dosa kalian dan akan menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih.”
Ini menunjukkan kepada kita tentang kewajiban jin untuk beriman dengan Rasulullah
shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan beribadah kepada Allah dengan syari’at Beliau shallallāhu
‘alaihi wa sallam.
Setelah ini semua, apabila ada seseorang di zaman sekarang meyakini bahwa sebagian
manusia boleh untuk tidak mengikuti Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam, boleh untuk
tidak beriman dengan Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam, boleh untuk keluar dari syari’at
Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam, maka dia telah keluar dari agama Islam.
Kenapa demikian?
Karena dia telah mendustakan kabar Allah dan karena dia telah mendustakan kabar
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Masuk di dalam golongan ini sebagian manusia yang mengaku telah mencapai derajat
tertentu di dalam agama, maka dia sudah tidak terikat dengan perintah dan larangan, boleh
baginya tidak sholat lima waktu, tidak puasa Ramadhan, meminum minuman keras, berzina,
dll. Dan mereka mengatakan bahwasanya syari’at hanyalah untuk orang-orang yang
memiliki derajat yang rendah di dalam agama.
Barangsiapa yang meyakini keyakinan ini, maka dia telah keluar dari agama Islam.
Orang yang paling mengenal Allah adalah orang yang paling takut kepada Allah.
Allah Subhānahu wa Ta’āla memuji para ulama karena mereka mengenal Allah dan
mengenal agamanya.
[ َّنَما َیۡخ َشى ٱلَّلَه ِمۡن ِع َباِدِه ٱۡل ُع َلَم ٰۤـ ُؤ ۗ۟اSurat Fatir 28]
ِإ
“Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah para
ulama.”
Di dalam hadits, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa Beliau adalah
orang yang paling mengenal Allah. [HR Al Bukhari]
Dan Beliau juga mengabarkan bahwa Beliau adalah orang yang paling bertakwa dan paling
takut kepada Allah. [HR Muslim]
Disebutkan di dalam hadits bahwa Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam sholat malam sampai
kaki Beliau pecah-pecah. Kemudian Beliau ditanya tentang perkara ini, maka Beliau
mengatakan,
“Bukankah aku ingin menjadi hamba yang bersyukur?” [HR Bukhari dan Muslim]
Seseorang semakin mengenal Allah, semakin mengenal agamanya, harusnya semakin takut
kepada Allah dan semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan beribadah kepada-Nya,
bukan semakin jauh dari Allah.
َك َما َو ِس َع الَخ ِض ُر الُخ ُر وَج َع ْن َش ِر يَعِة ُموَسى َع َليِه الَّس اَل ُم
َفُهَو َك اِفٌر
“Sebagaimana Nabi Khadhir boleh keluar dari syari’at Nabi Musa, maka dia telah kafir.”
Maksudnya adalah kisah yang Allah sebutkan di dalam surat Al Kahfi, yang ringkasnya
bahwa Nabi Khadhir tidak mengikuti syar’iat Nabi Musa ‘alaihissalam. Nabi Khadhir merusak
sebagian kapal orang-orang miskin, membunuh seorang anak kecil yang tidak berdosa,
kemudian ketika keduanya (Nabi Musa dan Nabi Khadhir) mampir ke sebuah desa dan
penduduknya tidak menghormati beliau berdua, tidak menjamu beliau berdua, maka Nabi
Khadhir ‘alaihissalam justru memperbaiki sebuah dinding yang sudah hampir roboh.
Maka kita katakan ini adalah sebuah alasan yang tidak benar dan alasan yang bathil, karena
Nabi Khadhir ‘alaihissalam bukan termasuk Bani Israil. Sedangkan Nabi Musa ‘alaihissalam
hanya diutus kepada Bani Israil.
Halaqah 23 | Penjelasan Pembatal Keislaman Ke
Sepuluh
Halaqah yang ke dua puluh tiga dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam
yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.
الَعاِش ُر:
اِإلْع َر اُض َع ْن ِد يِن ِهللا تعالى اَل َيَتَع َّلُمُه َو اَل َيْعَمُل ِبِه
َو الَّدِليُل َقْو ُلُه َتَعاَلى
( )َو َمۡن َأۡظَلُم ِم َّمن ُذِّكَر ِبَٔـاَیٰـ ِت َر ِّبِهۦ ُثَّم َأۡع َر َض َع ۡن َهۚۤا ِإَّنا ِمَن ٱۡل ُمۡج ِر ِمیَن ُم نَتِقُموَن
“Yang ke sepuluh adalah berpaling dari agama Allah. Tidak mempelajarinya dan tidak
mengamalkannya. Dalilnya adalah firman Allah yang artinya “Dan siapa yang lebih dzalim
daripada orang-orang yang diingatkan dengan ayat-ayat Rabb-nya kemudian dia berpaling
dari ayat-ayat Allah. Sesungguhnya kami akan mengadzab orang-orang yang mujrimin.” [As
Sajdah 22]”
َأْش َهُد َأّن اَّل ِإَٰل َه ِإإَّل هللا وَأْش َهُد ان محمدًا رسول هللا
“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah” maka persaksian tersebut akan
menggerakkan dia untuk mempelajari makna dua kalimat syahadat tersebut.
Persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dan diibadahi kecuali Allah.
Maka dia harus mengetahui makna ibadah, macam-macamnya, supaya dia menyerahkan
seluruh ibadah tadi hanya kepada Allah.
Dan juga harus mempelajari macam-macam kesyirikan, supaya tidak terjerumus ke dalam
kesyirikan yang merupakan perkara yang bertentangan dengan ال إله إال هللا
Apabila dia yakin dan percaya bahwasanya Muhammad adalah seorang utusan Allah, maka
yang namanya utusan pasti membawa sesuatu dari yang mengutus, sehingga dia harus
mempelajari apa yang Beliau bawa dari Allah.
“Menuntut ilmu itu adalah wajib atas setiap muslim.” [Hadits shahih diriwayatkan oleh Ibnu
Majah]
Dan ilmu yang dimaksud di dalam Al Qur’an dan juga Sunnah adalah ilmu yang bermanfaat,
yaitu ilmu yang diamalkan oleh orang yang memilikinya. Bukan hanya sekedar
pengetahuan.
Orang yang berilmu dan dia tidak mengamalkan ilmunya, maka dia seperti orang-orang
Yahudi.
Dan orang yang beramal tanpa berdasarkan ilmu, maka ini seperti orang-orang Nasrani.
Ucapan Syeikh,
“Tidak mau mempelajari agama Allah dan tidak mau mengamalkan agama Allah.”
Berpaling, maksudnya adalah tidak mau mempelajari Islam, tidak peduli dengan agamanya,
tidak mau mempelajari akidah, mempelajari tauhid, hal-hal yang diwajibkan di dalam agama
Islam.
Tidak mau mengamalkan apa yang ada di dalam agama Islam sama sekali. Maka orang yang
perbuatannya demikian, dia telah keluar dari agama Islam.
Seandainya persaksian dia jujur secara dhohir dan batin, tentunya dia akan mempelajari
agama Allah sesuai dengan kemampuan dia dan akan mengamalkan agama Allah sesuai
dengan kemampuan dia.
( [ )َو َمۡن َأۡظَلُم ِم َّمن ُذِّكَر ِبَٔـاَیٰـ ِت َر ِّبِهۦ ُثَّم َأۡع َر َض َع ۡن َهۚۤا ِإَّنا ِمَن ٱۡل ُمۡج ِر ِمیَن ُم نَتِقُموَنSurat As-Sajdah 22]
“Dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang-orang yang diingatkan dengan ayat-ayat
Allah (diingatkan dengan Al Qur’an, diingatkan dengan hadits) kemudian dia berpaling dari
ayat-ayat Allah. Sesungguhnya kami akan mengadzab orang-orang yang mujrimin. [As
Sajdah 22]”
“Dan orang-orang yang kafir, mereka berpaling dari apa yang diingatkan kepada mereka.”
( [ )ُقۡل َأِط یُع و۟ا ٱلَّلَه َو ٱلَّر ُسوَۖل َفِإن َتَو َّلۡو ۟ا َفِإَّن ٱلَّلَه اَل ُیِحُّب ٱۡل َك ٰـ ِفِر یَنSurat Ali Imran 32]
“Katakanlah, hendaklah kalian taat kepada Allah dan juga Rasul. Apabila kalian berpaling,
maka sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang kafir.
َو اَل َفْر َق ِفي َج ِم يِع َهِذِه الَّنَو اِقِض َبْيَن الَهاِز ِل َو الَج اِّد َو الَخ اِئِف ِإاَّل الُم ْك َر ه.
“Tidak ada bedanya di dalam pembatal-pembatal keislaman yang sepuluh ini antara orang
yang bercanda, orang yang bersungguh-sungguh, dan orang yang takut, kecuali orang yang
dipaksa.”
Telah berlalu penyebutan kisah orang munafik yang mengejek Rasulullah shallallāhu ‘alaihi
wa sallam dan para sahabatnya. Dan dia menyebutkan bahwa ejekan dia dilakukan karena
permainan saja. Namun ternyata yang demikian tidak bermanfaat dan dia tidak diberikan
udzur.
Kalau yang bercanda saja dan main-main saja, dia keluar dari agama Islam, lalu bagaimana
dengan orang yang sungguh-sungguh dan serius.
Orang yang ditimpa rasa takut dan kekhawatiran tapi tidak sampai keadaan dipaksa, tidak
sampai diancam akan dibunuh atau disiksa, kemudian dia melakukan salah satu diantara
pembatal keislaman, maka dia telah keluar dari agama Islam.
Seperti misalnya, seseorang yang mengaku sebagai seorang muslim, dia ikut mengejek
Allah karena takut atasannya yang kafir padahal tidak ada paksaan.
ِإاَّل الُم ْك َر ه
“Kecuali orang yang terpaksa.”
Apabila dalam keadaan terpaksa, seseorang jika tidak mengucapkan ucapan yang kufur atau
melakukan amalan yang kufur, maka dia akan dibunuh, akan disiksa dengan siksaan yang
berat, kemudian dia mengucapkan ucapan yang kufur atau perbuatan yang kufur, maka dia
tidak kafir. Tetapi disyaratkan hatinya harus dalam keadaan tenang dengan keimanan.
Beriman kepada Allah, beriman kepada Rasul, dengan ayat-ayat-Nya.
Orang kafir bisa memaksa lisan dan juga amalan seseorang. Tetapi orang kafir tidak bisa
memaksa hati. Allah Subhānahu wa Ta’āla mengatakan,
( ِنِه ِإاَّل َمۡن ُأۡك ِر َه َو َقۡل ُبُهۥ ُم ۡط َم ِٕىُّۢن ِبٱِإۡلیَم ٰـ ِن َو َلٰـ ِك ن َّمن َش َر َح ِبٱۡل ُكۡف ِر َص ۡد ࣰرا َفَع َلۡی ِهۡم َغ َض ࣱب ِّمَن ٱلَّلِه َو َلُهۡم َع َذاٌب
َمن َك َفَر ِبٱلَّلِه ِم ۢن َبۡع ِد ِإیَم ٰـ ۤۦ
[ )َع ِظ ی ࣱمSurat An-Nahl 106]
“Barangsiapa yang kufur setelah keimanannya, kecuali orang yang dipaksa sedangkan
hatinya dalam keadaan tenang dengan keimanan. Akan tetapi orang yang lapang dadanya
dengan kekufuran, maka mereka mendapatkan kemarahan dari Allah dan mereka
mendapatkan adzab yang besar.”
Ayat ini turun ketika Ammar bin Yasir dipaksa oleh orang-orang musyrikin untuk mencela
Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Dan kita tahu bagaimana ujian besar yang menimpa
keluarga Yasir.
Yasir (bapak beliau) dan Sumayyah (ibu beliau) telah mati syahid terlebih dahulu di tangan
orang-orang musyrikin. Ammar bin Yasir pun mengucapkan ucapan yang kufur. Kemudian
dalam keadaan menangis dan menyesal, beliau mendatangi Nabi shallallāhu ‘alaihi wa
sallam. Maka Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana engkau mendapatkan
hatimu?”
Maka Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kalau mereka kembali (untuk memaksamu),
maka kembalilah (lakukan seperti yang kamu lakukan sebelumnya).”
Halaqah 25 | Penjelasan Penutup Kitab
Pembatal Keislaman Bagian 2
Halaqah yang ke dua puluh lima dari Silsilah Ilmiyyah Pembahasan Kitab Nawaqidul Islam
yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.
Beliau berkata,
َو َأْكَثِر َما َيُك وُن ُو ُقوًع ا،َو ُكُّلَها ِمْن َأْع َظِم َما َيُك وُن َخ َطًر ا،
َفَيْن َبِغ ي ِلْل ُمْسِلِم َأْن َيْح َذَر َها َو َيَخ اَف ِم ْن َها َع َلى َنْف ِس ِه
َو َأِليِم ِع َقاِبِه، َنُعوُذ ِباِهلل ِمْن ُموِج َباِت َغ َض ِبِه
“Dan semuanya ini termasuk yang paling berbahaya dan paling banyak terjadi. Maka
sepantasnya seorang muslim waspada dan takut terjadi atas dirinya sendiri. Kita berlindung
kepada Allah dari perkara-perkara yang menyebabkan kemarahan-Nya dan kita berlindung
kepada Allah dari pedihnya siksaan-Nya.”
Ini menunjukkan bahwa di sana masih ada perkara-perkara yang lain yang tidak beliau
sebutkan di sini. Ucapan beliau,
َفَيْن َبِغ ي ِلْل ُمْسِلِم َأْن َيْح َذَر َها َو َيَخ اَف ِم ْن َها َع َلى َنْف ِس ِه
“Maka wajib bagi seorang muslim untuk waspada dan takut dia terjatuh di dalam perkara-
perkara tersebut.
Ini adalah do’a terbaik dari pengarang rahimahullah. Beliau mendo’akan untuk beliau sendiri
dan mendo’akan setiap orang yang membaca buku beliau ini. Berlindung kepada Allah dari
segala hal yang menjadikan amarah Allah.
َو َص َّلى ُهللا َع َلى َنِبِّيَنا ُمَح َّمٍد َو َع َلى آِلِه َو َص ْح ِبِه َو َس َّلَم
“Dan shalawat Allah serta salam-Nya atas Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan para
sahabatnya.”
Menggabungkan di dalam kalimat terakhir ini, antara shalawat dan salam, karena Allah
Subhānahu wa Ta’āla memerintahkan kita untuk melakukan shalawat dan salam seperti
dalam firman Allah,
([ )ِإَّن ٱلَّلَه َو َم َلٰۤـ ِٕىَك َتُهۥ ُیَص ُّلوَن َع َلى ٱلَّنِبِّۚی َیٰۤـ َأُّیَها ٱَّلِذیَن َءاَمُنو۟ا َص ُّلو۟ا َع َلۡی ِه َو َسِّلُم و۟ا َتۡس ِلیًماSurat Al-Ahzab 56]
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersholawat atas Nabi. Wahai orang-orang
yang beriman, hendaklah kalian bersholawat atas Beliau dan ucapkanlah salam dengan
sebenarnya.”
Dengan demikian kita sudah menyelesaikan kitab yang mulia ini, kitab yang sangat
bermanfaat, yaitu Nawaqidul Islam, yang berisi tentang 10 perkara yang paling besar yang
bisa membatalkan keislaman seseorang.
Semoga Allah Subhānahu wa Ta’āla memberikan kita ilmu yang bermanfaat dan menjadikan
ilmu yang kita dapatkan adalah ilmu yang diamalkan.