َو إِ َذا.الر ِحي ِْم َ َِكت َ ْبت ُ ُم ْوهَا فَا ْق َر ُء ْوهَا ِإ َذا َكت َ ْبت ُ ْم ِكتَابًا فَا ْكتُبُ ْوا فِي ا َ َّو ِل ِه بِ ْس ِم للا
َّ الر ْح َم ِن
ط ُع ا َ ْو أ َ ْج َذ ُم
َ الر ِحي ِْم فَ ُه َو أ َ ْبت َ ُر ا َ ْو أ َ ْق
َّ من َّ ِِي بَا ٍل ََل يُ ْب َدأ ُ بِبِ ْس ِم للا
ِ الر ْح ْ ُك ُّل ا َ ْم ٍر ذ
"Segala sesuatu yang dianggap penting yang tidak didahului dengan maka akan kurang dan
sedikit barakahnya."
Setelah beliau -Syekh Salim bin Sumair Alhadhrami- mengawali kitabnya dengan basmalah.
Beliau melanjutkan dengan ucapan hamdalah. Hal ini beliau lakukan karena mengikuti
Alquran sebagaimana basmalah. Juga karena mengikuti sabda Nabi Muhammad sallallahu
alaihi wa sallam yang diriwayatkan olehbimam Ibnu Majah yang berbunyi:
"Segala sesuatu yang dianggap penting yang tidak didahului dengan maka akan kurang dan
sedikit barakahnya."
Kemudian pengarang melanjutkan dengan meminta pertolongan baik dalam urusan dunia
maupun urusan agama, hanya krpada Allah SWT. Karena Allah-lah tempat kita meminta
pertolongan sebagaimana disebutkan dalam surat Alfatihah:
َّاك نَ ْست َ ِعي ُْن
َ َّاك نَ ْعبُ ُد َو إِي
َ إِي
"Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami meminta tolong."
Faidah:
Hukum membaca basmalah
Adapun hukum membaca basmalah terbagi menjadi 5, yaitu:
a. Wajib. Sebagaimana dalam sholat wajib membaca basmalah ketika membaca surah
Alfatihah.
b. Haram. Ketika membaca basmalah untuk memulai hal-hal yang diharamkan seperti
memulai basmalah ketika akan meminum minuman keras.
c. Sunnah. Ketika mengawali hal-hal yang dianggap penting menurut syariat. Seperti
mengarang kitab dll.
d. Makruh. Ketika mengawali hal-hal yang makruh. Seperti membaca basmalah ketika
hendak melihat hal-hal yang dimakruhkan.
e. Mubah. Ketika hendak mengawali hal-hal mubah dengan basmalah.
Kemudian setelah pengarang kitab ini mengucapkan pujian kepada Allah dan meminta
pertolongan hanya kepada Allah, beliau melanjutkan dengan mengucapkan sholawat serta
salam kepada junjungan kita Nabi besarr Muhammad sallallahu alaihi wa sallam beliaulah
Nabi penutup para Nabi.
Beliau mengucapkan salam kepada Nabi karena mengikuti perintah Allah dalam firmannya
yang berbunyi:
س ِلِّ ُم ْوا
َ صلُّ ْوا َعلَ ْي ِه َو
َ ي يَا أَيُّ َها الَّ ِذيْنَ آ َمنُ ْواِِّ ِصلُّ ْونَ َعلَى النَّب
َ ُللا َو َم ََلئِ َكتَهُ ي
َ إِ َّن
ت َ ْس ِل ْي ًما
“sesungguhnya Allah beserta malaikatya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang
beriman ucapkanlah shalawat kepada beliau serta salam penghormatan.”
Dan juga hadist Nabi yang berbunyi:
“barang siapa yang bershalawat kepadaku dalam kitab (menulis shalawat kepadaku dalam
sebuah kitab/buku) maka para Malaikat senantiasa bershalawat kepadanya selama tulisan itu
masih ada dalam kitab tersebut.”
Kata النبيونadalam bentuk jamak dari النبي. Nabi adalah manusia laki-laki yang
terbebas dari cacat yang membuat orang lain menghindarinya dan terhindar dari kerendahan
martabat ayah serta khiyanat dari ibunya. Diberi wahyu berupa syariat tapi tidak
diperintahkan untuk menyebarkannya. Sedang seorang yang diberi wahyu dan diperintahkan
untuk menyebarkannya maka itu adalah Nabi dan Rasul.
Adapun makna dari sholawat kepada Nabi adalah semoga Allah mamberi rahmat kepada
Nabi Muhammad sebagai bentuk menambah kemuliaan beliau.
Kemudian setelah pengarang kitab ini mengucapkan sholawat dan salam kepada Nabi,
kemudian beliau juga mengucapkan sholawat kepada keluarga dan sahabat nabi radhiyallahu
anhum.
Yang dimaksud keluarga Nabi disini adalah orang-orang yang beriman dari kalangan Bani
Hasyim dan Bani Muttholib. Sedang yang dimaksud sahabat Nabi adalah orang-orang yang
hidup setelah nabi diutus, mereka beriman kepada Nabi ketika Nabi masih hidup.
Faidah:
1. Jumlah sahabat Nabi ketika beliau meninggal berjumlah 20.104 sahabat. Sebagian ulamak
berpendapat jumlah mereka ada 60.000 sahabat.
2. Abu Thufail Amir bin Zain al-iraqi adalah sahabat Nabi yang terakhir meninggal dunia.
Kerena beliau meninggal pada tahun 100 H.
3. Sahabat-sahabat Nabi yang paling mulia adalah sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira
dengan surge oleh Nabi. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, Aa’d bin Abi
Waqqas, Sa’id bin Zaid, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abu Ubaidah bin
Jarrah, dan Abdurrahman bin Auf.
ْ َف:ان ا
ص ٌل ُ سةٌ ْ َِلس ََْل ِما َ ْر َك ُ ش َها َدة ُ ا َ ْن ََل اِلَهَ ا اَِل هللا َو ا َ ان ُم َح امدًا َر
َ س ْو ُل هللاِ َو اِقَا ُم َخ ْم َ )
س ِبي ًَْل
َ لَ ْي ِه. ِع ا
َ طا َ َ ت َم ْن اِ ْستِ ضانَ َو ِح ُّج ْالبَ ْي َ ص ْو ُم َر َمَ الز َكاةِ َوص ََلةِ َو اِ ْيتَا ُء ا ﺎݪ ا
"Rukun-rukun islam ada 5. Yaitu:
1. Bersaksi tidak ada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
2. Mendirikan shalat.
3. Membayar zakat.
4. Puasa Ramadhan.
5. Haji ke baitullah (ka'bah) bagi orang yang mampu.
Rukun islam ada 5 karena berdasarkan hadist Nabi yang diriwayatkan dari Abdullah bin
Umar bin Khatthab radhiyallahu anhuma yang berbunyi:
ِْ ي
اَل ْس ََل ُم َعلَى خ َْم ٍس َ ِبُن: س ْو ُل هللاِ َو اِقَ ِام ُ ش َها َدةِ أ َ ْن ََل اِلَهَ ا اَِل هللا َو أ َ ان ُم َح امدًا َر
َ
سبِي ًَْل
َ ع اِلَ ْي ِه
َ طا ِ الز َكا ِة َو َحجِ ْال َب ْي
َ َ ت َم ِن ا ْست اء ا ِ َ ص ََل ِة َو اِ ْيت
ال ا
"Islam dibangun atas 5 dasar: bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Nabi
muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa ramadhan dan
berhaji ke baitullah (ka'bah) bagi orang yang mampu."
terlihat dalam dirinya bekas safar.
س ِل ِه َو ِب ْال َي ْو ِم
ُ ا َ ْن تُؤْ ِمنَ ِباهللِ َو َم ََلئِ َكتِ ِه َو ُكت ُ ِب ِه َو ُر:ٌان ِستَّة ِ ْ ان
ِ اْل ْي َم ُ ص ٌل) ا َ ْر َك ْ َ(ف
.اآلخ ِر َو ِب ْالقَ َد ِر َخي ِْر ِه َو ش ِ َِّر ِه ِمنَ للاِ ت َ َعالَى
ِ
“Rukun iman ada 6. Yaitu:
1. Iman kepada Allah.
2. Iman kepada Malaikat Allah.
3. Iman kepada kitab-kitab Allah.
4. Iman kepada utusan-utusan Allah.
5. Iman kepada hari akhir.
6. Iman kepada ketentuan Allah, perkara baik dan buruk dari Allah ta’ala.
Penjelasan:
Seorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat wajib beriman kepada Allah,
Malaikat Allah, kitab-kitab yang telah Allah telah turunkan kepada para utusan-utusannya,
beriman kepada Rasul-rasul Allah, hari akhir dan kepada ketentuan-katentuan Allah.
Iman artinya mempercayai dengan semua yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad
sallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk hal-hal yang wajib diketahui oleh setiap individu dari
seorang muslim adalah beriman kepada 6 hal yang tersebut di atas. Hal ini sesuai sabda Nabi
Muhammad ketika ditanya oleh malaikat Jibril tentang iman, beliau bersabda:
َاآلخ ِر َو ِب ْالقَ َد ِر َخي ِْر ِه َو ش ِ َِّر ِه ِمن
ِ س ِل ِه َو بِ ْال َي ْو ِم
ُ ا َ ْن تُؤْ ِمنَ ِباهللِ َو َم ََلئِ َكتِ ِه َو ُكت ُ ِب ِه َو ُر
.للاِ ت َ َعالَى
“(Iman adalah) engkau beriman kepada Allah, para malaikat Allah, kitab-kitab Allah, utusan-
utusan Allah, hari akhir dan ketentuan Allah, baik dan buruk dari Allah subhanahu wa
ta’ala.”
الصالة والطواف ومس المصحف وحمله واللبث في المسجد: ويحرم بالحيض عشرة أشياء
وقراءة القرآن والصوم والطالق والمرور في المسجد إن خافت تلويثه واالستمتاع بما بين
السرة والركبة
2. Puasa.
Rasulallah saw bersabda: “Aku tidak melihat kurangnya akal dan agama yang lebih
menguasai manusia dari wanita.”. Beliau bersabda “Wanita bangun malam tanpa
mengerjakan shalat dan tidak puasa di bulan Ramadan (karena haid), ini adalah kekurangan
pada agama” (HR Bukhari Muslim).
3. Thawaf
Rasulallah saw bersabda kepada Aisyah ra (Ketika haji wada’ dan ia mendapatkan haid):
“Lakukanlah semua amalan yang dilakukan oleh orang yang melaksanakan haji, hanya saja
engkau tidak boleh melakukan thawaf di Baitullah” (HR Bukhari Muslim).
4. Membaca Al-Quran, berkiyas kepada orang yang sedang junub diharamkan membaca al-
Qur’an.
Allah berfirman: “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” Al-Waqiah 79
Membaca Quran. Artinya melafadzkan dengan lisan baik satu ayat atau lebih. Dengan
demikian, perempuan yang haidl diperbolehkan mengingat ayat-ayat al-Quran di dalam hati
dengan tanpa melafadzkannya dengan lisan. Ia juga diperbolehkan melihat fisik al-Quran.
Dan ulama bersepakat bahwa diperbolehkan bagi perempuan haidl dan orang yang berhadats
membaca tahlil, tasbih, tahmidl, takbir, shalawat kepada nabi dan dzikir-dzikir yang lainnya.
7. Masuk ke dalam masjid sekalipun hanya untuk sekedar lewat jika ia takut akan mengotori
masjid tersebut.
Adanya keharaman itu sebagaimana pendapat menurut jumhur ulama. Mereka umumnya
menggunakan dalil qiyas. Yaitu menyamakan orang yang sedang haidh dengan orang yang
sedang junub. Sebagaimana kita ketahui bahwa orang yang sedang junub dilarang masuk
masjid kecuali sekedar lewat saja.
Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ku halalkan masjid bagi
orang yang junub dan haidh.” (HR Bukhori, Abu Daud dan Ibnu Khuzaemah)
8. Cerai
Suami menceraikan isterinya dalam keadaan haidh.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Wahai Nabi, apabila kalian hendak menceraikan para istri
maka ceraikanlah mereka pada saat mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-nya.” (At Thalaq: 1)
“Ibnu Abbas menafsirkan: (Tidak boleh seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan haid
dan tidak boleh pula ketika si istri dalam keadaan suci namun telah disetubuhi dalam masa
suci tersebut. Akan tetapi bila ia tetap ingin menceraikan istrinya maka hendaklah ia
membiarkannya [menahannya] sampai datang masa haid berikutnya lalu disusul masa suci,
setelah itu ia bisa menceraikannya).” (Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)
9. Bersetubuh
Allah berfirman: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah
kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu” al-Baqarah 222
10. Menikmati dengan membuka antara lutut dan pusar (tanpa busana).
Sesuai dengan firman Allah tersebut diatas, dan hadist Rasulallah saw, beliau bersabda:
“Halal bagi laki-laki atas perempuan yang sedang haid, menyentuh apa-apa yang diatas kain
(di atas pusar)” (HR Ibnu Majah, al-Baihaqi).
ِ َ ص ٌل) ال َما ُء َق ِل ْي ٌل َو َكثِي ٌْر َو ْال َق ِل ْي ُل َما د ُْونَ ْالقُلَّتَي ِْن َو ْال َكثِي ُْر قُلَّت
القَ ِل ْي ُل.ان فَأ َ ْكثَر ْ ( َف
س ا ََِّل اِ َذا تَغَي ََّرُ َو ْال َما ُء ْال ًك ِثي ُْر ََل يَتَنَ َّج.س ِة ِف ْي ِه َو ا ِْن لَ ْم يَتَغَي َّْر َ س ِب ُوقُ ْوعِ النَّ َجا ُ َيتَنَ َّج
.ُط ْع ُمهُ ا َ ْو لَ ْونُهُ ا َ ْو ِر ْي ُحه
َ
Air terbagi menjadi dua, yaitu: air sedikit dan air banyak. Air sedikit adalah air yang
ukurannya kurang dari 2 kullah sedang air banyak adalah air yang ukurannya mencapai 3
kullah atau lebih.
Air sedikit bisa menjadi najis hanya dengan kejatuhan najis meskipun tidak berubah.
Air banyak tidak serta-merta menjadi najis (jika kejatuhan najis) kecuali jika ada yang
berubah dari rasa, warna atau baunya.
Penjelasan
Air adalah alat atau sarana untuk bersuci. Baik bersuci untuk mengangkat hadas seperti
wudhu dan mandi wajib atau untuk menghilangkan najis.
Allah berfirman dalam Alquran:
َ اء َما ًء
)48: ط ُه ْو ًرا (الفرقان َّ َو أ َ ْنزَ ْلنَا ِمنَ ال
ِ س َم
"Dan kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.”
1. Air sedikit.
Air sedikit adalah air yang ukuran banyaknya tidak mencapai 2 kullah, yaitu air yang tidak
mencapai 217 liter.
2. Air banyak.
Air banyak adalah air yang ukuran banyaknya mencapai 2 kullah atau lebih, atau air yang
jumlahnya mencapai 217 liter atau lebih.
Setiap masing-masing dari air tersebut di atas memiliki hukum yang berbeda-beda.
1. Air sedikit
Air sedikit secara langsung menjadi air mutanajjis jika terkena atau kemasukan najis di
dalamnya, meski air tersebut tidak berubah rasa, warna maupun baunya. Sehingga air yang
demikian (air sedikit yang terkena najis) tidaklah sah untuk membersihkan najis ataupun
untuk mengangkat hadast seperti wudhu.
Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Mengambil pemahaman dari hadist tersebut bahwa air yang tidak mencapai 2 kullah (kurang
dari 2 kullah) maka membawa najis.
Namun hal ini (air sedikit secara langsung menjadi najis jika kejatuhan najis) tidak berlaku
jika najis yang mengenai air tersebut adalah najis yang dimaafkan atau air mengalir melewati
najis.
1. Jika yang mengenai air sedikit adalah najis yang dimaafkan, maka air tersebut tetap dalam
keadaan suci dan bisa mensucikan yang lain sehingga tetap diperbolehkan untuk mengangkat
hadast.
Adapun najis-najis yang dimaafkan oleh syariat adalah sebagai berikut:
a. Najis yang secara umumnya tidak terlihat oleh mata.
b. Bangkai binatang yang tidak mengalirkan darah ketika dibedah. Yaitu binatang seukuran
cicak dan binatang yang lebih kecil.
Najis-najis tersebut tidak membuat air sedikit menjadi mutanajjis jika najis tersebut tidak
sengaja dimasukan dalam air dan air tersebut tidak berubah salah satu sifatnya (rasa, warna
atau bau)
Jika najis tersebut sengaja dimasukan dalam air sedikit atau salah satu sifat air berubah, maka
air tersebut berubah menjadi mutanajjis.
2. Jika air sedikit melewati najis (bukan najis yang masuk ke dalam air) maka air tersebut
tetap suci mensucikan dengan 3 syarat, yaitu:
a. Air tidak berubah salah satu sifatnya.
b. Setelah melewati najis jumlah air tidak bertambah banyak.
c. Air telah membersihkan najis.
Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi maka air tersebut menjadi mutanajjis.
Faidah
Semua benda cair (selain air) meliputi minyak dll hukumnya adalah seperti air sedikit, maka
menjadi najis ketika terkena najis walaupun jumlahnya banyak (lebih dari 217 liter)
2. Air banyak
Sebagaimana telah disebutkan bahwa air banyak adalah air yang jumlahnya mencapai 217
liter atau lebih, maka air tersebut tidak serta-merta menjadi air metanajjis ketika terkena atau
kejatuhan najis. Air banyak bisa menjadi najis ketika salah satu sifat air (rasa, warna dan bau)
berubah. Jika salah satu sifat air tersebut berubah maka air tersebut menjadi mutanajjis.
Faidah
Air najis adalah air yang memang asalnya adalah benda najis seperti air kencing. Air
mutanajjis adalah air suci yang menjadi najis karena sebab terkena atau kejatuhan najis.
Permasalahan
1. ketika ada air banyak (217 liter atau lebih) terkena najis, namun kita ragu apakah air
tersebut berubah atau tidak. Bolehkah bersuci dengan air tersebut?
Jawab: diperbolehkan bersuci dengan air tersebut karena hukum asli dalam air adalah suci.
2. ketika ada air banyak dan berubah, namun kita ragu apakah perubahan air tersebut karena
kemasukan benda suci atau najis. Bagaimana hukumnya?
Jawab: air tersebut tetap dihukumi suci karena hukum asli dalam air adalah suci.
3. ketika ada air banyak dan berubah karena kemasukan najis kemudian setelah beberapa
waktu kita ragu, apakah perubahan tersebut telah hilang atau belum. Bagaimana hukumnya?
Jawab: air tersebut dihukumi najis karena air tersebut jelas-jelas berubah karena terkena najis.
Adapun cara-cara menjadikan air mutanajjis menjadi air suci adalah sebagai berikut:
Penjelasan
Manusia tidak akan terlepas dari membuang hajat. Karena hal itu sudah menjadi sebuah
sebab-akibat dalam kehidupan ini. Sehingga ketika seorang melakukan hajatnya, islam juga
mengatur tata cara dan ketentuan-ketentuan dalam bersuci atau istinja'.
Islam sangat memperhatikan dalam masalah kebersihan. Baik kebersihan anggota badan
maupun kebersihan hati. Bahkan Nabi pernah bersabda:
Dan juga kebersihan atau kesucian menggantungkan pada sah atau tidaknya suatu ibadah.
Oleh karenanya sebelum melaksanakan ibadah terlebih dahulu agama islam memerintahkan
untuk bersuci.
Bersuci sendiri banyak macamnya, seperti istinja', wudhu, mandi dll. Dari setiap masing-
masing dari bersuci memiliki syarat dan tata cara masing-masing.
Pembahasan kali ini adalah berkaitan dengan istinja'. Istinja' adalah membersihkan kemaluan
dari sesuatu yang keluar dari kemaluan itu sendiri.
1.Istinja' dilakukan dengan menggabungkan antara batu dan air. Batu atau semisalnya
menghilangkan najisnya, sedang air menghilangkan bekas najis.
3.Istinja’ hanya dengan batu saja. Hal ini diperbolehkan meski ada air namun harus
memenuhi beberapa persyaratan. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka wajib istinja’
dengan air.
Apakah hanya batu saja yang diperbolehkan untuk beristinja'? Mengenai hal ini Imam
Nawawi berkata "Boleh beristinja' dengan batu atau yang kedudukannya sama dengan batu
yaitu segala benda padat, suci, bisa menghilangkan najis, bukan benda yang terhotmat dan
bukan bagian dari hewan."
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa istinja' juga sah dengan tisu dll.
Kemudian tidak harus dengan 3 batu, yang terpenting adalah minimal dengan 3 usapan.
Sehingga diperbolehkan dan sah bersuci dengan:
b. Beristinja' dengan batu yang memiliki 1 ujung tetapi menggunakanya sebanyak tiga kali,
dengan catatan setiap kali dipakai kemudian dibersihkan dengan air kemudian di keringkan
setelah itu digunakan untuk istinja' dan begitu seterusnya hingga usapan dalam istinja'
mencapai 3 kali usapan.
2. Batu atau benda yang digunakan untuk beristinja' adalah benda yang bisa membersihkan
tempat keluarnya najis.
Dalam hal ini yang dimaksud tempat keluarnya najis adalah lubang anus, kepala kemaluan
laki-laki dan yang nampak dari kemaluan perempuan.
Kemudian yang dimaksud dengan "bisa membersihkan tempat keluarnya najis" yaitu
sekiranya najisnya tidak bisa dihilangkan lagi kecuali dengan benda yang kecil atau hanya
bisa dibersihkan dengan air.
Jika dengan 3 kali usapan belum bisa membersihkan najis maka wajib menambahi usapan
berikutnya. Kemudian jika bisa bersih dengan jumlah usapan genap, seperti 4 kali atau 6 kali,
maka sunnah untuk menambahi 1 usapan lagi agar ganjil.
Namun meski sudah bersih walau hanya dengan 1 atau 2 kali usapan batu, maka wajib
melengkapi hingga 3 kali usapan sebagai mana larangan Nabi beristinja’ kurang dari 3.
Disyaratkan agar diperbolehkan bersuci dengan batu, najis yang akan dibersihkan belum
kering. Baik kering keseluruhan atau sebagiannya. Sekiranya tidak mungkin diserap oleh batu
atau semisalnya.
Najis tersebut tidak terkena benda lain , baik benda tersebut air atau benda lain, suci ataupun
najis. Jika bercampur dengan benda lain maka wajib istinja’ dengan air.
6. Najis yang keluar tidak melampaui lubang anus dan kepala kemaluan laki-laki.
Kotoran yang keluar dari anus tidak melampaui batas anus, juga air kencing tidak melampaui
batas kepala kemaluan laki-laki dan untuk perempuan air kencingnya tidak melebihi tempat
masuknya kemaluan laki-laki.
Sama seperti pembahasan sebelumnya bahwa disyaratkan najis tidak terkena benda lain
meskipun benda tersebut adalah benda suci. Begitu juga dalam hal ini najis yang keluar tidak
boleh terkena air.
8. Batu atau benda lain yang digunakan untuk bersuci adalah benda yang suci.
Ketika ber-istinja’ dengan batu maka batu atau benda yang digunakan harus memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a.Benda yang digunakan adalah benda yang suci. Sehingga tidak sah bersuci dengan benda
atau barang najis (seperti kotoran) atau barang suci yang terkena najis (seperti batu yang
terkena air kencing dll).
Dalam hadist disebutkan oleh Ibnu Mas’ud. Beliau berkata:
b. Harus berupa benda padat. Sehingga tidak sah beristinja’ dengan benda cair seperti minyak
atau air mawar.
c. Bisa menyerap najis. Sehingga tidak sah ber-istinja’ dengan benda yang tidak bisa
menyerap najis (seperti kaca dll).
d. Bukan barang yang dimuliakan. Sehingga tidak sah ber-istinja’ dengan tulang, karena
tulang adalah makanan jin, tidak sah dengan makanan.
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Nabi melarang ber-istinja’
dengan tulang. Nabi bersabda:
ِإنَّهُ زَ ا ُد ِإ ْخ َوانِ ُك ْم
“Sesungguhnya itu (tulang) adalah makanan saudara kalian (jin).”
ع ِنِّي ْاْل َ َذى َو َعافَانِي َ غ ْف َران ََك (ثَلاثا) ا َ ْل َح ْم ُد هللِ الَّذِي أ َ ْذه
َ َب ُ
“(Aku mengharap) ampunanMu (3 kali), segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan
kotoran dari diriku dan memaafkanku.”
ث) َغ ْس ُل ُ (اَلَ َّولُ) ال ِنِّيَةُ (الثَّانِي) َغ ْس ُل ْال َو ْج ِه (الثَّا ِل:ٌض ْو ِء ِستَّة
ُ ض ْال ُو ُ ص ٌل) فُ ُر ْو ْ َ(ف
الر ْجلَي ِْن َم َع
ِّ ِ س) َغ ْس ُل ِ الرأْ ِس (الخ
ُ َام َّ ََيءٍ ِمن ْ (الرابِ ُع) َم ْس ُح شَّ ْاليَ َدي ِْن َم َع ْال ِم ْرفَقَي ِْن
ُ ِس) الت َّ ْرتِي
.ْب ُ سادَّ ْال َك ْعبَي ِْن (ال
Fardhu-fardhu wudhu ada 6, yaitu:
1.Niat.
2.Membasuh wajah/muka.
3.Membasuh kedua tangan hingga dua siku.
4.Mengusap sebagian dari kepala.
5.Membasuh kedua kaki hingga mata kaki.
6.Tertib.
Pembahasan
Fardhu adalah hal yang wajib dilakukan dalam sebuah ibadah dan tidak sah suatu ibadah jika
salah satu fardhu tidak dikerjakan. Fardhu adalah termasuk bagian dari pada ibadah itu
sendiri. Seperti membasuh muka adalah fardhu wudhu dan bagian wudhu itu sendiri.
Dalam wudhu ada beberapa fardhu yang harus dikerjakan ketika wudhu, jika salah satu
fardhu tersebut tidak dikerjakan maka wudhu tidak sah.
Fardhu wudhu ada 6, 4 diantaranya dari Alquran sedang 2 yang lainnya dari Hadist Nabi.
Adapun 4 fardhu wudhu yang berasal dari Alquran adalah membasuh muka, membasuh
kedua tangan hingga siku, mengusap sebagian kepala dan membasuh kaki hingga mata kaki.
Adapun 2 fardhu yang berasal dari hadist adalah niat dan tertib.
Allah berfirman:
1.Niat
Nabi bersabda:
Maka wajib bagi seorang yang berwudhu untuk berniat. Adapun niat wudhu adalah berniat
mengangkat hadast, bersuci untuk shalat, bersuci dari hadast, niat mengerjakan wudhu, niat
fardhu wudhu atau niat wudhu.
Niat-niat tersebut hanya diperbolehkan untuk orang yang sehat, bukan orang yang terus-
menerus mengeluarkan hadast. Seperti orang yang salisul baul/ orang yang terus-menerus
mengeluarkan air kencing. Maka niatnya bukan salah satu niat diatas melainkan niat supaya
diperbolehkan mengerjakan shalat fardhu.
Kenapa niatnya dibedakan? Karena seorang yang sehat dia bisa berniat mengangkat hadast
dan memang hadastnya tidak keluar lagi, sedang seorang yang selalu mengeluarkan air
kencing maka tidak sah hanya dengan niat mengangkat hadast, karena hadastnya selalu
keluar.
Niat tidak diharuskan dengan bahasa arab, tapi diperbolehkan dengan bahasa apapun yang
bisa dipahami oleh orang yang niat.
Niat ini dilakukan ketika pertama kali air menyentuh mukanya sebagai mana akan dijelaskan
dalam pembahasan berikutnya.
2.Membasuh wajah.
Batasan wajah yang wajib dibasuh ketika wudhu adalah mulai tempat tumbuhnya rambut
kepala hingga bagian bawah dagu dan dari telinga satu ke telinga yang lainnya.
Diwajibkan juga membasuh semua rambut yang tumbuh di wajah. Baik dhohir (yang tampak)
maupun yang batin (yang tidak terlihat) hingga kulit wajah kecuali rambut jenggot dan
jambang yang tebal bagi laki-laki. Maka bagi laki-laki yang memiliki jenggot dan jambang
yang tebal tidak wajib membasuh bagian dalam rambut. Yang wajib dibasuh adalah bagian
luar saja.
Yang dimaksud tebal untuk ukuran rambut yang tumbuh di wajah adalah sekiranya tidak
terlihat kulitnya dari jarak 1,5 m. Ketika dalam jarak 1,5m terlihat kulitnya maka dihukumi
tipis dan wajib dibasuh ketika wudhu.
Wajib juga bagi seorang yang wudhu untuk membasuh segala sesuatu yang berada dalam
tangan, seperti rambut dll. Meskipun rambut yang tumbuh pada tangan adalah tebal maka
tetap wajib membasuh rmbut dan kulitnya. Begitu juga wajib membasuh tangan tambahan
yang tumbuh di tangan yang wajib dibasuh (mulai dari jari tangan hingga siku).
Permasalahan.
a.Seorang yang tangannya terputus dan masih tersisa dari anggota yang wajib dibasuh, maka
wajib membasuhnya juga ketika wudhu. Apabila yang tersisa hanya lengan atas maka wajib
membasuh ujung siku. Apabila siku tidak tersisa maka sunnah membasuh sisanya.
b.Seorang yang dilahirkan memiliki tangan tambahan dan tidak diketahui yang mana yang
asli maka wajib dibasuh semuanya.
Permasalahan
Seorang membasahi tangannya kemudian menaruhnya diatas kain atau kopyah yang
menempel di kepala, maka jika air menyampai rambu atau kulit kepala maka sah wudhunya,
jika air tidak mencapai rambuat atau kulit kepala maka wudhunya tidak sah.
Imam Ibnu Hajar berkata “Meskipun air tersebut tidak diniatkan untuk mengusap kepala.”
Imam Ramli berkata “hal tersebut sah jika air yang digunakan memang diniatkan untuk
mengusap kepala.”
Dan juga wajib membasuh sedikit bagian diatas mata kaki. Berdasarkan kaidah fiqh
sebelumnya.
6.Tertib.
Wajib tertib dalam mengerjakan wudhu karena Nabi mengerjakan wudhu secara berurutan.
Nabi juga bersabda:
Karena Allah memulai dalam ayat tentang wudhu secara berurutan maka wajib mengikuti
dari mana Allah memulai. Imam Syafi’I berkata mengenai ayat tentang wudhu:
Untuk lebih menyempurnakan faidah, ada baiknya kita mengetahui sunnah-sunnah yang
sepatutnya dikerjakan ketika berwudhu. Sunnah-sunnah wudhu diantaranya yaitu:
س ْولُهُ اَللِّ ُه َّم َ أ َ ْش َه ُد أ َ ْن ََل اِلَهَ ا ََِّل للا َو ْح َدهُ ََل ش َِري َْك لَهُ َو أ َ ْش َه ُد أ َ َّن ُم َح َّمدًا
ُ ع ْب ُدهُ َو َر
صا ِل ِحيْن َّ ِك الَ اجعَ ْلنِي ِم ْن ِعبَاد ْ ط ِ ِّه ِريْنَ َو َ َ اجعَ ْلنِي ِمنَ ْال ُمتْ اجعَ ْلنِي ِمنَ الت َّ َّوابِيْنَ َو ْ
“Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, (Dialah) Maha Esa tidak ada sekutu
baginya dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba Allah dan
utusan Allah. Ya Allah, jadikanlah diriku termasuk orang-orang yang bertaubat, jadikanlah
aku termasuk orang-orang yang mensucikan diri dan jadikanlah aku termasuk hamba-
hambamu yang shaleh.”
Membaca surat Al-qadr sebanyak 3 kali, ayat kursi sekali dan Al-ikhlas sekali.
Shalat sunnah setelah wudhu.
و للا أعلم
Pembahasan
A. NIAT
Telah kita ketahui bahwa fardhu wudhu ada 6. Diantara fardhu tadi adalah berupa niat dan
tartib.
Niat wajib dikerjakan ketika wudhu berdasarkan hadist Nabi yang berbunyi:
Sehingga sebuah amal tidaklah sah ketika tidak ada niat di dalamnya, begitu juga wudhu.
Dikarenakan niat adalah fardhu atau bagian dari wudhu yang wajib dikerjakan maka ketika
niat tidak dikerjakan ketika wudhu maka wudhunya tidak sah.
Oleh karena itu perlunya mengetahui hukum atau hal-hal yang berkaitan dengan niat. Adapun
hukum-hukum niat adalah sebagai berikut:
1. Pengertian
Niat adalah keinginan mengerjakan suatu hal dibarengi dengan mengerjakan pekerjaan yang
diinginkan. Adapun keinginan saja tanpa dibarengi mengerjakan pekerjaan yang diinginkan
maka itu bukanlah niat, melainkan ‘azm.
2. Tempat niat
Tempat atau letak niat adalah di dalam hati. Adapun mengucapkan niat itu sendiri adalah
sunnah, supaya hati lebih mudah mengucapkan niat setelah mengucapkannya di dalam lisan.
3. Waktu niat
Waktu niat adalah bersamaan dengan pertama kali melakukan suatu ibadah. Dalam wudhu
sendiri, waktu niat adalah ketika basuhan pertama kali pada wajah. Namun dalam niat puasa
tidak diharuskan niat puasa ketika bersamaan waktu pertama mengerjakan puasa, yaitu ketika
munculnya fajar sidq, karena hal ini sulit dilakukan sehingga niat puasa boleh dilaksanakan
setelah tenggelamnya matahari.
4. Hukum niat
Secara umum hukum niat dalam suatu ibadah adalah wajib, tapi ada sebagian ibadah yang
wajib dilaksanakan tapi sunnah untuk niat, yaitu ketika memandikan mayit, karena hukum
memandikan mayit adalah wajib namun niat dalam memandikan mayit adalah sunnah.
Tata cara niat berbeda-beda dalam setiap ibadah. Sehingga ibadah satu dan yang lainnya tidak
bisa disamakan dalam niatnya. Niat dalam wudhu bisa cukup atau sah dengan “saya niat
wudhu”.
Faidah
Dalam hadist diatas telah disebutkan bahwa kesah-an sebuah amal atau ibadah tergantung
dari pada niat. Imam Syafi’I berkata bahwa hadist tersebut mencakup sepertiga ilmu.
Sebagian ulama memberi alasan tentang perkataan Imam Syafi’I tersebut bahwa “Amal
manusia tidak akan terlepas dari 3 hal; ucapan, perbuatan anggota tubuh dan hati.” Sehingga
tidaklah berlebihanan jika Imam Syafi’i berkata demikian. Karena niat adalah perbuatan yang
dilakukan hati. Sedang hati adalah sepertiga dari perbuatan manusia.
B. TERTIB
Pembahasan
Mandi pada dasarnya adalah mubah hukumnya. Namun ada beberapa hal yang mewajibkan
seseorang wajib mandi. Jika salah satu dari beberapa hal itu terjadi dalam diri seseorang
maka ia wajib mandi. Adapun hal-hal yang menjadikan seseorang wajib mandi ada 6 perkara,
yaitu:
Jika kepala penis seseorang masuk ke dalam farj maka ia wajib mandi, meskipun tidak
sampai mengeluarkan mani. Hal ini disebut juga dengan junub atau janabat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
َّ ًَو إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ُجنُبًا ف
اط َّه ُر ْوا
“Jika kamu junub maka mandilah.”
Kewajiban mandi karena masuknya hasyafah ini wajib dilakukan meskipun tanpa
kesengajaan, penis impoten ataupun dengan penghalang seperti memakai kondom. Jika
seorang tidak memiliki hasyafah atau hasyafahnya terputus maka ia wajib mandi dengan
memasukan penis seukuran hasyafah ke dalam farj.
Farj yang dimaksud dalam hal ini bukan hanya kemaluan wanita (vagina). Yang dimaksud
dengan farj dalam hal ini adalah lubang kemaluan depan (vagina) atau belakang (anus) dari
manusia, hewan, mayit atau anus laki-laki. Jika seorang memasukan hasyafah (kepala penis)
ke dalam salah satu dari hal tersebut maka wajib ia wajib mandi. Sehingga wajib mandi bagi
seorang yang bersetubuh dengan hewan.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ب ْالغُ ْس ُل َو ِإ ْن لَ ْم يُ ْن ِز ْل ِ ِإ َذا ْالتَقَى ْال ِختَان
َ َان فَقَ ْد َو َج
“Jika dua kelamin bertemu maka wajib benar-benar wajib mandi meskipun tidak
mengeluarkan mani.”
Dari hadist ini dapat diambil kesimpulan bahwa yang wajib mandi adalah yang menyetubuhi
atau yang disetubuhi, kecuali yang disetubuhi adalah mayit atau hewan.
2. Keluarnya mani
Keluarnya mani menyebabkan seseorang wajib mandi berdasarkan hadist Nabi yang
berbunyi:
ِ ِإنَّ َما ْال َما ُء ِمنَ ْال َم
اء
“Hanya saja air adalah dari air.”
Dan juga hadist shohih yang diriwayatkan dari Ummu Salamah. Beliau berkata “Ummu
Sulaim datang kepada Rasulullah dan berkata: “sesungguhnya Allah tak akan merasa malu
dari suatu kebenaran. Apakah wajib untuk mandi bagi seorang perempuan jika bermimpi
keluar mani?”
Maka nabi menjawab:
ت ْال َما َء
ِ َ إِ َذا َرأ,نَ َع ْم
“Ya, jika melihat air (mani).”
Cairan yang keluar dari kemaluan tidak terbatas hanya air mani, tapi cairan yang keluar dari
kemaluan ada 3, yaitu:
a. Mani
Mani adalah cairan putih yang keluar dengan tersendat-sendat ketika syahwat memuncak dan
mengakibatkan lemas setelah keluar.
b. Madzi
Madzi adalah cairan putih, halus dan lengket, yang keluar ketika terangkatnya syahwat
sebelum mencapai puncaknya.
c. Wadi
Wadi adalah cairan putih, kasar dan keruh, yang keluar setelah kencing atau ketika membawa
benda yang berat.
Dari 3 macam cairan yang keluar dari kemaluan diatas, 2 diantaranya adalah najis tapi tidak
mewajibkan mandi yaitu Madzi dan Wadi. Adapun air mani maka hukumnya adalah suci dan
mewajibkan mandi. Namun mani memiliki beberapa ciri-ciri yang bisa membedakan dengan
cairan yang lain, yaitu:
1. Terasa nikmat ketika keluarnya (keluarnya dengan syahwat)
2. Keluarnya dengan tersendat-sendat
3. Baunya seperti bau adonan roti jika air mani masih basah atau seperti bau putih telur jika
mani telah kering.
Dari beberapa ciri-ciri air mani tersebut, jika seseorang merasakan salah satu dari hal tersebut
maka itu adalh mani. Namun jika salah satu hal tersebut tidak dirasakan ketika keluarnya
cairan dari kemaluan, maka cairan tersebut bukanlah mani melainkan Madzi atau Wadi.
Permasalahan
Jika seorang mengeluarkan cairan dari kemaluannya tapi ragu apakah yang keluar adalah
mani atau bukan. Bagaimana hukumnya?
Maka ia boleh memilih antara menjadikan air mani atau madzi.
Jika ia memilih untuk menjadikan sebagai mani maka ia wajib mandi saja. Namun jika ia
menjadikan sebagai madzi maka ia tidak wajib mandi, wudhu yang ia miliki batal dan wajib
membasuh segala hal yang terkena cairan tersebut.
Namun lebih baiknya digabungkan antara mani dan madzi, sehingga ia mandi dan membasuh
segala hal yang terkena cairan tersebut.
Tambahan
Tidak semua mani yang keluar dari kemaluan mewajibkan mandi. Tapi ada ketentuan-
ketentuan yang menjadikan keluar mani sebagai perkara yang mewajibkan mandi, yaitu:
Seorang wajib mandi karena keluarnya mani jika mani yang keluar adalah maninya sendiri.
Adapun mani orang lain yang keluar dari kemaluannya maka ia tidak wajib mandi namun
wudhu yang telah ia kerjakan batal.
Contohnya adalah ketika seorang suami menyetubuhi istrinya, sedang istrinya tidak terangkat
syahwatnya (disetubuhi ketika tidur atau dipaksa) setelah itu ia mandi kemudian keluar mani
maka ia tidak wajib mandi lagi. Namun jika si istri terangkat syahwatnya maka ia wajib
mandi lagi jika keluar mani setelah mandi.
Jika mani yang keluar bukan yang pertama kali maka tidak wajib mandi dan wudhu yang
telah ia kerjakan batal.
Contohnya adalah ketika seorang keluar mani, setelah keluar, mani tersebut dimasukan
kembali ke dalam kemaluannya, maka ia tidak wajib mandi untuk ke dua kalinya.
Dari penjelasan diatas, jika mani yang keluar memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut maka
ia wajib mandi, jika salah satu dari ketentuan tersebut tidak terpenuhi maka ia tidak wajib
mandi untuk yang ke dua kalinya.
3. Haidh
Haidh adalah darah yang keluar dari rahim seorang perempuan bukan disebabkan karena
sakit.
Wanita yang haidh wajib melakukan mandi, namun kewajiban mandi ini wajib dilakukan
setelah berhentinya darah haidh dan ketika ingin melakukan hal-hal yang bergantung dengan
kesucian seperti wudhu.
Allah berfirman:
ط َّه ْرنَ فَأْت ُ ْو ُه َّن ِم ْن ْ َْض َو ََل ت َ ْق َربُ ْو ُه َّن َحتَّى ي
َ َ ط ُه ْرنَ فَإ ِ َذا ت ِ سا َء فِي ْال َم ِحي
َ ِّفَا ْعت َ ِزلُ ْوا ال ِن
ْث أ َ َم َر ُك ُم للا
ُ َحي
“Maka jauhilah istri pada waktu haidh dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan
Allah kepadamu.”
Seorang istri wajib menyerahkan diri sepenuhnya kepada suami, namun hal ini tidak mungkin
bisa dilakukan tatkala istri belum bersuci dari haidh, karena ayat tersebut menjelaskan bahwa
seorang istri boleh didatangi oleh suaminya setelah ia bersuci. Sehingga ia diwajibkan untuk
mandi supaya bisa sepenuhnya menyerahkan dirinya kepada suami.
Kewajiban mandi ini juga berdasarkan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori
bahwa Nabi berkata kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:
ص ِلِّ ْي ْ ص ََلة َ َو ِإ َذا أ َ ْد َب َر
َ ت فَا ْغ ِس ِل ْي َو َ ت ْال َح ْي
َّ ضةُ فَ َد ِعي ال ِ َِإ َذا أ َ ْق َبل
“Jika telah tiba haidh maka tinggalkanlah shalat dan jika telah pergi (telah berhenti haidhnya)
maka mandilah dan shalatlah.”
4. Nifas
Nifas adalah darah yang keluar setelah rahim kosong dari pada kandungan.
Sebagaimana wajib mandi bagi seorang yang telah berhenti dari darah haidh, maka wajib
mandi juga terhadap seorang perempuan yang telah berhenti dari darah nifas. Karena darah
nifas adalah darah haidh yang telah lama mengumpul.
5. Melahirkan
Seorang yang telah melahirkan maka ia wajib mandi meskipun ketika melahirkan bayi
kembar. Sehingga ia sah mandi setelah keluarnya anak yang pertama. Kemudian jika keluar
anak yang kedua ia wajib mandi kembali. Hal ini dikarenakan bayi adalah mani yang
terkumpul. Karena kita tahu bahwa bayi terlahir dari air mani.
Kewajiban mandi juga diwajibkan meskipun yang keluar adalah gumpalan darah atau
gumpalan daging. Seperti dalam contoh seorang yang keguguran. Dengan syarat bidan telah
mengetakan bahwa gumpalan darah atau daging tersebut adalah janin.
Bagaimana dengan seorang yang melahirkan dengan cesar? Wajibkah mandi baginya?
Wajib bagi seorang yang melahirkan cesar tetap wajib mandi.
6. Mati
Seorang muslim yang mati maka ia wajib dimandikan. Meskipun yang mati adalah janin yang
telah berumur 4 bulan atau lebih namun keluar dari kandungan ibunya tanpa ada tanda-tanda
kehidupan. Dengan syarat ia bukan mati syahid. Jika is seorang yang mati syahid maka tidak
diperbolehkan untuk dimandikan.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang-orang yang syahid:
ََل ت َ ْغ ِسلُ ْو ُه ْم فَإ ِ َّن ُك َّل ُج ْرحٍ يَفُ ْو ُح ِم ْس ًكا يَ ْو َم ْال ِقيَا َمة
“Jangan kalian mandikan mereka. karena setiap luka akan mengeluarkan semerbak bau misk
di hari kiyamat.”
Orang yang mati syahid adalah seorang yang mati melawan orang kafir.
Kewajiban mandi ini wajib dilakukan oleh orang-orang yang hidup. Dan kewajiban ini adalah
fardhu kifayah, artinya jika seorang telah memandikannya maka orang yang lain tidak
terkena dosa namun jika tidak seorangpun yang mengerjakannya maka semua orang yang
mukallaf di daerah tersebut terkena dosa.
Mandi pada dasarnya adalah mubah hukumnya. Namun ada beberapa hal yang mewajibkan
seseorang wajib mandi. Jika salah satu dari beberapa hal itu terjadi dalam diri seseorang
maka ia wajib mandi. Adapun hal-hal yang menjadikan seseorang wajib mandi ada 6 perkara,
yaitu:
Jika kepala penis seseorang masuk ke dalam farj maka ia wajib mandi, meskipun tidak
sampai mengeluarkan mani. Hal ini disebut juga dengan junub atau janabat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
َّ ًَو إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ُجنُبًا ف
اط َّه ُر ْوا
“Jika kamu junub maka mandilah.”
Kewajiban mandi karena masuknya hasyafah ini wajib dilakukan meskipun tanpa
kesengajaan, penis impoten ataupun dengan penghalang seperti memakai kondom. Jika
seorang tidak memiliki hasyafah atau hasyafahnya terputus maka ia wajib mandi dengan
memasukan penis seukuran hasyafah ke dalam farj.
Farj yang dimaksud dalam hal ini bukan hanya kemaluan wanita (vagina). Yang dimaksud
dengan farj dalam hal ini adalah lubang kemaluan depan (vagina) atau belakang (anus) dari
manusia, hewan, mayit atau anus laki-laki. Jika seorang memasukan hasyafah (kepala penis)
ke dalam salah satu dari hal tersebut maka wajib ia wajib mandi. Sehingga wajib mandi bagi
seorang yang bersetubuh dengan hewan.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ب ْالغُ ْس ُل َو ِإ ْن لَ ْم يُ ْن ِز ْل ِ ِإ َذا ْالتَقَى ْال ِختَان
َ َان فَقَ ْد َو َج
“Jika dua kelamin bertemu maka wajib benar-benar wajib mandi meskipun tidak
mengeluarkan mani.”
Dari hadist ini dapat diambil kesimpulan bahwa yang wajib mandi adalah yang menyetubuhi
atau yang disetubuhi, kecuali yang disetubuhi adalah mayit atau hewan.
2. Keluarnya mani
Keluarnya mani menyebabkan seseorang wajib mandi berdasarkan hadist Nabi yang
berbunyi:
ِ ِإنَّ َما ْال َما ُء ِمنَ ْال َم
اء
“Hanya saja air adalah dari air.”
Dan juga hadist shohih yang diriwayatkan dari Ummu Salamah. Beliau berkata “Ummu
Sulaim datang kepada Rasulullah dan berkata: “sesungguhnya Allah tak akan merasa malu
dari suatu kebenaran. Apakah wajib untuk mandi bagi seorang perempuan jika bermimpi
keluar mani?”
Maka nabi menjawab:
ت ْال َما َء
ِ َ إِ َذا َرأ,نَ َع ْم
“Ya, jika melihat air (mani).”
Cairan-cairan yang keluar dari kemaluan
Cairan yang keluar dari kemaluan tidak terbatas hanya air mani, tapi cairan yang keluar dari
kemaluan ada 3, yaitu:
a. Mani
Mani adalah cairan putih yang keluar dengan tersendat-sendat ketika syahwat memuncak dan
mengakibatkan lemas setelah keluar.
b. Madzi
Madzi adalah cairan putih, halus dan lengket, yang keluar ketika terangkatnya syahwat
sebelum mencapai puncaknya.
c. Wadi
Wadi adalah cairan putih, kasar dan keruh, yang keluar setelah kencing atau ketika membawa
benda yang berat.
Dari 3 macam cairan yang keluar dari kemaluan diatas, 2 diantaranya adalah najis tapi tidak
mewajibkan mandi yaitu Madzi dan Wadi. Adapun air mani maka hukumnya adalah suci dan
mewajibkan mandi. Namun mani memiliki beberapa ciri-ciri yang bisa membedakan dengan
cairan yang lain, yaitu:
1. Terasa nikmat ketika keluarnya (keluarnya dengan syahwat)
2. Keluarnya dengan tersendat-sendat
3. Baunya seperti bau adonan roti jika air mani masih basah atau seperti bau putih telur jika
mani telah kering.
Dari beberapa ciri-ciri air mani tersebut, jika seseorang merasakan salah satu dari hal tersebut
maka itu adalh mani. Namun jika salah satu hal tersebut tidak dirasakan ketika keluarnya
cairan dari kemaluan, maka cairan tersebut bukanlah mani melainkan Madzi atau Wadi.
Permasalahan
Jika seorang mengeluarkan cairan dari kemaluannya tapi ragu apakah yang keluar adalah
mani atau bukan. Bagaimana hukumnya?
Maka ia boleh memilih antara menjadikan air mani atau madzi.
Jika ia memilih untuk menjadikan sebagai mani maka ia wajib mandi saja. Namun jika ia
menjadikan sebagai madzi maka ia tidak wajib mandi, wudhu yang ia miliki batal dan wajib
membasuh segala hal yang terkena cairan tersebut.
Namun lebih baiknya digabungkan antara mani dan madzi, sehingga ia mandi dan membasuh
segala hal yang terkena cairan tersebut.
Tambahan
Tidak semua mani yang keluar dari kemaluan mewajibkan mandi. Tapi ada ketentuan-
ketentuan yang menjadikan keluar mani sebagai perkara yang mewajibkan mandi, yaitu:
Jika mani yang keluar bukan yang pertama kali maka tidak wajib mandi dan wudhu yang
telah ia kerjakan batal.
Contohnya adalah ketika seorang keluar mani, setelah keluar, mani tersebut dimasukan
kembali ke dalam kemaluannya, maka ia tidak wajib mandi untuk ke dua kalinya.
Dari penjelasan diatas, jika mani yang keluar memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut maka
ia wajib mandi, jika salah satu dari ketentuan tersebut tidak terpenuhi maka ia tidak wajib
mandi untuk yang ke dua kalinya.
3. Haidh
Haidh adalah darah yang keluar dari rahim seorang perempuan bukan disebabkan karena
sakit.
Wanita yang haidh wajib melakukan mandi, namun kewajiban mandi ini wajib dilakukan
setelah berhentinya darah haidh dan ketika ingin melakukan hal-hal yang bergantung dengan
kesucian seperti wudhu.
Allah berfirman:
ط َّه ْرنَ فَأْت ُ ْو ُه َّن ِم ْن ْ َْض َو ََل ت َ ْق َربُ ْو ُه َّن َحتَّى ي
َ َ ط ُه ْرنَ فَإ ِ َذا ت ِ سا َء فِي ْال َم ِحي
َ ِّفَا ْعت َ ِزلُ ْوا ال ِن
ْث أ َ َم َر ُك ُم للا
ُ َحي
“Maka jauhilah istri pada waktu haidh dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan
Allah kepadamu.”
Seorang istri wajib menyerahkan diri sepenuhnya kepada suami, namun hal ini tidak mungkin
bisa dilakukan tatkala istri belum bersuci dari haidh, karena ayat tersebut menjelaskan bahwa
seorang istri boleh didatangi oleh suaminya setelah ia bersuci. Sehingga ia diwajibkan untuk
mandi supaya bisa sepenuhnya menyerahkan dirinya kepada suami.
Kewajiban mandi ini juga berdasarkan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori
bahwa Nabi berkata kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:
ص ِلِّ ْي ْ ص ََلة َ َو إِ َذا أ َ ْدبَ َر
َ ت فَا ْغ ِس ِل ْي َو َ ت ْال َح ْي
َّ ضةُ فَ َد ِعي ال ِ َإِ َذا أ َ ْقبَل
“Jika telah tiba haidh maka tinggalkanlah shalat dan jika telah pergi (telah berhenti haidhnya)
maka mandilah dan shalatlah.”
4. Nifas
Nifas adalah darah yang keluar setelah rahim kosong dari pada kandungan.
Sebagaimana wajib mandi bagi seorang yang telah berhenti dari darah haidh, maka wajib
mandi juga terhadap seorang perempuan yang telah berhenti dari darah nifas. Karena darah
nifas adalah darah haidh yang telah lama mengumpul.
5. Melahirkan
Seorang yang telah melahirkan maka ia wajib mandi meskipun ketika melahirkan bayi
kembar. Sehingga ia sah mandi setelah keluarnya anak yang pertama. Kemudian jika keluar
anak yang kedua ia wajib mandi kembali. Hal ini dikarenakan bayi adalah mani yang
terkumpul. Karena kita tahu bahwa bayi terlahir dari air mani.
Kewajiban mandi juga diwajibkan meskipun yang keluar adalah gumpalan darah atau
gumpalan daging. Seperti dalam contoh seorang yang keguguran. Dengan syarat bidan telah
mengetakan bahwa gumpalan darah atau daging tersebut adalah janin.
Bagaimana dengan seorang yang melahirkan dengan cesar? Wajibkah mandi baginya?
Wajib bagi seorang yang melahirkan cesar tetap wajib mandi.
6. Mati
Seorang muslim yang mati maka ia wajib dimandikan. Meskipun yang mati adalah janin yang
telah berumur 4 bulan atau lebih namun keluar dari kandungan ibunya tanpa ada tanda-tanda
kehidupan. Dengan syarat ia bukan mati syahid. Jika is seorang yang mati syahid maka tidak
diperbolehkan untuk dimandikan.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang-orang yang syahid:
ََل ت َ ْغ ِسلُ ْو ُه ْم فَإ ِ َّن ُك َّل ُج ْرحٍ َيفُ ْو ُح ِم ْس ًكا َي ْو َم ْال ِق َيا َمة
“Jangan kalian mandikan mereka. karena setiap luka akan mengeluarkan semerbak bau misk
di hari kiyamat.”
Orang yang mati syahid adalah seorang yang mati melawan orang kafir.
Kewajiban mandi ini wajib dilakukan oleh orang-orang yang hidup. Dan kewajiban ini adalah
fardhu kifayah, artinya jika seorang telah memandikannya maka orang yang lain tidak
terkena dosa namun jika tidak seorangpun yang mengerjakannya maka semua orang yang
mukallaf di daerah tersebut terkena dosa.
اسِ ْض َو ال ِنِّ َف ِ اْل ْس ََل ُم َو الت َّ ْميِي ُْز َو النَّقَا ُء َع ِن ْال َحي
ِ :ٌض ْو ِء َعش ََرة ُ ط ْال ُوُ ش ُر ْوُ )ص ٌل ْ َ(ف
ض ِو َما يُغَ ِيِّ ُر ْال َما َء َوْ ُاء اِلَى ْالبَش ََرةِ َو أ َ ْن ََل يَ ُك ْونَ َعلَى ْالع ِ ص ْو َل ْال َمُ َو َع َّما يَ ْمنَ ُع ُو
الط ُه ْو ُر َو ُد ُخ ْو ُل َّ سنَّةً َو ْال َما ُء
ُ ض ِه ِ ضا ِم ْن فُ ُر ْوً ضيَتِ ِه َو أ َ ْن ََل يَ ْعت َ ِق َد فَ ْر ِ ْال ِع ْل ُم ِبفَ ْر
.ِت َو ْال ُم َو َاَلة ُ ِل َدائِ ِم ْال َح َدث ِ اْ َلو ْق
Syarat-syarat wudhu ada 10, yaitu:
1. Islam
2. Tamyiz
3. Bersih dari haidh dan nifas
4. Bersih dari hal-hal yang mencegah air sampai ke kulit
5. Dalam anggota wudhu tidak ada sesuatu apapun yang merubah air
6. Mengetahui tentang kefardhuan wudhu
7. Tidak meyakini satu fardhu dari fardhu-fardhunya wudhu sebagai sunnah
8. Air yang suci mensucikan
9. Telah masuk waktu
10. Terus menerus bagi orang yang selalu mengeluarkan hadast
Pembahasan
Selain fardhu-fardhu yang telah dibahas dalam fardhu-fardhu wudhu, wudhu juga memiliki
syarat. Perbedaan dengan fardhu, syarat adalah hal-hal yang wajib dilakukan sebelum
mengerjakan sesuatu. Artinya syarat wudhu adalah hal-hal yang wajib dilakukan sebelum
melakukan wudhu. Jika salah satu syarat ini tidak terpenuhi maka wudhunya tidak sah.
1. Islam
Disyaratkan bagi orang yang hendak wudhu harus beragama islam. Sehingga orang yang
bukan beragama islam tidaklah sah wudhunya. Hal ini dikarenakan wudhu adalah ibadah
yang memerlukan niat. Sedang orang kafir tidak sah niatnya, karena diantara syarat niat
adalah beragama islam.
2. Tamyiz
Jika seorang anak belum tamyiz maka wudhunya tidak sah kecuali untuk thawaf. Ketika
seorang anak yang belum tamyiz diajak bersama orang tuanya haji atau umroh maka ia juga
harus melaksanakan thawaf. Sedang syarat thawaf adalah sama seperti syarat shalat.
Sehingga disyaratkan harus bersuci terlebih dahulu sebelum thawaf, maka sah wudhunya
anak yang belum tamyiz untuk thawaf.
Haidh dan nifas sama hukumnya seperti kencing dan berak, karena semua itu merupakan hal-
hal yang bertentangan dengan wudhu. Sebab wudhu bertujuan mengangkat hadast, sedang
haidh, nifas, kencing dan berak adalah perkara yang menimbulkan adanya hadast karena
semuanya keluar dari kemaluan depan dan belakang.
Ketika wudhu, maka semua anggota-anggota yang wajib dibasuh ketika wudhu (fardhu-
fardhu wudhu) harus terbasuh oleh air semuanya. Tidak boleh tertutup oleh kotoran-kotoran
yang menghalangi air sampai ke kulit. Jika ada penghalang yang menghalangi air wudhu
sampai ke kulit maka wudhunya tidak sah.
Termasuk yang menghalangi air sampai ke kulit adalah minyak yang beku seperti salep dan
balsam. Adapun minyak cair maka tidak dianggap menghalangi air samapi ke kulit walaupun
air tidak bisa terus menempel di kulit.
Bagaimana dengan kotoran di balik kuku?
Jika kotoran tersebut berasal dari keringat maka bukan sebagai penghalang, tetapi jika
kotoran tersebut bukan berasal dari keringat maka dianggap sebagai penghalang masuknya
air ke kulit sehingga wajib dibersihkan terlebih dahulu ketika hendak berwudhu.
Debu yang menempel di kulit juga termasuk penghalang masuknya air ke kulit jika bisa
dihilangkan. Jika tidak bisa dihilangkan – sudah menjadi bagian dari kulit- maka dimaafkan
dan tetap sah wudhunya.
5. Dalam anggota wudhu tidak ada sesuatu apapun yang merubah air
Ketika membasuh anggota wudhu maka disyaratkan dalam anggota wudhu tersebut tidak ada
sesuatu apapun yang merubah sifat air (rasa, bau atau warna). Jika ada yang merubah sifat air
maka tidak sah wudhunya, sehingga harus dibersihkan terlebih dahulu. Namun jika
perubahan hanya terjadi sedikit saja, sekiranya air tersebut tetap disebut air mutlak, maka
wudhunya tetap sah.
Seorang yang wudhu haruslah mengetahui bahwa wudhu itu hukumnya adalah wajib. Jika
menganggap bahwa wudhu hukumnya tidak wajib (sunnah) atau ragu apakah wudhu itu
hukumnya sunnah atau wajib, maka wudhunya tidak sah.
7. Tidak meyakini salah satu fardhu dari fardhu-fardhunya wudhu sebagai sunnah
Seorang yang wudhu harus bisa membedakan antara pekerjaan yang wajib dilakukan ketika
wudhu dengan pekerjaan yang sunnah dilakukan ketika wudhu. Jika menganggap bahwa
semua pekerjaan dalam wudhu adalah sunnah maka wudhunya tidak sah. Begitu juga jika
menganggap pekerjaan yang fardhu sebagai pekerjaan yang sunnah.
Contohnya ketika meyakini bahwa membasuh tangan atau membasuh muka adalah sunnah,
maka wudhunya tidak sah.
Namun ketika menganggap bahwa semua pekerjaan dalam wudhu adalah wajib atau
menganggap dalam wudhu ada pekerjaan yang wajib dan sunnah tetapi tidak menentukan
mana yang sunnah dan mana yang wajib, maka wudhunya tetap sah.
Air yang digunakan untuk berwudhu adalah air yang suci mensucikan atau air mutlak. Air
mutlak adalah air yang tidak memiliki ikatan sama sekali atau memiliki ikatan namun ikatan
tersebut bisa hilang (seperti air sungai, air sumur, air laut atau air hujan).
Sedang air yang memiliki ikatan yang tidak bisa terpisah seperti air kopi, air teh atau air
kelapa, maka air tersebut bukanlah air mutlak. Meskipun air tersebut adalah air yang suci
namun tidak bisa mensucikan yang lain. Sehingga wudhu dengan air tersebut tidak sah.
Tidak disyaratkan harus meyakini bahwa air yang digunakan adalah air suci mensucikan
ketika terjadi keserupaan antara air suci mensucikan dan air suci saja. Namun cukup dengan
persangkaan orang yang wudhu bahwa air yang digunakan adalah air yang suci mensucikan.
Dua poin ini disyaratkan bagi orang-orang yang selalu mengeluarkan hadast, seperti orang
yang beser atau perempuan yang istihadhoh.
Tujuan wudhu adalah mengangkat hadast, namun seorang yang selalu berhadast maka
hadastnya tidak mungkin terangkat, padahal setiap orang mukallaf wajib mengerjakan shalat.
Karena itulah disyaratkan masuknya waktu shalat terlebih dahulu sebelum berwudhu.
Hal ini dikarenakan wudhu yang dilakukan adalah wudhu dharurat. Sedangkan ketika belum
masuk waktu shalat tidak ada kewajiban untuk untuk shalat sehingga tidak ada kewajiban
untuk berwudhu. Maka tidak sah melakukan wudhu sebelum masuk waktu shalat.
س ِب ْيلَي ِْن ِم ْن قُبُ ٍل ا َ ْو َّ َار ُج ِم ْن ا َ َح ِد ال ِ اَلَ َّو ُل ْالخ:ض ْو ِء أ َ ْر َب َعةُ ا َ ْش َيا َء ُ ض ْال ُو ُ ص ٌل) ن ََوا ِقْ َ(ف
الثَّانِي زَ َوا ُل ْالعَ ْق ِل بِن َْو ٍم ا َ ْو َغي ِْر ِه ا ََِّل ن َْو َم قَا ِع ٍد ُم َم ِ ِّك ٍن.ُدبُ ٍر ِريْحٍ ا َ ْو َغي ِْر ِه ا ََِّل ْال َمنِي
ث ا ِْلتِقَا ُء بَش ََرت َ ْي َر ُج ٍل َو ْام َرأَةٍ َكبِي َْري ِْن ا َ ْجنِبِيَّي ِْن ِم ْن َغي ِْر ُ الثَّا ِل.ض ِ َم ْق َع َدهُ ِمنَ اَْلَ ْر
.ِصا ِبعَ َط ْو ِن ْاَل ُ ُالرا َح ِة ا َ ْو بَّ ط ِن ْ َي ِ ا َ ْو َحلَقَ ِة ُدبُ ِر ِه ِبب
ِّ س قُبُ ِل ا َْلَ َد ِم
ُّ الرا ِب ُع َم
َّ .َحائِ ٍل
Perkara-perkara yang membatalkan wudhu ada 4, yaitu:
1. Segala sesuatu yang keluar dari kemaluan depan maupun belakang, baik berupa angin atau
benda yang lainnya kecuali air mani.
2. Hilangnya akal (kesadaran) disebabkan karena tidur atau yang lainnya, kecuali tidurnya
seseorang dalam posisi duduk, yang menetapkan tempat duduknya di bumi.
3. Bertemunya dua kulit laki-laki dan perempuan yang telah menginjak dewasa, yang tidak
ada hubungan mahram dan tanpa penghalang.
4. Menyentuh kemaluan depan dari manusia atau bulatan lubang anus dengan bagian dalam
telapak tangan atau bagian dalam jari-jari tangan.
Pembahasan
Wudhu adalah sarana yang wajib dilakukan sebelum mengerjakan shalat atau ibadah yang
memerlukan untuk bersuci terlebih dahulu. Seorang yang telah berwudhu ia dikatakan
sebagai orang yang telah bersuci sehingga diperbolehkan untuk shalat dll. tetapi ada beberapa
hal yang menyebabkan wudhu yang dimiliki seseorang menjadi rusak atau batal. Sehingga
ketika ingin mengerjakan shalat atau ibadah yang lainnya memerlukan wudhu kembali.
Adapun yang bisa merusak atau membatalkan wudhu adalah ada 4 macam, yaitu:
1. Segala sesuatu yang keluar dari kemaluan depan maupun belakang, baik berupa
angin atau benda yang lainnya kecuali air mani.
Kemaluan depan ataupun belakang adalah tempat keluarnya kotoran. Segala sesuatu yang
keluar darinya, apapun bentuknya maka membatalkan wudhu. Baik yang keluar adalah
sesuatu yang umum seperti kotoran dan air kencing, ataupun yang jarang terjadi seperti darah
dan cacing. Semua itu membatalkan wudhu kecuali air mani.
Seorang yang keluar air maninya maka wudhu yang ia punya tidak batal, tetapi ia wajib
mandi. Namun tidak semua air mani yang keluar tidak membatalkan wudhu. Air mani yang
tidak membatalkan wudhu adalah mani yang memiliki kriteria sebagai berikut:
2. Hilangnya akal (kesadaran) disebabkan karena tidur atau yang lainnya, kecuali
tidurnya seseorang dalam posisi duduk, yang menetapkan tempat duduknya di bumi.
Seorang yang kesadarannya hilang dengan sebab apapun (tidur, pingsan, gila dll) maka
menyebabkan batal wudhunya. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Artinya kesadaran adalah pengikat atau kunci dubur. Ketika seorang dalam keadaan sadar
maka ia bisa menahan atau mengeluarkan segala sesuatu yang akan keluar dari dubur.
Sehingga ketika tidak dalam keadaan sadar lubang anus tidak terkunci. Hal inilah yang
membatalkan wudhu.
Tetapi ketika kesadaran hilang disebabkan tidur dengan menempelkan pantat ke tempat
duduk (seperti tidur dengan duduk bersila) maka wudhunya tidak batal. Hal ini berdasarkan
hadist yang diriwayatkan dari sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
َ س ُه ُم ْاْل َ ْر
ض ُ يَنَا ُم ْونَ َحتَّى ت َ ْخ ِف ُق ُرؤ ُْو
“Mereka tertidur sehingga kepala mereka mengangguk-anggukan ke bumi.”
Kesimpulan
Tidur yang tidak membatalkan wudhu adalah tidur yang memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Menempelkan pantatnya ke tempat duduknya sekiranya tidak mungkin keluar angin ketika
tidur.
b. Tidak terlalu gemuk juga tidak terlalu kurus (ukuran orang pada umumnya).
c. Bangun dari tidur masih dalam keadaan duduk pertama kali tidur. Jika keadaan tidurnya
berubah maka wudhunya batal.
Jika bangun tidur kemudian bergoyang duduknya yang menyebabkan pantatnya terangkat
maka wudhunya tidak batal, tetapi jika sebaliknya (bergoyang duduknya sehingga pantatnya
terangkat kemudian baru bangun ) maka wudhunya batal.
Permasalahan
Seorang tidur dengan menempelkan pantatnya ke tempat duduknya, kemudian ada orang lain
yang memberi tahu bahwa selama tidur ia mengerjakan perkara yang membatalkan wudhu.
Bagaimana hukumnya?
Jawab: Jika yang memberi tahu adalah seorang yang adil (orang yang tidak pernah
mengerjakan dosa besar dan tidak terus-menerus mengerjakan dosa kecil) maka ucapannya
diterima, sehingga wudhunya menjadi batal. Tetapi jika bukan orang yang adil maka
wudhunya tidak batal.
Faidah
Wudhunya para Nabi tidak batal disebabkan tidur atau pingsan. Karena meskipun mata
mereka tertidur tapi hati mereka tetap dalam keadaan terjaga. Sedang pingsan hanya menutup
panca indera secara lahiriyah saja tetapi tidak menutup hati.
Adapun gila dan ayan, hal tersebut mustahil atau tidak mungkin terjadi kepada para Nabi.
3. Bertemunya dua kulit laki-laki dan perempuan yang telah menginjak dewasa, yang
tidak ada hubungan mahram dan tanpa penghalang.
b. Berbeda jenis.
Jika yang bersentuhan kulit adalah orang-orang yang sejenis, laki-laki dengan laki-laki atau
perempuan dengan perempuan, maka hal tersebut tidak membatalkan wudhu.
c. Sama-sama besar.
Artinya kedua orang yang bersentuhan adalah orang-orang yang sama-sama besar, meskipun
kedua orang yang bersentuhan belum menginjak usia baligh.
Orang yang dianggap besar yaitu orang yang secara umum telah mencapai batasan syahwat,
sekiranya jika ada seorang yang berwatak sehat maka ia berkeinginan untuk menikahinya.
Jika bersentuhan kulit dengan orang-orang diatas maka wudhunya tidak batal, tetapi jika
bersentuhan bukan dengan orang-orang tersebut maka wudhunya batal. Adapun menyentuh
istri adalah batal wudhunya.
Batalnya wudhu karena sebab bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan berlaku untuk
orang yang menyentuh (yang menyentuh batal wudhunya) dan orang yang disentuh (orang
yang disentuh batal wudhunya), belum baligh, lumpuh, dipaksa atau mayit. Tetapi yang batal
wudhunya adalah yang menyentuh saja bukan mayitnya.
4. Menyentuh kemaluan depan dari manusia atau bulatan lubang anus dengan bagian
dalam telapak tangan atau bagian dalam jari-jari tangan.
Kesimpulan
Menyentuh kemaluan termasuk hal-hal yang membatalkan wudhu dengan syarat sebagai
berikut:
Tambahan
Termasuk membatalkan wudhu ketika disentuh adalah bagian bekas dzakar yang terpotong
dan batang dzakar yang terpotong jika masih dinamakan dzakar, bukan bagian yang
terpotong ketika dikhitan.
سُّ اف َو َم ُ الط َوَّ ص ََلة ُ َو َّ ال:ض ْو ُءهُ َح ُر َم َعلَ ْي ِه ا َ ْربَ َعةُ ا َ ْش َيا َء
ُ ض ُو َ َص ٌل) َم ِن ا ْنتَق ْ َ(ف
سُّ اف َو َم َّ ص ََلة ُ َو
ُ الط َو َّ ال:ب ِستَّةُ أ َ ْشيَا َء ِ ُ َو يَ ْح ُر ُم َعلَى ْال ُجن.ُف َو َح ْملُه ِ ص َح ْ ْال ُم
ُ ْض َعش ََرة ِ َو يَ ْح ُر ُم بِ ْال َحي.آن ِ ْث فِي ْال َم ْس ِج ِد َو قِ َرا َءة ُ ْالقُ ْر ُ ف َو َح ْملُهُ َو اللُّب ِ ص َح ْ ْال ُم
ُ ْث فِي ْال َم ْس ِج ِد َو قِ َرا َءة ُ ف َو َح ْملُهُ َو اللُّب ِ ص َح ْ س ْال ُم ُّ اف َو َم َّ ص ََلة ُ َو
ُ الط َو َّ ال:أ َ ْشيَا َء
ع ِب َما ِ ْ ت ت َ ْل ِو ْيثَهُ َو
ُ اْل ْستِ ْمتَا ْ َالط ََل ُق َو ْال ُم ُر ْو ُر فِي ْال َم ْس ِج ِد ِإ ْن خَاف َّ ص ْو ُم َو َّ آن َو ال ِ ْالقُ ْر
.الر ْك َب ِة
ُّ س َّر ِة َو
ُّ َبيْنَ ال
Barangsiapa yang batal wudhunya, maka haram baginya 4 perkara, yaitu: Shalat, thawaf,
menyentuh mushaf dan membawa mushaf.
Dan haram bagi orang yang terkena junub 6 perkara, yaitu: Shalat, thawaf, menyentuh
mushaf, membawa mushaf, diam di masjid dan membaca Alquran.
Dan haram bagi orang haidh 10 perkara, yaitu: Shalat, thawaf, menyentuh mushaf, membawa
mushhaf, diam di masjid, membaca Alquran, puasa, talak, lewat di dalam masjid jika takut
akan mengotorinya dan bersenang-senang dengan bagian tubuh antara lutut dan pusar.
Pembahasan
Seorang yang berhadast maka dilarang melakukan sesuatu yang bergantung pada kesucian.
Hadast yang dimaksud adalah mencakup hadast kecil maupun hadast besar. Hadast kecil
adalah hal-hal yang mewajibkan wudhu, sedang hadast besar adalah hal-hal yang mewajibkan
mandi. Seorang yang terkena hadast kecil maupun besar memiliki larangan atau larangan
masing-masing. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Seorang yang terkena hadast kecil/ yang tidak memiliki wudhu atau batal wudhunya, maka
diharamkan mengerjakan 4 perkara, yaitu:
a. Shalat
Shalat diharamkan bagi orang yang berhadast atau tidak memiliki wudhu. Karena diantara
syarat sah shalat adalah harus bersuci.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ُ ص َدقَةً ِم ْن
غلُ ْو ٍل َ ََُل يَ ْقبَ ُل للا
َ ص ََلة ً بِغَي ِْر
َ ط ُه ْو ٍر َو ََل
“Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan tidak (menerima) shadaqah dari harta
haram.”
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
b. Thawaf
Thawaf adalah ibadah yang dilakukan dengan mengelilingi ka’bah. Ibadah thawaf sama
dengan shalat, sama-sama memerlukan kesucian terlebih dahulu sebelum melaksanakannya.
Sehingga thawaf yang dilakukan tanpa bersuci terlebih dahulu juga diharamkan, baik thawaf
yang fardhu maupun yang sunnah.
Nabi Muhammad sallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
للا أ َ َح َّل فِ ْي ِه ْال َك ََل َم فَ َم ْن ت َ َكلَّ َم ََل يَت َ َكلَّم إِ ََّل ِب َخي ٍْر
َ ص ََلة ٌ ِإ ََّل أ َ َّن
َ اف َّ
ُ الط َو
“Thawaf adalah shalat, hanya saja Allah menghalalkan (memperbolehkan) berkata di
dalamnya. Barangsiapa yang berkata (ketika thawaf) maka berkatalah dengan ucapan baik.”
c. Menyentuh mushaf
Mushaf adalah segala sesuatu yang tertulis Alquran di dalamnya meski sebagian ayat Alquran
dan dengan tujuan untuk belajar (dibaca). Seorang yang tidak memliki wudhu (berhadast)
maka diharamkam untuk menyentuh mushaf. Allah berfirman dalam Alquran:
d. Membawa mushaf
Bagi orang yang telah menginjak usia baligh yang berhadast, maka dilarang atau diharamkan
membawa mushaf. Hal ini dikarenakan jika menyentuhnya saja diharamkan atau dilarang
maka begitu juga membawanya. Karena membawa lebih dari sekedar menyentuh.
Tetapi bagaimana jika membawa mushaf bersama barang lain? maka hal ini diperinci sebagai
berikut:
1. Jika hanya bertujuan membawa mushaf saja, maka tidak diperbolehkan (diharamkan).
2. Jika hanya bertujuan membawa barang, maka diperbolehkan.
3. Jika bertujuan membawa keduanya (barang dan mushaf), maka tidak diperbolehkan
(diharamkan) menurut Imam Ibn hajar. Namun menurut Imam Ramli maka diperbolahkan.
4. Jika tidak bertujuan membawa apapun (tidak bertujuan membawa barang juga tidak
bertujuan membawa mushaf), maka tidak diperbolehkan menurut Imam Ibn Hajar. Namun
menurut imam Ramli tetap diperbolehkan.
Tambahan
1. Diperbolehkan bagi anak kecil yang telah menginjak tamyiz membawa mushaf untuk
belajar.
2. Tidak boleh menyentuh dan membawa sampul mushaf bagi orang yang berhadast, kecuali
jika sampul tersebut tidak dinamakan sampul mushaf lagi (dijadikan sampul kitab lain).
3. Tidak diperbolehkan untuk membawa mushaf bagi orang yang berhadast, kecuali karena
hal darurat dan tidak memungkinkan untuk bertayammum terlebih dahulu. Seperti ketika
melihat mushaf akan terbakar.
4. Termasuk mushaf adalah terjemahan Alquran. Karena terjemahan Alquran tidak sama
seperti tafsir Alquran.
5. Tidak dilarang mendengarkan bacaan Alquran bagi orang kafir, tetapi tidak diperbolehkan
untuk menyentuh Alquran. Allah berfirman dalam Alquran:
ار َك فَأ َ ِج ْرهُ َحتَّى َي ْس َم َع َك ََل َم للاِ ث ُ َّم أ َ ْب ِل ْغهُ َمأ ْ َمنَه َذ ِل َك
َ َو ِإ ْن أ َ َح ٌد ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِكيْنَ ا ْست َ َج
َِبأَنَّ ُه ْم قَ ْو ٌم ََل َي ْعلَ ُم ْون
“Dan jika di antara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah agar dia dapat mendengar kalam Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat yang
aman baginya. (Demikian) itu karena sesungguhnya mereka kaum yang tidak mengetahui.”
Junub adalah memasukan kepala penis atau seukuran kepala penis ke dalam farj, orang yang
dimasuki kepala penis atau orang yang keluar mani yang mewajibkan mandi.
Seorang yang terkena hadast besar karena junub, maka dilarang/diharamkan melakukan 6
perkara, yaitu:
a. Shalat.
b. Thawaf.
c. Menyentuh mushaf.
d. Membawa mushaf.
Penjelasan 4 perkara ini telah dibahas dalam hal-hal yang diharamkan bagi orang yang
berhadast.
Adapun lewat saja, yaitu masuk masjid melalui satu pintu dan keluar dengan pintu yang lain
maka diperbolehkan. Dengan syarat tidak berdiam di dalam masjid meki sebentar.
Allah bersabda:
f. Membaca Alquran.
Seorang yang junub dilarang atau diharamkan juga untuk membaca Alquran. Tetapi ada
beberapa syarat yang harus terpenuhi sehingga haram bagi orang yang junub membaca
Alquran. Jika salah satu syarat tidak ada maka bacaan Alquran yang dilakukan oleh orang
yang junub tidak haram.
Perempuan yang haidh diharamkan juga baginya beberapa perkara. Perkara-perkara yang
diharamkan bagi perempuan yang sedang mengalami haidh ada 10 macam, yaitu:
1. Shalat
Perempuan yang haidh diharamkan untuk mengerjakan shalat. Meski secara dhohir atau
kenyataan mampu mengerjakan shalat, tapi syariat melarang perempuan yang haidh untuk
mengerjakan shalat. Jika tetap memaksa mengerjakan shalat maka shalatnya tidak sah meski
dia tidak tahu hukumnya atau lupa.
Setelah darah haidh berhenti seorang perempuan tidak diwajibkan mengqodho’ shalat yang
telah ditinggalkan selama haidh. Jika tetap mengqodho’ maka sebagian ulama mengatakan
haram hukumnya.
Berbeda dengan puasa. Ketika perempuan telah berhenti dari haidh maka puasa wajib (seperti
puasa Ramadhan) yang telah ia tinggalkan selama haidh tetap wajib qodho’.
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh sayidah Aisyah, beliau berkata:
ص ََل ِة
َّ اء ال
ِ ضَ َص ْو ِم َو ََل نُؤْ َم ُر ِبق
َّ اء ال
ِ ضَ َُكنَّا نُؤْ َم ُر ِبق
“Kami diperintahkan untuk mengqodho’ puasa tetapi tidak diperintahkan untuk mengqodho’
shalat.”
2. Thawaf.
3. Menyentuh mushaf.
4. Membawa mushaf.
6. Membaca Alquran.
7. Puasa.
Perempuan yang haidh tidah diperbolehkan puasa. Artinya jika berniat puasa maka haram
hukumnya. Namun jika ia tidak makan atau tidak minum tetapi tidak berniat puasa maka
tidak haram.
8. Cerai.
Diharamkan bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya ketika haidh. Hal ini dikarenakan
masa iddah bagi perempuan yang pernah mengalami haidh adalah dengan 3 kali masa suci.
Jika ditalak ketika haidh maka masa iddah bagi perempuan akan lebih lama.
Jika tidak takut mengotori masjid, seperti jika telah tertutup rapat sehingga darah haidh tidak
akan mungkin mengotori masjid, maka diperbolehkan baginya untuk lewat di dalam masjid.
Namun dimakruhkan jika tidak ada keperluan lewat di dalam masjid.
10. Bersenang-senang dengan anggota badan yang terletak diantara pusar dan lutut.
Artinya perempuan yang haidh haram untuk bersenang-senang dengan suaminya pada
anggota tubuh yang terletak antara pusar dan lutut. Baik dengan bersetubuh (dengan
penghalang maupun tanpa penghalang), atau dengan selain bersetubuh tapi tanpa penghalang
(kulit bertemu dengan kulit).
ان
ٍ ط ِش َح َي َو َ اْل ْح ِت َيا ُج اِلَ ْي ِه ِل َع ُ اء َو ْال َم َر
ِ ْ ض َو ِ فَ ْق ُد ْال َم:ٌاب الت َّ َي ُّم ِم ث َ ََلثَة
ُ ص ٌل) أ َ ْس َب ْ َ(ف
ص ِن َو ْال ُم ْرت َ ُد َو ْال َكافِ َر َ الزانِي ْال ُم ْح
َّ ص ََلةِ َو َّ اركُ ال ِ َ ت:ٌ َغي ُْر ْال ُم ْحت َ َر ِم ِستَّة.ُم ْحت َ َر ٍم
.ب ْالعَقُ ْو ُر َو ْال ِخ ْن ِزي ُْر ُ ي َو ْال َك ْل
ُّ ِْال َح ْرب
Sebab-sebab tayammum ada 3, yaitu:
1. Tidak ada air.
2. Sakit.
3. Butuh air karena hayawan muhtarom yang kehausan.
Adapun hayawan yang tidak termasuk muhtarom ada 6, yaitu: orang yang meninggalkan
shalat, zani muhshon, kafir yang memerangi islam, murtad, anjing galak, babi.
Pembahasan
Tayammum adalah menggunakan debu ke muka dan kedua tangan dengan cara yang
dikhususkan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Alquran:
سا َء فَلَ ْمَ ِّسفَ ٍر أ َ ْو َجا َء أ َ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَا ِئ ِط أ َ ْو ََل َم ْست ُ ُم ال ِنَ ضى أ َ ْو َعلَى َ َو ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم َم ْر
س ُح ْوا بِ ُو ُج ْو ِه ُك ْم َو أ َ ْي ِد ْي ُك ْم إِ َّن للاَ َكانَ َعفُ ًّوا َ ص ِع ْيدًا
ْ َط ِيِّبًا ف
َ ام َ ت َ ِجد ُْوا َما ًء فَتَيَ َّم ُم ْوا
َغفُ ْو ًرا
“Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu
telah menyentuh perempuan sedangkan kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah
kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu.
Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Penganmpun.” (An-nisa :43)
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Tayammum bisa menjadi pengganti wudhu ketika tidak mendapatkan air untuk berwudhu,
juga sebagai pengganti mandi besar ketika terkena kewajiban mandi tapi tidak mendapatkan
air.
Seorang diperbolehkan bertayammum ketika terjadi dalam dirinya salah satu dari hal-hal
yang memperbolehkan tayammum. Jika ada satu saja hal yang memperbolahkan tayammum,
maka dia diperbolehkan bertayammum.
Jika seorang tidak bisa menggunakan air maka diperbolehkan untuk bertayammum. Yang
dimaksud dengan ‘tidak bisa menggunakan air’ adalah tidak bisa memakai air karena
kenyataannya tidak mendapatkan air setelah berusaha mencarinya atau mendapatkan air tapi
ada hal-hal yang mencegah dirinya menggunakan air.
Beberapa contoh ada air tapi tidak bisa menggunakannya karena beberapa hal, yaitu:
a. Seorang mendapatkan air tapi juga membutuhkannya untuk minum hayawan muhtarom.
Maka orang tersebut bertayammum dan airnya digunakan untuk minum.
b. seorang mendapatkan air dijual dengan harga diatas rata-rata daerah tersebut.
c. Seorang mendapatkan air namun ada bahaya yang menghadang sebelum mencapai air
seperti binatang buas.
d. Seorang mendapatkan air tetapi tidak bisa menggunakannya dikarenakan sakit.
Jika terjadi pada diri seseorang salah satu gambaran dari contoh diatas maka dia
diperbolehkan tayammum.
Permasalahan
a. Jika seorang meyakini tidak ada air maka tidak perlu mencari air tetapi langsung
tayammum. Namun jika ada prasangka ada air di sekelilingnya maka wajib mencari air
hingga mencapai haddul ghaust atau seukuran 150 m. jika berprasangka ada air di luar batas
tersebut maka tidak wajib mencari air.
Jika meyakini adanya air di daerah yang lebih dari 150 m, maka wajib mencari air hingga
mencapai 4,5 km. lebih dari jarak tersebut tidak wajib mencari air, tetapi langsung
bertayammum.
Kewajiban mencari air dalam batasan-batasan tersebut hanya bagi orang yang merasa aman
dirinya, anggota tubuh, harta, terpisah dari rombongan dan keluar waktu shalat. Tetapi jika ia
mencari air dalam batasan tersebut akan terancam bahaya, baik dirinya, anggota tubuhnya,
harta dll, maka tidak wajib mencari air.
b. Jika memiliki air yang hanya cukup untuk membasuh beberapa anggota wudhu saja, maka
air tersebut digunakan untuk berwudhu secukupnya, setelah itu bertayammum.
2. Sakit
Sebab yang kedua, yang memperbolehkan seorang bertayammum adalah sakit. Namun tidak
semua penyakit yang menimpa yang memperbolehkan untuk bertayammum. Sakit yang
memperbolahkan seseorang untuk bertayammum adalah sakit yang sekiranya jika memakai
air akan menimbulkan hal buruk pada dirinya, manfaat anggota tubuhnya, menambah lama
masa penyembuhan atau terjadi perubahan yang buruk pada anggota tubuhnya.
Jika orang yang sakit menggunakan air, maka akan muncul hal-hal tersebut, maka
diperbolehkan untuk bertayammum. Namun ada keterangan dari dokter bahwa jika orang
yang sakit tersebut jika menggunakan air akan muncul hal-hal tersebut.
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan hukum bertayammum bagi orang yang sakit,
yaitu:
a. Wajib.
Seorang yang sakit wajib bertayammum dan tidak boleh menggunakan air jika ketika
menggunakan air ditakutkan akan binasa (mati).
b. Boleh.
Boleh bertayammum bagi orang yang sakit, yang ketika menggunakan air akan menimbulkan
bahaya-bahaya yang telah disebutkan diatas.
c. Haram.
Orang yang sakit haram menggunakan air jika sakit yang diderita adalah sakit yang ringan,
sekiranya tidak ada bahaya apapun ketika menggunakan air.
Permasalahan
Maka terlebih dahulu harus membasuh yang tidak terluka. Kemudian jika dia berwudhu maka
bertayammum ketika membasuh bagian yang tidak terluka.
Contoh: ketika seorang luka bagian tangan atau telapak kakinya dan tidak mungkin dibasuh
dengan air ketika wudhu. Maka terlebih dahulu yang wajib dilakukan adalah berwudhu
seperti biasa. Kemudian ketika hendak membasuh tangan atau kaki, maka membasuh bagian
yang tidak terluka dengan air. Adapun bagian yang luka tidak perlu dibasuh, tetapi diganti
dengan tayammum di wajah dan tangan.
Dari sini, jika yang terluka adalah 2 anggota wudhu, seperti tangan dan telapak kaki, maka
wajib mengerjakan 2 kali tayammum.
Adapun seorang yang terkena kewajiban mandi tetapi ada bagian tubuh yang tidak mungkin
dibasuh dengan air karena luka, maka ia wajib tayammum sebagai pengganti dari membasuh
luka tersebut. Adapun waktunya bisa sebelum mandi atau setelah mandi.
b. Seorang yang luka dan luka tersebut tertutup dengan sesuatu, seperti perban dll.
Seorang yang lukanya tertutup oleh perban, misalnya, maka wajib untuk mencabutnya dalam
3 gambaran, yaitu:
1. Jika dilepas maka memungkinkan membasuh bagian yang terluka dengan air.
2. Tidak mungkin dilepas tetapi perban menutup bagian yang tidak terluka. Maka wajib
dilepas untuk membasuh bagian yang tidak terluka.
3. Perban terletak di anggota tayammum (tangan dan wajah) dan jika dilepas bisa mengusap
bagian yang terluka dangan debu.
Jika salah satu dari gambaran tersebut terjadi, maka wajib melepas perban atau semisalnya.
Hal ini wajib dilakukan jika tidak dikhawatirkan hal-hal yang membahayakan diri, anggota
badan, bertambah lama masa sembuh dll. Jika dikhawatirkan akan terjadi hal-hal tersebut
maka tidak wajib melepas perban dan semisalnya. Tetapi yang wajib dilakukan adalah
membasuh bagian yang tidak terluka, mengusap dengan air bagian atas perban dan
bertayammum sebagai pengganti dari bagian tubuh yang terluka.
Tambahan
Orang lukanya tertutup perban atau semisalnya dan tidak mungkin untuk melepasnya, maka
adakalanya wajib mengqodho’ shalat yang telah dikerjakan, namun adakalanya tidak wajib
mengqodho’.
Orang yang lukanya tertutup perban wajib mengqodho’ shalatnya dalam 3 gambaran, yaitu:
1. Penutup luka atau perban terletak di anggota tayammum (wajah atau tangan). Maka wajib
mengqodho’ shalatnya, baik menaruh penutup tersebut setelah bersuci (wudhu) terlebih
dahulu atau tidak. Baik penutup atau perban tersebut mengambil bagian tubuh yang sehat
ataupun tidak.
Maka ketika menaruh penutup luka atau perban di anggota tayammum maka wajib
mengqodho’ shalat yang telah dikerjakan selama memakai perban.
2. Penutup luka atau perban tidak terletak di anggota tayammum, tetapi mengambil bagian
yang tidak terluka melebihi ukuran untuk menahan perban agar tidak terlepas. Maka wajib
mengqodho’ shalatnya, baik menaruh penutup tersebut setelah bersuci (wudhu) terlebih
dahulu atau tidak.
3. Penutup luka atau perban mengambil bagian yang tidak terluka, tetapi hanya sebatas untuk
menahan agar penutup atau perban tidak terlepas. Maka wajib mengqodho’ shalat tetapi jika
meletakan penutup tersebut sebelum bersuci (berwudhu) terlebih dahulu.
1. Penutup luka atau perban tidak mengambil bagian yang tidak terluka dan bukan terletak di
anggota tayammum. Maka tidak wajib mengqodho’, baik menaruh penutup luka dalam
keadaan bersuci terlebih dahulu ataupun tidak.
2. Penutup luka atau perban mengambil bagian yang tidak terluka hanya sebatas ukuran untuk
menahan penutup atau perban agar tidak terlepas dan menaruh perban tersebut setelah besuci
terlebih dahulu.
3. Butuh air karena hayawan muhtarom yang kehausan.
Setiap makhluk hidup memerlukan air. Ketika memiliki air dan ingin digunakan untuk
berwudhu, tetapi memerlukan air karena kehausan (sekiranya jika tidak minum akan sakit
atau bahaya-bahaya yang telah disebutkan sebelumnya), maka diperbolehkan untuk
bertayammum dan airnya digunakan untuk minum, baik dirinya sendiri yang memerlukan air
tersebut ataupun yang lainnya. Dengan syarat yang memerlukan air adalah hayawan
muhtarom.
Hayawan muhtarom adalah hewan yang haram untuk dibunuh. Hewan disini mencakup
manusia atau bukan, milik sendiri atau orang lain.
Namun, jika yang memerlukan air karena kehausan bukan hayawan muhtarom maka air
harus digunakan untuk berwudhu dan tidak boleh bertayammum.
Jika salah satu dari hayawan muhtarom memerlukan air, tetapi air diperlukan untuk bersuci,
maka air hars digunakan untuk bersuci dan tidak memperdulikan kehausan dari hayawan
muhtarom tersebut.
طا ِه ًرا َو أ َ ْن ََل َ اب ُ ب َو أ َ ْن يَ ُك ْونَ الت ُّ َر ٍ أ َ ْن يَ ُك ْونَ بِت ُ َرا:ٌط التَّيَ ُّم ِم َعش ََرة ُ ش ُر ْو ُ )ص ٌل ْ َ(ف
س َح َو ْج َههُ َو يَ َد ْي ِه َ ص َدهُ َو يَ ْم ِ طهُ َدقِي ٌْق َو ن َْح ُوهُ َو أ َ ْن يَ ْق َ يَ ُك ْونَ ُم ْست َ ْع َم ًَل َو أ َ ْن ََل يُخَا ِل
سةَ أ َ َّو ًَل َو أ َ ْن يَ ْجت َ ِه َد فِي ْال ِق ْبلَ ِة قَ ْبلَهُ َو أ َ ْن يَ ُك ْونَ التَّيَ ُّم ُم
َ ض ْربَتَي ِْن َو أ َ ْن يُ ِز ْي َل النَّ َجا َ ِب
.ض ِ َب ْع َد ُد ُخ ْو ِل ْال َو ْق
ٍ ت َو أ َ ْن َيت َ َي َّم َم ِل ُك ِِّل فَ ْر
Syarat-syarat tayammum ada 10, yaitu:
1. Hendaknya bertayammum dengan debu.
2. Hendaknya debunya suci.
3. Hendaknya debunya bukan musta’mal.
4. Hendaknya tidak mencampur debu dengan tepung atau yang lainnya.
5. Hendaknya menyengaja menggunakan debu.
6. Mengusap wajah dan kedua tangan dengan dua kali pukulan.
7. Hendaknya menghilangkan najis terlebih dahulu.
8. Hendaknya berusaha mencari arah kiblat sebelum bertayammum.
9. Hendaknya tayaammum dilakukan setelah masuk waktu.
10. Hendaknya bertayammum untuk setiap shalat fardhu.
Pembahasan
Sebagai mana telah dibahas sebelumnya, bahwa tayammum adalah salah satu bentuk bersuci.
Baik bersuci untuk mengangkat hadast kecil (pengganti wudhu) atau mengangkat hadast
besar (pengganti mandi). Hanya saja dalam bertayammum, alat yang digunakan untuk bersuci
adalah debu, bukan air. Sehingga ketentuan, syarat dan pelaksanaanya juga berbeda dari
wudhu atau mandi.
Tayammum hanya sah dengan debu. Jika bukan dengan debu maka tidak sah tayammumnya,
seperti bertayammum dengan pasir.
Allah berfirman dalam Alquran:
َ ص ِع ْيدًا
ط ِيِّبًا َ فَتَيَ َّم ُم ْوا
“......maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci)….” (QS. AnNisa: 43)
Debu yang digunakan untuk bertayammum adalah debu yang suci. Sehingga tidak sah debu
yang najis (seperti debu yang terbuat dari kotoran hewan) atau debu yang mutanajjis (seperti
debu yang tercampur dengan sesuatu yang najis).
Debu yang digunakan untuk bertayammum bukan debu yang musta'mal. Debu musta'mal
tetap dihukumi debu yang suci tetapi tidak bisa digunakan untuk bertayammum.
Debu yang digunakan untuk bertayammum adalah debu yang murni. Tidak sah menggunakan
debu yang bercampur dengan benda lain seperti tepung, semen dll. Baik campurannya sedikit
ataupun banyak. Hal ini dikarenakan, jika debu bercampur dengan benda lain, maka debu
akan terhalang untuk sampai kepada anggota tayammum.
Ukuran sedikit atau banyaknya benda yang mencampuri debu adalah ketika campuran
tersebut terlihat oleh mata maka campuran tersebut dihitung banyak. Jika tidak terlihat oleh
mata maka sedikit.
Permasalahan
Jika debu bercampur dengan air musta'mal (air yang telah digunakan untuk membasuh
basuhan wajib seperti membasuh muka pertama kali ketika wudhu) kemudian kering, maka
debu tersebut tetap bisa digunakan untuk bertayammum.
Bagi orang yang bertayammum, wajib untuk memindah debu dari tempatnya secara sengaja
ke wajah dan tangan, baik yang memindah debu adalah dirinya sendii, orang lain, anak kecil
maupun orang kafir tetapi harus dengan ijin dari orang yang bertayammum.
Jika debu berterbangan sehingga menempel pada muka dan tangannya, kemudian diusap-
usapkan dengan niat untuk bertayammum, maka tayammum tidak sah. Hal ini dikarenakan
tidak adanya kesengajaan dalam memindah debu ke anggota tayammum.
Pukulan yang dimaksud adalah pukulan dalam mengambil debu. Maka disyaratkan dengan
dua kali pukulan atau tepukan ke debu. Sehingga tidak sah jika hanya dengan satu tepukan
saja, seperti menempelkan kain ke debu satu kali kemudian sebagian kain digunakan untuk
mengusap wajah dan sebagian lain digunakan untuk mengusap tangan.
Adapun ketika debu berterbangan terbawa angin, kemudian telapak tangan dihadangkan ke
debu tersebut dan digunakan untuk mengusap muka, kemudian melakukan kedua kalinya dan
digunakan untuk mengusap kedua tangan, maka sah tayammumnya. Karena ada kesengajaan
untuk memindah debu dari udara ke tangan dan dilakukan dengan dua kali.
Hal ini berbeda dengan wudhu (dalam wudhu tidak disyaratkan menghilangkan najis terlebih
dahulu) karena wudhu bertujuan mengangkat hadast. Dan hadast bisa terangkat atau hilang
meskipun tanpa menghilangkan najis. Sedang dalam tayammum wajib menghilangkan najis
terlebih dahulu karena tayammum bertujuan supaya diperbolehkan mengerjakan shalat bukan
untuk mengangkat hadast. Sedang syarat shalat diantaranya adalah bersih dari najis. Sehingga
supaya diperbolehkan untuk tayammum maka disyaratkan untuk menghilangkan najis
terlebih dahulu, supaya diperbolehkan mengerjakan shalat.
Jika bertayammum tanpa menghilangkan najis terlebih dahulu, padahal mampu untuk
menghilangkannya, maka tayammumnya tidak sah. Tetapi ketika tidak bisa menghilangkan
najis terlebih dahulu (seperti tidak ada air untuk menghilangkan najis), maka tayammum
yang dilakukan sah dan wajib mengqodho’ shalatnya.
Ketika hendak bertayammum, maka disyaratkan untuk berusaha mencari arah kiblat terlebih
dahulu. Tetapi jika telah mengetahui arah kiblat sebelumnya, seperti bertayammum di
sebelah masjid, maka tidak perlu untuk mencari arah kiblat lagi.
Namun sebagian ulama, seperti Imam Romli dan Assyarqowi berkata, tidak disyaratkan
untuk mencari kiblat sebelum tayammum. Sehingga sah tayammum meski sebelum mencari
arah kiblat.
Tayammum yang dilakukan harus benar-benar/ yakin setelah masuk waktu shalat yang ingin
dikerjakan. Karena tayammum adalah thaharah yang darurat. Dan tidak bisa dikatakan
darurat ketika belum masuk waktu, karena belum ada kewajiban mengerjakan shalat.
Sehingga disyaratkan masuk waktu shalat sebelum melakukan tayammum.
Masuknya waktu shalat berbeda-beda pada setiap shalat yang akan dikerjakan. Perinciannya
adalah sebagai berikut.
a. Ketika ingin mengerjakan shalat fardhu, maka tayammum harus dikerjakan setelah
masuk waktu fardhu.
b. Ketika ingin mengerjakan shalat jenazah, maka tayammum harus dilakukan setelah mayit
dimandikan.
c. Ketika ingin mengerjakan shalat sunnah yang memiliki waktu, maka tayammum harus
dilakukan setelah masuk waktunya. Seperti ketika ingin melaksanakan shalat dhuha, maka
harus bertayammum setelah masuk waktu shalat dhuha.
d. Ketika ingin mengerjakan shalat sunnah yang disunnahkan karena sebab tertentu, maka
tayammum harus dilakukan ketika telah tiba waktu diperbolehkan mengerjakan shalat
tersebut. Seperti ketika hendak mengerjakan shalat tahiyatul masji, maka tayammum harus
dikerjakan setelah masuk masjid.
e. Ketika ingin mengerjakan shalat sunnah mutlak, maka bertayammum kapan saja selain di
waktu dilarang mengerjakan shalat-shalat tersebut, seperti setelah shalat ashar.
Seorang yang bertayammum untuk mengerjakan sesuatu yang fardhu, shalat ataupaun bukan
shalat (seperti thawaf wajib), maka harus bertayammum setiap kali hendak melaksanakan
ibadah fardhu tersebut. Fardhu yang dimaksud adalah fardhu ain. Baik fardhu tersebut karena
sudah menjadi kewajibannya (seperti shalat fardhu) atau karena dinadzari.
Sehingga tidak dibolehkan menggabungkan dua ibadah fardhu dengan satu tayammum saja.
Tetapi satu tayammum uantuk satu fardhu.
Adapun fardhu kifayah, seperti shalat jenazah, dan sunnah, maka diperbolehkan
mengumpulkan ibadah tersebut meski hanya dengan satu tayammum saja. Sehingga setelah
mengerjakan shalat fardhu, misalnya, maka boleh mengerjakan shalat sunnah yang lainnya
tanpa perlu bertayammum lagi. Begitu juga ketika ingin mengerjakan shalat sunnah, maka
hanya diperlukan tayammum satu kali saja dan mengerjakan shalat sunnah sebanyak
mungkin.
Safinah - bag 18: Fardhu Tayammum
ث) َم ْس ُح ُ ب (الثَّا ِني) ال ِنِّ َيةُ (الثَّا ِل ِ (اْل َ َّولُ) نَ ْق ُل الت ُّ َرا:ٌسة ُ ص ٌل) فُ ُر ْو
َ ض الت َّ َي ُّم ِم خ َْم ْ َ(ف
.ْب بَيْنَ ْال َم ْس َحتَي ِْن ُ س) الت َّ ْرتِيُ َام
ِ (الخ ْ (الرابِ ُع) َم ْس ُح ْاليَ َدي ِْن اِلَى ْال ِم ْرفَقَي ِْن
َّ ْال َو ْج ِه
Fardhu-fardhu tayammum ada 5, yaitu:
1. Memindah debu.
2. Niat.
3. Mengusap wajah.
4. Mengusap kedua tangan hingga siku.
5. Tertib antara dua usapan.
Pembahasan
Sebagaimana dalam wudhu dan mandi memiliki fardhu atau hal-hal yang wajib dilakukan,
tayammum juga memiliki fardhu atau hal-hal yang wajib dilakukan juga.
Adapun fardhu-fardhu tayammum ada 5, yaitu:
1. Memindah debu
Syarat tayammum yang pertama adalah memindah debu dari tanah atau tempat yang lainnya
ke angota tayammum. Tempat mengambil debu tidak harus dari tanah atau semisalnya, boleh
juga bertayammum dengan debu yang menempel pada anggota tayammum (wajah dan
tangan).
Gambarannya adalah ketika di kedua tangan terdapat debu sebelum tayammum, kemudian
debu tersebut diambil dengan telapak tangan dan diusapkan ke wajah dengan niat tayammum.
Gambaran yang kedua adalah setelah mengusap wajah dengan debu, angin berhembus
membawa debu dan menempel di wajah. Kemudian debu yang berada di wajah diambil
dengan telapak tangan dan diusapkan ke tangan.
2. Niat
Dalam tayammum diwajibkan juga untuk niat, karena hal ini termasuk dalam sabda
Rasulullah sallallhu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
Niat dalam bertayammum beda dengan niat dalam wudhu. Adapun niat tayammum adalah
َّ )ن ََويْتُ التَّيَ ُّم َم َِل ْستِبَا َح ِة ال. Dan tidak boleh niat untuk
niat supaya diperbolehkan untuk shalat (ِص ََلة
mengangkat hadast, karena tayammum tidak mengangkat hadast tetapi hanya
memperbolehkan untuk mengerjakan hal-hal yang diharamkan bagi orang yang berhadast.
Adapun waktu niat tayammum adalah membarengi niat mulai memindah debu dan terus-
menerus niat tersebut hingga mengusap bagian dari wajah. Dan ketika debu menempel bagian
wajah dibarengi niat supaya diperbolehkan untuk shalat.
a. Niat supaya diperbolehkan mengerjakan shalat fardhu atau thawaf yang wajib.
Jika niat dalam tayammum adalah niat seperti ini maka diperbolehkan mengerjakan satu
fadhu, semua shalat sunnah dan semua ibadah yang memerlukan untuk tayammum, seperti
menyentuh mushaf dan sujud syukur.
b. Niat supaya diperbolehkan mengerjakan shalat (tanpa kata farhu), shalat sunnah, thawaf
(tanpa kata fardhu) atau shalat jenazah.
Jika niat dalam tayammum adalah niat seperti ini, maka diperbolehkan untuk mengerjakan
semua shalat sunnah dan semua ibadah yang memerlukan untuk tayammum. Tetapi tidak
diperbolehkan untuk mengerjakan ibadah yang fardhu ain, seperti shalat fardhu dan thawaf
wajib.
c. Niat supaya diperbolehkan menyentuh mushaf atau segal sesuatu yang membutuhkan
niat.
Jika niat dalam tayammum adalah niat seperti ini maka diperbolehkan mengerjakan hal-hal
yang membutuhkan tayammum, seperti sujud tilawah dan sujud syukur. Tetapi tidak
diperbolehkan mengerjakan shalat ibadah fardhu maupun shalat sunnah.
3. Mengusap wajah
Mengusap wajah adalah bagian dari fardhu tayammum. Allah berfirman dalam Alquran:
Batasan mengusap wajah yang wajib dilakukan ketika tayammum adalah sama dengan
membasuh muka ketika wudhu, yaitu dari tempat tumbuhnya rambut kepala sampai ujung
dagu. Dan dari telinga ke telinga yang lainnya. Tetapi tidak wajib mengusap bagian tempat
tumbuhnya rambut dengan debu.
Termasuk yang wajib diusap ketika tayammum adalah bagian jenggot yang tampak dan ujung
hidung yang menghadap ke arah bibir atas.
Adapun tata-cara yang disunnahkan dalam mengusap kedua tangan adalah menaruh jari-jari
tangan kiri diatas punggung jari-jari tangan kanan selain ibujari, sekiranya ujung jari-jari
tangan kanan tidak melebihi telunjuk tangan kiri.
Kemudian menggerakan tangan kiri menuju pergelangan tangan kanan. Ketika telah sampai
pergelangan tangan kanan, maka jari-jari tangan kiri ditekan dan digerakan menuju siku.
Setelah mencapai siku, jari;jari tangan kiri diputar ke kiri. Kemudian telapak tangan kiri,
yang masih berdebu disentuhkan ke lengan dan digerakan menuju pergelangan dengan
mengangkat jempol/ ibu jari tangan kiri.
Setelah mencapai pergelangan, maka ibujari tangan kiri diletakkan pada punggung ibujari
tangan kanan. Untuk mengusap tangan kiri, maka cara yang dilakukan sama seperti
mengusap tangan kanan.
Dalam usapan ketika bertayammum, maka harus berurutan antara usapan muka dan tangan.
Tidak boleh mendahulukan usapan tangan dan mengakhirkan usapan muka. Jikamengusap
tangan terlebih dahulu kemudian mengusap muka, maka yang dianggap sah adalah usapan
muka. Sedang usapan pada tangan tidak sah.
Pekerjaan-pekerjaan yang disunnahkan dalam tayammum yaitu segala sunnah wudhu yang
bisa dilakukan ketika bertayammum, selain mengusap sebanyak tiga kali, menyela-nyelai
jenggot. Sehingga dalam tayammum tidak disunnahkan mengulangi usapan sampai tiga kali
dan menyela-nyelai jenggot.
Pembahasan
Tayammum adalah salah satu macam dari thaharah atau bersuci. Ada beberapa hal yang bisa
merusak atau membatalkan tayammum. Jika salah satu dikerjakan setelah tayammum, maka
tayammum yang telah dikerjakan menjadi rusak atau batal.
Segala sesuatu yang membatalkan wudhu, seperti menyentuh kemaluan, hilangnya akal dll,
jika terjadi setelah tayammum maka tayammum menjadi rusak atau batal. hal ini dikarenakan
tayammum sama seperti wudhu karena menggantikan wudhu ketika tidak mendapatkan air.
Segala sesuatu yang membatalkan wudhu jika terjadi setelah tayammum juga membatalkan
tayammum, tetapi hanya berlaku jika tayammum yang dilakukan adalah pengganti wudhu.
Adapun ketika tayammum yang dilakukan adalah pengganti mandi, maka tidak batal
tayammumnya meski mengerjakan hal-hal yang membatalkan wudhu. Hanya saja katika
hendak shalat atau ibadah yang memerlukan bersuci, maka diharuskan untuk berwudhu atau
tayammum lagi sebagai pengganti dari wudhu.
2. Murtad
Murtad adalah keluar dari agama islam, dengan ucapan, perbuatan atau keyakinan. Seorang
yang telah bertayammum, kemudian murtad, maka tayammum yang telah dikerjakan menjadi
rusak atau batal. Karena tayammum adalah bentuk thaharah/bersuci yang lemah. Karena
tayammum adalah bentuk keringanan supaya diperbolehkan mengerjakan ibadah yang
memerlukan bersuci terlebih dahulu.
Hal ini berbeda dengan wudhu. Ketika seorang murtad ketika sedang wudhu atau setelah
wudhu maka wudhunya tidak batal. Karena wudhu merupakan thaharah/bersuci untuk
mengangkat hadast, sehingga disebut thaharah yang kuat.
Tetapi, jika seorang murtad ketika sedang wudhu kemudian masuk islam lagi, maka tidak
perlu mengulangi wudhu dari awal. Tetepi meneruskan wudhunya dengan memperbarui
niatnya kembali.
b. Jika menyangka ada air sebelum shalat tetapi ada penghalang untuk sampai ke tempat air
berada, maka tayammumnya tidak batal.
c. Jika menyangka ada air ketika shalat, maka tayammumnya tidak batal.
d. Jika meyakini ada air ketika shalat, tetapi shalat yang dilakukan dengan tayammum wajib
qodho’, maka shalat dan tayammumnya batal.
Contoh: ketika seorang bertayammum di tempat yang biasanya terdapat air (tetapi waktu
tayammum sedang tidak ada air), namun ketika sedang shalat dengan tayammum tersebut
melihat ada rombongan membawa air, maka shalat dan tayammumnya batal.
e. Jika meyakini ada air ketika shalat dan shalat tersebut tidak wajib untuk mengqodho’,
maka shalatnya sah. Dan diperbolehkan untuk memilih antara membatalkan shalat kemudian
wudhu atau meneruskan shalat hingga selesai.
Contoh: ketika seorang bertayammum di daerah yang biasanya tidak ada air, kemudian shalat
dan di tengah shalat melihat air, maka shalatnya tetap sah dan diberi pilihan antara
meneruskan shalat hingga selesai atau membetalkan shalat dan mengulanginya setelah
berwudhu.
Pembahasan
Dalam kehidupan ini tidak akan terlepas dari berbagai macam benda. Benda-benda dalam
kehidupan ini adakalanya benda yang suci maupun benda najis. Benda suci tidak akan
menjadi najis kecuali tercampur dengan najis. Benda najis tidak akan menjadi suci selamanya
kecuali dalam beberapa benda. Sehingga benda tersebut yang sebelumnya najis bisa menjadi
benda suci.
Adapun benda-benda najis yang bisa menjadi suci ada 3 macam, yaitu:
Khomer adalah minuman yang memabukan yang terbuat dari perasan anggur. Tetapi yang
dimaksud khomer dalam segala bab adalah segala sesuatu yang memabukan meskipun bukan
terbuat dari perasan anggur atau yang sering kita sebut dengan minuman keras.
Semua jenis minuman yang memabukan adalah minuman keras dan najis hukumnya.
Minuman keras bisa menjadi suci ketika berubah menjadi cukak dengan sendirinya, yaitu
sekiranya tidak tercampur benda lain dalam proses menjadi cukak.
Jika dalam proses perubahan khomer menjadi cukak bercampur dengan benda najis, maka
cukak tetap najis meskipun najis tersebut telah diambil sebelum menjadi cukak.
Jika dalam proses tersebut bercampur dengan benda suci, maka jika benda tersebut diambil
sebelum khomer menjadi cukak maka cukak dihukumi suci. Tetapi jika benda tersebut tidak
diambil sampai menjadi cukak atau diambil sebelum menjadi cukak tetapi ada bagian dari
benda suci tersebut yang berjatuhan ke dalam khomer (rontok) maka cukak tetap dihukumi
najis.
Bagian dari bangkai binatang, apapun itu, maka hukumnya najis. Tidak ada yang bisa
menjadi suci kecuali kulitnya. Kulit bangkai bisa hilang sifat najisnya menjadi suci jika
disamak.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ُه َََل أ َ َخ ْذت ُ ْم ِإهَا َب َها فَ َد َب ْغت ُ ُم ْوهُ فَا ْنتَفَ ْعت ُ ُم ْوه
“Tidakkah kalian mengambil kulitnya (bangkai) kemudian kalian menyamaknya dan bisa
mengambil manfaatnya.”
Menyamak adalah menghilangkan kelebihan pada kulit (daging dan lemak yang menempel
pada kulit) dengan sesuatu yang menyengat seperti daun bidara. Meskipun alat yang
digunakan untuk menyamak adalah benda najis seperti kotoran burung merpati.
Jika kulit bangkai telah disamak, maka kulit menjadi suci luar dan dalam. Dan kulit yang
telah disamak dihukumi seperti baju yang terkena najis, sehingga bisa suci dengan dicuci
dengan air. Adapun rambut yang menempel pada kulit, maka tetap dihukumi najis kecuali
jika sedikit maka dihukumi suci.
Tambahan
1. Tidak semua kulit bangkai bisa suci dengan disamak. Kulit yang bisa suci dengan
disamak adalah kulit yang menjadi najis karena sebab matinya hewan tersebut. Yaitu hewan
yang mati tanpa sembelihan secara syariat, sehingga mencakup hewan yang mati tanpa
disembelih.
Adapun kulit babi dan anjing, maka tidak bisa suci meski disamak. Karena kedua hewan
tersebut hukumnya najis meski belum mati.
2. Tanda bahwa kulit yang telah disamak telah suci adalah sekiranya ketika dimasukan ke
dalam air maka bau busuknya tidak kembali lagi.
3. Hewan yang bisa dimakan dagingnya (dagingnya halal untuk dikonsumsi) hanya
diperbolehkan disembelih untuk diambil dagingnya dan haram jika hanya bertujuan untuk
mengambil kulitnya saja.
Adapun hewan yang tidak bisa dimakan (dagingnya haram untuk dikonsumsi) maka haram
diseembelih untuk tujuan apapun, kecuali hewan yang diperbolehkan syariat untuk dibunuh.
Terkadang dalam benda najis muncul beberapa hewan kecil. Seperti ketika bangkai yang
didiamkan, maka lama-kelamaan akan muncul hewan kecil seperti belatung. Belatung ini
hukumnya suci. Tetapi tidak semua benda suci bisa dimakan.
Sebagian ulama mengatakan bahwa belatung tersebut diciptakan Allah dari bangkai tersebut.
Namun sebagian ulama lain berpendapat bahwa belatung tersebut diciptakan Allah hidup di
dalam najis (bangkai) bukan tercipta dari bangkai.
Dari sini, sebagian ulama tidak memasukan bagian ketiga ini ke dalam macam-macam najis
yang menjadi suci.
و هللا أعلم
Pembahasan
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa benda-benda dalam kehidupan ini meliputi benda suci
dan benda najis. Najis itu sendiri terbagi menjadi 3, yaitu:
1. Najis mugholadhoh
Najis mugholadhoh adalah najis dari binatang anjing, babi, peranakan dari keduanya atau
peranakan salah satu dari anjing dan babi dengan binatang suci, seperti kambing. Semua yang
berkaitan dengan anjing, babi, peranakan keduananya atau peranakan salah satu dari
keduanya hukumnya najis mugholadhoh. Baik kotoran, kulit dll.
Jika sesuatu bersentuhan dengan anjing, babi atau segala sesuatu yang keluar dari pada semua
itu (kotoran, liur keringat dll), sedang salah satu dari bagian yang tersentuh atau yang
menyentuh dalam keadaan basah, maka semua itu hukumnya najis mugholadhoh.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ُ أ َ ْو لَ ْح َم ِخ ْن ِزي ٍْر فَإِنَّهُ ِر ْج
)145 :س (اْلنعام
“… atau daging babi, karena semua itu kotor.”
Suatu benda disucikan karena beberapa hal, yaitu karena hadast, najis atau untuk dimuliakan.
Sedang wadah tidak mungkin terkena hadast dan tidak mungkindibersihkan karena
dimuliakan, sehingga dalam hadist Nabi diatas, perintah untuk membersihkan wadah yang
dijilat oleh anjing menunjukan bahwa anjing adalah najis.
Tambahan
2. Najis mukhoffafah
Mukhoffafah artinya diringankan. Najis mukhoffafah artinya najis paling ringan. Najis
mukhoffafah adalah najis yang memiliki beberapa kriteria, yaitu:
1. Kencing.
Bukan najis yang lainnya seperti tinja (tai) atau muntahan.
2. Anak kecil (bayi) laki-laki.
Jika bayi perempuan maka kencingnya bukan najis mukhoffafah.
3. Belum memakan apapun selain susu.
Jika yang dikonsumsi oleh bayi hanya susu, meski bukan susu manusia atau bukan susu dari
ibu kandungnya, maka kencingnya tetap dihukumi najis mukhoffafah. Jika telah
mengkonsumsi selain susu, seperti bubur atau pisang atau yang lainnya, maka kencing yang
keluar dari bayi tersebut bukan lagi masuk pada golongan najis mukhoffafah. Tetapijika
makanan yang masuk ke dalam diri bayi tersebut adalah untuk obat, maka kencing yang
keluar tetap dihukumi najis mukhoffafah.
4. Belum mencapai umur dua tahun.
Jika telah berumur dua tahun, maka kencing yang keluar darinya bukan lagi sebagai najis
mukhoffafah. Begitu juga jika diragukan apakah umurnya telah mencapai dua tahun atau
belum, maka kencingnya bkan najis mukhoffafah lagi.
Dari kriteria diatas, jika salah satu tidak terpenuhi (salah satu kriteria tidak ada) maka najis
tersebut bukan najis mukhoffafah tetapi masuk golongan najis mutawassithoh.
Permasalahan
Jika air kencing yang dihukumi najis mukhoffafah mengenai air sedikit atau banyak
(mencapai 217 liter) dan air tersebut berubah salah satu sifatnya (rasa, warna atu baunya)
maka air tersebut menjadi najis mutawassithah.
3. Najis mutawassithah
Najis mutawassithah adalah najis-najis selain najis mugholadhoh dan mukhoffafah. Sehingga
najis ini mencakup banyak sekali najis. Diantaranya yaitu:
1. Khomer/minuman yang memabukan.
2. Darah.
3. Nanah.
4. Muntahan.
5. Bangkai selain bangkai/mayit manusia, ikan dan belalang.
6. Kencing selain kencing yang telah disebutkan dalam najis mukhoffafah.
7. Madzi.
8. Wadzi.
9. Tinja (tai).
10. Air susu dari hewan yang tidak halal dimakan dagingnya.
Adapun bagian yang terpisah dari hewan yang masih hidup, maka hukumnya seperti jika
hewan tersebut menjadi bangkai. Jika ketika menjadi bangkai hukumnya najis, maka bagian
yang terputus darinya ketika hidup juga najis. Tetapi, jika menjadi bangkai hukumnya suci
(seperti belalang, ikan dan manusia) maka bagian yang terpisah atau terputus darinya ketika
masih hidup hukumnya suci.
Hanya saja, bulu atau rambut dari binatang yang dagingnya halal dikonsumsi, maka bulu atau
rambut yang terpisah atau terlepas darinya ketika masih hidup hukumnya suci.
.ب ٍ ِإ ْح َداهُ َّن ِبت ُ َرا، ت َب ْع َد ِإزَ الَ ِة َع ْينِ َها ٍ س ََل
َ سبْعِ َغ َ ط ُه ُر ِب ْ َ ت: ُظة َ َّص ٌل ) ْال ُمغَل ْ َ(ف
طةُ ت َ ْنقَ ِس ُمَ سِّ ِ َو ْال ُمت َ َو. اء َعلَ ْي َها َم َع ْالغَلَ َب ِة َو ِإزَ الَ ِة َع ْي ِن َها
ِ ش ْال َمِّ ِ ط ُه ُر ِب َرْ َ ت: َُو ْال ُم َخفَّ َفة
ط ْع ٌم فَ ََل بُ َّد ِم ْن إِزَ الَ ِة َ الَّتِي لَ َها لَ ْو ٌن َو ِر ْي ٌح َو: ُ ْالعَ ْينِيَة. ٌع ْينِيَةٌ َو ُح ْك ِميَة َ :إِلَى قِ ْس َمي ِْن
ط ْع َم لَ َهاَ الَّتِي ََل لَ ْونَ لَ َها َو ََل ِر ْي َح َو ََل: ُ َو ْال ُح ْك ِميَة. ط ْع ِم َها َ لَ ْونِ َها َو ِري ِْح َها َو
. اء َعلَ ْي َهاِ ي ْال َم ُ يَ ْك ِفي َْك َج ْر
Najis mugholadhoh bisa suci dengan tujuh basuan setelah menghilangkan najisnya, salah satu
tujuh basuhan tersebut adalah dengan debu.
Najis mukhoffafah bisa suci dengan mencipratkan air diatas najis melebihi dari ukuran najis
dan menghilangkan najisnya.
Najis mutawassithoh terbagi menjadi dua, yaitu: najis ‘ainiyah dan najis hukmiyah. Najis
‘ainiyah adalah najis yang terdapat warna, bau dan rasa. Maka harus menghilangkan warna,
bau dan rasa najisnya. Adapun najis hukmiyah adalah najis yang tidak terdapat warna, bau
dan rasa. Kamu cukup mengalirkan air diatas najis tersebut.
Pembahasan
Dalam pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa najis terbagi menjadi tiga; najis
mugholadhoh, najis mukhoffafah dan najis mutawassithoh. Masing-masing dari setiap najis
tersebut memiliki tata-cara untuk mensucikannya. Sehingga antara satu dan yang lainnya
berbeda dalam mensucikannya. Adapun cara mensucikan najis adalah sebagai berikut:
1. Najis mugoladhoh
Najis mugholadhoh adalah najis yang sangat berat dibandingkan dengan najis-najis yang
lainnya. Sehingga cara mensucikan benda-benda yang terkena najis mugholadhoh juga lebih
berat.
Sesuatu benda yang terkena najis mugholadhoh bisa suci dengan tujuh kali basuhan. Dan
salah satunya adalah dengan debu yang sah untuk bertayammum. Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ ت أ ُ ْو ََل ُه َّن ِبالت ُّ َرا
ب َ َُاء فَا ْغ ِسلُ ْوه
ٍ س ْب َع َم َّرا ُ ِإ َذا َولَ َغ ْال َك ْل
ِ ْ ب فِي
ِ اْلن
“Jika anjing menjilat dalam wadah, maka basuhlah sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan
debu.”
Diperbolehkan meletakan basuhan dengan debu pada basuhan ke berapa saja; pertama,
tengah atau terakhir. Namun lebih utama meletakannya pada basuhan yang pertama. Hal ini
supaya ketika ada bagian yang menyiprat mengenai benda lain tidak perlu membasuh
menggunakan debu lagi, tetapi hanya perlu membasuh sebanyak basuhan yang tersisa dari
basuhan najis mugholadhoh yang pertama.
Akan tetapi, jika ada bagian najis yang menciprat mengenai benda yang lain sebelum dibasuh
dengan debu, maka diperlukan membasuh dengan debu juga pada bagian yang terkena
cipratan najis mugholadhoh tersebut.
Tujuh basuhan ini dihitung setelah basuhan pertama menghilangkan najis dan sifat-sifat najis.
Jika basuhan pertama atau berikutnya belum menghilangkan najis dan sifat-sifatnya, maka
belum dihitung satu meskipun basuhan telah mencapai tujuh kali siraman. Ketika basuhan ke
berapapun dapat menghilangkan najis, maka basuhan tersebut baru dihitung satu basuhan dan
tinggal menambahi enam basuhan lagi.
Tambahan
Permasalahan
Jika tanah atau debu terkena najis mugholadhoh, perlukan menambah debu untuk
mensucikannya?
Jawab: tidak diperlukan tambahan debu untuk mensucikannya.
2. Najis mukhoffafah
Cara mensucikan tempat atau benda yang terkena najis mukhoffafah adalah dengan
menyiramkan air diatasnya dengan syarat air lebih banyak dari najis mukhoffafah tersebut,
sekiranya semua najis tersebut tersiram oleh air.
Tetapi sebelum najis disiram dengan air, najis dan sifat-sifatnya harus dihilangkan terlebih
dahulu. Dengan cara diperas atau dikeringkan sehingga tidak ada najis yang menetes.
Dalam hadist yang diriwayatkan dari Ummu Qais bahwa Ummu Qais datang membawa bayi
laki-lakinya yang belum memakan makanan. Maka Rasulullah mendudukannya dipangkuan
beliau, kemudian bayi tersebut kencing. Maka Rasulullah meminta air dan mencipratkannya
diatas najis dan tidak membasuhnya.
3. Najis mutawassithah
Najis mutawassithah terbagi menjadi dua, yaitu najis ‘ainiyah dan najis hukmiyah. Najis
‘ainiyah adalah najis yang bisa dirasakan keberadaanya dengan menyentuh, melihat
(warnanya), merasakan (rasanya), mencium (baunya). Sedang najis hukmiyah adalah najis
yang tidak bisa diketahui sifat-sifatnya, tidak berwarna, berbau dan berasa.
Sesuatu yang terkena najis ‘ainiyah, maka bisa suci dengan menghilangkan semua sifat-
sifatnya (bau, warna dan rasa). Jika sifat-sifat tersebut belum hilang, maka masih dihukumi
najis.
Tetapi ketika sulit untuk menghilangkan warna atau bau, sekiranya bau atau warna tersebut
tidak bisa hilang setelah membasuhnya hingga tiga kali dengan dikucek, diperas dan dengan
sabun, maka hukumnya telah suci.
Namun, jika masih tersisa rasa atau masih ada dua sifat najis yaitu warna dan bau, maka tetap
wajib dibersihkan sekiranya sampai batasan tidak bisa hilang kecuali dengan dipotong. Jika
demikian maka hukumnya dimaafkan. Ketika suatu saatmampu menghilangkannya maka
wajib untuk menghilangkannya kembali. hanya saja shalat yang dikerjakan dengannya tidak
wajib diulangi.
Adapun benda yang terkena najis hukmiyah maka cara mensucikannya adalah dengan
mengalirkan air diatasnya sekali saja.
Tambahan
1. Dalam membersihkan najis ‘ainiyah, jika najis bisa hilang dengan dengan satu kali
basuhan, maka dianggap cukup tetapi disunnahkan untuk menambahi basuhan yang kedua
dan ketiga.
2. Ketika mensucikan najis dibantu dengan sabun, namun setelah semua sifat najis hilang
ternyata masih tersisa bau sabun. Maka menurut sebagian ulama, tempat yang terkena najis
dan telah dibasuh tersebut telah suci. Akan tetapi menurut ulama’ yang lain mengatakan
bahwa tempat yang terkena najis dan masih terdapat bau sabun belum dihukumi suci,
sehingga perlu dibasuh kembali sampai hilang bau sabunnya.
سةَ َعش ََرة َ يَ ْو ًما َ س ْب ٌع َو أ َ ْكث َ ُرهُ خ َْمَ يَ ْو ٌم َو لَ ْيلَةٌ َو غَا ِلبُهُ ِست َّةٌ أ َ ْو: ْض ِ ص ٌل) أَقَ ُّل ْال َحي ْ َ(ف
َعش ََرة َ يَ ْو ًما َو غَا ِلبُهُ أ َ ْربَ َعةٌ َو ِع ْش ُر ْون َ َسة َ ضتَي ِْن خ َْم َ الط ْه ِر بَيْنَ ْال َح ْي
ُّ أَقَ ُّل. بِلَيَا ِلي َها
َاس َم َّجةٌ ِّو غَا ِلبُهُ أ َ ْر َبعُ ْون ِ َأَقَ ُّل ال ِنِّف. َِي ْو ًما أ َ ْو ث َ ََلثَةً َو ِع ْش ُر ْونَ َي ْو ًما َو ََل َح َّد ِْل َ ْكث َ ِرة
.َي ْو ًما َو أ َ ْكث َ ُرة ُ ِست ُّ ْونَ يَ ْو ًما
Paling sedikitnya masa haidh adalah satu hari satu malam, kebiasaannya (umumnya) enam
atau tujuh hari dan paling banyaknya masa haidh adalah 15 hari dengan malamnya.
Paling sedikitnya masa suci antara dua haidh adalah 15 hari, kebiasaannya (umumnya) 24
hari atau 23 hari dan tidak ada batasan untuk paling banyaknya masa suci.
Paling sedikitnya nifas adalah setetes, kabiasaannya (umumnya) adalah 40 hari dan paling
banyaknya masa nifas adalah 60 hari.
Pembahasan
Darah yang keluar dari kemaluan wanita ada 3, yaitu darah haidh, darah nifas dan darah
istihadhoh. Setiap dari darah-darah tersebut memiliki hukum-hukum tersendiri.
1. Haidh
Haidh adalah darah kebiasaan wanita yang keluar dari ujung rahim dengan sehat, bukan
karena sebab penyakit. Adapun darah yang keluar karena penyakit bukanlah darah haidh,
melainkan darah istihadhoh.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai haidh:
a. Masa haidh
Darah yang keluar dari kemaluan seorang perempuan bisa di hukumi haidh jika keluar
minimal mencapai satu hari satu malam atau 24 jam. Hitungan 24 jam ini bukanlah darah
mengalir terus –menerus atau keluar sehari semalam penuh, tetapi darah yang keluar dalam
masa 15 hari (di hitung dari keluarnya darah yang pertama) jika di jumlah mencapai 24 jam
atau lebih.
Contoh: Seorang perempuan pada tanggal 1 juni mengeluarkan darah selama 5 jam dan hari
berikutnya hingga tanggal 10 juni darah yang keluar jika di jumlah mencapai 24 jam maka
pada tanggal 1 hingga 10 juni perempuan tersebut dihukumi haidh.
Umumnya darah haidh yang keluar dari kemaluan perempuan adalah 6 atau 7 hari, baik darah
bersambung atau terputus putus dengan syarat semua darah yang keluar mencapai 24jam atau
lebih.
Sedang paling banyaknya masa haidh adalah 15 hari 15 malam. Artinya darah yang keluar
dari kemaluan perempuan masih dihukumi haidh jika masih dalam cakupan/lingkup 15 hari
(dihitung dari hari pertama keluar darah).
Jika darah yang keluar melebihi 15 hari, maka darah tersebut bukan dihukumi sebagai haidh
tetapi darah istihadhoh. Jika ada pemisah (tidak keluar darah) antara darah yang terakhir
keluar dengan darah berikutnya, maka darah yang mencapai 15 hari adalah haidh, sedang
darah berikutnya adalah darah istihadhoh.
Tetapi, jika darah bersambung dari akhir hari yang ke-15 dan seterusnya, maka darah yang
demikian adalah darah haidh yang bercampur dengan istihadhoh. Sehingga perlu perhitungan
sendiri untuk menentukan mana darah haidh dan mana darah istihadhoh.
b. Masa suci
Paling sedikitnya masa suci antara dua haidh adalah 15 hari. Artinya darah yang keluar pada
putaran berikutnya bisa dihukumi sebagai darah haidh, jika jarak antara keluarnya darah di
hari akhir pada putaran sebelumnya dengan darah yang pertama kali keluar pada putaran
berikutnya mencapai 15 hari atau lebih.
Jika jarak antara kedua darah tersebut belum mencapai 15 hari maka darah pada putaran
berikutnya belum disebut darah haidh tetapi istihadhoh yang terjadi pada masa suci.
Contoh: Darah seorang perempuan berakhir pada tanggal 14 Juni. Kemudian pada tanggal 30
Juni darah kembali keluar, maka darah pada tanggal 30 Juni tersebut bisa dihukumi sebagai
haidh baru dengan syarat jika darah tersebut dijumlahkan maka mencapai 24 jam atau lebih.
Tetapi jika pada tanggal 24 Juni darah kembali keluar, maka dara tersebut belum dihukumi
sebagai haidh baru, karena jarak antara tanggal 14 Juni (akhir keluar darah) dengan tanggal
24 Juni (darah berikutnya) belum mencapai 15 hari dan terjadi di masa suci.
Umumnya masa suci antara haidh degan haidh berikutnya adalah 24 atau 23 hari. Hal ini
dikarenakan secara umum seorang perempuan akan mengalami satu masa suci dan satu masa
haidh dalam sebulan (30 hari). Sehinga jika umumnya perempuan mengalami haidh selama 6
hari, maka masa sucinya adalah 24 hari. Begitu juga jika umumnya perempuan mengalami
haidh selama 7 hari, maka masa sucinya adalah 23 hari.
Tidak ada batas maksimal masa suci. Karena seorang perempuan terkadang tidak mengalami
haidh sama sekali seumur hidupnya, sebagaimana yang terjadi pada Sayidah Fathimah Zahro
(beliau tidak pernah mengalami haidh) atau pernah mengalami haidh kemudian berhendti dan
tidak pernah haidh lagi.
2. Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan seorang perempuan setelah rahimnya kosong
dari kandungan. Adapun darah yang keluar bersamaan dengan keluarnya bayi bukanlah darah
nifas, melainkan darah thalk. Dan darah yang keluar setelah melahirkan anak pertama, dalam
kelahiran bayi kembar, maka itu adalah darah rusak bukan darah nifas.
Darah yang keluar dari kemaluan perempuan bisa dihukumi nifas dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. Darah keluar setelah rahim tidak ada/ kosong dari kandungan.
Jika masih ada bagian tubuh bayi yang belum keluar (tertinggal dalam rahim) atau baru
melahirkan satu bayi pada kelahiran bayi kembar, maka darah tersebut bukan darah nifas.
2. Belum berlalu 15 hari dari kosongnya rahim.
Jika setelah rahim kosong (setelah melahirkan), kemudiansetelah 15 hari darah keluar, maka
darah tersebut bukan darah nifas tetapi darah haidh.
3. Jika darah keluar dengan terputus-putus, maka jarak antara darah sebelumnya dengan
darah berikutnya belum mencapai 15 hari. Jika jarak antar darah mencapai 15 hari, maka
bukan lagi dihukumi darah nifas tetapi dihukumi darah haidh (jika memenuhi syarat-syarat
darah haidh).
4. Darah tidak melebihi 60 hari.
Jika darah telah melebihi 60 hari, maka jika darah terputus setelah 60 hari maka darah
tersebut adalah darah haidh. Tetapi jika terus bersambung melebihi 60 hari, maka darah
tersebut adalah darah nifas yang bercampur dengan istihadhoh. Sehingga diperlukan
perhitungan tersendiri untuk menentukan mana darah nifas dan mana darah istihadhoh.
Masa nifas
Lama darah yang keluar dari kemaluan perempuan yang diperlukan supaya dihukumi nifas
adalah sebentar saja. Umumnya darah nifas terjadi sampai 40 hari dan paling
banyaknya/paling lama masa nifas adalah 60 hari.
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ummu Sulaim, beliau berkata:
3. Istihadhoh
Istihadhoh adalah darah yang keluar dari kemaluan perempuan di selainhari-hari haidh dan
nifas.
Perempuan istihadhoh tetap dihukumi suci, sehingga wajib melaksanakan shalat dan puasa
Ramadhan. Ketika hendak mengerjakan shalat, maka ia wajib melakukan beberapa hal yang
wajib dilakukan oleh orang yang beser, yaitu membersihkan darah, menyumbat kemaluan,
membalutnya, bersuci dan bersegera untuk shalat.
Tambahan
1. Semua hitungan darah yang keluar dari kemaluan perempuan adalah berdasarkan hadist
dan penelitian Imam Syafi’i pada perempuan di masanya. Jika terjadi hal yang berbeda pada
perempuan jaman sekarang maka tetap mengikuti dan berpegangan pada penelitian Imam
Syafi’i.
Pembahasan
Shalat adalah ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam
secara umum. Tetapi adakalanya shalat hanya berupa ucapan tanpa ada perbuatan, seperti
shalat jenazah. Karena yang wajib dalam shalat jenazah adalah ucapan takbir.
Ada juga shalat hanya dengan perbuatan tanpa ucapan, seperti shalatnya orang bisu. Adapula
shalat tanpa ucapan dan perbuatan, seperti shalatnya orang bisu yang diikat.
Shalat adalah kewajiban yang wajib dikerjakan oleh orang muslim yang mukallaf (baligh dan
berakal). Bahkan orang yang mengingkari kewajiban shalat maka hukumnya murtadz.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Seorang yang muslim yang mukallaf tidak diperkenankan meninggalkan shalat dengan alasan
apapun. Wajib mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Tetapi ada beberapa perkara atau
udzur-udzur yang memperbolehkan seseorang untuk mengerjakan shalat di luar waktu yang
telah dotentukan. Sehingga ketika seorang terdapat salah satu udzur tersebut, ketika
mengerjakan shalat di luar waktunya tidak terkena dosa.
Adapun udzur-udzur shalat ada 4, dua diantaranya disebutkan oleh pengarang kitab ini.
Adapun udzur-udzur tersebut yaitu:
1. Tidur
Tidur termasuk udzur shalat. Sehingga jika seorang tertidur hingga keluar waktu shalat maka
dia tidak terkena dosa karena sebab tidurnya. Tetapi tidak semua tidur dianggap sebagai
udzur shalat. Adapun perincian tidur yang bisa dianggap sebagai udzur shalat adalah sebagai
berikut:
1. Tidur dilakukan sebelum masuk waktu shalat. Baik dirinya tahu akan bangun sebelum
keluar waktu shalat atau tahu bahwa dirinya.
2. Tidur dilakukan setelah masuk waktu shalat, tetapi meyakini akan terbangun sebelum
keluarnya waktu shalat dan ternyata terbangun setelah keluarnya waktu shalat.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Adapun jika tidur dilakukan setelah masuk waktu shalat dan meyakini akan terbangun setelah
keluarnya waktu shalat, maka bukan termasuk udzur shalat. Pelakunya terkena dua dosa; dosa
karena tidur dan dosa karena mengerjakan shalat di luar waktu yang telah ditentukan. Wajib
banginya untuk bersegera mengqadha shalat.
Akan tetapi jika terbangun tidak sesuai keyakinannya (bangun sebelum keluar waktu shalat)
dan mengerjakan shalat tepat pada waktunya, maka berdosa karena sebab tidurnya saja.
Tambahan
a. Wajib membangunkan seseorang yang tidur setelah masuknya waktu shalat dan sunnah
membangunkan seorang yang tidur sebelum masuk waktu shalat, sekiranya tidak
dikhawatirkan aka nada bahaya pada dirinya sendiri jika membangunkan. Supaya orang
tersebut bisa mengerjakan shalat tepat pada waktunya.
b. Disunnahkan membaca Ayat kursi, Surat Al-Ikhlas, Surat Al-falaq, Surat An-Naas dan
akhir Surat Al-Baqarah sebelum tidur, dan membaca akhir Surat Ali-imran mulai dari
ِ ت َو ْاْل َ ْر
ض ِ س َم َاوا ِ ِإ َّن فِي خ َْل
َّ ق ال
Dalam hadist shahih diriwayatkan bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Surat
Al-Ikhlas, Mu’awwidzatain(Surat Al-Falaq dan Surat An-Naas) dan meniupkannya pada
kedua tangan beliau kemudian mengusapkannya ke seluruh badan ketika hendak tidur.
2. Lupa
Termasuk udzur shalat adalah lupa jika bukan disebabkan karena hal-hal yang dilarang.
Seperti ketika telah tiba waktu shalat dan seseorang berniat akan mengerjakan shalat,
kemudian dirinya menyibukan diri dengan mempelajari kitab atau mengerjakan suatu
pekerjaan hingga akhirnya keluar waktu sedang dirinya lupa, maka hal ini termasuk udzur
shalat dan tidak berdosa.
Adapun lupa karena disebabkan mengerjakan hal yang haram, seperti judi atau hal yang
makruh, seperti bermain catur, maka lupa yang demikian bukanlah udzur shalat sehingga
dirinya berdosa dan wajib untuk bersegera mengerjakan shalat.
Jamak takdim dan jamak takhir juga termasuk udzur shalat jika syarat-syarat jamak tersebut
terpenuhi. Adapun syarat jamak takdim dan syarat jamak takhir akan dibahas –insyaallah-
dalam pembahasan berikutnya.
4. Dipaksa
Seorang yang dipaksa dengan ancaman untuk mengerjakan shalat diluar waktunya maka hal
yang demikian termasuk udzur shalat. Akan tetapi paksaan atau ancaman yang termasuk
udzur shalat harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1. Orang yang memaksa mampu untuk melaksanakan ancamannya.
Jika orang yang memaksa tidak mampu melaksanakan ancamannya, seperti orang yang
memaksa adalah anak kecil atau orang yang lumpuh memaksa orang dewasa yang sehat,
maka tidak termasuk udzur shalat. Sehingga jika mengerjakan shalat setelah keluar waktunya
maka hukumnya dosa.
2. Orang yang dipaksa tidak mampu untuk menghindar dari ancaman (seperti dengan lari
atau meminta pertolongan).
Jika masih bisa menghindar atau menyelamatkan diri dari ancaman dengan berlari atau
meminta pertolongan orang-orang disekitarnya, maka bukan lagi sebagai udzur shalat.
3. Orang yang dipaksa menyangka, jika tidak mengerjakan perintah orang yang memaksa,
maka pemaksa akan melakukan ancamannya.
Jika orang yang dipaksa menyangka bahwa orang yang memaksa hanya bermain-main
dengan ancamannya, maka bukan sebagai udzur shalat.
4. Tidak ada unsur kesengajaan untuk mengerjakan shalat di luar waktu.
Ketika ada unsure kesengajaan dari orang yang dipaksa untuk mengerjakan shalat diluar
waktunya, seperti dalam hatinya muncul keinginan untuk mengerjakan shalat di luar waktu,
maka tidak lagi disebut udzur shalat.
Pembahasan
Shalat adalah ibadah yang sangat penting, bahkan shalat menjadi tiang agama sebagaimana
sabda Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam:
Shalat sendiri memiliki beberapa syarat sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Syarat shalat
terbagi menjadi dua; syarat sah shalat dan syarat wajib shalat. Syarat sah shalat artinya adalah
jika seorang yang mengerjakan shalat memenuhi syarat-syarat tersebut maka shalat yang
telah dikerjakan sah hukumnya.
Hadast terbagi menjadi dua, yaitu hadast besar dan kecil. Kedua hadast tersebut memiliki
pengertian dan hukum masing-masing dan akan dibahas –insyaallah- dalam pembahasan
berikutnya.
Tidak sah seorang yang shalat sedang dirinya berhadast. Jika seorang yang berhadast jika
sengaja melaksanakan shalat dan dirinya mengetahui bahwa mengerjakan shalat ketika
berhadast maka hukumnya haram tidak sah dan dirinya berdosa.
Adapun orang yang mengerjakan shalat tetapi lupa bahwa dirinya berhadast, maka shalatnya
tetap tidak sah dan mendapat pahala karena niatnya untuk mengerjakan shalat. Dan wajib
mengulangi shalatnya.
Jika ditengah mengerjakan shalat kemudian berhadast, seperti kentut dll maka shalatnya
batal. dalam hadist Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Yang dimaksud pakaian dalam shalat adalah segala sesuatu yang dipakai, dibawa –meskipun
tidak bergerak dengan gerakan dirinya- dan yang menempel pada orang yang shalat. Adapun
yang dimaksud dengan badan adalah bagian yang tampak dari orang yang shalat, mencakup
bagian dalam hidung, mulut dan mata. Dan yang dimaksud dengan tempat dalam shalat
adalah tempat yang bersentuhan langsung dengan pakaian dan badannya.
Dalam shalat pakaian, badan dan tempat shalat disyaratkan harus suci. Sehingga orang yang
membawa najis (yang tidak dimaafkan) dalam pakaian, badan atau tempat shalat ketika
mengerjakan shalat, maka hukumnya tidak sah.
Tambahan
Permasalahan
1. Tidak sah shalat seseorang yang tangannya memegang tali yang ujungnya bersambung
dengan najis, seperti terikat dalam leher anjing atau langsung menempel ke najis. Meskipun
tali tersebut tidak bergerak ketika orang yang shalat bergerak.
2. Tidak menjadi masalah dan sah shalatnya orang yang sejajar dengan najis, selama najis
tidak bersentuhan langsung dengan badan, pakaian atau segala sesuatu yang ia bawa ketika
shalat.
3. Haram hukumnya mengotori diri sendiri dengan najis jika tidak ada hajat.
4. Orang yang shalat membawa najis yang ia lupa atau tidak tahu, baik di pakaian atau
badannya, maka wajib mengulangi shalat yang ia yakini membawa najis.
3. Menutup aurat
Aurat adalah segala sesuatu yang wajib ditutup dan haram untuk dilihat. Wajib bagi seorang
yang shalat untuk menutup aurat dengan segala sesuatu yang dianggap sebagai penutup dan
bisa menyembunyikan warna kulit, meskipun penutup aurat tersebut dapat memperlihatkan
bentuk tubuh seperti pakaian yang ketat dan menempel kulit, maka hukum shalat dengan
pakaian seperti itu tetap sah.
Adapun memakai sesuatu yang tidak dianggap sebagai memakai penutup, seperti telanjang
dalam kegelapan atau tempat yang sempit, maka hukumnya tidak sah, karena bukan dianggap
sebagai menutup aurat.
Tambahan
1. Seorang yang ingin mengerjakan shalat tetapi tidak mendapatkan sesuatu untuk menutup
aurat, maka shalat dalam keadaan talanjang dan tidak wajib mengulangi shalatnya.
2. Seorang yang mendapatkan penutup aurat hanya sebagian saja maka wajib menutup dua
kemaluannya terlebih dahulu, jika penutup aurat hanya cukup untuk salah satu kemaluan
maka wajib menutup kemaluan depannya.
3. Seandainya aurat seeorang terbuka oleh angin maka wajib bersegera untuk menutupnya,
jika tidak bersegera menutupnya maka shalatnya batal.
4. Menghadap kiblat
Wajib hukumnya menghadap kiblat ketika shalat. Seorang yang shalat dengan berdiri atau
duduk maka wajib menghadap kiblat dengan dadanya, orang yang shalat dengan tidur miring
maka mengadap kiblat dengan wajah dan dadanya dan orang yang shalat dengan tidur
terlentang maka wajib menghadap kiblat dengan dua telapak kakinya dan wajahnya.
Shalat tidak sah dilakukan sebelum masuk waktu. Sehingga wajib mengetahui masuknya
waktu shalat dengan yakin seperti dengan melihat matahari tenggelam dan mendengar adzan
dari masjid yang bisa dipercaya, atau dengan prasangka seperti dengan melihat jam.
Sehingga seorang yang shalat tanpa berusaha untuk mencari tahu masuknya waktu terlebih
dahulu, maka shalatnya tidak sah walaupun shalatnya tepat setelah masuk waktunya.
Permasalahan
Seorang yang shalat setelah berusaha mencari tahu masuknya waktu, akan tetapi setelah
shalat dirinya baru tahu bahwa shalat yang dikerjakan diluar waktu. Bagaimana hukumnya?
Jawab: jika ternyata shalat yang dikerjakan ternyata sebelum masuk waktunya, maka shalat
yang telah dikerjakan menjadi shalat qodho’ jika dirinya memiliki tanggungan qodho’ shalat,
jika tidak memiliki tanggungan qodho’ shalat maka shalat yang telah dikerjakan menjadi
shalat sunnah mutlak.
Tetapi jika shalat yang dikerjakan ternyata setelah keluar waktu shalat, maka menjadi qodho’
dari shalat tersebut.
Artinya orang yang shalat harus mengetahui bahwa shalat yang dikerjakan adalah fardhu atau
wajib. Sehingga seorang yang ragu atau bingung dengan shalat yang ia kerjakan, antara wajib
atau tidak, maka shalatnya tidak sah.
Seorang yang meyakini bahwa salah satu fardhu/rukun sholat diyakini sebagai suatu yang
sunnah, seperti meyakini bahwamembaca surat Alfatihah hukumnya sunnah atau tidak wajib,
maka shalat yang dikerjakannya tidak sah. Begitu juga ketika meyakini segala fardhu dalam
shalat sebagai sunnah, maka hukum shalatnya tidak sah.
Adapun orang yang menyakini bahwa semua pekerjaan dalam shalat hukumnya wajib atau
meyakini dalam shalat ada pekerjaan yang wajib dan ada yang sunnah tanpa menentukan
mana yang sunnah dan mana yang wajib, maka shalat orang yang demikian hukumnya tetap
sah.
Wajib bagi seorang yang shalat untuk meninggalkan hal-hal yang membatalkan shalat. Ketika
mengerjakan salah satu hal yang membatalkan shalat, maka shalat yang dilakukan hukumnya
batal. Adapun hal-hal yang mebatalkan shalat akan dibahas dalam pembahasan berikutnya.
Setelah mengetahui syarat sah shalat, maka berikutnya adalah syarat wajib shalat. Artinya
seorang yang masuk dalam syarat-syarat ini, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat.
Sehingga jika meninggalkan shalat atnpa adanya udzur-udzur shalat, maka hukumnya dosa.
1. Islam
Orang yang kafir tidak diwajibkan untuk shalat, tetapi diakhirat tetap terkena siksaan karena
meninggalkan shalat selain siksaan karena kekafirannya. Hal ini sebagaimana firman Allah:
َ قَالُ ْوا لَ ْم نَكُ ِمنَ ْال ُم. سقَ َر
ص ِلِّيْن َ سلَ َك ُك ْم فِي
َ َما
“Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) saqar? Mereka menjawab “Dahulu
kami tidak temasuk orang-orang yang melaksanakan shalat.”
Orang kafir yang masuk islam tidak wajib mengqodho’ shalat yang tidak dikerjakan sebelum
masuk islam. Allah berfirman:
َ قُ ْل ِللَّ ِذيْنَ َكفَ ُر ْوا إِ ْن يَ ْنت َ ُه ْوا يُ ْغفَ ْر لَ ُه ْم َما قَ ْد
َ َسل
ف
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu (Abu Sufyan dan kawan-kawannya) “Jika
mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka
yang telah lalu.”
Adapun orang murtad, maka tetap wajib mengerjakan shalat tetapi tidak sah, sehingga ketika
kembali memeluk islam, maka wajib mengqodho’ segala kewajiban yang telah ditinggalkan
selama murtad.
2. Baligh
Orang yang belum baligh, maka tidak diwajibkan untuk shalat. Tetapi orang tua wajib
memerintahkan anaknya yang berumur 7 tahun untuk shalat, dan wajib memukul anaknya
ketika telah menginjak usia 10 tahun jika tidak mau mengerjakan shalat.
Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
3. Berakal
Orang gila, pingsan dan mabuk yang tidak disengaja maka tidak terkena kewajiban shalat.
Orang yang haidh atau nifas, tidak terkena kewajiban untuk shalat. Jika mereka tetap
memaksa untuk shalat maka shalatnya tidak sah dan berdosa. Selain tidak diwajibkan shalat
ketika shalat, juga tidak diwajibkan mengqodho’ shalat. Jika mengqodho’ shalat yang
ditinggalkan ketika haidh atau nifas, maka sebagian ulama’ mengatakan haram hukumnya
dan tidak sah.
Tetapi sebagian ulama’ lain berpendapat, jika perempuan yang haidh atau nifas mengqodho
shalat yang ditinggalkan ketika haidh atau nifas, maka shalatnya tetap sah akan tetapi makruh
hukumnya.
Suatu daerah yang berpenduduk muslim, hanya saja dakwah islam tidak sampai kepada
mereka, sehingga mereka tidak mengetahui hukum shalat dan kewajiban yang lainnya, maka
mereka tidak terkena kewajiban shalat. Ketika dakwah islam sampai kepada mereka maka
mereka tidak wajib mengqodho’ shalatnya.
Seorang yang terlahir dalam keadaan buta dan tuli, meski bisa bicara, maka tidak terkena
kewajiban shalat. Jika panca indera menjadi normal, maka tidak diwajibkan untuk
mengqodho’ shalat.
ُ ب ْال ُو
َو ْاْل َ ْكبَ ُر َما. ض ْو َء َ صغ َُر َما أ َ ْو َج
ْ َ فَ ْاْل. صغ َُر َو أ َ ْكبَ ُر ِ اث اِثْن
ْ َ أ: َان ُ ْاْل َ ْح َد
.ب ْالغُ ْس َلَ أ َ ْو َج
الر ْك َب ِة
ُّ س َرةِ َو ُّ َما بَيْنَ ال:ِص ََلة ْ الر ُج ِل ُم
َّ طلَقًا َو ْاْل َ َمةُ فِي ال َ : ْالعَ ْو َراتُ أ َ ْربَ ٌع
َّ ُ ع ْو َرة
ِ َو َع ْو َرة ُ ْال ُح َّرة. َج ِم ْي ُع بَ َدنِ َها َما ِس َوى ْال َو ْج ِه َو ْال َكفَي ِْن:ِص ََلة َّ و َع ْو َرة ُ ْال ُح َّرةِ فِي ال. َ
س َرةِ َوُّ َما بَيْنَ ال:اءِ س ْ
ِ َو ِع ْن َد َم َح. َج ِم ْي ُع البَ َد ِن:ب
َ ِّار ِم َها َو ال ِن َ ْ َ
ِ َِو اْل َم ِة ِع ْن َد اْل َجانْ
.الر ْك َب ِة
ُّ
Hadast-hadast terbagi menjadi 2, yaitu hadast kecil dan hadast besar. Hadast kecil adalah
segala sesuatu yang mewajibkan wudhu. Hadast besar adalah segala sesuatu yang
mewajibkan mandi.
Aurat-aurat ada 4, yaitu:
1. Auratnya laki-laki secara mutlak dan budak perempuan di dalam shalat adalah sesuatu
antara pusar dan lutut.
2. Auratnya perempuan merdeka di dalam shalat adalah semua badannya selain wajah dan
kedua telapak tangan.
3. Auratnya perempuan merdeka dan budak perempuan di sisi orang ajnabiy(orang yang
tidak ada hubungan mahram) adalah seluruh badan.
4. Di sisi orang-orang mahramnya dan perempuan-perempuan adalah sesuatu antara pusar
dan lutut.
Pembahasan
Dalam pembahasan sebelumnya telah dibahas bahwa diantara syarat-syarat shalat adalah suci
dari segala hadast dan menutup aurat. Masing-masing dari kedua perkara tersebut memiliki
pembahasan tersendiri.
Dalam shalat disyaratkan untuk bersih/suci dari semua hadast. Hadast sendiri terbagi menjadi
dua; hadast besar dan hadast kecil. Hadast besar adalah segala hal yang mewajibkan
seseorang untuk mandi. Artinya segala hal yang menjadikan seorang wajib mandi maka itu
adalah hadast besar. Adapun hal-hal yang mewajibkan mandi telah dibahas dalam
pembahasan sebelumnya. Seperti keluarnya mani, haidh, nifas dll. Sehingga seorang yang
terkena kewajiban untuk mandi tidak sah untuk melakukan shalat.
Adapun hadast kecil adalah segala sesuatu yang mewajibkan seorang untuk berwudhu.
Artinya segala sesuatu yang menyebabkan seseorang untuk berwudhu sebelum mengerjakan
shalat dan segala hal yang memerlukan wudhu,seperti hilangnya akal,bersentuhan dua kulit
ajnabi dll, maka seorang yang terkena hadast kecil. Sehingga seorang yang demikian tidak
diperbolehkan untuk shalat sebelum wudhu terlebih dahulu.
Tambahan
Aurat
Sebagaimana telah diketahui bahwa aurat adalah segala sesuatu yang wajib ditutup dan haram
untuk dilihat. Dalam shalat disyaratkan untuk menutup aurat sebagaimana telah dijelaskan
dalam pembahasan sebelumnya. Setiap dari laki-laki dan perempuan memiliki batasan aurat
yang wajib ditutup. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
1. Aurat laki-laki
ع َلىَ ث ْال ِق َيا ُمُ الثَّا ِل، اْل ْح َر ِام ِ ْ ُ الثَّانِي ت َ ْك ِبي َْرة، ُ ْاْل َ َّو ُل النِ َية: عش ََر َ َس ْب َعة َ ِص ََلة َّ ان ال ُ ص ٌل ) أ َ ْر َك ْ َ(ف
سابِ ُع َّ ال، الط َمأ ْ ِن ْينَةُ فِ ْي ِه
ُّ ِس ُ س اد َّ ال، ُالر ُك ْوع ُّ س ُ َام ِ ْالخ، الرابِ ُع قِ َرا َءة ُ ْالفَاتِ َح ِة، َّ ض ِ ْالقَاد ِِر فِي ْالفَ ْر
عش ََر َ ْال َحادِي، الط َمأ ْ ِن ْينَةُ ِف ْي ِه ُّ ال َعا ِش ُر، ْ س ُج ْود ُ َم َّرتي ِْن ُّ التَّا ِس ُع ال، الط َمأ ْ ِن ْي َنةُ ِف ْي ِه
ُّ ام ُن ِ َّ الث، اْل ْع ِتدَا ُلِْ
َّ ش ُّهد ُ ْاْل َ ِخي ُْر
الرا ِب َع، َ َّ عش ََر الت َ ث َ الثَّا ِل، الط َمأْنِ ْينَةُ فِ ْي ِه
ُّ عش ََر َ الثَّانِي، س ْجدَتَي ِْن َّ س َبيْنَ ال ُ ْال ُجُُ لُ ْو
عش ََر َ ِس َ س اد َّ ال، سلَّ َم َ علَ ْي ِه َو َ ُصلَّى هللا َ ِ علَى النَّبِي َ ُ ص ََلة َّ ال: عش ََر َ س َ َام ِ الخ، ْ عش ََر ْالقُعُ ْود ُ فِ ْي ِه َ
. ْب ُ عش ََر الت َّ ْرتِي َ سا ِب َع َّ ال، س ََل ُمَّ ال
Rukun-rukun shalat ada 17, yaitu:
1. Niat.
2. Takbiratul ihram.
3. Berdiri bagi yang mampu dalam shalat fardhu.
4. Membaca Al-fatihah.
5. Ruku’.
6. Tuma’ninah di dalam ruku’.
7. I’tidal.
8. Tuma’ninah di dalam i’tidal.
9. Sujud dua kali.
10. Tuma’ninah dalam sujud.
11. Duduk diantara dua sujud.
12. Tuma’ninah dalam duduk diantara dua sujud.
13. Tasyahud akhir.
14. Duduk dalam tasyahud akhir.
15. Bershalawat kepada Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tasyahud
akhir.
16. Salam.
17. Tertib/berurutan.
Pembahasan
Telah dibahas bahwa setiap ibadah memiliki rukun dan syarat masing-masing. Perbedaan
antara syarat dan rukun adalah bahwa rukun adalah bagian dari ibadah itu sendiri yang wajib
dikerjakan. Sedang syarat adalah hal yang wajib dilakukan sebelum mengerjakan suatu
ibadah.
Adapun rukun-rukun shalat atau bagian yang wajib dikerjakan ketika shalat ada 17, yaitu:
1. Niat
Dalam setiap ibadah diperlukan niat, sebagaimana dalam hadist Nabi yang telah disebutkan
sebelumnya:
ِإنَّ َما ْاْل َ ْع َما ُل ِبال ِنِّ َي ِة
“Hanya saja ke-sah-an amal tergantung pada niatnya.”
Niat dalam shalat wajib dilakukan dalam hati, tetapi disunnahkan untuk mengucapkan niat
dalam lisan sebelum takbir. Supaya hati lebih mudah dalam berniat. Adapun waktu niat
adalah ketika takbiratul ihram. Jika mengucapkan takbiratul ihram tanpa niat maka shalatnya
tidak sah, meskipun berniat setelah selesai mengucapkan takbir.
2. Takbiratul ihram
Takbiratul ihram adalah uacapan ‘Allahu akbar (’)هللا أكبر. Disebut takbiratul ihram karena
dengan mengucapkan takbir maka diharamkan mengerjakan segala sesuatu yang sebelumnya
diperbolehkan, seperti makan,berbicara dll.
Dalam hadist, Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ُ ص ََل ِة ْال ُو
ض ْو ُء َو ت َ ْح ِر ْي ُم َها الت َّ ْك ِبي ُْر َو ت َ ْح ِل ْيلُ َها الت َّ ْس ِليْم َّ ِم ْفتَا ُح ال
“Kunci shalat adalah wudhu, yang membuat haram (segala sesuatu sebelum) shalat adalah
takbir dan yang menghalalkan (kembali) adalah salam.”
Tambahan
Wajib membarengkan niat shalat ketika takbiratul ihram.
Tambahan
1. Yang dimaksud tidak mampu berdiri adalah sekiranya jika mengerjakan shalat dengan
berdiri akan ada kesulitan. Kesulitan yang dimaksud adalah sekiranya berdiri dapat
menimbulkan hal-hal yang menyebabkan tayammum, yaitu sekiranya jika berdiri akan
menambah masa sakit, memperlambat kesembuhan dll. jika kesulitan ketika shalat berdiri
tidak mencapai hal-hal diatas, maka tidak diperkenankan untuk shalat dengan duduk,
sehingga tetap wajib shalat dengan berdiri.
2. Seorang yang shalat dengan duduk karena tidak mampu berdiri, kemudian di tengah
shalat mampu untuk berdiri, maka wajib baginya untuk shalat dengan berdiri.
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh sahabat Imron bin hushoin, bahwa beliau berkata “Aku
terkena penyakit ambeyen, kemudian aku bertanya kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang shalat. Maka beliau bersabda:
ب فَإ ِ ْن لَ ْم ت َ ْست َ ِط ْع فَ ُم ْست َ ْل ِقيًا
ٍ ص ِِّل قَا ِئ ًما فَإ ِ ْن لَ ْم ت َ ْست َ ِط ْع فَقَا ِعدًا فَإ ِ ْن لَ ْم ت َ ْست َ ِط ْع فَ َعلَى َج ْن َ
سا ِإ ََّل ُو ْس َع َها ً ف للاُ نَ ْف ُ ََِّل يُ َك ِل
“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka shalat dengan duduk, jika tidak mampu
maka shalat dengan lempeng (tidur miring), jika tidak mampu maka shalat dengan tidur
terlentang. Allah tidak memaksa jiwa kecuali sesuai kemapuannya.”
Adapun dalam mengerjakan shalat sunnah maka tidak diwajibkan untuk berdiri. Sehingga
diperbolehkan shalat dengan duduk atau tidur miring. Hanya saja jikajika mampu berdiri
tetapi shalat dengan duduk, maka hanya mendapatkan separuh pahala shalat berdiri. Begitu
juga shalat dengan tidur miring padahal mampu untuk berdiri, maka mendapat seperempat
pahala shalat berdiri.
Adapun shalat sunnah dengan tidur terlentang, padahal mampu untuk mengerjakan dengan
berdiri maka tidak diperbolehkan. Dalam hadist Rasulullah bersabda:
َ ف أ َ ْج ِر ْالقَائِ ِم َو َم ْن
صلَّى ْ ِصلَّى قَا ِعدًا فَلَهُ ن
ُ ص َ ض ُل َو َم ْن َ صلَّى قَائِ ًما فَ ُه َو أ َ ْفَ َم ْن
ف أ َ ْج ِر ْالقَا ِع ِد ْ فَلَهُ ِن-ط ِجعًا
ُ ص َ ضْ ي ُم ْ َ نَا ِئ ُما –أ
“Barangsiapa shalat dengan berdiri maka itu lebih utama, barang siapa shalat dengan duduk
maka baginya separuh pahala shalat berdiri dan barang siapa shalat dengan tidur –artinya
tidur miring- maka baginya separuh pahala shalat duduk.
4. Membaca Alfatihah
Wajib membaca Al-Fatihah secara hapalan, membaca mushaf atau dituntun orang lain.
Membaca Al-Fatihah wajib dilakukan di setiap rakaat ketika berdiri dalam shalat; shalat
fardhu maupun shalat sunnah, shalat berjamaah ataupun sendiri, imam ataupun makmum.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ ص ََلة ٌ ََل يُ ْق َرأ ُ فِ ْي َها بِفَاتِ َح ِة ْال ِكتَا
ب َ ََل ت ُ ْج ِزى ُء
“Tidaklah cukup shalat yang tidak dibaca di dalamnya pembuka Al-kitab (surat Al-Fatihah).”
Dalam hadist lain Rasulullah juga bersabda:
ِ ت ْال ِق ْبلَةَ فَ َكبِِّ ْر ث ُ َّم ا ْق َرأْ بِأ ُ ِ ِّم ْالقُ ْر
ْ آن ث ُ َّم ا
صنَ ْع َذ ِل َك فِي ُك ِِّل َر ْكعَ ٍة َ إِ َذا ا ْست َ ْقبَ ْل
“Jika engkau menghadap kiblat maka bertakbirlah, kemudian bacalah Ummul-quran (Surat
Al-Fatihah) kemudian lakukan hal itu di setiap rakaat.”
Seorang yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dalam shalatnya, dengan hapalan, membaca
atau dituntun, maka sebagai gantinya wajib membaca tujuh ayat lain dalam Alquran yang
jumlah hurufnya tidak kurang dari huruf Al-Fatihah. Jika tidak mampu membaca ayat lain
dalam Alquran maka membaca tujuh macam dzikir yang hurufnya tidak kurang dari huruf
dalam Al-Fatihah.
Jika dengan membaca ayat lain atau dzikir sebanyak tujuh kali belum menyamai jumlah
huruf dalam Al-Fatihah, maka wajib menambahi bacaannya sekiranya mencapai jumlah huruf
dalam Al-fatihah, meskipun dengan bacaan yang diulang-ulang.
Jika tetap tidak mampu untuk membaca dzikir, maka wajib berdiri dalam shalat seukuran
bacaan Al-Fatihah.
Tambahan
Nama-nama Surat Al-fatihah mencapai 25 nama, diantaranya yaitu:
. اْلساس, الشافية, الوافية, الكافية, الحمد, السبع المثاني, أم القرآن,فاتحة الكتاب
Permasalahan
Kewajiban membaca surat Al-Fatihah bisa gugur dalam satu masalah, yaitu bagi makmum
yang masbuk. Makmum masbuk adalah seorang yang mendapatkan berdiri bersama imam
dengan waktu yang tidak cukup untuk membaca surat Al-Fatihah.
Artinya seorang yang takbiratul ihram menjadi makmum dan bisa berdiri bersama imam
tetapi tidak cukup untuk membaca surat Al-fatihah secara sempurna.
Hukum makmum masbuk
rukuk setelah imam rukuk dan tidak diperbolehkan menyempurnakan bacaan Al-Fatihah
kecuali jika punya prasangka bahwa imam memperpanjang rukuknya, maka tetap
diperbolehkan untuk menyempurnakan bacaan Al-Fatihah.
Tidak disunnahkan bagi makmum masbuk untuk membaca doa istiftah. Jika setelah takbir
langsung membaca doa istiftah, maka wajib membaca Al-Fatihah seukuran bacaan doa
istiftah. Kemudian setelah mebaca Al-Fatihah rukuk.
Jika ketika rukuk masih bisa mendapatkan thumakninah bersama imam, maka asih dianggap
mendapatkan satu rakaat. Tetapi jika tidak mendapatkan thumakninan dalam rukunya imam,
maka rakaat yang telah dikerjakan sia-sia dan wajib menambah rakaat setelah salam.
Jika makmum masbuk setelah takbir langsung membaca doa istiftah kemudian langsung
rukuk bersama imam, maka batal shalatnya.
5. Rukuk
Rukuk adalah merunduk bukan dengan inkhinas sekiranya kedua telapak tangan mencapai
kedua lutut. Ini adalah batasan minimal rukuk, sehingga jika seorang yang rukuk dalam
shalatnya hanya sebatas demikian maka shalatnya sah.
Inkhinas artinya membungkukan tubuh bagian belakang (pantat dll), mengangkat kepala dan
memajukan dadanya. Seorang yang melakukan rukuk dengan cara seperti ini, maka jika
dirinya sengaja dan mengetahui bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan dalam rukuk, maka
shalatnya batal.
Adapun orang yang tidak tahu tentang ke-tidak bolehan rukuk dengan cara seperti ini, atau
melakukan rukuk seperti ini dikarenakan lupa, maka shalatnya tidak batal tetapi wajib untuk
kembali berdiri dan mengulangi rukuk dengan benar.
7. I’tidal
I’tidal adalah kembalinya seorang yang shalat dalam keadaan sebelum rukuk. Yaitu berdiri
bagi seorang yang shalat dengan berdiri dan duduk bagi orang yang shalat dengan duduk.
16. Salam
Salam yang termasuk rukun shalat adalah salam pertama. Adapun salam yang kedua adalah
sunnah. Dalam hadist Nabi bersabda:
ت َ ْح ِر ْي ُم َها الت َّ ْكبِي ُْر َو ت َ ْح ِل ْيلُ َها الت َّ ْس ِل ْي ُم
“Yang mengharamkan dalam shalat adalah tkbir dan yang menghalalkan adalah salam.”
17. Tertib
Artinya wajib melaksanakan shalat sesuai urutan yang telah disebutkan. Dalm hadist
Rasulullah bersabda:
َ ُ صلُّ ْوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُم ْو ِني أ
ص ِلِّي َ
“Shalatlah kalian semua sebagaimana kalian melihatku shalat.”
Jika melaksanakan shalat tidak sesuai urutannya (tidak tertib) maka perinciannya adalah
sebagai berikut:
1. Jika rukun yang berupa fi’li (pekerjaan anggota tubuh) mendahului rukun fi’li, seperti
sujud sebelum mengerjakan rukuk atau mendahului rukun qouli (rukun yang berupa
bacaan),seperti rukuk sebelum membaca Al-Fatihah, maka perinciannya sebagai berikut:
jika dilakukan secara sengaja dan tahu bahwa tidak boleh mengerjakan shalat dengan
demikian hukum shalatnya batal.
Jika tidak disengaja dikarenakan lupa atau tidak tahu hukumnya, maka shalatnya tidak batal,
namun wajib kembali ke rukun sebelumnya untuk mengerjakan rukun yang ditinggalkan.
Selama belum sampai mengerjakan rukun yang sama yang tertinggal. Jika demikian (telah
sampai pada rukun yang tertinggal) maka rukun tersebut menjadi penutup rukun sebelumnya
dan pekerjaan rakaat sebelumnya dianggap sia-sia.
Contohnya: seorang yang shalat lupa rukuk di rakaat yang pertama. Kemudian teringat ketika
sujud bahwa dirinya belum sujud. Maka wajib kembali berdiri untuk mengerjakan rukuk.
Adapun jika teringat bahwa dirinya meninggalkan rukuk ketika hendak rukuk untuk rakaat
yang ke dua, maka rukuk pada rakaaat ke dua menjadi penembel rukuk sebelumnya, sedang
rakaat pertama dianggap belum terhitung sehingga wajib menambahi rakaat lagi.
2. Jika rukun qouli –selain salam- mendahului rukun qouli (seperti membaca shalawat
kepada Nabi sebelum membaca tasyahhud) atau mendahului rukun fi’li (seperti membaca
tasyahhud sebelum sujud) maka tidak dianggap mendahului, sehingga shalatnya tidak batal
dan wajib mengulangi rukun qouli tersebut pada tempatnya.
3. Jika salam dikerjakan sebelum mengerjakan rukun yang lain, maka jika sengaja dan tahu
hukumnya tidak boleh, maka shalatnya batal. tetapi jika mengerjakan salam sebelum
waktunya dikarenakan lupa atau tidak tahu hukumnya, maka shalatnya tidak batal dan wajib
mengerjakan salam pada tempatnya.
Tambahan
Pembagian rukun shalat terbagi menjadi 4, yaitu:
1. Rukun qouli adalah rukun shalat yang dikerjakan dengan ucapan atau bacaan, sekiranya
didengan oleh dirinya sendiri. Rukun qouli ada 5, yaitu: takbiratul ihram, membaca Al-
Fatihah, tasyahhud akhir, shalawat kepada Nabi dan salam.
2. Rukun fi’li adalah rukun yang dikerjakan dengan gerakan anggota tubuh. Rukun fi’li ada
6, yaitu: berdiri,rukuk, i’tidal, sujud, duduk diantara dua sujud dan duduk dalam tasyahhud
akhir.
3. Rukun ma’nawi, yaitu tertib atau berurutan.
4. Rukun qolbi, yaitu niat.
ص ُد ْال ِف ْع ِل َو
ْ َب ق َ ضا َو َج ً ص ََلة ُ فَ ْر َّ ت ال ِ َ إِ ْن َكان: ت ٍ ث َد َر َجا ُ ص ٌل) ال ِنِّيَةُ ث َ ََل
ْ َ(ف
ص ُد ْال ِف ْع ِلْ َب ق َ ب َو َج ٍ َسب
َ ت ِ َت نَافِلَةً ُم َؤقَّتَةً َك َراتِبَ ٍة ا َ ْو َذاْ ضيَةُ َو ِإ ْن َكانِ الت َّ ْعيِي ُْن َو ْالفَ ْر
.ط ْ َص ُد ْال ِف ْع ِل فَق
ْ َب ق َ طلَقَةً َو َج ْ َت نَافِلَةً ُم
ْ َو ا ِْن َكان، َو الت َّ ْعيِي ُْن
. فرضا: ظهرا أو عصرا و الفرضية:أصلي والتعيين: الفعل
Niat ada 3 tingkatan, yaitu:
1. Jika shalatnya adalah shalat fardhu, maka wajib bersengaja mengerjakan (shalat),
menentukan (shalat yang akan dikerjakan) dan kefardhuan.
2. Jika shalatnya adalah shalat sunnah yang memiliki waktu seperti shalat sunnah rawatib
atau shalat yang memiliki sebab, maka wajib bersengaja mengerjakan (shalat) dan
menentukan (shalat yang akan dikerjakan).
3. Jika shalatnya adalah shalat sunnah mutlak, maka wajib bersengaja mengerjakan shalat
saja.
Kata ( )الفعلadalah ( أصليsaya shalat), ( )التعيينatau menentukan adalah dhuhur atau ashar dan
kefardhuan adalah (kalimat) fardhu فرضا
Pembahasan
Dalam pembahasan sebelumnya, telah dibahas tentang rukun-rukun shalat atau hal-hal yang
wajib dikerjakan ketika shalat. Setiap rukun-rukun tersebut memiliki syarat dan pembahasan
tersendiri. Dalam pembahasan tersebut disebutkan rukun-rukun shalat secara global. Karena
itulah dalam pembahasan berikutnya akan dibahas syarat dan ketentuan masing-masing dari
setiap rukun. Hal ini dilakukan oleh pengarang kitab Safinatunnajah agar mempermudah
pemahaman orang yang baru memulai mempelajari dasar ilmu fiqh.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa rukun shalat yang pertama adalah niat, maka pengarang
kitab ini juga memulai perincian secara detail sesuai urutan rukun-rukun tersebut.
Dalam shalat wajib untuk berniat. Tidak sah shalat seseorang tanpa niat. Untuk masing-
masing shalat memiliki tingkatan niat yang berbeda. Adapun tingkatan niat dalam shalat
dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Jika yang akan dikerjakan adalah shalat fardhu, seperti shalat wajib 5 waktu, shalat yang
dinadzari, shalat fardhu kifayah, mengqodho shalat fardhu atau mengulangi shalat, maka niat
yang wajib dikerjakan adalah menyengaja untuk mengerjakan shalat tersebut, menentukan
shalat yang akan dikerjakan dan menggunakan lafadz fardhu.
Contoh: ketika seorang hendak melaksanakan shalat dhuhur, misalnya, maka niat yang wajib
dikerjakan adalah “saya shalat fardhu dhuhu (ظ ْه ِّر ُّ ض ال َ ص ِّلي فَ ْر َ ُ ”)أ. Dalam niat tersebut telah
mencakup tiga hal diatas; menyengaja mengerjakan shalat yaitu pada kalimat أصلي,
menentukan salat yang akan dikerjakan الظهرdan menggunakan kata fardhu فرض.
2. Jika yang akan dikerjakan adalah shalat sunnah yang memiliki waktu tertentu, seperti
shalat sunnah rawatib, shalat dhuha, shalat witir dll, atau shalat sunnah yang dikerjakan
karena suatu sebab, seperti shalat istisqo (shalat minta hujan), shalat gerhana dll, maka niat
yang wajib dikerjakan adalah menyengaja untuk mengerjakan shalat tersebut dan menentukan
shalat yang akan dikerjakan
Contoh: seorang hendak mengerjakan shalat dhuha, witir atau shalat gerhana maka niat yang
wajib dikerjakan adalah “saya shalat sunnah dhuha (ض َحى ُّ سنَّةَ ال َ ُ )أ, saya shalat sunnah witir
ُ ص ِّلي
(سنَّةَ ْال ِّوتْ ِّر َ ُ )أatau saya shalat sunnah gerhana (ف
ُ ص ِّلي ُ سنَّةَ ْال ُك
ِّ س ْو َ ُ ”)أ.
ُ ص ِّلي
3. Jika yang akan dikerjakan adalah shalat sunnah mutlak yaitu shalat sunnah yang tidak
terikat dengan waktu dan sebab tertentu, maka niat yang wajib dikerjakan adalah menyengaja
untuk mengerjakan shalat tersebut saja.
Contoh: seorang hendak mengerjakan shalat sunnah mutlak, maka niat yang harus dikerjakan
adalah “saya shalat (ص ِّلي َ ُ ”)أ.
Tambahan
1. Yang dimaksud menyengaja mengerjakan shalat adalah menggunakan kata (ص ِّلي َ ُ )أsaya
shalat. Yang dimaksud menentukan shalat yang akan dikerjakan adalah dengan menyebutkan
shalat yang akan dikerjakan seperti dhuhur, ashar, sunnah dhuha dll. yang dimaksud dengan
fardhu adalah menyebutkan kata (ض ُ )فَ ْر.
2. Tidak wajib menyebutkan jumlah rakaat shalat, menghadap kiblat, niat shalat ada’ (shalat
yang sekarang dikerjakan) atau qodho dan tidak wajib menambah ( )ّلل تعالىkarena Allah.
Akan tetapi menyebutkan semua itu dalam niat shalat hukumnya adalah sunnah.
3. Orang yang shalat menjadi makmum, maka wajib niat jadi makmu, berjamaah atau
mengikuti imam. Jika tidak berniat menjadi makmum atau shalat berjamaah tetapi mengikuti
gerakan imam dan menunggu imam dalam waktu lama, maka shalatnya batal. hanya saja niat
jadi makmum ini tidak diwajibkan mulai takbiratul ihram, tetapi boleh niat menjadi makmum
ditengah shalat. Ketika telah niat menjadi makmum di tengah shalat maka wajib mengikuti
semua gerakan imamnya.
ض َو أ َ ْن ِ أ َ ْن تَقَ َع َحالَةَ ْال ِقيَ ِام فِي ْالفَ ْر:َ اْل ْح َر ِام ِستَّةَ َعش ََرة ُ ش ُر ْو
ِ ْ ِط ت َ ْكبِي َْرة ُ )ص ٌل ْ َ(ف
ظتَي ِْن َو أ َ ْن ُ ت َ ُك ْونَ بِ ْالعَ َربِيَّ ِة َو أ َ ْن ت َ ُك ْونَ بِلَ ْف ِظ ْال َج ََللَ ِة َو بِلَ ْف ِظ أ َ ْكبَ ُر َو الت َّ ْرتِي
َ ْب بَيْنَ اللَّ ْف
اء أ َ ْكبَ ُر َو أ َ ْن ََل يُش َِددَ ْالبَا َء َو أ َ ْن ََل يَ ِز ْيدَ َو ًاوا ِ َََل يَ ُمدَّ ه َْمزَ ة َ ْال َج ََللَ ِة َو َعدَ ُم َم ِد ب
َف بَ ْين َ َو أ َ ْن ََل يَ ِز ْيدَ َو ًاوا قَ ْب َل ْال َج ََللَ ِة َو أ َ ْن ََل يَ ِق، سا ِكنَةً أ َ ْو ُمت َ َح ِر َكةً بَيْنَ ْال َك ِل َمتَي ِْن َ
سهُ َج ِم ْي َع ُح ُر ْوفِ َها َو دُ ُخ ْو ُل َ
َ َو أ ْن يُ ْس ِم َع نَ ْف، ً صي َْرة ً
ِ َط ِو ْيلَة َو ََل ق ً
َ َك ِل َمت َي ِ الت َّ ْك ِبي ِْر َو ْقفَة
اْل ْس ِت ْق َبا ِل َو أ َ ْن ََل يُ ِخ َّل ِب َح ْرفٍ ِم ْن ُح ُر ْو ِف َها َو ِ ْ ع َها َحا َل ُ ت َو ِإ ْيقَا ِ َّت ِفي ْال ُم َؤق ِ ْال َو ْق
ِ ْ ِتَأ ْ ِخي ُْر ت َ ْكبِي َْرةِ ا ْل َمأ ْ ُم ْو ِم َع ْن ت َ ْكبِي َْرة
.اْل َم ِام
Syarat-syarat takbirautl ihram ada 16, yaitu:
1. Hendaknya terjadi (dikerjakan) ketika dalam keadaan berdiri di dalam shalat fardhu.
2. Hendaknya dengan bahasa arab.
3. Hendaknya dengan lafadz jalalah ()هللا.
4. (Hendaknya) dengan lafadz ‘Akbar’ ()أكبر.
5. Tertib antara dua lafadz (takbir).
6. Hendaknya tidak memanjangkan hamzah lafadz jalalah.
7. Tidak memanjangkan ba’ lafadz ()أكبر.
8. Hendaknya tidak men-tasydid ba’.
9. Hendaknya tidak menambahi wawu sukun atau berharakat di antara dua kalimat (takbir).
10. Hendaknya tidak menambahi wawu sebelum lafadz jalalah.
11. Hendaknya tidak berhenti antara dua kalimat takbir, baik berhenti lama maupun sebentar.
12. Hendaknya memperdengarkan dirinya sendiri semua huruf-huruf (kalimat takbir).
13. Telah masuk waktu dalam shalat yang memiliki waktu tertentu.
14. Mengerjakan takbir ketika dalam keadaan menghadap kiblat.
15. Hendaknya tidak merusak satu huruf dari huruf-hurut (kalimat takbir).
16. Mengakhirkan takbirnya makmum dari takbir imam.
Pembahasan
Telah dibahas sebelumnya bahwa disebut takbiratul ihram karena mengharamkan segala
sesuatu yang sebelumnya halal dan boleh dikerjakan. Takbiratul ihram memiliki beberapa
syarat yang harus terpenuhi. Jika salah satu dari syarat tersebut tidak terpenuhi, maka
shalatnya tidak sah. Adapun syarat takbiratul ihram ada 16, yiatu:
9. Hendaknya tidak menambahi wawu sukun atau berharakat di antara dua kalimat
(takbir)
Tidak diperbolehkan dalam mengucapkan kalimat takbir untuk menambahi huruf wawu. Baik
wawu tersebut sukun seperti ‘’اَلل ُه ْو اَ ْكبَرatau berharakat seperti ‘’هللاُ َو ا ْكبَر. Jika mengucapkan
takbir dengan menambahi wawu maka shalatnya tidak sah.
11. Hendaknya tidak berhenti antara dua kalimat takbir, baik berhenti lama maupun
sebentar
Ketika mengucapkan kalimat takbir maka tidak diperbolehkan berhenti diantara dua kalimat
tersebut. Baik berhenti yang lama ataupun sebentar dengan tujuan memutus kalimat takbir.
Sehingga jika mengucapkan takbir dengan berhenti yang lama atau berhenti sebentar dengan
tujuan untuk memutus bacaan takbir maka shalatnya tidak sah.
Adapun berhenti sebentar tanpa ada tujuan memutus kalimat takbir, seperti berhenti untuk
bernafas, menambah الpada lafadz ‘ ’اكبرsehingga menjadi ‘ ’اَلكبرatau menambah dua sifat
Allah diantara kalimat takbir, seperti menambah ‘ ’الرحمنdan ‘ ’الرحيمsehingga kalimat takbir
menjadi ()هللا الرحمن الرحيم اكبر, maka tetap dihukumi sah takbirnya sehingga shalatnya juga
sah.
13. Telah masuk waktu dalam shalat yang memiliki waktu tertentu
Diantara berbagai macam shalat; fardhu maupun sunnah, memiliki waktu dan sebab tertentu
dalam mengerjakannya. Sehingga tidak sah shalat-shalat tersebut jika dilakukan sebelum
masuk waktunya atau sebelum terjadinya sebab yang memperbolehkan untuk mengerjakan
shalat tertentu.
Takbiratul ihram adalah termasuk rukun setiap shalat. Artinya takbiratul ihram adalah bagian
dari pengerjaan shalat tersebut. Sehingga wajib mengucapkan takbiratul ihram setelah masuk
waktu. Jika takbiratul ihram dilakukan sebelum masuknya waktu atau sebelum terjadinya
sebab, maka shalatnya tidak sah. Hal ini dikarenakan jika tekbiratul ihram dilakukan sebelum
tiba waktunya maka sama saja melakukan shalat sebelum waktu yang telah ditentukan.
15. Hendaknya tidak merusak satu huruf dari huruf-hurut (kalimat takbir)
Seorang yang mengucapkan takbiratul ihram tidak boleh untuk merusak atau mengganti
huruf-huruf takbiratul ihram.
ُ ْب َو ْال ُم َو َاَلة ُ َو ُم َرا َعاة ُ ُح ُر ْوفِ َها َو ُم َرا َعاة ُ الت َّ ْرتِي: ٌ ط ْالفَاتِ َح ِة َعش ََرة ُ ش ُر ْوُ ) ص ٌل ْ َ(ف
ط َع ْال ِق َرا َءةِ َو قِ َرا َءة ُ ُك ِِّلْ َص ُد ق ِ صي َْرة ً يَ ْقِ َط ِو ْيلَةً َو ََل ق َ ًس ْكتَة َ ت َ ت َ ْش ِد ْي َداتِ َها َو أ َ ْن ََل يَ ْس ُك
آيَاتِ َها َو ِم ْن َها ْالبَ ْس َملَةُ َو َع َد ُم اللَّ ْح ِن ْال ُم ِخ ِِّل بِ ْال َم ْعنَى َو أ َ ْن ت َ ُك ْونَ َحالَةَ ْال ِقيَ ِام فِي
. سهُ ْال ِق َرا َءة َ َو أ َ ْن ََل يَتَخَلَّلَ َها ِذ ْك ٌر أ َ ْجنَ ِبيَ ض َو أ َ ْن يُ ْس ِم َع نَ ْفِ ْالفَ ْر
Syarat-syarat (membaca) Al-Fatihah ada 10, yaitu:
1. Tertib.
2. Terus-menerus.
3. Memperhatikan huruf-huruf Al-Fatihah.
4. Memperhatikan tasydid-tasydid Al-Fatihah.
5. Hendaknya tidak diam dengan diam lama atau sebentar yang bertujuan memutus bacaan
Al-Fatihah.
6. Membaca semua ayat-ayat Al-Fatihah, diantaranya adalah basmalah.
7. Tidak adanya lahn yang merusak makna.
8. Hendaknya (membacanya) ketika dalam keadaan berdiri di dalam shalat fardhu.
9. Hendaknya memperdengarkan dirinya bacaan Al-Fatihah.
10. Hendaknya tidak menyela-nyelai Al-Fatihah dengan dzikir yang lain.
Pembahasan
Al-Fatihah adalah salah satu rukun dari rukun-rukun shalat sebagaimana telah dijelaskan
dalam pembahasan sebelumnya. Shalat tidak sah tanpa membaca Al-Fatihah, sebagaimana
sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
ِّ ص ََلة ٌ ََل يُ ْق َرأ ُ ِّف ْي َها ِّبفَا ِّت َح ِّة ْال ِّكتَا
ب ُ ََل تُجْ ِّز
َ ئ
“Tidaklah cukup shalat yang tidak dibaca didalamnya pembuka Alquran (Al-fatihah).”
Ada beberapa syarat dalam membaca Al-Fatihah. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka
shalat yang dikerjakan tidak sah. Adapun syarat-syarat Al-Fatihah ada 10, yaitu:
1. Tertib
Dalam membaca Al-Fatihah diharuskan untuk tertib atau berurutan antara ayat-ayatnya.
Tidak diperbolehkan untuk membaca Al-Fatihah secara acak. Jika membaca Al-Fatihah
secara acak tetapi tidak merubah makna atau arti yang terkandung di dalamnya maka
shalatnya tetap sah, tetapi bacaannya tidak sah, sehingga wajib mengulangi membaca Al-
Fatihah secara berurutan.
Jika membaca Al-Fatihah secara acak dan merubah makna atau arti yang terkandung di
dalamnya, maka shalatnya batal.
2. Terus-menerus
Tidak boleh memisah bacaan di dalam Al-Fatihah dengan apapun yang tidak ada
hubungannya dengan shalat. Jika dalam membaca Al-Fatihah dipisah atau disela-selai dengan
sesuatu, seperti dzikir yang tidak ada hubungannya dengan shalat meskipun di luar shalat
disunnahkan, seperti mengucapkan hamdalah bagi orang yang bersin, maka bacaan Al-
Fatihahnya tidak sah tetapi shalatnya tetap sah. Sehingga wajib mengulangi bacaan Al-
Fatihah secara terus-menerus tanpa pemisah.
Adapun pemisah di dalam Al-Fatihah yang berhibungan dengan shalat seperti mengucapkan
amin bersama imam atau sujud tilawah, maka tidak dianggap memutus bacaan Al-Fatihah.
Sehingga hanya perlu melanjutkan bacaan Al-Fatihahnya tidak perlu mengulang kembali.
Tambahan
a. Huruf-huruf dalam Al-Fatihah berjumlah 155 huruf jika lafadz ‘ ’ َم ِّل ِّكdibaca pendek, jika
dibaca panjang menjadi ‘ ’ َما ِّل ِّكmaka jumlah huruf dalam Al-Fatihah ada 156 huruf.
b. Ulama memperbolehkan membaca ‘ ’ َما ِّل ِّكdengan dibaca panjang dan dibaca pendek.
Sedang dalam surat An-Naas maka ulama sepakat bahwa wajib untuk membaca pendek
lafadz ‘’ َم ِّل ِّك.
5. Hendaknya tidak diam dengan diam lama atau sebentar yang bertujuan memutus
bacaan Al-Fatihah
Artinya tidak diperbolehkan berhenti ketika membaca Al-Fatihah. Baik berhenti atau diam
dalam waktu yang lama atau berhenti sebentar dengan niatan atau tujuan memutus bacaan Al-
fatihah. Syarat ini sama dengan syarat sebelumnya. Berhenti dalam waktu yang lama yaitu
seukuran melebihi berhenti untuk mengambil nafas dan berhenti sebentar yaitu seukuran
waktu yang kurang untuk mengambil nafas.
Jika berhenti dalam waktu lama atau sebentar tetapi dengan tujuan memutus bacaan Al-
Fatihah, maka wajib mengulangi bacaan Al-Fatihah.
Pembahasan
Dalam shalat ada terdapat sunnah dan rukun. Rukun-rukun shalat telah dibahas dalam
pembahasan sebelumnya. Adapun sunnah-sunnah dalam shalat terbagi menjadi dua; sunnah
haiat dan sunnah ab’ad.
Sunnah haiat adalah sunnah-sunnah dalam shalat yang tidak disunnahkan sujud sahwi ketika
meninggalkannya. Sedang sunnah ab’ad adalah sunnah-sunnah dalam shalat yang
disunnahkan untuk sujud sahwi ketika meninggalkannya.
Sunnah ab’ad ada banyak sekali, diantaranya adalah mengangkat kedua tangan. Disunnahkan
mengangkat kedua tangan di 4 tempat di dalam shalat. Adapun perinciannya adalah sebagai
berikut:
2. Ketika rukuk
Ketika hendak bergerak dari berdiri untuk rukuk, maka disunnahkan untuk mengangkat
kedua tangan. Kesunnahan mengangkat kedua tangan bisa didapatkan dengan
mengangkatnya dalam bentuk apapun sebagaimana dalam takbiratul ihram. Tetapi yang lebih
sempurna adalah mulai mengangkat kedua tangan dalam keadaan masih berdiri ketika mulai
mengucapkan kalimat takbir. Kemudian setelah kedua telapak tangan sejajar dengan kedua
pundak maka merunduk dan bacaan kalimat takbir dipanjangkan sampai posisi rukuk.
3. Ketika i’tidal
I’tidal adalah kembali ke dalam keadaan sebelum rukuk. Ketika hendak melakukan i’tidal
disunnahkan untuk mengangkat kedua tangan. Disunnahkan mengangkat kedua tangan
bersamaan dengan ucapan ‘س ِم َع هللاُ ِل َم ْن َح ِمدَه
َ ’ dan mengangkat kepala. Dan mengangkat kedua
tangan hingga berdiri tegak. Setelah berdiri tegak tangan diturunkan bersamaan selesainya
bacaan tasmi’ atau ‘س ِم َع هللاُ ِل َم ْن َح ِمدَه
َ ’.
Pembahasan
Sujud adalah salah satu rukun dari rukun-rukun shalat sebagaimana telah dibahas dalam
pembahasan tentang rukun shalat. Setiap rukun shalat memiliki syarat tertentu; takbiratul
ihram, rukuk, i’tidal, sujud dll memiliki syarat-syarat tertentu yang harus terpenuhi ketika
mengerjakan rukun tersebut dalam shalat.
Adapun syarat-syarat sujud ada 7, yaitu:
Tambahan
a. Disunnahkan membuka anggota sujud untuk kedua tangan, baik laki-laki maupun
perempuan. Dan untuk laki-laki dan budak perempuan disunnahkan untuk membuka kaki
(tanpa penutup), untuk perempuan merdeka maka tidak diperbolehkan untuk terbuka karena
kaki termasuk aurat bagi perempuan merdeka ketika shalat.
b. Yang wajib diletakan ketika sujud adalah sebagian dahi, sehingga meski ada sedikit
rambut yang keluar diatas dahi tidak menghalangi ke-sah-an sujud. Tetapi hal ini hanya
berlaku bagi laki-laki ataupun budak perempuan. Adapun perempuan merdeka tidak boleh
sedikitpun ada rambut yang keluar, karena rambut perempuan adalah aurat, sehingga wajib
tertutup semua rambutnya ketika shalat.
3. Menekan kepalanya
Tidak hanya meletakan dahi pada tempat sujud, tetapi juga diharuskan untuk menekan kepala
ketika sujud. Sekiranya jika diletakan kapan pada tempat meletakan dahi, maka kapas
tersebut akan kempes.
6. Mengangkat (anggota tubuh) bagian bawah diatas (anggota tubuh) bagian atas
Anggota tubuh bagian bawah, yaitu pantat dan bagian tubuh yang sejajar, harus lebih tinggi
ketika sujud daripada anggota tubuh bagian atas, yaitu kepala dan pundak. Jika sejajar antara
anggota tubuh bagian bawah dan anggota tubuh bagian atas, maka sujudnya tidak sah.
Permasalahan
Seorang yang tidak bisa sujud kecuali harus dengan bantuan benda lain, seperti menaruh
bantal pada tempat sujudnya, maka jika dengan sujud diatas bantal anggota tubuh bagian atas
tetap lebih rendah daripada anggota tubuh bagian bawah, maka hal tersebut wajib dilakukan.
Tambahan
Disyaratkan juga untuk menaruh anggota sujud secara bersamaan. Artinya menaruh semua
anggota sujud harus dalam satu waktu. Jika menaruh sebagian anggota sujud kemudian
mengangkatnya dan menaruh anggota sujud yang lain, maka sujudnya tidak sah.
: عش ََر فِي أَقَ ِل ِه َ َس (زَ ائِدَةٌ) فِي أ َ ْك َم ِل ِه َو ِستَّة ٌ خ َْم: َش ُّه ِد إِ ْحدَى َو ِع ْش ُر ْون َ َّ صلٌ) ت َ ْش ِد ْيدَاتُ الت ْ َ(ف
، اء ِ َاء َو ْالي َّ ع َلى
ِ الط َ ُلط ِيبَات َّ ا، صا ِد َّ علَى ال َ ُصلَ َوات َّ اركَاتُ ال َ َاء ْال ُمب
ِ َاء َو ْالي ِ َّ علَى الت َ ُاَلت َّ ِحيَّات
َو، اء ِ َاء َو النُّ ْو ِن َو ْالي ِ َعلَى ْالي َ ي ُّ ِعلَي َْك أَيُّ َها النَّب
َ ، السي ِْن ِ علَى َ س ََل ُمَّ اَل، علَى ََل ِم ْال َج ََللَ ِة َ ِهلل
علَى ََل ِم َ ِعلَى ِع َبا ِد هللا َ علَ ْينَا َو َ ، السي ِْن ِ علَى َ س ََل ُم ْ
َّ َو َب َر َكاتُهُ ال، علَى ََل ِم ال َج ََل َل ِة ِ َُر ْح َمة
َ هللا
ع َلى ََل ِم أَلِفٍ َو ََل ِم َ ُ ِإ ََّل هللا، ٍعلَى ََل ِم أَلِف َ َ أ َ ْش َهد ُ أ َ ْن ََّل ِإلَه،ِصادَّ علَى ال َ َصا ِل ِحيْن َّ ال، ْال َج ََللَ ِة
علَى ََل ِم َ اء َو َّ علَى
ِ الر َ علَى ِمي ِْم ُم َح َّم ٍد َو َ هللاِ س ْو ُل ُ ُم َح َّمدًا َّر، علَى النُّ ْو ِن َ َو أ َ ْش َهدُ أ َ َّن،ْال َج ََللَ ِة
.ْال َج ََللَ ِة
Tasydid-tasydid tasyahhud ada 21, 5 diantaranya adalah tambahan untuk kesempurnaan
tasyahhud dan 16 adalah dalam paling sedikitnya tasyahhud, yaitu:
‘ ُ ’اَلت َّ ِحيَّاتdiatas ta’ dan ya’, ‘ ُصلَ َوات َ َ ’ ْال ُمبdiatas shad, ‘ ُالط ِيبَات
َّ اركَاتُ ال َّ ’ diatas tha’ dan ya’,
‘ِ ’هللdiatas lam jalalah, ‘س ََل ُم
َّ ’اَلdiatas sin, ‘ي
ُّ النَّ ِب علَي َْك أَيُّ َها
َ ’ diatas ya’, nun dan ya’, ‘ َُو َر ْح َمة
ِ ’هللاdiatas lam jalalah, ‘س ََل ُم َّ ’ َو بَ َر َكاتُهُ الdiatas sin, ‘ِعلَى ِعبَا ِد هللا َ علَ ْينَا َو
َ ’ diatas lam jalalah,
َّ ’الdiatas shad, ‘َ ’أ َ ْش َهد ُ أ َ ْن ََّل ِإلَهdiatas lam alif, ‘ُ ’ ِإ ََّل هللاdiatas lam alif dan lam
‘ َصا ِل ِحيْن
jalalah, ‘ن َّ َ ’ َو أ َ ْش َهد ُ أdiatas nun, ‘ِس ْو ُل هللا ُ ’ ُم َح َّمدًا َّرdiatas mim lafadz ()محمد, ra dan lam
jalalah.
Pembahasan
Tasyahhud akhir termasuk rukun shalat yang berupa qouliyah atau bacaan. Dalam setiap
rukun shalat yang berupa bacaan disyaratkan untuk memperhatikan semua huruf beserta
tasydid-tasydid dalam bacaan rukun tersebut.
Dalam tasyahhud akhir sendiri memiliki batas kesempurnaan bacaan dan batas paling
sedikitnya bacaan tasyahhud. Artinya seorang yang dalam tasyahhudnya membaca paling
sedikitnya bacaan tasyahhud, maka sudah dianggap sah tasyahhudnya dan lebih utama untuk
membaca tasyahhud dengan sempurna semua bacaan tasyahhud.
Adapun paling sedikitnya bacaan tasyahhud adalah sebagai berikut:
Tambahan
Syarat-syarat tasyahhud ada 9, yaitu:
1. Telah sah rukun sebelumnya.
Jika belum sah maka terlebih dahulu harus mengerjakan rukun sebelumnya.
2. Harus dengan bahasa arab.
Seorang yang tidak mampu membaca tasyahhud dengan bahasa arab, maka wajib untuk
menerjemahkan paling sedikitnya bacaan tasyahhud.
3. Memperhatikan huru-huruf tasyahhud.
4. Memperhatikan tasydid-tasydid tasyahhud.
5. Tidak ada kekeliruan bacaan yang merusak makna.
6. Mengerjakan tasyahhud dalam keadaan duduk.
7. Memperdengarkan dirinya sendiri semua bacaan tasyahhud.
8. Tertib.
9. Terus-menerus.
Safinah - bag 35: Tasydid Shalawat dan Salam
َّ علَى
، الَل ِم َ ، الَل ِم َو ْال ِمي ِْم
َ ص ِل َ اَلل ُه َّم: علَى النَّ ِبي أ َ ْربَ ٌع
َّ علَى َ ِص ََلة َّ ص ٌل ) ت َ ْش ِد ْيدَاتُ أَقَ ِل ال
ْ َ(ف
ِ علَى
. السي ِْن َ علَ ْي ُك ْم
َ س ََل ُم َّ َو أَقَ ُّل ال.علَى ْال ِمي ِْم
َّ اَل: س ََل َم َ علَى ُم َح َّم ٍد
َ
Tasydid-tasydid paling sedikitnya shalawat kepada Nabi ada 4, yaitu:
‘ ’اَلل ُه َّمdiatas lam dan mim, ‘ل َ ’ diatas lam, ‘ع َلى ُم َح َّم ٍد
ِ ص َ ’ diatas mim. Dan paling sedikitnya
ُ علَ ْي
salam adalah ‘ك ْم َ س ََل ُم
َّ ( ’اَلtasydidnya) diatas sin.
Pembahasan
Telah berlalu pembahasan tentang rukun-rukun shalat, diantaranya adalah membaca shalawat
kepada Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk tasyahhud akhir dan
mengucapkan salam.
Mengucapkan shalawat kepada Nabi dan mengucapkan salam adalah termasuk rukun
qouliyah atau rukun shalat yang berupa bacaan atau ucapan. Dalam setiap rukun qouliyah
harus memperhatikan tasydid-tasydid masing-masing bacaan dalam mengucapkannya.
Mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa sallam dan bacaan
salam memiliki batasan paling sedikit atau batasan minimal. Jika mengerjakan shalawat dan
mengucapkan salam dengan batasan paling sedikitnya kalimat tersebut, maka sudah dianggap
sah. Tetapi disunnahkan untuk mengucapkan shalawat dan salam dengan bacaan yang
sempurna.
Shalawat kepada Nabi Muhammad
Adapun paling sedikitnya shalawat kepada Nabi ketika shalat adalah sebagai berikut:
علَى ُم َح َّم ٍد
َ ص ِل
َ الل ُه َّم
Adapun tasydid-tasydid paling sedikitnya shalawat kepada Nabi ada 4, yaitu: ‘’الل ُه َّم
tasydidnya diatas huruf lam dan mim, ‘ل َ ’ tasydidnya diatas huruf lam dan ‘علَى ُم َح َّم ٍد
ِ ص َ ’
tasydidnya diatas huruf mim.
Adapun bacaan shalawat kepada Nabi yang sempurna adalah membaca shalwat Ibrahimiyah,
yaitu sebagai berikut:
َك َما،اج ِه َو ذ ُ ِريتِ ِه َ س ْو ِل َك النَّبِي ِ ْاْل ُ ِمي ِ َو
ِ علَى آ ِل ِه َو أ َ ْز َو ُ ِك َو َر َ علَى
َ سيِ ِدنَا ُم َح َّم ٍد
َ ع ْبد َ ص ِل َ الل ُه َّم
ِك َوَ س ِي ِدنَا ُم َحمُ ٍد َع ْبد َ علَى َ ار ْكِ َو َب،س ِي ِدنَا ِإب َْرا ِهي َْم َ علَى آ ِل َ علَى
َ س ِي ِدنَا ِإب َْرا ِهي َْم َو َ ْت َ صلَّيَ
على آ ِل َ َ سيِ ِدنَا إِب َْرا ِهي َْم َو
َ عل ى َ َ ت ْ ُ
َ َ َك َما ب،اج ِه َو ذ ِريَّتِ ِه
َ ارك ْ َ
ِ على آ ِل ِه َو أز َو َ ُ ْ
َ س ْو ِل َك النَّبِي ِ اْل ِمي ِ َو ُ َر
.ٌ ِفي ْال َعالَ ِميْنَ ِإنَّ َك َح ِم ْيد ٌ َم ِج ْيد،س ِي ِدنَا ِإب َْرا ِهي َْم
َ
Tambahan
Kewajiban membaca shalawat kepada Nabi dalam shalat ini berdasarkan hadist Nabi. Nabi
bersabda:
ُ ث ُ َّم يَ ْد،سلَّ َم
ُع ْو ِلنَ ْف ِس ِه بَ ْعدَه َ علَ ْي ِه َو
َ ُصلَى هللا
َ ِ علَى النَّبِي َ ُ ث ُ َّم ي،ِص ََلة
َ ص ِلي َّ الر ُج ُل فِي ال َ َ يَت
َّ ُش َّهد
“Bertasyahhud seseorang dalam shalat, kemudian membaca shalawat atas Nabi sallallahu
‘alaihi wa sallam, kemudian berdoa untuk dirinya sendiri setelah itu.”
Diriwayatkan pula bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallambershalawat kepada dirinya dalam
tasyahhud akhir.
Dalam hadist lain, diriwayatkan bahwa para sahabat Nabi berkata “Kami tahu bagaimana
kami mengucapkan salam kepadamu. Maka bagaimana kami bershalawat atasmu dalam
َ علَى ُم
shalat kami?” maka Nabi menjawab “Ucapkanlah ح َّم ٍد َ ص ِل
َ الل ُه َّم
Salam
Paling sedikitnya mengucapkan salam ketika shalat adalah ‘ك ْمُ علَ ْي
َ س ََل ُم
َّ ’اَل. Tasydid yang
wajib diperhatikan ketika mengucapkan salam ada satu, yaitu diatas huruf sin.
Dan paling sempurna mengucapkan salam adalah ‘ِح َمةُ هللا
ْ علَ ْي ُك ْم َو َر
َ س ََل ُم
َّ ’اَل.
وآخره مصير ظل الشيء مثله غير ظل، أول وقت الظهر زوال الشمس:(فصل) أوقات الصَلة خمس
وأول وقت. وآخره غروب الشمس، وأول وقت العصر إذا صار ظل كل شيء مثلة وزاد قليَل، اإلستواء
. وآخره طلوع الفجر الصادق وآخره طلوع الشمس، المغرب غروب الشمس وآخره غروب الشفق األحمر
Diharamkan Shalat
عند طلوع الشمس حتى ترتفع: (فصل ) تحرم الصَلة التي ليس لها سبب متقدم وَل مقارن في خمسة أوقات
وعند اإلصفرار حتى تطلع الشمس وبعد صَلة، قدر رمح وعند اإلستواء في غير يوم الجمعة حتى تزول
. العصر حتى تغرب
Shalat itu haram manakala tidak ada mempunyai sebab terdahulu atau sebab yang bersamaan (maksudnya tanpa ada sebab sama
sekaliseperti sunat mutlaq) dalam beberapa waktu, yaitu:
1. Ketika terbit matahari sampai naik sekira-kira sama dengan ukuran tongkat atau tombak.
2. Ketika matahari berada tepat ditengah tengah langit sampai bergeser kecuali hari Jum’at.
3. Ketika matahari kemerah-merahan sampai tenggelam.
4. Sesudah shalat Shubuh sampai terbit matahari.
5. Sesudah shalat Asar sampai matahari terbenam.
وبين آخر، وبين الفاتحة والتعوذ، بين تكبيرة اإلحرام ودعاء اإلفتتاح والتعوذ: (فصل) سكتات الصَلة ستة
. وبين السورة والركوع، وبين آمين والسوره، الفاتحة وآمين
Tempat saktah (berhenti dari membaca) pada waktu shalat ada enam tempat, yaitu
1. Antara takbiratul ihram dan do’a iftitah (doa pembuka sesudah takbiratul ihram).
2. Antara doa iftitah dan ta’awudz (mengucapkan perlindungan dengan Allah SWT dari setan yang terkutuk).
3. Antara ta’awudz dan membaca fatihah.
4. Antara akhir fatihah dan ta’min (mengucapkan amin).
5. Antara ta’min dan membaca surat (qur’an).
6. Antara membaca surat dan ruku’.
Wajib Tuma'ninah
. الركوع واإلعتدال والسجود والجلوس بين السجدتين: (فصل) األركان التي تلزمه فيها الطمأنينة أربعة
. سكون بعد حركة بحيث يستقر كل عضو محله بقدر سبحان هللا: الطمأنينة هي
Tuma’ninah adalah diam sesudah gerakan sebelumnya, sekira-kira semua anggota badan tetap (tidak bergerak) dengan kadar tasbih
(membaca subhanallah).
الثاني فعل، اْلول ترك بعض من أبعاض الصَلة أو بعض البعض: (فصل) أسباب سجود السهو أربعة
الرابع إيقاع ركن فعلي، الثالث نقل ركن قولي إلى غير محله، مايبطل عمده وَليبطل سهوه إذا فعله ناسيا
. مع احتمال الزيادة
والصَله، التشهد اْلول وقعوده والصَله على النبي صلى للا عليه وسلم فيه: (فصل) أبعاض الصَلة سبعة
.والصَلة على النبي صلى للا علية وسلم وآله فيه، والقنوت،على اآلل التشهد اْلخير
. الجمعة والمعاداة والمنذورة جماعة والمتقدمة في المطر: (فصل) الذي يلزم فية نية اْلمامة أربع
Diwajibkan bagi seorang imam berniat menjadi imam terdapat dalam empat shalat, yaitu:
1- Menjadi Imam juma`t
2- Menjadi imam dalam shalat i`aadah (mengulangi shalat).
3- Menjadi imam shalat nazar berjama`ah
4- Menjadi imam shalat jamak taqdim sebab hujan
. الجمعة والمعاداة والمنذورة جماعة والمتقدمة في المطر: (فصل) الذي يلزم فية نية اْلمامة أربع
Diwajibkan bagi seorang imam berniat menjadi imam terdapat dalam empat shalat, yaitu:
1- Menjadi Imam juma`t
2- Menjadi imam dalam shalat i`aadah (mengulangi shalat).
3- Menjadi imam shalat nazar berjama`ah
4- Menjadi imam shalat jamak taqdim sebab hujan
44. Makmum dan Imam
وأن َليعتقد وجوب, أن َليعلم بطَلن صَلة إمامة بحدث أو غيرة: (فصل) شروط القدوة أحد عشر
قضائها عليه وأن َل يكون مأموما وَل أميا وأن َليتقدم علية في الموقف وأن يعلم انتقاَلت إمامة وأن يجتمعا
في مسجد أو في ثلثمائة ذراع تقريبا وأن ينوي القدوة أو الجماعة وأن يتوافق نظم صَلتيهما وأن َل يخالفه
. في سنة فاحشة المخالفة وأن يتابعة
قدوة رجل برجل وقدوة امرأه برجل وقدوة خنثى برجل وقدوة: (فصل) صور القدوة تسع تصح في خمس
قدوة رجل بامرأة وقدوة رجل بخنثى: وتبطل في أربع، امرأة بخنثى وقدوة امرأة بامرأة
Ada empat golongan orang – orang yang tidak sah dalam berjamaah, yaitu:
1-Laki – laki mengikut perempuan.
2- Laki – laki mengikut banci.
3- Banci mengikut perempuan.
4.-Banci mengikut banci.
. البداءة باْلولى ونية الجمع والمواَلة بينهما ودوام العذر: (فصل) شروط جمع التقديم أربعة
Ada empat, syarat sah jamak taqdim (mengabung dua shalat diwaktu yang pertama), yaitu:
1- Di mulai dari shalat yang pertama.
2- Niat jamak (mengumpulkan dua shalat sekali gus).
3- Berturut – turut.
4.-Udzurnya terus menerus.
نية التأخير وقد بقي من وقت اْلولى مايسعها ودوام العذر إلى تمام: (فصل) شروط جمع التأخير إثنان
. الثانية
أن يكون سفره مرحلتين وأن يكون مباحا والعلم بجواز القصر ونيه القصر: (فصل) شروط القصر سبعة
. عند اْلحرام وأن َليقتدي بمتم في جزء من صَلتة
Ada tujuh syarat qasar, yaitu:
1- Jauh perjalanan dengan dua marhalah atau lebih (80,640 km atau perjalanan sehari
semalam).
2- Perjalanan yang di lakukan adalah safar mubah (bukan perlayaran yang didasari niat
mengerja maksiat ).
3- Mengetahui hukum kebolehan qasar.
4- Niat qasar ketika takbiratul `ihram.
5- Shalat yang di qasar adalah shalat ruba`iyah (tidak kurang dari empat rak`aat).
6- Perjalanan terus menerus sampai selesai shalat tersebut.
7- Tidak mengikuti dengan orang yang itmam (shalat yang tidak di qasar) dalam sebagian
shalat nya.
أن تكون كلها في وقت الظهر وأن تقام في خطة البلد وأن تصلي جماعة وأن: (فصل) شروط الجمعة ستة
يكونوا أربعين أحرارا ذكورا بالغين مستوطنين وأن َل تسبقها وَل تقارنها جمعة في تلك البلد وأن يتقدمها
. خطبتان
Syarat sah shalat Jum’at ada enam, yaitu:
1. Khutbah dan shalat Jum’at dilaksanakan pada waktu Dzuhur.
2. Kegiatan Jum’at tersebut dilakukan dalam batas desa.
3. Dilaksanakan secara berjamaah.
4. Jamaah Jum’at minimal berjumlah empat puluh (40) laki-laki merdeka, balig dan penduduk asli daerah tersebut.
5. Dilaksanakan secara tertib, yaitu dengan khutbah terlebih dahulu, disusul dengan shalat Jum’at.
حمد للا فيهما والصَلة على النبي صلى للا علية وسلم فيهما والوصية:(فصل)أركان الخطبتين خمسة
. بالتقوى فيهما وقراءة آية من القرآن في أحداهما والدعاء للمؤمنين والمؤمنات في اْلخيرة
الطهارة عن الحدثين اْلصغر واْلكبر والطهارة عن النجاسة في الثوب: (فصل) شروط الخطبتين عشرة
والبدن والمكان وستر العورة والقيام على القادر والجلوس بينهما فوق طمأنينة الصَلة والمواَلة بينهما وبين
الصَلة وأن تكون بالعربية وأن يسمعها أربعون وأن تكون كلها في وقت الظهر
ث ُ اَلثَا ِّل، ت ٍ اَلثَا ِّني أ َ ْر َب ُع ت َ ْكبِّي َْرا، ُا َ ْأل َّو ُل اَل ِّنيَّة: ٌس ْب َعة َ ص ََل ِّة ْال َجنَازَ ِّة َ ان ُ ص ٌل) أ َ ْر َك
ْ َ(ف
ُ صلَى
ُُللا َ ِّ صَلَة ُ َعلَى النَبِّي َ س اَل ُ َام ِّ ا َ ْلخ، اَل َرا ِّب ُع ِّق َرا َءة ُ ْالفَا ِّت َح ِّة، ا َ ْل ِّق َيا ُم َعلَى ْالقَاد ِِّّر
س ََل ُمَ سابِّ ُع اَلَ اَل، ت بَ ْعدَ الثَا ِّلث َ ِّة ِّ ِِّّس اَلدُ َعا ُء ِّل ْل َمي ُ ساد َ اَل،سلَّ َم بَ ْعدَ الثَانِّيَ ِّةَ َعلَ ْي ِّه َو
Rukun shalat jenazah ada tujuh (7), yaitu:
1. Niat.
طايَاَ َون َِّق ِّه ِّمنَ ْال َخ، اء َوالثَّ ْلجِّ َو ْالبَ َر ِّد
ِّ َوا ْغس ِّْلهُ بِّ ْال َم، ُ َوأ َ ْك ِّر ْم نُ ُزلَهُ َو َو ِّس ْع ُمدْ َخلَه، َُْ َع ْنه ُ َو َعافِّ ِّه َواع، ُار َح ْمه ْ اللَّ ُه َّم ا ْغ ِّف ْر لَهُ َو
ُْ َوأَد ِّْخله، َوزَ ْو ًلا َخي ًْرا ِّم ْن زَ ْو ِّل ِّه، َوأ َ ْه ًَل َخي ًْرا ِّم ْن أ َ ْه ِّل ِّه، ارا َخي ًْرا ِّم ْن دَ ِّار ِّه ْ َ
ً َ َوأ ْبدِّلهُ د، ض ِّمنَ الدَّن َِّس َ
َ َب ْاأل ْبيَ َك َما نَ َّقيْتَ الث َّ ْو
ار ِّ أ َ ْو ِّم ْن َعذَا، ب ْالقَب ِّْر
ِّ َّب الن ِّ ْال َجنَّةَ َوأ َ ِّعذْهُ ِّم ْن َعذَا