Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Di antara hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang disyari’atkan Allah Subhanahu
wa Ta'ala atas ummatnya adalah agar mereka mengucapkan shalawat dan salam
untuk beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala dan para Malaikat-Nya telah bershalawat
kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala
memerintahkan kepada para hamba-Nya agar mengucapkan shalawat dan taslim
kepada beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ِإنَّ هَّللا َ َو َماَل ِئ َك َت ُه يُصَ لُّونَ عَ لَى ال َّن ِبيِّ ۚ يَا َأ ُّيهَا الَّذِينَ آ َم ُنوا صَ لُّوا عَ لَ ْي ِه َوسَ لِّمُوا َتسْ لِيمًا
Diriwayatkan bahwa makna shalawat Allah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
adalah pujian Allah atas beliau di hadapan para Malaikat-Nya, sedang shalawat
Malaikat berarti mendo’akan beliau, dan shalawat ummatnya berarti permohonan
ampun bagi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dalam ayat di atas, Allah telah menyebutkan tentang kedudukan hamba dan Rasul-
Nya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tempat yang tertinggi,
bahwasanya Dia memujinya di hadapan para Malaikat yang terdekat, dan bahwa
para Malaikat pun mendo’akan untuknya, lalu Allah memerintahkan segenap
penghuni alam ini untuk mengucapkan shalawat dan salam atasnya, sehingga
bersatulah pujian untuk beliau di alam yang tertinggi dengan alam terendah (bumi).
“Perbanyaklah kalian membaca shalawat kepadaku pada hari dan malam Jum’at,
barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali niscaya Allah bershalawat kepadanya
sepuluh kali.”[2]
Tetapi tidak dibenarkan mengkhususkan waktu dan cara tertentu dalam bershalawat
dan memuji beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali berdasarkan dalil shahih dari
Al-Qur-an dan As-Sunnah. Para ulama Ahlus Sunnah telah banyak meriwayatkan
lafazh-lafazh shalawat yang shahih, sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.
Di antaranya adalah:
آل مُحَ َّم ٍد َكمَاِ َاركْ عَ َلى مُحَ َّم ٍد َوعَ لَى ِ اَللَّ ُه َّم ب،ج ْي ٌد ِ آل مُحَ َّم ٍد َكمَا صَ لَّيْتَ عَ لَى ِإ ْبرَ ا ِه ْي َم َوعَ لَى
ِ آل ِإ ْبرَ ا ِه ْي َم ِإ َّنكَ حَ ِم ْي ٌد َم ِ اَللَّ ُه َّم صَ ِّل عَ لَى مُحَ َّم ٍد َوعَ لَى
ِ بَارَ ْكتَ عَ لَى ِإ ْبرَ ا ِه ْي َم َوعَ لَى.
ِ آل ِإ ْبرَ ا ِه ْي َم ِإ َّنكَ حَ ِم ْي ٌد َم
ج ْي ٌد
Ghuluw artinya melampaui batas. Dikatakan: “ غَ الَ ي َْغلُو ُغلُ ًّوا,” jika ia melampaui batas
dalam ukuran. Allah berfirman:
ِ َفِإ َّنمَا َأهْ لَكَ َمنْ َكانَ َق ْبلَ ُك ْم اَ ْل ُغلُوُّ فِي ال ِّدي،ْن
ْن ِ ِإيَّا ُك ْم َو ْال ُغلُوَّ فِي ال ِّدي.
Salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap ghuluw
dalam beragama, baik kepada orang shalih atau dianggap wali, maupun ghuluw
kepada kuburan para wali, hingga mereka minta dan berdo’a kepadanya padahal ini
adalah perbuatan syirik akbar.
Dan yang dimaksud dengan ithra’ dalam hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
adalah berlebih-lebihan dalam memujinya, padahal beliau telah melarang hal
tersebut melalui sabda beliau:
Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara bathil dan janganlah kalian
berlebih-lebihan dalam memujiku. Hal itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh
orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissallam, sehingga mereka menganggapnya
memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi
sifat kepadaku, maka katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.” [7]
‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama
delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kami
berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (penguasa) kami!” Spontan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung
kebaikannya.” Serta merta beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:
“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti
sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan.” [8]
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata, “Sebagian orang berkata kepada beliau,
‘Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang
terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami dan putera sayyid kami!’ Maka seketika
itu juga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا ُأحِبُّ َأنْ َترْ َفع ُْونِيْ َف ْوقَ َم ْن ِزلَتِي الَّتِيْ َأ ْن َزلَنِيَ هللاُ عَ َّز َوجَ َّل،ُهللا َورَ س ُْولُه
ِ عَ ْب ُد، َأ َنا مُحَ َّم ٌد، ُْطان
َ يَا َأ ُّيهَا ال َّناسُ قُ ْولُ ْوا ِب َق ْولِ ُك ْم َوالَ َيسْ َته ِْو َي َّن ُك ُم ال َّشي.
“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan
kalian terbujuk oleh syaithan, aku (tidak lebih) adalah Muhammad, hamba Allah dan
Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi)
kedudukan yang telah Allah berikan kepadaku.” [9]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari apa yang Allah
Subhanahu wa Ta'ala berikan dan Allah ridhai. Tetapi banyak manusia yang
melanggar larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, sehingga mereka
berdo’a kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya
serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah.
Hal itu sebagaimana yang mereka lakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, dalam kasidah atau anasyid, di mana mereka tidak membedakan
antara hak Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan hak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta,
Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Bahasan tentang shalawat selengkapnya dapat dilihat pada kitab Jalaa-ul
Afhaam fii Fadhlish Shalaah was Salaam ‘alaa Muhammad Khairil Anaam (hal. 453-
556), karya al-‘Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dengan ta’liq dan takhrij Syaikh
Masyhur bin Hasan Alu Salman.
[2]. HR. Al-Baihaqi (III/249) dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, sanad hadits ini
hasan. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1407) oleh Syaikh al-Albani
rahimahullah.
[3]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 158-159).
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 3370/Fat-hul Baari (VI/408)), Muslim (no. 406), Abu Dawud
(no. 976, 977, 978), at-Tirmidzi (no. 483), an-Nasa-i (III/47-48), Ibnu Majah (no.
904), Ahmad (IV/243-244) dan lain-lain, dari Sahabat Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu
anhu.
Untuk mengetahui lafazh-lafazh shalawat lainnya yang diriwayatkan secara shahih
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dapat dilihat dalam buku Do’a dan Wirid (hal.
178-180), oleh penulis, cet. VI/ Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta, th. 2006 H.
[5]. HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasa-i (V/268), Ibnu Majah (no. 3029), Ibnu Khu-
zaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma.
Sanad hadits ini shahih menurut syarat Muslim. Dishahihkan oleh Imam an-Nawawi
dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 3445), at-Tirmidzi dalam Mukhtasharusy Syamaa-il al-Mu-
hammadiyyah (no. 284), Ahmad (I/23, 24, 47, 55), ad-Darimi (II/320) dan yang
lainnya, dari Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu.
[7]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 151).
[8]. HR. Abu Dawud (no 4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhari dalam al-Adabul
Mufrad (no 211/ Shahiihul Adabil Mufrad no 155), an-Nasai dalam ‘Amalul Yaum wal
Lailah (no. 247, 249). Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Rawi-rawi-nya
shahih. Dishahihkan oleh para ulama (ahli hadits).” (Fat-hul Baari V/179)
[9]. HR. Ahmad (III/153, 241, 249), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no.
249, 250) dan al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah
(no. 2675). Sanadnya shahih dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[10]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 152) oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-
Fauzan.