Anda di halaman 1dari 10

Penggunaan Sayyidina dalam Tasyahud Shalat

Shalawat kepada Nabi SAW dalam tasyahhud akhir hukumnya wajib. Sedangkan shalawat kepada
keluarga beliau, hukumnya adalah sunnah menurut ulama al-Syafi`iyah.[1] Adapun lafaz shalawat
kepada Nabi SAW dalam tasyahud akhir seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW adalah:

ِ ‫ َو َعلَى‬، ‫اركْ َعلَى م َُح َّم ٍد‬


‫آل‬ ِ ‫ك َحمِي ٌد َم ِجي ٌد اللَّ ُه َّم َب‬ ِ ‫ َو َعلَى‬، ‫صلَّيْتَ َعلَى إِب َْراهِي َم‬
َ ‫آل إِب َْراهِي َم إِ َّن‬ َ ‫اللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ َو َعلَى‬، ‫ص ِّل َعلَى م َُح َّم ٍد‬
َ ‫آل م َُح َّم ٍد َك َما‬
‫ك َحمِي ٌد َم ِجيد‬ ِ ‫ َو َعلَى‬، ‫ار ْكتَ َعلَى إِب َْراهِي َم‬
َ ‫آل إِب َْراهِي َم إِ َّن‬ َ ‫م َُح َّم ٍد َك َما َب‬

(H.R. Bukhari [2] dan Ahmad [3])

Para ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina pada lafazh
shalawat tersebut. Dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, salah satu kitab Syafi’iyah dikatakan :

“Pendapat yang mu’tamad dianjurkan menambah perkataan sayyidina, karena padanya ada sopan
santun.”[4]

Ulama Syafi’iyah lainnya yang mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina dalam shalawat
dalam shalat antara lain Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, al-Kurdy, al-Ziyadi, al-Halaby, dan lainnya.[5]
Sedangkan dari kitab ulama Hanafiyah antara lain tersebut dalam Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah karya
Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, beliau mengatakan :

“Berkata pengarang kitab al-Dar , disunatkan membaca perkataan sayyidina.”[6]

Pendapat yang senada ini juga dapat dilihat dalam Hasyiah Rad al-Mukhtar, karangan Ibnu Abidin, juga
dari kalangan Hanafiah.[7]

Dalil-dalil fatwa ini, antara lain :

1. Kata-kata “sayyidina” atau ”tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik
ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan
salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Karena itu, Syeikh Ibrahim bin
Muhammad al-Bajuri menyatakan:

“Pengucapan “sayyidina” merupakan sikap sopan santun.”[8]

Pendapat ini didasarkan pada Sabda Rasulullah SAW:

‫أَ َنا َس ِّي ُد َولَ ِد آدَ َم َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة َوأَ َّو ُل َمنْ َي ْن َش ُّق َع ْن ُه ْال َق ْب ُر َوأَ َّو ُل َشاف ٍِع َوأَوَّ ُل ُم َش َّف ٍع‬
Artinya : Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari
kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk
memberikan syafa’at.” (Shahih Muslim).[9]

Hadits ini menyatakan bahwa Rasulullah SAW menjadi sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi
Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari akhirat saja. Bahkan beliau SAW menjadi sayyid
manusia di dunia dan akhirat, sebagaimana dikemukan oleh al-Nawawi dalam mensyarahkan hadits di
atas, yaitu :

“Adapun sabda Rasulullah SAW pada hari kiamat, sedangkan beliau adalah sayyid, baik di dunia maupun
di akhirat, sebab dikaidkan demikian adalah karena nyata sayyid beliau itu bagi setiap orang, tidak ada
yang berusaha mencegah, menentang dan seumpamanya, berbeda halnya di dunia, maka ada dakwaan
dari penguasa kaum kafir dan dakwaan orang musyrik”.[10]

Berdasarkan pemahaman ini, maka menjadi sebuah keutamaan nama Rasulullah SAW disebut
dalam shalat dengan menggunakan perkataan sayyidina.

2. Hadits Abu Sa’id, berkata :

‫قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم أنا سيد ولد آدم يوم القيامة وال فخر‬

Artinya : Rasulullah SAW bersabda, Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat. Aku tidak sombong.
(H.R. Turmidzi)[11]

Hadits ini juga dipahami sebagaimana penjelasan hadits pertama di atas

Sebagian umat Islam menolak menggunakan sayyidina dalam shalat dengan menuduh perbuatan
tersebut termasuk dalam bid’ah yang dicela dalam agama. Penolakan ini dengan berargumentasi antara
lain :

1. Sabda Rasulullah SAW :

َّ ‫الَ ُت َس ِّيدُونِي فِي ال‬


‫صالَ ِة‬

Artinya : Janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat.

Jawab kita :

Hadits ini tidak memiliki dasar sama sekali, bahkan dalam segi bahasa termasuk kesalahan fatal yang
tidak mungkin diucapkan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang paling fasihnya orang arab dalam
bertutur kata. Hal ini dikarenakan kalimat “sayyid“ berasal dari kata “ ‫ “ َسادَ – َيس ُْو ُد‬, yang seharusnya
ketika menginginkan makna seperti dalam hadits, maka dengan redaksi “ ‫ “ الَ ُت َسوِّ د ُْونِي‬dan bukanlah
dengan “ ‫ “ الَ ُت َس ِّيدُونِي‬. Oleh karena itu, Ibnu Abidin mengatakan :

”Adapun hadits ” Janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat, maka batil,
tidak ada asal, sebagaimana telah dikatakan oleh sebagaian hafizh muataakhirin.”[12]

Senada dengan pernyataan di atas juga disampaikan oleh Syarwani dalam Hasyiah Syarwani ’ala Tuhfah
al-Muhtaj.[13]

Dengan demikian, pernyataan di atas yang didakwa sebagai hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah
pelarangan memanggil “sayyid” kepada Rasulullah SAW.

2. Sabda Rasulullah SAW,

ِ ‫ارى اب َْن َمرْ َي َم َفإِ َّن َما أَ َنا َع ْب ُدهُ َفقُولُوا َع ْب ُد‬
‫هللا َو َرسُولُه‬ َ ‫ص‬ ِ ‫الَ ُت ْطرُونِي َك َما أَ ْط َر‬
َ ‫ت ال َّن‬

Artinya : Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam,
sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya. (H.R. Bukhari)
[14]

Mereka mengatakan, hadits melarang kita menyanjung Rasulullah SAW secara berlebihan.
Mengatakan sayyidina termasuk katagori menyanjung secara berlebihan. Tapi katakan untuk beliau
”Hamba Allah dan Rasul-Nya”

Jawab kita :

Larangan pada hadits tersebut adalah menyanjung sebagaimana sanjungan kaum Nashrani
kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni kaum Nashrani memanggil Isa .a.s. sebagai tuhan. Menyebut
sayyidina sebelum menyebut nama Rasulullah SAW tidak ada anggapan dan jauh sama sekali dari
penuhanan Rasulullah SAW. Sedangkan perintah mengucapkan kepada Rasulullah SAW pada hadits
tersebut ”Hamba Allah dan Rasul-Nya” adalah dalam konteks larangan menyanjung sebagaimana
sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam. Artinya, ini tidak berarti Rasulullah SAW tidak
boleh disebut dengan gelar-gelar lain seperti Nabiyullah, Khatim al-Nabi, sayyidina dan lain-lain.
Badruddin al-Ainy al-Hanafi dalam menafsir hadits di atas mengatakan :

”Sabda Rasulullah SAW ”sebagaimana sanjungan Nashrani”, maksudnya, pada dakwaan tentang Isa
sebagai tuhan dan lainnya. Sedangkan sabda Rasulullah SAW, ”Aku hamba-Nya dan seterusnya” maka
itu termasuk merendah diri dan mendhahirkannya adalah tawadhu’.”[15]

Dengan demikian, hadits ini tidak tepat dijadikan hujjah melarang menyebut sayyidina kepada Rasullah
SAW, baik dalam dalam shalat maupun luar shalat

3. Hadits dari Anas bin Malik, berkata :

‫ يا أيها الناس عليكم بتقواكم وال‬: ‫أن رجال قال يا محمد يا سيدنا وبن سيدنا وخيرنا وبن خيرنا فقال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم‬
‫يستهوينكم الشيطان أنا محمد بن عبد هللا عبد هللا ورسوله وهللا ما أحب أن ترفعوني فوق منزلتي التي أنزلني هللا عز و جل‬

Artinya : Seorang lelaki telah datang kepada RAsulullah SAW seraya berkata:”Ya Muhammad! Ya
Sayyidina, Ya anak Sayyidina! ,wahai yang terbaik di kalangan kami dan anak orang terbaik di kalangan
kami !” Rasulullah menjawab:”Wahai manusia, hendaklah kalian bertaqwa dan jangan membiarkan
syaitan mempermainkan engkau. Sesungguhnya aku adalah Muhammad bin Abdillah, hamba Allah dan
Rasul-Nya dan Demi Allah bahwasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa
yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku.(H.R. Ahmad)[16]

Jawab kita :

Memperhatikan ujung hadits ini yang berbunyi,

“ Demi Allah bahwasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah
Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku”

Dan hadits riwayat Muslim sebelum ini, berbunyi :

“Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat”

Maka menurut hemat kami, menyebut kata sayyidina kepada Nabi SAW tidaklah termasuk mengangkat
kedudukan Nabi SAW melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagi beliau. Karena
Rasulullah SAW sendiri mengakui sebagaimana dalam hadits Muslim di atas bahwa beliau adalah sayyid
bagi anak Adam. Lalu bagaimana dengan hadits Rasulullah SAW yang melarang memanggil beliau
dengan sayyid sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Ahmad ini ?. Jawabnya adalah larangan
tersebut adalah dalam konteks menyanjung Nabi SAW sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada
Nabi Isa ibnu Maryam, yakni kaum Nashrani memanggil Isa .a.s. sebagai tuhan. Pemahaman ini sesuai
dengan konteks hadits riwayat Bukhari di atas, yaitu :

“Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya
aku ini seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya”. (H.R. Bukhari)

Pemahaman hadits ini telah dijelaskan pada penjelasan hadits ini di atas. Dengan demikian hadits
riwayat Ahmad tersebut tidak terjadi paradoks dengan hadits riwayat Muslim.

4. Rasulullah SAW telah mengajar bagaimana cara bershalawat kepada beliau dalam shalat dengan
tanpa perkataan sayyidina. Shalawat yang diajarkan Rasulullah SAW tersebut berbunyi :

ِ ‫ َو َعلَى‬، ‫اركْ َعلَى م َُح َّم ٍد‬


‫آل‬ ِ ‫ك َحمِي ٌد َم ِجي ٌد اللَّ ُه َّم َب‬ ِ ‫ َو َعلَى‬، ‫صلَّيْتَ َعلَى إِب َْراهِي َم‬
َ ‫آل إِب َْراهِي َم إِ َّن‬ َ ‫اللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ َو َعلَى‬، ‫ص ِّل َعلَى م َُح َّم ٍد‬
َ ‫آل م َُح َّم ٍد َك َما‬
‫ك َحمِي ٌد َم ِجيد‬ ِ ‫ َو َعلَى‬، ‫ار ْكتَ َعلَى إِب َْراهِي َم‬
َ ‫آل إِب َْراهِي َم إِ َّن‬ َ ‫م َُح َّم ٍد َك َما َب‬

(H.R. Bukhari)[17]

Dengan demikian, berarti tidak dibolehkan menambah-nambah zikir dalam shalat selain zikir yang
diajarkan Rasulullah SAW. Membaca sayyidina dalam shalat berarti menambah-nambah zikir dalam
shalat selain zikir yang diajarkan Rasulullah SAW. Maka perbuatan ini termasuk bid’ah yang tercela. Lagi
pula Rasulullah SAW pernah bersabda :

‫صلوا كما رأيتموني أصلي‬

Artinya : Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat

Jawab kita :

Menambah zikir dalam dalam shalat selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur dapat
dibenarkan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata :

،‫ ربنا ولك الحمد‬:‫ قال رجل وراءه‬.‫ سمع هللا لمن حمده‬:‫ قال‬،‫ فلما رفع رأسه من الركعة‬،‫كنا يوما نصلي وراء النبي صلى هللا عليه وسلم‬
‫ أيهم يكتبها أول‬،‫ رأيت بضعة وثالثين ملكا يبتدرونها‬:‫ قال‬،‫ أنا‬:‫ من المتكلم قال‬:‫ قال‬،‫ فلما انصرف‬.‫حمدا طيبا مباركا فيه‬.

Artinya : Dari Rifa’ah bin Raafi’ al-Zarqi, beliau berkata : “Pada suatu hari, kami shalat dibelakang Nabi
SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata : “Sami’allahu liman
hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban
mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-
laki itu menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang
berebutan pertama kali menulis amalnya”. (H.R. Bukhari) [18]
Dalam hadits di atas, seorang sahabat Nabi menambah sebuah zikir dalam i’tidalnya, padahal
belum ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW mengenai zikir tersebut. Bahkan Nabi SAW memujinya
setelah shalat. Ini menunjukkan bahwa boleh menambah zikir dalam shalat. Tentunya ini selama tidak
bertentangan dengan zikir yang ma’tsur. Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu Hajar al-Asqalany
mengatakan :

“ Dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada dalil)
zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur”.[19]

Berdasarkan pemahaman ini, maka dapat dipahami kenapa ada beberapa sahabat ada yang
melakukan penambahan zikir dalam shalat, seperti tindakan Ibnu Umar menambah perkataan “wa
barakatuhu” dan “wahdahu la syarika lahu” dalam tasyahud shalat sebagaimana pernyataan beliau
dalam hadits Abu Daud[20] yang kualiatas hadits tersebut adalah shahih.[21]

Mengenai hadits “Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat” di atas, lengkapnya hadits ini
adalah dari Abu Qilabah

‫هللا صلى هللا عليه‬ ِ ‫ان َرسُو ُل‬ َ ‫ُون َفأ َ َقمْ َنا عِ ْندَ هُ عِ ْش ِر‬
َ ‫ َو َك‬، ‫ين َي ْومًا َولَ ْيلَ ًة‬ ِ ‫ك أ َت ْي َنا إِلَى ال َّن ِبيِّ صلى هللا عليه وسلم َو َنحْ نُ َش َب َب ٌة ُم َت َق‬
َ ‫ارب‬ َ ٌ ِ‫َح َّد َث َنا َمال‬
‫ِيه ْم َو َعلِّمُو ُه ْم‬ ِ ‫ أَ ْو َق ِد ا ْش َت ْق َنا َسأَلَ َنا َعمَّنْ َت َر ْك َنا َبعْ دَ َنا َفأ َ ْخ َبرْ َناهُ َقا َل ارْ ِجعُوا إِلَى أَهْ لِي ُك ْم َفأَقِيمُوا ف‬، ‫وسلم َرحِيمًا َرفِي ًقا َفلَمَّا َظنَّ أَ َّنا َق ِد ا ْش َت َه ْي َنا أَهْ لَ َنا‬
‫صالَةُ َف ْلي َُؤ ِّذنْ لَ ُك ْم أَ َح ُد ُك ْم َو ْل َيؤُ َّم ُك ْم أَ ْك َب ُر ُك ْم‬
َّ ‫ت ال‬
ِ ‫ض َر‬َ ‫صلِّي َفإِ َذا َح‬ َ ُ‫صلُّوا َك َما َرأَ ْي ُتمُونِي أ‬ َ ‫ َو‬- ‫ظ َها‬ ُ ‫ أَ ْو الَ أَحْ َف‬، ‫ظ َها‬ ُ ‫ َو َذ َك َر أَ ْش َيا َء أَحْ َف‬- ‫َو ُمرُو ُه ْم‬

Artinya : Malik mengabarkan : Kami datang kepada Nabi SAW Dan tinggal bersamanya dua puluh hari
dan malam. Kami semua adalah anak-anak muda dengan umur yang hampir sama. Rasulullah SAW
ramah dan bersahabat dengan kami. Sewaktu beliau mengetahui kerinduan kami kepada keluarga-
keluaga kami, beliau bertanya kepada kami tentang orang yang kami tinggal (di rumah) dan kamipun
memberitahukannya. Lalu beliau berkata kepada kami, ”Pulanglah kepada keluarga-keluargamu dan
dirikanlah shalat bersama mereka, ajarkanlah mereka (agama) dan suruhlah mereka melakukkan hal-hal
yang baik”. Rasulullah SAW menyebutkan hal-hal lain yang telah aku (ingat) dan yang aku lupa. Nabi lalu
menambahkan: " Shalatlah sebagaimana melihatku shalat dan apabila waktu shalat telah datang, maka
hendaklah di antara kamu adzan dan orang yang tertua di antara kamu menjadi imam”. (H.R.
Bukahri22[22] dan Syafi’i)[23]

Sebagaimana dipahami dari teks hadits di atas, dapat dipahami bahwa sabda
Rasulullah SAW tersebut diucapkan dalam rangka memberi bekal pengetahuan kepada Malik dan
kawan-kawan yang sudah dua belas hari menetap bersama Rasulullah SAW, kemudian berkeinginan
pulang kepada keluarganya masing-masing. Untuk itu, Rasulullah SAW bersabda kepada mereka, ”
Shalatlah sebagaimana melihatku shalat”. Lalu sekarang muncul pertanyaan, Apakah
sabda Rasulullah SAW tersebut dapat mengharamkan perbuatan seseorang dalam shalatnya yang tidak
diketahui Rasulullah SAW pernah melakukannya ? Jawabannya adalah sebagai berikut :
a. Manthuq (diri lafadh) sabda Rasulullah SAW tersebut hanya menjelaskan bahwa perbuatan yang
dilakukan Rasulullah SAW dalam shalat beliau wajib diikuti. Jadi, tidak ada penjelasan dalam sabda
tersebut mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau, apakah haram,
makruh, mubah atau sunat melakukannya ?

b. Mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan) dari sabda Rasulullah SAW di atas, juga tidak dapat
menjawab mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau, apakah haram,
makruh, mubah atau sunat melakukannya ? Karena mafhum mukhalafah-nya adalah ”Kalau kamu tidak
pernah melihatnya sebagaimana aku shalat, maka aku tidak memerintah (wajib) melakukannya.” Tidak
memerintah dalam arti wajib ini, tentunya tidak berarti haram. Boleh jadi makruh, mubah dan bahkan
sunat. Dengan demikian, sabda Rasulullah SAW di atas tidak tepat digunakan sebagai dalil tidak boleh
menambah zikir dalam shalat seperti perkataan sayyidina dalam tasyahud.

5. Ada sebagian kaum muslimin yang berpendapat penambahan perkataan ”sayyidina” dalam tasyahud
shalat merupakan perbuatan bid’ah yang harus dijauhi, berargumentasi bahwa penambahan tersebut
bertentangan dengan perintah Rasulullah SAW yang mencukupkan penyebutan nama Muhammad tanpa
tambahan ”sayyidina” pada tata cara shalawat kepada beliau, sebagaimana disebut dalam hadits
riwayat Bukhari dan Ahmad di atas.

Jawab kita :

Seandainya (sekali lagi seandainya) kita memahami bahwa perintah dalam hadits tersebut
merupakan perintah bershalawat kepada Rasululllah SAW dengan tidak boleh menambah perkataan
”sayyidina”, maka perintah Rasulullah ini termasuk dalam katagori perintah yang bertentangan dengan
sikap adab kita kepada beliau sendiri. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat dalam
menyikapinya. Sebagian ulama berpendapat lebih baik mengikuti perintah, sedangkan sebagian lain
berpendapat lebih baik mengikuti adab.[24] Pendapat lebih baik mengikuti adab kita kepada Rasulullah
SAW lebih rajih dibandingkan pendapat lebih baik mengikuti perintah beliau. Amirulmukminin Abu
Bakar r.a. pernah pada suatu ketika sedang mengimami shalat manusia, tidak mengikuti perintah
Rasulullah SAW untuk tetap menjadi imam, bahkan beliau tetap mundur dari imam mempersilakan
Rasulullah SAW maju menjadi imam. Sikap Abu Bakar tetap mundur tidak mengikuti perintah Rasulullah
tersebut sebagai sikap adab beliau kepada Rasulullah SAW sebagaimana tercermin dalam hadits riwayat
Bukhari dan Muslim secara lengkap di bawah ini :

ُ‫صاَل ةُ َف َجا َء ْالم َُؤ ِّذن‬ َّ ‫ت ال‬ Nِ ‫ف لِيُصْ لِ َح َب ْي َن ُه ْم َف َحا َن‬ ِ ‫ب إِلَى َبنِي َع ْم ِرو ب‬
ٍ ‫ْن َع ْو‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َذ َه‬ َ ‫هللا‬ ِ ‫ْن َسعْ ٍد السَّاعِ دِيِّ أَنَّ َرسُو َل‬ ِ ‫َعنْ َسه ِْل ب‬
‫ص‬ َّ
َ ‫ص ِة فتخل‬ َ َ َ ‫اَل‬ َّ َّ
َّ ‫صلى هللاُ َعل ْي ِه َو َسل َم َوالناسُ فِي ال‬ َ َّ َ ‫هللا‬ َ
ِ ‫صلى أبُو َبك ٍر ف َجا َء َرسُو ُل‬ْ َ َّ َ َ َ َ
َ ‫ قا َل ف‬،‫ ن َع ْم‬:‫اس فأقِي ُم؟ قا َل‬ ُ َ َّ ِّ َ ‫ أت‬:‫إِلَى أَ ِبي َب ْك ٍر فقا َل‬
ُ َ َ َ
ِ ‫صلي ِبالن‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬ َ ‫هللا‬ِ ‫ َفلَمَّا أَ ْك َث َر ال َّناسُ ال َّتصْ فِيقَ ْال َتفَتَ َف َرأَى َرسُو َل‬،ِ‫صاَل ة‬ َّ ‫ِت فِي ال‬ ُ ‫ان أَبُو َب ْك ٍر اَل َي ْل َتف‬ َ ‫ص َّفقَ ال َّناسُ َو َك‬ َ ‫ َف‬، ِّ‫ف فِي الصَّف‬ َ ‫َح َّتى َو َق‬
‫صل ى‬ َّ َ ‫هللا‬ َ َ َّ ْ
ِ ‫ َف َر َف َع أبُو َبك ٍر َيدَ ْي ِه َف َح ِم َد هللاَ َعز َو َج َّل َعلى َما أ َم َرهُ ِب ِه َرسُو ُل‬،‫ك‬ َ ْ ُ َ َّ
َ ‫صلى هللاُ َعل ْي ِه َو َسل َم أ ِن ا ْمكث َم َكا َن‬ َ َّ َ ‫هللا‬ ِ ‫ار إِل ْي ِه َرسُو ُل‬ َ َ ‫َو َسلَّ َم َفأ َ َش‬
‫ « َيا أَ َبا‬:‫ف َف َقا َل‬ َ ‫ص َر‬ َ ‫ ُث َّم ا ْن‬،‫صلَّى‬ َ ُّ‫ َو َت َق َّد َم ال َّن ِبي‬، ِّ‫ ُث َّم اسْ َتأْ َخ َر أَبُو َب ْك ٍر َح َّتى اسْ َت َوى فِي الصَّف‬،‫هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم مِنْ َذل َِك‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َف‬
ِ ‫ َف َقا َل َرسُو ُل‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
‫هللا‬ َ ‫هللا‬ ِ ‫ُول‬ ِ ‫صلِّ َي َبي َْن َيدَيْ َرس‬ َ ‫ْن أَ ِبي قُ َحا َف َة أَنْ ُي‬ ِ ‫ان اِل ب‬ َ ‫ َما َك‬:‫ك» َقا َل أَبُو َب ْك ٍر‬ َ ‫ك أَنْ َت ْثبُتَ إِ ْذ أَ َمرْ ُت‬َ ‫َب ْك ٍر َما َم َن َع‬
ِّ َّ َّ َ ُ ْ َ َّ
‫ص ِت ِه َفل ُي َسبِّحْ َفإِن ُه إِذا َس َّب َح التفِتَ إِل ْي ِه َوإِن َما التصْ فِي ُح لِلن َسا ِء‬ ْ ‫اَل‬ َّ ُ َ ُ ُ َ
َ ‫ « َما لِي َرأ ْيتك ْم أكثرْ ت ُم التصْ فِيقَ ؟ َمنْ َنا َب ُه َشيْ ٌء فِي‬:‫»صلَّى هللاُ َعل ْي ِه َو َسل َم‬
َ ْ َّ َ َ
Artinya : Dari Sahal bin Sa'd As Sa'idi, bahwa suatu hari Rasulullah SAW pergi menemui Bani 'Amru bin
'Auf untuk menyelesaikan masalah di antara mereka. Kemudian tiba waktu shalat, lalu ada seorang
mu'adzin menemui Abu Bakar seraya berkata, "Apakah engkau mau memimpin shalat berjama'ah
sehingga aku bacakan iqamatnya?" Abu Bakar menjawab, "Ya." Maka Abu Bakar memimpin shalat. Tak
lama kemudian datang Rasulullah SAW, sedangkan orang-orang sedang melaksanakan shalat. Lalu beliau
bergabung dan masuk ke dalam shaf. Orang-orang kemudian memberi isyarat dengan bertepuk tangan,
namun Abu Bakar tidak bereaksi dan tetap meneruskan shalatnya. Ketika suara tepukan semakin
banyak, Abu Bakar berbalik dan ternyata dia melihat ada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW memberi
isyarat yang maksudnya: 'Tetaplah kamu pada posisimu'. Abu Bakar mengangkat kedua tangannya lalu
memuji Allah atas perintah Rasulullah SAW tersebut. Kemudian Abu Bakar mundur dan masuk dalam
barisan shaf lalu Rasulullah SAW maju dan melanjutkan shalat. Setelah shalat selesai, beliau bersabda:
"Wahai Abu Bakar, apa yang menghalangimu ketika aku perintahkan agar kamu tetap pada posisimu?"
Abu Bakar menjawab, "Tidaklah patut bagi anak Abu Qahafah untuk memimpin shalat di depan
Rasulullah". Maka Rasulullah SAW bersabda: "Mengapa kalian tadi banyak bertepuk tangan?.
Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih.
Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan untuk wanita."
(H.R. Muslim[25] dan Bukhari[26])

Berdasarkan pendapat yang rajih ini yang didasarkan kepada hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim
di atas, maka menambah “sayyidina” pada tasyahud shalat yang merupakan sikap adab kita kepada
Rasulullah SAW lebih utama dilakukan dibandingkan bershalawat kepada Rasulullah SAW tanpa
tambahan “sayyidina” yang merupakan perintah Rasulullah SAW. Penjelasan senada dengan ini pernah
dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitab beliau, al-Dur al-Manzhud[27]

[1]. Ibrahim Bujairumy, Hasyiah al-Bujairumy ‘ala al-Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal.
188

[2]. Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 178, No. Hadits : 3370
[3] .Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 244, No. Hadits : 18158

[4] Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 157

[5] Syarwani, Hawasyi ‘ala Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 86

[6] Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 181

[7] Ibnu Abidin, Hasyiah Rad al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 513

[8] Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 157

[9] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 59, No. Hadits : 6079

[10] Imam al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. XV, Hal. 37

[11] Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 308, No. Hadits 3148

[12] Ibnu Abidin, Hasyiah Rad al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 513

[13] Syarwani, Hawasyi ‘ala Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 86

[14]. Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 204, No. Hadits : 3445

[15] Badruddin al-‘Ainy al-Hanafi, ‘Umdah al-Qary Syarah Shahih al-Bukhary, Maktabah Syamilah, Juz.
XXIII, Hal. 441

[16] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 153, No. Hadits : 12573

[17] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 178, No. Hadits : 3370

[18] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. I, Hal. 159, No. Hadits 799

[19] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 287

[20] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 367, No. Hadits : 937

[21] Badruddin al-‘Ainy, Syarah Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 251

[22] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 162, No. Hadits : 631

[23] Syafi’i, Musnad al-Syafi’i, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 70, No. hadits : 235

[24] Ibnu Qasim al-‘Ubadi, Hasyiah al-‘Ubady ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, dicetak bersama Hasyiah Syarwani
‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 86

[25] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 316, No. Hadits : 421

[26] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 137, No. Hadits : 684
[27] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Dur al-Manzhud, Dar al-Minhaj, Hal. 133-134

Anda mungkin juga menyukai