Pertanyaan:
Jawaban:
Akan tetapi pada zaman ini, alangkah banyaknya orang yang tidak
mempedulikan syarat-syarat di atas. Maka, pertanyaan yang saudara ajukan ini
merupakan suatu langkah kepedulian terhadap Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Semoga Allah selalu memberi taufiq kepada kita di atas jalan
yang lurus.
ك َح ِم ْي ٌد َم ِج ْي ٌد اللَّ ُه َّم
َ آل ِإ ْب َرا ِه ْي َم ِإ َّن
ِ )ْت َع َلى (ِإ ْب َرا ِه ْي َم َو َعلىَ صلَّي ِ صلِّى َع َلى م َُح َّم ٍد َو َع َلى
َ آل م َُح َّم ٍد َك َما َ اللَّ ُه َّم
ك َ آل ِإ ْب َرا ِه ْي َم ِإ َّن
ِ )ت َعلَى (ِإ ْب َرا ِه ْي َم َو َعلَى َ ار ْك ِ اركْ ) َعلَى م َُح َّم ٍد َو َعلى
َ آل م َُح َّم ٍد َك َما َب ِ َو َب:اركْ (فِي ِر َوا َيـ ٍة ِ َب
َح ِم ْي ٌد َم ِج ْي ٌد
Yaitu shalawat yang datang dari hadits-hadits dha’if (lemah), sangat dha’if,
maudhu’ (palsu), atau tidak ada asalnya. Demikian juga shalawat yang dibuat-
buat (umumnya oleh Ahli Bid’ah), kemudian mereka tetapkan dengan nama
shalawat ini atau shalawat itu. Shalawat seperti ini banyak sekali jumlahnya,
bahkan sampai ratusan. Contohnya, berbagai shalawat yang ada dalam kitab
Dalailul Khairat Wa Syawariqul Anwar Fi Dzikrish Shalah ‘Ala Nabiyil Mukhtar,
karya Al-Jazuli (wafat th. 854 H). Di antara shalawat bid’ah ini ialah shalawat
Basyisyiyah, shalawat Nariyah, shalawat Fatih, dan lain-lain. Termasuk
musibah, bahwa sebagian shalawat bid’ah itu mengandung kesyirikan (Lihat
Mu’jamul Bida’, hal. 345-346, karya Syaikh Raid bin Shabri bin Abi ‘Ulfah;
Fadhlush Shalah ‘Alan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hal. 20-24, karya
Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad; Minhaj Al-Firqah An-najiyah, hal.
116-122, karya Syaikh Muhammad Jamil Zainu; Sifat Shalawat & Salam Kepada
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, hal. 72-73, karya Ustadz Abdul hakim bin
Amir Abdat).
a). Shalawat yang dibaca adalah shalawat yang disyariatkan, karena shalawat
termasuk dzikir, dan dzikir termasuk ibadah. Bukan shalawat bid’ah, karena
seluruh bid’ah adalah kesesatan.
c). Tidak menentukan jumlah, waktu, tempat, atau cara, yang tidak ditentukan
oleh syariat.
Seperti menentukan waktu sebelum beradzan, saat khatib Jumat duduk antara
dua khutbah, dan lain-lain.
Allah berfirman,
(dan dengan tidak mengeraskan suara), demikianlah, dzikir itu disukai tidak
dengan seruan yang keras berlebihan.” (Tafsir Ibnu Katsir).
Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan bahwa meninggikan
suara dalam berdzikir (adalah) terlarang.” (Tafsir Al-Qurthubi, 7/355).
Muhammad Ahmad Lauh berkata, “Di antara sifat-sifat dzikir dan shalawat
yang disyariatkan, yaitu tidak dengan keras, tidak mengganggu orang lain, atau
mengesankan bahwa (Dzat) yang dituju oleh orang yang berdzikir dengan
dzikirnya (berada di tempat) jauh, sehingga untuk sampainya membutuhkan
dengan mengeraskan suara.” (Taqdisul Asykhas Fi Fikrish Shufi, 1/276, karya
Muhammad Ahmad Lauh).
اس َ ف ال َّن َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأ ْش َر ِ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َخ ْي َب َر َأ ْو َقا َل لَمَّا َت َوجَّ َه َرسُو ُل
َ هللا َ هللاِ لَمَّا َغ َزا َرسُو ُل
صلَّى َعلَ ْي ِه َو َس لَّ َم ارْ َب ُع وا ِ َعلَى َوا َد َف َر َفعُوا اَصْ َوا َت ُه ْم ِبال َّت ْك ِبي ِْر هللاُ َأ ْك ْب ُر هللَا ُ َأ ْك َب ُر الَ ِإلَـ َه ِإالَّ هللاُ َف َقا َل َرسُو ُل
َ هللا
هللا
ِ ول ِ ف دَا َّب ِة َر ُس َ ص َّم َوالَ َغاِئبًا ِإ َّن ُك ْم َت ْدعُوا َسـ ِم ْيعًا َق ِر ْييًا َو ُه َو َم َع ُك ْم َوَأ َّنا َخ ْل
َ َُون ا َ َعلَى َأ ْنفُسِ ُك ْم ِإ َّن ُك ْم الَ الَ َت ْدع
َ ت لَ َّب ْي
ك َيا ُ ْس قُ ْل
ٍ هللا ب َْن َقيِ َهلل َف َق ا َل لِي َيـا َعبْد ِ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس لَّ َم َف َس م َِعنِي َوَأ َنا َأقُ و ُل الَ َح ْو َل َوالَ قُ َّو َة ِإالَّ ِبا َ
َك َأ َب ِـي َوُأمِّي َق ا َل ال َ هللا ف دَاَ َ ُ ْ ُ
ِ وز ال َجن ِة قلت َبلى َيا َر ُس و َل َّ ْ ُ ُ ْ َ
ِ ك َعلى كلِ َم ٍة مِنْ كن ٍز مِنْ كن َ َ ُّ َأ َ َأ َ
َ هللا قا َل ال ُدل ِ َرسُو َل
ُ
َح ْو َل َوالَ قوَّ َة ِإالَ ِباهلل
3. Membaca shalawat tidak boleh sambil diiringi rebana (alat musik), karena
hal ini termasuk bid’ah. Perbuatan ini mirip dengan kebiasaan yang sering
dilakukan oleh orang-orang Shufi. Mereka membaca qasidah-qasidah atau
sya’ir-sya’ir yang dinyanyikan dan diiringi dengna pukulan stik, rebana, atau
semacamnya. Mereka menyebutnya dengan istilah sama’ atau taghbiir.
Berikut ini di antara perkataan ulama Ahlus Sunnah yang mengingkari hal
tersebut.
Imam asy-Syafi’i berkata, “Di Iraq, aku meninggalkan sesuatu yang dinamakan
taghbiir (sejenis syair berisi anjuran untuk zuhud di dunia yang dinyanyikan
oleh orang-orang Shufi dan sebagian hadirin memukul-mukulkan kayu pada
bantal atau kulit sesuai dengan irama lagunya). (Yaitu) perkara baru yang
diada-adakan oleh Zanadiqah (orang-orang zindiq; menyimpang), mereka
menghalangi manusia dari Al-Quran.” (Riwayat Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis;
Al-Khalal dalam Amar Ma’ruf, hal. 36; dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 9/146.
Dinukil dari kitab Tahrim Alat ath-Tharb, hal. 163).
Imam Ahmad ditanya tentang taghbiir, beliau menjawab, “Bid’ah.” (Riwayat Al-
Khallal. Dinukil dari kitab Tahrim Alat ath-Tharb, hal. 163).
Imam ath-Thurthusi tokoh ulama Malikiyah dari kota Qurthubah (wafat 520 H);
beliau ditanya tentang sekelompok orang (yaitu orang-orang Shufi) di suatu
tempat yang membaca Al-Quran, lalu seseorang di antara mereka
menyanyikan syair, kemudian mereka menari dan beroyang. Mereka memukul
rebana dan meminkan seruling. Apakah menghadiri mereka itu halal atau
tidak? (Ditanya seperti itu) beliau menjawab, “Jalan orang-orang Shufi adalah
batil dan sesat. Islam itu hanyalah kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Adapun
menari dan pura-pura menampakkan cinta (kepada Allah), maka yang pertama
kali mengada-adakan adalah kawAn-kawan Samiri (pada zaman Nabi Musa).
Yaitu ketika Samiri membuatkan patung anak sapi yang bisa bersuara untuk
mereka, lalu mereka datang menari di sekitarnya dan berpura-pura
menampakkan cinta (kepada Allah). Tarian itu adalah agama orang-orang kafir
dan para penyembah anak sapi. Adapun majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para sahabatnya penuh ketenangan, seolah-olah di atas kepala
mereka dihinggapi burung. Maka, seharusnya penguasa dan wakil-wakilnya
melarang mereka menghadiri masjid-masjid dan lainnya (untuk menyanyi dan
menari -pen.) Dan bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
tidaklah halal menghadiri mereka. Tidak halal membantu mereka melakukan
kebatilan. Demikian ini jalan yang ditempuh (Imam) Malik, asy-Syafi’i, Abu
Hanifah, Ahmad dan lainnya dari kalangan imam-iumam kaum muslimin.”
(Dinukil dari kitab Tahrim Alat ath-Tharb, hlm. 168-169).
Artikel www.konsultasisyariah.com