Anda di halaman 1dari 23

BAB II

JAM’IYAH SHALAWATAN DAN PERILAKU SOSIAL KEAGAMAAN


REMAJA

A. Jam’iyah Shalawatan
1. Pengertian Shalawat
Shalawat berasal dari bahasa Arab, yang berarti sanjungan. Para ahli
epistimologi memberikan definisi shalawat sebagai penghormatan atau sanjungan
atas Nabi. Makna ini seperti yang dikatakan Imam Bukhori dalam kitab
Shahehnya pada bagian at-Tafsir menjelaskan, bahwa maksud shalawat dari Allah
itu adalah sanjungan Allah yang terdapat atasnya (Abu Ahmad Afifuddin,
2014:13).
Pendapat lain mengatakan, shalawat adalah bentuk jamak dari kata sholat
yang berarti doa, keberkahan, kemuliaan, kesejahteraan, dan ibadah. Arti
bershalawat dapat dilihat dari pelakunya (subjeknya). Jika shalawat itu datangnya
dari Allah SWT, berarti member rahmat kepada makhluknya. Sedangkan shalawat
dari orang-orang mukmin, berarti suatu doa agar Allah SWT member rahmat dan
kesejahteraan kepada Nabi Muhammad saw dan keluarganya. Selain itu shalawat
juga doa untuk diri sendiri, orang banyak, maupun kepentingan bersama. Adapun
shalawat sebagai ibadah adalah pernyataan hamba atas ketundukannya kepada
Allah SWT serta mengharapkan pahala dari-Nya, sebagaimana yang dijanjikan
Nabi Muhammad saw bahwa orang bershalawat kepadanya akan mendapat pahala
yang besar, baik shalawat itu dalam bentuk tulisan maupun lisan (ucapan)
(Bambang Irawan, 2007:65).
Imam Ja’far ash-Shidiq yang pendapatnya dikutip oleh Abu Ahmad
(2014:14) mendefinisikan bahwa shalawat dari Allah adalah rahmat, sedangkan
shalawat dari malaikat adalah penyucian, adapun shalawat dari manusia adalah
doa. Adapun hukum membaca shalawat atas Nabi Muhammad Saw adalah
sebagai berikut:

14
15

a. Wajib
1) Di dalam shalat yaitu ketika kita membaca tasyahud akhir, bacaan
shalawat atas Nabi Saw dan keluarganya hukumnya wajib menurut
kesepakatan para ulama.
2) Di dalam shalat jenazah, Qadhi Ahmad bin Husain Al-Ishfahaniy
dalam kitab Fathul Qaribil Mujib menjelaskan bahwa membaca
shalawat atas Nabi Saw, juga diwajibkan di dalam shalat jenazah
karena shalawat atas Nabi Saw ini termasuk dalam rukun shalat
jenazah.
b. Sunnah
Sedangkan membaca shalawat di luar urusan shalat menurut jumhur
ulama hukumnya adalah sunah mu’akad yaitu pekerjaan sunnah yang
sangat dianjurkan. Dalam keadaan berdoa, bacaan shalawat ini menjadi
salah satu syarat sah. Maksudnya, isi bacaan doa itu harus ada bacaan
shalawat atas Nabi baik yang dibaca di awal, di pertengahan, atau di
akhir bacaan tersebut. Jika tidak, maka doa tersebut tidak memenuhi
syarat sahnya dan tertahan di antara langit dan bumi serta tiada naik
barang sedikitpun.
Adapun shalawat yang disunnahkan untuk dibaca pada waktu dan
tempat-tempat tertentu sebagaimana telah dikemukakan oleh ustadz
Mahmud Samiy (2014:20) antara lain:
1) Sesudah menjawab adzan dan iqamat
2) Pada akhir membaca doa qunut
3) Pada pertengahan takbir shalat Id
4) Ketika mencium hajar aswad di dalam tawaf
5) Ketika membaca talbiyah
6) Sehabis berwudhu
7) Ketika menyembelih dan bersin
Ada beberapa sebab ummat Muslim bershalawat kepada Nabi
Muhammad Saw, di antaranya adalah:
16

a. Sebab Allah Swt sendiri telah meninggikan nama Nabi Muhammad


Saw di samping Asma-Nya.
b. Diutusnya Rasul sebagai rahmatan lil ‘aalamin (rahmat bagi semesta
alam)
c. Karena keagungan akhlak Rasulullah Saw yang dianugerahkan oleh
Allah Swt kepadanya.
2. Fungsi Shalawat
Qadhi Iyadh dalam kitab Asy-Syifa sebagaimana dikutip oleh ustad
Mahmud Samiy (2014:22) mengatakan bahwa maksud pembacaan shalawat
dalam pembukaan segala sesuatu itu adalah:
a. Bertabaruk (memohon berkah), sesuai dengan sabda Rasulullah Saw
yang diriwayatkan oleh Rahawi yang artinya “setiap perbuatan penting
yang tidak dimulai dengan menyebut Nama Allah dan bershalawat
kepadaku niscaya kurang sempurna”. Dan Firman Allah dalam QS. Al-
Insyirah ayat 4 yang berbunyi:

   

Artinya “dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama) mu” (Muhammad


Shohib, 2010:596).
Demikian pula sahabat Abu Salad Ra, menjelaskan bahwa makna ayat di
atas adalah “Tidaklah Aku (Allah) disebut, melainkan engkau
(Muhammad) pun disebut pula bersama-Ku.”
b. Memenuhi sebagian hak Rasulullah Saw, sebab beliau adalah perantara
antara Allah Swt dengan hamba-hamba-Nya. Semua nikmat yang
diterima oleh mereka termasuk nikmat terbesar berupa hidayah Islam
yaitu dengan perantara dan melalui Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits
Nabi Saw bersabda, ”Belumlah bersyukur kepada Allah orang-orang
yang tidak berterima kasih kepada manusia”.
c. Memenuhi perintah Allah Swt, yang dituangkan di dalam Al-Quranul
Karim surat Al-Ahzab ayat 56. Yang berbunyi:
17

               

Artinya: Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat


untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk
Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (Muhammad
Shohib, 2010:426).
Selain fungsi shalawat, terdapat juga sejumlah hadist Nabi saw yang
mengemukakan tempat dan waktu yang dianjurkan bagi kita supaya membaca
shalawat, salah satunya yaitu ketika sedang mengadakan majelis. Sabda
Rasulullah saw:

َ ‫صلُّ ْوا َع‬


‫ فَا َِّن شَا َء َعذَبَهُ ْم‬,ٌ‫لى نَبِيِ ِه ْم اِالَّ َكانَ تِ َرة‬ َ ُ ‫الى فِي ِه َولَم ي‬
َ َ‫لَم يَذْكُ ُروهللااَ تَع‬,‫س قَ ْومٌ َم ْج ِل ًسا‬
َ َ‫اجل‬
َ ‫َم‬
)‫َوا ِْن شَا َء َغفَ َرلَهُ ْم (رواه الترمذى وأبوداود‬
Artinya “Tiadalah duduk suatu kaum dalam suatu majelis, sedang
mereka tidak menyebut (mengingat) Allah Ta’ala dan tiada bershalawat
untuk Nabi mereka, melainkan ia akan menderita kekurangan. Maka,
jika Allah menghendaki, Allah akan menyiksa mereka dan jika Allah
menghendaki, niscaya akan mengampuni mereka (Bambang Irawan,
2007:76).
3. Keutamaan dan Manfa’at Shalawat
Nabi Muhammad Saw adalah pemimpin Islam hingga akhir zaman. Jadi,
memberikan shalawat kepadanya berarti memuliakannya sebagai symbol
pemersatu yang telah membangkitkan jiwa umatnya untuk hidup secara terhormat.
Shalawat merupakan amal perbuatan yang paling dirahmati, dimuliakan,
berfaedah dalam agama dan kehidupan dunia, serta mendatangkan pahala yang
didambakan. Semua pahala tadi bagi orang-orang yang cerdas dan ingin mencapai
amal akan menjadi perbendaharaan bagi mereka dan menuai harapan yang paling
tinggi (Bambang Irawan:2007:96).
Adapun di antara keutamaan dan keistimewaan shalawat, menurut Abu
Ahmad (2014:24) adalah sebagai berikut:
18

a. Shalawat dapat mendekatkan seorang hamba ke pada Tuhannya,


malaikat-Nya, dan pada rahmat Tuhannya.
b. Akan membalas satu bacaan shalawat dengan sepuluh kali pahalanya
c. Shalawat Nabi Saw dapat menutupi kesalahan yang telah diperbuat
dan dapat mengangkat derajat orang yang membacanya.
d. Shalawat juga dapat menjadi sebab penutup kebutuhan dunia dan
akhirat.
e. Shalawat dapat menjadi sebab diampuninya dosa.
f. Dibedakan derajatnya dari orang munafik.
g. Mendapat cahaya petunjuk lahir dan batin di hari kiamat
h. Akan selamat dari lalapan api neraka.
i. Ada jaminan masuk surga dan kenikmatannya.
j. Mendapat syafa’at di hari kiamat.
4. Indikator Kegiatan Jam’iyah Shalawatan
Kemampuan merupakan penguasaan materi yang disampaikan sehingga
dapat sesuai dengan materi tersebut. Kata “penguasaan” mengarah pada pekerjaan
menguasai dan objek yang dikuasai. Jadi jika penguasaan yang dimaksud merujuk
pada “perilaku” maka pekerjaan yang berkaitan dengan penguasaan itu setidaknya
adalah kemampauan memahami dan mengaplikasikan. Dengan begitu dua hal ini
menjadi tolak ukur dan indikator apakah remaja mempunyai kemampuan dalam
berperilaku baik atau tidak.
Seorang psikolog sosial terkenal, Herbert C. Kelman yang dikutip oleh
Abu Ahmad (2014:39) menyebutkan bahwa, ada tiga macam pengaruh dari
seseorang kepada orang lain yaitu mengikuti (internalisasi), ketundukan
(compliance), dan membentuk jati diri (indentifikasi diri).
Diambil dari pendapat di atas, bahwa indikator kegiatan jam’iyah
shalawatan diantaranya:
a. Mampu mengikuti kegiatan jam’iyah shalawatan
Hal ini mempunyai pengaruh yang lebih dalam. Ada orang mengikuti
kita karena dia yakin kita benar. Pasien yang mengikuti dokternya,
mahasiswa yang melaksanakan instruksi dosennya, santri mengamalkan
19

wirid dari kiainya, adalah contoh internalisasi. Mengapa mereka


mengikuti kegiatan tersebut? Karena kegiatan itu mempunyai pengaruh
terhadap psikologis dan spiritual.
b. Dapat mematuhi segala sesuatu yang diperintahkan oleh agama
Hal ini mempunyai pengaruh yang paling dangkal. Orang lain takut
kepada kita karena khawatir kehilangan sesuatu yang sangat
menguntungkan atau mengundang sesuatu yang merugikan. Ada orang
patuh pada aturan agama karena takut pada neraka. Jadi, mengapa dia
patuh? Karena takut pada sesuatu yang merugi.
c. Dapat membentuk jati diri (peribadi Muslim) yang baik
Dalam indentifikasi diri, setiap orang berusaha untuk “to be like or
actually to be the other person”, artinya ingin seperti atau betul-betul
menjadi orang lain itu. Anak meniru orang tuanya, murid mencontoh
perilaku gurunya adalah contoh-contoh dari indentifikasi. Bagaimana
indentifikasi terjadi? Karena cinta yang mendalam.
Inilah makna ucapan Nabi Saw ”Anta ma’a man ahbabta” kita akan
selalu dengan orang yang kita cintai, secara psikologis dan spiritual.
B. Perilaku Sosial Keagamaan Remaja Usia 13-18 Tahun
Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri
seseorang yang mendorong sisi orang untuk bertingkah laku yang berkaitan
dengan agama. Sikap keagamaan terbentuk karena adanya konsistensi antara
kepercayaan terhadap agama sebagai komponen kognitif, perasaan terhadap
agama sebagai komponen afektif dan perilaku terhadap agama sebagai komponen
kognatif. Di dalam sikap keagamaan antara komponen kognitif, afektif, dan
kognatif saling berintegrasi sesamanya secara komplek (Ramayulis, 2002:96).
Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari
bahasa latin yaitu adolescere yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk mencapai
kematangan. Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesungguhnya
memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan
fisik. Pandangan ini didukung oleh Piaget yang mengatakan bahwa, secara
psikologis remaja adalah suatu usia di mana individu menjadi terintegrasi ke
20

dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak merasa bahwa dirinya di
bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak
sejajar. Yang paling ditekankan di sini adalah bahwa fase remaja merupakan fase
perkembangan yang tengah berada pada masa amat potensial, baik dilihat dari
aspek kognitif, emosi, maupun fisik (M. Ali dan M. Asrori, 2008:9). Karena masa
remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari
lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi
suatu periode yang sangat penting dalam pembentukan nilai (Horrocks, 1976; Adi,
1986; Monks, 1989; dalam Moh. Ali dan Moh. Asrori, 2008:145).
Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak
berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik yang cepat. Pertumbuhan cepat yang
terjadi pada tubuh remaja luar dan dalam itu, membawa akibat yang tidak sedikit
terhadap sikap, perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja (Zakiah Daradjat,
1995:8). Sementara itu pakar kejiwaan berpendapat bahwa masa remaja adalah
masa goncang, yang terkenal dengan berkecamuknya perubahan-perubahan
emosional yang disebabkan oleh perubahan hormon seks dan perkembangan
emosi (1995:33).
Masa remaja menurut Mappiare (1982), berlangsung antara umur 12
tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun
bagi laki-laki. Rentang usia remaja ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia
12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 tahun
sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir (Mohammad Ali dan Mohammad
Asrori, 2008:9).
Dalam Islam tidak ada istilah remaja, yang ada hanya istilah baligh yang
dikaitkan dengan mimpi basah, menstruasi, menginjak umur 9 dan 15 tahun dan
lain sebagainya. Kata baligh dalam istilah hukum Islam digunakan untuk
penentuan umur awal kewajiban dalam melaksanakan ajaran Islam dalam
kehidupan sehari-hari. Atau dengan kata lain mereka yang telah baligh dan
berakal, berlakulah seluruh ketentuan hukum Islam terhadap diri mereka
(1995:11). Tampaknya masa remaja yang mengantarkan masa kanak-kanak dan
dewasa, tidak terdapat dalam Islam. Dalam Islam seorang manusia bila telah akil
21

baligh, telah bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Jika ia berbuat baik
akan mendapat pahala, dan bila melakukan perbuatan tidak baik akan mendapat
dosa.
1. Karakter Remaja
Dapat dikatakan bahwa perilaku remaja tidak stabil, keadaan emosinya
goncang, mudah condong kepada ekstrim, sering terdorong, bersemangat, peka,
mudah tersinggung, pemikiran dan perhatiannya terpusat pada dirinya. Perhatian
kepada diri dan penampilannya berlebihan, ia berusaha untuk menarik perhatian
orang lain, seperti berpakaian secara mencolok, memilih warna yang tajam dan
penampilan yang “wah” tampak jelas. Kadang-kadang remaja berkelakuan yang
menimbulkan tertawaan orang lain atau melakukan hal-hal hebat yang
menimbulkan kekaguman dan perhatian orang kepadanya (Zakiyah Daradjat,
1995:35).
Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan dengan
nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya tata nilai dan
mengembangkan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman,
pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk menumbuhkan
identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang (Sarwono, 1989 dalam
Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2008:145). Selain itu, karakteristik yang
berkaitan dengan perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan
tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional
formal, yaitu mulai mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-
masalah yang bersifat hipotesis maka pemikiran remaja terhadap suatu
permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi juga
pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka (Gunarsa, 1988 dalam
2008:145).
Tingkat perkembangan fisik dan psikis yang dicapai remaja berpengaruh
pada perubahan sikap dan perilakunya. Perubahan sikap yang cukup mencolok
dan ditempatkan sebagi salah satu karakter remaja adalah sikap menentang nilai-
nilai dasar hidup orang tua dan orang dewasa lainnya (Gunarsa, 1988 dalam
22

2008:146). Gejala sikap menentang pada remaja hanya bersifat sementara dan
akan berubah serta berkembang kearah moralitas yang lebih matang dan mandiri.
Menurut Moh. Ali dan Moh. Asrori (2008:91) ada sejumlah karakteristik
menonjol dari perkembangan sosial remaja, yaitu sebagai berikut:
a. Berkembangnya kesadaran akan kesunyian dan dorongan akan pergaulan
Masa remaja bisa disebut sebagai masa sosial karena sepanjang masa
remaja hubungan sosial semakin tampak jelas dan sangat dominan.
Kesadaran akan kesunyian menyebabkan remaja berusaha mencari
kompensasi dengan mencari hubungan dengan orang lain atau berusaha
mencari pergaulan. Penghayatan kesadaran akan kesunyian yang
mendalam dari remaja merupakan dorongan pergaulan untuk menemukan
pernyataan diri akan kemampuan kemandiriannya.
b. Adanya upaya memilih nilai-nilai sosial
Ada dua kemungkinan yang ditempuh oleh remaja ketika berhadapan
dengan nilai-nilai sosial tertentu, yaitu menyesuaikan diri dengan nilai-
nilai tersebut atau tetap pada pendirian dengan segala akibatnya. Ini
berarti bahwa reaksi terhadap keadaan tertentu akan berlangsung menurut
norma-norma tertentu pula.
c. Meningkatnya ketertarikan pada lawan jenis
Remaja sangat sadar akan dirinya tentang bagaimana pandangan lawan
jenis mengenai dirinya. Dalam konteks ini, Kublen (Simanjuntak dan
Pasaribu, 1984:153) yang dikutip oleh Ali dan Asrori, menegaskan
bahwa the social interest of adolescent are essentially sex social interest.
Oleh sebab itu, masa remaja sering kali disebut masa biseksual.
Meskipun kesadaran akan lawan jenis ini berhubungan dengan
perkembangan jasmani, tetapi sesungguhnya yang berkembang secara
dominan bukanlah kesadaran jasmani yang berlainan, melainkan
tumbuhnya ketertarikan terhadap lawan jenisnya.
d. Mulai cenderung memilih karir tertentu
Karakteristik berikutnya sebagaimana yang dikatakan oleh Kuhlen bahwa
ketika sudah memasuki masa remaja akhir, mulai tampak kecenderungan
23

mereka untuk memilih karir tertentu meskipun dalam pemilihan karir


tersebut masih mengalami kesulitan. Ini wajar karena pada orang
dewasapun kerap kali masih terjadi perubahan orientasi karir dan kembali
berusaha menyesuaikan diri dengan karir barunya.
Adapun mengenai perkembangan psikologi keagamaan remaja itu sukar
untuk menentukan secara pasti. Sebab, remaja telah melalui proses pembinaan diri
dalam waktu yang cukup lama, sejak lahir sampai remaja. Waktu dan kondisi
serta berbagai peristiwa yang dilaluinya telah banyak membawa hasil dalam
berbagai bentuk sikap dan modal kelakuan. Dapat dibayangkan betapa variatifnya
sikap dan kelakuan itu karena masing-masing telah terbina dalam berbagai kondisi
dan situasi keluarga, sekolah, dan lingkungan yang berlainan satu sama lain
(Bambang Syamsul Arifin, 2008:65).
Namun demikian, menurut Zakiah (1970:122), yang dikutip oleh
Bambang dalam buku Psikologi Agama, masih ada beberapa patokan umum yang
menjadi ciri yang dialami oleh remaja dalam perkembangan jiwa keagamaannya,
antara lain yaitu:
a. Pertumbuhan jasmani secara cepat telah selesai
b. Pertumbuhan kecerdasan hampir selesai
c. Pertumbuhan pribadi belum selesai
d. Pertumbuhan jiwa sosial masih berjalan
e. Keadaan jiwa agama yang tidak stabil
Senada dengan ungkapan Zakiah di atas, W. Starbuck yang dikutip oleh
Jalaluddin (1997) dalam buku Psikologi Agama, juga menyatakan bahwa
perkembangan jasmani dan rohani yang terjadi pada para remaja turut mem-
pengaruhi perkembangan agamanya. Dengan pengertian bahwa penghayatan para
remaja terhadap ajaran agama Islam dan tindakan keagamaan yang tampak pada
para remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut. Adapun
perkembangan agama pada para remaja yang ditandai oleh beberapa faktor
perkembangan rohani dan jasmaninya. Menurut W. Starbuck perkembangan itu
antara lain:
24

a. Pertumbuhan pikiran dan mental


Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa
kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis
terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama merekapun
sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-
norma kehidupan lainnya.
b. Perkembangan perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial,
etis, dan estesis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan
yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung
mendorong dirinya lebih dekat kearah hidup yang religius pula.
Sebaliknya bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman
ajaran agama akan lebih mudah didominasi tindakan yang negatif.
c. Pertimbangan sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan
sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara
pertimbangan moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan
pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan
akan materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap
materialis.
d. Perkembangan moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan
usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada para
remaja juga mencakupi:
1) Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan
pertimbangan pribadi.
2) Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3) Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan
agama.
4) Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.
25

5) Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral


masyarakat.
e. Sikap dan minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan
sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta
lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).
Dari situlah lingkungan keagamaan sangat mempengaruhi pandangan dan
sikap remaja terhadap ajaran agama itu sendiri (Jalaluddin, 1997:72).
Selain itu, ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan
psikologi keagamaan yaitu pengaruh yang bersumber dari dalam diri seseorang
maupun bersumber dari faktor luar (Bambang Syamsul Arifin, 2008:78-85).
a. Faktor intern
1) Faktor hereditas
Faktor ini menjelaskan bahwa pada diri manusia terdapat sifat turunan
dari orang tuanya, baik dari unsur kognitif, afektif, dan konatif.
2) Tingkat usia
Tingkat usia merupakan salah satu faktor penentu dalam
perkembangan jiwa keagamaan seseorang. Kenyataannya dapat dilihat
dari adanya perbedaan pemahaman agama pada tingkat usia yang
berbeda.
3) Kepribadian
Kepribadian sering disebut sebagai identitas (jati diri) seseorang yang
sedikit banyak menampilkan ciri-ciri pembeda dari individu lain di
luar dirinya. Dalam kondisi normal, memang secara individu manusia
memiliki perbedaan dalam kepribadian, dan perbedaan ini
diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan terhadap aspek-
aspek kejiwaan termasuk jiwa keagamaan.
4) Kondisi kejiwaan
Banyak jenis perilaku abnormal yang bersumber dari kondisi kejiwaan
yang tidak wajar, tetapi yang penting untuk dicermati adalah
hubungannya dengan perkembangan jiwa keagamaan. Sebab,
26

bagaimanapun seorang yang mengidap shizoprenia akan mengisolasi


diri dari kehidupan sosial serta persepsinya tentang agama akan
dipenga-ruhi oleh berbagai halusinasi. Demikian pula pengidap phobia
akan dicekam oleh perasaan takut yang irasional, sedangkan penderita
infantile autisme akan berperilaku seperti anak-anak dibawah usia
sepuluh tahun.
b. Faktor ekstern
1) Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam
kehidupan manusia. Bagi anak-anak, keluarga merupakan lingkungan
sosial pertama yang dikenalnya. Dengan demikian, kehidupan
keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukan, dan dinilai
sebagai faktor yang paling dominan dalam meletakkan dasar jiwa
keagamaannya.
Pengaruh orang tua terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak
dalam pandangan Islam sudah lama disadari. Oleh sebab itu, sebagai
intervensi terhadap perkembangan jiwa keagamaan tersebut, kedua
orang tua diberi beban tanggung jawab untuk membimbingnya.
2) Lingkungan institusional
Lingkungan institusional yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa
keagamaan dapat berupa institusi formal seperti sekolah ataupun yang
non formal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi.
Melalui kurikulum yang berisi materi pengajaran, sikap dan
keteladanan guru sebagai pendidik serta pergaulan antar teman di
sekolah berperan dalam menanamkan kebiasaan yang baik.
Pembiasaan yang baik merupakan bagian dari pembentukan moral
yang erat kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan seseorang.
3) Lingkungan masyarakat
Dapat dikatakan bahwa anak setelah menginjak usia sekolah, sebagian
besar waktu jaganya dihabiskan di sekolah dan masyarakat. Berbeda
dengan situasi di rumah dan sekolah, umumnya pergaulan di
27

masyarakat kurang menekan pada disiplin atau aturan yang harus


dipatuhi secara ketat. Lingkungan masyarakat bukan merupakan
lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan
hanya merupakan unsur pengaruh belaka, tetapi norma dan tata nilai
yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan terkadang
pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik
dalam bentuk positif maupun negatif. Misalnya, lingkungan
masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan
berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keagamaan anak, sebab
kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai dan institusi
keagamaan.
2. Perilaku Sosial Keagamaan
Sebelum membahas perilaku, terlebih dulu kita harus mengetahui sesuatu
yang berhubungan dengan perilaku itu sendiri. Banyak kata-kata yang
disandarkan dengan perilaku seperti etika, moral, dan akhlak, akan tetapi
mempunyai perbedaan dalam pemakaian sehari-hari.
Etika menurut etimologi berasal dari kata Yunani yaitu “ethos” yang
berarti watak kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan moral yang berasal
dari kata latin yaitu “mos” yang dalam bentuk jamaknya “mores” yang berarti
juga adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam
pemakaiannya sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai
untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian
system nilai-nilai yang ada. Moral berarti akhlak sedangkan etika berarti ilmu
akhlak. Dari definisi tersebut, Lilie menggolongkan etika sebagai ilmu
pengetahuan normatif yang bertugas memberikan pertimbangan perilaku manusia
dalam masyarakat apakah baik atau buruk, benar atau salah (Achmad Charris
Zubair, 1995:13).
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku sama dengan
moral dan akhlak, dan ilmu yang bertugas untuk mencari ukuran baik-buruknya
tindakan manusia yaitu etika. Perilaku merupakan perbuatan atau tindakan dan
perkataan seseorang yang sifatnya dapat diamati, digambarkan dan dicatat oleh
28

orang lain ataupun orang yang melakukannya, sedangkan sosial yaitu keadaan
dimana terdapat kehadiran orang lain. Perilaku itu ditunjukkan dengan perasaan,
tindakan, sikap keyakinan, kenangan, atau rasa hormat terhadap ornag lain. Dari
uraian tersebut dapat diartikan juga bahwa manusia sebagai pelaku dari perilaku
sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Artinya manusia memiliki
kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaaan untuk berkomunikasi dan
berinteraksi dengan manusia lainnya.
Perilaku sosial adalah suasana saling ketergantungan yang merupakan
keharusan untuk menjamin keberadaan manusia (Rusli Ibrahim, 2001:17).
Sebagai bukti bahwa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, ia tidak
dapat melakukannya sendiri melainkan memerlukan bantuan dari orang lain. Ada
ikatan saling ketergantungan diantara satu orang dengan yang lainnya. Artinya
bahwa kelangsungan hidup menusia berlangsung dalam suasana saling
mendukung dalam kebersamaan. Untuk itu manusia dituntut mampu bekerja
sama, saling menghormati, tidak mengganggu hak orang lain, toleran dalam hidup
bermasyarakat.
Agama adalah sistem keyakinan atau kepercayaan manusia terhadap
sesuatu zat yang dianggap Tuhan (Abdullah Ali, 2005:109). Secara etimologi
istilah agama banyak dikemukakan dalam berbagai bahasa, antara lain religion
(Inggris), religie (Belanda), religio (Yunani), ad-din, syari’at, hisab (Arab-Islam),
atau dharma (Hindu).
Menurut Louis Ma’luf dalam Al-Munawar (231) yang dikutip oleh
Abdullah Ali, pengertian agama dalam Islam secara spesifik berasal dari kata ad-
Dien jama’ dari al-Adiyan yang mengandung arti al-Jazaa wal Mukaafah, al-
Qodlo, al-Malikul Mulk, as-Sulthon, at-Tadbiir, al-Hisab. Menurut Moenawar
Cholil (1970) yang dikutip oleh Abdullah Ali (2005:110), menafsirkan kata ad-
Dien sebagai masdar dari kata”‫ يديت‬- ‫ ”دان‬yang mempunyai banyak arti, antara lain:
cara atau adat kebiasaan, peraturan, undang-undang, taat dan patuh, meng-Esakan
Tuhan, pembalasan, perhitungan, hari kiamat, nasihat, dan Agama.
Dari pengertian yang khas itu, makna ad-Dien dalam Islam
sesungguhnya tidak cukup diartikan hanya sekedar kepercayaan yang mengatur
29

hubungan antara manusia dengan Zat Maha Pencipta. Lebih dari itu, agama Islam
juga merupakan seperangkat norma dan nilai yang mengatur hubungan antara
umat manusia dengan sesama, bahkan dengan lingkungan alam sekitar beserta
penghuninya. Secara sosiologis, agama yang mengandung kepercayaan dengan
berbagai praktek pengalaman ibadahnya dalam kehidupan masyarakat adalah
masalah sosial.
Berdasarkan ungkapan di atas, maka dapat dianalisis bahwa yang
dimaksud dengan perilaku sosial keagamaan adalah suatu tindakan yang
dilaksanakan oleh seseorang atau kelompok untuk terlibat dalam kehidupan sosial
keagamaan.
Pembentukan perilaku sosial seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor
baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Pada aspek eksternal
situasi sosial memegang peranan yang cukup penting. Situasi sosial diartikan
sebagai tiap-tiap situasi di mana terdapat saling hubungan antara manusia yang
satu dengan yang lain (W.A. Gerungan,1978:77).
Sarlito Wirawan Sarwono mengemukakan dalam bukunya, bahwa proses
pembentukan perilaku melalui empat macam cara yakni adopsi, diferensial,
integrasi, dan trauma. Adopsi merupakan peristiwa yang terjadi secara berulang-
ulang dan terus menerus, lama kelamaan secara bertahap diserap ke dalam
individu dan mempengaruhi terbentuknya sikap. Diferensial berkaitan erat dengan
intelegensi terjadi secara bertahap bermula dari pengalaman yang tiba-tiba
mengejutkan sehingga menimbulkan kesan mendalam jiwa seseorang yang
bersangkutan. Integrasi menggabungkan antara pengalaman satu dengan lainnya
yang akan dijadikan sebuah pelajaran. Trauma merupakan peristiwa yang terjadi
akibat kesan buruk atau pahit yang mengakibatkan cedera pada jiwa seseorang
(Sarlito Wirawan, 1982:105).
Sedangkan menurut Bimo dalam membentuk perilaku dapat dilakukan
melalui tiga cara yakni, pembentukan perilaku dengan kondisioning atau
kebiasaan, pembentukan perilaku dengan pengertian atau insight, pembentukan
perilaku dengan menggunakan model. Perilaku manusia sebagian terbesar ialah
berupa perilaku yang dibentuk, perilaku yang dipelajari. Berkaitan dengan hal
30

tersebut Bimo menjelaskan cara-cara membentuk perilaku sesuai dengan yang


diharapkan antara lain (Bimo Walgito, 2007:18):
a. Cara pembentukan perilaku dengan kondisioning atau kebiasaan
Salah satu cara pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan
kondisioning atau kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk
berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku
tersebut. Misal dibiasakan bangun pagi, atau menggosok gigi sebelum
tidur, mengucapkan terima kasih bila diberi sesuatu oleh orang lain,
membiasakan diri untuk datang tidak terlambat di kantor dan sebagainya.
Cara ini didasarkan atas teori belajar kondisioning baik yang
dikemukakan oleh Pavlov maupun oleh Thorndike dan Skinner.
b. Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight)
Di samping pembentukan perilaku dengan kondisionng atau kebiasaan,
pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan pengertian atau insight.
Misal datang kuliah jangan sampai terlambat, karena hal tersebut dapat
mengganggu teman-teman yang lain. Bila naik motor harus pakai helm,
karena helm tersebut untuk keamanan diri, dan masih banyak contoh
untuk menggambarkan hal tersebut. Cara ini berdasarkan atas teori
belajar kognitif, yaitu belajar dengan disertai pengertian.
c. Pembentukan perilaku dengan menggunakan model
Pembentukan perilaku masih dapat ditempuh dengan menggunakan
model atau contoh. Kalau orang bicara bahwa orang tua sebagai contoh
anak-anaknya, pemimpin sebagai panutan yang dipimpinnya, hal tersebut
menunjukan perilaku dengan menggunakan model. Cara ini didasarkan
atas teori belajar sosial (social learning theory) atau observational
learning theory yang dikemukakan oleh Bandura.
Adapun bentuk dan jenis perilaku sosial seseorang dapat pula
ditunjukkan oleh sikap sosialnya. Sikap menurut Akyas Azhari (2004:161) adalah
“suatu cara bereaksi terhadap suatu perangsang tertentu. Sedangkan sikap sosial
dinyatakan oleh cara-cara kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap objek
sosial yang menyebabkan terjadinya cara-cara tingkah laku yang dinyatakan
31

berulang-ulang terhadap salah satu obyek sosial. Berbagai bentuk dan jenis
perilaku sosial seseorang pada dasarnya merupakan karakter atau ciri kepribadian
yang dapat teramati ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Seperti
dalam kehidupan berkelompok, kecenderungan perilaku sosial seseorang yang
menjadi anggota kelompok akan terlihat jelas di antara anggota kelompok lainnya.
Masih menurut Akyas Azhari (2004:161) perilaku sosial dapat dilihat
melalui sifat-sifat dan pola respon antar pribadi, yaitu kecenderungan perilaku
peran yang meliputi :
a. Sifat pemberani dan pengecut secara sosial
Orang yang memiliki sifat pemberani secara sosial, biasanya dia suka
mempertahankan dan membela haknya, tidak malu-malu atau segan
melakukan suatu perbuatan yang sesuai norma di masyarakat dalam
mengedepankan kepentingan diri sendiri sekuat tenaga. Sedangkan sifat
pengecut menunjukan perilaku atau keadaan sebaliknya, seperti kurang
suka mempertahankan haknya, malu dan segan berbuat untuk menge-
depankan kepentingannya.
b. Sifat berkuasa dan sifat patuh
Orang yang memiliki sifat sok berkuasa dalam perilkau sosial biasanya
ditunjukan oleh perilaku seperti bertindak tegas, berorientasi kepada
kekuatan, percaya diri, berkemauan keras, suka member perintah dan
memimpin langsung. Sedangkan sifat yang patuh atau penyerah
menunjukan perilaku sosial yang sebaliknya, misalnya kurang tegas
dalam bertindak, tidak suka member perintah dan tidak berorientasi
kepada kekuatan dan kekerasaan.
c. Sifat inisiatif secara sosial dan pasif
Orang yang memiliki sifat inisiatif biasanya suka mengorganisasi
kelompok, tidak suka mempersoalkan latar belakang, suka member
masukan atau saran-saran dalam berbagai pertemuan, dan biasanya suka
mengambil alih kepemimpinan. Sedangkan sifat orang yang pasif secara
sosial ditunjukan oleh perilaku yang bertentangan dengan sifat orang
32

yang aktif, misalnya perilakunya yang dominan diam, kurang berinisiatif,


tidak suka memeberi saran atau masukan.
d. Sifat mandiri dan tergantung
Orang yang memiliki sifat mandiri biasanya membuat segala sesuataunya
dilakukan oleh dirinya sendiri, seperti membuat rencana sendiri,
melakukan sesuatu dengan cara-cara sendiri, tidak suka berusaha mencari
nasihat atau dukungan dari orang lain, dan secara emosional cukup stabil.
Sedangkan sifat orang yang ketergantungan cenderung menunjukan
perilaku sosial sebaliknya dari sifat orang mandiri, misalnya membuat
rencana dan melakukan segala sesuatu harus selalu mendapat saran dan
dukungan orang lain, dan keadaan emosionalnya relative labil.
Menurut Skinner (1976) yang dikutip oleh Bimo Walgito (2007:17),
membedakan perilaku menjadi:
a. Perilaku yang alami (innate behavior) yakni perilaku yang dibawa sejak
organisme dilahirkan, yaitu yang berupa refleks-refleks dan insting-
insting; sedangkan,
b. Perilaku operan (operant behavior) yakni perilaku yang dibentuk melalui
proses belajar.
Perilaku yang refleksif merupakan perilaku yang terjadi sebagai reaksi
secara spontan terhadap stimulusyang engenai organism yang bersangkutan.
Misal, reaksi kedip mata bila mata terkena sinar yang kuat, gerak lutut bila lutut
kena palu, menarik jari bila jari terkena api. Reaksi atau perilaku ini terjadi secara
dengan sendirinya, secara otomatis, tidak diperintah oleh susunan syaraf atau
otak. Stimulus yang diterima oleh organism atau individu itu tidak sampai ke otak
sebagai pusat susunan syaraf, sebagai pusat pengendali perilaku. Dalam perilaku
yang refleksif respons langsung timbul begitu menerima stimulus. Dengan kata
lain begitu stimulus diterima oleh reseptor, langsung timbul respons melalui
afektor tanpa melalui pusat kesadaran atau otak.
Pada perilaku yang non-refleksif atau yang operan lain keadaannya.
Perilaku ini dikendalikan atau diatur oleh pusat kesadaran atau otak. Dalam kaitan
ini stimulus setelah diterima oleh reseptor, kemudian diteruskan ke otak sebagai
33

pusat susunan syaraf, sebagai pusat kesadaran, kemudian baru terjadi respon
melalui afektor. Proses yang terjadi dalam otak atau pusat kesadaran ini yang
disebut proses psikologis. Perilaku atau aktivitas atas dasar proses psikologis ini
yang disebut perilaku atau aktivitas psikologis (Branca, 1964 dalam Bimo
Walgito, 2007:18)
Secara umum kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, yang
diusahakan, dan menjadi tujuan manusia. Perilaku manusia adalah baik dan benar,
jika perilaku tersebut menuju kesempurnaan manusia (insan kamil), maka
kebaikan disebut nilai (value), apabila kebaikan itu bagi seseorang menjadi
kebaikan yang kongkrit (Jalaluddin, 1997:81).
Seluruh manusia mempunyai sifat serupa dalam usaha hidupnya yaitu
menuntut kesempurnaan. Adapun kesempurnaan itu tidak terlepas dari budi
pekerti atau perilaku yang baik. Untuk bisa berperilaku baik, manusia harus
mempunyai tujuan akhir untuk arah hidupnya yaitu akhirat (surga). Untuk
meraihnya harus melalui proses hidup yang begitu lama, dan dalam proses hidup
itu kita harus mengaplikasikan apa yang dibawakan dan diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW kepada umatnya yaitu akhlakul karimah.
Adapun indikator perilaku sosial keagamaan yang dikemuakakan oleh
Mohammad Daud Ali (1997:458) dilihat dari hubungan antara akhlak dengan
masyarakat dapat dipelihara antara lain dengan:
b. Menghargai Nilai dan Norma
Nilai merupakan standar umum yang diyakini dan diserap dari keadaan
obyektif maupun dianggap dari keyakinan sentimen maupun identitas
yang diberikan Allah Swt yang pada gilirannya merupakan sentimen
kejadian umum, identitas umum, yang oleh karenanya menjadi syarat
umum. Di dalam satu budaya atau kultur suatu bangsa, sistem nilai
merupakan landasan atau tujuan dari kegiatan sehari-hari yang
menentukan dan mengarahkan bentuk, corak, identitas, kelenturan
perilaku seseorang atau sekelompok orang atau kelompok. Disebabkan
nilai dan norma merupakan semacam keorganisasian seluruh lapisan
masyarakat tentang kenyataan yang berlaku, maka setiap orang harus
34

mampu menghargai dan menjungjung tinggi nilai dan norma agar


masyarakat tentram dan damai. Apabila hal tersebut dikondisikan pada
satu masyarakat, maka kedamaian dan ketentraman yang diinginkan akan
tercipta dengan baik.
c. Saling tolong menolong dalam kebaikan
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa manusia sebagai mahluk individu
manusia mempunyai hak-hak pribadi yang orang lain tidak berhak ikut
campur tangan, misalnya dalam hal mengutamakan agama, memilih
jodoh dan segalanya. Sebagai makhluk sosial manusia memerlukan
bantuan, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ajaran Islam telah
mengatur dasar-dasar hidup bermasyarakat, seperti yang tercantum dalam
Al-Quran surat Al-Maidah Ayat 2:

                 …

   

Artinya “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan


dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya”(Muhammad Shohib, 2010:106).
d. Menunaikan amanah
Amanah berarti kepercayaan. Menunaikan amanah berarti melaksanakan
kepercayaan yang diberikan seseorang atau masyarakat. Kepercayaan
tidak bisa didapat hanya dengan omongan semata, akan tetapi bisa
didapat dengan suatu tindakan (realisasi) tanpa adanya pengingkaran
(jujur dalam bertindak). Seperti halnya Nabi Muhammad Saw sebelum
diangkat menjadi nabi, beliau sudah diakui oleh masyarakat Mekkah
dengan kejujurannya. Dari hal itulah masyarakat Mekkah memberi gelar
dengan sebutan Al-Amin (orang yang dapat dipercaya).
35

C. Urgensi Jam’iyah Shalawatan dalam Pembentukan Perilaku Sosial


Keagamaan Remaja
Islam sebagai agama yang menjadi pedoman hidup bagi manusia
mencakup seluruh kehidupan manusia. Di samping sebagai pedoman hidup, Islam
menurut para pemeluknya juga sebagai ajaran yang harus didakwahkan dan
memberikan pemahaman berbagai ajaran yang terkandung di dalamnya. Sarana
yang dapat dilakukan dalam mentranspormasikan nilai-nilai agama tersebut antara
lain melalui jamiyah shalawat yang berfungsi memberikan pemahaman tentang
nilai- nilai ajaran tersebut.
Berbagai kegiatan jam’iyah shalawatan yang telah dilakukan merupakan
proses pendidikan yang mengarah kepada internalisasi nilai-nilai agama sehingga
para remaja mampu mereflesikan tatanan normatif yang mereka pelajari dalam
realitas kehidupan sehari-hari. Jamiyah shalawat merupakan suatu wadah untuk
membentuk jiwa dan kepribadian yang agamis, yang berfungsi sebagai stabilisator
dalam seluruh gerak aktivitas kehidupan umat Islam, maka sudah selayaknya
kegiatan-kegiatan yang bernuansa Islami mendapat perhatian dan dukungan dari
masyarakat, sehingga tercipta insan-insan yang memiliki keseimbangan antara
potensi intelektual dan mental spiritual dalam upaya menghadapi perubahan
zaman yang semakin global dan maju.
Jam’iyah shalawatan merupakan salah satu bentuk majelis ta’lim yang
mempunyai tujuan dan peran di lingkungan masyarakat. Menurut Arifin
(1995:116) dalam Kapita Selekta Pendidikan Islam, beliau mengemukakan bahwa
tujuan majelis ta’lim adalah mengokohkan landasan hidup manusia Indonesia
pada khususnya di bidang mental spiritual keagamaan Islam dalam rangka
meningkatkan kualitas hidupnya secara integral, lahiriyah dan batiniyahnya,
duniawiyah dan ukhrawiyah secara bersamaan sesuai tuntutan ajaran agama Islam
yaitu iman dan takwa yang melandasi kehidupan duniawi dalam segala bidang
kegiatannya.
Secara strategis jam’iyah shalawatan menjadi sarana dakwah dan tabligh
yang berperan sentral pada pembinaan dan peningkatan kualitas hidup umat
agama Islam sesuai tuntunan ajaran agama. Jam’iyah ini menyadarkan umat Islam
36

untuk memahami dan mengamalkan agamanya yang kontekstual di lingkungan


hidup sosial, budaya, dan alam sekitar masing-masing serta menjadikan umat
Islam sebagai ummatan wasathan yang meneladani kelompok umat lain. Untuk
tujuan itu, maka pemimpinnya harus berperan sebagai penunjuk jalan ke arah
kecerahan sikap hidup Islami yang membawa kepada kesehatan mental rohaniah
dan kesadaran fungsional selaku khalifah di buminya sendiri. Dalam kaitan ini
H.M. Arifin mengatakan bahwa peranan secara fungsional majelis ta’lim adalah
mengokohkan landasan hidup manusia muslim Indonesia pada khususnya di
bidang mental spiritual keagamaan Islam dalam upaya meningkatkan kualitas
hidupnya secara integral, lahiriah dan batiniahnya, duniawi dan ukhrawiah
bersamaan (simultan), sesuai tuntunan ajaran agama Islam yaitu iman dan taqwa
yang melandasi kehidupan duniawi dalam segala bidang kegiatannya (M. Arifin,
1995:120).

Anda mungkin juga menyukai