Anda di halaman 1dari 6

Hadits 3 – Hakikat Kebaikan dan Dosa

Oleh: DR., Firanda Andirja, Lc. MA

ُ ‫ان رضي هّللا عنه قَا َل َسأ َ ْل‬


‫ت َرس ُْو َل هّللا ِ صلّى هّللا عليه‬ َ ‫اس ا ْب ِن َس ْم َع‬ ِ ‫َو َع ِن النَّ َّو‬
َ ‫ص ْد ِر‬
‫ك‬ َ ‫اك فِى‬ َ ‫ق َو ْا ِأل ْث ُم َما َح‬ِ ُ‫ال اَ ْلبِرُّ ُحس ُْن ْال ُخل‬
َ َ‫وسلّم َع ِن ْالبِ ِّر َو ْا ِأل ْث ِم فَق‬
‫ت أَ ْن يَطَّلِ َع َعلَ ْي ِه النَّاس‬ َ ‫َو َك ِر ْه‬
Dari sahabat Nawwas bin Sam’an radhiallahu ‘anhu beliau berkata, Aku bertanya
kepada Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang makna Al-Birr (yaitu
kebajikan) dan itsm (yaitu dosa) -Apa itu kebajikan? Apa itu dosa?- Maka
Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Al-birr (kebajikan) adalah akhlak
yang mulia. Adapun dosa yaitu apa yang engkau gelisahkan di hatimu dan engkau
tidak suka kalau ada orang yang mengetahuinya.” (Hadits ini diriwayatkan
oleh Imam Muslim) 

Pembaca dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, Sahabat ini bertanya kepada


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentunya agar dia bisa beramal. Demikianlah
seharusnya adab seorang yang bertanya, yaitu ketika dia belajar hendaknya
diniatkan untuk diamalkan. Selain itu, apa yang ditanyakan oleh sahabat ini adalah
pertanyaan yang sangat indah, yaitu tentang apa hakikat kebajikan dan apa hakikat
dosa?

Adapun jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkaitan dengan hakikat


kebajikan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “husnul khuluq (akhlaq yang
mulia).”

Kita tahu bahwasanya kebajikan itu mencakup perkara yang sangat banyak. Semua
kebaikan adalah kebajikan. Tetapi mengapa Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengkhususkan penyebutan husnul khuluq (akhlaq yang mulia)? Hal ini tidak
lain adalah untuk menunjukkan keutamaan dan keistimewaan akhlak yang mulia.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mirip seperti sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,

ُ‫ْال َحجُّ َع َرفَة‬


“Haji adalah (wukuf di) padang Arofah.” (HR. At-Tirmidzi no. 889, Ibnu
Maajah no. 3.006, An-Nasaa’i no. 3.016, dan Ahmad no. 18.774, dan dishahihkan
oleh Al-Albani)

Hadis ini bermakna inti dari ibadah haji adalah wukuf di padang Arofah. Jadi, bukan
berarti haji itu cuma wukuf di padang Arofah saja. Tetapi ada juga yang
namanya thowaf, ada namanya sa’i, ada namanya ihram, dan ada namanya ibadah-
ibadah yang lain (lempar jamarat, mabit di Mina, mabit di Muzdalifah) yang
kesemuanya merupakan rangkaian ibadah haji. Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengkhususkan penyebutan wukuf di padang Arofah adalah karena hal ini
merupakan inti dari ibadah haji.

Sama halnya seperti ungkapan al-birru husnul khuluq (kebajikan adalah akhlak yang


mulia). Artinya, akhlak mulia memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam.
Oleh karenanya, kalau kita ingin melihat dalil-dalil tentang akhlak yang mulia, kita
akan menjumpai dalil-dalil yang sangat banyak.

Misalnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ٍ ُ‫ْس َش ْي ٌء أَ ْثقَ َل فِي ْال ِمي َزا ِن ِم ْن ُخل‬


‫ق َح َس ٍن‬ َ ‫لَي‬
“Tidak ada suatu yang lebih berat daripada akhlak yang mulia dalam timbangan
(pada hari kiamat).”  (HR. Ahmad no. 27.532 dan dishahihkan oleh Al-Albani
Shahihul Jaami’ no. 5.390)

Hadits ini menunjukkan  bahwa akhlak mulia yang dimiliki oleh seseorang akan
berpengaruh besar terhadab timbangan kebajikannya di akhirat kelak. Akhlak mulia
itu akan memperberat timbangan kebajikan secara signifikan.

Contoh lainnya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan dalam


haditsnya,

‫ َد َر َجةَ الصَّائِ ِم ْالقَائِ ِم‬،‫ك بِ ُحس ِْن ُخلُقِ ِه‬


ُ ‫إِ َّن ال َّرج َُل لَيُ ْد ِر‬
“Sesungguhnya seorang dengan akhlaknya yang mulia bisa meraih derajat orang
yang senantiasa berpuasa sunnah dan senantiasa shalat malam.” (HR. Ahmad no.
25.537, hadits shahih)

Perhatikan hadits ini! Seseorang mungkin saja jarang shalat malam dan jarang
berpuasa sunnah. Tetapi ia memiliki akhlak yang mulia, orang senang dekat
dengannya, orang bahagia duduk bersamanya, orang senang mendengar wejangan-
wejangannya, dan orang senang mendapatkan bantuannya. Maka, meskipun dia
jarang shalat malam dan jarang berpuasa sunnah, namun dia mendapat pahala
sama atau bahkan lebih dari orang-orang yang sering shalat malam dan berpuasa
sunnah. Mengapa demikian? Jawabannya, Bihusni khuluqihi, yaitu karena akhlaknya
yang mulia.

Perhatikan pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫أَ ْقربك ْم ِمنِّي َمجْ لِسًا يَ ْو َم ْالقِيَا َم ِة أَحاسنك ْم أَ ْخاَل قًا‬


“Orang yang paling dekat kedudukannya denganku pada hari kiamat adalah yang
paling baik akhlaqnya.”  (HR. At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-
Shahihah no. 791)

Berdasarkan hadits ini, jika seseorang ingin dekat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada hari kiamat, maka ia harus memperbaiki akhlaknya. Karena
Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa yang paling dekat
dengan Beliau di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya.

Ini menunjukkan keutamaan dan keistimewaan akhkak yang mulia. Dia adalah
amalan yang spesial. Dengan demikian, janganlah kita menyangka bahwa amalan
itu hanyalah shalat, puasa, zakat, dan amal ibadah mahdhah lainnya, tetapi akhlak
yang mulia juga merupakan amalan yang sangat spesial dan sangat mulia di sisi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Karena itu, hendaknya seseorang berusaha menghiasi dirinya dengan akhlak yang
mulia. Janganlah ia mengatakan,

“Saya tidak bisa mengubah akhlak saya.”

“Saya memang begini modelnya.”

“Saya diciptakan begini modelnya, tabiat saya memang seperti ini.”

dan kalimat-kalimat lain semacamnya.

Ketahuilah, seandainya akhlak tidak bisa diubah, lalu untuk apa hadits-hadits
tentang akhlak mulia yang sedemikian banyak? Untuk apa Allah menurunkan ayat-
ayat yang memotivasi orang-orang untuk berakhlak mulia?

Semua ayat dan hadits yang memotivasi seseorang untuk berakhlak mulia itu
menunjukkan bahwa akhlak bisa diubah. Seorang yang pelit bisa jadi dermawan.
Seorang pemarah bisa jadi penyabar, dan seterusnya. Karena itu, jangan sampai
seseorang mengatakan,

“Saya memang suka marah”,

“Saya memang temperamental.”

Jangan!

“Saya begini tipenya.”

Ketahuilah, bahwa setiap orang bisa mengubah akhlaknya. Ia bisa berlatih dan
membiasakan diri agar menjadi orang yang baik akhlaknya. Oleh karenanya, dalam
hadits Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

ُ‫ت فِي أَ ْعلَى ْال َجنَّ ِة لِ َم ْن َحس َُن ُخلُقَه‬


ٍ ‫أَنَا َز ِعي ٌم بِبَ ْي‬
“Aku menjamin istana di bagian atas surga bagi orang yang terindah akhlaknya.”

Dalam riwayat lain,

ُ‫لِ َم ْن َحس ََّن ُخلُقُه‬


“Bagi orang yang memperindah akhlaknya.”

Menurut kedua hadis ini, akhlak yang mulia itu bisa diperoleh, bisa diraih.

Dalam hadits lain Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صبِّرْ هُ هللا‬ َ َ‫َم ْن يَت‬


َ ُ‫صبَّرْ ي‬
“Barangsiapa yang berusaha bersabar, maka Allah akan jadikan dia penyabar.”  (HR.
Al-Bukhari no. 1.469)

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang pemarah bisa jadi penyabar. Karenanya
para pembaca yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, hendaknya kita
senantiasa memperbaiki diri dan membiasakan diri dengan akhlak-akhlak yang
mulia agar kita bisa mendapatkan keutamaan yang banyak sebagaimana disebutkan
pada hadits-hadits di atas.

Jadi akhlak itu ada yang bawaan dan ada yang bisa diusahakan. Nabi berkata
kepada Asyaj :

‫ُول‬
َ ‫ يَا َرس‬:‫ال‬َ َ‫ ْال ِح ْل َم َواأْل َنَاةَ ” فَق‬:ُ‫ك َخصْ لَتَ ْي ِن يُ ِحبُّهُ َما هللاُ َو َرسُولُه‬
َ ‫ إِ َّن فِي‬، ُّ‫يَا أَ َشج‬
:‫ال‬ َ َ‫ ” بَ ِل هللاُ َجبَل‬:‫ أَ ْو َجبَلَنِي هللاُ َعلَ ْي ِه َما؟ قَا َل‬،‫ أَنَا تَ َخلَّ ْقتُهُ َما‬،‫هللا‬
َ َ‫ ق‬.“ ‫ك َعلَ ْي ِه َما‬ ِ
ُ‫ْال َح ْم ُد هَّلِل ِ الَّ ِذي َجبَلَنِي َعلَى ُخلُقَ ْي ِن يُ ِحبُّهُ َما هللاُ َو َرسُولُه‬
“Wahai Asyaj, sesungguhnya pada dirimu ada dua perangai yang dicintai oleh Allah
dan RasulNya, yaitu kecerdasan dan tidak tergesa-gesa”. Asyaj berkata, “Ya
Rasulullah, apakah kedua perangai tersebut aku mengusahakannya ataukah Allah
yang telah memfitrahkannya kepadaku?”. Nabi berkata, “Allah telah
memfitrahkanmu di atas kedua perangai tersebut”. Asyaj berkata, “Segala puji bagi
Allah yang telah memfitrahkan aku diatas dua perangai yang dicintai oleh Allah dan
RasulNya” (HR Ahmad 39/490 dan asalnya HR Muslim No. 17)

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :

ِ ُّ‫ق َوالتَّ َكل‬


‫ف‬ ِ ُّ‫ص ُل بِالتَّ َخل‬ َ ُ‫َوفِي ِه َدلِي ٌل َعلَى أَ َّن ْال ُخل‬
ُ ْ‫ق قَ ْد يَح‬
“Pada hadits ini ada dalil bahawasanya akhlak bisa diperoleh dengan usaha dan
kesungguhan” (Zaadul Ma’aad 3/532)

Namun untuk meraih akhlak memang butuh perjuangan karena memang sulit, Ibnul
Qoyyim rahimahullah berkata :

ِ ‫ تَ ْغيِي ُر اأْل َ ْخاَل‬:‫ب َما َعلَى الطَّبِي َع ِة اإْل ِ ْن َسانِيَّ ِة‬


ِ ‫ق الَّتِي طُبِ َع‬
ُ‫ت النُّفُوس‬ َ ‫فَإ ِ َّن أَصْ َع‬
‫َعلَ ْيهَا‬
“Sesungguhnya perkara yang sangat sulit atas tabi’at manusia adalah mengubah
akhlak yang sudah merupakan tabi’atnya” (Madaarijus Saalikin 2/297)

Para ulama menyebutkan di antara akhlak mulia adalah sebagaimana perkataan Al-
Hasan Al-Bashri rahimahullah,

َ ُ‫ف األَ َذى وطَالَقَة‬


‫الوجْ ِه‬ ِ ‫ق بَ ْذ ُل ال َمعر ُْو‬
ُّ ‫ َو َك‬ ‫ف‬ ِ ُ‫َحقِ ْيقَةُ ُحس ُْن ْال ُخل‬
“Hakikat akhlak mulia adalah mudah berbuat baik kepada orang lain, tidak
mengganggu orang lain, dan  wajah yang sering berseri-seri karena murah
senyum.” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim karya An-Nawawi 15/78)

Dari perkataan ini, kita dapatkan tiga rukun akhlak, yaitu:

 Wajah yang berseri-seri, murah senyum kepada orang lain, tidak


merendahkan, dan tidak menghinakan orang lain.
 Ringan tangan untuk membantu orang lain.
 Tidak mengganggu orang lain.

Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang dosa,

ُ‫ت أَ ْن يَطَّلِ َع َعلَ ْي ِه النَّاس‬


َ ‫ك َو َك ِر ْه‬
َ ‫ص ْد ِر‬ َ ‫َو ْا ِأل ْث ُم َما َح‬
َ ‫اك فِى‬
“Dosa adalah apa yang menggelisahkan engkau di hatimu. Dan engkau tidak suka
jika orang-orang melihat kau melakukannya.”

Hadits ini menjelaskan tentang barometer untuk mengenal dosa. Tentunya, dosa-
dosa adalah melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Untuk mengenal dosa, kita bisa melihat dengan mempelajari Al-Qurān dan sunnah-
sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang dilarang oleh Allāh dalam Al-
Qurān maka itu adalah dosa dan apa yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits-haditsnya maka itu adalah dosa.

Namun terkadang, ada perkara yang kita lakukan yang kita tidak sempat
melihat/mengecek dalilnya atau kita tidak tahu dalilnya. Maka tatkala kita hendak
melakukannya muncul kegelisahan dalam dada kita dan muncul ketidaktenangan
dalam hati kita, itulah ciri dosa.

Karena dalam hadits ini Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan


barometer dan indikator untuk mengenal dosa, beliau menyebutkan 2 ciri, yaitu
menjadikan dadamu gelisah, dan engkau tidak suka untuk dilihat oleh orang lain.

Kalau anda melakukan suatu perkara kemudian anda merasa tenang, hati tidak
merasa gelisah dan kalau orang lain tahu pun tidak jadi mengapa, maka ini bukan
dosa. Tapi tatkala anda melakukan sesuatu, kemudian ternyata hati anda gelisah
atau tidak tenang dan tidak ingin orang lain (tetangga/sahabat/ istri atau ustadz
kita) tahu, maka ini merupakan ciri dosa, maka berhati-hatilah. Dan sebaiknya kita
meninggalkan perkara yang menimbulkan ketidaktenangan tersebut.

Para ulama mengingatkan bahwa hadits ini berkaitan dengan orang yang hatinya
masih sesuai dengan fitrah, bukan orang-orang yang fitrahnya sudah rusak, yang
membanggakan kemaksiatan-kemaksiatan yang mereka lakukan tanpa merasa malu
dan berdosa. Hadits ini juga tidak berlaku bagi orang-orang berikut ini.

 Orang-orang yang memamerkan aurat mereka.


 Orang-orang yang minum khamr di hadapan banyak orang.
 Orang-orang yang bangga dengan kejahatan-kejahatan/maksiat-maksiat
yang mereka lakukan.
 Orang-orang yang mengambil gambar diri mereka ketika sedang
bermaksiat, seperti sedang berzina, lalu mereka sebarkan  luaskan di
dunia maya.

Terhadap mereka semua ini, hadits ini tidak berlaku karena karena fitrah mereka
telah rusak.

Dengan demikian hadits ini berlaku bagi orang-orang yang masih punya rasa malu,
yang fitrahnya masih baik. Bagi orang-orang seperti ini, mereka dapat mengenal
dosa atau tidak dengan 2 ciri/indikator yang disebutkan, yaitu hatinya tidak tenang
dan dia tidak suka kalau ada orang yang melihatnya.

Oleh karenanya, sebagian ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwasanya
dosa itu pasti mendatangkan kegelisahan. Barangsiapa yang bermaksiat kepada
Allāh Subhānahu wa Ta’āla pasti dia gelisah, pasti dia tidak tenang.  Hal ini
berkebalikan dengan orang-orang yang mengingat Allāh, sebagaimana disebutkan
oleh Allah,

ْ َ‫أَاَل بِ ِذ ْك ِر هَّللا ِ ت‬
ُ‫ط َمئِ ُّن ْالقُلُوب‬
“Ketahuilah dengan mengingat Allāh maka hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’du:
28)

Jika mengingat Allah hati menjadi tenang, maka sebaliknya orang yang lupa kepada
Allah dan bermaksiat kepada Allāh pasti hatinya gelisah dan gundah gulana, tidak
tenang, dan tidak tentram sampai dia bertaubat kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjauhkan kita dari segala dosa. Dan semoga


Allah menjadikan kita hamba-hamba yang tawwābīn, yaitu hamba yang jika berdosa
segera bertaubat kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Baca lebih banyak di: https://firanda.com/3660-kitabul-jami-bab-adab-hadis-3-


hakikat-kebaikan-dan-dosa.html

Anda mungkin juga menyukai