Anda di halaman 1dari 8

Ragam Pengertian Orang Saleh dan Salehah Menurut Ulama Alhafiz Kurniawan Sabtu, 21

November 2020 | 12:00 WIB Kita sering mendengarkan ucapan selamat pada sebuah acara
khitanan, selamatan aqiqah, “Semoga menjadi anak yang saleh (bagi anak laki-laki) atau salehah
(bagi anak perempuan) serta berbakti kepada kedua orang tua, agama, dan negaranya,” atau pada
upacara perkawinan, “Semoga menjadi istri yang salehah.” Kita tentu mengerti bahwa kata “saleh”
dan “salehah” yang dimaksud adalah harapan agar anak yang bersangkutan menjadi anak yang baik
bagi orang tua, agama, dan negaranya; atau menjadi istri yang berbakti dan bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri memberikan dua pengertian
untuk kata “saleh.” Pertama, “saleh” adalah taat dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah. Kedua,
“saleh” adalah suci dan beriman. Adapun kesalehan dalam Al-Qur’an dapat ditemukan pada Surat
An-Nisa ayat 69 berikut ini: ‫هَدَا ِء‬C‫الش‬ ُّ ‫دِّيقِينَ َو‬C‫الص‬ َ ‫و َل فَُأولَِئ‬C‫َّس‬
ِّ ‫ َع الَّ ِذينَ َأ ْن َع َم هَّللا ُ َعلَ ْي ِه ْم ِمنَ النَّبِيِّينَ َو‬C‫ك َم‬ ُ ‫ ِع هَّللا َ َوالر‬C‫َو َم ْن ي ُِط‬
َ ‫ َوالصَّالِ ِحينَ َو َحسُنَ ُأولَِئ‬Artinya, “Siapa saja yang menaati (ketentuan) Allah dan rasul-Nya, niscaya
‫ك َرفِيقًا‬
mereka kelak akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh-Nya, yaitu para nabi, kalangan
shiddiq, syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka adalah sebaik-baik sahabat,” (Surat An-Nisa ayat
69). Dari berbagai karya tafsir, kita menemukan beragam pengertian yang diberikan ulama untuk
kata “As-Shalihin” atau orang orang saleh. Imam Al-Baidhawi dalam tafsirnya, Anwarut Tanzil wa
Asrarut Ta’wil, mengatakan bahwa orang saleh adalah orang yang menghabiskan usianya untuk
menaati Allah dan mengerahkan hartanya di jalan yang diridhai-Nya. Adapun Imam Al-Baghowi
dalam tafsirnya mengatakan, orang saleh dalam kaitannya dengan Surat An-Nisa ayat 69 adalah
para sahabat Rasulullah SAW. Imam Ibnu Katsir dalam karya tafsirnya mengartikan orang saleh
sebagai orang yang baik amal lahir dan amal batinnya.  Sedangkan Imam Khazin dalam tafsirnya
mengatakan, “as-shālihīn” adalah kata jamak “shālih,” yaitu orang yang sama baiknya baik lahir
maupun batinnya. Ia juga mengutip pandangan ahli tafsir lain bahwa orang saleh adalah orang yang
akidahnya benar dan amalnya sesuai pedoman sunnah dan ketaatan kepada agama. Ulama tafsir,
Imam Khazin mengatakan, yang dimaksud dengan “An-Nabiyyīn” atau para nabi pada Surat An-
Nisa ayat 69 ini adalah Nabi Muhammad SAW. Sedangkan “As-Shiddiqin” adalah Sayyidina Abu
Bakar As-Siddik RA. “As-Syuhadā” adalah Sayyidina Umar bin Khattab RA, Sayyidina Utsman bin
Affan RA, dan Sayyidina Ali bin Abu Thalib RA. “As-Shālihīn” adalah semua sahabat rasul. Syekh
Wahbah Az-Zuhayli dalam Tafsir Al-Munir mengatakan bahwa orang saleh itu bukan berarti orang
suci yang tidak memiliki kesalahan. Orang saleh adalah orang yang baik batinnya dan kebaikannya
lebih dominan daripada keburukannya. Syekh Thahir bin Asyur dalam Tafsir At-Tahrir wat Tanwir
menyebutkan, orang saleh adalah orang (beriman) yang menjaga istiqamah. Sedangkan Tafsir An-
Nasafi menyebut orang saleh sebagai orang yang baik lahir dan batinnya. Syekh Ibnu Ajibah
menafsirkan orang-orang saleh pada Surat An-Nisa ayat 69 sebagai mereka para ulama yang
menjaga ketakwaan dan umat Islam secara umum yang baik keadaannya. Adapun Sayyid Bakri bin
Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi menyebut siapa yang dimaksud dengan orang saleh ketika
menjelaskan satu dari lima obat hati, yaitu bersahabat dengan orang-orang saleh. ‫والصالحون هم القائمون‬
‫ بحقوق هللا وحقوق العباد‬Artinya, “Orang-orang yang saleh adalah mereka yang memenuhi hak Allah dan
hak para hamba-Nya (terkait muamalah, munakahah, jinayah, wathaniyah, dan hak-hak lainnya),”
(Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya,
[Indonesia, Al-Haramain Jaya: tanpa tahun], halaman 51). Demikian ragam pandangan ulama
perihal siapa yang dimaksud dengan orang saleh dan orang salehah yang sering kita dengar pada
sebuah acara khitanan, selamatan aqiqah, kabar persalinan, atau upacara perkawinan. Wallahu
a’lam.

Siapakah Orang Shalih?


Siapakah orang shalih? Apakah orang shalih harus punya ilmu sakti? Apakah orang shalih harus
nampak berjidad hitam, memakai sorban dan baju putih?

Saat kita tasyahud, kita seringkali membaca bacaan berikut,

َ ‫ال َّسالَ ُم َعلَ ْينَا َو َعلَى ِعبَا ِد هَّللا ِ الصَّالِ ِح‬


‫ين‬

“ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBADILLAHISH SHOLIHIIN (artinya: salam untuk


kami dan juga untuk hamba Allah yang shalih).”

Disebutkan dalam lanjutan hadits,

ِ ْ‫ح فِى ال َّس َما ِء َواَألر‬


‫ض‬ َ ِ ‫ت ُك َّل َع ْب ٍد هَّلِل‬
ٍ ِ‫صال‬ َ ‫فَِإنَّ ُك ْم ِإ َذا قُ ْلتُ ُموهَا َأ‬
ْ َ ‫صا ب‬

“Jika kalian mengucapkan seperti itu, maka doa tadi akan tertuju pada setiap hamba Allah yang
shalih di langit dan di bumi.” (HR. Bukhari, no. 831 dan Muslim, no. 402).

Shalihin adalah bentuk plural dari shalih. Ibnu Hajar berkata, “Shalih sendiri berarti,

‫ْالقَاِئم بِ َما يَ ِجب َعلَ ْي ِه ِم ْن ُحقُوق هَّللا َو ُحقُوق ِعبَاده َوتَتَفَا َوت َد َر َجاته‬

“Orang yang menjalankan kewajiban terhadap Allah dan kewajiban terhadap sesama hamba
Allah. Kedudukan shalih pun bertingkat-tingkat” (Fath Al-Bari, 2:314).
At-Tirmidzi Al-Hakim berkata,

َ ‫صاَل ة فَ ْليَ ُك ْن َع ْبدًا‬


‫صالِحًا َوِإاَّل‬ َّ ‫َم ْن َأ َرا َد َأ ْن يَحْ ظَى بِهَ َذا ال َّساَل م الَّ ِذي يُ َسلِّمهُ ْال َخ ْلق فِي ال‬
‫ُر َم هَ َذا ْالفَضْ ل ْال َع ِظيم‬
ِ ‫ح‬

“Siapa yang ingin meraih ucapan salam yang diucapkan oleh setiap orang yang sedang shalat,
maka jadilah hamba yang shalih. Jika tidak, maka karunia yang besar (berupa doa selamat)
diharamkan untuk diperoleh” (Fath Al-Bari, 2:314).
Al-Fakihani berkata,

َ ِ‫ضر فِي هَ َذا ْال َم َح ّل َج ِميع اَأْل ْنبِيَاء َو ْال َماَل ِئ َكة َو ْال ُمْؤ ِمن‬
، ‫ين‬ ِ ْ‫صلِّي َأ ْن يَ ْستَح‬
َ ‫يَ ْنبَ ِغي لِ ْل ُم‬
‫يَ ْعنِي لِيَتَ َوافَق لَ ْفظه َم َع قَصْ ده‬

“Setiap orang yang shalat baiknya menghadirkan hati dalam shalatnya yaitu ia mendoakan
selamat untuk para nabi, para malaikat, dan orang-orang yang beriman. Hal ini agar bersesuaian
antara lafazh doa dan ia maksudkan.” (Fath Al-Bari, 2:314).
Intinya, hamba yang shalih bukanlah yang hanya memperhatikan ibadah, shalat dan dzikir.
Hamba yang shalih juga punya hubungan yang baik dengan sesama. Karena demikianlah Nabi
kita yang mulai diutus. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ق‬ َ ‫ت ُألتَ ِّم َم‬


ِ َ‫صالِ َح اَأل ْخال‬ ُ ‫ِإنَّ َما بُ ِع ْث‬

 “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad, 2:381, sahih)
Hamba shalih berarti tidak durhaka pada orang tua, tidak berlaku kasar pada istri, tidak
memutuskan hubungan silaturahim dengan tetangga, dan tidak berakhlak buruk dengan kaum
muslimin lainnya.

Moga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang shalih yang selalu memperhatikan kewajiban terhadap
Alla

.ID, JAKARTA- Benarkah kita sudah begitu religius sehingga patut untuk


menyandang termasuk dalam golongan orang-orang saleh? Ataukah
kita hanya kencang dalam gema tetapi minim dalam kualitas? Jumlah
orang banyak ini pun tak lebih mulia dari buih-buih di lautan
Di dalam QS Ali Imran ayat 113-114, Allah SWT menyebutkan ciri-ciri
golongan orang saleh. 

ِ ‫ب ُأ َّمةٌ قَاِئ َمةٌ يَ ْتلُونَ آيَا‬


‫يُْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم‬   َ‫ت هَّللا ِ آنَا َء اللَّي ِْل َوهُ ْم يَ ْس ُج ُدون‬ Cِ ‫لَ ْيسُوا َس َوا ًء ۗ ِم ْن َأ ْه ِل ْال ِكتَا‬
َ‫ك ِمنَ الصَّالِ ِحين‬ َ ‫ت َوُأو ٰلَِئ‬
ِ ‫ار ُعونَ فِي ْال َخ ْي َرا‬ ِ ‫اآْل ِخ ِر َويَْأ ُمرُونَ بِ ْال َم ْعر‬
ِ ‫ُوف َويَ ْنهَوْ نَ ع َِن ْال ُم ْن َك ِر َويُ َس‬

"Mereka itu tidak sama. Di antara ahli kitab itu, ada golongan yang
berlaku lurus, mereka membacakan ayat-ayat Allah pada beberapa
waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud. Mereka beriman
kepada Allah di hari penghabisan. Mereka menyeru yang makruf dan
mencegah yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan)
berbagai kebajikan. Mereka itu termasuk orang-orang saleh." Ciri
lainnya tertera pada QS al-Ankabut ayat 9:

ِ ‫" َوالَّ ِذينَ آ َمنُوا َو َع ِملُوا الصَّالِ َحا‬Dan orang-orang yang beriman
َ‫ت لَنُ ْد ِخلَنَّهُ ْم فِي الصَّالِ ِحين‬
dan mengerjakan amal saleh benar-benar akan Kami masukkan
mereka ke dalam (golongan) orang-orang yang saleh."

Orang saleh juga memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki orang


lain. 

Hanya doa orang saleh yang bisa menyambung amalan orang tua
yang sudah wafat. 

‫ابن آدم ا ْنقَطَ َع َع ْنهُ َع َملُهُ ِإاَّل ِم ْن‬ ُ َ‫ ِإ َذا َمات‬:‫ َأ َّن َرسُو َل هَّللا ِ ﷺ قَا َل‬:‫ع َْن َأبِي هُ َر ْي َرةَ رضي هللا تعالى عنه‬
ُ‫ح يَ ْد ُعو لَه‬ ٍ ِ‫صال‬ َ ‫ َأوْ َولَ ٍد‬،‫ أو ِع ْل ٍم يُ ْنتَفَ ُع بِ ِه‬،‫اريَ ٍة‬
ِ ‫ص َدقَ ٍة َج‬ ٍ ‫ثَاَل‬
َ :‫ث‬

''Jika anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga
perkara, sedekah jariah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak
saleh yang berdoa kepadanya.'' (HR Muslim).

Ketua Yayasan Madinatul Ilmi Ustaz Muhammad Hisyam Asyiqin,


sebagaimana dikutip dari Harian Republika menjelaskan, secara
etimologi, kata shalih berasal dari shaluha-yashluhu–shalahan yang
artinya 'baik', 'tidak rusak', dan 'patut'. Sedangkan, shalih merupakan
isim fa'il dari kata tersebut di atas yang berarti 'orang yang baik',
'orang yang tidak rusak', dan 'orang yang patut'.

Menurut definisi Alquran yang menukil dari ayat di atas, saleh adalah
orang yang senantiasa membaca Alquran pada malam hari,
melaksanakan shalat malam (tahajud), beriman, dan beramal saleh,
menyuruh kepada kebaikan, mencegah perbuatan munkar, dan
bersegera mengerjakan kebajikan.

Kita patut berbaik sangka dan optimistis bahwa umat Islam sedang
menuju kesalehan seperti apa yang disebutkan Alquran. Setidaknya,
ada gejala peningkatan kesadaran beragama yang semakin terasa di
tengah masyarakat.

Hanya, Rasulullah SAW pernah mengingatkan kepada kita tentang


kondisi umat Islam pada akhir zaman. Beliau bersabda: 

ُ‫ك اُأْل َم ُم َأ ْن تَدَاعَى َعلَ ْي ُك ْم َك َما تَدَاعَى اَأْل َكلَة‬ ِ ‫ ي‬:‫ قَا َل َرسُو ُل هَّللا ِ ﷺ‬:‫ قَا َل‬،‫ع َْن ثَوْ بَانَ رضي هللا عنه‬
ُ ‫ُوش‬
‫ بَلْ َأ ْنتُ ْم يَوْ َمِئ ٍذ َكثِي ٌر َولَ ِكنَّ ُك ْم ُغثَا ٌء َك ُغثَا ِء ال َّسي ِْل‬:‫ َو ِم ْن قِلَّ ٍة نَحْ ُن يَوْ َمِئ ٍذ؟ قَا َل‬:‫ فَقَا َل قَاِئ ٌل‬C،‫ِإلَى قَصْ َعتِهَا‬
ِ ‫ يَا َرسُو َل هَّللا‬:‫ فَقَا َل قَاِئ ٌل‬، َ‫ ِم ْن ُك ْم َولَيَ ْق ِذفَ َّن هَّللا ُ فِي قُلُوبِ ُك ُم ْال َو ْهن‬Cَ‫ور َع ُد ِّو ُك ُم ْال َمهَابَة‬
ِ ‫ص ُد‬ ُ ‫َولَيَ ْن َزع ََّن هَّللا ُ ِم ْن‬
ِ ْ‫ ْال َمو‬Cُ‫ حُبُّ ال ُّد ْنيَا َو َك َرا ِهيَة‬:‫َو َما ْال َو ْه ُن؟ قَا َل‬
‫ت‬

"Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti


halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring."
Seseorang berkata, "Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?" Beliau
bersabda, "Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti
buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu
terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn."
Seseorang bertanya, "Apakah wahn itu?" Beliau menjawab, "Cinta
dunia dan takut mati." (HR Ahmad, al-Baihaqi, Abu Dawud) 
Melihat kondisi sekarang, hadits tersebut masih relevan untuk
direnungkan. Ada kalanya penyakit cinta akan dunia dan takut mati
masih merasuk kepada jiwa kita. Ini terlihat manakala adanya
perpecahan dan konflik di dalam tubuh umat Islam sehingga
mengecilkan umat itu sendiri. Umat Islam sering kali disibukkan
dengan pertengkaran antarsesama saudara Muslim.  

Mungkin saja apa yang menimpa umat ini merupakan ujian agar kita
menjadi umat terbaik seperti zaman rasul dan sahabat. Bukankah
Rasulullah SAW, ditukil dari HR Tirmizi dan Ibnu Majah, berpesan
bahwa seorang hamba akan diuji sebanding dengan kualitas
agamanya?

Apabila agamanya begitu kuat maka semakin berat pula ujiannya. Jikalau agamanya lemah
maka ia akan diuji juga sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba akan
mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.

Memiliki sahabat orang-orang shalih merupakan suatu kenikmatan dan karunia dari Allah
yang sangat besar. Dalam Kitab Qutul Qulub Fii Muamalatil Mahbub, Khalifah Umar bin
Khattab berkata, “Tidaklah seseorang diberikan kenikmatan setelah Islam, yang lebih baik
daripada kenikmatan memiliki saudara (semuslim) yang saleh. Apabila engkau dapati salah
seorang sahabat yang saleh maka peganglah erat-erat.”[1]
Sebagai makhluk sosial, tentu tidak lepas dari berinteraksi dengan orang lain. Akhlak dan
perilaku yang dimiliki seseorang sangat dipengaruh oleh akhlak dan perilaku lingkungan
sekitarnya. Dalam Islam, agama yang kita imani sebagai nafas kehidupan seorang muslim,
memberikan panduan untuk selalu bergaul dengan orang-orang shalih agar akhlak dan
perilaku orang-orang tersebut dapat mempengaruhi kita menjadi pribadi yang lebih baik.
Dengan bersama orang-orang shalih, kita akan senantiasa termotivasi untuk melakukan hal-
hal yang baik. Begitu juga ketika dalam keadaan lemah atau ingin berbuat sesuatu yang
buruk, maka setidaknya ada pengingat yang selalu mengembalikan diri ke jalan yang benar.
Rasulullah bersabda:

ْ‫ َأو‬، ‫ك ِإ َّما تَ ْشت َِري ِه‬


ِ ‫ب ْال ِم ْس‬
ِ ‫اح‬
ِ ‫ص‬ َ ‫ك ِم ْن‬ َ ‫ الَ يَ ْع َد ُم‬، ‫ير ْال َح َّدا ِد‬
ِ ‫ َو ِك‬، ‫ك‬ ِ ‫ب ْال ِم ْس‬ ِ ِ‫ح َو ْال َجل‬
َ ‫يس السَّوْ ِء َك َمثَ ِل‬
ِ ‫صا ِح‬ ِ ِ‫َمثَ ُل ْال َجل‬
ِ ِ‫يس الصَّال‬
ً‫ق بَ َدنَكَ َأوْ ثَوْ بَكَ َأوْ ت َِج ُد ِم ْنهُ ِريحًا خَ بِيثَة‬ُ ‫ َو ِكي ُر ْال َح َّدا ِد يُحْ ِر‬، ُ‫تَ ِج ُد ِري َحه‬

“Perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk seperti seorang penjual minyak
wangi dan seorang peniup alat untuk menyalakan api (pandai besi). Adapun penjual minyak
wangi, mungkin dia akan memberikan hadiah kepadamu, atau engkau membeli darinya, atau
engkau mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan
membakar pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau yang buruk”. (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Ketika sering melihat kebaikan-kebaikan orang shalih, maka dapat memicu adanya rasa
cemburu. Sehingga hal ini menumbuhkan motivasi untuk bisa melakukan amal shalih seperti
yang mereka lakukan. Karena salah satu kecemburuan yang diperbolehkan dalam agama ini
adalah cemburu pada amalan kebaikan. Rasulullah SAW bersabda, ُ‫ َر ُج ٌل آتَاهُ هللا‬C:‫الَ َح َس َد ِإالَّ فِي ْاثنَتَ ْي ِن‬
ِ َ‫ َو َر ُج ٌل آتَاهُ هللاُ ْالقُرْ آنَ فَهُ َو يَ ْق َرُؤ هُ آنَا َء اللَّي ِْل َوآنَا َء النَّه‬،‫ار‬
‫ار‬ ِ َ‫َماالً فَه َُو يُ ْنفِقُهُ آنَا َء اللَّ ْي ِل َوآنَا َء النَّه‬
“Tidak boleh hasad kecuali dalam dua perkara: kepada seseorang yang Allah berikan harta
kemudian dia menginfakannya di sebagian malam dan siangnya, dan kepada seseorang yang
Allah berikan Al-Qur’ an dan dia membacanya di sebagian besar malam dan
siangnya”  (H.R. Muslim).

Terkadang sedikit banyak dapat menilai kebaikan seseorang dengan melihat pergaulan antar
sesama temannya, karena kebaikan seseorang memberikan pengaruh baik lingkungan
sekitarnya. Begitupun sebaliknya, keburukan seseorang juga bisa memberikan pengaruh
buruk terhadap lingkungan disekitarnya. Oleh karena itu, seorang muslim haruslah senantiasa
berusaha untuk bergaul dengan orang baik dan orang shalih, dengan harapan kebaikan itu
akan mempengaruhi dirinya. Rasulullah memberikan teladan dengan menjadikan pergaulan
sebagai salah satu faktor yang digunakan dalam menilai seseorang. Rasulullah SAW
bersabda;

‫ال َّر ُج ُل َعلَى ِدي ِن َخلِيلِ ِه فَ ْليَ ْنظُرْ َأ َح ُد ُك ْم َم ْن يُخَالِ ُل‬

“Seseorang bisa dilihat dari perilaku beragama sahabatnya. Hendaklah kalian


memperhatikan bagaimana sahabatmu dalam beragama. (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Di sisi lain, Allah menjelaskan bahwa memiliki hubungan pertemanan di dunia menjadi
sangat penting, karena menjadi salah satu langkah dan ikhtiar yang seharusnya dilakukan
dalam rangka mempersiapkan kehidupan di akhirat. Ketika masih di dunia dan salah dalam
memilih teman yang justru mengajak pada keburukan dan semakin menjauhkan diri dari
Allah, maka hanya akan menjadikan penyesalan di akhirat nanti. Allah berfirman:

َ ‫) لَقَ ْد َأ‬28( ‫) يَا َو ْيلَتَى لَ ْيتَنِي لَ ْم َأتَّ ِخ ْذ فُاَل نًا خَ لِياًل‬27( ‫ُول َسبِياًل‬
‫ضلَّنِي‬ ُ ‫َويَوْ َم يَ َعضُّ الظَّالِ ُم َعلَى يَ َد ْي ِه يَقُو ُل يَالَ ْيتَنِي اتَّخ َْذ‬
ِ ‫ت َم َع ال َّرس‬
)29( ‫َع ِن ال ِّذ ْك ِر بَ ْع َد ِإ ْذ َجا َءنِي َو َكانَ ال َّش ْيطَانُ ِلِإْل ْن َسا ِن خَ ُذواًل‬
“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata:
“Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul”. Kecelakaan besarlah
bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia
telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur`an itu telah datang kepadaku. Dan
adalah setan itu tidak mau menolong manusia. (Q.S. al-Furqan [25] : 27-29).

Para mufasir menjelaskan kalimat “menggigit dua tangannya” diartikan sebagai penyesalan
yang amat sangat dalam, tetapi sia-sia karena sudah tidak mungkin lagi untuk bisa kembali.
Karena saat di dunia sebenarnya sudah diingatkan dan diperintahkan. Namun justru tidak
mengikuti anjuran kebenaran tersebut. Salah memilih teman justru semakin menjauhkan diri
dari pedoman hidup yang hakiki yaitu Al Qur’ an, dan menjauhkan dari kebaikan dan
petunjuk hidup yang lurus dan benar. Artinya manusia akan terpisah semakin jauh dari
rombongan Rasulullah SAW yang melewati jalan kebenaran menuju kearah kebaikan yang
haq yaitu Allah SWT.

Mengapa kita harus selektif dalam memilih teman di dunia? Karena di dunia ada golongan
manusia yang terlihat baik kepada seseorang, tetapi justru semakin menjauhkan dan
menyesatkan dari jalan kebenaran yang lurus. Oleh karena itu, seseorang perlu untuk
senantiasa membekali diri dengan ilmu. Sehingga ketika dalam beramal memiliki dasar dan
prinsip dalam menjalani kehidupan di dunia. Mempelajari ilmu menjadi penting dan tidak ada
batasan waktunya, baik anak-anak maupun orangtua, pria maupun wanita. Hal tersebut
berguna untuk membedakan dalam memilih golongan dan teman yang sesuai untuk
kehidupan di akhirat.

Hasan Al-Bashri dalam Kitab Ma’alimut Tanzil berkata, “Perbanyaklah berteman dengan


orang-orang yang beriman. Karena mereka memiliki syafaat pada hari
kiamat.”[2] Rasulullah SAW bersabda terkait dengan syafaat yang diberikan diantara para
sahabat dihari kiamat, “Setelah orang-orang mukmin itu dibebaskan dari neraka, demi Allah,
Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian begitu gigih dalam memohon
kepada Allah untuk memperjuangkan hak untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam
neraka pada hari kiamat. Mereka memohon: “Wahai Tuhan kami, mereka itu (yang tinggal
di neraka) pernah berpuasa bersama kami, shalat, dan juga haji.” Dijawab: ”Keluarkan
(dari neraka) orang-orang yang kalian kenal.” Hingga wajah mereka diharamkan untuk
dibakar oleh api neraka. Para mukminin inipun mengeluarkan banyak saudaranya yang
telah dibakar di neraka, ada yang dibakar sampai betisnya dan ada yang sampai lututnya.
Kemudian orang mukmin itu lapor kepada Allah, ”Ya Tuhan kami, orang yang Engkau
perintahkan untuk dientaskan dari neraka, sudah tidak tersisa.” Allah berfirman, ”Kembali
lagi, keluarkanlah yang masih memiliki iman seberat dinar.” Maka dikeluarkanlah orang
mukmin banyak sekali yang disiksa di neraka. Kemudian mereka melapor, ”Wahai Tuhan
kami, kami tidak meninggalkan seorangpun orang yang Engkau perintahkan untuk
dientas.” (H.R. Muslim).
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesempatan untuk dapat berteman, berinteraksi,
dan menjalani hidup bersama dengan golongan orang-orang shalih. Harapannya supaya
saling mendukung dan memotivasi untuk beramal baik karena Allah semata. Dan juga saling
menjaga agar meninggalkan segala sesuatu yang buruk dan dilarang oleh Allah. Sehingga
nantinya dapat kembali berkumpul di akhirat bersama-sama dengan golongan orang-orang
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, yang berada di dalam barisan Rasulullah
Muhammad SAW, yang merupakan pewaris dan penghuni surga yang kekal. Aamiin ya
robbal’aalamiin. Wallahu a’lam bishshowwaf.

Anda mungkin juga menyukai