Anda di halaman 1dari 4

NAMA : TAJUDIN MUPLIH

NIRM : 2111.1205
JURUSAN: KPI III

BIOGRAFI ULAMA
Mama Ajengan KH MUHAMMAD MASTHURO

Ajengan Masthuro adalah salah satu tokoh yang masyhur dikenal, utamanya di kawasan
Priangan. Dikenal sebagai seorang tokoh masyarakat, ulama, sekaligus dai, Ajengan
Masthuro adalah cerminan sempurna mengenai sosok yang patut dijadikan teladan.

K.H. Muhammad Masthuro atau yang lebih dikenal dengan Mama Ajengan Masthuro
dilahirkan pada tahun 1901 di Kampung Cikaroya, sebuah kampung yang bertetangga dengan
Kampung Tipar, tempat Pondok Pesantren Al-Masthuriyah kini berada. Ayahnya bernama
Amsol yang kesehariannya bertugas sebagai Amil atau Lebe yang mengurusi masalah
keagamaan di desa.

Ayahnya pada awalnya tinggal di Kuningan. Karena tidak ingin tunduk dengan penjajah, ia
melarikan diri ke Bogor. Amsol sebenarnya adalah nama samaran dari Asror. Penggantian
nama tersebut untuk menghindari pengejaran Belanda. Di Cimande, Bogor, ia kemudian
memperoleh seorang istri bernama Eswi. Dari Ibu Eswi ini, beliau mendapatkan sepuluh
anak, salah satunya adalah Muhammad Masthuro.

Riwayat Pendidikan

Beliau mulai belajar agama kepada ayahnya sendiri di usia enam tahun (1907). Di usia
delapan tahun (1909), ia belajar di Pesantren Cibalung, Desa Talaga, Cibadak, Sukabumi
dibawah asuhan K.H. Asy’ari. Di sini, ia selain belajar Quran juga mempelajari kitab-kitab
kuning. Ia juga belajar kepada K.H. Kartobi, pengasuh pesantren Tipar Kulon. Setelah
menyelesaikan sekolah di Rambay (selesai tahun 1914), ia belajar di Pesantren Babakan
Kaum, Cicurug dibawah asuhan K.H. Hasan Basri.

Ia juga belajar di Pesantren Karang Sirna, Cicurug dibawah asuhan K.H. Muhammad Kurdi.
Setahun kemudian (1915), ia berpindah ke Pesantren Paledang, Cimahi, Cibadak dibawah
asuhan K.H. Ghazali. Di tahun yang sama, ia berpindah ke Pesantren Sukamantri yang
dipimpin K.H. Muhammad Sidiq. Di tahun 1916, beliau belajar dengan K.H. Munajak
pengasuh Pesantren Pintuhek, Sukabumi. Dua tahun sesudahnya (1918), beliau belajar kitab-
kitab dengan K.H. Ahmad Sanusi di Cantayan, Sukabumi dan selesai tahun 1920.

Selain belajar kepada kiai-kiai di sekitar Priangan tadi, beliau juga berguru kepada Habib
Syekh bin Salim al-Attas. Habib Syekh merupakan guru dan panutan ajengan di Sukabumi.
Di banyak riwayat tentang kisah Ajengan Masthuro, disebutkan bahwa Ajengan Masthuro
adalah murid kesayangan Habib Syekh. Al-Habib melihat sifat-sifat mulia seperti tawadhu’
ikhlas, ta’dzim kepada guru, cerdas, dan sebagainya. Pada akhir hayatnya, beliau berwasiat
untuk dimakamkan di samping makam muridnya tersebut. Saat ini Habib Syekh bin Salim
bersebelahan dengan makam Ajengan Masthuro.

Mengembangkan Pesantren al-Masthuriyah

Pada tahun 1920, ia kembali ke kampung halamannya lalu mendirikan pesantren sebagai
tempat pengamalan ilmunya dan pengabdiannya kepada masyarakat.

Kendatipun Ajengan Masthuro sudah kembali ke kampungnya dan sudah mendirikan


pesantren yang memiliki santri yang banyak serta menjadi ulama yang dihargai dan
dihormati, dorongan untuk menuntut ilmunya tidak terhenti. Semangat memperdalam
pengetahuan dan memperluas wawasannya tidak pernah padam. Beliau terus
mengembangkan pesantren sampai beliau wafat di tahun 1968.

Pesantren yang bernama al-Masthuriyah akan berumur seratus tahun pada 2020, dan memiliki
unit pendidikan yang lengkap dari jenjang PAUD sampai Perguruan Tinggi (STAI). Salah
seorang putranya, KH E. Fachrudin Masthuro, pernah menjabat Wakil Rais ‘Aam PBNU.
Hingga beliau wafat (2012), ia menjadi salah seorang Musytasyar PBNU. Saat ini,
kepemimpinan pesantren diteruskan oleh salah seorang keturunannya yakni KH Abdul Aziz
Masthuro, adik almarhum KH Fakhruddin Masthuro yang pernah diberi amanat menjadi
Wakil Rais ‘Aam PBNU.
Keteladanan Berdakwah, Menanam Islam Melalui Budaya

Ajengan Masthuro pernah menyambangi komunitas penggemar kidung Sunda; sekitar 4 km


dari kediamannya. Sayangnya kegemaran tersebut membuat anggota komunitas terebut
melalaikan tuntunan Islam, seperti shalat. Untuk mendekati mereka, ia mengajak temannya
yang pandai melantunkan kidung Sunda. Keduanya mendatangi mereka dan turut
memperbincangkan tembang. Hal itu menimbulkan simpati, apalagi ketika teman Ajengan
Masthuro menyumbangkan sebuah kidung. Karena sudah simpati, mereka mudah diajak
membaca Qul-hu (surat al-Ikhlas) dan mempelajari bacaan-bacaan shalat dan Al-Quran.

Beberapa Nasihat Penting

Salah satu hal menarik dari riwayat hidup Ajengan Masthuro adalah wasiat –amanat yang
disampaikan sebelum ia wafat – kepada anak-anaknya dan mantu-mantunya, (dalam bahasa
Sunda), yaitu:

1. Kudu ngahiji dina ngamajukeun Pesantren, Madrasah. Ulah Pagirang-girang


tampian. (harus bersatu untuk kemajuan pesantren)

2) Ulah hasud (jangan hasud)

3) Kudu nutupan kaaeban batur (harus menutupi aib orang lain)

4.) Kudu silih pikanyaah (saling mengasihi)

5.) Kudu boga karep sarerea hayang mere (suka memberi)

6.) Kudu mapay thorekat anu geus dijalankeun ku Abah (harus mengikuti tarekat KH


Masthuro).

Karya Tulis

Ajengan Masthuro menulis kitab berjudul Kayfiyyatu al-Shalat dalam bahasa Arab dan


diterjemahkan dalam bahasa Sunda beraksara Arab (Arab Pegon), setebal 98 halaman. Pada
halaman awalnya, tertulis judul “Kayfiyyatu al-Shalat wa Manquulatun Muhimmatun min al-
Kutub al-Syafi’iyyah (Tata Cara Shalat dan Kutipan-Kutipan Penting dari Aneka Kitab
Mazhab Syafi’i).

“Kaifiyyatus Shalât” berisi tuntutan melaksanakan sembahyang (bershalat) menurut fiqih


madzhab Syafi’I, termasuk di dalamnya adalah hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti
syarat sah, syarat wajib, rukun, sunnah, makruh, perkara-perkara yang membatalkan shalat,
doa-doa yang dianjurkan untuk dibaca, dan lain-lain. 

Di antara referensi yang menjadi acuan Ajengan Masthuro dalam menyusun karya ini adalah
“Hasyiah al-Bayjuri” karangan Syekh Ibrahim al-Bayjuri al-Azhari, “Syarh Fathul Mu’in”
karangan Syekh Zainuddin al-Malibari dan hasyiyah-nya “I’anah al-Thalibin” karangan
Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha, “Syarh al-Manhaj al-Qawim” karangan Ibn Hajar al-
Haitamî, “Ihya ‘Ulumid Din” karangan al-Imam al-Ghazzali, “al-Adzkar al-Nawawiyyah”
karangan al-Imam al-Nawawi al-Dimasyqi, “Muraqil ‘Ubudiyyah” karangan Syekh Nawawi
Banten, dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai