Anda di halaman 1dari 12

BIOGRAFI TENTANG KH HASYIM AL ASY’ARI

Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang,
Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara
turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin
Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama
Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja
Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang
menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).

Kelahiran Dan Masa Kecil


Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama
Ngedang Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang
konon pondok tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah
seorang kiai besar, alim dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan
dikaruniai enam anak:

1. Halimah (Winih)
2. Muhammad
3. Leler
4. Fadli
5. Arifah
Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang
bernama Asy’ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy’ari
hampir beruisa 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:

1. Nafi’ah
2. Ahmad Saleh
3. Muhammad Hasyim
4. Radiyah
5. Hasan
6. Anis
7. Fatonah
8. Maimunah
9. Maksun
10.Nahrowi, dan
11.Adnan.
Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H,
bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan
kelahiran KH.M. Hasyim Asy’ari, nampak adanya sebuah isyarat yang
menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai
Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya,
begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa
yang dirasakan wanita ketika melahirkan.

Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini
berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang
tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak di selatan kota Jombang dan di desa
tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.

Principle of early learning, mungkin teori ini layak disandang oleh beliau,
berdasarkan kehidupan beliau yang mendukung yaitu hidup dilingkungan
pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada
dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagaimana ayahanda dan
bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri
hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu..
Belajar Pada Keluarga
Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu
agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup
yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang
luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren
Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan
yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami
ilmu-ilmu agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak.
Ketidakpuasannya terhadap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan
mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar pada lingkungan
keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun)
yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukan pengembaraanya
menuntut ilmu.

Mengembara ke Berbagai Pesantren


Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim
belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya
Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang,
Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban
(sekarang diasuh oleh K.H Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di
bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).

Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy’ari “ngangsu
kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih,
beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin
istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin
lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istrinya.
Setelah melihat kesedihan di wajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim
menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai
Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh
kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan
cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim
itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil,
baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali ke masyarakat untuk
berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak
mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH. As’ad Syamsul Arifin
(pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun
1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren
Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang terkenal ilmu
nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal
dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.

Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun
menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah
pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk
menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan
ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah
dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh
disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih
berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci Mekah.
Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi
nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri
mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari
kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke
Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai
seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau
adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah
berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa
kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau
meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.

Kematangan Ilmu di Tanah Suci


Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi
ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah
suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih
teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah suci Mekah.
Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni
ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan
mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih cita-cita,
seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya.
Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah
beliau. Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk
belajar sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin
Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam ilmu bahasa dan
syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh
Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam segala
bidang keilmuan).

Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah,
beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap,
baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal untuk beramal dan
mengajar di kampung halaman.

Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng


Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai
mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang
diasuh oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan
dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri.
Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar
Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama
sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.

Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren


yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu
merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai
tanda tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak
dihiraukannaya.

Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah
tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu
banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah
warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman
yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan
Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.

Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren


Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai
Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya,
segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran
pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah
satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori
dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti
oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi
ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf
Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28
orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya
telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses
menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng
menjadi kiblat pondok pesantren.

Mendirikan Nahdlatul Ulama’


Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang
bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31 Januari 1926 M,
di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan
ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’
besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah
satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam
Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan
juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH.
Hasyim Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini
tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun
asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah
waljama’ah.

Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan


mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang
tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut
pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa
beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar
membuka kesempatan musuh untuk menghancurkannya, baik penjajah atau
mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk
mengadudomba antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola
pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat
Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan
membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh
ulama’ulama lain.

Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang
mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan
lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama
NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan
diarahkankan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika
memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional.
Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan
Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya
pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian
menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir
dengan keputusan Muktamar Situbono yanh menghendaki NU sebagai
organisasi sosial keagamaan kembali pada khitohnya.

Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan
keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat
secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.

Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan


memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya.
Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada santri-
santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan kejadian yang
dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya
dengan tiga hal, yaitu:

 Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan


 Harta benda yang berlimpah-limpah
 Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi Allah, jika mereka
kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan
tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya
bahkan nyawa taruhannya”. Akhir KH.M. Hasyim Asy’ari mengakhiri nasehat
kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan dari
perbuat Nabi SAW.
Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun
waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan
oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami
penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi
justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam tinta emas
pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu dengan
diserukan resolusi jihad yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober
1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara
(Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan di Surabaya.
Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.

Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih
sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia
(MASYUMI) jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren
hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.

Keluarga Dan Sisilah


Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317
H/1899 M), KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri
Kiai Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini
kiai hasyim dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:

1. Hannah
2. Khoiriyah
3. Aisyah
4. Azzah
5. Abdul Wahid
6. Abdul hakim (Abdul Kholiq)
7. Abdul Karim
8. Ubaidillah
9. Mashurroh
10.Muhammad Yusuf.
Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali denagn
Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo,
Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang
putra-putri yaitu:

1. Abdul Qodir
2. Fatimah
3. Chotijah
4. Muhammad Ya’kub
Garis keturunan KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan )
Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul
Halim (Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang
kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang
bergelar Brawijaya VI

Wafatnya Sang Tokoh


Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami
Shalat Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan
pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah
seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui
utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu
menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai
Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan
keesokan harinya.

Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi


pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat.
Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya
Allah…” kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai
Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar.
Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan
kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan
dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian,
Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim tidak sadarkan diri.
Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan
tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat,
misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara
pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter
Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan
otak. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan
berkehendak lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul
03.00 pagi, Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan
1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.

Kepergian belaiu ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa


yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para
pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan
khususnya para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin
besarnya yang kini berbaring di pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng.
Pada saat mengantar kepergianya, shahabat dan saudara beliau, KH. Wahab
hazbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya
menjelaskan prinsip hidup belaiu, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal
surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.

Karya Kitab Klasik


Sebagai seorang ulama panutan, Hadratusy Syaikh KH M. Hasyim Asy'ari tidak
hanya pandai berbicara di dalam mushola, kelas, atau mimbar-mimbar
pengajian umum, tapi juga memiliki tradisi kepenulisan yang kuat. Sejumlah
disiplin keislaman di bidang akidah, akhlah, hingga ilmu fiqih ia tulis dengan
serius.

Berikut ini sejumlah karya Kiai Hasyim Asy’ari yang masih menjadi
kitab wajib untuk dipelajari di pesantren-pesantren Nusantara. Catatan karya
Mbah Hasyim diambil dari website Pesantren Tebuireng (tebuireng.net):

1. Adabul 'Alim Wal Muta'allim adalah sebuah kitab yang mengupas tentang
pentingnya menuntut dan menghormati ilmu serta guru. Dalam kitab ini KH. M.
Hasyim Asy'ari menjelaskan kepada kita tentang cara bagaimana agar ilmu itu
mudah dan cepat dipahami dengan baik. Kitab yang terdiri dari beberapa bab
ini, memberikan pula kepada kita pencerahan tentang mencari dan menjadikan
ilmu benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat. Salah satu contoh
yang diberikan oleh KH. M. Hasyim Asy'ari kepada kita adalah bahwa ilmu
akan lebih mudah diserap dan diterima apabila kita dalam keadaan suci atau
berwudhu terlebih dahulu sebelum mencari ilmu. Banyak hal yang bisa kita
petik dalam rangka mencari ilmu ketika kita membaca kitab ini.

2. Risalah Ahlis Sunnah Wal Jama'ah merupakan pedoman bagi warga NU


dalam mempelajari tentang apa yang disebut ahlus sunnah wal jama'ah atau
sering disingkat dengan ASWAJA. Dalam kitab ini, Hadratus Syaikh juga
mengulas tentang beberapa persoalan yang berkembangan dimasyarakat
semisal, apa yang disebut dengan bid'ah? Menerangkan pula tentang tanda-
tanda kiamat yang terjadi pada masa sekarang ini. Banyak golongan yang
mengaku bahwa mereka juga merupakan golongan ahlus sunnah wal jamaa'h.
Akan tetapi dalam ibadah, amal perbuatannya banyak menyimpang dari
tuntunan Rasulullah SAW. Dalam kitab ini diuraikan dengan jelas tentang
bagaimana sebenarnya ahlus sunnah wal jama'ah tersebut.

3. At-Tibyan Fin Nahyi An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan


merupakan kumpulan beberapa pikiran khususnya yang berhubungan dengan
Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, ditekankan pentingnya menjalin silaturrohim
dengan sesama serta bahayanya memutus tali sillaturohim. Didalam kitab ini
pula, termuat Qunun Asas atau udang-undang dasar berdirinya Nadhatul Ulama
(NU) serta 40 hadits nabi yang berhubungan dengan pendirian Nahdlatul
Ulama. Dalam kitab ini, dikisahkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy'ari
pernah mendatangi seorang kyai yang ahli ibadah karena kyai tersebut tidak
mau menyambung silaturrohim dengan masyarakat sekitar sehingga sempat
terjadi perdebatan antara keduanya.

4. An-Nurul Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin merupakan karya KH.


Muhammad Hasyim Asy'ari yang menjelaskan tentang rasa cinta kepada nabi
Muhammad SAW. Dalam kitab tersebut, dijelaskan pula tentang sifat-sifat
terpuji nabi Muhammad SAW yang bisa menjadi suri tauladan bagi kita semua.
Dijelaskan pula tentang kewajiban kita taat, menghormati kepada perintah Allah
SWT yang telah disampaikan melalui nabi Muhammad SAW baik melalui al-
qur an atau hadits. Silsilah keluarga nabi Muhammad SAW, tidak luput dari
pembahasan. Singkat kata, dalam kitab ini, kita mendapatkan sejarah yang
relatif lengkap dan menarik untuk dikaji serta dijadikan tauladan menuju insan
kamil.

5. Ziyadatut Ta'liqot merupakan kitab yang berisi tentang polemik beliau


dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan tentang beberapa hal yang
berkembang pada masa itu. Perdebatan terjadi pada beberapa masalah yang
tidak sesuai antara pandangan Nahdlatul Ulama dengan KH. Abdullah Bin
Yasin Pasuruan. Banyak sekali permasalahan yang diperdebatkan sehingga
kitab ini begitu tebal dan permasalahan yang diperdebatkan masih terjadi
dimasyarakat.

6. At-Tanbihatul Wajibat Li Man Yasna' Al-Maulid Bil Munkaroti adalah


sebuah kitab tentang pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy'ari tantang
peringatan maulid nabi Muhammad SAW yang disertai dengan perbuatan
maksiat atau munkar. Dalam kitab tersebut, diceritakan bahwa pada jaman dulu,
disekitar Madiun, setelah pembacaan shalawat nabi, para pemuda segera
menuju arena untuk mengadu keahlian dalam hal bela diri silat atau pencak.
Acara itu, masih dalam rangkaian peringatan maulid serta dihadiri oleh gadis-
gadis yang saling berdesakan dengan para pemuda. Mereka saling berteriak
kegirangan hingga lupa bahwa saat itu, mereka sedang memperingati maulid
nabi Muhammad SAW. Hal tersebut menimbulkan keprihatinan KH.
Muhammad Hasyim Asy'ari sehingga beliau mengarang kitab ini.

7. Dhou'ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah berisi pikiran ataupun pandangan


KH. Muhammad Hasyim Asy'ari tentang lembaga perkawinan. Dalam kitab
tersebut, beliau menangkap betapa pada saat itu, banyak pemuda yang ingin
menikah, akan tetapi tidak mengtahui syarat dan rukunnya nikah. Tidak tahu
pula tentang tata cara / sopan santun dalam pernikahan sehingga dalam mereka
menjadi bingung karenanya. Dalam kitab tersebut, terkandung beberapa nasehat
yang penting agar lembaga perkawinan betul-betul bisa menjadi sebuah
keluarga yang Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah sesuai tuntunan agama.

Selain menulis kitab, Kiai Hasyim juga rajin menyebarkan ilmu dan penapatnya
di sejumlah media yang beredar secara nasional pada waktu itu, di antaranya,
majalah Soeara Moeslimin Indonesia (majalah milik Masyumi), Berita NO,
Soeloeh NO, Swara NO, dan sebagainya.

WEB : http://bio.or.id/biografi-kh-hasyim-al-asyari-pendiri-nahdlatul-ulama-
nu/

Anda mungkin juga menyukai