Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang,
Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara
turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin
Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama
Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja
Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang
menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
1. Halimah (Winih)
2. Muhammad
3. Leler
4. Fadli
5. Arifah
Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang
bernama Asy’ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy’ari
hampir beruisa 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:
1. Nafi’ah
2. Ahmad Saleh
3. Muhammad Hasyim
4. Radiyah
5. Hasan
6. Anis
7. Fatonah
8. Maimunah
9. Maksun
10.Nahrowi, dan
11.Adnan.
Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H,
bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan
kelahiran KH.M. Hasyim Asy’ari, nampak adanya sebuah isyarat yang
menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai
Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya,
begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa
yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini
berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang
tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak di selatan kota Jombang dan di desa
tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.
Principle of early learning, mungkin teori ini layak disandang oleh beliau,
berdasarkan kehidupan beliau yang mendukung yaitu hidup dilingkungan
pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada
dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagaimana ayahanda dan
bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri
hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu..
Belajar Pada Keluarga
Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu
agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup
yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang
luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren
Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan
yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami
ilmu-ilmu agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak.
Ketidakpuasannya terhadap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan
mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar pada lingkungan
keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun)
yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukan pengembaraanya
menuntut ilmu.
Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy’ari “ngangsu
kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih,
beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin
istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin
lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istrinya.
Setelah melihat kesedihan di wajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim
menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai
Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh
kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan
cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim
itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil,
baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali ke masyarakat untuk
berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak
mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH. As’ad Syamsul Arifin
(pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun
1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren
Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang terkenal ilmu
nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal
dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun
menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah
pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk
menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan
ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah
dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh
disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih
berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci Mekah.
Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi
nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri
mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari
kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke
Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai
seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau
adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah
berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa
kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau
meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah,
beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap,
baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal untuk beramal dan
mengajar di kampung halaman.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah
tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu
banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah
warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman
yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan
Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang
mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan
lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama
NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan
diarahkankan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika
memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional.
Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan
Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya
pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian
menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir
dengan keputusan Muktamar Situbono yanh menghendaki NU sebagai
organisasi sosial keagamaan kembali pada khitohnya.
Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan
keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat
secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih
sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia
(MASYUMI) jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren
hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.
1. Hannah
2. Khoiriyah
3. Aisyah
4. Azzah
5. Abdul Wahid
6. Abdul hakim (Abdul Kholiq)
7. Abdul Karim
8. Ubaidillah
9. Mashurroh
10.Muhammad Yusuf.
Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali denagn
Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo,
Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang
putra-putri yaitu:
1. Abdul Qodir
2. Fatimah
3. Chotijah
4. Muhammad Ya’kub
Garis keturunan KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan )
Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul
Halim (Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang
kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang
bergelar Brawijaya VI
Berikut ini sejumlah karya Kiai Hasyim Asy’ari yang masih menjadi
kitab wajib untuk dipelajari di pesantren-pesantren Nusantara. Catatan karya
Mbah Hasyim diambil dari website Pesantren Tebuireng (tebuireng.net):
1. Adabul 'Alim Wal Muta'allim adalah sebuah kitab yang mengupas tentang
pentingnya menuntut dan menghormati ilmu serta guru. Dalam kitab ini KH. M.
Hasyim Asy'ari menjelaskan kepada kita tentang cara bagaimana agar ilmu itu
mudah dan cepat dipahami dengan baik. Kitab yang terdiri dari beberapa bab
ini, memberikan pula kepada kita pencerahan tentang mencari dan menjadikan
ilmu benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat. Salah satu contoh
yang diberikan oleh KH. M. Hasyim Asy'ari kepada kita adalah bahwa ilmu
akan lebih mudah diserap dan diterima apabila kita dalam keadaan suci atau
berwudhu terlebih dahulu sebelum mencari ilmu. Banyak hal yang bisa kita
petik dalam rangka mencari ilmu ketika kita membaca kitab ini.
Selain menulis kitab, Kiai Hasyim juga rajin menyebarkan ilmu dan penapatnya
di sejumlah media yang beredar secara nasional pada waktu itu, di antaranya,
majalah Soeara Moeslimin Indonesia (majalah milik Masyumi), Berita NO,
Soeloeh NO, Swara NO, dan sebagainya.
WEB : http://bio.or.id/biografi-kh-hasyim-al-asyari-pendiri-nahdlatul-ulama-
nu/