1. Halimah (Winih)
2. Muhammad
3. Leler
4. Fadli
5. Arifah
Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama Asy’ari,
ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy’ari hampir beruisa 25 tahun.
Mereka dikarunia 10 anak:
1. Nafi’ah
2. Ahmad Saleh
3. Muhammad Hasyim
4. Radiyah
5. Hasan
6. Anis
7. Fatonah
8. Maimunah
9. Maksun
10. Nahrowi, dan
11. Adnan.
Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H, bertepatan
dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahiran KH.M. Hasyim
Asy’ari, nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika
dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam
kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa
yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini berlangsung
selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang pindah ke Desa
Keras terletak di selatan kota Jombang dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok
pesantren yang bernama Asy’ariyah.
Principle of early learning, mungkin teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan
kehidupan beliau yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau
nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat
dilihat bagaimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan
bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling
membantu..
Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy’ari “ngangsu kawruh”
dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau memberanikan diri
untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim
lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa
cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan di wajah guru besarnya itu, Kiai
Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim
benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan
keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai
Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat
dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali ke
masyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim
hendak mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH. As’ad Syamsul Arifin
(pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891
M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo,
dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa
lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk
dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah
dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau
kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan
mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu
pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir
seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits
Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti.demikian
juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim
di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan
memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia.
empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke
Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama,
nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan
ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau
juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai
akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah, beliau
pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang bersifat
ma’qul maupun manqul, seabagi bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.
Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren yang
dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang
kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanaya besar dikalangan
masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada
seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali lintahnya,
ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-
merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak
itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng,
bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb,
Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-
pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu
keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim”
dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang
datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang
(penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng
yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir
hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses
menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi
kiblat pondok pesantren.
Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad
untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan
ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau
menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan
lebih besar membuka kesempatan musuh untuk menghancurkannya, baik penjajah atau
mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadudomba
antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat
bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir
mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang
dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir pada
batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari pada
sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan
kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh.
Namun ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan
nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan
Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah
tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP,
peran NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan Muktamar Situbono
yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khitohnya.
Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan,
melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam
perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan memberikan bintang
mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada malam harinya
beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan
menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum
Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi Allah, jika mereka kuasa
meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar aku
berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”.
Akhir KH.M. Hasyim Asy’ari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu
mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW.
Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun waktu
terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah
fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu
jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan
lembaran dalam tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik Indonesia,
yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober
1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara (Jombang) dan
dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan di Surabaya. Beliau dianggap sebagai
penghalang pergerakan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai ketua
umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu dipangkunya
namun tetap mengajar di pesantren hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.
1. Hannah
2. Khoiriyah
3. Aisyah
4. Azzah
5. Abdul Wahid
6. Abdul hakim (Abdul Kholiq)
7. Abdul Karim
8. Ubaidillah
9. Mashurroh
10. Muhammad Yusuf.
Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali denagn Nyai
Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri,
dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
1. Abdul Qodir
2. Fatimah
3. Chotijah
4. Muhammad Ya’kub
Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul Halim
(Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang kemudian bergelar
Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang bergelar Brawijaya VI
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang
semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai
Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian beliau memegang kepalanya dan
ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit
keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian
meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada
di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa
Kiai Hasiyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga
dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat,
misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang,
walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak. Walaupun
dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain pada
kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25 Juli 1947,
bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Kepergian belaiu ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat
dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun
militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri Tebuireng.
Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau di
tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, shahabat dan saudara beliau,
KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan
prinsip hidup belaiu, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu
zonder istirahat”.
Tetapi sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi, kitab-kitab yang sangat
berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab yang beliau tulis tidak kurang dari
dua puluhan judul. Namun diakungkan yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja,
diantaranya: