Anda di halaman 1dari 19

Karya dan jasa Kiai Hasyim Asyari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur,

10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin
pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah
selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asyari merupakan
keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir
yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).

Kelahiran Dan Masa Kecil


Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang Desa
Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di Jombang,
dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan sangat
berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan dikaruniai enam anak:
1. Halimah (Winih)
2. Muhammad
3. Leler
4. Fadli
5. Arifah
Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama Asyari,
ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asyari hampir beruisa 25 tahun.
Mereka dikarunia 10 anak:
1. Nafiah
2. Ahmad Saleh
3. Muhammad Hasyim
4. Radiyah
5. Hasan
6. Anis
7. Fatonah
8. Maimunah
9. Maksun
10. Nahrowi, dan
11. Adnan.
Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqodah 1287 H, bertepatan
dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahiran KH.M. Hasyim
Asyari, nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika
dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam

kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa
yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini berlangsung
selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang pindah ke Desa
Keras terletak di selatan kota Jombang dan di desa tersebut Kiai Asyari mendirikan pondok
pesantren yang bernama Asyariyah.
Principle of early learning, mungkin teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan
kehidupan beliau yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau
nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat
dilihat bagaimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan
bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling
membantu..

Belajar Pada Keluarga


Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik
dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya,
disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu
pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asyariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki
dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat
memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak.
Ketidakpuasannya terhadap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu,
membuatnya tidak cukup hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar
sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai
melakukan pengembaraanya menuntut ilmu.

Mengembara ke Berbagai Pesantren


Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim belajar ke pondokpondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah
Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya,
dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh K.H Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan,
Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).
Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asyari ngangsu kawruh
dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau memberanikan diri
untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim
lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa
cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan di wajah guru besarnya itu, Kiai
Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim
benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan
keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai
Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat
dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali ke
masyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim
hendak mendirikan Jamiyah Nahdlatul Ulama yang dibawa KH. Asad Syamsul Arifin
(pengasuh Pondok Pesantren Syafiiyah Situbondo).

Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891
M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo,
dibawah bimbingan K. H. Yaqub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa
lama, Kiai Yaqub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk
dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah
dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Yaqub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau
kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan
mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu
pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir
seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits
Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti.demikian
juga yang dialami Kiai Hasyim Asyari di tanah suci Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim
di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan
memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia.
empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke
Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama,
nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan
ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau
juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai
akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.

Kematangan Ilmu di Tanah Suci


Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota
Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik
kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala kaki
beliau kembali menginjak tanah suci Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat
baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat
bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih citacita, seperti Padang Arafah, Gua Hira, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan
makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama
besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di
antaranya adalah Syaikh Suab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam
ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh
Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah, beliau
pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang bersifat
maqul maupun manqul, seabagi bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.

Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng


Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar santri,
beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mediang kakeknya,
sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa
Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh

Banjar Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama
sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren yang
dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang
kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanaya besar dikalangan
masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada
seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali lintahnya,
ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerahmerahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak
itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng,
bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb,
Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihakpihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asyari memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu
keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini Al-Bukhori dan Muslim
dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang
datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang
(penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng
yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir
hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses
menjadi ulama besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi
kiblat pondok pesantren.

Mendirikan Nahdlatul Ulama


Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal
atau nasional. Pada tanggal 16 Saban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur
didirikanlah Jamiyah Nahdlotul Ulama (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri,
KH. Wahab Hasbullah, dan ulama-ulama besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya:
Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin
Idris Asyafii, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nuam dan Ahmad bin Hambali.
Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam. KH. Hasyim
Asyari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun
menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang
mengembangkan faham ahli sunnah waljamaah.
Nahdlatul ulama sebagai suatu ikatan ulama seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad
untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan
ulama yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau
menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan
lebih besar membuka kesempatan musuh untuk menghancurkannya, baik penjajah atau
mereka yang ingin memadamkan sinar dan syiar Islam di Indonesia, untuk mengadudomba
antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat
bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir

mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang
dapat diterima oleh ulamaulama lain.
Jamiyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jamaah, yang mengakomodir pada
batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari pada
sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan
kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh.
Namun ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan
nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan
Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah
tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP,
peran NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan Muktamar Situbono
yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khitohnya.

Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asyari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan,
melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam
perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan memberikan bintang
mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada malam harinya
beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan
menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum
Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
Harta benda yang berlimpah-limpah
Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: Demi Allah, jika mereka kuasa
meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar aku
berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya.
Akhir KH.M. Hasyim Asyari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu
mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW.
Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun waktu
terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah
fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu
jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan
lembaran dalam tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik Indonesia,
yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober
1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara (Jombang) dan
dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan di Surabaya. Beliau dianggap sebagai
penghalang pergerakan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asyari terpilih sebagai ketua
umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu dipangkunya
namun tetap mengajar di pesantren hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.

Keluarga Dan Sisilah


Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899 M), KH.
M. Hasyim Asyari menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas pengasuh Pondok
Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini kiai hasyim dikaruniai 10 putra dan putri
yaitu:
1. Hannah
2. Khoiriyah
3. Aisyah
4. Azzah
5. Abdul Wahid
6. Abdul hakim (Abdul Kholiq)
7. Abdul Karim
8. Ubaidillah
9. Mashurroh
10. Muhammad Yusuf.
Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asyari menikah kembali denagn Nyai
Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri,
dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
1. Abdul Qodir
2. Fatimah
3. Chotijah
4. Muhammad Yakub
Garis keturunan KH. M. Hasyim Asyari (Nenek ke-sembilan )
Muhammad Hasyim bin Asyari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul Halim
(Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang kemudian bergelar
Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang bergelar Brawijaya VI

Wafatnya Sang Tokoh


Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat Tarawih,
sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat.
Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung
Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu
itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim
meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang
semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai
Hasyim berkata, Masya Allah, Masya Allah kemudian beliau memegang kepalanya dan
ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit
keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian
meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada
di samping Kiai Hasyim Asyari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa
Kiai Hasiyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga
dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat,

misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang,
walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak. Walaupun
dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain pada
kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asyari wafat pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25 Juli 1947,
bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Rajiun.
Kepergian belaiu ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat
dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun
militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri Tebuireng.
Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau di
tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, shahabat dan saudara beliau,
KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan
prinsip hidup belaiu, yakni, berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu
zonder istirahat.

Karya Kitab Klasik


Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis disela-sela
kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuan umat, membela dan
memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan bukti riil dari sikap dan
perilakunya, pemikirannya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang rata-rata berbahasa
Arab.
Tetapi sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi, kitab-kitab yang sangat
berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab yang beliau tulis tidak kurang dari
dua puluhan judul. Namun diakungkan yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja,
diantaranya:
1. Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman, mentaati,
mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya
2. Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashnau al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian mengenai
maulid nabi dalam kaitannya dengan amar maruf nahi mungkar
3. Risalah Ahli Sunnah Wal Jamaah. Kajian mengenai pandangan terhadap bidah,
Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
4. Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tisa asyaraoh. Kajian tentang wali dan thoriqoh
yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
5. Al-Tibyan Fi Nahyian Muqathaah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal. Kajian
tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
6. Adabul Alim Wa Muataalim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam
pendidikan pesantrren pada khususnya
7. Dlau al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun,
dan hak-hak dalam perkawinan
8. Ziyadah Taliqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin
yasir Pasuruaan

Biografi KH. Bisri Syansuri

A. Biografi Kyai Haji Bisri Syansuri


Kyai Haji Bisri Syansuri (lahir di desa Tayu, Pati, Jawa Tengah, 18 September 1886 meninggal di
Jombang, Jawa Timur, 25 April 1980 pada umur 93 tahun) seorang ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama
(NU). Ayahnya bernama Syansuri dan ibunya bernama Mariah. Kiai Bisri adalah anak ketiga dari lima
bersaudara yang memperoleh pendidikan awal di beberapa pesantren lokal, antara lain pada KH
Abdul Salam di Kajen.
Ia adalah pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang dan terkenal atas penguasaannya di bidang
fikih agama Islam. Bisri Syansuri juga pernah aktif berpolitik, antara lain sempat sebagai anggota
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante,
ketua Majelis Syuro Partai Persatuan Pembangunan dan sebagai Rais Aam NU. Ia adalah kakek dari
Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia keempat.
B. Silsilah Beliau
1.Sunan lawu (brawijaya)
2.R.fatah(tajuddin abd.hamid)
3.R.trenggono(syah alam akbar)
4.R.bagus mukmin
5.ki ageng prawito ngardin
6.P.haryo madi
7.P.joyoprono
8.R.dandang kumbang
9.R.karthi noto
10.kyai nur hadi(sunan mupus pati)
11.kyai nur syahid(demak)
12.kyai yunus
13.kyai marchum(nglau)
14.kyai hasan bisri(jebol)
15.kyai abdul ghani
16.kyai Muhammad rois
17.KH.Syamsuri
18.KH. Bisri Zansuri
C. Riwayat Pendidikan Beliau
Kiai Bisri kemudian berguru kepada KH Kholil di Bangkalan dan KH Hasyim Asyari di Tebuireng,
Jombang. Kiai Bisri kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar ke pada sejumlah
ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Said Yamani, Syekh
Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syuaib Daghistani, dan
Kiai Mahfuz Termas. Ketika berada di Mekkah, Kiai Bisri menikahi adik perempuan Kiai Wahab. Di

kemudian hari, anak perempuan Kiai Bisri menikah dengan putra KH Hasyim Asari, KH Wahid
Hasyim dan memiliki putra Gus Dur dan KH Solahuddin Wahid (Gus Sholah). Ia kemudian
mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain
Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa'id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal
Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu'aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas. Ketika
berada di Mekkah, Bisri Syansuri menikahi adik perempuan Abdul Wahab Chasbullah. Di kemudian
hari, anak perempuan Bisri Syansuri menikah dengan KH Wahid Hasyim dan menurunkan KH
Abdurrahman Wahid dan Ir.H. Solahuddin Wahid.
Sepulangnya dari Mekkah, Kiai Bisri menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang,
selama dua tahun. Kiai Bisri ke-mudian mendirikan Ponpes Mam-baul Maarif di Denanyar, Jombang
pada 1917. Saat itu, Kiai Bisri adalah kiai pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri
wanita di pesantren yang didirikannya.
D. Pemikiran Beliau
Kyai Bisri muda dapat terus menjadi santri karena ia mencuci pakaian dan menanak nasi untuk kawan
barunya itu, Kiai Wahab muda. Segera Kiai Bisri muda menjadi orang kepercayaan Wahab muda
karena jujur dan rajin. Jadi, urusannya sudah bukan lagi menyangkut pakaian dan makanan, tetapi
sudah berkaitan dengan watak dan tempramen. Walaupun begitu, keahlian ilmu agama Islam kedua
orang itu juga saling berbeda.
Perbedaannya terletak pada bidang ilmu agama yang mereka senangi. Kiai Wahab senang pada ilmu
ushul fiqh, sedangkan Kiai Bisri menyukai tafsir dan hadits Nabi Muhammad SAW. Bidang itu juga
dinamai kajian naqly, bertumpu kepada ayat-ayat Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Karena itu, Kiai Bisri tidak banyak berkutat dengan penggunaan akal (rasio) sebagaimana Kiai
Wahab. Pernah Kiai Wahab bertanya kepada Gus Dur; Saya dengar kakekmu itu tidak pernah makan
di warung? Gus Dur menjawab, Memang benar demikian.
Kiai Wahab kembali bertanya, Mengapa? Gus Dur menjawab, Kiai Bisri tidak menemukan hadits
yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah makan di warung. Kiai Abdul Wahab
menga-takan; Ya, tentu saja karena waktu itu belum ada warung.
Tetapi pergaulan mereka, tokoh tekstual di satu sisi dan tokoh satunya yang senang menggunakan
rasio, ternyata sangat erat. Hal ini tampak ketika ada bahtsul masail. Gus Dur pernah menyaksikan
sekitar 40-an orang kiai berkumpul dari pagi hingga sore hari di ruang tamu Kiai Bisri.Ternyata,
keduanya berdebat seru, yang satu membolehkan dan yang satu lagi melarang sebuah perbuatan.
Demikian seru mereka berbeda, hingga akhirnya semua kiai yang lain menutup buku/kitab mereka
dan mengikuti saja kedua orang itu berdebat. Sampai-sampai, baik Kiai Abdul Wahab maupun Kiai
Bisri berdiri dari tempat duduk mereka sambil memukul-mukul meja marmer yang mereka gunakan
berdiskusi. Muka keduanya me-merah karena bertahan pada pen-dirian masing-masing.
Akhirnya kemudian Kiai Abdul Wahab menyerang, Kitab yang Sampeyan gunakan adalah cetakan
Kudus, sedangkan kitab saya adalah cetakan Kairo. Ini adalah tanda Kiai Abdul Wahab kalah
argumentasi dan akan menerima pandangan Kiai Bisri. Walau pada forum bahtsul masail itu mereka
berbicara sampai memukul-mukul meja dengan wajah memerah, namun ketika tiba-tiba beduk berbunyi, Kiai Bisri segera berlari ke sumur di dekat ruang pertemuan tersebut. Di sana, dia naik ke
pinggiran sumur dan menimbakan air wudhu bagi iparnya itu. Beda pendapat boleh tapi harus tetap
rukun. Demikian kira-kira pegangan mereka.
Beliau menarik lainnya terdapat di buku Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tokoh
NU. Dalam resepsi penutupan Kongres Gerakan Pemuda Ansor di Surabaya, April 1980, Pengasuh
Pesantren Tebuireng KH Yusuf Hasyim (Pak Ud) membisiki seseorang, Sakitnya KH Bisri Syansuri
semakin parah. Beliau dalam keadaan tidak sadar siang tadi ketika saya tinggalkan berangkat kemari,
ujarnya. Orang yang diberitahu tersentak mendengar bisikan itu. Sebab tiga hari sebelumnya, dia ikut

hadir di ruang tamu rumahnya, sewaktu pendiri dan pemimpin Ponpes Mambaul Maarif itu menerima
Probosutedjo, pengusaha kenamaan dan adik Presiden Soeharto.
Probosutedjo diundang untuk memberikan ceramah tentang kewiraswastaan dalam Kongres Ansor di
Surabaya. Kehadirannya memenuhi undangan tersebut di-manfaatkan sekaligus untuk me-ngunjungi
Kiai Bisri yang sedang dalam keadaan sakit. Ketika itu Kiai Bisri menjemput sendiri tamunya di teras
tempat kediamannya. Bersa-rung putih dengan garis kotak-kotak kebiruan, mengenakan baju putih
dan berkopiah haji. Kiai Bisri mem-persilakan tamu dari Jakarta itu me-masuki ruang depan
rumahnya yang tua dan berperabotan sederhana.
Wajahnya, seperti biasa, tampak jernih. Dengan sabar penuh perhatian ia mendengarkan setiap kata
yang diucapkan oleh tamunya. Dan dengan suara lembut ia menjawab setiap pertanyaan, menjawab
salam dari Presiden Soeharto yang disampaikan oleh Probosutedjo dan dengan halus menolak tawaran
berobat ke luar negeri.
Terdapat pula kisah Kiai Bisri dalam buku Antologi NU; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah jilid I.
Saat berlangsung Sidang Umum MPR tahun 1978 ada peristiwa luar biasa. Fraksi PPP tidak sepakat
dengan keputusan fraksi lain. Setelah berkali-kali adu argumentasi mengenai rancangan ketetapan
MPR tentang P4 namun tetap tidak membuahkan hasil. Sementara partai sudah meng-gariskan untuk
memegang teguh ama-nat itu, mereka pun keluar sidang.
Seluruh anggota Fraksi PPP segera berdiri. Dipimpin langsung oleh KH Bisri Syansuri, mereka
beriringan walk out sebagai tanda tidak setuju terhadap hasil keputusan. Meski sudah berusia 92
tahun, kiai yang menciptakan lambang kabah bagi PPP itu malah berjalan paling depan.
Ketegasan lain nampak tatkala DPR membahas RUU tentang perkawinan. Secara kesluruhan RUU itu
dinilai banyak bertentangan dengan ketentuan hukum agama Islam. Maka, di mata Kiai Bisri,
menghadapi kasus itu, tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya.
Langkah pertama yang Kiai Bisri lakukan adalah dengan mengumpulkan sejumlah ulama di daerah
Jombang untuk membuat RUU tandingan yang akan diajukan ke DPR-RI. Setelah RUU tandingan itu
selesai dibahas, lalu disampaikan ke PBNU, yang diterima secara aklamasi.
Setelah itu amandemen RUU itu diajukan ke Majelis Syuro PPP dan diterima. DPP PPP
memerintahkan Fraksi PPP DPR-RI agar menjadikan RUU tandingan itu sebagai rancangan yang
diterima dan harus diperjuangkan. Setelah melalui proses yang panjang dan melelahkan, serta lebih
banyak dilakukan di luar gedung DPR-RI, akhirnya RUU itu disahkan setelah ada revisi dan tidak lagi
bertentangan dengan hukum Islam.
E. Pergerakan dan Politik
Di sisi pergerakan, Kiai Bisri bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain Kiai Wahab, KH Mas
Mansyur, KH Dahlan Kebondalem dan KH Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama
Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu
Madrasah Taswirul Afkar. Sedangkan keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU
antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintis-nya di
berbagai tempat.
KH Bisyri Zansuri adalah seorang ulama besar yang memiliki sifat sederhana dan rendah hati.
Meskipun demikian beliau dikenal sebagai ulama yang teguh pendirian dan memegang prinsip. Dalam
menjalankan tugas beliau selalu istiqamah dan tidak mudah goyah, terutama dalam memutuskan suatu
perkara yang berhubungan dengan syari'at Islam. setiap hukum suatu persoalan yang sudah Jelas
dalilnya dari Al Quran, Hadits, Ijma atau Qiyas keputusan beliau selalu tegas dan tidak bisa ditawartawar.
KH Bisri Syansuri boleh disebut sebagai kyai plus. Dalam diri KH Bisri Syansuri paling tidak
melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di
pesantren, seorang ahli dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi

Di masa penjajahan Jepang, Kiai Bisri terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf
Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.
Pada masa kemerdekaan Kiai Bisri pun terlibat dalam lembaga peme-rintahan, antara lain dalam
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), me-wakili unsur Masyumi. Kiai Bisri juga menjadi anggota
Dewan Konstitu-ante tahun 1956 hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971. Ketika NU bergabung
ke PPP, Kiai Bisri pernah menjadi ketua Majelis Syuro-nya. Kiai Bisri terpilih menjadi ang-gota DPR
sampai tahun 1980. Kiai Bisri kemudian wafat dalam usia 94 tahun pada 25 April 1980 atau bertepatan dengan bulan Rajab di Denanyar. Beliau juga aktif dalam Rais Aan PB NU, Rais Aam Majelis
Syuro DPP PPP namun tetap memimpin dan aktif mengasuh Pondok Pesantren Mambaul Maarif
Denanyar
F. Mundur dari Jabatan Rais Am
Jasa Kiai Bisri dalam membesarkan NU juga tak patut dilupakan. Kiai Bisri turut terlibat terlibat
dalam pertemuan pada 31 Januari 1926 di Surabaya saat para ulama menye-pakati berdirinya NU.
Pada periode pertama, Kiai Bisri menjadi Awan Syuriah PBNU dan kemudian pada periode-periode
berikutnya Kiai Bisri pernah menjadi Rais Syuriah, Wakil Rais Am dan menjadi Rais Am hingga akhir
hayatnya.
Meski dikenal tegas dalam mem-pertahankan prinsip, kesantunan Kiai Bisri juga tak perlu diragukan.
Saat berlangsungnya Muktamar NU ke-24 pada tahun 1967 di Bandung, Kiai Bisri menunjukkan
sikap tawadlu yang perlu kita teladani.
Ketika itu sedang terjadi pemili-han Rais Am yang melibatkan rivalitas antara dua kiai sepuh yang
sama-sama berwibawa, yaitu Kiai Wahab yang saat itu menjabat Rais Am (incumbent) dengan Kiai
Bisri yang menjadi salah satu Rais Syuriah PBNU. Hasil pemilihan ternyata di luar dugaan. Walaupun
lebih muda, tiba-tiba Kiai Bisri bisa meraih suara terbanyak. Kiai Wahab pun menerima kekalahan
dengan berbesar hati, apalagi yang menga-lahkan sahabat dekatnya sekaligus adik iparnya sendiri.
Demikian halnya Kiai Bisri yang memperoleh kemenangan juga sangat rendah hati. Walaupun telah
dipilih oleh muktamirin, tetapi kemudian Kiai Bisri segera memberikan sambutan, selama masih ada
Kiai Wahab yang lebih senior dan lebih alim Kiai Bisri tidak bersedKiai Bisri menduduki jabatan itu.
Karena itu saya menyatakan untuk mengundurkan diri dan kembali menyerah-kan jabatan itu kepada
Kiai Wahab Chasbullah.
Menanggapi sikap Kiai Bisri, Kiai Wahab menerima amanah itu. Tidak perlu merasa tersinggung,
karena walaupun sudah uzur tetapi merasa masih dibutuhkan untuk memimpin NU dalam menghadapi
situasi sulit masa orde baru. Sementara Kiai Bisri dipercaya sebagai Wakil Rais Am. Kemudian ketika
Kiai Wahab wafat pada tahun 1971, baru Kiai Bisri menduduki posisi sebagai Rais Am hingga wafat
pada tahun 1980 dan diteruskan oleh Ali Maksum.
G. Perintis Kesetaraan Gender
Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender,
khususnya di kalangan pesantren. Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk
santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru diikuti perempuan-perempuan di
desanya.
Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kyai Bisri
termasuk kategori aneh. Untung sang guru yang sangat dihormatinya, hadratussyaikh KH Hasyim
Asyari tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh melarang, niscaya
Kyai Bisri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini sematamata karena takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya kyai.

Tahun 1919 Kiai Bisri membuat terobosan baru dengan mendirikan kelas khusus santr-santri wanita di
pesantrennya. Langkah penting ini adalah tonggak baru dalam sejarah kepesantrenan terutama di Jawa
Timur
H. Ahli dan Pecinta Fiqh
Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada KH Kholil Bangkalan, dan
semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng. Kyai Bsiri memang sengaja mendalami pokok-pokok
pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama.
Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah hukum fiqh, dan
begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan fiqh kepada kenyataan-kenyataan hidup secara baik.
Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu
setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren yang dibangunnya di Denanyar.
I. Politisi Tangguh
Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante dan puncaknya
ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai
berlambang kabah itu.
Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri berhasil mendesakkan
disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya
pemerintah sudah membuat rancangan undang-undang perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
K.H. Bisri Syansuri wafat pada hari Jum'at 25 April 1980 dalam usia 94 tahun. Makam beliau berada
di kompleks Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang, Jawa Timur.
J. Karomah Beliau
1. Amplop kosong
Sebagian orang memandang hina kepada kiyai yang mengharapkan amplop dari ceramah
pengajiannya. Tapi Kiyai Bisri Mustofa berprinsip bahwa ia berhak atas amplop itu.
Aku punya tanggungan santri di rumah, katanya, kalau kutinggal pergi, aku rugi tidak mengajar
mereka.
Suatu ketika setelah sampai di rumah dari pengajian di tempat jauh, kedapatan amplop panitianya
cuma berisi Rp 10.000,-. Kiyai Bisri pun menyuruh Murtadlo, khadamnya, mendatangi panitia dengan
bekal surat tagihan rinci:
Sewa mobil: Rp 10.000,Bensin : Rp 10.000,Upah sopir: Rp 2.500,Ongkos Murtadlo: Rp 2.000,Isi amplop: Rp 10.000,Kekurangan: Rp 14.500,Tapi namanya prinsip, biasanya tidak tanpa pengecualian. Usai pengajian di Pesantren Salafiyah
Pasuruan atas undangan Mbah Hamid, Kiyai Bisri Mustofa tidak sampai hati menagih amplop.
Padahal ia tak mau rugi. Ia amati baju yang dipakai Mbah Hamid dengan mimik tertarik sekali.
Bajumu kok bagus sekali, Nda! katanya.
Mbah Hamid mesem lalu masuk ke kamar. Baju yang dipakai itu dilepas dan dibungkus untuk
diberikan kepada Kiyai Bisri. Walaupun tanpa amplop, Kiyai Bisri puas membawa pulang baju itu.
Beberapa waktu kemudian, Kiyai Bisri memanggil Pak Kusnan, seorang santri kalong yang kaya,
tinggal di Jepon, Blora. Pak Kusnan itu santri yang patuh sekali. Apa pun kata kiyai, ia turuti.
Kamu mau beli baju ini, Kang? Mbah Bisri menunjukkan baju pemberian Mbah Hamid.

Nggih.
Wani piro?
Saya bawa 30 ribu.
Ya sudah sini. Nih pakai sekarang!
Pak Kusnan menyerahkan uang dan langsung memakai baju itu.
Sekarang, ayo ikut aku!
Mbah Bisri membawa Pak Kusnan ke Pasuruan menemui Mbah Hamid.
Bajumu kok bagus sekali, Kang? Mbah Hamid menyapa Pak Kusnan Mbah Bisri berlagak tak
punya urusan, berapa harganya?
30 ribu.
Mbah Hamid pun langsung menoleh kepada Kiyai Bisri,
Susuk
limang
ewu,
Nda!
katanya.
(Kembali 5 ribu, Nda!).
2. Terong Gosong
Kebanyakan suwuk (doa mantera) diterapkan dengan air: kyai membaca doa kemudian ditiupkan ke
air. Air suwuk itulah yang nantinya menjadi srn (sarana) bagi yang membutuhkan, misalnya dengan
meminumnya atau mengoleskannya ke bagian tubuh tertentu sebagai ikhtiar pengobatan ingat air
yang dicelupi batu ajaibnya Ponari!
Memasuki halaman kediaman Mbah Kyai Abdul Hamid Pasuruan rahimahullah pada suatu sore, Kyai
Bisri Mustofa Rembang Allah yarham mendapati seorang santri sedang menyirami halaman itu
dengan air dari selang untuk menekan debu agar tak berterbangan.
Sungguh sayang, gumam Mbah Bisri, srn kok dibuang-buang
Pintu rumah Mbah Hamid tertutup. Sejumlah orang yang punya hajat hendak sowan, menunggu
dengan khusyuk di sekitarnya.
Tanpa sungkan-sungkan, Mbah Bisri meneriakkan salam,
Assalaamualaikum!
Tak ada jawaban. Orang-orang ngeri melihat kekurangajaran Mbah Bisri, tapi ragu-ragu untuk
menegur. Mungkin mereka pikir, kalau usaha Mbah Bisri ada hasilnya, mereka akan ikut untung
juga
Assalaamualaikooom! teriakan Mbah Bisri lebih keras lagi. Tetap tak dijawab.
Santri yang menyirami halamanlah yang kemudian menegur,
Maaf, Pak, katanya, Mbah Yai sedang istirahat!
Tak menanggapi teguran si santri, Mbah Bisri malah semakin meninggikan suaranya dengan nada
yang nelangsa,
Yaa Allah Gustiiii.! ratapnya, beginilah nasib manusia kotor macam aku ini mau sowan wali
saja kok nggak ditemuiii!
Suara berdehem dari dalam, disusul Mbah Hamid membuka pintu.
Jangan begitu lah, Nda, tegur beliau, sampeyan ini kok msthi yang nggak- nggak saja
Nda adalah sapaan akrab antar teman. Beliau berdua memang sama-sama santrinya Mbah Kyai
Kholil Harun rahimahullah di Kasingan, Rembang.
Orang-orang yang sejak lama menunggu berebut menciumi tangan Mbah Hamid dengan rianggembira, dan mereka semua dipersilahkan masuk. Tak ada yang ingat untuk mengucapkan terimakasih
atas jasa Mbah Bisri.
Di ruang tamu, Mbah Bisri pun menyampaikan hajatnya.
Begini, Nda, katanya, sampeyan kan ngerti, aku ini muballigh
Hm
Lha aku ini belum punya mobil, Mbah Bisri melanjutkan, kalau terus-terusan kesana-kemari
naik bis umum kan bisa jatuh wibawaku!

Mbah Hamid manggut-manggut.


Terus maksudmu gimana? beliau bertanya.
Yaah sampeyan yang dekat dengan Pngran, mbok sampeyan mintakan mobil buat aku!
Mbah Hamid tersenyum.
Ya sudah ayo, beliau mengajak semua orang, alaa niyyati Kyai Bisri al faatihah!
Kemudian menadahkan tangan membacakan doa, diamini yang lainnya.
Begitu doa selesai dibaca, Mbah Bisri langsung menyerobot,
Mereknya apa, Nda?
Tak lama sesudah didoakan Mbah Hamid, Mbah Bisri memperoleh uang min aitsu laa yatasib yang
cukup untuk membeli mobil. Gus Mus, yang diperintah mencari mobil untuk dibeli, mengubek dari
Jakarta sampai Surabaya, dan tidak menemukan mobil ditawarkan orang kecuali merek Fiat atau
Holden. Akhirnya diperoleh mobil sedan Holden keluaran 1968.

Biografi KH Wahab Hasbullah

KH. Abdul Wahab Hasbullah (lahir di Jombang, 31 Maret 1888 meninggal 29 Desember
1971 pada umur 83 tahun) adalah seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama. KH Abdul Wahab
Hasbullah adalah seorang ulama yang berpandangan modern, dawah beliau dimulai dengan
mendirikan media massa atau surat kabar, yaitu harian umum Soeara Nahdlatul Oelama
atau Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama. KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang
ulama yang sangat alim dan tokoh besar dalam NU dan bangsa Indonesia. Beliau dilahirkan
di Desa Tambakberas, Jombang, Jawa Timur pada bulan Maret 1888. silsilah KH. Abdul
Wahab Hasbullah bertemu dengan silsilah KHM. Hasyim Asyari pada datuk yang bernama
Kiai Shihah. Semenjak kanak-kanak, Abdul Wahab dikenal kawan-kawannya sebagai
pemimpin dalam segala permainan. Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup,seorang santri.
Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud.
Kemudian K.H. Hasbullah membimbingnya untuk menghafalkan Juz Ammah dan membaca
Al Quran dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab
yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya Kitab
Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu'in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu'.
Abdul Wahab juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits.
Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa
kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Sampai berusia
13 tahun Abdul Wahab dalam asuhan langsung ayahnya. Setelah dianggap cukup bekal
ilmunya, barulah Abdul Wahab merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu
pesantren ke pesantren lainnya. Kemudian Abdul Wahab belajar di pesantren Bangkalan,
Madura yang diasuh oleh K.H. Kholil Waliyullah. Beliau tidak puas hanya belajar di
pesantren-pesantren tersebut, maka pada usia sekitar 27 tahun, pemuda Abdul Wahab pergi ke
Makkah. Di tanah suci itu mukim selama 5 tahun, dan belajar pada Syekh Mahfudh At
Turmasi dan Syekh Yamany. Setelah pulang ke tanah air, Abdul Wahab langsung diterima
oleh umat Islam dan para ulama dengan penuh kebanggaan. Langkah awal yang ditempuh
K.H. Abdul Wahab Hasbullah, kelak sebagai Bapak Pendiri NU, itu merupakan usaha
membangun semangat nasionalisme lewat jalur pendidikan. Nama madrasah sengaja dipilih
'Nahdlatul Wathan' yang berarti: 'Bergeraknya/bangkitnya tanah air', ditambah dgngan

gubahan syajr-syair yang penuh dengan pekik perjuangan, kecintaan terhadap tanah tumpah
darah serta kebencian terhadap penjajah, adalah bukti dari cita-cita murni Kiai Abdul Wahab
Hasbullah untuk membebaskan. belenggu kolonial Belanda. Namun demikian, tidak kalah
pentingnya memperhatikan langkah selanjutnya yang akan ditempuh Kiai Wahab, setelah
berhasil mendirikan 'Nahdlatul Wathan'. Ini penting karena dalam diri Kiai 'Wahab agaknya
tersimpan beberapa sifat yang jarang dipunyai oleh orang lain. Beliau adalah tipe manusia
yang pandai bergaul dan gampang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tetapi, beliau
juga seorang ulama yang paling tangguh mempertahankan dan membela pendiriannya. Beliau
diketahui sebagai pembela ulama pesantren (ulama bermadzhab) dari serangan-serangan
kaum modernis anti madzhab. Bertolak dari sifat dan sikap Kiai Wahab itulah, maka mudah
dipahami apabila kemudian beliau mengadakan pendekatan dengan ulama-ulama terkemuka
seperti, K.H. A. Dachlan, pengasuh pondok Kebondalem Surabaya, untuk mendirikan
madrasah 'Taswirul Afkar'. Semula 'Taswirul Afkar' yang berarti 'Potret Pemikiran' itu,
merupakan kelompok diskusi yang membahas berbagai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan. Dan anggotanya juga terdiri atas para ulama dan ulama muda yang
mempertahankan sistem bermadzhab. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya sekitar tahun
1919, kelompok ini ditingkatkan statusnya menjadi madrasah 'Taswirul Afkar' yang bertugas
mendidik anak-anak lelaki setingkat sekolah dasar agar menguasai ilmu pengetahuan agama
tingkat elementer. Bertempat di Ampel Suci (dekat Masjid Ampel Surabaya), madrasah
'Taswirul Afkar' bergerak maju. Puluhan dan bahkan kemudian ratusan anak di Surabaya
bagian utara itu menjadi murid 'Taswirul Afkar', yang pada saat itu (tahun-tahun permulaan)
dipimpin K.H. A. Dachlan. Namun demikian, bukan berarti meniadakan kelompok diskusi
tadi. Kegiatan diskusi tetap berjalan dan bahkan bertambah nampak hasilnya, berupa
'Taswirul Afkar'. Dan madrasah ini hingga sekarang masih ada dan bertambah megah. Hanya
tempatnya telah berpindah, tidak lagi di Ampel Suci, tetapi di Jalan Pegirian Surabaya.
Hingga di sini Kiai Wahab telah berada di tiga lingkungan: Syarikat Islam (SI) berhubungan
dengan H.O.S. Tjokroaminoto, Nahdlatul Wathan dengan K.H. Mas Mansur, dan Taswirul
Afkar dengan K.H. A. Dachlan. Tiga lingkungan itu pun memiliki ciri-ciri yang berbedabeda. Tjokroaminoto lebih condong pada kegiatan politik; K.H. Mas Mansur lebih dekat
dengan kelompok anti madzhab sedangkan K.H. A. Dachlan tidak berbeda dengan Kiai
Wahab, yakni ulama yang mempertahankan sistem madzhab. Dalam hubungannya dengan
gerakan pembaruan itu, agaknya Kiai Wahab seringkali tidak dapat menghindari seranganserangan mereka baik yang ada di SI maupun di K.H. Mas Mansur sendiri. Meski tujuan
utamanya membangun nasionalisme, serangan-serangan kaum modernis seringkali
dilancarkan hingga Kiai Wahab perlu melayaninya. Di sinilah mulai tampak perbedaan
pendapat antara Kiai Wahab dengan K.H. Mas Mansur. Peristiwa ini tampaknya sudah
terbayang dalam pikiran Kiai Wahab, sehingga tidak perlu mempengaruhi semangat
perjuangannya. Bahkan beliau bertekad untuk mengembangkan Nahdlatul Wathan ke
berbagai daerah. Dengan K.H. Mas Alwi, kepala sekolah yang baru, Kiai Wahab membentuk
cabang-cabang baru: Akhul Wathan di Semarang, Far'ul Wathan di Gresik, Hidayatul Wathan
di Jombang, Far'ul Wathan di Malang, Ahlul Wathan di Wonokromo, Khitabul Wathan di
Pacarkeling, dan Hidayatul Wathan di Jagalan. Apa pun nama madrasah di beberapa cabang
itu pastilah dibelakangnya tercantum nama 'Wathan' yang berarti 'tanah air'. Ini berarti tujuan
utamanya adalah membangun semangat cinta tanah air. Dan syair 'Nahdlatul Wathan'
berkumandang di berbagai daerah dengan variasi cara menyanyikannya sendiri-sendiri.
Misalnya di Tebuireng, hingga tahun 1940-an syair tersebut tetap dinyanyikan para santri
setiap kali akan dimulainya kegiatan belajar di sekolah. Dan setiap hendak menyanyikan
syair tersebut, para murid santri diminta berdiri tegak sebagaimana layaknya menyanyikan
lagu kebangsaan 'Indonesia Raya'. Seperti telah disinggung, bahwa selain Kiai Wahab harus
memperhatikan Nahdlatu1 Wathan dan juga keterlibatannya di SI, beliau juga tidak dapat

membiarkan serangan-serangan kaum modernis yang dilancarkan kepada ulama bermadzhab.


Lagi pula, serangan-serangan itu tidak mungkin dapat dihadapi sendirian. Sebab itu, pada
tahun 1924, Kiai Wahab membuka kursus 'masail diniyyah' (khusus masalah-masalah
keagamaan) guna menambah pengetahuan bagi ulama-ulama muda yang mempertahankan
madzhab. Kegiatan kursus ini dipusatkan di madrasah 'Nahdlatul Wathan' tiga kali dalam
seminggu. Dan pengikutnya ternyata tidak hanya terbatas dari Jawa Timur saja, melainkan
juga ada yang dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan beberapa lagi dari Madura. Jumlah peserta
kursus sebanyak 65 orang. Karena peserta begitu banyak, maka .Kiai Wahab meminta temantemannya untuk membantu. Di antara teman-temannya yang bersedia mendampingi ialah
KH. Bishri Syansuri (Jombang), KH. Abdul Halim Leuwimunding (Cirebon), KH. Mas Alwi
Abdul Aziz dan KH. Ridlwan Abdullah keduanya dari Surabaya, K.H. Maksum dan K.H.
Chalil keduanya dari Lasem, Rembang. Sedangkan dari kelompok pemuda yang setia
mendampingi Kiai Wahab ialah: Abdullah Ubaid, Kawatan Surabaya, Thahir Bakri, dan
Abdul Hakim, Petukangan Surabaya, serta Hasan dan Nawawi, keduanya dari Surabaya.
Dengan demikian, Kiai Wahab telah juga membangun pertahanan cukup ampuh bagi menolak
serangan-serangan kaum modernis. Enam puluh lima ulama yang dikursus, agaknya
dipersiapkan betul untuk menjadi juru bicara tangguh dalam menghadapi kelompok pembaru,
sehingga dalam perkembangan berikutnya, ketika berkobar perdebatan seputar masalah
'khilafiyah' di beberapa daerah, tidak lagi perlu meminta kedatangan Kiai Wahab, tapi cukup
dihadapi ulama-ulama muda peserta kursus tersebut. Pada saat pemimpin-pemimpin Islam
mendapat undangan dari Raja Hijaz lalu membentuk Komite Khilafat, K.H. Abd. Wahab
Hasbullah mengusulkan agar delegasi ke Makkah menuntut dilindunginya madzahibul arba'
ah di Makkah - Madinah. Dan setelah mengetahui usulnya kurang diperhatikan oleh tokohtokoh SI dan Muhammadiyah, lalu KH. Abd. Wahab atas izin KH.Hasyim Asy' ari
membentuk Komite Hijaz untuk mengirim delegasi sendiri ke Makkah - Madinah. Dan
Komite Hijaz inilah yang kemudian melahirkan JAMIYAH NAHDLATUL ULAMA,
sehingga kehadiran NU tidak dapat dilepaskan dari perjuangan K.H. Abd. Wahab Hasbullah.
Demikianlah selintas pintas riwayat K.H. Abdul Wahab Hasbullah dalam menegakkan
semangat nasionalisme bangsa Indonesia dalam rangka mengusir penjajah di tanah tercinta
Indonesia. Di samping itu beliau seorang tokoh besar Islam terutama dalam mempertahankan
kebenaran madzhab dari serangan kaum yang menyebut dirinya modernis Islam. Pelopor
Kebebasan Berpikir KH. A. Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan
Umat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan nahdhiyyin. KH. A. Wahab Hasbullah
merupakan seorang ulama besar Indonesia. Beliau merupakan seorang ulama yang
menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan
berpendapat. Untuk itu kyai Abdul Wahab Hasbullah membentuk kelompok diskusi
Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1914. Mula-mula kelompok ini
mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir
dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan
kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan
menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu
dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap
penting. Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi
ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus jembatan
bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang
lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi
ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran
keilmuan dan dunia politik. Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya,
Kyai Abdul Wahab Hasbullah bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam
organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan

hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah Kyai Abdul Wahab Hasbullah mendapat
kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran
dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah Kyai Bisri Syansuri (Denanyar
Jombang), Kyai Abdul Halim, (Leimunding Cirebon), Kyai Alwi Abdul Aziz, Kyai Mashum
(Lasem) dan Kyai Cholil (Kasingan Rembang). Kebebasan berpikir dan berpendapat yang
dipelopori Kyai Wahab Hasbullah dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan
terpenting beliau kepada kaum muslimin Indonesia. Kyai Wahab telah mencontohkan kepada
generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan
dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak
akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan seorang muslim.
Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru akan mampu
memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman. Pernah suatu
ketika Kyai Wahab didatangi seseorang yang meminta fatwa tentang Qurban yang
sebelumnya orang itu datang kepada Kyai Bisri Syansuri. Bahwa menurut hukum Fiqih
berqurban seekor sapi itu pahalanya hanya untuk tujuh orang saja, terang Kyai Bisri. Akan
tetapi Si Fulan yang bertanya tadi berharap anaknya yang masih kecil bisa terakomodir juga.
Tentu saja jawaban Kyai Bisri tidak memuaskan baginya, karena anaknya yang kedelapan
tidak bisa ikut menikmati pahala Qurban. Kemudian oleh Kyai Wahab dicarikan solusi yang
logis bagi Si Fulan tadi. Untuk anakmu yang kecil tadi belikan seekor kambing untuk
dijadikan lompatan ke punggung sapi, seru kyai Wahab. Dari sekelumit cerita di atas tadi,
kita mengetahui dengan jelas bahwa seni berdakwah di masyarakat itu memerlukan
cakrawala pemikiran yang luas dan luwes. Kyai Wahab menggunakan kaidah Ushuliyyah
Maa laa yudraku kulluh, laa yutraku julluh, Apa yang tidak bisa diharapkan semuanya
janganlah ditinggal sama sekali. Di sinilah peranan Ushul Fiqih terasa sangat dominan dari
Fiqih sendiri.

Arti Lambang

a. Gambar bola dunia


melambangkan tempat hidup, tempat berjuang, dan beramal di dunia ini dan melambangkan pula bahwa asal
kejadian manusia itu dari tanah dan akan kembali ke tanah.
b. Gambar peta pada bola dunia merupakan peta Indonesia
melambangkan bahwa Nahdlatul Ulama dilahirkan di Indonesia dan berjuang untuk kejayaan Negara Republik
Indonesia.
c. Tali yang tersimpul
melambangkan persatuan yang kokoh, kuat;
Dua ikatan di bawahnya merupakan lambing hubungan antar sesama manusia dengan Tuhan;
Jumlah untaian tali sebanyak 99 buah melambangkan Asmaul Husna.
d. Sembilan bintang yang terdiri dari lima bintang di atas garis katulistiwa dengan sebuah bintang yang paling
besar terletak paling atas,
melambangkan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat manusia dan Rasulullah;
Empat buah bintang lainnya melambangkan kepemimpinan Khulaur Rasyidin yaitu Abu Bakar Ash Shidiq,
Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Empat bintang di garis katulisitiwa melambangkan empat madzab yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali.
Jumlah bintang sebanyak 9 (sembilan) melambangkan sembilan wali penyebar agama Islam di pulau Jawa.
e. Tulisan Arab Nahdlatul Ulama
menunjukkan nama dari organisasi yang berarti kebangkitan ulama. Tulisan Arab ini juga dijelaskan dengan
tulisan NU dengan huruf latin sebagai singkatan Nahdlatul Ulama.
f. Warna hijau dan putih
warna hijau melambangkan kesuburan tanah air Indonesia dan warna putih melambangkan kesucian.

Anda mungkin juga menyukai