Anda di halaman 1dari 321

HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al Ushulu Ats Tsalatsah

Halaqah 1 | Pengantar Al Ushulu Ats Tsalatsah Bagian 1 Biografi Singkat Penulis

Halaqah yang pertama dari Silsilah Ilmiyyah Penjelasan Kitab Al Ushulu Ats Tsalatsah Wa Adillatuha
(Tiga Landasan Utama dan Dalil-Dalil-nya) yang dikarang oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab
At Tamimi rahimahullah.

Kitab ini sebagaimana Judulnya Al-Ushulu Ats-Tsalasah yang artinya adalah 3 Landasan Utama. Yang
dimaksud 3 landasan di sini:

1. Ma’rifatullah (Mengenal Allah Subhanahu wa Talla)

2. Ma’rifatunnabi ‫( ﷺ‬Mengenal Nabi Muhammad ‫)ﷺ‬

3. Ma’rifatu Dinil Islam (Mengenal Agama Islam)

Inilah yang dimaksud dengan Al-Ushulu Ats-Tsalasah (Tiga Landasan Utama) yang ingin disampaikan
oleh pengarang di dalam kitab beliau ini.

Apa keutamaan mengenal tiga perkara ini?

Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dan juga yang lain,
dan hadits ini adalah hadits yang shahih, yaitu Hadits Al Barra Ibnu Azib radhiyallāhu ‘anhu dimana di
dalam hadits ini Rasulullah ‫ ﷺ‬menceritakan tentang kisah seseorang atau setiap manusia ketika
dia meninggal dunia. Bagaimana dia dicabut nyawanya oleh Malaikat, bagaimana dibawa nyawanya
ke atas kemudian dikembalikan ke bumi. Kemudian akan datang dua orang malaikat yang bernama
Munkar dan Nakir. Dia akan bertanya kepada orang tersebut tentang tiga perkara, baik orang
tersebut adalah seorang yang Mukmin, yang Muslim, maupun orang yang kafir atau bahkan seorang
Munafik sekalipun akan ditanya tentang tiga perkara ini.

1. Ditanya tentang – ‫ – من ربك‬siapa Rabb-mu?

2. Ditanya tentang – ‫ – ما دينك‬apa agamamu?

3. Ditanya tentang – ‫ – من نبيك‬siapa Nabimu?

Setiap dari kita akan ditanya tentang tiga perkara ini, kecuali yang memang telah dikecualikan oleh
dalil.
Setiap kita akan ditanya tentang siapa Rabbnya, siapa Nabinya, dan apa agamanya.

Apabila dia adalah seorang Muslim yang selama hidupnya mengenal Allah Subhānahu wa Ta’āla,
menunaikan hak-Nya, mengenal Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, menunaikan hak Beliau sebagai seorang
Rasul, mengenal Agama Islam, menjalankan perintahnya menjauhi larangannya, maka diharapkan
orang yang seperti ini akan mendapatkan taufiq dan kemudahan dari Allah Subhānahu wa Ta’āla di
dalam menjawab pertanyaan dua malaikat ini, akan mengatakan,

Rabb-ku adalah Allah

Nabiku adalah Muhammad

Dan agamaku adalah agama Islam

Namun apabila dia selama di dunia termasuk orang yang kufur, mengingkari Allah, mengingkari Nabi
Muhammad ‫ ﷺ‬dan berpaling dari memeluk agama Islam seperti orang-orang kafir, maka
mereka tidak akan mendapatkan taufiq untuk bisa menjawab tiga pertanyaan ini.

Demikian pula orang Munafik, yang mereka menampakan keislaman dan menyembunyikan
kekufuran di dalam hati mereka. Mereka menampakkan keislaman diantara manusia, mengucapkan
kalimat – ‫ – ال إله إال هللا‬mengatakan kalimat – ‫ – محمد رسول هللا‬secara lisan (dhohir) akan tetapi di dalam
batinnya dia mengingkari ini semua, maka orang yang demikian keadaanya tidak akan bisa
menjawab pertanyaan di alam kubur yang dinamakan dengan fitnah kubur sebagaimana yang
dikabarkan oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬ketika orang munafik ditanya mereka mengatakan, “Hah hah.”

Artinya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut, padahal di dunia dia mengucapkan – ‫– ال إله إال هللا‬
sebagaimana orang-orang Islam mengucapkan – ‫ – ال إله إال هللا‬dan dia di dunia mengucapkan – ‫محمد‬
‫ – رسول هللا‬sebagaimana orang-orang Islam mengucapkan – ‫ محمد رسول هللا‬-, akan tetapi tidak
mengucapkan ucapan tersebut dengan ikhlas akan tetapi hanya secara dhohir (lisan) tanpa diyakini
di dalam hatinya.

Oleh karena itu tidak heran apabila Al Muallif/pengarang disini mengarang sebuah kitab yang ringkas
yang mudah dipahami oleh semua, baik orang yang awam, seorang penuntut ilmu, apalagi seorang
ulama dengan harapan masing-masing dari kita baik seorang muslim maupun muslimah bisa
mempersiapkan diri untuk bisa menjawab pertanyaan di alam kubur yang dinamakan dengan fitnatul
qabr, menjawab pertanyaan tersebut dengan baik dan juga dengan benar.

Dan Syaikh Muhammad Abdul Wahab, beliau adalah seorang yang sangat gigih di dalam dakwahnya
dan beliau lahir di sebuah daerah di Jazirah Arab yang dinamakan dengan Uyainah pada tahun 1115
H. Dan beliau menuntut ilmu agama dimulai dari keluarganya (karena bapak beliau juga seorang
Ulama) dan sudah menghafal Qur’an ketika beliau berumur 10 tahun. Kemudian setelah itu
melanjutkan mempelajari ilmu-ilmu yang lain, bersimpuh di hadapan para ulama yang ada di Najd
maupun di Hijaz (di kota Mekkah, di kota Madinah) datang kepada mereka menuntut ilmu agama,
termasuk diantaranya berguru kepada seorang Muhaddits di kota Madinah ini yaitu Syaikh
Muhammad Al Hayyah As Sindi rahimahullah dan juga ulama-ulama yang lain.

Kemudian setelah itu beliau kemulai dakwahnya menyebarkan ilmu agama, mengajak manusia
kembali kepada Allah, kembali kepada agama Allah, mengarang banyak kitab-kitab yang bermanfaat
diantaranya adalah kitabut Tauhid, Al Qowaidul Arba’, Al Ushulu As Sittah, Ushulul Iman, Adabul
Masyi ilaa Ash Sholah, Kasyfu Syubhat, termasuk diantaranya adalah kitab yang Insya Allah akan kita
pelajari yaitu Al Ushulu Ats Tsalatsah wa Adillatuha (Tiga Landasan Utama dan juga dalil-dalilnya).

Dan beliau meninggal dunia pada tahun 1206 H.

Halaqah 2 | Pengantar Al Ushulu Ats Tsalatsah Bagian 2 Tafsir Basmalah

Dan sebelum beliau memulai membahas tentang Tiga Landasan Utama, sebelumnya beliau
memberikan muqoddimah dari kitab ini, pembukaan yang sangat bermanfaat.

Beliau menyebutkan di awal muqoddimahnya tentang tafsir dari surat Al ‘Ashr. Beliau mengatakan,

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Dengan menyebut nama Allah, ‫ الرحيم‬,‫الرحمن‬

Dan di sini beliau memulai kitabnya dengan basmallah karena mengikuti Allah Subhānahu wa Ta’āla
ketika Allah memulai kitab-Nya yaitu Al-Qur’an dengan Basmallah, demikian pula mengikuti apa yang
dilakukan Rasulullah ‫ ﷺ‬ketika Beliau mengirim surat-surat dakwah kepada sebagian raja-raja
para penguasa yang ada di zaman Beliau ‫ﷺ‬. Beliau memulai suratnya dengan Basmalah.

Dan ‫ ب‬di dalam kalimat Bismillah ini adalah ‫ ب‬Al Isti’anah. ‫ ب‬yang isinya memohon pertolongan
kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Bismillah, ismullah nama Allah, maksudnya adalah nama-nama Allah Subhānahu wa Ta’āla. Ism di
sini adalah mufrod. Di dalam bahasa Arab yaitu kalimat yang tunggal (kata yang tunggal) apabila
disandarkan maka ini adalah mencakup seluruh nama. Jadi tidak hanya mencakup satu nama Allah
saja tetapi mencakup seluruh Nama Allah Subhānahu wa Ta’āla yang dinamakan dengan Al Asmaul
Husna.
Apabila seseorang mengatakan bismillah berarti dia telah beristi’anah/memohon pertolongan
dengan menyebut seluruh nama Allah Subhānahu wa Ta’āla, bukan hanya Lafdzul Jalalah yaitu Allah,
bukan hanya – ‫الرحمن‬- bukan hanya – ‫ – الرحيم‬tetapi dengan seluruh nama Allah Subhānahu wa Ta’ala.

Lafdzul jalalah Allah adalah nama Allah yang paling a’dzom/yang paling besar, di mana nama-nama
yang lain ini disandarkan kepada Lafdzul jalalah ini .

Seseorang mengatakan – ‫ – الرحمن‬adalah nama diantara nama-nama Allah, – ‫ – الرحيم‬adalah nama


diantara nama-nama Allah.

Dan tidak mengatakan Allah adalah nama diantara nama-nama – ‫ – الرحمن‬karena Lafdzul jalalah yaitu
Allah adalah nama yang paling besar.

Nama-nama yang lain yaitu ‫ العزيز‬,‫ السالم‬,‫ القدوس‬,‫ المالك‬,‫ الرحيم‬,‫ الرحمن‬nama-nama yang lain disandarkan
kepada Lafdzul jalalah ini.

Dan Allah atau Lafdzul jalalah berasal dari Al Ilaah atau Al Uluhah yang artinya adalah ibadah. Allah
adalah al Ma’luh dan arti al Ma’luh adalah al Ma’bud, yang disembah.

‫َو ُه َو ُهَّللا ِفي الَّسَم اَو اِت َو ِفي اَأْلْر ِض‬

Dan Dia adalah Allah (yang disembah) baik di langit maupun di bumi.

Di langit disembah oleh para Malaikat dan di bumi disembah oleh orang-orang yang beriman.

– ‫ – الرحمن‬yang artinya adalah Yang Maha Penyayang, diambil dari kata Rahmah (kasih sayang). Allah
Subhānahu wa Ta’āla diantaranya namanya adalah – ‫ – الرحمن‬dan tidak boleh makhluk memiliki
nama – ‫ – الرحمن‬yang mengandung sifat Rahmah.

Demikian pula – ‫ الرحيم‬-artinya adalah Maha Penyayang dan Allah Subhānahu wa Ta’āla memiliki sifat
Rahmah.

Dan perbedaan antara – ‫ – الرحمن‬dengan – ‫ – الرحيم‬diantaranya disebutkan oleh para ulama


bahwasanya- ‫ – الرحمن‬mengandung sifat Rahmah yang menyeluruh untuk seluruh makhluk-Nya
termasuk diantaranya orang-orang kafir.
Mereka mendapatkan rizki, makanan, harta, minuman, rizki anak, istri ini semua adalah bagian dari
rahmat Allah Subhānahu wa Ta’āla, namun bukan khusus orang yang beriman. Allah berikan juga
kepada orang-orang yang kafir.

Adapun – ‫ – الرحيم‬maka mengandung sifat Rahmah yang khusus untuk orang-orang yang beriman,
seperti misalnya hidayah, petunjuk kepada jalan yang lurus, nikmat keimanan, nikmat beramal
sholeh.

Oleh karena itu Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

‫َو َك اَن ِباْلُمْؤ ِمِنيَن َر ِحيًما‬

[QS Al-Ahzaab 43]

Dan Allah Subhanahu wa Taala Rahim kepada orang-orang yang beriman.

Halaqah 3 | Pengantar Al Ushulu Ats Tsalatsah Bagian 3 Empat Perkara yang Wajib Dipelajari (1)

Beliau mengatakan,

‫أنه يجب علينا تعلم أربع مسائل‬.‫اعلم رحمك هللا‬

“Ketahuilah semoga Allah merahmatimu. Sesungguhnya wajib atas kita semua untuk mempelajari
empat perkara.”

Orang Arab apabila mengatakan ‫اعلم‬, (ketahuilah), menunjukkan bahwasanya apa yang akan
disampaikan setelahnya adalah perkara yang sangat penting. Sehingga mengatakan ‫( اعلم‬ketahuilah
wahai saudaraku), menunjukkan bahwasanya apa yang akan beliau sampaikan adalah memang
pantas diperhatikan dan hendaknya seseorang yang mendengarnya menyiapkan pendengarannya
untuk bisa menyimak apa yang akan disampaikan.

Kemudian beliau mengatakan ‫( رحمك هللا‬semoga Allah merahmatimu), mendo’akan bagi setiap
pembaca, bagi setiap pendengar yang mendengar kitab beliau atau membaca kitab beliau, dido’akan
dengan rahmat dan kasih sayang Allah Subhanahu wa Taala. Dan ini adalah termasuk adab seorang
mu’allim yang ingin mengajarkan kepada muridnya, kepada orang lain, supaya mendo’akan kebaikan
bagi orang yang ingin diajarkan.
Dido’akan dengan rahmat, dengan maghfiroh, dan juga kebaikan-kebaikan yang lain. Yang demikian
itu akan menambah keikhlasan seseorang dan akan menambah kasih sayang diantara keduanya, baik
yang mengajarkan maupun yang diajarkan.

‫ أنه يجب علينا تعلم أربع مسائل‬.‫اعلم رحمك هللا‬

Wajib bagi kita semua untuk mempelajari empat perkara.

Yang dimaksud dengan wajib artinya masing-masing dari kita tidak ada udzur untuk
meninggalkannya. Apabila seseorang melakukannya dia mendapatkan pahala dan apabila
meninggalkannya maka dia berdosa.

‫تعلم أربع مسائل‬

Mempelajari empat perkara ini.

Ilmu tidak semuanya wajib. Di sana ada Ilmu yang fardhu ‘ain, wajib bagi setiap muslim dan
muslimah untuk mempelajarinya, seperti ilmu tentang Iman, mengilmui Thoharoh, mengilmui shalat
lima waktu, maka ini adalah termasuk ilmu yang wajib ‘ain, harus dan wajib bagi setiap Muslim dan
juga Muslimah untuk mempelajari perkara ini, karena shalat lima waktu kewajiban semuanya, tidak
mungkin seseorang bisa menjalankan shalat lima waktu kecuali apabila dia mengilmui bagaimana
melakukan shalat lima waktu tersebut.

Dan di sana ada Ilmu yang fardhu kifayah, apabila sudah ada sebagian kaum muslimin yang
mempelajari maka tidak wajib bagi yang lain untuk mempelajari ilmu tersebut. Misalnya tentang
ilmu Faraidh (pembagian waris), apabila sudah ada sebagian yang mempelajari, mendalami, maka
tidak diharuskan seluruh kaum muslimin untuk mempelajari ilmu ini.

Dan di sana ada perkara atau ilmu yang sunnah, yang dianjurkan yang apabila diketahui maka ini
baik dan afdhol namun apabila tidak dipelajari atau tidak diketahui maka seseorang tidak berdosa
karena tidak mempelajari ilmu tersebut.

Di sini beliau mengatakan wajib bagi kita untuk mempelajari empat perkara.

‫ العلم‬:‫األولى‬
Yang pertama (kata beliau) : ‫العلم‬

Wajib bagi kita untuk mengetahui yang pertama: Ilmu.

Apa yang dimaksud dengan Ilmu?

‫ معرفة هللا و معرفة نبيه ﷺ و معرفة دين اإلسالم باألدلة‬:‫وهو‬

“Adalah mengilmui ma’rifatullah (mengenal Allah), dan mengenal Nabi ‫ﷺ‬, dan mengenal Agama
Islam dengan dalil-dalil-nya.”

‫ العمل به‬:‫الثانية‬

“Yang kedua adalah mengamalkan ilmu yang sudah kita pelajari.”

Kalau kita nanti sudah mengenal Allah, sudah mempelajari siapa Allah dan bagaimana hak-Nya, dan
kita mengenal Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬dan apa haknya, dan mengenal Agama Islam, apa
pondasinya, apa yang dimaksud dengan rukun Islam, apa yang dimaksud dengan rukun Iman, maka
kewajiban yang ke dua adalah mengamalkan.

Karena maksud belajar adalah mengamalkan. Ilmu dipelajari bukan hanya sekedar dipelajari akan
tetapi tujuan utamanya adalah diamalkan. Ilmu yang tidak diamalkan sebagaimana ucapan para
ulama, seperti pohon yang tidak berbuah.

Kemudian yang ketiga,

‫ الدعوة إليه‬:‫الثالثة‬

“Adalah berdakwah kepada Ilmu dan amal ini.”

Apabila kita seorang Muslim sudah mengetahui, kemudian yang ke dua kita sudah mengamalkan di
dalam kehidupan sehari-hari dan kita merasakan manfaatnya mengenal Allah, mengenal Nabi
‫ﷺ‬, mengenal agama Islam, maka hendaklah kita berusaha untuk menyampaikan kebaikan ini
kepada orang lain yang mungkin banyak diantara mereka yang belum mempelajari tentang
mengenal Allah, mengenal Nabi ‫ﷺ‬, dan juga mengenal agama Islam apalagi mengamalkan, dan
ini sebagai tanda cinta kita sebagai seorang saudara sebagaimana sabda Nabi ‫ﷺ‬,
‫ال يؤمن أحدكم حتى يحب ألخيه ما يحب لنفسه‬

“Tidak beriman salah seorang diantara kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia
cintai untuk dirinya sendiri.”

Sebagaimana kita senang dan bahagia mengenal Allah, mengenal Nabi ‫ﷺ‬, mengenal agama
Islam dan dengannya kita selamat di dunia dan juga di akhirat, maka kita berusaha untuk menjadikan
saudara kita juga berbahagia. Mencintai untuk saudara kita apa yang kita cintai untuk diri kita
sendiri.

Halaqah 4 | Pengantar Al Ushulu Ats Tsalatsah Bagian 4 Empat Perkara yang Wajib Dipelajari (2)

Kemudian beliau mengatakan,

‫ الصبر على األذى فيه‬:‫الرابعة‬

“Yang ke empat adalah bersabar di dalam menghadapi gangguan, yaitu ketika berilmu, ketika
beramal, dan juga ketika berdakwah.”

Orang yang mau belajar ini harus bersabar karena orang yang belajar harus mengorbankan
waktunya yang biasa dia gunakan untuk melakukan aktivitas yang dia senangi, baik berupa dunia
maupun aktivitas yang lain. Kemudian dia sisihkan dan dia jadikan waktu tersebut untuk menuntut
Ilmu agama dan ini perlu kesabaran.

Dan terkadang orang yang belajar harus datang/harus pergi ke tempat yang jauh berpisah dengan
orang tuanya, berpisah dengan anaknya, berpisah dengan keluarganya, bukan hanya 1 minggu,
bukan hanya 1 bulan, bahkan terkadang 1 atau 3 atau 4 tahun berpisah dari keluarga yang dia cintai
untuk mendalami dan menuntut ilmu agama, dan ini perlu kesabaran.

Dan terkadang memerlukan uang yang tidak sedikit. Uang yang mungkin bisa digunakan untuk
menyalurkan apa yang dia inginkan berupa dunia, digunakan untuk menuntut ilmu agama. Dan ini
juga perlu kesabaran.
Dan terkadang ketika seseorang mempelajari ilmu di hadapan para ulama bersama teman-teman
yang lain juga banyak rintangan, banyak gangguan, kesulitan di dalam belajar, masalah bersama
teman yang lain, terkadang ada ucapan yang tidak baik dari seorang guru, perilaku yang tidak baik
dari seorang guru, yang ini semua membutuhkan kesabaran bagi seseorang.

Oleh karena itu beliau mengatakan,

‫الصبر على األذى فيه‬

“Bersabar di dalam menghadapi rintangan di dalamnya.”

Termasuk diantaranya ketika menuntut ilmu agama dan berusaha melawan syaithan yang senantiasa
berusaha untuk menjauhkan manusia dari majelis-majelis ilmu.

Dan juga bersabar di dalam beramal.

Seseorang ketika mengetahui Al-Haq, maka dia diminta untuk bersabar mengamalkan kebenaran
tersebut. Ketika dia mempelajari di dalam majelis ilmu bahwasanya melihat sesuatu yang haram
adalah diharamkan di dalam agama ini, maka perlu diamalkan. Dan untuk mengamalkan ilmu ini
perlu kesabaran dengan banyaknya fitnah, dengan banyaknya ujian di zaman sekarang, dan dia
berusaha untuk menjaga matanya dari perkara yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mengamalkan ilmu ini perlu kesabaran.

Demikian pula bersabar ketika berdakwah, karena orang yang berdakwah kepada jalan Allah ini
kebanyakan melawan arus. Ketika manusia atau kebanyakan manusia ingin mengikuti hawa
nafsunya atau mengikuti syahwatnya atau mengikuti kerancuan-kerancuan, maka seorang da’i ingin
membenarkan kerancuan ini melawan syahwat, melawan hawa nafsunya. Oleh karena itu, orang
yang berdakwah harus mempersiapkan diri, mempersiapkan kesabaran.

Orang yang berdakwah kepada jalan Allah maka dia akan mendapatkan rintangan, mendapatkan
gangguan, sebagaimana para Nabi dan Rasul yang mereka mengajak kepada agama Allah Subhanahu
wa Ta’ala, didustakan oleh kaumnya, diganggu oleh kaumnya. Apa yang mereka lakukan? Mereka
bersabar.

‫َو َلَقْد ُك ِّذ َب ْت ُرُسٌل ِّمن َق ْب ِلَك َف َص َب ُروا َع َلٰى َم ا ُك ِّذ ُبوا َو ُأوُذ وا َح َّتٰى َأَت اُه ْم َن ْص ُر َن ا ۚ َو اَل ُم َب ِّد َل ِلَك ِلَماِت ِهَّللا ۚ َو َلَقْد َج اَءَك ِمن َّن َب ِإ اْلُمْر َس ِليَن‬
“Dan sungguh telah didustakan Rasul-Rasul sebelummu (telah didustakan Nabi Nuh ‘alaihissalam,
Nabi Luth’ alaihissalam, Nabi Hud ‘alaihissalam, Nabi Sholeh ‘alaihissalam, Nabi Ibrahim, dan juga
Nabi-Nabi yang lain), kemudian mereka bersabar atas pendustaan yang dilakukan oleh kaumnya.”
[QS Al-An’am 34]

Seorang Nabi dan seorang Rasul dikatakan sebagai seorang yang pendusta. Apabila ada orang yang
mengatakan kita adalah pembohong, maka ini adalah sesuatu yang menyakitkan. Padahal kita tidak
mengatakan kecuali yang benar. Bagaimana ini dikatakan kepada seorang Rasul, seorang yang mulia,
utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan dikenal di kalangan kaumnya sebagai seorang yang jujur,
yang terhormat, kemudian ketika dia mengajak kepada Allah, mengajak beriman, dikatakan sebagai
seorang yang pendusta.

‫َف َص َب ُروا َع َلٰى َم ا ُك ِّذ ُبوا َو ُأوُذ وا َح َّتٰى َأَت اُه ْم َن ْص ُر َن ا‬

Dan mereka diganggu bahkan diusir dari kampungnya namun mereka bersabar

‫َح َّتٰى َأَت اُه ْم َن ْص ُر َن ا‬

“Sampai datang pertolongan dari Allah Subhānahu wa Ta’āla.”

Berilmu, beramal dan juga berdakwah memerlukan kesabaran.

Halaqah 5 | Pengantar Al Ushulu Ats Tsalatsah Bagian 5 Tafsir Surat Al ‘Ashr

Kemudian beliau mengatakan,

‫والدليل قوله تعلى‬

“Dan dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

‫َو اْلَع ْص ِر‬


‫ِإَّن اِإْلنَس اَن َلِفي ُخ ْس ٍر‬
‫ِإاَّل اَّلِذيَن آَم ُنوا َو َعِم ُلوا الَّصاِلَح اِت َو َت َو اَص ْو ا ِباْلَح ِّق َو َت َو اَص ْو ا ِبالَّصْب ِر‬

Dalil dari empat perkara ini, kata beliau, adalah apa yang ada di dalam surat Al ‘Ashr, surat
yang terdiri dari tiga ayat namun memiliki makna yang sangat dalam.
‫َو اْلَع ْص ِر‬

“Demi Masa,” kata Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan Allah bersumpah dengan apa yang Dia
kehendaki. Bersumpah dengan masa, bersumpah dengan matahari, dengan bulan, dengan
langit, namun seorang makhluk tidak boleh bersumpah kecuali dengan nama Allah,
mengatakan Billah, Wallah.

Adapun Allah Subhanahu wa Ta’ala maka bersumpah sesuai dengan apa yang dikehendaki
oleh Allah Subhanahu wa Taala.

“Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian.”

Sesungguhnya manusia – ‫ – اِإْلنَس اَن‬maksudnya adalah An Naas, seluruh manusia berada di


dalam kerugian.
‫ ِإاَّل‬kecuali, kata Allah, ada diantara manusia yang mereka tidak rugi.

Siapa mereka?

‫اَّلِذيَن آَم ُنوا َو َعِم ُلوا الَّصاِلَح اِت َو َت َو اَص ْو ا ِباْلَح ِّق َو َت َو اَص ْو ا ِبالَّصْب ِر‬

Mereka adalah:
Yang pertama – ‫ – اَّلِذيَن آَم ُنوا‬orang yang beriman.
Yang ke dua – ‫ – َو َعِم ُلوا الَّصاِلَح اِت‬dan orang yang beramal sholeh.
Yang ke tiga – ‫ – َو َت َو اَص ْو ا ِباْلَح ِّق‬saling menasehati dengan kebenaran.
Yang ke empat – ‫ – َو َت َو اَص ْو ا ِبالَّصْب ِر‬saling menasehati dengan kesabaran.

Perhatikan firman Allah – ‫ – ِإاَّل اَّلِذيَن آَم ُنوا‬kecuali orang yang beriman.
Orang yang beriman tidak mungkin dia bisa beriman kecuali apabila dia mengilmui apa yang
dia imani.
Bagaimana dia bisa beriman kepada Allah kalau dia tidak mengenal Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Bagaimana dia bisa mengenal Nabi Muhammad /beriman dengan Nabi Muhammad kalau
dia tidak mengenal siapa Nabi Muhammad ‫ﷺ‬.
Oleh karena itu firman Allah,

‫اَّلِذيَن آَم ُنوا‬


Ini berisi tentang dorongan untuk berilmu.

Yang ke dua,

‫َو َعِم ُلوا الَّصاِلَح ات‬

“Beramal sholeh.”
Ini adalah dalil kewajiban untuk beramal.

‫َو َت َو اَص ْو ا ِباْلَح ق‬

“Dan saling berwasiat dengan kebenaran.”

Ini adalah dalil tentang dakwah. Seseorang saling berwasiat, saling menasehati satu dengan
yang lain untuk berilmu, untuk beramal, dan ini adalah dinamakan dengan dakwah.

Yang terakhir

‫َو َت َو اَص ْو ا ِبالَّصْب ِر‬

“Saling berwasiat dengan kesabaran.”

Ini adalah dalil perkara yang ke empat,

‫الصبر على األذى فيه‬

“Bersabar di dalam rintangan yang dihadapi (dalam menuntut ilmu, beramal, dan juga
berdakwah).”
Ini adalah dalil yang beliau sebutkan tadi tentang empat perkara yang wajib dipelajari oleh
seorang muslim.

Kemudian beliau membawakan ucapan Imam Asy Syafi’i,

‫قال الشافعي رحمه هللا‬

“Berkata Imam Syafii rahimahullah (semoga Allah merahmatinya beliau),”

Dan Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris dan beliau adalah salah satu Imam yang
empat yang dikenal kaum muslimin, yang beliau lahir pada tahun 150 H dan meninggal pada
tahun 204 H.
Beliau mengatakan, menafsirkan tentang apa yang ada di dalam surat Al ‘Ashr,

‫لو ما أنزل هللا حجة على خلقه إال هذه السورة لكفتهم‬

Beliau mengatakan,
“Seandainya Allah tidak menurunkan sebuah hujjah untuk makhluknya kecuali surat ini,
niscaya itu sudah cukup bagi mereka.”

Kenapa demikian? Karena di dalam surat Al ‘Ashr ada pondasi-pondasi yang tadi kita
sebutkan: kewajiban untuk menuntut ilmu. Dan menuntut ilmu mencakup semua perkara.
Demikian pula beramal dan disebutkan di dalamnya dakwah dan disebutkan di dalamnya
kesabaran.

Ini adalah pondasi-pondasi yang apabila dipahami oleh seorang muslim maka ini sudah
cukup untuk dia.

Ini adalah ucapan Imam Asy Syafi’i yang menyebutkan tentang keutamaan surat Al ‘Ashr ini,
bahwasanya di dalamnya ada hujjah, seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
menurunkan kepada makhluk-Nya (kepada hamba-Nya) kecuali surat Al’ Ashr ini niscaya ini
sudah cukup bagi mereka untuk mendorong mereka mempelajari ilmu agama, untuk
beramal sholeh, demikian pula untuk berdakwah, dan bersabar di dalamnya.

Kemudian beliau membawakan ucapan Imam Bukhari, dan Imam Bukhari adalah
Muhammad bin Ismail dan beliau adalah seorang muhaddits yang memiliki kitab Shahih Al
Bukhari yang merupakan kitab yang paling shahih setelah al-Quran dan beliau meninggal
dunia pada tahun
256 H.

‫و قال البخاري رحمه هللا‬

Beliau mengatakan di dalam kitabnya, Shahih Al Bukhari,

‫ العلم قبل القول والعمل‬:‫باب‬

Bab ilmu sebelum ucapan dan juga amalan.

‫ۗ والدليل قوله تعالى – َف اْع َلْم َأَّن ُه اَل ِإَٰل َه ِإاَّل ُهَّللا َو اْس َتْغ ِفْر ِلَذ نِبَك َو ِلْلُمْؤ ِمِنيَن َو اْلُمْؤ ِم َن اِت‬

“Imam Bukhori rahimahullah ingin menyampaikan kepada kita di dalam kitabnya (karena di
sana beliau membuat bab-bab, di sana ada bab alif, bab ba, dst dan diantaranya bab yang
beliau sebutkan adalah
《‫ العلم قبل القول والعمل‬:‫》باب‬bab bahwasanya ilmu itu sebelum ucapan dan juga amalan.

Seseorang sebelum mengucapkan, maka dia harus mengilmui apa yang dia ucapkan.
Seseorang sebelum beramal, maka dia harus mengilmui apa yang diamalkan.
Ini maksudnya mendorong kepada seseorang sebelum dia mengucapakan sesuatu dan
mengamalkan sebuah ibadah hendaknya dia mengilmui bahwasanya ucapan tersebut
memang ada dasarnya, demikian pula amalan tersebut ada dasarnya di dalam syari’at.

Kemudian beliau mengatakan dan dalilnya (kata Imam Bukhari) adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala,

‫َف اْع َلْم َأَّنُه اَل ِإَٰل َه ِإاَّل ُهَّللا َو اْس َتْغ ِفْر ِلَذ نِبَك‬

“Ketahuilah bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah –
‫ – َو اْس َتْغ ِفْر ِلَذ نِبَك‬kemudian memohon ampunlah untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Pertama Allah mengatakan – ‫ – َف اْع َلْم‬ini adalah dorongan untuk mengilmui (mempelajari),
kemudian setelah itu Allah mengatakan – ‫ – َو اْس َتْغ ِفْر‬baru setelah itu memohon ampunlah
kepada Allah. Artinya berilmu dulu baru beramal.
Kemudian beliau mengatakan,

‫فبدأ بالعلم قبل القول والعمل‬

Maka Allah Subhanahu wa Taala memulai dengan Ilmu – ‫ قبل القول والعمل‬-sebelum
mengucapkan dan sebelum perbuatan.

Inilah yang ingin disampaikan oleh Syaikh rahimahullah di dalam muqoddimah dan Insya
Allah akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.

Halaqah 6 | Pengantar Al Ushulu Ats Tsalatsah Bagian 6 Tiga Perkara yang Wajib Dipelajari
dan Diamalkan (1)

Beliau mengatakan,

‫ والعمل بهن‬،‫ أنه يجب على كل مسلم و مسلمة تعلم ثالث هذه المسائل‬:‫اعلم رحمك هللا‬

“Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu.”

Dan ucapan – ‫ – اعلم‬menunjukan bahwasanya apa yang akan beliau sampaikan setelah itu
merupakan sesuatu yang penting untuk didengar dan diperhatikan, dan juga diketahui oleh
seorang muslim.

Beliau mengatakan,
‫اعلم رحمك هللا‬
kembali beliau mendo’akan kebaikan untuk kita, setiap pembaca, setiap pendengar yang
membaca kitab beliau ini, dido’akan dengan rahmat oleh beliau. Dan rahmat artinya adalah
kasih sayang. Dan ini mencakup kasih sayang baik dalam perkara dunia maupun dalam
perkara agama.

Apabila seseorang mendapatkan kasih sayang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala baik dunia
maupun agama, maka tentunya ini adalah sebuah kebahagiaan yang luar biasa bagi
seorang Muslim.

‫أنه يجب على كل مسلم و مسلمة تعلم ثالث هذه المسائل‬،


“Wajib bagi setiap muslim dan juga muslimah (yaitu baik yang laki-laki maupun wanita dari
berbagai daerah).”

Ucapan beliau, ‫ يجب‬artinya adalah wajib, yang kita ketahui artinya apabila dikerjakan
seseorang mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan maka dia berdosa.
Dan yang dimaksud dengan muslim dan muslimah di sini adalah yang mukallaf (yang sudah
dibebani oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan syari’at).

‫تعلم ثالث هذه المسائل‬

Wajib bagi mereka untuk “mempelajari dari tiga perkara ini.”

Disebutkan oleh beliau bahwa seorang muslim berusaha untuk berilmu, beramal,
berdakwah, dan bersabar, dan di sini beliau ingin menyampaikan kepada kita diantara ilmu
yang wajib untuk dipelajari yaitu tiga perkara yang akan beliau sebutkan.

‫والعمل بهن‬

“Dan mengamalkan tiga perkara ini.”

Apa tiga perkara tersebut?

‫ األولى‬:

‫أَّن َهللا َخ َلقنا وَر َز َق نا ولم يترْك نا همًال؛ بل أرسَل إلينا رسوًال فمْن أطاَع ُه دخَل الجَّنَة ومْن عصاُه دخَل الّناَر‬.

“Yang pertama (kata beliau), sesungguhnya Allah telah menciptakan kita dan memberikan
rezeki kepada kita dan tidak meninggalkan kita begitu saja.”

Beliau mengatakan, sesungguhnya Allah telah menciptakan kita. Dan ini perkaranya jelas.
Dan di dalam Al-Qur’an, banyak Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwasanya
Allah adalah Pencipta segala sesuatu.

۞ ‫ۖ ُهَّللا َخ اِلُق ُك ِّل َش ْي ٍء‬


“Allah yang menciptakan segala sesuatu.”

Menciptakan manusia, jin, hewan, tumbuhan, dan selain Allah adalah ciptaan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dan Allah berfirman,

۞ ‫َي ا َأُّيَه ا الَّن اُس اْع ُبُدوا َر َّب ُك ُم اَّلِذي َخ َلَقُك ْم َو اَّلِذيَن ِمن َق ْبِلُك ْم‬
[QS Al-Baqorah 21]

“Wahai manusia, hendaklah kalian menyembah Rabb kalian – ‫ – اَّلِذي َخ َلَقُك ْم‬yang telah
menciptakan kalian (menciptakan manusia) – ‫ – َو اَّلِذيَن ِمن َق ْبِلُك م‬dan orang-orang sebelum
kalian.”

Ilmu yang pertama dan hendaknya kita amalkan adalah kita mengetahui bahwasanya Allah
yang telah menciptakan kita – ‫ – وَر َز َق نا‬dan Dia-lah yang telah memberikan rezeki kepada
kita. Allah tidak menciptakan kita begitu saja kemudian tidak diberikan rezeki tapi Allah
menciptakan dan memberikan rezeki.

۞ ‫َو َم ا ِمن َد اَّبٍة ِفي اَأْلْر ِض ِإاَّل َع َلى ِهَّللا ِر ْز ُقَه ا‬


[QS Hud 6]

“Dan tidak ada makhluk hidup yang melata di permukaan bumi kecuali atas Allah
memberikan rezeki kepada mereka.”

Dan Allah berfirman,

۞ ‫ِإَّن َهَّللا ُه َو الَّر َّز اُق ُذ و اْلُقَّو ِة اْلَم ِتيُن‬


[QS Adz Dzariyat: 58]

“Sesungguhnya Allah, Dia-lah yang Maha memberikan rezeki – ‫ – ُذ و اْلُقَّو ِة اْلَم ِتيُن‬yang memiliki
kekuatan yang sangat dahsyat.”

Sesungguhnya Allah menciptakan kita dan juga memberikan rezeki kepada kita.

Halaqah 7 | Pengantar Al Ushulu Ats Tsalatsah Bagian 7 Tiga Perkara yang Wajib Dipelajari
dan Diamalkan (2)
Beliau mengatakan,

‫ولم يترْك نا همًال‬

“Dan Allah tidak meninggalkan kita hidup di dunia ini – ‫ – همًال‬dengan sia-sia.”

‫بل أرسَل إلينا رسوال‬

“Akan tetapi Allah mengutus kepada kita seorang Rasul.”

Kita diciptakan di dunia ini dan diberikan rezeki dan tidak dibiarkan oleh Allah dalam
keadaan sia-sia. Artinya sia-sia: tidak diperintah, tidak dilarang, tidak dihisab, tidak
dikembalikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah telah menciptakan kita dan memberikan rezeki kepada kita ada hikmahnya, ada
tujuannya, diketahui oleh orang yang mengetahui dan tidak diketahui oleh orang yang tidak
mengetahui.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan kita adalah untuk beribadah kepada-Nya. Dan
tidaklah Allah memberikan rezeki kepada kita dengan berbagai jenisnya kecuali supaya kita
jadikan rezeki tersebut sebagai wasilah dalam kita beribadah kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

Diberikan kita nafas, diberikan kita makanan, diberikan kita minuman, tujuannya adalah
supaya digunakan untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bukan
digunakan untuk berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

‫ولم يتركنا همال‬

Allah tidak akan membiarkan kita hidup di dunia ini tanpa tujuan, tanpa diperintah, tanpa
dilarang, tanpa dihisab di hari kiamat.

‫بل أرسَل إلينا رسوال‬


“Tapi Allah Subhānahu wa Ta’āla telah mengutus kepada kita seorang Rasul.”

Yaitu Rasulullah ‫ ﷺ‬yang datang utusan tersebut dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan membawa perintah Allah supaya kita menjalankan perintah Allah tersebut sesuai
dengan kemampuan kita.

Di sana ada perintah untuk melakukan shalat lima waktu, puasa Ramadhan, melakukan haji
bila terpenuhi syarat wajibnya, perintah untuk membayar zakat. Itu semua pada hakikatnya
adalah perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dibawa oleh Rasulnya Nabi
Muhammad ‫ ﷺ‬dan Beliau ‫ ﷺ‬sebagai seorang Rasul diutus kepada kita dengan
membawa larangan-larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kita diperintahkan untuk
menjauhi dan meninggalkan larangan tersebut tanpa terkecuali, yang kecil maupun yang
besar.

Dan diantara larangan-larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah larangan untuk berbuat
syirik, larangan untuk berbuat bid’ah di dalam agama, larangan untuk berbuat maksiat
dengan berbagai jenisnya, ini semua pada hakikatnya adalah larangan Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

‫بل أرسَل إلينا رسوًال‬

Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus kepada kita seorang Rasul, yaitu Rasulullah
‫ﷺ‬,

‫فمْن أطاَع ُه دخَل الجَّنَة ومْن عصاُه دخَل الّناَر‬

“Barangsiapa yang mentaati Beliau maka dia akan masuk ke dalam surga dan barangsiapa
berbuat maksiat kepada Beliau artinya tidak mentaati Beliau, maka dia akan masuk ke
dalam neraka.”

Barangsiapa yang mentaati Rasulullah ‫ﷺ‬, mentaati perintah Beliau, menjauhi larangan
Beliau, membenarkan kabar yang datang dari Beliau, dan beribadah sesuai dengan cara
yang Beliau ajarkan, maka orang yang demikian akan masuk ke dalam surga.

Tapi barangsiapa yang berbuat maksiat kepada Beliau, ketika Beliau memerintahkan tidak
dikerjakan perintahnya, ketika Beliau melarang dilanggar larangannya, ketika Beliau
mengabarkan sesuatu didustakan kabarnya, atau seseorang beribadah tidak sesuai dengan
apa yang Beliau ajarkan ‫ ﷺ‬maka akibatnya/ancamannya adalah masuk ke dalam
neraka, dan ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
۞ ‫َم ْن ُيِط ِع الَّر ُسوَل َفَقْد َأَط اَع َهَّللا‬
[An Nisa 80]

“Barangsiapa yang taat kepada Rasul maka sungguh dia telah taat kepada Allah.”

Barangsiapa yang taat kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬maka pada hakikatnya dia telah taat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Beliau ‫ ﷺ‬adalah seorang utusan.
Tugas Beliau adalah hanya membawa dan menyampaikan apa yang datang dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

Perintah Beliau tidak lain adalah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala disampaikan oleh
Beliau ‫ﷺ‬, larangan Beliau pada hakikatnya adalah larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
disampaikan oleh Beliau kepada umatnya. Di dalam sebuah hadits Beliau ‫ﷺ‬
mengatakan,

‫ ُك ُّل ُأَّمِتي َي ْد ُخ ُلوَن اْلَج َّنَة ِإاَّل َم ْن َأَب ى‬،

“Setiap umatku (umat Islam) akan masuk ke dalam surga kecuali orang yang enggan.”

‫ َي ا َر ُسوَل ِهَّللا َو َم ْن َي ْأَب ى؟‬: ‫َق اُلوا‬

“Para sahabat bertanya, Ya Rasulullah, siapa yang enggan masuk ke dalam surga?”

Maka Beliau ‫ ﷺ‬mengatakan,

‫ َم ْن َأَط اَع ِني َد َخ َل اْلَج َّنَة َو َم ْن َعَص اِني َفَقْد َأَب ى‬: ‫َق اَل‬

“Barangsiapa yang taat kepadaku maka dia masuk ke dalam surga dan barangsiapa yang
tidak taat kepadaku/berbuat maksiat kepadaku maka dialah orang yang enggan untuk
masuk ke dalam surga.”

Menunjukan bahwasanya untuk masuk ke dalam surga diharuskan seseorang taat kepada
Rasulullah ‫ﷺ‬.
Kemudian Beliau mengatakan,
‫و الدليل قوله تعالى‬
۞ ‫ِإَّن ا َأْر َس ْلَن ا ِإَلْي ُك ْم َر ُسواًل َش اِه ًد ا َع َلْي ُك ْم َك َم ا َأْر َس ْلَن ا ِإَلٰى ِفْر َع ْو َن َر ُسواًل‬
۞ ‫َفَع َص ٰى ِفْر َع ْو ُن الَّر ُسوَل َف َأَخ ْذ َن اُه َأْخ ًذ ا َو ِبياًل‬
[QS Al Muzzammil 15-16]

Beliau mengatakan, dalilnya yaitu dalil tentang wajibnya taat kepada Rasullullah ‫ﷺ‬
utusan yang telah diutus kepada kita, adalah firman Allah yang artinya,

“Sesungguhnya kami telah mengutus kepada kalian seorang Rasul (yaitu Nabi Muhammad
‫ )ﷺ‬yang Beliau adalah sebagai saksi atas kita sebagaimana Kami telah mengutus
kepada Fir’aun seorang Rasul (yaitu Nabi Musa ‘alaihissalam).

‫َفَع َص ٰى ِفْر َع ْو ُن الَّر ُسول‬

“Maka Fir’aun berbuat maksiat kepada rasul tersebut.”

Memaksiati Nabi Musa ‘alaihissalam, mendustakan Beliau, maka apa akibatnya?

َ ‫َف َأَخ ْذ َن اُه َأْخ ًذ ا َو ِبياًل‬

“Maka kami siksa dia (yaitu Fir’aun) dengan siksaan yang sangat pedih/yang sangat keras.”

Ditenggelamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia bersama bala tentaranya dan di alam
kubur disiksa oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan siksaan di akhirat lebih dahsyat dari itu
semua.

Akibat dari apa? Akibat dari memaksiati utusan, seorang Rasul yang telah diutus oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Dan ini adalah peringatan bagi kaum muslimin jangan sampai menimpa mereka apa yang
telah menimpa Fir’aun dan bala tentaranya.
Diutus kepada mereka seorang Rasulullah (yaitu Nabi Musa ‘alaihissalam) kemudian
mereka memaksiati, mendustakan, dan tidak mengikuti Beliau, maka akan mendapatkan
adzab yang sangat pedih.

Dan ini menunjukan tentang wajibnya mentaati Rasulullah ‫ﷺ‬.


Ini adalah perkara yang pertama yang ingin beliau sampaikan, perlu kita ketahui dan kita
amalkan, yaitu bahwasannya Allah menciptakan kita, memberikan rezeki kepada kita, dan
tidak meninggalkan kita dalam keadaan sia-sia (tidak diperintahkan, tidak dilarang, dan tidak
dikembalikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala).

Halaqah 8 | Pengantar Al Ushulu Ats Tsalatsah Bagian 8 Tiga Perkara yang Wajib Dipelajari
dan Diamalkan (3)

Kemudian beliau mengatakan,

‫ َو ال َن ِبٌّي ُمْر َس ٌل‬، ‫ َأَّن َهللا ال َي ْر َض ٰى َأْن ُيْش َر َك َمَع ُه َأَح ٌد ِفي ِع َب اَد ِتِه؛ ال َم َلٌك ُم َق َّر ٌب‬:‫الثانية‬

Kata beliau, yang ke dua yang hendaknya kita pelajari dan kita ketahui dan kita amalkan
dalam kehidupan kita sehari-hari,
“Bahwasanya Allah tidak ridho disekutukan bersamanya seorang pun di dalam ibadahnya,”

Tidak ridho dan Allah tidak cinta dengan perbuatan tersebut, seorang pun, dan ini umum
baik pohon atau batu atau makhluk yang lain – ‫ – ِفي ِع َب اَد ِته‬di dalam ibadahnya.”

Yang Allah ridhoi dari kita apabila kita hanya menyerahkan ibadah ini kepada Allah semata,
tidak memberikan secuil pun, sedikit pun dari ibadah yang kita lakukan kepada selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

‫ َو ال َن ِبٌّي ُمْر َس ٌل‬، ‫ال َم َلٌك ُم َق َّر ٌب‬

“Tidak ridho, baik disekutukan dengan seorang malaikat yang – ‫ – ُم َق َّر ٌب‬yang sangat dekat
dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala,”

‫َو ال َن ِبٌّي ُمْر َس ٌل‬

“Demikian pula Allah tidak ridho apabila disekutukan dengan seorang yang paling mulia pun
seperti seorang Nabi yang diutus.”

Kita tahu bahwasanya malaikat dan para Nabi adalah makhluk Allah yang paling mulia.
Tidak ada yang lebih mulia daripada malaikat dan juga para Nabi. Para malaikat, mereka
adalah makhluk yang Allah ciptakan untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
۞… ‫اَّل َي ْع ُصوَن َهَّللا َم ا َأَمَر ُه ْم َو َي ْف َع ُلوَن َم ا ُيْؤ َم ُرون‬
[QS. At Tahrim 6]

“Mereka tidak berbuat maksiat kepada Allah dan senantiasa melakukan apa yang
diperintahkan kepada mereka.”

‫عباد مكرمون‬

“Hamba-hamba Allah yang dimuliakan,”

Demikian pula para Nabi, mereka adalah makhluk Allah, manusia yang paling afdhol di sisi
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Diantara manusia yang sekian banyak jumlahnya, yang paling afdhol dan paling utama
adalah para Nabi. Dan yang paling afdhol diantara para Nabi adalah Ulul Azmi (Nabi Nuh
‘alaihissalam, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, Nabi Musa ‘alaihissalam, Nabi Isa, dan juga Nabi
kita Nabi Muhammad ‫)ﷺ‬.

Dan yang paling afdhol diantara Ulul Azmi adalah dua orang, yaitu Nabi Ibrahim
‘alaihissalam dan juga Nabi Muhammad ‫ﷺ‬. Dan keduanya adalah
Kholilullah/Kholilurrohman.
Dan yang paling afdhol antara keduanya yaitu antara Nabi Ibrahim dengan Nabi Muhammad
‫ ﷺ‬adalah Nabi kita Muhammad ‫ ﷺ‬dan Beliaulah ‫ سيد ولد آدم‬pemukanya anak Adam.

Namun bagaimanapun tinggi derajat Beliau ‫ ﷺ‬maka Allah tidak ridho apabila di dalam
ibadahnya, Allah disekutukan dengan seorang makhluk pun baik itu seorang Nabi atau
setingkat malaikat.

Benar meraka adalah sangat dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sangat didekatkan
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi di dalam masalah ibadah maka ibadah ini adalah
hak istimewa bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah tidak berikan kepada yang lain,
bahkan kepada seorang Nabi sekalipun.

Seandainya ada seorang hamba/makhluk menyerahkan sebagian ibadahnya kepada selain


Allah, baik itu kepada seorang malaikat maupun seorang Nabi, maka ini adalah perkara
yang tidak diridhoi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
marah. Dan ini masuk ke dalam kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Taala, yang Allah
kabarkan di dalam Al-Qur’an.
۞ ‫ِإَّن َهَّللا اَل َي ْغ ِفُر َأْن ُيْش َر َك ِبِه َو َي ْغ ِفُر َم ا ُدوَن َذ ِلَك ِلَم ْن َي َش اُء‬
[QS An-Nisa 48]

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan masih mengampuni dosa yang lain
bagi siapa yang dikehendaki.”

Diantara bahaya syirik (menyekutukan Allah)bahwasanya Allah tidak akan mengampuni


pelakunya. Apabila meninggal dalam keadaan berbuat syirik, maka tidak ada harapan
baginya di akhirat mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan di dalam ayat yang lain Allah mengatakan,

۞ ‫ِإَّنُه َم ن ُيْش ِر ْك ِباِهّلل َفَقْد َح َّر َم ُهّللا َع َليِه اْلَج َّنَة َو َم ْأَو اُه الَّن اُر َو َم ا ِللَّظ اِلِميَن ِمْن َأنَص اٍر‬
[QS Al-Maidah 72]

“Sesungguhnya barangsiapa yang menyekutukan Allah maka Allah Subhanahu wa Ta’ala


telah mengharamkan baginya surga.”

Artinya tidak mungkin masuk ke dalam surga yang dimiliki Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apabila seseorang diharamkan masuk ke dalam surga, maka darimana dia akan bisa masuk
ke dalam surganya Allah Subhanahu wa Ta’ala?

‫َو َم ْأَو اُه الَّن اُر‬

“Dan tempat kembalinya adalah neraka,”

‫َو َم ا ِللَّظ اِلِميَن ِمْن َأنَص اٍر‬

“Dan tidak ada penolong orang-orang yang berbuat dholim.”

Meskipun dia menyekutukan Allah dengan seorang Nabi pun atau seorang malaikat
sekalipun.
Apabila kita tidak boleh menyekutukan Allah dengan seorang Nabi dengan seorang malaikat
yang mereka tentunya adalah makhluk yang paling afdhol, maka tentunya menyekutukan
Allah dengan makhluk yang lebih rendah derajatnya daripada seorang Nabi, seorang
malaikat, lebih tidak diperbolehkan. Seperti seorang wali yang tentunya derajatnya lebih
rendah daripada Nabi atau orang sholeh yang lain yang tentunya lebih rendah derajatnya
daripada Nabi ‫ﷺ‬.

Apalagi menyekutukan Allah dengan makhluk yang terlaknat seperti dengan syaithan yang
dilakukan oleh sebagian orang yang menyembah syaithan atau jin, atau menyekutukan
Allah dengan makhluk yang tidak bisa berbicara, yang tidak hidup, menyekutukan Allah
dengan batu atau dengan benda-benda yang lain.

Kemudian beliau mengatakan,

‫و الدليل قوله تعالى‬


۞ ‫َو َأَّن اْلَمَس اِج َد ِهَّلِل َف اَل َتْد ُعوا َمَع ِهَّللا َأَح ًد ا‬
[QS Al Jin 18]

Dalilnya, kata beliau, adalah firman Allah Subhānahu wa Ta’āla,


“Dan sesungguhnya ‫ اْلَمَس اِج د‬adalah ‫” ِهَّلِل‬

Yang dimaksud ‫ اْلَمَس اِج َد‬di sini ada yang mengatakan adalah masjid, yaitu bangunan yang
digunakan untuk beribadah (untuk sholat), dan ada yang mengatakan bahwasanya ‫ اْلَمَس اِج د‬di
sini adalah anggota badan yang digunakan untuk bersujud kepada Allah.

‫َف اَل َتْد ُعوا َمَع ِهَّللا َأَح ًد ا‬

“Maka janganlah kalian berdo’a bersama Allah seorang pun.”

Artinya tidak boleh berdo’a dan menyembah kepada selain Allah di dalam ibadahnya kepada
Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Terkadang menyembah kepada Allah dan terkadang menyembah kepada selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala, hal ini termasuk kesyirikan.

Firman Allah ‫ َأَح ًد ا‬artinya seorang pun, dan ini mencakup Nabi maupun malaikat maupun
makhluk-makhluk yang lain.
Ini adalah perkara yang ke dua yang diwajibkan bagi seorang muslim dan juga muslimah
untuk mempelajarinya.

Halaqah 9 | Pengantar Al Ushulu Ats Tsalatsah Bagian 9 Tiga Perkara yang Wajib Dipelajari
dan Diamalkan (4)

Kemudian yang ke tiga kata beliau,

‫ ولو كان أقرب قريب‬،‫ أن من أطاع الرسول ووحد هللا ال يجوز له مواالة من حاد هللا ورسوله‬: ‫الثالثة‬

“Bahwasanya orang yang taat kepada Rasul ‫ ﷺ‬dan mentauhidkan Allah maka tidak
boleh baginya bermuwalah (mencintai orang-orang) yang memusuhi Allah dan juga Rasul-
Nya meskipun dia adalah orang yang paling dekat dengannya.”

Apabila seseorang taat kepada Rasul ‫ ﷺ‬dan dia mentauhidkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala, mengesakan Allah di dalam beribadah secara dhohir dan batin, maka tidak boleh
baginya untuk bermuwalah (berloyalitas), mencintai, dan juga menolong di dalam agama
orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya.

Seperti orang-orang kafir yang jelas-jelas memerangi Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh
menolong mereka dan mencitai mereka karena agama mereka, meskipun dia adalah
kerabat yang paling dekat dengan seseorang (bapaknya, atau anaknya, atau saudaranya,
atau ibunya).
Apabila dia adalah termasuk musuh Allah, memerangi Allah dan juga Rasul-Nya, membantu
orang-orang kafir untuk memerangi kaum muslimin, maka tidak boleh seseorang
bermuwalah/berloyalitas kepada orang tersebut.

Kemudian beliau mengatakan,

‫والدليل قوله تعالى‬:


۞ ‫ال َت ِج ُد َق ْو ًما ُيْؤ ِم ُنوَن ِباِهَّلل َو اْلَي ْو ِم اآْل ِخ ِر ُيَو اُّدوَن َم ْن َح اَّد َهَّللا َو َر ُسوَلُه َو َلْو َك اُنوا آَب اَء ُه ْم َأْو َأْب َن اَء ُه ْم َأْو ِإْخ َو اَن ُهْم َأْو َعِش يَر َت ُهْم ُأوَلِئَك‬
‫َكَت َب ِفي ُقُلوِبِه ُم اِأْليَم اَن َو َأَّيَد ُه ْم ِبُروٍح ِم ْن ُه َو ُيْد ِخ ُلُهْم َج َّن اٍت َت ْج ِر ي ِمْن َت ْح ِتَه ا اَأْلْن َه اُر َخ اِلِديَن ِفيَه ا َر ِض َي ُهَّللا َع ْن ُهْم َو َر ُضوا َع ْن ُه ُأوَلِئَك‬
‫ِح ْز ُب ِهَّللا َأال ِإَّن ِح ْز َب ِهَّللا ُه ُم اْلُم ْف ِلُحوَن‬
[QS. Al Mujadilah 22]

Dan dalilnya adalah firman Allah Subhānahu wa Ta’āla,


“Engkau tidak akan menemukan sebuah kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
yang mereka mencintai orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, meskipun
mereka adalah bapak-bapak mereka, atau anak-anak mereka, atau saudara mereka atau
keluarga-keluarga mereka yang lain. Merekalah orang-orang yang telah Allah tulis di dalam
hati mereka keimanan dan telah Allah kuatkan hatinya dengan pertolongan dari Allah dan
merekalah yang akan Allah masukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-
sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridho kepada mereka dan mereka pun ridho
kepada Allah. Merekalah golongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketahuilah bahwasanya
orang-orang yang termasuk di dalam golongan Allah, merekalah orang-orang yang
beruntung.”

Ini adalah dalil tentang kewajiban berloyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya dan larangan
untuk berloyalitas kepada musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Orang yang taat kepada Rasul dan mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka harus
berloyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya, dan ini bukan berarti seorang muslim dan juga
muslimah kemudian dia tidak berbuat adil kepada orang yang kafir atau tidak berbuat baik
kepada mereka atau sama sekali tidak mendakwahi mereka. Bukan berarti orang yang tidak
berloyalitas kepada orang-orang yang memusuhi Allah kemudian kita tidak boleh berbuat
baik kepada orang-orang kafir.
Di dalam Al-Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan,

۞ ‫اَل َي ْن َه اُك ُم ُهَّللا َع ِن اَّلِذيَن َلْم ُيَقاِتُلوُك ْم ِفي الِّد يِن َو َلْم ُيْخ ِر ُجوُك م ِّمن ِدَي اِر ُك ْم َأن َت َبُّر وُه ْم َو ُتْق ِس ُط وا ِإَلْي ِه ْم ِإَّن َهَّللا ُيِحُّب اْلُم ْق ِس ِط يَن‬
[QS. Al Mumtahanah 8]

“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik kepada orang-orang yang tidak memerangi
kalian di dalam agamanya dan mereka tidak mengeluarkan kalian dari daerah-daerah kalian
(dari kampung-kampung kalian). Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik kepada
mereka dan berbuat adil kepada mereka.”

Apabila mereka tidak memerangi kaum muslimin dan tidak mengeluarkan kita dari kampung-
kampung kita, dari daerah kita, maka kata Allah tidak ada larangan kalian untuk berbuat baik
kepada mereka.

Mungkin seseorang memiliki tetangga yang kafir, yang non muslim, boleh untuk berbuat baik
kepada dirinya, mengirimkan makanan, mengirimkan hadiah, sebagaimana dahulu
Rasulullah ‫ ﷺ‬berbuat baik kepada tetangganya Yahudi.
Dan boleh seseorang bermuamalah dengan seorang non muslim. Berjual beli, berhutang
piutang, demikian pula dulu Rasulullah ‫ ﷺ‬ketika meninggal dunia ternyata Beliau pernah
menggadaikan sebagian barang Beliau kepada seorang Yahudi.
Bukan berarti seseorang ketika diperintahkan membenci seorang yang kafir yang memusuhi
Allah dan Rasul-Nya, bukan berarti diperbolehkan untuk berbuat dholim kepada mereka,
bahkan kita diperintahkan untuk berbuat adil.

۞‫ۘ َو اَل َي ْج ِر َم َّنُك ْم َشَن آُن َق ْو ٍم َأن َص ُّدوُك ْم َع ِن اْلَم ْس ِج ِد اْلَح َر اِم َأن َت ْع َت ُدوا‬
[QS. Al Maidah 2]

“Jangan sampai kebencian kalian kepada sebuah kaum yang telah menghalangi kalian dari
Al Masjidil Haram menjadikan kalian berbuat dholim kepada mereka.”

Orang-orang Quraisy dahulu menghalangi kaum muslimin dari Masjidil Haram, melarang
mereka untuk memasuki kota Mekkah sebagaimana yang terjadi pada tahun ke-6 Hijriyyah,
tapi Allah melarang kaum muslimin karena kebencian mereka terhadap orang-orang yang
melarang mereka dari rumah Allah jangan sampai menjadikan mereka mendholimi orang-
orang tersebut.

Demikian pula di dalam Al-Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang


perintah untuk berbakti kepada orang tua baik yang muslim maupun yang kafir. Namun
apabila orang tua memerintahkan kepada kesyirikan maka kita dilarang oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala untuk mentaati orang tua di dalam perintah yang isinya kesyirikan
tersebut, adapun di dalam perintah-perintah yang lain, selama itu tidak berupa kemaksiatan
kepada Allah dan Rasul-Nya maka kita diperintahkan untuk mentaati. Mentaati orang tua
meskipun ia adalah seorang yang kafir.

۞ ‫َو ِإْن َج اَه َد اَك َع َلى َأْن ُتْش ِر َك ِبي َم ا َلْي َس َلَك ِبِه ِع ْلٌم َفاَل ُتِط ْع ُهَم ا َو َص اِحْبُهَم ا ِفي الُّد ْن َي ا َم ْع ُروًفا‬
[QS. Luqman 15]

“Apabila kedua orang tuamu memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang
engkau tidak memiliki ilmu dengannya, maka janganlah engkau mentaati keduanya, tetapi
temanilah mereka berdua (berbuat baktilah) kepada mereka di dunia dengan baik.”

Artinya kita tetap diperintahkan untuk bermuamalah, berakhlak kepada orang tua kita
meskipun dia adalah seorang yang musryik/kafir. Namun kalau sudah waktunya orang tua
kita ternyata memerintahkan kita untuk kufur atau berbuat syirik maka tidak halal bagi kita
untuk mentaati orang tua kita di dalam kesyirikan dan juga kekufuran.

Menunjukan kepada kita tentang makna dari loyalitas tersebut. Yang dilarang adalah kita
mencintai orang kafir karena agama yang dia anut. Adapun karena hanya sekedar mencintai
karena tabiat seperti seseorang mencintai orang tuanya dan ini adalah tabiat manusia
karena dia adalah orang tuanya. Tapi kalau mencintai orang kafir karena kekafirannya maka
ini yang tidak dibolehkan di dalam agama.

Demikian pula berlepas diri dari orang-orang musyrikin bukan berarti tidak boleh kita
mendakwahi orang-orang musyrikin.

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, bapak beliau adalah orang kafir dan beliau adalah orang yang
paling berbaroah (berlepas diri) dari orang-orang memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Namun
beliau ‘alaihisalam mendakwahi bapaknya dengan baik, dipanggil denga Yaa Abati (wahai
bapakku) dan dengan sabar beliau mendakwahi bapaknya.

۞ ‫َو ِإْذ َق اَل ِإْب َر اِهيُم َأِلِبيِه آَز َر َأَتَّت ِخ ُذ َأْص َن اًما آِلَه ًة ۖ ِإِّن ي َأَر اَك َو َق ْو َمَك ِفي َض اَل ٍل ُم ِبيٍن‬
[QS. Al An’am 74]

“Dan ketika Ibrahim berkata bapaknya – ‫ آَز َر‬-apakah engaku wahai bapakku menjadikan
berhala-berhala sebagai sesembahan-sesembahan selain Allah.”

Beliau ‘alaihissalam sangat mencintai Allah, mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala


tetapi tidak mencegah beliau untuk mendakwahi bapaknya.

Demikian pula Rasulullah ‫ ﷺ‬bagaimana usaha Beliau untuk mendakwahi Abu Tholib
dan Abu Tholib meninggal dalam keadaan syirik, kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika Abu Tholib akan meninggal dunia dalam keadaan sakaratul maut, masih didakwahi
Rasulullah ‫ ﷺ‬,

‫ َك ِلَم ًة ُأَح اُّج َلَك ِبَه ا ِع ْن َد ِهَّللا‬. ‫ ُقْل َال ِإَلَه ِإَّال ُهَّللا‬، ‫َأْى َعِّم‬

“Wahai pamanku ucapkanlah kalimat Laa ilaaha illallaah, sebuah kalimat yang aku akan
berhujjah/membela kamu di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Namun ternyata Abu Tholib meninggal dalam keadaan kesyirikan dan enggan untuk
mengucapakan Laa ilaaha illallaah.

Rasulullah ‫ ﷺ‬adalah orang yang sangat mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Akan tetapi ini tidak mencegah beliau (melarang beliau) untuk mendakwahi orang-orang
Musyrikin.
Halaqah 10 | Pengantar Al Ushulu Ats Tsalatsah Bagian 10 Mengapa Kita Mempelajari
Tauhid (1)

Beliau mengatakan,

‫ كما قال‬،‫اعلم أرشدك هللا لطاعته أن الحنيفية ملة إبراهيم أن تعبد هللا وحده مخلصا له الدين؛ وبذلك أمر هللا جميع الناس وخلقهم لها‬
} ‫تعالى {َو َم ا َخ َلْق ُت اْلِج َّن َو اِألْن َس ِإاَّل ِلَي ْع ُبُدوِن‬
‫ يوحدون‬:‫ومعنى يعبدون‬

“Ketahuilah semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan petunjuk kepadamu untuk taat
kepadanya. Sesungguhnya – ‫ – الحنيفية‬agamanya Nabi Ibrahim adalah engkau menyembah
Allah semata, mengikhlaskan baginya agama ini dan dengan inilah Allah Subhanahu wa
Ta’ala memerintahkan seluruh manusia dan menciptakan mereka untuk perkara ini,
sebagaimana Firman Allah yang artinya,
Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.
Dan makna ‫( يعبدون‬beribadah kepada-Ku) adalah mentauhidkan Aku.”

Beliau mengatakan ‫ اعلم‬ketahuilah, dan sebagaimana yang sudah kita sampaikan kalimat ini,
yaitu ‫ اعلم‬ketahuilah, digunakan oleh muallif/pengarang supaya kita bersiap-siap mendengar
apa yang akan beliau sampaikan setelahnya.
Menunjukan bahwasanya apa yang akan beliau sampaikan setelah kalimat ‫ اعلم‬ini adalah
sesuatu yang sangat penting diketahui oleh seorang muslim, sehingga beliau mengatakan
‫اعلم‬.

Kemudian sebagaimana kebiasaan beliau, beliau mendo’akan kebaikan untuk kita. Beliau
mengatakan,

‫أرشدك هللا لطاعته‬

“Semoga Allah Ta’ala memberikan rusyd (petunjuk) kepadamu untuk mudah melakukan
ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Dan ini adalah doa yang baik dari seorang guru untuk seorang muridnya, yang membaca
kitabnya, yang mengambil faedah apa yang beliau tulis. Beliau mendo’akan untuk kita
supaya dimudahkan oleh Allah mendapatkan petunjuk, dimudahkan hatinya untuk taat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ini tentu adab yang bagus yang hendaknya ditiru
oleh seorang guru (pengajar) supaya banyak mendo’akan kebaikan untuk murid-muridnya,
semoga dimudahkan untuk memahami pelajaran, semoga diampuni dosanya, semoga
dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
‫أن الحنيفية ملة إبراهيم أن تعبد هللا وحده مخلصا له الدين؛‬

“Hendaklah kalian mengetahui bahwasanya Al Hanifiyyah, millah-nya Nabi Ibrahim.”


Al Hanifiyyah ini adalah nama agamanya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

Apa yang dimaksud Al Hanifiyyah?


Berasal dari Al Hanif, yang artinya adalah lurus. Dan Al Hanif berasal dari Al Hanaf yang
artinya adalah Al Mayn atau menyimpang.
Maksudnya adalah menyimpang dari kesyirikan menuju mentauhidkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala di dalam beribadah, mustaqim (lurus) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Apabila seseorang ditanya apakah agamanya Nabi Ibrahim? Agamanya Nabi Ibrahim
adalah Al Hanifiyyah (Al Islam). Menyerahkan diri, menyerahkan ibadahnya hanya kepada
Allah, dan meninggalkan kesyirikan dengan segala jenisnya. Ini adalah millah-nya Nabi
Ibrahim yang kita diperintahkan untuk mengikuti millah-nya Nabi Ibrahim.

Demikian pula Rasulullah ‫ ﷺ‬diperintahkan untuk mengikuti millah-nya Nabi Ibrahim. Dan
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan di dalam Al-Qur’an perintah untuk mengikuti
millah-nya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Allah memuji millah-nya Nabi Ibrahim
‘alaihissalam

۞ ‫ُقْل َص َد َق ُهَّللاۗ َف اَّت ِبُعوا ِم َّلَة ِإْب َر اِهيَم َح ِنيًفا َو َم ا َك اَن ِمَن اْلُم ْش ِر ِكيَن‬
[QS Al-Imron 95]

“Katakanlah Muhammad, Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Benar. Hendaklah kalian


mengikuti millah-nya Nabi Ibrahim yang hanif, yang mustaqim (lurus) hanya menyembah
kepada Allah, beribadah kepada Allah, berpaling dari kesyirikan, dan tidaklah beliau
termasuk orang-orang yang musyrikin.”

Firman Allah – ‫ – َف اَّت ِبُعوا‬artinya hendaklah kalian mengikuti perintah dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala supaya kita mengikuti millah-nya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

Kemudian di dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi Ibrahim
‘alaihissalam,

۞ ‫ِإَّن ِإْب َر اِهيَم َك اَن ُأَّم ًة َق اِنًت ا ِهَّلِّل َح ِنيًفا َو َلْم َي ُك ِمَن اْلُم ْش ِر ِكيَن‬
۞ ‫َش اِكًر ا َأِّلْن ُعِمِهۚ اْج َت َب اُه َو َه َد اُه ِإَلٰى ِص َر اٍط ُّمْس َت ِقيٍم‬
۞ ‫َو آَت ْي َن اُه ِفي الُّد ْن َي ا َح َس َن ًة ۖ َو ِإَّن ُه ِفي اآْل ِخَر ِة َلِمَن الَّصاِلِحيَن‬
[QS An Nahl 120-122]

“Sesungguhnya Ibrahim adalah qudwah/teladan/contoh yang dia senantiasa khusyu di


dalam beribadah kepada Allah,‫ َح ِنيًفا‬lurus hanya menyembah kepada Allah, tidak
menyembah kepada selain Allah, dan bukanlah beliau termasuk orang-orang musyrikin.
Beliau adalah orang yang bersyukur dengan nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih beliau dan sesungguhnya beliau di akhirat
termasuk orang-orang yang sholeh.”

Kemudian Allah mengatakan,

۞ ‫ُثَّم َأْو َح ْي َن ا ِإَلْي َك َأِن اَّت ِبْع ِم َّلَة ِإْب َر اِهيَم َح ِنيًفاۖ َو َم ا َك اَن ِمَن اْلُم ْش ِر ِكيَن‬
[An Nahl 123]

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu(wahai Muhammad) supaya engkau (wahai


Muhammad) mengikuti millah-nya Nabi Ibrahim. (Allah Subhanahu wa Taala memerintahkan
Nabi kita ‫ ﷺ‬untuk mengikuti millahnya Nabi Ibrahim), dan tidaklah beliau termasuk
orang-orang musyrikin.

Orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka mengaku bahwasanya mereka mengikuti Nabi
Ibrahim ‘alaihisalam. Mereka mengaku, menganggap, dan meyakini bahwasanya Ibrahim
berada di atas agama mereka. Orang Yahudi berkeyakinan bahwasanya Ibrahim agamanya
adalah Yahudi. Orang Nasrani mengaku bahwasanya Ibrahim agamanya adalah Nasrani.
Namun hal ini dibantah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala karena Taurat yang diturunkan
kepada Nabi Musa ‘alaihissalam dan diperuntukan kepada Bani Israil, demikian pula Injil
yang diturunkan kepada Nabi Isa ‘alaihissalam dan juga diberikan kepada Bani Israil,
semuanya turun setelah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Maka bagaimana Ibrahim berada di
atas agama Yahudi atau agama Nasrani.

Oleh karena itu Allah mengatakan,

‫َم ا َك اَن ِإْب َر اِهيُم َيُهوِد ًّي ا َو اَل َن ْص َر اِنًّي ا َو َٰل ِكن َك اَن َح ِنيًفا ُّمْس ِلًما َو َم ا َك اَن ِمَن اْلُم ْش ِر ِكيَن‬
[QS Al-Imran 67]

“Tidaklah Ibrahim seseorang yang beragama Yahudi dan bukan pula seseorang yang
beragama Nasrani, akan tetapi beliau adalah seorang yang hanif (lurus), hanya menyembah
Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang menyerahkan dirinya hanya kepada Allah. Dan tidaklah
beliau termasuk orang-orang yang musyrikin.”

Lain dengan orang Yahudi yang mereka menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
mengatakan bahwasanya Uzair anak Allah.
Lain dengan orang Nasrani yang mengatakan bahwasanya Isa Ibnu Maryam adalah anak
Allah. Adapun Ibrahim, maka beliau adalah seorang yang hanif (lurus) hanya menyembah
kepada Allah dan beliau bukan termasuk orang-orang yang musyrikin.

۞ ‫َو َق اَلِت اْلَي ُهوُد ُع َز ْيٌر اْبُن ِهَّللا َو َق اَلِت الَّن َص اَر ى اْلَمِس يُح اْبُن ِهَّللا‬
[QS At-Taubat 30]

“Orang-orang Yahudi mengatakan Uzair adalah anak Allah dan orang-orang Nasrani
mengatakan Al Masih (Isa Ibnu Maryam) adalah anak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kemudian Allah mengatakan,

۞ ‫ِإَّن َأْو َلى الَّن اِس ِبِإْب َر اِهيَم َلَّلِذيَن اَّت َب ُعوُه َو َه َذ ا الَّن ِبُّي َو اَّلِذيَن آَم ُنوا َو ُهَّللا َو ِلُّي اْلُمْؤ ِمِنيَن‬
[QS Al-Imron 68]

“Sesungguhnya orang yang paling berhak dengan Ibrahim/yang paling dekat dengan
Ibrahim, mereka adalah orang-orang yang mengikuti beliau di dalam millah-nya (agamanya)
dan juga Nabi ini (Muhammad ‫ )ﷺ‬dan juga orang-orang yang beriman.”

Merekalah yang paling dekat, yang paling pantas dianggap sebagai orang yang berada di
atas millah-nya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Rasulullah ‫ ﷺ‬dan orang-orang yang
beriman, mereka berada di atas millah-nya/agamanya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

Yang dimaksud dengan millah-nya Nabi Ibrahim yaitu engkau menyembah kepada Allah
semata, tidak ada yang lain. Menyerahkan ibadah hanya kepada Allah dalam keadaan
mengikhlaskan (membersihkan) agama ini hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak
ada sedikit pun kotoran, tidak ada sedikit pun ibadah yang dia lakukan diberikan kepada
selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah yang dimaksud millah-nya Nabi Ibrahim
‘alaihissalam.

Dan dengan inilah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan seluruh manusia dan
menciptakan mereka untuk perkara ini.
Kita diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah untuk beribadah hanya kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, bahkan bukan hanya manusia, jin yang mereka melihat kita dan kita
tidak melihat mereka, mereka juga diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak lain
kecuali untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Halaqah 11 | Pengantar Al Ushulu Ats Tsalatsah Bagian 11 Mengapa Kita Mempelajari


Tauhid (2)

Beliau mengatakan,

} ‫ {َو َم ا َخ َلْق ُت اْلِج َّن َو اِألْن َس ِإاَّل ِلَي ْع ُبُدوِن‬:‫كما قال تعالى‬

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,


“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” [QS Adz
Dzariyat 56]

Ayat yang ringkas yang menunjukan tentang hikmah yang besar dan tujuan yang agung
untuk apa kita diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu untuk beribadah kepada-
Nya.

Kemudian beliau mengatakan,

‫ يوحدون‬:‫ومعنى يعبدون‬

Makna dari kalimat – ‫ – يعبدون‬menyembah kepada diri-Ku, maknanya adalah mengesakan


Aku di dalam ibadah.
Makna dari menyembah Allah adalah mengesakan Allah di dalam ibadah, tidak boleh
menduakan. Menyembah kepada Allah dan juga menyembah kepada selain Allah, ini
namanya menduakan.

Allah memerintahkan kita untuk beribadah kepadanya, maksudnya adalah untuk


mengesakan Allah di dalam ibadah.
Adapun seseorang terkadang menyembah Allah dan terkadang dia serahkan sebagian
ibadah kepada selain Allah, maka orang seperti ini tidak dinamakan muwahid, tidak
dinamakan mentauhidkan Allah. Dan orang yang seperti ini tidak dianggap menyembah
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Orang yang menyembah kepada Allah adalah orang yang mentauhidkan Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
Oleh karena itu di dalam Al-Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan,

۞ ‫ُقْل َي ا َأُّيَه ا اْلَك اِفُروَن‬


۞ ‫اَل َأْع ُبُد َم ا َت ْع ُبُدوَن‬
۞ ‫َو اَل َأنُتْم َع اِبُدوَن َم ا َأْع ُبُد‬

“Katakanlah wahai Muhammad, wahai orang-orang kafir, orang-orang musyrik, aku tidak
menyembah apa yang kalian sembah.”
Kalian menyembah Latta, menyembah Uzza, menyembah Manat, menyembah Hubal
menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah.

‫َو اَل َأنُتْم َع اِبُدوَن َم ا َأْع ُبُد‬

“Demikian pula kalian tidak menyembah apa yang aku sembah.”


Saat itu orang-orang kafir Quraisy, musyrikin Quraisy, di dalam kehidupan mereka sehari-
hari mereka menyembah Allah dan juga menyembah selain Allah. Oleh karena itu
dinamakan musyrikin, menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Oleh karena itu ada diantara mereka yang bernama Abdullah, seperti bapaknya Nabi
Muhammad ‫ﷺ‬. Namanya adalah Abdullah (hamba Allah), menunjukan bahwasanya
mereka juga menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian pula mereka melakukan ibadah Haji setiap tahunnya dan ini menunjukan
bahwasanya mereka juga menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi kesalahan
mereka, mereka tidak mengesakan Allah di dalam ibadah. Di dalam ibadah yang lain
ternyata mereka serahkan ibadah tersebut kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketika mereka terkena musibah datang kepada jin, minta perlindungan kepada jin. Ketika
melewati sebuah lembah bukan meminta perlindungan kepada Allah akan tetapi meminta
perlindungan kepada raja jin yang ada di lembah tersebut.

Dan di dalam ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan, mereka apabila berada di
tengah laut mengikhlaskan ibadahnya hanya kepada Allah.

۞ ‫َف ِإَذ ا َر ِكُبوا ِفي اْلُفْلِك َد َع ُو ا َهَّللا ُم ْخ ِلِص يَن َلُه الِّد يَن َف َلَّما َن َّج اُه ْم ِإَلى اْلَب ِّر ِإَذ ا ُه ْم ُيْش ِر ُك وَن‬
“Apabila mereka berada di tengah lautan naik kapal maka mereka mengikhlaskan
agamanya hanya untuk Allah.”

[QS Ar Ruum 65]

Di dalam ayat yang lain Allah mengatakan, menceritakan tentang ucapan mereka,

۞ ‫َلِئْن َأْن َج اَن ا ِمْن َهِذِه َلَن ُك وَن َّن ِمَن الَّش اِك ِر يَن‬

“Ya Allah seandainya Engkau selamatkan kami dari kesusahan kami di tengah lautan
niscaya kami termasuk orang-orang yang bersyukur.”
[QS Al An’am 63]
Berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

۞ … ‫َف َلَّما َن َّج اُه ْم ِإَلى اْلَب ِّر ِإَذ ا ُه ْم ُيْش ِر ُك وَن‬

“Ketika Allah Subhānahu wa Ta’āla menyelematkan mereka ke daratan tiba-tiba mereka


menyekutukan Allah.”

Menyekutukan Allah kembali, terkadang mereka menyerahkan ibadahnya hanya kepada


Allah, dan dalam keadaan yang lain mereka menyembah dan menyerahkan ibadahnya
kepada selain Allah. Oleh karena itu dinamakan musyrikun, menyekutukan Allah
Subhnanahu wa Ta’ala.

Tapi di sini (di dalam surat Al Kafirun) Allah mengatakan (memerintahkan) kepada Nabi-Nya
untuk mengatakan,

۞ ‫َو اَل َأنُتْم َع اِبُدوَن َم ا َأْع ُبُد‬

“Dan kalian (wahai orang-orang musyrikin) tidak menyembah apa yang aku sembah.”
Padahal tadi disebutkan bahwasanya orang-orang musyrikin menyembah Allah, namun
kenapa dikatakan di sini mereka tidak menyembah kepada Allah?
Karena mereka tidak mentauhidkan Allah di dalam ibadah (tidak mengesakan Allah di dalam
ibadah).
Orang yang tidak mengesakan Allah di dalam ibadahnya maka pada hakikatnya tidak
dinamakan orang yang menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu di sini
beliau mengatakan,

‫ يوحدون‬: ‫ومعنى يعبدون‬

Makna menyembah kepada-Ku adalah mentauhidkan Aku.

Halaqah 12 | Pengantar Al Ushulu Ats Tsalatsah Bagian 12 Perintah Terbesar yang


Diperintahkan Oleh Allah Adalah Tauhid dan Larangan Terbesar yang Dilarang Oleh Allah
Adalah Kesyirikan

Beliau mengatakan,

‫ وهو إفراد هللا بالعبادة‬،‫ التوحيد‬:‫وأعظم ما أمر هللا به‬

“Dan sebesar-besar apa yang Allah perintahkan adalah Tauhid.”

Kalau kita ditanya apa perintah Allah yang paling penting, yang paling besar di dalam Al-
Qur’an, di dalam As Sunnah, maka tidak ada jawaban yang benar kecuali mengatakan At-
Tauhid, “yaitu mengesakan Allah di dalam ibadah.”

Inilah amalan yang paling besar, perintah yang paling besar. Di sana ada perintah untuk
shalat, perintah untuk zakat, perintah untuk puasa, perintah untuk bershodaqoh,
menghormati anak yatim, tapi perintah yang paling besar diantara perintah-perintah tersebut
adalah perintah untuk bertauhid (mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam ibadah).

Suatu saat Rasulullah ‫ ﷺ‬ditanya sebagian shahabat,

‫أي األعمال أفضل؟‬

“Amalan apa yang paling afdhol?”

Beliau mengatakan,
‫إيماٌن باهلل ورسوله‬

“(Yang paling afdhol adalah) iman kepada Allah dan juga Rasul-Nya.”

Yang Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an, perintah pertama kepada manusia adalah perintah
untuk bertauhid ini, sebagaimana yang Allah sebutkan di dalam surat Al-Baqarah 21,

۞ ‫َي ا َأُّيَه ا الَّن اُس اْع ُبُدوا َر َّب ُك ُم اَّلِذي َخ َلَقُك ْم َو اَّلِذيَن ِمْن َق ْبِلُك ْم َلَع َّلُك ْم َت َّتُقوَن‬

“Wahai manusia sembahlah Rabb kalian,”

‫ اْع ُبُدوا‬Ini adalah perintah, sembahlah Rabb kalian, tidak ada sebelumnya perintah-perintah.
Ini adalah perintah yang pertama yang Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an, perintah kepada
manusia semuanya. Apa perintah Allah? ‫اْع ُبُدوا َر َّب ُك ُم‬, hendaklah kalian menyembah, beribadah
kepada Rabb kalian.

Siapa Rabb kalian?

‫اَّلِذي َخ َلَقُك ْم َو اَّلِذيَن ِمْن َق ْبِلُك ْم َلَع َّلُك ْم َت َّتُقوَن‬

“(Rabb kalian adalah) yang telah menciptakan kalian (yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala).”

Adapun yang tidak menciptakan kalian maka jangan disembah.

‫َو اَّلِذيَن ِمْن َق ْبِلُك ْم‬

“Dan juga menciptakan orang-orang sebelum kalian.”

Dzat yang seperti inilah yang hendaknya kalian sembah dan kalian ibadahi dan kalian
serahkan ibadah kalian hanya kepada-Nya.

‫َلَع َّلُك ْم َت َّتُقوَن‬


“Supaya kalian bertakwa (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala).”
Perintah yang paling besar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita adalah perintah
untuk bertauhid.

Di dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan


beberapa hak (beberapa wasiat). Dan wasiat yang pertama yang Allah sebutkan adalah
wasiat untuk bertauhid dan hak yang pertama yang hendaknya ditunaikan oleh seorang
hamba adalah hak tentang Tauhid ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Surat An-Nisa 36,

۞ ‫ۖ َو اْع ُبُدوا َهَّللا َو اَل ُتْش ِر ُك وا ِبِه َش ْي ًئ ا‬

Allah menyebutkan di dalam ayat ini 10 hak: hak untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, hak
untuk orang tua, hak untuk kaum kerabat, hak untuk tetangga yang dekat maupun jauh, hak
untuk anak yatim, hak untuk orang miskin, dan juga diantaranya adalah hak untuk budak-
budak yang dimiliki seseorang.

Di dalam ayat ini Allah menyebutkan beberapa hak, yaitu 10 hak. Dan yang Allah pertama
kali sebutkan adalah hak untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu:

‫ۖ َو اْع ُبُدوا َهَّللا َو اَل ُتْش ِر ُك وا ِبِه َش ْي ًئ ا‬

“Sembahlah Allah dan janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.”

Demikianlah Allah Subhānahu wa Ta’āla mendahulukan Tauhid dan mengikhlaskan ibadah


hanya untuk Allah sebelum menyebutkan yang lain. Menunjukan bahwasanya perintah yang
paling besar di sisi Allah adalah perintah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

‫وهو إفراد هللا بالعبادة؛‬

“Dan Tauhid adalah mengesakan Allah di dalam ibadah.”

Kemudian beliau mengatakan,

‫ الشرك‬:‫وأعظم ما نهى عنه‬


“Dan larangan yang paling besar yang Allah larang adalah kesyirikan.”

Diantara larangan-larangan Allah yang paling besar adalah kesyirikan. Di sana ada larangan
berzina, larangan untuk membunuh tanpa hak, di sana ada larangan untuk melakukan riba.
Larangan yang paling besar adalah larangan untuk melakukan kesyirikan.

Apa yang dimaksud dengan kesyirikan?

‫وهو دعوة غيره معه‬

“Yaitu berdo’a kepada selain Allah bersama Allah.”

Bersama Allah, menunjukan bahwasanya seseorang dia beribadah kepada selain Allah,
bersama itu dia juga beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Inilah yang dinamakan dengan syirik dan ini adalah larangan yang paling besar yang
membatalkan amal seseorang. Dosa yang lain belum tentu membatalkan amal, akan tetapi
syirik apabila dilakukan saking besarnya, saking bahayanya sampai dia bisa merusak amal
seseorang.

‫َلِئْن َأْش َر ْك َت َلَي ْح َب َط َّن َعَم ُلَك‬

“Kalau engkau menyekutukan Allah niscaya akan batal-lah (rusaklah) amalanmu.” [Az
Zumar 65]

Diantara hal yang menunjukan besarnya dosa syirik ini apabila seseorang meninggal dunia
membawa dosa syirik maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengampuni dosa syirik
tersebut.

Adapun dosa yang lain yang dibawah syirik seandainya seseorang meninggal dunia dan
bertemu Allah dengan dosa tersebut selain syirik maka masih ada harapan mendapatkan
ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Masih ada harapan untuk masuk ke dalam surga, berbeda dengan syirik ini, kalau dia
meninggal dunia dan bertemu dengan Allah dengan membawa dosa syirik maka Allah tidak
akan mengampuni.

۞ ‫ِإَّن َهَّللا اَل َي ْغ ِفُر َأْن ُيْش َر َك ِبِه َو َي ْغ ِفُر َم ا ُدوَن َذ ِلَك ِلَم ْن َي َش اُء‬
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik (artinya tidak mengampuni harus
diadzab) dan mengampuni yang selain itu (yang dibawah dosa syirik) bagi siapa yang
dikehendaki.” [An Nisa 48 dan 116]

Orang yang melakukan dosa-dosa besar selain kesyirikan – ‫ – تحت مشيئة هللا‬di bawah
kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau Allah menghendaki diampuni langsung dan
tidak diadzab dan kalau Allah menghendaki maka diadzab terlebih dahulu baru kemudian
dimasukkan ke dalam surga. Ini dosa selain syirik.

Adapun syirik maka tidak ada ampunan yang ada adalah adzab. Kalau syiriknya syirik besar
maka adzabnya kekal di dalam neraka, tapi kalau syiriknya adalah syirik kecil maka tidak
sampai mengekalkan seseorang di dalam neraka.

}‫ {َو اْع ُبُدوا َهَّللا َو ال ُتْش ِر ُك وا ِبِه َش ْي ًئ ا‬:‫والدليل قوله تعالى‬

Dan dalilnya adalah Firman Allah Taala, “Hendaklah kalian menyembah kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.”

Dalil bahwasanya perintah yang paling besar adalah ibadah kepada Allah dan mentauhidkan
Allah dan larangan yang paling besar adalah larangan untuk melakukan kesyirikan.

Inilah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini dan berarti kita sudah
menyelesaikan muqoddimah (pembukaan) dari Kitab Al-Ushulu ats-Tsalasah ini, insyaAllah
akan kita lanjutkan dengan landasan yang pertama – Ushul yang pertama, yaitu
Ma’rifatullah, Mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Halaqah 13 | Landasan Pertama Ma’rifatullah Bagian 1 Siapa Rabb-mu

Kita akan masuk pada poin yang pertama, yaitu tentang Mengenal Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Beliau mengatakan,

‫ ما األصول الثالثة التي يجب على اإلنسان معرفتها؟‬:‫فإذا قيل لك‬


“Apabila dikatakan kepadamu (apabila ada yang bertanya kepadamu), apakah tiga landasan
utama (tiga perkara yang penting) yang wajib dipelajari oleh seseorang?”

‫ ونبيه محمدا ﷺ‬،‫ ودينه‬،‫ معرفة العبد ربه‬:‫فقل‬

“(Kalau ada yang bertanya tentang pertanyaan ini) maka katakanlah, tiga perkara tersebut
adalah yang pertama yaitu mengenal Allah Subhnahu wa Ta’ala. (Seorang hamba mengenal
Rabb-nya).”

‫ودينه‬

“(Kemudian yang ke dua adalah ) mengenal Agamanya, (yang dengannya dia beribadah
kepada Rabb-nya,)”

‫ونبيه محمدا ﷺ‬

“Dan mengenal Nabinya ‫ﷺ‬, (yang merupakan perantara, wasithoh, antara Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan kita).”

Beliaulah yang membawa risalah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, membawa perintah dari
Allah, membawa larangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, membawa berita-berita (kabar-
kabar) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan membawakan kepada untuk kita tata cara
beribadah kepada Allah.

Mengenal Allah, Dzat yang kita sembah, mengenal agama yang dengannya kita mengetahui
tata cara menyembah Allah, mengenal Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬yang merupakan perantara,
utusan antara kita dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kemudian beliau mengatakan,

‫األصل األول‬

“Perkara yang pertama, (ushul yang pertama) /pondasi yang pertama,”

‫ من ربك؟‬:‫فإذا قيل لك‬


“Apabila dikatakan kepadamu, siapakah Rabb-mu?”

Mulailah beliau ingin menjelaskan kepada kita tentang perkara yang pertama, ushul yang
pertama, pondasi yang pertama, yang hendaknya diketahui oleh seorang muslim dan juga
muslimah, yaitu tentang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan beliau ingin mengajari kepada kita dengan cara bertanya dan juga menjawab. Dan ini
adalah salah satu metode di dalam mengajarkan sesuatu kepada orang lain, diantaranya
adalah dengan metode tanya jawab, sebagaimana dahulu Rasulullah ‫ ﷺ‬suatu hari
pernah didatangi oleh Jibril ‘alaihissalam yang menjelma sebagai seorang laki-laki bertanya
kepada beliau tentang beberapa permasalahan besar di dalam agama Islam.

Bertanya tentang Islam


‫َأ‬
‫ ْخ ِبْر ِنْي َع ِن اِإلْس َالِم‬,
Bertanya tentang Iman
‫َأْخ ِبْر ِنْي َع ِن اإليمان‬
Bertanya tentang Ikhsan
‫َأْخ ِبْر ِنْي َع ِن اإلحسان‬
Bertanya tentang kapan terjadinya hari kiamat dan apa tanda-tandanya.

Metode tanya jawab adalah salah satu diantara metode-metode untuk memberikan
pengaajaran, mentransfer ilmu kepada orang lain, dan maksudnya adalah supaya orang
yang ditanya memberikan perhatian.

Beliau mengatakan apabila ada yang bertanya kepadamu – ‫ – من ربك؟‬siapa Tuhanmu? Siapa
Rabb-mu?

‫ وهو معبودي ليس لي معبود سواه‬،‫فقل ربي هللا الذي رباني وربى جميع العالمين بنعمه‬

“(Kalau ada yang bertanya dengan pertanyaan tersebut), katakanlah Rabb-ku adalah Allah
yang telah memelihara aku dan memelihara seluruh alam semesta dengan kenikmatan-
kenikmatan dari-Nya.”

Rabb adalah nama diantara nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang tidak boleh
seorang makhluk pun memiliki nama dengan nama ini. Dan Rabb di dalam bahasa Arab
mencakup makna yang banyak, diantaranya Al Malik (Yang Menguasai/Memiliki), Al Mushlih
(Yang Memperbaiki), Al Mudabbir (Yang Mengatur). Ini adalah makna Rabb di dalam
bahasa Arab.
Rabba adalah tarbiyah, yaitu memelihara, mentarbiyah, menciptakan, memberikan rezeki,
mengatur kehidupan kita, menghidupkan kita, mematikan kita. Inilah makna At Tarbiyah
(Memelihara).
Dialah yang memelihara aku bahkan bukan hanya diriku tapi Dialah Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang telah mentarbiyah seluruh alam semesta dengan kenikmatan-kenikmatan-Nya.

Jadi Allah adalah Rabb-ku dan juga Rabb seluruh alam, yang telah memelihara diriku dan
memelihara seluruh alam dengan kenikmatan-kenikmatan yang Allah berikan kepada
seluruh alam tersebut. Itulah Rabb-ku.

Kemudian beliau mengatakan,


‫وهو معبودي‬

“Dan dia adalah sesembahanku, ilaahi, (yang aku serahkan kepadanya seluruh ibadahku,
seluruh ketundukkan diriku).”

‫ليس لي معبود سواه‬

“Aku tidak memiliki ma’bud (sesembahan) selain diri-Nya.”

Tidak ada seorang pun diatara makhluk yang aku berikan kepadanya sedikitpun dari ibadah
yang kulakukan.

Ini adalah jawaban seorang muslim yang beriman dengan Tauhid Rububiyyah, bahwasanya
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menciptakan, memberikan rezeki, dan juga mengatur
alam semesta.
Dan memiliki iman (memiliki Tauhid Uluhiyyah), menyerahkan al-uluhah (ibadahnya) hanya
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Selain meyakini bahwasanya Allah adalah satu-satunya yang menciptakan, memberikan
rezeki, dan mengatur alam semesta, dia juga mentauhidkan Allah, mengesakan Allah di
dalam ibadahnya.

Kemudian beliau mengatakan,

‫والدليل قوله تعالى‬


“Dan dalil bahwasanya Rabb-ku adalah Allah dan bahwasanya aku ditarbiyah, demikian pula
seluruh alam semesta ditarbiyah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalilnya adalah firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala,

{ ‫}اْلَح ْمُد ِهَّلِل َر ِّب اْلَع اَلِميَن‬

‫اْلَح ْمُد‬

Segala puji
‫هلل‬
Untuk Allah
‫َر ِّب اْلَع اَلِمين‬
Rabb semesta alam

Ini adalah dalil bahwasanya Rabb-ku adalah Allah dan Dia adalah Rabb bagi seluruh alam
semesta.

Kemudian beliau mengatakan,

‫وكل ما سوى هللا عالم‬

“Dan segala sesuatu selain Allah dinamakan dengan alam.”

Apa yang dimaksud dengan alam? Yang dimaksud dengan alam adalah segala sesuatu
selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu makhluk-makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di sana ada Rabb dan di sana ada marbub, disana ada Kholiq dan di sana ada makhluk.
Allah adalah Rabb dan Dia adalah Al Kholiq. Selain Allah dinamakan dengan makhluk,
dinamakan dengan alam.

‫ َر ِّب اْلَع اَلِمين‬, Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Rabb bagi seluruh alam.
Di sini – ‫ – اْلَع اَلِمين‬alam-alam atau alam yang banyak. Karena di sana ada alam manusia, ada
alam tumbuhan, ada alam hewan. Oleh karena itu beliau mengatakan,

‫وكل ما سوى هللا عالم‬


“Dan segala sesuatu selain Allah adalah alam.”
‫وأنا واحد من ذلك العالم‬
“Dan aku adalah salah satu diantara alam tersebut.”

Diantara sekian banyak alam yang Allah ciptakan, maka aku adalah satu diantara alam-alam
tersebut. Menunjukan bahwasanya aku adalah bagian dari makhluk Allah dan bahwasanya
Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Rabb-ku dan seluruh alam semesta.

Halaqah 14 | Landasan Pertama Ma’rifatullah Bagian 2 Bagaimana Mengenal Rabb-mu

Kemudian beliau mengatakan,

‫ بآياته ومخلوقاته‬:‫ بم عرفت ربك؟ فقل‬:‫فإذا قيل لك‬

“Apabila ada yang bertanya bagaimana kamu bisa mengenal Rabb-mu?”

Bagaimana caranya engkau bisa mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, bagaimana engkau
mengetahui tentang Ilmu Allah, kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwasanya Allah
Maha Kekal, Maha Hidup, dan bahwasanya Dia Mampu melakukan sesuatu.

“Maka katakanlah (kepada penanya tersebut), aku mengenal Rabb-ku, mengenal Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan ayat-ayat-Nya dan juga dengan makhluk-makhluk-Nya.”

Yang dimaksud dengan ayat adalah tanda-tanda, yaitu tanda-tanda kekuasaan Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang menunjukan tentang Qudroh dan kuasa Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Dan aku mengenal Allah dengan makhluk-makhluk-Nya yang telah diciptakan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala, yang sebelumnya tidak ada menjadi ada.

Kita mengenal Allah dengan tanda-tanda kekuasaan-Nya (yang pertama), kemudian yang
ke dua kita mengenal Allah dengan makhluk-makhluk-Nya, dengan apa yang kita lihat yang
ada di sekitar kita semua, dan semua selain Allah adalah makhluk Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

Apabila seseorang merenungi, mau bertafakur di dalam ayat-ayat Allah Subhanahu wa


Ta’ala yang dia lihat, di dalam makhluk-makhluk Allah yang dia lihat yang ada di sekitar dia,
niscaya dia akan mengenal siapa Rabb-nya, dan bagaimana Ilmu-Nya, dan bagaimana
qudrah-Nya, bagaimana kekuasaan Dia, yang menjadikan seseorang tunduk dan beriman
dengan apa yang datang dari-Nya berupa Al-Qur’an dan juga hadits-hadits Nabi ‫ﷺ‬.

Dan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanda-tanda kekuasan Allah banyak sekali,
demikian pula makhluk-makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kemudian beliau mengatakan,

‫ والشمس والقمر‬،‫ومن آياته الليل والنهار‬

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah malam dan juga siang dan matahari dan
juga bulan.”

Ini adalah sebagian kecil dari tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
apabila seseorang mau meluangkan waktunya yang sedikit, merenung, memikirkan tentang
tanda-tanda kekuasaan ini, memikirkan malam, memikirkan siang, dan perubahan antara
malam dan siang, memikirkan dan merenungi tentang ciptaan Allah yang berupa matahari
dan juga bulan, niscaya dia akan mengenal siapa Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Siapakah yang telah menciptakan dia dan ayat-ayat tersebut? Allah Subhanahu wa Ta’ala
menciptakan malam dan juga siang dengan maksud yang agung, bukan dengan sia-sia. Di
siang hari seseorang dengan leluasa melakukan berbagai aktivitas kegiatan, diantaranya
adalah mencari maisyah, bekerja, dan dijadikan waktu malam hari oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala sebagai waktu yang tenang, yang di situ seseorang melapaskan lelahnya,
beristirahat.

Dan dengan dijadikannya di sana waktu siang dan juga malam, seseorang bisa melanjutkan
kehidupannya dengan normal dan baik.
Seandainya di sana tidak ada malam dan Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya menjadikan
waktu siang saja, maka betapa banyak mudhorot bagi manusia, karena tentunya lain antara
beristirahat di siang hari dengan beristirahat di malam hari sebagaimana yang kita coba dan
kita rasakan, seandainya waktu ini hanya siang saja bagaimana seseorang bisa
membedakan antara satu hari dengan hari yang lain.

Dan seandainya waktu ini hanya malam saja betapa banyak mudhorot yang akan dihadapi
dan akan menimpa manusia. Berapa listrik yang harus dikeluarkan selama bertahun-tahun,
tidak pernah berhenti. Dan betapa banyak maslahat yang tidak bisa kita lakukan ketika
waktu hanya malam hari saja, banyak kegiatan dan aktivitas yang tidak bisa kita lakukan di
malam hari.
Tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmat-Nya, dengan hikmah-Nya, dan Dia-lah
yang mengetahui maslahat dan mudhorot bagi manusia, menjadikan malam dan juga siang.
Tidak dijadikan malam terus menerus dan tidak dijadikan siang terus menerus. Dan ini
menunjukan tanda-tanda kekuasan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mampu merubah siang
menjadi malam dan merubah malam menjadi siang.

Kemudian beliau mengatakan,

‫والشمس والقمر‬

“Demikian pula matahari dan juga bulan.”

Termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah ciptakan untuk
maslahat bagi kita, diketahui oleh orang-orang yang mau berfikir dan mau merenungkan
tentang tanda-tanda kekuasaan ini.

Bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan matahari yang begitu besar, yang
memiliki sinar yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, bagi kesehatan manusia,
bermanfaat bagi tumbuhan.
Cahaya yang bermanfaat untuk kegiatan kita sehingga kita tidak memerlukan listrik di siang
hari dan Allah letakkan matahari di sebuah jarak yang sudah Allah atur sehingga
memberikan manfaat yang maksimal kepada manusia.
Tidak Allah jadikan matahari terlalu dekat dengan bumi. Sebab seandainya matahari sangat
dekat dengan bumi, niscaya yang ada adalah mudhorot bagi mereka. Dan Allah tidak
jadikan matahari terlalu jauh sehingga tidak bermanfaat bagi manusia.

Kita lihat bintang yang sangat jauh meskipun dia bercahaya tetapi manusia tidak mengambil
banyak faedah dari cahaya tersebut, lain dengan matahari. Seandainya matahari diletakkan
oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla di tempat yang sangat jauh niscaya kita tidak bisa
mengambil manfaat yang besar dari matahari tersebut. Tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan Ilmu-Nya, dengan Qudrah-Nya meletakan Matahari di sebuah jarak yang di situ
manusia mengambil manfaat dari sinar matahari tersebut.

Di sini kita mengetahui Ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang mengetahui apa yang telah
lalu dan apa yang akan datang, apa yang terbaik bagi manusia, apa yang memberikan
mudhorot kepada manusia.
Dan kita mengenal Qudroh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
sangat berkuasa, yang Maha Mampu untuk melakukan segala sesuatu, dan Allah gerakkan
dan atur matahari ini sedemikian rupa setiap hari menunjukan bahwasanya Allah
Subhanahu wa Ta’ala Maha Hidup, tidak pernah lalai dari ciptaan-Nya.
‫اَل َت ْأُخ ُذ ُه ِس َن ٌة َو اَل َن ْو ٌم‬

“Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ditimpa ngantuk dan juga tidak ditimpa tidur.”

Dia adalah yang Maha hidup, yang Maha menegakkan segala sesuatu.

‫َو اَل َي ُئوُدُه ِح ْف ُظ ُهَم ا‬

“Dan tidak berat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menjaga langit dan juga bumi.”

Apabila seseorang memikirkan hal ini niscaya akan mengenal siapa Rabb yang dia sembah.

Kemudian beliau mengatakan,


‫والقمر‬

“Demikian pula (diantara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah) bulan.”

Bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan bulan dan dia berbeda dengan
matahari. Karena bulan berupa nur (berupa cahaya), berbeda dengan matahari yang
merupakan sinar yang membakar. Adapun bulan maka berupa nur. Dan Allah ciptakan
bulan dengan hikmah yang banyak dan setiap hari bulan memiliki ukuran tertentu yang kita
lihat. Memiliki kedudukan tertentu yang dengannya manusia bisa mengetahui sekarang
tanggal berapa, sekarang sudah berpindah bulan, apabila mengetahui perpindahan bulan
maka dia bisa mengetahui satu tahun.
Oleh karena itu diantara faedah dan juga diantara manfaat Allah menjadikan bulan menjadi
beberapa kedudukan, diantaranya adalah supaya kita mengetahui jumlah tahun dan juga
hisab.

۞… ‫ۚ َو َقَّد َر ُه َم َن اِز َل ِلَت ْع َلُموا َع َدَد الِّسِنيَن َو اْلِحَس اَب‬

“Allah Subhanahu wa Ta’ala mentakdirkan bulan memiliki manzilah-manzilah supaya kalian


mengetaui jumlah dari tahun-tahun dan juga mengetahui perhitungan.” [Yunus 5]

Dan juga faedah-faedah yang lain, orang yang memikirkan hal ini maka akan semakin
menambah keimanan dia dan ma’rifah dia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Halaqah 15 | Landasan Pertama Ma’rifatullah Bagian 3 Diantara Makhluk-Makhluk Allah

Kemudian beliau mengatakan,

‫ وما بينهما‬، ‫ وَم ن فيهَّن‬،‫ واألرضون السبع‬، ‫ وَم ن فيهَّن‬،‫ السماوات السبع‬:‫ومن مخلوقاته‬

Dan diantara makhluk-makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah langit yang tujuh dan
makhluk yang ada di dalamnya, dan bumi yang tujuh dan apa yang ada di dalamnya, dan
apa yang ada diantara langit dan juga bumi.

Diantara makhluk-makhluk Allah yang menunjukan kepada kita tentang Maha Besarnya
Allah, Maha Kuasanya Allah dan mengetahui tentang luasnya Ilmu Allah Subhanahu wa
Ta’ala adalah langit dan juga bumi. Langit yang tujuh yang Allah ciptakan.

‫ِبَغ ْي ِر َعَم ٍد َت َر ْو َن َه ا‬

“Tanpa tiang.” [Ar Ra’d 2]

Yang kita lihat makhluk yang sangat besar yang berada di atas, Allah ciptakan tanpa tiang.
Dan apa yang ada di dalamnya berupa makhluk-makhluk Allah seperti malaikat dan juga
bintang-bintang.

‫واألرضون السبع‬

“Dan bumi yang tujuh,” dan apa yang ada di dalamnya.


Dan apa yang ada diantara langit dan bumi tersebut, berupa makhluk-makhluk Allah seperti
awan, angin, manusia, tumbuhan, hewan, maka ini adalah makhluk-makhluk Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang berada diantara langit dan juga bumi.

Apabila kita mau memikirkan penciptaan Allah terhadap langit dan penciptaan Allah
terhadap bumi, niscaya akan mengenalkan kita siapa Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Langit Allah ciptakan sedemikian besarnya. Kita berada di bumi dan bumi adalah bagian dari
tata surya. Di sana ada planet-planet yang lain yang mungkin lebih besar dari bumi. Dan di
sana ada matahari dan di sana ada bintang-bintang. Dan ternyata kita berada di salah satu
galaksi, dan galaksi adalah kumpulan dari jutaan bintang. Dan satu bintang ukurannya
adalah ukuran yang sangat besar, bahkan banyak bintang-bintang yang ukurannya lebih
besar daripada matahari.

Dan ternyata di sana ada galaksi-galaksi yang lain bukan hanya galaksi kita, tetapi di sana
ada galaksi-galaksi yang lain, kumpulan-kumpulan bintang yang lain yang tidak mengetahui
kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jumlah yang sangat banyak, yang sangat besar, yang tidak mengetahui ukurannya kecuali
Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan itu semua berada di bawah langit yang pertama (langit
dunia). Dengan demikian kita bisa mengetahui bagaimana besarnya langit yang pertama
tersebut.

Di sana ada langit yang ke dua, yang jaraknya antara yang pertama dengan ke dua ratusan
tahun, yang tentunya lebih besar dan lebih besar dari pada langit yang pertama.

Dan di sana ada yang ke tiga yang jaraknya antara yang ke dua dengan yang ke tiga
ratusan tahun. Ada langit yang ke empat, ke lima, ke enam, dan ada langit yang ke tujuh.
Tidak bisa kita bayangkan bagaimana besarnya langit ke tujuh tersebut dan disebutkan di
dalam hadits bahwasanya di atas langit ada kursi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan disebutkan oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬perbandingan antara seluruh langit dan bumi
dibandingkan dengan kursi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah seperti sebuah cincin yang
dilemparkan di tengah padang pasir. Ini adalah perbandingan antara langit yang tujuh
dibandingkan dengan kursi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tidak bisa kita bayangkan bagaiman besarnya kursi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan
disebutkan dalam hadits tersebut, di atas kursi ada ‘Arsy. Dan perbandingan antara kursi
Allah dengan ‘Arsy Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah seperti cincin yang dileparkan di
tengah padang pasir, lebih besar daripada kursi dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Akbar,
adalah lebih besar dari itu semua. Tidak bisa kita bayangkan bagaimana besarnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Kalau ciptaan-Nya demikian besarnya, bagaimana dengan Al Kholiq yang menciptakan itu
semua.

Oleh karena itu di dalam Islam ketika dikumandangkan adzan yang pertama adalah
kalimatut takbir,

‫هللا أكبر – هللا أكبر‬


“Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat Yang Paling Besar (Yang Maha Besar).”

Lebih besar dari apa saja yang menurut manusia itu adalah sesuatu yang besar (sesuatu
yang sangat penting), tapi hendaklah mereka mengetahui bahwasanya Allah adalah Akbar
(Maha Besar) dari itu semua.

Ketika shalat ucapan yang pertama kali kita ucapakan adalah Takbiratul Ihram – ‫– هللا أكبر‬
supaya kita mengetahui bahwasanya Dia-lah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Besar,
yang lebih besar daripada pekerjaan kita, daripada dunia kita, menjadikan kita mau khusyu
dan menghadapkan diri kita kepada Allah Dzat Yang Maha Besar.

Diantara makhluk Allah adalah langit yang tujuh, demikian pula bumi dan apa yang ada
diantara keduanya.
Kemudian beliau mengatakan,

‫ {َو ِمْن آَياِتِه الَّلْيُل َو الَّنَه اُر َو الَّش ْم ُس َو اْلَقَم ُر ال َت ْس ُجُدوا ِللَّش ْم ِس َو ال ِلْلَقَم ِر َو اْس ُجُدوا ِهَّلِل اَّلِذي َخ َلَقُهَّن ِإْن ُكْنُتْم ِإَّياُه‬:‫والدليل قوله تعالى‬
} ‫َت ْع ُبُدوَن‬

Dan dalilnya adalah firman Allah Subhānahu wa Ta’āla,


“Dan diantara tanda-tanda kekuasan Allah adalah malam dan juga siang dan matahari dan
juga bulan. Maka janganlah kalian sujud kepada matahari dan janglah kalian sujud kepada
bulan dan hendaklah kalian sujud kepada Allah yang telah menciptakan itu semua apabila
kalian benar-benar menyembah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [Fushshilat 37]

Ini adalah dalil diantara kekuasaan Allah adalah malam dan juga siang, matahari dan juga
bulan.
Kemudian beliau mengatakan,

‫ {ِإَّن َر َّبُك ُم ُهَّللا اَّلِذي َخ َلَق الَّسَم اَو اِت َو اَأْلْر َض ِفي ِس َّت ِة َأَّياٍم ُثَّم اْس َت َو ى َع َلى اْلَع ْر ِش ُيْغ ِش ي الَّلْي َل الَّن َه اَر َي ْط ُلُبُه َح ِثيًث ا َو الَّش ْم َس‬:‫وقوله تعالى‬
} ‫َو اْلَقَمَر َو الُّن ُجوَم ُم َس َّخ َر اٍت ِبَأْم ِر ِه َأال َلُه اْلَخ ْلُق َو اَأْلْم ُر َت َب اَر َك ُهَّللا َر ُّب اْلَع اَلِميَن‬

Dan juga firman Allah,


“Sesungguhnya Rabb kalian adalah Allah yang menciptakan langit dan juga bumi dalam
enam hari, kemudian Allah beristiwa di atas ‘Arsy dan Dia-lah yang menutupi malam dengan
siang dan malam tersebut diikuti dengan siang secara langsung dan Dia-lah yang
menciptakan matahari dan juga bulan dan juga bintang-bintang di mana matahari, bulan,
dan bintang-bintang tersebut tunduk dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketahuilah bagi Allah-lah penciptaan dan juga perintah. Maha berkah Allah Rabb semesta
Alam. [Al A’raf 54]
Dua ayat ini menunjukan tentang tanda-tanda kekuasaan Allah diantara makhluk-makhluk
Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu matahari dan juga bulan, demikian pula bintang-bintang,
demikian pula siang dan juga malam, yang menunjukkan kepada kita tentang siapakah Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Dia-lah Allah, Rabb kita Yang Maha Mengetahui, Yang Maha
Kuasa untuk melakukan segala sesuatu, Yang Maha Hidup, Yang Mengetahui maslahat dan
juga mudhorot.

Oleh karena itu kita menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai satu-satunya
sesembahan sebagaimana beliau katakan di awal,

‫وهو معبودي ليس لي معبود سواه‬

“Dan Dia-lah sesembahanku, aku tidak memiliki sesembahan selain Dia.”

Halaqah 16 | Landasan Pertama Ma’rifatullah Bagian 4 Yang Dimaksud Dengan Rabb dan
Dalilnya

Setelah kita mengetahui siapakah Allah dan bagaimana kita mengenal Allah Subhanahu wa
Ta’ala, maka beliau rahimahullah ingin menyampaikan kepada kita bahwasanya Dzat yang
telah memelihara kita dengan kenikmatannya, dan telah menciptakan langit dan juga bumi,
menciptakan tanda-tanda kekuasaan seperti malam, siang, matahari, dan bulan, maka Dia-
lah Rabb yang disembah. Dia-lah yang berhak untuk diibadahi dan disembah.
Beliau mengatakan,

‫والرب هو المعبود‬

“Dan Rabb, Dia-lah yang disembah/diibadahi.”

Apabila seseorang sudah meyakini bahwasanya Allah, Dia-lah yang menciptakan alam
semesta dan juga mengaturnya, maka kewajiban dia adalah hanya menyerahkan ibadah ini
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

‫ {َي ا َأُّيَه ا الَّن اُس اْع ُبُدوا َر َّبُك ُم اَّلِذي َخ َلَقُك ْم َو اَّلِذيَن ِمْن َقْبِلُك ْم َلَع َّلُك ْم َت َّتُقوَن * اَّلِذي َج َع َل َلُك ُم اَأْلْر َض ِفَر اًش ا َو الَّسَم اَء ِبَن اًء‬:‫والدليل قوله تعالى‬
} ‫َو َأْن َز َل ِمَن الَّسَم اِء َم اًء َف َأْخ َر َج ِبِه ِمَن الَّث َمَر اِت ِر ْز ًقا َلُك ْم َف ال َت ْج َع ُلوا ِهَّلِل َأْن َد اًد ا َو َأْنُتْم َت ْع َلُموَن‬
[Al Baqarah 21-22]
Dan dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya,
“Wahai manusia (kata Allah Subhanahu wa Ta’ala, Allah memanggil semua manusia)
hendaklah kalian menyembah/beribadah kepada Rabb kalian (yang telah memelihara kalian
dan memelihara seluruh alam semesta.)”

Siapakah Rabb kalian? Rabb kalian adalah


“Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian supaya kalian bertaqwa
(supaya kalian takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala).”

Inilah Rabb. Yang memiliki sifat-sifat inilah yang berhak untuk disembah dan diibadahi.
Sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian, yang tidak menciptakan kalian
jangan disembah. Demikian pula menciptakan orang-orang sebelum kalian. Menciptakan
bapak kalian, menciptakan orang tua kalian, dan menciptakan orang-orang sebelum kita dari
semenjak Nabi Adam ‘alaihissalam. Itulah Rabb yang berhak untuk disembah.

Selain itu yang tidak memiliki sifat ini, yang tidak menciptakan, maka janganlah disembah,
supaya kalian bertaqwa, menjadikan wiqoyah (penjagaan) antara kalian dengan nerakanya
Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kemudian Allah mengatakan,

‫اَّلِذي َج َع َل َلُك ُم اَأْلْر َض ِفَر اًش ا‬

“(Rabb tersebut yang hendaknya kalian sembah), Dia-lah yang telah menjadikan bagi kalian
bumi ini menjadi terhampar (sehingga mudah diambil manfaat. Maka inilah Rabb yang
berhak kalian ibadahi.)”

Adapun selain Allah, yang tidak menjadikan bumi ini terhampar maka dia tidak berhak untuk
diibadahi.
Kemudian Allah mengatakan – ‫ – َو الَّسَم اَء ِبَن اء‬dan telah menjadikan langit menjadi bangunan
yang besar, yang berada di atas manusia.
Dia-lah yang berhak untuk diibadahi dan disembah.
Kemudian Allah mengatakan,

‫َو َأْن َز َل ِمَن الَّسَم اِء َم اًء‬


“Dan telah menurunkan dari langit air hujan,”

Kemudian Allah mengatakan,

‫َف َأْخ َر َج ِبِه ِمَن الَّث َمَر اِت ِر ْز ًق ا َلُك ْم‬

“Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengeluarkan dengan air hujan tersebut buah-buahan
sebagai rezeki bagi kalian.”

Inilah Rabb yang berhak untuk diibadahi dan disembah, menjadikan bumi terhampar,
menjadikan langit menjadi bangunan, menurunkan air dari atas (dari awan) kemudian Dia-
lah yang telah mengeluarkan tanam-tanaman, biji bijian, buah-buahan, dengan air tersebut.
Inilah Rabb yang berhak untuk disembah dan diibadahi.

Kemudian Allah mengatakan,

‫َف ال َت ْج َع ُلوا ِهَّلِل َأْن َد اًد ا َو َأْنُتْم َت ْع َلُموَن‬

“Maka janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah, sedangkan kalian


mengetahui.”

Janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah, beribadah kepada selain Allah.
Beribadah kepada Allah dan juga beribadah kepada selain Allah, sedangkan kalian
mengetahui (memahami) bahwasanya yang menciptakan kalian, yang menjadikan bumi
terhampar, menjadikan langit menjadi bangunan, menurunkan air hujan, adalah Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

Kalau kalian mengetahui bahwasanya yang melakukan itu semua adalah Allah dan tidak
ada yang melakukan itu semua kecuali Allah, maka janganlah kalian menyekutukan Allah,
(yaitu) menyembah Allah dan juga menyembah selain Allah.
Beribadah kepada Allah bersamaan itu, beribadah juga kepada selain Allah, menyerahkan
ibadahnya sebagian kepada Allah tetapi juga menyerahkan sebagian yang lain kepada
selain Allah.

Jadi keimanan kita bahwasanya Allah yang mencipta, memberikan rezeki, baik dari langit
maupun dari bumi, mengatur alam semesta ini, seharusnya menjadikan kita tidak beribadah
kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Inilah maksud dari ayat yang mulia ini. Oleh karena itu setelahnya beliau menukil ucapan
Ibnu Katsir Asy Syafi’i yang memiliki kitab Tafsir, beliau mengatakan,

‫ الخالق لهذه األشياء هو المستحق للعبادة‬: ‫قال ابن كثير رحمه هللا‬

“Berkata Ibnu Katsir rahimahullah, yang menciptakan ini semua, Dia-lah yang berhak untuk
diibadahi.”

Adapun yang tidak menciptakan ini dan itu maka mereka tidak berhak untuk diibadahi
meskipun memiliki kedudukan yang tinggi diantara manusia.
Seorang Nabi adalah orang yang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi dia tidak
menciptakan, oleh karena itu tidak berhak untuk diibadahi.
Seorang malaikat adalah hamba Allah yang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, tapi dia
tidak menciptakan. Oleh karena itu tidak berhak untuk diibadahi dan tidak berhak untuk
disembah.

Kalau memang di dalam hati kita meyakini bahwasanya Allah satu-satunya yang mencipta,
memberikan rezeki, dan mengatur alam semesta ini, maka seharusnyalah kita tidak
beribadah kecuali hanya kepada Allah.

Orang-orang Musyrikin Quraisy, yang Rasulullah ‫ ﷺ‬diutus diantara mereka, mereka


adalah orang-orang yang mengakui bahwasanya Allah yang mencipta, dan mengakui
bahwasanya Allah yang memberikan rezeki kepada mereka, dan bahwasanya Allah yang
mengatur alam semesta ini. Mereka mengakui itu semua akan tetapi ketika diajak oleh
Rasulullah ‫ ﷺ‬untuk hanya menyerahkan ibadah kepada Allah saja mereka menolak,
tidak mengikuti ajakan Rasulullah ‫ ﷺ‬padahal mereka mengakui tentang Rububiyyah
Allah dan bahwasanya Allah yang menciptakan mereka dan orang-orang sebelum mereka.
Tidak ada diantara mereka yang meyakini bahwasanya patung-patung yang ada di sekitar
Ka’bah itulah yang menciptakan mereka (tidak) dan Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang
telah mengabarkan keyakinan mereka tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah berfirman,

( ‫ُقۡل َم ن َی ۡر ُزُقُك م ِّم َن ٱلَّسَم ۤا ِء َو ٱَأۡلۡر ِض َأَّمن َی ۡم ِلُك ٱلَّس ۡم َع َو ٱَأۡلۡب َص ٰـ َر َو َم ن ُیۡخ ِر ُج ٱۡل َح َّی ِمَن ٱۡل َمِّیِت َو ُیۡخ ِر ُج ٱۡل َم ِّیَت ِمَن ٱۡل َح ِّی َو َم ن ُیَد ِّبُر‬
‫)ٱَأۡلۡم َۚر َفَس َی ُقوُلوَن ٱُۚهَّلل َفُقۡل َأَف اَل َت َّتُقوَن‬
[Surat Yunus 31]
“Katakanlah wahai Muhammad, tanyakan kepada mereka (kaummu) siapakah yang telah
memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan juga dari bumi dan siapakah yang memiliki
pendengaran-pendengaran dan penglihatan-penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan
yang hidup dari yang mati, mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang
mengatur alam semesta ini, tanyakan kepada mereka tentang pertanyaan-pertanyaan ini,
niscaya mereka akan mengatakan Allah.”

Inilah jawaban orang-orang Musyrikin Quraisy. Mereka mengatakan dan meyakini


bahwasanya Allah yang melakukan itu semua, tetapi mereka tidak mau meng-esakan Allah
(mentauhidkan Allah) Subhanahu wa Ta’ala di dalam ibadah mereka sehari-hari. Terkadang
mereka menyembah kepada Allah (kalau mau) dan terkadang mereka menyembah kepada
selain Allah. Sebagaimana ketika mereka berada di tengah lautan datang ombak yang
besar, datang angin yang kencang dan dalam keadaan yang sangat bahaya baru mereka
ingat kepada Allah dan mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tapi ketika mereka
sudah diselamatkan sampai ke daratan, mereka lupa kepada Allah dan kembali
menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

۞ ‫َف ِإَذ ا َر ِكُبوا ِفي اْلُفْلِك َد َع ُو ا َهَّللا ُم ْخ ِلِص يَن َلُه الِّد يَن َف َلَّما َن َّج اُه ْم ِإَلى اْلَب ِّر ِإَذ ا ُه ْم ُيْش ِر ُك وَن‬

“Apabila mereka mengendarai kapal/naik kapal di tengah lautan mereka berdoa kepada
Allah dalam keadaan ikhlas hatinya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [Al Ankabut 65]

Mengatakan Ya Allah, seandainya Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini niscaya
kami adalah termasuk orang-orang yang bersyukur.

“Ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan tiba-tiba mereka menyekutan


Allah.”

Terkadang menyembah kepada Allah, berdo’a semata hanya kepada Allah, dan terkadang
mereka menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kemudian Allah mengatakan di dalam ayat tadi setelah menyuruh Nabi Muhammad ‫ﷺ‬
bertanya kepada mereka, siapakah yang telah memberikan rezeki, mengatur alam semesta,
menghidupkan dan mematikan? Ketika mereka mengatakan Allah, maka Allah mengatakan
kepada Nabi-Nya, maka katakanlah kepada mereka,
“Kenapa kalian tidak takut kepada Allah?”

Kenapa kalian tidak takut dengan adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala? Sudah tau
bahwasanya Allah yang mencipta dan tidak ada yang mencipta selain Allah, kemudian
kalian menyekutukan Allah dengan yang lain.
Keyakinan bahwasanya Allah yang mencipta adalah fitrah, yang Allah fitrahkan kepada
manusia ketika Allah menciptakan mereka (yaitu
Manusia), difitrahkan di dalam hatinya keyakinan dan kepercayaan bahwasanya Allah yang
menciptakan, yang memberikan rezeki, dan mengatur alam semesta ini. Oleh karena itu
orang-orang Musyrikin Quraisy, yang dikatakan Musyrikin oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
di dalam hatinya juga meyakini bahwasanya Allah yang menciptakan mereka, karena ini
adalah fitrah.

Bahkan Fir’aun yang mengatakan,

‫َأَن ا َر ُّب ُك ُم اَأْلْع َلى‬

“Aku adalah Rabb kalian yang paling tinggi.” [An Nazi’at 24]

Sebenarnya dia meyakini bahwasanya dia bukan Rabb dan meyakini bahwasanya Allah-lah
Rabb dia, yang telah menciptakan dia, dan bahwasanya apa yang berasal dari Musa berupa
ayat-ayat, berupa mukjizat-mukjizat semuanya adalah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan Allah kabarkan di dalam Al-Qur’an tentang bagaimana sebenarnya keyakinan Fir’aun,

۞ ‫َق اَل َلَقْد َع ِلْمَت َم ا َأنَز َل َٰه ُؤ اَل ِء ِإاَّل َر ُّب الَّسَم اَو اِت َو اَأْلْر ِض َبَص اِئَر َو ِإِّن ي َأَلُظ ُّن َك َي ا ِفْر َع ْو ُن َم ْث ُبوًر ا‬

“Musa berkata kepada Fir’aun, sungguh engkau telah memahami dan mengetahui wahai
Fir’aun, bahwasanya tidak menurunkan ayat-ayat ini, mukjizat-mukjizat ini kecuali Rabb
langit dan juga bumi – ‫ – َبَص اِئَر‬yang merupakan tanda-tanda kekuasaan.” [Al Isra 102]

Menunjukan bahwasanya Fir’aun sebenarnya mengetahui tentang Allah Subhanahu wa


Ta’ala dan Dia-lah yang telah menciptakannya dan juga menciptakan alam semesta dan
bahwasanya ucapan dia “Aku adalah Rabb yang paling tinggi.” Adalah ucapan yang keluar
dari orang yang sombong. Mengetahui yang Al Haq tetapi dia mengucapkan dan menolak
kebenaran tersebut.

Fir’aun mengenal bahwasanya Allah adalah Rabb semesta alam. Jangankan Fir’aun,
syaithan dan juga iblis mengenal bahwasanya Allah yang telah menciptakan dia dan
menciptakan Nabi Adam ‘alaihissalam.
Allah berkata kepada iblis setelah dia diperintahkan untuk bersujud, sujud penghormatan
kepada Nabi Adam, kemudian dia menolak, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

۞ ‫َق اَل َم ا َم َن َعَك َااَّل َت ْس ُجَد ِاْذ َاَم ْر ُتَك‬

“Wahai iblis, apa yang mencegahmu untuk sujud


(sujud penghormatan kepada Nabi Adam) ketika Aku memerintahkan kepadamu?” [Al A’raf
12]

Apa yang dikatakan iblis?

‫َق اَل َاَن ۠ا َخ ْيٌر ِّم ْن ُهۚ َخ َلْق َت ِنْي ِمْن َّن اٍر َّو َخ َلْق َت ٗه ِمْن ِط ْي ٍن‬

“Aku (kata Iblis) lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan
Adam dari tanah.”

Dia mengatakan – ‫ – َخ َلْق َت ِنْي‬Engkau (Ya Allah) menciptakan aku dari api.

Di dalam ayat yang lain,

‫َق اَل َف ِبَم ا َأْغ َو ْي َت ِني َأَلْق ُعَد َّن َلُهْم ِص َر اَط َك اْلُمْس َت ِقيَم‬

“(Iblis berkata kepada Allah), wahai Rabbku karena Engkau telah menyesatkan aku maka
aku akan menyesatkan mereka dari jalan-Mu yang lurus.” [Al A’raf 16]

Memanggil kepada Allah dengan Rabb, mengenal bahwasanya Allah adalah Rabb-nya tapi
apakah ini bermanfaat bagi syaithan? Tidak bermanfaat baginya, karena dia tidak
melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mengenal bahwasanya Allah yang menciptakan, memberikan rezeki, dan mengatur alam
semesta adalah fitrah, yang seharusnya menuntun kita hanya beribadah kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu di sini beliau mendatangkan ayat,

۞ ‫َي ا َأُّيَه ا الَّن اُس اْع ُبُدوا َر َّب ُك ُم اَّلِذي َخ َلَقُك ْم َو اَّلِذيَن ِمْن َق ْبِلُك ْم َلَع َّلُك ْم َت َّتُقوَن‬
Dan ini adalah perintah pertama di dalam Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an banyak perintah,
tapi perintah pertama yang Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an adalah perintah untuk
beribadah kepada Allah semata.

Betapa besar dan agungnya perintah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
sehingga Allah menjadikan perintah untuk beribadah ini sebagai perintah yang pertama di
dalam Al-Qur’an sebelum perintah-perintah yang lain. Dan larangan berbuat syirik adalah
larangan
Yang pertama di dalam Al-Qur’an. Tadi disebutkan, Allah berfirman,

‫َف ال َت ْج َع ُلوا ِهَّلِل َأْن َد اًد ا َو َأْنُتْم َت ْع َلُموَن‬

“Maka janganlah kalian menjadikan sekutu sekutu bagi Allah.”

Dan ini adalah larangan yang pertama di dalam Al-Qur’an. Perintah yang pertama adalah
perintah untuk bertauhid dan larangan yang pertama adalah larangan dari perbuatan syirik.

Halaqah 17 | Landasan Pertama Ma’rifatullah Bagian 5 Macam-Macam Ibadah dan Hukum


Memalingkan Ibadah Untuk Selain Allah

Setelah beliau menerangkan kepada kita bahwa Rabb yang memiliki sifat-sifat dialah yang
berhak untuk diibadahi dan disembah, maka beliau ingin menerangkan tentang apa itu
ibadah supaya ibadah-ibadah yang kita lakukan benar-benar ditujukan kepada Allah. Artinya
jangan sampai seseorang menganggap sesuatu bukan ibadah padahal itu ibadah.

Kemudian dia serahkan sesuatu tersebut kepada selain Allah sehingga dia terjerumus di
dalam penyerahan ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu di sini
setelahnya beliau ingin menyampaikan kepada kita tentang apa itu ibadah dan berbagai
macamnya.

Beliau mengatakan,

‫وأنواع العبادة التي أمر هللا بها مثل اإلسالم واإليمان واإلحسان‬

“Dan macam-macam ibadah yang Allah perintahkan kepada kita seperti Islam, Iman, dan
juga Ihsan.”
Ini adalah bagian dari ibadah. Bahkan dia adalah ibadah yang paling besar dan agama kita
terdiri dari tiga perkara ini: Islam dan juga Iman dan juga Ihsan sebagimana datang hadits
Jibril.

Ketika Jibril datang kepada Rasulullah ‫ﷺ‬, menjelma sebagai manusia (sebagai seorang
laki-laki), ingin mengajarkan kepada kaum muslimin tentang agama Islam ini. Beliau datang
sebagai seorang manusia, datang kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬yang saat itu sedang bersama
sahabat Beliau. Kemudian Jibril bertanya tentang beberapa pertanyaan, ingin mengajarkan
kaum muslimin dengan cara bertanya, dan Jibril sudah tau jawabannya.

Bertanya tentang apa itu Islam, dijawab oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬dengan arkanul Islam.
Bertanya tentang apa itu Iman, dijawab oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬dengan arkanul Iman.
Bertanya tentang Ihsan dan dijawab oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬dengan

‫َأْن َت ْع ُبَد َهللا َك َأَّن َك َت َر اُه َف ِإْن َلْم َت ُك ْن َت َر اُه َف ِإَّن ُه َيَر اَك‬

Bertanya tentang kapan terjadinya hari kiamat, dijawab oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬bahwasanya
yang ditanya tidak lebih tau daripada yang bertanya.
Karena hari kiamat adalah ilmu yang khusus bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak
diketahui oleh yang lain baik seorang Nabi maupun seorang Malaikat.
Dan bertanya tentang tanda-tanda hari kiamat dan dijawab sebagian oleh Rasulullah ‫ﷺ‬.

Kemudian di akhir hadits Rasulullah ‫ ﷺ‬mengatakan kepada para shahabat,

‫هذا ِج ْب ِر ْيُل َأتَـاُك ْم ُيَع ِّلُم ُك ْم ِدْي َن ُك ْم‬

“Ini adalah Malaikat Jibril yang datang kepada kalian ingin mengajarkan kepada kalian
agama kalian.”

Kemudian beliau mengatakan,

‫ومنه الدعاء والخوف والرجاء والتوكل والرغبة والرهبة والخشوع والخشية واإلنابة واالستعانة واالستعاذة واالستغاثة والذبح‬
‫ كلها هلل تعالى‬،‫ وغير ذلك من أنواع العبادة التي أمر هللا بها‬،‫والنذر‬
}‫ {َو َأَّن اْلَمَس اِج َد ِهَّلِل َف ال َتْد ُعو َمَع ِهَّللا َأَح ًد ا‬:‫والدليل قوله تعالى‬
“Dan diantara (ibadah tersebut) adalah do’a dan juga rasa takut, mengharap, bertawakal,
kekhusyu’an, inabah (kembali kepada Allah), wal isti’anah (memohon pertolongan kepada
Allah, wal isti’adzah (memohon perlindungan kepada Allah), wal istighotsah, menyembelih,
bernadzar, dan lain-lain.”

Diantara ibadah-ibadah yang Allah perintahkan, semuanya adalah untuk Allah, tidak
diserahkan kepada yang lain. Ini adalah beberapa jenis ibadah yang diperintahkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak boleh diserahkan kepada selain Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

Dan yang beliau sebutkan ini adalah sebagai contoh bagian dari ibadah-ibadah yang
banyak. Artinya bukan sebagai pembatasan. Di sana ada ibadah-ibadah yang lain yang
tidak beliau sebutkan di sini. Oleh karena itu beliau mengatakan dan lain-lain.
Diantara jenis-jenis ibadah yang Allah perintahkan semuanya adalah untuk Allah subhanahu
wa Ta’ala.

Para ulama telah memberikan definisi apa itu ibadah sehingga bisa kita masukkan sebuah
amalan (sebuah ucapan) termasuk ibadah. Dan definisi yang paling bagus dan ini diakui
oleh para ulama adalah definisi ibadah yaitu,

‫ اسم جامع لكل ما يحبه هللا ويرضاه من األقوال واألعمال الظاهرة والباطنة‬:‫العبادة‬

“Yang dimaksud dengan ibadah adalah sebuah nama yang mencakup segala yang dicintai
dan diridhoi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala baik berupa ucapan maupun perbuatan baik
yang dhohir maupun yang bathin.”

Dan di sana ada ibadah yang kelihatan dan di sana ada ibadah yang ada di dalam hati
seseorang, seperti rasa takut, tawakal kepada Allah, rasa cinta kepada Allah, rasa
mengharap kepada Allah. Ini adalah ibadah-ibadah yang berada di dalam bathin.

Darimana kita tau bahwasanya ucapan atau perbuatan dicintai dan diridhoi oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala?
Caranya adalah dengan mengetahui dari syari’at yang Allah turunkan, baik di dalam Al
Qur’an maupun di dalam hadits-hadits Rasulullah ‫ﷺ‬.

Apabila Allah memerintahkan dengan sebuah ucapan atau dengan sebuah perbuatan maka
ketahuilah bahwasanya itu adalah ibadah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
memerintahkan kepada kita kecuali apabila perintah tersebut dicintai oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

‫َو َس ِّبُحوُه ُبۡك َر ࣰة َو َأِص یاًل‬

“Dan hendaklah kalian bertasbih mensucikan Allah waktu pagi maupun waktu petang.” [Al
Ahzab 42]

Menunjukan bahwasanya tasbih adalah dicintai oleh Allah dan dia adalah ibadah.

Allah mengatakan – ‫ – و َأِقِم الَّص اَل َة‬dan hendaklah kalian melakukan shalat (menegakkan
shalat). Memerintahkan kita untuk melakukan shalat, menunjukan bahwasanya ini adalah
dicintai oleh Allah, berarti shalat adalah ibadah.

Dan kita bisa mengetahui bahwasanya itu dicintai Allah atau tidak diantaranya selain dengan
adanya perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala terkadang kita bisa mengetahui
bahwasanya itu adalah ibadah apabila Allah memuji orang-orang yang melakukannya.
Apabila Allah memuji sebuah ucapan atau orang yang mengucapkannya, memuji sebuah
perbuatan atau orang yang melakukannya, maka ketahuilah bahwasanya itu adalah ibadah.

Sebagaimana ketika Allah memuji orang-orang yang menunaikan nadzarnya, menunjukan


bahwasanya menunaikan nadzar adalah ibadah. Dan Allah memuji orang-orang yang
memberi makan orang lain, menunjukan bahwasanya memberi makan adalah termasuk
ibadah.

Kemudian beliau mengatakan, dan dalilnya (dalil bahwasanya ibadah-ibadah ini diharamkan
diserahkan kepada selain Allah) adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

۞ ‫َو َأَّن اْلَمَس اِج َد ِهَّلِل َف ال َتْد ُعو َمَع ِهَّللا َأَح ًد ا‬

“Dan sesungguhnya masjid-masjid adalah milik Allah.” [QS Jin 18]

Ada yang mengatakan masjid-masjid di sini adalah bangunan, yaitu bangunan masjid.
Dan ada juga yang mengatakan bahwasanya Al Masajid di sini adalah anggota tubuh/badan
yang digunakan untuk bersujud.
Maksudnya adalah jangan sampai menjadikan anggota badan yang digunakan untuk sujud
kepada Allah, digunakan untuk bersujud kepada selain Allah (yaitu dahi, kemudian dua
telapak tangan, dua lutut demikian pula dua ujung kaki) ini adalah anggota badan yang
digunakan untuk bersujud.

Kemudian beliau mengatakan,

‫فمن صرف منها شيئا لغير هللا فهو مشرك كافر‬

“Maka barangsiapa yang menyerahkan, memalingkan sebagian dari ibadah-ibadah tersebut


kepada selain Allah, maka dia adalah orang yang musyrik (menyekutukan Allah) dan dia
adalah orang yang kafir (yang telah kufur dan keluar dari Islam).”

Apabila salah satu diantara tersebut, meskipun itu adalah ibadah yang sepele menurut
pandangan manusia, sekecil apapun, apabila diserahkan kepada selain Allah maka orang
yang melakukannya adalah orang yang musyrik, menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala
sekaligus dia adalah orang yang kafir, keluar dari Islam dan bukan termasuk orang Islam.

Kemudian beliau mengatakan,

‫والدليل قوله تعالى‬:


Dan dalilnya adalah firman Allah,

۞ ‫َو َم ْن َي ْد ُع َمَع ِهَّللا ِإَلًها آَخ َر ال ُبْر َه اَن َلُه ِبِه َف ِإَّن َم ا ِحَس اُبُه ِع ْن َد َر ِّبِه ِإَّن ُه ال ُيْف ِلُح اْلَك اِفُروَن‬

“Dan barangsiapa yang berdo’a kepada sesembahan selain Allah bersama Allah, yang dia
tidak ada keterangan di dalamnya maka sesungguhnya hisabnya adalah atas Allah di sisi
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya tidak akan beruntung orang-orang yang kafir.”
[Al Mukminun 117]

Allah mengatakan – ‫ – َمَع ِهَّللا‬bersama Allah artinya dia kadang berdo’a kepada Allah dan
terkadang dia berdo’a kepada selain Allah. Inilah yang dinamakan syirik atau menyekutukan
Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang dia tidak memiliki keterangan di dalamnya tidak memiliki
hujjah, tidak memiliki alasan dan semua orang Musyrikin tidak memiliki alasan di dalam
kesyrikannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka akibatnya orang yang seperti ini maka nanti hisabnya/perhitungannya di sisi Allah
Subhanahu wa Taala, akan dibalas oleh Allah Subhanahu wa Taala karena dia berdo’a
menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berdo’a kepada Allah dan juga berdo’a kepada
selain Allah.
Kemudian Allah mengatakan,
“Sesungguhnya tidak akan beruntung, tidak akan sukses orang-orang yang kafir.”
Allah menamakan orang-orang yang berdo’a kepada selain Allah bersama Allah adalah
orang yang kafirun.

Menunjukan bahwasanya orang yang menyerahkan ibadahnya meskipun sebagian kepada


selain Allah maka dia telah melakukan kesyirikan/kekufuran dan dia dikatakan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala sebagai orang-orang yang kafir.

Ini menunjukan tentang bahayanya syirik. Dan apabila syiriknya adalah syirik yang besar
dan kekufuran yang besar, maka mengeluarkan seseorang dari Islam, karena syirik
sebagaimana disebutkan oleh para ulama ada syirik yang besar ada syirik yang kecil. Yang
mengeluarkan dari Islam adalah syirik yang besar.

Demikian pula kufur ada dua, kufur yang besar dan kurfur yang kecil. Yang mengeluarkan
dari Islam adalah kekufuran yang besar.
Dan menyerahkan ibadah kepada selain Allah adalah syirik yang besar dan termasuk
kekufuran yang besar. Mengeluarkan dari Islam yang membatalkan amal ibadah seseorang.

‫َلِئْن َأْش َر ْك َت َلَي ْح َب َط َّن َعَم ُلَك‬

“Seandainya engkau menyekutukan Allah niscaya akan batal seluruh amalanmu.” [Az Zumar
65]

Yang apabila seseorang meninggal dunia bertemu dengan Allah dalam keadaan membawa
syirik ini maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan memasukan dia ke dalam surga,
mengharamkan atasnya surga dan memasukan dia di dalam neraka selama-lamanya.

۞ ‫ِإَّنُه َم ن ُيْش ِر ْك ِباِهّلل َفَقْد َح َّر َم ُهّللا َع َليِه اْلَج َّنَة َو َم ْأَو اُه الَّن اُر َو َم ا ِللَّظ اِلِميَن ِمْن َأنَص اٍر‬

“Sesungguhnya barangsiapa yang menyekutukan Allah maka sungguh Allah akan


mengharamkan atasnya surga dan tempat kembalinya adalah neraka dan tidak ada
penolong bagi orang-orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [Al Maidah 72]

Halaqah 18 | Landasan Pertama Ma’rifatullah Bagian 6 Dalil Ibadah Berdo’a, Khauf, dan
Roja
Beliau mengatakan,

‫وفي الحديث الُّد َع اُء ُم ُّخ اْلِعَباَدِة‬

“Dan di dalam sebuah hadits, do’a adalah inti dari ibadah.”

Ini adalah dalil diantara dalil-dalil yang menunjukan bahwasanya do’a adalah ibadah.

Kemudian beliau mengatakan – ‫ – ومنه الدعاء‬diantara ibadah adalah do’a.


Diantara dalilnya yang menunujukan bahwasanya do’a adalah ibadah dan tidak boleh
diserahkan kepada selain Allah adalah – “‫ – ”الدعاء مخ العبادة‬dan hadits ini di-dhoifkan oleh
sebagian ulama.

Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan di sana ada hadits lain yang shahih diriwayatkan oleh Abu
Dawud , At Tirmidzi, An-Nasai, dan juga Ibnu Majah, yaitu ucapan Nabi ‫ﷺ‬

‫الدعاء هو العبادة‬

“Do’a adalah Ibadah.”

Ini menunjukan kepada kita bahwasanya do’a adalah salah satu jenis ibadah yang wajib
diserahkan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diharamkan untuk menyerahkan
do’a ini kepada selain Allah.
Barangsiapa yang menyerahkan do’a dan meminta kepada selain Allah (berdo’a kepada
selain Allah), siapapun dia maka dia telah melakukan kesyirikan yang besar dan juga telah
melakukan kekufuran yang besar.

Dan beliau ‫ ﷺ‬ketika mengucapkan hadits ini beliau membaca ayat,

۞ ‫َو َق اَل َر ُّب ُك ُم اْد ُعوِني َأْس َت ِج ْب َلُك ْم ِإَّن اَّلِذيَن َي ْس َت ْك ِبُروَن َع ْن ِع َب اَد ِتي َس َي ْد ُخ ُلوَن َج َه َّن َم َد اِخ ِر يَن‬
[QS Ghafir 60]
Dan Rabb kalian telah berkata – ‫“ – اْد ُعوِني َأْس َت ِج ْب َلُك م‬Hendaklah kalian meminta kepada-Ku,
(berdo’a kepada-Ku), niscaya Aku akan mengabulkan do’a kalian.

Hendaklah kalian berdo’a kepada-Ku, kata Allah, perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
kepada kita semua, untuk supaya kita berdo’a hanya kepada Allah. Menunjukan
bahwasanya do’a adalah ibadah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah memerintahkan
kepada kita dengan sesuatu kecuali apabila sesuatu tersebut dicintai dan diridhoi oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Apabila itu dicintai dan diridhoi maka itu adalah ibadah.

‫ِإَّن اَّلِذيَن َي ْس َت ْك ِبُروَن َع ْن ِع َب اَدِتي َس َي ْد ُخ ُلوَن َج َه َّن َم َد اِخ ِر يَن‬

“Sesungguhnya orang-orang yang sombong dari beribadah kepada-Ku,”

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan – ‫ – َع ْن ِع َب اَد ِتي‬dan di awal ayat Allah menyuruh kita
untuk berdo’a, menunjukan bahwasanya berdo’a adalah ibadah,

‫َس َي ْد ُخ ُلوَن َج َه َّن َم َد اِخ ِر يَن‬

“Sungguh dia akan masuk ke dalam Jahanam dalam keadaan hina dina.”

Direndahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena dahulu di dunia dia sombong dan
tidak berdo’a a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan menyerahkan do’anya
(permintaanya) kepada selain Allah.

Do’a adalah ibadah wajib diserahkan kepada Allah dan diharamkan diserahkan kepada
selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan berdo’a kepada selain Allah hukumnya adalah syirik dan syiriknya di sini masuk di
dalam syirik akbar yang mengeluarkan seseorang dari keislaman, seperti seseorang yang
berdo’a kepada orang yang sudah meninggal, baik yang dinamakan dengan wali atau orang
yang shaleh, meminta kepadanya kebaikan atau meminta supaya dihindarkan dari mudhorot
dengan mengatakan Ya Fulan, Ya Fulan.

Maka ini semua adalah termasuk berdo’a kepada selain Allah dan ini termasuk kedholiman
yang besar dan termasuk kesyirikan yang mengeluarkan seseorang dari keislaman.
Tidak ada yang memberikan mudhorot kecuali Allah. Tidak ada yang bisa memberikan
kepada kita kebaikan kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seandainya seluruh makhluk berusaha untuk memberikan manfaat kepada kita tapi Allah
tidak menghendakinya, maka mereka tidak mungkin bisa memberikan manfaat kepada kita.
Dan sebaliknya, seandainya seluruh makhluk berusaha untuk memberikan mudhorot
kepada kita tapi Allah tidak menghendakinya, maka tidak mungkin mereka bisa memberikan
mudhorot kepada kita.

۞ ‫َو اَل َتْد ُع ِمْن ُدوِن ِهَّللا َم ا اَل َي ْن َفُع َك َو اَل َيُضُّر َك َف ِإْن َفَع ْلَت َف ِإَّن َك ِإًذ ا ِمَن الَّظ اِلِميَن‬
[QS Yunus 106]

“Janganlah kamu berdo’a kepada selain Allah, sesuatu yang tidak bisa memberikan manfaat
kepadamu dan juga tidak bisa memberikan mudhorot. Apabila engkau melakukannya maka
sungguh engkau termasuk orang-orang yang dholim (mendholimi dirinya sendiri).

۞ ‫… ۚ َو ِإن َي ْم َس ْس َك ُهَّللا ِبُضٍّر َف اَل َك اِش َف َلُه ِإاَّل ُه َو ۖ َو ِإن ُيِر ْد َك ِبَخ ْي ٍر َف اَل َر اَّد ِلَفْض ِلِه‬
[QS Yunus 107]

“Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin memberikan mudhorot kepadamu, maka tidak
ada yang bisa menyingkap/menghilangkan mudhorot tersebut kecuali Dia. Dan apabila Allah
Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kebaikan/karunia dan anugerah kepadamu, niscaya
tidak ada yang bisa menolak dan mencegah anugerah tersebut.”

Seorang Muslim meminta kebaikan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak boleh
meminta kebaikan kepada selain Allah. Meminta kesehatan, meminta rezeki, meminta
kesuksesan, meminta hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula di dalam
meminta untuk dijauhkan dari mudhorot dan juga musibah, tidak boleh memintanya kecuali
hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia-lah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bisa
menghilangkan musibah dan mudhorot dari seseorang.

Kemudian beliau mengatakan,

} ‫ {َف ال َتَخ اُفوُه ْم َو َخ اُفوِن ِإْن ُكْنُتْم ُمْؤ ِمِنيَن‬:‫ودليل الخوف قوله تعالى‬
[QS Ali Imran 175]

“Dan dalil – ‫ – الخوف‬yaitu rasa takut, yang menunjukan bahwasanya – ‫ – الخوف‬adalah


termasuk ibadah, adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya, Janganlah kalian
takut kepada mereka dan takutlah kalian kepada-Ku, seandainya kalian benar-benar orang-
orang yang beriman.”
Firman Allah – ‫ – َو َخ اُفوِن‬adalah perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita semua
supaya menyerahkan rasa takut ini hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menunjukan
bahwasanya – ‫ – الخوف‬rasa takut adalah dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Semakin seseorang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka akan semakin dicintai
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan takut yang dimaksud di sini adalah rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
menjadikan kita taat kepada Allah dan menjadikan kita meninggalkan kemaksiatan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini adalah takut yang diperintahkan.

Inilah yang dimaksud dengan Al Khaufu Al Mahmud (rasa takut yang dipuji, yang Allah
perintahkan).

Karena di sana ada rasa takut yang tercela yaitu apabila seseorang berlebih-lebihan di
dalam rasa takutnya sehingga menjadikan dia putus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa
Ta’ala, putus asa dari karunia Allah, putus asa dari ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan rahmat-Nya. Maka rasa takut yang seperti ini bukan terpuji, akan tetapi dia adalah rasa
takut yang tercela.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

۞ … ‫َو اَل َت ْي َأُسوا ِمْن َر ْو ِح ِهَّللا ِإَّن ُه اَل َي ْي َأُس ِمْن َر ْو ِح ِهَّللا ِإاَّل اْلَق ْو ُم اْلَك اِفُروَن‬
[QS Yusuf 87]

“Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari
pertolongan Allah (dari rahmat Allah) kecuali orang-orang yang kafir.”

Adapun orang muslim maka tidak berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan Allah mengatakan setelahnya – ‫“ – ِإْن ُكْنُتْم ُمْؤ ِمِنيَن‬Apabila kalian benar benar orang-orang
yang beriman.”
Menunjukan bahwasanya – ‫ – الخوف‬ini adalah termasuk Syu’bul Iman (termasuk cabang
diantara cabang-cabang keimanan). Kalau kita benar-benar beriman kepada Allah, beriman
kepada para Malaikat, beriman kepada Kitab-Kitab-Nya, beriman kepad Rasul-Nya, beriman
kepada hari akhir, beriman kepada takdir, hendaklah kita menyerahkan -‫ – الخوف‬ini hanya
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan di sana khauf/rasa takut dinamakan oleh para ulama dengan Khauf Thabi’i, yaitu Khauf
yang merupakan tabiat manusia artinya apabila seseorang memiliki rasa takut ini maka dia
tidak tercela dan ini bukan termasuk khauf ibadah, tetapi dia merupakan khauf tabiat
manusia. Seperti orang yang takut dari api, atau seseorang yang takut dari mudhorot orang
lain karena dia merasa bersalah. Tabiat manusia memang demikian apabila dia merasa
bersalah maka dia akan takut kepada orang yang dia dholimi, demikian pula seseorang
takut dari api, maka ini semua adalah termasuk takut yang thabi’i yang manusia tidak
selamat darinya bahkan para Nabi dan juga para Rasul ‘alaihimussalam.

Diceritakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an, Nabi Musa ‘alaihissalam
ketika beliau tidak sengaja memukul salah satu kaumnya Fir’aun, kemudian orang tersebut
meninggal dunia maka Nabi Musa ‘alaihissalam merasa bersalah dan beliau tinggal di kota
beliau dalam keadaan was-was (dalam keadaan takut), sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala,

۞ ‫َف َأْص َبَح ِفى ٱْلَمِد يَن ِة َخ ٓاِئًفا َي َت َر َّقُب‬


[QS.Al-Qashash 18]

“Maka jadilah Musa di kotanya dalam keadaan takut, dalam keadaan was-was.” karena
beliau merasa bersalah, merasa apa yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan, secara
tidak sengaja beliau membunuh salah satu dari kaumnya Fir’aun.

Rasa takut yang seperti ini adalah rasa takut yang tabiat tidak lepas manusia dari rasa takut
yang seperti ini dan ini tidak tercela.
Kemudian beliau mengatakan,

}‫ {َفَم ْن َك اَن َي ْر ُجوا ِلَقاَء َر ِّبِه َف ْلَي ْع َم ْل َعَم اًل َص اِلًح ا َو ال ُيْش ِر ْك ِبِعَب اَد ِة َر ِّبِه َأَح ًد ا‬:‫ودليل الرجاء قوله تعالى‬

Dan dalil bahwasanya harapan yaitu roja’ adalah termasuk ibadah adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang artinya, Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Rabb-
nya (pada hari kiamat) pertemuan dengan Allah Subhanahu wa Taala dalam keadaan yang
baik maka hendaklah dia beramal dengan amal yang shaleh dan janganlah dia
menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” [Al Kahfi 110]

Allah mengatakan – ‫ – َفَم ْن َك اَن َي ْر ُجوا‬maka barangsiapa yang mengharap, menunjukkan


bahwasanya mengharap pertemuan Allah, mengharap rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala
adalah termasuk ibadah yang seseorang dipuji apabila dia memiliki rasa Roja’ ini kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semakin seseorang tinggi di dalam mengharap kepada Allah,
mengharap rahmat-Nya, mengharap karunia-Nya, maka semakin dicintai oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala, karena roja’ adalah termasuk ibadah.
Halaqah 19 | Landasan Pertama Ma’rifatullah Bagian 7 Dalil Ibadah Tawakal

Beliau mengatakan,

‫ َو َع َلى ِهَّللا َفَت َو َّك ُلوا ِإْن ُكْنُتْم ُمْؤ ِمِنيَن‬:‫ودليل التوكل قوله تعالى‬

Dan dalil Tawakkul yaitu dalil bahwasanya Tawakkul adalah termasuk ibadah adalah firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Dan hendaklah kalian hanya bertawakal kepada Allah apabila kalian termasuk orang-orang
yang beriman.” [Al Maidah 23]

Allah mengatakan – ‫ – َفَت َو َّك ُلوا‬dan ini adalah perintah, “Hendaklah kalian bertawakal,” yaitu –
‫ على هللا‬-kepada Allah.
Dan sekali lagi apabila Allah memerintahkan sesuatu berarti sesuatu tersebut dicintai oleh
dan apabila dicintai maka itu adalah termasuk ibadah.

Menunjukan bahwasanya Tawakal (ketergantungan) ini adalah termasuk ibadah. Tidak


boleh seseorang bertawakal kepada selain Allah, bertawakal kepada sebab.
Bertawakal wajib diserahkan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun manusia
(adapun makhluk), maka mereka hanyalah sebab diantara sebab-sebab. Tidak boleh
seseorang bertawakal kepada sebab tersebut.

Di dalam masalah rezeki misalnya, maka kita diperintahkan untuk mengambil sebab
bagaimana cara mendapatkan rezeki tersebut dari cara yang halal. Namun di dalam
masalah Tawakal (ketergantungan) mengharapkan manfaat, maka seseorang hanya
bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sebab bisa menjadi sebab dan bisa seseorang tidak mendapatkan sesuatu yang dia
inginkan dari sebab tersebut, karena dia hanyalah sebab.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mengambil sebab tetapi tidak
menyuruh kita untuk bertawakal kepada sebab tersebut. Seseorang diperintahkan untuk
mengambil sebab kesembuhan dengan mencari obat pergi ke dokter,

‫تداووا عباد هللا تداووا وال تداووا بحرام‬


“Wahai hamba-hamba Allah, hendaklah kalian berobat dan janganlah kalian berobat dengan
sesuatu yang haram.”

Perintah untuk berobat dan mencari kesembuhan, tetapi obat tersebut belum tentu
mendapatkan hasilnya atau belum tentu seseorang sembuh dengan sebab tersebut, karena
itu adalah sebab.
Kalau Allah menghendaki maka Allah akan menyembuhkan kita dengan sebab tersebut dan
kalau Allah menghendaki maka tidak Allah berikan kesembuhan dari sebab tersebut.

Jadi dalam tawakal kita hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertawakal kepada
Allah bukan berarti meninggalkan sebab.
Dan mengambil sebab bukan berarti seseorang tidak bertawakal kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
Seseorang bisa mengumpulkan diantara dua perkara ini. Dia mengambil sebab dan
bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana Rasululllah ‫ ﷺ‬dahulu
memerintahkan sebagian shahabat untuk mengikat untanya dan bertawakal kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

‫ِاْغ ِقلَه ا َو َت َو َّك ْل‬

“Hendaklah engkau mengikat untamu (artinya supaya dia tidak pergi (tidak hilang).”
Dan ini adalah mengambil sebab) – ‫ – َو َت َو َّك ْل‬dan hendaklah engkau bertawakal kepada Allah.

Jadi seorang Muslim diperintahkan untuk mengambil sebab sehingga dia mendapatkan dan
terhindar dari musibah. Dan dia diperintahkan untuk bertawakal hanya kepada Allah tidak
bertawakal kepada sebab tersebut.

Di dalam hadits Rasulullah ‫ ﷺ‬mengatakan,

‫ َتْغ ُدو ِخَم اًصا َو َت ُرْو ُح ِبَط اًن ا‬،‫ َلُر ِز ْقُتم َك َم ا ُتْر َز ُق الَّط ْيُر‬،‫َلْو َأَّنُك ْم َت َو َّك ُلْو َن َع َلى ِهَّللا َح َّق َت َو ُّك ِلِه‬

“Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, niscaya Allah Subhanahu wa


Ta’ala akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana burung-burung diberikan
rezeki.”

Bagaimana mereka mendapatkan rezeki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala?


Mereka pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan mereka pulang sudah dalam keadaan
kenyang perutnya.

Inilah makna Tawakal yang sebenarnya. Bagaimana tawakal sebenarnya seperti tawakalnya
burung. Dan burung bertawakal bukan berdiam diri di sarangnya, akan tetapi dia mengambil
sebab. Di pagi hari dia pergi meninggalkan sarangnya berusaha bekerja kemudian Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberikan rezeki dengan sebab usaha yang dia lakukan. Pulang di
sore hari dalam keadaan sudah kenyang dan sudah hilang rasa laparnya.

}‫ {َو َم ْن َي َت َو َّك ْل َع َلى ِهَّللا َفُهَو َح ْس ُبُه‬:‫وقال‬

Dan diantara dalil bahwasnya Tawakal adalah termasuk ibadah adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
memberikan kecukupan kepadanya.” [Ath Thalaq 3]

Janji dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi siapa yang bertawakal (bergantung) kepada Allah
di dalam mendapatkan kebaikan dan di dalam terhindar dari musibah dan juga mudhorot.
Barangsiapa yang bertawakal hanya kepada Allah, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
memberikan kecukupan.
Dan sebaliknya, orang yang bertawakal kepada selain Allah, bertawakal kepada makhluk,
wali, orang shaleh yang sudah meninggal, jin, maka dia tidak akan mendapatkan
kecukupan. Hidup dalam keadaan takut, hidup dalam keadaan resah, dan tidak akan
mendapatkan kecukupan.

Adapun orang yang bertawakal kepada Allah, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akan
memberikan kecukupan kepadanya.
Janji dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang yang hanya bertawakal kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

‫وهللا تعالى أعلم‬

Halaqah 20 | Landasan Pertama Ma’rifatullah Bagian 8 Dalil Ibadah Raghbah, Rahbah,


Khusyu’, Khasyyah, dan Inabah

Beliau mengatakan,

} ‫ {ِإَّنُهْم َك اُنوا ُيَس اِر ُعوَن ِفي اْلَخ ْي َر اِت َو َي ْد ُع وَنَن ا َر َغًبا َو َر َه ًبا َو َك اُنوا َلَن ا َخ اِش ِعيَن‬:‫ودليل الرغبة والرهبة والخشوع قوله تعالى‬.
“Dan dalil bahwasanya Raghbah dan Rahbah dan juga Khusyu’ adalah termasuk ibadah,
adalah fiman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: Sesungguhnya mereka (orang-orang
yang shaleh), mereka senantiasa berlomba-lomba dan bersegera untuk melakukan
kebaikan dan mereka berdo’a kepada kami dalam keadaan – ‫ – َر َغًبا‬dan – ‫ – َو َر َه ًبا‬dan mereka
khusyu’ terhadap kami.” [Al Anbiya 90]

Yang dimaksud dengan Raghbah maknanya dekat dengan Ar Roja’, yaitu rasa mengharap.
Tapi Raghbah di sini maksudnya adalah rasa Roja’ yang sangat kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala.

Dan yang dimaksud dengan Rahbah yaitu kesungguhan di dalam rasa takut kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun Khusyu’ yaitu seseorang tenang, khusyu’ kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka
ini adalah termasuk sifat-sifat orang-orang yang sholeh.

Seseorang ketika berdo’a kepada Allah (beribadah kepada Allah) diantara Raghbah dan
Rahbah, mengharap rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ibadah tersebut dan dia
takut apabila tidak diterima ibadahnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

‫َو َك اُنوا َلَن ا َخ اِش ِعين‬

“Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Khusyu’ adalah termasuk ibadah yang harus kita serahkan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Tidak boleh seseorang khusyu’ kepada selain Allah karena sebagian kita lihat
khusyu’ kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika berada di depan kuburan, di depan
orang yang shaleh yang diagungkan dia dalam keadaan khusyu’ sebagaimana dia di depan
Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Khusyu’ kepada makhluk, kepada selain Allah sebagaimana dia khusyu’ kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, maka perbuatan seperti ini adalah tidak diperbolehkan.
Al-Khusyu’ adalah termasuk ibadah yang tidak boleh kita serahkan kecuali kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

‫ودليل الخشية قوله تعالى‬


Dan dalil tentang Al Khasyyah adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

{‫}َف ال َت ْخ َش ْو ُه ْم َو اْخ َش ْو ِني‬


]Al Baqarah 150]

Yang dimaksud dengan Khasyyah adalah rasa takut tetapi dia adalah rasa takut yang lebih
khusus.

Para ulama menyebutkan Al Khasyyah adalah rasa takut yang didasari oleh ilmu.
Karena rasa takut ada dua: takut apabila tidak didasari oleh sebab (ilmu) maka dinamakan
dengan Khauf, tetapi kalau didasari oleh ilmu maka dinamakan dengan Khasyyah.
Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan di dalam Al-Qur’an, memuji para
ulama yang mereka adalah orang-orang yang berilmu.

۞..‫…ِإَّنَم ا َي ْخ َش ى َهَّللا ِمْن ِع َباِدِه اْلُع َلَم اُء‬

“Sesungguhnya orang-orang yang Khasyyah kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya


adalah para ulama.” (Fathir 28]

Yang memiliki sifat Khasyyah adalah para ulama. Kenapa demikian? Karena mereka takut
kepada Allah dengan ilmunya, didasari dengan ilmu yang Allah berikan kepada mereka.

Allah tidak mengatakan,

‫ِإَّنَم ا يخاف هللا من عباده العلماء‬

Tetapi Allah mengatakan – ‫ – ِإَّنَم ا َي ْخ َش ى َهَّللا‬karena mereka tahu nama-nama Allah Subhanahu
wa Ta’ala, mereka mengenal sifat-sifat Allah yang Allah kabarkan di dalam Al-Qur’an
maupun melalui lisan Nabi-Nya ‫ ﷺ‬di dalam hadits. Ilmu yang mereka miliki menjadikan
mereka Khasyyah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

‫قوله تعالى‬

Dalil bahwasanya Khasyyah adalah ibadah adalah firman Allah yang artinya,
“Janganlah kalian takut kepada mereka dan hendaklah kalian takut kepada-Ku.”

Ucapan Allah Subhanahu wa Ta’ala – ‫“ – َو اْخ َش ْو ِني‬Hendaklah kalian Khasyyah kepada-Ku


(takut kepada-Ku)”, menunjukan bahwasanya Khasyyah ini adalah termasuk ibadah, karena
diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kemudian beliau mengatakan,

‫َو َأِنيُبوا ِإَلى َر ِّب ُك ْم َو َأْس ِلُموا َلُه‬:‫ودليل اإلنابة قوله تعالى‬

Dan dalil bahwasanya Inabah adalah termasuk ibadah adalah firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala, “Dan hendaklah kalian ber-Inabah kepada Allah (kepada Rabb kalian) dan hendaklah
kalian menyerahkan diri kalian kepada Allah.” [Az Zumar 54]

Yang dimaksud dengan Inabah adalah kembali. Kita diperintahkan untuk ber-Inabah
(kembali) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apabila seseorang suatu saat lupa kepada Allah, maka hendaklah dia segera ingat dan
kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketika dia merasa menjauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melanggar perintahnya,
melakukan apa yang dilarang (diharamkan) dan ini adalah termasuk bentuk penjauhan dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kita diperintahkan untuk Inabah (kembali) kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

Halaqah 21 | Landasan Pertama Ma’rifatullah Bagian 9 Dalil Ibadah Isti’anah

Beliau mengatakan,

‫ “إذا استعنت فاستعن باهلل‬:‫ وفي الحديث‬.} ‫ {ِإَّياَك َن ْع ُبُد َو ِإَّياَك َن ْس َت ِعيُن‬:‫”ودليل االستعانة قوله تعالى‬

Yang artinya,
“Dan dalil Isti’anah, (Isti’anah artinya memohon pertolongan, ista’ana – yasta’inu artinya
adalah memohon pertolongan), dalil bahwasanya memohon pertolongan adalah termasuk
ibadah adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu di dalam Surat Al Fatihah,
۞ ‫ِإَّياَك َن ْع ُبُد َو ِإَّياَك َن ْس َت ِعين‬

“Hanya kepada-Mu lah (Ya Allah) kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah(Ya Allah)
kami memohon pertolongan.”

Dan ini dibaca di dalam shalat kita setiap rakaat. Masing-masing dari kita senantiasa
membaca ayat ini. Pengakuan dari seorang hamba dan janji dari seorang hamba
bahwasanya dia hanya menyembah kepada Allah dan dia hanya memohon pertolongan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Menunjukan kepada kita bahwasanya Al-Isti’anah adalah termasuk Ibadah, karena Allah di
sini mengatakan -ُ ‫ – َو ِإَّياَك َن ْس َت ِعين‬hanya kepada-Mu lah Ya Allah, kami memohon pertolongan.

Dan disebutkan Isti’anah setelah Ibadah karena seseorang tidak mungkin bisa beribadah
dengan baik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali apabila mendapatkan pertolongan
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Seseorang tidak mungkin bisa beriman dengan baik kecuali apabila ditolong oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tidak mungkin bisa melakukan shalat dengan ikhlas dan sesuai dengan sunnah Rasulullah
‫ ﷺ‬kecuali apabila ditolong oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tidak mungkin bisa bershodaqoh kecuali apabila dia ditolong oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Dan seluruh ibadah yang dilakukan, baik hajinya, umrohnya, dan seluruh ibadah yang
dilakukan, tidak mungkin bisa dia kerjakan (diamalkan), kecuali apabila mendapatkan
pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda,

‫لوال هللا ما اهتدينا وال تصدقنا وال صلينا‬

“Kalau bukan karena Allah niscaya kita tidak mungkin mendapatkan hidayah dan tidak
mungkin bershodaqoh dan tidak mungkin kita melakukan shalat.”
Tidak mungkin seorang hamba bisa melakukan itu semua kecuali setelah ditolong Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

– ‫– ِإَّياَك َن ْع ُبُد َو ِإَّياَك َن ْس َت ِعين‬

“Hanya kepada-Mu lah Ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah Ya Allah kami
memohon pertolongan.”

Jangan sampai seorang hamba di dalam melakukan ibadah bertawakal kepada dirinya
sendiri dan lupa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala seakan-akan dialah yang bisa
melaksanakan ibadah dengan kemampuan dia sendiri, dengan ilmu yang dimiliki, dengan
harta yang dia miliki. Lupa beristi’anah dan memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Dan yang demikian adalah tercela. Seseorang tidak ber-Isti’anahkepada Allah
dan bertawakal kepada dirinya sendiri di dalam ibadah.

Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah berdoa,

‫َو َال َت ِك ْلِنْي ِإَلى َن ْف ِس ْي َط ْر َفَة َع ْي ٍن‬

“Ya Allah janganlah Engkau jadikan aku bertawakal kepada diriku sendiri meskipun hanya
sekejap mata.”

Beliau ‫ ﷺ‬berdo’a kepada Allah jangan sampai dijadikan termasuk orang yang
bertawakal kepada dirinya sendiri seakan-akan dialah yang mampu melakukan ini semua.
Bertawakal kepada dirinya sendiri adalah termasuk perkara yang tercela.

Seorang beribadah kepada Allah dan memohon pertolongan kepada Allah di dalam ibadah
tersebut dan ini bukan hanya di dalam masalah ibadah, bahkan di dalam perkara dunia kita
juga diperintahkan untuk ber-Isti’anah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (memohon
pertolongan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di dalam mencari rezeki, menyelesaikan pekerjaan, dan di dalam perkara-perkara dunia


yang lain di dalam kehidupan kita sehari-hari, memohon pertolongan kepada Allah di dalam
perkara yang bermanfaat.

Sebagaimana sabda Nabi ‫ﷺ‬

‫اْح ِر ْص َع َلى َم ا َي ْن َفُع َك َو اْس َت ِعْن ِباِهَّلل َو َال َت ْع ِج ْز‬


“Hendaklah engkau bersemangat untuk melakukan apa yang memberi manfaat kepadamu
dan hendaklah engkau memohon pertolongan kepada Allah.”

Kita disuruh untuk semangat melakukan perkara yang memberi manfaat bagi diri kita dan ini
mencakup perkara agama dan juga perkara dunia dan kita diperintahkan setelah itu dan
hendaklah engkau memohon pertolongan kepada Allah. Demikianlah seorang muslim dalam
kehidupan sehari-hari, dia hanya menyembah kepada Allah dan dia hanya memohon
pertolongan (bantuan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di sana ada Ist’anah yang merupakan ibadah sebagaimana dalam ayat ini,

۞ ‫ِإَّياَك َن ْع ُبُد َو ِإَّياَك َن ْس َت ِعين‬

Dan ini tidak boleh diserahkan kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.

Isti’anah yang merupakan Ibadah adalah Isti’anah yang isinya di dalamnya ada rasa Dzul
(rasa merendahkan diri) di hadapan Dzat yang dimintakai pertolongan.
Dan di dalamnya ada mahabbah dan iftiqor (ketergantungan). Apabila diserahkan kepada
makhluk yang hidup maupun yang mati, meminta pertolongan kepadanya dengan
merendahkan dirinya seakan-akan dia adalah Tuhan, dengan penuh rasa cinta, dengan
rasa ketergantungan, seakan-akan dia yang memberikan manfaat dan juga memberikan
mudhorot, seakan-akan di tangannya manfaat dan juga mudhorot, maka ini tidak
diperbolehkan dan hukumnya adalah haram. Dan ini hukumnya adalah termasuk Syirik
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Seperti seseorang yang ber-Isti’anah kepada orang yang sudah meninggal, baik dia adalah
orang yang shaleh maupun selain orang yang shaleh. Ber-Isti’anah kepada orang yang
sudah meninggal adalah perkara yang diharamkan.

Dan di sana ada Ist’anah dengan makhluk yang diperbolehkan apabila memenuhi tiga
syarat:

1. Orang tersebut yang dimintai tolong adalah masih hidup.


2. Dia hadir di depan kita sehingga memungkin dia untuk menolong atau mendengar ucapan
kita atau di zaman sekarang bisa dari jarak jauh dengan syarat dia mendengar apa yang kita
ucapkan. Seperti seseorang yang meminta pertolongan kepada orang lain melalui alat
komunikasi (seperti hp, telpon) kemudian meminta pertolongan, meminta bantuan. Maka ini
diperbolehkan.
3. Tidak boleh seseorang bertawakal kepada sebab tersebut dan harus meyakikni
bahwasanya itu hanyalah sebab. Adapun tawakal maka harus dia diserahkan hanya kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.

Apabila terpenuhi tiga syarat ini maka boleh seseorang Isti’anah kepada makhluk.

‫ “إذا استعنت فاستعن باهلل‬:‫”وفي الحديث‬

“Dan di dalam sebuah hadits Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, apabila engkau ber-Isti’anah,


maka hendaklah engkau ber-Isti’anah kepada Allah.”

Halaqah 22 | Landasan Pertama Ma’rifatullah Bagian 10 Dalil Ibadah Isti’adzah

Beliau mengatakan,

} ‫ و{ُقْل َأُعوُذ ِبَر ِّب الَّن اِس‬،} ‫ {ُقْل َأُعوُذ ِبَر ِّب اْلَفَلِق‬:‫ودليل االستعاذة قوله تعالى‬

Dan dalil Al- Isti’adzah,


Yang dimaksud dengan Isti’adzah adalah memohon perlindungan.
“Dalil bahwasanya Al-Isti’adzah adalah termasuk Ibadah adalah firman Allah, Katakanlah
aku berlindung dengan Rabb-Nya waktu subuh dan juga firman Allah, Katakanlah aku
berlindung dengan Rabb-Nya manusia.”

Ini menunjukan bahwasanya Isti’adzah adalah termasuk Ibadah karena di dalam dua ayat
yang mulia ini (Al-Falaq dan juga An-Naas), Rasulullah ‫ ﷺ‬diperintahkan untuk
mengatakan ‫ َأُعوُذ ِبَر ِّب اْلَفَلق‬Aku berlindung dengan Rabb-Nya Al Falaq yaitu Rabb-Nya waktu
subuh, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan beliau diperintahkan di dalam surat An Naas,
katakanlah aku berlindung dengan Rabb-Nya manusia, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dua surat ini dalil bahwasanya Al-Isti’adzah hanya boleh diperuntukan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala karena ditangan-Nya lah kebaikan dan juga kejelekan. Apabila Allah
Subhanahu wa Ta’ala menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka tidak ada yang
bisa menolak dan mencegahnya dari hamba tersebut. Dan apabila Allah Subhanahu wa
Ta’ala menghendaki kejelekan bagi seorang hamba, maka tidak ada yang bisa
mencegahnya siapapun dia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia-lah yang memberikan manfaat dan juga memberikan
mudhorot. Tidak boleh seorang hamba memohon perlindungan dari kejelekan kepada selain
Allah siapapun dia, kalau dia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala, bagaimanapun kedudukannya di sisi manusia maka tidak boleh kita ber-Isti’adzah
kepada makhluk tersebut, baik seorang Nabi atau seorang Malaikat atau makhluk yang lebih
rendah kedudukannya dari pada Nabi dan juga Malaikat.

Tidak boleh seorang hamba ber-Isti’adzah kepada selain Allah, seperti seseorang yang ber-
Isti’adzah kepada jin dari kejelekan jin yang lain. Maka ini diharamkan di dalam Islam.

Jin adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, demikian pula seperti
manusia, yaitu untuk beribadah kepada Allah. Dan dia adalah makhluk yang lemah. Tidak
boleh seseorang ketika melewati sebuah tempat atau memiliki rumah baru, meminta
perlindungan kepada jin atau raja jin dari kejelekan jin yang lain. Yang wajib adalah meminta
perlindungan kepada Allah karena Dia-lah yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akan
melindungi hamba-Nya.

Oleh karena itu diantara petunjuk Nabi ‫ ﷺ‬apabila kita menempati sebuah tempat yang
baru atau melewati sebuah tempat dan bersinggah di situ, membaca doa yang diajarkan
oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬yaitu,

‫َأُعوُذ ِبَك ِلَماِت ِهللا الَّت اَّماِت ِمْن َش ِّر َم ا َخ َلق‬

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna.”

Dan ini adalah termasuk berlindung dengan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala karena
kalimat-kalimat Allah adalah kalamullah dan kalamullah adalah sifat Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

Apabila seseorang membaca doa ini, sebagaimana sabda Nabi ‫ﷺ‬

‫َلم َيضَّر ُه َش يٌء حتى َي ْر َت ِحَل َم ن َم ْن ِز ِله ذلك‬

Maka tidak akan dimudhoroti oleh sesuatu apapun sampai dia meninggalkan tempat
tersebut.
‫هللا تعالى أعلم‬

‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Halaqah 23 | Landasan Pertama Ma’rifatullah Bagian 11 Dalil Ibadah Istighotsah

Beliau mengatakan,

} ‫ {ِإْذ َت ْس َت ِغيُثوَن َر َّب ُك ْم َف اْس َت َج اَب َلُك ْم‬:‫ودليل االستغاثة قوله تعالى‬

Dan dalil tentang Istighotsah.

Istighotsah (‫)االستغاثة‬
Artinya adalah memohon kepada Allah, memohon supaya dilepaskan dari kesusahan. Dan
perbedaan antara Istighotsah dengan Isti’adzah, Al-Isti’adzah adalah memohon
perlindungan di sebuah kejelekan, artinya kejelekannya belum terjadi (belum ada) dan kita
memohon perlindungan kepada Allah supaya jangan sampai tertimpa oleh kejelekan
tersebut.
Adapun Istighotsah maka ini musibahnya sudah terjadi, sudah menimpa seseorang dan kita
memohon supaya musibah tersebut diangkat dan dihilangkan.

Istighotsah juga termasuk ibadah. Isti’adzah demikian pula Istighotsah kedua-duanya adalah
termasuk Ibadah yang tidak boleh diserahkan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dalilnya (kata beliau) adalah firman Allah),

۞ ‫ِإْذ َت ْس َت ِغيُثوَن َر َّب ُك ْم َف اْس َت َج اَب َلُك م‬

“Ketika kalian ber-Istighotsah kepada Rabb kalian maka Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengabulkan do’a kalian.” [Al Anfal 9]

Dan ayat ini Allah turunkan berkenaan dengan Istighotsahnya Rasulullah ‫ ﷺ‬dan para
sahabat di perang Badr. Ketika mereka bertempur melawan orang-orang musyrikin Quraisy
yang jumlahnya tiga kali lipat dari jumlah mereka, karena orang Quraisy saat itu jumlanya
1000 kurang lebih, adapun kaum muslimin hanya 300-an maka Rasulullah ‫ ﷺ‬ber-
Istighotsah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala demikian pula para shahabat radhiyallahu
anhum.

Tidak boleh seseorang di dalam usaha menghilangkan kejelekan dan musibah dari dirinya
atau orang lain ber-Istighotsah kepada selain Allah, karena Istighotsah adalah ibadah. Tidak
boleh seseorang ber-Istighotsah kepada syuhada atau yang dinamakan dengan Rijaalallah,
karena Istighotsah kepada mereka adalah termasuk Istighosah dengan makhluk dan ini
diharamkan di dalam Islam.
Ber-Istighotsah adalah ibadah, harus dan hanya diserahkan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

Dan di sana ada Istighotsah kepada makhluk yang diperbolehkan. Boleh seseorang beri
-Istighotsah meminta pertolongan kepada yang lain apabila terkena musibah dengan tiga
syarat:
1. Orangnya masih hidup
2. Hadir di depan kita atau dia mendengar apa yang kita ucapkan
3. Tidak bertawakal dengan sebab tersebut
Ditambah syarat yang ke:
4. Di dalam perkara yang dia mampu untuk melakukannya sebagai manusia

Apabila terpenuhi empat syarat ini maka boleh seseorang ber-Istighotsah kepada orang lain,
seperti orang yang misalnya sedang didholimi oleh seorang perampok atau seorang begal,
kemudian dia melihat di depannya seorang polisi atau petugas keamanan, maka dia ber-
Istighotsah dengan atau kepada polisi tersebut. Dia dalam keadaan hidup (hadir) di depan
dia atau dia telepon dan dia mampu sebagai seorang manusia menolong dengan sebab
tertentu.
Kemudian syarat yang ke-4 tidak boleh kita bertawakal kepada polisi tersebut,
bertawakalnya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kalau Allah menghendaki kita akan ditolong dengan sebab polisi tersebut, kalau Allah
menghendaki maka tidak demikian, artinya polisi hanya sebagai sebab.

‫هللا تعالى أعلم‬

Halaqah 24 | Landasan Pertama Ma’rifatullah Bagian 12 Dalil Ibadah Menyembelih


Beliau mengatakan,

‫ودليل الّذ بح قوله تعالى‬


(‫) ُقۡل ِإَّن َص اَل ِتی َو ُنُسِكی َو َم ۡح َی اَی َو َمَم اِتی ِهَّلِل َر ِّب ٱۡل َع ٰـ َلِمیَن ۝ اَل َش ِر یَك َلُهۖۥ‬
[Surat Al-An’am 162 – 163]

“Dan dalil bahwasanya menyembelih hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata,
dalam firman Allah,

“Katakanlah sesungguhnya sholatku, dan sembelihanku, dan hidupku, dan juga matiku
adalah lillaah, untuk Allah Rabbil ‘Alamin, Rabb Semesta Alam, tidak ada sekutu baginya.”

Allah mengatakan di dalam ayat ini ‫ َو ُنُسِكى‬dan ‘nusuk’ maknanya adalah sembelihan.

‫ِهَّلِل َر ِّب ٱۡل َع ٰـ َلِمیَن‬

Berikrar seorang muslim, bahwasanya sholatnya, ibadahnya, do’anya, demikian pula


sembelihannya, amalan yang dilakukan ketika hidup, amalan yang dilakukan ketika dia
meninggal dunia, adalah untuk Allah Rabbul ‘Alamin.
Menunjukkan bahwasanya sembelihan hanya untuk Allah, tidak boleh diserahkan kepada
yang lain, tidak ada sekutu baginya.

Menyembelih bisa berupa ibadah. Dan apabila berupa ibadah maka tidak boleh seseorang
menyembelih kecuali untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tidak boleh seseorang menyembelih dengan niat mengagungkan selain Allah, seperti
seseorang yang menyembelih untuk jin, meskipun jin tersebut dinamai dengan berbagai
nama, dinamai dengan Nyi Fulan, atau Kyai Fulan, atau dinamai dengan ‘yang mbahurekso’,
dan intinya adalah semuanya jin.

Tidak boleh seseorang menyembelih seekor hewan misalnya, dengan tujuan untuk
mengagungkan kepada makhluk seperti jin misalnya, dan ini semua adalah termasuk syirik.
Karena menyembelih adalah ibadah, jika diserahkan kepada selain Allah maka orang yang
melakukannya adalah orang yang musyrik (menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala) di
dalam ibadahnya.
Dan syirik di sini bukan syirik yang kecil. Orang yang menyembelih untuk selain Allah, maka
dia terjerumus ke dalam syirik yang besar, yang mengeluarkan dia dari Islam dan
membatalkan seluruh amalannya.
Dan apabila dia meninggal dunia maka dia tidak akan diampuni dosa syirik tersebut oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala.

‫ِإَّن َهَّللا ال َي ْغ ِفُر َأْن ُيْش َر َك ِبِه َو َي ْغ ِفُر َم ا ُدوَن َذ ِلَك ِلَم ْن َي َش اُء‬

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik.” [QS. An-Nisa : 48]

Oleh karena itu hati-hati seorang muslim di dalam masalah ibadah ini (menyembelih) jangan
sampai dia dalam kasus tertentu diperintahkan oleh orang lain untuk menyembelih untuk
selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kemudian beliau mengatakan,

}‫{َلَع َن ُهللا َم ْن َذ َبَح ِلَغ ْي ِر ِهللا‬: ‫ومن السنة‬

“Dan dalil dari sunnah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam,

‫َلَع َن ُهللا َم ْن َذ َبَح ِلَغ ْي ِر ِهللا‬

“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.” [Hadits shahih riwayat Muslim
nomor 1978]

Dan makna dari laknat Allah adalah dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Orang yang dilaknat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia dijauhkan dari rahmat Allah,
dari kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hidup di dunia dalam keadaan tidak memiliki
kasih sayang.
Menunjukkan bahwasanya menyembelih adalah ibadah yang tidak boleh diserahkan kepada
selain Allah.

‫َو َم ن َي ْلَع ِن ُهَّللا َف َلن َت ِج َد َلُه َن ِص يًر ا‬

“Barangsiapa yang Allah laknat maka dia tidak akan menemukan penolong.” [QS. An-Nisa
52]
Bagaimana orang yang dilaknat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala mendapatkan
pertolongan?

Oleh karena itu, ini menunjukkan tentang bahaya menyembelih untuk selain Allah. Tidak
boleh seseorang menyembelih untuk makhluk dengan maksud ta’dhim (mengagungkan dia),
merendahkan dirinya di hadapannya, mengharapkan manfaat, dan juga menghindarkan
mudharat dari dirinya, kemudian dia menyembelih untuk makhluk tersebut.

‫هللا تعالى أعلم‬

Halaqah 25 | Landasan Pertama Ma’rifatullah Bagian 13 Dalil Ibadah Bernadzar

Beliau mengatakan,

}‫ {ُیوُفوَن ِبٱلَّن ۡذ ِر َو َی َخ اُفوَن َی ۡو ࣰما َك اَن َش ُّر ُهۥ ُم ۡس َت ِط ی ࣰرا‬:‫ودليل الّنذر قوله تعالى‬

Dan dalil bahwasanya nadzar adalah termasuk ibadah adalah firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang artinya,
“Mereka menyempurnakan nadzarnya dan takut pada sebuah hari di mana ( ‫ )شّر‬kejelekan
pada hari tersebut menyebar (yaitu pada hari kiamat).” [QS. Al Insan 7]

Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji di dalam ayat ini, orang-orang beriman yang mereka
menyempurnakan nadzarnya.
Mereka menyempurnakan nadzar dan takut apabila tidak menyempurnakan nadzar akan
tertimpa kejelekan di hari kiamat.
Menunjukkan bahwasanya menyempurnakan nadzar adalah perkara yang dicintai oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala, karena di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-
orang yang menunaikan nadzarnya, maksudnya nadzar untuk berbuat taat.

Seseorang bernadzar untuk melakukan umrah, bernadzar untuk melakukan shadaqah.


Menyempurnakan nadzar adalah ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dicintai,
diridhoi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan wajib seseorang untuk menyempurnakan
nadzar.
‫َم ْن َن َذ َر َأْن ُيِط يَع َهَّللا َفْلُيِط ْع ُه‬

“Barangsiapa yang bernadzar untuk mentaati Allah, maka hendaklah dia mentaati Allah
Subhanahu wa Ta’ala.” [Hadits shahih riwayat Al Bukhari nomor 6696]

Dan para ulama menyebutkan bahwasanya memulai nadzar hukumnya adalah makruh. Dan
apabila seseorang sudah terlanjur bernadzar, maka dia wajib untuk menunaikan nadzarnya
tersebut.

Memulai nadzar adalah makruh (dibenci di dalam syar’iat).

Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam,

‫ِإَّنُه َال َي ْأِتي ِبَخ ْي ٍر َو ِإَّن َم ا ُيْس َت ْخ َر ُج ِبِه ِمَن اْلَب ِخيِل‬

“Sesungguhnya nadzar ini tidak mendatangkan kebaikan akan tetapi nadzar ini keluar dari
orang yang bakhil.” [Hadits shahih riwayat Muslim nomor 1639]

Kenapa demikian?
Karena orang yang bernadzar, misalnya mengatakan,
“Ya Allah, seandainya aku lulus ujian, maka aku akan berpuasa tiga hari atau aku akan
berpuasa Senin Kamis bulan depan.”

Artinya apabila dia lulus ujian, maka dia akan berpuasa tetapi kalau dia tidak lulus ujian
maka dia tidak berpuasa.
Dia tidak melakukan ketaatan tersebut kecuali apabila hajatnya dipenuhi oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan ini adalah orang yang bakhil di dalam ibadahnya.

Dan nasihat kita, jangan sampai kita bermudah-mudah untuk bernadzar, karena belum tentu
apabila kita terpenuhi hajatnya, kemudian saat itu kita mampu untuk melakukan nadzar
tersebut.
Terkadang seseorang sakit, terkadang dia memiliki kesibukan atau di sana ada keadaan-
keadaan (kondisi) yang menjadikan dia tidak bisa menunaikan nadzarnya.
Seseorang beribadah kepada Allah dan berusaha taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
tanpa harus bernadzar.
Dan bernadzar disyaratkan tidak boleh di dalam kemaksiatan.
Apabila seseorang bernadzar untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh menunaikan nadzar
tersebut.

Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam,

‫َو َم ْن َن َذ َر َأْن َي ْع ِص َي َهَّللَا َف اَل َي ْع ِص ِه‬

“Barangsiapa bernadzar untuk memaksiati Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka janganlah dia
berbuat maksiat.” [Hadits shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 6700)

Karena ada sebagian orang bernadzar untuk berbuat maksiat, seandainya terpenuhi hajat
tertentu maka dia akan berjudi atau akan berzina, atau akan melakukan ini dan itu. Kalau itu
adalah kemaksiatan maka tidak boleh dia menunaikan nadzarnya.

Jadi kesimpulannya bahwasanya:


Nadzar adalah ibadah, tidak boleh kita serahkan nadzar ini kepada selain Allah.

Bagaimana nadzar kepada selain Allah?


Seseorang bernadzar untuk wali yang sudah meninggal, “Seandainya aku begini dan begitu
niscaya aku akan menyembelih untuk wali fulan atau aku akan melakukan ini untuk wali
fulan”, maka ini adalah bernadzar untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan ini hukumnya syirik, bahkan termasuk syirik besar, yang membatalkan amalan,
mengeluarkan seseorang dari Islam, dan apabila dia meninggal tanpa berbertaubat kepada
Allah, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengampuni dosa ini.

Dengan demikian kita sudah menyelesaikan poin yang pertama dari apa yang ingin beliau
sampaikan yaitu tentang Ma’rifatullah (mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala).

Halaqah 26 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Muqoddimah Bagian 01

Kita lanjutkan, setelah kita menyelesaikan landasan yg pertama, kita masuk pada Al Ashlu
Ats Tsani (landasan yang ke-2), diantara 3 landasan yang wajib hukumnya kita pelajari,
harus kita amalkan, kita dakwahkan, dan kita harus bersabar di dalam mempelajarinya, yaitu
tentang Ma’rifatu Dinil Islami Bil Adillah.
Ucapan beliau,

‫األصل الثاني ؛ معرفة دين اإلسالم باألدلة‬

Landasan yang ke dua: Mengenal Agama Islam dengan dalil-dalil-nya.

Ini adalah pondasi yang ke-2. Setelah mengenal Allah adalah mengenal Agama Islam. Dan
yang dimaksud dengan Dienul Islam di sini adalah Dienul Islam dengan makna yang
khusus, yaitu agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬.

Dienul Islam terkadang maknanya adalah umum, Dienul Islam dengan makna yang umum
adalah agama Islam yang merupakan agama seluruh para Nabi dan juga para Rasul.
Maka seluruh Nabi dan Rasul Agama mereka satu, yaitu agama Islam, baik Nabi Adam,
Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan seluruh para Nabi mereka agamanya
adalah agama Islam.

Di dalam sebuah ayat ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang Nabi Ibrahim
‘alaihissalam,
Allah mengatakan kepadanya,

‫ِإْذ َق اَل َلُه َر ُّبُه َأْس ِلْم ۖ َقاَل َأْس َلْم ُت ِلَر ِّب اْلَع اَلِميَن‬
[QS Al Baqorah 131]

“Ketika Allah Subhanallahu wa Ta’ala berkata kepada Ibrahim, Islam-lah kamu, beliau
mengatakan, Aku Islam, Aku Menyerahkan diri untuk Allah Rabbul ‘Alamin.”

Menunjukan bahwasanya agama Nabi Ibrahim adalah Islam. Dan ayat yang selanjutnya
bagaimana Ibrahim berpesan kepada anak-anaknya dan juga Ya’qub.

( ‫)َو َو َّص ٰى ِبَه ۤا ِإۡب َر اِه ۧـُم َبِنیِه َو َی ۡع ُقوُب َیٰـ َبِنَّی ِإَّن ٱَهَّلل ٱۡص َط َفٰى َلُك ُم ٱلِّد یَن‬

[Surat Al-Baqarah 132]

“Dan ibrahim berwasiat dengannya (dengan wasiat Islam) kepada anak-anaknya dan Ya’qub
juga demikian itulah yang beliau wasiatkan.”
– ‫– َیٰـ َبِنَّی ِإَّن ٱَهَّلل ٱۡص َط َف ى‬

“Wahai anak-anakku, Sesungguhnya Allah telah memilihkan bagi kalian agama Islam, yang
Allah pilihkan untuk kalian,” kemudian beliau berpesan,

– ‫– َف اَل َت ُموُتَّن ِإاَّل َو َأنُتم ُّم ۡس ِلُموَن‬

“Maka janganlah kalian meninggal dunia kecuali kalian dalam keadaan muslim. Dalam
keadaan memegang agama ini, yaitu agama Islam.”

Ini adalah wasiat Nabi Ibrahim, Nabi Ya’qub, untuk putra-putra mereka supaya mereka
istiqomah di atas Islam. Agama mereka adalah agama Islam.

‫َأۡم ُك نُتۡم ُشَه َد ۤا َء ِإۡذ َح َض َر َی ۡع ُقوَب ٱۡل َم ۡو ت‬

“Apakah kalian menghadiri ketika kematian menghadiri Ya’qub?”

ُ ‫ِإۡذ َق اَل ِلَبِنیِه َم ا َتۡع ُبُدوَن ِم ۢن َب ۡع ِد ۖی‬

“Ketika dia berkata kepada putra-putranya, apa yang kalian sembah setelah aku meninggal
dunia?”

‫)َق اُلو۟ا َنۡع ُبُد ِإَلٰـَهَك َو ِإَلٰـَه َء اَب ۤا ِٕىَك ِإۡب َر اِه ۧـ َم َو ِإۡس َمٰـ ِعیَل َو ِإۡس َح ٰـ َق ِإَلٰـ ࣰها َو ا ِح ࣰدا َو َنۡح ُن َلُهۥ ُم ۡس ِلُموَن‬
[Surat Al-Baqarah 133]

“Mereka mengatakan Kami menyembah Tuhanmu dan Dia adalah Tuhan bagi bapak-bapak-
mu (Ibrahim, Ismail, Ishaq) satu sesembahan saja, dan kami hanya berislam menyerahkan
diri kepada Ilah tersebut.”
Inilah agama Nabi Ibrahim, agama Nabi Ya’qub, Ismail.

Ketika Nabi Sulaiman mengirim surat kepada Bilqis,

‫َق اَلۡت َی ٰۤـَأُّیَه ا ٱۡل َم َلُؤ ۟ا ِإِّنۤی ُأۡل ِقَی ِإَلَّی ِك َت ٰـ ࣱب َك ِر یٌم‬
[QS An-Naml 29]

“Berkata Bilqis, wahai anak buahku, sesungguhnya aku telah dilemparkan kepadaku sebuah
surat yang mulia (karena saat itu yang membawa surat adalah Hud-Hud).”

‫ِإَّنُهۥ ِمن ُس َلۡی َمٰـَن َو ِإَّنُهۥ ِبۡس ِم ٱِهَّلل ٱلَّر ۡح َمٰـ ِن ٱلَّر ِحیِم‬
[QS An-Naml 30]

“Sesungguhnya surat ini adalah berasal dari Sulaiman dan sesungguhnya isinya (mulailah
beliau membaca)”

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Kemudian dilanjutkan dengan,

‫َأاَّل َتۡع ُلو۟ا َع َلَّی َو ۡأ ُتوِنی ُم ۡس ِلِمیَن‬


[QS An-Naml 31]

“Wahai Bilqis dan juga tentaramu, janganlah kalian sombong kepadaku dan hendaklah
kalian datang dalam keadaan menyerahkan diri (menyerahkan diri kepada Allah) sebagai
seorang Muslim.”

Dan di akhir dia mengatakan,

‫َق اَلۡت َر ِّب ِإِّن ی َظ َلۡم ُت َن ۡف ِس ی َو َأۡس َلۡم ُت َمَع ُس َلۡی َمٰـ َن ِهَّلِل َر ِّب ٱۡل َع ٰـ َلِمیَن‬
[QS An-Naml 44]

“Ya Rabb sesungguhnya aku telah mendholimi diriku sendiri dan aku menyerahkan diri
bersama Sulaiman untuk Allah Rabbul ‘Alamin.”

Ini adalah Agama Nabi Sulaiman yaitu Islam.

Musa alaihissalam ketika beliau berkata kepada kaumnya,


‫َو َق اَل ُموَس ٰى َیٰـ َق ۡو ِم ِإن ُك نُتۡم َء اَم نُتم ِبٱِهَّلل َفَع َلۡی ِه َت َو َّك ُلۤو ۟ا ِإن ُك نُتم ُّم ۡس ِلِمیَن‬
[QS Yunus 84]

“Dan berkata Musa, wahai kaumku (Bani Israil) kalau kalian benar-benar beriman kepada
Allah maka hendaklah kalian hanya bertawakal kepada-Nya kalau kalian benar-benar orang-
orang yang Islam.”

Menunjukan bahwasanya beliau (Nabi Musa ‘alaihissalam) menyeru kepada Islam, agama
beliau adalah agama Islam dan beliau menyeru kepada Islam.

Adapun Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬maka banyak sekali hal yang menunjukan bahwasanya
agama beliau sebagaimana agama para Nabi sebelumnya (yaitu agama Islam).

Ini adalah perkara yang wadhih (jelas). Yang ingin kita sampaikan disini bahwasanya
seluruh para Nabi dan juga para Rasul, agama mereka adalah satu yaitu agama Islam. Dan
ini adalah pengertian Dienul Islam secara Umum. Oleh karena itu Allah Subhahu wa Ta’ala
mengatakan,

‫ِإَّن الِّد يَن ِع ْن َد ِهَّللا اِإْلْس اَل ُم‬

“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.”


Karena seluruh para Nabi dan juga para Rasul adalah beragama Islam.

Halaqah 27 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Muqoddimah Bagian 02

Di dalam Hadits yang shahih Nabi ‫ ﷺ‬mengatakan,

‫ ُأَّمَه اُتُهْم َشَّت ى َو ِديُنُهْم َو اِح ٌد‬، ‫اَأْلْن ِبَي اُء ِإْخ َو ٌة ِلَع اَّل ٍت‬

“Para Nabi mereka adalah saudara-saudara, sama bapaknya beda ibunya.”

Ini bukan maksudnya nasab secara hakiki tapi di sini ingin mendekatkan kepada kita
pemahaman tentang masalah bagaimana aqidah mereka dan bagaimana tata cara ibadah
mereka.
Ibu-ibu mereka berbeda, maksudnya di sini adalah syari’at mereka berbeda, sebagaimana
firman Allah Azza wa Jalla,

‫ِلُك ٍّل َج َع ْلَن ا ِم ْنُك ْم ِش ْر َع ًة َّو ِم ْن َه اًج ا‬


[Al Maidah 48]

“Bagi masing-masing dari kalian kami jadikan syari’at dan juga jalan.”

Syari’at yang ada di zaman Nabi Musa lain dengan yang ada di zaman Nabi Luth, misalnya.
Syari’at kaum Nabi Sholeh lain dengan syari’at yang ada di kaumnya Nabi Muhammad
‫ﷺ‬.

Yang berbeda diantara mereka adalah syari’atnya, yaitu tata cara ibadahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala membedakan karena kebijaksanaan dari Allah. Mungkin sebuah
syari’at pas bagi sebuah kaum dan tidak pas bagi kaum yang lain, sehingga tentunya bukan
keadilan kalau Allah samakan satu dengan yang lain, tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha
Bijaksana. Allah bedakan, terkadang sebuah syari’at disyari’atkan di sebuah kaum tetapi
tidak disyari’atkan di kaum yang lain, contoh seperti tayamum.

Tayamum ini disyari’atkan untuk umatnya Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬saja. Adapun umat-umat
sebelumnya maka tidak ada di sana syari’at Tayamum. Di dalam sebuah Hadits beliau
‫ ﷺ‬, mengatakan,

‫َو ُجِع َلْت ِلي ْاَألْر ُض َم ْس ِج ًد ا َو َط ُهْو ًر ا‬

“Dijadikan bagiku tanah itu menjadi masjid dan alat bersuci.”

Tanah bisa menjadi masjid, maksudnya adalah bisa untuk sujud. Dan dijadikan tanah
sebagai thohuran, maksudnya sebagai alat untuk bersuci. Jadi tanah yang kita pijak ini bisa
untuk sujud langsung, kita sujud di atas tanah dan dia sekaligus bisa untuk bersuci
(bertayamum). Seandainya di sana tidak ada air untuk berwudhu atau untuk mandi maka
bisa digantikan dengan tayamum dan ini tidak ada di dalam umat sebelumnya dan tidak
boleh mereka melakukan sujud di atas tanah langsung tapi harus ada tempat ibadah (di
dalam ruangan). Makanya beliau mengatakan,

‫َف َأُّيَم ا َر ُج ٍل ِمْن ُأَّمِتي َأْد َر َك ْت ُه الَّص اَل ُة َف ْلُيَص ِّل‬


“Dan siapa saja di kalangan umatku yang mendapatkan sholat (di jalan ketika safar misalnya
mendapatkan waktu shalat) tidak harus dia menunggu sampai mendapatkan masjid.
Seandainya dia berhenti kemudian dia shalat di atas gurun atau tanah maka tidak masalah
yang demikian. Berarti tayamum disyari’atkan untuk umat Rasulullah ‫ ﷺ‬dan tidak
disyari’atkan untuk umat sebelumnya.

Jenis yang ke dua diantara perbedaannya, masalah halal dan juga haram. Ini juga kadang
berbeda. Terkadang diharamkan kepada sebagian kaum tapi dihalalkan oleh Allah bagi
kaum yang lain. Contoh misalnya ghonimah (harta rampasan perang).

‫وُأِح َّلْت لي الَم َغ اِنُم وَلْم َت ِحَّل ألَح ٍد َق ْبِلي‬

“Dan dihalalkan untukku ghonimah.”

Maksudnya adalah untuk Beliau dan disyari’atkan untuk umat Beliau.


Seandainya berperang kemudian musuh kita kalah (orang-orang kafir mereka kalah), maka
halal bagi kita untuk mengambil rampasan perang, bukan sesuatu yang diharamkan.
Senjatanya, emas yang tertinggal, bahkan tawanan mereka, bisa menjadi budak yang halal
bagi kaum muslimin tentunya dengan aturan yang ada di dalamnya.

Adapun di umat-umat sebelumnya, Nabi-Nabi sebelumnya, kalau misalnya terjadi


peperangan antara mereka dengan kuffar, maka tidak halal bagi mereka untuk mengambil
harta rampasan perang, meskipun di depan mereka tumpukan emas, hewan, dan
seterusnya, tidak halal bagi mereka untuk mengambil rampasan perang tersebut. Kalau
diambil haram hukumnya. Ini bagi umat-umat sebelumnya.

Inilah makna – ‫ – ُأَّمَه اُتُهْم َشَّت ى‬ibu-ibu mereka berbeda, maksudnya adalah syari’atnya berbeda.

– ‫ – َو ِديُنُهْم َو اِح ٌد‬adapun agama mereka maka agama mereka adalah satu,
yaitu agama Islam. Agama mereka satu, maksudnya adalah
semuanya dari awal sampai akhir agamanya satu, yaitu menyembah
hanya kepada Allah. Islam menyerahkan diri hanya kepada Allah.

Yang satunya disyari’atkan tayamum yang satunya tidak boleh tayamum, tapi semuanya
sama, yaitu menyembah kepada Allah.
Satunya dihalalkan ghonimah yang satunya tidak dihalalkan ghonimah, semuanya sama
yaitu semuanya menyembah dan taat kepada Allah saja.
Maka hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari ini menunjukan bahwa para Nabi dan para
Rasul agama mereka adalah agama yang satu, yaitu agama Islam dan ini adalah makna
Dienul Islam secara umum.

Kemudian di sana ada makna agama Islam secara khusus, yaitu Islam yang dibawa oleh
Rasulullah ‫ ﷺ‬dan inilah yang dimaksud oleh beliau di dalam ucapan beliau,

– ‫ – معرفة دين اإلسالم باألدلة‬kita mengenal Agama Islam, yaitu mengenal


Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬ini.
Karena kita mengaku sebagai pengikut Beliau dan kita mengaku sebagai pemeluk agama
Islam, maka kewajiban kita adalah mengenal agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah
‫ﷺ‬.

Inilah yang dimaksud dengan ucapan – ‫– معرفة دين اإلسالم باألدلة‬


Insya Allah akan dibeberkan/dijelaskan oleh beliau secara panjang lebar.

Kemudian kalau kita cermati nanti, ternyata di dalam agama Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhamamad ‫ ﷺ‬di dalamnya juga ada istilah Islam ada 3 tingkatan yaitu,
1. Islam
2. Iman
3. Ihsan

Berarti mungkin kalau benar ada ‘aam , khos dan khosun khos.
Yang paling luas Islam ini adalah agama seluruh para Nabi dan Rasul.
Lebih khusus, Islam secara khusus adalah agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah ‫ﷺ‬
Dan agama Islam yg dibawa oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬ada tiga tingkatan, tingkatan yang
pertama juga dinamakan dengan Islam kemudian yang ke dua adalah Iman dan yang ke tiga
adalah Ihsan.

Islam mewakili amalan-amalan yang dhohir, Iman mewakili amalan-amalan yang bathin, dan
Ihsan adalah puncak di dalam melakukan amalan-amalan yang dhohir maupun amalan-
amalan yang bathin.

Jadi ada berbagai istilah Islam, maka kita harus paham yang demikian. Jangan rancu bagi
kita tentang makna Islam ini.

Terkadang dipakai dan maksudnya adalah secara umum.


‫ان الدين عند هللا االسالم‬

Dan terkadang maknanya adalah agama Islam yg dibawa oleh Nabi ‫ ﷺ‬seperti misalnya,

‫اْلَي ْو َم َأْك َم ْلُت َلُك ْم ِد يَن ُك ْم َو َأْت َم ْم ُت َع َلْي ُك ْم ِنْع َم ِتي‬

Dien disini adalah Dienul Islam yang dibawa oleh Rasulullah ‫ﷺ‬.

Demikian pula sabda Beliau,

‫بني االسالم على خمس‬

Maksudnya Islam yang dibawa oleh Rasulullah ‫ﷺ‬.

Ucapan beliau – ‫ باألدلة‬-dengan dalil-dalil-nya, kita ingin mengenal agama Islam yang dibawa
oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬dengan dalil-dalil-nya, karena demikianlah yang namanya aqidah
dibangun. Seseorang boleh meyakini kalau memang ada hujjahnya (dalilnya). Dalam agama
Islam diajarkan kepada kita untuk meyakini sesuatu harus berdasarkan hujjah. Ada dalil
silahkan diyakini.
Jadi aqidah tidak dibangun di atas khurofat, takhoyyul (persangkaan semata). Persangkaan
semata yang tidak ada dalilnya, seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin yang
mereka hanya dzon saja, meyakini dan mengatakan sesuatu dan itu semua muncul dari
lisan mereka hanya sekedar persangkaan semata, tidak ada dalilnya, seperti ketika mereka
mengatakan,

‫َٰه ُؤ اَل ِء ُشَفَع اُؤ َن ا ِع نَد ِهَّللا‬


‫ما نعبدهم إال ليقربونا إلى هللا زلفى‬
Malaikat adalah banaatullah.
Dari mana mereka itu ucapkan? Dzon saja.

‫ان يظنون اال ظنا‬

“Mereka tidak menyangka kecuali hanya persangkaan semata.”


Dan demikian yang dilakukan oleh pengikut-pengikut mereka. Sampai saat ini mengatakan
sesuatu dan yang ada hanyalah dzon dan takhorrus , takhoddud, tidak ada di sana sesuatu
yang berdasarkan dalil yang jelas (dalil yang shahih). Maka beliau mengajak kita untuk
mengenal agama Islam dengan dalil-dalil.

Halaqah 28 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Tingkatan Dalam Agama
Islam dan Dalil Rukun Islam

Kemudian beliau mengatakan,

‫وهو ثالث مراتب‬

“Dan Dienul Islam yang khusus yang dibawa oleh Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬ini ada 3
tingkatan,”

‫ واإلحسان‬، ‫واإليمان‬، ‫اإلسالم‬

“Islam, Iman, dan juga Ihsan.”

Yang dimaksud dengan Islam adalah – ‫ – العمل الظاهرة‬amalan-amalan yang dhohir.


Kemudian Iman adalah amalan-amalan yang bathin.
Sedangkan Ihsan adalah puncak dari Iman dan juga Islam.

Orang yang masuk ke dalam agama Islam pertama kali dan dia bersyahadat dan secara
dhohir dia melakukan amalan-amalan Islam, tapi kalau belum sampai ke dalam hatinya
keimanan, hanya sekedar‫ اإلستسالم بالعمل الظاهر‬, tapi belum sampai keimanan tersebut masuk
ke dalam relung hatinya, maka dia masih tingkatannya adalah Islam.

۞ ‫…َق اَلِت ٱَأۡلۡع َر اُب َء اَم َّن ۖا ُقل َّلۡم ُتۡؤ ِم ُنو۟ا َو َلٰـ ِكن ُقوُلۤو ۟ا َأۡس َلۡم َن ا‬
[QS Al-Hujurat 14]

“Orang-orang Arab (Badui) mereka mengatakan – ‫ ءامنا‬-padahal mereka baru masuk Islam,
tingkat kualitas keislamannya masih dasar, tapi mereka mengatakan – ‫ – ءامنا‬kami beriman.
– ‫ – ُقل َّلۡم ُتۡؤ ِم ُنو۟ا‬kalian belum beriman, maksudnya adalah belum masuk
keimanan itu benar-benar ke dalam hati kalian, tapi dhohir kalian
sudah istislam (sudah mau bersyahadat, sudah mau melakukan
shalat).

– ‫ – َو َلٰـ ِكن ُقوُلۤو ۟ا أسلمنا‬akan tetapi ucapkanlah yang lebih tepat adalah ‫أسلمنا‬
kami menyerahkan diri.

.. ‫َو َلَّما َی ۡد ُخ ِل ٱِإۡلیَمٰـ ُن ِفی ُقُلوِبُك ۖۡم‬

“Dan belum masuk keimanan ini ke dalam hati-hati kalian.”

Maksudnya adalah keimanan yang sempurna. Adapun Iman yang merupakan dasar dan
juga pondasi seperti beriman kepada Allah, beriman kepada Rasul, beriman kepada hari
Akhir, dan mereka memiliki kadar yang minimal, maka itu tentunya sudah ada di dalam hati
mereka, yaitu rukun Iman yang 6 dan di dalamnya ada kadar yang minimal yang harus
dimiliki oleh seseorang di dalam rukun Iman tadi.

Misalnya meyakini bahwasanya Allah yang memiliki Rububiyyah. Dia-lah yang Menciptakan
misalnya, harus ada di dalam hati. Meyakini bahwasanya Allah adalah satu-satunya yang
disembah, meyakini bahwasanya Allah itu ada, meyakini bahwasanya Allah memiliki nama-
nama dan juga sifat (itu harus ada). Bukan berarti mereka melakukan shalat kemudian
mereka tidak ada rukun Iman dalam hatinya, tidak. Rukun enam yang merupakan pondasi
ada di dalam hatinya. Cuma yang lebih dari itu, kadar yang lebih dari hanya sekedar kadar
yang minimal ini belum mereka miliki, belum masuk keimanan di dalam hati mereka.

‫َو َلَّما َی ۡد ُخ ِل ٱِإۡلیَمٰـ ُن ِفی ُقُلوِبُك م‬

Kalau itu sudah membaik, kadar yang tambahan itu masuk sedikit demi sedikit di dalam diri
mereka, barulah mereka naik tingkatannya menjadi seorang yang Mukmin.

Berarti setiap Mukmin adalah Muslim, karena dia sudah melewati tingkatan Islam, jelas,
amalan dhohir dia sudah terus dia jaga dan keimanan terus dia pupuk sehingga masuklah
dan bertambahlah keimanan di dalam hatinya.
Dan amalan yang dhohir terus dia jaga, akhirnya dia mendapatkan predikat Islam dan juga
predikat Iman. Berarti dia Muslim sekaligus Mukmin.
Tapi tidak semua orang yang Muslim (dia menyerahkan diri dengan dhohirnya) dinamakan
sebagai seorang yang beriman. Belum masuk ke dalam hatinya iman yang merupakan
kadar iman yang tambahan, bukan hanya sekedar kadar minimal.

Berarti – ‫ كَّل مؤمٍن مسلٌم وليَس كُّل مسلٍم مؤمًن ا‬-.

Kalau misalnya terus dia istiqomah di dalam melakukan amalan yang dhohir, melakukan
amalan yang bathin terus belajar dan terus belajar, kemudian mengenal tentang
muroqobatullah (mengenal lebih dalam tentang Allah), akhirnya amalan-amalan dhohir tadi
dia kerjakan dengan baik, merasa diawasi oleh Allah, amalan-amalan bathin juga demikian,
dia merasa diawasi oleh Allah, semakin baik tawakalnya, semakin baik mahabbahnya,
semakin baik Roja’ dan juga Khauf-nya, sehingga mencapai puncak kebaikan, maka dia
akan berpindah kepada tingkatan yang terakhir yang paling tinggi, yaitu tingkatan Ihsan.

Menunjukan bahwasanya setiap orang yang Muhsin pasti dia Muslim dan pasti dia Mukmin.
Tapi tidak setiap orang yang Muslim dia Muhsin, Tidak setiap orang yang beriman Muhsin.

‫ وليس كل مؤمن محسنًا‬،‫كل محسن مؤمن‬

Kemudian beliau mengatakan,

‫وكل مرتبة لها أركان‬

“Dan masing-masing dari tingkatan ini dia memiliki rukun-rukun.”

Dan yang dimaksud dengan rukun adalah:

‫الجزء األقوى من الشيء‬

Bagian yang paling kuat dari sesuatu.

Jadi kalau misalnya Islam, rukun Islam yang 5 ini bagian yang paling kuat dari rukun Islam.
Ini harus ada.
Rukun Iman maka dia memiliki 6, ini adalah juz/bagian yang paling kuat dari sesuatu.
Kalau Ihsan maka dia memiliki satu bagian.
Jadi masing-masing tingkatan ini memiliki arkan. Dia adalah Juz yang paling kuat (bagian
yang paling kuat). Kalau sampai tidak ada, batal keislamannya atau batal keimanannya atau
batal Ihsan-nya. Dia harus ada di dalam setiap martabat tadi.

Kemudian beliau mengatakan,


– ‫– فأركان اإلسالم خمسة‬

“Maka arkanul Islam (rukun Islam) jumlahnya ada 5.”

Di sini disebutkan,

– ‫ – ودليل من السنة‬dalilnya bahwasanya rukun Islam ada 5 dari sunnah,


yaitu dari hadits (maksudnya adalah hadits Ibnu Umar).

Bahwasanya Rasulullah ‫ﷺ‬,

‫ َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا صلى هللا عليه وسلم «ُبِنَي اِإلْس اَل ُم َع َلى َخ ْم ٍس‬: ‫َع ِن اْب ِن ُع َمَر رضي هللا عنه َقاَل‬

Islam itu dibangun di atas 5 perkara. Ucapan beliau dibangun di atas 5 perkara menunjukan
bahwasannya 5 perkara ini adalah pekara yang paling penting di dalam Islam, sehingga
Islam yang di dalamnya banyak sekali perkara itu bisa tegak (bisa terbangun) menjadi
sebuah bangunan di atas 5 perkara. Berarti 5 perkara ini adalah perkara yang paling penting
di dalam agama Islam. Tanpanya, maka bisa batal seseorang keislamannya.

‫ُبِنَي اإلسالُم على خمٍس َش هادِة أن ال إَلَه إاَّل ُهَّللا وأَّن محَّم ًد ا رسوُل ِهَّللا وإقاِم الَّصالِة وإيتاِء الَّز كاِة وَص وِم رمضاَن وحِّج البيِت‬

Islam dibangun di atas 5 perkara:


Bersyahadat – ‫أن اَل ِإَلَه ِإاَّل ُهَّللا َو َأَّن ُم َح َّم ًد ا َر ُسوُل ِهَّللا‬، –
Dan mendirikan shalat, dan membayar zakat, dan berpuasa di bulan Ramadhan, dan berhaji
ke Baitullah.

Hadits ini dibawakan oleh Bukhari dan Muslim dan dibawakan oleh Al Imam An-Nawawi di
dalam Arba’in An Nawawiyah, hadits yang ke-3.

Kemudian beliau mengatakan,


‫ودليل قوله تعالى‬

‫ۗ ِإَّن الِّد يَن ِع نَد ِهَّللا اِإْلْس اَل ُم‬


‫وقول تعالى‬

‫َو َم ْن َي ْب َت ِغ َغْي َر اِإْلْس اَل ِم ِد يًن ا َفَلْن ُيْق َبَل ِم ْن ُه َو ُه َو ِفي اآْل ِخَر ِة ِمَن اْلَخ اِس ِر يَن‬

“Sesungguhnya Agama di sisi Allah (maksudnya adalah agama yang benar di sisi Allah).”

Jika di sisi manusia mungkin dia mengatakan orang Nashrani mengatakan agama mereka
yang benar, orang Yahudi mengatakan agama mereka yang benar.

‫َو َق اَلِت اْلَي ُهوُد َلْي َس ِت الَّن َص اَر ٰى َع َلٰى َش ْي ٍء َو َق اَلِت الَّن َص اَر ٰى َلْي َس ِت اْلَي ُهوُد َع َلٰى َش ْي ٍء‬

Masing-masing dari mereka menganggap agama mereka yang benar, sebagaimana orang-
orang musyrikin masing-masing menyembah sesembahannya. Ada yang menyembah orang
sholeh, ada yang menyembah bintang, ada yang menyembah matahari, dst.

‫ُك ُّل ِح ۡز ِۭب ِبَم ا َلَد ۡی ِه ۡم َف ِر ُحوَن‬

۞ …. ‫َو اَل َت ُك وُنو۟ا ِمَن ٱۡل ُم ۡش ِر ِكیَن‬

۞ ‫ِمَن ٱَّلِذیَن َف َّر ُقو۟ا ِد یَن ُهۡم َو َك اُنو۟ا ِش َی ࣰعۖا ُك ُّل ِح ۡز ِۭب ِبَم ا َلَد ۡی ِه ۡم َف ِر ُحوَن‬
[Surat Ar-Rum 31, 32]

“Masing-masing dari kelompok orang musyrikin, mereka bangga dengan sesembahanya.”

Dan menyalahkan seorang yang menyembah selain sesembahannya.


Orang yang menyembah matahari menyalahkan orang yang menyembah bulan, orang yang
menyembah bulan menyalahkan orang yang menyembah bintang, dst.

Tapi kalau di sisi Allah maka yang benar adalah agama Islam. Kalau antum ingin
menerjemahkan, sesungguhnya agama yang benar. Jangan menerjemahkan sesungguhnya
agama yang paling benar. Kalau paling benar maka agama yang lain benar, tapi Islam yang
paling benar. Makanya terjemah yang shahih mengatakan yang benar. Agama yang benar
di sisi Allah adalah Islam. Adapun selainnya maka agama yang salah.
Benar bukan di sisi Allah tapi di sisi pengikutnya/ di sisi penganutnya.
Kalau di sisi Allah – ‫ – رب السموات واالرض‬yang ‫إليه المصير‬، (semuanya akan kembali kepada
Allah) , orang yang beriman kepada Allah dan yang beriman kepada hari Akhir maka
harusnya dia mencari agama yang benar di sisi Allah bukan benar di sisi manusia.

Kemudian beliau mengatakan,


‫وقول تعالى‬

‫َو َم ْن َي ْب َت ِغ َغْي َر اِإْلْس اَل ِم ِديًن ا َفَلْن ُيْق َبَل ِم ۡن ُه َو ُه َو ِفی ٱۡل َٔـاِخَر ِة ِمَن ٱۡل َخ ٰـ ِس ِر یَن‬
[QS Ali ‘Imran 85]

“Dan barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam maka tidak akan diterima
darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”

Orang yang memang takut kepada Allah dan dia percaya kepada hari akhir maka harusnya
dia mencari agama Islam. Barangsiapa yang mencari selain agama Islam maka Allah tidak
akan menerima darinya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi. Datang di hari
kiamat setelah dia capai di dunia setelah menyangka itulah yang diterima/ itulah yang
membawa keselamatan bagi dia di akhirat ternyata dia datang di hari kiamat dalam keadaan
amalan yang dia lakukan di dunia tidak diterima disisi Allah.

Ini adalah kabar yang sangat mengerikan, ketika dia mengetahui di akhirat ternyata amalan
yang selama ini dia lakukan adalah amalan yang tidak diterima. Kalau tidak diterima dan
batal seluruh amalannya, apa yang dia jadikan sebab untuk bisa memasuki surganya Allah
Azza wa Jalla? Karena dia mencari agama selain agama Islam berarti dia bukan seorang
muslim dan tidak diterima amalannya.
Maka tentunya orang yang demikian akhir dari kehidupannya adalah siksaan dan juga
kesengsaraan.

Jadi 2 dalil ini, beliau ingin menegaskan tentang makna Islam yang secara umum, dia
adalah agama para Nabi dan juga para Rasul yang itulah yang benar di sisi Allah dan itulah
yang diterima di sisi Allah Azza wa Jalla.

Halaqah 29 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil Rukun Islam Syahadat
Laa Ilaaha Illallaah

Kemudian beliau setelah menyebutkan tentang rukun Islam yang jumlahnya 5, yang
dikumpulkan oleh Nabi ‫ ﷺ‬dalam 1 dalil (haditsnya Abdullah Ibnu Umar), maka beliau
memberikan dalil dari masing-masing dari rukun Islam tadi, karena ini adalah berbicara
tentang rukun Islam, yaitu perkara yang paling penting di dalam Islam.
Kalau seorang Muslim di dalam keislaman dia banyak perkara, maka minimal mereka
mendalami 5 perkara ini. Makanya beliau di sini mendalami lebih dalam tentang rukun Islam
yang 5. Masing-masing dari rukun Islam beliau sebutkan dalilnya, bukan hanya dalil
Abdullah Ibnu Umar yang men-jama’ dan mengumpulkan 5 rukun ini, tapi beliau sebutkan
dalil dari masing-masing rukun Islam untuk menunjukan penekanan.

Beliau mengatakan,

‫ودليل شهادة قوله تعالى‬

Dalil tentang syahadat maksudnya adalah‫شهادة ان ال إله إال هللا‬

Al disini adalah Lil-ahdiyah, yaitu menunjukan perjanjian, karena disebutkan sebelumnya di


dalam hadits – ‫ – شهادة ان ال إله إال هللا‬itulah kalimat syahadat yang pertama yang disebutkan di
dalam hadits. Maka ketika beliau mengatakan,

‫ودليل شهادة‬

Maksudnya Adalah – ‫ – شهادة ان ال إله إال هللا‬adalah firman Allah Azza wa Jalla,

‫َش ِه َد ُهَّللا َأَّن ُه اَل ِإَٰل َه ِإاَّل ُه َو َو اْلَم اَل ِئَك ُة َو ُأوُلو اْلِع ْلِم َق اِئًما ِباْلِقْس ِط ۚ اَل ِإَٰل َه ِإاَّل ُه َو اْلَع ِز يُز اْلَح ِكيُم‬

Apa dalil bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah.
Ini adalah rukun Islam yang pertama, yaitu seorang Muslim harus bersyahadah, tidak ada
sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.

Apa makna syahadah?

Di dalam bahasa arab apabila dikatakan – ‫ الشهاد رخل ب كذا و كذا‬-seorang laki-laki telah
bersaksi demikian dan demikian.
Ucapan “bersaksi” di dalam bahasa arab ini mengandung beberapa makna.

Makna yang pertama:


Orang yang bersaksi itu berarti dia tahu/dia mengetahui (orang yang memiliki ilmu). Jadi
orang yang bersaksi tentunya mengandung ilmu. Berarti dia harus ‘alim (dia harus
mengetahui).

Kemudian yang ke dua:


Di dalamnya ada ada makna sumpah. Orang yang bersaksi (aku bersaksi) berarti dia
bersumpah. Dan ini adalah penekanan.

Kemudian yang ke tiga, orang yang bersaksi itu berarti dia ada makna Ikhbar, yaitu
mengabarkan kepada orang lain.
Kalau hanya diam saja maka dia tidak bersaksi. Bersaksi dalam bahasa arab dia harus
Ikhbar.

Jadi dia harus:


– َ‫َع اِلم‬
– ‫َح اَلَف‬
– ‫ َأخَبَر َغ ْي َر ُه‬/ ‫َأعَلَم َغ يَر ُه‬
Berarti di situ ada makna Ikhbar (harus mengabarkan kepada orang lain).

Demikian pula di dalam – ‫– شهادة ان ال إله إال هللا‬


Kita bersaksi berarti kita harus paham/mengetahui/menyadari.
Mengetahui alasannya, mengapa kita mengatakan – ‫ – ال إله إال هللا‬sebagaimana orang yang
bersaksi dia mengabarkan (menceritakan) karena dia mengetahui.

Ketika kita mengatakan: saya bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak disembah
kecuali Allah maka kita harus punya hujjah (harus punya ilmu). Dan di situ ada sumpah – ‫ال‬
‫ – إله إال هللا‬tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.

Darimana dalil tentang persaksian ini?


Beliau mendatangkan firman Allah di dalam surat Ali-Imran 18. Dan penyebutan ayat,
penyebutan surat, ini bukan dari mualif. Jarang para ulama menulis ayat atau surat.
Biasanya yang melakukan adalah muhaqiq, orang-orang yang datang setelah mereka, ingin
mempermudah orang untuk mendapatkan ayatnya, mereka menuliskan surat dan juga
ayatnya.

Dalilnya adalah ayat ini,


‫ۚ َش ِه َد ُهَّللا َأَّن ُه اَل ِإَٰل َه ِإاَّل ُه َو َو اْلَم اَل ِئَك ُة َو ُأوُلو اْلِع ْلِم َق اِئًما ِباْلِقْس ِط‬
[QS Ali ‘Imran 18]

“Allah bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia, dan
para Malaikat dan juga orang-orang yang berilmu, tegak dengan keadilan.”

Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwasanya Allah bersaksi. Apa
isi persaksian dari Allah?
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Dia-lah Yang memiliki langit dan juga bumi, mengetahui
apa yang ada di langit dan bumi dengan luasnya alam semesta dengan besarnya alam
semesta dari ujung ke ujung, Allah Subhānahu wa Ta’āla Maha Mengetahuinya, dan Allah
bersaksi dalam ayat ini bahwasanya di seluruh alam semesta ini tidak ada sesembahan
yang berhak disembah kecuali Dia saja.

Maka ini adalah persaksian yang berasal dari Dzat Yang Paling Tahu.
Saksi, semakin dia berilmu, semakin berkualitas kesaksiannya. Orang yang melihat
langsung pembunuhan (misalnya) dengan orang yang hanya sekedar menyaksikan ketika
pembunuh tadi akan meninggalkan.

Semakin tinggi keilmuannya maka akan semakin berkualitas persaksiannya. Dan siapa yang
lebih mengetahui tentang apa yang ada di langit dan di bumi ini kecuali Allah.

‫ُقْل َأَأنُتْم َأْع َلُم َأِم ُهَّللا‬

“Apakah kalian lebih tahu atau Allah Subhanahu wa Ta’ala?”

Dan ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala Dia memberikan persaksian “Tidak ada
sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia.”

Di dalam QS Al-An’am ayat 19,

‫ۖ ُقْل َأُّي َش ْي ٍء َأْك َب ُر َش َه اَد ًة‬

“Apakah sesuatu yang paling besar persaksiannya?”

‫ۚ ُقِل ُهَّللاۖ َش ِه يٌد َب ْيِني َو َب ْي َن ُك ْم‬


“Katakanlah bahwasanya Allah, Dia-lah yang menjadi saksi antara diriku dengan kalian.”

Dan Allah telah menyaksikan (bersaksi) bahwsanya tidak ada sesembahan yang berhak
disembah kecuali Allah. Maka Kalau Allah saja bersaksi, kewajiban kita sebagai seorang
muslim adalah bersaksi dan bersyahadah dan mengatakan,

‫أشهد أن ال إله إال هللا‬

Maka ini adalah dalil yang jelas menunjukan tentang kewajiban bersaksi tidak ada
sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.

Ditambah lagi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan – ‫ – َو اْلَم اَل ِئَك ُة‬dan para Malaikat,
seluruh malaikat yang mereka adalah makhluk Allah yang tidak pernah berbuat maksiat
tidak pernah berdusta, mereka adalah makhluk-makhluk Allah yang Shaleh, yang beribadah
kepada Allah, ‫ ال يفترون‬mereka tidak pernah bosan untuk beribadah kepada Allah, ternyata
semuanya bersaksi Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.

Lalu apa yang menjadikan seseorang menunda dan ragu-ragu untuk juga bersaksi
bahwasanya Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.

Ditambah lagi – ‫ – َو ُأوُلو اْلِع ْلِم‬dan para ulama yang diberikan oleh Allah karunia dengan Ilmu
agama/Dien yang mereka mempelajari agama Allah, mentafakuri alam sekitar, mentadaburi
ayat-ayat Allah, mereka menyimpulkan bahwasnya – ‫ – ال إله إال هللا‬Tidak ada sesembahan
yang berhak disembah kecuali Allah. Dan tentunya persaksian seorang ulama berbeda
dengan persaksian orang biasa.
Semuanya bersaksi bahwasanya Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali
Allah.

Allah bersaksi, digandengkan dengan para Malaikat bersaksi, digandengkan dengan para
ulama mereka semuanya juga bersaksi. Maka tidak ada udzur bagi kita untuk tidak bersaksi
bahwasanya – ‫ – ال إله إال هللا‬Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah Azza
wa Jalla.

Maka pas sekali beliau mendatangkan dalil ini tentang kewajiban untuk bersyahadah, di
samping dalil haditsnya Abdullah Ibnu Umar dikumpulkan di dalamnya 5 rukun Islam yang
menunjukan bahwasanya rukun Islam yang 5 hukumnya adalah wajib. Tapi beliau tekankan
di sini dengan mendatangkan dalil yang lain.
– ‫– قائما بالقسط‬
– tegak dengan keadilan.
– ‫ال إله إالهو العجزيز الحكيم‬
Kemudian ditekankan oleh Allah dan dikuatkan dengan mengatakan – ‫ – ال إله إالهو‬Tidak ada
sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Halaqah 30 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Makna Syahadat Laa Ilaaha
Illallaah

Kemudian beliau mengatakan, menjelaskan tentang Laa Ilaaha Illallaah. Kita lihat ketika
menyebutkan Shalat, Zakat, Haji, Shaum, beliau tidak panjang lebar, tapi ketika membahas
tentang syahadat maka beliau di sini agak memperpanjang atau memperlebar penjelasan
karena beliau tahu bahwa ini adalah termasuk pokok di dalam agama Islam, yaitu tentang
masalah Tauhid.

Ma’rifatullah sangat berkaitan dengan Tauhid, demikian pula Ma’rifatu Dinil Islam ini juga
berkaitan dengan Tauhid karena ternyata di dalam Dienul Islam ada 3 tingkatan.

Di dalam Islam ada syahadat dan di dalam Iman nanti ada rukun Iman yang pertama, yaitu
beriman kepada Allah. Ketika membahas tentang iman kepada Allah juga akan membahas
tentang Tauhid. Ketika membahas Syahadat Laa Ilaaha Illallaah juga membahas tentang
Tauhid. Berarti Ma’rifatullah berkaitan dengan Tauhid, Ma’rifatu Dinil Islam juga berkaitan
dengan Tauhid. Ketika membahas Ma’rifatun Nabi juga akan dibahas tentang Tauhid. Maka
beliau akhirnya di sini membahas tentang makna Laa Ilaaha Illallaah. Beliau mengatakan,

‫ ال معبود بحق إال هللا‬: ‫ومعناها‬

Dan makna dari syahadat Laa Ilaaha Illallaah: Tidak ada sesembahan yang berhak
disembah kecuali Allah.
Ini adalah makna yang paling sempurna dan paling sesuai dengan kalimat Laa Ilaaha
Illallaah.

Tidak ada sesembahan yang berhak (yang benar), yang berhak maksudnya yang memang
berhak untuk disembah atau yang ‫ ِبَح ٍّق‬maksudnya yang benar karena haq. Bisa diartikan
yang benar atau diartikan yang berhak, kecuali Allah. Inilah makna Laa Ilaaha Illallaah.

Kalimat Laa Ilaaha Illallaah ini terdiri dari dua bagian, (dua rukun):
1. Terdapat pada kalimat – ‫– ال إله‬
2. Terdapat pada kalimat – ‫– إال هللا‬

Ketika seseorang mengatakan – ‫ ال إله‬-berarti dia dalam keadaan Naafian.

Naafian di sini haal. Shohibul haal-nya adalah Allah Azza wa Jalla karena dia tafsir terhadap
firman Allah,

‫َش ِه َد ٱُهَّلل َأَّنُهۥ ۤاَل ِإَلٰـَه ِإاَّل ُهو‬

Naafian maksudnya adalah Allah menafikan ‫ جميع ما ُيعَب ُد من دون هللا‬segala sesuatu yang
disembah selain Allah. Itu ada dalam kalimat – ‫– ال إله‬
Allah menafikan segala sesuatu yang disembah selain Allah seluruhnya. Kalau itu adalah
Duunallahu dan dia disembah, maka dinafikan, baik itu seorang Nabi sekalipun atau
seorang Malaikat, siapapun dia.

Itu adalah rukun yang pertama yang dinamakan rukun An Nafyu. Harus mengingkari seluruh
sesembahan selain Allah.

Kalimat – ‫ – إال هللا‬kalimat yang ke-2,

‫ كما أنه ال شريك له في ملكه‬،‫مثبتا العبادة هلل وحده ال شريك له في عبادته‬

Berarti Allah menetapkan bahwasanya ibadah itu hanyalah untuk – ‫ – هلل وحده‬saja itu adalah
makna Laa Ilaaha Illallaah.

Terdiri dari dua rukun, yang pertama adalah Nafyu kemudian yang ke dua adalah Itsbat.

Dan dua-duanya harus ada, kalau tidak ada maka tidak benar maknanya. Coba seandainya
hanya Laa Ilaaha saja , berarti kalau Laa Ilaaha saja: pengingkaran adanya sesembahan.
Jadi orang yang mengingkari wujud Allah menjadi orang yang Atheis, tidak percaya adanya
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tapi kalau hanya menetapkan saja dengan mengatakan Allahu
ma’bud atau mengatakan Allahu Ilaahun (Allah adalah sesembahan), orang yang
mengatakan Allahu Ilaah, dia tidak mengingkari bahwasanya yang lain juga Ilaah. Orang
yang menyembah misalnya Isa, mungkin dia mengatakan Allah itu sesembahan, ketika dia
mengatakan Allahu Ilaah belum tentu dia mengingkari yang lain juga Ilaah. Berarti kalau
hanya Itsbat saja Allah adalah Ilaaha, ‫ ال يكفي‬tidak cukup.
Bagaimana bisa sempurna? Dengan menggabungkan antara Nafyu dan juga Itsbat. Itulah
keadilan ‫قائما بالقسط‬
Bagaimana caranya? Kita mengatakan Laa Ilaaha Illallaah, tidak ada sesembahan, kita
ingkari semuanya dan kemudian kita kecualikan Allah saja.

Oleh karena itu makna yang benar: : ‫ال معبود بحق إال هللا‬, itulah makna Laa Ilaaha Illallaah,
karena intinya kita ingin mengingkari seluruh sesembahan yang itu adalah sesembahan yg
bathil dan kita menetapkan Allah sebagai satu-satunya sesembahan. Maka menjadilah Laa
Ilaaha Illallaah itulah makna dari apa yang diucapkan oleh Nabi dan yang beliau dakwahkan
dan itulah yang dipahami oleh orang-orang Arab. Ketika mereka mendengar dakwah Nabi,
yang mereka pahami dari beliau adalah : ‫ ال معبود بحق إال هللا‬tidak ada makna yang lain.

Karena sebagian ada yang mengatakan Laa Ilaaha Illallaah maknanya adalah Laa Kholiqo
Illallah (tidak ada yang mencipta selain Allah). Makna ini benar namun itu bukan makna inti
dari kalimat dari Laa Ilaaha Illallaah. Orang-orang musyrikin Quraisy yang sudah kita tahu
bahwasanya mereka juga meyakini bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
mencipta , memberikan rizki, dan mengatur alam semesta. Ketika didakwahkan kepada
mereka disuruh untuk mengatakan Laa Ilaaha Illallaah, ternyata mereka tidak mau
mengucapkan. Abu Jahal, Abu Lahab, dan Abu Tholib juga tidak mau mengucapkan, dan
orang-orang yang semisal dengan mereka didakwahi kepada tauhid dan mereka meninggal
dalam keadaan syirik.

‫إنهم كانوا إذا قيل لهم ال إله إال هللا يستكبرون‬


[QS Ash Shaffat 35]

“Apabila dikatakan kepada mereka Laa Ilaaha Illallaah – ‫ – يستكبرون‬mereka sombong.”


Tidak mau mereka mengucapkan kalimat ini.

‫ۡج ُن‬ ‫ُق ُل َأ َّن َل ُكۤو ۟ا‬


‫َو َی و وَن ِٕى ا َت اِر َءاِلَهِتَن ا ِلَش اِع ࣲر َّم وِۭن‬
[QS Ash-Shaffat 36]

“Mereka mengatakan, apakah kami harus meninggalkan Tuhan-Tuhan kami yang banyak
ini, hanya karena seorang tukang syair yang gila.”

Tukang syair, itu sudah tercela diantara mereka, apalagi kalau tukang syair yang gila, berarti
ngomongnya/syairnya ngawur.

Seandainya makna Laa Ilaaha Illallaah ini adalah Laa Kholiqo Illallah tentunya Abu Tholib,
Abu Lahab , Abu Jahal, dengan senang hati mereka akan mengatakan Laa Ilaaha Illallaah.
Apa yang susah? Memang itu keyakinan mereka, bahwasanya Allah itu yang mencipta
(tidak ada yang mencipta selain Allah). Hubal, Latta, ‘Uzza, dst mereka tidak mencipta, dan
itu keyakinan mereka. Seandainya maknanya adalah Laa Kholiqo Illallah, dengan senang
hati meskipun mengucapkan sehari 1000X mereka akan mau untuk melakukan. Tapi
mereka sama sekali satu kecap pun mereka tidak mau mengatakan Laa Ilaaha Illallaah
karena mereka tau maknanya Laa Kholiqo Illallah tapi : ‫ال معبود بحق إال هللا‬.

Di sana ada makna yang lain dan juga salah. Laa Ilaaha Illallaah diartikan ‫ال معبود موجود إال هللا‬
Tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allah. Ini bisa disalah pahami oleh sebagian.
Berarti kalau diartikan demikian seluruh sesembahan yang ada itu adalah Allah dan
tentunya ini adalah pemahaman yang jelas salah. Berarti orang yang menyembah matahari,
bulan, dia menyembah Allah. Laa Ilaaha Illallaah tidak ada sesembahan kecuali itu adalah
Allah, ini pemahaman Wihdatul Wujud. Orang menyembah apa saja itu bertauhid karena dia
menyembah Allah juga. Menyatunya wujud antara Allah dengan makhluknya, jadi yang
menyembah apapun dia adalah bertauhid. Menyembah pohon, matahari, juga bertauhid.
Bersatunya wujud antara Allah dengan makhluk, maka ini adalah pemahaman yang bathil.

Kemudian ucapan beliau,

‫ كما أنه ال شريك له في ملكه‬،‫ال شريك له في عبادته‬

Ini kembali beliau mengingatkan tentang hubungan antara Tauhid Rububiyyah dengan
Tauhid Uluhiyyah. Karena sekarang intinya beliau ingin membahas Tauhid Al-Uluhiyyah,
tentang berhaknya Allah untuk diibadahi, maka sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala
Dialah yang hanya Dia yang memiliki Langit dan juga Bumi maka Dialah yang berhak untuk
diibadahi.

‫ كما أنه ال شريك له في ملكه‬،‫ال شريك له في عبادته‬

Hubungan antara Tauhid Al-Uluhiyyiah dan Tauhid Rububiyyah.


‫ورب هو المعبود‬
Rabb, itulah yang disembah. Ingin menjelaskan tentang hubungan antara Tauhid
Rububiyyah dan Tauhid Al-Uluhiyyah. Di sini kembali beliau mengingatkan yang demikian.

Halaqah 31 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Tafsir Syahadat Laa Ilaaha
Illallaah

Kemudian beliau mendatangkan firman Allah Azza wa Jalla yang menjelaskan tentang
makna kalimat Laa Ilaaha Illallaah.
Beliau mengatakan,

‫ قوله تعالى‬،‫وتفسيرها الذي يوضحها‬

Dan tafsir penjelasan dari kalimat Laa Ilaaha Illallaah, yang menjelaskan tentang kalimat Laa
Ilaaha Illallaah,

‫قوله تعالى‬

‫َو ِإْذ َق اَل ِإْب َر اِهيُم َأِلِبيِه َو َق ْو ِمِه ِإَّن ِني َبَر اٌء ِّمَّما َت ْع ُبُدوَن‬

‫ِإاَّل اَّلِذي َف َط َر ِني َف ِإَّن ُه َس َي ْهِديِن‬


[Az Zukhruf 26-27]

“Dan ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan juga kaumnya sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kalian sembah kecuali yang telah menciptakan aku.”

Ini adalah menafsirkan ayat dengan ayat karena kalimat Laa Ilaaha Illallaah yang pertama
dikandung di dalam firman Allah [Ali Imran 18]

‫َش ِه َد ٱُهَّلل َأَّنُهۥ ۤاَل ِإَلٰـَه ِإاَّل ُه َو َو اْلَم اَل ِئَك ُة َو ُأوُلو اْلِع ْلِم َق اِئًما ِباْلِقْس ِط‬

Ternyata makna ini juga ditafsirkan/dijelaskan oleh ayat yang lain. Berarti ini termasuk
menafsirkan ayat dengan ayat.

Ucapan beliau ‫ِإَّن ِني َبَر اٌء ِّمَّما َت ْع ُبُدوَن‬


Di sini ada Nafyu sebagaimana Allah menafikan di dalam ayat yang pertama naafiyan, maka
di sini Ibrahim juga naafiyan (beliau juga menafikan).

‫نافيا جميع ما يعبد من دون هللا‬

‫ِإَّن ِني َبَر اٌء ِّمَّما َت ْع ُبُدوَن‬

“Aku berlepas diri (aku menafikan/aku tidak percaya, aku berlepas diri) dari apa yang kalian
sembah.”
Ini menafikan sebagaimana Allah juga menafikan.

‫ِإاَّل اَّلِذي َف َط َر ِني‬

“Kecuali Dzat Yang Telah Menciptakan aku.”

‫ – َف َط ر‬artinya adalah mencipta,

‫ِإاَّل اَّلِذي َف َط َر ِني‬

Ini berarti Itsbat. Ini menetapkan sebagaimana Allah menetapkan di dalam kalimat – – ‫إال هو‬
‫ – إال هللا‬maka Ibrahim juga menetapkan, mengatakan – ‫ – ِإاَّل اَّلِذي َف َط َر ِني‬disebutkan Fathoroni,
isyarat bahwasanya Tauhid Rububiyyah itu melazimkan Tauhid Uluhiyyah, yang aku
sembah yang aku tidak berlepas diri adalah yang menciptakan aku. Itulah yang memang
berhak aku sembah.

Berarti yang berhak untuk disembah adalah Dzat Yang Telah Menciptakan.
Beliau di sini menyinggung kembali tentang

‫ كما أنه ال شريك له في ملكه‬،‫ال شريك له في عبادته‬

Mengingatkan tentang hubungan antara Tauhid Rububiyyah dengan Tauhid Uluhiyyah


karena di sinipun dalil yang beliau sampaikan juga menyinggung tentang hubungan Tauhid
Uluhiyyah dengan Tauhid Ar Rububiyyah.

Ini adalah tafsir dari kalimat Laa Ilaaha Illallaah yang diucapkan oleh Ibrohim (kholilullah).

Bagaimana dengan Nabi Muhammad ‫?ﷺ‬

Al Ayah, kemudian beliau mengatakan, [Ali Imran 64]

‫وقوله؛ قل يأهل الكتب تعالوا‬

“Katakan wahai Muhammad,”


Bagaimana Beliau ‫ ﷺ‬mendakwahkan kalimat Laa Ilaaha Illallaah ini kepada sebagian
manusia yang mereka adalah ahul kitab, inilah yang beliau dakwahkan.

‫قل يأهل الكتب‬

“Katakanlah wahai Ahlul Kitab (orang-orang Nashara Najran)

‫َت َع اَلْو ا ِإَلٰى َك ِلَم ٍة َس َو اٍء َب ْي َنَن ا َو َب ْي َن ُك ْم‬

“Ke sinilah kalian, mari kita bersepakat kepada sebuah kalimat yang sama antara kami
(orang Islam) dengan kalian (orang-orang ahlul kitab).”

Apa kalimat yang sama tersebut?

‫َأاَّل َن ْع ُبَد ِإاَّل َهَّللا‬

“Supaya kita tidak menyembah kecuali Allah saja.”

Di sini juga ada Nafyu juga ada Itsbat.


– ‫ – َأاَّل َن ْع ُبَد‬adalah Nafyu
– ‫ – ِإاَّل َهَّللا‬adalah Itsbat.

Ingin menjelaskan di sini tentang adanya Nafi dan Itsbat di dalam dakwahnya Rasulullah
‫ﷺ‬, dakwahnya Ibrahim Nafyu dan juga Isbat dan dakwahnya Rasulullah ‫ ﷺ‬di dalam
kalimat yang Beliau seru juga ada kalimat yang isinya adalah Nafyu dan juga isbat.

‫ – وال نشرك به شيأ‬dan kita tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, berarti di sini
menekankan kembali tentang keharusan untuk mengingkari, tidak boleh kita menyekutukan
Allah dengan sesuatu apapun.

Ada yang mengartikan – ‫ – وال نشرك به شيأ‬mengingatkan mereka supaya kita tidak
menyekutukan Allah dengan siapapun.

Kalau ‫ ال نعبد إال هللا‬ini umum, beliau ingin mengingatkan bahwasanya baik kami (orang Islam)
maupun kalian (orang-orang Nashrani) jangan kita menyekutukan Allah dengan siapapun.
Kami tidak menyekutukan Allah dengan Nabi Muhammad dan kalian tidak menyekutukan
Allah dengan Nabi Isa. Ayo sepakat, Allah saja.

– ‫ – َو اَل ُنْش ِر ك به شيئا‬Kami orang Islam tidak akan menyembah Muhammad,


dan kalian wahai orang-orang Nashrani jangan pula kalian
menyembah Nabi Isa. Kita jangan menyekutukan Allah. Sudah Allah
saja. Ini berkaitan dengan Nabinya.

Kemudian beliau juga ingin mengajak mereka karena kesyirikan orang-orang ahlul kitab
pertama adalah karena mereka menyekutukan Allah dengan Nabi Isa , maka beliau
mengatakan – ‫– َو اَل ُنْش ِر ك به شيئا‬

Kemudian,

‫َو اَل َی َّت ِخ َذ َب ۡع ُض َن ا َب ۡع ًضا َأۡر َب ا ࣰبا ِّمن ُدوِن ٱِۚهَّلل‬

“Jangan sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai sesembahan selain Allah.”
Karena orang-orang Nashrani, mereka menjadikan pendeta mereka sebagai sesembahan
selain Allah.

‫اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أربابا من دون هللا‬

“Mereka menjadikan orang-orang ahli Ibadah diantara mereka dan orang-orang yang
pintar/ahli ilmu diantara mereka sebagai sesembahan selain Allah.”

Bagaimana mereka menjadikan pendeta dan juga ahli Ibadah mereka sebagai
sesembahan? Mereka menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah (artinya ikut
menghalalkan). Pendeta mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah kemudian mereka
ikut mengharamkan, itulah ibadah mereka. Yaitu mengikuti pendeta tadi di dalam halal dan
juga haram padahal itu bertentangan dengan hukum Allah.

Maka di dalam ucapan beliau,

‫َو اَل َی َّت ِخ َذ َب ۡع ُض َن ا َب ۡع ًضا َأۡر َب ا ࣰبا‬

Jangan sampai sesama kita, bukan Nabi, pengikut mereka, menjadikan pendetanya sebagai
sesembahan selain Allah. Kami tidak akan menjadikan ulama kami sebagai sesembahan
selain Allah, kalian juga demikian jangan menjadikan ulama sebagai ‫أربابا من دون هللا‬
sesembahan selain Allah. Cukuplah Allah saja, maka diperinci yang demikian dan intinya
adalah pada kalimat Laa Ilaaha Illallaah.

Berarti intinya di sana ada Nafyu dan juga Itsbat.

‫َو اَل َی َّت ِخ َذ َب ۡع ُض َن ا َب ۡع ًضا َأۡر َب ا ࣰبا ِّمن ُدوِن ٱِۚهَّلل َف ِإن َت َو َّلۡو ۟ا َف ُقوُلو۟ا ٱۡش َه ُدو۟ا ِبَأَّن ا ُم ۡس ِلُموَن‬
[Qs Ali ‘Imran 64]

“Apabila mereka tidak mau menerima/berpaling dari tawaran ini maka katakanlah (ucapkan
kepada mereka), saksikanlah oleh kalian (kalau memang kalian tidak mau menerima kalimat
ini) bahwasanya kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah.”

Sudah, kami sudah pasrah kepada Allah, tidak mau mengikuti ajaran nenek moyang kami
atau ajaran kalian, yang di situ ada penyembahan kepada selain Allah.

Halaqah 32 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil Rukun Islam Syahadat
Muhammad Rasulullah Bagian 1

Beliau mengatakan (rahimahullahu Ta’ala),

‫ودليل شهادة أن محمدا رسول هللا قوله تعالى‬

‫َلَقْد َج اَء ُك ْم َر ُسوٌل ِّمْن َأنُفِس ُك ْم َع ِز يٌز َع َلْيِه َم ا َع ِنُّت ْم َح ِر يٌص َع َلْي ُك م ِباْلُمْؤ ِمِنيَن َر ُءوٌف َّر ِحيٌم‬
[QS At-Taubat 128]

Dan dalil tentang wajibnya bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala,

“Sungguh-sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul (seorang utusan) yang berasal dari
kalian wahai manusia.”

Beliau menyebutkan di sini tentang dalil wajibnya masing-masing dari kita bersaksi bahwasanya
Muhammad ibnu Abdillah ibnu Abdil Mutholib Al-Hasyimi, beliau adalah seorang Rasulullah, beliau
adalah seorang utusan Allah.

Maka ini adalah sebuah kewajiban meyakini bahwasanya beliau adalah seorang Rasulullah. Kita
harus bersaksi.
Apa dalil bahwasanya Beliau adalah Rasulullah, orang yang telah diutus oleh Allah, dipilih oleh Allah
dari sekian banyak manusia untuk menjadi seorang utusan Allah, dipasrahi oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala risalah kemudian disuruh untuk menyampaikan risalah ini kepada manusia, amanah yang
ditaruh di pundak Beliau, ini adalah risalah Allah engkau sampaikan kepada hamba-hamba Allah, di
dalamnya ada perintah, di dalamnya ada larangan untuk mereka, di dalamnya ada akhbar bagi
manusia, di dalamnya ada tata cara beribadah, bagaimana mereka beribadah kepada Allah,
diberikan beban ini kepada Beliau dan Beliau diperintahkan untuk menyampaikan kepada manusia.

‫َي ا َأُّيَه ا الَّر ُسوُل َب ِّلْغ َم ا ُأنِز َل ِإَلْي َك ِمن َّر ِّبك‬

[Al Maidah 67]

“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabb-mu.”

Maka kita harus meyakini yang demikian. Beliau adalah Rasulullah yang Allah pilih untuk menjadi
wasithoh antara Allah dengan kita. Allah tidak memerintahkan dan melarang kita secara langsung
dan tidak mengabarkan kepada kita dengan berita-berita secara langsung , tapi Allah menyampaikan
itu semua melewati seorang perantara, Beliau adalah Rasulullah ‫ﷺ‬.

Kewajiban kita adalah meyakini Beliau adalah benar-benar utusan Allah. Beliau mendatangkan dalil
tentang kewajiban ini. Dalilnya adalah firman Allah dalam surat At-Taubah 128.

Sungguh, ini adalah lit takkid, menunjukan penguatan (penekanan).

– ‫ – َلَقْد َج اَء ُك ْم‬huruf ‫ ل‬itu sendiri sudah menunjukan penekanan ditambah dengan ‫ قد‬ini juga
menunjukan penguatan dan penekanan.

Sungguh-sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul (seorang utusan) yang berasal dari
kalian wahai manusia. Kabar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwasanya di tengah-tengah manusia
ada orang yang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai utusan dan dia telah datang di
tengah-tengah manusia. Beliau adalah Rasulullah Muhammad ibnu Abdillah telah datang kepada
kalian.

Di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala sedang mensifati Nabinya ‫ﷺ‬. Sifat yang pertama bahwasanya
dia adalah seorang Rasul. Berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bersaksi bahwasanya Muhammad
Ibnu Abdillah adalah utusan Allah.
Dari kalangan kalian/dari diri kalian maksudnya adalah dari kalangan manusia.

Allah tidak jadikan utusan bagi manusia dari kalangan Malaikat tapi Allah jadikan utusan bagi
manusia adalah dari kalangan manusia sendiri.

– ‫ –ِّمْن َأنُفِس ُك ْم‬maksudnya adalah minal basyar (dari kalangan manusia. Kalau disebutkan di dalam Al-
Quran –‫ –َر ُسوٌل ِّم ْن كم‬maka yang dimaksud dengan minkum adalah minal Arab. Kalau -- ‫–َر ُسوٌل ِّمْن َأنُفِس ُك ْم‬
maka yang dimaksud adalah yaitu dari kalangan manusia.

Halaqah 33 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil Rukun Islam Syahadat
Muhammad Rasulullah Bagian 2

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan di sini tentang sifat yang dimiliki Rasul
tersebut,

‫َع ِز یٌز َع َلۡی ِه َم ا َع ِنُّت ۡم‬


[QS At-Taubah 128]

“Berat bagi beliau apa yang berat bagi kalian.”

Menjadikan Beliau berat, menjadikan Beliau sedih apa yang berat bagi kalian adalah sifat
Rasulullah ‫ﷺ‬. Beliau bukan ingin memberatkan manusia dengan perintah-perintah, apa
yang beliau sampaikan itu adalah dari Allah. Beliau tidak ingin memberatkan manusia
dengan larangan-larangan tersebut. Di dalam diri beliau ada perasaan berat bagi Beliau,
apa yang memberatkan umatnya. Selama bisa meringankan beliau ringankan, meminta
keringanan kepada Allah. Tapi kalau sudah mengetahui bahwasanya ada maslahat bagi
manusia atau di dalamnya ada mudhorot bagi manusia, maka Beliau ‫ ﷺ‬memerintahkan
dan Beliau melarang, sebagaimana amanat dari Allah Azza wa Jalla. Dan di situ ada kasih
sayang yang hakiki karena seseorang dinamakan sayang yang sebenarnya apabila dia
berkeinginan untuk menyampaikan mashlahat tersebut kepada orang, meskipun orang
tersebut menganggap ini adalah berat dan juga mudhorot, tapi Beliau tau di dalamnya ada
maslahat maka beliau sampaikan.

Kalau mereka benar-benar melaksanakan perintah tersebut maka mereka akan


mendapatkan kebahagiaan. Maka ini adalah hakikat dari kasih sayang. Dan kalau tau di
dalam sebuah perkara itu ada mudhorot maka menunjukan kasih sayang Beliau adalah
ketika Beliau melarang manusia dari perbuatan tersebut, karena khawatir mereka terkena
mudhorot dan ini juga termasuk hakikat dari kasih sayang yang sebenarnya.
Bukanlah yang dimaksud dengan kasih sayang yang sebenarnya adalah menuruti setiap
kemauan orang yang kita sayangi, meskipun di situ ada mudhorotnya. Sebagaimana orang
tua kita, ketika kita kecil dan kita belum sempurna akalnya terkadang kita minta sesuatu
yang justru memberikan mudhorot bagi diri kita sendiri, baik berupa makanan, minuman,
mainan, dst. Dan orang tua sangat menyayangi kita, tapi tidak semua permintaan kita
kemudian diberikan.

Beliau melihat apa yang menjadi maslahat bagi kita dan apakah sesuatu yg diminta oleh diri
kita itu adalah memberikan mudhorot atau tidak, itulah kasih sayang yang sebenarnya.
Bukan dengan senantiasa mengabulkan setiap yang diminta oleh yang disayangi.

Di samping perasaan berat apa yang berat bagi kita dan ini yang seharusnya dimiliki oleh
seorang dai di dalam dakwahnya. Ketika dia berkecimpung di dalam dakwah mengajak
manusia, memerintahkan, dan juga melarang maka hendaklah dia memiliki perasaan seperti
ini.

Kemudian diantara sifat beliau ‫ ﷺ‬adalah – ‫ – حريص عليكم‬semangat untuk memberikan


hidayah kepada kalian, memiliki semangat yang tinggi, bagaimana dia itu bisa menjadi
sebab manusia mendapatkan hidayah, sehingga melakukan apa yang Beliau mampu, kalau
itu bisa mempermudah mereka memahami, Beliau variasikan bagaimana cara mengajarkan
kepada manusia. Terkadang Beliau mengajar dengan contoh (dengan praktek secara
langsung), karena diharapkan orang ketika melihat dia langsung faham apa yang dimaksud.
Tata cara berwudhu, bagaimana tata cara shalat, dilihat oleh manusia beliau berusaha
bagaimana mereka paham dengan cara mempraktikan secara langsung, ini adalah bentuk
‫ حرص‬ingin bagaimana manusia itu mendapatkan hidayah.

Terkadang beliau terlebih dahulu,

‫َأَتْد ُرْو َن َم ا اْلِغْي َب ُة ؟‬


Tahukah kalian apa itu ghibah?

‫َأَتْد ُرْو َن ما المفلس؟‬


Dst

Beliau bertanya dengan maksud supaya menggerakan dan menghidupkan konsentrasi


mereka. Ketika sudah siap baru diberikan jawabannya, ini diharapkan jawaban tadi
membekas lebih lama di dalam hati mereka.
Ini adalah bagian dari –‫ – حرص‬termasuk diantaranya do’a. Beliau mendoakan untuk sebuah
kaum, mendoakan untuk afrod, individu diantara individu, individu para shahabat ini juga
bagian dari – ‫ – حرص‬semangat bagaimana orang itu mendapatkan hidayah. Karena kalau
orang lain mendapatkan hidayah selain orang tersebut akan bahagia di dunia dan juga di
akhirat maka kita sebagai orang yang menjadi sebab juga akan mendapatkan pahalanya,
manfaatnya juga untuk diri kita sendiri, di samping manfaatnya adalah untuk orang lain
orang tersebut, kita juga akan mendapatkan manfaatnya.

‫َم ْن َد َع ا ِإَلى ُهدًى كاَن لُه ِمَن األْج ر ِمثُل ُأجوِر مْن َت ِبعُه َال يْنُقُص ذلَك ِمْن ُأُجوِر ِهم َش ْي ًئ ا رواُه مسلٌم‬.

“Barangsiapa yang mengajak kepada kebaikan/kepada petunjuk maka dia mendapatkan


pahala orang yang mengikuti petunjuknya tadi, tidak akan dikurangi dari pahala mereka
sedikit pun.”

Maka ini diantara yang menjadikan seseorang semangat terus untuk berdakwah, sampaikan
terus, ingin supaya orang lain mendapatkan hidayah dan dia juga ingin mendapatkan pahala
yang besar, karena ini adalah termasuk pintu diantara pintu-pintu, jalan diantara jalan-jalan
untuk mendapatkan pahala yang terus mengalir selama ilmu tersebut diamalkan,
sebagaimana disebutkan dalam hadits,

‫ َر َو اُه ُمْس ِلٌم‬.‫ َأْو َو َلٍد َص اِلٍح َي ْد ُعو َلُه‬،‫ أو ِع ْلٍم ُيْن َتَف ُع ِبِه‬،‫ َص َد َقٍة َج اِر َي ٍة‬:‫ِإَذ ا َم اَت ابُن آدم اْن َقَط َع َع ْن ُه َعَم ُلُه ِإاَّل ِمْن َثاَل ٍث‬.

Diantaranya adalah ilmu yang diambil manfaatnya.


Kita ingin seperti para ulama yang mereka sudah meninggal ratusan tahun yang lalu dan
sampai hari ini ilmu mereka terus dipelajari oleh manusia seakan-akan mereka masih hidup
ditengah-tengah kita.

‫الذكر الجميل‬
Penyebutan yang indah bagi mereka, sum’ah yang toyyibah, dan ilmu yang bermanfaat
yang terus kita rasakan, maka ini adalah kehidupan yang sebenarnya. Memang jasad
mereka berada dalam tanah, namun nama mereka masih terus disebut-sebut oleh manusia
dan pahala mereka terus mengalir.

Maka ini menjadi sebab diantara sebab para dai dan juga para ulama semangat mereka
terus untuk menyampaikan sampai ketika mereka sudah tua sekalipun dan ini yang
dilakukan oleh para masyaikh, tidak pernah mereka kendor dari mengajar kecuali memang
sama sekali sudah tidak bisa untuk duduk, tidak bisa untuk berangkat.
Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad jarang sekali beliau ghoib ketika mengajar di masjid Nabawi
dari hari Sabtu sampai hari Kamis (libur hanya hari Jum’at saja) dari habis Magrib sampai
Isya’.

Syaikh Abu Bakar Al Jazairy demikian pula beliau sudah lama sekali duduk dan mengajar di
Masjid Nabawi kurang lebih 40 tahun beliau mengajar di Masjid Nabawi.

Demikian para ulama, karena ini adalah pintu yang kalau sudah dibukakan bagi seseorang
maka ini adalah kenikmatan yang besar. Maka jangan sampai orang yang sudah diberikan
ilmu kemudian dia sia-siakan. Hendaklah dia manfaatkan ilmu tersebut, disampaikan kepada
orang lain, diajarkan kepada orang lain. Dan semangat kita untuk menyampaikan ini kepada
orang lain.

Sifat yang selanjutnya bahwasanya Beliau adalah orang yang – ‫ – رءوف‬orang yang lembut,
orang yang penyayang kepada orang-orang yang beriman. Jadi semangat untuk
menyampaikan kepada orang lain diiringi dengan kelemah lembutan dan juga juga kasih
sayang. Bukan semangat yang tidak dikontrol, karena ingin keluarganya mendapatkan
hidayah, orang tuanya mendapatkan hidayah, kemudian dia sekedar sampaikan tetapi tidak
berdasarkan kelemah lembutan.

Adapun Beliau ‫ ﷺ‬maka terkumpul di dalam diri Beliau, Beliau adalah seorang Rasul,
seorang dai dan di dalam hatinya ada perasaan yang bersih, berat bagi Beliau apa yang
berat bagi mad’u-nya, bukan ingin memberat-beratkan manusia.

Kemudian yang kedua ditambah lagi dengan semangat yang berkobar-kobar untuk
menyampaikan ilmu ini kepada orang lain.

Ditambah lagi dengan ushlub dan metode dan cara yang lemah lembut dan penuh dengan
kasih sayang ketika Beliau menyampaikan ilmu ini kepada orang lain.

Kalau ini terkumpul pada diri seseorang, maka Insya Allah dia akan menjadi dai yang
muwaffaq, yang mubarok yang diberkahi oleh Allah Azza wa Jalla. Dan ini perlu ijhtihad,
perlu kita membersihkan diri, perlu kita berlatih, perlu kita muhasabah, dan juga merenung di
dalam berdakwah, merenung apa niatnya untuk di dalam menyampaikan ilmu ini kepada
orang lain, apa tujuannya berbicara, apa tujuannya dia menyampaikan khutbah. Maka
dengan berlatih dan terus muhasabah diharapkan dia bisa meraih derajat yang tinggi di sisi
Allah, ia menjadi seseorang dai yang memiliki sifat-sifat seperti yang dimiliki atau yang
mendekati apa yang dimiliki Rasulullah ‫ﷺ‬

Halaqah 34 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Makna Syahadat
Muhammad Rasulullah Bagian 1
Kemudian setelah mendatangkan dalil, beliau menyebutkan tentang makna Syahadat
Muhammadan Rasulullah.

‫ و أن ال يعبد هللا إال بما‬،‫ واجتناب ما عنه نهى وزجر‬،‫ وتصديقه فيما أخبر‬،‫ طاعته فيما أمره‬:‫ومعنى شهادة أن محمدا رسول هللا‬
‫شرع‬

Kemudian beliau menjelaskan tentang makna syahadat yang ke dua ini, sebagaimana
beliau menjelaskan agak lebar tentang makna syahadat yang pertama, karena kedudukan
syahadat di dalam agama Islam, karena ini juga berkaitan langsung dengan judul kitab ini
tentang Ma’rifatu Nabiyyihi Muhammadin ‫ﷺ‬.

Maka beliau perjelas/diterangkan di sini tentang makna syahadat Muhammad ‫ ﷺ‬. Orang
yang sudah bersaksi bahwasanya Beliau adalah seorang Rasul (dan masing-masing kita
adalah orang tersebut yang sudah bersaksi menyatakan bahwasanya Beliau adalah
Rasulullah), maka ini memiliki makna, ada konsekuensinya. Dia bukan ‫كلمة أطلقت وقيلت‬
kemudian dia tidak memiliki makna. Tidak. Dia adalah kalimat yang mengandung
konsekuensi, mengandung sumpah.

Kalau kita sudah bersaksi bahwa Beliau adalah Rasulullah, orang yang telah diutus kepada
kita, berarti kita harus yakin bahwa Beliau membawa sesuatu dari yang mengutusnya. Ini
yang harus kita yakini. Beliau diutus oleh Allah kepada kita, pasti dia membawa sesuatu dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sebagaimana seorang utusan presiden diutus oleh presiden kepada kita, misalnya. Kira-kira
ketika dia datang ke rumah kita dan mengatakan saya adalah utusan dari bapak presiden
untuk bapak. Oh iya – ‫( – السالم عليكم‬hanya seperti itu?) Hanya untuk mengabarkan bahwa dia
adalah utusan presiden? Tentunya tidak. Akan kita tanyakan pesan dari bapak presiden
sampai mengutus bapak ke saya. Itu pertanyaan yang seharusnya memang disampaikan,
karena tidak mungkin bapak presiden mengutus kepada kita seorang utusan seperti itu
kecuali ada sesuatu yang penting yang harus segera disampaikan. Mustahil tidak membawa
sesuatu.

Maka yang dibawa oleh utusan Allah adalah amanat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apa
amanatnya?
Terkadang berupa perintah, terkadang berupa berita, terkadang berupa larangan, dan
terkadang berupa cara ibadah. Inilah yang dibawa oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬, dibawa oleh
Beliau, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mebebankan kepada Beliau untuk membawa
amanat-amanat ini disampaikan kepada manusia.
1. Perintah
Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada Beliau sebuah perintah. Ini adalah
perintah untuk manusia. Sampaikan kepada mereka, maka Rasulullah ‫ ﷺ‬menyampaikan
kepada manusia, memerintahkan kepada mereka, demikian dan demikian. Wahai manusia
hendaklah kalian demikian atau mengatakan Allah telah memerintahkan kalian demikian. Ya
fulan, hendaklah engkau demikian.

Ucapan-ucapan Beliau tersebut yang isinya adalah perintah-perintah bagi manusia asalnya
adalah wahyu. Jibril yang membawa perintah tadi kepada Rasulullah ‫ﷺ‬. Maka orang
yang mentaati perintah Beliau pada hakikatnya dia telah mentaati perintah Allah Azza wa
Jalla.

Orang yang mentaati perintah utusan pada hakikatnya dia telah mentaati perintah yang
mengutusnya. Orang yang mentaati perintah Rasulullah maka dia telah mentaati perintah
Allah Azza wa Jalla. Dan perintah Allah ada dua macam, ada perintah yang sifatnya wajib
dan ada perintah yang sifatnya mustahab.

Perintah yang wajib kalau tidak dilaksanakan perintah tersebut, maka kita berdosa dan kalau
kita laksanakan maka kita mendapatkan pahala (shalat 5 waktu, berpuasa di bulan
ramadhan, berzakat bagi orang yang memiliki kewajiban, berbakti kepada kedua orang tua,
dst).

Adapun yang mustahab, maka kalau tidak dilakukan seseorang tidak berdosa. Puasa yang
sunnah, shalat yang sunnah, dzikir-dzikir yang sunnah. Dan seorang muslim harus yakin
bahwasanya di dalam apa yang diperintahkan oleh Allah pasti di sana ada mashlahat. Itu
qoidah dan prinsip yang harus kita pegang.

Halaqah 35 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Makna Syahadat
Muhammad Rasulullah Bagian 2

2. Berita-berita
Kemudian yang ke dua diantara makna dan konsekuensi bahwasanya kita menyaksikan dan
bersaksi bahwasanya Beliau adalah seorang Rasulullah,

– ‫ وتصديقه فيما أخبر‬-terkadang Beliau membawa akhbar (membawa berita-


berita). Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada Beliau
bahwa dahulu pernah terjadi demikian. Dahulu kisahnya Adam
demikian, dahulu kisahnya Musa demikian, sampaikan kepada
manusia. Maka Beliau pun menyampaikan kepada manusia Allah
telah mewahyukan demikian dan demikian. Nanti sebelum hari kiamat
akan terjadi demikian dan demikian, kabarkan kepada manusia.
Beliau pun sampaikan kepada manusia sebagaimana yang Allah
perintahkan.
Kalau kita membenarkan Beliau pada hakikatnya kita telah membenarkan Allah. Kalau kita
mendustakan Beliau di dalam kabar tadi, maka pada hakikatnya kita telah mendustakan
Allah Azza wa Jalla, karena Beliau hanya sekedar menyampaikan saja. Apa yang Beliau
terima dari Allah itulah yang disampaikan kepada kita, tidak Beliau tambah, tidak Beliau
kurangi.

Oleh karena itu hati-hati orang yang ketika mendengar berita dari Beliau ‫ ﷺ‬kemudian
mengukurnya dengan akalnya. Kalau masuk akal diterima, kalau tidak masuk akal maka
tidak diterima. Beliau tidak berbicara dari hawa nafsunya.

‫َو َم ا َينِط ُق َع ِن اْلَهَو ى‬


[QS An-Najm 3]

“Tidaklah Beliau berbicara dari hawa nafsunya.”


Itu bukan hanya sekedar semaunya saja.

‫ِإْن ُه َو ِإاَّل َو ْح ٌي ُيوَح ى‬


[QS An-Najm 4]

“Tidaklah apa yang Beliau ucapkan kecuali itu adalah wahyu yang diwahyukan kepada
Beliau.”

Maka benarkanlah ucapan Beliau, berita/kabar yang Beliau sampaikan, baik itu masuk di
dalam akal kita ataupun tidak. Kalau kelihatan dhohirnya bertentangan dengan akal, maka
ketahuilah bahwasanya yang salah di sini bukan apa yang Beliau sampaikan, tapi yang
salah di sini adalah akal kita. Akal kita ini adalah makhluk yang lemah dan masing-masing
dari kita mengetahui tentang kelemahan dan kekurangan dari akal yang kita miliki. Banyak di
sana perkara-perkara yang dekat dengan kita tapi kita tidak bisa memahaminya, misalnya
nyawa, ruh, yang dia bersama kita, kemana-mana dia bersama kita tapi akal kita tidak bisa
mengidroknya/tidak bisa memahaminya.

Menunjukan bahwasanya akal manusia adalah makhluk yang lemah (makhluk yang dhoif).
Bagaimana dia mendahulukan akal tersebut di atas dalil, sementara dalil adalah berasal dari
Allah. Dan akal kita adalah akal yang lemah. Jadi seandainya di sana kita menemukan ada
pertentangan antara – ‫ – األقل و نقل‬maka kita mendahulukan ‫ نقل‬di atas akal manusia dan
yakin bahwasanya itu kurang ada pada diri kita.
Dan dalil yang shahih baik dari Al Qur’an maupun Sunnah tidak mungkin bertentangan
dengan akal yang sehat. Seandainya di sana ada yang mengatakan ada pertentangan,
ketahuilah bahwasanya di sini yang tidak sehat adalah akal dia.

3. Larangan
Kemudian yang ke tiga adalah menjauhi apa yang dilarang oleh Beliau dan diperingatkan
oleh Beliau. Diantara yang Beliau bawa adalah berupa larangan. Allah mewahyukan kepada
Beliau, Aku melarang demikian dan demikian, kemudian Beliau sampaikan kepada manusia
Allah melarang demikian.

Kalau kita meninggalkan larangan yang keluar dari lisan Beliau yang mulia, maka pada
hakikatnya kita telah menjauhi larangan Allah dan kalau kita melanggarnya maka berarti kita
telah melanggar larangan Allah. Beliau hanya utusan, menyampaikan kepada kita.

Dan larangan terbagi menjadi 2: ada larangan yang sifatnya haram dan ada larangan yang
sifatnya makruh.

Haram jelas, bila dilakukan dia berdosa dan kalau tidak dilakukan karena mengharapkan
pahala dari Allah, maka seseorang mendapatkan pahala.

Makruh, jika dilakukan tidak sampai berdosa dan kalau ditinggalkan karena mengharapkan
pahala dari Allah, seseorang mendapatkan pahala.

Contoh yang haram misalnya: berzina, minuman keras, riba, melihat sesuatu yang
diharamkan, musik, lagu, isbal, dan dosa-dosa besar yang lain.

Adapun makruh, contohnya misalnya,

( ‫)َف َو ۡی ࣱل ِّلۡل ُم َص ِّلیَن ۝ ٱَّلِذیَن ُهۡم َع ن َص اَل ِتِه ۡم َس اُهوَن‬

[Surat Al-Ma’un 4 – 5]

Ada yang menafsirkan adalah orang yang


‫يأخرون الصالة عن وقتها‬

Contohnya misalnya tidur antara magrib dengan Isya’ ini adalah termasuk yang makruh,
berbicara setelah Isya’ maka ini termasuk yang makruh, kecuali menyambut tamu,
murojaah, mudzakaroh atau musyawarah untuk kepentingan umat, maka ini tidak masalah,
memang ada keperluan.
Atau memakan bawang merah, bawang putih dalam keadaan mentah, termasuk diantaranya
jengkol karena illahnya sama, yaitu menjadikan bau, kecuali bawang merah/putihnya
dimasak sehingga tidak menimbulkan bau tersebut, maka tidak masalah.

Dan harus kita yakini juga bahwasanya di dalam larangan pasti di sana ada hikmahnya.
Allah tidaklah melarang itu baik yang diharamkan maupun yang dimakruhkan kecuali pasti di
sana ada hikmahnya. Pasti di dalam larangan ada mudhorot, diketahui atau tidak pasti di
sana ada mudhorotnya.

Berzina misalnya, mudhorotnya jelas. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan banyak


penyakit akibat dari zina dan juga hubungan yang bebas. Banyak di sana penyakit-penyakit
kelamin, nanah, kemudian HIV, kemudian penyakit-penyakit kelamin yang lain yang
diakibatkan oleh berganti-ganti pasangan.

Dan ini sesuatu yang mujarob dan diketahui oleh mereka sehingga terkadang yang menjadi
korban bukan hanya pelakunya saja, karena dia sering bebas dan berselingkuh, kemudian
di rumah dia bersama suaminya atau bersama istrinya, akhirnya suami/istrinya yang tidak
berdosa dia pun terkena. Dan Allah sudah mewanti-wanti sebelumnya,

‫َو اَل َت ْق َر ُبوا الِّز َن ا‬

“Janganlah mendekati zina, (artinya janganlah kalian melakukan perkara-perkara yang bisa
menjerumuskan ke dalam perzinaan tersebut).”

Minuman keras, dari awal sudah dilarang dan juga sudah diharamkan, pasti di sana ada
mudhorotnya bagi otak manusia, bagi jiwa manusia. Kandungan alkohol atau kandungan
minuman keras itu sangat merusak anggota tubuh manusia, maka dilarang oleh syari’at.

Maka larangan-larangan yang lain kita ketahui prinsipnya sama, kita mengetahui kerusakan-
kerusakan dari sebagian larangan tadi maka harus kita yakini di dalam larangan yang lain
pasti di situ ada kerusakan.

Oleh karena itu sebagian ulama mengumpamakan sikap seorang muslim ketika menghadapi
perintah dan juga larangan yang datang dari Allah dan juga Rasul-Nya, ini seperti sikap
seorang ketika dia mau dicukur oleh tukang cukur. Ketika dia masuk ke dalam ruangan
diperintahkan untuk duduk, maka dia akan duduk, maka sekali lagi,
‫َو ِهَّلِل اْلَم َث ُل اَأْلْع َلى‬
[An Nahl 60]
“Dan bagi Allah ini adalah permisalan yang lebih tinggi.”

4. Tata Cara Ibadah


Kemudian yang ke empat adalah,

‫وأن ال يعبد هللا إال بما شرع‬

Diantara makna dan konsekuensi bahwasanya kita menyaksikan dan bersaksi bahwasanya
Beliau adalah seorang Rasulullah. Yakin bahwasanya Beliau membawa sesuatu dan
diantara sesuatu tadi adalah tata cara ibadah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia-lah yang mengatakan,

‫َو َم ا َخ َلْق ُت اْلِج َّن َو اِإْلْن َس ِإاَّل ِلَي ْع ُبُدون‬

Dan Dia-lah yang mengatakan,

‫يا أيها الناس أعبدوا ربكم‬

Bagaimana cara ibadahnya? Allah mengutus seorang Rasul, sampaikan kepada manusia
Aku telah memerintahkan mereka untuk beribadah dan tata cara ibadahnya adalah yang ini.

Maka seseorang yang mengakui Nabi Muhammad sebagai Rasulullah konsekuensinya


berarti tata cara ibadah yang diperintahkan oleh Allah tidak boleh kita ambil kecuali dari
Beliau. Kalau tidak, maka jangan harap ibadah kita akan diterima oleh Allah Azza wa Jalla.
Karena Allah tidak akan menerima kecuali Ibadah yang sudah diajarkan lewat Nabinya
‫ﷺ‬. Dari selain itu Allah tidak menerima meskipun dihiasi, dianggap baik oleh manusia.

‫من عمل عمال ليس عليه أمرنا فهو رد‬

“Barangsiapa yang melakukan sebuah amalan tidak ada perintahnya dari kami maka
amalan tersebut tertolak.”
Kalau tidak diajari oleh Nabi baik berupa aqidah, berupa ibadah, maka tidak akan diterima
oleh Allah.

Apa faedah dan apa hikmah dan apa fungsinya kita mengakui bahwa Beliau adalah
Rasulullah tapi ketika kita akan beribadah kemudian kita masih mencari cara selain cara
ibadah yang Beliau ajarkan.

Kalau kita meyakini Beliau adalah Rasul-Nya, ya sudah kita mengikuti cara ibadah yang
diajarkan oleh Rasul, jangan kita mencari cara yang lain.

‫وأن ال يعبد هللا إال بما شرع‬

“Dan tidak disembah Allah kecuali dengan apa yang dia syari’atkan.”

‫شرع‬
Di sini Fa’il-nya adalah ‫ ضمير مستتر تقدره هو‬kembali kepada Allah.
Yaitu tidak disembah Allah kecuali dengan apa yang disyari’atkan oleh Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia-lah yang ‫( يشرع‬mensyari’atkan).

Ini adalah yang dikuatkan oleh sebagian ulama bahwasanya -‫ – شرع‬di sini bukan kembali
kepada Rasulullah tapi kembali kepada Allah. Dia-lah Asy-Syaari’, adalah Allah, Dia-lah
yang menghalalkan, Allah yang mengharamkan, Allah yang menentukan tata cara ibadah
maka Allah Dia-lah yang ‫شارع‬.

Jadi kalau dikatakan Asy-Syaari’ maksudnya adalah Allah. Adapun Rasulullah maka Beliau
hanyalah Muballighun Rasulun, hanya sekedar menyampaikan apa yang disampaikan oleh
Allah.

Janganlah kita mengitlakan -‫شرع‬- kepada Rasulullah ‫ﷺ‬.

Dan yang disyari’atkan oleh Allah itulah yang disampaikan oleh Rasulullah ‫ﷺ‬.

Kalau kita memang mengakui Beliau adalah seorang Rasulullah maka kita harus mengikuti
cara ibadah Beliau karena cara ibadah Beliau itulah yang disyari’atkan oleh Allah Azza wa
jalla.

Ini menunjukan tentang jeleknya bid’ah dan ini sangat bertentangan dengan syahadat
persaksian seseorang bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah. Karenanya orang yang
masih senang/bangga dengan bid’ah dan menganggap bid’ah ini adalah hasanah, maka
hendaklah dia memurajaah kembali tentang makna Syahadat Muhammad Rasulullah,
karena syahadat di sini bukan hanya sekedar ‫كلمة أطلقت وقيلت‬
Kalimat yang hanya sekedar dimutlakkan dan diucapkan yang tidak memiliki makna. Dia
adalah ‫( كلمة عظيمة‬kalimat yang besar) yang memiliki makna, memiliki konsekuensi.

Ini adalah penjelasan beliau dari Syahadatu Anna Muhammadan Rasulullah.

Halaqah 36 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil Rukun Islam Shalat dan
Zakat dan Tafsir Tauhid Bagian 1

Beliau mengatakan,

‫ وتفسير التوحيد قوله تعالى‬،‫ والزكاة‬،‫ودليل الصالة‬


‫َو َم ا ُأِمُروا ِإاَّل ِلَي ْع ُبُدوا َهَّللا ُم ْخ ِلِص يَن َلُه الِّد يَن ُح َنَفاَء َو ُيِقيُموا الَّص اَل َة َو ُيْؤ ُتوا الَّز َك اَةۚ َو َٰذ ِلَك دين القيمة‬
[Al Bayyinah 5]

Beliau menyebutkan setelah membahas tentang syahadat (yang merupakan rukun Islam
yang pertama) ingin menyebutkan kepada kita tentang dalil wajibnya shalat dan juga zakat
dengan dalil tersendiri, di luar dari – ‫ – ُبِنَي ْاِإلْس َالُم َع َلى َخ ْم ٍس‬dan di sini beliau gabungkan jadi
satu sholat dan juga zakat karena datang dalam satu ayat/dalil.

Dan banyak di dalam Al-Quran, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengakan antara


shalat dengan zakat. Disebutkan sholat dan setelahnya disebutkan zakat, sebagaimana
dalam ayat ini. Dan juga di dalam ayat yang lain,

‫َو َأِقيُمو۟ا ٱلَّص َلٰو َة َو َء اُتو۟ا ٱلَّز َكٰو َة‬

( ‫)َف ِإن َت اُبو۟ا َو َأَق اُمو۟ا ٱلَّص َلٰو َة َو َء اَت ُو ۟ا ٱلَّز َكٰو َة َف ِإۡخ َو اُنُك ْم ِفی ٱلِّد یِۗن‬

[Surat At-Tawbah 11]

( ‫)َف ِإن َت اُبو۟ا َو َأَق اُمو۟ا ٱلَّص َلٰو َة َو َء اَت ُو ۟ا ٱلَّز َكٰو َة َفَخ ُّلو۟ا َس ِبیَلُهۚۡم‬

[Surat At-Tawbah 5]

( ‫)َو َأِقیُمو۟ا ٱلَّص َلٰو َة َو َء اُتو۟ا ٱلَّز َكٰو َة َو ٱۡر َك ُعو۟ا َمَع ٱلَّر اِكِعْي َن‬
[Surat Al-Baqarah 43]

( ‫)َو َأِقیُمو۟ا ٱلَّص َلٰو َة َو َء اُتو۟ا ٱلَّز َكٰو َة ُثَّم َت َو َّلۡی ُتۡم‬

[Surat Al-Baqarah 83]

(‫)َو َأِقیُمو۟ا ٱلَّص َلٰو َة َو َء اُتو۟ا ٱلَّز َكٰو َۚة َو َم ا ُتَقِّد ُمو۟ا َأِلنُفِس ُك م‬

[Surat Al-Baqarah 110]

(‫)َو ِفی ٱلِّر َق اِب َو َأَق اَم ٱلَّص َلٰو َة َو َء اَت ى ٱلَّز َكٰو َة‬

[Surat Al-Baqarah 177]

(‫)ِإَّن ٱَّلِذیَن َء اَم ُنو۟ا َو َعِم ُلو۟ا ٱلَّص ٰـ ِلَح اِت َو َأَق اُمو۟ا ٱلَّص َلٰو َة َو َء اَت ُو ۟ا ٱلَّز َكٰو َة‬

[Surat Al-Baqarah 277]

(‫)َأَلۡم َت َر ِإَلى ٱَّلِذیَن ِقیَل َلُهۡم ُك ُّفۤو ۟ا َأۡی ِدَی ُك ۡم َو َأِقیُمو۟ا ٱلَّص َلٰو َة َو َء اُتو۟ا ٱلَّز َكٰو َة‬

[Surat An-Nisa’ 77]

Na’am. Ayat-ayat yang banyak yang menunjukan Allah Subhanahu wa Ta’ala


menggandengkan antara shalat dengan zakat, sehingga beliau rahimahullah di dalam kitab
ini beliau juga menggandengkan sholat dan juga zakat sebagaimana Allah Subhanahu wa
Ta’ala juga menggandengkan diantara keduanya.

Dan beliau mendatangkan firman Allah yang ada di dalam surat Al Bayyinah.
Kemudian beliau mengatakan – ‫ – وتفسير التوحيد‬padahal di sini sedang membahas tentang
shalat dan juga zakat, tetapi beliau selipkan dengan – ‫– تفسير التوحيد‬

Kalau ditanya kenapa beliau melakukan demikian? Karena ingin menunjukan kepada kita
tentang kedudukan Tauhid. Sedikit-sedikit beliau membahas tentang Tauhid. Ketika di awal,
di risalah yang pertama dan ke dua membahas tentang Tauhid, ketika membahas tentang
Ma’rifatullah membahas tentang Tauhid jelas, ketika membahas tentang Ma’rifatu Dinil Islam
ketika menyebutkan tentang pengertian Islam, – ‫ – اإلستسالم هلل بالتوحيد‬langsung disebutkan
Tauhid. Sebelum beliau masuk kepada Ushulu Tsalasah juga disebutkan tentang Tauhid.
‫وأعظم ما أمر هللا به التوحيد‬

Maka ketika beliau menyebutkan shalat dan juga zakat dan ternyata di dalam ayat ini juga
disinggung tentang Tauhid.
Maka beliau mengatakan – ‫ – وتفسير التوحيد‬dan mungkin ini sebab yang ke dua kenapa beliau
mendatangkan ayat ini karena ayat itu juga di sini ada perintah untuk bertauhid.

Tauhid ini adalah asal dari agama kita. Pondasi agama kita ini adalah Tauhid. Inilah agama
para Nabi dan Rasul. Dien At Tauhid, Dienul Islam. Makanya beliau gandengkan terus ini
dengan Tauhid.

Mengenal Islam digandengkan dengan Tauhid, nanti mengenal Nabi Muhammad juga
digandengkan dengan tauhid, karena Tauhid ini adalah Ashl (pondasi), dengannya
diperintahkan manusia, dan dengan sebabnya diciptakan manusia.

‫قوله تعالى‬

‫َو َم ا ُأِمُروا ِإاَّل ِلَي ْع ُبُدوا َهَّللا ُم ْخ ِلِص يَن َلُه الِّد يَن ُح َنَفاَء‬

“Tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dalam keadaan mereka
mengikhlaskan agama,”
Tidaklah mereka diperintahkan kecuali dengan apa yang disebutkan setelahnya.

Pertama,

‫ِلَي ْع ُبُدوا َهَّللا ُم ْخ ِلِص يَن َلُه الِّد يَن ُح َنَفاَء‬

Di sini adalah perintah untuk bertauhid dan larangan untuk melakukan kesyirikan dan di sini
ada tafsir Tauhid, sebagaimana beliau ketika menyebutkan,
‫وتفسيرها الذي يوضحها‬

Beliau menyebutkan,

‫َو ِإْذ َق اَل ِإْب َر اِهيُم‬

Dan beliau menyebutkan,

‫ُقْل َي ا َأْه َل اْلِك َت اِب َت َع اَلْو ا ِإَلٰى َك ِلَم ٍة َس َو اٍء َب ْي َنَن ا َو َب ْي َن ُك ْم َأاَّل َن ْع ُبَد ِإاَّل َهَّللا‬
QS Ali Imran 64

Maka ini juga termasuk tafsirnya.


– ‫ – ِلَي ْع ُبُدوا َهَّللا‬kecuali untuk menyembah Allah.
Apa makna menyembah Allah (Tauhidullah)?

‫إال ِلَي ْع ُبُدْو َن أي ِلُيَو ِّح ُدْو َن‬

Sebagaimana ini adalah ucapan Abdullah Ibnu Abbas.

‫ ِلَي ْع ُبُدوا َهَّللا‬kecuali untuk menyembah Allah, maksudnya adalah ‫ِلُيَو ِّح ُدهللا‬, sebagaimana Allah
mengatakan- ‫ – ِلَي ْع ُبُدْو َن‬maksudnya adalah ‫ِلُيَو ِّح ُدْو َن‬.

Berarti ini sudah menunjukan tentang tauhid. Ditambah lagi – ‫ – ُم ْخ ِلِص يَن َلُه الِّد يَن‬mengikhlaskan
agama untuk Allah.
Dan ‫ الدين‬terkadang maknanya adalah ibadah, mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah, ini
termasuk Tauhid juga.

Ditambah lagi Allah mengatakan – ‫ – ُح َنَفاَء‬jama’ dari hanif yang artinya adalah muqbil ‘alallah
(orang yang menghadapkan dirinya hanya kepada Allah), ini juga Tauhid.

Dan ini semua konsekuensinya adalah meninggalkan segala sesuatu yang disembah selain
Allah. Tauhid artinya adalah menunggalkan/mengesakan, berarti selain Allah ditinggalkan.
Kalau selain Allah masih dipakai berarti belum muhlis.

– ‫ – ُح َنَفاَء‬hanya kepada Allah saja. Kalau dia masih kepada selain Allah
berarti belum Hanif, masih condong sana dan ke sini (kalau hanif
hanya satu saja). Berarti – ‫ – ِلَي ْع ُبُدوا َهَّللا ُم ْخ ِلِص يَن َلُه الِّد يَن ُح َنَفاَء‬ini adalah – ‫تفسير‬
‫ – التوحيد‬harus ada Nafyu dan harus ada Itsbat.

Kemudian setelahnya,

‫َو ُیِقیُمو۟ا ٱلَّص َلٰو َة َو ُیۡؤ ُتو۟ا ٱلَّز َكٰو َۚة‬

“Dan mereka mendirikan shalat dan juga membayar zakat.”


Ini adalah perintah yang ke dua dan ke tiga.

‫َو َم ۤا ُأِمُر ۤو ۟ا‬


“Dan tidaklah mereka diperintahkan.”
Dan asal dari perintah adalah wajib, menunjukan tentang wajibnya shalat, dan menunjukan
tentang wajibnya zakat. Di samping ayat-ayat yang lain yang banyak tadi.

‫و أِقیُمو۟ا ٱلَّص َلٰو َة َو ءۡا ُتو۟ا ٱلَّز َكٰو َۚة‬

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan,

‫ِإَّنَم ا الَّصَد َق اُت ِلْلُفَق َر اِء َو اْلَمَس اِكيِن َو اْلَع اِمِليَن َع َلْي َه ا َو اْلُم َؤ َّلَفِة ُقُلوُبُهْم‬
[At Taubah 60]

Dan terakhir Allah mengatakan,

‫ َف ِر یَض ࣰة ِّم َن ٱِۗهَّلل‬ini adalah kewajiban dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jadi mendirikan shalat dan juga membayar zakat berdasarkan ayat ini hukumnya adalah
wajib, karena beliau mendatangkan ayat ini ingin menunjukan kepada kita tentang wajibnya
shalat dan juga wajibnya zakat.

Barangsiapa yang mengingkari kewajiban shalat dan kewajiban zakat maka dia telah keluar
dari agama Islam. Mengatakan misalnya shalat tidak wajib meskipun dia lakukan, shalat
bersama kita, tapi kalau dia mengatakan ini tidak wajib, dia telah mengingkari sesuatu yang
‫( معلوم في الِّد يِن بالَّضرورِة‬sesuatu yang maklum diketahui di dalam agama kita ini). Semua orang
mengenalnya demikian, mengetahui bahwasanya shalat ini adalah wajib, kemudian dia
ingkari maka dia telah keluar dari agama Islam.

Sebagaimana orang yang menghalalkan sesuatu yang haram, yang maklum di dalam
agama ini ‫بالَّضرورِة‬. Keharaman yang dhohir yang semua orang Islam mengetahui itu adalah
haram kemudian dihalalkan oleh dia maka ini bisa mengeluarkan seseorang dari agama
Islam.

Halaqah 37 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil Rukun Islam Shalat dan
Zakat dan Tafsir Tauhid Bagian 2

Para ulama sepakat, orang yang mengingkari kewajiban zakat dan shalat, dia telah keluar
dari agama Islam. Adapun orang yang meninggalkan shalat dan dia masih mengakui
kewajiban tentang shalat, maka di sini para ulama berselisih pendapat tentang hukumnya.
Apakah dia statusnya masih sebagai seorang muslim yang menjadi saudara kita? Tapi dia
melakukan dosa yang besar meninggalkan kewajiban yang besar?
Atau statusnya sekarang dia sudah keluar dari agama Islam, bukan saudara kita?
Ini diperselisihkan oleh para ulama.

Kalau yang mengingkari kewajiban, mereka sepakat itu keluar dari agama Islam.
Ini masih mengakui shalat sebagai kewajiban, tapi dia meninggalkannya karena ‫تكاسال‬
(karena dia malas). Malasnya sangat, sampai dia meninggalkan shalat sama sekali.

Ada sebagian ulama yang mengatakan dia masih muslim tapi dia melakukan dosa yang
sangat besar.
Dan ada diantara mereka yang mengatakan dia sudah keluar dari agama Islam berdasarkan
firman Allah Azza wa Jalla, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan percakapan
antara Ahlul Jannah dengan orang-orang yang mereka adalah penduduk neraka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

‫فى َج َّن ٰـ ٍۢت َي َت َس ٓاَء ُلوَن ۞ َع ِن ٱۡل ُم ۡج ِر ِمين ۞ َم ا َس َلَك ُك ۡم ِفي َس َق َر‬

“Dan mereka saling bertanya tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa. Apa yang
menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?”

Dan mereka saling bertanya satu dengan yang lain, “Apa yang menjadikan kalian masuk ke
dalam Saqar?”

‫َق اُلوْا َلۡم َن ُك ِمَن ٱۡل ُم َص ِّليَن‬

Mereka menjawab, “Dahulu kami bukan termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat.”
[QS. Al-Muddatsir: 40-43]

Jawaban pertama mereka,

‫َق اُلوْا َلۡم َن ُك ِمَن ٱۡل ُم َص ِّليَن‬


“Karena dahulu ketika di dunia kami bukan termasuk orang yang mengerjakan shalat.”

Mungkin karena malas atau karena alasan lain kemudian mereka tidak mengerjakan sama
sekali shalat tersebut. Inilah yang menyebabkan mereka masuk ke dalam Saqar dan kekal
di sana.

Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini bahwa orang yang meninggalkan shalat (tidak
mengerjakan shalat sama sekali) dia telah keluar dari agama Islam.
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan,

‫َف ِإن َت اُبو۟ا َو َأَق اُمو۟ا ٱلَّص َلٰو َة َو َء اَت ُو ۟ا ٱلَّز َكٰو َة َف ِإْخ َٰو ُنُك ْم ِفى ٱلِّد يِن‬

“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka (mereka itu)
adalah saudara-saudaramu seagama.” [QS At-Taubah 11]

Berarti kalau mereka tidak mendirikan shalat, mereka bukan saudara kita seagama (mereka
orang kafir).

Kemudian Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan,

‫اْلَع ْهُد اَّلِذْي َب ْي َنَن ا َو َب ْي َن ُهُم الَّص َالُة َفَم ْن َت َر َك َه ا َفَقْد َكَف َر‬

“Perjanjian antara kita dengan mereka (antara kita dengan orang-orang kafir) adalah shalat.
Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka ia benar-benar telah kafir (maka sungguh dia
telah keluar dari agama Islam).”
[Hadits riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad]

Jika shalat berarti muslim. Kalau tidak shalat berarti keluar dari agama Islam.
Dalam hadits lain,

‫ِإَّن َب ْي َن الَّر ُج ِل َو َب ْي َن الِّش ْر ِك َو اْلُكْف ِر َت ْر ك الَّص َالِة‬

“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan juga kekufuran


adalah meninggalkan shalat.”
[Hadits riwayat Muslim]

Artinya barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka dia langsung masuk kepada
kesyirikan dan juga kekufuran. Orang yang meninggalkan shalat maka dia kufur dan juga
syirik. Batasnya ini saja, tidak ada yang lain.

Para ulama menyebutkan di sini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

‫الِّش ْر ِك َو اْلُكْف ِر‬

Pada kalimat ‫ الِّش ْر ِك َو اْلُكْف ِر‬terdapat huruf ‫ – ال‬maka yang dimaksud adalah ‫الشرك أكبر و الكفر أكبر‬
(asy-syirku akbar wal-kufru akbar). Tidak dimaksudkan kufur yang ashghar atau syirik yang
ashghar.

Ini adalah dalil yang jelas. Dan diantara ulama yang berdalil dengan dalil ini adalah Syaikh
bin Baz dan sebelumnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan ketika Nabi menyebutkan ‫ – ال‬di sini
menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
kekufuran yang besar.

Beda dengan sabda Nabi (misalnya),

‫اْث َنَت اِن ِفي الَّن اِس ُه َم ا ِبِه ْم ُكْف ٌر‬


(Dua hal pada manusia yang dapat menyebabkan kufur)

Sabda nabi ini tidak pakai ‫ – ال‬jadi maksudnya adalah kufrun ashgar.

‫الطعن في النسب والنياحة على الميت‬


(mencela nasab dan meratapi mayat)

Ini adalah kufrun ashgar, termasuk dosa besar tetapi tidak sampai mengeluarkan seseorang
dari agama Islam.
Dan seperti sabda Nabi,
‫ِس َب اُب اْلُمْس ِلِم ُفُسوٌق َو ِقَت اُلُه ُكْف ٌر‬

“Mencela seorang muslim merupakan kefasikan dan memeranginya merupakan kekufuran.”


[Muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh Imam Al- Bukhari dan Imam Muslim]

Memerangi dia adalah kufrun, apa maksudnya kufrun disini? Kufrun yang ashgar, dan ini
termasuk dosa besar akan tetapi tidak sampai mengeluarkan seseorang dari agama Islam.
Makanya Allah mengatakan,

‫َو ِإن َط ٓاِئَفَت اِن ِمَن ٱْلُمْؤ ِمِنيَن ٱْق َتَت ُلو۟ا َف َأْص ِلُحو۟ا َب ْي َن ُهَم ا‬

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu
damaikan antara keduanya.”[QS: Al-Hujurat 9]

Allah masih menamakan orang yang ‫( ٱْق َتَت ُلو۟ا‬iqtatalū) yaitu orang yang saling berperang,
sebagai orang-orang yang beriman.
Berarti kufrun di sini bukan kufrun yang merupakan kekufuran yang besar tapi maksudnya
adalah kufrun yang ashghar.

Halaqah 38 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil Rukun Islam Shalat dan
Zakat, Puasa dan Haji

Abdullah bin Syaqiq termasuk tabi’in, belajar dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin ‘Umar,
Utsman bin Affan, dan seterusnya.
Beliau mengatakan,

‫َك اَن َأْص َح اُب رسول هللا صلى هللا عليه وسلم َال َيَر ْو َن ِمَن اَألْع َم اِل َت ْر ُك ُه ُكْف ٌر َغ ْي َر الَّص َالِة‬

“Dahulu para sahabat Rasulullah tidak pernah memandang sebuah amalan yang kalau
ditinggalkan maka pelakunya menjadi keluar dari agama Islam, kecuali shalat.”

Ini adalah ucapan Abdullah Ibnu Syaqiq, yang menceritakan bagaimana dahulu para
sahabat Rasulullah memandang tentang orang yang meninggalkan shalat.

Ini menunjukkan tentang besar dan tingginya kedudukan shalat di dalam agama kita.
Terlepas dari mana yang lebih kuat, apakah pendapat yang mengkafirkan atau yang tidak
mengkafirkan.

Maka adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama tersebut menunjukkan tentang besar
dan bahayanya orang yang meninggalkan shalat.

Ketika para ulama berbicara tentang orang yang berzina, tidak ada ulama Ahlus Sunnah
yang mengatakan, “Orang yang berzina keluar dari agama Islam”, meskipun dia berkali-kali
melakukan perzinaan.

Ketika mereka berbicara tentang orang yang membunuh, tidak ada diantara mereka yang
mengatakan bahwasanya ”Orang yang membunuh itu keluar dari agama Islam”.
Semuanya mengatakan dia adalah:
• Fasiq
• Naqishul iman (orang yang berkurang kesempurnaan imannya).
• Murtakib al-Kabirah (pendosa besar).
• Tahta Masy-yaatillah (di bawah kehendak Allah).
• Min Syaa Adzābahu wa In syā’a ghafarallāhu.

Ketika membahas tentang riba, membahas tentang homoseksual, dan seterusnya, tidak ada
diantara ulama Ahlus Sunnah yang sampai mengkafirkan mereka.

Tetapi ketika berbicara tentang orang yang meninggalkan shalat, barulah di sini terjadi
perbedaan pendapat. Sebagian mengatakan kafir dan sebagian yang lain mengatakan
belum atau tidak kafir.
Ini menunjukkan bahwasanya perkara ini (yaitu) meninggalkan shalat bukanlah perkara
yang ringan.

Disebutkan oleh Syaikh Utsaimin, “Min Masaa-il Kibar (‫”)من مسائل كبر‬. Termasuk

Perkara yang besar bukan perkara yang ringan.

#ZAKAT

Membayar zakat juga demikian, termasuk kewajiban sebagaimana shalat.


Barangsiapa yang membedakan shalat ini wajib dan zakat tidak wajib, maka di zaman Abu
Bakar Ash-Shiddiq, diperangi oleh beliau.
Ketika beliau ditahan oleh Umar bin Khaththab karena akan memerangi orang yang tidak
mau membayar zakat, kemudian Umar bin Khaththab mengingatkan kepada Abu Bakar
dengan mengatakan, bukankah Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan,

‫هَّللا َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ ُأ‬ ‫ُأ‬


‫ِمْر ُت ن قاِتَل الَّن اَس َح َّت ى َي ْش َه ُدوا ن ال ِإلَه ِإَّال و َّن ُم َح َّم ًد ا َر ُسوُل ِهَّللا فإن َفَع لوا ذلَك َعَص ُموا ِم ِّن ي ِدَم اَء ُه ْم ِإَّال بَح ِّق اِإلسالِم‬

Mereka sudah bersyahadat kenapa kamu perangi?

Abu Bakar Ash-Shiddiq dikenal orang yang lembut, tetapi ketika saatnya beliau tegas maka
beliau akan tegas meskipun di hadapan Umar bin Khaththab.

Kemudian Abu Bakar mengatakan,

‫ُألَق اِتَلَّن َم ْن َف َّر َق َب ْي َن الَّصالِة والَّز كاِة‬

“Sungguh aku akan memerangi orang-orang yang membedakan antara shalat dengan
zakat.”

Kemudian beliau menjelaskan bahwasanya membayar zakat termasuk Min Haqqil Islam.
Karena di dalam hadits tadi disebutkan ‫ِإَّال بَح ِّق اِإلسالِم‬.

Dan termasuk hak Islam adalah mendirikan shalat dan membayar zakat.
Orang yang tidak mau membayar zakat beliau perangi dan ini disepakati oleh para sahabat
dan dilakukan oleh para sahabat.

Para ulama berselisih pendapat tentang orang yang tidak mau membayar zakat karena
beratnya membayar zakat. Apakah dia keluar dari agama Islam atau tidak? Dan pendapat
yang lebih shahih bahwasanya “Dia tidak keluar dari agama Islam.”
Karena disebutkan di dalam hadits, orang yang tidak membayar zakat ternak (sapi, unta,
atau kambing, misalnya) kelak dia akan disiksa oleh Allah Azza wa Jalla di Padang
Mahsyar. Allah akan datangkan hewan-hewan ternak
Yang tidak dibayarkan zakatnya itu, kemudian hewan-hewan itu akan menyiksa pemiliknya
disaksikan oleh manusia di padang Mahsyar.

Kemudian disebutkan dalam hadits,


‫ثَّم َي رى سبيَلُه إَّما إلى الجَّن ِة وإَّما إلى الَّن اِر‬

“Akan diperlihatkan jalannya, mungkin ke dalam surga atau ke dalam neraka.”

Dan hadits ini bercerita tentang orang-orang yang tidak membayar zakat, baik zakat emas,
perak, atau hewan ternak (unta) dan seterusnya.

Disebutkan ‫ إَّما إلى الجَّن ِة وإَّما إلى الَّن اِر‬dan ucapan (ancaman) ini tidak ditujukan kepada orang
kafir, karena orang kafir pasti ke dalam neraka.

Ketika disebutkan mungkin ke surga mungkin ke neraka, menunjukkan bahwasanya dia


masih ada kemungkinan masuk ke dalam surga.
Berarti orang yang meninggalkan zakat kalau dia masih meyakini kewajibannya, maka
pendapat yang shahih diantara pendapat ulama bahwasanya dia statusnya masih sebagai
seorang Muslim tetapi ‫متّو عد‬, mutawwa’ad, (diancam) dengan siksaan yang disebutkan dalam
hadits ini.

‫َو َذ ِلَك ِديُن اْلَقِّيَمِة‬

“Yang demikian adalah agama yang lurus.”

#PUASA

Kemudian beliau menyebutkan dalil tentang wajibnya puasa.

‫ودليل الصيام‬

Dan dalil dari puasa adalah firman Allah Azza wa Jalla,

‫َٰٓي َأُّيَه ا ٱَّلِذيَن َء اَم ُنوْا ُك ِتَب َع َلۡي ُك ُم ٱلِّص َي اُم َك َم ا ُك ِتَب َع َلى ٱَّلِذيَن ِمن َق ۡب ِلُك ۡم َلَع َّلُك ۡم َت َّتُقوَن‬

“Wahai orang-orang yang beriman. Telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
[QS. Al-Baqarah 183]
Yang dimaksud dengan puasa di sini adalah puasa Ramadhan.

Artinya ‫ ُك ِتَب‬adalah ‫ ُأوِج َب – ُفِر َض‬telah diwajibkan.


Dan yang dimaksud dengan puasa di sini adalah puasa Ramadhan. Karena setelahnya
Allah mengatakan,

‫َأَّي اٗم ا َّم ۡع ُدوَٰد ت‬

“Beberapa hari tertentu.” [QS. Al-Baqarah 184]


Kemudian Allah mengatakan,

‫َشۡه ُر َر َمَض اَن ٱَّلِذٓي ُأنِز َل ِفيِه‬

“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’ān.” [QS. Al-Baqarah
185]

Menunjukkan bahwasanya ‫ الصيام‬yang dimaksud pada ayat sebelumnya adalah shiyam di


bulan Ramadhan yang dilakukan ‫ َأَّي اٗم ا َّم ۡع ُدوَٰد ٖۚت‬yaitu selama 29 atau 30 hari sebagaimana telah
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, supaya kalian bertaqwa.

#HAJI

Adapun dalil yang menunjukkan tentang kewajiban haji adalah firman Allah,

‫َو ِهَّلِل َع َلى ٱلَّن اِس ِحُّج ٱۡل َب ۡی ِت َم ِن ٱۡس َت َط اَع ِإَلۡی ِه َس ِبی ࣰلۚا َو َم ن َكَفَر َف ِإَّن ٱَهَّلل َغ ِنٌّی َع ِن ٱۡل َع ٰـ َلِمیَن‬
[Surat Ali Imran 97]

‫وِهَّلِل َع َلى الناس‬

“Dan bagi Allah atas manusia”, ini yang menunjukkan wajibnya haji.

Kalau yang shiyam tadi, ‫ُك ِتَب‬

Ini yang menunjukkan wajibnya Shiyam.


Kalau yang shalat dan zakat tadi, ‫ َو َم ٓا ُأِمُر ٓو ْا‬menunjukkan tentang kewajibannya.

‫َع َلى الناِس‬


Artinya adalah atas manusia. Maknanya adalah kewajiban, kewajiban bagi kamu (manusia)
‫( وهلل‬untuk Allah).

Apa yang dilakukan?


‫ِحُّج الَب ِيت‬
“Berhaji ke Baitullah.”

Berhaji ke Baitullah adalah kewajiban manusia untuk Allah. Ini takdir dari ucapan ini.
Berhaji ke Baitullah adalah ‫ – َع َلى الناِس‬kewajiban atas manusia untuk Allah. Jadi wajib bagi
mereka untuk menyerahkan haji ini kepada Allah saja.

Apakah untuk seluruh manusia?


‫َم ِن ٱۡس َت َط اَع ِإَلۡی ِه َس ِبی ࣰلا‬
“Bagi orang yang mampu untuk menuju ke sana.”

Dan yang dimaksud dengan istithā’a ( ‫ )استَط اَع‬di sini adalah baik kemampuan harta maupun
kemampuan fisik.

‫َو َم ن َكَف َر‬


“Dan barangsiapa yang kufur.”

Kufur di sini ada dua:


1. Kufur mengingkari kewajiban haji.
2. Tidak mau melakukan haji karena malas, sayang dengan fisik atau hartanya (tetapi dia
mengakui wajibnya haji).

Kalau dia mengingkari kewajiban haji maka masuk ke dalam kekufuran yang besar.
Dan kalau dia menetapkan kewajiban haji, tetapi dia tidak melakukan haji karena malas,
maka dia masuk ke dalam kufur yang ashghar, yaitu dosa.
‫َف إَّن َهلَّلا َغ ني ِع ن الَع اَلِمين‬
“Maka sesungguhnya Allah tidak butuh kepada seluruh alam ini.”

Kita haji atau tidak haji, Allah tidak butuh. Yang mengambil faedah itu adalah kita sendiri.
Kita ibadah atau tidak ibadah, Allah tidak butuh yang demikian. Yang mengambil faedah dari
ibadah adalah kita sendiri.

‫َف إَّن َهلَّلا َغ ني ِع ن الَع اَلِمين‬


“Sesungguhnya Allah Maha Kaya dari seluruh alam.”

Allah tidak butuh dengan ibadah yang dilakukan oleh makhluk, tapi makhluk-lah yang butuh
ibadah kepada Allah Azza wa Jalla.

Halaqah 39 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Tingkatan Iman dan
Cabang-Cabangnya Bagian 1

Beliau rahimahullah mengatakan,


‫ اإليمان‬:‫المرتبة الثانية‬

Tingkatan ke dua, yaitu diantara tiga tingkatan yang ada di dalam Islam yang dibawa oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah tentang ‫اإليمان‬.

Al-Iman (‫ )اإليمان‬adalah tingkatan yang ke-2 yang lebih tinggi daripada Al Islam.

Dari sini kita mengetahui bahwasanya Iman sebagaimana Islam, terkadang maknanya
adalah umum dan terkadang maknanya adalah khusus.

Adapun makna umum, maka seluruh apa yang ada di dalam agama ini adalah Iman, baik
yang dhohir maupun yang bathin, baik berupa ucapan, keyakinan, atau amalan.

Iman menurut Ahlus Sunnah adalah,

‫ وعمل باألركان‬،‫ وقول باللسان‬،‫ اعتقاد بالجنان‬:‫اإليمان‬


“Keyakinan di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan oleh anggota badan.”

Di sini kita sedang berbicara makna Iman secara umum. Seperti ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan,

‫ بضع وسبعون شعبة‬: ‫اِإليَم اُن‬


“Iman itu adalah 70 cabang lebih.”

Ini beliau sedang berbicara tentang Iman secara umum yang mencakup agama ini
seluruhnya, baik yang diucapkan oleh lisan, diyakini di dalam hati, maupun yang dilakukan
oleh anggota badan.

Kemudian di sana ada Iman dengan makna khusus yaitu, amalan-amalan yang bathin.
Contohnya adalah Hadits Jibril yang nanti akan disebutkan oleh pengarang di akhir
pembahasan tentang masalah ‫معرفة دين اإلسالم باإلدلة‬.

Ketika beliau menyebutkan tingkatan Islam yang jumlahnya ada tiga: Islam, Iman, dan
Ihsan.
Kira-kira Iman yang dimaksud oleh beliau di sini Iman dengan makna apa?
Iman dengan makna khusus.
Darimana kita tahu?

Ketika Iman digandeng dan disandingkan dengan Islam, maka ia memiliki makna yang
khusus.
Dia mewakili amalan-amalan yang bathin.
Adapun Islam karena dia datang, maka dia mewakili amalan-amalan yang dhohir.

Jadi ketika beliau menyebutkan Maratibu Al- Islam (‫ )مراتب اإلسالم‬yang jumlahnya ada 3, maka
beliau memaksudkan Iman dalam arti khusus.

Kemudian beliau mengatakan,

‫وهو بضع وسبعون شعبة‬


“Dan Iman ini adalah 70 cabang lebih.”
Di sini beliau akan berbicara tentang Iman secara umum, ini dulu yang dibahas. Baru
setelah itu beliau membahas tentang Iman secara khusus.

Iman secara umum ada 70 cabang lebih dan ini adalah lafadz yang ada di dalam dalil. Di
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan juga Muslim dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam mengabarkan
bahwasanya Iman itu ada 70 cabang lebih.
‫بضع‬
Bidh’un adalah jumlah antara 3 sampai 9.
‫بضع وسبعون‬
Bidh’un wa sab’una, berarti bilangan antara 73 sampai 79.
‫بضع و ستون‬
Bidh’un wa sittuna, berarti bilangan 63 sampai 69.

Di sana ada perbedaan di dalam riwayat. Dalam sebagian riwayat disebutkan ‫بضع وسبعون شعبة‬
(bidh’un wa sab’una syu’bah).

Di dalam riwayat lain ‫( بضع و ستون شعبة‬bidh’un wa sittuna syu’bah).

Dan ada sebagian riwayat syak yaitu keraguan dari rawi, apakah di sana ada pertentangan?
Jawabannya, tidak.

Disebutkan oleh sebagian ulama bahwasanya penyebutan yang lebih kecil yaitu 60 bukan
berarti dia menafikan yang lebih besar.
Ketika seseorang menyebutkan Iman itu ada 60 cabang, bukan berarti dia menafikan
bahwasanya di sana ada lebih dari 60. Di sana ternyata ada 70, karena maksudnya adalah
60 cabang ini adalah termasuk keimanan dan tidak menafikan bahwasanya yang 10 itu
bukan termasuk keimanan. Ini diucapkan oleh Al Imam An-Nawawi rahimahullah.

‫فان العرب قد تذكر للشيء عددا و التريد نفي ماسواه‬


Terkadang orang Arab menyebutkan sebuah bilangan dan dia tidak bermaksud untuk
menafikan yang selain itu.

Dia hanya ingin mengitsbat (menetapkan) bahwasanya 60 ini adalah termasuk bagian dari
keimanan dan bukan berarti dia menafikan yang selainnya.

Para ulama ketika mereka mendengar hadits Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam tentang
jumlah cabang Iman. Maka sebagaimana kita ketahui ilmu yang mereka miliki, pengalaman
mentadaburi, dan seterusnya tentunya memiliki dampak di dalam keyakinan mereka.
Sehingga ketika mereka mendengar Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam mengabarkan
bahwasanya Iman ini ada 70 cabang lebih, maka tentunya di dalam hati mereka ada
tashdiq, mereka yakin dengan seyakin-yakinnya bahwasanya kenyataan (hakikatnya)
adalah seperti yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwasanya Iman
adalah 70 cabang lebih.

Sehingga sebagian mereka, bukan karena syak, tapi justru ini adalah karena keyakinan.
Mereka ingin takkid (meyakinkan) bahwasanya jumlahnya adalah seperti yang dikabarkan
oleh Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Akhirnya sebagian mereka membaca Al Qur’an dari awal sampai akhir.

Dan tentunya bukan ini saja, tapi ini merupakan ibadah rutin bagi para ulama, yaitu
membaca Al Qur’an tapi dia niatkan sambil dia mentadabburi Al Qur’an, mengumpulkan
cabang-cabang keimanan yang diisyaratkan oleh Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam.

Misalnya, mereka memulai dari Al Fatihah, mereka membaca apa yang termasuk cabang-
cabang keimanan. Ayat demi ayat mereka baca. Kemudian sampai Al Baqarah misalnya.
Allah mengatakan,

‫ٱَّلِذيَن ُيْؤ ِم ُنوَن ِبٱْلَغ ْيِب‬


“Mereka yang beriman kepada yang ghoib.”
Termasuk cabang keimanan adalah beriman dengan yang ghaib.

‫َو ُيِقيُموَن ٱلَّص َلٰو َة‬

Termasuk cabang keimanan adalah mendirikan shalat.

‫َو ِمَّما َر َز ْق َن ٰـ ُهْم ُينِفُقوَن‬


Termasuk cabang keimanan adalah berinfaq dan juga bershadaqah.
(QS. Al-Baqarah 3)

‫َو ٱَّلِذيَن ُيۡؤ ِم ُنوَن ِبَم ٓا ُأنِز َل ِإَلۡي َك َو َم ٓا ُأنِز َل ِمن َق ۡب ِلَك‬
Termasuk cabang keimanan adalah beriman dengan kitab.

Dan seterusnya,kemudian mereka menemukan tentang Jihad, Zakat, Birul walidain, Al –


Ihsanillah Jarr, Al-Ihsanilladzil Qurba, Shaum, Al Hajj dan seterusnya sampai An-Naas,
mereka hitung dan mereka tulis berapa cabang keimanan yang mereka dapatkan.
Halaqah 40 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Tingkatan Iman dan
Cabang-Cabangnya Bagian 2

Para ulama setelah mereka selesai berusaha untuk mengumpulkan cabang-cabang


keimanan yang ada di dalam Al-Qur’an, maka mereka kembali membuka hadits-hadits Nabi
Shallallahu ‘alayhi wa sallam yang tentunya mereka para ulama adalah ahlinya.

Itu adalah makanan mereka sehari-hari. Mereka juga menghafal hadits-hadits Nabi
Shallallahu ‘alayhi wa sallam sebagaimana mereka menghafal Al-Qur’an. Kesibukan mereka
memang dalam Al-Qur’an dan juga Hadits yang merupakan masdar dari ilmu ini.

Akhirnya mereka satu persatu membuka hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Akhirnya terkumpul di hadapan mereka jumlah yang banyak, cabang-cabang keimanan di
dalam Al-Qur’an, dan cabang-cabang keimanan yang ada di dalam As-sunnah.

Misalnya, cabang-cabang keimanan yang ada di dalam Al-Qur’an ada 50 sementara yang
ada di dalam As-Sunnah ada 40. Kemudian mereka lihat kembali ternyata diantara cabang-
cabang keimanan tadi ada yang berulang.

Puasa disebutkan di dalam Al-Qur’an dan juga disebutkan di dalam As-Sunnah.


Shalat lima waktu disebutkan di dalam Al-Qur’an dan juga disebutkan di dalam As-Sunnah.
Birul walidain disebutkan di dalam Al-Qur’an dan juga disebutkan di dalam As-Sunnah.
Maka yang berulang tentunya dicoret. Dikumpulkan oleh mereka ternyata mereka
mendapatkan bahwasanya jumlah cabang-cabang keimanan yang mereka kumpulkan itu
seperti yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam ‫ ( بضع وسبعون شعبة‬iman ini
adalah 70 cabang lebih).

Ada diantara mereka yang menghitung ada 73.


Ada diantara mereka yang menghitung ada 74.
Ada diantara mereka yang menghitung katanya lebih dari itu.

Kenapa di sini sampai berbeda satu dengan yang lain? Sebagian menyebutkan ini kembali
kepada ijhtihad (pendapat) mereka.
Ada diantara mereka terkadang memandang dua amalan dianggap itu adalah satu amalan.
Sebagian yang lain melihat adanya perbedaan.
Ini bisa melihat, ini tidak melihat. Ini rejeki dari Allah. Mungkin ilmu yang Allah berikan
kepada sebagian, sehingga dia bisa membedakan.
Misalnya tentang masalah Al-Khauf wal Khasy-yah mungkin sebagian membedakan.
Apa bedanya Al-Khauf wal Khasyyah?
Dia adalah rasa takut, sehingga dijadikan satu, dalil tentang Khauf yaitu dalil tentang Khasy-
yah.

Adapun yang lain maka sebagian bisa memiliki ilmunya dan bisa membedakan, kemudian
mengatakan oh Khasy-yah itu demikian, Khauf itu demiķan.
Sehingga dijadikan beda cabangnya, tapi semuanya sama-sama mengatakan bahwasanya
Khauf dan Khasy-yah adalah bagian dari keimanan. Tapi yang jelas mereka mendapatkan
seperti yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam.

Ini adalah hikmah kenapa Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan ‫بضع وسبعون شعبة‬,
Beliau tidak berbicara dengan hawa nafsunya. Allah tahu bahwasanya kelak akan ada
perbedaan pendapat diantara para ulama.
Dua ibadah dianggap itu satu. Atau satu ibadah dipisah karena dia memiliki makna yang
berbeda.

Dan para ulama ketika mereka sudah mengumpulkan cabang-cabang keimanan tadi seperti
misalnya Al-Baihaqi, beliau punya kitab Syu’bul Iman (cabang-cabang keimanan) tentunya
setelah mereka mengumpulkan dan persis sebagaimana dikabarkan oleh Nabi Shallallahu
‘alayhi wa sallam, bertambah ilmu dan bertambah keimanan. Yang sebelumnya sudah ada
keyakinan, tapi ketika mempraktekkan benar, dan merasakan, dan menemukan sendiri
apalagi tentunya bukan perkara yang mudah membaca Al Qur’an sambil mentadabburi,
mengumpulkan. Ini bukan pekerjaan yang ringan dan mungkin saja mereka bukan hanya
sekali untuk melakukannya.

Karena ini berkaitan dengan agama, dua kali, tiga kali mereka mengulang lagi,
mengumpulkan kembali cabang-cabang keimanan tadi.
Ketika mereka sudah bisa dan menemukan sebagaimana dikabarkan oleh Nabi, bertambah
keimanan mereka. Mereka berusaha untuk mengamalkan.

Jadi dikumpulkan bukan hanya sekedar pengetahuan, bangga bisa mengumpulkan cabang-
cabang keimanan tadi, tapi diharapkan dengan dikumpulkan menjadi satu seperti ini dalam
satu kitab, memudahkan mereka untuk mengamalkan, memudahkan mereka untuk
mengecek mana yang sudah dan mana yang belum.
Jadi mereka dahulu berusaha untuk mewujudkan dan mengamalkan 70 cabang lebih ini.
Mereka ingin menyempurnakan iman. Setelah seseorang mengetahui ternyata cabang-
cabang keimanan adalah ini, maka dia berusaha untuk menyempurnakan.

Bagaimana cara menyempurnakan iman?


Semakin banyak dia mengamalkan cabang-cabang keimanan tersebut maka akan semakin
sempurna imannya.
Beda antara orang yang mengamalkan 60 cabang dengan orang yang hanya mengamalkan
30 cabang.

Inilah keadaan yang mereka berlomba di dalamnya. Berlomba di dalam menyempurnakan


iman, bukan berlomba dalam masalah dunia. Tapi berlomba siapa diantara mereka yang
paling banyak mewujudkan cabang-cabang keimanan. Sehingga tidak heran apabila para
ulama Salaf, para imah dahulu, mereka terkumpul dalam diri-diri mereka hishaalul khair,
cabang-cabang keimanan, kebaikan-kebaikan. Dia adalah seorang ahli ibadah dan dia
adalah seorang ahli ilmu, sekaligus dia adalah seorang mujahid, sekaligus dia adalah orang
yang senang berinfaq, dan seterusnya.

Inilah maksud mereka mengumpulkan cabang-cabang keimanan tadi, untuk memudahkan


mereka beramal dan untuk memuhasabah diri mereka.
Mana cabang keimanan yang belum pernah ana amalkan. Memberi makan orang miskin
misalnya.

Ana belum pernah misalnya, menanggung anak yatim, padahal Nabi Shallallahu ‘alayhi wa
sallam mengatakan,

‫َأَن ا َو َك اِفُل اْلَي ِتيِم َك َه اَت ْي ِن‬


“Aku dan anak yatim di akhirat seperti dua jari ini (yaitu sangat dekat kedudukannya).”

Akhirnya dia berusaha dengan harta yang dia miliki, kalau memang dia adalah orang yang
punya, maka dia mencari ada tidak anak yatim yang bisa ana tanggung. Tetangganya
misalnya, atau keluarganya misalnya, ditinggal mati bapaknya dalam keadaan dia masih
kecil.

Terus, dia berusaha melihat mana cabang keimanan yang belum dia laksanakan sehingga
dia berharap setiap hari keimanannya bertambah. Dan dia bisa ngecek yang sudah pernah
dia laksanakan, apakah dia benar-benar ikhlas di dalamnya atau tidak.
Oh yang ini ana masih kurang, yang ini ana masih kurang khusyu’, oh masalah shalat
berjama’ah ana belum terlalu bersungguh-sungguh, masih sering terlambat. Masalah
menghadiri majelis ilmu ana masih banyak kekurangan di dalamnya.
Terus, dia perbaiki tentang keikhlasannya, tentang disiplinnya, tentang kesungguhannya.
Inilah manfaat Kitab Syu’bul Iman. Oleh karena itu kitab-kitab tersebut bagus kita memiliki
perhatian terhadap kitab-kitab tadi, diantaranya adalah yang dikarang oleh Al Baihaqi.
Beliau memiliki kitab Syu’bul Iman dan juga Al Haliimi memiliki kitab dalam tema yang sama,
yaitu pengumpulan Syu’bul Iman.

Halaqah 41 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Cabang Keimanan Tertinggi
Adalah Laa Ilaaha Illallaah

Beliau rahimahullah mengatakan,

‫ ال إله إال هللا‬: ‫فأعالها قول‬

“Yang paling tinggi adalah ucapan Laa Ilaaha Illallaah.”

Ini adalah yang paling tinggi diantara cabang-cabang keimanan.


Kalau iman diibaratkan pohon, pohon ini menjulang ke atas, memiliki cabang-cabang dan
daun-daun.

Diantara makna cabang yang paling tinggi adalah orang yang beriltizam dengannya, maka
dia mendapatkan pahala yang paling besar. Pahala orang yang mengucapkan Laa Ilaaha
Illallaah. Ikhlas dari hatinya, maka dia akan mendapatkan pahala yang paling besar.

Semuanya berpahala, baik dari nomor 1 sampai nomor 73, dan yang paling besar
pahalanya adalah orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah.

Sebelumnya beliau rahimahullah sebutkan,

‫وأعظم ما أمر هللا به التوحيد‬

“Yang paling besar yang Allah perintahkan adalah Tauhid.”


Yang paling besar kalau kita kerjakan kita dapat pahala yang paling besar, karena Tauhid
adalah perintah yang paling besar. Maka orang yang mengerjakannya, dia akan
mendapatkan pahala yang paling besar.

Sehingga ketika kelak didatangkan seorang laki-laki, yang dia memiliki dosa yang banyak,
didatangkan di depannya 99 sijjil (kitab yang besar, dan kitab tersebut isinya dosa dan
maksiat yang dia lakukan di dunia). Murtakibul Kabirah, yaitu orang yang terus melakukan
dosa besar, sampai kitab yang besar satu tidak cukup untuk menulis dosanya. Ditambah
dengan kitab yang ke dua, terus dia melakukan dosa, kitab yang ke tiga, dst sampai 99 sijjil,
yang isinya adalah dosa dan juga maksiat.

(Kemudian dia) ditanya oleh Allah, “Kamu punya kebaikan atau tidak?”
Dia mengatakan, “Tidak, Ya Allah.”

(Orang tersebut) sudah dalam keadaan takut atas dirinya, melihat dosa yang begitu banyak,
melihat kitab yang isinya adalah catatan-catatan dosa dan juga maksiat.

Kemudian Allah bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki kebaikan?”


Dia mengatakan, “Tidak ya Allah.”
Kemudian Allah mengatakan kepadanya,

‫َب َلى ِإَّن َلَك ِع ْن َد َن ا َح َس َن ًة َف ِإَّن ُه َال ُظْلَم َع َلْي َك اْلَي ْو َم‬

“Engkau memiliki kebaikan di sisi kami dan sesungguhnya engkau tidak akan didholimi hari
ini.”

‫َفَت ْخ ُرُج ِبَط اَقٌة ِفيَه ا َأْش َه ُد َأْن َال ِإَلَه ِإَّال ُهَّللا َو َأْش َه ُد َأَّن ُم َح َّم ًد ا َع ْبُدُه َو َر ُسوُلُه‬

Maka dikeluarkanlah untuknya sebuah kartu yang bertuliskan dua kalimat syahadat.

‫َف َي ُقوُل اْح ُضْر َو ْز َن َك‬

Kemudian Allah mengatakan, “Datangkan timbangannya!”

‫َف َي ُقوُل َي ا َر ِّب َم ا َهِذِه اْلِبَط اَقُة َمَع َهِذِه الِّس ِج َّالِت‬
Laki-laki ini pun bingung karena Allah mengatakan dia memiliki kebaikan.

Kemudian satu kartu tadi ditimbang dengan 99 sijjillaat.


Sebagaimana kita tahu bahwa kartu adalah sesuatu yang tipis dan kecil dibandingkan
dengan kitab.
Seandainya kartu tersebut dibandingkan dengan satu kitab tentunya lebih berat sebuah
kitab.

Lalu bagaimana dengan 99 kitab yang disebutkan dalam hadits, kitab tersebut luasnya atau
panjangnya sejauh mata memandang.

Maka tidak heran bila laki-laki ini mengatakan, “Ya Allah apa perbandingan antara satu
bithaqah ini dengan 99 sijjil ini?”

Karena dia melihat kecilnya sebuah kartu dan hanya satu, kemudian dibandingkan dengan
banyaknya sijjil ini dan dia adalah barang yang sangat besar.

‫َفَقاَل ِإَّن َك َال ُتْظ َلُم‬


Allah mengatakan kembali, “Sesungguhnya engkau tidak akan didholimi.”

‫َفَم ن َي ْع َم ْل ِم ْث َقاَل َذ َّر ٍة َخ ْي ًۭر ا َيَر ُهۥ ۞ َو َم ن َي ْع َم ْل ِم ْث َقاَل َذ َّر ٍۢة َش ًّۭر ا َيَر ُه‬

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah-pun, niscaya
dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al-Zalzalah :7-8)

Akan engkau akan lihat kebaikan itu sekecil apapun di mata manusia.

‫َق اَل َف ُتوَض ُع الِّس ِج َّالُت ِفي ِك َّفٍة َو اْلِبَط اَقُة ِفي ِك َّفٍة َف َط اَش ِت الِّس ِج َّالُت َو َثُقَلِت اْلِبَط اَقُة‬

“Maka diletakkanlah pertama kali 99 sijillat pada satu daun timbangan kemudian diletakkan
kartu itu (bithaqah) yang bertuliskan ‫ – َأْش َه ُد َأْن َال ِإَلَه ِإَّال ُهَّللا َو َأْش َه ُد َأَّن ُم َح َّم ًد ا َع ْبُدُه َو َر ُسوُلُه‬pada daun
timbangan yang lain.”
Ternyata apa yang terjadi?
Maka menjadi terlemparlah, menjadi sangat ringanlah 99 sijjillaat tadi.
Saking beratnya bithaqah, sehingga sijjillaat tadi ‫ طاشت‬menjadi terlempar ke atas. Bukan
hanya sekedar jalan pelan-pelan, tapi dia ( ‫ )َط اَش ِت‬terlempar ke atas dengan sebab ditaruhnya
bithaqah yang bertuliskan ‫ َأْش َه ُد َأْن َال ِإَلَه ِإَّال ُهَّللا َو َأْش َه ُد َأَّن ُم َح َّم ًد ا َع ْبُدُه َو َر ُسوُلُه‬pada daun yang satunya.

‫َو َثُقَلِت اْلِبَط اَقُة‬

Akhirnya bithaqah itulah yang lebih berat daripada 99 sijjil tadi.

‫َفَال َي ْث ُقُل َمَع اْس ِم ِهَّللا َش ْي ٌء‬

“Maka tidak ada yang bisa mengimbangi beratnya nama Allah.”

Ini menunjukkan bahwasanya qaulu “Laa Ilaaha Illallaah” pahalanya sangat besar.
Dan yang menjadi andalan kita (hasanah kita) yang paling besar bukan puasa, shadaqah,
shalat kita, tapi Tauhid kita kepada Allah, yaitu kita tidak menyembah selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

Jadikanlah Tauhid sebagai amalan andalan kita dalan bertemu dengan Allah Azza wa Jalla.
Ya Allah, aku tidak menyembah fulan dan fulan, akan tetapi Engkau Tahu bahwasanya aku
hanya menyembah dirimu.
Jadikan ini sebagai amalan andalan bagi kita ketika kelak kita bertemu dengan Allah Azza
wa Jalla.

Tauhid adalah hasanah yang paling besar, sehingga penting sekali kita menjaga Tauhid
karena ini adalah amalan andalan kita.
Jagalah Tauhid, dalami Tauhid, pelajari Tauhid, dakwahkan Tauhid. Karena dakwah ini
adalah termasuk yang menjadi sebab seseorang istiqomah di atas agamanya.
Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abdurrazzaq bahwasanya diantara cara untuk
istiqomah adalah dengan cara dakwah.

Dengan berdakwah antum bisa belajar, bisa menambah keimanan, dan mungkin dido’akan
oleh banyak orang, karena orang yang berdakwah akan dido’akan oleh banyak orang. Akan
dido’akan dengan rahmat, dengan ampunan, dikuatkan, dan diberi kesehatan oleh Allah.
Dan ini termasuk usaha kita di dalam menjaga Tauhid. Maka jangan kita sia-siakan nikmat
Tauhid yang sudah Allah berikan kepada kita.
Maka tidak heran jika Beliau Shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan,

‫أعالها قول ال إله إال هللا‬

“Yang paling tinggi adalah ucapan Laa Ilaaha Illallaah.”

Tentunya apabila diucapkan dengan ikhlash, dengan shidq, dengan mahabbah, dan
terpenuhi di dalamnya syarat Laa Ilaaha Illallaah, yang jumlahnya ada 7.
Para ulama mengatakan bahwasanya 7 syarat Laa Ilaaha Illallaah ibarat gigi pada sebuah
kunci.

Dikatakan kepada Wahab Ibnu Munabbih, di zaman beliau ada orang yang mengatakan
kepada beliau,

‫َأَلْي َس َال ِإَلَه ِإَّال ُهَّللا ِم ْف َت اُح اْلَج َّن ِة‬

“Bukankah ucapan Laa Ilaaha Illallaah adalah kunci Surga?”

Ada sebagian orang yang dia menyepelekan masalah dosa dan juga maksiat, karena dia
mengatakan Laa Ilaaha Illallaah.
Kemudian dia mengatakan,
Saya sudah mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah, berarti saya telah mempunyai kunci untuk
masuk ke dalam Surga (menyepelekan tentang maksiat dan dosa).

Kemudian Wahab Ibnu Munabbih mengatakan,

‫ يشير باألسنان إلى شروط «ال إله إال‬، ” ‫ وإال لم ُيفتح لك‬، ‫ فإن أتيت بمفتاح له أسنان ُفتح لك‬، ‫بلى ؛ ولكن ما من مفتاح إال له أسنان‬
‫هللا» الواجب التزامها على كل مكلف‬

‫بلى ؛ ولكن ما من مفتاح إال له أسنان‬


Iya benar. Laa Ilaaha Illallaah adalah kunci Surga. Orang yang mengucapkan Laa Ilaaha
Illallaah berarti dia punya kuncinya. Tapi bukankah setiap kunci itu pasti punya gigi. Kalau
engkau datang membawa kunci yang memiliki gigi, maka akan dibukakan pintu surga.

Jumlah gigi (syarat) Laa Ilaaha Illallaah ada 7:


⑴ Al-Ilmu (mengilmui)
⑵ Ash-Shidqu (membenarkan)
⑶ Al-Mahabbah (mencintai)
⑷ Al-Inqiyadu (menaati)
⑸ Al-Ikhlash
⑹ Al-Yaqin (meyakini)
⑺ Al-Qabul (menerima)

Mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah, harus berdasarkan ilmu, jujur dalam mengucapkannya,
tidak bohong, senang dan cinta dengan kalimat ini.

Mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah dengan gembira dan senang dan apabila mendengar
orang lain mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallaah.

Kemudian dia meng-inqiyad yaitu melaksanakan konsekuensi dari ucapan Laa Ilaaha
Illallaah. Dia tinggalkan kesyirikan, dia berlepas diri dari orang-orang musyrik dan juga
kesyirikan.

Ikhlash di dalam mengucapkannya, bukan riya, yakin terhadap apa yang ada di dalamnya
berupa kandungannya.
Yakin bahwasanya tidak ada yang disembah kecuali Allah.
Kemudian dia menerima, tidak memberontak dan membangkang dari kalimat Laa Ilaaha
Illallaah.

Apabila terpenuhi 7 syarat ini maka dia telah mendatangkan kunci Surga lengkap dengan
giginya dan akan dibukakan pintu Surga untuknya. Tapi jika mengucapkan Laa Ilaaha
Illallaah tapi ada gigi yang patah satu atau lebih, maka tidak bisa untuk membuka.
Mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah tapi tidak ikhlas, tidak yakin, tidak ada mahabbah, patah
giginya, maka tidak ada faidahnya.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam ‫ من قال ال اله اال هللا دخل الجنة‬adalah benar, bahwasanya
orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah, akan masuk Surga tetapi dengan kunci yang
memiliki 7 gigi ini.

Halaqah 42 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Cabang Keimanan Terendah
Adalah Menyingkirkan Gangguan dari Jalan

Beliau rahimahullah mengatakan,

‫وأدناها إماطة األذى عن الطريق‬

“Cabang-cabang keimanan yang paling rendah


Adalah menyingkirkan gangguan di jalan.”

Cabang yang paling bawah adalah yang paling kecil pahalanya, yaitu menyingkirkan
gangguan di jalan.
Misalnya: Seseorang melihat di jalan ada sesuatu yang bisa membuat ban bocor atau ada
sesuatu yang dikhawatirkan terkena kaki seseorang atau ada lubang yang dikhawatirkan
bila ada sepeda lewat bisa jatuh.
Maka dia singkirkan gangguan dari jalan tersebut. Dia mendapatkan pahala, kalau dia
melakukannya dengan ihtiisaaban, mengharap pahala dari Allah. Meskipun pahalanya
adalah yang paling kecil.

Jangan dipahami kalau menyingkirkan gangguan dari jalan adalah cabang keimanan yang
paling rendah, kemudian dianggap orang yang tidak menyingkirkan gangguan dari jalan
berarti dia tidak memiliki keimanan. Jangan dipahami demikian. Kemudian mengatakan, ini
adalah tingkatan iman yang paling rendah. Kalau sampai tidak memiliki tingkat ini berarti dia
keluar dari agama Islam.

Jika cabang keimanan yang paling rendah saja dia tidak punya menunjukkan dia telah
keluar dari Islam. Jangan dipahami demikian.

Tapi pemahaman yang benar Wallahu Ta’ala A’lam adalah seperti yang tadi kita sebutkan
bahwasanya menyingkirkan gangguan di jalan adalah cabang keimanan yang pahalanya
paling kecil dan tidak berarti orang yang tidak melakukannya kemudian dia keluar dari Iman
atau keluar dari Islam.
Banyak diantara kita orang Islam ketika melihat sesuatu yang menganggu orang lain di jalan
dia biarkan saja. Bahkan dia sendiri yang menjadi penyebabnya, misalnya dengan parkir
sembarangan.
Perkara ini tidak diajarkan di dalam agama Islam.
Ketika sedang kajian jangan kita parkir sembarangan. Jangan sampai kotoran dari rumah
kita menganggu orang yang ada di jalan.
Orang beriman memiliki perasaan jangan sampai dia menjadi sebab terganggunya orang
lain di jalan.

Kita diperintahkan untuk menyingkirkan. Kalau melihat ada gangguan yang ada di jalan, kita
diperintahkan untuk menyingkirkan. Maka tentunya lebih diperintahkan lagi untuk mencegah
diri dari menjadi sebab terganggunya orang lain di jalan. Kita singkirkan meskipun yang
melakukan bukan kita. Misalnya ada orang yang buang sesuatu di tengah jalan,
mengganggu manusia. Jangan mengatakan, yang buang bukan saya kok. Tapi kita ingat
hadits ini, kita singkirkan, dengan ihtiisaaban, mengharap pahala dari Allah, meskipun
pahalanya adalah pahala yang kecil diantara 73 cabang yang lain.

Tapi apakah yang kecil tadi Allah sia-siakan di akhirat? Tidak.


‫َفَم ن َي ْع َم ْل ِم ْث َقاَل َذ َّر ٍة َخ ْي ًۭر ا َيَر ُه‬

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah 7)

‫َم ن َج ٓاَء ِبٱْلَح َس َن ِة َف َلُهۥ َع ْش ُر َأْم َث اِلَه ا‬

“Orang yang datang membawa kebaikan di akhirat maka baginya (pahala) minimal sepuluh
kali lipat amalnya.” (QS. Al-An’am 160)

Bukan semuanya kemudian dilipatgandakan hanya 10 kali. Tidak. Allah akan lipatgandakan
sesuai dengan kehendaknya, dilihat dari keikhlasan, kesungguhan, dan mutaba’ah-nya.
Mungkin bisa 20, 50, 100, sampai 700 bahkan bisa lebih.

Kalau seseorang menyingkirkan gangguan dari jalan, kemudian di hatinya bermunculan


perasaan mengharap pahala dari Allah, membayangkan pahala di akhir, membayangkan
bagaimana seseorang selamat dari gangguan, melakukan itu semua karena mengharap
pahala dari Allah, ikhlas karena Allah, mungkin saja Allah Subhanahu wa Ta’ala
melipatgandakan amalan yang sebenarnya pahalanya adalah paling kecil tadi, tapi dengan
keutamaan, rahmat, fadhl dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah lipatgandakan
sehingga menjadi amalan yang besar.
Disebutkan di dalam hadits,

‫ َفَس َقْت ُه َفُغ ِفر َلَه ا ِبِه‬،‫ َفَنَز َع ْت ُموَقَه ا فاْس َت قت َلُه ِبِه‬، ‫َب ْي َن ما َك ْلٌب ُيطيف ِبرِكَّيٍة َقْد َك اَد يْقُتُله اْلعَط ُش ِإْذ رأْت ه بِغٌّي ِمْن َب َغ ايا َب ِني ِإْس َر ائيَل‬
“Ketika seekor anjing sedang mencari-cari, hampir-hampir rasa haus itu menjadikan dia
meninggal dunia, tiba-tiba seorang pelacur dari pelacur-pelacur Bani Israil melihat anjing ini
dan ada di dalam hatinya iba, rahmat, sayang kepadanya meskipun itu adalah seekor
anjing. Akhirnya tergerak hatinya, dia lepaskan sepatunya dan mengambil air dengannya
kemudian memberikan minum kepada anjing tersebut. Maka Allah mengampuni dosa
pelacur tadi.”

Jangan dilihat kepada anjing dan hewan yang dia berikan minum tadi. Tapi Allah melihat
apa yang ada di dalam hatinya berupa keikhlasan. Ketika dia melakukannya, tidak ada yang
melihat, tidak ingin dipuji oleh orang, tidak ingin dikatakan sebagai penyayang binatang, dsb.
Dia lakukan ikhlas karena Allah, maka Allah mengampuni dosanya.

Dosa berzina adalah dosa besar, apalagi dijadikan sebagai mata pencaharian, bukan hanya
sekali dua kali dia lakukan. Tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni dosanya dengan
sebab keikhlasan dan kesungguhan di dalam hatinya.
Ini adalah syahid. Terkadang amalan yang kecil jika kita sertai dengan keikhlasan maka
akan dibesarkan oleh Allah pahalanya.

Kemudian setelahnya beliau menyebutkan tentang cabang keimanan yang berada diantara
yang tinggi dan yang rendah.

Beliau rahimahullah mengatakan,

‫والحياء شعبة من اإليمان‬

“Dan rasa malu adalah cabang dari keimanan.”

Darimana kita tahu bahwasanya hayyaa’ (‫ )حياء‬Ini adalah bukan yang a’laa (‫ )أعال‬bukan juga
yang adnaa (‫)أدنا‬. Tapi dia ada diantara yang a’laa dan adnaa. Dia adalah salah satu diantara
cabang-cabang keimanan.

Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak menyebutkan apakah rasa malu ini ada di nomor 60
atau 50 atau 40, yang jelas dia adalah satu diantara cabang-cabang keimanan.
Yang dimaksud dengan malu di sini adalah malu yang menyebabkan seseorang
menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Inilah malu yang merupakan cabang
diantara cabang-cabang keimanan.
Misalnya, malu karena jahil terhadap agamanya, akhirnya dia belajar. Malu menjadi seorang
laki-laki yang shalatnya hanya di rumah terus seperti wanita, akhirnya dia menjalankan
perintah. Malu kepada Allah karena sudah diberi nikmat tetapi nikmat tersebut digunakan
untuk kemaksiatan. Malu kepada Allah yang telah meluaskan rezeki (misalnya), tapi tidak
semakin baik amalannya, tidak semakin baik ketaatannya. Maka dia malu sehingga
menjadikannya makin kuat menjalankan perintah dan makin getol menjauhi larangan Allah.
Inilah malu yang merupakan cabang keimanan, malu yang terpuji, malu yang baik adalah
yang demikian.

Adapun malu yang sebaliknya, justru menjadikan seseorang meninggalkan perintah Allah
seperti misalnya:
Ana malu untuk berjilbab nanti dikatakan sok suci. Ana malu kalau ke masjid nanti dikatakan
sok shalih. Ana malu kalau menghadiri majelis ilmu. Ana malu kalau di dalam bus baca Al-
Qur’an. Ana malu kalau di dalam bus membaca kitab agama.

Maka ini adalah rasa malu yang tercela dan bukan merupakan cabang dari keimanan.
Rasa malu yang merupakan cabang keimanan adalah rasa malu yang hasilnya menjadikan
dia menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah.

Beliau ingin menjelaskan bahwasanya iman


Dengan makna umum adalah demikian. Berarti iman mencakup amalan dhohir maupun
amalan bathin.
Coba antum lihat yang ada di dalam hadits,

‫بضع وسبعون شعبة‬

Adakah di sini amalan yang dhohir?


Mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah.
Apalagi yang dhohir?
‫إماطة األذى عن الطريق‬
Ini adalah amalan yang dhohir.

Adakah amalan yang bathin?


‫الحياء شعبة من اإليمان‬
Ini adalah amalan bathin.

Maka ini adalah Iman secara umum mencakup amalan yang dhohir maupun yang bathin.

Halaqah 43 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Rukun Iman Ada Enam

Kemudian beliau menyebutkan bahwasanya cabang-cabang keimanan yang jumlahnya 73


ternyata memiliki rukun atau bagian yang paling penting di dalam Iman.
Jumlah rukunnya ada 6 dan dia berada di tingkat yang paling tinggi diantara cabang-cabang
keimanan.

Urutan ke-1 sampai ke-6 adalah 6 rangking pertama yang ditempati oleh Arkanul Iman yang
merupakan 6 perkara yang paling penting, yang paling besar pahalanya di dalam cabang-
cabang keimanan.

Yang paling tinggi adalah ucapan “Laa Ilaaha Illallaah”. Qaulu “Laa Ilaaha Illallaah” masuk di
dalam ‫( اإليمان باهلل‬Al-Imanubillah) yang merupakan rukun iman yang paling tinggi (Iman
kepada Allah).
Urutan ke-1 sampai ke-6 adalah rukun Iman yang enam.
1. Iman kepada Allah
2. Iman kepada Malaikat
3. Iman kepada Kitab
4. Iman kepada Rasul
5. Iman kepada Hari akhir
6. Iman kepada Takdir

Rukun Iman yang 6 ini menempati 6 rangking yang pertama dari cabang-cabang keimanan
dan dia adalah arkan atau rukunnya. Kalau satu diantara rukun iman ini tidak ada, maka
seseorang bisa keluar dari keimanan.

Adapun yang lain, urutan setelahnya (nomor 7,8,9, dan seterusnya) maka ini terbagi-bagi.
Ada diantaranya yang merupakan:
1. Ushulul Iman atau arkanul iman, pondasi keimanan
2. Kamalul Iman Al Wajib
3. Kamalul Iman Al Mustahab

Ushulul Iman (pondasi keimanan) jumlahnya ada 6 (Rukun Iman), sedangkan urutan ke-7
hingga yang paling rendah (Adnaa) terbagi menjadi 2, yaitu :
⑴ Kamalul Iman Al Wajib (Kesempurnaan Iman yang wajib)
⑵ Kamalul Iman Al Mustahab (Kesempurnaan Iman yang dianjurkan)

Jangan kita tertipu dengan ucapan kesempurnaan, kemudian dianggap itu tidak harus,
misalnya. Tidak.

Kesempurnaan itu ada dua:


⑴ Kesempurnaan yang Wajib
⑵ Kesempurnaan yang Sunnah

Kesempurnaan yang wajib, misalnya berbakti kepada orang tua, menafkahi istri dan anak,
silaturahim, shalat, puasa.

Kesempurnaan yang sunnah, misalnya shalat rawatib, puasa Senin Kamis, shadaqah.

Ini tadi ada di dalam cabang-cabang keimanan dari urutan ke-7 sampai yang akhir.
Kesempurnaan Iman yang wajib kalau sampai ditinggalkan dia berdosa.
Kesempurnaan Iman yang mustahab kalau dia tinggalkan maka dia tidak berdosa.

Maka yang beliau sebutkan di sini adalah yang rukun-rukun dahulu. Diantara 70 cabang
lebih tadi beliau isyaratkan sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam mengisyaratkan,
ada yang tinggi (A’laa) ada yang rendah (Adnaa).
Ini menunjukkan bahwasanya Iman ada yang berupa amalan bathin dan amalan dhohir.
Maka beliau mulai dengan menyebutkan yang rukun di antara cabang-cabang keimanan
tadi.

Beliau rahimahullah mengatakan,

‫ وبالقدر خيره شره كله من هللا‬،‫ واليوم اآلخر‬،‫ ورسله‬،‫ وكتبه‬،‫ ومالئكته‬،‫ أن تؤمن باهلل‬:‫وأركانه ستة‬.
“Rukunnya ada 6: Beriman kepada Allah, Beriman kepada Malaikat, Beriman kepada Kitab,
Beriman kepada Rasul, Beriman kepada Hari Akhir, dan beriman dengan Takdir yang baik
dan buruk, semuanya adalah dari Allah.”

Ini menunjukkan tentang keharusan kita memperhatikan tentang perkara-perkara yang


dimasukan di dalam agama kita sebagai rukun.
Kalau kita tahu bahwasanya Iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Akhir, Takdir,
Allah jadikan sebagai rukun keimanan yang kalau sampai satu diantara rukun iman tadi tidak
ada maka batal keimanannya, maka kita harus punya perhatian dan mempelajari rukun
Iman yang 6 ini.

Sebagaimana ketika kita membahas tentang Islam, kita harus punya perhatian besar
terhadap rukun Islam yang 5 (lima).
Ketika datang waktu subuh, dhuhur, ashar, rasakanlah bahwasanya kita sedang melakukan
perkara yang besar diantara ibadah-ibadah yang diwajibkan oleh Allah.

Ketika datang Ramadhan kita berpuasa selama 30 hari, kita sedang melakukan perkara
yang besar dalam agama ini. (Allah masukan ini di dalam rukun).
Kalau kita termasuk orang yang punya harta, maka ingat kewajiban zakat yang ada di dalam
harta tersebut, dan ini termasuk syiar, bahkan dia termasuk rukun di dalam agama Islam.

Kalau kita punya kemampuan untuk melakukan haji ke Baitullah, maka jangan ditunda kalau
kita memiliki harta, kemampuan fisik, dan mempunyai mahram bagi wanita maka jangan kita
tunda, tapi harus kita laksanakan dan segera kita laksanakan, karena ini Allah masukan
dalam rukun Islam dan merupakan perkara yang besar di dalam agama ini.

Termasuk masalah rukun Iman ini, maka kita harus pelajari dengan baik. Dan tentunya
mempelajari rukun Iman yang 6 ini, dan di dalamnya ilmu dan penjabaran yang luas tentang
Iman kepada yang 6.
Dan tidak semua yang ada di dalam rukun Iman
Wajib kita ketahui semua.
Misalnya, beriman kepada Malaikat.
Tidak wajib bagi kita mengenal semua nama-nama malaikat, mengenal amalan-amalan
malaikat, atau nama-nama para Rasul yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Apakah dinamakan beriman kepada Malaikat, beriman kepada Rasul, seorang wajib
mengenal dan menghapal nama Malaikat atau Rasul tersebut?
Jawabannya bukan sebuah keharusan.
Di sana ada kadar tambahan dan di sana ada kadar yang wajib. Kadar dalam beriman
dengan rukun Iman yang 6.

Ada kadar yang wajib (yang cukup): kadar wajib yang mencukupi, yaitu mencukupi untuk
dinamakan orang yang beriman kepada Allah, beriman kepada Kitab, beriman kepada
Rasul, dan seterusnya.
Ada kadar yang tambahan (kesempurnaan).

Maka hendaklah kita mengetahui apa itu kadar yang wajib. Jangan sampai kita hanya
memiliki sesuatu yang tidak mencukupi wajibnya. Maka kita harus mengetahui apa yang
wajib.
Jangan sampai yang kita miliki itu masih kurang dari kadarnya. Karena ini adalah kadar
minimal yang mencukupi.
Kita harus tahu apa kadar yang mencukupi dari beriman kepada Allah, sehingga kita bisa
menimbang dan melihat keadaan kita.
Ini sudah atau belum?

Dan kita dalam mendakwahi orang lain, kita harus bijaksana. Kalau kita mengetahui mana
kadar yang wajib, mana kadar yang harus minimal dimiliki oleh seseorang, maka Insya Allah
kita lebih bijaksana dalam mendakwahkan kepada orang lain.
Karena kalau kita tahu mana kadar yang wajib, maka kita tidak membebani orang lain di luar
kemampuannya.

Pak yang penting antum bisa ini, memahami ini, ini, dan ini, maka itu sudah kadar yang
minimal (antum sudah dinamakan orang yang beriman kepada Allah). Setelah itu kalau
memang punya kemampuan, silahkan mempelajari lebih luas. Tapi minimal adalah memiliki
keimanan ini dan ini.

Sehingga seseorang harus mempunyai target, yang penting dia sudah paham dan yakin
bahwasanya Malaikat itu makhluk Allah. Dan diantara Malaikat ada Malaikat yang bernama
Jibril atau Malaikat yang ditugaskan untuk menyampaikan wahyu kepada seorang Rasul,
maka itu sudah cukup dinamakan dia sebagai orang yang beriman kepada Malaikat.
Ini menjadikan kita lebih bijaksana dalam berdakwah.

Halaqah 44 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Kadar Minimal Rukun-Rukun
Iman

Kita sebutkan di sini kadar minimal dari beriman terhadap Rukun Iman yang 6.
• Beriman kepada Allah (‫)أن تؤمن باهلل‬

Maka kadar yang wajib, (minimal/)yang mencukupi) adalah,


1. Beriman dengan keberadaan Allah, artinya Allah itu ada dan ini harus ada dalam diri
seseorang.
2. Allah adalah Rabb yang memiliki sifat-sifat Rububiyyah. Kalau ada tapi tidak memiliki sifat
Rububiyyah berarti dia kurang dari yang minimal (tidak dinamakan beriman kepada Allah).
3. Meyakini bahwa Rabb adalah yang disembah (ilaah). Kalau dia meyakini wujud Allah, dan
meyakini bahwasanya Dia-lah Allah (Rabb), tapi dia tidak menyembah Allah berarti dia
kurang dari kadar wajib.
4. Dia meyakini bahwasanya yang disembah (Rabb) Dia memiliki nama dan juga sifat.
Minimal dia meyakini Allah itu punya nama dan juga punya sifat.

Apa sifat-sifatnya?

Sifat-sifat Allah adalah Istiwaa (‫)استواي‬، Yad (‫)اْلَي ُد‬, Ashaabi’ ( ‫)َأَص اِبُع‬.

Jika dia tidak bisa menyebutkan sifat-sifat Allah (karena tidak tahu) tapi dia yakin bahwa
Allah memiliki nama dan sifat, batal tidak keimanannya? Tidak.
Karena kadar minimalnya dia meyakini bahwa Allah itu mempunyai nama dan juga sifat.
Masalah perinciannya dia tidak tahu (karena belum belajar) maka itu tidak sampai
membatalkan keimanannya.
Tapi kalau dia sudah pernah mendengar sebelumnya dan sudah terpatri di dalam hatinya
bahwa Allah mempunyai nama dan sifat.
Misalnya, ketika sedang membaca Al-Qur’an, Allah mengatakan : ‫ – َو ُه َو ٱْلَغ ُفوُر ٱلَّر ِحيُم‬kemudian
dia tahu, “Oh di antara nama Allah adalah ‫”ٱْلَغ ُفوُر ٱلَّر ِحيُم‬.

Ketika dia sudah mendengar, maka dalam keadaan demikian dia harus meyakini bahwa
diantara nama Allah adalah ‫ ٱْلَغ ُفوُر ٱلَّر ِحيُم‬.

Dan diantara sifat Allah adalah istiwaa.


]5:‫الَّر ْح َم ُن َع َلى اْلَع ْر ِش اْس َت َو ى [طه‬
Dalam keadaan sudah mendengar maka kewajiban dia untuk meyakini bahwa Allah memiliki
sifat Al Istiwaa, dan ini kadar minimal dari beriman kepada Allah.

• Beriman dengan Malaikat-Nya (‫)ومالئكته‬

Beriman dengan malaikat-malaikat-Nya


Kadar minimalnya adalah,
1. Meyakini bahwasanya Malaikat adalah makhluk. Mereka ada dan mereka adalah makhluk
Allah, bukan sekedar hayalan semata atau cerita fiktif semata.
2. Meyakini ada diantara mereka yang ditugaskan menurunkan wahyu kepada para Nabi.
Dia meyakini, “Oh di sana ada Malaikat yang ditugaskan untuk menyampaikan wahyu.” Ini
sudah cukup.
Kalau ditanya siapa namanya dan dia tidak tahu maka jangan dihukumi dia orang yang
keluar agama Islam.
Karena dia sudah memiliki kadar minimal, jika dia tidak tahu nama Malaikat itu, itu bukan
termasuk kadar minimal.
Kalau dia tahu nama Malaikat itu, maka ini tambahan (tambahan ilmu). Setelah datang ilmu,
maka kewajiban dia untuk meyakini yang demikian.

Setelah datang ilmu bahwasanya Malaikat yang menyampaikan wahyu adalah Jibril, maka
kewajiban kita adalah beriman.
Oleh karena itu ketika kita mengetahui namanya maka keimanan kita harus bertambah.
Harus berbeda antara orang yang tahu dengan orang yang tidak tahu.

‫ُقْل َه ْل َي ْس َت ِو ي اَّلِذيَن َي ْع َلُموَن َو اَّلِذيَن ال َي ْع َلُموَن‬

Sama-sama memiliki kadar minimal. Orang awam, dia punya kadar minimal. Seorang
penuntut ilmu ketika dia tahu sebuah ilmu, berarti bertambah keimanannya.
Misalnya, nama Malaikat yang menyampaikan wahyu adalah Jibril, nama lainnya adalah
Ruhul Qudus, Ruhul Amin. Dia memiliki sifat Amin dan sifat Qudus, jauh dari dosa, dia bisa
menjelma sebagai manusia, dan seterusnya.
Tentunya berbeda keimanan seorang thalabul ilmi dengan seorang awam. Semakin dia
banyak menuntut ilmu diharapkan semakin banyak keimanan.

• Beriman dengan Kitab-Kitab-Nya (‫)وكتبه‬

Maka kadar minimalnya adalah,


1. Meyakini bahwasanya Allah menurunkan kitab kepada siapa yang Allah kehendaki
diantara para Rasul.
Allah menurunkan kitab kepada siapa yang Allah kehendaki diantara para Rasul.
Jadi dia punya keimanan yang global. Allah menurunkan kitab ke dunia ini kepada Rasul
(utusan) bukan kepada sembarang orang. Allah berikan kepadanya kitab di dalamnya ada
perintah dan larangan.
2. Meyakini bahwasanya kitab-kitab tadi digunakan oleh mereka untuk menghukumi
diantara manusia karena di dalamnya ada hukum Allah.
Mereka menghukumi ini boleh ini tidak, ini halal ini haram, ini wajib ini sunnah dari kitab-
kitab tersebut. Jadi secara global dia meyakini kitab-kitab tersebut di dalamnya ada hukum
Allah.
3. Meyakini bahwasanya kitab-kitab sebelum Al-Qur’an telah dihapus dengan Al-
Qur’an.

Ini adalah kadar minimal dari beriman dengan Kitab.


Masalah dia tidak tahu tentang kitab Taurat, Injil, Shuhuf Ibrahim, Shuhuf Musa, itu bukan
termasuk kadar minimal. Itu adalah tambahan pengetahuan.
Tapi minimal dia meyakini Allah menurunkan kitab dan kitab-kitab itu untuk menghukumi
diantara manusia, dilakukan oleh para Rasul. Dan meyakini bahwasanya Al-Qur’an yang
dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah naasikhoh (penghapus)
terhadap kitab-kitab sebelumnya.

• Beriman dengan Rasul-Rasul-Nya (‫)ورسله‬

Kadar minimalnya adalah,


1. Meyakini bahwasanya Allah mengutus para Rasul untuk berdakwah.
Allah mengutus (ada utusan) ini keyakinan yang termasuk kadar minimal.
2. Rasul tersebut mendakwahkan kepada Tauhid.
3. Rasul yang terakhir adalah Muhammad, tidak ada Rasul setelah Beliau.
Adapun tentang siapakah perincian para Rasul, nama-nama, dan sifat-sifat serta
kekhususan para Rasul,maka ini adalah kadar tambahan.

• Beriman dengan Hari Akhir (‫)اليوم اآلخر‬

Kadar minimalnya adalah,


1. Meyakini bahwasanya Allah akan membangkitkan. Maksudnya Allah akan
menghidupkan orang yang sudah meninggal.
Minimal meyakini bahwa Allah akan membangkitkan manusia. Kalau sampai keyakinan ini
tidak ada, maka dia keluar dari agama Islam.
2. Meyakini bahwasanya Allah akan membalas. Jadi mereka bukan dibangkitkan lalu
dihidupkan kembali setelah itu dibiarkan begitu saja. Tetapi mereka akan dibalas.

]٣١:‫ِلَي ْج ِز َي اَّلِذيَن َأَس اُءوا ِبَم ا َعِم ُلوا َو َي ْج ِز َي اَّلِذيَن َأْح َس ُنوا ِباْلُحْس َن ى [النجم‬

3. Dibalas dengan Surga atau Neraka. Berarti harus meyakini adanya Surga dan
Neraka. Nomor 3 ini bisa dimasukkan ke dalam nomor 2.
Adapun perincian yang terjadi di sana, ini adalah kadar tambahan yang kalau kita ketahui
secara terperinci akan berpengaruh terhadap keyakinan seseorang.
Jika kita tahu perincian apa yang terjadi di hari akhir adalah tambahan ilmu dan tambahan
keimanan.

• Beriman dengan Takdir (‫)وبالقدر خيره شره‬

Kadar minimalnya adalah,


1. Beriman bahwa Allah telah menakdirkan segala sesuatu yang baik maupun yang buruk
sejak dahulu.
2. Tidaklah terjadi di dunia ini kecuali dengan kehendak-Nya. Ini adalah kadar minimal dari
beriman dengan takdir.

Sehingga diharapkan kita mengetahui tentang keadaan diri kita. Dan sebagai seorang da’i,
seorang mu’allim, kita harus memiliki target, memiliki kebijaksaan di dalam mendakwahi
orang lain.

Halaqah 45 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil Rukun Iman yang
Enam

Kemudian setelahnya beliau menyebutkan tentang dalil Rukun Iman yang enam ini.
Beliau mendatangkan dalil,

‫َأ‬
‫ َّلْي َس اْلِبَّر ن ُتَو ُّلوْا ُو ُجوَه ُك ْم ِقَبَل اْلَم ْش ِر ِق َو اْلَم ْغ ِر ِب َو َلـِكَّن اْلِبَّر َم ْن آَمَن ِباِهّلل َو اْلَي ْو ِم اآلِخ ِر‬:‫والدليل على هذه األركان الستة قوله تعالى‬
‫ْل‬
]177:‫َو ا َمآلِئَك ِة َو ا ِك َت اِب َو الَّن ِبِّييَن [البقرة‬ ‫ْل‬

“Bukanlah kebaikan itu kalian memalingkan wajah-wajah kalian ke timur ataupun ke barat
akan tetapi yang dimaksud dengan kebaikan ( ‫ )اْلِبَّر‬adalah orang yang beriman kepada Allah
dan hari akhir dan malaikat dan juga kitab dan para Nabi.” [QS. Al-Baqarah 177]

Syahidnya di sini adalah ‫ َو َلـِكَّن اْلِبَّر‬akan tetapi kebaikan (intinya) adalah beriman kepada
Allah, beriman kepada hari akhir, beriman kepada malaikat, beriman kepada kitab, dan para
nabi.
Ayat ini berkaitan tentang orang-orang Yahudi
Ketika kiblat kaum muslimin berpindah dari masjidil Aqsa ke masjidil Haram, mereka
menertawakan kaum muslimin. Kemudian Allah menamakan mereka sebagai ‫ٱلُّس َفَه ٓاُء‬.

‫َس َي ُقوُل ٱلُّس َفَه ٓاُء ِمَن ٱلَّن اِس َم ا َو َّلٰى ُهْم َع ن ِقْب َلِتِه ُم ٱَّلِتى َك اُنو۟ا َع َلْي َه ا‬
“Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: “Apakah yang
memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah
berkiblat kepadanya?” [QS. Al-Baqarah:142]

Sebelumnya orang-orang Yahudi senang, mereka gembira melihat kiblat kaum muslimin
sama dengan kiblat mereka.
Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam saat itu ingin kiblat kaum muslimin pindah ke masjidil
Haram.
Alasannya:
1. Beliau termasuk Ahlu Mekkah, sejak kecil beliau dekat dengan Baitullah dan Baitullah
dibangun oleh bapak mereka yaitu Ibrahim.
2. Beliau ingin menyelisihi orang-orang Yahudi.

Ketika Allah mengabulkan keinginan Beliauu, orang-orang Yahudi pun mencemooh kaum
Muslimin dan menyepelekan kaum Muslimin.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’āla mengatakan,

‫َّلْي َس اْلِبَّر َأن ُتَو ُّلوْا ُو ُجوَه ُك ْم ِقَبَل اْلَم ْش ِر ِق َو اْلَم ْغ ِر ِب‬

Bukan ‫( ِبَّر‬birr) itu hanya sekedar masalah memalingkan wajah ke timur atau ke barat (ke
Masjidil Aqsa atau ke Baitul Haram), bukan itu sebenarnya.

Birr ( ‫ )ِبَّر‬/kebaikan itu adalah berimannya kita kepada Allah, ikutnya kita kepada Allah.

Sebelumnya kiblat orang Islam adalah ke Masjidil Aqsa kemudian berpindah ke Masjidil
Haram.
Kenapa kiblat mereka pindah?

Karena iman mereka kepada Allah. Itulah Al-Birr ( ‫ )اْلِبَّر‬bukan hanya sekedar memalingkan
wajah ke masjidil Haram atau ke masjidil Aqsa.
Iman yang ada di dalam hati, itu yang Allah hitung.

‫َو َلـِكَّن اْلِبَّر َم ْن آَمَن ِباِهّلل‬

Al-Birr (kebaikan) yang sebenarnya adalah beriman kepada Allah seperti yang dilakukan
oleh kaum muslimin.
‫َو اْلَي ْو ِم اآلِخ ِر َو اْلَمآلِئَك ِة َو اْلِك َت اِب َو الَّن ِبِّييَن‬

Di dalam ayat ini hanya disebutkan lima perkara, beriman kepada Allah, beriman kepada
Hari Akhir, beriman kepada Malaikat, beriman kepada Kitab, dan beriman kepada Nabi.
Kemudian beliau rahimahullah mendatangkan ayat lain yang di dalamnya disebutkan
tentang Iman dengan takdir.

Dan dalil tentang takdir adalah firman Allah,

]49:‫ ِإَّن ا ُك َّل َش ْي ٍء َخ َلْق َن اُه ِبَقَد ٍر [القمر‬:‫ودليل القدر قوله تعالى‬

“Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu dengan takdir.” [QS. Al-Qamar:49]

Ini dijadikan oleh ulama sebagai dalil bahwasanya Allah ‫( يقدر‬yuqaddir).

Sebelum Allah menciptakan, Allah takdirkan terlebih dahulu. Allah tentukan terlebih dahulu
kebaikan juga kejelekan, kemudian setelah itu Allah menciptakan.

‫َس ِّب ِح ٱْس َم َر ِّب َك ٱَأْلْع َلى ۞ ٱَّلِذي َخ َلَق َفَس َّو ٰى ۞ َو ٱَّلِذي َقَّد َر َفَه َد ٰى‬

“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.


Yang menciptakan, lalu menyempurnakan (ciptaan-Nya). Yang menentukan kadar (masing-
masing) dan memberi petunjuk.” [QS. Al-A’la :1-3]

Dan Allah mengatakan,

‫َو َخ َلَق ُك َّل َش ْى ٍۢء َفَقَّد َر ُهۥ َت ْق ِديًۭر ا‬

“Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” [QS. Al Furqon: 2]

Ini adalah dalil tentang beriman dengan takdir dan ayat-ayat Allah itu saling melengkapi satu
dengan yang lain.
Sebagaimana kita beriman dengan lima Rukun Iman yang disebutkan di dalam Surat Al-
Baqarah ayat 177. Demikian pula kita beriman dengan takdir yang Allah sebutkan di
Dalam ayat-ayat lain. Dan kita harus beriman dengan semuanya.

Jangan seperti Ahlul Kitab yang mereka beriman dengan sebagian yang ada di dalam kitab
dan dia kufur dengan sebagian yang lain.

‫ُتْؤ ِم ُنوَن ِبَب ْع ِض ٱْلِك َت ٰـ ِب َو َت ْك ُفُروَن ِبَب ْع ٍۢض‬

“Mereka beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian
yang lain.” [QS. Al-Baqarah 85]

Kita orang yang beriman,

‫َء اَم َّن ا ِبِهۦ ُك ٌّۭل ِّمْن ِع نِد َر ِّب َن ا‬

“Kami beriman dan semuanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [QS. ALI Imran: 7]

Halaqah 46 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Tingkatan Islam Ke Tiga
Adalah Ihsan dan Rukunnya

Kemudian beliau rahimahullah mengatakan,

) ‫ فإن لم تكن تراه فإنه يراك‬،‫ ( أن تعبد هللا كأنك تراه‬:‫ وهو‬،‫ ركن واحد‬:‫ اإلحسان‬:‫المرتبة الثالثة‬

Tingkatan yang ke tiga : Al-Ihsan (‫)اإلحسان‬

Secara bahasa, Ihsan adalah Al-Itqan artinya puncaknya atau maksimalnya dia dalam
melakukan sesuatu.

Ihsan dari kata Ahsana (‫ )احسن‬Yuhsinu (‫ يحسن‬Ihsanan (‫)احسان‬

Ahsana ( ‫ )أحسَن‬artinya memperbaiki

Hasan (‫ )حسن‬artinya baik

Jadi orang yang Ihsan adalah orang yang selalu memperbaiki. Memperbaiki baik amalan
dhohir maupun amalan bathinnya.
Ihsan adalah tingkatan yang paling tinggi, karena dia sudah Ihsan di dalam Islam dan
Imannya, baik amalan dhohir maupun bathinnya.

Ihsan hanya memiliki satu rukun.


Rukun ini memiliki 2 tingkatan:
1. Tingkatan Musyaahadah
Engkau beribadah kepada Allah saja seakan-akan engkau melihatnya.
2. Tingkatan Muraaqabah
Jika engkau tidak melihat Allah, maka sesungguhnya Dia (Allah) melihatmu.

Tingkatan pertama (Musyaahadah) ini lebih tinggi daripada yang ke dua, yaitu:

‫أن تعبد هللا كأنك تراه‬

“Engkau menyembah kepada Allah saja seakan-akan engkau melihat-Nya.”

Kenapa di sini memakai kata seakan-akan?Karena seseorang di dunia ketika dia beribadah
kepada Allah tidak mungkin dia melihat Allah, karena Allah tidak mengizinkan manusia untuk
melihatnya ketika di dunia. Tapi Allah akan mengizinkan orang-orang yang beriman untuk
melihatnya di akhirat.

Misalnya (perumpamaan):
Seorang karyawan memiliki atasan yang sangat dihormati, kemudian atasan tersebut
memberi amanah atau perintah untuk mengerjakan suatu pekerjaan (laporan, misalnya) dan
laporan itu harus selesai saat itu dan atasan (pimpinan) menunggu hasil pekerjaan tersebut.
Sebagai seorang karyawan pastinya dia akan mengerjakan pekerjaan itu dengan sebaik-
baiknya dan sungguh-sungguh.
Kenapa? Karena pimpinannya saat itu ada di depannya dan memperhatikan pekerjaan.
Karyawan itu akan bekerja maksimal (sebaik-baiknya) karena dia sedang diawasi
pimpinannya.

Demikian pula orang yang beribadah kepada Allah seakan-akan dia melihat Allah maka Dia
akan beribadah secara maksimal karena dia merasa Allah melihatnya, Allah ada di
depannya.
Tingkatan Kedua (Muraaqabah)

‫فإن لم تكن تراه فإنه يراك‬

“Jika kamu tidak melihatnya maka ketahuilah bahwasanya Dia (Allah) melihatmu.”

Misalnya (perumpamaan):
Seorang karyawan sedang bekerja, saat itu pimpinannya tidak ada di depan dia, tapi
pimpinan itu memasang CCTV sehingga dia bisa memantau cara kerja semua
karyawannya.
Bagaimana sikap karyawan tersebut?
Tentunya karyawan tersebut akan tetap bekerja dengan sungguh-sungguh karena CCTV
terus memantau pekerjaan dia.

Begitu pula dalam ibadah, seseorang akan memperbaiki amalan dhohir dan bathinnya
karena Allah melihat dhohir dan bathin kita.
Seseorang akan beribadah sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah. Malu
kalau sampai dia melakukan ibadah tidak sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh
Rasulullah.

Misalnya, Dia akan berusaha takbir sesuai dengan contoh Rasulullah. Dia akan membaca
Al-Qur’an sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah.

Semakin dia merasa diawasi oleh Allah, maka semakin sesuai tingkah lakunya dengan
tingkah laku Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam.

Termasuk dalam berakhlak, orang yang sudah sampai derajat Ihsan, dia akan malu kalau
akhlaknya tidak sesuai dengan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Termasuk adab dengan berbagai jenisnya, adab kepada orang lain, adab kepada isteri,
adab kepada orang yang lebih tua, adab kepada yang lebih muda. Semakin dia Ihsan, dia
akan memperbaiki adab dan akhlaknya.

Selain Allah mengawasi dhohir seseorang, Allah juga mengawasi bathin seseorang.
Sebagaimana sabda Nabi,

‫ ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم‬،‫إن هللا ال ينظر إلى صوركم وأموالكم‬
“Allah melihat pada hati dan amalan kalian.”
(Hadits shahih riwayat Muslim nomor 6708)

Allah melihat apa yang ada di dalam hati kalian. Sehingga seseorang akan malu jika sampai
di dalam hatinya ada kotoran riya, walau sedikit.
Dia akan malu karena Allah melihatnya, sehingga dia akan berjuang untuk menghilangkan
riya tadi dan berdo’a kepada Allah supaya dihilangkan dari riya, dan seterusnya.

Maqam Musyaahadah: dia seakan-akan melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Maqam Muraaqabah dia merasa diawasi oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla

Halaqah 47 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil Ihsan

Kemudian beliau rahimahullah mendatangkan dalil firman Allah,

‫َو َم ن ُيْس ِلْم َو ْج َه ُهٓۥ ِإَلى ٱِهَّلل َو ُه َو ُمْح ِس ٌۭن َفَقِد ٱْس َت ْم َس َك ِبٱْلُعْر َو ِة ٱْلُو ْث َقٰى‬

“Dan barangsiapa yang menyerahkan wajahnya kepada Allah, sedang dia orang yang
Muhsin, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” [QS.
Luqman : 22]

Yuslim ( ‫ )ُيْس ِلْم‬menyerahkan diri dan dia merasa diawasi oleh Allah atau beribadah seakan-
akan dia melihat Allah.

Muhsin ( ‫ )ُمْح ِس ٌۭن‬di sini masuk di dalamnya Musyaahadah maupun Muraaqabah.

‫ِإَّن َهّللا َمَع اَّلِذيَن اَّتَق وْا َّو اَّلِذيَن ُهم ُّمْح ِس ُنوَن‬

“Sungguh Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang Muhsin.” [QS.
An-Nahl:128]

Di dalamnya masuk Musyaahadah dan Muraaqabah.


Ini menunjukkan keutamaan orang-orang yang sampai derajat Ihsan. Allah akan bersama
mereka. Allah bersama orang-orang yang Muhsin.
Orang yang merasa diawasi oleh Allah, Allah akan bersamanya, maksudnya Allah akan
menolong dia.

Ketika antum melakukan sesuatu dan antum ingat Allah (merasa diawasi oleh Allah), maka
antum akan merasakan kemudahan dan mendapat pertolongan dari Allah.
Allah memberikan Taufiq kepada kita untuk berakhlak dan beradab. Ini semua adalah
bagian dari pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah berfirman,
‫َو َم ن َي َت َو َّك ْل َع َلى ٱِهَّلل َفُهَو َح ْس ُبُه‬

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya.” [QS. At-Talaq : 3]

Dalil ayat Muraaqabah


Firman Allah,

‫َو َت َو َّكۡل َع َلى ٱۡل َع ِز يِز ٱلَّر ِحيِم ۞ ٱَّلِذي َيَر ٰى َك ِحيَن َت ُقوُم ۞ َو َت َقُّلَبَك ِفي ٱلَّٰس ِج ِديَن ۞ ِإَّنُهۥ ُه َو ٱلَّسِميُع ٱۡل َع ِليُم‬

“Dan bertawakallah kepada Allah Yang Maha Perkasa, Maha Penyayang. Yang melihat
engkau ketika engkau berdiri (untuk shalat). Dan (melihat) perubahan gerakan badanmu di
antara orang-orang yang sujud. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” [QS.
Ash-Shu’ara : 217-220]

Berarti di sini maqamnya adalah Muraaqabah.

Dan juga firman Allah,

‫َو َم ا َت ُك وُن ِفي َش ۡأ ٖن َو َم ا َت ۡت ُلوْا ِم ۡن ُه ِمن ُقۡر َء اٖن َو اَل َتۡع َم ُلوَن ِم ۡن َعَم ٍل ِإاَّل ُكَّنا َع َلۡي ُك ۡم ُشُهوًد ا ِإۡذ ُتِفيُضوَن ِفيِۚه‬

“Dan tidaklah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan, dan tidak membaca suatu
ayat Al-Qur’an serta tidak pula kalian melakukan suatu amalan, melainkan Kami menjadi
saksi atasmu ketika kamu melakukannya.” [QS. Yunus :61]

Berarti di sini maqamnya adalah Muraaqabah.


Halaqah 48 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil dari Sunnah Tentang Tiga
Tingkatan Dalam Islam Bagian 1

Beliau rahimahullah mengatakan,

Dalil bahwasanya Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam ada tiga tingkatan,
dalil ini tidak terkait dengan Ihsan saja, meskipun pembahasan terakhir kita mengenai Ihsan.

Beliau ingin mendatangkan dalil umum yang menunjukkan bahwasanya Islam yang dibawa oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki tiga tingkatan (Ini yang harus kita pahami).

Beliau mengatakan,

‫ ( بينا نحن جلوس عند النبي إذ طلع علينا رجل شديد بياض‬:‫ حديث جبريل المشهور عن عمر بن الخطاب قال‬:‫والدليل من السنة‬
‫ ووضع كفيه على‬،‫ فجلس إلى النبي فأسند ركبتيه إلى ركبتيه‬،‫ وال يعرفه منا أحد‬،‫ ال ُيرى عليه أثر السفر‬،‫ شديد سواد الشعر‬،‫الثياب‬
‫فخذيه‬

Adapun dalil dari Sunnah adalah hadits Jabrail (Jibril, Jabrail, Jibraila) yaitu malaikat yang bertugas
untuk menyampaikan wahyu dari Allah kepada Nabi-Nya.

Hadits ini sering disebutkan oleh para ulama dan dikenal oleh kaum muslimin sehingga disifati
dengan Al-Masyhur (‫)المشهور‬.

Kalau para ulama mengatakan sebagaimana dalam hadits Jibril yang masyhur, maka yang dimaksud
adalah hadits ini.

Meskipun mungkin di sana ada hadits lain yang menyebutkan tentang Jibril tapi tidak sampai dikenal
sebagai hadits Jibril (Haditsu Jibril).

Hadits Jibril ini diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma.

Dalil hadits yang disebutkan penulis rahimahullah adalah hadits dari Umar bin Khaththab
radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Shahihnya, dan ini yang
dibawakan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah di dalam Al-Arbain An-Nawawiyyah.
Adapun yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim.

Beliau mengatakan,

‫ اَل ُيَر ى‬، ‫ َش ِد يُد َس َو اِد الَّش ْع ِر‬،‫ إْذ َط َلَع َع َلْي َن ا َر ُجٌل َش ِد يُد َبَي اِض الِّث َي اِب‬، ‫َب ْي َن َم ا َن ْح ُن ُج ُلوٌس ِع ْن َد َر ُسوِل ِهَّللا صلى هللا عليه و سلم َذ اَت َي ْو ٍم‬
‫ َو َو َض َع َكَّفْيِه َع َلى َف ِخ َذ ْيِه‬،‫ َف َأْس َن َد ُر ْك َب َت ْيِه إَلى ُر ْك َب َت ْيِه‬. ‫ َح َّت ى َج َلَس إَلى الَّن ِبِّي صلى هللا عليه و سلم‬. ‫ َو اَل َي ْع ِر ُفُه ِم َّن ا َأَح ٌد‬، ‫َع َلْيِه َأَث ُر الَّس َف ِر‬.

“Ketika kami duduk di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam pada suatu hari, tiba-tiba
datanglah kepada kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, rambutnya sangat hitam, dan
tidak terlihat padanya bekas perjalanan jauh. Tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya.
Hingga ia duduk menghampiri Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam lalu menyandarkan kedua lututnya
pada dua lutut Beliau, dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Beliau.”

Disebutkan di dalam Fathul Bari,

‫ َفَتَخ َّط ى َح َّت ى َبَر َك َب ْين َي َدْي الَّن ِبّي‬، ‫ َو َلْي َس ِمْن اْلَب َلد‬، ‫ َلْي َس َع َلْيِه َس ْح َن اء الَّس َف ر‬: ‫ووضع كفيه على فخذيه َو ِفي ِر َو اَي ة ِلُس َلْي َم ان الَّت ْيِمِّي‬
‫َص َّلى هَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َك َم ا َي ْج ِلس َأَح دَن ا ِفي الَّص اَل ة‬

‫ُثَّم َو َض َع َي ده َع َلى ُر ْك َب َت ْي الَّن ِبّي َص َّلى هَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬

Berarti duduknya adalah duduk Iftirasy (‫)إفتراش‬

Dia meletakkan kedua tangannya, ada dua kemungkinan,

1. Kemungkinan pertama dia meletakkan dua telapak tangannya di atas pahanya sendiri.

2. Kemungkinan yang ke dua dia meletakkan kedua tangannya di atas paha Rasulullah.

Tapi disebutkan di dalam Fathul Bari ada sebuah riwayat yang menunjukkan, yang dimaksud paha di
sini adalah paha Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam.

‫ َف َأَف اَد ْت َهِذِه الِّر َو اَي ة َأَّن‬. ‫ ُثَّم َو َض َع َي ده َع َلى ُر ْك َب َت ْي الَّن ِبّي َص َّلى هَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬: ‫َو َك َذ ا ِفي َح ِديث ِاْبن َع َّباس َو َأِبي َع اِمر اَأْلْش َع ِر ّي‬
‫ الَّضِمير ِفي َق ْو له َع َلى َفِخ َذ ْيِه َي ُعود َع َلى الَّن ِبّي‬،

Dan ini tentunya adalah hay-ah (bentuk) yang menunjukkan bahwasanya laki-laki ini benar-benar
ingin belajar.

Kemudian dia mengatakan,

“Wahai Muhammad kabarkan kepadaku tentang Islam.”

Dia mengatakan,”Wahai Muhammad”, memanggil langsung namanya.


Dan ini bukan kebiasaan para sahabat Rasulullah. Para sahabat tidak pernah memanggil Nabi dengan
namanya tetapi mengatakan,” Ya Rasulallah” atau “Ya Nabiyallah”.

Pertama kali yang beliau tanyakan adalah tentang Al-Islam.

Maka Nabi mengatakan,

‫ وتحج البيت إن استطعت إليه‬،‫ وتصوم رمضان‬،‫ وتقيم الصالة وتؤتي الزكاة‬،‫أن تشهد أن ال إله إال هللا وأن محمدًا رسول هللا‬
‫فعجبنا له يسأله ويصدقه‬,‫ صدقت‬:‫قال‬, ‫سبيال‬.

Beliau menjawab dengan lima Rukun Islam yang sudah berlalu penjelasannya.

Ketika ditanya tentang Islam, Beliau menjawab dengan rukunnya padahal di dalam Islam tentunya
bukan hanya 5 ini saja tetapi di sana banyak perkara.

Beliau Shallallahu ‘alayhi wa sallam mendatangkan rukunnya (inti dari apa yang ada di dalam Islam)
dengan harapan supaya si penanya lebih mengambil faedah.

Ternyata laki-laki ini mengatakan,”Engkau benar”, membenarkan apa yang dikabarkan oleh Nabi
berupa Rukun Islam yang lima. Maka kami pun heran terhadap laki-laki ini di mana dia bertanya dan
dia yang membenarkan.

Halaqah 49 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil dari Sunnah Tentang
Tiga Tingkatan Dalam Islam Bagian 2

Kemudian Jibril mengatakan,

‫ َف َأْخ ِبْر ِني َع ْن اِإْليَم اِن‬: ‫َق اَل‬.

“Kabarkan kepadaku tentang Iman.”

Bertanya tentang amalan-amalan bathin.


Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab,

‫ َو ُتْؤ ِمَن ِباْلَقَد ِر َخ ْي ِر ِه َو َش ِّر ِه‬، ‫َأْن ُتْؤ ِمَن ِبَاِهَّلل َو َم اَل ِئَك ِتِه َو ُكُتِبِه َو ُرُسِلِه َو اْلَي ْو ِم اآْل ِخ ِر‬
Beliau menyebutkan tentang inti dan rukun dari keimanan.

Amalan-amalan bathin ini banyak jenisnya tetapi Beliau Shallallahu ‘alayhi wa sallam
menyebutkan intinya.

Amalan bathin intinya 6 perkara ini. Beliau menyebutkan rukun Iman yang 6, yaitu:

⑴ Beriman kepada Allah.


⑵ Beriman kepada Malaikat-Malaikat-Nya.
⑶ Beriman kepada Kitab-Kitab-Nya.
⑷ Beriman kepada Rasul-Rasul-Nya.
⑸ Beriman kepada Hari Akhir.
⑹ Beriman kepada Takdir yang baik dan buruk.

‫ َص َد ْق ت‬: ‫َق اَل‬.

“Engkau benar”

Untuk kedua kalinya Jibril membenarkan jawaban Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam.

‫ َف َأْخ ِبْر ِني َع ْن اِإْلْح َس اِن‬: ‫َق اَل‬

“Kabarkan kepada-ku tentang Ihsan.”

‫ َف ِإْن َلْم َت ُك ْن َت َر اُه َف ِإَّن ُه َيَر اك‬،‫ َأْن َت ْع ُبَد َهَّللا َك َأَّن ك َت َر اُه‬: ‫َق اَل‬

“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatnya, apabila engkau tidak bisa
melihatnya, ketahuilah bahwasanya Allah melihatmu.”

Ihsan adalah derajat yang lebih tinggi dari Islam dan Iman (telah disebutkan sebelumnya).
Ihsan berarti mencapai puncak amalan bathin dan dhahir dengan sebab maqam
Musyaahadah atau maqam Muraaqabah.
‫ َص َد ْق ت‬: ‫َق اَل‬

“Engkau benar.”
Untuk ketiga kalinya dia bertanya lalu membenarkan.
Kemudian Jibril bertanya,

‫ َم ا اْلَم ْس ُئوُل َع ْن َه ا ِبَأْع َلَم ِمْن الَّساِئِل‬: ‫ َق اَل‬.‫ َف َأْخ ِبْر ِني َع ْن الَّساَع ِة‬: ‫َق اَل‬

“Kabarkan kepada-ku tentang Yaumul Qiyamah.”

As-Saa’ah (‫ )الَّساَع ِة‬adalah tiupan sangkakala yang pertama.

Dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwasanya As-Saa’ah (‫ )الَّساَع ِة‬atau
tiupan sangkakala yang pertama terjadi di hari Jum’at.
Sebagaimana di dalam hadits disebutkan bahwasanya di hari itulah (Jum’at) diciptakan nabi
Adam, diturunkan nabi Adam, dan di hari itulah Beliau akan dimasukan ke dalam Surga.

Dan beliau mengabarkan tidak akan terjadi As-Saa’ah (‫ )الَّساَع ِة‬kecuali di hari Jum’at.

‫َخ ْيُر َي ْو ٍم َط َلَع ْت ِفيِه الَّش ْم ُس َي ْو ُم اْلُجُم َع ِة ِفيِه ُخ ِلَق آَد ُم َو ِفيِه ُأْد ِخَل اْلَج َّنَة َو ِفيِه ُأْخ ِر َج ِم ْن َه ا َو َال َت ُقوُم الَّساَع ُة ِإَّال ِفي َي ْو ِم اْلُجُمَعِة‬

“Tidak akan terjadi As-Saa’ah (‫ )الَّساَع ِة‬kecuali di hari Jum’at.” [Hadits shahih riwayat At-
Tirmidzi nomor 488]

Pada tiupan sangkakala yang pertama, As-Saa’ah, (‫ )الَّساَع ِة‬akan meninggal seluruh makhluk.

Mungkin sebagian kita masih membayangkan yang dimaksud dengan As-Saa’ah (‫)الَّساَع ِة‬
tiupan sangkakala pertama adalah terjadinya huru-hara atau misalnya, runtuhnya langit,
terjadi gempa, dan seterusnya.

Disebutkan di dalam sebuah hadits, setiap hari Jum’at setelah shalat shubuh, makhluk-
makhluk dalam keadaan khawatir (takut) termasuk diantaranya ayam dan sejenisnya.
Mereka takut apabila hari tersebut adalah hari ditiupnya sangkakala yang pertama.
Dan setiap shalat subuh di hari Jum’at kita disunnahkan untuk membaca surat As-Sajdah
dengan Al-Insan karena di dalam kedua surat ini ada tadzkir dengan As-Saa’ah (‫ )الَّساَع ِة‬dan
di dalamnya ada penciptaan nabi Adam yang terjadi di hari Jum’at.

Beliau (Jibril) mengatakan,

‫َأْخ ِبْر ِني َع ْن الَّساَعِة‬

“Kapan terjadi As-Saa’ah (‫)الَّساَع ِة‬, pasti terjadinya?”

Yang dikabarkan Allah kepada Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam hanya sebatas nama hari
saja (hari Jum’at). Adapun Jum’at yang mana, maka Allah tidak memberitahukan.

Karena As-Saa’ah (‫ )الَّساَع ِة‬termasuk ilmu yang Allah khususkan untuk diri-Nya dan Allah tidak
memberitahukan kepada siapa pun kapan (pastinya) terjadinya, meskipun kepada Nabi
Shallallahu ‘alayhi wa sallam atau malaikat yang sangat dekat dengan Allah. Mungkin kalau
tanda-tanda kiamat, kisah-kisah umat terdahulu sebagian diberitahukan kepada Nabi. Tapi
kapan pastinya terjadi As-Saa’ah tidak diberitahukan kepada Nabi.

Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah Nabi yang paling dekat dengan Allah Azza wa
Jalla.
Demikian Jibril adalah sayyidul malaikat (pemuka para malaikat), malaikat yang dekat
dengan Allah Azza wa Jalla. Maka Allah juga tidak memberitahukan kepada malaikat
tersebut.

Allah berfirman,

‫َي ْس َٔـُلوَن َك َع ِن ٱلَّساَعِة َأَّياَن ُمْر َس ٰى َه اۖ ُقْل ِإَّن َم ا ِع ْلُم َه ا ِع نَد َر ِّبىۖ اَل ُيَج ِّليَه ا ِلَو ْق ِتَه ٓا ِإاَّل ُه َو‬

Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat, “Bilakah terjadinya?” Katakanlah,


“Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku, tidak seorang
pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia.” [QS. Al-Araf:187]

Ini dikabarkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an bahwasanya As-Saa’ah (‫ )الَّساَع ِة‬merupakan
kekhususan bagi Allah Azza wa Jalla.

Kalau Nabi Muhammad yang merupakan afdhalunnaas, aqrabunnaasi ilallaah tidak


diberitahukan dan malaku Jibril, malaikat yang paling dekat dengan Allah tidak diberitahukan
oleh Allah kapan terjadinya As-Saa’ah (‫)الَّساَع ِة‬, lalu bagaimana ada orang yang mengaku dia
mengetahui kapan terjadinya As-Saa’ah (‫?)الَّساَع ِة‬

‫ َف َأْخ ِبْر ِني َع ْن َأَم اَر اِتَه ا؟‬: ‫َق اَل‬

“Kabarkan kepada-ku tentang tanda-tandanya?”

Kalau engkau tidak tahu kapan terjadinya As-Saa’ah (‫)الَّساَع ِة‬, apakah engkau mengetahui
tanda-tanda dekatnya As-Saa’ah (‫?)الَّساَع ِة‬

Amaraat artinya tanda-tandanya atau alamatnya.

‫ َو َأْن َت َر ى اْلُح َفاَة اْلُع َر اَة اْلَع اَلَة ِر َع اَء الَّش اِء َي َت َط اَو ُلوَن ِفي اْلُبْن َي اِن‬،‫ َأْن َت ِلَد اَأْلَم ُة َر َّب َت َه ا‬: ‫َق اَل‬.

Kemudian Beliau mengabarkan sebagian diantara tanda-tandanya, karena Allah telah


mengabarkan sebagian dari tanda-tanda dekatnya As-Saa’ah (‫)الَّساَع ِة‬.

Diantara tanda-tandanya (Beliau tidak menyebutkan semuanya meskipun di dalam


pertanyaan minta tanda-tandanya).
Beliau menyebutkan 2 tanda-tandanya (secara global).

‫َأْن َت ِلَد اَأْلَم ُة َر َّب َت َه ا‬


1. Seorang budak wanita melahirkan rabbatahaa.

Rabbah artinya adalah majikan wanita.


Ada yang mengartikan akan banyak perbudakan-perbudakan kemudian budak-budak
tersebut hamil dan melahirkan. Kalau budak tersebut melahirkan seorang wanita otomatis
wanita ini akan menjadi sayyidah-nya atau tuannya.
Isyarat akan terjadi banyak perbudakan, banyak peperangan antara muslim dengan kafir.

Ada yang menafsirkan bahwasanya yang dimaksud adalah ‫ العقوق كثرة‬banyaknya


kedurhakaan. Anak-anak durhaka kepada kedua orang tua, seorang wanita dia
memperlakukan ibunya seperti seorang majikan memperlakukan kepada bawahannya.
Dan tafsir yang pertama maupun tafsir yang ke dua, keduanya sudah terjadi saat ini. Kalau
sudah terjadi, maka ketahuilah bahwasanya As-Saa’ah (‫ )الَّساَع ِة‬sudah dekat, karena tanda-
tandanya sudah ada.

‫َو َأْن َت َر ى اْلُحَفاَة اْلُع َر اَة اْلَع اَلَة ِر َع اَء الَّش اِء َي َت َط اَو ُلوَن ِفي اْلُبْن َي اِن‬

2. Engkau akan melihat orang-orang yang tidak memakai alas kaki yang dia dalam
keadaan telanjang (tidak memakai pakaian lengkap seperti kita, memakai pakaian
sebatas menutupi aurat yang besar yang dahulu dia merupakan orang yang miskin)
mereka adalah para penggembala kambing.
Terkumpul di dalamnya sifat-sifat yang menunjukkan bahwasanya mereka adalah orang
yang sedikit memiliki uang atau ekonominya sangat terbatas.
Engkau akan melihat orang-orang demikian, dan kelak mereka ‫ َي َت َط اَو ُلوَن‬saling tinggi-tinggian
di dalam bangunan.

Halaqah 50 | Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil dari Sunnah Tentang Tiga
Tingkatan Dalam Islam Bagian 3

rahimahullah.

‫ فمضى فلبثنا مليا‬: ‫قال‬

Maka Umar berkata,

“Maka laki-laki tersebut pergi meninggalkan tempat kami (majelis Rasulullah) maka kami pun (para
sahabat) terdiam sebentar.”

Baru saja terjadi percakapan yang luar biasa, yang sangat mengherankan mereka dan mempengaruhi
hati mereka. Sampai disebutkan tanda-tanda terjadinya hari kiamat.

‫ َي ا ُع َم ُر َأَتْد ِر ي َم ْن الَّساِئُل؟‬: ‫ُثَّم َق اَل‬.

‫ ُهَّللا َو َر ُسوُلُه َأْع َلُم‬: ‫ُقْلُت‬.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam berkata kepada Umar (shahibul qishshah), “Wahai
Umar tahukah siapa yang datang tadi?”
Kemudian Umar menjawab,

“Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”

Karena mereka tidak mengetahui siapa sebenarnya laki-laki yang datang dan bertanya kepada Nabi.
Maka Umar mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”

Allah lebih tahu tentunya, karena Dia-lah yang mengetahui segala sesuatu, karena diantara namanya
adalah Al-‘Alim dan tidak terjadi perkara yang kecil maupun yang besar di dunia ini kecuali dibawah
ilmu Allah.

Rasul-Nya lebih tahu. Di dalam perkara agama,

Beliau lebih tahu, karena tidak mungkin agama Islam sampai kepada kita kecuali melalui perantara
Beliau Shallallahu ‘alayhi wa sallam.

Agama Islam dibawa Rasulullah dari Jibril, Jibril dari Allah Azza wa Jalla.

Tentunya Rasulullah lebih tahu tentang agama Islam daripada kita.

Sehingga benar yang dikatakan Umar, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. ( ‫”)ُهَّللا َو َر ُسوُلُه َأْع َلُم‬

Dalam masalah agama, Allah dan Rasul-Nya lebih tahu daripada kita.

Adapun di dalam masalah dunia (masalah komputer, pertanian, peternakan dan seterusnya)
sebagaimana dikabarkan oleh Beliau, “Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia”, tetapi kalau
urusan agama Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam yang lebih tahu.

Oleh karena itu kalau ada pertanyaan berkaitan dengan agama, maka kita katakan, “ ‫– ُهَّللا َو َر ُسوُلُه َأْع َلُم‬
Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui” Tapi kalau dalam urusan dunia, jangan katakan, “Rasul lebih
tahu” (karena telah Beliau katakan untuk urusan dunia) ‫أنتم أعلم بأمور دينكم‬.

Tapi cukup katakan: “‫”هللا اعلم‬.

‫فإنه جبريل أتاكم يعلمكم أمر دينكم‬

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan,

“Ini adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan urusan agama kepada kalian.”

Dalam riwayat yang lain,


‫ َف ِإَّن ُه ِج ْب ِر يُل َأَت اُك ْم ُيَع ِّلُم ُك ْم ِد يَن ُك ْم‬: ‫َق اَل‬

“Ini adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan agama kepada kalian.”

Laki-laki yang datang dengan hay-ah (cara) seperti itu adalah Jibril dengan tujuan untuk
mengajarkan.

Menunjukkan bahwasanya taklim terkadang berupa soal dan jawab. Nabi di sini menamakan ‫ يعلم‬dia
sedang mengajarkan.

Jibril bertanya kemudian Rasulullah menjawab.

Terkadang seorang pengajar, mengajar dengan cara bertanya dan ini termasuk uslub min asalib
taklim (metode diantara metode pembelajaran) dan fungsinya untuk menggerakan pikiran,
menggerakan otak.

Kemudian ‫أمر دينكم‬

Agama kalian, berarti apa yang disebutkan Jibril (tanya jawab antara Jibril dan Nabi), itu semua
adalah bagian dari agama. Mulai dari yang pertama Arkanul Islam, Arkanul Iman, Ihsan, berarti itu
adalah bagian dari agama ini, yaitu agama Islam dengan makna khusus yaitu agama Rasulullah
shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang di dalamnya terkandung Arkanul Islam, Arkanul Iman, dan Ihsan.

Berarti agama Beliau Shallallahu ‘alayhi wa sallam ada 3 tingkatan, dan masing-masing tingkatan
memiliki rukun sebagaimana disebutkan oleh beliau ‫( وكل مرتبة لها أركان‬masing-masing dari tingkatan
memiliki rukun). Ini semua ada di dalam hadits Jibril.

Dan banyak faedah-faedah yang bisa diambil dari hadits ini, diantaranya apa yang dilakukan oleh
Jibril ‘alaihissalam.

Bagaimana Jibril mengajarkan kepada kita tentang adab.

Diantara adab-adab menuntut ilmu, yaitu:

1. Jibril datang memakai pakaian

yang indah dan bersih, ini adalah bagian dari ‫تعظيم العلم‬

Seseorang ketika akan menghadap seorang raja atau seorang pemuka, dia tidak akan ridho memakai
pakaian yang jelek, apalagi untuk urusan ibadah.
Sepantasnyalah seorang penuntut ilmu, ketika menghadiri majelis ilmu, dia memakai pakaian yang
rapih. Datang terlihat sebagai seorang thalabul ‘Ilm.

2. Tentang hay-ah-nya bagaimana mendatangi majelis ilmu.

Jibril langsung mendatangi Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam, artinya seorang penuntut ilmu
mendekatkan diri kepada orang yang akan dia tuju untuk menimba ilmu.

Ini termasuk adab di dalam menuntut ilmu, mendekatkan dirinya kepada mu’allim, bukan duduk di
belakang atau di luar majelis, dan ini menunjukan ta’dhim dia terhadap ilmu yang akan dia dapatkan.

Ini termasuk adab diantara adab-adab menuntut ilmu yang ingin disampaikan oleh malaikat Jibril.

Kemudian bagaimana duduknya pun disebutkan di sini yaitu duduk dalam keadaan bersimpuh dan
itu mungkin hay-ah yang lebih susah daripada duduk bersila. Tapi dia lakukan demi untuk
mendapatkan ilmu.

Dan dia tempelkan, menunjukkan sangat dekatnya dia dengan mu’allim tersebut.

Ini adalah beberapa adab di dalam menuntut ilmu yang bisa kita ambil faidahnya dari hadits Jibril
yang masyhur.

Dan masih banyak faedah lain, seperti (misalnya) jangan malu untuk mengatakan ‫ هللا اعلم‬atau ‫ُهَّللا‬
‫َو َر ُسوُلُه َأْع َلُم‬, di dalam perkara- perkara yang dia tidak tahu.

Termasuk malaikat Jibril adalah syayyidul malaikat atau pemukanya malaikat. Meskipun beliau
seorang pemuka malaikat, ketika beliau menghadiri majelis ilmu beliau posisikan dirinya
sebagaimana penuntut ilmu.

Di dalam hadits yang lain disebutkan,

‫َو ِإَّن اْلَم َالِئَك َة َلَت َض ُع َأْج ِنَح َت َه ا ِلَط اِلِب اْلِع ْلِم ِر ًض ا بما صنع‬

“Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridho terhadap apa yang dilakukan
penuntut ilmu.”

[Hadits riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi]

Malaikat merendahkan diri di hadapan para penuntut ilmu. Seharusnya kita lebih beradab dengan
adab-adab menuntut ilmu.

Siapapun kita meskipun kita adalah seorang ustadz misalnya, kalau di sana ada ustadz lain yang
sedang mengisi maka beradablah seperti seorang penuntut ilmu.
Penulis rahimahullah membawakan hadits Jibril yang masyhur ini, ingin menunjukkan kepada kita
dalil tentang bahwasanya Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam ada tiga
tingkatan.

Halaqah 51 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Muqoddimah – Kadar


Minimal Mengenal Rasulullah

‫األصل الثالث معرفة نبیكم محمد ﷺ‬

Pondasi yang ke tiga, dia adalah pondasi karena yang lain kembali kepada tiga pondasi ini.
Seluruh maklumat yang ada di dalam agama Islam, maka kalau kita cermati dia akan
kembali asalnya kepada Ma’rifatullah, Ma’rifatu Dinil Islam, dan juga Ma’rifatu An-Nabi
‫ﷺ‬.

‫معرفة نبیكم محمد ﷺ‬

Mengenal Nabi kalian, yaitu Muhammad ‫ﷺ‬. Ini adalah bab mengenal orang yang telah
diutus oleh Allah kepada kita untuk mengajarkan kepada kita ibadah. Karena ketika Beliau
berbicara tentang ibadah sebelum menyebutkan Ma’rifatullah, Ma’rifatu Dinil Islam,
Ma’rifatunnabi ‫ﷺ‬, Beliau menyebutkan tentang ibadah dan keutamaan ibadah.

Dan sudah kita sebutkan bahwasanya tiga perkara ini, Al Ushūlu Ats Tsalatsah, ini langsung
berkaitan dengan ibadah.

Mengenal Allah adalah mengenal Ma’bud (mengenal siapa yang diibadahi).

Mengenal agama Islam adalah mengenal bagaimana cara beribadahnya. Ibadah kepada
Allah yaitu ada yang amalan dhohir dan ada amalan batin dan seterusnya, harus ada
Muraaqabah, harus ada Musyaahadah. Itu kita kenal bagaimana cara beribadah kepada
Allah macam macamnya dari Ma’rifatu Dinil Islam.

Kemudian yang ke tiga kita mengenal orang yang telah diutus oleh Allah untuk mengajar kita
tata cara beribadah. Harus kita kenal, kalau kita tidak mengenal siapa yang menyampaikan
tata cara beribadah tadi dikhawatirkan kita menganggap orang yang bukan utusan sebagai
utusan. Menganggap itu adalah dari Allah padahal bukan dari Allah, karena dia bukan
utusan Allah mengaku sebagai seorang utusan Allah. Makanya kita harus kenal siapa yang
sudah Allah tunjuk diantara manusia ini untuk mengajarkan kita tata cara ibadah. Kita harus
mengenalnya dan hukumnya wajib mengenal siapa orang yang telah diutus oleh Allah
kepada kita.
Mengenal Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬inilah yang akan disampaikan oleh beliau di sini, yang
perlu kita pahami sebelum memasuki apa yang akan disampaikan oleh beliau, bahwasanya
di sana ada kadar yang wajib di dalam mengenal Nabi Muhammad ‫ﷺ‬

1. Mengenal nama Beliau

Mengetahui nama beliau, ini kadar minimal. Mengenal nama Beliau, yaitu nama Beliau
adalah Muhammad. Atau seandainya dia mengenal namanya Ahmad boleh, karena baik
Muhammad maupun Ahmad, ini adalah nama Beliau.

Muhammad artinya adalah orang yang sering dipuji. Ahmad ini adalah isim tafdhil yang
artinya adalah orang yang paling terpuji. Ini dia harus tahu namanya, kalau dia tidak tahu
berarti dia tidak memiliki kadar yang minimal. Sampai salah namanya, ini keterlaluan. Di
mana orang orang yang berdakwah sampai ada orang-orang yang sedemikian bodohnya
terhadap agamanya. Nama nabinya saja dia tidak mengetahuinya.

2. Mengenal bahwasanya beliau adalah hamba Allah dan juga Rasul-Nya.

Beliau adalah seorang hamba, artinya bukan Tuhan yang disembah, tapi Beliau adalah
hambanya Allah. Hamba, berarti dia yang menyembah. Dan dia adalah seorang Rasul.
Mengenal bahwasanya Beliau adalah seorang Rasul, yaitu seorang utusan Allah, ini adalah
termasuk kadar minimal.

3. Mengenal bahwa apa yang Beliau bawa adalah benar.

4. Mengenal bahwa kebenaran Beliau ditunjukkan oleh Al-Qur’an

Sebagaimana telah berlalu:

‫ل ِّم ۡن َأنُفِس ُك ۡم‬ٞ‫َلَقۡد َج ٓاَء ُك ۡم َر ُسو‬


‫ُه َو ٱَّلِذٓي َأۡر َس َل َر ُسوَلُهۥ ِبٱۡل ُهَد ٰى َو ِديِن ٱۡل َح ِّق ِلُيۡظ ِه َر ُهۥ َع َلى ٱلِّد يِن ُك ِّلِهۚۦ َو َكَفٰى ِبٱِهَّلل َش ِه يٗد ا‬
Kalau antum ingin mengenalkan orang, apalagi dia adalah orang awam, maka inilah minimal
yang antum sampaikan pada beliau.

Apakah ada keharusan dia mengenal atau menghafal nasab Nabi Muhammad ‫ﷺ‬,
Muhammad bin Abdullah bin Abdil Mutholib bin Hasyim bin Abdil Manaf bin Qushay bin
Kilab bin Murrah sampai kepada Ismail bin Ibrahim nasibnya, maka ini bukan termasuk
kewajiban.

Jangan sampai antum mengharuskan mereka sesuatu yang tidak harus. Mengenal
bapaknya saja (Abdullah) tidak harus, bukan merupakan kewajiban.

Yang menjadi kewajiban dia, kadar minimalnya adalah mengenal nama Beliau. Tapi
tentunya itu kalau berbicara kepada orang awam, tapi kalau kita berbicara dengan seorang
Thalibul Ilm, tidak mengenal bapaknya Rasulullah ‫ ﷺ‬ini keterlaluan namanya, sampai
tidak mengenal nama bapak Beliau.

Dan apa yang beliau sebutkan di sini (umur, Beliau dari orang arab keturunannya Ismail), ini
bukan termasuk yang kadar wajib. Kadar yang wajib yang sudah kita sampaikan tadi, dan ini
adalah kadar yang merupakan tambahan.

Orang yang cinta dengan sesuatu dan kecintaan dia adalah kecintaan yang benar, maka dia
akan rindu dan ingin banyak tahu tentang sesuatu yang dia cintai tersebut. Semakin orang
senang, cinta terhadap sesuatu, maka dia akan semakin ingin mengetahui tentang sesuatu
tersebut. Ini kalau mahabbahnya adalah mahabbah yang shaadiqa.

Antum cinta dengan seseorang, ingin mengenal dia lebih banyak. Antum senang dengan
bela diri, tentu antum ingin mengetahui tentang bela diri tersebut. Siapa yang buat, pusatnya
di mana, dasar-dasarnya apa, dan seterusnya. Semakin antum mencintai, maka antum
berusaha untuk mengenalnya. Maka tentunya cinta kita kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬kalau itu
adalah kecintaan yang shaadiqa, akan membawa kita untuk berusaha mengenal Beliau
‫ﷺ‬. Kita akan berusaha untuk mengenal tentang biografi Beliau. Siapa nama bapak
Beliau bukan sesuatu yang susah untuk mempelajarinya. Di mana Beliau dilahirkan, berapa
umur Beliau, semakin dia mengetahui tentang maklumat dan info orang yang sangat dia
cintai tadi, maka akan semakin bertambah keimanannya di dalam hatinya.

Halaqah 52 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Silsilah Nasab Nabi


Muhammad

Beliau mengatakan,
‫وهو محمد بن عبد هللا بن عبد المطلب بن هاشم‬

Dia adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutholib bin Hasyim.

‫وهاشم من قريش‬

Hasyim ini adalah dari Quraisy.

Abdullah bapaknya Rosulullah ‫ ﷺ‬adalah orang yang sangat disayangi oleh Abdul
Muthalib. Abdul Muthalib kalau tidak salah namanya Syaibah, dia dikenal dengan Abdul
Muthalib. Al-Muthalib ini adalah saudaranya Hasyim. Karena saat itu dia berada di Madinah
yang saat itu bernama dengan Yatsrib diantara keluarga ibunya. Karena Hasyim memiliki
beberapa istri diantaranya ada yang di Makkah dan ada diantaranya yang berada di
Madinah.

Saat itu Syaibah ini yaitu bapaknya Abdullah yang kemudian dikenal Abdul Muthalib dia
berada di Makkah. Hasyim meninggal di Madinah, akhirnya pamannya yaitu Mutholib
mendengar bahwasanya Hasyim punya anak di Madinah. Akhirnya Al-Muthalib datang ke
kota Madinah meminta kepada saudara saudara dari ibunya untuk membawa Syaibah.
Mengabarkan kepada mereka ini anaknya Hasyim, Hasyim ini orang yang terkemuka di
Makkah.

Setelah sebelumnya keluarganya berat untuk melepas Syaibah, dibawalah oleh Al-Muthalib
ke Makkah dan ketika sampai ke Makkah orang menyangka Syaibah ini adalah seorang
budak, karena belum pernah melihat sebelumnya. Budaknya Al-Muthalib sehingga orang
memanggilnya dengan Abdul Muthalib, ini adalah budaknya Al-Muthalib dan sampai besar
pun dikenal dengan Abdul Muthalib.

Adapun Hasyim sudah meninggal dunia sebelumnya. Abdul Muthalib ini juga seorang
pemuka, kita tahu kisahnya bagaimana dia ketika datang Abrahah untuk menghancurkan
Ka’bah kemudian Abrahah mengambil 200 onta milik Abdul Muthalib. Kemudian datanglah
Abdul Muthalib, dan Abrahah ketika melihat Abdul Muthalib datang akhirnya dia turun dari
singgasananya duduk bersama dengan Abdul Mutholib. Kemudian bertanya apa yang kau
inginkan, dia mengatakan aku ingin engkau mengembalikan 200 unta yang kau ambil.

Kemudian Abrahah menyebutkan, “Ana menyangka bahwasanya Antum akan meminta Ana
lebih dari ini. Ana datang ke sini untuk menghancurkan rumah tersebut yang merupakan
agamamu dan juga agama nenek moyangmu. Ana kira Antum akan datang dan mengatakan
Tolong jangan engkau hancurkan rumah ini, tapi justru engkau datang ke sini hanya
mengatakan saya pengen unta. Sebelumnya saya sangat menghormati dirimu setelah
mendengar ucapan ini kedudukan engkau menjadi jatuh di mataku. Seharusnya engkau
sebagai seorang pemuka bertanggung jawab terhadap agama, orang-orang yang ada di
bawahmu yang Antum minta seharusnya kepada saya adalah tolong jangan engkau
hancurkan rumah ini. Itu yang saya sangka sebelumnya.”

Tapi ternyata Abdul Muthalib lebih cerdas dari apa yang disangka oleh Abrahah.
Dia mengatakan, “Aku ini adalah pemilik dari onta onta tadi, 200 onta tadi adalah aku
pemiliknya maka aku meminta sesuai dengan hakku karena aku adalah pemiliknya dan aku
yang bertanggung jawab terhadap onta onta tadi. Adapun rumah yang akan kau hancurkan
ini bukan milikku itu punya Rabb dan Dia-lah yang akan menjaga rumah tadi. Jadi tanggung
jawab saya adalah onta onta tadi adapun rumah yang akan kalian hancurkan, itu memiliki
Rabb yang akan menjaga rumah tadi dari serangan kalian.”

Keyakinan Abdul Muthalib bahwasanya rumah Allah akan dijaga. Akhirnya dikembalikan
ontanya dan dia terus melaksanakan apa yang menjadi rencananya ternyata tidak seperti
yang dia bayangkan sebelumnya. Satu gajah dia bawa dari Yaman untuk menghancurkan
Baitullah tadi Ka’bah ternyata dia tidak mau bergerak menuju ke Ka’bah. Setiap kali dia
disuruh untuk berdiri ke arah Ka’bah dia tidak mau tapi kalau menghadap ke arah keluar
berkebalikan dengan Ka’bah dia segera berlari. Bukan karena sakit tapi ada sesuatu yang
dia takuti ada yang menghalangi, sehingga kalau mengarah keluar Ka’bah dia segera
berlari.

Ini kejadian yang luar biasa menunjukkan tentang bagaimana kakek Nabi Muhammad ‫ﷺ‬
memiliki kedudukan yang tinggi di hadapan orang-orang Quraisy di zamannya, demikian
pula Hasyim bapaknya Abdul Muthalib ini juga termasuk orang yang memiliki kedudukan
yang tinggi dikenal oleh mereka. Hasyim inilah yang pertama kali mencanangkan program

‫ِر ۡح َلَة ٱلِّش َت ٓاِء َو ٱلَّص ۡي ِف‬

Jikalau musim panas mereka datang ke Syam jikalau musim dingin mereka datang ke
Yaman, karena kalau musim panas di Syam ini dalam keadaan dingin dan kalau musim
dingin di Makkah maka di Yaman ini dalam keadaan tidak dingin, sambil mereka
menghindari musim dingin yang keterlaluan di Makkah mereka Ke Yaman sambil berdagang
di sana.

Demikian pula Abdullah bapaknya Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬adalah orang yang sangat
disayangi oleh Abdul Muthalib termasuk anak emasnya yang sangat disayangi, sehingga
pernah Abdul Muthalib dia bernazar apabila sudah memiliki 10 anak laki-laki maka dia akan
menyembelih salah satunya.
Kemudian pakai undian. Setiap kali diundi yang keluar adalah nama Abdullah, padahal ini
adalah anak yang sangat dia sayangi. Dan dia sebagai seorang pemuka, ucapannya dilihat
orang. Kalau dia tidak laksanakan malu nanti bagaimana dengan yang ada di bawahnya
tidak melaksanakan juga akhirnya. Karena dia sangat sayang dengan Abdullah dan tidak
ingin kehilangan dia, dia ganti dengan onta. Jadi diulang lagi sampai keluar yang lain atau
selain Abdullah sesuai dengan jumlahnya tadi diulang lagi dan seterusnya sampai keluar
yang dia inginkan berapa kalinya dilemparkan tadi dihitung. Jumlah yang keluar itulah
jumlah onta yang harus dia sembelihanku. Jadi dilempar lagi, dilempar lagi, yang penting
bagaimana bukan Abdullah meskipun dia harus kehilangan mungkin ratusan onta demi
menyelamatkan Abdullah.

Jadi mereka adalah silsilah orang orang yang mulia, anaknya adalah Muhammad ‫ﷺ‬, jadi
nasab Beliau adalah nasab yang mulia. Orang-orang yang terkemuka dikenal nasabnya oleh
orang-orang Quraisy bukan orang yang bawahan atau orang yang tidak dikenal. Nasab
Beliau adalah nasab yang ma’ruf, nenek moyangnya adalah nenek moyang yang dikenal
keutamaanya di antara orang-orang Quraisy. Dan Hasyim ini adalah termasuk Quraisy dan
Quraisy adalah bangsa Arab yang paling mulia, sudah dikenal sejak zaman dahulu
keutamaan orang-orang Quraisy di antara kabilah-kabilah yang lain.

‫وقريش من العرب‬

Dan Quraisy adalah termasuk bangsa Arab

‫والعرب من ذرية إسماعيل بن إبراهيم الخليل‬

Dan bangsa Arab adalah termasuk keturunan Ismail Bin Ibrahim Al Khalil.

Halaqah 53 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Umur dan Kenabian Nabi
Muhammad

Setelah menyebutkan sebelumnya nama Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬ini adalah termasuk kadar
minimal yang harus dipahami tentang Nabi Muhammad ‫ﷺ‬. Kemudian beliau
menyebutkan kadar yang tambahan berupa nasab Rosulullah ‫ﷺ‬, kemudian
mengenalkan bahwasanya Hasyim kakek beliau yang ke dua adalah termasuk Quraisy, jadi
beliau adalah seorang Hasyimi dan beliau adalah seorang Qurasyi dan Quraisy adalah
termasuk Arab maka beliau adalah Arobiy dan Arab ini adalah termasuk dzurriyati keturunan
Isma’il ibn Ibrahim. Berarti beliau adalah keturunan dari Al Khalil Ibrohim ‘Alaihi Wa ‘Ala
Nabiyyina Afdhalus Shalati Wasallam.
Diantara yang ingin beliau kenalkan di sini adalah tentang umur beliau, ini bukan termasuk
kadar yang minimal tapi dia adalah tambahan yang tentunya apabila seseorang semakin
banyak mengenal tentang Beliau ‫ﷺ‬, maka ini tentunya adalah tambahan tersendiri dan
keistimewaan tersendiri bagi seseorang.

Bahwasanya seseorang apabila cinta kepada sesuatu dan kecintaan dia adalah kecintaan
yang sebenarnya maka dia akan senang untuk mengenal sesuatu tersebut. Bukan sesuatu
yang berat bagi dia untuk mengenal apa yang dia cintai, justru dia semakin senang.
Semakin dia mengenal dan semakin dalam dia mengenal maka akan semakin gembira dan
semakin cinta dengan sesuatu tadi.

‫وله من العمر ثالث وستون سنة‬

Beliau memiliki umur 63 tahun. Allah ‫ ﷻ‬memberikan umur kepada beliau 63 tahun.

‫منها أربعون‬

63 tahun tadi terbagi menjadi dua, 40 tahun adalah

‫قبل النبوة‬

Maksudnya 40 tahun semenjak Beliau dilahirkan maka itu adalah sebelum Beliau diangkat
oleh Allah ‫ ﷻ‬menjadi seorang Nabi menjadi seorang Rasul.

Adapun 23 tahun yang selanjutnya,

‫وثالث وعشرون نبيا رسوال‬

Menunjukkan bahwasanya Beliau diangkat dan pertama kali turun kepada Beliau wahyu
adalah ketika beliau berumur 40 tahun.

Dan demikian para Nabi dan juga para Rasul dan umur tersebut yaitu umur 40 tahun, adalah
umur yang istimewa bagi manusia. Di situlah seseorang matang di dalam berpikir, matang di
dalam akalnya, maka hikmah dari Allah ‫ﷻ‬, para Nabi dan para Rasul semuanya atau
sebagian besarnya diangkat menjadi Nabi dan juga Rasul itu adalah ketika mereka berumur
40 tahun termasuk diantaranya adalah Rosulullah ‫ﷺ‬.
Maka hendaklah kita mengetahui yang demikian dari umur pertama sampai 40 tahun Beliau
belum menjadi seorang Nabi, tetapi setelah Beliau berumur 40 tahun barulah Beliau menjadi
seorang Nabi menjadi seorang Rasul diantara Rasul-Rasul Allah Azza wa Jalla.

Kapan Beliau menjadi seorang Nabi dan kapan beliau menjadi seorang Rasul disampaikan
oleh beliau di sini,

‫نبئ بإقرأ‬

Yaitu diangkat menjadi seorang Nabi dan resmi menjadi seorang Nabi, adalah dengan ‫ٱۡق َر ۡأ‬,
maksudnya adalah dengan diturunkannya

‫ٱۡق َر ۡأ ِبٱۡس ِم َر ِّب َك ٱَّلِذي َخ َلَق‬

Sekedar turun kalimat yang pertama ‫ ٱۡق َر ۡأ‬maka Beliau sudah menjadi seorang Nabi, karena
ini adalah kalimat yang pertama dan ini bagian dari wahyu. Sekedar itu turun kepada Beliau
maka Beliau resmi menjadi seorang Nabi. Karena seorang Nabi adalah orang yang
diberikan Wahyu kepadanya. ‫ نبئ‬berasal dari kata Naba’ artinya adalah kabar, diberikan
kabar kepadanya, a diberikan wahyu kepadanya dan resmi menjadi seorang Nabi dengan
‫ ٱۡق َر ۡأ‬karena dengan turunnya kepada Beliau ‫ ٱۡق َر ۡأ‬maka berarti telah diwahyukan kepada Beliau
dan kalau Beliau diwahyukan maka beliau menjadi seorang Nabi.

٥ ‫ َع َّلَم ٱِإۡلنَٰس َن َم ا َلۡم َي ۡع َلۡم‬٤ ‫ ٱَّلِذي َع َّلَم ِبٱۡل َقَلِم‬٣ ‫ ٱۡق َر ۡأ َو َر ُّبَك ٱَأۡلۡك َر ُم‬٢ ‫ َخ َلَق ٱِإۡلنَٰس َن ِم ۡن َع َلٍق‬١ ‫ٱۡق َر ۡأ ِبٱۡس ِم َر ِّب َك ٱَّلِذي َخ َلَق‬

Ketika Beliau ‫ ﷺ‬berada di atas Gua Hira, yang saat itu dijadikan Beliau senang untuk
menyendiri, beribadah kepada Allah ‫ﷻ‬, memikirkan tentang Khalqullah, beribadah
dengan Al-Hanifiyyah agamanya Nabi Ibrahim bapak Beliau, di atas gunung di dalam gua
jauh dari hiruk pikuk orang-orang jahiliyah dengan kejahiliyahan mereka, dengan kesyirikan
mereka, dengan kerusakan mereka.

Maka Beliau ‫ ﷺ‬saat itu dijadikan senang oleh Allah ‫ ﷻ‬untuk Yatahannath. Beliau
menyendiri dan Beliau ‫ ﷺ‬saat itu sudah memiliki Khadijah, Beliau terkadang beberapa
hari di sana setelah diberikan bekal oleh Khadijah dan sesuai dengan bekal itulah Beliau
tinggal di atas gunung di dalam gua tersebut.

Sampai suatu malam datang dan turun kepada Beliau malaikat Jibril ‘Alaihissalam,
kemudian mewahyukan kepada Beliau wahyu yang pertama yang dengannya beliau resmi
menjadi seorang Nabi.
‫نبئ بإقرأ‬

Adalah isyarat kepada Al-‘Alaq ayat 1 sampai ayat yang ke-5.

Halaqah 54 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Kerasulan Nabi


Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

Beliau mengatakan,

‫وأرسل بالمدثر‬

Dan Beliau menjadi seorang Rasul,

Ursila (‫ )أرسل‬maksudnya adalah resmi menjadi seorang Rasul dengan ‫ المدثر‬yaitu turunnya
ayat yang pertama sampai ayat yang ke tujuh dari surat Al Mudatsir. Dengannya Beliau
resmi menjadi seorang Rasul setelah sebelumnya ketika turun ‫ ٱۡق َر ۡأ‬Beliau menjadi seorang
Nabi, turun dari gunung pergi ke rumah dalam keadaan statusnya masih menjadi seorang
Nabi yaitu orang yang diwahyukan, orang yang dikabarkan.

Adapun Rasul, baru Beliau resmi menjadi seorang Rasul ketika diturunkan,

٢ ‫ ُقۡم َف َأنِذ ۡر‬١ ‫َٰٓي َأُّيَه ا ٱۡل ُمَّد ِّث ُر‬


Sampai ayat yang ke-7.

Dinamakan Rasul karena ia diutus kepada kaum yang menyelisihi. Kepada kaum yang
menyelisihi Rasul tersebut di dalam masalah tauhid. Adapun Rasul maka diutus kepada
kaum yang menyelisihi di dalam tauhid. Sehingga Nabi Adam ‘Alaihissalam Nabi karena
beliau diutus kepada kaum yang mereka Muwahhidin. Adapun Nuh ‘Alaihissalam maka
ketika beliau diutus kepada orang-orang yang menyelisihi di dalam masalah tauhid,
sehingga beliau adalah Rasul.

Nabi yang pertama adalah Nabi Adam, Rasul yang pertama adalah Nuh ‘Alaihissalam
karena beliau diutus kepada kaum yang menyelisihi di dalam masalah tauhid. Kaumnya
itulah yang pertama kali menyimpang dari Tauhid, terjerumus ke dalam kesyirikan. Ini
adalah pendapat yang lebih dekat tentang perbedaan antara Nabi dan juga Rasul.

Adapun yang mengatakan (dan ini banyak di kalangan para ulama Ahlussunnah),
bahwasanya Nabi diwahyukan tetapi tidak diperintahkan untuk menyampaikan, adapun
Rasul maka dia diwahyukan dan diperintahkan untuk menyampaikan maka ini adalah
meskipun dia adalah pendapat jumhur (banyak diantara ulama yang berpendapat demikian),
tapi pendapat yang lebih kuat wallahu ta’ala a’lam bahwasanya baik Nabi maupun Rasul ini
dua-duanya diutus dan diperintahkan untuk berdakwah.

Dalil yang menunjukkan bahwasanya Nabi juga diutus dan diperintahkan untuk berdakwah,
yaitu firman Allah Azza wa Jalla,

‫َٰط‬ ‫َٰط‬
‫َو َم ٓا َأۡر َس ۡل َن ا ِمن َق ۡب ِلَك ِمن َّر ُسوٖل َو اَل َن ِبٍّي ِإٓاَّل ِإَذ ا َت َم َّن ٰٓى َأۡل َق ى ٱلَّش ۡي ُن ِفٓي ُأۡم ِنَّيِتِهۦ َف َي نَس ُخ ٱُهَّلل َم ا ُيۡل ِقي ٱلَّش ۡي ُن ُثَّم ُيۡح ِك ُم ٱُهَّلل َء اَٰي ِتِهۗۦ َو ٱُهَّلل َع ِليٌم‬
52:‫ الحج‬٥٢ ‫م‬ٞ‫َح ِك ي‬

Dan tidaklah kami mengutus sebelummu seorang Rasul dan tidak pula Nabi.

Menunjukkan bahwasanya baik Rasul maupun Nabi dua-duanya adalah diutus oleh Allah,
diutus kepada manusia. Kalau diutus kepada manusia, keduanya Mursal.

‫َو َم ٓا َأۡر َس ۡل َن ا ِمن َقۡب ِلَك ِمن َّر ُسوٖل َو اَل َن ِبٍّي‬

Berarti kedua-duanya Mursal (kedua-duanya diutus) dan yang namanya utusan tentunya dia
akan menyampaikan bukan hanya sekedar datang kemudian kembali tetapi dia akan datang
kemudian dia akan menyampaikan. Ketika dia menyampaikan, itulah dakwah. Kedua-
duanya diperintahkan untuk tabligh untuk menyampaikan.

Menunjukkan bahwasanya pertama, ayat ini menunjukkan perbedaan antara Rasul dan
Nabi, kemudian menunjukkan bahwasanya Rasul dan Nabi, dua-duanya diperintahkan untuk
menyampaikan.

Di dalam sebuah hadits beliau ‫ ﷺ‬pernah dinampakkan ketika Mi’raj, umat-umat dan juga
para Nabinya.

‫ والنبَّي ليَس معُه أَح ٌد‬، ‫ والنبَّي ومعُه الَّر ُجُل والَّر ُجالِن‬، ‫ َف َر َأْي ُت النبَّي َص َّلى ُهَّللا عليه وسَّلَم ومعُه الُّر َه ْي ُط‬،‫ُع ِر َض ْت َع َلَّي اُألَمُم‬،
“Ditampakkan kepadaku ummat beserta Nabinya yaitu ketika Mi’raj, aku melihat seorang
Nabi dan bersamanya beberapa orang dan mereka ini adalah umatnya. Dan aku melihat
seorang Nabi bersamanya seorang laki-laki dan dua orang.”

Jadi ada seorang Nabi yang hanya memiliki satu pengikut dan ada seorang Nabi yang
memiliki dua pengikut. Dan ada seorang Nabi yang tidak memiliki pengikut sama sekali.
Beliau mengatakan Annabiyya dan ternyata di sana ada pengikutnya meskipun hanya satu
atau dua atau beberapa orang, ini menunjukkan bahwasanya Nabi tersebut mereka
berdakwah, mereka menyampaikan. Buktinya ada pengikutnya meskipun satu atau dua tapi
yang jelas mereka menyampaikan, maka ini juga dalil bahwasanya para Nabi mereka juga
diperintahkan untuk tabligh (menyampaikan wahyu).

Diantara yang menguatkan bahwasanya Nabi diutus untuk kaum yang sama di dalam
masalah tauhid, ketika Allah ‫ ﷻ‬menyebutkan tentang Bani Israil atau Anbiya Bani Israil.

‫ر َي ۡح ُك ُم ِبَه ا ٱلَّن ِبُّيوَن ٱَّلِذيَن َأۡس َلُم وْا ِلَّلِذيَن َه اُد وْا‬ٞۚ‫ِإَّن ٓا َأنَز ۡل َن ا ٱلَّت ۡو َر ٰى َة ِفيَه ا ُه ٗد ى َو ُنو‬

[Al Ma”idah:44]

Sesungguhnya kami telah menurunkan Taurat di dalamnya ada petunjuk dan cahaya, para
Nabi berhukum dengan Taurat tersebut yaitu para nabi yang mereka ‫ َأۡس َلُم وْا‬menyerahkan diri
yang beragama Islam mereka berhukum dengan Taurat ‫ ِلَّلِذيَن َه اُد وْا‬untuk orang-orang yahudi.

Mereka berhukum dengan Taurat, Taurat diturunkan kepada Nabi Musa ‘Alaihissalam,
Anbiya’u Bani Israil mereka berhukum dengan taurat tersebut untuk orang-orang Yahudi.
Dari sisi tauhid mereka sama dengan para Nabi tersebut akan tetapi mereka memiliki
penyimpangan-penyimpangan yang lain. Dari aslu tauhid ada tapi mereka memiliki
penyimpangan-penyimpangan yang lain.

Kalau kita lihat di dalam Al-Mudatsir, di situ mulai ada perintah untuk berdakwah kepada
kaum yang menyelisihi di dalam masalah tauhid.

‫ ُقۡم َف َأنِذ ۡر‬١ ‫َٰٓي َأُّيَه ا ٱۡل ُمَّد ِّث ُر‬

Tegaklah, ingatkanlah mereka dari kesyirikan, dakwahkanlah kepada Tauhid.

Di dalamnya ada dakwah kepada tauhid, di dalamnya ada mendakwahi orang-orang yang
menyelisihi Nabi tersebut di dalam masalah tauhid. Diutus kepada kaum yang menyelisihi di
dalam masalah Tauhid. Karena di dalam kalimat
‫ُقۡم َف َأنِذ ۡر‬

Dan juga di dalam


٤ ‫ َو ِثَي اَبَك َف َط ِّه ۡر‬٣ ‫َو َر َّبَك َفَك ِّب ۡر‬

Semuanya adalah dakwah kepada Tauhid, karena diutus kepada kaum yang menyelisihi di
dalam masalah Tauhid maka resmilah Beliau menjadi seorang Rasul, sehingga pas ketika
beliau mengatakan
‫وأرسل بالمدثر‬

Beliau resmi menjadi seorang Rasul ketika diturunkan kepada Beliau ‫ ﷺ‬surat Al-
Mudatsir ayat yang pertama sampai ayat yang ke tujuh.

Halaqah 55 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Negeri Kelahiran Nabi


Muhammad

Beliau mengatakan,
‫وبلده مكة‬

Dan negeri Beliau adalah Makkah.


Ini tambahan yang lain, makrifah yang lain tentang Nabi ‫ ﷺ‬yang seharusnya memang
lumrah kalau ini muncul pada diri orang yang muhibb dan cinta kepada Rasulullah ‫ﷺ‬,
akan bertanya Beliau itu sebenarnya dari mana, di mana Beliau dilahirkan.

Maka Beliau lahir di kota Makkah di tahun yang dinamakan dengan Al-Fiil.
Mereka mengenal tahun tersebut karena terjadi kejadian yang besar. Maka orang-orang
Arab mereka mengenal Al-Fiil yaitu tahun terjadinya penyerangan yang dilakukan oleh
Abrahah membawa seekor gajah yang besar untuk menghancurkan Al Ka’bah karena dia
merasa ini adalah saingan dia yang paling berat. Dia membangun tempat ibadah yang lain
di Yaman dan menghiasi, memewahkan, membesarkan tempat ibadah tersebut, tapi
ternyata orang-orang Musyrikin tidak ada di antara mereka yang mau mendatangi tempat
ibadah tersebut.

Padahal kalau dilihat dari besarnya, mewahnya, mungkin kebersihannya dan seterusnya,
lebih mewah tempat ibadah yang dibangun oleh Abrahah tadi. Bahkan oleh sebagian orang
Arab ada di antara mereka yang iseng dan nakal justru datang ke tempat ibadah tersebut
dan membuang kotoran di sana. Yang tentunya ini semakin menjadikan Abrahah marah dan
panas sehingga dia niat datang ke Makkah untuk menghancurkan Ka’bah.

Datanglah dia bersama pasukannya dengan membawa seekor gajah. Adapun yang ada di
gambar di buku-buku sekolah banyak gajahnya itu salah, gajahnya hanya seekor. Kemudian
dia berkeinginan untuk menghancurkan Ka’bah, sehingga kalau hancur diharapkan manusia
akan berbondong-bondong datang ke negerinya dan melakukan peribadatan disana.
Kemudian Allah ‫ ﷻ‬menghendaki lain dari apa yang diinginkan oleh Abrahah, bahkan
dialah dan juga bala tentaranya, merekalah yang hancur dan di tahun itulah dilahirkan
Rasulullah ‫ ﷺ‬.

Maka berarti Mekkah ini adalah ‫بلد‬, ini adalah negeri Beliau, ini adalah tempat kelahiran
Beliau ‫ﷺ‬. Dan Beliau hidup dan tumbuh besar, lama di kota Makkah meskipun setelah
Beliau dilahirkan maka oleh ibunya Aminah, dikirimlah Rasulullah ‫ ﷺ‬ke negeri Thaif,
sebuah negeri yang masih dekat dengan Kota Makkah kurang lebih di sebelah timur selatan
Kota Makkah, dan letaknya agak di pegunungan dan masih bersih udara di sana.

Adapun di kota Makkah ini banyak dikunjungi oleh orang dari berbagai daerah sehingga
udaranya tidak sebersih yang ada di kota Thoif. Dan kebiasaan orang-orang Quraisy dahulu
mereka mengirimkan anak-anak kecil mereka, bayi-bayi mereka, pada tahun-tahun yang
pertama ke tempat-tempat tersebut.

Pertama dari sisi kesehatan kemudian yang ke dua untuk mendapatkan kefasihan di dalam
bahasa Arab, karena mereka masih bersih dan masih memegang (masih kuat) bahasa
mereka sehingga diharapkan bisa mendapatkan faedah dari sisi tersebut yaitu dari sisi
bahasa, kemudian yang pertama tadi adalah dari sisi kesehatan dari sisi kebersihan, dan
seterusnya.

Sampai akhirnya dikembalikan kepada ibunya ketika Beliau ‫ ﷺ‬berumur 4 tahun. Tapi
yang jelas negerinya adalah Makkah karena Beliau dilahirkan di kota Makkah dan sebagian
besar hidupnya adalah berada di kota Makkah.

Halaqah 56 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Misi Utama Diutusnya


Nabi Muhammad

Sekarang beliau mengenalkan kepada kita tentang apa yang Beliau bawa, apa misi Beliau,
dan ini adalah bagian dari Ma’rifatun-nabiy mengenal tentang apa yang menjadi misi Nabi
tersebut.
Beliau mengatakan,
‫بعثه هللا بالنذارة عن الشرك ويدعو إلى التوحيد‬

Allah mengutus Beliau dengan peringatan dari kesyirikan dan berdakwah kepada Tauhid.
Allah ‫ ﷻ‬mengutus Beliau dengan dua perkara ini.
Yang pertama mengutus Beliau

‫بالنذارة عن الشرك‬

Untuk mengingatkan manusia dari kesyirikan, ini adalah tujuan utama diutusnya Nabi ‫ﷺ‬
sebagaimana ini adalah tujuan utama diutusnya para Nabi dan juga para Rasul sebelum
Beliau ‫ﷺ‬, diutus untuk mengingatkan manusia dari kesyirikan. Karena asalnya manusia
adalah berada di atas Tauhid.

Allah ciptakan manusia asalnya berada di atas Tauhid, ini adalah Fitrah.

‫ِفْط َر َة ِهَّللا اَّلِتي َف َط َر الَّن اَس َع َلْي َه ا‬

‫َو ِإِّن ى َخ َلْق ُت ِع َب اِدى ُح َنَفاَء‬

Dan sesunguhnya aku telah menciptakan hamba-hambaku dalam keadaan mereka ini
hunafaa sudah berlalu tentang makna hunafaa yaitu Hanif, muwahhid, muqbil ‘Alallah. Allah
ciptakan para hambanya asalnya adalah mereka dalam keadaan bertauhid.

Kemudian setelah itu mereka menjadi musyrik disebabkan oleh ‫الَّش َياِط يُن‬

‫َو ِإَّنُهْم َأَت ْت ُهُم الَّش َياِط يُن َف اْج َت اَلْت ُهْم َع ْن ِديِنِه ْم‬

Kemudian setelah itu mereka didatangi oleh ‫ الَّش َياِط يُن‬dan akhirnya memalingkan mereka dari
agama mereka, yaitu memalingkan mereka dari At-Tauhid, menunjukkan bahwa asal
manusia adalah Tauhid.

Karena ada sebagian orang dan mereka itulah orang-orang kafir tentunya, seorang peneliti
atau professor menurut penelitian dia manusia ini dulu sebelumnya/awalnya manusia dulu
itu adalah musyrikin atau sebelumnya kosong yaitu tidak mengenal pencipta, dalam
keadaan mulhid, yaitu keadaan tidak mengakui adanya pencipta.
Kemudian setelah itu berkembang, dirinya berusaha untuk mencari sesuatu yang lebih kuat
yang lebih mampu yang lebih berkuasa dari pada dia. Ada yang melihat matahari kemudian
menyembah matahari, ada yang melihat bintang akhirnya dia menyembah bintang.
Kemudian setelah itu berkembang lagi mulailah mereka membanding-bandingkan mana
yang lebih sakti antara bintang dengan ini. Kok si fulan menyembah bintang kok berhasil.
Akhirnya dia mulai membandingkan diantara sesembahan-sesembahan tadi. Kemudian dia
berkembang lagi sampai akhirnya dia menyembah kepada yang menciptakan perkara-
perkara tadi atau benda benda tadi, kemudian akhirnya menurut penelitian dia jadilah
manusia sekarang menyembah Tuhan.

Jadi dianggapnya awalnya manusia itu mereka berada di atas ilhaat tidak mengenal Allah
setelah terjadi kesyirikan barulah setelah itu terjadi Tauhid. Maka ini adalah menyelisihi dalil
yang demikian, bahkan Allah menciptakan manusia awalnya adalah sebagai Muwahhidin.
Syirik ini adalah terjadi setelah itu karena ini terjadi setelah itu maka Nabi dan juga para
Rasul diutus oleh Allah untuk mengembalikan mereka kepada Al-Hanifi. Diutus kepada
mereka untuk mengembalikan manusia dari jalan yang menyimpang tadi kepada jalan yang
lurus.
Mengingatkan mereka tentang menyekutukan Allah, tentang syirik,

‫ويدعو إلى التوحيد‬

Dan kemudian mendakwahkan mereka kepada Tauhid.


Mengingatkan mereka tentang kesyirikan dan mendakwahi mereka untuk kembali kepada
Tauhid yang merupakan asal dan Fitrah dari manusia.

Inilah inti dari dakwah Rasulullah ‫ﷺ‬. Tahdzir dari kesyirikan dan itu adalah Nafyi dan
dakwah kepada Tauhid dan ini adalah Itsbat.

‫النذارة عن الشرك‬
Ini adalah makna Nafyi menafikan segala sesembahan selain Allah.

‫ويدعو إلى التوحيد‬


Ini adalah Isbat yaitu menetapkan Allah sebagai satu-satunya sesembahan.

Dan inilah makna dari kalimat laa ilaaha illallah dengannyalah Beliau diutus. Dan para Nabi
dan juga para Rasul sebelumnya sama, diutus oleh Allah ‫ ﷻ‬untuk mendakwahkan
manusia kepada Tauhid ini.
Allah ‫ ﷻ‬mengatakan,

‫َو َلَقۡد َبَع ۡث َن ا ِفي ُك ِّل ُأَّمٖة َّر ُسواًل َأ ٱۡع ُبُد وْا ٱ َو ٱۡج َت ِنُبوْا ٱلَّٰط ُغ وَۖت‬
‫َهَّلل‬ ‫ِن‬

Sebagaimana Allah ‫ َبَع ۡث‬Nabi-Nya ‫ ﷺ‬untuk mengingatkan kepada Tauhid, maka


demikianlah Allah ‫ ﷻ‬juga mengutus para Nabi dan Rasul sebelumnya,

‫َو َلَقۡد َبَع ۡث َن ا ِفي ُك ِّل ُأَّمٖة َّر ُسواًل َأ ٱۡع ُبُد وْا ٱ َو ٱۡج َت ِنُبوْا ٱلَّٰط ُغ وَۖت‬
‫َهَّلل‬ ‫ِن‬

Sama di dalamnya ada

‫النذارة عن الشرك ويدعو إلى التوحيد‬

Halaqah 57 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Misi Utama Diutusnya


Nabi Muhammad Bagian 2

Di dalam ayat yang lain Allah ‫ ﷻ‬mengatakan,

‫َٰل‬ ‫ۡل‬
‫َو َم ٓا َأۡر َس َن ا ِمن َق ۡب ِلَك ِمن َّر ُسوٍل ِإاَّل ُنوِحٓي ِإَلۡي ِه َأَّن ُهۥ ٓاَل ِإ َه ِإٓاَّل َأَن ۠ا َف ٱۡع ُبُدوِن‬
Dan tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang Rasul kecuali Kami wahyukan kepadanya
bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Diriku, maka hendaklah
kalian menyembah kepada Diriku.

Ini juga menguatkan bahwasanya para Nabi dan Rasul sama dengan Nabi Muhammad
‫ ﷺ‬yang Beliau dakwahkan adalah Tauhid.

‫ ٓاَل ِإَٰل َه‬Nafyun ‫ ِإٓاَّل َأَن ۠ا‬Isbat.

Di dalam ayat yang lain Allah ‫ ﷻ‬mengatakan,

۞ ‫َو ٱۡذ ُكۡر َأَخ ا َع اٍد ِإۡذ َأنَذ َر َق ۡو َم ُهۥ ِبٱَأۡلۡح َقاِف َو َق ۡد َخ َلِت ٱلُّن ُذ ُر ِم ۢن َب ۡي ِن َي َد ۡي ِه َو ِم ۡن َخ ۡل ِفِهٓۦ َأاَّل َتۡع ُبُد ٓو ْا ِإاَّل ٱَهَّلل ِإِّن ٓي َأَخ اُف َع َلۡي ُك ۡم َع َذ اَب َي ۡو ٍم‬
21:‫ [ األحقاف‬٢١ ‫َع ِظ يٖم‬
Dan ingatlah saudara ‘Aad (yaitu Huud) ketika dia mengingatkan kaumnya dengan ‫ٱَأۡلۡح َقاِف‬

‫َو َق ۡد َخ َلِت ٱلُّن ُذ ُر ِم ۢن َب ۡي ِن َي َد ۡي ِه َو ِم ۡن َخ ۡل ِفِه‬

Dan telah berlalu peringatan atau para Rasul, ‫ ٱلُّن ُذ ُر‬adalah jamak dari Nazir. Dan telah berlalu
Nazir Nazir, yaitu Rasul-Rasul ‫ ِم ۢن َب ۡي ِن َي َد ۡي ِه‬sebelum dia ‫ َو ِم ۡن َخ ۡل ِفِه‬dan setelahnya (yaitu sebelum
Huud dan setelah Huud). Apa tugas mereka?

‫َأاَّل َتۡع ُبُد ٓو ْا ِإاَّل ٱَهَّلل‬

Supaya kalian tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah saja. Ini secara umum harus
menjadi aqidah bagi kita bahwasanya para Nabi dan Rasul sama dengan Nabi Muhammad
‫ ﷺ‬dakwahnya satu yaitu dakwah kepada Tauhid.

Dan kalau kita melihat perincian dakwah-dakwah para Nabi dan Rasul dan kita membaca
kisah-kisah mereka kita akan melihat ucapan yang shorih dari mereka, ucapan yang mereka
dakwahkan pertama kali adalah kepada Tauhid.

Ketika Allah ‫ ﷻ‬banyak menyebutkan tentang kisah-kisah para Nabi dan Rasul di dalam
surat Al-A’raf dan juga di dalam surat Huud kita lihat bagaimana ketika Allah mengutus
kepada kaum Nuh,

‫َلَقۡد َأۡر َس ۡل َن ا ُنوًح ا ِإَلٰى َق ۡو ِمِهۦ َفَقاَل َٰي َق ۡو ِم ٱۡع ُبُد وْا ٱَهَّلل َم ا َلُك م ِّم ۡن ِإَٰل ٍه َغ ۡي ُر ُهٓۥ‬
Sungguh kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia mengatakan, ‫ َٰي َق ۡو ِم‬Wahai
kaumku, ‫ ٱۡع ُبُد وْا ٱَهَّلل‬hendaklah kalian menyembah kepada Allah, Tauhid, ‫ َم ا َلُك م ِّم ۡن ِإَٰل ٍه َغ ۡي ُر ُهٓۥ‬kalian
tidak memiliki sesembahan selain Dia.
‫ َم ا َلُك م ِّم ۡن ِإَٰل ٍه‬Nafyun, ‫ َغ ۡي ُرُه‬kecuali dia, berarti di sini adalah isbat. Ini adalah dakwahnya Nuh
‘Alaihissalam.

Bagaimana dengan dakwah ‘Aad?

‫َو َلٰى َع اٍد َأَخ اُهۡم ُه وٗد ۚا َق اَل َٰي َقۡو ٱۡع ُبُد وْا ٱَهَّلل َم ا َلُك م ِّم ۡن َٰل ٍه َغ ۡي ُرُهۖٓۥ‬
‫ِإ‬ ‫ِم‬ ‫ِإ‬

Dan kepada ‘Aad maksudnya adalah arsalna ilaa ‘Aad, dia mengatakan,

‫َٰي َق ۡو ٱۡع ُبُد وْا ٱَهَّلل َم ا َلُك م ِّم ۡن َٰل ٍه َغ ۡي ُرُهۖٓۥ‬


‫ِإ‬ ‫ِم‬
Wahai kaumku sembahlah Allah, kalian tidak memiliki sesembahan selain Dia. Persis seperti
yang diucapkan oleh Nuh sebelumnya.

‫َٰي َق ۡو ٱۡع ُبُد وْا ٱَهَّلل َم ا َلُك م ِّم ۡن َٰل ٍه َغ ۡي ُرُهۖٓۥ‬


‫ِإ‬ ‫ِم‬

Bagaimana tentang Shaleh, di sini Allah mengatakan,

‫َو ِإَلٰى َث ُموَد َأَخ اُهۡم َٰص ِلٗح ۚا‬

Dan kami mengutus kepada Tsamud saudara mereka (dan saudara di sini maksudnya
adalah saudara dalam nasab bukan saudara di dalam agama, karena kalau dilihat dari
agama kita bukan saudara mereka, Al-Muslim akhulmuslim, bukan Al-Muslim Akhulkafir)

‫َق اَل َٰي َقۡو ِم ٱۡع ُبُد وْا ٱَهَّلل َم ا َلُك م ِّم ۡن ِإَٰل ٍه َغ ۡي ُر ُهۖۥ‬

Sama ucapannya, Wahai kaumku hendaklah kalian menyembah kepada Allah, tidak ada
sesembahan yang berhak disembah oleh kalian kecuali Dia.

Bagaimana dengan Syuaib? Sama.

‫َو ِإَلٰى َم ۡد َيَن َأَخ اُهۡم ُشَع ۡي ٗب ۚا‬

Dan Kami mengutus kepada Madyan saudara mereka Syuaib,

‫َق اَل َٰي َقۡو ِم ٱۡع ُبُد وْا ٱَهَّلل َم ا َلُك م ِّم ۡن ِإَٰل ٍه َغ ۡي ُرُهۥ‬

Dia mengatakan ucapan yang sama, ini diucapkan oleh Huud, Shaleh, Nabi Nuh
‘Alaihissalam dan seterusnya. Ini adalah perincian globalnya adalah yang disebutkan dalam
ayat:

‫َو َلَقۡد َبَع ۡث َن ا ِفي ُك ِّل ُأَّمٖة َّر ُسواًل َأ ٱۡع ُبُد وْا ٱ َو ٱۡج َت ِنُبوْا ٱلَّٰط ُغ وَۖت‬
‫َهَّلل‬ ‫ِن‬
‫َٰل‬ ‫ۡل‬
‫َو َم ٓا َأۡر َس َن ا ِمن َق ۡب ِلَك ِمن َّر ُسوٍل ِإاَّل ُنوِحٓي ِإَلۡي ِه َأَّن ُهۥ ٓاَل ِإ َه ِإٓاَّل َأَن ۠ا َف ٱۡع ُبُدوِن‬
‫ۡل‬ ‫ۡذ‬ ‫ۡذ‬
‫َو ٱ ُكۡر َأَخ ا َع اٍد ِإ َأنَذ َر َق ۡو َم ُهۥ ِبٱَأۡلۡح َقاِف َو َق ۡد َخ َلِت ٱلُّن ُذ ُر ِم ۢن َب ۡي ِن َي َد ۡي ِه َو ِم ۡن َخ ِفِهٓۦ َأاَّل َتۡع ُبُد ٓو ْا ِإاَّل ٱَهَّلل‬
Halaqah 58 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Dalil Misi Utama
Diutusnya Nabi Muhammad Bagian 1

Kemudian beliau mengatakan,

‫والدليل قوله تعالى‬

Dalil bahwasanya yang Beliau bawa adalah tentang peringatan dari kesyirikan dan ajakan
kepada Tauhid, dalilnya adalah ayat yang turun kepada Beliau yang dengannya Beliau
resmi menjadi seorang Rasul, yaitu surat Al-Muddatsir ayat yang pertama sampai ke tujuh.

Nabi ‫ ﷺ‬ketika melihat pertama kali Jibril dan diwahyukan kepada Beliau, maka dalam
keadaan Beliau ketakutan, dalam keadaan gemetaran, turun dari gunung dan masuk ke
dalam rumah Khadijah ‫ رضي هللا عنها‬dalam keadaan Beliau takut. Sehingga oleh wanita yang
sholehah ini, istri yang sholehah ini, Beliau ‫ ﷺ‬dihibur dan dijadikan hati Beliau ini lapang,
husnudzon kepada Allah ‫ﷻ‬, berusaha untuk menghilangkan keresahan yang menimpa
dan kegelisahan yang menimpa suaminya, dan diberikan kabar gembira.

Beliau mengatakan kepada Khadijah, berikan aku selimut berikan aku selimut, maka dia pun
memberikan Nabi ‫ ﷺ‬selimut, menyelimuti Beliau sehingga hilang dari Beliau rasa takut.
Nabi ‫ ﷺ‬berkata kepada Khadijah, Wahai Khadijah aku telah takut atas diriku sendiri
melihat sesuatu yang besar yang belum pernah Beliau lihat sebelumnya.

Maka Rosulullah ‫ ﷺ‬mengabarkan kepada Khadijah tentang apa yang terjadi baru saja,
kedatangan Jibril dan mengajarkan kepada Beliau wahyu.
Wanita yang shalihah ini mengatakan kepada suaminya yang dalam keadaan dia takut dan
mengatakan, “Tidak sekali-kali, bergembiralah dirimu, demi Allah, Allah tidak akan
menghinakan kamu selama-lamanya.”
Kenapa demikian? “Karena Demi Allah, engkau ini adalah seseorang yang senang
menyambung silaturahim.”

Nabi ‫ ﷺ‬dikenal orang yang suka silaturahim, datang ke pamannya, datang ke bibinya,
datang ke sepupunya, senang dengan silaturahim. Dan ini adalah akhlak yang mulia dan
kelak di Hari Kiamat yang namanya Ar-Rahim ini akan berada di sekitar Siroth dan dia akan
menginginkan haknya, apakah ditunaikan haknya selama di dunia atau tidak, apakah kita
menyambung silaturrahim atau tidak.

“Kemudian yang ke dua, engkau ini adalah orang yang jujur dalam ucapan.”
Orang yang demikian ia memiliki sifat akhlak yang mulia kepada orang lain, jujur di dalam
berbicara.

“Dan kau adalah orang yang menanggung beban, menolong orang lain, engkau membantu
kepada orang yang tidak memiliki apa-apa, dan kau adalah orang yang memuliakan tamu,
memberikan hidangan kepada mereka, dan engkau membantu nawa’ibulhaq, kurang lebih
maknanya orang-orang yang membela kebenaran, orang-orang yang berada di atas
kebenaran.”

Maka dengan kalimat-kalimat ini, Khadijah berharap akan meringankan apa yang menjadi
pikiran Rasulullah ‫ﷺ‬. Kemudian akhirnya Beliau ‫ ﷺ‬dibawa oleh Khadijah ke
Waraqah Ibn Naufal, dan dia adalah anak dari paman Khadijah.

Kemudian setelah itu, diturunkan kepada Beliau surat Al-Muddatsir yang isinya pertama
adalah panggilan kepada orang yang Muddatsir, Al-Muddatsir adalah orang yang berselimut.

]7-1:‫ [ الـّم ـّد ّثـر‬٧ ‫ َو ِلَر ِّب َك َف ٱۡص ِبۡر‬٦ ‫ َو اَل َتۡم ُنن َتۡس َت ۡك ِثُر‬٥ ‫ َو ٱلُّر ۡج َز َف ٱۡه ُج ۡر‬٤ ‫ َو ِثَي اَبَك َف َط ِّه ۡر‬٣ ‫ َو َر َّبَك َفَك ِّب ۡر‬٢ ‫ ُقۡم َف َأنِذ ۡر‬١ ‫َٰٓي َأُّيَه ا ٱۡل ُمَّد ِّث ُر‬

Kita lihat makna dari 7 ayat yang pertama dari surat Al-Muddatsir ini, yang dengannya
Beliau menjadi seorang Rasul. Ternyata di dalamnya ada misi utama diutusnya Beliau
kepada manusia. Kalau di dalam surat Al-Alaq ayat 1-5 belum kelihatan yang demikian.

٥ ‫ َع َّلَم ٱِإۡلنَٰس َن َم ا َلۡم َي ۡع َلۡم‬٤ ‫ ٱَّلِذي َع َّلَم ِبٱۡل َقَلِم‬٣ ‫ ٱۡق َر ۡأ َو َر ُّبَك ٱَأۡلۡك َر ُم‬٢ ‫ َخ َلَق ٱِإۡلنَٰس َن ِم ۡن َع َلٍق‬١ ‫ٱۡق َر ۡأ ِبٱۡس ِم َر ِّب َك ٱَّلِذي َخ َلَق‬

Tapi di dalam surat Al-Muddatsir ayat 1-7 jelas di sini ada penyebutan misi utama dari
Rasulullah ‫ﷺ‬, diutus oleh Allah untuk apa, ada di dalamnya. Maka di sini pengarang
memandang perlu untuk menjelaskan satu-persatu dari ayat-ayat tersebut, menguatkan
kepada kita bahwasanya Beliau ini, dan ini adalah bagian dari pengenalan kita kepada
Beliau. Mengenal bahwasanya Beliau ini sebagai seorang Rasul diutus untuk
mendakwahkan kepada Tauhid. Banyak kaum muslimin yang ketika ditanya apa tujuan
Rasulullah diutus tidak tahu, tidak mengenal bahwasanya tujuan utama Beliau ‫ ﷺ‬diutus
adalah untuk berdakwah kepada Tauhid.

Makanya ini adalah termasuk ta’rif, pengenalan dari Beliau tentang apa misi dari Rasulullah
‫ﷺ‬. Ini adalah bagian dari Ma’rifatu Rosul, mengenal tentang misi beliau.

Halaqah 59 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Dalil Misi Utama


Diutusnya Nabi Muhammad Bagian 2 – Makna ‫ُقۡم َف َأنِذ ۡر‬
Kemudian beliau mengatakan,
‫ُقۡم َف َأنِذ ۡر‬

Makna dari firman Allah ‫ ُقۡم‬bangunlah dirimu, karena orang yang berselimut dalam keadaan
dia tertidur atau berbaring, ‫ ُقۡم‬bangunlah ‫ َف َأنِذ ۡر‬maka berilah peringatan. Apa maksud ‫ َف َأنِذ ۡر‬di
sini?

‫ينذر عن الشرك ويدعو إلى التوحيد‬

Andzir ( ‫ )َأنِذ ۡر‬maksudnya adalah peringatkanlah mereka dari kesyirikan. Wahai manusia
jangan kalian berbuat syirik, jangan kalian menyekutukan Allah. Menakut-nakuti mereka itu
namanya indzar. Antum mengingatkan orang jangan dekat dekat dengan kabel ini itu
namanya ‫ينذر‬, mengingatkan dia, menakut-nakuti mereka melarang mereka, melarang
mereka dari kesyirikan bukan hanya disitu saja tapi juga ‫ويدعو إلى التوحيد‬, dan mengajak
mereka kepada Tauhid, jadi saling melazimkan satu dengan yang lain.

Orang yang mengingatkan manusia dari kesyirikan, melazimkan dia, mengajak mereka
kepada Tauhid. Melarang dari kesyirikan berarti otomatis mengajak manusia untuk tidak
menyekutukan Allah yaitu intinya adalah mentauhidkan Allah. Tidak menyekutukan berarti
mengesakan, mengingatkan mereka dari kesyirikan berarti mengajak mereka untuk
bertauhid. Orang yang mengajak kepada Tauhid melazimkan dia untuk mengingatkan
manusia dari kesyirikan.

‫ينذر عن الشرك ويدعو إلى التوحيد‬

Disebutkan oleh beliau dua-duanya supaya lebih jelas maknanya, bahwasanya di sana ada
Nafyun dan di sana ada Itsbat, di sana ada Targhib dan di sana ada Tarhib. Ada dorongan
dan juga ada peringatan.

Ini ayat yang ke dua, dari kalimat ‫ َف َأنِذ ۡر‬diketahui bahwasanya maksud dari indzar di sini
adalah mengingatkan mereka dari kesyirikan.

Tentunya ketika Beliau pertama kali disuruh untuk indzar ini tidak langsung kepada kaumnya
secara terang-terangan. Kita tahu bahwa di sana ada marhalah jahriyyah. Jadi ‫ َأنِذ ۡر‬di sini
jangan dibayangkan Beliau langsung dakwah jahriyyah tapi Beliau dakwah indzar dengan
sirriyyah terlebih dahulu selama kurang lebih 3 tahun, yaitu setelah turunnya surat Al-
Muddatsir ini Beliau menjadi seorang Rosul, berdakwah dengan sembunyi-sembunyi
dengan perintah dari Allah ‫ﷻ‬.
Jadi indzar tidak identik dengan terang-terangan di dalam dakwah, mengingatkan bisa juga
dalam keadaan dia sirr.
Beliau mulai terang-terangan di dalam dakwah ketika turun firman Allah ‫ﷻ‬

٢١٤ ‫َو َأنِذ ۡر َعِش يَر َت َك ٱَأۡلۡق َر ِبيَن‬


[Ash Shu’ara”:214]

Berikanlah peringatan kepada keluargamu yang dekat.


Kemudian Beliau naik ke atas bukit Shofa kemudian mendakwahi mereka. Mulailah di sini
ada Jahr di dalam dakwah. Berarti indzar terkadang dengan sirr terkadang dengan jahr,
tidak harus indzar itu dengan jahr.

‫ُقۡم َف َأنِذ ۡر‬

‫ينذر عن الشرك ويدعو إلى التوحيد‬

Sampaikan saja, dan ini adalah kewajiban seorang Rasul, hanya indzar saja.

‫…َفَه ۡل َع َلى ٱلُّر ُس ِل ِإاَّل ٱۡل َب َٰل ُغ ٱۡل ُم ِبيُن‬..

[An Nahl:35]

Tidaklah menjadi kewajiban seorang Rasul kecuali hanya menyampaikan saja.


Mengingatkan tentang adanya azab.

‫ُقۡم َف َأنِذ ۡر‬

Allah tidak mengatakan berikanlah mereka hidayah, tidak, karena ini bukan kemampuan
seorang Rasul. Kemampuan mereka yang bisa mereka lakukan hanyalah Indzar saja,
mengingatkan mereka.

Halaqah 60 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Dalil Misi Utama


Diutusnya Nabi Muhammad Bagian 3 – Makna ‫َو َر َّبَك َف َأنِذ ۡر َو ِثَي اَبَك َف َط ِّه ۡر‬

Ayat yang selanjutnya yaitu firman Allah,


٣ ‫َو َر َّبَك َفَك ِّب ۡر‬
Dan Rabb-mu maka hendaklah engkau agungkan Dia.
Takdirnya, asalnya, fakabbir rabbak, tapi didahului. Ini menunjukkan tentang ihtimam
(penguatan), mengakhirkan sesuatu yang haknya adalah ditaqdimkan atau sebaliknya
mentaqdimkan sesuatu yang haknya adalah ditakkhirkan. Ini berarti ada perhatian yang
besar, karena asalnya maf’ul bih di belakang. Kenapa di sini maf’ul bihnya didepankan?
Menunjukkan tentang penguatan.

‫َو َر َّبَك َفَك ِّب ۡر‬

Hendaklah engkau mengagungkan Rabb-mu.

Apa makna ‫َو َر َّبَك َفَك ِّب ۡر‬, Kabbir artinya Adzdzhim, maksudnya adalah hendaknya engkau
agungkan dia dengan Tauhid.

Pengagungan artinya adalah penghormatan, pemuliaan. Bagaimana cara kita


mengagungkan Allah, cara mengagungkan Allah adalah dengan mentauhidkan Allah di
dalam ibadah, mengesakan Allah di dalam ibadah adalah bagian dari pengagungan.

Sebaliknya orang yang menyekutukan Allah, dia adalah orang yang menghinakan Allah,
merendahkan Allah dengan serendah-rendahnya. Orang yang mentauhidkan Allah
hakikatnya adalah orang yang mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya, dan
sebaliknya orang yang menyekutukan Allah dengan yang lain pada hakekatnya dia telah
menghinakan Allah dan merendahkan Allah dengan serendah-rendahnya.

Kenapa bisa demikian? Karena orang yang bertauhid dia mengesakan Allah di dalam
ibadah, sesuatu yang memang khusus bagi Allah dia khususkan bagi Allah, itu namanya
penghormatan, itu namanya pengagungan. Sesuatu yang khusus bagi Allah kita berikan
kepada Allah dan tidak kita berikan kepada yang lain. Ini adalah hakikat Ta’zhim. Ini adalah
pengagungan yang sebenarnya.

Tapi kalau sesuatu yang khusus tadi kemudian kita bagi-bagi dengan yang lain, diberikan
kepada yang lain yang dia tidak berhak sebenarnya tapi kita bagi-bagikan kepada yang lain,
maka ini penghinaan terhadap Dzat yang seharusnya dia saja yang dikhususkan.

Ibadah, ini adalah hak khusus bagi Allah ‫ﷻ‬, hanya Allah saja yang berhak karena Dialah
yang mencipta, memberikan rezeki, dan mengatur alam semesta, dan seterusnya. Sehingga
memang Dia saja yang berhak, tidak ada selain Allah yang boleh dan berhak untuk
disembah dan diibadahi.

Kalau ada makhluk dengan beraninya dia menyerahkan ibadah tadi kepada selain Allah
padahal Allah saja yang berhak, artinya ini adalah penghinaan, perendahan kepada Allah
‫ﷻ‬. Allah tidak ridho yang demikian, tidak ridho ada orang yang menyerahkan kekhususan
Allah tadi kepada selain-Nya, meskipun itu kepada manusia yang paling dekat dengan Allah,
meskipun itu kepada malaikat yang paling dekat dengan Allah, karena ini khusus bagi Allah.
Diserahkan kepada yang lain, penghinaan bagi Allah.
Allah mengatakan,

……‫َو َم ا َقَد ُر وْا ٱَهَّلل َح َّق َقۡد ِر ِهۦ‬

[Az Zumar:67]

Mereka tidak memuliakan Allah dengan sebenar-benarnya.


Berarti,

‫َو َر َّبَك َفَك ِّب ۡر‬

Dan Rabb-mu hendaklah engkau agungkan. Agungkan dengan Tauhid. Makanya Syeikh
mengatakan bahwa kita mentauhidkan Allah itu adalah pengagungan kepada Allah,
sebaliknya orang yang menyekutukan Allah berarti dalam hatinya ta’dzhimnya kepada Allah
ini sangat kurang, bahkan bisa sama sekali tidak ada pengagungan terhadap Allah,
sehingga dengan mudah dia berdo’a kepada selain Allah, dengan mudah dia istighotsah
kepada selain Allah.

Oleh karena itu, jadi dalam kalimat adzan di dalam takbir Allahu Akbar Allahu Akbar,
diantara makna takbir adalah dakwah untuk bertauhid, karena Tauhid ini adalah perkara
yang paling besar yang dengannya Allah diagungkan. Sehingga seharusnya orang yang
memahami makna dan mengulang-ulang kalimat Allahu Akbar dan setiap orang yang
banyak membaca Allahu Akbar Allahu Akbar, kalau dia memahami maknanya, harusnya dia
adalah orang yang muwahhid, orang yang mengesakan Allah di dalam ibadah dan ini adalah
bentuk takbirri, pengagungan dia terhadap Allah.

٣ ‫َو َر َّبَك َفَك ِّب ۡر‬


٤ ‫َو ِثَي اَبَك َف َط ِّه ۡر‬

Dan pakaianmu maka hendaklah engkau bersihkan dia.


Apa yang dimaksud dengan pakaian di sini? Maksudnya adalah hendaklah engkau
bersihkan amalanmu dari kesyirikan.

Yang dimaksud dengan ‫ ِثَي اَب‬pakaian di sini adalah amalan, amal yang kita lakukan
diibaratkan dengan pakaian yang kita pakai, perhiasan yang kita pakai.

Maka bersihkan pakaianmu, yaitu amalanmu dari kesyirikan, jangan dikotori amalan tersebut
dengan kesyirikan, yaitu jangan dikotori ibadah kalian dengan kesyirikan. Jadikan dia Khalis
bersih, karena dalam Al-Quran, Ketahuilah bagi Allah ibadah yang bersih, agama yang
bersih, Khalis artinya adalah bersih, Nadzif, orang yang ikhlas adalah orang yang bersih
ibadahnya dari riya’ dari sum’ah, tidak ada keinginan selain Allah, bersih adalah orang yang
ikhlas, dienul khalis adalah agama yang bersih, bersih dari kesyirikan.

Kalau memang di situ ada kotoran, Thohhir (bersihkan), karena mereka ketika beramal
orang-orang musyrikin masih campur, masih campur dengan kesyirikan-kesyirikan. Maka
Allah ‫ ﷻ‬memerintahkan Nabi-Nya untuk membersihkan amalannya dari kesyirikan.

Berarti ayat yang pertama, ke dua, ke tiga dan keempat berturut-turut di situ dakwah kepada
Tauhid, membersihkan ibadah dari kesyirikan dan seterusnya.

Halaqah 61 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Dalil Misi Utama


Diutusnya Nabi Muhammad Bagian 4 – Makna ‫ َو ٱلُّر ۡج َز َف ٱۡه ُجر‬dan Hikmah Diprioritaskannya
Dakwah Tauhid

Ayat yang selanjutnya,

٥ ‫َو ٱلُّر ۡج َز َف ٱۡه ُج ۡر‬

Dan ‫ ٱلُّر ۡج ز‬hendaklah engkau tinggalkan. Kemudian beliau memberikan penjelasan apa
makna ‫ ٱلُّر ۡج ز‬dan apa hubungan antara ayat yang ke-5 ini dengan dakwah tauhid.

‫ٱلُّر ۡج ز = اَألْص َن ام‬,

Yang dimaksud dengan rujz adalah ashnam yaitu berhala berhala, nama lain dari berhala
adalah ‫ٱلُّر ۡج ز‬.

Fahjur ( ‫ )َف ٱۡه ُج ۡر‬maka hendaklah engkau tinggalkan berhala-berhala tadi. Apa yang dimaksud
dengan hajru arrujz, wa hajruha meninggalkan berhala.
Yang pertama adalah tarkuha, ditinggalkan, jangan mendekat kepada berhala-berhala tadi.
Wa ahliha, dan meninggalkan orang-orang yang menyembah berhala tadi.

Tarkuha wa ahliha, meninggalkan berhala tadi dan juga meninggalkan orang-orang yang
menyembah berhala tadi. Jadi bukan hanya meninggalkan berhalanya tapi masih
bermesraan dengan orang-orang yang menyembah berhala, masih senang dengan mereka
masih mencintai mereka.

Meninggalkan berhala tersebut dan juga meninggalkan orang-orang yang menyembah


berhala. Kita tinggalkan mereka dan kita ganti mereka dengan orang-orang yang
muwahhidin, yang hanya menyembah kepada Allah saja.

Walbaraatu minha wa ahliha, dan harus disertai dengan baraa, berlepas diri, meninggalkan,
sepertinya dia lebih dekat kepada sesuatu yang dzohir. Walbaraatu minha, disini berkaitan
dengan batinnya, kita harus berlepas diri, tidak ada hubungannya dengan rujz tadi dan juga
orang-orang yang menyembah rujz. Dalam hatinya dia berlepas diri tidak ada hubungan
sedikitpun dengan berhala-berhala tadi dan orang-orang yang menyembah berhala tadi.

Maka di sini ada al-wala’ wal bara’.


Jadi meninggalkan berhala bukan hanya meninggalkan fisiknya saja tapi ternyata di dalam
hatinya masih ada loyal, kecintaan, masih ada niat untuk menolong berhala tadi dan orang-
orang yang menyembah berhala tadi. Bukan hanya kita meninggalkan secara fisik tapi hati
kita juga harus dijauhkan benar-benar dan harus kita berlepas diri dari berhala-berhala tadi
dan orang-orang yang menyembah berhala tadi.

Wa adaawatuha wa ahliha, dan makna dari ‫ َف ٱۡه ُج ۡر‬adalah kita harus memerangi atau
memusuhi, jadikan berhala-berhala tadi sebagai musuh dan orang-orang yang menyembah
berhala tadi sebagai musuh.

Wa firoquha wa ahliha, dan kita harus firoq, menceraikan, kita harus meninggalkan berhala-
berhala tadi, wa ahliha dan juga orang-orang yang menyembah berhala-berhala tadi.

Ini adalah makna-makna yang terkandung di dalam kalimat hajr, memboikot, harus ada
kebencian di dalam hati berlepas diri, menjadikan itu sebagai musuh, kita tinggalkan dengan
hati kita dan juga kita tinggalkan secara dzohir. Jangan kita dekat-dekat dengan berhala-
berhala tadi dan jangan kita dekat-dekat dengan orang-orang yang menyembah berhala-
berhala tadi. Ini semua masuk di dalam kalimat

‫َو ٱلُّر ۡج َز َف ٱۡه ُج ۡر‬


Ayat yang ke dua, ke tiga, ke empat, ke lima, ternyata isinya adalah dakwah kepada tauhid.
Inilah misi utama Rasulullah ‫ ﷺ‬dan ini adalah misi para nabi dan rasul sebelum Beliau
‫ﷺ‬.

Berapa tahun Nabi ‫ ﷺ‬mendakwahkan manusia kepada Tauhid, apakah hanya 5 menit,
seperti yang di katakan oleh sebagian, cukup kita mengajarkan manusia Tauhid 5 menit saja
cukup, sisanya berbicara tentang demo, berbicara tentang politik, itu yang dibicarakan
sampai berjam-jam dan di mana-mana itu yang dibicarakan.
Tauhid dianggap ringan oleh mereka, gampang mengajarkan manusia pembagian tauhid
menjadi tiga, makna ‫ال إله إال هللا‬, menganggap ini adalah suatu yang mudah. Beliau ingin
menyampaikan di sini ternyata dakwah Beliau ‫ ﷺ‬kepada tauhid bukan hanya sekedar
waktu yang singkat, tapi Beliau berdakwah:

‫ وبعد العشر عرج به إلى السماء‬،‫أخذ على هذا عشر سنين يدعو إلى التوحيد‬

Maksudnya isi dakwah Beliau demikian sebagaimana yang ada di dalam surat Al-Muddatsir
tadi demikianlah yang Beliau dakwahkan, menjalankan perintah Allah.
Allah mengatakan
٢ ‫ُقۡم َف َأنِذ ۡر‬
٣ ‫َو َر َّبَك َفَك ِّب ۡر‬
Maka beliau tegak mendakwahkan sebagaimana yang Allah perintahkan. Allah
memerintahkan dakwah kepada Tauhid maka Beliau berdakwah kepada Tauhid. Selama 10
tahun Beliau menjalankan perintah Allah berdakwah kepada Tauhid. Berusaha untuk
membersihkan awalnya adalah kota Makkah dari kesyirikan-kesyirikan, mengajak manusia
masuk ke dalam agama Islam, Alhamdulillah satu meninggalkan kesyirikan, berarti
berkurang kesyirikan ke dua ke tiga, Beliau melakukan ini semua berdakwah kepada Tauhid
selama 10 tahun.

Mengapa para nabi dan rasul diperintahkan oleh Allah untuk memulai dakwahnya dengan
Tauhid. Banyak hikmah yang ada di balik dimulainya dakwah kepada Tauhid ini.

Tauhid ini adalah modal untuk masuk ke dalam surga, modal masuk ke dalam surga adalah
tauhid. Mustahil masuk ke dalam surga kecuali orang yang bertauhid. Meninggal dunia,
sholat, puasa, zakat, dan seterusnya tidak bertauhid, mustahil dia masuk ke dalam surga.
Allah ‫ ﷻ‬mengatakan,

‫ِإَّنُهۥ َم ن ُيۡش ِر ۡك ِبٱِهَّلل َف َقۡد َح َّر َم ٱُهَّلل َع َلۡي ِه ٱۡل َج َّنَة‬


Barang siapa yang menyekutukan Allah, beribadah kepada Allah dan beribadah kepada
selain Allah, maka sungguh Allah telah mengharamkan atasnya surga, diharamkan oleh
Allah. Surga, ‫خاص للمواحد‬, hanya untuk orang-orang yang mengesakan Allah, tidak
mengesakan Allah tidak punya tiket.

‫َم ْن قال اَل ِإَلَه ِإاَّل ُهللا َد َخ َل الَج َّنَة‬

Orang yang mengatakan ‫اَل ِإَلَه ِإاَّل ُهللا‬, mentauhidkan Allah, barulah dia bisa masuk ke dalam
surga.

‫من لقي هللا يشرك به شيئا دخل النا ومن لقيه ال يشرك به شيئا دخل الجنة‬
Barang siapa yang bertemu dengan Allah tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu
apapun maka dia akan masuk ke dalam surga.

Karena ini adalah tiket utama masuk ke dalam surga maka dahulukan sebelum yang lain.

Kemudian yang ke dua orang yang bertauhid kepada Allah maka ini menjadi sebab
diampuni dosanya. Dia bertauhid maka ada harapan, seandainya dia memiliki dosa,
diampuni oleh Allah dosa tersebut. Tapi kalau dia tidak bertauhid maka tidak akan diampuni
dosanya.

Di dalam sebuah hadist qudsi Allah ‫ ﷻ‬mengatakan,

‫َي ا اْب َن آَد َم ِإَّن َك َلْو َأَت ْي َت ِني ِبُقَر اِب اَأْلْر ِض َخ َط اَي ا ُثَّم َلِقيَت ِني اَل ُتْش ِر ُك ِبي َش ْي ًئ ا‬
Wahai anak Adam seandainya engkau datang kepada-Ku

‫ِبُقَر اِب اَأْلْر ِض َخ َط اَي ا‬

Dengan dosa sepenuh bumi kemudian engkau bertemu, bertemu dengan Allah dalam
keadaan dia tidak ada sedikitpun dosa yang berupa kesyirikan, dosanya banyak berlembar-
lembar tapi tidak ada dosa yang berupa kesyirikan. Maka ini menjadi sebab
‫َأَلَت ْي ُتَك ِبُقَر اِبَه ا َم ْغ ِفَر ًة‬

Aku akan mendatangi dirimu dengan ampunan dosa sepenuh bumi juga.

Dengan sebab karena dia datang tidak membawa dosa syirik. Dosanya banyak tapi karena
tidak ada di situ satupun kesyirikan, Allah ampuni dosanya dengan sebab tauhid yang dia
miliki.
Kenapa para nabi dan rasul mendakwahkan kepada Tauhid? Kalau mereka sudah kenal
tauhid meskipun ada dosa yang mereka lakukan, riba, mencuri, berzina, itu memang dosa-
dosa besar, tapi ketika tauhid sudah masuk kepada mereka, bertobat kepada Allah dari
kesyirikan, bertauhid, maka ini ada harapan mereka akan diampuni oleh Allah ‫ ﷻ‬dengan
sebab tauhid tadi.

Halaqah 62 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Hikmah


Diprioritaskannya Dakwah Tauhid Bagian 2

Diantara hikmah kenapa para Nabi dan Rasul dahulu mereka memulai dakwahnya dengan
tauhid ini. Diantara sebabnya karena orang yang sudah masuk di dalam hatinya tauhid,
maka dengan mudah dia menerima perintah dan dengan mudah dia meninggalkan
larangan.

Tauhid yang ada di dalam hatinya menggugah dia, mendorong dia untuk beramal sholeh.
Pengagungan dia terhadap Allah menjadikan dia ketika diperintahkan dia langsung
melaksanakan perintah tadi. Takut kalau sampai dia tidak melaksanakan perintah Allah,
nanti akan menyimpang akan menjadi terjerumus ke dalam kesyirikan yang kecil sampai
akhirnya terjerumus ke dalam kesirikan yang besar.

Demikian pula menjadikan dia takut untuk melakukan dosa, karena orang yang sudah kuat
tauhidnya dia tidak ingin menyekutukan Allah termasuk di antaranya kalau sudah tinggi
tauhidnya tidak ingin menyekutukan Allah dengan hawa nafsunya, inginnya menundukkan
dirinya untuk Allah saja. Kalau hawa nafsu tersebut bertentangan dengan kehendak Allah,
maka dia tidak ingin mengikuti hawa nafsunya, hawa nafsu tersebut tunduk dengan Allah
‫ﷻ‬.

Sebagaimana dia tidak ingin menyembah kepada selain Allah, demikian pula dia tidak ingin
menyembah hawa nafsunya, maka dia tidak melakukan kemaksiatan dan ini adalah bagian
kesempurnaan tauhid dia kepada Allah. Jadi orang yang tauhidnya sudah sampai puncak,
kamaal tauhid, sebagaimana 70.000 orang yang dikabarkan oleh Nabi masuk ke dalam
surga tanpa hisab dan juga tanpa azab.
Mereka adalah orang-orang yang mewujudkan benar-benar tauhid. Bukan hanya masalah
syirik besar yang dia tinggalkan bukan hanya syirik kecil saja yang dia tinggalkan,
kebid’ahan juga dia tinggalkan, karena pada hakekatnya bid’ahan di situ ada mengikuti
hawa nafsu, mengikuti selain syariat Allah. Padahal kita harus mengesakan Allah termasuk
diantaranya dalam syariat, hanya syariat Allah saja yang kita ikuti jangan kita mengikuti
syariat yang lain, maka mengikuti sunnah dan menjauhi bid’ah ini adalah bagian dari tauhid.
Orang yang sudah sampai puncak tauhidnya maka dia akan meninggalkan kemaksiatan
karena mengikuti dan melakukan kemaksiatan adalah mengikuti hawa nafsu, dan mengikuti
hawa nafsu berarti mentaati dia seakan-akan menyembah hawa nafsu tersebut.

‫َأَف َر َأْيَت َم ِن اَّتَخ َذ ِإَٰل َه ُه َهَو اُه‬

Tahukah engkau orang yang menjadikan sesembahan dia adalah hawa nafsunya.

Hawa nafsunya ingin ini dia ikuti seakan-akan dia menyembah kepada hawa nafsunya
tersebut.
Ini adalah orang-orang yang mewujudkan tauhid dengan sebenar-benarnya, akan mudah
baginya untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan.

Makanya kalau dakwah para Nabi dan Rasul dimulai dengan dakwah tauhid, itu adalah
dakwah yang shahih, itulah yang benar. Setelah Nabi ‫ ﷺ‬dakwah tauhid ini sudah
menancap dalam di dalam hati para sahabat, siap mereka untuk menerima perintah, siap
mereka untuk menerima larangan, maka setelah itu turunlah secara bertubi-tubi syariat-
syariat yang lain, dan dengan mudah dilaksanakan oleh para sahabat. Disuruh untuk shalat
5 kali dalam sehari mudah bagi mereka, sami’na wa atho’na.
Yang wanita diturunkan kepada mereka kewajiban hijab langsung mereka laksanakan dan
tidak diundur.

Disebutkan dalam kisahnya ketika turun perintah bagi mereka untuk menutupi leher mereka
dan juga kepala mereka, maka mereka langsung melaksanakan ayat tersebut. Tidak
menunggu sampai membuat atau datang ke tukang jahit, mau model yang demikian.
Langsung mereka pergi ke rumah mereka masing-masing, apa yang ada di situ digunakan
untuk sebagai khimar. Mereka punya sarung, sarungnya dipotong-potong dipakai untuk
menutupi badannya. Punya selimut, selimut itulah yang dipakai untuk menutupi badannya,
tidak menunggu membuat pakaian tertentu dengan model tertentu, apa yang ada itulah
yang mereka pakai.

Kenapa mereka melakukan itu, karena sudah kuat di dalam hatinya aqidah. Perintah oleh
Allah langsung mereka laksanakan. Ini di antara hikmah kenapa para Nabi dan Rasul dahulu
mereka memulai dakwahnya dengan tauhid ini.

Guru kami yang mulia di dalam kelas pernah membuat pemisalan ketika menyebutkan
tentang keutamaan dakwah kepada tauhid ini. Seandainya seorang dokter di hadapannya
ada pasien yang sedang diuji. Misalnya habis kecelakaan dan seterusnya, ada beberapa
luka, ada yang patah, ada yang sobek, ada yang luka ringan, ada yang mungkin tulang
dadanya patah sehingga sesak nafasnya dan seterusnya. Maka seorang dokter melihat
pasien yang ada di depannya, dia akan melihat mana yang darurat harus segera ditolong.
Karena yang menimpa dia ini bertingkat-tingkat, bermacam-macam, ada yang bisa
diakhirkan dia bukan sesuatu yang fatal tapi di situ ada sesuatu yang fatal yang harus
segera dikerjakan, harus segera ditolong dan ditangani. Luka dengan patah tulang misalnya,
kemudian dengan kesusahan di dalam bernafas, tulangnya patah, tangannya patah, ada
luka atau misalnya ada telinganya ini terputus misalnya, maka dia akan melihat mana yang
paling butuh dengan cepat harus ditangani, kira-kira mana itu? Nafas dulu. Dokter yang
cerdas bahkan jangan dokter lah kita saja yang bukan dokter paham yang demikian, kita
akan mendahulukan mana yang paling fatal.
Barulah setelah itu yang di bawahnya dan yang dibawanya. Kalau sudah dia bisa napas dan
sudah tidak kesakitan barulah luka-luka tadi baru diurus, itu dokter yang paham.

Demikian pula di dalam dakwah ini, kita sedang menghadapi pasien, seorang manusia yang
hatinya sebelumnya bersih asalnya, ini sudah banyak kotoran, ada kotoran syirik, ada
kotoran bid’ah, ada kotoran maksiat, perlu semuanya harus dibersihkan.
Tapi kita sebagai seorang da’i yang ingin membersihkan kotoran-kotoran tadi kita perlu cara,
perlu ilmu untuk membersihkannya. Kita mengikuti utusan-utusan Allah ‫ ﷻ‬di dalam
membersihkan penyakit-penyakit hati, yaitu dengan cara memulai yang pertama kali
dibersihkan adalah tentang kesyirikan, dimulai dengan tauhid, dan ini adalah dakwah para
Nabi dan juga para Rasul ‘alaihimussalaam.

Barangsiapa yang menempuh selain jalan mereka di dalam berdakwah, maka dia tidak akan
berhasil di dalam dakwahnya, bahkan kalau ada sebuah aliran tidak memiliki perhatian
tentang masalah tauhid, ketahuilah bahwasanya aliran tersebut adalah aliran yang sesat.
Diantara ciri aliran yang sesat apabila di dalam dakwahnya dia tidak menekankan tentang
masalah tauhid.

Halaqah 63 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Hikmah


Diprioritaskannya Dakwah Tauhid Bagian 3

Diantara hikmah kenapa para Nabi dan Rasul dahulu mereka memulai dakwahnya dengan
tauhid. Tauhid ini adalah ciri jalan yang lurus jalannya para Nabi dan Rasul.
Allah ‫ ﷻ‬mengatakan,

‫م‬ٞ‫ط ُّم ۡس َت ِقي‬ٞ ‫ِإَّن ٱَهَّلل ُه َو َر ِّبي َو َر ُّب ُك ۡم َف ٱۡع ُبُدوُۚه َٰه َذ ا ِص َٰر‬
‫َّن ٱ َر ِّبي َو َر ُّب ُك ۡم َف ٱۡع ُبُدوُۚه‬
‫ِإ َهَّلل‬

Nabi Isa ‘alaihissalam berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya Allah, Dia adalah Rabb-ku
dan Rabb kalian.”
Menyebutkan Tauhid Rububiyah , kalau Dia adalah Rabb-ku dan Rabb kalian,
‫َف ٱۡع ُبُدوُه‬, maka hendaklah kalian menyembah-Nya, Tauhid Rububiyyah mengharuskan Tauhid
Al-Uluhiyyah.

Kemudian beliau mengatakan,

‫م‬ٞ‫ط ُّم ۡس َت ِقي‬ٞ ‫َٰه َذ ا ِص َٰر‬

Ini adalah jalan yang lurus, jalan yang lurus ciri utamanya adalah dakwah kepada tauhid.
Dalam ayat yang lain,

‫ِإاَّل ِع َب اَد َك ِم ۡن ُهُم ٱۡل ُم ۡخ َلِص يَن‬


‫َق اَل َٰه َذ ا ِص َٰر ٌط َع َلَّي ُم ۡس َت ِقيٌم‬
‫م‬ٞ‫ط ُّم ۡس َت ِقي‬ٞ ‫َو ِإَّن ٱَهَّلل َر ِّبي َو َر ُّب ُك ۡم َف ٱۡع ُبُدوُۚه َٰه َذ ا ِص َٰر‬

Semakna dengan ayat yang pertama,

‫م‬ٞ‫ط ُّم ۡس َت ِقي‬ٞ ‫َو َأِن ٱۡع ُبُد وِنۚي َٰه َذ ا ِص َٰر‬

Allah mengatakan, “Hendaklah kalian menyembah kepada-Ku, ini adalah jalan yang lurus.”

Oleh karena itu diantara ciri dakwah itu adalah dakwah yang benar, apabila dakwah tadi
menekankan tentang masalah tauhid dan cukup sebuah aliran dikatakan dia adalah aliran
yang sesat apabila dia tidak memiliki perhatian tentang masalah tauhid.

Perhatiannya adalah tentang masalah politik, tidak usah banyak bicara ini adalah aliran yang
sesat. Dia tidak memiliki perhatian dalam masalah tauhid itu adalah aliran yang sesat.
Seandainya ditanya, apa penyimpangan yang paling besar di dalam aliran ini, cukup kita
mengatakan dia tidak memperhatikan tentang masalah tauhid itu sudah menjadi ciri aliran
yang sesat.

Atau kepada bai’at, yang dibicarakan adalah tentang masalah bai’at kepada imam dan itu
yang seakan-akan menjadi makanan pokok yang harus disampaikan kepada jama’ahnya.
Bahkan tidak dinamakan nasihat kecuali apabila di situ ada nasihat untuk berpegang teguh
dengan imam, berpegang teguh dengan bai’at, tidak ada di situ nasihat untuk bertauhid.
Atau misalnya prioritasnya di dalam dakwah adalah tentang bagaimana manusia semangat
untuk beramal saleh. Sampaikan tentang fadhail amal saja, jangan kau berbicara tentang
syirik, bid’ah dan lain-lain. Sampaikan tentang fadhail amal, keutamaan shalat berjamaah,
keutamaan makan dengan tangan kanan, keutamaan-keutamaan dan seterusnya.

Pupuk di dalam diri manusia kecintaan untuk beramal, itu saja, dan mereka menganggap
mereka telah melakukan sesuatu, menganggap mereka berada di atas kebenaran dengan
perbuatan tersebut. Tidak mendakwahkan manusia kepada tauhid dan tidak mengingatkan
mereka dari kesyirikan, dan semua aliran-aliran yang ada kalau kita perhatikan satu persatu
dan ini yang membedakan antara kita dengan mereka, mereka semuanya tidak
memperhatikan tentang masalah tauhid.

Seandainya mereka bilang dan mengatakan kami juga berdakwah kepada tauhid, kalau kita
amati tauhid yang mereka pahami bukan tauhid yang dipahami oleh para Rasul dan juga
para Nabi yaitu Tauhidul Uluhiyah. Seandainya mereka mengatakan kami juga berdakwah
kepada tauhid, kami mendakwahkan di masjid-masjid, wahai manusia ketahuilah
bahwasanya Allah yang mencipta, yang menciptakan ini semua adalah Allah, Dia-lah yang
mengatur alam semesta, itu yang kami dakwahkan.
Kita katakan itu adalah bagian dari tauhid tapi bukan inti tauhid yang dibawa oleh para Rasul
dan juga para Nabi. Dan ini belum membedakan antara kita dengan orang-orang musyrikin,
karena orang musyrikin pun mereka juga mengakui tentang apa yang kalian dakwahkan,
berupa keyakinan Allah yang mencipta, memberikan rezeki, dan seterusnya. Kalian belum
mendakwahkan tauhid yang didakwahkan oleh para Rasul.

Atau yang mengatakan kami juga mengajak kepada Tauhid al-Hakimiyyah, mengajak
manusia untuk berhukum dengan hukum Allah. Kenapa kami berbicara tentang politik
karena kami ingin manusia berhukum dengan hukum Allah. Kita ingin mendirikan Negara
Islam. Kita juga berdakwah kepada tauhid, yaitu tauhid hakimiyah maksudnya, bukan tauhid
uluhiyah yang diajak oleh para Nabi dan juga para Rasul.
Maka harus kita waspadai yang demikian, tidak semua kalimat tauhid yang dipakai dan
disebutkan oleh aliran-aliran sesat tadi, sama dengan tauhid yang kita maksud. Terkadang
maksud mereka adalah Tauhid Rububiyah terkadang maksudnya adalah Tauhid Al-
Hakimiyah bukan Tauhid Uluhiyah.

Halaqah 64 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Peristiwa Isra’ Mi’raj dan
Perintah Wajibnya Sholat Lima Waktu

Kemudian setelah itu beliau mengatakan,

‫وَب عَد الَع ْش ٍر‬


Dan setelah 10 tahun,
‫ُغ ِر َج ِبِه ِإَلى الَّسَم اِء‬

Maka Beliau diangkat ke atas, yang dinamakan dengan mi’raj, ‫ ُغ ِر َج‬diangkat ‫ ِبِه‬dengan Beliau
ke atas. Ini terjadi pada tahun ke-10 kenabian. Ini adalah pendapat yang lebih kuat, Beliau
di-mi’raj-kan oleh Allah, diangkat pada tahun tersebut.

Dan di tahun itu sebelum Beliau di-mi’raj-kan, dan ini adalah hikmah dari Allah, ketika
semakin keras pertentangan dakwah, ujian dakwah, dan semakin hebat dahsyat
permusuhan orang-orang Quraisy kepada Beliau ‫ﷺ‬.

Ketika dalam keadaan genting-gentingnya tersebut, Allah ‫ ﷻ‬memberikan ujian kepada


Beliau. Orang yang selama ini meringankan beban Beliau, melindungi Beliau, meninggal di
tahun yang sama.
Yang pertama adalah Abu Tholib, Beliau ‫ ﷺ‬dalam keadaan tenang dalam keadaan
nyaman, karena tidak ada yang berani mengganggu Beliau ketika Abu Tholib masih dalam
keadaan hidup. Abu Tholib meskipun sudah dalam keadaan tua tapi dengan kedudukannya,
dia berusaha mati-matian membela Nabi ‫ ﷺ‬.

Beliau dan juga orang-orang yang bersama beliau dari kalangan Bani Hasyim, yang muslim
maupun yang kafir. Orang yang kafirnya membela Muhammad ‫ ﷺ‬karena beliau satu
qabilah. Mustahil mereka meninggalkan Muhammad dalam keadaan sendirian, dicincang
oleh orang, dibunuh oleh orang. Meskipun berbeda aqidahnya, orang-orang Arab demikian,
salah atau benar mereka bela. Ini adalah darah mereka sendiri, cucu mereka sendiri, anak
mereka sendiri. Berbeda dalam hal aqidah tapi mereka akan bela meskipun mereka harus
meninggal dan harus berkorban. Tidak ada yang berani mendekati Nabi ‫ ﷺ‬ketika Abu
Tholib dalam keadaan beliau masih hidup.

Demikian pula Khadijah yang dengan akhlak beliau, dengan ucapan beliau meringankan
beban dan ujian Nabi ‫ﷺ‬, apalagi beliau dengan hartanya membantu Nabi ‫ﷺ‬, maka
tentunya ketika meninggal keduanya Rasulullah ‫ ﷺ‬sangat kehilangan dan itu yang
terjadi.

Dakwah yang semakin gencar permusuhannya dari musuh-musuh Allah ditambah lagi
orang-orang yang dekat dengan Beliau, yang selama ini memiliki peran yang besar dalam
dakwah Beliau, ternyata mereka meninggal dan diambil oleh Allah ‫ﷻ‬. Sedih yang dalam
yang Beliau rasakan saat itu.

Maka Allah ‫ ﷻ‬dengan hikmah-Nya berkenan untuk menghibur Nabi-Nya dengan hiburan
yang luar biasa. Diperlihatkan kepada Beliau tanda-tanda kekuasaan Allah yang sangat
besar, yaitu diangkat Beliau ke atas langit melihat keindahan dunia, melihat makhluk-
makhluk Allah yang luar biasa yang ada di atas sana, yang selama ini di dunia kita tidak
melihatnya kecuali benda yang kecil yang jauh sekali, tidak melihat bagaimana hakikatnya
dan kenyataannya, melihat bagaimana luasnya langit, dan semuanya adalah milik Allah.

Dan ternyata yang terjadi di Makkah, yang terjadi di dunia itu adalah perkara yang sangat
kecil dibandingkan dengan alam semesta yang sangat besar. Kemudian Beliau ke langit
dunia bertemu dengan sebagian nabi, naik lagi ke atas ke langit yang ke dua bertemu
dengan sebagian nabi, melihat berbagai tanda kekuasaan Allah, bahkan bertemu Jibril
‘Alaihissalam dalam keadaan Jibril bentuknya yang asli.

Kemudian melihat sidratul muntaha dan melihat Al-Jannah dan juga melihat An-Naar,
bahkan Beliau mendengar Kalam Allah, yang selama ini Allah ‫ ﷻ‬mengutus jibril atau
melewati perantara, saat itu Beliau bisa mendengar Kalamullah Azza wa Jall. Yang tentunya
ini adalah hiburan yang luar biasa, yang hilang dengan ini semuanya segala beban, segala
kesedihan segala kegelisahan, dan semakin yakin dengan janji Allah.

‫ُغ ِر َج ِبِه ِإَلى الَّسَم اِء‬

Diangkat kepada Allah, diangkat ke atas dan yang diangkat saat itu adalah ‫ِبِه‬, diri Beliau,
baik jiwa Beliau ataupun raga Beliau. Jiwa dan raga Beliau dua-duanya, dan adalah
pendapat yang benar bukan hanya sekedar nyawa Beliau saja sebagaimana yang dianut
oleh sebagian. Tapi Beliau diangkat oleh Allah, di-Isra’-kan dan juga di-Mi’raj-kan dengan
raga dan juga dengan jiwa Beliau.

Oleh karena itu Allah ‫ ﷻ‬mengatakan,

‫ُس ۡب َٰح َن ٱَّلِذٓي َأۡس َر ٰى ِبَع ۡب ِدِهۦ‬

Maha suci Allah yang telah menggerakkan hamba-Nya. ‫َع ۡب ِدِه‬hamba-Nya.

Seseorang dinamakan hamba dengan jiwa dan juga raganya. Bukan hanya nyawanya saja
tapi dengan raganya barulah dia dinamakan hamba, ‫ َع ۡب د‬itu terdiri dari jiwa dan raga.

Kemudian setelah itu beliau mengatakan,

‫وفرضت عليه الصلوات الخمس‬


Kemudian di sana Beliau diwajibkan kepada Beliau 5 shalat, yaitu shalat lima waktu yang
asalnya sebenarnya adalah 50 kali kemudian Beliau meminta keringanan kepada Allah
sehingga menjadi 5 kali. 5 kali tapi tetap pahalanya, pahala 50 kali shalat. Dilipatgandakan
oleh Allah, jadi 5 kali mereka melakukan dalam sehari tapi pahalanya seperti kalau mereka
melakukan 50 kali shalat.

‫َم ن َج ٓاَء ِبٱۡل َح َس َن ِة َف َلُهۥ َع ۡش ُر َأۡم َث اِلَه ۖا‬

Barangsiapa yang datang dengan satu kebaikan maka akan dilipatgandakan oleh Allah
menjadi 10 kebaikan.

Termasuk diantaranya 5 shalat yang diwajibkan atas kaum muslimin dalam sehari semalam
dilipat gandakan oleh Allah pahalanya menjadi 50 kali. Dan ini menunjukkan tentang
keutamaan salat lima waktu karena dia diwajibkan di atas langit. Adapun yang lain, zakat,
puasa, haji, maka diwajibkan di bumi. Langsung disampaikan oleh Allah kepada Nabi-Nya
dan ini menunjukkan tentang keutamaan shalat ini.

Dan awal disyariatkan shalat yang 4 raka’at asalnya adalah 2 raka’at kecuali shalat Maghrib,
Subuh 2 raka’at , Dzuhur 2 raka’at , Ashar 2 raka’at , Magrib 3 raka’at , Isya’ 2 raka’at.

Ketika Allah mewajibkan shalat maka Allah mewajibkannya dua raka’at dua raka’at, baik di
waktu bepergian maupun di waktu dalam keadaan mukim. Semuanya 2 raka’at 2 raka’at
kecuali Maghrib maksudnya. Setelah itu, yaitu ketika Nabi ‫ ﷺ‬hijrah ke kota Madinah
ketika hadzor ditambah, yaitu shalat Dzuhur dan Ashar menjadi empat raka’at, shalat Isya
menjadi empat raka’at setelah hijrahnya Rasulullah ‫ ﷺ‬ke Madinah.
Kemudian ditambah ketika shalat dalam keadaan mukim. Adapun dalam keadaan safar
maka tetap seperti awal. Tetap seperti itu ketika dalam keadaan safar. Jadi orang kalau
safar, shalatnya subuh 2 raka’at, dzuhur 2 raka’at, Ashar 2 raka’at, maghrib 3 raka’at, Isya 2
raka’at.

Itu awal di wajibkannya salat lima waktu demikian. Ketika Nabi ‫ ﷺ‬berhijrah ketika mukim
ketika hadzar ditambah, adapun ketika safar maka tetap seperti semula. Ini maksud ucapan
beliau.

Kemudian setelah itu beliau mengatakan,

‫وصلى في مكة ثالث سنين‬

Kemudian setelah diturunkan kewajiban shalat lima waktu tadi, Beliau shalat di Makkah
selama 3 tahun. Maksudnya telah diturunkannya kewajiban tadi sampai Beliau diperintahkan
untuk hijrah, yaitu tahun ke-13. Jadi tahun ke-11, tahun ke-12, dan ke-13 disitulah Beliau 3
tahun yang pertama melaksanakan kewajiban shalat lima waktu tadi. Setelah di-Mi’raj-kan
selama 3 tahun sampai tahun ke-13 Beliau ‫ﷺ‬, Beliau melakukan shalat di Makkah
selama 3 tahun.

Halaqah 65 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Hijrahnya Rasulullah ke


Madinah Bagian 1

Beliau mengatakan, Rahimahulahu Ta’ala di dalam kitab yang sangat bermanfaat ini,

‫َو َب ْع َد َه ا‬
Yaitu setelah tinggal di Kota Makkah,

Menjalankan perintah Allah memulai dakwah, maka setelah itu,

‫أِمر بالِه ْج رة ِإَلى الَم دينة‬

Beliau diperintahkan, menunjukkan bahwasanya hijrahnya Beliau adalah dengan Wahyu,


dengan perintah dari Allah. Dan telah hijrah sebelum Beliau banyak diantara para sahabat
Beliau ‫ﷺ‬. Adapun Nabi ‫ ﷺ‬maka Beliau tidak berhijrah kecuali datang perintah.

Ketika diperintah barulah Beliau berhijrah, belum diperintah maka Beliau tetap tinggal di kota
Makkah. Setelahnya Beliau diperintahkan untuk berhijrah ‫ ِإَلى الَم دينة‬ke kota Madinah yang
saat itu namanya adalah Yatsrib. Dan Allah ‫ ﷻ‬telah menyebutkan nama Yatsrib ini di
dalam Al-Quran, diantaranya adalah ketika Allah ‫ ﷻ‬menyebutkan tentang ucapan orang-
orang munafik ketika perang Ahzab, mereka mengatakan,

‫َٰٓي َأۡه َل َي ۡث َب اَل ُم َقا َلُك ۡم َف ٱۡر ُعوْۚا‬


‫ِج‬ ‫َم‬ ‫ِر‬

Wahai ahla Yatsrib, (maksudnya adalah ahlul Madinah), tidak ada kesempatan bagi kalian,
(maksudnya untuk bisa menang dalam peperangan ini karena kalian telah dikepung oleh
orang-orang musyrikin, orang-orang yahudi, orang-orang ghothofan, tidak ada kesempatan
bagi kalian untuk menang), maka hendaklah kalian kembali ke tempat kalian.
Yatsrib hanya satu kali saja disebutkan dalam Al-Quran, adapun Al-Madinah maka ini
disebutkan dalam 4 ayat di dalam Al-Quran, maksudnya adalah Al-Madinah dengan makna
Madinah yang merupakan kota Nabi ‫ﷺ‬. Adapun kata Al-Madinah di dalam Al-Quran
maka lebih dari 4.

‫َو َج ٓاَء ِم ۡن َأۡق َص ا ٱۡل َمِد يَن ِة‬


Ini bukan Madinah kota Nabi ‫ﷺ‬

‫َٰٓي َأۡه َل َي ۡث َب اَل ُم َقا َلُك ۡم َف ٱۡر ُعوْۚا‬


‫ِج‬ ‫َم‬ ‫ِر‬

‫ َي ۡث ِر ب‬ini adalah nama lama dari kota Madinah, dan kota tersebut menjadi Al-Madinah itu
semenjak Rasulullah ‫ ﷺ‬berhijrah ke sana.
Di dalam sebuah hadits Beliau ‫ ﷺ‬mengatakan,

‫ُأِمْر ُت ِبَقْر َي ٍة َت ْأُك ُل اْلُقَر ى‬

Aku diperintahkan untuk berhijrah ke sebuah kota yang akan memakan kota-kota yang lain.

‫ َو ِهَي اْلَمِد يَن ُة‬، ‫َي ُقوُلوَن َلَه ا َي ْث ِر ُب‬

Mereka menamakan kota tersebut dengan Yatsrib dan dia adalah Al-Madinah, yaitu diganti
namanya oleh Nabi ‫ ﷺ‬dari nama Yatsrib menjadi nama Al Madinah.

Setelah itu dikenal dengan nama Al-Madinah dan dia adalah kota yang banyak memiliki
keutamaan. Dan diantara keutamaannya sebagaimana disebutkan dalam hadits ini
bahwasanya dia adalah kota yang akan memakan kota yang lain.
Disebutkan oleh para ulama maknanya adalah dia akan menguasai kota-kota yang lain.

Bagaimana seseorang makan memasukkan ke dalam, demikian pula kota Madinah akan
memakan kota-kota yang lain, dan itu yang terjadi. Kota ini menjadi ibukota bagi kaum
muslimin dan dia adalah ibukota yang pertama. Dari sanalah dikirim para da’i. Kirim ke
Yaman, dikirim ke Mesir, dikirim ke berbagai daerah, dan dari sanalah dikirim para pasukan
yang mereka menegakkan kalimat Allah, mengajak manusia masuk ke dalam agama Islam
sehingga banyak negeri-negeri di belahan dunia ini yang masuk ke dalam agama Islam.
Maka ini menunjukkan tentang keutamaan kota Madinah.
Diantara keutamaannya, bahwasanya kota Madinah ini adalah satu diantara dua tanah
haram. Dalam sebuah hadits Nabi ‫ ﷺ‬mengatakan,

‫ِإَّن ِإْب َر اِهيَم َح َّر َم َم َّكَة َو ِإِّن ي َح َّر ْم ُت اْلَمِد يَن َة‬

Sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan kota Makkah dan sesungguhnya aku telah
mengharamkan kota Madinah.

Menunjukkan kepada kita bahwasanya tanah haram di dunia ini hanya ada dua saja. Tanah
haram yang pertama di kota Makkah ini diharamkan oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam dan
yang ke dua adalah tanah haram kota Madinah yang diharamkan oleh Rasulullah ‫ﷺ‬, dan
tidak ada di sana tanah haram yang ke tiga.

Adapun Palestina dan apa yang ada di sekitar Baitul Maqdis, maka tidak dinamakan dengan
tanah haram meskipun orang-orang di sana mungkin menamakan itu adalah tanah haram.
Ini penamaan yang sebenarnya tidak diperbolehkan karena tidak berhak untuk menentukan
sebuah daerah ini tanah haram atau bukan kecuali Allah ‫ﷻ‬.

Dan ucapan Nabi ‘Sesungguhnya Ibrahim mengharamkan Kota Mekah dan Beliaulah yang
mengharamkan kota Madinah’, maksudnya adalah menampakan keharamannya.
Mengharamkan di sini maksudnya adalah menampakan keharamannya. Siapa yang
mengharamkan? Allah, Dia-lah yang mengatakan tanah ini adalah tanah haram, ini adalah
tanah yang halal, itu Allah.
Adapun Ibrahim dan juga Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬maka Beliau berdua adalah seorang
Rasul, seorang Mubaligh, yang tugasnya adalah menyampaikan kepada kita apa yang Allah
berikan amanat kepada mereka.
Diantaranya adalah menyampaikan kepada manusia bahwasanya tanah ini telah
diharamkan oleh Allah, maka maksud dari Ibrahim mengharamkan, aku mengharamkan,
adalah menampakan keharamannya diantara manusia, ‘Wahai manusia ini adalah tanah
haram’ dan seterusnya.

Halaqah 66 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Hijrahnya Rasulullah ke


Madinah Bagian 2

Berapa keutamaan dari kota Madinah. Kenapa dinamakan tanah haram karena dia memiliki
beberapa keutamaan, keistimewaan, diharamkan di dalamnya apa yang tidak diharamkan di
luarnya atau keharaman di dalamnya lebih dahsyat daripada keharaman di luar tanah
haram.
Diantara hal yang tidak diperbolehkan, diantaranya adalah tidak boleh memburu buruan di
tanah haram. Seandainya di sana ada burung, kijang, atau buruan lain dan itu ada di depan
mata kita maka tidak halal bagi kita untuk memburu buruan tadi. Makanya kita melihat
burung merpati di sana terus berkembang dan tidak punah, dia berada di dalam tanah
haram dan tidak boleh dan tidak halal hukumnya kita berburu di tanah haram. Kalau misal
dia keluar dari tanah haram kemudian kita memburunya tidak masalah. Tapi selama dia di
tanah haram maka tidak boleh kita memburunya.

Demikian pula diantara yang dilarang adalah tidak boleh kita memotong tumbuh-tumbuhan
atau pohon-pohonan yang ada di sana. Beliau ‫ ﷺ‬mengatakan,

‫ِإَّن ِإْب َر اِهيَم َح َّر َم َم َّكَة َو ِإِّن ي َح َّر ْم ُت اْلَمِد يَن َة َم ا َب ْي َن اَل َب َت ْي َه ا اَل ُيْقَط ُع ِع َض اُه َه ا َو اَل ُيَص اُد َص ْيُد َه ا‬

Sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan kota Makkah dan aku mengharamkan kota
Madinah, diantara dua laabah. Tidak boleh dipotong ‫ِع َض اُه َه ا‬.

Apa yang dimaksud dengan ‫ِع َض اُه‬, yang dimaksud adalah ada yang mengatakan setiap
pohon yang dia memiliki duri, itu dinamakan dengan ‫ ِع َض اُه‬dan ada yang mengatakan yang
dimaksud dengan ‫ ِع َض اُه‬adalah pohon yang ditumbuhkan oleh Allah di sana tanpa ada
campur tangan manusia. Tumbuh begitu saja bukan dirawat dan dipelihara oleh manusia,
maka ini dilarang untuk dipotong di sana. Tapi kalau yang memang dirawat ditumbuhkan
oleh manusia seperti pohon kurma misalnya tidak masalah.

Para ulama menjelaskan, kalau hewan saja, di tanah haram tidak boleh diganggu, hewan
buruannya dan pohon yang berduri saja tidak boleh dipotong, lalu bagaimana dengan
manusianya, tentunya ini lebih diharamkan untuk diganggu dan disakiti. Makanya orang
yang dimudahkan oleh Allah untuk masuk ke tanah haram maka harus memperhatikan
hukum-hukum ini. Jangan sampai kita berada di tanah haram baik kota Makkah maupun
kota Madinah kemudian kita mengganggu penduduknya, menyakiti orang yang datang ke
sana baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.

Ini adalah beberapa keutamaan dari kota Madinah dan masih banyak di sana keutamaan-
keutamaan yang lain. Dan guru kami yang mulia yaitu Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad ‫حفظه هلل‬
‫ تعالى‬telah mengarang sebuah risalah, tulisan yang singkat tentang keutamaan kota Madinah,
‘Fadhlul Madinah wa Adabu Suqnaha wa Ziyaratiha’ (Keutamaan kota Madinah dan adab
tinggal di kota Madinah dan adab orang yang berziarah ke Kota Madinah).

Dan dulu ketika masih di kota Madinah sering sekali kita menyampaikan ini kepada jamaah
umroh, jamaah haji, dan orang-orang yang sempat untuk berziarah ke sana dan ketika diberi
kesempatan untuk berbicara sering kita menyampaikan tentang keutamaan kota Madinah.
Maka Beliau ‫ ﷺ‬setelah itu diperintahkan untuk berhijrah ke kota Madinah dan
setelahnya Syaikh menekankan dan menggarisbawahi dan ingin berbicara lebih dalam
tentang masalah hijrah ini.

‫َو َب ْع َد َه ا أِمر بالِه ْج رة ِإَلى الَم دينة‬

Karena di sini amalan ini, yaitu hijrah ini, sangat berkaitan erat dengan masalah Tauhid,
sangat berkaitan erat dengan iman, berkaitan erat dengan Ma’rifatullah, berkaitan erat
dengan Ma’rifatu Diinil Islam karena Ma’rifatu Diinil Islam telah kita ketahui, Islam adalah

‫اِألْس ِتْس الُم ِهَّلِل ِبالّت وحيد و األنقياد له بالطاعة و البراءة من الشرك و أهله‬

Ada di sini ‫ براءة من الشرك و أهله‬dan itu ada dalam kandungan hijrah. Hijrah mengandung ‫براءة‬
dari kesyirikan dan ‫ براءة‬dari orang-orang yang melakukan kesyirikan. Dan Hijrah juga sangat
berkaitan erat dengan Ma’rifatullah karena orang yang Ma’rifatullah dan dia mengaku taat
kepada Rosul konsekuensinya adalah dia harus berlepas diri dari thaghut, dan sebelum
beliau memulai risalah Tsalātsatu Ushūl menyebutkan di dalam risalah yang ke dua, tidak
boleh dia muwalah yaitu mencintai orang yang memusuhi Allah dan juga Rasul-Nya.
Menunjukkan bahwasanya berlepas diri dari thagut ini adalah konsekuensi dari Ma’rifatullah
dan konsekuensi dari ketaatan kepada Rasulullah ‫ﷺ‬

Maka beliau membahas perkara hijrah di sini karena menunjukkan ini adalah bagian dari
konsekuensi dari Ma’rifatullāh konsekuensi dari Ma’rifatu Diinil Islam dan dia dibahas di sini
didalam Ma’rifatu an-Nabiyyu ‫ ﷺ‬karena diantara yang Beliau lakukan setelah Beliau
menjadi seorang Rasul, menjadi seorang Da’i yang mengajak kepada Tauhid, adalah
melakukan perkara yang besar ini yaitu hijrah.
Beliau mengatakan,

‫ وهي باقية إلى أن تقوم الساعة‬،‫والهجرة فريضة على هذه األمة من بلد الشرك إلى بلد اإلسالم‬

Dan hijrah itu hukumnya adalah wajib atas umat ini dari negeri syirik ke negeri Islam dan
hijrah ini hukumnya adalah terus ada sampai datang hari kiamat.

Halaqah 67 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Pengertian, Macam, dan


Syarat Hijrah

Pengertian hijrah secara bahasa, secara bahasa yang namanya hijrah adalah at-tark yaitu
meninggalkan, makanya ketika beliau menafsirkan,
‫َو ٱلُّر ۡج َز َف ٱۡه ُج ۡر‬

Maksudnya adalah warrujz = al-asnam, wa hajruha = tarkuha


Segala sesuatu di situ ada makna meninggalkan, maka itu dinamakan dengan hijrah. Oleh
karena itu para ulama menjelaskan hijrah ini ada bermacam-macam, ada hijrah yang
berkaitan dengan negeri, seseorang meninggalkan sebuah daerah menuju negeri yang lain,
meninggalkan sebuah negeri menuju negeri yang lain, ini juga dinamakan dengan hijrah.

Terkadang hijrah berkaitan dengan hajrul ‘amal, meninggalkan sebuah amalan juga
dinamakan dengan hijrah. Dan terkadang hijrah berkaitan dengan orangnya, teman, sohib,
amalan teman atau orang, maka ini semua bisa masuk di dalam makna hijrah.

Terkadang berupa balad, negeri. Sebuah negeri yang penuh dengan kerusakan,
kemungkaran, dan seseorang khawatir apabila dia tetap di lingkungan tersebut dia akan
terpengaruh, akan berkurang keimanannya, akan meninggalkan ketaatan kepada Allah dan
seterusnya, maka disyariatkan dia untuk berhijrah. Meninggalkan negeri tersebut dan pergi
ke negeri yang lain yang di situ dia lebih kondusif, bisa beribadah kepada Allah dengan
leluasa dengan tenang sampai dia meninggal dunia.

Kemudian yang ke dua adalah meninggalkan amalan. Mungkin dia tinggal di sebuah negeri
yang bagus, kondusif, dan kondisinya baik, tapi meskipun di dalam negeri dan lingkungan
yang demikian baik ternyata amalannya tidak seperti yang diharapkan, maka disyariatkan
untuk hijrah, maksudnya adalah meninggalkan amalan-amalan yang buruk kemudian
menggantinya dengan amalan-amalan yang baik, maka ini juga dinamakan dengan hijrah.

Atau yang ke tiga, meninggalkan teman-teman yang tidak baik yang mempengaruhi
keimanannya, yang menghalang-halangi dia dari kebaikan, dari hidayah, maka dalam
keadaan demikian juga kita disyariatkan untuk berhijrah, yaitu meninggalkan teman-teman
yang tidak baik tadi kemudian mencari teman teman yang baik yang mereka mau
mengingatkan kita ketika kita lupa, memberikan semangat kepada kita ketika kita lemah
iman, dan dia melarang kita apabila melihat kita akan melakukan sebuah kemaksiatan atau
dosa.

Maka hijrah bisa berupa balad, atau bisa berupa amalan, atau bisa berupa teman.
Dan yang dimaksud oleh beliau disini adalah yang pertama, karena di sini sedang berbicara
tentang hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah ‫ﷺ‬, hukumnya kata beliau adalah faridhoh
hukumnya wajib atas umat ini.
Dan yang dimaksud beliau faridhoh (wajib) di sini adalah dalam satu keadaan.

Kapan menjadi wajib, ketika seseorang di daerah tertentu dia tidak bisa, pertama tidak bisa
menampakkan syiar agamanya, tidak boleh sholat misalnya, tidak boleh adzan, tidak boleh
dia menampakan syiar-syiar agamanya. Kalau sampai ada orang yang sholat di penjara,
Kalau sampai ada yang adzan dibunuh. Maka ini berarti dia tinggal di sebuah daerah di
mana dia tidak bisa menampakkan syiar agamanya.

Syarat yang ke dua, menjadi wajib kalau dia memiliki kemampuan untuk hijrah. Karena
hijrah ini apalagi dari satu negeri ke negeri yang lain meskipun beda kota, tapi tentunya di
sana ada masyaqqah (perjalanan), mungkin dari sisi keuangan, dari sisi kemampuan fisik
untuk melakukan perjalanan yang jauh, yang jelas yang namanya pindah dari satu kota ke
kota yang lain ini perlu kemampuan. Termasuk diantaranya kemampuan pengetahuan,
kalau dia punya uang, punya fisik tapi tidak tahu jalan menuju ke sana maka ini termasuk
udzur, dianggap dia tidak mampu untuk melakukan hijrah.

Jadi kemampuan bisa misalnya uang, fisik, ilmu misal adalah ilmu pengetahuan, ilmu
tentang jalan, kalau sampai terkumpul di dalam dirinya dan terpenuhi syarat dua ini, maka
dalam keadaan demikian dia diwajibkan untuk melakukan hijrah. Dia tidak bisa
menampakkan syiar agamanya di situ dan ternyata dia memiliki kemampuan untuk hijrah.
Dalam keadaan demikian hukumnya wajib, artinya wajib kalau sampai dia tetap menetap di
daerah tersebut maka dia hukumnya melakukan dosa.

Seandainya dia tetap di situ maka dia telah melakukan dosa, karena seharusnya dia segera
meninggalkan daerah tersebut dan hukumnya wajib bagi dia. Kenapa dia memilih untuk
tetap di sana mungkin karena lebih menyayangkan tanah yang banyak yang sudah dia miliki
di daerah tersebut, atau mungkin berat bagi dia untuk meninggalkan keluarganya,
pamannya saudara-saudaranya yang selama ini dari semenjak dia kecil sudah mengenal
mereka, sudah bergaul dengan mereka, berat dia untuk meninggalkan orang-orang tersebut
atau berat bagi dia untuk meninggalkan harta yang dia miliki di sana atau berat bagi dia
untuk meninggalkan bisnis yang ada di sana.
Kemudian lebih memilih tinggal di sana padahal dia tidak bisa menampakkan syiar-syiar
agamanya dan dia memiliki kemampuan untuk melakukan hijrah.

Meninggal dunia dalam keadaan seperti ini maka dia meninggal dalam keadaan melakukan
dosa, mendzholimi dirinya sendiri. Dia tidak bisa menampakkan syiar agamanya dan dia
mampu untuk melakukan hijrah tetap di sana meninggal maka dia telah meninggal dalam
keadaan dia mendzholimi dirinya sendiri.

Halaqah 68 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Hukum Hijrah

Kalau misalnya satu diantara dua syarat melakukan hijrah tidak ada, maka berubah
hukumnya menjadi mustahab. Misalnya dia tinggal di negeri kafir, negeri syirik, tapi dia
masih bisa menampakkan syiar agamanya. Di sana ada beberapa masjid yang besar, orang
Islam kalau waktunya shalat mereka datang ke situ melakukan shalat dan tidak dilarang,
adzan diperbolehkan meskipun tidak boleh dikeraskan tapi diperbolehkan untuk
melaksanakan syiar-syiar agama tersebut.
Meskipun dia memiliki kemampuan untuk hijrah tapi kalau di daerah tersebut dia masih bisa
menampakkan syiar agamanya maka dalam keadaan demikian belum wajib hukumnya bagi
dia untuk melakukan hijrah. Tapi dianjurkan, dianjurkan bagi dia untuk melakukan hijrah tapi
tidak sampai kepada kewajiban.

Atau yang ke dua, tidak bisa menampakkan syiar agamanya dan dia tidak memiliki
kemampuan untuk hijrah, mustahab tadi kalau masih bisa menampakkan agamanya. Tapi
kalau dia tidak bisa menampakkan syiar agamanya dan di waktu yang sama dia tidak
memiliki kemampuan untuk hijrah, mungkin karena dia lemah, sakit fisiknya, atau dia tidak
memiliki pengetahuan jalan menuju tempat hijrahnya, maka dalam keadaan demikian dia
mendapatkan udzur. Gugur kewajiban dia untuk melakukan hijrah, ma’fuun, dimaafkan,
ma’dzurun, dan dia mendapatkan uzur.

Jadi bisa wajib bisa mustahab berarti yang ke tiga bisa tidak diwajibkan dan tidak
dimustahabkan kalau memang dia tidak memiliki kemampuan untuk hijrah artinya kalau dia
tetap di sana dia dalam keadaan tidak berdosa.

Berarti di sini beliau ingin menyampaikan kepada kita tentang satu diantara hukumnya yaitu
faridhoh, dia adalah wajib atas umat ini,

‫من بلد الشرك إلى بلد اإلسالم‬

Dari negeri yang syirik, negeri yang syirik ini adalah negeri yang sebagian besar
penduduknya adalah orang-orang musyrikin, meskipun ada di sana orang Islam mungkin
satu atau dua atau sepuluh tapi, sebagian besar penduduknya adalah musyrikin, maka ini
dinamakan dengan ‫ بلد الشرك‬dinamakan dengan ‫ بلد الكفر‬negeri yang kufur atau negeri yang
syirik, meskipun pemimpinnya adalah seorang muslim. Kalau sebagian besar penduduknya
adalah musyrikin maka dia adalah ‫ بلد الكفر‬,‫بلد الشرك‬.

Raja Najasyi yang masuk Islam, beriman dengan Rasulullah ‫ ﷺ‬maka Ethiopia meskipun
rajanya adalah seorang yang beriman, seorang muslim, tapi dia tidak dinamakan sebagai ‫بلد‬
‫اإلسالم‬, dia adalah ‫ بلد الكفر‬,‫ بلد الشرك‬karena sebagian besar penduduknya adalah musyrikin.

‫إلى بلد اإلسالم‬

Ke negeri yang Islam yang sebagian besar penduduknya adalah muslimin, mereka
melakukan shalat, melaksanakan syiar-syiar Islam, maka kita meninggalkan negeri syirik
menuju negeri Al-Islam.
‫وهي باقية إلى أن تقوم الساعة‬

Dan kewajiban hijrah ini dengan keadaan seperti ini dengan dua syarat ini, maka dia akan
terus disyariatkan baik hukumnya wajib maupun hukumnya mustahab tadi.

‫وهي باقية‬

Maka dia akan terus ada, tetap disyariatkan,

‫إلى أن تقوم الساعة‬

Sampai datangnya ‫الساعة‬.

Syariat hijrah ini akan terus ada, terkadang hukumnya wajib dan terkadang hukumnya
mustahab, maka ini akan terus ada sampai hari kiamat.

Beliau kemudian mendatangkan dalil, dan dalil yang beliau datangkan adalah dalil yang
berkaitan dengan masalah yang pertama tentang hukum hijrah bahwasanya dalam satu
keadaan hukumnya bisa wajib, akan beliau datangkan dalilnya.

Permasalahan yang ke dua yang ingin beliau datangkan dalilnya adalah tentang
bahwasanya hijrah ini,

‫باقية إلى أن تقوم الساعة‬

Dia akan terus ada sampai datangnya hari kiamat.

Jadi dia bukan kewajiban yang dilakukan oleh Nabi ‫ ﷺ‬dan juga para sahabat kemudian
setelah itu tidak ada kewajiban hijrah, tidak. Bukan sebuah ibadah yang sudah dilakukan
oleh Nabi ‫ ﷺ‬dan para sahabat kemudian tidak disyariatkan untuk umat setelah mereka,
tidak.
Tapi hijrah ini kalau memang di sana ada sebabnya maka terus akan disyariatkan sampai
‫الساعة‬
Yang dimaksud dengan ‫ الساعة‬di sini maksudnya adalah qobla ‫ الساعة‬waktu menjelang
terjadinya ‫ الساعة‬yaitu tiupan sangkakala yang pertama.
Akan terus di syariatkan hijrahnya, jadi dia adalah syariat bukan khusus bagi Rasulullah
‫ ﷺ‬dan juga para sahabatnya. Selama masih ada di sana sebab yang mengharuskan
seseorang untuk hijrah maka disyariatkan untuk hijrah. Terkadang sampai pada derajat
wajib dan terkadang sampai derajat mustahab. Ini yang ingin beliau datangkan dalilnya di
sini.

Halaqah 69 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Dalil Bahwa Hijrah


Adalah Kewajiban Bagian 1

Bahwasanya hijrah hukumnya wajib,

‫والدليل قوله تعالى‬


Dalilnya adalah firman Allah,

‫ِإَّن ٱَّلِذيَن َت َو َّفٰى ُهُم ٱۡل َم َٰٓلِئَك ُة َظ اِلِمٓي َأنُفِس ِه ۡم َق اُلوْا ِفيَم ُك نُتۖۡم َق اُلوْا ُكَّن ا ُم ۡس َتۡض َع ِفيَن ِفي ٱَأۡلۡر ِۚض‬

[An Nisa”:97]

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat, diwafatkan oleh para malaikat.

Dan malaikat yang mencabut nyawa satu, malakul maut, tapi dia dibantu oleh beberapa
malaikat. Disebutkan di dalam hadits, malakul maut itu yang mengeluarkan nyawa dari
badan, kemudian setelah keluar maka langsung diterima oleh para malaikat yang lain,
kemudian dikarang.

Kalau dia adalah orang yang beriman dikafani dengan kafan dari surga dan diberikan
minyak wangi dari surga dan kalau itu adalah orang munafik, orang yang kafir, maka setelah
keluar dikafani dan diberikan minyak wangi tapi kafannya adalah kafan dari neraka dan
minyaknya adalah minyak yang sangat busuk.

‫َٰٓل‬
‫ِإَّن ٱَّلِذيَن َت َو َّفٰى ُهُم ٱۡل َم ِئَك ُة َظ اِلِمٓي َأنُفِس ِه ۡم‬

Mereka dalam keadaan mendzholimi diri mereka sendiri.

Menjadi kewajiban bagi dia untuk hijrah tetapi dia tidak berhijrah, sehingga meninggal dalam
keadaan dia berdosa dan orang yang berdosa dia telah mendzholimi dirinya sendiri.
Memasukkan dirinya, menjadikan sebab dirinya diadzab oleh Allah ‫ﷻ‬. Jadi orang yang
bermaksiat, orang yang berdosa, hakikatnya dia telah mendzholimi dirinya sendiri.

Kalau kita memang sayang terhadap diri kita ini, maka sayangilah dia dengan dibawa
kepada ketaatan supaya dia nanti bisa masuk surga bersama orang-orang yang masuk
surga dan cegahlah diri kita dari perbuatan maksiat, sayangi diri kita, jangan jadikan dia
nanti terjerumus ke dalam nerakanya Allah ‫ﷻ‬.

‫َظ اِلِمٓي َأنُفِس ِه ۡم‬

Mereka dalam keadaan mendzholimi diri mereka sendiri.

‫َق اُلوْا ِفيَم ُك نُتۖۡم‬

Para malaikat bertanya kepada mereka, kalian ini dalam keadaan apa? Kenapa kalian
meninggal dalam keadaan berdosa seperti ini, meninggalkan sebuah kewajiban?

Pertanyaannya diucapkan oleh malaikat menunjukkan bahwasanya apa yang dilakukan oleh
orang-orang tersebut dalam keadaan mereka mendzholimi diri mereka sendiri. Ini adalah
sebuah dosa. Ditambah lagi pertanyaan malaikat,

‫ِفيَم ُك نُتۖۡم‬

Kenapa kalian dalam keadaan seperti ini? Menunjukkan bahwasanya ini adalah sebuah
dosa dan juga maksiat.

‫َق اُلوْا ُكَّن ا ُم ۡس َتۡض َع ِفيَن ِفي ٱَأۡلۡر ِۚض‬

Mereka mengatakan, kami dalam keadaan lemah di bumi, yaitu kami dalam keadaan
sendirian, lemah, orang Islam di tempat kami sedikit. Ini alasan dia. Maka malaikat
mengatakan kepadanya,

‫َق اُلٓو ْا َأَلۡم َتُكۡن َأۡر ُض ٱِهَّلل َٰو ِس َع ٗة َف ُتَه اِج ُر وْا ِفيَه ۚا‬

Bukankah bumi Allah itu adalah sangat luas?


Kalian tinggal di daerah tersebut dalam keadaan kalian lemah dalam keadaan kalian
minoritas sehingga kalian tidak bisa menegakkan agama kalian, tapi kalian lebih memilih
tinggal di daerah tersebut dengan sedikitnya kalian dengan kelemahan kalian. Bukankah
bumi Allah ini adalah luas?

‫َف ُتَه اِج ُر وْا ِفيَه ۚا‬

Sehingga kalian bisa berhijrah ke negeri tersebut.

Yang di sana kalian akan berkumpul dengan orang-orang Islam yang lain, dengan akidah
yang sama, dengan manhaj yang sama, dengan prinsip yang sama, di negeri tersebut kalian
bebas leluasa menyembah kepada Allah, tidak ada yang menghalangi, tidak ada yang
mengejek, tidak ada yang mengolok, mau melakukan shalat berjamaah lima waktu fadhol,
bahkan didorong, mau melakukan adzan fadhol, mau melakukan shalat malam terserah,
mau melakukan puasa yang sunnah secara rutin silakan, mau membaca Al-Qur’an setiap
hari silakan, tidak ada yang menghalangi. Daripada tinggal di negeri yang negeri tersebut di
mana engkau tidak bisa menampakkan syiar-syiar agama Allah dan engkau dalam keadaan
‫ُم ۡس َتۡض َع ِفيَن‬, minoritas, tidak bisa menampakkan syiar-syiar agama kalian.

Ketika dia tidak mau melakukan yang demikian padahal dia memiliki kemampuan untuk
melakukan hijrah baik uang, fisiknya, dia tahu jalan untuk melakukan hijrah, tapi dia lebih
memilih tinggal di negeri tersebut sehingga menjadi orang yang minoritas.

Mengatakan dirinya adalah ‫ ُم ۡس َتۡض َع ِفيَن‬dan ini adalah lemah di sini, kami bukan mayoritas tapi
kami adalah minoritas. Padahal dia mampu untuk melakukan hijrah sehingga mungkin
sedikit banyak dia terfitnah agamanya, jelas dia tidak bisa menampakkan syiar agamanya
dan mungkin sedikit atau banyak dia melanggar larangan-larangan Allah karena hidup di
tengah orang-orang yang mereka tidak beriman kepada Allah, tidak beriman dengan hari
akhir.

‫َق اُلٓو ْا َأَلۡم َتُكۡن َأۡر ُض ٱِهَّلل َٰو ِس َع ٗة َفُتَه اِج ُر وْا ِفيَه ۚا َفُأْو َٰٓلِئَك َم ۡأ َو ٰى ُهۡم َج َه َّن ُۖم‬

Maka mereka inilah tempat kembali mereka adalah jahanam.

Berarti di sini ada ancaman. Ancaman dengan jahanam menunjukkan bahwasanya apa
yang mereka lakukan adalah dosa dan bahwasanya hijrah bagi mereka, yaitu yang
terpenuhi dua syarat tadi hukumnya adalah wajib.

‫َو َس ٓاَء ۡت َمِص يًر ا‬


Maka Jahannam adalah sejelek-jelek tempat kembali.

Dari sini sudah ada tiga sisi yang menunjukkan bahwasanya hijrah ini hukumnya faridhoh.

Pertama, orang yang tidak melakukan hijrah dinamakan ‫ َظ اِلِمٓي َأنُفِس ِه ۡم‬mendzholimi diri mereka
sendiri. Menunjukkan ini adalah wajib dan orang yang tidak berhijrah dia berdosa.

Kemudian yang ke dua pertanyaan malaikat,

‫ِفيَم ُك نُتۖۡم‬

Kenapa kalian seperti ini? Dan ini tidak diucapkan kecuali bagi orang yang dia meninggalkan
sebuah kewajiban.

Kemudian yang ke tiga ancaman dengan Jahannam.

‫َف ُأْو َٰٓلِئَك َم ۡأ َو ٰى ُهۡم َج َه َّن ُۖم‬

Menunjukkan bahwasanya hijrah yang disebutkan dalam ayat ini hukumnya adalah wajib.

Ditambah lagi,

[An Nisa”:98]
‫ۡل ۡل‬ ‫ۡل‬
‫ِإاَّل ٱ ُم ۡس َتۡض َع ِفيَن ِمَن ٱلِّر َج اِل َو ٱلِّنَس ٓاِء َو ٱ ِو َٰد ِن‬

Kecuali orang yang memang mereka lemah, lemahnya bukan karena keinginan dari mereka,
berbeda dengan yang tadi yang mengatakan,

‫َق اُلوْا ُكَّن ا ُم ۡس َتۡض َع ِفيَن ِفي ٱَأۡلۡر ِۚض‬

Memang keinginan mereka, dia punya kemampuan untuk meninggalkan tapi dia lemah
dengan sebab keinginan dia sendiri akhirnya menjadi seorang minoritas.
Kecuali ( ‫ )إاّل‬orang-orang yang lemah bukan dari keinginan sendiri. ‫ ِمَن ٱلِّر َج اِل‬dari kalangan
laki-laki.

Lemahnya bagaimana? Mungkin dia sudah tua renta, untuk berjalan dari tempat tidur ke
WC-nya saja sudah susah, apalagi kalau disuruh hijrah ke negeri yang lain, ke kota yang
lain, sulit bagi dia untuk melakukan yang demikian, bukan keinginan dia. ‫ ُم ۡس َتۡض َع ف‬lemah tapi
bukan keinginan dia.

Kemudian yang ke dua ‫ َو ٱلِّن َس ٓاِء‬lemah dan dia dari golongan wanita. Karena asalnya, namanya
wanita ini dia dalam keadaan lemah, secara fisik dia lemah untuk melakukan perjalanan
yang jauh tadi, yang ke dua biasanya perempuan, wanita ini tidak tahu jalan, yang dia tahu
hanya sekitar rumahnya bahkan terkadang kalau yang benar-benar dia memang jarang
keluar rumah, dia tidak tahu. Seandainya disuruh keluar rumah atau dibawa keluar rumah di
tetangganya selisih 5 rumah 6 rumah dia nggak bisa pulang ke rumah, tidak tahu jalan
menuju rumahnya, ada sebagian yang demikian dan itu kenyataan. Ada yang benar-benar
dijaga oleh keluarganya tidak pernah dia keluar rumah, tidak tahu jalan-jalan, gang-gang
yang ada di kampung yang ada di dusunnya dia tidak tahu, apalagi harus meninggalkan
kotanya.

Maka yang demikian termasuk ‫ ُم ۡس َتۡض َع ِفيَن‬lemah dan bukan keinginannya. Keinginan dia
adalah ingin bergabung dengan kaum muslimin tapi fisik yang dia miliki, ilmu yang dia miliki.

‫ۡل ۡل‬
‫َو ٱ ِو َٰد ِن‬

Dan juga anak-anak kecil yang mereka belum baligh, mereka juga mendapatkan udzur,
tidak bisa kita mewajibkan kepada mereka sebagaimana kita mewajibkan kepada seorang
laki-laki yang dewasa dan dia memiliki kemampuan.

Halaqah 70 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Dalil Bahwa Hijrah


Adalah Kewajiban Bagian 2

‫اَل َي ۡس َت ِط يُعوَن ِحيَلٗة َو اَل َي ۡه َت ُدوَن َس ِبياٗل‬

Yang mereka orang-orang ini, wanita-wanita tersebut, laki-laki yang lemah tersebut, anak-
anak tersebut, mereka tidak memiliki hilah, tidak memiliki kekuatan, tidak bisa mengatur
strategi bagaimana bisa melakukan hijrah.

‫َو اَل َي ۡه َت ُدوَن َس ِبياٗل‬


Dan mereka tidak tahu jalan menuju negeri yang Islami, negeri yang bisa digunakan untuk
tempat hijrah. Kalau memang demikian ‫ ُم ۡس َتۡض َع ف‬nya karena memang mereka lemah bukan
seperti ‫ ُم ۡس َتۡض َع ف‬yang lemah menjadi golongan minoritas padahal dia mampu untuk
meninggalkan negeri tersebut.

‫َف ُأْو َٰٓلِئَك َعَس ى ٱُهَّلل َأن َي ۡع ُفَو َع ۡن ُهۚۡم‬

Maka mereka inilah orang-orang yang semoga Allah memaafkan mereka.

Seandainya mereka meninggal dunia, wanita-wanita, laki-laki yang lemah tersebut, anak-
anak tersebut meninggal dunia maka mereka adalah orang-orang yang ma’dzuruun
ma’fuwuun, dimaafkan dan diberikan udzur oleh Allah ‫ﷻ‬

‫َو َك اَن ٱُهَّلل َع ُفًّو ا َغ ُفوٗر ا‬


[An Nisa”:99]

Dan sesungguhnya Allah, Dia-lah yang Maha Memberikan maaf dan Dia-lah yang Maha
Mengampuni.

Di sini ada sisi yang ke empat, yaitu adanya uzur ini menunjukkan bahwasanya asal dari
hijrah hukumnya adalah wajib, dengan keadaan yang tadi disebutkan dengan syarat yang
tadi kita sebutkan. Karena di sini disebutkan udzur berarti dia asalnya adalah wajib. Seperti
kewajiban puasa di bulan Ramadan. Wajib, diantaranya dilihat dari firman Allah ‫ﷻ‬

‫ة ِّم ۡن َأَّيا ُأَخ َۚر‬ٞ ‫َفَم ن َك اَن ِمنُك م َّم ِر يًض ا َأۡو َع َلٰى َس َف ٖر َفِع َّد‬
‫ٍم‬
[Al Baqarah:184]

Di sini ada rukshah, dan rukshah menunjukkan asalnya dia adalah sesuatu yang wajib
kemudian diberikan keringanan oleh Allah. Adanya rukhsah adanya keringanan itu hanya
ada pada sesuatu yang wajib. Adapun perkara yang sunnah maka tidak dinamakan di sana
dengan rukhsah.

Berarti minimal di sini ada empat sisi dari ayat ini kita mengetahui tentang hukum hijrah dan
bahwasanya dia adalah suatu yang ‫ فريضة على هذه األمة‬atas umat Islam ini. Selama di sana ada
sebabnya dan terpenuhi syarat wajibnya maka hukumnya menjadi wajib.
‫وقوله تعالى‬

Dan juga firman Allah,

[Al ‘Ankabut:56] ‫ة َفِإَّٰي َي َف ٱۡع ُبُدوِن‬ٞ ‫َٰي ِعَب اِدَي ٱَّلِذيَن َء اَم ُنٓو ْا ِإَّن َأۡر ِض ي َٰو ِس َع‬

Wahai hamba hamba-Ku yang beriman,

‫َّٰي‬
‫ة َفِإ َي َف ٱۡع ُبُدوِن‬ٞ ‫ِإَّن َأۡر ِض ي َٰو ِس َع‬

Sesungguhnya bumi-Ku adalah sangat luas. Maka hendaklah kalian menyembah hanya
kepada-Ku saja.

Ini juga menjadi dalil yang pertama bahwasanya hijrah ini hukumnya wajib, karena di sini
Allah ‫ ﷻ‬menyebutkan tentang hubungan antara hijrah dengan ibadatullah.

Menyembah Allah saja hukumnya adalah sebuah kewajiban, dia adalah perintah Allah. Dan
hijrah dari negeri syirik menuju negeri Islam adalah wasilah untuk mewujudkan tauhid ini.
Bagaimana caranya? Hijrah. Kalau kita tetap tinggal di situ terfitnah agama kita mungkin
dengan kemaksiatan, kebid’ahan, atau bahkan bisa kepada kesyirikan. Karena taat kepada
Allah, mentauhidkan Allah adalah sebuah kewajiban, kalau itu tidak terwujud kecuali dengan
hijrah maka hijrahnya menjadi wajib.

‫َم ا اَل َيِتُّم اْلَو اِج ُب ِإاَّل ِبِه َفُهَو َو اِج ٌب‬

Sebuah kewajiban yang tidak bisa diwujudkan kecuali dengan sesuatu tadi maka sesuatu
tadi hukumnya adalah wajib.

Maka hendaklah kita memperhatikan yang demikian. Jangan karena kecintaan kita kepada
negeri kita, karena tempat lahir kita, atau rasa sayang kita kepada keluarga atau rasa berat
kita dengan teman-teman yang ada di situ, kemudian seseorang meninggalkan sesuatu
yang sudah diwajibkan oleh Allah ‫ﷻ‬.

Alhamdulillah bumi Allah ini luas, kalau kita tidak bisa di sini dan diusir di sini maka kita cari
tempat yang lain, bumi Allah yang di situ kita bisa beribadah dengan leluasa sampai kita
meninggal dunia. Kenapa kita memaksa diri kita untuk tinggal di sebuah daerah yang di situ
kita tidak bisa beribadah kepada Allah. Mereka juga akan meninggal kita juga akan
meninggal.

Hendaklah kita mencari keselamatan diri kita sendiri sebelum orang lain, dan yakin
bahwasanya di dalam hijrah kalau seseorang meninggalkan sesuatu karena Allah maka
Allah ‫ ﷻ‬akan mengganti dengan yang lebih baik. Sebagaimana dalam hadits yang
maknanya,

‫َم ْن َت َر َك َش ْي ًئ ا ِهلل َعَّو َض ُه ُهللا َخ ْيًر ا ِم ْن ه‬

Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan mengganti dengan
yang lebih baik daripada itu.

Tapi dengan syarat meninggalkan hal tersebut Lilllah, bukan karena yang lain, bukan karena
dunia, bukan karena jabatan, bukan karena harta yang ingin dia dapatkan, tapi dia
meninggalkan sesuatu karena Allah, meninggalkan negerinya karena Allah, meninggalkan
keluarganya karena Allah, meninggalkan jabatannya karena Allah.

Kalau kita terpenuhi syaratnya, melakukan hijrah tadi karena Allah, maka Allah akan
mengganti dengan yang lebih baik.
Lebih baik disini tidak harus sejenis dengan apa yang dia tinggalkan, tidak harus harta
dengan harta, jabatan diganti jabatan, tidak. Terkadang diganti dengan lebih baik tapi dari
jenis yang lain, mungkin saja diberikan yang sejenis tetapi mungkin saja diberikan oleh Allah
yang lebih baik dari jenis yang lain.

Termasuk diantaranya adalah ketentraman, ketenangan hati, dan seandainya tidak diganti di
dunia maka Allah ‫ ﷻ‬akan menggantikan bagi dia di akhirat dengan dimasukkan ke dalam
surga, diampuni dosanya, dan tentunya ini adalah jelas jauh lebih baik daripada apa yang
dia tinggalkan berupa perkara-perkara dunia.

Halaqah 71 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Dalil Bahwa Hijrah


Adalah Kewajiban Bagian 3

Beliau mengatakan, mendatangkan ucapan Al-Baghawi,

‫ ناداهم هللا باسم اإليمان‬،‫ سبب نزول هذه اآلية في المسلمين الذين بمكة لم يهاجروا‬:-‫رحمه هللا‬- ‫قال البغوي‬
Berkata Al-Baghawi ‫رحمه هللا‬

‫سبب نزول هذه اآلية‬

Sebab turunnya ayat ini, yaitu yang ada di dalam surah Al-Ankabut, turun ayat ini tentang
orang-orang Islam dan dia berada di Makkah mereka tidak berhijrah. Yang berhijrah banyak,
Umar Bin Khattab berhijrah, Abu Bakar berhijrah, Utsman bin Affan berhijrah, Abdurrahman
bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash dan seterusnya. Ada beberapa orang Islam yang ternyata
mereka tidak berhijrah, tetap memilih tinggal di kota Makkah.

‫ناداهم هللا باسم اإليمان‬

Allah memanggil mereka dengan nama iman, yaitu dengan Firman-Nya,

‫َٰي ِعَب اِدَي ٱَّلِذيَن َء اَم ُنٓو ْا‬

Wahai hamba hamba-Ku yang beriman,


Allah masih mensifati mereka dengan keimanan. Menunjukkan bahwasanya meskipun
mereka meninggalkan hijrah mereka berdosa dengan sebab meninggalkan hijrah tapi
perbuatan tadi itu meninggalkan kewajiban tadi, tidak sampai mengeluarkan mereka dari
agama Islam.
Meninggalkan sesuatu yang diwajibkan tetapi tidak sampai mengeluarkan mereka dari
agama Islam, buktinya Allah masih menamakan mereka dengan iman, bahkan memanggil
mereka dengan iman.

‫َّٰي‬
‫ة َفِإ َي َف ٱۡع ُبُدوِن‬ٞ ‫َٰي ِعَب اِدَي ٱَّلِذيَن َء اَم ُنٓو ْا ِإَّن َأۡر ِض ي َٰو ِس َع‬

Wahai orang-orang yang beriman, hamba hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku
ini adalah luas maka hendaklah kalian hanya menyembah kepada-Ku, yaitu jangan kalian
tetap di daerah tersebut yang menjadikan kalian mungkin dipaksa oleh orang-orang kafir
untuk menyembah kepada selain Allah atau melakukan kebid’ahan atau melakukan maksiat
minimal.

‫َّٰي‬
‫َف ِإ َي َف ٱۡع ُبُدوِن‬

Maka hendaklah kalian hanya menyembah kepada-Ku.


Ucapan Al-Baghawi ini adalah ucapan dengan makna, sebagaimana ketika beliau dahulu
menukil ucapan Ibnu Katsir, itu juga dengan makna, ucapan Imam Syafi’i juga dengan
makna. Di dalam tafsir Al-Baghawi beliau mengatakan ketika menafsirkan firman Allah,

‫َّٰي‬
‫ة َفِإ َي َف ٱۡع ُبُدوِن‬ٞ ‫َٰي ِعَب اِدَي ٱَّلِذيَن َء اَم ُنٓو ْا ِإَّن َأۡر ِض ي َٰو ِس َع‬
‫ إن كنتم في ضيق بمكة من إظهار اإليمان فاخرجوا منها إلى أرض‬: ‫ يقول‬، ‫ نزلت في ضعفاء مسلمي مكة‬: ‫قال مقاتل والكلبي‬
‫ وقال سعيد بن‬. ‫ إن أرضي المدينة واسعة فهاجروا وجاهدوا فيها‬: ‫ قال مجاهد‬. ‫ إن أرضي – يعني المدينة – واسعة آمنة‬، ‫المدينة‬
‫ إذا أمرتم بالمعاصي فاهربوا فإن أرضي‬: ‫ وقال عطاء‬. ‫ إذا عمل في أرض بالمعاصي فاخرجوا منها فإن أرضي واسعة‬: ‫جبير‬
: ‫ وقيل‬. ‫ وكذلك يجب على كل من كان في بلد يعمل فيها بالمعاصي وال يمكنه تغيير ذلك أن يهاجر إلى حيث يتهيأ له العبادة‬. ‫واسعة‬
‫ فأنزل هللا هذه اآلية ولم يعذرهم‬، ‫ من الجوع وضيق المعيشة‬، ‫ إن هاجرنا‬، ‫ نخشى‬: ‫ وقالوا‬، ‫نزلت في قوم تخلفوا عن الهجرة بمكة‬
‫ رزقي لكم واسع فاخرجوا‬: ‫ ” أرضي واسعة ” أي‬: ‫ وقال مطرف بن عبد هللا‬. ‫بترك الخروج‬

Ini adalah nukilan-nukilan yang dibawakan oleh Al-Baghawi yang berkaitan dengan firman
Allah,
‫ﷻ‬
‫َّٰي‬
‫ة َفِإ َي َف ٱۡع ُبُدوِن‬ٞ ‫َٰي ِعَب اِدَي ٱَّلِذيَن َء اَم ُنٓو ْا ِإَّن َأۡر ِض ي َٰو ِس َع‬

Tapi kita tidak menemukan di sini hal yang berkaitan dengan ucapan beliau.

‫ناداهم هللا باسم اإليمان‬

Allah memanggil mereka dengan nama iman, wallahu a’lam apakah makna dari

‫ناداهم هللا باسم اإليمان‬

Disebutkan oleh beliau di dalam kitab beliau yang lain, wallahu a’lam, mungkin saja bukan di
dalam tafsir Al-Baghawi tapi dalam kitab yang lain, ini perlu mencari lagi kira-kira kitab apa di
situ beliau menukil tentang ucapan atau mengambil kesimpulan dari firman Allah,

‫َّٰي‬
‫ة َفِإ َي َف ٱۡع ُبُدوِن‬ٞ ‫َٰي ِعَب اِدَي ٱَّلِذيَن َء اَم ُنٓو ْا ِإَّن َأۡر ِض ي َٰو ِس َع‬

Bahwasanya mereka masih sebagai muslim, masih dianggap sebagai orang yang beriman
karena dipanggil oleh Allah dengan panggilan al-Iman, kecuali seperti yang dinukil di sini
dari ‫مقاتل والكلبي‬

‫نزلت في ضعفاء مسلمي مكة‬


Jadi tafsirnya menunjukkan bahwasanya mereka masih orang-orang Islam.

Halaqah 72 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Dalil Bahwa Hijrah


Adalah Syari’at yang Berlaku Sampai Hari Kiamat

‫والدليل على الهجرة من السنة قوله ﷺ‬

Bahwasanya hijrah ini,

‫باقية إلى أن تقوم الساعة‬

Dari sunnah Nabi ‫ ﷺ‬adalah sabda Nabi ‫ﷺ‬, karena telah disebutkan ada dua
permasalahan yang beliau sebutkan, pertama bahwasanya hukumnya adalah wajib dan
sudah disebutkan oleh beliau dalilnya dengan dua ayat, kemudian permasalahan yang ke
dua adalah bahwasanya hijrah ini tetap disyariatkan sampai

‫إلى أن تقوم الساعة‬

Maksudnya adalah sebelum datangnya ‫ الساعة‬yaitu sabda Nabi ‫ﷺ‬

‫ال تنقطع الهجرة حتى تنقطع التوبة‬

Tidak akan terputus hijrah, maksudnya tidak akan berhenti disyariatkannya hijrah, ‫َال َت ْن َقِط ُع‬
berarti dia akan tastamir, dia akan terus ada

‫حتى تنقطع التوبة‬

Sampai terputus taubah.

Kalau taubah terputus, disyariatkannya taubah itu terputus, maka di situlah terputus hijrah,
tapi kalau syariat taubah belum terputus maka hijrah terus ada.
Ini hubungan antara hijrah dengan taubah, kalau taubah masih disyariatkan berarti hijrah
masih disyariatkan dan kalau taubah ini sudah terputus maka hijrah juga terputus.
Allahu a’lam di sana ada kaitan yang erat antara hijrah dengan taubah. Orang yang
bertaubat kepada Allah, ingin Islam, ingin dekat dengan Allah, maka dia tergerak hatinya
untuk berhijrah, berhijrah dari amalan yang jelek ke amalan yang baik, berhijrah
meninggalkan teman-teman yang tidak baik, sekolah yang tidak baik, lingkungan yang tidak
baik, ingin mendapatkan teman-teman yang baik atau dia berhijrah bertaubat ingin
meninggalkan negeri yang tidak baik menuju negeri yang baik.

Maka sangat erat hubungan antara taubat seseorang dengan hijrah seseorang sehingga
sering dikatakan, dia sudah hijrah maksudnya dia sudah bertuabat dari amalan sebelumnya
dari kebiasaan sebelumnya.
Tidak akan terputus hijrah sampai terputus taubat.

‫وال تنقطع التوبة حتى تطلع الشمس من مغربها‬

Dan tidak akan terputus syariat taubat ini sampai terbit matahari dari arah tenggelamnya.

Dan dia merupakan tanda-tanda besar datangnya ‫الساعة‬. Tanda-tanda dekatnya ‫ الساعة‬yaitu
ditiupnya sangkakala yang pertama dan dia adalah tanda-tanda yang kubro, terjadi
menjelang terjadinya ‫ الساعة‬jumlahnya 10 diantaranya adalah terbitnya matahari dari arah
tenggelamnya.

Jadi dia akan tenggelam seperti biasanya, kemudian ketika dia meminta izin dari Allah ‫ﷻ‬
untuk terbit biasanya diizinkan tapi saat itu Allah ‫ ﷻ‬tidak mengizinkan dia untuk terbit dari
arah Masyrik.
Allah memerintahkan matahari untuk kembali dan terbit dari arah tenggelam dia.
Tenggelamnya di sini maka dia akan kembali dan akan terbit dari arah tenggelamnya.
Manusia saat itu menunggu, biasanya pagi datang seperti biasanya ketika ditunggu kok
matahari tidak muncul-muncul padahal sudah jam sekian biasanya udah keluar, tiba-tiba
mereka dikagetkan munculnya terbitnya matahari dari arah tenggelamnya.

Dari arah tenggelamnya lebih tepat terjemahnya dari pada dikatakan dari arah barat, karena
barat itu ghorb tapi kalau maghrib adalah tempat tenggelamnya. Jadi tempat dia tenggelam
itulah dia keluar dari arah tempat tenggelamnya.

Maka manusia ketika melihat matahari keluar dari arah tenggelamnya mereka kaget dengan
keadaan seperti itu. Selama ini selama ribuan tahun matahari keluar dari arah masyrik. Ini
keluar matahari dari arah tenggelamnya sehingga banyak manusia yang mereka kaget.

Ada diantara mereka yang setelah itu mau beriman kepada Allah tapi keimanan setelah
terbitnya matahari dari arah tenggelamnya ini tidak akan di terima, tidak akan bermanfaat.
Demikian pula orang muslim melihat kejadian terbitnya matahari dari arah tenggelamnya,
ingin beramal menambah amalannya maka ini tidak akan bermanfaat juga, tidak akan
bermanfaat kalau dia beramal setelah dia melihat matahari terbit dari arah tenggelamnya.
Allah ‫ ﷻ‬mengatakan,

‫َٰٓل‬
‫َه ْل َي نُظ ُروَن ِإٓاَّل َأن َت ْأِتَي ُهُم ٱْلَم ِئَك ُة َأْو َي ْأِتَى َر ُّبَك‬

Dalam Surat Al-An’am (Ayat 158), tidaklah mereka (yaitu orang-orang kafir) menunggu
kecuali kedatangan malaikat kepada mereka.

‫َأن َت ْأِتَي ُهُم ٱْلَم َٰٓلِئَك ُة‬

Datang malaikat kepada mereka, yaitu malakul maut. Tidaklah mereka menunggu kecuali
kematian datang kepada mereka malaikatul maut, itu yang pertama atau

‫َأْو َي ْأِتَى َر ُّبَك‬

Tidaklah mereka menunggu kecuali kedatangan Allah yaitu lil hisab.

‫َأْو َي ْأِتَى َب ْع ُض َء اَٰي ِت َر ِّب َك‬

Atau kedatangan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Robb-mu.

Dan yang dimaksud dengan ‫ َب ْع ُض َء اَٰي ِت َر ِّب َك‬di sini adalah ‫ طلع الَّش ْمُس ِمْن َم ْغ ِر ِبَه ا‬sebagaimana dalam
hadits, ditafsirkan di dalam hadits oleh Nabi ‫ ﷺ‬maksudnya adalah terbitnya matahari
dari arah tenggelamnya.

‫َي ْو َم َي ْأِتى َب ْع ُض َء اَٰي ِت َر ِّب َك‬

Datang hari ketika sebagian tanda-tanda kekuasaan Robb-mu itu, datang ketika matahari
terbit dari arah tenggelamnya.

‫اَل َي نَف ُع َن ْف ًس ا ِإيَٰم ُنَه ا َلْم َت ُك ْن َء اَم َنْت ِمن َق ْبُل‬

Keimanan jiwa pada saat itu tidak akan bermanfaat kalau dia tidak beriman sebelumnya.
Sebelum datangnya terbitnya matahari dari arah barat dia tidak beriman setelah melihat
matahari terbit dari arah tenggelamnya dia baru beriman, keimanan saat itu tidak akan
memberikan manfaat kepada jiwa.

Kalau sebelumnya masih bermanfaat tapi kalau sudah terbit matahari dari arah
tenggelamnya ‫ َت ْن َقِط ُع الَّت ْو َب ُة‬sudah terputus taubat, tidak akan diterima oleh Allah taubatnya
orang yang kafir dan dia ingin beriman.

‫َأْو َك َس َب ْت ِفٓى ِإيَٰم ِنَه ا َخ ْيًر ا‬

Atau yang kedua, orang yang melakukan khoiron di dalam keimanannya, maksudnya dia
dalam keadaan beriman, dia adalah orang Islam, beriman tapi dia ‫َك َس َب ْت َخ ْيًر ا‬, melakukan amal
kebaikan setelah dia melihat matahari terbit dari arah tenggelamnya. Ini juga tidak akan
bermanfaat bagi dia kecuali kalau memang amal saleh yang dilakukan tadi sudah dia
lakukan dan biasa dilakukan sebelum itu. Biasanya shalat lima waktu, biasanya sholat
malam, setelah melihat matahari terbit dari arah tenggelamnya dia juga tetap sholat malam,
dia tetap melakukan sholat lima waktu itu masih diterimah oleh Allah.

‫ُقِل ٱنَت ِظ ُر ٓو ۟ا ِإَّن ا ُم نَت ِظ ُروَن‬

Katakanlah: Silahkan kalian menunggu sesungguhnya kami juga menunggu seperti kalian.

Ini menunjukkan bahwasanya taubat itu terus dibuka oleh Allah ‫ ﷻ‬sampai terbit matahari
dari arah tenggelam. Berhijrah terus ada selama taubat masih dibuka oleh Allah dan taubat
masih dibuka oleh Allah sampai terbit matahari dari arah tenggelamnya.

Kesimpulannya berhijrah masih terus disyariatkan sampai terbit matahari dari arah
tenggelamnya, atau menjelang ‫ الساعة‬karena terbitnya matahari dari arah tenggelamnya ini
beberapa waktu sebentar sebelum terjadinya ‫الساعة‬

Hadits ini jelas sekali menunjukkan tentang disyariatkannya hijrah ini sampai menjelang
terjadinya hari kiamat atau ‫ الساعة‬tiupan sangkakala yang pertama.

Jadi dia bukan ibadah khusus bagi Nabi ‫ ﷺ‬dan juga para sahabatnya. Jadi sekarang
kalau memang ada sebabnya dengan syarat yang sudah disebutkan, hukumnya tetap
disyariatkan, terkadang wajib dengan syarat yang kita sebutkan dan terkadang hukumnya
adalah mustahab.
Hadits ini Hasan diriwayatkan oleh Abu Daud

‫ وال تنقطع التوبة حتى تطلع الشمس من مغربها‬،‫ال تنقطع الهجرة حتى تنقطع التوبة‬

Diriwayatkan oleh Abu Daud dan dishahihkan oleh Syaikh al-albani rahimahullah.

Halaqah 73 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Diperintahkannya


Syari’at-Syari’at Islam yang Lain Setelah Kuatnya Aqidah Bagian 1

Mungkin di sana ada yang bertanya bagaimana kita memahami sabda Nabi ‫ﷺ‬

‫ َو ِإَذ ا اْس ُتْن ِفْر ُتْم فاْن ِفُروا‬، ‫ َو َلِكْن ِج َه اٌد َو ِنَّي ٌة‬، ‫ال ِهْج َر َة َب ْع َد الَفْت ِح‬

Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah tapi yang ada adalah jihad dan juga niat untuk
berjihad kalau memang tidak ada jihad, dan kalau kalian disuruh untuk keluar yaitu
berperang ‫ فاْن ِفُروا‬maka hendaklah kalian berperang.
Ucapan beliau ‫ﷺ‬

‫ال ِهْج َر َة َب ْع َد الَفْت ِح‬

Seakan-akan maknanya setelah dibukanya Kota Makkah berarti tidak disyariatkan di sana
hijrah, maka ini adalah pemahaman yang tidak benar tapi maksud beliau ‫ﷺ‬

‫ال ِهْج َر َة َب ْع َد الَفْت ِح‬

Ini khusus apa yang terjadi di sana hijrah yang telah diawali oleh para sahabat dan
dilakukan oleh Nabi ‫ﷺ‬, setelah dibukanya Kota Makkah dan kota Makkah ini menjadi
negeri Islam, kalau dia sudah menjadi negeri Islam berarti orang-orang yang ada di Makkah
tidak perlu dia hijrah ke Kota Madinah. Karena hijrah,

‫من بلد الشرك إلى بلد اإلسالم‬


Kalau Makkah sudah menjadi ‫ بلد اإلسالم‬tidak perlu hijrah, yang ada adalah jihad saja. Jadi
orang yang ada di Makkah kalau dia mau berperang diperintah oleh Nabi ‫ ﷺ‬atau
Khulafaur Rasyidin. Penduduk Makkah pada perang ini mengirimkan 1000 orang misalnya,
penduduk Makkah mengirimkan 500 orang pasukan berkuda misalnya, jihad, atau kalau
misalnya tidak ada maka ada di dalam hatinya niat untuk berjihad, karena jihad ini tidak
semua waktu tidak semua masa kemudian ada, ada waktu di mana tidak disyaratkan di
sana jihad sama sekali, kalau tidak ada maka minimal di dalam hatinya ada niat, ini sebuah
kewajiban kalau tidak ada niat maka mati di atas kenifakan.

Sebagaimana dalam hadits,

‫َم ْن َلْم َي ْغ ُز َو َلْم ُيَح ِّد ْث َن ْف َس ُه بالغزو َم اَت َع َلى ُشْع َب ٍة ِمن الِنَفاٍق‬

Barangsiapa yang tidak berperang dan tidak meniatkan dirinya untuk berperang maka dia
meninggal di atas cabang kenifakan.

Jadi seseorang kalau memang saat itu tidak disyariatkan, kaum muslimin lemah, tidak
memiliki kemampuan, tapi yang namanya niat masing-masing ada dan bisa, harus memiliki
niat untuk berperang fii sabilillah, karena orang-orang munafik mereka adalah orang-orang
yang enggan untuk berperang fii sabilillah, jangankan mengorbankan nyawanya, hartanya,
untuk pergi shalat Isya shalat subuh saja mereka berat.

Jadi di sini ‫ ال ِهْج َر َة َب ْع َد الَفْت ِح‬maksudnya adalah tidak ada hijrah setelah dibukanya kota Makkah,
tidak ada hijrah ke Kota Madinah karena negeri Makkah sudah menjadi negeri Islam, dan
bukan berarti hijrah ini tidak ada setelah dibukanya Kota Makkah.

Setelah berbicara tentang masalah hijrah dan bagaimana kaitan hijrah ini dengan masalah
tauhid, sehingga beliau panjang lebar di dalam menyebutkan tentang hijrah, dan ini
menunjukkan tentang perhatian beliau tentang masalah tauhid, semuanya dihubungkan ke
sana.

Ketika membahas tentang Ma’rifatullah berbicara tentang tauhid, ketika membahas tentang
ma’rifatu dinil Islam juga berbicara tentang tauhid, di sini ketika berbicara tentang Ma’rifatu
Nabi ‫ ﷺ‬juga mengenalkan kepada kita hubungan antara Nabi dengan tauhid. Hubungan
dakwah Beliau dengan dakwah tauhid, hubungan hijrah Beliau dengan tauhid karena
memang tauhid ini adalah pondasi dari agama kita.

Dan tidaklah kita diciptakan kecuali untuk mentauhidkan Allah, tidaklah Allah mengutus para
Rosul kecuali untuk mendakwahkan tauhid, tidaklah Allah menurunkan kitab kecuali untuk
mengajarkan kepada manusia tauhid. Makanya tidak heran beliau menghubungkan itu
semuanya dengan tauhid.
Kemudian beliau mengatakan,

‫ُأ‬
‫فلما استقر بالمدينة ِمَر ببقَّيِة شرائِع اإلسالِم‬

Ketika Beliau sudah menetap di kota Madinah, menjadi negeri yang ke dua bagi Beliau,
Beliau diperintahkan di dalam kota Madinah dengan sisa-sisa dari syariat Islam yang lain,
karena sebelumnya tauhid jelas sudah disyariatkan dari awal dan ini adalah inti dakwah
Beliau dan dakwah Beliau dari awal sampai akhir adalah intinya kepada tauhid.

Kemudian disyariatkan tentang sholat, sudah disyariatkan ketika Beliau di Makkah,


disyariatkan hijrah, maka di sana masih banyak syariat-syariat islam yang belum
disyariatkan sebelum beliau hijrah.
Ketika sudah berhijrah dan menetap di kota Madinah barulah Beliau diperintahkan untuk
melaksanakan syariat-syariat islam yang lain. Kapan ini terjadi? Ketika aqidah ini sudah kuat
di dalam hati kaum muslimin, digembleng mereka untuk bertauhid meyakini tentang tauhid
rububiyah, tauhid uluhiyah, pentingnya taat kepada Rosul.

Ketika itu sudah kuat barulah hikmah dari Allah ‫ ﷻ‬setelah itu diturunkan syariat-syariat
islam lainnya, dan ini adalah termasuk fiqih di dalam dakwah, kita perkuat dulu keyakinan,
aqidah, barulah setelah itu perintah dan juga larangan yang kita sampaikan, setelah itu akan
dengan mudah perintah dilaksanakan oleh mereka dan dengan mudah larangan itu
ditinggalkan oleh mereka.

Kalau tidak demikian, seperti yang diangan-angankan dan impian sebagian orang yang dia
berdakwah dengan cara katanya kita harus mencapai puncak kepemimpinan terlebih
dahulu.
Angan-angan dia kalau kita sudah menjadi pemimpin memiliki jabatan memiliki wewenang
maka kita akan mengeluarkan peraturan semuanya harus berjilbab, memelihara jenggot
misalnya, semuanya harus sholat berjamaah dan seterusnya. Maka dengan mudah kita
akan membuat peraturan dan manusia akan mentaati peraturan tadi hanya kita berwenang
akhirnya jadilah negeri yang aman tentram semuanya taat, ini angan-angan dan juga
impian.

Ingin melakukan sesuatu tapi bukan dengan cara para Nabi dan juga para Rasul. Dakwah
tapi prioritasnya adalah politik dengan angan-angan seperti yang mereka sebutkan tadi.
Berjuang sampai terkadang menghalalkan segala cara padahal dia intishabnya kepada
islam tapi untuk mendapatkan suara terbanyak mau tidak mau mereka harus merangkul
ahlu bid’ah, mau tidak mau mereka harus merangkul kuffar, kerjasama dengan mereka
bahkan sering mereka harus tanazzul mengorbankan agama mereka sendiri, mau tidak mau
harus mengucapkan selamat ketika hari raya mereka, harus mengikuti acara-acara ritual
mereka, kalau ditanya alasannya adalah maslahat yang lebih besar.
Tapi dengan mengorbankan agamanya sendiri, mengorbankan keimanannya sendiri.
Setelah mereka mengorbankan itu semuanya ternyata tidak seperti yang mereka harapkan
justru semakin ke sana manusia semakin tahu tentang kejelekan mereka, hati manusia di
tangan Allah dan ini sebagaimana dalam hadits,

‫َم ْن ِاْلَت َمَس ِر َض ا الَّن اِس ِبَس َخ ِط ِهَّللا َس ِخ َط ُهَّللا َع َلْيِه َو َأْس َخ َط َع َلْيِه الَّن اَس‬

Barangsiapa yang mencari keridhoan manusia dengan membuat marah Allah maka Allah
akan marah kepada orang tersebut dan akan menjadikan manusia marah kepada dirinya.

Tidak mudah mengubah manusia seperti kalau kita membalik telapak tangan, wajib untuk
berhijab apakah semuanya akan langsung berhijab dengan kesadaran mereka, tidak.
Jangankan kita, para Nabi Bani Israil, dan mereka adalah Nabi, dan Bani Israil yang
memimpin mereka bukan orang biasa, para Nabi, setiap kali meninggal seorang Nabi akan
digantikan oleh Nabi yang lain. Tapi lihat bagaimana Bani Israil.

Jadi Jangan menganggap bahwasanya kalau sudah dapat menjadi seorang pemimpin,
menjadi seorang wakil negara kemudian dia bisa mudah mengubah manusia.
Kalau mereka belum siap secara aqidah tidak mungkin, antum kasih peraturan ini peraturan
itu kalau tidak ada aqidah masuk di dalam hati mereka sulit antum bisa mengubah mereka,
lama yang demikian dan sampai sekarang orang yang bermanhaj seperti itu tidak
mendapatkan apa-apa.

Tidak ada tanah dan negeri yang bisa mereka dirikan dan tidak ada dakwah yang mereka
berikan kepada umat, berbeda dengan dakwah ahlussunnah, lihat bagaimana ketika
ahlusunnah mereka berdakwah dengan dakwahnya para Nabi dan juga para Rasul,
mendahulukan aqidah tauhid sebelum yang lain.
Perbaikan, berkah, banyak orang yang mendapatkan hidayah, berbondong-bondong
manusia mau mempelajari agama islam. Dan kita Alhamdulillah, termasuk hasil kita dulu
mengenal hidayah, mengenal sunnah, mengenal tauhid, ba’dallah setelah taufiq dari Allah,
kemudian dengan usaha para asatidzah, para du’ad yang mereka bukan seperti da’i-da’i
yang mereka perhatiannya hanya masalah politik saja tetapi mereka semangat untuk
mengajarkan kita aqidah.

Bergerilya dari masjid ke masjid, dengan media massa yang telah dimudahkan oleh Allah
‫ ﷻ‬menyampaikan kepada manusia aqidah, itulah yang bermanfaat bagi kita, dan dengan
demikian Insya Allah apa yang kita lakukan ini berbarokah dan mendapatkan kebaikan yang
banyak dari Allah

Halaqah 74 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Diperintahkannya


Syari’at-Syari’at Islam yang Lain Setelah Kuatnya Aqidah Bagian 2
Di sana ada ucapan Ummul Mu’minin Aisyah radhiallahu ta’ala anha, ketika pertama kali
turun Al-Quran maka yang pertama kali turun adalah surat dari Al-Mufashal, di dalamnya
ada penyebutan surga dan juga neraka, ketika manusia sudah kuat keislamannya barulah
turun tentang masalah halal dan juga haram.

Sebelumnya mereka disebutkan tentang jannah, disebutkan tentang neraka, disebutkan


tentang hari akhir, dikuatkan akidah mereka tentang masalah hari akhir.
Seandainya ketika awal turun, ayat ayat yang turun itu langsung misalnya, yaa ayyuhannas
la tasyrabul khamr, jangan kalian minum-minuman keras niscaya mereka akan mengatakan
karena imannya lemah, kami tidak akan meninggalkan minuman keras selama-lamanya,
seandainya awal turun Al-Quran kemudian dikatakan kepada mereka jangan kalian berzina,
niscaya mereka akan mengatakan kami tidak akan meninggalkan zina selama-lamanya.

Ini menunjukkan bagaimana pentingnya menanamkan akidah, keyakinan tentang surga,


keyakinan tentang neraka, keyakinan tentang hari akhir, barulah setelah itu ada perintah,
ada larangan dengan mudah manusia akan mentaati.
Beliau kemudian menyebutkan tentang contoh-contoh ibadah yang disyariatkan setelah itu.

‫ وغيِر ذلك من شرائع اإلسالم‬، ‫ والنهِي عن المنكِر‬، ‫ واألمِر بالمعروِف‬،‫ والجهاِد‬، ‫ واألذاِن‬،‫ والحِّج‬، ‫ والَّصوِم‬،‫ الَّز كاِة‬:‫مثل‬

Seperti contohnya zakat, ini disyariatkan setelah Nabi ‫ ﷺ‬di kota Madinah, dan zakat ini
perkara yang berat bagi jiwa karena seseorang mengeluarkan hartanya dan dia
mendapatkan harta bukan dengan cara yang mudah, maka tidak mungkin keluar harta
tersebut dari dia kecuali apabila didasarkan oleh yakin dan juga keimanan, didasari oleh
aqidah.
Datang perintah untuk mengeluarkan zakat, maka dengan mudah karena dia beriman
dengan hari akhir, harta yang saya keluarkan tidak akan ke mana-mana itu adalah harta
saya yang sebenarnya. Kapan saya mendapatkannya, ketika nanti di hari akhir, maka
dengan mudah dia keluarkan, ketika sudah ada akidah yang kuat di dalam hatinya.

‫والَّصوِم‬

Puasa juga demikian, di dalamnya ada masyaqqah, meninggalkan makanan meninggalkan


minuman, bukan 3 jam, bukan 4 jam, 1 hari, padahal dia tetap bekerja, kalau di dalam
hatinya tidak ada keimanan, akidah yang kuat, maka tentunya sangat berat bagi seseorang
untuk melakukan puasa tadi. Tapi karena dia beriman saya meninggalkan makanan dan
minuman, dan ini adalah bagian dari kesabaran dan Allah akan memberikan pahala yang
besar bagi orang-orang yang bersabar.
Dan keyakinan dia bahwasanya setiap apa yang disyariatkan oleh Allah pasti di situ ada
hikmah baginya, maka dengan lapang dada dengan senang hati dia berpuasa, bukan
sesuatu yang berat bagi dia karena didasari oleh keimanan tadi.

‫والحِّج‬

Demikian pula Haji, bukan amalan yang mudah, di situ ada pengorbanan harta, di situ ada
pengorbanan fisik, bisa pulang bisa tidak, bisa selamat bisa tidak. Kalau bukan di dalam
hatinya ada aqidah keimanan yang kuat, dia tidak akan keluar dari rumahnya menuju tempat
tersebut, menuju ke Makkah kemungkinan dia bisa kembali kemungkinan dia tidak bisa
kembali. Tapi ketika sudah ada akidah mudah sekali mereka melaksanakan haji tersebut.
Seandainya bisa kembali alhamdulillah kalau tidak bisa kembali semua akan kembali
kepada Allah. Dengan lapang dia pergi dan penuh dengan kerinduan untuk bertemu dengan
Allah, mengunjungi rumah Allah dan seterusnya.

‫واألذاِن‬

Demikian pula adzan disyariatkan setelah Beliau ‫ ﷺ‬berada di kota Madinah


‫والجهاِد‬

Demikian pula jihad di dalamnya juga ada masyaqqah.

‫ والنهِي عن المنكِر‬، ‫واألمِر بالمعروِف‬

Amar ma’ruf nahi mungkar di dalamnya juga ada masyaqqah, ada rasa berat, karena
beramar ma’ruf nahi mungkar bukan perkara yang ringan. Seorang melawan hawa nafsunya
dan melawan hawa nafsu manusia, dan resikonya kalau melawan hawa nafsu manusia akan
dimusuhi oleh manusia, disakiti oleh manusia, sehingga orang yang berama ma’ruf nahi
mungkar ada risikonya.

‫َٰي ُبَن َّي َو ۡأ ُم ۡر ِبٱۡل َم ۡع ُروِف َو ٱۡن َه َع ِن ٱۡل ُمنَك ِر َو ٱۡص ِبۡر َع َلٰى َم ٓا َأَص اَب َۖك‬

Hendaklah engkau beramar ma’ruf nahi mungkar dan hendaklah engkau bersabar atas apa
yang menimpamu.

Karena orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar ada resikonya, dikata-katai oleh manusia,
dihina oleh manusia, tapi kalau sudah ada aqidah di dalam hatinya, meyakini bahwasanya
mereka mengucapkan atau melakukan sesuatu itu dengan kehendak Allah, jadi seandainya
mereka mengejek saya mengatakan engkau demikian-demikian, dia tidak menggerakkan
mulutnya kecuali dengan kehendak Allah, Allah yang menghendaki.
Maka bagaimana dia takut untuk beramar ma’ruf nahi mungkar, mereka tidak mungkin
memudhorati saya kecuali dengan takdir Allah ‫ﷻ‬.

Dan seandainya saya bersabar Allah ‫ ﷻ‬akan memberikan pahala bagi saya dihari
akhirat, kemudian keyakinan dan perintah dari Allah supaya kita tidak takut kepada manusia
dan seterusnya.

Dia menghadirkan aqidah-aqidah tadi, keyakinan-keyakinan tadi sehingga dia menjadi orang
yang mudah sekali dia beramar ma’ruf dan mudah sekali dia untuk melarang manusia dari
kemungkaran, tidak ada rasa tidak enak, takut kepada manusia.

Ini semua terjadi dan diturunkan syariatnya setelah kuatnya aqidah di dalam dada-dada
kaum muslimin.

Halaqah 75 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Hikmah


Diprioritaskannya Dakwah Tauhid Bagian 3

‫وغيِر ذلك من شرائع اإلسالم‬

Dan selain itu yang merupakan syariat-syariat Islam.


Apa yang beliau sebutkan adalah isyarat saja. Allahu Ta’ala a’lam di sini yang beliau
sebutkan sebagian besarnya adalah perkara-perkara yang di dalamnya ada masyaqqah,
yaitu di dalamnya ada sesuatu yang keberatan atau kesusahan.

Disebutkan oleh beliau, Allahu a’lam isyarat bahwasanya perkara-perkara yang ada
masyaqqah tadi baru disyariatkan setelah Beliau ‫ ﷺ‬hijrah ke kota Madinah setelah
kuatnya aqidah kaum muslimin.

‫أخذ على هذا عشر سنيَن‬

Beliau ‫ ﷺ‬dalam keadaan demikian selama 10 tahun.


Maksudnya adalah diturunkan sedikit demi sedikit kepada Beliau syariat Islam, syariat-
syariat tersebut, selama 10 tahun ketika Beliau berada di kota Madinah.
Adzan, ini tahun ke dua, kemudian puasa di bulan Ramadhan ini tahun ke dua, jihad ini
sudah di awal-awal, haji ini di tahun 9 Hijriyah, kemudian Beliau berhaji pada tahun ke-10
dan meninggal dunia pada tahun ke-11.

‫أخذ على هذا عشر سنيَن‬

Syariat-syariat tadi berangsur-angsur turun selama 10 tahun.

‫وبعدها توفي‬

Dan setelah itu, yaitu setelah 10 tahun, maka beliau ‫ﷺ‬

‫ُتُو ِّفَي‬

‫صالة هللا وسالم عليه‬

Diwafatkan oleh Allah ‫ﷻ‬, semoga sholawat Allah dan juga keselamatan atas Beliau.

‫ ُتُو ِّفَي‬diambil dari kata Al-Wafa, yaitu penyempurnaan.


Dinamakan demikian karena orang yang mutawaffa berarti telah disempurnakan ajalnya,
disempurnakan rezekinya, disempurnakan amalannya.

Apa yang sudah ditakdirkan oleh Allah sebelumnya sudah disempurnakan semuanya. Kalau
sudah sempurna maka barulah dia meninggal dunia sehingga dinamakan dengan Al-Wafa
atau mutawaffa karena sudah disempurnakan semuanya baik ajal maupun rezekinya.

‫وُتُو ِّفَي ﷺ‬

Setelah 10 tahun itulah maka Beliau meninggal dunia. Maka ini juga termasuk ma’rifah,
mengenal Rasulullah ‫ ﷺ‬yaitu mengenal bahwasanya Beliau meninggal dunia.
Diantara sifat Beliau adalah Al-Wafa, karena Beliau adalah manusia seperti manusia yang
lain.

‫ر ِّم ۡث ُلُك ۡم‬ٞ ‫ُقۡل ِإَّن َم ٓا َأَن ۠ا َب َش‬

Aku adalah seperti kalian.


Menimpa Beliau apa yang menimpa manusia yang lain. Ini termasuk ta’rif birrasul, karena
mungkin ada sebagian manusia menganggap kalau dia Rasul berarti dia tidak meninggal.
Maka perlu di sini di-ta’rif, disampaikan bahwasanya Nabi ‫ ﷺ‬dengan seluruh keutamaan
yang Beliau miliki tapi Beliau juga meninggal dunia seperti yang lain.

Dan nanti akan disebutkan oleh beliau tentang dalil bahwasanya beliau ‫ ُتُو ِّفَي‬meskipun
diloncati dengan beberapa poin nanti akan sampai, beliau akan mendatangkan dalil.

‫والدليل على موته‬

Dalil tentang kematian Beliau.

Karena memang di sana ada orang yang mungkin mengingkari kematian Nabi ‫ﷺ‬,
meyakini bahwasanya sekarang Beliau masih hidup. Sehingga mengadakan acara-acara
dan kemudian ketika diyakini bahwasanya Beliau datang, kemudian mereka berdiri,
berbicara atau mengucapkan sesuatu, selamat datang dan seterusnya. Maka perlu di sini
disampaikan tentang keyakinan bahwasanya Beliau ‫ ﷺ‬telah meninggal dunia seperti
yang lain.

HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al Ushulu Ats Tsalatsah – Halaqah 76 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu
Nabiyyikum Muhammad: Rasulullah Wafat dan Agama Islam Akan Tetap Ada

Beliau mengatakan,

‫ودينه باٍق‬

Agama Beliau ‫ ﷺ‬akan terus ada.

Kenapa di sini disebutkan

‫دينه باٍق‬

agamanya terus ada.

Apa hubungannya antara kalimat ini dengan kematian Nabi ‫ﷺ‬. Karena kita tahu bahwasanya
agama ini yang membawa adalah Rasulullah ‫ﷺ‬, risalah ini yang membawa adalah Beliau ‫ﷺ‬.

Ketika Beliau ‫ ﷺ‬dipanggil oleh Allah ‫ ﷻ‬apakah berarti agama ini hancur, apakah risalah ini
akan menjadi pudar dan rusak dan akan segera terkubur sebagaimana dikuburnya Rasulullah ‫ﷺ‬
yang membawa risalah ini, maka beliau menekankan di sini,
‫ودينه باٍق‬
Nabi memang meninggal dunia tapi agama yang Beliau bawa akan terus ada.

Beliau ‫َف اٍن‬

, ‫ُك ُّل َم ْن َع َلْي َه ا َف اٍن‬

Beliau meninggal dunia sebagaimana yang lain, tetapi agama yang Beliau bawa tidak akan rusak dan
tidak akan binasa, tetapi agama Beliau adalah agama yang ‫ باٍق‬akan terus ada. Terus ada, dijaga oleh
Allah ‫ ﷻ‬karena Allah ‫ ﷻ‬Dia telah berjanji untuk menjaga agama ini.

Bagaimana Allah ‫ ﷻ‬menjaga agama ini, diantaranya Allah ‫ ﷻ‬menjaga sumbernya, karena
agama ada sumbernya, Al-Quran dan juga As-Sunnah. Kalau sumbernya dijaga maka agama tersebut
akan terjaga.

‫ِإَّن ا َن ْح ُن َنَّز ْلَن ا الِّذ ْك َر َو ِإَّن ا َلُه َلَح اِفُظ وَن‬


[Al Hijr:9]

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Adz-Dzikro yaitu Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami akan
menjaga Al-Quran.

Kalau Al-Qur’an sebagai sumber agama Islam ini, di situlah syariat Islam.

( ‫) َّما َف َّر ۡط َن ا ِفی ٱۡل ِك َت ٰـ ِب ِمن َشۡی ࣲۚء‬

[Surah Al-An’am 38]

“Kami tidak meninggalkan sedikitpun di dalam Al-Quran.”

Semuanya ada, diterangkan oleh Allah ‫ ﷻ‬dan Allah ‫ ﷻ‬jaga Al-Qur’an. Dan As-Sunnah juga
dijaga oleh Allah ‫ ﷻ‬sebagaimana Allah ‫ ﷻ‬menjaga Al-Qur’an dan sampai sekarang tidak ada
orang yang bisa merubah Al-Qur’an.

Seandainya di sana ada orang yang berusaha untuk merubah meskipun satu huruf atau setengah
huruf dari Al-Qur’an niscaya akan kelihatan dan akan dinampakkan oleh Allah ‫ﷻ‬.
Allah ‫ ﷻ‬mudahkan manusia untuk menghafal Al-Qur’an. Dan dari generasi ke generasi ribuan
bahkan tidak sedikit orang yang bisa menghafal Al-Qur’an dan ini adalah penjagaan dari Allah ‫ﷻ‬

Seandainya di sana ada orang yang salah atau orang yang sengaja merubah Al-Qur’an, pasti di sana
ada orang yang siap untuk membongkar usaha tersebut sampai sekarang dan sampai hari kiamat.

Maka Al-Qur’an adalah Al-Quran, tidak ada yang dirubah. Yang kita baca hari ini, itulah yang dibaca
oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬di zaman Beliau, karena yang menanggung untuk menjaga Al-Qur’an adalah
Allah ‫ﷻ‬

As-Sunnah juga demikian, karena As-Sunnah adalah fungsinya untuk menerangkan apa yang ada di
dalam Al-Qur’an. Allah ‫ ﷻ‬menjaga Al-Qur’an bukan hanya dari sisi lafadznya saja, tapi Allah
‫ ﷻ‬menjaga Al-Qur’an juga dari sisi maknanya. Allah ‫ ﷻ‬menjaga Al-Qur’an baik lafadznya
maupun maknanya, dua-duanya dijaga oleh Allah ‫ﷻ‬.

Yang menjelaskan makna yang ada di dalam Al-Qur’an adalah sunnah Rasulullah ‫ﷺ‬

‫ِلُتَب ِّي َن ِللَّن اِس َم ا ُنِّز َل ِإَلۡي ِه ۡم‬

[An Nahl:44]

Supaya engkau menjelaskan kepada mereka, menerangkan kepada mereka apa yang telah
diturunkan kepada mereka (berupa Al-Qur’an).

Makanya kalau Al-Qur’an dijaga oleh Allah baik lafadz maupun maknanya, berarti Allah juga menjaga
hadits-hadits Nabi ‫ ﷺ‬. Para ulama menjelaskan,

‫ حفظ المبٍي‬،‫من حفظ المبيا‬

“Termasuk penjagaan terhadap Al-Mubayyan yaitu Al-Qur’an, adalah penjagaan terhadap Al-
Mubayyin, yaitu yang menjelaskan Al-Qur’an” yaitu sunnah Nabi ‫ﷺ‬.

Makanya yang menghafal hadits-hadits Nabi juga banyak, ratusan ribu hadits tapi ada ulama-ulama
yang Allah ‫ ﷻ‬ciptakan mereka, Allah berikan mereka kemampuan untuk menghafal seperti Imam
Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Syu’bah, Sufyan Ats-Tsauri, dan seterusnya sebagaimana mereka
menghafal Al-Qur’an, mereka juga menghafal hadist.
Dan tidak ada orang yang berusaha untuk memalsu hadist Nabi ‫ ﷺ‬kecuali pasti dibongkar oleh
para ulama. Dijaga sampai sekarang hadist-hadist Nabi ‫ﷺ‬. Kalau sumbernya ini dijaga oleh Allah
‫ ﷻ‬maka agama ini akan dijaga oleh Allah ‫ ﷻ‬dan seterusnya.

‫ودينه باٍق‬
Agama Beliau ‫ ﷺ‬akan terus ada.

Beliau meninggal dunia seperti yang lain tapi Allah yang akan menjaga agama Beliau. Oleh karena itu
kita berperan atau tidak, Allah akan menjaga agama ini. Antum malas atau tidak dalam menuntut
ilmu, Allah ‫ ﷻ‬akan menjaga agama ini. Kalau Antum tidak mau berperan, Allah ‫ ﷻ‬akan
mendatangkan orang-orang yang siap berkorban, siap berdakwah. Allah ‫ ﷻ‬menjaga dengan
mereka agama ini.

Agama tidak butuh dengan kita, tapi kita yang butuh terhadap agama. Kita harus memiliki peran
bagaimana kita berusaha menjadikan Allah ‫ ﷻ‬menjadikan kita memiliki peran di dalam agama
ini. Baik peran dalam menyampaikan ilmu atau peran di dalam kalau kita memiliki harta, atau kita
memiliki jabatan, n maka hendaklah kita berusaha untuk menolong agama Allah ‫ ﷻ‬ini sesuai
dengan kemampuan kita masing-masing.

Dan waktu kita hanya sebentar di dunia ini.

Manfaatkan umur yang tinggal sedikit ini. Bagaimana kita punya peran di dalam agama Allah ‫ﷻ‬,
dalam menyebarkan agama Allah ‫ ﷻ‬sesuai dengan kapasitas kita masing-masing, sesuai dengan
kemampuan kita masing-masing, sehingga kita keluar dari dunia ini dalam keadaan kita punya peran
di dalam tertolongnya agama Allah ‫ﷻ‬

Halaqah 77 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Rasulullah Telah


Menyampaikan dan Mengajarkan Semua Bentuk Kebaikan

Beliau mengatakan,
‫وهذا دينه‬

Dan ini adalah agamanya, yaitu Al-Qur’an yang dibaca oleh kaum muslimin yang di timur
maupun yang di barat, As-Sunnah yang dibaca dan dihafal oleh kaum muslimin, maka ini
adalah agama Rasulullah ‫ ﷺ‬yang sampai sekarang masih ada dan terjaga.

‫ وال شر إال حذرها منه‬،‫ال خير إال دَّل األمة عليه‬


Ini adalah agama Beliau yang sekarang kita sedang memeluknya, melaksanakannya,
mengimaninya, yang kita pelajari rukun-rukunnya, yang kita pelajari syari’at yang ada di
dalamnya, ini adalah agama Beliau. Tidak ada kebaikan kecuali Beliau sudah menjelaskan
kepada umat, menunjukkan kepada umat tentang kebaikan tersebut. Jadi kalau itu adalah
khair dan Beliau mengetahuinya, maka pasti Beliau sudah menunjukkan umat kepada
kebaikan tersebut.

‫ال خير إال دَّل األمة عليه‬

Tidak ada kebaikan kecuali Beliau sudah menunjukkan kepada umat tentang kebaikan
tersebut.

Mungkin ditunjukkan oleh Beliau dengan ucapan Beliau secara langsung, ini adalah sebuah
kebaikan, ini shalat sunah, ini shalat malam, ini membaca Al-Qur’an termasuk kebaikan,
atau terkadang lewat tingkah laku dan juga perilaku Beliau atau amalan Beliau.

Sebuah kebaikan diamalkan oleh Beliau kemudian orang-orang Islam mereka melihat dan
mengetahui bahwasanya Nabi ‫ ﷺ‬adalah seorang Rasul, mengajari kita sehingga
mereka melihat apa yang dilakukan oleh Nabi ‫ ﷺ‬berarti itu adalah khair, itu adalah
kebaikan.

Dan terkadang Beliau menunjukkan kepada umat itu adalah kebaikan dengan taqrir yaitu
dengan menyetujui dilakukan oleh sebagian sahabat kemudian Beliau ada di sana dan
Beliau tidak mengingkari, menunjukkan bahwasanya itu adalah sesuatu yang boleh, sebuah
kebaikan.

‫ال خير إال دَّل األمة عليه‬

Tidak ada kebaikan kecuali Beliau telah menunjukkan kepada umat tentang kebaikan
tersebut.

Barangsiapa yang sekarang melakukan sebuah kebaikan, melakukan sesuatu yang dia
anggap baik sementara kalau diteliti, kita kembali ke belakang, Rasulullah ‫ ﷺ‬belum
pernah mengatakan atau melakukan sesuatu yang dianggap baik tadi atau mentaqrir
sesuatu yang dianggap baik tadi meskipun manusia mengatakan itu baik, ketahuilah
bahwasanya itu bukan sebuah kebaikan.
Karena kalau itu kebaikan pasti sudah disampaikan oleh Nabi ‫ ﷺ‬mungkin dengan qaul
Beliau, mungkin dengan fi’il Beliau, mungkin dengan taqrir Beliau, berarti semua kebaikan
sudah ditunjukkan oleh Nabi ‫ﷺ‬

Kalau sekarang ada sesuatu dianggap baik oleh manusia tapi ternyata tidak dilakukan dan
tidak diucapkan, tidak ditaqrir oleh Nabi ‫ ﷺ‬ketahuilah bahwasanya itu bukan kebaikan
meskipun manusia menganggap itu adalah baik.

Dan segala sesuatu yang baru yang dianggap oleh manusia itu adalah baik padahal itu
baru, tidak pernah ditunjukkan oleh Nabi ‫ ﷺ‬maka itu adalah bid’ah, sesuatu yang baru.
Dan setiap sesuatu yang baru itu adalah sesat karena Nabi ‫ ﷺ‬telah menyampaikan
semuanya dan itulah kebaikan yang disampaikan oleh Beliau itulah kebaikan, adapun yang
tidak disampaikan oleh Beliau ‫ ﷺ‬setelah itu kemudian dilakukan oleh manusia dan
menisbahkan itu semua adalah bagian dari agama maka itu adalah syarr, itu adalah sesat.

‫َو َش ُّر اُأْلُموِر ُمْح َد َث اُتَه ا‬

Yang paling jelek adalah yang baru yang di ada-adakan oleh manusia.

‫َو ُك ُّل ُمْح َد َث ٍة ِبْد َع ٌة‬

Dan setiap yang baru itu adalah bid’ah.

‫َو ُك ُّل ِبْد َع ٍة َض اَل َلٌة‬

Dan setiap yang bid’ah maka itu adalah sesat.

Berkata Abdullah Ibn Umar,

‫ َو ِإْن َر آَه ا الَّن اُس َح َس َن ًة‬، ‫ُك ُّل ِبْد َع ٍة َض َالَلٌة‬

Setiap bid’ah itu adalah sesat meskipun manusia memandang dan melihat itu adalah
sebuah hasanah, sebuah kebaikan.

Pandangan manusia itu tidak berdasarkan wahyu, adapun Nabi ‫ ﷺ‬maka Beliau
menyampaikan berdasarkan wahyu Allah ‫ﷻ‬, meskipun manusia menganggap itu adalah
hasanah jangan tertipu dengan anggapan dan juga pandangan mereka karena kalau
mereka menganggap sesuatu yang baik itu hasanah ketahuilah bahwasanya yang
menghias-hiasi kejelekan tadi sehingga dianggap oleh manusia menjadi baik, yang
menghias-hiasi adalah syaithan. Syaithan, dialah yang menghiasi sesuatu yang jelek
sehingga dipandang oleh manusia adalah sebuah kebaikan.

‫َو َز َّيَن َلُهُم ٱلَّش ۡي َٰط ُن َم ا َك اُنوْا َي ۡع َم ُلوَن‬


[Al An’am:43]

Setan menghias-hiasi bagi mereka apa yang mereka kerjakan.

Sesuatu yang bid’ah dianggap itu hasanah, penyembahan terhadap orang shaleh dianggap
ini adalah cinta kepada wali-wali Allah ‫ ﷻ‬dan seterusnya.

Halaqah 78 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Rasulullah Telah


Memperingatkan dari Semua Bentuk Kejelekan

Beliau mengatakan,

‫وال شر إال حذرها منه‬

Dan tidak ada kejelekan dosa maksiat dan seterusnya, kecuali Beliau sudah mengingatkan
dari kejelekan tersebut.

Kebaikan Beliau tunjukkan kepada umat, kalau itu sebuah kejelekan yang bisa memudhoroti
manusia, membawa kecelakaan kepada mereka di dunia maupun di akhirat maka Beliau
‫ ﷺ‬akan mengingatkan dan tidak akan takut Beliau untuk mengingatkan manusia dari
kejelekan tersebut. Sekecil apapun kejelekan tadi Beliau sampaikan kepada manusia,
sekecil apapun. Apalagi dosa dosa yang besar, kebid’ahan, kesyirikan, maka Beliau ‫ﷺ‬
mengingatkan manusia dari kejelekan-kejelekan tadi.

Allah ‫ ﷻ‬mensifati Beliau sebagai orang yang ‫َح ِر يٌص‬

‫م‬ٞ‫ف َّر ِح ي‬ٞ‫َح ِر يٌص َع َلۡي ُك م ِبٱۡل ُم ۡؤ ِمِنيَن َر ُءو‬


[At Taubah:128]
Orang yang sangat ‫ َح ِر يٌص‬yaitu orang yang sangat menginginkan kebaikan untuk kita.

‫وال شر إال حذرها منه‬

Tidak ada kejelekan kecuali telah diingatkan oleh Nabi ‫ﷺ‬


Ini berdasarkan sebuah hadits, yaitu sabda Nabi ‫ﷺ‬

‫ِإَّنُه َلْم َي ُك ْن َن ِبٌّي َق ْبِلي ِإَّال َك اَن َح ًّقا َع َلْيِه َأْن َي ُد َّل ُأَّم َت ُه َع َلى َخ ْي ِر َم ا َي ْع َلُمُه َلُهْم َو ُيْن ِذَر ُه ْم َش َّر َم ا َي ْع َلُمُه َلُهْم‬

“Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali wajib baginya untuk
menunjukkan umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya untuk mereka dan
memperingatkan mereka dari keburukan yang ia ketahui untuk mereka.” (HR. Muslim)

Berarti ini adalah sifat para nabi dan para rasul baik Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬maupun nabi
dan rasul sebelum Beliau. Maka semuanya kewajiban bagi mereka adalah menjelaskan
kepada umat kebaikan yang dia tahu dan mengingatkan mereka kejelekan yang mereka
tahu. Tidak ada yang disembunyikan oleh para nabi dan juga para rasul, tidak ada yang
mereka takuti, yang mereka takuti hanyalah Allah ‫ﷻ‬.

Allah ‫ ﷻ‬wahyukan kepada mereka, mereka sampaikan, menginginkan kebaikan bagi


mereka, ‫ َح ًّقا َع َلْيِه‬kewajiban bagi mereka untuk menunjukkan umat kebaikan yang dia tahu dan
mengingatkan kejelekan yang mereka tahu.

Tentunya di dalam menyampaikan kebaikan atau mengingatkan manusia dari kejelekan


para nabi dan juga para rasul mereka memiliki manhaj, memiliki cara. Dari mana caranya,
Allah ‫ ﷻ‬juga mewahyukan kepada mereka. Seperti misalnya Nabi ‫ ﷺ‬menyampaikan
tentang masalah tauhid, mengingatkan manusia dari kesyirikan dan memprioritaskan itu
semua sebelum diturunkan kepada Beliau tentang syari’at-syari’at yang lain, sebelum
diturunkan kepada Beliau larangan tentang khamr, larangan tentang berzina, dan
seterusnya.

Semua beliau sampaikan tapi jangan lupa di sana ada cara, ada tahapan, jadi bukan berarti
kita harus menyampaikan semuanya kemudian seseorang tidak ada aturan di dalam
menyampaikan. Semuanya betul akan kita sampaikan, tentang riba akan kita sampaikan,
perzinahan akan kita sampaikan, tapi seseorang ada caranya, ada tahapannya.
Sebagaimana ini dilakukan oleh para nabi dan juga para rasul mereka menyampaikan
semuanya bukan berarti mereka tidak punya cara, tidak punya tahapan di dalam berdakwah,
tetap harus bertahap di dalam berdakwah.
Halaqah 79 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Rasulullah Telah Menyampaikan
Agama Ini dengan Sejelas-Jelasnya

Beliau mengatakan,

‫ وجميع ما يحبه هللا ويرضاه‬،‫ التوحيد‬:‫والخير الذي دلَّها عليه‬

Dan kebaikan yang sudah Beliau sampaikan kepada umat, tauhid, dan seluruh apa yang dicintai oleh
Allah ‫ ﷻ‬dan diridhoi oleh Allah ‫ﷻ‬

yaitu ibadah.

Kalau semua kebaikan sudah disampaikan oleh Beliau, sekarang apa kebaikan yang paling besar, apa
yang dimaksud dengan kebaikan tersebut?

Beliau mengatakan dan kebaikan yang sudah Beliau sampaikan kepada umat adalah tauhid. Kembali
di sini beliau menyinggung lagi masalah tauhid. Berbicara tentang agama yang ditinggalkan oleh Nabi
‫ ﷺ‬dan di dalam agama ada ‫( َأَو اِمر‬perintah-perintah) dan itu adalah khair semuanya, dan di
dalamnya ada ‫( َن َو اِهي‬larangan-larangan) dan itu adalah syarr, maka beliau ingin kembali
mengingatkan kita tentang tauhid.

Padahal di maqomnya di sini sedang berbicara tentang Ma’rifatun Nabi ‫ﷺ‬. Kebaikan yang Beliau
tinggalkan atau kebaikan yang Beliau dakwahkan, yang ditunjukkan kepada umat, yang pertama
adalah tauhid.

‫وجميع ما يحبه هللا ويرضاه‬

Tauhid dan seluruh apa yang dicintai oleh Allah ‫ ﷻ‬dan diridhoi oleh Allah ‫ﷻ‬

yaitu ibadah.

Al-khair adalah tauhid dan seluruh ibadah, maka semuanya itu adalah termasuk dalam kalimat khair.
Dan tauhid ini adalah ibadah yang paling besar, yang sudah kita sebutkan tentang bagaimana
keutamaan tauhid dan bagaimana Allah ‫ ﷻ‬memberikan pahala kepada orang yang muwahhid
sampai ketika dibandingkan pahala tauhid tersebut dengan dosa yang banyak yang dilakukan oleh
seseorang, maka pahala tauhid ini pahala yang sangat besar.

Jadi yang paling besar pahalanya adalah tauhid, kemudian


‫وجميع ما يحبه هللا ويرضاه‬

dan seluruh apa yang dicintai oleh Allah ‫ ﷻ‬dan juga diridhoi.

Kembali beliau mengingatkan tentang masalah tauhid, beliau mengatakan,

‫ وجميع ما يكرُه ُهللا ويأباه‬،‫ الشرك‬:‫والشر الذي حذرها منه‬

Dan kejelekan yang telah diingatkan oleh Nabi ‫ﷺ‬, yang paling besar adalah syirik dan seluruh
apa yang dibenci oleh Allah ‫ ﷻ‬dan dienggani oleh Allah ‫ﷻ‬, tidak dimaui oleh Allah ‫ ﷻ‬dan
tidak diridhoi oleh Allah ‫ﷻ‬

Kesyirikan, ini yang diingatkan oleh Nabi ‫ ﷺ‬dalam banyak hadist.

‫ الِّش ْر ُك ِباِهَّلل‬.‫اْج َت ِنُبوا الَّسْب َع اْلُموِبَقاِت‬


‫ وهو َخ َلَقَك‬،‫أن تجعل هلل ِنًّد ا‬
‫من لقي هللا يشرك به شيئا دخل النار‬

Dan masih banyak lagi beliau mengingatkan manusia tentang kesyirikan. Kesyirikan ini termasuk
kejelekan yang diingatkan oleh Nabi ‫ ﷺ‬dan seluruh apa yang dibenci oleh Allah ‫ ﷻ‬dan
dienggani oleh Allah ‫ﷻ‬, tidak dimaui oleh Allah ‫ ﷻ‬dan tidak diridhoi oleh Allah ‫ ﷻ‬maka
itu adalah sebuah kejelekan. Termasuk di dalamnya kebid’ahan, kemaksiatan, dan seluruh apa yang
dibenci oleh Allah ‫ﷻ‬. Ini adalah menunjukkan tentang sempurnanya agama Nabi ‫ ﷺ‬dan
tentang pentingnya tauhid dan ini adalah inti dari dakwah Beliau dan bahayanya kesyirikan.

Halaqah 80 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Rasulullah Diutus Untuk


Seluruh Jin dan Manusia Bagian 1

Setelah beliau berbicara tentang kesempurnaan agama dan bahwasanya Nabi ‫ﷺ بالغ‬
‫المبين‬. Sudah menyampaikan agama ini dengan sejelas-jelasnya, beliau ingin memberikan
ta’rif, memberikan pengetahuan ma’rifah kepada kita dari sisi yang lain, bahwasanya Nabi
‫ ﷺ‬risalah Beliau ‫ ﷺ‬ini adalah untuk seluruh manusia.
Jadi agama Beliau adalah agama yang sempurna dan Beliau adalah seorang rasul yang
sudah menyampaikan dengan sebaik-baiknya, maka diantara yang ingin beliau kenalkan
adalah kita mengenal bahwasanya Nabi ‫ ﷺ‬diutus oleh Allah ‫ ﷻ‬untuk manusia
semuanya. Ingin mengenalkan kepada kita, Beliau ini ‫ ﷺ‬berbeda dengan nabi-nabi
sebelumnya, risalah Beliau adalah risalah untuk semua manusia.

Beliau mengatakan,

‫بعثه هللا إلى الناِس كافًة‬

Allah mengutus Beliau untuk seluruh manusia.

Yang dimaksud dengan ‫ الناِس‬di sini adalah mencakup jin dan juga manusia, ‫ الناِس‬diambil dari
kata Naus yaitu Al-I’tirab yaitu guncang, Al Harokah dan dia sering bergerak. Masuk di
dalamnya dua golongan, jin dan juga manusia.

Jadi ucapan Beliau,

‫بعثه هللا إلى الناِس كافًة‬

Maksudnya adalah untuk jin dan juga manusia.

Semuanya masuk dalam ‫الناِس‬,


‫ كافًة‬ini untuk menguatkan, untuk seluruhnya, dan ini adalah keistimewaan Nabi ‫ﷺ‬
dibandingkan nabi-nabi sebelumnya. Nabi-nabi sebelumnya diutus untuk kaumnya saja.

Di dalam sebuah hadits, Beliau ‫ ﷺ‬mengatakan,

‫َو َك اَن الَّن ِبُّي ُيْب َع ُث ِإَلى َق ْو ِمِه َخ اَّص ًة َو ُبِع ْث ُت ِإَلى الَّن اِس َعاَّم ًة‬

Dahulu seorang Nabi itu dibangkitkan atau diutus kepada kaumnya secara khusus.
Nabi Shaleh diutus kepada Tsamud, Nabi Hud diutus kepada ‘Aad, Nabi Nuh kepada
kaumnya, Nabi Syu’aib kepada Madyan, dan seterusnya. Nabi Musa kepada Bani Israil,
Nabi ‘Isa kepada Bani Israil, khusus untuk kaum tersebut.

Adapun aku,
‫َو ُبِع ْث ُت ِإَلى الَّن اِس َعاَّم ًة‬

Aku diutus untuk seluruh manusia.

Setelah datangnya Nabi ‫ ﷺ‬maka wajib bagi orang yang mendengar tentang kedatangan
Beliau, baik yang arab maupun yang ajam untuk beriman dengan Beliau ‫ ﷺ‬karena
Beliau diutus untuk seluruh manusia bukan untuk sebagian manusia saja. Adapun dalil dari
Al Qur’an maka banyak sekali di antaranya akan disebutkan oleh Syaikh di sini.

Halaqah 81 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Rasulullah Diutus Untuk


Seluruh Jin dan Manusia Bagian 2

Beliau mengatakan,

‫ الجن واإلنس‬:‫وافترض طاعته على جميع الثقلين‬

Dan Allah ‫ ﷻ‬telah mewajibkan ketaatan kepada Beliau atas seluruh manusia.

Ini adalah penjelasan dari sebelumnya, yang namanya Rasul diutus untuk ditaati. Allah ‫ﷻ‬
mengutus seorang Rasul kepada sebuah umat tujuannya untuk ditaati, dan demikian para
raja ketika mereka mengutus utusan kepada sebuah daerah maksudnya adalah supaya
daerah tadi mentaati utusan tersebut, karena dia adalah perwakilan dari raja, utusan dari
raja.

Sebagaimana firman Allah ‫ﷻ‬,

‫َو َم ٓا َأۡر َس ۡل َن ا ِمن َّر ُسوٍل ِإاَّل ِلُيَط اَع ِبِإۡذ ِن ٱِۚهَّلل‬
[An Nisa’:64]

Tidaklah Kami mengutus seorang Rasul kecuali supaya ditaati.

Diutus seorang Rasul tujuannya adalah untuk ditaati. Ketika Allah ‫ ﷻ‬mengutus seorang
Rasul sebelum Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬kepada umatnya maka kewajiban umat tadi adalah
untuk mentaati.
Ketika Allah ‫ ﷻ‬mengutus Rasulullah ‫ ﷺ‬untuk semua manusia maka kewajiban
seluruh manusia untuk mentaati Beliau.

Makanya kita katakan tadi ini penjelasan terhadap yang sebelumnya, karena Allah ‫ﷻ‬
mengutus Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬untuk seluruh manusia berarti kewajiban bagi manusia
semuanya adalah mentaati Beliau, karena Beliau diutus untuk seluruh manusia maka
kewajiban manusia semuanya adalah untuk mentaati Beliau.

Allah ‫ ﷻ‬telah mewajibkan ketaatan kepada Beliau atas seluruh ‫الثقلين‬, dua yang dibebani
yang berat, adalah ‫ الجن واإلنس‬berarti ini adalah penjelasan dari kalimat ‫الناس‬.

Tadi kita katakan ‫ الناس‬ini mencakup jin dan juga manusia.


Apa dalil bahwasanya Beliau ‫ ﷺ‬diutus untuk seluruh manusia, bukan untuk sebagian
kaum saja?
Beliau mengatakan,

158:‫ ُقْل َي ا َأُّيَه ا الَّن اُس ِإِّن ي َر ُسوُل ِهّللا ِإَلْي ُك ْم َج ِميعًا األعراف‬:‫والدليل قوله تعالى‬

Dalilnya adalah Firman Allah ‫ﷻ‬: Katakanlah wahai manusia, maksudnya adalah ‫الجن‬
‫واإلنس‬, sesungguhnya aku adalah Rasul Allah, utusan Allah untuk kalian semuanya.

Di sini yang menunjukkan bahwasanya Beliau diutus untuk semua manusia, dari kalimat
‫ الناس‬,‫ َج ِميعًا‬karena di sini mukhatabnya adalah ‫ الناس‬dan ‫ الناس‬masuk di dalamnya jin dan juga
manusia.

‫ِإِّن ي َر ُسوُل ِهّللا ِإَلْي ُك ْم‬

‫ ِإَلْي ُك ْم‬juga di sini, ‫ ُك ْم‬kembali kepada ‫ الناس‬berarti untuk jin dan juga manusia, apalagi dikuatkan
dengan kalimat ‫ َج ِميعًا‬semuanya. Maka setiap jin dan setiap manusia yang datang setelah
diutusnya Nabi ‫ ﷺ‬dan dia masih hidup setelah diutusnya Nabi ‫ ﷺ‬dan dia mendengar
kedatangan Beliau maka kewajiban mereka adalah beriman dengan Rasulullah ‫ ﷺ‬dan
mentaati Beliau ‫ﷺ‬.

Ini adalah untuk seluruh manusia. Tidak boleh ada diantara mereka yang keluar dari
ketaatan kepada Beliau. Bahkan seandainya dia adalah pengikut Nabi sebelumnya,
kaumnya Nabi Musa misalnya , Bani Israil, atau kaumnya nabi Saleh misalnya, atau
kaumnya Nabi Hud misalnya, atau yang lain. Kaum yang sebelumnya mereka diutus kepada
mereka Nabi yang khusus untuk mereka, seandainya sekarang setelah diutusnya Nabi
‫ ﷺ‬mereka hidup, ada diantara mereka yang hidup dan mendengar tentang kedatangan
Beliau, kewajiban bagi mereka adalah mengikuti dan taat kepada Rasulullah ‫ﷺ‬, mereka
termasuk yang harus beriman dengan Beliau ‫ﷺ‬.

‫َي ا َأُّيَه ا الَّن اُس ِإِّن ي َر ُسوُل ِهّللا ِإَلْي ُك ْم َج ِميعًا‬

Untuk semuanya, meskipun Beliau ‫ ﷺ‬tinggalnya hanya di Jazirah Arab, tapi risalah
Beliau ‫ ﷺ‬adalah risalah untuk semuanya, bukan hanya untuk orang Arab, bukan hanya
untuk orang Mekah, bukan hanya untuk orang Madinah saja, untuk semuanya. Maka wajib
bagi yang lain untuk mengikuti syariat Beliau ‫ ﷺ‬meskipun dia sebelumnya adalah
pengikut bagi Nabi sebelumnya, sekarang harus dia mengikuti.

Halaqah 82 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Rasulullah Diutus Untuk


Seluruh Jin dan Manusia Bagian 3

Di dalam sebuah hadist, Nabi ‫ ﷺ‬mengatakan,

‫ ِإاَّل َك اَن ِمْن‬،‫ ُثَّم َي ُموُت َو َلْم ُيْؤ ِمْن ِباَّلِذي ُأْر ِس ْلُت ِبِه‬، ‫ َو اَل َن ْص َر اِنٌّي‬، ‫ اَل َي ْس َم ُع ِبي َأَح ٌد ِمْن َهِذِه اُأْلَّمِة َيُهوِدٌّي‬،‫َو اَّلِذي َن ْف ُس ُم َح َّمٍد ِبَي ِدِه‬
‫َأ‬
‫ْص َح اِب الَّن اِر‬

Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang diriku, yaitu
diutusnya diriku, seorang pun diantara umat ini baik dia adalah orang Yahudi maupun orang
Nasrani kemudian dia tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya kemudian dia
meninggal dunia, kecuali dia termasuk penduduk neraka.

Beliau awali ucapan Beliau ‫ ﷺ‬dengan sumpah,

‫َو اَّلِذي َن ْف ُس ُم َح َّمٍد ِبَيِدِه‬

Dan Beliau ‫ ﷺ‬adalah Ash-Shadiqul Masduq, seandainya Beliau ‫ ﷺ‬tidak bersumpah


kita percaya dengan ucapan Beliau ‫ﷺ‬.

Kenapa Beliau awali dengan sumpah? Ingin menekankan apa yang Beliau sampaikan.

Tidak semua ucapan Beliau diawali dengan sumpah. Kalau Beliau sampai mengawali
dengan sumpah, berarti ini perkara yang besar.
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang diriku, yaitu
diutusnya diriku, seorang pun di antara umat ini baik dia adalah orang Yahudi maupun orang
Nasrani, mendengar kedatangan Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬dan keduanya mengaku sebagai
pengikut para nabi, mengikuti Nabi Musa atau mengikuti Nabi ‘Isa (dan Nabi Musa dan Nabi
‘Isa diutus oleh Allah ‫ ﷻ‬juga) kemudian dia meninggal dunia, padahal sudah mendengar
kedatangan Nabi,

‫َأ‬ ‫ُأ‬
‫ ِإاَّل َك اَن ِمْن ْص َح اِب الَّن اِر‬،‫َو َلْم ُيْؤ ِمْن ِباَّلِذي ْر ِس ْلُت ِبِه‬

Kemudian dia tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk
penduduk neraka.

Mendengar kedatangan Nabi ‫ ﷺ‬kemudian meninggal dunia dan tidak beriman dengan
risalah Beliau ‫ﷺ‬, mengingkari risalah Beliau ‫ﷺ‬, tidak mau mengucapkan

‫َاْش َه ُد َاَّن ُم َح َّم ًد الَّر ُسوُل ِهللا‬

Bersaksi bahwasanya Beliau ‫ ﷺ‬adalah Rasulullah tidak mau, maka dia tempat
kembalinya adalah neraka, meskipun sebelumnya dia mengikuti seorang Nabi, sudah
selama bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun mungkin dia mengikuti seorang Nabi dengan
agama atau dengan kitab yang dibawa oleh Nabi tersebut, kalau setelah kedatangan Nabi
‫ ﷺ‬dia tidak beriman dengan risalah Beliau, ‫ ﷺ‬maka tempat kembalinya adalah
neraka.

Ini keadaan orang yang sebelumnya mengaku mengikuti Nabi kemudian setelahnya dia
tidak beriman dengan Rasulullah ‫ﷺ‬.

Karena risalah Beliau ‫ ﷺ‬adalah umum untuk semuanya, bukan hanya untuk orang Arab
saja tapi termasuk diantaranya Bani Israil. Kewajiban mereka adalah beriman dengan
Rasulullah ‫ﷺ‬.

Jangankan umatnya, jangankan Yahudinya dan juga Nasraninya, seandainya Nabi yang
mereka ikuti dan mereka menganggap mereka adalah pengikutnya Nabi tersebut, sekarang
masih hidup, maka Nabi tersebut wajib untuk mengikuti Rasulullah ‫ﷺ‬, mereka masuk
dalam kalimat ‫الناس‬

‫َي ا َأُّيَه ا الَّن اُس ِإِّن ي َر ُسوُل ِهّللا ِإَلْي ُك ْم َج ِميعًا‬

Di dalam sebuah hadist, Nabi ‫ ﷺ‬mengatakan tentang Nabi Musa ‘Alaihissalam, Beliau
mengatakan,
‫َلْو َأَّن ُموَس ى َك اَن َح ًّي ا َم ا َو ِس َع ُه ِإاَّل َأْن َي َّت ِبَع ِني‬

Seandainya Nabi Musa ‘Alaihissalam dalam keadaan hidup, niscaya tidak akan luas bagi
beliau kecuali harus mengikuti diriku.

Ini diucapkan oleh Nabi ‫ ﷺ‬ketika saat itu Beliau ‫ ﷺ‬melihat Umar Bin Khatab ada
lembaran bersama beliau dan itu adalah lembaran diantara lembaran-lembaran Taurat,
maka Nabi ‫ ﷺ‬marah, kemudian Beliau ‫ ﷺ‬mengatakan,

‫َأِفي َش ٍّك َأْن َت َي ا ْب َن الَخ َّط اِب؟‬

Apakah engkau dalam keadaan ragu wahai Umar Bin Khatab?

‫َأَلْم آِت ِبَه ا َب ْي َض اُء َن ِقَّيٌة ؟‬

Bukankah aku telah datang dengan syari’at ini, dengan syari’at yang putih dan bersih?

‫َلْو َك اَن َأِخْي ُمْو َس ى َح ًّي ا َم ا َو ِس َع ُه ِإَّال اِّت َباِع ي‬

Seandainya saudaraku, yaitu Musa, sekarang ini masih hidup, yang diturunkan kepada
Beliau Taurat ini, seandainya dia masih hidup,

‫َم ا َو ِس َع ُه ِإَّال اِّت َباِع ي‬

Maka tidak luas bagi beliau kecuali harus mengikuti diriku.

Nabinya saja seandainya menemui Nabi ‫ ﷺ‬maka harus mengikuti Nabi ‫ﷺ‬, karena
risalah Beliau adalah untuk seluruh manusia, bukan hanya sekedar untuk kaum Beliau saja
yaitu orang-orang Arab tetapi untuk seluruh manusia. Sehingga di akhir zaman ketika Allah
‫ ﷻ‬menurunkan Nabi ‘Isa ‘Alaihissalam, karena Beliau menemui zaman Nabi ‫ ﷺ‬dan
mendengar kedatangan Rasul yang terakhir, maka tidak luas bagi Nabi ‘Isa ‘Alaihissalam
kecuali harus mengikuti Nabi Muhammad ‫ﷺ‬.

Sehingga kelak beliau turun di akhir zaman dan syari’at yang beliau pakai bukan syari’atnya
Bani Israil tapi beliau akan menggunakan syari’at Rasulullah ‫ﷺ‬. Cara shalatnya, cara
hajinya, cara umrohnya, cara ibadahnya mengikuti cara Rasulullah ‫ﷺ‬, bukan memakai
cara yang telah diturunkan untuk Bani Israil.

Beliau adalah termasuk Bani Israil, tapi karena menemui syari’at Nabi ‫ ﷺ‬maka beliau
masuk di dalam kalimat ‫ الناس‬dan ini adalah janji yang sudah Allah ‫ ﷻ‬ambil dari para Nabi
dan juga para Rasul semuanya, bukan hanya Musa dan juga ‘Isa tapi seluruh para Rasul
sudah dijanji oleh Allah ‫ ﷻ‬kalau sampai menemui Rasul yang terakhir, menemui Nabi
Muhammad ‫ﷺ‬, maka kewajiban mereka adalah beriman dengan Beliau ‫ ﷺ‬dan
menolong Beliau ‫ﷺ‬.

Halaqah 83 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Rasulullah Diutus Untuk


Seluruh Jin dan Manusia Bagian 4

Allah ‫ ﷻ‬mengatakan,

‫ق ِّلَم ا َمَع ُك ۡم َلُتۡؤ ِم ُنَّن ِبِهۦ َو َلَت نُصُر َّن ُهۚۥ َق اَل َء َأۡق َر ۡر ُتۡم َو َأَخ ۡذ ُتۡم‬ٞ ‫ل ُّمَص ِّد‬ٞ‫َو ِإۡذ َأَخ َذ ٱُهَّلل ِميَٰث َق ٱلَّن ِبۧ‍ِّيَن َلَم ٓا َء اَت ۡي ُتُك م ِّمن ِك َٰت ٖب َو ِح ۡك َمٖة ُثَّم َج ٓاَء ُك ۡم َر ُسو‬
٨١ ‫َع َلٰى َٰذ ِلُك ۡم ِإۡص ِر ۖي َق اُلٓو ْا َأۡق َر ۡر َن ۚا َق اَل َف ٱۡش َه ُد وْا َو َأَن ۠ا َمَع ُك م ِّم َن ٱلَّٰش ِه ِديَن‬
[Ali ‘Imran:81]

Dan ketika Allah ‫ ﷻ‬mengambil perjanjian dari para Nabi, ketika Aku berikan kepada
kalian berupa kitab dan juga hikmah, masing-masing para Nabi diberikan kepada mereka
kitab dan diberikan mereka hikmah, semacam hadis Nabi ‫ﷺ‬

‫ق ِّلَم ا َمَع ُك ۡم‬ٞ ‫ل ُّمَص ِّد‬ٞ‫ُثَّم َج ٓاَء ُك ۡم َر ُسو‬

Kemudian datang kepada kalian seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada bersama
kalian.

Rasul ini, yaitu Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, akan datang dan membenarkan apa yang Aku
berikan kepada kalian. Allah ‫ ﷻ‬memberikan kepada Nabi-Nabi sebelum Nabi
Muhammad ‫ﷺ ِك َٰت ٖب َو ِح ۡك َمٖة‬, Nabi ini akan membenarkan apa yang dibawa oleh kalian.

‫َلُتۡؤ ِم ُنَّن ِبِهۦ َو َلَت نُصُر َّنُهۚۥ‬

Hendaklah kalian beriman dengan Nabi tersebut.


Ini janji yang Allah ‫ ﷻ‬ambil dari para Nabi sebelumnya.

‫َو َلَت نُصُر َّنُه‬


Dan hendaklah kalian menolongnya.

Bukan hanya sekedar beriman tapi menolong Beliau, ikut berperang bersama Beliau
sebagaimana nabi ‘Isa ‘Alaihissalam bukan hanya beriman dengan Nabi ‫ ﷺ‬bahkan
beliau juga ikut berperang memerangi Dajjal.
Bahkan ketika datang Ya’juj dan Ma’juj dan beliau masih hidup, dan dilarang oleh Allah
‫ ﷻ‬untuk berperang langsung dengan mereka karena bukan kemampuan Nabi ‘Isa dan
juga kaum muslimin yang sangat sedikit dibandingkan dengan Ya’juj dan Ma’juj, akhirnya
beliau berdo’a kepada Allah ‫ﷻ‬, meminta kepada Allah ‫ ﷻ‬supaya Allah ‫ﷻ‬
menghancurkan Ya’juj dan Ma’juj. Menolong agama Allah ‫ﷻ‬, menolong Rasulullah
‫ﷺ‬, menolong agama Beliau.

‫َق اَل َء َأۡق َر ۡر ُتۡم َو َأَخ ۡذ ُتۡم َع َلٰى َٰذ ِلُك ۡم ِإۡص ِر ۖي‬

Apakah kalian bersedia, menyetujui, mengambil perjanjian ini?

‫َق اُلٓو ْا َأۡق َر ۡر َن ۚا‬

Kami mengikrarkan.

Ikrar dari para Nabi dan juga para Rasul bahwasanya kalau bertemu dengan Rasulullah
‫ ﷺ‬mereka akan beriman dan akan menolong Beliau ‫ﷺ‬

‫َّٰش‬
‫َق اَل َف ٱۡش َه ُد وْا َو َأَن ۠ا َمَع ُك م ِّم َن ٱل ِه ِديَن‬

Maka Allah ‫ ﷻ‬mengatakan, ‫َف ٱۡش َه ُد وْا‬, hendaklah kalian bersaksi dan Aku bersama kalian
termasuk yang bersaksi.

‫َٰٓل‬
٨٢ ‫َفَم ن َت َو َّلٰى َب ۡع َد َٰذ ِلَك َف ُأْو ِئَك ُه ُم ٱۡل َٰف ِس ُقوَن‬

Maka barangsiapa yang berpaling setelah perjanjian ini mereka adalah orang-orang yang
fasik.
Ini adalah perjanjian yang Allah ‫ ﷻ‬ambil dari para Nabi dan Rasul untuk beriman dengan
Rasulullah ‫ﷺ‬. Jadi kalau para Nabinya saja diwajibkan bagi mereka untuk beriman,
apalagi pengikutnya.

Namanya pengikut mengikuti nabinya.


Ketika ada orang Yahudi dan orang Nasrani setelah kedatangan Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak
beriman dengan Rasulullah ‫ ﷺ‬berarti pada hakikatnya mereka telah tidak beriman
dengan nabi yang telah diutus kepada mereka.
Jadi kalau sekarang mereka mengatakan kami beriman dengan Musa dan juga ‘Isa, ketika
datang Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬tidak beriman, berarti pada hakikatnya mereka telah
mendustakan nabi mereka sendiri. Berarti mereka tidak mengikuti nabi mereka sendiri yaitu
nabi yang telah diutus kepada mereka, dan orang yang tidak mengikuti nabinya atau
mendustakan nabinya maka dia telah keluar dari keimanan.

Halaqah 84 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Agama Islam Telah


Sempurna Bagian 1

Setelah beliau menunjukkan tentang bahwasanya agamanya Rasulullah ‫ ﷺ‬ini adalah


untuk seluruh manusia, beliau menyebutkan tentang kesempurnaan agama ini.

‫وأكمل هللا له الِّد يَن‬

Dan Allah ‫ ﷻ‬telah menyempurnakan bagi Beliau agama ini.

Berarti di sini ingin menta’rif kita tentang Rasulullah ‫ ﷺ‬dari sisi bahwasanya Allah ‫ﷻ‬
telah menyempurnakan untuk Beliau agama Beliau.

3:‫ اْلَي ْو َم َأْك َم ْلُت َلُك ْم ِد يَن ُك ْم َو َأْت َم ْم ُت َع َلْي ُك ْم ِنْع َم ِتي َو َر ِض يُت َلُك ُم اِإلْس َالَم ِدينًا [المائدة‬:‫والدليل قول تعالى‬

Dalilnya adalah Firman Allah ‫ﷻ‬, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama
kalian dan Aku telah sempurnakan atas kalian nikmat-Ku dan Aku ridhoi Islam sebagai
agama bagi kalian.

Ini adalah dalil bahwasanya Allah ‫ ﷻ‬telah menyempurnakan untuk Beliau agama Islam
ini. Hari ini kata Allah ‫ﷻ‬, Aku telah sempurnakan untuk kalian agama kalian.
‫اْلَي ْو َم َأْك َم ْلُت َلُك ْم ِد يَن ُك ْم‬

Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.

Siapa yang menyempurnakan di sini? Allah ‫ﷻ‬. Dia-lah yang mengabarkan tentang
kesempurnaan agama ini. Yang mengetahui segala sesuatu, Yang mengetahui apa yang
telah berlalu dan apa yang akan datang, mengetahui apa yang akan terjadi, yang akan
menimpa manusia berupa perubahan-perubahan dari masa ke masa, sehingga mereka
mencapai pada zaman berikutnya teknologi yang lebih modern. Itu Allah ‫ ﷻ‬tahu
semenjak azal dan ternyata Allah ‫ ﷻ‬mengabarkan di sini.

‫اْلَي ْو َم َأْك َم ْلُت َلُك ْم ِد يَن ُك ْم‬

Hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.

Sempurna, berarti seluruh apa yang terjadi setelah itu di setiap tempat, di setiap zaman
pasti ada penyelesaiannya di dalam agama Islam. Dia adalah sempurna bisa dipraktekkan
dan diamalkan di setiap tempat dan di setiap zaman, di Indonesia maupun di luar Indonesia,
di Afrika maupun di Amerika, semuanya bisa. Jangan ada yang mengatakan bahwasanya
Islam ini tidak cocok untuk diamalkan di Indonesia atau tidak cocok diamalkan di Afrika.

Allah ‫ﷻ‬, Dia-lah yang menggambarkan tentang kesempurnaan agama ini, sempurna
dengan sebenar-benarnya kesempurnaan, bisa diamalkan di semua tempat, barangsiapa
yang mengamalkan Islam maka dia akan bahagia dan akan baik kehidupannya.

‫اْلَي ْو َم َأْك َم ْلُت َلُك ْم ِد يَن ُك ْم‬

Allah ‫ ﷻ‬yang telah mengabarkan dan tidak ada yang lebih benar ucapannya daripada
Allah ‫ﷻ‬.

٨٧ ‫َو َم ۡن َأۡص َد ُق ِمَن ٱِهَّلل َح ِديٗث ا‬


١٢٢ ‫َو َم ۡن َأۡص َد ُق ِمَن ٱِهَّلل ِقياٗل‬

Tidak ada yang lebih benar ucapannya daripada ucapan Allah ‫( ﷻ‬An-Nisaa’).

Kesempurnaan sebuah agama, ini adalah kenikmatan tersendiri bagi pemeluk agama
tersebut. Agama ini adalah jalan hidup dan kehidupan kita ini kompleks. Kehidupan kita
berkaitan dengan ekonomi, keluarga, pendidikan, dan berbagai macam termasuk
diantaranya adalah politik, kepemimpinan, hubungan antara laki-laki dan wanita, hubungan
antara orang tua dengan anak, kesehatan. Kehidupan kita adalah kehidupan yang
kompleks, penuh dengan hal dan juga perkara.

Dan agama yang sempurna adalah agama yang di dalamnya ada aturan terhadap
semuanya itu. Dan ternyata Alhamdulillah di dalam agama Islam kita akan dapatkan seluruh
aturan tersebut dan ternyata seluruh bidang kehidupan kita diatur oleh Allah ‫ﷻ‬, sampai
perkara yang paling kecil yang mungkin tidak dibayangkan oleh pemeluk agama yang lain,
yaitu masalah buang air kecil, buang air besar, ternyata di dalam agama Islam ada
aturannya.

Halaqah 85 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Agama Islam Telah


Sempurna Bagian 2

Orang-orang Yahudi ketika mereka mendengar tentang turunnya ayat ini,

3:‫اْلَي ْو َم َأْك َم ْلُت َلُك ْم ِد يَن ُك ْم َو َأْت َم ْم ُت َع َلْي ُك ْم ِنْع َم ِتي َو َر ِض يُت َلُك ُم اِإلْس َالَم ِدينًا [المائدة‬

Mereka mengatakan kepada Umar Bin Khatab,

‫ لو نزلت علينا معشر اليهود التخذنا ذلك اليوم عيدا‬،‫ آية في كتابكم تقرؤونها‬،‫يا أمير المؤمنين‬

Wahai Amirul Mu’minin, yaitu Umar Bin Khattab, sebuah ayat di dalam Kitab kalian, yaitu di
dalam Al-Qur’an, seandainya, yang kalian membacanya, turun ayat tersebut kepada kami
orang-orang Yahudi, niscaya kami akan menjadikan hari turunnya Ayat itu sebagai hari raya,

‫ أي آية؟‬:‫قال‬

Umar mengatakan ayat apa yang kau maksud? Yang seandainya itu turun kepada kalian,
kalian akan menjadikan itu sebagai hari raya kalian.

‫ {اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم اإلسالم دينا‬:‫قال‬

Hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku sempurnakan nikmat-Ku
atas kalian dan Aku ridhoi Islam sebagai agama kalian.
Ini adalah ayat yang dimaksud oleh orang Yahudi itu.

‫ قد عرفنا ذلك اليوم‬:‫قال عمر‬

Umar mengatakan kami telah mengetahui ‫ اليوم‬yang dimaksud oleh Allah ‫اليوم أكملت‬, hari
tersebut kami tahu,

‫والمكان الذي نزلت فيه على النبي صلى هللا عليه وسلم‬

Bahkan kami juga mengetahui tempatnya, bukan hanya harinya saja, tempatnya ketika turun
ayat ini kami tahu.

Karena tadi orang Yahudi mengatakan seandainya itu turun kepada kami, kami jadikan
harinya sebagai hari raya dan Umar menjawab kami tahu harinya bahkan kami tahu tentang
tempatnya.

‫وهو قائم بعرفة يوم جمعة‬

Beliau ‫ ﷺ‬dalam keadaan berdiri di Arafah, yaitu wukuf di Arafah, ‫ يوم جمعة‬harinya adalah
hari Jum’at. (Shahih Al-Bukhary no. 45, 4145، 4330، 6840)

Jadi hari Jum’at di Arafah, itulah waktu dan tempat turunnya ayat ini.

Syahidnya di sini bagaimana orang Yahudi berkeinginan seandainya agama ini adalah
agama yang sempurna sebagaimana agama yang dimiliki oleh umat Islam dan di dalam
hadist yang lain ada orang yang berkata kepada Salman dan mereka adalah orang-orang
Yahudi.

‫َقْد َع َّلَم ُك ْم َن ِبُّيُك ْم َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ُك َّل َش ْي ٍء َح َّت ى اْلِخَر اَء َة‬

Sungguh Nabi kalian telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai al-khira’ah
(tata cara buang air), sampai perkara demikian diajarkan?

‫َق اَل َفَقاَل َأَج ْل‬


Maka Salman mengatakan “Iya”, dengan bangganya dia mengatakan iya, sungguh Beliau
‫ ﷺ‬telah mengajarkan kepada kami segala sesuatu.

‫َلَقْد َن َه اَن ا َأْن َن ْس َت ْق ِبَل اْلِقْب َلَة ِلَغاِئٍط َأْو َب ْو ٍل‬

Beliau telah melarang kami untuk mengarahkan diri kami ke arah kiblat ketika buang air
besar maupun buang air kecil.

Jadi para ulama berselisih pendapat larangan ini khusus orang yang berada di luar yaitu di
luar gedung, di luar bangunan atau masuk di dalamnya orang yang buang air kecil atau
buang air besar berada di dalam bangunan. Ini ada khilaf diantara para ulama.
Jelas di sini diatur, sampai arahnya diatur karena kiblat di sana ada Baitullah,

‫َأْو َأْن َن ْس َت ْن ِج َي ِباْلَي ِمْي ِن‬

Dan Beliau melarang kami untuk ber’istinja dengan tangan kanan.

‫َأْو َأْن َن ْس َت ْن ِج َي َب َأَق َّل ِمْن َثاَل َث ِة َأْح َج اٍر‬

Dan melarang kami untuk beristinja dengan kurang dari 3 batu.

Bisa istinja dengan batu tapi tidak boleh kurang dari 3. Allah ‫ ﷻ‬tahu kalau kurang dari 3
demikian dan demikian, itu Allah ‫ ﷻ‬tahu dan itu di bawah ilmu Allah ‫ﷻ‬, mungkin kita
tidak tahu hikmahnya tapi kalau sudah lebih dari 3 maka ini sudah sah dianggap seseorang
dalam keadaan suci.

‫َأ ْظ‬ ‫َأ َأ‬


‫ْو ْن َن ْس َت ْن ِج َي َبَر ِج ْي ٍع ْو ِبَع ٍم‬

Dan dilarang kita untuk beristinja dengan roji’ atau dengan ‘adzm.
(HR. At-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir, II/155-156 no. 1647 dan Silsilah al-Ahaadits ash-
Shahihah no. 1803).

Roji’ adalah kotoran hewan yang sudah kering, tidak boleh menggunakan kotoran hewan
yang sudah kering, atau dengan tulang juga tidak diperbolehkan.
Ini semuanya diatur di dalam agama kita. Kalau sesuatu yang remeh saja seperti ini lengkap
diatur di dalam agama kita, lalu bagaimana dengan perkara yang lebih besar dari pada ini.

Halaqah 86 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Agama Islam Telah


Sempurna Bagian 3

‫ اْلَي ْو َم َأْك َم ْلُت َلُك ْم ِد يَن ُك ْم‬:‫والدليل قول تعالى‬

Hari ini telah Ku-sempurnakan atas kalian agama kalian.

Turun di hari Arafah, di hari Jum’at. Karena di hari Arafah, di situlah jamaah Haji melakukan
wukuf, dan wukuf ini adalah rukun yang paling akbar dari Haji.

Nabi ‫ ﷺ‬mengatakan Al-Hajju Arafah, Haji itu adalah Arafah. Haji itu wukuf di Arafah.
Maksudnya wukuf ini adalah rukun yang paling besar dari Haji. Waktunya dari habis Dzuhur
sampai Subuh hari berikutnya, tanggal 9 Dzulhijjah dari Dzuhur sampai Subuh hari
berikutnya. Ini adalah waktu untuk wukuf.

Kalau sampai ada orang yang misalnya dia naik sepeda, bannya sering bocor misalnya,
ternyata dia sampai di sana, sampai di Makkah jam 8 pagi tanggal 10 berarti dia tidak dapat
Haji tahun tersebut, karena Haji itu Arafah.

Maka meskipun perjalanan naik sepeda tadi 3 bulan, 4 bulan, kalau memang dia tidak
mendapatkan wukuf di Arafah maka dia tidak berhaji tahun tersebut, diganti hajinya dengan
umrah, dia lanjutkan amalan-amalannya dengan umrah dan dia tidak mendapatkan Haji,
karena Haji adalah Arafah.

Berarti rukun yang paling besar dari Haji adalah Arafah. Kalau yang lain seperti misalnya
tawaf ifadah, waktunya luas, bisa dilakukan di hari tanggal 10 atau tanggal 11 atau
setelahnya atau ketika dia akan pulang ke Indonesia. Tapi kalau wukuf di Arafah ini
waktunya sangat terbatas sekali.

Karena ini, wukuf di Arafah di situlah rukun haji. Berarti kalau sudah dilakukan wukuf di hari
tersebut berarti sempurna hajinya, tinggal dia melengkapi setelah itu.
Kalau dia bisa datang di Arafah ini jam Ashar misalnya, Alhamdulillah berarti dia bisa
mendapatkan Haji tahun tersebut. Kalau ketinggalan yang lain masih bisa diganti dengan
dam, bisa diganti dengan yang lain, tapi kalau wukuf di Arafah ini tidak bisa.

Makanya Allah ‫ ﷻ‬mengatakan,

‫اْلَي ْو َم َأْك َم ْلُت َلُك ْم ِد يَن ُك ْم‬

Hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.

Karena dengan datangnya waktu wukuf saat itu berarti sudah sempurna syari’at Haji dan
syari’at Haji ini adalah rukun Islam yang terakhir, yang ke lima. Dan dengan datangnya
wukuf berarti sudah sempurna rukun Islam yang ke lima.

Dari semuanya, syahadatain, shalat, puasa, zakat, semuanya sudah disempurnakan oleh
Allah ‫ﷻ‬, karena lima perkara ini adalah rukun dari Islam, sehingga Allah ‫ﷻ‬
mengatakan,

‫اْلَي ْو َم َأْك َم ْلُت َلُك ْم ِد يَن ُك ْم‬

Pada hari ini, karena hari itu adalah hari wukuf dan wukuf ini adalah rukun haji yang paling
besar, dengan demikian sempurna Haji. Kalau sempurna Haji berarti seluruh rukun Islam
telah disempurnakan oleh Allah ‫ﷻ‬.

‫َو َأْت َم ْم ُت َع َلْي ُك ْم ِنْع َم ِتي‬

Dan Aku telah sempurnakan atas kalian nikmat-Ku.

Karena kesempurnaan agama, sekali lagi, dia adalah bagian dari nikmat. Apa yang antum
perlukan ada, itu nikmat. Antum punya masalah apa saja ada penyelesaiannya di dalam
agama ini, itu adalah kenikmatan tersendiri.

‫َو َر ِض يُت َلُك ُم اِإلْس َالَم ِدينًا‬

Dan Aku telah ridhoi bagi kalian Islam sebagai agama bagi kalian.
Sudah diridhoi oleh Allah ‫ ﷻ‬dan ridho Allah ‫ ﷻ‬adalah sesuatu yang sangat berharga.
Dan Allah ‫ ﷻ‬telah meridhoi Islam ini sebagai agama bagi kita semuanya. Maka ini adalah
dalil yang menunjukkan tentang bahwasanya Allah ‫ ﷻ‬telah menyempurnakan agama
Islam untuk Rasulullah ‫ﷺ‬, yang Beliau adalah pengemban amanat dan Beliau adalah
yang menyampaikan agama ini kepada manusia.

Halaqah 87 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Dalil Wafatnya


Rasulullah Bagian 1

Beliau mendatangkan tentang dalil kematian, wafatnya, Nabi ‫ ﷺ‬karena sebelumnya


beliau menyebutkan,

‫ وبعدها توفي ﷺ‬، ‫أخذ على هذا عشر سنيَن‬

Kemudian beliau menjelaskan tentang,

‫ودينه باٍق‬

Kemudian mengakhirkan penyebutan dalil wafatnya Nabi ‫ﷺ‬, ini yang ingin beliau
sebutkan dalilnya, dalil bahwasanya Nabi ‫ ﷺ‬telah meninggal dunia, karena ada
sebagian manusia yang mengingkari tentang kematian Nabi ‫ﷺ‬

Keyakinan yang shahih, keyakinan yang benar, keyakinan umat Islam yang berdasarkan
dalil, baik Al-Qur’an maupun hadist ataupun ijma’ para sahabat menunjukkan bahwasanya
Nabi ‫ ﷺ‬telah meninggal, makanya kita harus yakin bahwasanya Beliau meninggal dunia.

Apakah ini bentuk perendahan dan penghinaan kepada Nabi ‫ ?ﷺ‬Justru ini adalah
pemuliaan kepada Beliau ‫ﷺ‬, karena kalau kita meyakini Beliau telah meninggal dunia
berarti kita meyakini Al-Quran yang Beliau ‫ ﷺ‬bawa dan Beliau sampaikan kepada kita.

Al-Qur’an mengatakan semua manusia akan meninggal dan Al-Qur’an mengatakan


bahwasanya Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬akan meninggal dunia. Makanya ketika kita
mengatakan dan membenarkan Beliau ‫ ﷺ‬telah meninggal dunia, berarti kita telah
memuliakan dan membenarkan ucapan Beliau ‫ﷺ‬. Ijma’ para sahabat menyatakan
bahwasanya Beliau ‫ ﷺ‬telah meninggal dunia, dan ijma’ para sahabat ini adalah haq
yang wajib kita ikuti dan inilah yang diperintahkan oleh Allah ‫ ﷻ‬dan kalau kita menyelisihi
ijma’, sesat, sebagaimana firman Allah ‫ﷻ‬

‫َو َم ن ُيَش اِقِق ٱلَّر ُسوَل ِم ۢن َب ۡع ِد َم ا َت َبَّيَن َلُه ٱۡل ُهَد ٰى َو َي َّت ِبۡع َغ ۡي َر َس ِبيِل ٱۡل ُم ۡؤ ِمِنيَن‬
Dan dia mengikuti jalan selain jalannya orang-orang yang beriman.

115:‫ُنَو ِّلِهۦ َم ا َت َو َّلٰى َو ُنۡص ِلِهۦ َج َه َّن َۖم َو َس ٓاَء ۡت َمِص يًر ا النساء‬

Maka Kami akan memalingkan dia sesuai dengan keinginan dia.

‫َو ُنۡص ِلِهۦ َج َه َّن َۖم‬

Dan Kami akan memasukkan dia ke dalam Jahannam dan itu adalah sejelek-jelek tempat
kembali.

Para ulama berdalil dengan ayat ini tentang wajibnya mengikuti ijma’.

‫َو َي َّت ِبۡع َغ ۡي َر َس ِبيِل ٱۡل ُم ۡؤ ِمِنيَن‬

Dan menunjukkan tentang haramnya orang yang menyelisihi ijma’, dan ijma’ para sahabat
semuanya mengatakan bahwasanya Nabi ‫ ﷺ‬telah meninggal dunia.

Abu Bakar ‫ رضي هللا عنه‬ketika meninggal Rasulullah ‫ ﷺ‬dan saat itu ada sebagian sahabat
yang tidak percaya dengan kematian Nabi ‫ﷺ‬, diantaranya adalah Umar ‫رضي هللا عنه‬
mengatakan bahwasanya orang yang mengatakan bahwa Muhammad ‫ ﷺ‬meninggal
dunia maka aku akan memenggal lehernya.

Disebutkan di dalam Shahih Bukhari saat itu manusia tidak berani mereka berucap di
hadapan Umar, meskipun mereka tahu Rasulullah ‫ ﷺ‬sudah meninggal dunia, takut
dipenggal lehernya oleh Umar ‫رضي هللا عنه‬.

Abu Bakar yang saat itu baru datang dari luar, melihat manusia berkumpul ada Umar
sedang berbicara, maka Abu Bakar dengan tenang beliau masuk ke dalam rumah
Rasulullah ‫ ﷺ‬kemudian beliau membuka wajah Nabi ‫ ﷺ‬dan meyakinkan dirinya
bahwasanya Nabi ‫ ﷺ‬telah meninggal, kemudian beliau mencium bau yang wangi dari
Nabi ‫ ﷺ‬dan mengatakan,

‫ِط ْبَت َح ًّي ا َو َم ِّي ًت ا‬


Engkau wangi, baik dalam keadaan hidup maupun setelah meninggal.

Ditutup oleh Abu Bakar ‫ رضي هللا عنه‬kemudian beliau menuju kepada Umar dan juga manusia,
keluarlah beliau dari rumah Aisyah ‫ رضي هللا عنها‬putrinya dan Umar saat itu masih berbicara
kepada manusia.

‫ اْج ِلْس‬: ‫َفَقاَل‬

Maka Abu Bakar berani mengatakan duduk kamu.

‫َف َأَب ى‬
Umar tidak mau duduk.

‫ اْج ِلْس‬: ‫َفَقاَل‬


Duduk.

‫َف َأَب ى‬
Dia tidak mau.

Kemudian akhirnya Abu Bakar langsung memulai khutbahnya, memulai penjelasan dari
beliau, maka akhirnya manusia condong kepada Abu Bakar.

‫َو َت َر ُك وا ُع َمَر‬
Dan mereka meninggalkan Umar.

‫ َأَّما َب ْع ُد‬: ‫َفَقاَل‬

Maka beliau mengatakan adapun setelah itu,

‫ َفِإَّن ُم َح َّم ًد ا َقْد َم اَت‬، ‫َفَم ْن َك اَن ِم ْنُك ْم َي ْع ُبُد ُم َح َّم ًد ا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬

Barang siapa diantara kalian yang menyembah kepada Muhammad ‫ﷺ‬, ini ucapan yang
besar dan ucapan yang muwaffaq dari Abu Bakar As-Siddiq, yang mengetarkan hati
manusia saat itu.
Barangsiapa diantara kalian yang menyembah Muhammad ‫ﷺ‬, ketahuilah bahwasanya
Muhammad ‫ ﷺ‬telah meninggal dunia.

‫َو َم ْن َك اَن َي ْع ُبُد َهَّللا َفِإَّن َهَّللا َح ٌّي َال َي ُموُت‬

Dan barangsiapa yang menyembah kepada Allah ‫ﷻ‬, maka Allah ‫ ﷻ‬Dia-lah yang
Maha Hidup dan Allah ‫ ﷻ‬tidak akan meninggal.

Kalian menyembah Allah ‫ ﷻ‬atau menyembah Muhammad ‫ﷺ‬, kalau menyembah


Muhammad ‫ﷺ‬, Muhammad ‫ ﷺ‬telah meninggal dunia, tapi kalau menyembah Allah
‫ ﷻ‬maka Allah ‫ ﷻ‬Dia-lah yang Maha Hidup dan Dia tidak akan meninggal dunia.
Beliau ingin menjelaskan kepada manusia bahwasanya Muhammad telah meninggal dunia.

Halaqah 88 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Dalil Wafatnya


Rasulullah Bagian 2

Kemudian Abu Bakar membacakan firman Allah,


‫ﷻ‬

‫َق اَل ُهَّللا تعالى‬


‫ل َق ۡد َخ َلۡت ِمن َقۡب ِلِه ٱلُّر ُس ُۚل َأَفِإْين َّم اَت َأۡو ُقِتَل ٱنَقَلۡب ُتۡم َع َلٰٓى َأۡع َٰق ِبُك ۚۡم َو َم ن َي نَقِلۡب َع َلٰى َع ِقَب ۡي ِه َف َلن َيُضَّر ٱَهَّلل َش ٗٔ‍ۡي ۗا َو َس َي ۡج ِز ي‬ٞ‫َو َم ا ُم َح َّم ٌد ِإاَّل َر ُسو‬
‫َّٰش‬
‫ٱُهَّلل ٱل ِك ِر يَن‬
[Aali ‘Imran:144]

‫ل َق ۡد َخ َلۡت ِمن َقۡب ِلِه ٱلُّر ُس ُۚل‬ٞ‫َو َم ا ُم َح َّم ٌد اَّل َر ُسو‬


‫ِإ‬

Dan tidaklah Muhammad kecuali dia adalah seorang Rasul.

‫َق ۡد َخ َلۡت ِمن َق ۡب ِلِه ٱلُّر ُس ُۚل‬

Telah berlalu sebelumnya para Rasul yang lain.

Bukankah kita meyakini bahwasanya Musa telah meninggal dunia?


Bukankah kita meyakini bahwasanya Ibrahim telah meninggal dunia?
Bukankah kita meyakini bahwasanya Shaleh, Hud, telah meninggal dunia?
Muhammad ‫ ﷺ‬ini adalah Rasul seperti telah berlalu sebelum Beliau para Rasul dan
semuanya meninggal dunia, kecuali Nabi ‘Isa ‘Alaihissalam. Allah ‫ ﷻ‬kehendaki Beliau
untuk hidup dan akan diturunkan di akhir zaman.

‫ل َق ۡد َخ َلۡت ِمن َقۡب ِلِه ٱلُّر ُس ُۚل‬ٞ‫َو َم ا ُم َح َّم ٌد اَّل َر ُسو‬


‫ِإ‬
‫َأَفِإْين َّم اَت َأۡو ُقِتَل ٱنَقَلۡب ُتۡم َع َلٰٓى َأۡع َٰق ِبُك ۚۡم‬

Apakah seandainya Beliau ‫ ﷺ‬meninggal dunia atau Beliau ‫ ﷺ‬terbunuh kemudian


kalian kembali mundur, kembali murtad?

Kita menyembah kepada Allah ‫ ﷻ‬bukan menyembah kepada Muhammad ‫ﷺ‬. Beliau
‫ ﷺ‬meninggal seperti meninggalnya Rasul-Rasul sebelumnya. Jadi seandainya Beliau
‫ ﷺ‬meninggal dunia maka ini tidak sampai mengguncangkan keimanan seseorang,
sampai menghilangkan keimanan seseorang, tapi dia beriman.

Beliau ‫ ﷺ‬adalah Rasul seperti Rasul-rasul yang lain, yang meninggal dunia.
Maka Ibnu Abbas menceritakan,

‫ َفَم ا َأْس َم ُع َب َش ًر ا ِمَن الَّن اِس ِإاَّل َي ْتُلوَه ا‬، ‫ َفَت َلَّقاَه ا ِم ْن ُه الَّن اُس ُكُّلُهْم‬، ‫َو ِهَّللا َلَك َأَّن الَّن اَس َلْم َي ْع َلُموا َأَّن َهَّللا َأْن َز َل َهِذِه اآلَي َة َح َّت ى َتَالَه ا َأُبو َب ْك ٍر‬

Demi Allah ‫ﷻ‬, kata Abdullah Ibnu Abbas, sepertinya manusia saat itu tidak mengetahui
bahwasanya Allah ‫ ﷻ‬menurunkan ayat ini sampai dibaca oleh Abu Bakar As-Siddiq.
Padahal mereka sudah mendengarnya.

Cuma, kematian Nabi bukan kematian yang biasa. Mereka sangat cinta kepada Rasulullah
‫ﷺ‬, mereka merasa hidup mereka menjadi terang benderang. Madinah ini menjadi terang
benderang dengan kehadiran Beliau. ‫ﷺ‬
Ketika meninggal dunia maka mereka ditimpa oleh rasa sedih yang luar biasa sampai
mungkin ayat-yang sebenarnya mereka sudah baca sebelumnya, ketika Abu Bakar As-
Siddiq membaca di hadapan mereka seakan-akan mereka baru mendengarnya pertama
kali.

Maka disebutkan di sini bahwasanya manusia saat itu kemudian mereka membaca ayat
tadi, meyakinkan pada dirinya bahwasanya Muhammad ‫ ﷺ‬ini adalah yang sangat dia
cintai, yang sangat dia rindukan, dan sangat bersyukur kepada Beliau ‫ ﷺ‬dengan sebab
Beliau ‫ ﷺ‬mereka mendapatkan hidayah. Beliau ‫ ﷺ‬adalah manusia seperti yang lain
pasti akan meninggal dunia dan akan berpisah.
Ini menunjukkan yang pertama tentang keutamaan Abu Bakar As-Siddiq. Allah ‫ ﷻ‬berikan
beliau ketenangan plus ketegasan. Kalau memang ini adalah haq, maka beliau tidak takut
untuk menyampaikan itu kepada manusia meskipun di depan orang seperti Umar. Beliau
punya ketegasan.

Kemudian diantara faidah yang bisa kita ambil di sini, tentang ilmu beliau. Jadi banyak saat
itu perkara-perkara yang diperselisihkan oleh manusia bisa diselesaikan dengan baik oleh
Abu Bakar As-Siddiq, dengan ilmu yang beliau miliki, ini salah satu diantaranya.

Ketika manusia berselisih pendapat tentang perkara yang besar, yaitu siapa yang menjadi
khalifah setelah Rasulullah ‫ﷺ‬, berkumpul Muhajirin dan Anshar sampai diantara mereka
ada yang mengatakan ‘minna amirun wa minkum amir’ kita punya Amir kalian juga punya
Amir.
Jadi orang-orang Muhajirin mengangkat Amir dan orang-orang Anshar juga mengangkat
Amir. Perkara yang besar yaitu berselisih tentang siapa yang berhak untuk menjadi khalifah
setelah Rasulullah ‫ﷺ‬. Yang memecahkan adalah Abu Bakar. Beliau mengatakan
kepada manusia bahwasanya beliau mendengar dari Nabi ‫ﷺ‬

‫ْاَألِء َّم ُة ِمْن ُقَر ْي ٍش‬

Para imam itu adalah dari Quraisy.

Para pemimpin, para khulafa’ adalah dari Quraisy. Bukan karena beliau ingin mengangkat
beliau sebagai Imam, sebagai khalifah, beliau menyampaikan apa yang didengar dari Nabi
‫ﷺ‬.

Nabi ‫ ﷺ‬mengatakan ‘An-Naas, taba’un li Quraisy, muslimuhum li muslimihim wa


kafiruhum li kafirihim’. Manusia, ini mengikuti orang-orang Quraisy, maksudnya adalah di
dalam masalah kepemimpinan.
Orang-orang Islam maka mereka menjadikan orang-orang Quraisy sebagai pemimpin
mereka, khalifah mereka adalah orang-orang Quraisy. Selama di sana masih ada orang
Quraisy yang dia berhak untuk menjadi seorang pemimpin maka dia harus didahulukan
daripada yang lain.
Seandainya tersisa dua orang, satunya orang Quraisy dan satunya bukan orang Quraisy,
dan yang orang Quraisy sini dia punya sifat-sifat yang dengannya dia berhak menjadi
seorang pemimpin maka kita harus mendahulukan orang Quraisy. Karena Nabi ‫ﷺ‬
menganjurkan dan mengatakan bahwa imam-imam itu adalah dari Quraisy.
Jadi mereka adalah pemimpin termasuk ketika di zaman Jahiliyah orang-orang Quraisy ini
sudah menjadi yang dikedepankan, yang didahulukan, makanya Nabi ‫ ﷺ‬mengatakan
‘muslimuhum li muslimihim wa kafiruhum li kafirihim’, mereka memang semenjak zaman
jahiliyah sudah diutamakan dan sudah dikedepankan.

Ketika mereka Islam pun Allah ‫ ﷻ‬masih memuliakan mereka, menjadikan mereka
sebagai orang-orang yang lebih berhak menjadi khalifah. Makanya setelah Rasulullah ‫ﷺ‬
semuanya dari Quraisy. Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Hasan, Muawiyah, Yazid dan
seterusnya, baik dari Bani Abbas maupun dari Bani Umayyah dua-duanya adalah dari
Quraisy.

Halaqah 89 | Landasan Ke Tiga Ma’rifatu Nabiyyikum Muhammad: Dalil Wafatnya


Rasulullah Bagian 3

Kemudian diantara faedah yang bisa kita ambil, satu diantara keadaan dimana Abu Bakar
dia yang memecahkan masalahnya, termasuk diantaranya perkara yang besar juga, saat itu
mereka berselisih pendapat tentang di mana mereka akan menguburkan Nabi ‫ﷺ‬. Ada
yang mengatakan dikuburkan di Baqi, ada yang mengatakan dikuburkan di kamar Beliau,
ada yang mengatakan dikuburkan di Makkah saja tempat kelahiran Beliau, khilaf diantara
para sahabat.

Kemudian Abu Bakar mengatakan ‘Aku mendengar dari Nabi ‫ ﷺ‬sesuatu yang tidak
pernah kulupakan’, terngiang-ngiang terus di dalam telinga Abu Bakar As-Siddiq,

‫مَا َقَبَض ُهللا َن ِبًّي ا ِإَّال ِفي اْلَم ْو ِض ِِع اَّلِذي ُيِحُّب ََأْن ُيْد َف َن ِفْيِه‬

Allah ‫ ﷻ‬tidak mencabut nyawa seorang nabi kecuali di tempat yang di situ dia senang
untuk dikuburkan di tempat tersebut.

Barulah di sini mereka mendapatkan jawaban, berarti Nabi ‫ ﷺ‬dikuburkan di kamar


Aisyah karena Beliau diambil nyawanya oleh Allah ‫ﷻ‬, dicabut nyawanya oleh Allah ‫ﷻ‬,
dan Beliau berada di kamar Aisyah ‫رضي هللا تعالى عنها‬. Berarti permasalahan yang besar juga
dipecahkan oleh Abu Bakar As-Siddiq.

Ketika orang-orang tidak mau membayar zakat padahal mereka mengucapkan dua kalimat
syahadat, melakukan shalat, apakah orang seperti ini diperangi atau tidak? Abu Bakar
mengatakan diperangi. Umar mengatakan kamu memerangi orang yang mengatakan
‫ال إله إال هللا محمد رسول هللا‬

Padahal Nabi ‫ ﷺ‬mengatakan,

‫ُل‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ ُأ‬ ‫ُأ‬


‫ َفِإَذ ا َفَع وا َذ ِلَك َعَص ُموا ِم ِّن ي ِدَم اَء ُه ْم ِإَّال ِبَح ِّق اِإلْس َالِم‬،‫ِمْر ُت ْن َق اِتَل الَّن اَس َح َّت ى َي ْش َه ُدوا ْن َال ِإَلَه ِإَّال ُهللا َو َّن ُم َح َّمدًا َر ُسْو ُل ِهللا‬
‫َو ِحَس اُبُهْم َع َلى ِهللا َت َع الَى‬

Umar mengatakan kamu memerangi orang yang mengatakan ‫ال إله إال هللا محمد رسول هللا‬, ini
perkara yang besar, maka Abu Bakar mengatakan,

‫ُأَلَق اِتَلَّن َم ْن َف َّر َق َب ْي َن الَّص اَل ِة َو الَّز َك اِة‬

Sungguh aku akan memerangi orang yang membedakan antara shalat dengan zakat.

Karena shalat dan zakat ini qarinataan, senantiasa di gabungkan oleh Allah ‫ﷻ‬. Aku akan
memerangi setiap orang yang membedakan antara shalat dan zakat. Shalat dia lakukan tapi
zakat dia tinggalkan? Seandainya mereka mencegah dariku untuk aku ambil darinya iqol,
(tali yang digunakan untuk mengikat kaki onta), seandainya mereka tidak mau membayar
iqol saja padahal mereka dulu ketika Nabi ‫ ﷺ‬masih hidup mereka mau membayarnya
sekarang tidak mau, maka aku akan memerangi dia. Diperangi akhirnya oleh Abu Bakar As-
Shiddiq ‫رضي هللا تعالى عنه‬.

Kenapa demikian, karena ini adalah termasuk haqqul Islam, illa bi haqqiha, kecuali dengan
haknya dan zakat ini termasuk hak dari

‫اْش َه ُد اْن آّل ِالَه ِااَّل ُهّللا َو َاْش َه ُد َاَّن ُم َح َّم ًد اَع ْبُده َو َر ُسوُله‬

Konsekuensi dari dua kalimat syahadat ya membayar zakat, ini adalah hak dari dua kalimat
syahadat.

Kemudian diantara faedah yang bisa kita ambil tentang kesepakatan para sahabat, ketika
Abu Bakar As-Siddiq mengatakan bahwasanya Muhammad ‫ ﷺ‬telah meninggal dunia
semuanya menyetujui dan tidak ada diantara mereka yang mengingkari Abu Bakar As-
Siddiq, berarti ini adalah kesepakatan para sahabat semuanya, sepakat semuanya
bahwasanya Muhammad ‫ ﷺ‬telah meninggal dunia, maka kita harus mengikuti ijma’ ini.

Barangsiapa yang menyelisihi ijma’ para sahabat tentang kematian nabi ‫ ﷺ‬maka dia
telah sesat dengan kesesatan yang nyata, terancam dengan ancaman
115:‫َو َم ن ُيَش اِقِق ٱلَّر ُسوَل ِم ۢن َب ۡع ِد َم ا َت َبَّيَن َلُه ٱۡل ُهَد ٰى َو َي َّت ِبۡع َغ ۡي َر َس ِبيِل ٱۡل ُم ۡؤ ِمِنيَن ُنَو ِّلِهۦ َم ا َت َو َّلٰى َو ُنۡص ِلِهۦ َج َه َّن َۖم َو َس ٓاَء ۡت َمِص يًر ا [ النساء‬

Berarti kita harus yakin bahwasanya Muhammad ‫ ﷺ‬telah meninggal dunia. Oleh karena
itu Beliau dimandikan dan Beliau dikafani dan Beliau dikuburkan dan dishalatkan, dan Beliau
dikuburkan oleh kaum muslimin, dan ini semua tidak dilakukan kecuali beliau sudah dalam
keadaan meninggal dunia.

Beliau mendatangkan di sini dalil dari Al-Quran yang menunjukkan tentang kematian Nabi
‫ﷺ‬.

30:‫ِإَّن َك َم ِّي ٌت َو ِإَّنُهم َّمِّي ُتوَن الزمر‬

Sesungguhnya engkau wahai Muhammad mayit, ini maksudnya adalah ‫ ِإَّن َك ستموت‬terkadang
isim fa’il digunakan untuk pengganti dari fi’il yang mudhari’, yang akan terjadi di masa yang
akan datang. Misalnya ana mengatakan,

‫أنا غدا ذاهب‬

Besok aku akan pergi.

Maka yang dimaksud dengan ‫ ِإَّن َك َم ِّي ٌت‬sesungguhnya engkau akan meninggal dunia ‫َو ِإَّنُهم َّمِّي ُتوَن‬
dan mereka pun akan meninggal dunia.

Jadi Allah ‫ ﷻ‬mengabarkan kepada Nabi-Nya bahwasanya Beliau akan meninggal dunia
sebagaimana musuh-musuh Beliau yaitu orang-orang kafir Quraisy mereka juga akan
meninggal dunia. Engkau akan meninggal dunia dan musuh-musuhmu juga akan meninggal
dunia.

‫ُثَّم ِإَّنُك ْم‬


Kemudian kalian.

31:‫َي ْو َم اْلِقَياَمِة ِع نَد َر ِّبُك ْم َت ْخ َت ِص ُموَن [الزمر‬

Di hari kiamat kalian akan ber-ikhtisham, akan berdebat, satu dengan yang lain.
Syahidnya di sini Allah ‫ ﷻ‬mengabarkan bahwasanya Nabi-Nya ‫ ﷺ‬akan meninggal
dunia sebagaimana manusia yang lain juga meninggal dunia dan di sana, yaitu di hari
kiamat setelah meninggal dunia dan kemudian dihidupkan oleh Allah ‫ﷻ‬, akan terjadi
ikhtisham saling membantah satu dengan yang lain, siapa yang akan mengadili diantara
mereka adalah Allah ‫ﷻ‬.

Sampai di sini sudah selesai tentang poin Ma’rifatu Nabi ‫ﷺ‬. Beliau akan menutup risalah
ini dengan beberapa poin yang bermacam-macam, ada di antaranya berkaitan dengan
masalah beriman dengan hari akhir, ada diantaranya yang berkaitan dengan beriman pada
Rasul, dan Beliau akan berbicara tentang masalah taghut dan seterusnya, maka ini adalah
poin-poin yang lain.

Halaqah 90 | Poin-Poin Penutup Manusia Akan Dibangkitkan Setelah Kematian

Setelah kita menyelesaikan tentang tiga landasan utama yaitu ma’rifatullah, ma’rifatu dinil
Islam, dan ma’rifatu Nabi ‫ ﷺ‬maka penulis menutup kitab nya dengan beberapa tema,
diantaranya akan membahas tentang masalah ba’ats, hisab, jazaa’ yang merupakan bagian
dari iman kepada hari akhir. Kita tahu bahwasanya beliau ketika membahas tentang rukun
iman maka beliau tidak panjang lebar membahas tentang masing-masing dari rukun iman,
yang jumlahnya ada enam.

Beliau tidak memperinci tentang rukun iman, maka diakhir kitab ini beliau menyinggung
sedikit tentang masalah beriman dengan hari akhir dan juga beriman dengan para rasul
‘alaihimussalam. Beliau membahas tentang masalah beberapa bagian yang termasuk
beriman dengan hari akhir, dan sudah kita sebutkan bahkan ini termasuk kadar yang wajib
dimiliki oleh seseorang yang beriman kepada hari akhir.
Bahwasanya Allah ‫ ﷻ‬akan membangkitkan kemudian akan membalas mereka baik
dibalas dengan surga atau dibalas dengan neraka.

‫والناس إذا ماتوا يبعثون‬

Manusia apabila mereka meninggal dunia maka mereka akan dibangkitkan.

Allahu a’lam karena sebelumnya beliau membahas tentang kematian Nabi ‫ ﷺ‬maka di
sini beliau membahas sesuatu yang berkaitan dengan kematian tersebut yaitu tentang Al-
Ba’ats sehingga beliau mengatakan,

‫والناس إذا ماتوا يبعثون‬


Masih ada keterkaitan, masih ada kedekatan.
Dan yang dimaksud dengan Al-Ba’ats kalau secara bahasa artinya adalah kebangkitan,
bangkit dari tidurnya kemudian bangun atau dari kematiannya kemudian dia hidup itulah
dimaksud dengan Al-Ba’ats.

Didahului dengan dikembalikannya arwah kepada jasad-jasadnya, dan sebelumnya jasad-


jasad yang sudah menjadi tanah, tulang-tulang yang sudah hancur, dengan qudratullah
azzawajal Allah ‫ ﷻ‬akan kembalikan itu semuanya yaitu dengan diturunkannya hujan
antara dua tiupan. Tiupan yang pertama dengan tiupan yang kedua sebagaimana di dalam
hadits,

‫َب ْي َن الَّنْف َخ َت ْي ِن َأْر َب ُعوَن‬

Kata Nabi ‫ ﷺ‬antara dua tiupan ini ada 40.


Allahu a’lam apakah maksud Beliau ‫ ﷺ‬adalah 40 hari antara tiupan yang pertama
dengan tiupan yang ke dua atau maksudnya adalah 40 bulan atau 40 tahun. Nabi ‫ﷺ‬
tidak mengabarkan kepada kita tentang berapa waktu antara dua tiupan tadi secara jelas
tetapi Beliau hanya mengabarkan diantara keduanya adalah 40.

Dan disebutkan dalam hadits bahwasanya diantara dua tiupan itulah Allah ‫ ﷻ‬akan
menurunkan hujan. Hujan yang ringan, yang hujan tersebut akan mengenai tulang ekor
manusia.

Semua yang ada pada diri manusia akan hancur termasuk diantaranya tulang-tulangnya
kecuali satu tulang saja yang dinamakan dengan ‫ َع ْج ُب الَّذ َن ِب‬sebagaimana disebutkan dalam
hadits,

‫ َف َي ْن ُبُتوَن َك َم ا َي ْن ُبُت اْلَب ْق ُل َلْي َس ِمَن اِإلْن َس اِن َش ْى ٌء ِإَّال َي ْب َلى ِإَّال َع ْظ ًما َو اِح ًد ا َو ْه َو َع ْج ُب الَّذ َن ِب‬. ‫ُثَّم ُيْن ِز ُل ُهَّللا ِمَن الَّسَم اِء َم اًء‬

Kemudian Allah ‫ ﷻ‬akan menurunkan dari langit air, maka air tersebut akan menjadikan
manusia tumbuh sebagaimana tunas itu tumbuh.

Sedikit demi sedikit tunas akan keluar daunnya, keluar batangnya, dan seterusnya, demikian
pula manusia saat itu ketika air tadi mengenai tulang-tulang ekor mereka maka tulang
tersebut akan tumbuh. Seluruh yang ada pada diri manusia ini akan hancur kecuali satu
tulang saja yaitu tulang ekor. Ini saja yang akan tetap dijaga oleh Allah ‫ ﷻ‬tidak akan
hancur. Dia adalah tulang yang sangat kuat dan sudah ada penelitian, dia ditaruh di tempat
yang sangat panas tidak hancur, ditaruh di tempat yang sangat dingin juga tidak hancur.
Allah ‫ ﷻ‬akan menjaga tulang tersebut.
‫َو ِم ْن ُه ُيَر َّك ُب اْلَخ ْلُق َي ْو َم اْلِقَياَمِة‬

Dan darinyalah, yaitu tulang ekor, maka akan dibentuk kembali makhluk di hari kiamat.

Akan tumbuh tangan, akan tumbuh kaki, akan tumbuh perut kepala dan seterusnya seperti
tumbuhnya tunas. Ketika dia sudah sempurna kemudian Allah ‫ ﷻ‬mengembalikan arwah
kepada jasad-jasad yang sudah sempurna, jasadnya sudah siap untuk bergabung kembali
dengan arwah dan arwah sudah dikembalikan oleh Allah ‫ ﷻ‬kepada jasadnya kemudian
di sana ada tiupan sangkakala maka hiduplah mereka dan bangkitlah mereka setelah ditiup
sangkakala yang ke dua.

68:‫م َي نُظ ُروَن الزمر‬ٞ‫ُثَّم ُنِفَخ ِفيِه ُأۡخ َر ٰى َف ِإَذ ا ُهۡم ِقَي ا‬

Kemudian akan ditiup sangkakala yang kedua tiba-tiba mereka dalam keadaan qiyam,
dalam keadaan mereka berdiri, bangkit, ‫ َي نُظ ُروَن‬dan mereka dalam keadaan menunggu apa
yang akan dilakukan kepada mereka.

Maka ini harus kita yakini, ini adalah termasuk bagian dari iman kita terhadap hari akhir dan
ini termasuk kadar minimal yang harus ada dalam diri seseorang yang beriman dengan hari
akhir.

‫والدليل قوله تعالى‬

Dan dalilnya adalah firman Allah ‫ﷻ‬,

55:‫ِم ْن َه ا َخ َلْق َن اُك ْم َو ِفيَه ا ُنِع يُد ُك ْم َو ِم ْن َه ا ُنْخ ِر ُج ُك ْم َت اَر ًة ُأْخ َر ى [طه‬

Darinya, yaitu dari turob dari tanah, Kami telah menciptakan kalian.
Allah ‫ ﷻ‬mengatakan,

12:‫َخ َلۡق َت ِني ِمن َّن اٖر َو َخ َلۡق َت ُهۥ ِمن ِط يٖن األعراف‬

‫َو ِفيَه ا ُنِع يُد ُك ْم‬

Dan Kami akan mengembalikan kalian ‫ ِفيَه ا‬ke dalam tanah, yaitu kalau kalian meninggal
dunia maka kalian akan kembali menjadi tanah kecuali yang dikecualikan oleh Allah ‫ﷻ‬
seperti para Nabi dan juga para Rasul karena Allah ‫ ﷻ‬telah mengharamkan jasad
mereka atas ‫اَأْلْر ِض‬

‫ِإَّن َهَّللا َح َّر َم َع َلى اَأْلْر ِض َأْج َس اَد اَأْلْن ِبَي اِء‬

Sesungguhnya Allah ‫ ﷻ‬telah mengharamkan atas bumi untuk memakan jasad para nabi.

Ini dikecualikan dan ‫ ﷻ‬di sini berbicara tentang umumnya manusia. Al-Anbiya’ warrusul
kalau dibandingkan dengan umumnya manusia maka mereka jauh lebih sedikit, umumnya
manusia mereka akan dikuburkan dan akan menjadi tanah.

‫َو ِفيَه ا ُنِع يُد ُك ْم‬

Kami akan mengembalikan kalian ke dalam tanah.

Bahkan Nabi ‘Isa ‘Alaihissalam Allah ‫ ﷻ‬telah mengangkat beliau ke atas dan kelak Allah
‫ ﷻ‬akan menurunkan ‘Isa ‘Alaihissalam meninggal di bumi dan akan dikuburkan di dalam
bumi. Manusia, Allah ‫ ﷻ‬tetapkan mereka meninggal di bumi meskipun sudah lama
diangkat dan sampai sekarang beliau hidup, maka kelak akan diturunkan oleh Allah ‫ﷻ‬
dan meninggal di dalam, di atas bumi ini.

‫َو ِفيَه ا ُنِع يُد ُك ْم َو ِم ْن َه ا ُنْخ ِر ُج ُك ْم َت اَر ًة ُأْخ َر ى‬

Dan kelak Kami akan keluarkan kalian darinya, yaitu dari dalam bumi, kembali, yaitu karena
sebelumnya di atas bumi kemudian masuk ke dalam bumi nanti akan dikeluarkan lagi oleh
Allah ‫ ﷻ‬dari bumi kembali.

18،17:‫) ُثَّم ُيِع يُد ُك ْم ِفيَه ا َو ُيْخ ِر ُج ُك ْم ِإْخ َر اجًا [نوح‬17( ‫ َو ُهَّللا َأنَب َت ُك م ِّم َن اَأْلْر ِض َن َب اتًا‬:‫وقوله تعالى‬

Dan Allah ‫ ﷻ‬akan menumbuhkan kalian dari bumi dengan sebenar-benar pertumbuhan,
yaitu Allah ‫ ﷻ‬akan menumbuhkan kalian seperti ini dari awalnya adalah bayi kemudian
setelah itu menjadi balita kemudian ditumbuhkan oleh Allah ‫ ﷻ‬sehingga berkembang
menjadi anak-anak kemudian menjadi lebih besar lagi dan seterusnya kita ini ditumbuhkan
dan dikembangkan oleh Allah ‫ﷻ‬

‫َو ُهَّللا َأنَب َت ُك م ِّم َن اَأْلْر ِض َن َب اتًا‬


Allah ‫ ﷻ‬menumbuhkan kalian dari bumi dengan sebenar-benar penumbuhan, kemudian
Allah ‫ ﷻ‬akan mengembalikan kalian ke dalam bumi dan Allah ‫ ﷻ‬akan mengeluarkan
kalian dengan ‫ ِإْخ َر اجًا‬yaitu dengan sebenar-benar pengeluaran. Artinya sungguh-sungguh
Allah ‫ ﷻ‬akan membangkitkan manusia dan ini adalah syahid dari ayat ini yang
menunjukkan tentang adanya Al-Ba’ats, yaumal qiyamah.

Maka harus kita yakini yang demikian dan barangsiapa yang mengingkari adanya Al-Ba’ats
maka dia telah keluar dari agama Islam sebagaimana nanti akan disebutkan dalilnya oleh
muallif.

Halaqah 91 | Poin-Poin Penutup Manusia Akan Dihisab Setelah Dibangkitkan

Kemudian beliau mengatakan,

‫وبعد البعث محاسبون‬

Setelah dibangkitkan maka mereka akan dihisab oleh Allah ‫ﷻ‬

Dan makna hisab adalah dihitung amalan manusia, baik amalan yang baiknya maupun
amalan yang jelek, semuanya, baik orang Islam maupun orang kafir. Meskipun orang kafir
amalan dia batal dengan sebab kekafirannya, meskipun demikian Allah ‫ ﷻ‬akan
menghisab mereka dan hisab di sini akan semakin menambah bencana, kesedihan,
ketakutan yang ada pada diri orang-orang kafir.

Adapun orang-orang yang beriman akan dihisab oleh Allah ‫ ﷻ‬dengan hisab yang ringan
sebagaimana dalam ayat,

٧ ‫َف َأَّما َم ۡن ُأوِتَي ِك َٰت َب ُهۥ ِبَي ِميِنِهۦ‬


8-7:‫ [ االنشقاق‬٨ ‫َفَس ۡو َف ُيَح اَس ُب ِحَس اٗب ا َيِس يٗر ا‬

Adapun orang yang diberikan kitabnya dengan tangan kanannya, yaitu orang-orang yang
beriman, maka dia dihisab dengan hisab yang ringan.

Hisab yang ringan bagi orang-orang yang beriman dinamakan hisabul ardhu. Al-ardhu yaitu
dinampakkan. Akan dinampakkan kepada mereka dosa-dosa mereka sebagaimana dalam
hadits bahwasanya Allah ‫ ﷻ‬ketika sudah dimulai hisab di padang mahsyar Allah ‫ﷻ‬
akan mendekatkan orang yang beriman, tidak dibiarkan jauh, didekatkan oleh Allah ‫ﷻ‬.
Kemudian setelah itu Allah ‫ ﷻ‬akan meletakkan penutupnya sehingga mukmin tersebut
tidak dilihat oleh Ahlul Mauqif, yaitu orang-orang yang ada di padang mahsyar.
Setelah ditutupi maka Allah ‫ ﷻ‬akan menampakkan kepadanya dosa-dosa tersebut, dan
Allah ‫ ﷻ‬mengatakan ‘Apakah engkau mengetahui tentang dosa ini?’
Dinampakkan dosanya dan dia melihat dosanya. Setiap kali dia ditanya apakah engkau
mengetahui dosa ini, dia mengatakan na’am wahai Rabb, terus dosa-dosa tersebut
dinampakkan kepadanya, mungkin dia pernah mencuri, mungkin dia pernah melihat sesuatu
yang diharamkan, mungkin dia pernah berzina, mungkin dia pernah berbuat zhalim,
dinampakkan dosa-dosa tersebut dan dia melihat satu persatu dosa-dosa tadi. Dan setiap
kali ditanya tentunya dia akan mengatakan na’am wahai Rabb.

‫َح َّت ى ِإَذ ا َق َّر َر ُه ِبُذ ُنوِبِه‬

Ketika Allah ‫ ﷻ‬sudah menjadikan dia Iqrar, menjadikan dia mengakui dengan dosa-dosa
itu semuanya.

Bayangkan di dalam hisab ketika dihitung dinampakkan dosa, apa yang dibayangkan oleh
orang tadi? Yang dia bayangkan adalah setelah dinampakkan dosa ini berarti adzab. Maka
disebutkan di sini,

‫َو َر َأى ِفي َن ْف ِس ِه َأَّنُه َه َلَك‬

Dia melihat dirinya akan binasa.

Ternyata dosaku semuanya dinampakkan dan dengan dinampakkan dia mengira


bahwasanya dia akan dicampakkan di dalam neraka dengan sebab dosa-dosa tersebut.

Kemudian apa yang terjadi? Allah ‫ ﷻ‬mengatakan ketika melihat hamba-Nya mengakui
dosa-dosa tadi dan melihat bahwasanya dirinya akan binasa,

‫َق اَل َس َت ْر ُتَه ا َع َلْي َك ِفي الُّد ْن َي ا َو َأَن ا َأْغ ِفُر َه ا َلَك اْلَي ْو َم‬

Allah ‫ ﷻ‬mengatakan kepada hamba yang mukmin tadi, dosa-dosa yang tadi ditunjukkan
kepadanya itu adalah dosa-dosa yang dulu di dunia, Allah ‫ ﷻ‬tutup sehingga tidak ada
manusia yang mengetahui tentang dosa-dosa tersebut, dan ini adalah anugerah dari Allah
‫ﷻ‬.
Hamba tadi melakukan dosa kemudian ditutupi oleh Allah ‫ﷻ‬, sebagaimana Allah ‫ﷻ‬
menutupi dosanya di dunia maka ketika hisab pun ditampakkan dosanya dan Allah ‫ﷻ‬
menutupi hamba tersebut sehingga tidak dilihat oleh manusia yang lain.

Di dunia Allah ‫ ﷻ‬tutupi dosanya ketika di padang mahsyar pun Allah ‫ ﷻ‬menutupi
dosanya. Tidak dinampakkan diantara manusia yang lain padahal di sekitarnya milyaran,
trilliunan manusia yang akan menghadap Allah ‫ﷻ‬, akan dihisab.

Allahu a’lam apakah makna

‫َو َأَن ا َأْغ ِفُر َه ا َلَك اْلَي ْو َم‬

Maksudnya hanya sekedar ditutupi saat itu atau maksudnya lebih daripada itu, yaitu
maghfirah dalam artian dihapus dosanya. Karena makna maghfirah artinya adalah ditutupi
‫ غفر‬artinya adalah menutupi. Jadi saat itu ditutupi dosanya kemudian setelah itu kalau Allah
‫ ﷻ‬ingin mengampuni maka Allah ‫ ﷻ‬mengampuni kalau Allah ‫ ﷻ‬menginginkan
untuk di-adzab maka dia di-adzab. Ataukah maknanya ditutupi dosanya sekaligus diampuni
seluruh dosanya, yang jelas Allah ‫ ﷻ‬mengatakan saat itu,

‫َو َأَن ا َأْغ ِفُر َه ا َلَك اْلَي ْو َم‬


‫َف ُيْع َط ى ِك َت اَب َح َس َن اِتِه‬

Maka akhirnya dia diberikan kitab yang berisi tentang kebaikan-kebaikannya.

Ini adalah hisab bagi orang-orang yang beriman dan ini menunjukkan bahwasanya hisab
yaitu sebelum pembagian kitab.

Adapun orang-orang kafir maka hisab yang akan mereka dapatkan bukan hanya sekedar
dinampakkan tapi di sana ada tasydid, keras di dalam menghisab mereka.

‫َو َأَّما اْلَك اِفُر َو اْلُم َن اِفُقوَن َف َي ُقوُل اَأْلْش َه اُد َه ُؤ اَل ِء اَّلِذيَن َك َذ ُبوا َع َلى َر ِّب ِه ْم َأاَل َلْع َن ُة ِهَّللا َع َلى الَّظ اِلِميَن‬

Merekalah orang-orang yang berdusta atas nama Allah ‫ﷻ‬. Ketahuilah laknat Allah ‫ﷻ‬
bagi orang-orang yang zhalim.

Aisyah ‫ رضي هللا عنها‬istri Nabi ‫ ﷺ‬menyebutkan dan bahwasanya Nabi ‫ ﷺ‬berkata,
‫َم ْن ُحوِس َب ُع ِّذ َب‬

Barangsiapa yang dihisab maka dia akan di-adzab.

‫َق اَلْت َعاِئَش ُة‬

Berkata Aisyah,

‫َف ُقْلُت َأَو َلْي َس َي ُقوُل ُهَّللا َت َع اَلى َفَس ْو َف ُيَح اَس ُب ِحَس اًبا َيِس يًر ا‬

Aisyah mengatakan, Bukankah Allah ‫ ﷻ‬mengatakan maka dia akan dihisab dengan
hisab yang mudah.

Nabi ‫ ﷺ‬mengatakan ‫ َم ْن ُحوِس َب ُع ِّذ َب‬orang yang dihisab maka dia akan diazab, tapi dalam
Al-Qur’an kata Aisyah orang beriman akan dihisab dengan hisab yang mudah, bukan di-
adzab.

‫َق اَلْت َفَقاَل ِإَّن َم ا َذ ِلِك اْلَع ْر ُض‬

Ternyata Nabi ‫ ﷺ‬mengatakan sesungguhnya ‫ ِحَس اًبا َيِس يًر ا‬yang dimaksud adalah yaitu
dinampakkan, sebagaimana dalam hadits tadi.

‫َو َلِكْن َم ْن ُنوِقَش اْلِحَس اَب َي ْهِلْك‬

Akan tetapi orang yang di munaaqosyah, didebat di dalam hisabnya maka dia akan binasa,
yaitu orang-orang yang musyrik, orang-orang munafiq.

Ini adalah dua jenis hisab, yang pertama adalah ‫ ِحَس اب َيِس ير‬kemudian yang ke dua adalah
hisabul munaaqosyah.

Dan ada diantara hamba-hamba Allah ‫ ﷻ‬yang mereka tidak melewati hisab, yang ‫ِحَس اًبا‬
‫ َيِس يًر ا‬saja dia tidak. Mereka adalah 70.000 orang yang digambarkan oleh Nabi ‫ ﷺ‬masuk
ke dalam surga tanpa hisab dan tanpa adzab.
Antum lihat ketika dihisab dengan ‫ ِحَس اًبا َيِس يًر ا‬itu bukan perkara yang mudah juga. Lihat
bagaimana orang yang beriman diperlihatkan dosa-dosanya sampai ada perasaan di dalam
hatinya bahwasanya dia akan binasa, akan di-adzab dengan sebab dosa-dosa tadi.

Kalau 70.000 orang ini mereka sudah mencapai tingkat yang tinggi dalam keimanan.
Mereka adalah orang-orang yang mewujudkan tauhid dengan sebenar-benarnya sehingga
ketika mereka mewujudkan tauhid dengan sebenar-benarnya yaitu mengesakan Allah ‫ﷻ‬
dengan sebenar-benarnya. Selain mereka meninggalkan syirik yang besar, syirik yang kecil,
kalau sudah sampai derajat yang tinggi dalam keikhlasan di dalam tauhid maka bersih
hatinya dari riya, sum’ah, dan yang semacamnya.

Ibadah mereka penuh dengan keikhlasan tidak dicampuri oleh riya, tidak dicampuri oleh
keinginan duniawi, ini tingkatan yang tinggi.

Orang yang sampai derajat yang tinggi di dalam tauhid, abadan, dia tidak akan melakukan
yang dinamakan dengan bid’ah karena ini adalah bagian dari tauhid sebenarnya, yaitu
mengesahkan Allah ‫ ﷻ‬termasuk diantaranya di dalam syari’at tidak menjadikan selain
Allah ‫ ﷻ‬sebagai pembuat syari’at.

‫إن الحكم إال هلل‬

Tidaklah hukum kecuali hanya untuk Allah ‫ ﷻ‬saja.


Allah ‫ ﷻ‬yang mensyari’atkan, menentukan ibadah, dan seterusnya, ini bagian dari
tauhid. Orang yang sampai puncak di dalam tauhid, mewujudkan tauhid dengan sebenar-
benarnya maka dia akan menjadi orang yang benar-benar muttabi’, mengikuti Rasulullah
‫ﷺ‬. Sangat erat hubungan antara tauhid ini dengan ittiba’nya seseorang.

Orang yang sudah mencapai puncak tauhid, mewujudkan tauhid, maka dia tidak akan
mengikuti hawa nafsu karena mengikuti hawa nafsunya seakan-akan dia mendahulukan
hawa nafsu di atas kehendak Allah ‫ﷻ‬.

Allah ‫ ﷻ‬menghendaki tidak berzina, hawa nafsu menghendaki dia berzina, seakan-akan
dia mendahulukan selain Allah, ‫ ﷻ‬di atas Allah ‫ﷻ‬

Adapun orang yang mewujudkan tauhid dengan sebenar-benarnya maka dia akan
meninggalkan kemaksiatan, makanya tidak heran kalau mereka juga tidak dihisab, tidak
melakukan banyak dosa. Kalau mereka berdosa mereka langsung beristighfar sehingga
mereka masuk ke dalam surga tanpa dihisab, tanpa di-adzab.
Bisakah kita masuk ke dalamnya? Memungkinkan, dengan syarat tentunya kita harus
mempelajari tentang tauhid, mempelajari tentang aqidah dengan benar, dan kita harus
semangat, memiliki semangat yang tinggi ingin masuk di dalam orang yang masuk ke dalam
surga tanpa hisab, karena ‫ ِحَس اب‬yang ‫ َيِس ير‬pun itu bukan perkara yang mudah.

Halaqah 92 | Poin-Poin Penutup Manusia Akan Dibalas Sesuai Perbuatannya Setelah


Dihisab

Kemudian beliau mengatakan,

‫وبعد البعث محاسبون ومجزيون‬

Mereka juga akan dibalas, bukan hanya dibangkitkan saja tanpa dihisab, bukan hanya
dibangkitkan, dihisab saja, tanpa dibalas, bahkan mereka akan dibalas. Yaitu setelah
dihisab dihitung hasanahnya dan juga sayyi’atnya maka mereka akan ‫مجزيون‬, akan dibalas
dengan amalan-amalan mereka yaitu sesuai dengan amalan mereka.

Amalan mereka di dunia in khairon fakhoir, wa in syarron fa syarr, kalau melakukan


kebaikan maka dibalas dengan kebaikan dan kalau melakukan kejelekan maka akan dibalas
dengan kejelekan. Dia akan memanen hasil amalannya di akhir dan ini menunjukkan
tentang keagungan dan keadilan Allah ‫ ﷻ‬dan bahwasanya Allah ‫ ﷻ‬tidak mendzhalimi
manusia.

Seandainya di sana tidak ada Ba’ats dan tidak ada hisab tidak ada jazaa’, manusia hanya
hidup sekali di dunia ini, meninggal menjadi tanah padahal di sana ketika di dunia ada di
antara mereka yang melakukan berbagai kedzholiman kepada manusia, seandainya dia
meninggal begitu saja tidak ada Ba’ats, tidak ada balasan, maka tentunya banyak orang
yang terdzholimi. Tapi Allah ‫ ﷻ‬dengan keadilan-Nya dengan hikmah-Nya, Allah ‫ﷻ‬
tidak akan membiarkan orang-orang yang dzholim, ada waktunya mereka akan dibangkitkan
dan akan dibalas kedzholiman tersebut, Allah ‫ ﷻ‬akan menegakkan keadilan di antara
mereka.

Dan di dunia ada orang-orang yang berbuat baik beramal saleh, seandainya mereka
meninggal dunia tidak ada di sana balasan bagi orang-orang yang beramal saleh, tentunya
ini adalah sebuah ketidakadilan, sebuah kedzholiman. Tapi Allah ‫ ﷻ‬dengan hikmahnya
maka Allah ‫ ﷻ‬akan membangkitkan mereka dan menghisab mereka dan akan membalas
amalan saleh yang mereka lakukan di dunia ini dengan kebaikan. Allah ‫ ﷻ‬mengatakan,

‫َأَي ْح َس ُب اِإْلنَس اُن َأن ُيْت َر َك ُس ًد ى‬


(Al Qiyamah:36)

Apakah manusia menyangka bahwasanya mereka akan dibiarkan dalam keadaan ‫ُس ًد ى‬,
dalam keadaan sia-sia?

Kemudian Allah ‫ ﷻ‬mengatakan,

‫َأَفَح ِس ْب ُتْم َأَّن َم ا َخ َلْق َن اُك ْم َع َب ثًا َو َأَّنُك ْم ِإَلْي َن ا اَل ُتْر َج ُعوَن‬
(Al Mukminun:115)

Apakah kalian menyangka bahwasanya Kami menciptakan kalian dalam keadaan sia-sia
dan kalian menyangka bahwasanya kalian tidak akan dikembalikan kepada Allah ‫ﷻ‬

Maka ini adalah persangkaan yang kotor, persangkaan yang jelas keliru, yang disangka oleh
orang-orang yang kufur kepada Allah ‫ ﷻ‬dan juga hari akhir. Alhamdulillah Allah ‫ﷻ‬
menjadikan di sana hari akhir yang di sana Allah ‫ ﷻ‬akan membalas amal seseorang
dengan balasan yang lebih baik dan Allah ‫ ﷻ‬akan membalas orang yang berbuat jelek
dengan balasan yang setimpal.

Kemudian setelahnya beliau mendatangkan dalil,

31:‫ َو ِهَّلِل َم ا ِفي الَّسَم اَو اِت َو َم ا ِفي اَأْلْر ِض ِلَي ْج ِز َي اَّلِذيَن َأَس اُؤ وا ِبَم ا َعِم ُلوا َو َي ْج ِز َي اَّلِذيَن َأْح َس ُنوا ِباْلُحْس َن ى [النجم‬:‫والدليل قول تعالى‬

Dan bagi Allah ‫ ﷻ‬lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Allah
‫ ﷻ‬membalas orang-orang yang baik, orang-orang yang jelek atau melakukan kejelekan
melakukan dosa dengan apa yang mereka lakukan berupa dosa, dan Allah ‫ ﷻ‬akan
membalas orang-orang yang berbuat baik dengan kebaikan.

Berarti ayat ini adalah dalil yang menunjukkan tentang jazaa’ yaitu balasan.

Kemudian beliau mengatakan,

‫ومن كَّذ ب بالبعث كفر‬

Dan barangsiapa yang mendustakan hari kebangkitan maka dia telah kufur.
Barangsiapa yang mendustakan hari kebangkitan maka sungguh dia telah kufur, yaitu keluar
dari agama Islam menjadi orang yang murtad.

Kemudian beliau mendatangkan dalil tentang kekufuran orang yang mengingkari Al-Ba’ats.

‫ َز َع َم اَّلِذيَن َكَف ُروا َأن َّلن ُيْب َع ُثوا‬:‫والدليل قوله تعالى‬

Orang-orang yang kafir mereka menyangka bahwasanya mereka tidak akan dibangkitkan.

Allah ‫ ﷻ‬di sini menyebutkan tentang orang-orang kafir dan menyebutkan tentang
sebagian akidah mereka ‫ َز َع َم‬artinya adalah meyakini.

‫َز َع َم اَّلِذيَن َكَف ُروا َأن َّلن ُيْب َع ُثوا‬

Orang-orang yang kafir menyakini bahwasanya mereka tidak akan dibangkitkan.


Menunjukkan bahwasanya diantara aqidah orang kafir adalah meyakini mereka tidak akan
dibangkitkan. Maka ini seperti yang disampaikan oleh Syaikh menunjukkan tentang
kekufuran orang yang mendustakan hari kebangkitan.

7:‫ُقْل َب َلى َو َر ِّبي َلُتْب َع ُثَّن ُثَّم َلُتَن َّبُؤ َّن ِبَم ا َعِم ْلُتْم َو َذ ِلَك َع َلى ِهَّللا َيِس يٌر [التغابن‬

Katakanlah, bahkan demi Rabbku (disuruh Nabi ‫ ﷺ‬bersumpah), sungguh kalian akan
dibangkitkan kemudian kalian akan diberitahukan kepada kalian dengan apa yang telah
kalian amalkan di dunia.

Di dalam ayat ini ada yang menunjukkan tentang Ba’ats. Kalau yang tadi menunjukkan
tentang Al-Jaza’, karena beliau menyebutkan Al-Ba’ats, wal Hisab, wa Al-Jaza’.

Akan dikabarkan kepada kalian dengan apa yang kalian kerjakan, seperti tadi ‫َأَت ْع ِر ُف َذ ْن َب َك َذ ا‬
kamu tahu dosa ini? Di situ ada tanbih, disitu ada pemberitahuan, dikabarkan kepadanya
tentang apa yang dia kerjakan di dunia.

‫ُثَّم َلُتَن َّبُؤ َّن ِبَم ا َعِم ْلُتْم‬


‫َو َذ ِلَك َع َلى ِهَّللا َيِس يٌر‬
Dan yang demikian adalah sangat mudah bagi Allah ‫ﷻ‬.

Ini adalah penjelasan atau keterangan tambahan dari beliau yang berkaitan dengan beriman
dengan hari akhir dan sudah disinggung sebelumnya ketika membahas tentang Arkanul
Iman tentang beriman dengan hari akhir ini, beliau sebutkan di dalam muqaddimah dari
tsalatsatul ushul hal yang berkaitan dengan masalah hari akhir ini beliau menyebutkan
beberapa hal yang merupakan perkara-perkara yang penting di dalam masalah beriman
dengan hari akhir.

Halaqah 93 | Poin-Poin Penutup Tentang Tugas dan Kedudukan Para Nabi dan Rasul

Sekarang beliau ingin berbicara tentang beriman dengan para Rasul ‘alaihimussalam, beliau
mengatakan,

‫وأرسل هللا جميع الرسل مبشرين ومنذرين‬

Dan Allah ‫ ﷻ‬telah mengutus seluruh para Rasul dengan tugas untuk memberikan kabar
gembira dan memberikan peringatan.

Ini adalah tugas seluruh para rasul ‫ جميع الرسل‬dan ketika disebutkan ‫ رسل‬maka masuk di
dalamnya Al-Anbiya’. Nabi dan Rasul ini termasuk dua kalimat yang dikatakan oleh para
ulama. Termasuk beberapa kalimat yang kalau berkumpul maka dia berpisah, yang kalau
berpisah maka dia berkumpul. Contohnya adalah Rasul dan juga Nabi. Kalau dia berkumpul
maka berbeda maknanya sebagaimana dalam ayat,

52:‫َو َم ٓا َأۡر َس ۡل َن ا ِمن َق ۡب ِلَك ِمن َّر ُسوٖل َو اَل َن ِبٍّي الحج‬

Berbeda maknanya. Tapi kalau dia iftaraqat, berpisah, datang sendiri-sendiri, maka dia
membawa makna yang lain. Rasul masuk di dalamnya Nabi, dan apabila disebutkan Nabi
sendirian maka masuk di dalamnya para Rasul, contohnya sabda Nabi ‫ﷺ‬,

‫َأْن ُتْؤ ِمَن ِباِهلل َو َم َالِئَك ِتِه َو ُكُتِبِه َو ُرُسِلِه‬

Hanya disebutkan Rasul di sini, maka yang dimaksud adalah Nabi dan juga Rasul, dua-
duanya masuk dalam kalimat tersebut.

Dan Allah ‫ ﷻ‬mengutus para Rasul semuanya dalam keadaan memberikan kabar
gembira dan juga memberikan peringatan. Memberikan kabar gembira bagi orang yang taat.
Barangsiapa yang taat diberikan kabar gembira, yaitu akan masuk ke dalam surga, itu
namanya ‫مبشر‬, barangsiapa yang melakukan demikian maka dia akan mendapatkan
demikian.

‫ومنذرين‬

Memberikan peringatan. Memberikan peringatan bagi orang yang tidak mau taat,
diperingatkan bahwasanya diancam dengan neraka, diancam dengan azab.

Ini seluruh para Nabi dan Rasul dakwah mereka terkadang berupa tabsyir, memberikan
kabar gembira, dan terkadang berupa indzar yaitu memberikan peringatan dengan azab,
dengan targhib dan tarhib, dengan memberikan roja’ dan juga memberikan Khauf.

‫والدليل قوله تعالى‬

Dan dalilnya adalah Firman Allah ‫ﷻ‬,

165:‫ُّر ُس ًال ُّمَب ِّش ِر يَن َو ُمنِذ ِر يَن ِلَئ َّال َي ُك وَن ِللَّن اِس َع َلى ِهّللا ُحَّج ٌة َب ْع َد الُّر ُس ِل [النساء‬

Para Rasul dan para Nabi yang mereka memberikan kabar gembira dan memberikan
peringatan supaya tidak ada bagi manusia atas Allah ‫ ﷻ‬hujjah setelah kedatangan para
Rasul.

Para Rasul, Allah ‫ ﷻ‬utus mereka untuk Iqamatul Hujjah, memberikan kabar gembira dan
memberikan peringatan kepada manusia, mengingatkan mereka, mengajarkan mereka,
supaya tidak ada alasan bagi mereka kelak datang di hari kiamat mengatakan ‘Ya Allah
‫ ﷻ‬tidak datang kepada kami Rasul’ atau mengatakan ‘Ya Allah ‫ ﷻ‬datang kepada
kami Rasul tapi dia tidak mau memberikan peringatan, tidak mau memberikan kabar
gembira, tidak mengajarkan kepada kami’.

Maka ini harus kita yakini bahwasanya para Rasul, mereka al-balaghul mubin sebagaimana
dalam hadits,

‫ِإَّنُه َلْم َي ُك ْن َن ِبٌّي َق ْبِلي ِإَّال َك اَن َح ًّقا َع َلْيِه َأْن َي ُد َّل ُأَّم َت ُه َع َلى َخ ْي ِر َم ا َي ْع َلُمُه َلُهْم َو ُيْن ِذَر ُه ْم َش َّر َم ا َي ْع َلُمُه َلُهْم‬

“Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali wajib baginya untuk
menunjukkan umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya untuk mereka dan
memperingatkan mereka dari keburukan yang ia ketahui untuk mereka.” (HR. Muslim)
Mereka:

‫ ُّمَب ِّش ِر يَن َو ُمنِذ ِر يَن‬,‫دل ُأَّم َت ه َع َلى َخ ْير َو اْن ذر ُأَّم َت ه من َش ر‬

Harus kita yakini yang demikian. Tidak ada diantara Nabi yang Muqassir, semuanya mereka
berjuang dengan segenap jiwa dan raga mereka untuk menyampaikan risalah Allah ‫ﷻ‬
dan Allah ‫ ﷻ‬tidak akan mematikan mereka sampai mereka menyempurnakan seluruh
apa yang dibebankan kepada mereka berupa risalah ini.

Halaqah 94 | Poin-Poin Penutup Tentang Rasul yang Pertama dan Rasul yang Terakhir

Beliau mengatakan,

‫ وآخرهم محمد ﷺ وهو خاتم النبِّيين ال نبى بعده‬،‫وأولهم نوح عليه السالم‬

Masih berkaitan dengan beriman dengan Rasul bahwasanya ‫ أولهم‬yaitu Rasul yang pertama
adalah Nuh dan Rasul yang terakhir adalah Muhammad ‫ ﷺ‬semoga Allah ‫ﷻ‬
memberikan shalawat dan salam atas mereka semuanya.

‫ هم‬,‫ أولهم‬kembali kepada Rasul ‫ وآخرهم‬kembali kepada Rasul dan Beliau ‫ ﷺ‬adalah Rasul
yang terakhir, tidak ada Rasul setelah Beliau.
Ucapan beliau,

‫وأولهم نوح‬

Dan yang pertama di antara para Rasul adalah Nuh ‘alaihissalam, berdasarkan dalil dari
AlQuran dan juga berdasarkan dalil dari hadits Nabi ‫ﷺ‬. Beliau mengatakan,

163:‫ ِإَّنا َأْو َح ْي َن ا ِإَلْي َك َك َم ا َأْو َح ْي َن ا ِإَلى ُنوٍح َو الَّن ِبِّييَن ِمن َب ْع ِدِه [النساء‬:‫والدليل على أن أولهم نوٌح قوله تعالى‬
Dan dalil bahwasanya Nuh adalah rasul yang pertama adalah firman Allah ‫ ﷻ‬yang
artinya ‘Sesungguhnya Kami telah mewahyukan kepadamu wahai Muhammad sebagaimana
kami telah wahyukan kepada Nuh dan nabi nabi setelah beliau’.

Menunjukkan bahwasanya Rasul yang pertama adalah Nuh ‘alaihissalam buktinya disini
Allah ‫ ﷻ‬mendahulukan beliau.
‘Kami telah mewahyukan kepadamu wahai Muhammad’ dan wahyu di sini adalah wahyu
kerasulan, karena wahyu sebagaimana berlalu ada wahyu yang menunjukkan kenabian dan
ada wahyu yang menunjukkan kerasulan.
Jadi wahyu yang ada di dalam surat Al-Mudatsir ayat yang pertama sampai ke tujuh ini
adalah wahyu kerasulan. Yang dimaksud disini adalah wahyu kerasulan.

‘Sesungguhnya Kami telah mewahyukan kepadamu’, yaitu dengan wahyu kerasulan,


‘Sebagaimana kami telah mewahyukan kepada Nuh’, menunjukkan bahwasanya Nuh ini
adalah Rasul yang pertama. Seandainya di sana ada Rasul yang ada sebelum Nuh niscaya
Allah ‫ ﷻ‬akan sebutkan. Dan penyebutan di sini dengan Nuh menunjukkan bahwasanya
dia adalah Rasul yang pertama.

‘Kami telah wahyukan kepadamu sebagaimana Kami telah wahyukan kepada Nuh’, Allah
‫ ﷻ‬sebutkan rasul yang pertama, ‫‘ َو الَّن ِبِّييَن ِمن َب ْع ِدِه‬dan sebagaimana Kami telah wahyukan
kepada para Nabi setelah Beliau’.

Adapun Adam ‘alaihissalam maka beliau adalah Nabi. Nabi yang pertama adalah Nabi
Adam dan Rasul yang pertama maka beliau adalah Nuh ‘alaihissalam, menunjukkan yang
demikian apa yang datang di dalam sebuah hadits yaitu di dalam hadits syafa’atul udzma, di
mana manusia mereka mendatangi Nabi Adam ‘alaihissalam kemudian Nabi Adam
‘alaihissalam beliau minta udzur kepada manusia dan beliau akhirnya menyuruh manusia
untuk mendatangi Nabi Nuh.
Apa yang beliau katakan,

‫اْئُتوا ُنوًح ا َأَّو ل َر ُسوٍل َبَع َث ُه ُهَّللا‬

Hendaklah kalian mendatangi Nuh, Rasul pertama yang telah diutus oleh Allah ‫ﷻ‬

Menunjukkan kepada kita tentang bahwasanya Nuh adalah Rasul yang pertama. Nabi Adam
sendiri yang mengucapkan, yang menyatakan bahwasanya Rasul yang pertama bukan
beliau tapi Nuh.

Adapun Adam ‘alaihissalam maka beliau adalah seorang Nabi sebagaimana dalam hadits
dari Abu Dzar beliau mengatakan,

‫ُقْلُت َي ا َر ُسوَل ِهَّللا َأُّي اَأْلْن ِبَي اِء َك اَن َأَّو ُل‬
Hadits ini shahih. Abu Dzar bertanya kepada Rasulullah ‫ﷺ‬, Ya Rasulullah ‫ﷺ‬

Siapakah nabi yang pertama?

‫َق اَل آَد ُم‬


Nabi yang pertama adalah Adam.

‫ُقْلُت َي ا َر ُسوَل ِهَّللا َو َن ِبٌّي َك اَن‬

Abu Dzar mengatakan wahai Rasulullah ‫ ﷺ‬apakah beliau adalah Nabi?

‫َق اَل َن َعْم َن ِبٌّي ُم َك َّلٌم‬


Beliau adalah Nabi yang mukallam, yaitu diajak bicara oleh Allah ‫ﷻ‬

‫َٰٓي َٔـاَد ُم ٱۡس ُكۡن َأنَت َو َز ۡو ُج َك ٱۡل َج َّن ة‬

Dia termasuk yang dikatakan oleh Allah ‫ ﷻ‬minhum man kallamallah, diantara mereka
ada yang diajak bicara oleh Allah ‫ﷻ‬, diantaranya adalah Nabi Adam, kemudian Nabi
Musa ‘alaihissalam dan Nabi kita Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, mereka adalah mukallamun, para
nabi yang pernah diajak bicara oleh Allah ‫ﷻ‬.

Hadits ini kalau tidak salah diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di dalam shahihnya, Imam Ahmad
di dalam musnadnya.

Dari sini kita mengetahui bahwasanya Nabi yang pertama adalah Nabi Adam ‘alaihissalam,
adapun Nabi yang terakhir dan Rasul yang terakhir maka Beliau adalah Rasulullah ‫ﷺ‬.

Kita kembali kepada dalil tentang,

‫وآخرهم محمد ﷺ‬

Dan Rasul yang terakhir adalah Muhammad ‫ﷺ‬

‫وهو خاتم النبِّيين‬

Dan dia ‫ ﷺ‬adalah penutup para nabi.


Kenapa di sini disebutkan kembali, padahal di sini sudah dikatakan ‫ وآخرهم‬artinya adalah
yang terakhir, ‫ وهو خاتم النبِّيين‬artinya juga yang terakhir Allahu a’lam karena yang pertama
‫ وآخرهم‬di sini kembali kepada Rusul, adapun ‫ وهو خاتم النبِّيين‬di sini disebutkan ‫النبِّيين‬.

Jadi ‫آخرهم محمد ﷺ‬, Beliau ‫ ﷺ‬adalah Rasul yang terakhir, ‫ وهو خاتم النبِّيين‬Beliau adalah
Nabi yang terakhir. Rasul yang terakhir dan Nabi yang terakhir.

Halaqah 95 | Poin-Poin Penutup Kenabian Sudah Ditutup Maka Pasti Tidak Ada Rasul Lagi

Dan hubungan antara Rasul yang terakhir dengan Nabi yang terakhir, kalau kenabian sudah
ditutup maka otomatis kerasulan sudah ditutup, karena Nabi lebih luas lebih umum daripada
Rasul. Sebagaimana dalam hadits, ketika Beliau ‫ ﷺ‬ditanya tentang jumlah para nabi,

‫ كم َو َّف ى ِع َّد ُة األنبياِء ؟‬،‫ يا رسوَل ِهللا‬: ‫ُقلُت‬

Ya Rasulullah, berapa jumlah seluruh para nabi? Beliau mengatakan,

‫ِمئُة أْلٍف وأربعٌة وعشروَن أْلًفا‬

124.000. Itu jumlah para Nabi maka ini jumlah yang sangat banyak sekali, 124.000 Allah
‫ ﷻ‬sebarkan di dunia ini untuk menegakkan hujjah atas manusia.

‫الُّر ُسُل ِمن ذلك ثالُث ِمئٍة وَخ مسَة َع َش َر َج ًّم ا َغفيًر ا‬

Yang merupakan Rasul diantara mereka (yaitu di antara 124.000 ada yang kedudukannya
sebagai seorang Rasul, ‫ الُّر ُسُل ِمن ذلك‬berarti ‫ الُّر ُسُل‬di sini adalah bagian dari ‫ أنبياِء‬karena Beliau
mengatakan ‫ )الُّر ُسُل ِمن ذلك‬adalah 315 orang.

Menunjukkan bahwasanya Rasul adalah bagian dari Nabi. Setiap Rasul adalah Nabi dan
tidak setiap Nabi adalah Rasul.
Seperti Rasulullah ‫ ﷺ‬Nabiyyan Rasulan, Beliau mendapatkan wahyu kenabian dan
wahyu kerasulan. Berarti 315 ini adalah termasuk Nabi ‫ ﷺ‬juga, Rasul sekaligus Nabi.
Kalau misalnya kenabian sudah ditutup otomatis kerasulan sudah ditutup karena Rasul
adalah bagian dari kenabian. Kalau kenabian sudah di-khatam (sudah ditutup) maka
kerasulan otomatis juga ditutup. Disini beliau mengatakan,
‫وآخرهم محمد ﷺ وهو خاتم النبِّيين ال نبى بعده‬

Beliau ‫ ﷺ‬adalah Rasul yang terakhir sekaligus Beliau ‫ ﷺ‬adalah Nabi yang terakhir
karena Rasul yang terakhir belum tentu dia Nabi yang terakhir, tapi kalau Nabi yang terakhir
berarti otomatis tidak ada Rasul setelahnya, tapi kalau dia sebagai Rasul yang terakhir
kemungkinan ada Nabi setelahnya tapi kalau dikatakan kenabian sudah ditutup berarti tidak
mungkin ada kerasulan setelahnya.
Kemudian beliau mengatakan,

‫ال نبى بعده‬

Tidak ada Nabi i setelahnya.

Dan beliau mendatangkan kalimat ini karena demikian di dalam hadits. Di dalam hadits Nabi
‫ ﷺ‬ketika menyebutkan akan datangnya ‫َك َّذ اُبوَن َثاَل ُثوَن‬

‫َو اَل َت ُقوُم الَّساَع ُة َح َّت ى َي ْأِتي َك َّذ اُبوَن َثاَل ُثوَن ُكُّلُهْم َي ْز ُع ُم َأَّن ُه َن ِبٌّي َو َأَن ا َخ اَت ُم الَّن ِبِّييَن اَل َن ِبَّي َب ْع ِدي‬

‫َو ِإَّنُه َس َي ُك وُن في ُأَّمِتي َك َّذ اُبوَن َثاَل ُثوَن‬

Akan ada dikalangan umatku, yaitu akan muncul di tengah-tengah umatku ‫َك َّذ اُبوَن َثاَل ُثوَن‬, bukan
berarti bahwasanya mereka adalah orang yang masih di dalam keislamannya.
Kalau dia mengaku menjadi Nabi setelah Nabi ‫ ﷺ‬jelas dia keluar dari agama Islam.
Maksudnya adalah akan muncul di tengah-tengah umatku orang-orang yang pendusta yang
jumlah mereka ada 30.

‫ُكُّلُهْم َي ْز ُع ُم َأَّن ُه َن ِبٌّي‬

Masing-masing dari mereka menganggap dirinya adalah Nabi.

‫َو َأَن ا َخ اَت ُم الَّن ِبِّييَن اَل َن ِبَّي َب ْع ِدي‬

Dan aku adalah penutup para Nabi, tidak ada Nabi setelahku.
Jadi di dalam matan ini beliau mengatakan,

‫وهو خاتم النبِّيين ال نبى بعده‬

Mengikuti apa yang dikatakan oleh Nabi ‫ﷺ‬. Dan penyebutan ‫ اَل َن ِبَّي َب ْع ِدي‬ini tidak sia-sia.
Dia adalah menjelaskan kalimat ‫خاتم النبِّيين‬, maknanya ‫ال نبى بعده‬, tidak ada Nabi setelah Beliau
karena kalimat ‫ خاتم‬bisa maknanya adalah penutup, stempel, sebagaimana stempel itu
adalah dilakukan terakhir, kalau semuanya sudah benar baru setelah itu terakhir distempel.
‫خاتم‬, stempel itu adalah yang terakhir dilakukan, tidak di ‫ خاتم‬kecuali semuanya sudah beres,
artinya dia adalah yang terakhir kali.

Ada yang mengartikan ‫ خاتم‬di sini adalah cincin ‫خاتم‬, kemudian dia mengatakan yang
namanya cincin itu hanya sekedar sebagai perhiasan, artinya Beliau ‫ ﷺ‬kata mereka,
hanyalah perhiasan saja, penghias saja untuk para nabi, pengindah, tidak menunjukkan
bahwasanya Beliau ini penutup.

Ada yang mengartikan demikian, namun tafsir seperti ini batil karena setelahnya Nabi ‫ﷺ‬
mengatakan ‘Tidak ada Nabi setelahku’.
Dengan adanya kalimat ini kita mengetahui kebatilan orang yang mengartikan ‫ خاتم‬dengan
hanya sekedar itu sebagai cincin saja, tetapi maknanya adalah penutup para Nabi, sehingga
beliau di sini mendatangkan kalimat ini sebagaimana Rasulullah ‫ ﷺ‬juga mendatangkan
kalimat yang sama.
‫وهو خاتم النبِّيين ال نبى بعده‬

Halaqah 96 | Poin-Poin Penutup Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul Terakhir

Kemudian beliau mendatangkan firman Allah ‫ ﷻ‬dan dalilnya, yaitu dalil bahwasanya
Beliau ‫ ﷺ‬adalah Nabi yang terakhir dan otomatis kalau Nabi yang terakhir berarti tidak
ada Rasul setelahnya, tidak ada Nabi setelahnya.

‫قوله تعالى‬
Firman Allah ‫ﷻ‬

‫َّما َك اَن ُم َح َّم ٌد َأَب ٓا َأَح ٖد ِّمن ِّر َج اِلُك ۡم َو َٰل ِكن َّر ُسوَل ٱِهَّلل َو َخ اَت َم ٱلَّن ِبۧ‍ِّيَۗن‬

Tidaklah Muhammad bapak salah seorang di antara laki-laki dewasa kalian.


Karena anak laki-laki Beliau tidak ada yang sampai dewasa, yang sampai dewasa hanya
yang perempuan saja. Anak laki-laki Beliau Ibrahim, Abdullah, Al-Qasim.
Abdullah dan juga Al-Qasim dilahirkan oleh Khadijah dan keduanya meninggal ketika
keduanya masih kecil. Adapun Ibrahim maka ini adalah putra Beliau dari Maria, budak Nabi
‫ﷺ‬, dan Ibrahim juga meninggal ketika masih kecil, jadi tidak ada anak laki-laki beliau
‫ ﷺ‬yang tumbuh sampai dewasa.

Adapun yang wanita maka tumbuh sampai dewasa. Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan
juga Fatimah, maka keempat-empatnya sampai dewasa.

Muhammad bukanlah bapak salah seorang diantara laki-laki dewasa kalian,

‫َو َٰل ِكن َّر ُسوَل ٱِهَّلل‬

Tapi Beliau adalah Rasulullah

‫َو َخ اَت َم ٱلَّن ِبۧ‍ِّيَۗن‬

Dan Beliau adalah penutup para Nabi.

Dan keyakinan bahwasanya Beliau ‫ ﷺ‬adalah penutup para Nabi maka ini adalah
termasuk dharuriyyat, perkara yang darurat, artinya seluruh muslim baik yang laki-laki
maupun wanita mereka pasti meyakini bahwasanya Muhammad ‫ ﷺ‬adalah nabi yang
terakhir.

Sesuatu yang darurat semuanya meyakini yang demikian, sehingga kalau sampai ada yang
tidak meyakini bahwasanya Beliau ‫ ﷺ‬adalah Nabi yang terakhir maka dia bukan muslim.

Barangsiapa yang meyakini bahwasanya Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬bukan Nabi yang terakhir
maka dia bukan seorang muslim, karena keyakinan seperti ini adalah termasuk dharuriyyat.

Sehingga apabila di sana ada orang yang mengaku menjadi Nabi, dan ini banyak sekali di
negara kita, dan para ulama menjelaskan semakin banyak kebodohan di sebuah daerah
maka akan semakin banyak orang yang mengaku menjadi Nabi. Semakin jauh dari ilmu
maka akan semakin banyak di sana orang yang mengaku menjadi Nabi.
Di Indonesia kalau kita hitung banyak sekali, ada yang perempuan, juga ada yang mengaku
menjadi Nabi, ada yang sempat katanya bertapa di sebuah gunung kemudian turun dia
mengaku menjadi Nabi bahkan sempat masuk televisi meskipun akhirnya dia bertobat,
bertobat menjadi seorang Nabi . Maka ini menunjukkan tentang banyaknya kebodohan dan
seandainya muncul maka tidak boleh ada keraguan di dalam hati seseorang bahwasanya
dia adalah seorang yang kadzab, seorang pendusta. Jangan sampai ada, dan ini tidak
mungkin ada di dalam hati seorang muslim, jangan-jangan dia benar seorang Nabi, ini tidak
ada dalam hati seorang muslim. Pasti dia langsung mengatakan dia adalah kadzab, dia
adalah seorang pendusta.

Kemudian yang menjadi pertanyaan di sini kenapa beliau ketika menyebutkan

‫أولهم نوح وآخرهم محمد‬

Tapi ketika menyebutkan tentang dalil yang didahulukan adalah dalil Muhammad ‫ ﷺ‬baru
setelah itu dalil yang menunjukkan bahwasanya Nuh adalah yang pertama? Dilompatin.

‫ وآخرهم محمد ﷺ وهو خاتم النبِّيين ال نبى بعده‬،‫وأولهم نوح عليه السالم‬

Kemudian
‫والدليل قوله تعالى‬

Yang didahulukan adalah dalil yang menunjukkan bahwasanya Muhammad ‫ ﷺ‬adalah


Nabi yang terakhir, baru setelah itu mendatangkan dalil yang menunjukkan bahwasanya
Nuh adalah Rasul yang pertama.

Di sini didahulukan Muhammad ‫ ﷺ‬karena untuk tasyrif, yaitu memuliakan Nabi


Muhammad ‫ ﷺ‬dan mentaqdim Beliau ‫ﷺ‬. Meskipun Beliau ‫ ﷺ‬adalah Rasul yang
terakhir tetapi Beliau ‫ ﷺ‬lebih utama daripada Nabi Nuh ‫ عليه السالم‬sehingga didahulukan
sebelum mendatangkan dalil yang menunjukkan bahwasanya Nuh adalah Rasul yang
pertama.

Dan kalau kita kembali kepada ta’rif bahwasanya Rasul ini diutus kepada kaum yang
mukholifin, menyelisihi di dalam masalah tauhid, maka kita dapatkan Nuh ‫ عليه السالم‬memang
diutus kepada kaum yang menyelisihi beliau di dalam masalah tauhid. Karena kesyirikan
yang pertama ini muncul di zaman Nabi Nuh ‫عليه السالم‬, menyelisihi di dalam masalah tauhid
sehingga sangat benar sekali apabila dikatakan oleh Nabi Adam ‫عليه السالم‬

‫اْئُتوا ُنوًح ا َأَّو ل َر ُسوٍل َبَع َث ُه ُهَّللا ِإَلى َأْه ِل اَأْلْر ِض‬
Hendaklah kalian mendatangi Nuh, Rasul yang pertama yang diutus oleh Allah ‫ ﷻ‬kepada
penduduk bumi.

Halaqah 97 | Poin-Poin Penutup Tentang Hubungan Para Rasul dan Tauhid

Beliau menggandengkan dan menghubungkan antara Rasul-Rasul tadi dari Nuh sampai
Muhammad ‫ ﷺ‬dengan tauhid. Beliau mengatakan,

‫وكل أمة بعث هللا إليهم رسوًال من نوٍح إلى محمد ﷺ‬

Dan setiap umat yang Allah ‫ ﷻ‬utus kepadanya seorang Rasul, karena tadi berbicara
tentang Rasul

‫من نوٍح إلى محمد ﷺ‬

Dari Nuh sampai Muhammad ‫ﷺ‬

‫ وينهاهم عن عبادة الطاغوت‬،‫يأمرهم بعبادة هللا وحده‬

Rasul tersebut, yang diutus dari Nuh sampai Muhammad ‫ ﷺ‬memerintahkan mereka,
(memerintahkan umat tersebut), yang pertama adalah memerintahkan mereka untuk
beribadah kepada Allah ‫ ﷻ‬saja,

‫وينهاهم عن عبادة الطاغوت‬

Dan melarang mereka dari beribadah kepada thaghut.

Ada itsbat ada nafyun, memerintahkan mereka beribadah kepada Allah ‫ ﷻ‬saja dan
melarang mereka untuk beribadah kepada thaghut. Ini adalah kalimat tauhid ‫ال إله إال هللا‬.
Seluruh para Rasul dari Rasul yang pertama sampai Rasul yang terakhir dan sudah kita
sebutkan beberapa dalil, baik dalil yang umum maupun dalil yang khusus yang
menunjukkan bahwasanya para Nabi dan Rasul kalimat mereka satu, yaitu:
‫َأ ٱۡع ُبُد وْا ٱ َو ٱۡج َت ِنُبوْا ٱلَّٰط ُغ وَۖت‬
‫َهَّلل‬ ‫ِن‬

Di sini ketika berbicara tentang beriman dengan para Rasul, kembali beliau menghubungkan
antara para Rasul tersebut dengan dakwah tauhid, karena sekali lagi tauhid ini adalah asal
dari semuanya. Dia adalah sebab kita diciptakan oleh Allah ‫ ﷻ‬dan dia adalah inti dari
dakwahnya para Nabi dan Rasul dan dia adalah inti dari isi kitab yang diturunkan oleh Allah
‫ﷻ‬.

Allah ‫ ﷻ‬mengatakan di dalam surat Hud,

‫ِك َٰت ٌب ُأۡح ِكَم ۡت َء اَٰي ُتُهۥ ُثَّم ُفِّص َلۡت ِمن َّلُد ۡن َح ِكيٍم َخ ِبيٍر َأاَّل َتۡع ُبُد ٓو ْا ِإاَّل ٱَۚهَّلل‬

Inti dari kitab yang diturunkan oleh Allah ‫ ﷻ‬adalah


‫َأاَّل َتۡع ُبُد ٓو ْا ِإاَّل ٱَۚهَّلل‬

Janganlah kalian menyembah kecuali hanya kepada Allah ‫ ﷻ‬saja.

Makanya di sini beliau karena keutamaan tauhid dan bahwasanya tauhid ini adalah asal dari
semuanya, ketika membahas tentang iman kepada Rasul, beliau membahas dan
menghubungkan antara para Rasul tadi dengan tauhid.

Sebagaimana sebelum-sebelumnya membahas tentang ma’rifatullah jelas berhubungan


dengan tauhid.
Ketika membahas tentang agama Islam tentang istislamu lillah bittauhid.
Kemudian ketika membahas Rasulullah Muhammad ‫ ﷺ‬membahas bahwasanya dakwah
Beliau adalah dakwah kepada tauhid, membahas tentang Al-Muddatsir dan misi Beliau
adalah berdakwah kepada tauhid.
Dan sekarang ketika membahas tentang beriman kepada para Rasul demikian pula beliau
hubungkan dengan tauhid.

‫والدليل قوله تعالى‬


Dalilnya adalah Firman Allah ‫ﷻ‬

36:‫َو َلَقْد َبَع ْث َن ا ِفي ُك ِّل ُأَّمٍة َّر ُسوًال َأِن اْع ُبُد وْا َهّللا َو اْج َت ِنُبوْا الَّط اُغ وَت [النحل‬

Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang Rasul supaya kalian
menyembah kepada Allah ‫ ﷻ‬saja dan hendaklah kalian menjauhi thaghut.
‫َأِن اْع ُبُد وْا َهّللا‬

Ini adalah dalil


‫يأمرهم بعبادة هللا وحده‬
‫َو اْج َت ِنُبوْا الَّط اُغ وَت‬

Dalil bahwasanya mereka melarang dari ibadati thaghut.

Ini satu diantara dalil-dalil yang menunjukkan tentang inti dakwah dari para Nabi dan juga
Rasul, dan sudah kita sebutkan dalil yang lain.

‫َٰل‬ ‫ۡل‬
‫َو َم ٓا َأۡر َس َن ا ِمن َق ۡب ِلَك ِمن َّر ُسوٍل ِإاَّل ُنوِحٓي ِإَلۡي ِه َأَّن ُهۥ ٓاَل ِإ َه ِإٓاَّل َأَن ۠ا َف ٱۡع ُبُدوِن‬

Dan juga Firman Allah ‫ﷻ‬

‫ۡل‬ ‫ۡذ‬ ‫ۡذ‬


‫َو ٱ ُكۡر َأَخ ا َع اٍد ِإ َأنَذ َر َق ۡو َم ُهۥ ِبٱَأۡلۡح َقاِف َو َق ۡد َخ َلِت ٱلُّن ُذ ُر ِم ۢن َب ۡي ِن َي َد ۡي ِه َو ِم ۡن َخ ِفِهٓۦ َأاَّل َتۡع ُبُد ٓو ْا ِإاَّل ٱَهَّلل‬

Itu adalah dakwah para Nabi dan Rasul baik sebelum Nabi Hud maupun setelah Nabi Hud.
Kemudian juga dalil-dalil yang khusus sudah pernah kita sebutkan,

‫ِإَٰل ٍه َغ ۡي ُر ُهٓۥ‬ ‫َلَقۡد َأۡر َس ۡل َن ا ُنوًح ا ِإَلٰى َق ۡو ِمِهۦ َفَقاَل َٰي َق ۡو ِم ٱۡع ُبُد وْا ٱَهَّلل َم ا َلُك م ِّم ۡن‬
‫َٰل ٍه َغ ۡي ُرُهۖٓۥ‬ ‫َو ِإَلٰى َع اٍد َأَخ اُهۡم ُه وٗد ۚا َق اَل َٰي َقۡو ِم ٱۡع ُبُد وْا ٱَهَّلل َم ا َلُك م ِّم ۡن‬
‫ِإ‬
‫َٰل‬
‫ِإ ٍه َغ ۡي ُر ُهۖۥ‬ ‫َو ِإَلٰى َث ُموَد َأَخ اُهۡم َٰص ِلٗح ۚا َق اَل َٰي َق ۡو ِم ٱۡع ُبُد وْا ٱَهَّلل َم ا َلُك م ِّم ۡن‬

‫ِإَٰل ٍه َغ ۡي ُرُهۥ‬ ‫َو ِإَلٰى َم ۡد َيَن َأَخ اُهۡم ُشَع ۡي ٗب ۚا َق اَل َٰي َق ۡو ِم ٱۡع ُبُد وْا ٱَهَّلل َم ا َلُك م ِّم ۡن‬

Ini adalah dalil-dalil khusus bagaimana para Nabi dan para Rasul dahulu mereka berdakwah
dengan kalimat ‫ال إله إال هللا‬.

Halaqah 98 | Poin-Poin Penutup Kewajiban Untuk Kufur Kepada Thaghut dan Perintah Untuk
Beriman Kepada Allah

Beliau mengatakan,
‫ واإليمان باهلل‬،‫وافترض هللا على جميع العباد الكفر بالطاغوت‬

Allah ‫ ﷻ‬mewajibkan kepada seluruh hamba untuk mengkufuri thaghut dan beriman kepada
Allah ‫ﷻ‬

Dan ini adalah dakwahnya para Nabi dan juga para Rasul, dan di dalam ayat yang lain Allah ‫ﷻ‬
mengatakan,

‫َفَم ن َي ْك ُفْر بالَّط اُغ وت َو ُيْؤ ِمن ِباِهّلل َفَقِد اْس َت ْم َس َك ِباْلُعْر َو ِة اْل ُو ْث َق ى اَل اَن ِفَص ام َلَه ا َو ُهّللا َس ِم يٌع َع ِليٌم‬

Sebagaimana nanti akan disebutkan. Maka hukumnya wajib untuk kufur dengan thaghut dan ini
adalah perintah.

‫اْع ُبُد وْا َهّللا َو اْج َت ِنُبوْا الَّط اُغ وَت‬

Dan asal dari perintah adalah kewajiban, maka kufur dengan thoghut, mengingkari thoghut, ini
adalah sebuah kewajiban sebagaimana beriman kepada Allah ‫ ﷻ‬ini juga merupakan sebuah
kewajiban.

Thoghut diambil dari kata:

‫طغى – يطغى – طغيا‬

Yang arti ‫ طغى‬ini adalah melampaui batas (Mujawazatu Al-Had).

Di dalam Al-Qur’an Allah ‫ ﷻ‬ketika menceritakan tentang air besar yang ada di zaman Nabi Nuh
‫عليه السالم‬, banjir bandang melampaui batas air tersebut, Allah ‫ ﷻ‬mengatakan,

11:‫ِإَّن ا َلَّما َط َغا ٱۡل َم ٓاُء َح َم ۡل َٰن ُك ۡم ِفي ٱۡل َج اِر َيِة الـحاّقـة‬

Sesungguhnya ketika air itu sudah melampaui batas, maka Kami mengangkut kalian, membawa
kalian di dalam perahu.
Ketika air sudah mulai melampaui batas (sehingga dikhawatirkan tenggelam), Kami bawa kalian
(Kami angkut kalian) di dalam ‫ٱۡل َج اِر َيِة‬.

Berarti ‫ طغيا َّط اُغ وت‬itu berasal dari kata ‫ طغى – يطغى‬yaitu melampaui batas (Mujawazatu Al-Had).

Mujawazah artinya adalah melampaui, Al-Haddi artinya adalah batas.

Segala sesuatu yang melampaui batas, maka ini dinamakan dengan thaghut.

Kita lihat ucapan Ibnul Qoyyim,

‫رحمه هللا تعالى‬- ‫قال ابن القيم‬

Dan ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim di dalam kitab beliau I’lamul-Muwaqqi’in,

‫والطاغوت كل ما تجاوز به العبد حده من معبود أو متبوع أو مطاع‬

Dan yang dimaksud dengan thaghut kata beliau adalah segala sesuatu yang seorang hamba melebihi
batasnya, maka itu dinamakan dengan thaghut, baik thaghut tersebut berupa yang pertama adalah
ma’bud atau yang ke dua berupa matbu’ atau yang ke tiga berupa mutho’.

Yang berupa ma’bud, segala sesembahan selain Allah ‫ ﷻ‬dan dia ridho disembah maka itu adalah
thaghut, karena ini sudah melampaui batas-batasnya. Yang namanya ibadah hanyalah untuk Allah
‫ ﷻ‬saja. Kalau sampai ibadah tadi keluar dan diserahkan kepada selain Allah ‫ ﷻ‬dan dia ridho
disembah selain Allah ‫ ﷻ‬maka dia adalah thaghut, karena ibadah batasnya hanya untuk Allah
‫ ﷻ‬saja. Dia keluarkan ibadah tadi kepada selain Allah ‫ﷻ‬, diserahkan kepada selain Allah
‫ﷻ‬, dan ridho disembah dan diibadahi, maka dia adalah thaghut.

Atau dia thaghut berupa sesuatu yang diikuti, seperti misalnya para ulama atau orang yang
diulamakan, mereka adalah matbu’.

Manusia mengikuti dia, meniru dia. Batasnya yang namanya ulama itu adalah diikuti selama dia
berpegang dengan dalil, apa yang diucapkan sesuai dengan dalil, apa yang dilakukan sesuai dengan
dalil, itu batasnya. Kalau sampai melebihi batas, artinya sampai diikuti dia di dalam perkara yang
tidak ada dalilnya atau yang menyelisihi dalil, keluar batas sampai diikuti ulama tadi di dalam perkara
yang tidak sesuai dengan dalil dan dia ridho diikuti dengan cara seperti itu maka dia adalah thaghut.
Jadi seorang yang diulamakan oleh manusia dan dia ridho manusia menganggap dia maksum,
menganggap dia benar semuanya, mengikuti dia dan menyuruh manusia untuk mengikuti dia di
dalam benarnya, di dalam salahnya, maka ini adalah thaghut.

Ada thoghut berupa ma’bud dan ada thoghut berupa matbu’.

Dan ada thaghut berupa mutho’ (yang ditaati), mereka adalah umaro’, di dalam Islam taat kepada
umaro’ ada batasnya, yaitu ‫ِفي َم ْع ُروِف‬

‫ِإَّنَم ا الَّط اَع ُة ِفي اْلَم ْع ُروِف‬

Sesungguhnya ketaatan itu hanya di dalam ma’ruf saja.

‫َال َط اَع َة ِلَم ْخ ُلْو ٍق ِفي َم ْع ِص َيِة اْلَخ اِلِق‬

Tidak ada ketaatan terhadap makhluk di dalam kemaksiatan kepada Allah ‫ﷻ‬.

Jadi umaro’ ditaati, tapi ada batasnya yaitu selama tidak maksiat. Ulama diikuti selama berpegang
dengan dalil, ada batasnya. Kalau sudah keluar batas, sampai amaro’ amir ditaati dalam perkara
kemaksiatan dan dia ridho ditaati dalam kemaksiatan, maka dia adalah thaghut.

Kalau seorang pemimpin, seorang amir, ridho ditaati dalam kemaksiatan, di dalam perkara yang
bertentangan dengan dalil maka dia adalah thaghut, karena batasnya hanya sebatas di dalam ma’ruf
saja, di dalam kebaikan saja.

Makanya ta’rif dari Ibnul Qayyim ini adalah ta’rif yang bagus sekali. Jadi dia bukan hanya thaghut
dengan makna yang diibadahi dan dia ridho selain Allah ‫ ﷻ‬tapi juga masuk di dalamnya adalah
matbu’, seorang yang diulamakan dan dia ridho untuk diikuti di dalam kemaksiatan, demikian pula
umaro’ yang dia ridho ditaati oleh rakyatnya di dalam kemaksiatan.

Adapun kalau dia tidak ridho disembah oleh manusia dan dia tidak ridho diikuti oleh manusia,
dianggap dia maksum padahal dia tidak ridho dianggap sebagai orang yang maksum. Ditaati oleh
manusia dianggap ucapan dia adalah ucapan Allah ‫ﷻ‬, perintah dia adalah perintah Allah ‫ﷻ‬,
tapi dia tidak ridho disikapi seperti itu, maka mereka tidak dinamakan dengan thaghut. Seperti Nabi
‘Isa ‫ عليه السالم‬disembah oleh orang-orang Nasrani dan dia tidak ridho disembah.

117:‫َم ا ُقۡل ُت َلُهۡم ِإاَّل َم ٓا َأَم ۡر َت ِني ِبِهٓۦ َأِن ٱۡع ُبُد وْا ٱَهَّلل َر ِّبي َو َر َّب ُك ۚۡم [ المائدة‬
Para ulama ahlussunnah, Imam Syafi’i sebagian ghuluw terhadap beliau, Imam Malik sebagian
ghuluw terhadap beliau, Imam Ahmad sebagian ghuluw terhadap beliau, tetapi mereka tidak ridho.
Imam Malik mengatakan,

‫كل ُيؤخذ من كالمه وُيرد إال صاحب هذا القبر‬

Masing-masing bisa ditolak dan diterima ucapannya kecuali yang memiliki kuburan ini. (beliau
mengisyaratkan kepada kuburan Rasulullah ‫)ﷺ‬.

Al-Imamu Ahmad mengatakan,

‫عجبت لقوم عرفوا اإلسناد وصحته ويذهبون إلى رأي سفيان‬

Aku heran dengan sebuah kaum yang mereka mengetahui tentang hadits dan mengetahui tentang
shahihnya hadits tersebut tapi mereka lebih memilih ucapan Sufyan, yaitu Sufyan Ats-Tsauri.

Ini adalah ucapan Imam Malik, ucapan Imam Ahmad, yang menunjukkan bahwasanya mereka tidak
ridho dengan orang yang meyakini bahwasanya mereka maksum, meyakini bahwasanya pasti benar.
Bahkan keluar dari lisan mereka ucapan yang mengharuskan umat untuk mendahulukan ucapan
Rasulullah ‫ ﷺ‬di atas ucapan manusia. Adapun mereka maka bisa salah bisa benar.

Halaqah 99 | Poin-Poin Penutup Lima Pembesar Thaghut

Kemudian Syaikh mengatakan,

‫والطواغيت كثيرون‬

Dan thaghut-thaghut ini banyak, baik dari ma’budaat au mathbu’aat au mutha’aat (sesuatu
yang disembah atau diikuti atau ditaati) ini banyak,
‫ورؤوسهم خمسٌة‬

Tapi yang menjadi ‫رؤوس‬, yang menjadi kepala diantara thaghut-thaghut tadi adalah lima,
berarti mereka ini adalah kepala kepalanya ‫طواغيت‬. Kita diperintahkan untuk menjauhi
mereka baik yang ‫ رؤوس‬maupun yang bukan ‫ رؤوس‬kita diperintahkan untuk menjauhi
mereka,

‫َو اْج َت ِنُبوْا الَّط اُغ وَت‬

Hendaklah kalian menjauhi thaghut, baik yang ro’is maupun yang bukan ro’is. Tapi di sini
beliau karena nushah beliau, beliau memberikan peringatan kepada kita tentang ‫ رؤوس‬nya
menunjukkan bahwasanya lima ‫ رؤوس طواغيت‬inilah yang paling berbahaya.

‫ورؤوسهم خمسٌة‬

Kepala-kepala mereka adalah ada 5


‫إبليس لعنه هللا‬

Yang pertama adalah iblis dan dia adalah ro’isu ru’us, kepalanya kepala-kepalanya ‫طواغيت‬
tadi. Dan tidaklah thaghut-thaghut yang lain menjadi thaghut, kecuali karena disimpangkan
oleh iblis. Jadi dia yang menjadikan yang lain ini menjadi thaghut. Yang membisikkan
kepada orang yang diulama’kan, yang di‘alimkan, sehingga dia ridho untuk dimaksumkan,
iblis yang membisikkan kepadanya. Yang menjadikan seorang amir umaro’ ditaati di dalam
kemaksiatan dan dia ridho ditaati dalam kemaksiatan ini juga iblis. Maka dia adalah yang
paling berbahaya, oleh karena itu dijadikan di sini yang pertama.

‫إبليس لعنه هللا‬

Iblis semoga Allah ‫ ﷻ‬melaknat dia. Semoga Allah ‫ ﷻ‬melaknat dia, yaitu menjauhkan
dia dari rahmat Allah ‫ﷻ‬.

Kemudian yang kedua,

‫ومن عبد وهو راض‬

Dan orang yang disembah sedangkan dia dalam keadaan ridho, yaitu ridho untuk disembah.
Dia disembah, tidak mengajak kepada manusia, disembah kemudian dia senang, gembira
dan bahagia ketika disembah oleh manusia, maka ini adalah thaghut.

‫ومن اَّدعى شيئًا من علم الغيب‬


Dan orang yang mengaku mengetahui tentang ilmu yang ghaib, masuk di dalamnya peramal
karena dia mengaku mengetahui ilmu yang ghaib di masa yang akan datang, peramal
dengan berbagai jenisnya.

Kadang ada orang meramal dengan melihat bintang, pura-pura dia melihat bintang,
demikian dan demikian, atau tanggal lahir seseorang dan diketahui dia bintang apa maka
kemudian dia berbicara kamu akan demikian dan demikian, atau orang yang meramal
dengan melihat mangkok, datangkan mangkok kemudian dia pura-pura melihat disitu ada
gambarnya dan seterusnya, atau dia meramal pura-pura melihat tangan, dilihat tangannya,
garisnya, atau dia meramal dengan membuat garis-garis di atas tanah kemudian setelah itu
entah bagaimana kalau misalnya dihilangkan kemudian tersisa 3 berarti demikian, kalau
tersisa 5 maka demikian.
Ini cara orang menipu manusia banyak, padahal intinya sebenarnya dia tidak tahu ilmu yang
ghoib Cuma bergaya saja, pura-pura melihat sesuatu, oh kamu berarti nanti demikian,
seakan-akan ada hubungannya antara mangkok dengan apa yang terjadi di masa yang
akan datang, antara garis-garis tadi dengan apa yang terjadi di masa yang akan datang,
padahal tidak ada apa-apanya.

Orang yang mengaku dia mengetahui ilmu yang ghoib maka dia termasuk thaghut karena
tidak ada yang mengetahui ilmu yang ghoib kecuali Allah ‫ﷻ‬
Allah ‫ ﷻ‬mengatakan,

27-26:‫ ِإاَّل َم ِن ٱۡر َت َض ٰى ِمن َّر ُسوٖل الجن‬٢٦ ‫َٰع ِلُم ٱۡل َغ ۡي ِب َف اَل ُيۡظ ِه ُر َع َلٰى َغ ۡي ِبِهٓۦ َأَح ًد ا‬

Dan Allah ‫ ﷻ‬mengatakan,

65:‫ُقل اَّل َي ۡع َلُم َم ن ِفي ٱلَّس َٰم َٰو ِت َو ٱَأۡلۡر ِض ٱۡل َغ ۡي َب ِإاَّل ٱُۚهَّلل [ النمل‬

Katakanlah tidak ada yang mengetahui siapa yang ada di langit maupun siapa yang ada di
bumi ‫ٱۡل َغ ۡي َب‬, perkara yang ghoib, kecuali Allah ‫ﷻ‬

Maka kalau ada orang yang mengaku dia mengetahui ilmu yang ghoib jelas dia adalah
pendusta dan dia telah mendustakan Al-Quran, karena Al-Quran berisi tidak ada yang
mengetahui ilmu yang ghoib kecuali Allah ‫ﷻ‬.

Yang keempat,
‫ومن دعا الناس إلى عبادة نفسه‬

Orang yang mengajak manusia untuk beribadah kepada dirinya.

Kalau yang tadi, dia sudah disembah dan dia ridho meskipun dia tidak mengajak maka dia
thaghut. Ada orang yang menyembah dirinya meskipun dia tidak mengajak dan dia ridho
maka dia thaghut.

Adapun yang ke empat orang yang mengajak manusia untuk beribadah kepada dirinya,
berhasil atau tidak berhasil, kalau dia mengajak manusia beribadah kepada dirinya maka dia
adalah thaghut. Mungkin dia koar-koar mengajak manusia untuk beribadah kepada dirinya
ternyata tidak ada yang beribadah kepada dirinya maka dia adalah thaghut. Hanya sekedar
mengajak itu sudah thaghut.

‫ومن حكم بغير ما أنزل هللا‬

Dan barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum Allah ‫ﷻ‬.

Ini juga termasuk thaghut apabila dia berhukum dengan selain hukum Allah dan meyakini
bahwasanya hukum tersebut lebih baik daripada hukum Allah, maka dia adalah thaghut.
Maka ini adalah lima perkara yang disifati oleh Syaikh rahimahullah bahwasanya mereka
adalah ‫رؤوس الَّط اُغ وت‬.

Halaqah 100 | Poin-Poin Penutup Makna ‫ال إله إال هللا‬

Kemudian beliau mengatakan,

‫والدليل قوله تعالى‬

Dan dalil, yaitu dalil tentang keharusan untuk kufur dengan thogut dan beriman kepada Allah ‫ﷻ‬,
adalah Firman Allah ‫ﷻ‬

‫َال ِإْك َر اَه ِفي الِّد يِن َقد َّت َبَّيَن الُّر ْش د ِمن اْلَغ ي َفَم ن َي ْك ُفْر بالَّط اُغ وت َو ُيْؤ ِمن ِباِهّلل َفَقِد اْس َت ْم َس َك ِباْلُعْر َو ِة اْل ُو ْث َق ى اَل اَن ِفَص ام َلَه ا َو ُهّللا َس ِم يٌع َع ِليٌم‬
256:‫[البقرة‬
‫َال ِإْك َر اَه ِفي الِّد يِن َق د َّت َبَّيَن الُّر ْش د ِمن اْلَغ ي‬
Tidak ada paksaan didalam agama, karena agama ini indah tidak perlu seseorang dipaksa untuk
memasuki sesuatu yang indah

‫َق د َّت َبَّيَن الُّر ْش د ِمن اْلَغ ي‬

Sudah jelas

‫ َفَقِد اْس َت ْم َس َك ِباْلُعْر َو ِة اْلُو ْث َقى اَل اَن ِفَص ام َلَه ا‬,‫َفَم ن َي ْك ُفْر بالَّط اُغ وت‬

Barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah ‫ ﷻ‬maka sungguh dia telah
berpegang teguh dengan tali Allah ‫ ﷻ‬yang sangat kuat.

Al-Wutsqaa (‫ )اْل ُو ْث َق ى‬ini adalah mu’annats dari al-autsaq, wazannya fu’la, sebagaimana al-kubro
adalah adalah mu’annats dari akbar, ash-shughro adalah mu’annats dari ashghar, husna mu’annats
dari ahsan.

‫ِباْلُعْر َو ِة اْل ُو ْث َق ى‬

Adalah berpegang teguh dengan tali yang sangat kuat.

‫اَل اَن ِفَص ام َلَه ا‬

Tidak akan terputus, tidak akan terurai,

‫َو ُهّللا َس ِم يٌع َع ِليٌم‬

Dan Allah ‫ ﷻ‬dia adalah Dzat yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Beriman dengan Allah ‫ ﷻ‬dan kufur dengan thaghut adalah sebuah kewajiban berdasarkan ayat
ini dan dia adalah sebab thabatnya dan tetapnya seseorang di atas agama Allah ‫ﷻ‬.

Kemudian beliau mengatakan,


‫وهذا هو معنى ال إله إال هللا‬

‫الكفر بالَّط اُغ وت َو اِإليَم ان ِباِهّلل‬

Inilah makna ‫ ال إله إال هللا‬karena ‫ ال إله‬yaitu ‫ كفر بالَّط اُغ وت‬dan ‫ إال هللا‬yaitu ‫اِإليَم ان ِباِهّلل‬

‫ وهذا هو معنى ال إله إال هللا‬yaitu ‫الكفر بالَّط اُغ وت َو اِإليَم ان ِباِهّلل‬. Ini adalah makna ‫ال إله إال هللا‬.

Kemudian beliau mengatakan,

‫وفي الحديث‬

Di dalam sebuah hadits,

‫ َو ِذْر َو ُة سنامه الجهاُد في سبيل هللا‬،‫ وعموده الصالة‬،‫رأس األمر اإلسالم‬

Di dalam sebuah hadits, dan hadits ini beliau bawakan ingin menunjukkan kepada kita bahwasanya
kalimat ‫ ال إله إال هللا‬yang merupakan kalimat yang intinya beriman kepada Allah ‫ ﷻ‬dan kufur
kepada thaghut, dia adalah sesuatu yang sangat mulia di dalam agama Islam, dia adalah yang paling
tinggi, syahidnya di sini.

‫رأس األمر اإلسالم‬

Ucapan beliau ‫ رأس األمر‬menunjukkan bahwasanya ini adalah perkara yang paling penting, yang
paling tinggi, karena ‫ رأس‬adalah suatu yang paling penting di dalam badan kita.

Yang paling penting diantara perkara-perkara ini adalah ‫ اإلسالم‬karena makna Islam ‫اِإلْس ِتْس اَل ُم ِهلِل ِبالَّت ْو ِحْيِد‬,
menyerahkan diri kepada Allah ‫ ﷻ‬dengan tauhid. Berarti tauhid adalah ‫رأس األمر‬, tauhid ini
adalah kepalanya yang paling penting di dalam perkara-perkara kita. Beliau mendatangkan hadits ini
karena menguatkan tentang kewajiban ‫ الكفر بالَّط اُغ وت َو اِإليَم ان ِباِهّلل‬dan ini adalah makna Islam, dan Islam
kedudukan didalam seluruh perkara dia adalah ‫ رأس‬nya, dia adalah intinya, dia adalah kepalanya.

‫وعموده الصالة‬

Dan tiangnya adalah shalat


‫َو ِذْر َو ُة سنامه الجهاُد في سبيل هللا‬

Dan ‫ ِذْر َو ُة سنامه‬maksudnya adalah yang menguatkan karena ‫ ِذْر َو ُة‬artinya adalah yang atas, ‫ سنام‬artinya
adalah punuk, sanaamul ibil maksudnya adalah punuk unta.

‫ ِذْر َو ُة سنامه‬yaitu yang bagian paling atas dari punuknya maksudnya adalah yang menguatkan Islam ini,
yang menguatkan Islam ini adalah ‫جهاد في سبيل هللا‬.

Kalau ditinggalkan jihad padahal saat itu adalah sebuah kewajiban kemudian kaum muslimin
meninggalkan jihad maka ini menjadi kehinaan dan akan menjadi kelemahan bagi mereka, tapi
ketika mereka mendirikan dan menegakkan syiar Allah ‫ جهاد في سبيل هللا‬dan saat itu merupakan
kewajiban bagi mereka, maka ini menjadi penguat bagi Islam.

‫َو ِذْر َو ُة سنامه الجهاُد في سبيل هللا‬

Dia adalah penguatnya, punuk yang paling atas, ‫ َو ِذْر َو ُة‬adalah yang paling puncak, puncak dari
punuknya adalah ‫ جهاد في سبيل هللا‬maksudnya adalah yang menguatkan Islam.

Jangan dipahami bahwasanya jihad itu yang paling atas yang paling tinggi, tidak, maksudnya adalah
yang menguatkan. Karena sebagian ada yang istisykal, menganggap seperti ada pertentangan, kan di
sini disebutkan ‫ رأس األمر اإلسالم‬sementara disebutkan ‫َو ِذْر َو ُة سنامه‬.

Maksud ‫ َو ِذْر َو ُة سنامه‬di sini adalah yang menguatkan, kalau sampai ditinggalkan maka akan
menjadikan Islam lemah.

Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dan juga Ibnu Majah, dan dia adalah hadits yang
hasan lighairihi.

Berarti kita memahami kenapa beliau mendatangkan hadits ini, yaitu syahidnya di sini pada kalimat
‫رأس األمر اإلسالم‬, dan ‫ اإلسالم‬maknanya adalah ‫ اِإلْس ِتْس اَل ُم ِهلِل ِبالَّت ْو ِحْيِد‬berarti dia lebih dekat Islam di sini
bukan Islam dengan makna al ‘amal adz-dzahir dan bukan Islam dengan makna Islam yang dibawa
oleh Nabi ‫ﷺ‬, tapi dia adalah Islam dengan makna umum yang lebih umum yaitu ‫اِإلْس ِتْس اَل ُم ِهلِل‬
‫ِبالَّت ْو ِحْيِد‬.

Kemudian beliau mengatakan,

‫وهللا أعلم‬
Dan Allah ‫ ﷻ‬Dia-lah yang lebih tahu.

‫وصلى هللا على محمد وآله وصحبه وسَّلم‬

Dan semoga shalawat Allah ‫ ﷻ‬atas Muhammad ‫ﷺ‬, keluarganya dan juga para sahabatnya
dan juga keselamatan atas mereka semuanya.

Menutup kitab beliau dengan ‫وهللا أعلم‬, menyerahkan ilmu semuanya kepada Allah ‫ﷻ‬, beliau
berusaha sebagai ulama menulis sesuai dengan kemampuan beliau tapi tentunya Allah ‫ ﷻ‬Dia-lah
yang lebih mengetahui.

Dengan demikian kita telah menyelesaikan kitab yang sangat bermanfaat ini yaitu Al-Ushūlu
AtsTsalātsah wa Adillatuhā yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb Ibnu Sulaiman
At-Tamimi rahimahullāh, kita doakan semoga Allah ‫ ﷻ‬membalas beliau dengan balasan yang
lebih baik dan menjadikan ilmu yang kita dapatkan dari buku ini adalah ilmu yang bermanfaat yang
mewariskan amalan dan mewariskan rasa takut kepada Allah ‫ﷻ‬.

Anda mungkin juga menyukai