Bab 1
ACEH PRA-ISLAM
Henry Chambert Loir dan Hasan Muarif Ambary, (eds.), Panggung Sejarah: Persembahan kepada
Prof. Dr. Denys Lombard, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 129.
2 Lihat Ghazalie Shafie, Rumpun Melayu dan bangsa Malaysia Menjelang Tahun 2002, (Bangi:
melalui kacamata lokal, tidak ada pengaruh utama yang menimpa Indonesia masih terdapat
dalam bentuk aslinya. Harry J.Benda, “Kontuinitas dan Perubahan dalam Islam di Indonesia”,
dalam Taufik Abdulah, (ed.), Sejarah dan Masyarakat, Lintasan Historis Islam di Indonesia, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 26-28.
2 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
5 Moh. Ali Fadillah, ”Etnisitas dan Nasionalisme Indonesia Perspektif Arkeologi”, dalam
Henry Chambert Loir dan Hasan Muarif Ambary, (eds.), Panggung Sejarah: Persembahan kepada
Prof. Dr. Dennys Lombard, Op.cit., hlm. 122-123.
6 S.M. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh, (Jakarta: Soerongan, 1956), hlm. 5-7.
7 S.M. Amin, Op.cit., hlm. 7.
8 Cut Nyak Kusmiati, “Manusia dan Kebudayaan Aceh menjelang Kedatangan Islam”,
dalam Ali Hasjmi, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif,
1981), hlm. 90-91.
Aceh Pra-Islam 3
9 Jaman prasejarah Indonesia terbagi atas beberapa jaman, yaitu jaman batu tua
(palaeotikum), jaman batu madya (mesolitikum), jaman batu muda (neolitikum), jaman perunggu
dan jaman besi. Pada jaman mesolitikum manusia mulai merintis ke arah hidup yang sempurna,
mereka mulai menetap, tetapi belum bisa memproduksi makanan sendiri, mereka hidup di
gua-gua dan rumah-rumah yang tinggi. Lihat Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, Monografi
Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1976), hlm. 1-2.
10 Soekmono, Sejarah Kebudayaan Indonesia I, (Jakarta: Kanisius, 1973), hlm.39.
11 Koentjaraningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Jakarta: India, 1956), hlm 54-56. Pada
jaman mesolitikum Aceh, telah ditemukan ciri jaman neolitikum, yaitu kapak yang ditemukan di
bukit kerang di Pantai Timur Sumatera. Kapak itu disebut juga proto-neolith. Lihat juga Moh. Ali
Fadillah, “Etnisitas dan Nasionalisme Indonesia Perspektif Arkeologi”, Op.cit., hlm. 130.
12 Kjokkkenmodinger, bahasa Denmark Kjokken artinya dapur, modinger artinya sampah,
bukit seperti itu terdapat juga di Denmark. Lihat Koentjaraningrat, Ibid. hlm. 56. Uka
Tjandrasasmita juga menyebutkan bahwa berdasarkan tempat peninggalan bekas-bekas bukit
kerang (kjokkenmodinger) itu dapat disimpulkan pada wilayah kekuasaan Kerajaan
Samudera-Pasai (Langsa), pada masa-masa sebelumnya telah dihuni manusia, kemudian
berkembang, menjadi pusat pemukiman dan selanjutnya dapat berhasil menjadi kekuatan politik
sebagai salah satu kerajaan Islam Pasai. Uka Tjandrasasmita, “Peranan Samudera-Pasai dalam
Perkembangan Islam di beberapa Daerah Asia Tenggara”, dalam Hasan Muarif Ambary dan
Bachtiar Ali, (eds.), Retrospeksi dan Refleksi Budaya Nusantara, (Jakarta: Taman Iskandar Muda,
1988), hlm. 67.
4 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
Jaman neolitikum (jaman batu muda) telah juga dialami oleh Aceh
yakni dengan ditemukannya kapak persegi yang telah diasah dengan halus
dan kapak persegi ini berasal dari Tiongkok Selatan. 13 Berdasarkan
temuan artefak jaman neolitikum memberikan pandangan bahwa jaman
neolitikum Aceh dalam kompleksitasnya, mengandung unsur-unsur
autochtone (asli), artinya telah ada gejala perkembangan lokal dari tingkat
budaya sebelumnya (mesolitikum), sedangkan unsur-unsur allochtone
(asing) hanya merupakan perangsang dalam mempercepat proses
ketingkat budaya jaman neolitikum. Dengan kata lain jaman neolitikum
Aceh tidak dimulai dari peristiwa migrasi, tetapi kembali ke tingkat budaya
sebelumnya, yang telah memiliki unsur-unsur jaman neolitikum, yaitu
tradisi budya Hoabinhian di Aceh. 14 Watak dari transisi itu ditandai
dengan berkembangnya masyarakat semi-sedenter yang dapat
diidentifikasi pada beberapa kelompok artefak jaman mesolitikum yang
telah memiliki ciri jaman neolitikum. Namun pengetahuan tentang jaman
neolitikum Indonesia masih sangat terbatas, karena kurangnya penelitian
jaman neolitikum Indonesia masih mengidentifikasi situs pemukiman dan
industri, padahal di Vietnam, Thailand dan Malaysia telah ditemukan
kuburan neolitikum.15
Masa peradaban neolitikum pun berakhir dan Aceh melangkah ke
jaman peradaban yang lebih maju, dimana pada masa ini alat-alat sudah
terbuat dari bahan baku perunggu dan besi. Dan pada masa ini nenek
moyang bangsa Aceh yang tergolong kepada bangsa deutro Melayu (Melayu
Muda) sebagaimana juga satu nenek moyang bangsa Jawa, Melayu, Banjar,
Bugis dan lain-lain. Masyarakat Aceh pada jaman itu telah menetap,
bertani dan bercocok tanam.16
Periode-periode peradaban Aceh selanjutnya dapat dipaparkan
secara sosiologis, Aceh berikut ini didasarkan pada suatu ingatan segar
yang masih tersisa. Di mana bangsa Aceh ialah kumpulan beberapa suku
bangsa yang mendiami belahan ujung pulau Sumatera. Dan bangsa Aceh
adalah terdiri dari sembilan sub-etnis (Aceh, Tamiang, Gayo, Alas, Aneuk
Jamee, Kluet, Aneuk Laot, Simeulue dan Sinabang), yang masing-masing
memiliki budaya dan bahasa serta pola pikir sendiri-sendiri. Secara
geografis tengah Aceh terdapat orang Alas dan Gayo yang menurut
pendapat beberapa peneliti, memiliki pemikiran dan adat serta budaya
yang agak berbeda dengan suku Aceh yang berdiam di sepanjang pesisir.
Kehidupan pesisir adalah kehidupan keras, ringkas dan mengutamakan
sikap yang efektif. Wajar jika kemudian bahasa Aceh adalah bahasa yang
jumlah suku-katanya sangat singkat. Suku Aceh mempunyai bahasa yang
digolongkan masuk ke dalam rumpun bahasa deutro Melayu.17
Di kalangan peneliti sejarah dan antropologi sering dikatakan bahwa
suku Aceh berasal dari suku setempat yang bernama orang mantir (bahasa
Aceh: mantee) yang hidup di rimba raya dan mempunyai ciri postur tubuh
agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Orang mantir ini
kemungkinan besar mempunyai kaitan dengan suku bangsa mantera di
Malaka, yaitu bagian dari bangsa monk khmer dari Hindia Belakang. Maka,
semangat dan api revolusi senantiasa hidup dalam jiwa-jiwa orang Aceh
sebagaimana revolusionernya orang-orang Khmer. Ditambah pengaruh
dari pembauran dengan suku bangsa yang datang dari Andaman, India,
dan Nicobar yang terletak di sebelah utara.18
Memasuki periode jaman sejarah, gelombang perubahan telah
menempatkan Indonesia dan Aceh kedalam “keunggulan” bangsa India
yang telah menghasilkan jaman klasik Hindu-Budha. Dapat dikatakan
bangsa Aceh banyak belajar dari budaya India yang lebih dulu mengalami
kemajuan dibandingkan bangsa Aceh.19 Besarnya pengaruh kebudayaan
dari India serta masyarakat setempatpun menganut agama Hindu dan
Budha. Namun kedatangan agama Hindu dan Budha itu tidak
melenyapkan kepercayaaan animisme, dinamisme, dan pemujaan terhadap
nenek moyang. Bahkan sebaliknya, terjadi singkretisme antara kedua
agama tersebut yaitu agama Siwa-Budha.20
Pengaruh Hindu
Kebudayaan Aceh memiliki banyak kesamaan dengan India
Menurut Cut Nyak Kusmiati, sejak jaman prasejarah telah terdapat
hubungan maritim antara India dengan Indonesia. Namun tidak dapat
dalam Ali Hasjmi (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif,
1981), hlm. 89-90.
22S.M. Amin, Op.cit., hlm.5-7.
23Lihat Ismail Jakup, Sejarah Islam Di Indonesia, (Jakarta:Widjaya), hlm 8-11.
Kerjaan Hindu di Nusantara adalah (1) Kerajaan Sriwijaya di Palembang Sumatra
Selatan, (2) Kerajaan Majapahit pulau Jawa, (3) Kerajaan Pajajaran di Jawa bagian Barat.
24 Boechari, A Prelimanary Note on a Study of the Old Javanese Administration M.I.I.S.I, (Jakarta:
Cut Nyak Kusmiati, “Manusia Dan Kebudayaan Aceh Menjelang Kedatangan Islam”……….,
Op.cit., hlm. 91.
Aceh Pra-Islam 7
26 H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, (Medan: pertjetakan Indonesia, 1961),
hlm. 26.
27 Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia
Indonesia, Brunei dan Filipina. Wan Hussein Azmi, ”Islam di Aceh: Masuk dan Berkembangnya
Hingga Abad XVI”, dalam Ali Hasjmi,(ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 174.
30 Para ahli sejarah sudah sependapat bahwa jaman sejarah di Indonesia dimulai pada
abad ke-4, dengan ditemukannya Piagam Muara Kaman, Kalimantan Timur yang bertuliskan
huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Monografi Daerah Istimewa Aceh……, Op.cit. hlm. 3.
8 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
31 S.M. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh, (Jakarta: Soerongan, 1956), hlm. 5-7.
32 S.M. Amin, Op.cit., hlm. 7.
33 Wan Hussen Azmi, “Islam di Aceh masuk dan berkembangnya hingga abad XVI”,
dalam Ali Hasjmy, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif,
1981), hlm. 193.
34 Wan Hussen Azmi, Islam di Aceh masuk dan berkembangnya hingga abad XVI,
Aceh”, dalam Ali Hasjmy, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung:
Al-Ma’arif, 1981), hlm. 357.
36 Wan Hussen Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya hingga Abad XVI”,
Meurah Johan yang ikut menyerang tentara Tiongkok, putera dari Adi
Genali atau Teungku Kawee Teupat yang dirajakan di negeri Lingga.
Duapuluh lima tahun kemudian Maharaja Indra Sakti meninggal dunia,
dan diangkatlah menantunya Meurah Johan menjadi Raja Indra Purba
dengan gelar Sultan Alaiddin Johan Syah, dimana Kerajaan Indra Purba
dengan ibukotanya Lamuri, dijadikan kerajaan Islam dengan nama
kerajaannya Darussalam dan ibukota negaranya dibuat yang baru dan
berlokasi di tepi sungai Kuala Naga (Krueng Aceh sekarang) dan dinamai
Bandar Darussalam.40
Melihat terjadinya perubahan budaya yang begitu cepat antara
budaya Hindu menjadi Islam di kerajaan Indrapura dan dengan adanya
serangan kerajan Hindu dari India yang mempunyai Raja bernama
Rajendra Cola I.41 Dapat dikaitkan dengan hipotesa seorang ahli sejarah
yang menyatakan hubungan dagang antara masyarakat Aceh dengan
bangsa India mengakibatkan masuknya pengaruh budaya India ke dalam
budaya Aceh. Ia menyatakan telah terjadi kolonisasi oleh orang-orang
India terhadap Kepulauan Nusantara, termasuk Aceh, dan koloni-koloni
tersebut menjadi pusat penyebaran budaya India. Hingga terjadi
gambaran bahwa bangsa India menjadi golongan yang menguasai
Indonesia termasuk Aceh di dalamnya. Dalam proses masuknya budaya
India yang memegang peranan utama dipegang oleh golongan prajurit,
yaitu kasta ksatria. Pendapat ini disebut hipotesa ksatria.42
Perbedaan pendapat dikalangan para ahli sejarah tentang masuk
peradaban India ke Nusantara termasuk ke Aceh, sering terjadi di
antaranya ketika Krom mengatakan, “Orang tidak perlu membayangkan
suatu peradaban yang luar biasa, yang dapat berdiri berhadap-hadapan
setaraf dengan peradaban Hindu. Tetapi jelas bahwa orang Hindu tidak
datang di tengah-tengah orang biadab”. 43 Pernyataan Krom dianggap
negatif oleh Van Leur. Ia juga menyatakan bahwa kunci untuk menilai
dengan tepatnya pengaruh budaya Hindu di Indonesia adalah perkiraan
yang tepat tentang arti peradaban kuno di Nusantara dalam arti
seluas-luasnya. Pendapat ini diajukan karena ia melihat bahwa para
44 J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society, (The Hague/Bandung: W. van Hoeve, 1955),
hlm. 255.
45 Tgk. M. Junus Djamil, Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh, Op.cit., hlm. 2-4.
46 Ibid., hlm. 4.
47 Harry W. Hazard dalam bukunya Atlas of Islamic History menulis, “Orang Islam yang
pertama mengunjungi Indonesia boleh jadi para saudagar Arab dalam abad ke-7 yang singgah di
Sumatera dalam perjalanan menuju Tiongkok. Penyusul mereka adalah para saudagar dari
Gujarat yang berdagang lada....“ dalam buku, Masjid Raya Baiturrahman, (Banda Aceh: Dinas
Pariwisata Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1992), hlm. 7-9.
12 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
dalam Ali Hasjmi (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif,
1981), hlm. 144.
Aceh Pra-Islam 13
Pendekatan Arkeologi, dalam Ali Hasjmi, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 444.
52 Hasan Muarif Ambary, “Sejarah Masuknya Islam di Negeri Perlak ditinjau dengan
pendekatan arkeologi”, dalam Ali Hasjmi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 443.
53 Lihat G.J. Reiner, History: Its Purpose and Method, (New York: Harper & Roe
Publisher, 1965).
54 Rammani Karupiah, “Sejarah Tamadun Dunia”, Kertas 940/1, (Selangor: Pustaka
Pengaruh Budha
Untuk mengetahu pengaruh Budha atau keadaan awal terjadinya
hubungan antara Pulau Sumatera dengan India, para ahli sejarah
mengalami kesulitan, disebabkan tidak terdapatnya sumber-sumber yang
dapat memberikan keterangan yang jelas. Sumber-sumber dari India yang
dapat diambil adalah sumber sastra yang tidak bertujuan untuk
memberikan fakta yang lugas mengenai keadaan pada masa awal
terjadinya hubungan antara Pulau Sumatera dengan India. Salah satu kitab
yang disebut oleh para ahli, kitab Jataka, yang berisikan kisah-kisah
tentang kehidupan Sang Budha. Di dalam kitab Jataka menyebutkan pula
Suvarnnabhumi, sebuah negeri yang memerlukan perjalanan yang penuh
bahaya untuk mencapainya. Suvarnnabhumi berarti negeri emas, yang
identik dengan Sumatera.57
Bosch seorang ahli sejarah Barat berpendapat bahwa hanya
golongan cendekiawan yang dapat menyampaikan pengaruh agama
Budha kepada Penduduk Nusantara termasuk bangsa Aceh. Bosch
menyebutnya dengan golongan itu dengan clerks dan untuk proses yang
terjadi antara budaya India dengan Nusantara ia mengusulkan istilah
fecundation atau penyuburan. Bosch melihat terjadinya dua penyuburan.
Yang pertama dan kemungkinan telah terjadi lebih dahulu adalah proses
melalui pendeta agama Budha. Awal hubungan dagang antara Kepulauan
56 U.U. Hamidy, “Kebijaksanaan Mempergunakan Hikayat dalam Pengembangan Islam
di Aceh”, dalam Ali Hasjmi (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung:
Al-Ma’arif), hlm. 349-352.
58 F.D.K. Bosch, “The Problem of the Hindu Colonization of Indonesia”, dalam Selected
Studies in Indonesian Archaeology, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1961), hlm. 20. Lihat juga G.
Coedes, The Indienized States of Southeast Asia, Edited by Walter F. Vella, translated by Susan
brown Cowing. (Kuala Lumpur/Singapore: University of Malaya Press, 1968), hlm.21.
59 Cut Nyak Kusmiati, “Manusia dan Kebudayaan Aceh……..Op.cit., hlm. 92.
60 R. Mohd Ali, Peranan bangsa Indonesia Dalam Sejarah Asia Tenggara, (Jakarta: Bhratara,
sebagai pelindung agama Budha dan penganut yang taat. Masalah ini
ternyata menjadi kepentingan agama ini hingga meluas ke luar negeri.
Keterangan dapat diketahui dari prasasti Nalanda dan prasasti Leiden.
Dalam berita Cina juga dapat ditemui uraian mengenai ketaatan raja-raja
Sriwijaya terhadap agama Budha.63
hlm 129-131.
66 Ibid., hlm 131.
67 Wan Hussein Azmi, ”Islam di Aceh: Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad
enclave tertentu masih terkesan bangsa India, demikian juga jenis makanan
mereka identik sekali dengan makanan masyarakat India yang
menggunakan bumbu khas.75
Pengembara dari Cina It-sing pada tahun 671, mengatakan bahwa
dalam pelayarannya ke India dia menumpang salah sebuah kapal dari
seorang raja Sumatera, hal ini telah membuktikan bahwa telah ada
hubungan laut antara Sumatera dan India.76 Dengan demikian hubungan
ekonomi maupun politik antara Aceh sebelum kedatangan Islam dengan
India telah terjalin. Lebih lanjut Cut Nyak Kusmiati menyatakan menurut
berita Cina pedagang-pedagang dari Tachin dan Persia telah mengadakan
hubungan dagang dengan negeri Cina pada abad ke-8, dan mereka
membawa kapur barus yang berasal dari Sumatera.77
Bab 2
ISLAM DI ASIA TENGGARA:
BERMULA DARI ACEH
Kedatangan Islam
Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia adalah wilayah
paling pertama mendapat pengaruh Islam yakni dimulai dari
Peureulak, Aceh. Kenyataan ini menjadi penting untuk melihat
Peureulak secara lebih jeli dengan kedatangan kaum Hadrami
(sering juga disebut kaum Hadharim atau kaum Hadramaut) dari
Arab,1 baru kemudian khusus memfokuskan perhatian pada
Samudra Pasai di mana Islam dijadikan sumber utama inspirasi
kemajuan kerajaan. Dalam sebuah seminar ilmiah tentang sejarah
masuknya Islam ke Nusantara menyimpulkan bahwa Islam telah
masuk ke Aceh sejak abad pertama Hijriyah. Menurut seminar
ini, kerajaan-kerajaan pertama ialah Peureulak, Lamuri dan Pasai.2
Kesultanan Islam Peureulak pada abad ke-9, merupakan
kerajaan independen yang terbentuk secara otonom tanpa
didahului oleh kerajaan-kerajaan Hindu atau Budha. Masuk
melalui jalur perdagangan, Islam di Peureulak kemudian menjadi
kerajaan dagang yang menyerupai sebuah emporium3 ketimbang
sebuah imperium.4 Setelah perlahan-lahan menjadi imperium,
para penguasa Peureulak mengajar rakyat Peureulak cara-cara
bertani yang komersil, cara-cara berniaga yang kapitalistik, cara-
cara menjaga kesehatan atau kebersihan, cara-cara berperang
Agama Islam di Aceh", yang telah berlangsung tanggal 10 sampai 16 Juli 1978 di
Banda Aceh. Lihat Kompas, 19 Juli 1978.
3 Emporium adalah kerajaan dagang yang tidak memiliki tujuan politik.
20
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
Diaspora”, dalam Studia Islamika, vol. 2, no. 2, 1995, diterbitkan oleh IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
6 Ali Hasjmy, (eds.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,
21
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
raja Syahir Nuwi, dari negeri Siam.7 Menurut naskah tua Idharul-
Haq tercatat bahwa Kesultanan Peureulak berdiri pada hari rabu,
12 Nopember 839.8 Rajanya, yaitu Sultan Alaiddin Sayyid
Maulana Abdul Aziz Syah, dengan ibukota negara Bandar
Peureulak. Kemudian ibukota Kesultanan Peureulak di pindah
agak ke pedalaman dan diubah namanya dari Bandar Peureulak
menjadi Bandar Khalifah.9 Menurut catatan dalam naskah tua
Idhharul-Haq, Kesultanan Peureulak telah mencapai kemajuan-
kemajuan peradaban yang tinggi, Baik yang berupa sistem
pemerintahannya dan demikian pula organisasi ketentaraannya,
hampir mirip dengan sistem pemerintahan Daulah Abbasiyah,
hanya lebih disederhanakan.10 Organisasi ketentaraan Kesultanan
Peureulak merupakan organ kekuasaan yang paling berperan
dalam memperluas wilayah kekuasaan Islam. Adalah wajar jika
kemudian bangsa Aceh sanggup melawan segala intervensi
militer, bahkan hingga masa-masa sekarang ini. Kepahlawanan
orang-orang Islam Aceh sangat luar-biasa. Kepahlawanan inilah
yang kemudian telah sanggup mempertahankan sedikitnya empat
tahta para raja.
Hingga awal abad ke-10, tercatat empat raja yang telah
memerintah Kesultanan Peureulak, yaitu: (1) Sultan Alaiddin
Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah, yang memerintah Kerajaan
Peureulak pada tahun 840 hingga 864.11 (2) Sultan Alaiddin
Sayyid Maulana Abdurrahim Syah, yang memerintah pada tahun
864 hingga 888.12 (3) Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abbas
Syah, yang memerintah pada tahun 888 hingga 913.13 (4) Sultan
Alaiddin Sayyid Maulana Ali Mughayat Syah, yang memerintah
pada tahun 915-918.14 Penobatan Sultan yang keempat ini
7 M. Yunus Jamil, Tawarikh Raja-Raja Keradjaan Aceh, (Banda Aceh: Ajdam I
22
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
23
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
19 365-377 Hijriyah.
20 365-402 Hijriyah.
21 375 Hijriyah.
22 393 Hijriyah.
24
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
23 402-450 Hijriyah.
24 450-470 Hijriyah.
25 470-501 Hijriyah.
26 501-527 Hijriyah.
27 527-552 Hijriyah.
28 552-565 Hijriyah.
29 565-592 Hijriyah.
25
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
30 592-622 Hijriyah.
31 622-662 Hijriyah.
32 662-692 Hijriyah.
33 Data-data ini diambil dari seminar menyambut abad XV Hijriyah dan
ulang tahun ke 1176. Kerajaan Peureulak dalam buku Ali Hasjmy, (eds.), Loc.cit.
34 659-688 Hijriyah.
35 662-692 Hijriyah.
26
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
27
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
28
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
40 Teks tentang ini adalah: “…alkesah peri mengatakan cerita raja yang
pertama masuk agama Islam ini Pasai; maka ada diceritakan oleh orang yang
empunya cerita ini. Negeri yang di bawah angin ini Pasailah yang pertama membawa
iman akan Allah dan akan rasul Allah.” Lihat C.A. Gibson-Hills, “Hikayat Raja-Raja
Pasai: A Revised Romanisation and Engligh Translation”, JMBRAS 33 (1960) 2, hlm. 7.
41 Muhammad Gade Ismail, Pasai dalam Perjalanan Sejarah, Abad ke-13 sampai
Awal Abad ke-16, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997, hlm. 3.
42 Lihat Gustave Schlegel dan Henry Cordier, T’oung Pao Archives, Sevre 2,
Vol. 2, London: E.J. Brill, 1901, hlm. 337, sebagaimana dikutip oleh Muhammad
Gade ismail, Ibid., hlm. 5.
43 433-470 Hijriyah.
29
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
Islam di Beberapa Daerah Asia Tenggara”, dalam Aceh dalam Retrospeksi dan Refleksi
Budaya Nusantara, (Banda Aceh: Intim, 1986), hlm. 70.
30
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
31
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
32
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
33
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
34
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
Asia, (Melbourne: Monash Paper on Southeast Asia, No. 27, 1993), hlm. 12. Lihat
juga A.H. Johns, "Political Authority in Islam: Some Reflections Relevant to
Indonesia", dalam Anthony Reid dan David Marr, Perception of the Past in The Southeast
Asia, (Singapore: Heinemann (Asia), 1981), hlm. 17-34.
57 Lihat untuk pengertian ini dalam bukunya Jonathan Culler, On
Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism, (London: Routledge and Kegan
Paul, 1983), hlm. 82 - 86.
58 Lihat Mahayudin Hj. Yahaya, Tamadun Islam, (Shah Alam: Fajar Bakti,
35
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
Rukun Iman ada enam perkara adalah: (1) Percaya kepada Allah
s.w.t ; (2) Percaya kepada malaikat; (3) Percaya kepada kitab; (4)
Percaya kepada rasul; (5) Percaya kepada hari kiamat; dan (6)
Percaya kepada qada’ dan qadar. Bersama-sama dengan rukun
iman ialah rukun Islam yang lima adalah: (1) Mengucap dua
kalimah syahadat; (2) Menegakkan shalat lima waktu sehari
semalam; (3) Berpuasa dalam bulan Ramadhan; (4) Menunaikan
zakat; (5) Mengerjakan haji di Makkah. Jadi sistem politik Islam
berusaha untuk menjalankan dua jenis rukun ini dalam
kehidupan sehari-harinya dan berharap agar kerajaan atau negara
bisa membantu penyelenggaraannya secara lancar.
Rukun Iman adalah landasan ideologis kerajaan-kerajaan
Islam di Asia Tenggara, sedangkan Rukun Islam menjadi
landasan operasional untuk melaksanakan tradisi-tradisi
kenegaraan.59 Syahadat adalah kalimat penting dalam ritual-ritual
politik kerajaan, dimana ia merupakan prinsip yang utama untuk
membedakan kerajaan Islam (negara Islam) dengan kerajaan yang
bukan Islam, sehingga dengan prinsip itu kerajaan mengarahkan
warga negaranya hidup menuju mardhotillah (sejahtera di dunia
dan selamat di akhirat). Sedangkan zakat lebih menjadi alat
legitimasi penguasa untuk menarik pajak dan upeti dari rakyat, di
mana zakat dalam kerajaan Islam (negara Islam) adalah
merupakan sumber penerimaan bagi baitul maal. Tradisi pajak dan
upeti selanjutnya dikenal zakat dan jizah dalam istilah Islam dan
ini merupakan sumber finansial terpenting bagi kerajaan dan
didapat dengan menguasai bandar-bandar pelabuhan dan
jaringan pasar. Ketika agama Islam diperkenalkan di rantau
Nusantara, perkara-perkara ini telah diterapkan kepada penduduk
lokal. Bagaimanapun, bukan hal mudah untuk menerapkan
ajaran-ajaran Islam, di karena sebelum kedatangan Islam
penduduk di Nusantara telah mempunyai kepercayaan sendiri
yang dikenali sebagai animisme, dinamisme dan pemujaan hyang
36
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
60 Lihat Ghazali Shafi’ie, Rumpun Melayu dan Bangsa Malaysia Menjelang Tahun
2020, (Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1995).
61 Lihat Mahayudin Hj. Yahaya, Tamadun Islam, (Shah Alam: Penerbit Fajar
Bakti, 1998).
62 Lihat Muhammad Muftar Shafe’ie, Mengenal Islam. Tingkatan 1 /1,5, (Kuala
37
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
hlm.152.
66 Abdul Rahman Haji Abdullah, Islam: Dalam Sejarah…… Op.cit., hlm. 97.
67 Lihat Abdullah Muhammad Zin, Prinsip dan Kaedah Dakwah dalam Arus
1998), hlm.19.
38
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
69 23 – 35 Hijriyah.
70 Lihat Liang Liji, Hubungan Empayar Melaka-Dinasti Ming Abad ke-15, (Bangi:
Universiti Kebangsaan Malaysia, 1996).
71 41 – 132 Hijriyah.
39
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
40
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
76 Lihat Ghazali Shafie, Rumpun Melayu dan Bangsa Malaysia Menjelang Tahun
the Malay-Indonesian Archipelago, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969).
41
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
al-Khalidy Ulama Besar Aceh dan Peranannya dalam Pembangunan Pendidikan, (Jakarta,
Intermasa, 1997), hlm. 11.
79 Lihat D.G.E. Hall, A History of Southeast Asia, (London: Macmillan, 1981).
42
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
80 Ensiklopedi Islam, 1-2, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Suplemen
Ensiklopedi Islam, jilid 1.
81 Lihat Saiful Muzani, Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara,
43
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
84 Lihat Taufik Abdullah & Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di
Asia Tenggara, Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1988).
44
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
85 Lihat Ensiklopedi Islam, 1-5, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Jilid
1 dan 2.
86Ensiklopedi Islam, 1-5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994).
87Lihat D.G. E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, (Kuala Lumpur: Dewan Pustaka
dan Pustaka, 1979).
88 Lihat Wan Abdul Rahman Latif, Sejarah Perkembangan Tamadun
45
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh
(Singapore, 1982).
46
Aceh Masa Kerajaan Samudera Pasai 51
Bab 3
ACEH MASA KERAJAAN
SAMUDERA-PASAI
Wilayah Geografis
Kerajaan Samudera-Pasai sejak awal berdirinya merupakan
penggabungan dua kerajaan, yaitu Kerajaan Samudera dan
Kerajaan Pasai yang terletak di daerah Aceh Utara. Terbentuknya
Kerajaan Samudera-Pasai merupakan hasil dakwah yang
dilakukan seorang keturunan Sultan Peureulak kedelapan yang
berpaham syi’ah yakni Syaikh Mahmud, setelah raja Samudera dan
raja Pasai dapat ditaklukan, kemudian Syaikh Mahmud diangkat
sebagai Raja Samudera-Pasai dengan gelar Maharaja Mahmud
Syah dengan nama lokalnya Meurah Giri pada tahun 1042.
Pada perkembangan lebih lanjut, perluasan wilayah
geografis Samudera Pasai terjadi secara kultural. Artinya,
perluasan wilayah tidak dilakukan dengan cara peperangan. Akan
tetapi dengan cara pernikahan politik. Pada masa Sultan
Malikussaleh, ia menikahi puteri Sultan Makhdum Alaidin Malik
Muhammad Amin Syah II, Raja Peureulak yang beraliran
ahlussunah atau sunni yang bernama Putri Ganggang Sari.
Dengan sebab perkawinan tersebut kemudian melahirkan
seorang Sultan yang merupakan keturunan dua raja, yakni Raja
Peureulak dan Raja Pasai, yaitu Sultan Muhammad Malikul
Dhahir. Kemudian Kerajaan Samudera-Pasai mendapatkan
perluasan daerah baru dengan cara integrasi. Pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Malikul Dhahir, ia menyatukan
Kerajaan Peureulak ke dalam Kerajaan Samudera-Pasai, setelah
wafatnya Sultan Malik Abdul Aziz yang berkuasa atas Kerajaan
Islam Peureulak pada tahun 1263-1289.1 Juga wilayah Kerajaan
Beunua (Tamiang) di timur Aceh. Dengan demikian sejak tahun
1289 wilayah geografis Kerajaan Samudera-Pasai semakin luas
1 662-692 Hijriyah.
52 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
3 302-305 Hijriyah
4 334 - 361 Hijriyah
54 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
10 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 70-
75. Lhat juga Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam yang terlupakan (Bandung: Mizan,
1994), hlm. 114.
Aceh Masa Kerajaan Samudera Pasai 57
Asia Tenggara”, dalam Ali Hasjmy, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia, (Bandung: al-Ma’arif, 1981), hlm. 154.
13 Hasjmy, “Adakah….”, Ibid., hlm. 156-157.
14 433-470 Hijriyah.
Aceh Masa Kerajaan Samudera Pasai 59
17 Lihat al-Wa’ie, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Media Politik dan Dakwah,
2004).
18 662-692 Hijriyah.
19 659-688 Hijriyah.
20 688-725 Hijriyah.
21 725-750 Hijriyah.
22 750-796 Hijriyah.
62 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
23 801-831 Hijriyah.
24 Uka Tjandrasasmita, “Peranan Samudera Pasai dalam Perkembangan
Islam di Beberapa Daerah Asia Tenggara”, dalam Panitia PKA-3, Aceh dalam
Retrospeksi dan Refleksi Budaya Nusantara, (Banda Aceh, Intim, 1986), hlm. 70.
25 M. Yunus Jamil, Tawarich… Op.cit., hlm.15-16.
Aceh Masa Kerajaan Samudera Pasai 63
28 Istilah raja berasal dari bahasa Gujarat (India) yang berarti orang yang
dimuliakan, lazim disematkan pada nama kepala kerajaan.
66 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
29 662-692 Hijriyah.
30 365-377 Hijriyah.
31 Faham politik kembali menguasai seluruh Peureulak, setelah Sultan
Peureulak kedelapan yang berpaham Syi’ah syahid dalam menghadapi serangan
Kerajaan Sriwijaya, Palembang.
Aceh Masa Kerajaan Samudera Pasai 67
32688-725 Hijriyah.
33 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, (terj.), (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1994), hlm. xxi.
34 Ibid., hlm. xxi.
68 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
ia harus dirangkai dengan kata lain yang menunjukkan arti ketaatan kepada pemilik
asma al husna, misalnya: Abdul Malik.
36 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, Op.cit., hlm. 77-78.
37 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, Op.cit., hlm. 78.
38 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, Op.cit., 1994, hlm. 80.
Aceh Masa Kerajaan Samudera Pasai 69
43 550-607 Hijriyah.
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 73
Bab 4
SISTEM PEMERINTAHAN
SAMUDERA-PASAI
2 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam …., Op.cit., hlm. 70-75, lihat juga Fatima
Mernissi, Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 114.
3 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam ….., Op.cit., hlm. 80.
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 75
4 Adud Ad-Dawlah, adalah penguasa kedua dari Dinasti Buyiah yang beraliran
syi’ah. Lebih lanjut baca Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan, Op.cit.,
hlm.62-69.
5 Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan, Op.cit., hlm.68.
76 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
9 470-527 Hijriyah.
10 527-550 Hijriyah.
11 550-607 Hijriyah.
12 365-377 Hijriyah.
13 365-402 Hijriyah.
14 225-249 Hijriyah.
15 249-285 Hijriyah.
16 285-300 Hijriyah.
17 302-305 Hijriyah.
78 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
seorang syekh dari Cot Kala, sebuah pusat pendidikan yang masyhur ketika itu di
Aceh, yang dibangun pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Cot Kala adalah pusat
pendidikan Islam pertama di Asia Tenggara. Sultan Malik Muhammad Amin sendiri
terkenal dengan gelar Teungku Chik Cot Kala (Gurubesar Cot Kala).
21 334-361 Hijriyah
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 79
22 365-377 Hijriyah.
23 365-402 Hijriyah.
80 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), jilid 8,
hlm. 146.
28 Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi.
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 83
nabi Muhammad SAW dan nabi sendiri selaku kepala pemerintahannya. Lihat
Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Bulan Bintang,
1994), jilid 8.
30 Khilafah ‘alaa minhajun nubuwah adalah sistem politik Islam yang berjalan
pada masa khalifah rasyidah, di mana sistem politik ini lazimnya disebut dengan
sistem khilafah yang mengacu kepada sistem politik dimasa nabi SAW (minhajun
nubuwah). Lihat Moenawar Chalil, ibid.
31 Minhaj ahdul mulukal ‘aad adalah sistem politik non islam (kerajaan), sistem
politik ini pernah dipakai dalam masa Islam pasca pemerintahan Khalifah Rasyidah
yaitu dari sejak Muawiyah berkuasa (Dinasti umayyah), dan para penguasanya
tergolong suka menindas rakyatnya. Akan tetapi sekalipun sistem politik non Islam
yang dipakai, namun hukum Islam tetap berjalan sekalipun tidak paripurna. Lihat
Moenawar Chalil, Loc.cit.
32 Minhaj ahdul mulukal jabbar adalah sistem politik non-Islam yang menguasai
disebut dengan sistem khilafah yang mengacu kepada sistem politik Islam pada masa
nabi SAW. Lihat Moenawar Chalil, Loc.cit.
34 11 Hijriyah
84 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
35 Al-Hadits.
36 Al-Qur’an, al-Kahfi (18):110.
37 11-13 Hijriyah
38 13-23 Hijriyah
39 23-35 Hijriyah
40 35-40 Hijriyah
41 Hadist Riwayat Abu Daud dan Turmudzi. “Khilafah pada ummatku itu di
masa tiga puluh tahun, kemudian kerajaan sesudah itu”, dalam KH. Moenawar
Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), jilid
8, hlm. 137.
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 85
44 Tahun 36 Hijriyah.
45 Ibid, hlm. 188.
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 87
dengan motif tuntutan bahwa Khalifah Ali bin Abu Thalib tidak
mampu menemukan siapa pembunuh Usman bin Affan.
Dampak lain dari adanya konflik yang ditebar dari sejak masa
Khalifah Usman bin Affan dan berlanjut hingga masa Khalifah
Ali bin Abu Thalib, yakni; Islam harus menerima kenyataan
pahit, di mana Islam terbelah menjadi tiga golongan politik, yaitu
syi’ah, sunni dan khawarij.
Konflik politik pada masa Khalifah Ali bin Abu Thalib,
juga dimanfaatkan oleh pihak Muawiyah bin Abu Sofyan yang
menuntut Khalifah Ali bin Abu Thalib atas kematian Usman bin
Affan, dan pada akhir kemudian dari tuntutan ini menjadi faktor
pemicu utama adanya pemberontakan Muawiyah bin Abu Sofyan
sebagai gubernur kepada Khalifah Ali bin Abu Thalib. Muawiyah
bin Abu Sofyan, memang dia adalah seorang politisi ulung, di
mana dia masuk Islam ketika Mekah ditalukkan, dan pada masa
itu beliau adalah juga sebagai petinggi di Quraisy. Berbagai taktik
politik pada masa itu digulirkan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan
demi mencapai tujuan utamanya, yakni menggantikan Khalifah
Ali bin Abu Thalib. Setelah peristiwa tahkim antara Khalifah Ali
bin Abu Thalib dan Muawiyah bin Abu Sofyan, tak lama setelah
itu kemudian terjadi pembunuhan atas diri Khalifah Ali bin Abu
Thalib.
Dengan terbunuhnya Khalifah Ali bin Abu Thalib, maka
berakhirlah periode pemerintahan khilafah ‘alaa minhajun nubuwah,
sesuai dengan prediksi Rasulullah selama tiga puluh tahun, dan
permerintahan beralih kepada bentuk ahdul mulukal ‘aad dibawah
komando Muawiyah bin Abu Sofyan yang berkedudukan di
Syam sebagai pusat pemerintahannya. Kenyataan berakhirnya
khilafah ‘alaa minhajun nubuwah juga ditandai dengan adanya pusat
pemerintahan yang beralih ke Syam dan dihapuskannya pusat
pemerintahan khilafah di Madinah, atas hal ini Rasulullah telah
88 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), jilid
8, hlm. 139.
47Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari, lihat Moenawar Chalil, Kelengkapan
48 41-132 Hijriyah.
49 Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan, Op.cit., hlm. 198.
50 923-1349 Hijriyah
90 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
kekuasaan yang ada di muka bumi setelah itu adalah ahdul mulukal
jabbar. Dalam pemerintahan ahdul mulukal jabbar, dimana Islam
tidak lagi menjadi sistem di dalamnya, maka yang berlaku adalah
sistem yang berlawanan dengan Islam. Kemudian dapatlah kita
deskripsikan, bahwa bentuk pemerintahan ahdul mulukal jabbar
adalah dikendalikan oleh kerajaan-kerajaan Eropa yang telah
bangkit kembali setelah kekalahan dalam perang salib, kemudian
berwujud menjadi imperialis dan melakukan kolonialisasi atas
wilayah-wilayah Islam. Seiring dengan berakhirnya masa
imperialisme dan kolonialisasi, maka bentuk pemerintahan ahdul
mulukal jabbar termanifestasikan kedalam bentuk pemerintahan
demokrasi ala plato, hingga kemudian masing-masing wilayah
yang semula berada dalam kendali sebuah dinasti kolonial,
akhirnya memerdekakan diri dan membentuk pemerintahan
masing-masing dengan bersandar kepada sistem demokrasi atau
sistem lainnya, akan tetapi tidak menggunakan Islam sebagai
sistem dalam pemerintahan. Hal ini selain karena faktor
sunnatullah juga karena faktor imperialisme yang sudah
berkembang dan menguasai wilayah-wilayah Islam diseluruh
dunia yang mampu memberikan tekanan politik dan ekonomi
atas suatu wilayah Islam.
Dapatlah diketahui, periodisasi ahdul mulukal jabbar dimulai
dari sejak awal abad 19, hampir seluruh negara yang ada dunia
tidak menjadikan Islam sebagai sistem dalam pemerintahannya
atau dengan kata lain syari’at Islam tidak lagi diberlakukan sebagai
public law, baik dalam arti politik, ekonomi, sosial ataupun lainnya.
Maka peradaban jahiliyah telah kembali dan menguasai seluruh
sektor peradaban. Sekalipun demikian, di mana dalam masa mulk
sesuai dengan prediksi rasulullah, para penguasanya tetap
bergelar khalifah, sesungguhnya hal itu tidak layak untuk
dilekatkan kepada mereka. Dan yang layak untuk menerima gelar
khalifah pada masa mulk ini para ulama terdahulu pernah
menyematkannya kepada beberapa penguasa di masa mulk ini,
diantaranya kepada Harun al-Rasyid, Umar Abdul Aziz seperti
Bernard Lewis, menyatakan; “…para penguasa Dinasti Umayah,
hanya satu yang mendapat perlakuan istimewa yakni ‘Umar II
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 91
lihat juga; Al-Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia,
SM. Kartosoewirjo, (Jakarta: Darul Falah, 1999), hlm. 103.
54 Ibid, hlm. 73.
55 225 Hijriyah.
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 93
56 Abul A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, (Bandung:
Mizan, 1993), hlm. 156-157.
57 Ibid., hlm. 160.
94 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
58 659-688 Hijriyah.
59 688-725 Hijriyah.
60 725-750 Hijriyah.
61 750-796 Hijriyah.
62 796-801 Hijriyah.
63 801-831 Hijriyah.
64 Uka Tjandrasasmita, “Peranan Samudera-Pasai Dalam Perkembangan
Islam Di Beberapa Daerah Asia Tenggara”, dalam Bachtiar Aly dan Hasan Mua’arif
Ambary, Aceh Dalam Retrospeksi Dan Refleksi Budaya Nusantara, (Banda Aceh: Intim,
1986), hlm. 70
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 95
67Tgk. M. Yunus Jamil, Op.cit., hlm. 15-16. Muhammad Said, Aceh Sepanjang
Abad, (Medan: Mohammad Said, 1961), hlm. 55.
98 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
Bagan 1
Struktur Pemerintahan Samudera-Pasai
Sulthan
Tuha Peut
Tuha peut adalah komponen dewan penasehat yang terdiri
dari empat orang yang dituakan dari berbagai latar-belakang yang
harus ada dalam setiap struktur pemerintahan dan berada pada
setiap tingkatan pemerintahan dalam Kesultanan Samudera-
Pasai, mulai dari kepemerintahan pusat hingga ke desa-desa.
Dewan penasehat inilah yang kemudian akan memberikan
masukan-masukan dan pertimbangan-pertimbangan guna
memperkuat suatu arah pembangunan dan meminimalisir hal-hal
yang tidak diinginkan. Jadi setiap kepemimpinan struktur yang
ada di Aceh, Tuha Peut menjadi sangat penting keberadaan
mereka untuk membantu setiap pemimpin-pemimpin di berbagai
tingkatan kepemimpinan dalam struktur pemerintahan
kesultanan Aceh. Sistem inilah yang kemudian berkembang
menjadi sistem hirarkhi struktural yang unik dan original Aceh
yang masih ada hingga sekarang ini.
besar bagi bangsa Indonesia, Malaysia, Brunai dan Pattani di Thailand di mana
bahasa Melayu tidak hanya sebagai lingua-franca melainkan bahkan menjadi bahasa
nasional.
71 Julius Pour, “Teuku Ibrahim Alfian: Keterikatan Samudera-Pasai Dan
Bab 5
SISTEM EKONOMI SAMUDERA-PASAI
Lihat H.K.J. Cowan, “Bijdrage tot de kennis der Geschiedenis van het Rijk
4
Samoedra-Pase”, Tijdscrift vor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde (1938), hlm. 206,
sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Alfian, dalam Kronika Pasai….Ibid., hlm. 18.
Sistem Ekonomi Samudera-Pasai 103
5 ………. ,”Dinar dan Dhirham”, Cahaya Peradaban, 1423 H edisi ke-1 tahun I
(2002 M), hlm. 57.
6 Ibid.
104 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
7 Istilah sanad berasal dari bahasa Arab yang artinya “bukti pembayaran”.
8 1256 Hijriyah.
9 Teuku Ibrahim Alfian, Kronika Pasai, Sebuah Tinjauan Sejarah, (Yogyakarta:
22 Paul Wheatley dalam bukunya, The Golden Khersonese menamakan zaman ini
sebagai The Age of City States. Lihat Lim Heng Kow, 1978, hlm. 1.
110 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
28 Satu bahar sama dengan 350 kati. W.P. Groeneveldt ., Historical Notes On
Indonesia & Malaysia Compiled From Chinese Sources, (Jakarta: Bhatara, 1960), hlm. 87.
29 Doty Damayanti, Ibid.
30 Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires,
(Nendelyn/Lichtenstein: Kraus Reprint Limited, 1967), hlm. 145.
31 Doty Damayanti, Loc.Cit.
32 Uka Tjandrasasmita, “Peraan Samudera-Pasai dalam Perkembangan Islam
di beberapa Daerah Asia Tenggara”, dalam: Hasan Muarif Ambary dan Bachtiar Ali
(ed.), Retrospeksi dan Refleksi Budaya Nusantara, (Jakarta: Taman Iskandar Muda, 1988),
hlm. 87.
114 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
before 17 th Century”, Thesis Ph.D, (Columbia: Columbia University, 1981), hlm. 16.
34 Manuel Godinho de Eradia, “Description of Malacca and Meridional
India and Cathay”, Terjemahan dan diberi catatan oleh JV. Mills, JMBRAS VIII
(1930) 1, hlm. 26.
Sistem Ekonomi Samudera-Pasai 115
Bab 6
SISTEM HUKUM SAMUDERA-PASAI
1985).
3 Lihat R. Soerojo Wignjodipoero, Kedudukan serta Perkembangan
Hukum Adat setelah kemerdekaan, (Jakarta: Gunung Agung, 1982).
118 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
abad ke-17- dan abad ke-18, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 24.
11 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung:
19 Susanto Zuhdi, (ed.), Pasai Dalam Perjalanan Sejarah Abad Ke-13 Sampai
Awal Abad Ke-16, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah
Nasional, 1993), hlm. 83-95.
20 Definisi syahbandar diartikan sebagai, “raja pelabuhan”, sesuai dengan
fungsinya. Kata syahbandar, secara etimologis berasal dari bahasa Persia yaitu shah
= raja, bandar = pelabuhan. Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, “Proses
Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh”, dalam Ali Hasjmy,
(ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif,
1981), hlm. 427.
21 Purnadi Poerbatjaraka, “Shahbandars in Archipelago”, JSEAH, Vol. 2,
22 Susanto Zuhdi, (ed.), Pasai Dalam Perjalanan Sejarah Abad Ke-13 Sampai
en Volkenkunde, deel LXVII, (Batavia: Albrecht & Co, 1927), hlm. 387-434.
24 Lihat Liaw Yock Fang, Undang-Undang Melaka: The Laws of Malacca,
terbitan Abdulah bin Abdulkadir Munsji, (Jakarta: Djambatan, 1952), hlm. 168-173.
27 Ibid, hlm. 172.
Sistem Hukum Samudera-Pasai 125
Perbudakan
Ketentuan hukum Melayu pada masa lampau secara
tersendiri menempatkan seperempat undang-undangnya untuk
mengatur masalah perbudakan. Budak-budak diberi nilai
28 Hamka, Sejarah Ummat Islam, Jilid IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),
hlm. 53.
29 Abu Hasan Sham, “Ikatan Aceh-Tanah Melayu Hubungan Kerajaan
Islam Malaka dengan Kerajaan Islam Samudera Pasai”, dalam Ali Hasjmi, (ed.),
Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981),
hlm. 383.
30 Lihat Liaw Yock Fang, Undang-Undang Melaka: The Laws of Malacca,
34 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam kurun waktu 1450-1680…, op.cit, hlm.
148-149.
35 Lihat Liaw Yock Fang, Undang-Undang Melaka: The Laws of Malacca,
(Leiden: KITLV, 1976), hlm. 88-93, 162-163.
36 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam kurun waktu 1450-1680……….,
terkenal taat pada ajaran agama dan dekat dengan para ulama,
dapat diprediksi rakyatnya mengikutinya. Keterangan Ibnu
Batutah dapat membawa kita pada kemungkinan-
kemungkinan bahwa Samudera Pasai pada masa itu
mempunyai aturan-aturan hukum Islam yang menyangkut
larangan-larangan dalam hukum Islam.
Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai, menyebutkan juara
sabung ayam dan pembuat minuman keras dalam struktur
masyarakat Pasai, profesi tersebut sepertinya sudah menjadi
bagian hidup masyarakat setempat,41 apabila penguasa
Samudera-Pasai membuat larangan terhadap minuman keras
dan perjudian yang punya kaitan dengan sabung ayam, tidak
dapat bertahan lama, karena begitu berakarnya adat-kebiasaan
ini dalam masyarakat lokal. Bila dibandingkan dengan hukum
Islam di Malaka yang menyatakan bahwa praktik sabung
ayam, sama halnya dengan minum-minuman keras dan main
kartu dan dikategorikan dengan perjudian, tapi raja tak
melarang. Jika ada pertikaian sesama penjudi sabung ayam
kemudian melapor ke kerajaan, maka uang taruhan akan
diambil oleh kerajaan.42 Sebelum masuk Islam Malikussaleh
sering melakukan sabung ayam dam mengadakan taruhan
apabila ia kalah maka dibayar taruhannya, dan apabila ia
menang, lawannya tidak disuruh membayar taruhannya.43
Hikayat Raja-Raja Pasai menyebutkan walau Malikussaleh
sudah masuk Islam tetapi belum sepenuhnya mematuhi
hukum Islam, misalnya dengan memanggil ahli nujum atau
juru ramal dan Malikussaleh masih memelihara anjing yang
bernama Pasai.44 ada kemungkinan kurangnya pengetahuan
hlm. 166-167.
43 Susanto Zuhdi, (ed.), Pasai Dalam Perjalanan Sejarah Abad Ke-13 Sampai
1978), hlm.112.
48 R.J. Wilkinson, A Malay-English Dictionary (Romanised), Jilid I, (London:
Macmillan, 1959), hlm. 44, sebagaimana dikutip oleh Anthony Reid, Asia Tenggara
dalam kurun waktu 1450-1680…, op.cit., hlm. 46.
Sistem Hukum Samudera-Pasai 131
Tibbets, Study of Arabic Text Containing material of South-east Asia, (Leiden dan
London: E.J. Brill, 1979), hlm. 206. Sebagaimana dikutip oleh Anthony Reid,
Asia Tenggara dalam kurun waktu 1450-1680……., Op.cit., hlm. 46.
50 Kassim Ahmad, (ed.), Hikayat Hang Tuah, (Kuala Lumpur: Dewan
atau permintaan dari satu pihak. Bertindak sebagai wali bagi anak gadis yang ingin
Sistem Hukum Samudera-Pasai 133
menikah dan wali karena pertalian darah atau meninggal atau yang tinggal di luar
batas yang ditentukan adat. Memimpin balek meudeuhab yang sangat lazim,
penghindaran hukum yang aneh, yang menurut Mazhab Syafi’i dianggap berhak
untuk mengawinkan anak gadis, meskipun tanpa wali yang berwenang (yakni
leluhur wali). Lihat C. Snouck Hurgronje, Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya, (terj.),
hlm. 73.
57Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Islam Historis, (Yogyakarta: Galang
A.D”, dalam Acta Orientalia (Leiden), Vol. XIV, 1936, hlm. 271.
59 H.K.J. Cowan, “ Bijgrade tot de kennis der geschiedennis van het rijk
Samoedera –Pase”, Bijdragen tot de Kennis der Geschiedennis 78, 1938, hlm. 209-210,
sebagaimana dikutip oleh Anthony Reaid, op.cit., hlm 195.
60 Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Islam Historis, (Yogyakarta: Galang
61
Lihat keterangan lengkapnya pada, M.Ali Hassan, Perbandingan
Mazhab, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002) hlm 184-194.
Sistem Pertahanan Militer Samudera-Pasai 135
Bab 7
SISTEM PERTAHANAN (MILITER)
SAMUDERA-PASAI
Abad XVI, dalam Ali Hasjmy, Sejarah Masuki dan Berkembangnya Islam di Indonesia,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 203.
2 W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya: Compiled from
Society, 1944).
5 Armando Cortesao, ibid., hlm. 144. Karakteristik padrao adalah sebagai
berikut: sebuah monopolit dengan tinggi dua setengah meter, berat kurang lebih
setengah ton. mempunyai kapiteel (bagian atas dari sebuah tiang) yang di mahkotai
salib. Padrao merupakan gagasan D. Joao II sebagai pengumuman kepada dunia atas
penemuan dan kepemilikan daerah-daerah baru Portugal. Lihat Darmono
Hardjowidjono, “Pasai Tahun 1509-1524”, dalam Susanto Zuhdi, Pasai Kota
Pelabuhan Jalan Sutra Kumpulan Makalah Diskusi, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993),
hlm. 171.
6Lihat Ibnu Batutah, Travels in Asia and Africa 1325-1354, H,A.R. Gibb, (terj.),
1636”, EFEO, Vol. IXI, Paris 1967, hlm 11. Sebagaimana dikutip oleh Uka
Tjandrasasmita, “Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota”, dalam Marwati
Joened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, (eds.), Sejarah Nasional Indonesia III,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 219.
Sistem Pertahanan Militer Samudera-Pasai 137
Struktur Militer
Berdasarkan teks Hikayat Raja-Raja Pasai, di sebutkan
bahwa struktur masyarakat yang berada di lingkaran birokrasi
yang mendapat tugas khusus di bidang pertahanan kerajaan,
misalnya, bentara, penggawa, patih, tumenggung, bala tentara,
lasykar, hulubalang, pahlawan, pamglima, pendekar, dan senapati.
Di antara mereka semua ini, terdapat birokrat “militer” yaitu bala
tentara atau lasykar dengan pangkat tertinggi senapati atau
8 Daniel Perret, “Kota Raja Dalam Kesusasteraan Melayu Lama”, dalam
Henry Chambert-Loir, Hasan Muarif Ambary, (eds.), Panggung Sejarah: Persembahan
Kepada Prof. Dr. Denys Lombard, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 247.
9 Lihat Teuku Ibrahim Alfian, Kronika Pasai, dalam tinjauan sejarah,
Masyarakat
Tentara
Panglima/Senapati
Hulubalang
Pendekar/Lasykar
Pahlawan
Pengawal/Bodyguard.12
Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra Kumpulan Makalah Diskusi, (Jakarta: Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah nasional Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1993), hlm. 4-5.
11 Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya
Islam Malaka dengan Kerajaan Islam Samudera-Pasai”, dalam Ali Hasjmy, (ed.),
Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm.
387.
20 Abu Hasan Sham M.A, “Ikatan Aceh-Tanah Melayu Hubungan Kerajaan
Bab 8
HUBUNGAN INTERNASIONAL
SAMUDERA-PASAI
Treaty of Painan in 1663”, dalam Journal of Southeas Asian History (JSEAH), 10 (13),
1969, hlm. 454.
3 Kathiritamby Wells, ibid., hlm. 454.
Hubungan Internasional Samudera-Pasai 145
before the 17th Century”, Thesis Ph.D, (Columbia University, 1981), hlm. 16.
9 Mohammad Gade Ismail, Pasai dalam Perjalanan Sejarah: Abad ke-13 Sampai
ukuran kuyan, gunca, nalih, gantang, cupak, kay. Satu kay = setengah cupak, satu
gunca = setengah naleh. Di Kedah satu naleh = enam belas gantang, sedangkan di
Aceh satu naleh = delapan gantang. Lihat Teuku Iskandar, Kamus Dewan, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1970.
12 W.F. Stutterheim, “A Malay sha’ir in Old Sumatran Characters of 1380
15 Lihat A. Teeuw dan D.K Wyatt, Hikayat Patani, (The Hague, Martinus
Nijhoff, 1970).
16 Uka Tjandrasasmita, “Peranan Samudera-Pasai dalam Perkembangan
Islam di Beberapa Daerah Asia Tenggara”, dalam Hasan Muarif Ambary dan
Bachtiar Ali, Retrospeksi dan Refleksi Budaya Nusantara, (Jakarta: Taman Iskandar
Muda, 1988), hlm.72.
Hubungan Internasional Samudera-Pasai 149
Pegou (1512-1520)”, Archipel 18, 1979, hlm. 127-157, sebagaimana dikutip oleh
Uka Tjandrasamita, “Pasai Dalam Dunia Perdagangan”, dalam Susanto Zuhdi,
(ed.), Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutera Kumpulan Makalah Diskusi, (Jakarta: Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1993), hlm. 34.
18 Uka Tjandrasamita, “Pasai Dalam Dunia Perdagangan”, ibid., hlm. 34.
19 Uka Tjandrasamita, “Pasai Dalam Dunia Perdagangan”,Op.cit., hlm. 32.
20 S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, (Singapore: Malaysian Sociological
History in the 14th and 15th Centuries”, Bijdragen tot de Taal—, Land— en
Volkenkunde. 137 2e en 3e afl., 268 sebagaimana dikutip oleh Uka Tjandrasasmita,
“Pasai dalam Dunia Perdagangan”, dalam Susanto Zuhdi, (ed.), Pasai Kota
Pelabuhan Jalan Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,
1993), hlm. 32.
23Uka Tjandrasasmita, “Peranan Samudera-Pasai dalam Perkembangan
196.
152 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
Zuhdi, Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra Kumpulan Makalah Diskusi, (Jakarta: Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1993), hlm. 162-163.
28 A. Bausani, (ed.), Lettera di Giovani da Empoli, (Rome: Instituto italiano
per il Medio et Estreme Oriente, 1970), hlm. 148, sebagaimana dikutip oleh
Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, op.cit., hlm. 106.
29 Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Op.cit., hlm.
106.
Hubungan Internasional Samudera-Pasai 153
Bab 9
PLANOLOGI KOTA SAMUDRA-PASAI
vi.
3 Jim Antonio, ibid, hlm. iv.
156 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
Definisi Kota
Pada umumnya dalam kesusasteraan Melayu lama,
pemukiman urban (urban settlement) digambarkan sebagai tempat
yang mempunyai sistem pertahanan yang dinamakan kota yang
diambil dari bahasa Sansekerta kota atau kotta yang berarti
4 A.H. Hill, “Hikayat Raja-Raja Pasai”, dalam Journal of the Malayan Branch of
the Royal Asiatic Society (JMBRAS), XXXIII, part 2, 1960, hlm. 62.
5 T.D. Situmorang, A. Teeuw (eds.), Sedjarah Melaju Menurut Terbitan Abdulah,
22.
7 Lihat Kenneth R. Hall, Maritime Trade and State Development in Early Southeast
benteng (the fort). Istilah kottara yang berasal dari kota bukan saja
menunjukkan the fort tetapi juga fortified town. Beberapa bahasa
Dravidian telah meminjam istilah ini dengan mekna yang sama:
bahasa Tamil kottai yang mungkin merupakan asal nama Kerajaan
Kutai di Kalimantan Timur, bahas Malayalam kotta, bahasa
Kanada kote, bahasa Tulu kotte, dan bahasa Telugu kota. Beberapa
nama tempat di Dunia Melayu memakai istilah pura, yang berasal
dari bahasa Sansekerta yang bermakna fortress, castle, atau urban
settlement dikelilingi parit yang luasnya sekurang-kurangnya satu
kos dan berisi bangunan yang besar. Ada lagi dengan istilah
nagara, kata yang paling sering digunakan dalam bahasa Sanskerta
untuk menunjukkan town (kota kecil).8
Pada umumnya definisi sebuah adalah sekelompok rumah,
yang terpisah satu sama lainnya, namun merupakan settlement yang
secara relatif tertutup. Kendati tidak seluruhnya rumah-rumah
dalam kota itu berdekatan. Tetapi elemen sekelompok rumah itu
terkandung dalam konsep sebuah kota, sehingga pendapat orang
mengenai kota, hanya dari kualitatifnya saja, bagi mereka kota itu
adalah lokalitas yang luas.9 Sementara dalam bahasa Yunani, kota
disebut polis, istilah ini telah banyak dipopulerkan, misalnya oleh
Plato dengan istilah politea dan Aristoteles menyebutnya politica,10
kemudian dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah politik
yang artinya bermula dari kota, itulah kemudian berkembang
menjadi pusat pemerintahan. Sebagai contoh, kota Kerajaan Pasai
semula berada didekat muara sungai yang dengan dengan pantai.
Kemudian setelah adanya perkembangan, pusat kota yang semula
sebagai pusat pemerintahan menjadi berubah setelah adanya
keramaian transaksi bisnis, sehingga kota itu menjadi pusat
perekonomian.11 Istilah-istilah tersebut secara etimologi
mempunyai arti yang sama yakni kota. Kecuali istilah politik
(ed.), Masyarakat Kuno dan Kelompok-Kelompok Sosial, (Jakarta: Bhratara, 1977), hlm. 11.
10 Sjachran Basa S.H.C.N, Ilmu Negara, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
Kota Pasai
Pasai adalah kota yang ramai, sebagai pusat perdagangan
yang banyak kapal singgah di pelabuhan Samudera. Sementara
itu, menurut penuturan seorang musafir Islam terkenal asal
Maroko, Ibnu Battutah, Pasai adalah kota yang terletak agak ke
dalam, sedikit menjauh dari pantai. Menurut Hikayat Raja-Raja
Pasai dan Sejarah Melayu, munculnya nama Samudera-Pasai hingga
menjadi ibukota kerajaan tersebut diceritakan dengan adanya
semut besar yang bernama “Samudera” dan seekor anjing yang
bernama “Si Pase”.16 Samudera sebelum kedatangan dan proses
penyebaran Islam hanyalah merupakan sebuah kampung yang
dikepalai seorang kepala suku. Tetapi meski belum menjadi kota,
Kampung Samudera sudah berfungsi sebagai tempat
persinggahan pedagang-pedagang. Akibat hubungan dengan
orang-orang Muslim sejak abad ketujuh. Maka abad ketiga belas
kampung tersebut menjadi sebuah kota bahkan menjadi ibukota
15 Gideon Sjoberg, The Preindustrial City Past and Present, (New York: The Free
55; J.P. Moquette, “De eerte vorsten van Samoedra Pase”, ROD, 1913, hlm. 1-12.
Sebagaimana dikutip oleh Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-
Kota Muslim di Indonesia, (Kudus: Menara Kudus, 2000), hlm. 52.
160 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
Asia Tenggara”, dalam Ali Hasjmy, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia, (Bandung: al-Ma’arif, 1981), hlm. 149.
162 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
Zuhdi, (ed.), Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutera, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993),
hlm. 48-49.
31 Tawalinuddin Haris, “Bentuk dan Morfologi Kota Pasai”, dalam Susanto
Zuhdi, (ed.), Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutera, Op.cit., hlm. 47-48.
32 Mohammad Gade Ismail, Pasai Dalam Perjalanan Sejarah abad ke-13 sampai
Before the 17th Century, P.Hd, Thesis, (Columbia: University, 1981), hlm. 97.
36 Mohammad Gade Ismail, Pasai Dalam Perjalanan Sejarah abad ke-13 sampai
Bab 10
TRADISI-TRADISI KEILMUAN
SAMUDERA-PASAI
4 Ibid.
5 Syeikh Syihabuddin Umar Shrawardi, Awa’arif al-Ma’arif, Sejarah Klasik
Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 291.
6 ……, dalam Syeikh Munir Muhammad, Manhaj Haraki Strategi Perjuangan
yang maju dari waktu ke waktu dan itu tidak bisa lepas dari
adanya penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Aceh
sebagaimana yang sudah dikenal secara luas atas bersikukuhnya
terhadap prinsip-prinsip Islam dari sejak meninggalkan paham
Budhisme dan Hinduisme serta keyakinan Animisme dan
Dinamisme pada masa setelah datangnya Islam di Aceh.
Demikian pula dalam hal memegang prinsip mencari ilmu,
tentunya di motifasi oleh prinsip; Tholabul ‘ilmi faridhotun ‘ala kulli
muslimiin wal muslimat (menuntut ilmu itu wajib atas tiap-tiap
orang muslim dan muslimat).7
Dengan motifasi wajib dalam hal menuntut ilmu, bangsa
Aceh menjadi terbangunkan untuk menuju peradaban yang lebih
maju dalam berbagai sektor kehidupan dan berkesanggupan
melahirkan para ulama (ilmuwan) hingga tersohor ke
mancanegara (luar kerajaan), pada masa lampau. Sebagaimana
yang di ukir dalam tulisan A. Teeuw dan D.K. Wyatt, dalam
Hikayat Pattani; “Semenjak didirikan Kesultanan Samudera Pasai,
ulama Aceh di kirim ke berbagai kawasan seperti ke Jawa, Sunda,
Sulawesi,8 Malaka, dan Pattani untuk menyebarkan ajaran
Islam”.9 Ilmu yang dituntut oleh bangsa Aceh pada masa lampau
untuk membangun peradaban yang terbaik, sendi pokoknya
bertitik tolak dari Ulumul Qur’an (ajaran Islam), yang dengan itu
bangsa Aceh pada kemudiannya berkesanggupan meninggalkan
peradaban jahiliyah yang serba primitif (terbelakang) dan jahat.
Ulumul Qur’an, adalah merupakan ismu rabb (ajaran Allah)
dan merupakan bentuk wahyu yang diajarkan Allah SWT kepada
hambaNya Muhammad Rasulullah SAW, dan itu merupakan
setinggi-tinggi ilmu yang dapat dipelajari oleh manusia dan
bersifat wajib hukumnya. Al-Qur’an dalam sudut pandang
sebagai ilmu sangatlah ilmiah keberadaannya, karena ia bersifat
qauliyah (perkataan, teoritis) dan kauniyah (alamiyah, praktis) dan
Aceh, dalam: M. Hasbi Amiruddin “Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh”,
(terj.), (Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003), hlm. ix.
13 Atsar Ali bin Abu Thalib.
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 175
(ed.), Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), hlm. 29.
15 Ismuha, Ibid.
16 Ismuha, “Ulama Aceh Dalam Perspektif Sejarah”,…, Op.cit, hlm. 29-30.
176 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
Ibid.
17
(Lhokseumawe dan Jakarta: Nadiya Foundation dan Madani Press, 2003), hlm. 7.
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 177
19 Ismuha, …Loc.cit.
20 M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, …,
Op.cit, hlm. 9.
178 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
21 Alfian, Perang di Jalan Allah, (Jakarta: Grafiti Pers, 1988), hlm. 152.
22 Ismail Yacob, “Gambaran Pendidikan,” (Kota, Penerbit?, Tahun) hlm. 333.
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 179
23 S.M. Amin, “Sejenak Meninjau Aceh Serambi Mekkah,” dalam: Ismail Suni,
(ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1980), hlm.54-55.
24 A. Teeuw dan D.K.Wyatt, Hikayat Pattani, (Jakarta: Bibliotheca Indonesia,
diatas juga diantara para ulama Aceh pada masa itu diberikan
gelar Teungku sesuai dengan pekerjaan yang mereka geluti,
contohnya; Tgk. Meunasah yaitu seorang yang ‘alim yang
mengajar bacaan al-Qur’an di suatu Meunasah, Tgk. Khatib yakni
sesorang yang ahli dalam menyampaikan khutbah jum’at, atau
Tgk. Imuem adalah seseorang yang biasanya menjadi imam pada
shalat jum’at.”25 Dari keterangan tersebut, dapat kita simpulkan
penggolongannya, namun secara umum bagi para ulama pada
masa itu dari semua tingkatan mempunyai hak untuk
menyandang gelar Teungku. Dan untuk gelar Teungku Chik
hanyalah diperuntukkan bagi seseorang yang tergolong kepada
ulama besar dan juga disebut dengan gelar Syeikh, gelar ini jika
disejajarkan dengan tradisi keilmuan sekarang dapatlah di
setarakan dengan Profesor, dan para Teungku Chik inilah yang
mempunyai hak untuk mengajar di dayah sebagai pusat studi
Islam. Dan teungku-teungku lainnya sesuai dengan kapasitas ilmu
yang dimilikinya hanya diperkenankan untuk mengajar pada
tingkatan di luar dayah. Seperti; Teungku Meunasah, ia adalah
seorang ulama yang mempunyai hak untuk mengajar hanya pada
tingkatan meunasah (surau, mushola) dan aktifitas mengajarnya
adalah bersentuhan langsung dengan masyarakat secara umum
dari semua lapisan untuk mengajarkan ilmu tajwid (tadarus). Dan
Teungku Leubee, adalah seorang teungku yang berada satu tingkat
di atas dari teungku meunasah, dan ia menguasai ilmu-ilmu Islam
yang sudah ditulis dalam bahasa Arab-Melayu. Adapun Teungku
Imuem, dan Teungku Khatib adalah para ulama yang memiliki
kemampuan spesialisasi sesuai dengan bidang pekerjaan yang
ditugaskan kepadanya, dan ini dapat disetarakan mungkin dengan
alumni akademi atau sekolah kejuruan.
25M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah Pegawal Agama Masyarakat Aceh,…, Op.cit,
hlm. 2-3.
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 181
Ilmu Agama
Menurut Teuku Ibrahim Alfian, ilmu teologi adalah ilmu
yang paling berkembang di Samudera Pasai.36 Pokok utama
keilmuan yang berkembang di Samudera Pasai setelah Islam
tumbuh dan berkembang, adalah ilmu agama Islam yang bertitik
41 Muhammad Amin dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi…” Op.cit, hlm. 402.
42 The Malay Annals, edisi ke sembilan, (Singapura: Malaya Publishing House,
1960), hlm.128.
43 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry,
(Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 27; Lihat juga Overbeck, “The Answer of Pasai,”
dalam Journal of Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, (JMBRAS), Vol.11, bagian II
(Desember, 1993), hlm. 255.
44 Ismuha, “Ulama Aceh Dalam Perspektif Sejarah”,…Op.cit, hlm. 29.
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 187
45 Ismuha, Ibid.
46 Sivachandralingam Sundara Raja Ayadurai Letchumanan, Tamadun Dunia,
(Selangor: Fajar Bakti, 1998), hlm. ix.
47 Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984),
hlm 152.
48 Abdul Rahman Haji Abdullah, (Judul?), kota? Penerbit?, 1989, hlm. 97.
49Lihat Abdullah Muhammad Zin, Prinsip dan Kaedah Dakwah dalam Arus
Ilmu Hukum
Posisi hukum sangat penting di dalam suatu pemerintahan
kerajaan atau negara. Karena demikian pentingnya hukum, maka
secara sosial para ahli hukum mendapatkan tempat yang
terhormat. Tidaklah mengherankan jika Sultan Malikul Zahir
memerintahkan pejabat tingginya untuk menjemput Ibnu
Batutah ketika ia berkunjung ke Samudra Pasai. Sultan pun
mengirimkan pegawai tingginya untuk menjemput Ibnu Batutah
bersama-sama dengan qadi dan para ahli hukum lainnya.51
Hukum adalah ilmu yang berkembang mengikuti perkembangan
masyarakat, sehingga hukum yang adaptif haruslah digali dari
ilmu-ilmu hukum. Maka posisi qadi, ulama fiqih (fuqaha) atau ahli
hukum lainnya mendapat tempat yang terhormat. Hal ini
membuktikan bahwa Samudra Pasai adalah kerajaan nomokratis
(kekuasaan yang bersadarkan hukum).
Samudra Pasai memiliki banyak qadi, fuqaha, dan intelektual
hukum lainnya. Ulama fiqih termashur Samudra Pasai pada masa
itu,52 yakni Amir Dawlasa yang berasal dari Delhi (India), Kadi
Amir Said yang berasal dari Shiraz, dan Tajuddin yang berasal
dari Isfahan.53 Syaikhul-syaikhul Islam yang kerap berada di
Samudera Pasai karena adanya jaringan intelektual yang telah
dibangun pada masa itu, sekalipun mereka berasal dari luar
Samudra Pasai. Kerajaan Samudra Pasai, secara nomokratis,
adalah kerajaan hukum yang inklusif di mana institusi negara atau
kerajaan menaruh perhatian yang besar terhadap hukum, sistem
hukum dan ilmu hukum meskipun bukan hukum yang
diterapkan di dalam negeri sendiri atau sistem hukum yang bukan
berasal dari dalam kerajaan atau ilmu hukum yang eksklusif.
Penyerapan sistem hukum dan ilmu hukum secara sangat terbuka
ini menunjukkan sebuah bukti yang kuat betapa Samudra Pasai
adalah sebuah kerajaan terbuka.
Adanya Dewan Fatwa sebagai institusi hukum di dalam
pemerintahan Samudra Pasai merupakan suatu ciri khusus bahwa
Samudra Pasai adalah negara hukum dan hukum publik yang
berlaku pada masa itu adalah hukum Islam, di mana mufti
(pejabat Mahkamah Agungnya) adalah Sayid Ali bin Ali al-
Makarani.54 Dengan telah berlakunya hukum Islam di Samudra
Pasai, maka studi hukum merupakan hal pokok yang harus
dipelajari oleh masyarakat Samudra Pasai. Dengan demikian, ilmu
hukum menjadi mutlak untuk dipelajari dan diterapkan. Karena
Samudra Pasai adalah kerajaan Islam, maka studi ilmu hukum
Ilmu Kedokteran
Dalam dunia Islam, nama yang satu ini cukup dikenal
khususnya dalam bidang ilmu kedokteran, ia adalah Ibnu Sina.
Sebenarnya nama lengkapnya yaitu Abu Ali Al-Hussain Ibnu
Adullah Ibnu Sina, namun dalam banyak literatur ia lebih populer
disebut Ibnu Sina. Lahir di Afshana, dekat kota Bukhara
Uzbekistan Pada 981 M. di usia ke-10 ia sudah menguasai Al-
Qur’an dan ilmu pengetahuan lainya.56 Kontribusi terbesar Ibnu
Sina dalam bidang kedokteran terutama bisa dilihat dari bukunya
yang terkenal Al-Qanun fil Al-Tibb. Kitab itu di Barat lebih
dikenal sebagai The Canon.57 Dalam pengembaraannya dari Jurjan,
1960), hlm.128.
56 Hery Sucipto, Cahaya Islam, Ilmuwan Muslim Sejak Ibnu Sina Hingga B.J
58173 Hijriyah.
59 Ali Hasjmy dkk. (eds.), 50 Tahun Aceh Membangun, (Banda Aceh: Majelis
Ulama Indonesia Daerah Istimewa Aceh bekerja sama dengan Pemerintah Daerah
Istimewa Aceh, 1995), hlm. 3-8.
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 193
Ilmu Sastra
Memang hasil kesusastraan itu tidak semuanya merupakan
karangan asli. Sebagian besar adalah terjemahan atau saduran dari
bahasa Parsi, Arab atau Sanskerta. Tidak boleh dilupakan bahwa
karya-karya saduran dan terjemahan itu ditulis dalam bahasa
Melayu, dan hal ini merupakan cakrawala baru dalam
transformasi ilmu pengetahuan yang membuka mata dan pikiran
masyarakat melalui karya Melayu tadi.
Dengan demikian abad 17 dan abad-abad kemudian telah
terjadi lompatan besar dalam bidang sastra, kerena karya-karya
tersebut hingga sekarang pun masih menjadi bahan telaah untuk
kajian ilmian untuk sastra kuno (filologi). Para pengarang asing
pun, seperti Nuruddin ar-Raniri yang berasal dari Gujarat telah
membuahkan karyanya dalam bahasa Melayu, Karya-karya
Nuruddin ar-Raniri hingga sekarang masih menjadi bahan telaah
untuk disertasi doktor.
Beberapa karya besar di bidang sastra Aceh yang
menunjukkan ketinggian penguasaan ilmu dan sastra dapat
disebutkan beberapa, seperti:61 Bustanus Salatin (Taman Raja-
Raja) ditulis oleh Nuruddin ar-Raniri di abad 17, Tajus Salatin
(Mahkota Raja-Raja) ditulis oleh Alauddin Riayat Syah (Buchari
al Jauhari) pada tahun 1604. Hikayat Aceh ditulis pada masa
Iskandar Muda, merupakan Riwayat Iskandar Muda serta raja-
raja Aceh lainnya.
Dari kesusasteraan itu R.O. Winsted memberi nama
Kerajaan Islam Aceh Raya Darussalam The Agustan Period atau
Zaman Keemasan Kerajaan Islam Aceh Raya Darussalam.62
Aceh dengan demikian menjadi pusat keagamaan dan peradaban
Muslim yang meskipun bukan terbesar, namun merupakan
kerajaan Islam yang sangat kuat. Aceh adalah sebuah contoh di
mana paham keagamaan (Islam) tumbuh dan mekar melalui
diskusi dan perdebatan. Aceh juga telah menjadi pusat
perkembangan paham sufisme dan tasawuf.
Ayutia, ibu kota dari Siam pada masa lalu (sekarang Thailand).
Dari aktifitasnya diketahui bahwa ia telah menguasai beberapa
bahasa asing misalnya, bahasa Arab, Persi dan Melayu.64
Lancaster boleh jadi berurusan dengannya ketika ia datang ke
Aceh dan menyebutkan bahwa Syaikh Syamsuddin as-Sumatrani
bicara Bahasa Arab dengan fasih. Karyanya yang utama ialah
Mie'at-ul- Mu'minin yang ditulis tahun 1601 (Cermin Kaum
Muslimin) berupa tanya jawab tentang Ilmu al-Kalam. Menurut
Bustanul Salatin, Syaikh Syamsuddin dari Pasai ini wafat tahun
1630.
Menurut A. Hasjmy memberikan keterangan bahwa,
Syamsuddin al-Sumatrani pernah belajar pada Hamzah Fansuri.
Melihat dari aktifitasnya sehari-hari yang bertugas sebagai mufti,
dan juga penasehat dalam bidang perdagangan dan politik, serta
memperhatikan kitab-kitab karyannya, Syamsuddin al-Sumatrani
menguasai ilmu-ilmu fiqh, tasawuf, sejarah, manthiq, taudid,
filsafat, bahasa Arab, ilmu politik dan ilmu perdagangan.65 Hanya
di masa Aceh memiliki kekuasaan negara sendirilah ia bisa
mengembangkan berbagai pengetahuan dan ilmu serta teknologi.
Maka, hanya ketika Aceh berdirilah, Syekh Syamsuddin as-
Sumatrani66 dapat mengembangkan ilmu dan pengetahuan dalam
bidang politik Islam. Syamsuddin adalah juga seorang Mufti
Kerajaan Islam Aceh Raya Darussalam dan sebagai “rektor”
Jami’ah Baiturrachman, yang merupakan sebuah universitas Aceh
yang banyak dilupakan orang. Karangan-karangannya antara lain
adalah: (1) Miratul Mu’minin, (2) Jirahul Haqa Iq, (3) Rasatun
Baiyun Mulaka Akatil, (4) Kitabul Harakah, (5) Nurul Haqa Iq,
(6) Miratul Iman, (7) Syarah Miratul Qulub, (8) Kilab Khazim, (9)
Syary’ul Arifin, (10) Kitabul Usulud Tahqiq, (11) Miratul
Haqiqah, (12) Kitabul Martabah, (13) Risatul Wahhab, (14)
Miratul Muhaqqiqin (15) Tanbihullah, (16) Syarah Ruba’i
Hamzah Fansuri.
Syamsuddin al-Sumatrani sebanyak 22 buah, silakan lihat pada halaman 26-28 dalam
buku tulisan Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh Di Tengah Konflik.
68 Ali Hasjmy, Kebudayaan ….., Loc.cit.
69 Lihat Tudjimah, Asrar al-Insan fi Ma’rifa al-Ruh wa’l-Rahman, (Djakarta:
Sastrakanta, 1961).
198 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
70
Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh Di Tengah Konflik, (Jogjakarta:
Ceninets, 2004), hlm 28.
71
Ibid.
72 Ali Hasjmy, Op.cit., hlm. 200-202.
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 199
Bab 11
RATU-RATU SAMUDERA-PASAI
bahwa penduduk Pasai berjumlah sekitar 20.000 orang dan mayoritas penduduknya
berasal dari Bengali, India. Lihat Armando Cortesao, The Suma Orientalof Tome
Pires1515, (London: Hakluyt Society, 1944), hlm. 142. Dan S.Q. Fatimi mencetuskan
bahwa kedatangan Islam ke Samudera-Pasai dari Bengali berdasarkan gaya batu nisan
Sultan Malikussaleh hampir serupa dengan batu nisan yang terdapat di Bengali. Lihat
S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, (Singapore: Malaysian Sociological Institute,
1963), hlm. 31-32.
4 Ayzumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Pustaka van Hoeve, 1998), hlm. 2.
Ratu-Ratu Samudera-Pasai 203
Century Southeast Asia, dalam Proceedings of Seventh IAHA Conference, August 1977,
(Bangkok: Interrnational Association of Historians of Asia, 1979), hlm. 408-412.
9 Lihat Siti Hawa Saleh, Bustanus as-Salatin, (Kuala Lumpur, Dewan Bahasa
10 A.H. Hill, (ed.), Hikayat Raja-Raja Pasai, JMBRAS, vol. XXXI-II, Part 2,
Juni 1960, hlm. 106-107. Ratu disamping raja (wanita); permaisuri; dapat juga berarti
raja. Lihat Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Republik Indonesia,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 821.
11 Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Jakarta: Waspada, 1981), hlm. 105-
106.
12Lihat Teuku Ibrahim Alfian, Ismed Sofyan, M. Hasan Basry, Wanita Utama
Aceh: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Meseum Daerah Istimewa Aceh, 1979),
hlm. 13-27.
Ratu-Ratu Samudera-Pasai 207
Kerajaan Islam di Aceh”, dalam Ali Hasjmi, (ed.), Sejarah Masuk dab Berkembangnya
Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 361.
22 Uka Tjandrasasmita, “Peranan Samudera-Pasai dalam Perkembangan
Islam di Beberapa Daerah Asia Tenggara”, dalam Hasan Muarif Ambary dan
Bachtiar Ali, Retrospeksi dan Refleksi Budaya Nusantara, (Jakarta: Taman Iskandar Muda,
1988), hlm.70.
23 Tjut Nyak Kusmiati, “Catatan Sementara Tentang Mata Uang Samudera
Pasai”, Kertas Kerja, Pertemuan Ilmiah Arkeologi Proyek Penelitian dan Penggalian
Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Cibulan 21-25 Pebruari 1977,
hlm. 2.
208 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
195.
26 Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, (terj.), ibid.,
196.
Ratu-Ratu Samudera-Pasai 209
27 Paul Pelliot, Memoires sur les coutumesdu Cambodge de Tcheou Ta Kouan, (Paris:
Adrien Maisonneuve, 1951), sebagaimana dikutip oleh Anthony Reid, Asia Tenggara
Dalam Kurun Niaga 1450-1680, (terj.), op.cit., 188.
210 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
28 Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, (terj.), ibid.,
195.
29 Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, (terj.), ibid.,
196.
Ratu-Ratu Samudera-Pasai 211
30 Lihat A. Teeuw dan David. K. Wyatt, (eds.), Hikayat Pattani, The Story of
Pattani, (The Hague: KITLV, 1970).
31 Jacob van Neck, “Journal van Jacob van Neck”, dalam De vierde schipvaart
der Nederlanders naar Oost-Indie onder Jacob Wilkens en Jacob van Neck (1599-1604), dalam
H,A. van Foreest and A. de Booy, (eds.), (The Hague: Linschoten Vereeniging,
1980), hlm, 226, sebagaimana dikutip oleh Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun
Niaga 1450-1680, (terj.), op.cit., 197.
212 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
32 Lihat A. Teeuw dan David. K. Wyatt, (eds.), Hikayat Pattani, The Story of
192.
Ratu-Ratu Samudera-Pasai 213
Semenanjung Melayu”, dalam Ali Hasjmy, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya
Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 274-277.
35 John Davis, “ The Voyage of Captain John Davis to the Easterne India,
Pilot in Dutch Ship; written by himself”, dalam A.H. Markham, (ed.), The Voyage and
Works of John Davis Navigator, (London: Hakluyt Society, 1880), hlm. 150.
214 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
Century Southeast Asia, dalam Proceedings of Seventh IAHA Conference, August 1977,
(Bangkok: Interrnational Association of Historians of Asia, 1979), hlm. 408-412.
37 Teuku Ainal Mardhiah Aly, “ Pergerakan Wanita di Aceh Masa Lampau
Sampai Kini”, dalam Ismail Suny, (ed.), Bunga Rampai tentang Aceh, (Jakarta: Bhratara
Karya Aksara, 1980), hlm. 292.
216 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
belahan negeri lain juga pernah satu kali utusan Syarif dari (Raja)
Mekkah berkunjung ke Aceh.
Pada masa pemerintahan Ratu Inayat itulah, kaum
Wujudiah yang menjadi penentang keberadaan wanita sebagai
raja, mulai kembali menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap
kekuasaan Ratu Zakiatuddin. Mereka memberitahukan hal
tersebut ke Syarif di Mekkah yang lantas mengirim utusan ke
Aceh. Namun apa yang terjadi justru malah kebalikannya. Utusan
dari Mekkah tersebut kagum melihat kemakmuran Banda Aceh
sebagai kota internasional. Ratu Inayat Syah Zakiatuddin
memerintah 10 tahun lamanya sampai ia wafat pada 3 Oktober
1688.39
Usaha-usaha yang dilancarkan kaum Wujudiah juga
dilakukan pada masa pemerintahan ratu yang keempat, yaitu pada
Ratu Kumala Syah. Ia bergelar Kamalat Syah, dan periode
kepemimpinannya hingga tahun 1688-1699. Kaum Wujudiah
masih tetap tidak menyetujui adanya raja wanita. Syarif Hasyim
salah satu dari mereka, telah berhasil mengawini ratu tersebut
guna mempercepat kejatuhan ratu. Selanjutnya, kaum Wujudiah
terus menerus meminta bantuan kepada Syarif Mekkah, sehingga
datanglah surat Mufti Mekkah yang menegaskan ketidak-
setujuannya terhadap wanita menjadi Raja Aceh. Surat tersebut
lalu dimusyawarahkan bersama oleh kalangan pembesar negara,
yang pada akhirnya dimenangkan oleh kelompok yang anti
terhadap raja wanita. Pada hari Rabu 1 Oktober 1699 Ratu
Kumala diturunkan dari tahta dan diganti oleh suaminya, Syarif
Hasyim.40
Pemerintahan wanita di Aceh memang hanya gagal, ketika
Aceh kehabisan calon yang memiliki kharisma monarki, dan
39 Di Arab (Mekkah) gelar sayyid dan syarif adalah keturunan langsung nabi
Muhammad SAW. Sayyid diberikan kepada keturunan Nabi Muhhammad SAW daru
Hussein bin Ali bin Abu Thalib, sedangkan gelar syarief diberikan kepada keturunan
Nabi Muhammad dari saudara Hussein yaitu Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Lihat
Teuku Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987),
hlm. 63, dan 60.
40 Teuku Ainal Mardhiah Aly, “ Pergerakan Wanita di Aceh Masa Lampau
Sampai Kini”, dalam Ismail Suny, (ed.), Bunga Rampai tentang Aceh, op.cit, hlm. 295.
218 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
by Thomas Bowrey 1680, (Cambridge: Hakluyt Society, 1905), hlm. 296. Dan Lihat juga
Muhammad ibnu Ibrahim, The Ship of Sulaiman 1688, terjemahan dari J.O. Kane, The
Persian, (London: Routledge and Kegan Paul, 1972), hlm. 174.
Ratu-Ratu Samudera-Pasai 219
43
Harry Kawilarang, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, (Banda
Aceh: Bandar Publising, 2008), 130-131.
44 Lihat Teuku Ibrahim Alfian, Ismed Sofyan, M. Hasan Basry, (eds.), Wanita
Utama Nusantara Dalam Lintasan Sejarah, op.cit., hlm. 77. Lihat juga Direktorat Urusan
Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan, 101 Pahlawan Nasional, (Jakarta:
Departemen Sosial RI, 1996), hlm 101-103.
45 Lihat Teuku Ibrahim Alfian, Ismed Sofyan, M. Hasan Basry, (eds.), Wanita
Utama Nusantara Dalam Lintasan Sejarah, op.cit., hlm. 99. Lihat juga Direktorat Urusan
Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan, 101 Pahlawan Nasional, op.cit., 107-108.
Ratu-Ratu Samudera-Pasai 221
Bab 12
MALIKUSSALEH: MUTIARA DARI PASAI
Branch of the Royal Asiatic Society, XXXIII, part 2, 1960, hlm. 15.
222 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
Asiatic Society Malayan Branch (JRASMB), Vol. XVII, Part III (1940), hlm. 105.
4 C. Hooykaas, Perintis Sastra, (terj.), (Jakarta: J.B. Wolters, 1953), hlm. 106.
5 Di Arab (Mekkah) gelar sayyid dan syarif adalah keturunan langsung nabi
Treaty of Painan in 1663”, Journal of Southeast Asian History, 10 (13), 1969, hlm. 454.
224 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
12 Lihat Teuku Ibrahim Alfian, Kronika Pasai, sebuah tinjauan sejarah, …op.cit.,
hlm. 55.
Malik az-Zahir
Sultan Ahmad
Laki-laki: Perempuan:
1. Tun Beraim Bapa 1. Tun Madum Pria
2. Tun Abdul Jalil 2. Tun Tukiah Dara
3. Tun Abdul Fadhil
Dan masih ada 25 orang lagi yang tidak disebutkan namanya.14
Sultan Ahmad
(ed.), Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan kebudayaan RI,
1993), hlm. 4.
Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 229
Hingga Abad XVI, dalam Ali Hasjmi, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam
di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 210.
19 Ismail Jakub, Sejarah Islam Indonesia, (Jakarta: Widjaya), hlm 31.
20 Hamka, “Aceh Serambi Mekkah”, dalam Ali Hasjmi, (ed.), Sejarah Masuk
Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, dalam bukunya The
History of Java.
27 Kata Jeumpa dengan Aceh di Nusantara, sering dikaitkan dengan
yang berasal dari Aceh, dari pasangan ini kemudian melahirkan Raden
Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 237
(7). Sunan Kudus: adalah cucu dari Usman Haji yang berasal
dari Aceh. Ibu Sunan Kudus adalah adik kandung Sunan
Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 245
Bab 13
SEJARAH ACEH DARI SISTEM KERAJAAN SAMPAI NAD
Dengan Semenanjung Melayu”, dalam Ali Hasjmi, (ed.), Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Maarif, 1981), hlm. 231-232.
2 Lihat Siti Hawa Saleh, (ed.), Bustanus as-Salatin, (Kuala Lumpur: Dewan
Abad XVI”, dalam Ali Hasjmi, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia, (Bandung: Al-Maarif, 1981), hlm. 214.
4 Fadhlullah Jamil M.A, “Kerajaan Aceh Darussalam dan Hubungannya
6 Lihat Siti Hawa Saleh, (ed.), Bustanus as-Salatin, (Kuala Lumpur: Dewan
Tabel 1
Subsidi dalam tahun
(Jumlah dalam gulden)
Tahun
Agama
1936 1937 1938 1939
Protestan 686.100 683.200 696.100 844.000
Katholik 286.500 290.700 296.400 335.700
Islam 7.500 7.500 7,500 7.600
Sumber: Staatsblad 1936: No. 355 hlm. 25, 26; 1937: No. 410, hlm. 25, 26; 1938:
No. 511, hlm. 27,28; 1939: No. 593, hlm. 32, sebagaimana dikutip dari Deliar
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (terj.), (Jakarta: LP3ES, 1996),
hlm. 39.
18 Tidak kurang dari itu, H.M. Rasjidi, intelektual Indonesia yang dikenal
anti kristenisasi pun bahkan menilai Snouck sebagai teman umat Islam Indonesia,
karena Snouck tak membolehkan umat Islam ini dikristenkan Belanda. Apa yang
dipahami H.M. Rasjidi itu sangat mendasar, karena justru Snouck sendiri menolak
keras tuduhan Menteri Belanda, Lohman, yang menganggap Snouck tak
menyetujui kristenisasi di Hindia Belanda, dan di Aceh ia menolak keras
kristenisasi berdasarkan kesarjanaan tentang daerah ini. Lihat Deliar Noer,Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (terj.), (Jakarta: LP3ES, 1996).
Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 251
Lihat Tim Kell, The Roots Of Acehnese Rebellion 1989-1992, (Ithaca: Cornell
22
Aceh telah pernah dilihat oleh Muhammad Subarkah jauh ke belakang, ke wacana
abad-abad yang dilupakan melalui sisi penolakan hegemoni politik Jawa dan
pantulannya yang sebangun (sekalipun tak sama) dengan masa kini. Kebetulan,
riset Subarkah belakangan ini di Universitas Hamburg, Jerman, memusatkan
perhatian pada tema wacana teks klasik tentang hubungan politik antara apa yang
Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 261
militer Jawa pulang babak belur dengan kekalahan. Lihat Ichwan Azhari, Op.cit.
28 Jika teks Jawa Nagarakertagama memuja kesuksesan ekspedisi Majapahit
29 Ini merupakan karakteristik khas Aceh yang tak mudah menyerah ketika
pernah diserbu Majapahit secara besar-besaran di dalam teks Hikayat Raja-Raja
Pasai (Koleksi Raffles, MS 67).
264 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai
Bhakti, 1987).
Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 265
paling tahu tentang kondisi dan kekuatan lokal yang jauh dari
Jawa itu bukan hanya tidak berhasil mencapai target yang
diinginkan, tapi berakhir jadi bumerang untuk Jawa.
Tidak hanya di luar Jawa kekuasaan Jawa itu dihancurkan.
karena geramnya dunia Melayu dalam menolak hegemoni Jawa,
wacana mereka juga menyerang dan menghancurkan wibawa
dan martabat Jawa jutru di Jawa.32 Kemarahan dunia Melayu
terhadap Jawa sampai melumpuhkan pusat kekuasaan Jawa ini
dengan fokus yang lain, telah saya ungkapkan dalam tulisan
saya sebelumnya.33 Perlawanan luar Jawa terhadap hegemoni
Jawa, dengan demikian bisa mencapai tahap radikalnya, yang
justru menghancurkan Jawa, tahap yang tak terbayangkan oleh
kekuasaan Jawa yang merasa diri paling kuat di jagad Nusantara
ini. Teks Hikayat Banjar memperlihatkan bagaimana pusat
kekuasaan Jawa berhasil ditaklukkan oleh Banjar tanpa
perang.34 Penolakan hegemoni Jawa oleh kekuatan Banjar
langsung di Majapahit menghadirkan kegemparan di pusat
kekuasaan Majapahit karena teks benar-benar menghajar tanpa
ampun wibawa pusat kekuasaan Jawa. Raja Majapahit dan
Gajah Mada beserta jajaran elitnya di negerinya sendiri
ditunjukkan jadi gemetar, terpuruk ketakutan ketika mendengar
Lambu Mengkurat, penguasa Banjar, datang ke Majapahit. Raja
Majapahit dalam pandangan rakyat Jawa tanpa bisa melakukan
perlawanan sedikit pun benar-benar dihina dan direndahkan
oleh penguasa Banjar itu. Penguasa dari Kalimantan ini tidak
mau tunduk pada Majapahit karena dia menganggap kehebatan
Raja Majapahit, kekayaan, dan kekuatannya ada di bawah
32 Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Banjar merupakan wacana untuk
menghajar pusat kekuasaan Jawa yang selama ini (melalui hegemoni Jawa itu) telah
menghancurkan kedaulatan dunia Melayu. Teks Hikayat Hang Tuah yang versi
salinannya ditemukan lebih 20 dan terbanyak tersimpan di museum London itu,
sangat radikal menampilkan kekuatan dan kemarahan Melayu mengobrak-abrik
istana Majapahit, membunuh militer Jawa, mempermalukan raja Jawa dan
panglima militernya, serta meruntuhkan pusat sakral kekuasaan Jawa. Ichwan
Azhari, Ibid.
33 Republika, 3 Maret 1999.
34 Lihat J.J. Ras, (ed.), Hikayat Banjar, (terj.), (Kuala Lumpur: Dewan
Bab 14
KESIMPULAN
1
Lihat Karen Amstrong, A Short History, Sepintas Sejarah Islam,
(terj.), (Jakarta: Ikon Teralitera, 2000).
Kesimpulan 269
2
D.H. Burger, Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, (ter.),
(Djakarta: Pradnya Paramita, 1960), hlm. 61.
Kesimpulan 271