Anda di halaman 1dari 290

Aceh Pra-Islam 1

Bab 1
ACEH PRA-ISLAM

Aceh yang termasuk bagian dari negara Indonesia secara langsung


menjadi bagian sejarah Indonesia pada masa lampau, yang telah
mewariskan dua ruang sosial, yaitu warisan negara agraris yang
berkembang pada masa Hindu-Budha dan negara kota (niaga) warisan
jaman Islam. Kedua ruang sosial ini telah menunjukkan perbedaannya dan
menggejala sampai saat ini.1
Sebelum kedatangan Islam, penduduk Aceh pada umumnya
mempunyai kepercayaan tersendiri yang dikenal sebagai animisme,
dinamisme, pemujaan hyang (dewa pencinta), dan nenek moyang. 2
Selanjutnya dapat dikatakan terjadinya gelombang-gelombang perubahan
yang telah melanda sejarah, kebudayaan, dan politik hampir tanpa kecuali
berasal dari luar Aceh. Dan sebelum adanya pengaruh Islam, perubahan
itu datang dari India, baik dalam bentuk agama Hindu maupun Budha
Mahayana. Dengan adanya pengaruh-pengaruh asing ini bukanlah
unsur-unsur yang dilebih-lebihkan sebagai faktor penentu sejarah.
Pengaruh yang disebut “hindunisasi” atau yang lebih tepat “indianisasi”3
bagi masyarakat Jawa dan Bali menembus secara mendalam dan
meninggalkan bekas lama sekali, dengan kehidupan keraton (Mataram
atau Majapahit) yang amat halus serta struktur sosial yang kompleks. Akan
tetapi, bagi masyarakat Sumatera dengan adanya invasi Kerajaan Sriwijaya
—yang pernah menjadi pusat keagamaan Budha Mahayana—, tidak
cukup meninggalkan bekas-bekas atau peninggalan yang dapat
dipergunakan sebagai analisa sejarah yang memadai.4
Dari banyaknya momen historis yang dialami nenek moyang bangsa
Indonesia termasuk bangsa Aceh pada umumnya, kita mengakui ada tiga

1 Moh. Ali Fadillah,”Etnisitas dan Nasionalisme Indonesia Perspektif Arkeologi”, dalam

Henry Chambert Loir dan Hasan Muarif Ambary, (eds.), Panggung Sejarah: Persembahan kepada
Prof. Dr. Denys Lombard, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 129.
2 Lihat Ghazalie Shafie, Rumpun Melayu dan bangsa Malaysia Menjelang Tahun 2002, (Bangi:

Universiti Kebangsaan Malaysia, 1995).


3 Lebih jelas lagi masalah Indianisasi, lihat George Coedes, The Indianized States of Southeast

Asia, (Canberra: Australian National University Press, 1975).


4 Haruslah disadari bahwa perubahan yang ditimbulkan pengaruh asing kalau dipandang

melalui kacamata lokal, tidak ada pengaruh utama yang menimpa Indonesia masih terdapat
dalam bentuk aslinya. Harry J.Benda, “Kontuinitas dan Perubahan dalam Islam di Indonesia”,
dalam Taufik Abdulah, (ed.), Sejarah dan Masyarakat, Lintasan Historis Islam di Indonesia, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 26-28.
2 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

momen signifikan yang banyak dikaji oleh arkeolog yaitu jaman


neolitikum, klasik Hindu-Budha, dan Islam. Ketiganya menandai
perubahan besar dalam memberi andil bagi entitas kebudayaan Aceh
sekarang.5
Tentang asal-usul bangsa Aceh, secara mitologis berasal dari sebuah
keluarga yatim. Diceritakan dalam dongeng tentang Putri Baren yang
mempunyai dua anak laki-laki. Disebabkan rasa tidak aman di tempat
asalnya, mereka berniat meninggalkan negerinya setelah mendengar berita
ada pulau yang makmur lagi kaya terletak jauh di tengah lautan Hindia.
Puteri Baren dan dua orang anak laki-lakinya berangkat dari dataran Parsi
sampai ke India bersama rombongan mencari tempat yang dimaksud. Di
tengah perjalanan, sang abang berpisah tak mau menurut kehendak
adiknya ke Aceh dan memutuskan jalannya sendiri dan dia menuju
Tiongkok. Sedangkan sang adik dengan rombongannya lebih dulu
menuju Aceh. Setibanya sang abang di pantai, disambut oleh penduduk
setempat dengan berseru, “Aji datang, aji datang”. Aji dalam bahasa India
berarti abang. Jadi maksud dari seruan tadi, abang yang datang.6 Istilah aji
atau achin kemudian dikenal di kalangan bangsa-bangsa Cina belakang
untuk menyebut Aceh. Bagaimanapun kontroversialnya mitologi ini,
tetaplah bangsa Aceh dianggap merupakan perpaduan dari berbagai
bangsa. Aceh, dalam kesadaran orang-orangnya sekarang, adalah bangsa
melting-pot. Seluruh bangsa, kecuali Yahudi, melebur di Aceh.7
Pembahasan tentang pengaruh-pengaruh agama dan budaya lain,
yang datang ke Aceh, sebelum pengaruh kebudayaan Islam berkembang
memerlukan penelitian yang berdasarkan bukti dan fakta berupa tulisan,
prasasti, dan candi-candi, 8 berbeda dengan jaman yang belum
ditemukannya tulisan atau jaman prasejarah Aceh, dapat diungkapkan
berdasarkan bukti-bukti benda arkeologis. Dalam bab pertama ini penulis
ingin membahas sekilas tentang kebudayaan Aceh pada jaman prasejarah.
Pada jaman prasejarah periode mesolitikum, masyarakat Aceh
diperkirakan sudah bisa membuat perkakas atau peralatan, mempunyai
peradaban dan kebudayaan. Berdasarkan bukti-bukti dari benda-benda

5 Moh. Ali Fadillah, ”Etnisitas dan Nasionalisme Indonesia Perspektif Arkeologi”, dalam
Henry Chambert Loir dan Hasan Muarif Ambary, (eds.), Panggung Sejarah: Persembahan kepada
Prof. Dr. Dennys Lombard, Op.cit., hlm. 122-123.
6 S.M. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh, (Jakarta: Soerongan, 1956), hlm. 5-7.
7 S.M. Amin, Op.cit., hlm. 7.
8 Cut Nyak Kusmiati, “Manusia dan Kebudayaan Aceh menjelang Kedatangan Islam”,

dalam Ali Hasjmi, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif,
1981), hlm. 90-91.
Aceh Pra-Islam 3

peninggalan bersejarah dari peradaban jaman mesolitikum 9 di daerah


Seruwei dekat Langsa, Aceh diperkirakan pada masa prasejarah telah
dihuni oleh manusia yang mengkonsumsi kerang, sejenis binatang laut.
Daerah yang mereka tempati, yaitu sepanjang Pantai Timur Laut
Sumatera, mulai dari Lhokseumawe sampai Medan.10 Di lokasi tersebut
terdapat bukit-bukit kecil yang tingginya antara 4 sampai 7 meter yang
terdiri dari bahan kulit kerang yang tidak tercampur pasir atau tanah.
Menurut penilitian ahli sejarah pada tahun 1942, bukit-bukit itu hasil karya
manusia dan bukan terjadi dengan sendirinya. Setelah penggalian di dalam
bukit-bukit ternyata ditemukan artefak-artefak atau alat-alat. Di lokasi ini
artefak yang ditemukan adalah sejenis kapak batu atau pebble yang populer
disebut dengan sumatralith. Kapak yang bentuknya masih kasar, tetapi
bagian yang tajamnya telah diasah halus.11 Menjadi pertanyaan bagaimana
artefak-artefak itu bisa di dalam bukit-bukit kerang tersebut?.
Diperkirakan masyarakat Aceh pada jaman itu berdiam di pesisir pantai
dan mendirikan rumah-rumah panggung yang tinggi. Mata
pencahariannya adalah menangkap dan mengumpulkan binatang laut,
terutama kerang yang menjadi makanan utamanya dan sisa-sisa
makanannya dibuang di bawah rumahnya sehingga tertimbun sebagai
bukit, sehingga ditemukan bukit-bukit kerang atau disebut
kjokkenmodinger.12

9 Jaman prasejarah Indonesia terbagi atas beberapa jaman, yaitu jaman batu tua

(palaeotikum), jaman batu madya (mesolitikum), jaman batu muda (neolitikum), jaman perunggu
dan jaman besi. Pada jaman mesolitikum manusia mulai merintis ke arah hidup yang sempurna,
mereka mulai menetap, tetapi belum bisa memproduksi makanan sendiri, mereka hidup di
gua-gua dan rumah-rumah yang tinggi. Lihat Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, Monografi
Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1976), hlm. 1-2.
10 Soekmono, Sejarah Kebudayaan Indonesia I, (Jakarta: Kanisius, 1973), hlm.39.
11 Koentjaraningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Jakarta: India, 1956), hlm 54-56. Pada

jaman mesolitikum Aceh, telah ditemukan ciri jaman neolitikum, yaitu kapak yang ditemukan di
bukit kerang di Pantai Timur Sumatera. Kapak itu disebut juga proto-neolith. Lihat juga Moh. Ali
Fadillah, “Etnisitas dan Nasionalisme Indonesia Perspektif Arkeologi”, Op.cit., hlm. 130.
12 Kjokkkenmodinger, bahasa Denmark Kjokken artinya dapur, modinger artinya sampah,

bukit seperti itu terdapat juga di Denmark. Lihat Koentjaraningrat, Ibid. hlm. 56. Uka
Tjandrasasmita juga menyebutkan bahwa berdasarkan tempat peninggalan bekas-bekas bukit
kerang (kjokkenmodinger) itu dapat disimpulkan pada wilayah kekuasaan Kerajaan
Samudera-Pasai (Langsa), pada masa-masa sebelumnya telah dihuni manusia, kemudian
berkembang, menjadi pusat pemukiman dan selanjutnya dapat berhasil menjadi kekuatan politik
sebagai salah satu kerajaan Islam Pasai. Uka Tjandrasasmita, “Peranan Samudera-Pasai dalam
Perkembangan Islam di beberapa Daerah Asia Tenggara”, dalam Hasan Muarif Ambary dan
Bachtiar Ali, (eds.), Retrospeksi dan Refleksi Budaya Nusantara, (Jakarta: Taman Iskandar Muda,
1988), hlm. 67.
4 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Jaman neolitikum (jaman batu muda) telah juga dialami oleh Aceh
yakni dengan ditemukannya kapak persegi yang telah diasah dengan halus
dan kapak persegi ini berasal dari Tiongkok Selatan. 13 Berdasarkan
temuan artefak jaman neolitikum memberikan pandangan bahwa jaman
neolitikum Aceh dalam kompleksitasnya, mengandung unsur-unsur
autochtone (asli), artinya telah ada gejala perkembangan lokal dari tingkat
budaya sebelumnya (mesolitikum), sedangkan unsur-unsur allochtone
(asing) hanya merupakan perangsang dalam mempercepat proses
ketingkat budaya jaman neolitikum. Dengan kata lain jaman neolitikum
Aceh tidak dimulai dari peristiwa migrasi, tetapi kembali ke tingkat budaya
sebelumnya, yang telah memiliki unsur-unsur jaman neolitikum, yaitu
tradisi budya Hoabinhian di Aceh. 14 Watak dari transisi itu ditandai
dengan berkembangnya masyarakat semi-sedenter yang dapat
diidentifikasi pada beberapa kelompok artefak jaman mesolitikum yang
telah memiliki ciri jaman neolitikum. Namun pengetahuan tentang jaman
neolitikum Indonesia masih sangat terbatas, karena kurangnya penelitian
jaman neolitikum Indonesia masih mengidentifikasi situs pemukiman dan
industri, padahal di Vietnam, Thailand dan Malaysia telah ditemukan
kuburan neolitikum.15
Masa peradaban neolitikum pun berakhir dan Aceh melangkah ke
jaman peradaban yang lebih maju, dimana pada masa ini alat-alat sudah
terbuat dari bahan baku perunggu dan besi. Dan pada masa ini nenek
moyang bangsa Aceh yang tergolong kepada bangsa deutro Melayu (Melayu
Muda) sebagaimana juga satu nenek moyang bangsa Jawa, Melayu, Banjar,
Bugis dan lain-lain. Masyarakat Aceh pada jaman itu telah menetap,
bertani dan bercocok tanam.16
Periode-periode peradaban Aceh selanjutnya dapat dipaparkan
secara sosiologis, Aceh berikut ini didasarkan pada suatu ingatan segar
yang masih tersisa. Di mana bangsa Aceh ialah kumpulan beberapa suku
bangsa yang mendiami belahan ujung pulau Sumatera. Dan bangsa Aceh

13 Koentjaraningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia …., Op.cit., hlm. 63.


14 Budaya Bacson-Hoabinbian telah banyak diteliti ahli prasejarah. Budaya ini
berkembang antara akhir jaman pleitosen dan pada awal jaman neolitikum. Ciri utama
hoabinbian adalah kegiatan berburu dan memancing ikan serta mengumpulkan bahan makanan.
Kendati belum mengenal agrikultur, budaya ini telah mempraktekan batu pipisan sebagai alat
penggerus biji-bijian dan zat pewarna. Temuannya yang paling penting adalah pebble atau kapak
genggam yang dibuat dari batu kali yang terbelah dan sebuah sisinya sudah diasah halus. Lihat
Harry Truman Simanjuntak, “Neolitik di Indonesia: Neraca dan Perspektif Penelitian”, dalam
Jurnal Arkeologi Indonesia, No.1, Juli, (Jakarta: IAAI, 1992), hlm. 122.
15 Moh. Ali Fadillah,”Etnisitas dan Nasionalisme Indonesia Perspektif Arkeologi”,

Op.cit., hlm. 131.


16 Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, Monografi …..Op.cit. hlm. 2.
Aceh Pra-Islam 5

adalah terdiri dari sembilan sub-etnis (Aceh, Tamiang, Gayo, Alas, Aneuk
Jamee, Kluet, Aneuk Laot, Simeulue dan Sinabang), yang masing-masing
memiliki budaya dan bahasa serta pola pikir sendiri-sendiri. Secara
geografis tengah Aceh terdapat orang Alas dan Gayo yang menurut
pendapat beberapa peneliti, memiliki pemikiran dan adat serta budaya
yang agak berbeda dengan suku Aceh yang berdiam di sepanjang pesisir.
Kehidupan pesisir adalah kehidupan keras, ringkas dan mengutamakan
sikap yang efektif. Wajar jika kemudian bahasa Aceh adalah bahasa yang
jumlah suku-katanya sangat singkat. Suku Aceh mempunyai bahasa yang
digolongkan masuk ke dalam rumpun bahasa deutro Melayu.17
Di kalangan peneliti sejarah dan antropologi sering dikatakan bahwa
suku Aceh berasal dari suku setempat yang bernama orang mantir (bahasa
Aceh: mantee) yang hidup di rimba raya dan mempunyai ciri postur tubuh
agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Orang mantir ini
kemungkinan besar mempunyai kaitan dengan suku bangsa mantera di
Malaka, yaitu bagian dari bangsa monk khmer dari Hindia Belakang. Maka,
semangat dan api revolusi senantiasa hidup dalam jiwa-jiwa orang Aceh
sebagaimana revolusionernya orang-orang Khmer. Ditambah pengaruh
dari pembauran dengan suku bangsa yang datang dari Andaman, India,
dan Nicobar yang terletak di sebelah utara.18
Memasuki periode jaman sejarah, gelombang perubahan telah
menempatkan Indonesia dan Aceh kedalam “keunggulan” bangsa India
yang telah menghasilkan jaman klasik Hindu-Budha. Dapat dikatakan
bangsa Aceh banyak belajar dari budaya India yang lebih dulu mengalami
kemajuan dibandingkan bangsa Aceh.19 Besarnya pengaruh kebudayaan
dari India serta masyarakat setempatpun menganut agama Hindu dan
Budha. Namun kedatangan agama Hindu dan Budha itu tidak
melenyapkan kepercayaaan animisme, dinamisme, dan pemujaan terhadap
nenek moyang. Bahkan sebaliknya, terjadi singkretisme antara kedua
agama tersebut yaitu agama Siwa-Budha.20

Pengaruh Hindu
Kebudayaan Aceh memiliki banyak kesamaan dengan India
Menurut Cut Nyak Kusmiati, sejak jaman prasejarah telah terdapat
hubungan maritim antara India dengan Indonesia. Namun tidak dapat

17 S.M. Amin, Op.cit., hlm. 57.


18 S.M. Amin, Loc.cit.
19 Moh. Ali Fadillah,”Etnisitas dan Nasionalisme Indonesia Perspektif Arkeologi”,

Op.cit., hlm. 131.


20 Lihat Mahayudin Hj. Yahaya, Tamadun Islam, (Shah Alam: Fajar Bakti, 1998).
6 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

dipastikan dengan jelas tentang kapan kedatangan orang-orang India ke


Aceh, dan menurut para ahli sejarah hanya bisa memperkirakan pada awal
abad Masehi.21 Sedangkan pendapat S.M.Amin yang menyatakan bahwa
pengaruh pertama terhadap bangsa Aceh datang dari bangsa India yang
membawa ajaran Hindu dan Budha yang masuk diperkirakan 2.500 SM,
dimana mereka telah membuat banyak perkampungan di Aceh. 22
Menurut Ismail Jakup, orang Hindu datang dari Hindia Muka yang
terletak di sebelah barat laut pulau Sumatra, dan mereka tertarik dengan
rempah-rempah yang ada di Nusantara. Sambil berniaga orang Hindu itu,
mengembangkan agama dan kebudayaan mereka di bumi Nusantara, dan
mereka bergaul dan kawin dengan masyarakat setempat, sehingga pada
abad ke 2 Masehi telah banyak orang Hindu yang menetap di Nusantara.23
Diketemukannya prasasti-prasasti di batu nisan dan lain-lain di
Indonesia antara lain prasasti dari Kutai, Tarumanagara, Kalingga,
Sriwijaya serta prasasti lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga
merupakan sumber sejarah yang penting untuk mengetahui bentuk dan
susunan pemerintahan di Indonesia pada masa lampau. Prasasti-prasasti
tersebut memberikan petunjuk mengenai susunan pemerintahan dan
hukum atau peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh para penguasa di
antaranya tentang pembebasan pajak bagi penduduk desa yang diwajibkan
memelihara bangunan suci (Ratu Sima), pendirian lingga dan lain
sebagainya.24 Penduduk Aceh menganggap bahwa budaya India memiliki
banyak kesamaan sampai saat ini namun peninggalan-peninggalan berupa
prasasti-prasasti peninggalan jaman pada awal kedatangan bangsa India ke
Aceh tak pernah ditemukan.25
Walau tidak ditemukan peninggalan prasasti-prasasti di Aceh namun
pengaruh-pengaruh bangsa Dravida (600 SM), suku asli India terlihat jelas
dari nama kota-kota di pantai Aceh yang sama seperti nama kota-kota di
Arakan (Myanmar dan Kamboja). Pengaruh bangsa India begitu besarnya
terhadap bahasa, agama (kepercayaan) adat istiadat atau kebiasaan
21Cut Nyak Kusmiati, “Manusia dan Kebudayaan Aceh Menjelang Kedatangan Islam”,

dalam Ali Hasjmi (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif,
1981), hlm. 89-90.
22S.M. Amin, Op.cit., hlm.5-7.
23Lihat Ismail Jakup, Sejarah Islam Di Indonesia, (Jakarta:Widjaya), hlm 8-11.
Kerjaan Hindu di Nusantara adalah (1) Kerajaan Sriwijaya di Palembang Sumatra
Selatan, (2) Kerajaan Majapahit pulau Jawa, (3) Kerajaan Pajajaran di Jawa bagian Barat.
24 Boechari, A Prelimanary Note on a Study of the Old Javanese Administration M.I.I.S.I, (Jakarta:

Bhratara, 1963), hlm. 122-139.


25 Dalam hal ini sangat sulit untuk menentukan bagaimana susunan masyarakat Aceh.

Cut Nyak Kusmiati, “Manusia Dan Kebudayaan Aceh Menjelang Kedatangan Islam”……….,
Op.cit., hlm. 91.
Aceh Pra-Islam 7

masyarakat Aceh, dan masyarakat Acehpun merasa masih ada pertalian


darah dengan orang-orang India Selatan (Cula, Kalingga).26
Adanya hubungan antara Sumatera dengan bangsa India dapat
ditemukan juga dari berbagai cerita atau epos agama Hindu. Dalam
masyarakat Hindu secara umum mengenal cerita tentang dewa-dewa atau
ksatria yang dituliskan di berbagai buku, salah satunya adalah kitab
Ramayana yang juga menyebutkan Suwarnadwipa, yang artinya pulau emas
yang tak lain punya arti sama dengan Sumatera.27
Kedatangan orang-orang India ke Nusantara yang membawa
kebudayaan Hindu sebagai kebudayaan baru sangat berpengaruh pada
umumnya terhadap masyarakat Indonesia yang di dalamnya termasuk
masyarakat Aceh. Adanya perubahan tata cara hidup manusia dari segi
kemasyarakatan, perekonomian dan keagamaan, menandakan jaman
prasejarah telah berakhir dan menandai awal jaman sejarah di Indonesia.28
Menurut Wan Hussein Azmi selain orang-orang India, sekitar abad
ke-1 orang-orang Yunani datang ke gugusan pulau-pulau Melayu tetapi
terhenti sampai abad ke-2 jauh sebelum Islam masuk ke wilayah ini.
Kemudian orang-orang Persia yang menganut agama Zoroaster di jaman
Dinasti Sasanid abad ke-3, dan mengadakan hubungan perdagangan yang
luas dengan Asia Tenggara di samping orang-orang India. Tak ketinggalan
orang-orang China dan Arab yang belum menganut agama Islam juga
turut mengadakan hubungan dengan Asia Tenggara.29
Besarnya pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa orang-orang
India menjadikan permulaan jaman sejarah dengan berdiri dan
berkembangnya kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia, 30 seperti Kutai,
Tarumanagara dan Mataram. Keadaan Aceh tidak diketahui dengan jelas,
apakah di Aceh sudah mempunyai suatu bentuk kerajaan juga tidak jelas.
Tetapi ada satu sumber yang menyatakan sekitar tahun 500, di Aceh telah
berdiri satu kerajaan yang dikenal internasional yang bernama Kerajaan
Poli, dan mempunyai 136 perkampungan. Dalam tahun 518, Kerajaan

26 H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, (Medan: pertjetakan Indonesia, 1961),
hlm. 26.
27 Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia

II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 5.


28 Cut Nyak Kusmiati, “Manusia dan Kebudayaan Aceh……..Op.cit., hlm. 90.
29 Gugusan pulau-pulau Melayu melingkupi negara-negara antara lain, Singapura,

Indonesia, Brunei dan Filipina. Wan Hussein Azmi, ”Islam di Aceh: Masuk dan Berkembangnya
Hingga Abad XVI”, dalam Ali Hasjmi,(ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 174.
30 Para ahli sejarah sudah sependapat bahwa jaman sejarah di Indonesia dimulai pada

abad ke-4, dengan ditemukannya Piagam Muara Kaman, Kalimantan Timur yang bertuliskan
huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Monografi Daerah Istimewa Aceh……, Op.cit. hlm. 3.
8 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Poli ini, sudah mengirimkan utusannya ke Tiongkok yang waktu itu di


bawah kekuasaan Dinasti Liang. Kerajaan Poli berada di pantai Sigli yang
wilayah kekuasaannya meliputi hingga ke Aceh Besar.31
Pengaruh Kerajaan Poli ini masih tampak dari nama-nama tempat di
Aceh yang banyak sekali memakai istilah Hindu, seperti Indrapuri,
Indraputra, Gandapura, Kleng, Raja Dagang, dan lain sebaginya. Rakyat
Aceh umumnya suka memakai pakaian berwarna merah, kuning atau
hitam. Tiga paduan warna ini merupakan warna revolusioner. Merah
adalah warna ceria bagi rakyat Aceh. Selain sifatnya yang revolusioner,
bangsa Aceh ternyata masih mempercayai takhyul-takhyul dari orang
keramat sambil membakar kemenyan, mereka asyik makan sirih, main
rapa’i dan sebagainya. Masakan Aceh juga mirip resep gulai India yang
banyak memakai kunyit, jaramaneh, dan rempah-rempah. Pengaruh India
di Aceh sampai sekarang juga banyak terdapat pada cara orang memanggil
Ayahnya dengan panggilan Ba.32
Selain Kerajaan Poli di Sigli ada sebuah kerajaan lagi yang
kemungkinan menganut agama Hindu sebelum menjadi sebuah kerajaan
Islam yaitu Kerajaan Ta Shi, di Sumatera di bagian utara. Dalam sumber
Cina yang tertuang dalam naskah tua tercatat ada sebuah kerajaan di utara
Sumatera, namanya Ta Shi telah membuat perhubungan diplomatik
dengan Kerajaan Cina dan hubungannya sampai ke tahun 655, dan Ta Shi
itu menurut istilah Cina di abad ini diberi kepada orang-orang Islam dan
nama Ta Shi telah di catat didalam peta Ptolomaeus, dan tempat letaknya
Ta Shi itu telah dicatat didalam buku-buku tahunan Sung di tahun 922,
dengan catatan mengatakan letaknya Kerajaan Ta Shi adalah lima hari
berlayar dari Chop’o (yaitu bagian yang lebih besar dari Malaka)
diseberang Selat Melaka. Ini menunjukkan Ta Shi yang tersebut dalam
catatan Cina itu ialah Ta Shi Sumatera Utara.33
Kerajaan Ta Shi atau Tajik itu hidup dan kemudiannya bersatu
dengan Kerajaan Peureulak dengan memakai nama Ta Jihan. Walaupun
demikian orang-orang Cina masih memanggilnya dengan nama Ta Shi
sehingga diganti dengan nama Samudera yang diperoleh untuk
raja-rajanya surat pertanyaan untuk menjabat sebagai raja, dari Kaisar
(Maharaja) Cina.34

31 S.M. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh, (Jakarta: Soerongan, 1956), hlm. 5-7.
32 S.M. Amin, Op.cit., hlm. 7.
33 Wan Hussen Azmi, “Islam di Aceh masuk dan berkembangnya hingga abad XVI”,

dalam Ali Hasjmy, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif,
1981), hlm. 193.
34 Wan Hussen Azmi, Islam di Aceh masuk dan berkembangnya hingga abad XVI,

Op.cit., hlm. 194.


Aceh Pra-Islam 9

Sumber-sumber yang menyatakan tentang orang-orang Ta shi,


bukan hanya berasal dari abad ke-7 saja, tetapi juga dari abad selanjutnya,
antara lain sumber dari Jepang tahun 748, dalam sumber tersebut
diberitakan tentang banyaknya kapal orang-orang Tashih Kuo dan
orang-orang Posse yang berlabuh di Khanfu (Kanton).35
Berdasarkan kutipan-kutipan yang tersebut di atas, baik dari sumber
Cina ataupun Jepang dimana Kerajaan Ta Shi telah mengadakan
hubungan dagang dengan Cina, karena dinyatakan bahwa hubungan
dengan kerajaan Ta Shi terjadi hingga tahun 655, maka bukan mustahil
bahwa hubungan dagang itu telah terjalin jauh waktu Kerajaan Ta Shi
masih menganut agama Hindu dan belum menjadi negara Islam.36
Mohammad Said menyebutkan bahwa dahulu kala sekitar 2000 SM
telah berdiri kerajaan yang bernama Kerajaan Indra Purba berlokasi di
Aceh Besar sekarang. 37 Namun pendapatnya tidak banyak yang
mendukung karena bukti-bukti yang kuat belum ditemukan. Menurutnya
juga bahwa Kerajaan itu beribukota Lamuri, Kerajaan Indra Purba
termasuk kerajaan yang besar, makmur dan kuat jauh sebelum kedatangan
Islam. Hingga kemudian pada tahun 1023-1024 Kerajaan Lamuri di
serang kerajaan Hindu (India) yang rajanya bernama Rajendra Cola I.38
Setelah mendapat serangan dari kerajaan Hindu tersebut dan
mampu mempertahankan diri, kemudian Kerajaan Tiongkokpun datang
untuk untuk menyerang Kerajaan Indra Purba. Antara tahun 1059 hingga
1069. Setelah menduduki Kerajaan Indra Jaya, tentara Tiongkok
menyerang Kerajaan Indra Purba yang pada masa itu diperintah oleh
Maharaja Indra Sakti. Tetapi tentara Tiongkok dapat dikalahkan oleh
sebanyak 300 orang dibawah pimpinan Syeikh Abdullah Kan’an (bergelar
Syiah Hudan, turunan Arab dari Kan’an) dari Kesultanan Peureulak. 39
Setelah Kerajaan Indra Jaya mendapat bantuan dalam menghadapi
serangan Tiongkok, kemudian Maharaja Indra Sakti dan seluruh rakyat
Kerajaan Indra Purba masuk agama Islam. Kemudian Maharaja Indra
Sakti mengawinkan puterinya, Puteri Blieng Indra Keusuma dengan

35 Uka Tjandrasasmita, “Proses Kedatangan Islam dan Munculnya Kerajaan Islam di

Aceh”, dalam Ali Hasjmy, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung:
Al-Ma’arif, 1981), hlm. 357.
36 Wan Hussen Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya hingga Abad XVI”,

Op.cit., hlm. 193.


37 Lihat Mohammad Said, Atjeh Sepanjang Abad, (Medan: diterbitkan oleh pengarangnya

sendiri, 1961), hlm. 25-37.


38 Ibid., hlm. 37.
39 Tgk. M. Yunus Jamil, Tawarikh Raja-Raja Kerajaan Aceh, (Banda Aceh: Ajdam I

Iskandar Muda, 1968), hlm. 32-35.


10 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Meurah Johan yang ikut menyerang tentara Tiongkok, putera dari Adi
Genali atau Teungku Kawee Teupat yang dirajakan di negeri Lingga.
Duapuluh lima tahun kemudian Maharaja Indra Sakti meninggal dunia,
dan diangkatlah menantunya Meurah Johan menjadi Raja Indra Purba
dengan gelar Sultan Alaiddin Johan Syah, dimana Kerajaan Indra Purba
dengan ibukotanya Lamuri, dijadikan kerajaan Islam dengan nama
kerajaannya Darussalam dan ibukota negaranya dibuat yang baru dan
berlokasi di tepi sungai Kuala Naga (Krueng Aceh sekarang) dan dinamai
Bandar Darussalam.40
Melihat terjadinya perubahan budaya yang begitu cepat antara
budaya Hindu menjadi Islam di kerajaan Indrapura dan dengan adanya
serangan kerajan Hindu dari India yang mempunyai Raja bernama
Rajendra Cola I.41 Dapat dikaitkan dengan hipotesa seorang ahli sejarah
yang menyatakan hubungan dagang antara masyarakat Aceh dengan
bangsa India mengakibatkan masuknya pengaruh budaya India ke dalam
budaya Aceh. Ia menyatakan telah terjadi kolonisasi oleh orang-orang
India terhadap Kepulauan Nusantara, termasuk Aceh, dan koloni-koloni
tersebut menjadi pusat penyebaran budaya India. Hingga terjadi
gambaran bahwa bangsa India menjadi golongan yang menguasai
Indonesia termasuk Aceh di dalamnya. Dalam proses masuknya budaya
India yang memegang peranan utama dipegang oleh golongan prajurit,
yaitu kasta ksatria. Pendapat ini disebut hipotesa ksatria.42
Perbedaan pendapat dikalangan para ahli sejarah tentang masuk
peradaban India ke Nusantara termasuk ke Aceh, sering terjadi di
antaranya ketika Krom mengatakan, “Orang tidak perlu membayangkan
suatu peradaban yang luar biasa, yang dapat berdiri berhadap-hadapan
setaraf dengan peradaban Hindu. Tetapi jelas bahwa orang Hindu tidak
datang di tengah-tengah orang biadab”. 43 Pernyataan Krom dianggap
negatif oleh Van Leur. Ia juga menyatakan bahwa kunci untuk menilai
dengan tepatnya pengaruh budaya Hindu di Indonesia adalah perkiraan
yang tepat tentang arti peradaban kuno di Nusantara dalam arti
seluas-luasnya. Pendapat ini diajukan karena ia melihat bahwa para

40 Ibid., hlm. 34 -35.


41 Mohammad Said, Atjeh Sepanjang Abad, Op.cit., hlm. 37.
42 F.D.K.Bosch, “The Problem of the Hindu Colonization of Indonesia”, Selected Studies

in Indonesian Archaeology, (The Hague: Martinus Nijhof, 1961), hlm.6.


43 N.J. Krom, Hindoe-Javaanschen Geschiedenis. 2 de herziene druk, (‘s-Gravenhage:

Martinus Nijhoff, 1931), hlm. 54.


Aceh Pra-Islam 11

peneliti proses masuknya pengaruh budaya India kurang memperhatikan


hal tersebut.44
Peradaban Hindu di Aceh menurut Junus Djamil dalam bukunya
menjelaskan bahwa, telah berdiri sebuah kerajaan di Peureulak sebelum
kedatangan kebudayaan Islam, Peureulak telah lama berdiri dan raja-raja
yang memerintah negeri itu berasal dari turunan raja-raja Negeri Siam
(Syahir Nuwi). 45 Kerajaan Peureulak yang terletak di Aceh Timur
(sekarang) semula berada dibawah kendali Kerajaan Sriwijaya
(Palembang). Di mana setelah kondisi politik dan pertahanan dalam
negeri Sriwijaya melemah akibat serangan dari Kerajaan Choli (India) dan
juga Kerajaan Majapahit (Jawa), maka Kerajaan Peureulak melepaskan diri
dari kungkungan Kerajaan Sriwijaya dan kemudian menjadi kerajaan yang
berdaulat penuh.46
Kerajaan Peureulak, jauh sebelum kedatangan Islam telah menjadi
pusat perdagangan internasional dengan pedagang-pedagang dari
kerajaan-kerajaan lain di dunia seperti dari Arab, India, Cina, Jawa,
Malaka, Persia dan sebagainya. Komoditas perdagangan yang ramai pada
saat itu adalah kayu manis, cengkeh, lada, pala, bunga pala, kayu gaharu,
pakaian India, dan porselein Cina. Kayu manis diimpor dari Ceylon dan
Jawa, rempah-rempah dari Malaka, dan kayu gaharu diimpor dari Timor.
Sedangkan Kerajaan Peureulak sendiri adalah penghasil komoditi lada.
Karena memerlukan waktu sampai berbulan-bulan lamanya menunggu
angin untuk membawa kapal berlayar pulang ke negerinya, para saudagar
membuka kantor perwakilan di daerah persinggahan. Kadang mereka
tidak mau pulang ke negerinya dan tinggal menetap serta berasimilasi
dengan penduduk pribumi. Orang-orang Arab menyebarluaskan ajaran
Islam dan hingga berdiri kesultanan Islam di Peureulak. Itu bisa kita
jumpai melalui bukti-bukti sejarah yang masih ada yang berupa
peninggalan nisan-nisan kuno di sekitar kota Peureulak sekarang (Aceh
Timur).47 Lebih jelasnya berkenaan dengan Kerajaan Peureulak menjadi
kesultanan Islam sebagaimana risalah Idharulhaq fi Mamlakah yang ditulis
oleh Abu Ishak Makarani Pase. Ia menulis: “…pada hijratun nabi

44 J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society, (The Hague/Bandung: W. van Hoeve, 1955),
hlm. 255.
45 Tgk. M. Junus Djamil, Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh, Op.cit., hlm. 2-4.
46 Ibid., hlm. 4.
47 Harry W. Hazard dalam bukunya Atlas of Islamic History menulis, “Orang Islam yang

pertama mengunjungi Indonesia boleh jadi para saudagar Arab dalam abad ke-7 yang singgah di
Sumatera dalam perjalanan menuju Tiongkok. Penyusul mereka adalah para saudagar dari
Gujarat yang berdagang lada....“ dalam buku, Masjid Raya Baiturrahman, (Banda Aceh: Dinas
Pariwisata Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1992), hlm. 7-9.
12 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Shallallahu Alaihi Wassalam 173 tibalah nahkoda khalifah beserta ashabnya


dari saudagar Arab, Persia dan India Muslim ke Bandar Peureulak. Mereka
membeli lada, salasari dan lain-lain rempah perniagaan, jual beli mereka
dengan tukar-menukar dengan barang-barang yang dibawa mereka
dengan kain, minyak athar dan lain-lain perhiasan. Di Bandar Peureulak
mereka itu pulang kembali ke negerinya, dan tidak lama kemudian datang
saudagar Persi (Isfhan) dan India Muslim dari Malabari dan Gujarat. Sejak
dari masa itulah mereka terus datang ke Bandar Peureulak hingga banyak
orang Peureulak masuk Islam. Beberapa lama kemudian daripada itu
Meurah (raja) Peureulak dengan ahli keluarga istana masuk agama Islam
juga. Banyak orang-orang Arab Parsi dan India Muslim dari Malabari dan
Gujarat bermukim di Bandar Peureulak. Pada Hijrah Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam 225 tahun pada hari selasa maka naiklah raja Sultan
Marhum Alaidin Syah Saijid Maulana Abdul Aziz Syah Zillullahi fil alam.
Dan adalah lama dalam tahta kerajaan dua puluh empat tahun, maka ia
pun matilah pada abad 2 hari bulan Muharram waktu
dhuhur”. 48 Keterangan ini sebenarnya masih sangat diragukan apalagi
naskah Idharulhaq fi Mamlakah tidak diketahui pada tahun berapa ditulis.
Masih perlu penelitian yang lebih lanjut.49
Setelah membaca tulisan Ali Hasjmi, “Adakah Kerajaan Islam
Perlak Negara Islam Pertama di Asia Tenggara”, yang berpedoman
dengan salah satunya naskah Idharulhaq fi Mamlakah penulis telah
membandingkan dengan tulisan Hasan Muarif Ambary. Ia menyebutkan
terdapat kejanggalan pada bukti-bukti yang menjadi referensi Hasjmi.
Namun Hasjmi menyangkalnya dan masih berpegang teguh pada
pendapatnya bahwa naskah Idharulhaq fi Mamlakah adalah bukti yang dapat
di percaya yang telah ditulis oleh ulama-ulama Aceh sendiri. Hasjmi juga
berpendapat bahwa para ahli sejarah Barat juga selalu berpedoman
dengan naskah-naskah tua dan dikuatkan dengan catatan-catatan
pengembara-pengembara Arab dan dari pengembara-pengembara Barat
lainnya. Apabila berpedoman dengan naskah-naskah tua tidak akan turun
nilainya. 50 Tetapi menurut Hasan Muarif Ambary bahwa naskah
Idharulhaq fi Mamlakah memiliki banyak kelemahan. Naskah ini hanya
berupa naskah lepas sehingga harus menemukan naskah utuhnya. Lebih

48 Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, Monografi Daerah Aceh…. Op.cit., hlm. 4.


49 Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, Monografi Daerah Aceh…Loc.cit.
50 Ali Hasjmi, “Adakah Kerajaan Islam Perlak Negara Islam Pertama di Asia Tenggara”,

dalam Ali Hasjmi (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif,
1981), hlm. 144.
Aceh Pra-Islam 13

lanjut ia menyatakan melihat dari gaya tulisannya naskah tersebut dibuat


diperkirakan pada abad ke-18-19.51
Dengan keragaman pendapat ini kita hanya bisa menarik
kesimpulan bahwa Kerajaan Peureulak sebelum menjadi kerajaan Islam
adalah sebuah kerajaan Hindu yang berdasarkan pemberian gelar meurah
pada para penguasa kerajaan sebelum menjadi kerajaan Islam. Seberapa
lama Kerajaan Peureulak telah berideologikan Islam seratus tahun
sebelumnya atau beberapa abad sebelumnya adalah sebuah pertanyaan
dan memerlukan pembuktian yang kuat.52
Banyak sekali perbedaan pendapat dikalangan para ahli sejarah baik
itu dari kalangan ahli arkeologi dan ahli anthropologi membuat panggung
sejarah peradaban Aceh menjadi lebih berwarna. Ada sebuah ungkapan
bahwa “tanpa hipotesis dan sintetis, sejarah tetap merupakan bagi hiburan
antiquarian; tanpa kritik dan pengetahuan sejarah kehilangan diri dalam
ranah fantasi”.53
Kesan-kesan kepercayaan tradisional yang mengandung banyak
unsur yang bertentangan dengan Islam dapat dilihat dalam upacara
perkawinan orang Melayu, adat istiadat penobatan raja dan kepercayaan
kepada keramat serta penunggu. Semua kepercayaan ini diwarisi oleh
masyarakat Melayu sejak jaman sebelum Islam.54
Berbeda dengan agama lainnya, golongan atau kasta Brahmana tidak
dibebani kewajiban untuk menyebarkan agama Hindu. Dan pada dasarnya
seseorang tidak dapat menjadi Hindu, tetapi seseorang itu lahir sebagai
Hindu. Bagaimana terjadi bila masyarakat Aceh pasti pada awalnya tidak
dilahirkan sebagai Hindu dapat beragama Hindu. Untuk dapat
menjelaskan masalah tersebut maka dapat dilihat dari watak khas agama
Hindu. Agama Hindu pada dasarnya bukanlah agama yang universal yang
berati bahwa pendalaman agama tersebut hanyalah mungkin dilakukan
oleh golongan Brahmana. Merekalah yang dibenarkan mendalami
kitab-kitab suci Agama Hindu.55

51 Hasan Muarif Ambary, “Sejarah Masuknya Islam di Negara Perlak di tinjau

Pendekatan Arkeologi, dalam Ali Hasjmi, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 444.
52 Hasan Muarif Ambary, “Sejarah Masuknya Islam di Negeri Perlak ditinjau dengan

pendekatan arkeologi”, dalam Ali Hasjmi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 443.
53 Lihat G.J. Reiner, History: Its Purpose and Method, (New York: Harper & Roe

Publisher, 1965).
54 Rammani Karupiah, “Sejarah Tamadun Dunia”, Kertas 940/1, (Selangor: Pustaka

Sarjana Sdn. Bhd, 1998), hlm. 19.


55 Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia

II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 25-26.


14 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Di masa sekarang masih dapat ditemukan bahwa pengaruh-


pengaruh budaya Hindu di daerah Aceh masih berlangsung walaupun
tidak sebesar jaman dulu. Bagi masyarakat Aceh ada kesenian yang disebut
hikayat dan haba jameuen. Keduanya sulit dibedakan tapi dapat dipandang
cerita rakyat. Haba jameuen tampaknya merupakan cerita yang diterima
atau diwarisi dari masa lampau, baik dari daearah Aceh sendiri maupun
dari luar Aceh. Dan dianggap tidak mengandung unsur sejarah.
Sedangkan hikayat mempunyai nilai-nilai sejarah yang dianggap pernah
terjadi di daerah Aceh. Tidak kurang dari 100 hikayat dan haba jameuen
pernah mewarnai kehidupan masyarakat Aceh. Setelah diteliti ternyata
beberapa hikayat sangat diwarnai oleh budaya Hindu, Animisme dan
Dinamisme, walaupun disisipkan dengan pengaruh Islam. Beberapa
contohnya, adalah Hikayat Maleem Diwa dan Hikayat Kancamara.56

Pengaruh Budha
Untuk mengetahu pengaruh Budha atau keadaan awal terjadinya
hubungan antara Pulau Sumatera dengan India, para ahli sejarah
mengalami kesulitan, disebabkan tidak terdapatnya sumber-sumber yang
dapat memberikan keterangan yang jelas. Sumber-sumber dari India yang
dapat diambil adalah sumber sastra yang tidak bertujuan untuk
memberikan fakta yang lugas mengenai keadaan pada masa awal
terjadinya hubungan antara Pulau Sumatera dengan India. Salah satu kitab
yang disebut oleh para ahli, kitab Jataka, yang berisikan kisah-kisah
tentang kehidupan Sang Budha. Di dalam kitab Jataka menyebutkan pula
Suvarnnabhumi, sebuah negeri yang memerlukan perjalanan yang penuh
bahaya untuk mencapainya. Suvarnnabhumi berarti negeri emas, yang
identik dengan Sumatera.57
Bosch seorang ahli sejarah Barat berpendapat bahwa hanya
golongan cendekiawan yang dapat menyampaikan pengaruh agama
Budha kepada Penduduk Nusantara termasuk bangsa Aceh. Bosch
menyebutnya dengan golongan itu dengan clerks dan untuk proses yang
terjadi antara budaya India dengan Nusantara ia mengusulkan istilah
fecundation atau penyuburan. Bosch melihat terjadinya dua penyuburan.
Yang pertama dan kemungkinan telah terjadi lebih dahulu adalah proses
melalui pendeta agama Budha. Awal hubungan dagang antara Kepulauan
56 U.U. Hamidy, “Kebijaksanaan Mempergunakan Hikayat dalam Pengembangan Islam

di Aceh”, dalam Ali Hasjmi (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung:
Al-Ma’arif), hlm. 349-352.

57 Sylvain Levi, “Ptolemee, le Nidessa et la Brhatkatha”, Etudes Asiatique II. Publications


d’ecole Francaise d’Extereme Orient, XIX – XXII, (Paris: G. van Oest, 1925), hlm. 29.
Aceh Pra-Islam 15

Nusantara, khususnya Aceh dengan India bertepatan juga dengan


perkembangan pesat agama Budha.58
Pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan yang menganut agama
Hindu dan Budha di Nusantara, keadaan Aceh tidak diketahui dengan
jelas. Apakah Aceh sudah mempunyai suatu bentuk kerajaan juga tidak
ada kepastian, karena tidak ada bukti-bukti sejarah yang memadai.
Kemungkinan satu-satunya yang dapat dijadikan sebagai bukti sejarah
yang mengandung unsur Budha di Aceh adalah sebuah arca kepala dari
Bodhisatwa Avalokitecvara di daerah Indra Puri, Aceh Besar. Setelah diteliti
oleh para ahli sejarah, ternyata arca tersebut peninggalan bersejarah pada
abad ke-9. Melihat dari bukti tersebut kemungkinan daerah Indra Puri
terdapat kerajaan yang telah menganut agama Budha. Aliran Budha yang
dianut ialah aliran Budha Mahayana. Arca kepala Budha tersebut kini
tersimpan di Museum Pusat Nasional Jakarta.59
Kebudayaan India dapat diketahui juga dengan perkembangan
Kerajaan Sriwijaya yang berideologikan agama Budha pada abad ke-7
telah menguasai secara mutlak Selat Malaka dan pegawasan secara
internasional di kawasan ini, maka Aceh berada di bawah kekuasaan
Sriwijaya. Pelabuhan-pelabuhan di daerah Aceh dijadikan bandar
penghubung, bandar perbekalan dan pangkalan angkatan laut. Semua
pelayaran ke luar negeri untuk daerah-daerah barat Sriwijaya dimulai dari
Aceh.60
Sriwijaya menguasai sebagian besar pulau Sumatera, Jawa,
Semenanjung Melayu sampai di Isthmus Kra dan pulau-pulau lain
disekitarnya. 61 Kerajaan Sriwijaya sangat bergantung pada perdagangan
laut maka masalah tentang agama atau kepercayaan tidak menjadi masalah
walau ada perbedaan karena Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat agama
Budha Mahayana sedangkan yang lainnya termasuk Aceh sebagian besar
menganut agama Hindu.62
Kemashuran Sriwijaya sebagai pusat pengajaran agama Budha tentu
bukan hasil suatu perkembangan dalam waktu yang singkat dan
selanjutnya tidak hilang begitu saja. Raja-raja Sriwijaya selalu tampil

58 F.D.K. Bosch, “The Problem of the Hindu Colonization of Indonesia”, dalam Selected
Studies in Indonesian Archaeology, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1961), hlm. 20. Lihat juga G.
Coedes, The Indienized States of Southeast Asia, Edited by Walter F. Vella, translated by Susan
brown Cowing. (Kuala Lumpur/Singapore: University of Malaya Press, 1968), hlm.21.
59 Cut Nyak Kusmiati, “Manusia dan Kebudayaan Aceh……..Op.cit., hlm. 92.
60 R. Mohd Ali, Peranan bangsa Indonesia Dalam Sejarah Asia Tenggara, (Jakarta: Bhratara,

1963), hlm. 116.


61 Cut Nyak Kusmiati……, Op. cit. Hlm. 94.
62 Monografi Daerah Istimewa Aceh……,Op.cit. hlm. 3.
16 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

sebagai pelindung agama Budha dan penganut yang taat. Masalah ini
ternyata menjadi kepentingan agama ini hingga meluas ke luar negeri.
Keterangan dapat diketahui dari prasasti Nalanda dan prasasti Leiden.
Dalam berita Cina juga dapat ditemui uraian mengenai ketaatan raja-raja
Sriwijaya terhadap agama Budha.63

Sistem Ekonomi Aceh PraIslam


Ekonomi dan budaya memiliki hubungan yang erat, kebudayaan
pada hakikatnya melahirkan etos, misalnya semangat berkompetisi dalam
masyarakat sehingga menimbulkan semangat kerja keras. banyak
penelitian antara hubungan budaya dan pengaruh terhadap
perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Salah satunya Max Weber,
salah seorang sosiolog yang meneliti hubungan antara nilai budaya dan
agama terhadap semangat terbentuknya kapitalisme.64
Diperkirakan pada awal abad Masehi, seorang nakhoda
Yunani-Mesir yang biasa mengadakan pelayaran antara Asia Barat menulis
buku Periplous tes Erythras Thalasses yang berisikan, pedoman untuk
pelayaran apabila mengarungi Lautan Erythrasa, yang berarti Samudera
Hindia. Dalam keteranganya buku Periplous tes Erythras Thalasses mengenai
hubungan dagang India dengan suatu tempat yang disebut dengan Chryse
yang berarti emas. nama itu mengingatkan kita pada Suwarnadwipa ataupun
Suvarnabhumi.65
Sebuah sumber Barat yang lebih sering digunakan peneliti yaitu
buku catatan Geographike Hyphegesis. Buku ini adalah sebuah kitab petunjuk
membuat peta yang disusun oleh orang Yunani di Iskandariah, yang
bernama Claudius Ptolomaeus pada abad ke-2. Dalam buku Geographike
tes Erythrasa Thalasses ditemukan nama-nama tempat yang berhubungan
dengan logam mulia atau emas, di antaranya Chryse Chora yang berarti
pulau emas, Chryse Chersonesos yang berarti semenanjung emas.66 Dalam
risetnya juga Ptolomaeus telah membuat peta geografi yang mencatat
nama daerah pelabuhan penting di Sumatera Utara pada abad ke-3, di
antaranya Ta Bih, Argune, Po Si, Lan Wu Li dan Romni Lameri. 67

63 Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia


II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 75-76.
64 Lihat penjelasan komprehensif dalam Max Weber, The Protestant Ethics And The Spirit of

Capitalism, (New York: Charles Scribner’s Son, 1958).


65 Paul Wheatley, The Golden Khersonese, (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1961),

hlm 129-131.
66 Ibid., hlm 131.
67 Wan Hussein Azmi, ”Islam di Aceh: Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad

XVI”……., Op.cit., hlm. 190.


Aceh Pra-Islam 17

Tempat-tempat itu bukan saja diketahui oleh pedagang-pedagang Yunani,


tapi juga dari bangsa lainnya terutama orang-orang India yang
diperkirakan telah mengetahui wilayah Sumatera Utara sejak beberapa
abad sebelum Masehi, dengan menyeberangi Teluk Benggala kemudian
berlayar dan mendarat di bagian barat laut di ujung pulau Sumatera yang
mereka namakan kapuradvipa.68
Dengan membawa ajaran agama Hindu dan Budha sekitar abad ke-7
gelombang pertama para pendatang dari India sudah datang ke
Nusantara. Pada saat itu penduduk lokal yang masih percaya kepada
animisme dan dinamisme menerima kehadiran mereka dan memberi
kelonggaran untuk membangun tempat-tempat beribadah. Pedagang dari
India ini tidak khusus menyebarkan ajaran Hindu dan Budha akan tetapi
sambil berdagang dan membeli rempah-rempah di ujung kepulauan
Nusantara yang kemudian dijual kembali ke daerah lain untuk mengambil
keuntungan dari perniagaan tersebut. Aktivitas perekonomian dengan
cara perdagangan umumnya pada masa itu banyak dilakukan oleh orang
Aceh yang berdiam di sekitar pesisir. Dan aktivitas perekonomian yang
berbasis pertanian adalah masyarakat Aceh yang berdiam di pedalaman.
Melimpahnya produk perkebunan dan pertanian masyarakat Aceh pada
jaman tersebut menyebabkan harga-harga komoditi ini menjadi murah.
Hal ini menimbulkan semangat dagang pihak saudagar asing untuk
menjadikan wilayah Aceh sebagai pusat aktifitas ekonomi dan
perdagangan pada masa lalu.69
Nicholas Tarling menyebutkan bahwa faktor tanah pertanian yang
subur amat penting bagi munculnya pusat-pusat pemukiman penduduk
yang mengadakan aktifitas ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Pada
daerah-daerah subur itu, sejak awal abad Masehi muncul pusat-pusat
pemukiman penduduk, namun kurang berkembang menjadi pusat-pusat
kekuatan politik karena keadaan alam yang tidak memungkinkan. Artinya
pengaruh Budha sangat tipis dan tidak mengendap secara politik sehingga
tidak ditemukan adanya istana-istana atau candi-candi.70
N.J. Krom, yang juga masih beranggapan adanya kolonisasi seperti
pendapat Bosch sebagaimana yang telah dikutip di atas bahawa kolonisasi
memberikan peranan atau kesempatan pada golongan lain. Hipotesa ini
ditujukan kepada golongan pedagang. 71 Krom juga berpendapat bahwa
68 Ibid. hlm. 191.
69 Hasan Saad, Bersama Induk Semang: Kearifan Tradisional dan Semangat Kewirausahaan
Pedagang Pidie, Aceh, (Yogyakarta: Relief Press, 2003), hlm. 48.
70 Nicholas Tarling, A Concise History of Southeast Asia, (New York: Frederick Praeger,

1966), hlm. 16.


71 N.J. Krom, Hindoe-Javaanschen Geschiedenis, Op.cit., hlm. 90.
18 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

golongan ksatria merupakan golongan yang terbesar di antara orang-orang


India yang datang ke Nusantara. Karena orang-orang itu datang untuk
berdagang maka golongan terbesar tentulah golongan pedagang.
Selanjutnya mereka menetap di kepulauan Nusantara dan memegang
peranan dalam penyebaran pengaruh budaya India melaui hubungan
mereka dengan penguasa-penguasa di Kepulauan Nusantara. Krom
menyatakan juga bahwa adanya perkawinan antara pedagang-pedagang
tersebut dengan wanita-wanita pribumi.72
Menurut Bosch, perkawinan antara pedagang-pedagang dengan
wanita-wanita pribumi merupakan saluran penyebaran pengaruh budaya
India yang penting. Kaum pedagang termasuk kasta vaisya. Bosch
menyebut hipotesa ini dengan hipotesa vaisya.73
Salah satu keunggulan potensi wilayah Aceh bagi perdagangan
internasional sepanjang sejarah adalah pengaruh geografis yang amat
strategis, yakni letak wilayah Aceh yang berada pada posisi geografis yang
mudah dijangkau. Faktor ini berpengaruh besar terhadap berbagai
kemudahan bagi pedagang luar untuk berdagang di serambi Mekah pada
masa lampau. Pada saat itu, para pedagang asing Cina, India, dan Arab
datang ke Aceh untuk berdagang karena kekayaan alam dapat ditukar
dengan berbagai jenis kerajinan mereka seperti pakaian India, keramik
Cina, dan kayu dari Burma. Posisi strategis ini memungkinkan para
pedagang asing untuk cenderung kembali singgah ke Aceh.74
Dinamika sosio-kultural yang menumbuhkan semangat masyarakat
Aceh pada masa itu untuk terlibat dalam dunia dagang mulai tumbuh telah
menciptakan sifat terbuka (open society), sehingga pedagang asing dianggap
potensi kebudayaan untuk dapat menjalin kerjasama yang baik. Dalam
rangkaian kerjasama yang baik itu, kemudian ada sebagian dari mereka
menetap menjadi pedagang antara (broker) di daerah-daerah Aceh, dengan
adanya mereka dapat melancarkan proses pendistribusian barang. Para
pedagang perantara ini ada juga dari mereka mengambil putri-putri lokal
untuk dijadikan istri mereka. Fakta ini masih dapat ditelusuri sebagai bukti
peninggalan sejarah masa lalu dan masih tersisa sampai sekarang.
Fenomena ini masih membekas diberbagai tempat wilayah Aceh. Kita
masih mudah menjumpai enclave masyarakat India, Cina, Persia, dan Arab
di berbagai daerah yang telah berasimilasi dengan penduduk lokal. Di
Gigieng, dekat kota Sigli kita melihat peninggalan sejarah pendatang asing
dari kota Gujarat dan India. Format badan dan raut muka masyarakat

72 N.J. Krom, Loc.cit.


73 F.D.K. Bosch, “The Problem of the Hindu Colonization of Indonesia”, Op.cit., hlm.7.
74 Hasan Saad, Op.cit., hlm. 33.
Aceh Pra-Islam 19

enclave tertentu masih terkesan bangsa India, demikian juga jenis makanan
mereka identik sekali dengan makanan masyarakat India yang
menggunakan bumbu khas.75
Pengembara dari Cina It-sing pada tahun 671, mengatakan bahwa
dalam pelayarannya ke India dia menumpang salah sebuah kapal dari
seorang raja Sumatera, hal ini telah membuktikan bahwa telah ada
hubungan laut antara Sumatera dan India.76 Dengan demikian hubungan
ekonomi maupun politik antara Aceh sebelum kedatangan Islam dengan
India telah terjalin. Lebih lanjut Cut Nyak Kusmiati menyatakan menurut
berita Cina pedagang-pedagang dari Tachin dan Persia telah mengadakan
hubungan dagang dengan negeri Cina pada abad ke-8, dan mereka
membawa kapur barus yang berasal dari Sumatera.77

75 Hasan Saad, Op.cit., hlm. 53-54.


76 Cut Nyak Kusmiati, Manusia dan Kebudayaan Aceh…”, Op.cit., hlm. 93.
77 Cut Nyak Kusmiati, Manusia dan Kebudayaan Aceh…”, Loc.cit.
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

Bab 2
ISLAM DI ASIA TENGGARA:
BERMULA DARI ACEH

Kedatangan Islam
Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia adalah wilayah
paling pertama mendapat pengaruh Islam yakni dimulai dari
Peureulak, Aceh. Kenyataan ini menjadi penting untuk melihat
Peureulak secara lebih jeli dengan kedatangan kaum Hadrami
(sering juga disebut kaum Hadharim atau kaum Hadramaut) dari
Arab,1 baru kemudian khusus memfokuskan perhatian pada
Samudra Pasai di mana Islam dijadikan sumber utama inspirasi
kemajuan kerajaan. Dalam sebuah seminar ilmiah tentang sejarah
masuknya Islam ke Nusantara menyimpulkan bahwa Islam telah
masuk ke Aceh sejak abad pertama Hijriyah. Menurut seminar
ini, kerajaan-kerajaan pertama ialah Peureulak, Lamuri dan Pasai.2
Kesultanan Islam Peureulak pada abad ke-9, merupakan
kerajaan independen yang terbentuk secara otonom tanpa
didahului oleh kerajaan-kerajaan Hindu atau Budha. Masuk
melalui jalur perdagangan, Islam di Peureulak kemudian menjadi
kerajaan dagang yang menyerupai sebuah emporium3 ketimbang
sebuah imperium.4 Setelah perlahan-lahan menjadi imperium,
para penguasa Peureulak mengajar rakyat Peureulak cara-cara
bertani yang komersil, cara-cara berniaga yang kapitalistik, cara-
cara menjaga kesehatan atau kebersihan, cara-cara berperang

1 Alwi Shihab, “Sejarah Kedatangan Arab Hadramaut ke Indonesia”,

Republika, 22 September 1995.


2 Ini adalah antara lain kesimpulan "Seminar Masuk dan Berkembangnya

Agama Islam di Aceh", yang telah berlangsung tanggal 10 sampai 16 Juli 1978 di
Banda Aceh. Lihat Kompas, 19 Juli 1978.
3 Emporium adalah kerajaan dagang yang tidak memiliki tujuan politik.

Emporium bertujuan hanya untuk menguasai jalur perdagangan dan memiliki


armada kapal-kapal dagang yang tak dipersenjatai.
4 Imperium adalah kerajaan politik dengan kekuasaan politik tertinggi

dipegang oleh seorang raja.

20
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

yang penuh strategi dan taktik. Di samping itu, penguasa kerajaan


juga mengajarkan persaudaraan, persamaan, kemerdekaan
berpikir, tolong-menolong, kasih-sayang, ilmu pengetahuan, seni,
sastra, musyawarah dalam urusan-urusan umum dan lain-lain.
Islam pada awalnya diperkenalkan kepada penduduk oleh
para pedagang dengan prinsip-prinsip moralitas dunia dagang
yang luhur. Pedagang yang membawa ajaran moralitas ini dikenal
dengan sebutan ‘Nahkoda Khalifah’. Akhirnya raja dan rakyat
Peureulak tertarik kepada ajaran-ajaran yang baik ini, sehingga
ditanyalah kepada Nakhoda Khalifah dan rombongannya dari
mana sumber ajaran-ajaran yang baik itu?. Mereka menjawab,
lebih kurang itulah ajaran-ajaran dari agama Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, akhirnya raja
dan seluruh rakyat Peureulak menganut agama Islam. Menurut
Azyumardi Azra, kedatangan kaum Hadharim ini tidak hanya
menjelaskan tentang masuknya Islam melalui jalur perdagangan,
namun juga melalui jalur ilmu pengetahuan dan hukum.5 Proses
ini berlangsung selama hampir setengah abad. Dalam masa
pengembangan Islam dengan cara yang tidak langsung itu, para
pemuda dari Nakhoda Khalifah itu beristri dengan puteri-puteri
Peureulak. Ada juga yang kawin dengan puteri dari Istana
Peureulak, yaitu seorang pemuda dari Arab Quraisy, yang dari
perkawinannya itu menghasilkan seorang putera mahkota yang
diberi nama Sayyid Abdul Aziz. Abdul Aziz inilah yang kemudian
setelah berdiri Kesultanan Islam Peureulak dilantik menjadi
sultan Peureulak pertama dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid
Maulana Abdul Aziz Syah.6
Dalam catatan sejarah sebelum kedatangan Islam,
Peureulak telah lama berdiri sebagai sebuah kerajaan. Raja-raja
yang memerintah negeri Peureulak itu berasal dari turunan raja-

5 Lihat Azyumardi Azra, “Hadhrami Scholars in the Malays-Indonesian

Diaspora”, dalam Studia Islamika, vol. 2, no. 2, 1995, diterbitkan oleh IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
6 Ali Hasjmy, (eds.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,

(Bandung: al-Ma’arif, 1978), hlm. 3-8.

21
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

raja Syahir Nuwi, dari negeri Siam.7 Menurut naskah tua Idharul-
Haq tercatat bahwa Kesultanan Peureulak berdiri pada hari rabu,
12 Nopember 839.8 Rajanya, yaitu Sultan Alaiddin Sayyid
Maulana Abdul Aziz Syah, dengan ibukota negara Bandar
Peureulak. Kemudian ibukota Kesultanan Peureulak di pindah
agak ke pedalaman dan diubah namanya dari Bandar Peureulak
menjadi Bandar Khalifah.9 Menurut catatan dalam naskah tua
Idhharul-Haq, Kesultanan Peureulak telah mencapai kemajuan-
kemajuan peradaban yang tinggi, Baik yang berupa sistem
pemerintahannya dan demikian pula organisasi ketentaraannya,
hampir mirip dengan sistem pemerintahan Daulah Abbasiyah,
hanya lebih disederhanakan.10 Organisasi ketentaraan Kesultanan
Peureulak merupakan organ kekuasaan yang paling berperan
dalam memperluas wilayah kekuasaan Islam. Adalah wajar jika
kemudian bangsa Aceh sanggup melawan segala intervensi
militer, bahkan hingga masa-masa sekarang ini. Kepahlawanan
orang-orang Islam Aceh sangat luar-biasa. Kepahlawanan inilah
yang kemudian telah sanggup mempertahankan sedikitnya empat
tahta para raja.
Hingga awal abad ke-10, tercatat empat raja yang telah
memerintah Kesultanan Peureulak, yaitu: (1) Sultan Alaiddin
Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah, yang memerintah Kerajaan
Peureulak pada tahun 840 hingga 864.11 (2) Sultan Alaiddin
Sayyid Maulana Abdurrahim Syah, yang memerintah pada tahun
864 hingga 888.12 (3) Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abbas
Syah, yang memerintah pada tahun 888 hingga 913.13 (4) Sultan
Alaiddin Sayyid Maulana Ali Mughayat Syah, yang memerintah
pada tahun 915-918.14 Penobatan Sultan yang keempat ini
7 M. Yunus Jamil, Tawarikh Raja-Raja Keradjaan Aceh, (Banda Aceh: Ajdam I

Iskandar Muda, 1968), hlm. 2-4.


8 1 Muharram 225 Hijriyah.
9 Nama Bandar Khalifah ini diambil dari nama nakhoda yang memimpin

saudagar Muslim yang mengajarkan keislaman penduduk Peureulak.


10 Ali Hasjmy, (eds.), Op.cit., hlm 3-8.
11 225-249 Hijriyah.
12 225-249 Hijriyah.
13 285-300 Hijriyah.
14 302-305 Hijriyah.

22
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

tertunda sampai tiga tahun lamanya. Semasa akhir pemerintahan


Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abbas Syah, kaum sunni mulai
membentuk kekuatannya, sehingga timbul sedikit kegoncangan.
Sebagaimana yang dicatat dalam Idhharul-Haq bahwa para
saudagar yang dipimpin Nakhoda Khalifah terdiri dari
pemimpin-pemimpin kaum syi’ah yang diburu oleh penguasa
Dinasti Abbasiyah di Arab, Persia dan India. Di Peureulak para
pemimpin syiah ini kemudian mendirikan kerajaan Islam
beraliran syi’ah.
Rupanya kaum sunni mengejar mereka secara diam-diam
sampai ke Peureulak, baru kemudian dalam masa pemerintahan
Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Ali Mughayat Syah,15 kaum sunni
dapat menumbangkan Kesultanan Peureulak (syi’ah) dan
mendirikan Kesultanan Peureulak (sunni), yang para sultannya
terdiri dari keturunan bangsawan penduduk asli. Kelompok ini
terkenal dengan sebutan Dinasti Makhdum, sebagai penyambung
sultan-sultan dari Dinasti Sayyid Maulana. Dinasti Makhdum ini
dalam sejarahnya hanya sempat memiliki empat periode
kekuasaan, yaitu: (1) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdulkadir
Syah Johan Berdaulat, yang memerintah dalam tahun 918-92216,
(2) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah
Johan Berdaulat, yang memerintah dalam tahun 922-946,17 (3)
Malik Muhammad Amin sebelum dilantik menjadi Sultan adalah
seorang Syaikh dari Pusat Pendidikan Cot Kala yang dibangun
pada pertengahan abad ke III H. Sebagai Pusat Pendidikan Islam
pertama di Asia Tenggara, sehingga ia terkenal dengan gelar
Teungku Chik Cot Kala (Guru Besar Dayah Tinggi Cot Kala).
Dan, (4) Sultan Makhdum Alaiddin Abdulmalik Syah Johan
Berdaulat, yang memerintah dalam tahun 946-973.18
Dalam masa pemerintahan Sultan Abdulmalik Syah ini,
kaum syi’ah bangkit kembali dan melakukan perlawanan
bersenjata sehingga terjadi perang saudara selama empat tahun.
15 Bukan Ali Mughayat Syah yang menjadi Sultan pertama Kerajaan Aceh

Darussalam pada awal abad ke-16 Hijriyah.


16 306-310 Hijriyah.
17 310-334 Hijriyah.
18 334-361 Hijriyah.

23
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

Perang saudara ini diakhiri dengan satu perdamaian yang


menentukan bahwa Kesultanan Peureulak dibagi dua, yaitu: (1)
Peureulak Pesisir untuk golongan syi’ah dengan ibukotanya
Bandar Peureulak, dan (2) Peureulak Pedalaman untuk golongan
sunni, dengan ibukotanya Bandar Khalifah. Kedua golongan ini
masing-masing mengangkat seorang sultan. Sultan Kesultanan
Peureulak kedelapan menjadi dua orang, yaitu: (1) Sultan
Alaiddin Sayyid Maulana Mahmud Syah, yang memerintah dalam
tahun 976-98819 dari golongan syi’ah. dan (2) Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat, yang memerintah
dalam tahun 976-1012,20 sebagai sultan dari golongan sunni. Pada
waktu Kesultanan Peureulak diperintahkan oleh dua sultan, maka
pada tahun 986,21 Kerajaan Sriwijaya Palembang menyerang
Kesultanan Peureulak. Dalam peperangan tersebut Sultan
Alaiddin Sayyid Maulana Mahmud Syah menemui syahidnya,
sehingga dengan demikian Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Ibrahim Syah (dari golongan sunni) menjadi sultan tunggal
kembali bagi Kesultanan Peureulak. Artinya, integrasi Peureulak
ini sesungguhnya terjadi secara alamiah. Tidak ada perang ketika
Peureulak dibelah menjadi dua dan ketika terjadi serangan
Kerajaan Sriwijaya keduanyapun berintegrasi demi kepentingan
bersama menjaga kedaulatan kerajaan dari serangan kerajaan lain.
Karena tidak tahan pukulan-pukulan yang sangat dahsyat
dari angkatan perang dan rakyat Kesultanan Peureulak, maka
pada tahun 100622 tentara Sriwijaya lari dari daratan Peureulak
dengan mengalami kerugian yang besar, dan dengan dalih bahwa
mereka akan menghadapi Kerajaan Darma Wangsa di pulau
Jawa. Artinya, Kerajaan Sriwijaya yang berhaluan politik Budha
tidak sempat menanamkan pengaruhnya di Aceh. Peperangan
yang terjadi antara tentara Sriwijaya dengan angkatan perang
Kesultanan Peureulak menimbulkan keuntungan yang lain, yaitu
Islam meluas ke daerah-daerah pedalaman dan ke Pasai yang

19 365-377 Hijriyah.
20 365-402 Hijriyah.
21 375 Hijriyah.
22 393 Hijriyah.

24
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

dibawa oleh para muhajirin yang terpaksa hijrah selama terjadi


peperangan dahsyat itu. Di antara para muhajirin itu terdapat
sejumlah ulama-ulama terkenal. Karena persebaran para ulama ke
berbagai daerah inilah, maka terbentuklah negeri-negeri Islam
baru, seperti Negeri Samudera-Pasai (Aceh Utara sekarang),
Negeri Isak dan Negeri Lingga (Aceh Tengah sekarang), Negeri
Serbajadi dan Negeri Peunaron (daerah Tamiang dan Lukop
sekarang). Kedatangan Islam memberikan pengaruh politik yang
sangat kuat bagai munculnya kerajaan-kerajaan baru.
Kerajaan Peureulak sebagai hasil bentukan baru dari para
pedagang dan ulama Islam dari Arab yang memiliki riwayat
politik yang panjang. Dengan kemenangan Peureulak mengusir
Sriwijaya, maka sistem politik kerajaan mengalami pengayaan dan
peneguhan. Status quo Dinasti Makhdum yang sempat hampir
terhenti itu kemudian dilanjutkan di bawah kekuasaan sultan
yang beraliran politik ahlisunnah atau sunni. Sultan-sultan tersebut
yang pernah berkuasa adalah: (1) Sultan Makhdum Malik Mansur
Syah Johan Berdaulat, berkuasa dari tahun 1012-1059;23 (2)
Sultan Makhdum Alaidin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat,
berkuasa dari tahun 1059-1078;24 (3) Sultan Makhdum Alaidin
Malik Abdullah Syah Johan Berdaulat, berkuasa dari tahun 1078-
1108;25 (4) Sultan Makhdum Alaidin Malik Ahmad Syah Johan
Berdaulat, berkuasa dari tahun 1108-1134;26 (5) Sultan Makhdum
Alaidin Mahmud Syah Johan Berdaulat, berkuasa dari tahun
1134-1158;27 (6) Sultan Makhdum Alaidin Malik Usman Syah
Johan Berdaulat, berkuasa dari tahun 1158-1170;28 (7) Sultan
Makhdum Alaidin Malik Muhammad Syah Johan Berdaulat,
berkuasa dari tahun 1170-1196 M;29 (8) Sultan Makhdum Alaidin
Malik Abduljalil Syah Johan Berdaulat, berkuasa dari tahun 1196-

23 402-450 Hijriyah.
24 450-470 Hijriyah.
25 470-501 Hijriyah.
26 501-527 Hijriyah.
27 527-552 Hijriyah.
28 552-565 Hijriyah.
29 565-592 Hijriyah.

25
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

1225;30 (9) Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin


Syah II Johan Berdaulat, berkuasa dari tahun 1225-1263;31 (10)
Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdulaziz Syah Johan Berdaulat,
berkuasa dari tahun 1263-1289.32
Kerajaan Peureulak mengalami perkembangan dan
kemajuan politik yang hebat. Hal ini dapat kita lihat dari sebuah
peristiwa terpenting yang terjadi pada masa pemerintahan Sultan
Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II, ditinjau dari
segi politik perluasan daerah, yaitu perkawinan dua orang
puterinya dengan dua orang raja di luar wilayah Kesultanan
Peureulak, yaitu: (1) Puteri Ratna Kemala, dikawinkan dengan
Raja Malaka yang bernama Parameswara, (Parameswara ini
sebelumnya berasal dari Majapahit, karena terjadi kemelut di
Majapahit, kemudian Parameswara menetap di pulau Teumasek
(Singapura sekarang) dan mendirikan Kerajaan Malaka di
Teumasek yang kemudian dipindahkan ibukotanya ke
semenanjung Malaka). Dengan bantuan iparnya Malik Abdulaziz
Syah (Putra Mahkota Malik Muhammad Amin Syah II), Sultan
Muhammad berjihad mengembangkan agama Islam ke seluruh
daratan Semenanjung Tanah Melayu.33 Peritiwa perkawinan yang
memiliki implikasi politik ini juga diikuti dengan perkawinan (2)
Puteri Ganggang Sari, yang dikawinkan dengan Sultan
Malikussaleh yang memerintah Kesultanan Samudera-Pasai
dalam tahun 1261-1289.34 Perkawinan politik ini mempunyai arti
yang besar dalam pengembangan dakwah Islam di Sumatera dan
Semenanjung Tanah Melayu.
Pada masa Sultan Malik Abdulaziz berkuasa atas Kerajaan
Peureulak pada 1263-128935, raja terakhir Dinasti Makhdum
dalam Kerajaan Peureulak, mangkat maka Kerajaan Peureulak
digabungkan ke dalam Kesultanan Samudera Pasai. Integrasi ke

30 592-622 Hijriyah.
31 622-662 Hijriyah.
32 662-692 Hijriyah.
33 Data-data ini diambil dari seminar menyambut abad XV Hijriyah dan

ulang tahun ke 1176. Kerajaan Peureulak dalam buku Ali Hasjmy, (eds.), Loc.cit.
34 659-688 Hijriyah.
35 662-692 Hijriyah.

26
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

kerajaan yang lebih besar ini terjadi bagaikan merger perusahaan


pada sekarang saja layaknya. Pada saat penggabungan itu yang
menjadi sultan dari Kesultanan Samudera Pasai, yaitu Sultan
Muhammad Malikul Dzahir, putera Sultan Malikussaleh dari
Puteri Ganggang Sari. Jadi Muhammad Malikul Dzahir adalah
turunan dari sultan dua kerajaan, Kerajaan Peureulak dan
Kesultanan Samudera Pasai. Faktor inilah yang menyebabkan
lancarnya penyatuan Kerajaan Peureulak ke dalam Kesultanan
Samudera Pasai.36
Kerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan yang
bertumpu pada perdagangan. Militer hampir sepenuhnya menjadi
alat untuk menjaga perkembangan kapitalisme. Seorang pelaut
bangsa Italia dari Venesia yaitu Marco Polo, mencatat bahwa ia
pernah singgah di Ferlec (Peureulak) dalam tahun 1291 dalam
perjalanan pulang ke negerinya, ia menemukan penduduk negeri
itu sudah memeluk agama Islam yang dibawakan oleh pedagang
Arab, Cina, Gujarat, Persia, dan Turki. Menurut Marco Polo,
pada waktu itu terdapat banyak penduduk yang masih
menyembah berhala. Dan tidak jauh dari Peureulak, sewaktu
Marco Polo menanti angin yang baik selama lima bulan di
Samara, ia dan rombongannya harus menyelamatkan diri dari
serangan orang-orang daerah itu sehingga dia perlu mendirikan
benteng dari pancang-pancang kayu.37 Serangan ini menunjukkan
bahwa orang-orang Peureulak dan khususnya Samudra Pasai,
sudah memiliki kemampuan tempur yang luar-biasa sehingga
seorang pelaut sekaliber Marco Polo pun terpaksa harus bersusah
payah mendirikan benteng kayu untuk menahan serangan. Cara
hit and run ini merupakan strategi perang bangsa Aceh yang sudah
lama. Cara menyerang itu adalah warisan budaya Aceh masa
Kesultanan Peureulak dulu. Menanti suatu saat yang tepat untuk
melakukan serangan adalah penantian dan sekaligus pengintaian
bangsa Aceh yang tak berakhir yang terwariskan dari tradisi di
masa Samudra Pasai ini.

36 Ali Hasjmy (eds.), Loc.cit.


37 P.A. Hoesein Djajaningrat, “Islam di Indonesia”, dalam Imran T. Abdullah
(ed.), Dari Sini Ia Bersemi, (Banda Aceh: Panitia MTQ ke-12, 1981), hlm. 1.

27
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

Barulah pada masa Samudera Pasai dari abad ke-9 hingga


ke-16, Islam berkembang pesat dengan sejumlah capaian
gemilang (glorious achievements). Kerajaan Samudra Pasai ini
diawali dengan kedatangan seorang pembaharu Islam ke wilayah
itu pada tahun 1042. Meurah Khair, sang pembaharu itu datang
ke negeri Tanoh Data (di sekitar Cot Girek, Aceh Utara
sekarang) untuk memperkenalkan sistem pemerintahan Islam ke
raja Samudra. Meurah Khair berasal dari keluarga Sultan
Mahmud Peureulak. Ia datang tidak hanya untuk
mengembangkan Islam, tapi juga dengan target untuk
membangun Kerajaan Samudera Pasai. Tujuan ini kemudian
tercapai dan ia menjadi rajanya yang pertama, dengan gelar
Maharaja Mahmud Syah. Namun ia juga memiliki nama lokal,
yaitu Meurah Giri. Ia memerintah dari tahun 1042-1078.38
Kerajaan ini kemudian mengalami perkembangan yang pesat
sebelum akhirnya bergabung dalam suatu konfederasi kerajaan-
kerajaan Aceh pada tahun 1511 bertepatan dengan datangnya
Portugis ke Malaka.
Dalam perkembangan selanjutnya kemudian menjadi
terbesar dan termegah di Asia Tenggara. Dan yang sangat
spektakuler, kemudian adalah pencapaian Islam pada abad ke-13
dimulai pada masa Sultan Malikussaleh, dan dilanjutkan oleh
generasinya di mana kerajaan ini mengalami perkembangan
perdagangan dan politik yang gemilang. Sebelum masa berdirinya
Kerajaan Samudera Pasai di daerah itu lebih dahulu berdiri
kerajaan-kerajaan kecil yang dipimpin oleh raja-raja yang bergelar
meurah. Gelar meurah Cut Intan misalnya, adalah pahlawan bangsa
Aceh dari negeri-negeri kecil seperti Jeumpa, Samudra, Tanoh
Data.39
Menarik untuk dilihat adalah asal-muasal Kerajaan
Samudra Pasai ini. Kerajaan ini sebenarnya merupakan
penggabungan dari Kerajaan Samudra dan Kerajaan Pasai.
Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai menyebutkan, Pasai sebagai

38 Tgk. M. Yunus Jamil, Loc.cit.


39 Tgk. M. Yunus Jamil, Op.cit., hlm. 9.

28
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

kerajaan yang pertama-tema menerima agama Islam.40


Muhammad Daud Gade Ismail menjelaskan bahwa pada bagian
lain Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan tentang Kerajaan
Samudera sebagai suatu kerajaan yang diperintah oleh
Malikussaleh. Sementara Kerajaan Pasai adalah sebuah kerajaan
baru yang dibuka oleh Malikussaleh untuk puteranya, Malikul
Dzahir.41 Dalam banyak penulisan seringkali kedua nama ini
digabungkan untuk menyebut kerajaan itu dengan samudra-Pasai.
Kerajaan Samudera sendiri tidak mempunyai catatan sejarah
tentang profil kerajaan ini. Dari sumber Cina menyebutkan
tentang terdapatnya sebuah kerajaan di Sumatera yang bernama
Samudera pada abad ke-14. Menurut sumber Arsip T’oung Pao
tahun 1385 disebutkan bahwa Kerajaan Samudera diperintah
oleh rajanya yang bernama Sultan Malik Ghadhanfar, yang
pernah mengirimkan utusannya ke Cina.42 Dari segi geografis,
Samudra dan Pasai adalah dua kerajaan yang berbeda meskipun
terletak pada jarak yang berdekatan. Maka dalam buku ini,
sebutan Samudra Pasai adalah nama yang diberikan untuk
wilayah kerajaan yang mencakup Samudra dan Pasai.
Ketika kerajaan Samudra Pasai mengalami kemajuan politik
pada pucak-puncak ke-emas-sannya, dan periode kekuasaannya
juga mengalami masa yang cukup panjang. Dilihat dari masa
kekuasaan sultan-sultan Samudera Pasai, yaitu Samudra Pasai
adalah kerajaan yang melintas dari abad ke-11 hingga awal abad
ke-16. Menurut sumber generik, masa kekuasaan para sultan
Samudra-Pasai adalah sebagai berikut: (1) Maharaja Mahmud
Syah (Meurah Giri), berkuasa dari tahun 1042-1078.43 (2)

40 Teks tentang ini adalah: “…alkesah peri mengatakan cerita raja yang

pertama masuk agama Islam ini Pasai; maka ada diceritakan oleh orang yang
empunya cerita ini. Negeri yang di bawah angin ini Pasailah yang pertama membawa
iman akan Allah dan akan rasul Allah.” Lihat C.A. Gibson-Hills, “Hikayat Raja-Raja
Pasai: A Revised Romanisation and Engligh Translation”, JMBRAS 33 (1960) 2, hlm. 7.
41 Muhammad Gade Ismail, Pasai dalam Perjalanan Sejarah, Abad ke-13 sampai

Awal Abad ke-16, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997, hlm. 3.
42 Lihat Gustave Schlegel dan Henry Cordier, T’oung Pao Archives, Sevre 2,

Vol. 2, London: E.J. Brill, 1901, hlm. 337, sebagaimana dikutip oleh Muhammad
Gade ismail, Ibid., hlm. 5.
43 433-470 Hijriyah.

29
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

Maharaja Mansur Syah, berkuasa dari tahun 1078-1133.44 (3)


Maharaja Khiyasyuddin Syah, berkuasa dari tahun 1133-1155.45
(4) Maharaja Nurdin Sultan Al Kamil, berkuasa dari tahun 1155-
1210.46 (5) Sultan Malikus Saleh, berkuasa dari tahun 1261-
1289.47 (6) Sultan Muhammad Malikul Dzahir, berkuasa dari
tahun 1289-1326. (7) Sultan Ahmad Malikul Dzahir, berkuasa
dari tahun 1326-1350.48 (8) Sultan Zainuddin Malikul az Zahir,
berkuasa dari tahun 1350-1394.49 (9) Sultan Zainal Abidin
berkuasa dari tahun 1383-1400. (10) Malikah Nihrasiyah
Rawangsa Khadiyu, berkuasa dari tahun 1400-1427.50 (11)
(belum diketahui), berkuasa dari tahun 1427-1513. (12) Sultan
Mahmud Malik Az-Zahir berkuasa dari tahun 1513-1524.51
Sultan-sultan inilah yang menjadi paragon of beauty bagi
rakyat Aceh sekarang ini. Pada waktu Pemerintahan Sultan
Malikussaleh, datang ke Samudera Pasai rombongan perutusan
syarief, dari Mekkah. Syarief Mekkah adalah rombongan yang
diketuai oleh Syaikh Ismail Al-Zarfy. Kedatangan ini merupakan
fact finding tentang adanya sebuah kerajaan Islam yang telah
mempunyai hubungan-hubungan diplomatik yang tidak hanya
berhubungan dagang semata. Kedatangan rombongan khusus
syarif ini juga menunjukkan bahwa Samudra-Pasai telah memiliki
lembaga-lembaga negara yang teratur dengan angkatan perang,
angkatan laut dan angkatan darat yang kuat. Selain itu, Samudera
Pasai juga memiliki kabinet, mahkamah agung dan kementrian
luar negeri. Lembaga kabinet dipimpin oleh perdana menterinya
Sri Kaya Said Khiatuddin. Sedangkan mahkamah agung, diketuai
oleh seorang mufti besarnya (syaikhul Islam) yang bernama Said
Ali bin Ali Al Makarany. Dan kementerian luar negerinya yang
44 470-527 Hijriyah.
45 527-550 Hijriyah.
46 550-607 Hijriyah.
47 659-688 Hijriyah.
48 725-750 Hijriyah.
49 750-796 Hijriyah.
50 801-831 Hijriyah.
51 Uka Tjandrasasmita, “Peranan Samudera Pasai Dalam Perkembangan

Islam di Beberapa Daerah Asia Tenggara”, dalam Aceh dalam Retrospeksi dan Refleksi
Budaya Nusantara, (Banda Aceh: Intim, 1986), hlm. 70.

30
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

menjadi menterinya adalah Bawa Kaya Ali Hisamuddin Al


Malabary.
Baru pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malikul
Dzahir (1350-1394), dibentuklah suatu konfederasi kerajaan-
kerajaan Islam yang terdiri dari Kerajaan Peureulak, Kerajaan
Beunua (Tamiang) dan Kerajaan Samudera Pasai.52 Integrasi ini
menunjukkan bahwa kerajaan Islam tidak bersifat statis,
melainkan adalah dinamis dan mengalami pemekaran wilayah
kekuasaan yang cukup ekstensif. Integrasi hanya bisa terjadi
karena beberapa kesamaan, terutama kesamaan iman atau agama.
Dari catatan Ibnu Batutah yang pernah berkunjung ke Kerajaan
Pasai, dapatlah diketahui bahwa Kerajaan Samudera Pasai
diperintah oleh seorang raja yang sangat alim lagi sholeh.
Kerajaan ini ramai didatangi oleh para pendatang dari berbagai
penjuru dunia saat itu untuk berdagang dan belajar ilmu agama.53
Begitupun dengan hubungan diplomatik, kebanyakan hubungan
diplomatik terjadi karena adanya “perasaan primordial bersama”
yakni sama-sama memeluk agama Islam.
Semasa Kerajaan Pasai di era gemilannya, Kerajaan ini juga
mengirim para pendakwahnya keluar negeri untuk
menyebarluaskan agama Islam. Yaitu: Sidi Abdul Aziz berangkat
ke Malaka ketika itu sehingga Raja Parameswara memeluk agama
Islam dan menggantikan namanya menjadi Muhammad Syah dan
anaknya Iskandarsyah yang kemudian dikawinkan dengan putri
Sultan Zainal Abidin dari Pasai. Para muballigh Pasai menuju
Kedah sehingga Raja Pra Ang Madan Angsa memeluk Islam dan
menggantikan namanya menjadi Muzlafaz Syah. Menurut
Windstedt, di Trengganu (Malaysia) terdapat sebuah batu
bersurat yang menyebutkan bahwa pengembangan Islam di sana
datang dari Pasai dalam abad ke-14.
Penyebaran Islam ke Patani (Thailand) juga dilakukan oleh
pendakwah dari Pasai yang bernama Syaikh Said. Bukti sejarah
yang ada sekarang adalah berupa sebuah makam yang oleh

52 Tgk. M. Yunus Jamil, Op.cit., hlm. 15-16.


53 Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: Penerbit Mohammad Said,
1961), hlm. 55.

31
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

masyarakat setempat dikenal makam Tok Pasai. Ada yang


menyebutkan bahwa penyebaran Islam di Brunei dan Filipina
Selatan juga dilakukan oleh pada pendakwah dari Pasai yang
bernama Syaikh Syarif Kasim dan Syaikh Abu Bakar.54 Diaspora
ulama Islam hanya dimungkinkan terjadi dari sebuah struktur
kekuasaan politik yang baik dan melalui jalur perdagangan.
Penyebaran agama Islam ke tanah Jawa juga dilakukan oleh
para muballigh dari Pasai. Adalah Fatahillah (Falatehan) atau
disebut juga Sunan Gunung Jati, yang kelahiran Pasai dan pada
tahun 1490 ia berangkat ke Arab untuk belajar ilmu agama,
kemudian sekembalinya dari tanah Arab ia menuju Banten.
Selama di Banten inilah ia membantu Kerajaan Demak
mengalahkan Sunda Kelapa (Tanjung Priok sekarang). Setelah
mengalahkan Kerajaan Sunda, ia kemudian mendirikan kota
Jayakarta, (yang kemudian berubah namanya menjadi Jakarta
yang merupakan ibu kota Negara republik Indonesia).
Pengaruh penguasa Islam Aceh sangat besar bagi
perkembangan Islam di tanah Jawa, khususnya di wilayah
Jayakarta (Jakarta). Selain di wilayah Jayakarta, kita juga
menemukan sejarah yang menunjukkan bahwa penyebaran
agama Islam ke daerah Cirebon juga dilakukan oleh Maulana
Ishak, di Gresik oleh Maulana Malik Ibrahim, di Jawa Timur oleh
Sunan Ampel, yang kesemuanya adalah berasal dari Pasai).
Dalam studi sejarah perkembangan islam di tanah Jawa, mereka-
mereka ini di kategorikan kedalam kelompok “wali songo”, yaitu
sebilan para ulama yang berpengetahuan tinggi agama Islam,
telah melakukan kontribusi penyebaran Islam di tanah Jawa. Di
lain sisi para Wali Songo ini juga menjadi simbol tersendiri bagi
masyarakat Jawa, sebagai asal-muasal proses Islam dipeluk oleh
masyarakatnya. Kemudian para wali songo inipun mendapat
tempat istimewa di mata masyarakat Jawa.
Di samping Kerajaan Peureulak dan Pasai, di sekitar Sigli
(Aceh) juga telah berdiri Kerajaan Pedir. Kerajaan ini juga
mempunyai peranan penting pada saat itu terutama dalam
perdagangan rempah-rempah dan sutera. Di Lamno juga telah
54 Lihat D.G.E. Hall, A History of Southeast Asia. (London: Macmillan, 1981).

32
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

ada sebuah kerajaan kecil yang bernama Kerajaan Daya. Lada


adalah produk primadona yang mendapatkan tanggapan banyak
penduduk bumi, khususnya dari Barat. Kerajaan ini telah sering
didatangi oleh para tamu asing yang ingin berdagang rempah-
rempah. Keturunan raja Daya ini sampai sekarang secara rutin
masih melakukan upacara seunuleung (menyuap nasi) kepada
keturunan mereka pada setiap hari raya idul adha yang dapat
disaksikan oleh umum.
Namun seiring berjalannya waktu Kerajaan Samudra Pasai
pun akhirnya melemah. Ketika Kerajaan Samudera Pasai akan
berakhir sekitar abad ke-16, kemudian bangkit Kerajaan Aceh ke
permukaan dan mempersatukan kerajaan-kerajaan yang ada di
Aceh dalam satu panji kesultanan yaitu kesultanan Aceh Raya
Darussalam. Kerajaan Aceh Darussalam maju pesat pada masa
pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah (1511-1530), dan Sultan
Al Kahar (1539-1571), namun mencapai puncak kejayaannya
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda berkisar tahun (1606-
1636). Integrasi ke dalam kerajaan yang lebih besar adalah sebuah
modus merger politik kekuasaan yang perlu kita pelajari sekarang
ini. Sebagaimana telah diperlihat oleh sejarah tentang bagaimana
kerajaan-kerajaan Islam di Aceh mengalami kejayaan dan
kemudian mengalami kemunduran dan pada akhirnya
berintegrasi ke dalam kerajaan yang lebih besar adalah sebuah
strategi untuk bertahan dari serangan-serangan kekuatan-
kekuatan lain dari luar.

Sistem Politik Islam Di Asia Tenggara


Pengaruh pertama Islam, sebagaimana terlihat di lapangan
sosial-budaya, adalah pada sistem politiknya. Kedatangan dan
menyebarnya Islam di Asia Tenggara yang dimulai dari
Peureulak dan Samudra Pasai telah mengubah sistem politik di
Asia Tenggara dengan pengaruh dominan dari Islam. Prinsip-
prinsip politik Islam yang penting seperti egalitarian, humanis,
sosialis, kapitalis, desentralistik berbaur jadi satu. Kedatangan
Islam ke Peureulak kemudian berlanjut dan berkembang pesat di

33
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

Samudera Pasai segera mengubah sistem politik lama yang telah


hidup dan menaungi kerajaan-kerajaan pra Islam dengan
Hinduisme dan Budhisme. Dimulai dengan penguasaan ekonomi
melalui jalur perdagangan kemudian dilanjutkan melalui resistensi
politik untuk menguasai istana-istana kerajaan.
Banyak studi yang membahas tentang resistensi politik
mengalami stagnasi dalam melihat persoalan. Stagnasi itu
umumnya hanya melihat persoalan resistensi politik dari sudut
pandang struktur agraria atau patron-client atau restrukturisasi
lembaga negara atau kekecewaan orang-orang bawah. Padahal
secara antropologis, jauh di dalamnya, sebuah perjuangan suci
yang sebenarnya juga merupakan suatu ekspresi nilai-nilai, suatu
pengungkapan idealisme, pemikiran dan keinginan untuk
mengadakan perubahan berdasarkan orientasi nilai tersebut yang
dianggap berlawanan secara norma umum, sehingga ia disebut
pemberontakan.
Kerajaan Islam atau Negara Islam dalam wacana modern
sekarang ini adalah sebuah wujud kehidupan yang menjadi cita-
cita banyak ideolog Muslim di manapun di dunia ini. Namun,
upaya perwujudannya selalu mengalami kegagalan. Sekiranya
demokrasi memihak pada Islam, jumlah pemberontakan yang
pernah muncul disertai dengan jumlah korban yang rela
membuang atau terbuang nyawanya, dapatlah menjadi statistik
terbuka betapa banyak orang menginginkan tegaknya kerajaan
Ilahi Rabbi di bumi ini.
Sehingga sebagaimana terakui di dunia barat sekalipun,
kekuasaan Islam adalah lambang kemajuan yang sangat
cemerlang dalam dunia politik. Dalam Islam pengertian
kekuasaan ini menjadi sesuatu yang inheren dalam
ajaran-ajarannya yang diperoleh lewat suatu sosialisasi
penyadaran dengan menggunakan al-Qur'an dan sejarah Nabi
Muhammad SAW yang bermuara pada penaklukan kota Mekah
di bawah manajemen kekuasaan orde Islam. Kekuasaan bukanlah
sebuah kenikmatan yang harus dihirup, melainkan suatu
tanggung-jawab (amanah) maha berat yang harus dipikul dan
mempertanggung-jawabkannya di hadapan Allah yang nota bene,

34
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

secara demokrasi, adalah di hadapan rakyat banyak secara


terbuka dan jujur. Berkuasa bukanlah memegang kendali politik
sambil menikmati sumber daya dengan cara menindas, melainkan
terkandung pertanggung-jawaban politik yang berat di
dalamnya.55 Oleh karenanya, politik sebagai salah satu aspek
budaya Islam, berkembang dalam sebuah diskursus antara
ketaqwaan (tunduk pada perintah atau kekuasaan suci, divine
imperatives) dan praktek struktur kekuasaan. Menurut A.H. Johns,
bagi Islam kekuasaan politik yang stabil ditandai oleh sebuah
kepercayaan awal, bahwa masyarakat Muslim harus diperintah
oleh Muslim yang terbaik. Persamaan moral seluruh pemeluk
Islam dan perlunya masyarakat diperintah menurut hukum Allah
menjadi cita-cita bagi semua pemikir Islam, dan bagaimanapun
sulitnya untuk menyesuaikan dengan realitas politik yang ada.56
Islam telah melakukan suatu dekonstruksi dalam pengertiannya
yang umum57, terhadap banyak premis pengetahuan yang
berkembang selama ini.
Sistem politik Islam di Asia Tenggara adalah suatu sistem
politik yang bersumber dari tradisi Islam. Sistem ini pada
dasarnya adalah merupakan prinsip-prinsip bersahaja (aqidah)
tentang penyelenggaraan kehidupan bernegara. Pada asasnya
akidah berarti suatu keyakinan yang mengakar (radikal) dalam
setiap jiwa seorang mukmin dan mukminat, dimana akidah
terbentuk oleh keimanan terhadap enam faktor sebagaimana
yang sudah menajadi rukun iman. Dalam agama Islam,
kepercayaan yang asasi ialah rukun Iman dan rukun Islam.58

55 Lihat Idris Zakaria, Teori Kenegaraan al-Farabi, (Bangi: Universiti


Kebangsaan Malaysia, 1986).
56 Anthony Reid (ed.), The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast

Asia, (Melbourne: Monash Paper on Southeast Asia, No. 27, 1993), hlm. 12. Lihat
juga A.H. Johns, "Political Authority in Islam: Some Reflections Relevant to
Indonesia", dalam Anthony Reid dan David Marr, Perception of the Past in The Southeast
Asia, (Singapore: Heinemann (Asia), 1981), hlm. 17-34.
57 Lihat untuk pengertian ini dalam bukunya Jonathan Culler, On

Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism, (London: Routledge and Kegan
Paul, 1983), hlm. 82 - 86.
58 Lihat Mahayudin Hj. Yahaya, Tamadun Islam, (Shah Alam: Fajar Bakti,

1998). Mahayudin Hj. Yahaya dan Ahmad Jelani Halimi,1993:658.

35
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

Rukun Iman ada enam perkara adalah: (1) Percaya kepada Allah
s.w.t ; (2) Percaya kepada malaikat; (3) Percaya kepada kitab; (4)
Percaya kepada rasul; (5) Percaya kepada hari kiamat; dan (6)
Percaya kepada qada’ dan qadar. Bersama-sama dengan rukun
iman ialah rukun Islam yang lima adalah: (1) Mengucap dua
kalimah syahadat; (2) Menegakkan shalat lima waktu sehari
semalam; (3) Berpuasa dalam bulan Ramadhan; (4) Menunaikan
zakat; (5) Mengerjakan haji di Makkah. Jadi sistem politik Islam
berusaha untuk menjalankan dua jenis rukun ini dalam
kehidupan sehari-harinya dan berharap agar kerajaan atau negara
bisa membantu penyelenggaraannya secara lancar.
Rukun Iman adalah landasan ideologis kerajaan-kerajaan
Islam di Asia Tenggara, sedangkan Rukun Islam menjadi
landasan operasional untuk melaksanakan tradisi-tradisi
kenegaraan.59 Syahadat adalah kalimat penting dalam ritual-ritual
politik kerajaan, dimana ia merupakan prinsip yang utama untuk
membedakan kerajaan Islam (negara Islam) dengan kerajaan yang
bukan Islam, sehingga dengan prinsip itu kerajaan mengarahkan
warga negaranya hidup menuju mardhotillah (sejahtera di dunia
dan selamat di akhirat). Sedangkan zakat lebih menjadi alat
legitimasi penguasa untuk menarik pajak dan upeti dari rakyat, di
mana zakat dalam kerajaan Islam (negara Islam) adalah
merupakan sumber penerimaan bagi baitul maal. Tradisi pajak dan
upeti selanjutnya dikenal zakat dan jizah dalam istilah Islam dan
ini merupakan sumber finansial terpenting bagi kerajaan dan
didapat dengan menguasai bandar-bandar pelabuhan dan
jaringan pasar. Ketika agama Islam diperkenalkan di rantau
Nusantara, perkara-perkara ini telah diterapkan kepada penduduk
lokal. Bagaimanapun, bukan hal mudah untuk menerapkan
ajaran-ajaran Islam, di karena sebelum kedatangan Islam
penduduk di Nusantara telah mempunyai kepercayaan sendiri
yang dikenali sebagai animisme, dinamisme dan pemujaan hyang

59Lihat Zakaria Stapa, Islam: Akidah dan Kerohanian, (Bangi: Universiti


Kebangsaan Malaysia, 1998).

36
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

dan leluhur nenek moyang.60 Setelah proses Budhisasi dan


Hinduisasi, masyarakat setempat menganut agama Hindu dan
Buddha. Kedatangan agama Hindu-Buddha tidak melenyapkan
kepercayaan animisme, dinamisme dan hyang. Sebaliknya berlaku
singkretisme antara ke dua agama itu dan kepercayaan nenek
moyang. Ketika Islam datang, Islam tidah dapat menghapuskan
singkretisme Hindu-Buddha dan kepercayaan kepada hyang itu,
sebaliknya pada perkara-perkara tertentu berlaku singkretisme
antara kepercayaan tersebut dengan Islam.61 Ini jelas terlihat di
seluruh kepulauan Melayu terutama di Jawa dan wilayah
Minangkabau di Sumatera Barat.
Umpamanya di Malaka, singkretisme antara Islam dan
kepercayaan Hindu-Buddha dan hyang dapat dilihat pada silsilah
kesultanan Malaka.62 Walaupun raja-raja Malaka mengakui
keesaan Allah SWT, tetapi mereka masih mendakwakan diri
sebagai keturunan dewa-dewi yang turun dari Bukit Siguntang
Mahameru, di Palembang. Selain itu, konsep dewaraja yang
diamalkan pada zaman Hindu-Buddha diteruskan. Walaupun
Malaka menerima Islam sebagai agama dan negara, konsep
dewaraja ini diperkenalkan dengan tindakan menghubungkan
anak keturunan mereka dengan Iskandar Zulkarnain dan Nabi
Khidr.63
Sementara itu di Jawa, pengaruh ajaran pantheisme
(kesatuan wujud), yang memperlihatkan adanya kesatuan antara
manusia dengan Tuhan tetap bertahan sekalipun telah
kedatangan agama Islam. Ia disesuaikan dengan paham tasawuf
wahdah al-wujud sebagai suatu cabang penting ilmu ushuluddin
(filsafat keagamaan) yang juga melihat wujud kesatuan antara

60 Lihat Ghazali Shafi’ie, Rumpun Melayu dan Bangsa Malaysia Menjelang Tahun
2020, (Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1995).
61 Lihat Mahayudin Hj. Yahaya, Tamadun Islam, (Shah Alam: Penerbit Fajar

Bakti, 1998).
62 Lihat Muhammad Muftar Shafe’ie, Mengenal Islam. Tingkatan 1 /1,5, (Kuala

Lumpur: Pustaka Antara, 1982).


63 Abdul Rahman Haji Abdullah, Islam dalam Sejarah Asia Tenggara Tradisional,

(Kuala Lumpur: Pena, 1989), hlm. 95.

37
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

Tuhan dengan makhluk.64 Dan paham wahdatul wujud ini juga


berkembang di Ulakan, Sumatera Barat.65
Sejarah perkembangan agama Islam di Nusantara bermula
sejak abad ke-17, bermula pada zaman keagungan kerajaan Aceh
di masa Iskandar Muda. Perkembangan ini dimulai dari paham
Al-Hallaj dan Ibnu Arabi kemudian dikembangkan oleh Abdul
Rauf Al-Fansuri dengan pengenalan ajaran sifat dua puluh.
Seterusnya muncul ramai ulama yang memperluaskan lagi ajaran
sifat dua puluh melalui kitab-kitab mereka. Antara lain kitab-kitab
tersebut ialah kitab Bidayah al-Hidayah oleh Muhammad Zain
Faqih Jalaluddin al-Ashi dan kitab Aqidah al-Bayan oleh Tuk
Shihabuddin Palembang. Selain itu, muncul dan ramai para ulama
yang mengulas ajaran tersebut seperti Uthman bin Yahya al-
Betawi, Muhammad Zainuddin ibn Muhammad Badawi al-
Sambawi, Dawud bin Abdullah al-Fatani dan sebagainya.66
Perkembangan ajaran tauhid sifat dua puluh ini tidak
melenyapkan kepercayaan tradisional yang terus hidup subur.67
Kesan-kesan kepercayaan tradisional yang mengandung banyak
unsur yang bertentangan dengan Islam dapat dilihat dalam
upacara perkawinan orang Melayu, adat istiadat penobatan raja
dan kepercayaan kepada keramat serta penunggu. Semua
kepercayaan ini diwarisi oleh masyarakat Melayu sejak zaman
sebelum Islam datang.68
Sejarah sistem politik Islam mulai muncul pada awal abad
ke-7 yakni ketika Muhammad Rasulullah SAW diangkat sebagai
Imam Negara Islam (Madinatul Munawaroh), setelah melalui
masa-masa sulit selama 13 tahun berjuang di Mekkah kemudian
atas perintah Allah SWT ia dengan para sahabat berhijrah ke

64 Sivachandralingam Sundara Raja Ayadurai Letchumanan, Tamadun Dunia,

(Selangor: Penerbit Fajar Bakti, 1998), hlm.9.


65 Hamka, Islam dan Adat Minangkabau (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984),

hlm.152.
66 Abdul Rahman Haji Abdullah, Islam: Dalam Sejarah…… Op.cit., hlm. 97.
67 Lihat Abdullah Muhammad Zin, Prinsip dan Kaedah Dakwah dalam Arus

Pembangunan Malaysia, (Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1998).


68 Rammani Karupiah, Sejarah Tamadun Dunia, (Selangor: Pustaka Sarjana,

1998), hlm.19.

38
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

Yastrib dengan dukungan penuh dari kaum Anshor Yastrib (suku


Aus dan Khajraj). Dan baru pada akhir abad ke-7 tersebar ke
Asia Tenggara. Dan kini, sistem politik Islam seakan tidak ampuh
lagi untuk menghadapi berhala demokrasi. Sesungguhnya
bukanlah sistem politik Islam yang tidak mampu menghadapi
berhala demokrasi, akan tetapi sistem politik Islam belum tergali
hingga kepada kemurniaanya dan juga belum terdukung oleh
para politisi Islam yang mukhlis. Oleh karenanya penelitian
terhadap suatu sejarah Islam sebagaimana sejarah Malikussaleh
yang pernah jaya di masa silam menjadi amat penting, karena
dengan sistem politik Islam lah keadilan dimuka bumi akan tegak.
Pada tahun 618, diawali dengan berkembangnya para
pedagang Arab yang telah ber-kampung di Canton yang jauh
sebelum itu memang telah terjalin hubungan dagang antara Cina
dan Arab, maka 32 tahun kemudian yakni pada tahun 650 di
masa Khalifah Usman bin Affan, ra. Memikul amanah dari tahun
644-65669 mulailah terjalin hubungan antara Ta-shih dengan
Cina.70 Proses perkembangan ini juga membawa Dienul Islam
sebagai ajaran spiritual, dan ajaran politik (sistem poitik). Dan
pada tahun 674 Dienul Islam telah diperkenalkan di Kalingga
(Holing) Jawa Timur, di mana dalam masa itu Islam dalam
kekuasaan Daulat Umayyah yang berkuasa dari tahun 661 –
750.71 Dan kemudian berlanjut dengan peristiwa penting pada
tahun 720 terjadi pengislaman Raja Srindravarman, penguasa
Sriwijaya Jambi yang semula beragama Hindu. Peristiwa itu
bertepatan dengan masa kekuasaan Khalifah Yazid bin Abdul
Malik (720-724) yang menggantikan kekuasaan Umar bin Abdul
Aziz (717 -720).
Bertepatan dengan masa kekuasaan Khalifah Hisham bin
Abdul Malik (724-743) yakni pada tahun 730, Kerajaan Sribuza
Islam (Sriwijaya Jambi) ditawan oleh Sriwijaya Palembang.
Sekalipun adanya tekanan politik atas kerajaan Islam Sriwijaya

69 23 – 35 Hijriyah.
70 Lihat Liang Liji, Hubungan Empayar Melaka-Dinasti Ming Abad ke-15, (Bangi:
Universiti Kebangsaan Malaysia, 1996).
71 41 – 132 Hijriyah.

39
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

Jambi, akan tetapi proses islamisasi di Sumatera terus


berlangsung hingga kemudian pada tahun 820 pengislaman
wilayah Kerajaan Peureulak.72 yang pada masa itu bertepatan
dengan kekuasaan Khalifah Al-Ma’mun (813-833). Sejak saat itu
proses islamisasi di Peureulak terjadi dengan gencarnya, dan
kemudian proses islamisasi itu sebagai wujud keberhasilan
dakwah pada akhirnya menembus sampai kejajaran elite
kekuasaan Peureulak. Wacana keislaman ini mengakibatkan satu
perubahan yang luar biasa bagi Peureulak, sehingga pada tahun
839 tepatnya hari rabu 12 Nopember 83973 berdirilah kesultanan
Peureulak dengan naiknya tahta Sultan Maulana Sayyid Abdul
Aziz. Perubahan luar biasa atas Kerajaan Peureulak, dalam
wacana politik modern saat sekarang ini dapat disebut sebagai
manifestasi revolusi Islam atas realitas politik pada masa itu yang
bersifat monarki yang ditandai dengan adanya perubahan sistem
pemerintahan (politik) yang semula bersifat kerajaan menjadi
kesultanan. Dan kejadian yang amat monumental itu bertepatan
dengan masa kekuasaan Khalifah Al-Mu’tasim Billah (833 – 842).
Perkembangan Islam yang begitu pesatnya yang disambut
oleh masyarakat dan bahkan hingga elite kekuasaan sebagaimana
di Peureulak, akan tetapi tidak semua daerah bisa menerima
dengan baik. Hal mana dalam wilayah lain, sebagai suatu
kenyataan sejarah pada tahun 876 terjadi pembunuhan massal
atas orang-orang Islam, khususnya orang-orang Islam di Canton
di masa Dinasti T’ang.74
Dan kemudian memasuki abad ke-10 dunia Islam telah
diperkenalkan di Patani.75 Namun, sangat disayangkan
perkembangan ini tidak menyebar ke seluruh wilayah Thailand,
karena keyakinan sebelumnya sudah mengakar dalam sanubari
masyarakatnya. Sulitnya menembus pengaruh Budha yang sudah

72 Ensiklopedi Islam. 4: Nah-Sya/Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1-5,


(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994).
73 1 Muharram 225 Hijriyah.
74 Abdul Rahman Hj. Abdullah, Islam: Dalam Sejarah Asia Tenggara Tradisional,

(Kuala Lumpur Pena, 1989), hlm. 19.


75 Suplemen Ensiklopedi Islam. 2 : L-Z, Indeks / Dewan Redaksi Ensiklopedi

Islam, 1-2, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996).

40
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

kuat melekat dikalangan rakyat Thailand merupakan salah satu


kendala utama. Disamping itu kendala yang sulit ditembus adalah
karena Thailand sebagai negara kepulauan yang dibatasi dengan
pegunungan yang lebat. Pada tahun 951, Campa menghantar
utusan yang beragama Islam bernama P’ou Ho San (Abu Hasan)
ke Cina sebagai upaya penyebaran dienul Islam. Dan pada tahun
977 terbentuknya komunitas Muslim di Brunei. Perkembangan
ini berlanjut hingga Brunei menghantar seorang duta beragama
Islam ke Cina bernama Pu Ali (Abu Ali).
Pada tahun 1025, terdapat bukti arkeologis berupa batu
bersurat Phang-rang di mana isi dari batu bersurat itu tentang
hukum dan peraturan masyarakat Islam di Campa, Kamboja.76
Kamboja adalah wilayah politik Islam yang masyhur, namun
bekas-bekasnya hingga kini belum tergali, bahwa di sana pernah
ada sistem politik Islam berjalan. Perkembangan Islam di Asia
Tenggara berikutnya adalah ditemukannya bukti arkeologis yang
menunjukkan bahwa pada tahun 1028 terdapat batu nisan Islam
di Pekan Pahang. Dan berikutnya pada tahun 1039, batu nisan
Ahmad ibn Abu Ibrahim ibn Abu Arradah al-Rahdar Abu Kamil
di Phan-rang.
Pada tahun 1042 yang bertepatan dengan masa kekuasaan
Khalifah Al-Qa’im bin Amrillah (1031-1074).77 Ketika itu pula
Pasai merupakan bandar dagang Islam yang masyhur di
Nusantara, dan juga pada masa itu Pasai sudah menjadi bandar
perdagangan internasional dan menjadi titik awal penyebaran
Islam setelah Peureulak. Di masa pesatnya perkembangan Islam
di Pasai dibelahan lain dalam wilayah Islam yakni di Timur
Tengah sedang bergejolak perang salib yang mulai diletuskan
pada tahun 1046 atas seruan Paus Urban II terhadap raja-raja

76 Lihat Ghazali Shafie, Rumpun Melayu dan Bangsa Malaysia Menjelang Tahun

2020, (Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1995).


77 Lihat Syed Naquib al-Attas, Preliminary on General Theory of the Islamization of

the Malay-Indonesian Archipelago, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969).

41
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

Nasrani di Eropa yang kemudian perang salib ini memakan


waktu 200 tahun lamanya78.
Sehubungan dengan perkembangan Islam di Asia
Tenggara, Brunei dari sejak tahun 977 sudah ada komunitas
Muslim di sana, maka dengan adanya bukti arkeologis yang
menunjukkan bahwa pada tahun 1048 terdapat batu nisan
seorang puteri Islam di Brunei. Oleh karena bukti arkeologi itu
maka dakwah Islam memasuki wilayah Brunei dapatlah
dikatakan, setidaknya dimulai pada akhir Abad 10 atau lebih
tepatnya pada tahun 977. Dengan prediksi masuknya Islam ke
Brunei sebagaimana dimaksud maka Brunei pun terus bersemi
dan berkembang atas penyebaran Islamnya, hingga kemudian
islamisasi di Brunei memasuki wilayah elite kekuasaan yang
ditandai dengan taslimnya kerabat Diraja Brunei pada tahun
1078, yang pada masa itu bertepatan dengan masa kekuasaan
Khalifah Al-Muqtadi Bi Amrillah (1074-1094). Bersamaan
dengan itu, pada tahun 1082, Nisan Fatimah bt. Maimun ibn
Hibatullah di Leren Jawa Timur.79 Dengan ditemukannya batu
nisan tersebut maka Jawa Timur yang sejak tahun 674 Dienul
Islam telah diperkenalkan di Kalingga (Holing) Jawa Timur terus
bersemi dan berkembang walaupun tidak signifikan, dan
perkembangan Islam di Jawa mencapai perkembangan yang pesat
setelah Maulana Malik Ibrahim mengembangkan dakwahnya.
Segera setelah Jawa Timur pada tahun 1205, pembentukan
kerajaan Aceh Darussalam berawal dan ibukotanya bernama
Banda Darusslam dan itu merupakan kelanjutan dari kerajaan
Indra Purba yang pada masa itu ibukotanya Lamuri. Maka
mulailah Asia Tenggara mengalami proses islamisasi yang kuat
dan cepat. Pada tahun 1260-an Syeikh Ismail dan Fakir
Muhammad utusan khalifah secara resmi untuk menyebarkan
Dienul Islam di kawasan Asia Tenggara dan pada tahun 1261
Sultan Malikussaleh, dan dikukuhkan sebagai Sultan Samudera

78 Teungku Muhibuddin Waly, Maulana Teungku Syeikh Haji Muhammad Waly

al-Khalidy Ulama Besar Aceh dan Peranannya dalam Pembangunan Pendidikan, (Jakarta,
Intermasa, 1997), hlm. 11.
79 Lihat D.G.E. Hall, A History of Southeast Asia, (London: Macmillan, 1981).

42
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

Pasai dan masa kekuasaanya selama 29 tahun atau tepatnya dari


tahun 1261 sampai 1289. Kemudian imbas dari berdirinya
Kerajaan Samudera Pasai, yang merupakan kerajaan Islam
terbesar dan termegah se Asia Tenggara. Maka wilayah Melayu di
Malaysia pun bersemi dan berkembang wacana Islam. Hal ini
dapat kita lihat dari bukti arkeologis yang ditemukan pada tahun
1303 berupa Batu Bersurat di Trengganu.80 Juga di Filipina,
penyebaran Islam mengalami kemajuan yang pesat dengan bukti
sejarah ditemukannya pada tahun 1310 berupa batu Nisan Islam
tertua di Filipina yang dijumpai di Bud Dato Jolo yang
bertuliskan nama Seri Paduka Maqbalu.81 Masih bersamaan
dengan itu, kronologis sejarah Islam di Asia Tenggara
memperlihatkan kemapanannya. Dan pada tahun 1370 Kerajaan
Brunei dipimpin seorang Muslim yang bernama Mahmud Syah.
Selanjutnya, tiga tahun kemudian yakni pada tahun 1400
didirikannya Kesultanan Melayu Malaka oleh Parameswara.
Kemasyhuran Malaka ini terdengar sampai ke Cina hingga
pada tahun 1403, sehinngga Malaka dikunjungi oleh Yin Ching,
seorang laksamana kerajaan Ming (Cina).82 Kemudian pada tahun
1409, seorang Laksaman Muslim Cina, Muhammad Cheng Ho
mengunjungi Malaka.83 Pada waktu Kaisar Yung Lo berkuasa di
negeri Cina pada tahun 1368, panglima tentara kaisar dijabat oleh
panglima Muslim yang bernama Jenderal Kuo Tze Hin, Jenderal
Chang Yu Chong, Jenderal Hwa Yun dan Jenderal Muying. Pada
waktu itulah mereka membentuk sebuah ekspedisi sebanyak
20.000 orang, yang terdiri dari para dokter, ahli kapal laut, ahli
senjata, ahli pertanian dan para mubaligh. Ekspedisi tersebut
dipimpin oleh Laksamana Muhammad Cheng Ho sendiri hingga
sampai 7 kali, dan setiap kali ia berlayar tetap singgah di
Samudera Pasai yang ketika itu diperintahkan oleh Sultan Malikul

80 Ensiklopedi Islam, 1-2, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Suplemen
Ensiklopedi Islam, jilid 1.
81 Lihat Saiful Muzani, Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara,

(Jakarta: Pustaka, 1993).


82 Lihat Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), jilid 5.
83 Haji Buyong bin Adil, Sejarah Melaka, Dalam Zaman Kerajaan Melayu, (Kuala

Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1973).

43
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

az Zahir. Pada masa itu hubungan Samudera Pasai dengan


Kerajaan Cina berjalan sangat baik. salah satu bukti hubungan
antara Aceh dengan Cina berjalan dengan baik, kita bisa lihat dari
hadiah yang telah diberikan Kerajaan Cina untuk Kerajaan
Samudera Pasai, yang berupa sebuah lonceng raksasa “Cakra
Donya” yang masih dapat kita saksikan sampai sekarang ini.
Kemudian lagi, pada tahun 1411, Parameswara memngadakan
kunjungan balasan ke Cina. Delapan tahun setelah kunjungan
Muhammad Cheng Ho ke Malaka, pada tahun 1414 Kerajaan
Malaka menerima Islam dan Raja Islam pertamanya adalah Megat
Iskandar syah. Masih di wilayah Asia Tenggara tepatnya di Jawa,
berita duka cita menyelimuti keluarga para murid dan masyarakat
Muslim Jawa pada umumnya, dimana pada tahun 1419 Maulana
Malik Ibrahim wafat menjemput ridho Allah SWT dengan
syahidnya sebagai mujahid yang tangguh. Pengorbanan yang
mukhlis dari ia dapat dirasakan hingga kini yakni terbentuknya
komunitas Muslim di Jawa menjadi mayoritas. Semuanya selain
karena izin Allah juga berkat ketekunan ia memulai dan
menyebarkan Islam secara mantap dan cepat di wilayah Jawa.
Pada tahun 1457 Kerajaan Patani menerima agama Islam
atas upaya dakwah para ulama-ulama Pasai, dan terus menyeruak
melebar hingga ke utara, namun peradaban Islam mengalami
kekalahan pada tahun 1471, dengan jatuhnya Kerajaan Campa
yang dikalahkan oleh Kerajaan Annam. Akan tetapi di wilayah
Jawa menunjukkan kemenangannya yang cukup monumental
yakni terjadinya peristiwa terbentuknya Kesultanan Demak pada
tahun 1478.84 Di mana dengan terbentuknya kesultanan Demak
adalah merupakan pukulan telak bagi Majapahit yang merupakan
kerajaan Hindu. Perkembangan berikutnya di Sumatera
memperlihatkan kemajuan yang cukup berarti, dimana pada
tahun 1507 atau tahun 1508 didirikannya Kerajaan Aceh Raya
Darussalam oleh Sultan Ali Mughayat Syah sebagai manifestasi
atas kesadaran perlunya Islam berada dalam satu garis komando.

84 Lihat Taufik Abdullah & Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di
Asia Tenggara, Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1988).

44
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

Proses kemunduran Islam di Asia Tenggara umumnya dan


khususnya di Nusantara dimulai ketika terjadinya sedikit-demi
sedikit yang harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan
kolonialisme dengan semangat balas dendam atas kekalahan
dalam perang salib. Hingga pada tahun 1509, Malaka didatangi
orang Portugis untuk pertama kalinya di bawah pimpinan Diego
Lopez de Sequira sebagai pasukan ekspedisi untuk mengetahui
sejauh mana Malaka memiliki kekuatan dengan tameng
berdagang rempah-rempah, dan hal-hal lain yang perlu di gali
informasi untuk kepentingannya. Hingga datannya waktu yang
dirasakan tepat yaitu pada tahun 1511, kemudian diadakanlah
penyerbuan terhadap Malaka hingga kemudian Malaka dikuasai
Portugis yang dipimpin oleh Alfonso de’ Albuquerque.
Di Malaka terjadi peperangan namun lain hanya di Filipina,
di mana perkembangan Filipina sesuatu yang menggembirakan
terjadi, yakni pada tahun 1515 didirikannya kerajaan Islam
pertama di Mindanau oleh Syarif Muhammad Kabongsua.85 Dan
pada tahun 1517, Kerajaan Majapahit runtuh atas serangan
Kerajaan Demak Jawa. Majapahit setelah dikalahkan Demak,
kemudian elite-elite Majapahit beserta pengikutnya tunggang
langgang lari menuju Bali. Pasang surut terjadi lagi atas sistem
kekuasaan Islam di Sumatera, dimana pada tahun 1521 Kerajaan
Pasai runtuh.86 Dan perpecahan politik juga terjadi di Jawa di
mana pada tahun 1528 Senopati Raden Bagus telah merampas
kekuasaan dari kerajaan Pajang dan mendirikan kerajaan
Mataram.87 Sedangkan di Filipina pun akhirnya turut mengalami
pasang surut kekuasaan Islam, sehingga pada tahun 1570
jatuhnya Kerajaan Islam Manila di bawah Sultan Sulaiman
kepada pihak Spanyol.88

85 Lihat Ensiklopedi Islam, 1-5, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Jilid
1 dan 2.
86Ensiklopedi Islam, 1-5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994).
87Lihat D.G. E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, (Kuala Lumpur: Dewan Pustaka
dan Pustaka, 1979).
88 Lihat Wan Abdul Rahman Latif, Sejarah Perkembangan Tamadun

Dunia,(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998), hlm. 489-490.

45
Islam di Asia Tenggara Bermula dari Aceh

Perlawanan Islam atas kolonialisme pun terjadi dengan begitu


antusiasnya. Pada tahun 1578 bermula dengan adanya Perang Kestila,
perang antara Kerajaan Brunei dengan pihak Spanyol. Akan tetapi
keanehan lain terjadi di dalam tubuh pemerintahan Islam di Sumatera
yakni dengan terjadinya peritiwa tahun 1607, Iskandar Muda Mahkota
Alam merampas tahta Aceh. Dan pada tahun 1629, Sultan Iskandar
Muda menyerang Malaka dengan satu angkatan perang dengan
kekuatan penuh sejumlah 20.000 personil tetapi gagal menguasai kota
itu. Perlawanan dan kekalahan adalah biasa dihadapi oleh orang-orang
Islam Asia Tenggara. Kemenangan juga terjadi pada abad ke-17,
dimana pada tahun 1639 Kerajaan Blambangan, yakni kerajaan Hindu
terakhir di Jawa jatuh ke tangan Kerajaan Mataram (Islam).89 Dan di
Kamboja, perkembangan kekuasaan Islam di negara Indocina pun
terwujud. Pada 1675 Negara dan pemerintah Campa telah
diislamkan.90***

89 Lihat B.R. Pearn, An Introduction to the History of Southeast Asia, (Kuala

Lumpur: Longmans, 1965).


90 Lihat O.W. Wolters, History, Culture and Religion in Southeast Asian Perspective,

(Singapore, 1982).

46
Aceh Masa Kerajaan Samudera Pasai 51

Bab 3
ACEH MASA KERAJAAN
SAMUDERA-PASAI

Wilayah Geografis
Kerajaan Samudera-Pasai sejak awal berdirinya merupakan
penggabungan dua kerajaan, yaitu Kerajaan Samudera dan
Kerajaan Pasai yang terletak di daerah Aceh Utara. Terbentuknya
Kerajaan Samudera-Pasai merupakan hasil dakwah yang
dilakukan seorang keturunan Sultan Peureulak kedelapan yang
berpaham syi’ah yakni Syaikh Mahmud, setelah raja Samudera dan
raja Pasai dapat ditaklukan, kemudian Syaikh Mahmud diangkat
sebagai Raja Samudera-Pasai dengan gelar Maharaja Mahmud
Syah dengan nama lokalnya Meurah Giri pada tahun 1042.
Pada perkembangan lebih lanjut, perluasan wilayah
geografis Samudera Pasai terjadi secara kultural. Artinya,
perluasan wilayah tidak dilakukan dengan cara peperangan. Akan
tetapi dengan cara pernikahan politik. Pada masa Sultan
Malikussaleh, ia menikahi puteri Sultan Makhdum Alaidin Malik
Muhammad Amin Syah II, Raja Peureulak yang beraliran
ahlussunah atau sunni yang bernama Putri Ganggang Sari.
Dengan sebab perkawinan tersebut kemudian melahirkan
seorang Sultan yang merupakan keturunan dua raja, yakni Raja
Peureulak dan Raja Pasai, yaitu Sultan Muhammad Malikul
Dhahir. Kemudian Kerajaan Samudera-Pasai mendapatkan
perluasan daerah baru dengan cara integrasi. Pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Malikul Dhahir, ia menyatukan
Kerajaan Peureulak ke dalam Kerajaan Samudera-Pasai, setelah
wafatnya Sultan Malik Abdul Aziz yang berkuasa atas Kerajaan
Islam Peureulak pada tahun 1263-1289.1 Juga wilayah Kerajaan
Beunua (Tamiang) di timur Aceh. Dengan demikian sejak tahun
1289 wilayah geografis Kerajaan Samudera-Pasai semakin luas

1 662-692 Hijriyah.
52 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

yakni meliputi bekas Kerajaan Peureulak dan Kerajaan Islam


Beunua Tamiang (Aceh Timur sekarang).

Dari Masyarakat Pantai Menjadi Masyarakat Agraris


Samudera-Pasai adalah merupakan sebuah kerajaan
maritim, di mana kehidupan ekonominya tidak memiliki basis
agraria pada awal mulanya, melainkan bertumpu pada sektor
perdagangan, pelayaran dan perikanan laut. Salah satu
pendapatan Samudera Pasai adalah dari pajak bagi setiap kapal
yang berlabuh di Samudera-Pasai. pajak tersebut dikenakan 6%
atas setiap komoditi perdagangan, sebagaimana diungkapkan
oleh pelancong Portugis, Tome Pires.2 Artinya, sistem pabean
dan manajemen pelabuhan sudah berjalan dengan sangat baik di
Samudra-Pasai. Dunia laut adalah dunia dagang dalam persepsi
kultural para penduduk Samudra-Pasai. Produk utama yang
diperdagangkan adalah lada yang merupakan produk daerah
agraris di pedalaman wilayah kerajaan ini.
Samudera-Pasai sekalipun masyarakatnya tergolong kepada
masyarakat pantai (coastal community), di mana ekonominya
bertumpu pada hasil laut dan perdagangan, akan tetapi
masyarakat lainnya di pedalaman tidaklah bertumpu sepenuhnya
kepada ekonomi masyarakat pantai. Masyarakat Samudera-Pasai
yang tergolong kepada masyarakat agraris (agrarian community)
adalah sebagai supplier bagi perdagangan dalam masyarakat pantai,
karena komoditi perdagangan yang trend waktu itu adalah hasil
alam (rempah-rempah) dan sektor produksi itu dikuasai oleh
agrarian community. Kedua masyarakat ini hampir-hampir tidak
terintegrasikan dengan baik. Pusat kekuasaan yang berada di
pantai bahkan memperlihatkan seolah-olah Samudra-Pasai adalah
kerajaan maritim yang hanya mempedulikan dunia laut, yang
berfokus pada dunia dagang semata.
Integrasi antara masyarakat pesisir dengan masyarakat
pedalaman di wilayah daratan dan pegunungan terjadi pada saat
adanya konflik politik dalam struktur kerajaan, yaitu konflik

“Kerajaan Samudera Pasai”, dalam Ensikopledi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru


2

van Hoeve, 1994), hlm. 248.


Aceh Masa Kerajaan Samudera Pasai 53

politik syi’ah-sunni dalam tubuh kekuasaan sudah dimulai


semenjak Kerajaan Peureulak pada masa pemerintahan Sultan
Alaiddin Saiyid Maulana Ali Mughayat Syah (915-918).3 Pada
waktu itu terjadi peralihan kekuasaan dari yang beraliran politik
syi’ah kepada yang berpaham politik sunni, yakni keturunan dari
Dinasti Makhdum. Kemudian Peureulak pada masa
pemerintahan Sultan Abdulmalik Syah Johan (946-973).4 Ketika
itu, perang saudara ini berlangsung memakan waktu selama
empat tahun, yang bermula dari keinginan para kaum yang
berhaluan politik syi’ah untuk melakukan perlawanan yang
melibatkan senjata terhadap kaum yang berhaluan politik sunni.
Bagi masyarakat Aceh, semua perselisihan pasti ada jalan
keluarnya, hal ini tergambar dalam sebuah pepatah Aceh yang
mengatakan, “pat ujeun yang hana pirang, pat prang yang hana
reuda”(hujang yang mana yang tidak berhenti, perang yang mana
yang tidak berakhir). Berangkat dari nasehat pepatan ini,
kemudian solusipunnya bisa di temukan akibat perselisihan
politik semacam ini, dan perdamaianpun tercipta di masyarakat
Aceh, (shared peace). Bentuk perdamaian yang dijalankan oleh
masyarakat Aceh pada waktu itu adalah, Kerajaan Peureulak di
bagi menjadi dua, yaitu untuk ahlussunnah dengan ibu kotanya
Bandar Khalifah berada di Peureulak Pedalaman. Dan bagi yang
golongan syi’ah, dengan Ibukotanya Bandar Peureulak berada di
Peureulak Pesisir.
Cara berdamai dengan membagi wilayah kekuasaan adalah
cara berdamai yang sangat mendasar dalam sistem politik
manapun. Dari kasus Peureulak ini, dan kemudian pada kasus
Samudra-Pasai, kita bisa berkesimpulan bahwa pembagian
wilayah kekuasaan ke dalam dua bagian, baik antara utara dan
selatan atau barat dan timur adalah proses politik untuk
menghindari adanya peperangan atau merupakan akibat dari
peperangan itu sendiri.
Sebagai akibat dari adanya pembagian wilayah kekuasaan
kerajaan ini, kemudian kondisi perekonomian Peureulak terjadi

3 302-305 Hijriyah
4 334 - 361 Hijriyah
54 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

pula peralihan dari coastal community (masyarakat pesisir/pantai)


kepada agrarian community (masyarakat pedalaman/daratan)
terutama dialami oleh masyarakat Peureulak yang berada dalam
wilayah Peureulak di pedalaman yang berada dalam kekuasaan
raja Peureulak berpaham sunni. Perbedaan ideologi politik, sekecil
apapun akan mengakibatkan perbedaan cara hidup dan pola
berfikir masyarakat.
Sebagai konsekuensi politik dari perkembangan perpecahan
itu, pusat Kerajaan Samudera-Pasai yang secara geografis terletak
dipesisir pantai sehingga pola hidup masyarakatnya lebih
berkarakter sebagai masyarakat pantai, dan perekonomiannya
mengandalkan hasil perdagangan yang memang sudah sangat
ramai kala itu. Kemudian ketika Kerajaan Peureulak telah bersatu
dengan Kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1289, kondisi
masyarakat semakin kompleks tata ekonominya, dan secara
umum keadaan masyarakat Samudera-Pasai pada abad ke-13
dapatlah kita klasifikasikan ke dalam dua bentuk yakni (1)
masyarakat yang mengandalkan perekonomiannya kepada hasil
pantai, dan (2) sebagian masyarakat yang lain yang berada di
pedalaman mengandalkan perekonomiannya kepada hasil bumi
pertanian dan hasil hutan alam. Dalam perkembangan lebih
lanjut hasil bumi ini menjadi sektor andalan bagi Kerajaan
Samudera-Pasai, sebagai komoditi perdagangan yang sangat laku
dalam perdagangan Internasional. Maka, integrasi politik atas
dasar kepentingan ekonomi ini pun terjadi.

Kesultanan Islam Samudera-Pasai


Kemunculan Samudra-Pasai sesungguhnya adalah
kemunculan sebuah kekuasaan ekonomi yang kemudian menjadi
besar dan berkembang menjadi sebuah kekuasaan politik, sebuah
kerajaan dengan segala kedigdayaannya. Samudra-Pasai tidak
hanya Kerajaan Islam terbesar dan termegah di Asia Tenggara
pada abad ke-13. Ia juga adalah Kerajaan Islam yang pada masa
jayanya berubah menjadi sistem pemerintahan kesultanan
(sultanate). Semua urusan bersifat integral adalah berada dalam
kendali Sultan Malikussaleh, sebagai Sultan yang pertama.
Aceh Masa Kerajaan Samudera Pasai 55

Sebelum masa berdirinya Kerajaan Islam Samudera Pasai, di


daerah itu lebih dahulu berdiri kerajaan-kerajaan kecil, yang
dipimpin oleh raja-raja yang bergelar Meurah. Gelar Meurah Cut
Intan, misalnya, adalah pahlawan bangsa Aceh dari negeri-negeri
kecil seperti Jeumpa, Samudra, Tanoh Data.5
Kerajaan Islam Samudera-Pasai merupakan kelanjutan dari
Kerajaan Islam Peureulak ke delapan yang beraliran syi’ah
kemudian mengalami perkembangan yang pesat sebelum
akhirnya bergabung dalam suatu konfederasi kerajaan-kerajaan
Aceh pada 1511. Perkembangan politik Islam dalam masa
pemerintahan Kerajaan Samudera-Pasai dari sejak berdirinya
hingga empat generasi kemudian masih menggunakan sistem
politik kerajaan (1042-1210) di mana para rajanya bergelar
Maharaja (suatu sebutan yang berasal tradisi Hindu dari India).
Para maharaja yang memerintah pada masa itu adalah: (1)
Maharaja Mahmud Syah, berkuasa dari tahun 1042 hingga 1078;6
(2) Maharaja Mansur Syah, berkuasa dari tahun 1078 hingga
1133;7 (3) Maharaja Khiyasyuddin Syah, berkuasa dari tahun 1133
hingga 1155;8 dan (4) Maharaja Nurdin Sultan Al-Kamil,
berkuasa dari tahun 1155 hingga 1210.9
Gelar Maharaja dan gelar Syah yang telah melekat dengan
nama tiap raja merupakan gelar warisan yang sudah biasa dipakai
dimasa Kerajaan Peureulak sebelum menjadi kerajaan Islam, di
mana gelar Syah adalah merupakan gelar yang biasa dipakai oleh
para raja India dan sebelum kedatangan Islam dan juga mendapat
pengaruh Persia pra-Islam yang baru kemudian di taklukan pada
masa Khalifah Abu Bakar. Adapun gelar Syah dipakai oleh para
penguasa Kerajaan Peureulak terjadi ketika Pangeran Salman
yang merupakan keturunan Raja Sassanid, Persia menikahi Puteri
Peureulak sebelum datangnya Islam. Kemudian gelar keturunan
itu melekat pada setiap generasi dari anak keturunan Sulthan

5 M. Yunus Jamil, Tawarich Radja-Radja Keradjaan Aceh, (Banda Aceh: Ajdam

I Iskandar Muda, 1968), hlm. 9.


6 433-470 Hijriyah
7 470-527 Hijriyah
8 527-550 Hijriyah
9 550-607 Hijriyah
56 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

hingga kepada Mahmud Syah. Dan gelar Meurah yang merupakan


gelar bagi seorang raja sebelum Islam datang secara perlahan
tersisihkan dan tidak dipakai lagi setelah populernya gelar Syah.10
Perubahan politik yang cepat hampir menyerupai sebuah
revolusi internal, terjadi di masa pemerintahan Sultan
Malikussaleh. Sultan Malikussalehlah yang telah memungkinkan
terjadinya reformasi politik yang cukup signifikan. Dalam
pemerintahan sebelumnya sistem politik Islam belum
terintegrasikan dengan sempurna. Baru pada masa Sultan
Malikussaleh sistem politik yang berbentuk kerajaan diubah
menjadi sistem politik yang berbentuk kesultanan, dan ditandai
dengan pelantikan Sultan Malikussaleh oleh Syaikh Ismail
bersama Fakir Muhammad yang merupakan utusan khalifah.
Dengan adanya pelantikan Sultan Malikussaleh oleh utusan
Khalifah, maka Kesultanan Samudera-Pasai menjadi bagian yang
tak terpisah dari kekuasaan khilafah fil ardh yang bersifat
rakhmatan lil ‘aalamiin. Internasionalisasi hubungan ini dan
perubahan struktur politik yang demikian mendasar inilah yang
telah menempatkan Samudra-Pasai menjadi kerajaan dengan
jaringan diplomatik yang sangat luas.
Ekses perubahan format politik dari sistem kerajaan
kepada sistem kesultanan, yang dilakukan oleh Sultan
Malikussaleh, juga tampak dari adanya perubahan pemakaian
gelar yang biasa dipergunakan oleh para raja. Gelar yang biasa
dipakai baik pada masa Kerajaan Islam Peureulak atau pun pada
masa empat maharaja Samudera-Pasai sebelum Malikussaleh
memerintah adalah memakai gelar yang biasa dipakai oleh para
raja di Persia sebelum Islam menguasai Persia, yakni dalam
rangkaian nama gelar disambung dengan istilah Syah. Gelar
tersebut dalam masa Islam tidaklah dipakai khususnya di wilayah
Timur Tengah, sebagaimana Fatima Mernissi, menulis dalam
buku Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan; “.....… Adud al-Dawlah
mengambil dua langkah yang mengagetkan di mata setiap muslim yang

10 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 70-
75. Lhat juga Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam yang terlupakan (Bandung: Mizan,
1994), hlm. 114.
Aceh Masa Kerajaan Samudera Pasai 57

baik, dan itu menandai awal kejatuhan kekhalifahan sebagai penguasa


tertinggi. Pertama, dialah pemimpin muslim pertama yang menuntut gelar
Syahansyah, suatu penghinaan besar bagi Islam sebab itu merupakan gelar
para raja Persia pra-Islam,….11. Penghapusan gelar Syah pada masa
Sultan Malikussaleh merupakan pembersihan dari peristilahan
politik yang dipakai secara umum pada masa itu, dari semenjak
Kerajaan Islam Peureulak hingga empat periode pertama
pemerintahan Kerajaan Islam Samudera-Pasai, baru kemudian
dihilangkan penggunaannya pada masa pemerintahan Sultan
Malikussleh. Sultan ini juga membuat gebrakan yang sangat
mengejutkan dalam budaya politik kerajaan ketika itu: ia
mengganti namanya sendiri dari Meurah Silu ke Sultan
Malikussaleh. Gerakan pembersihan itu tentunya berkaitan
dengan penggunaan gelar Syahansyah yang dituntut oleh Adud al-
Dawulah sebagai bentuk penentangan atas kewibawaan khalifah.
Dalam penganugerahan gelar atas seseorang yang menjadi
raja di Aceh, jauh sebelum Islam datang telah ada kebiasaan atas
hal serupa itu. Gelar yang dipergunakan yakni Meurah yang
artinya raja, dan itu adalah bahasa Melayu Pase yang dikenal pada
masa itu. Gelar Meurah itu terjadi perubahan secara evolusi,
yakni ketika datangnya Pangeran Salman dari Persia ke negeri
Jeumpa sebelum Islam datang, dimana Pangeran Salman adalah
keturunan dari Dinasti Sassanid, dan secara kultural kemudian
Pangeran Salman menikah dengan Mayang Selundang anak
Meurah Negeri Jeumpa dan menetap di Peureulak, kemudian
setelah wafat Meurah Peureulak, lalu Pangeran Salman
menggantikannya untuk menjadi Meurah Peureulak. Dari hasil
perkawinannya dengan Mayang Selundang, kemudian melahirkan
empat orang putra yakni Syahir Nuwi, Syahir Tanwi, Syahir Tuwi
dan Syahir Duli, masing-masing empat pangeran tersebut
menjadi raja. Syahir Nuwi menggantikan Meurah Peureulak
(Pangeran Salman), Syahir Tanwi menjadi Meurah Negeri
Jeumpa, Syahir Puli menjadi Meurah Negeri Samarinda (Aceh
Pidie sekarang), dan Syahir Duli menjadi Meurah Negeri Indra

11 Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam yang terlupakan, (Bandung: Mizan, 1994),


hlm. 68.
58 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Purba.12 Kemudian pada masa Islam datang ke Peureulak, dalam


perkembangan selanjutnya anggota angkatan dakwah Nakhoda
Khalifah menikah dengan adik kandung Syahir Nuwi yang
merupakan Meurah Peureulak menggantikan ayahandanya
(Pangeran Salman), yakni Putri Makhdum Tansyuri, dari
perkawinan Ali bin Muhammad bin Ja’far Siddiq dengan Puteri
Peureulak tersebut melahirkan Sayyid Abdul Aziz Syah, dan
kemudian ia menjadi raja pertama dalam Kerajaan Islam
Peureulak, dengan gelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul
Aziz Syah.13 Dalam pemberian gelar kepada raja muslim pertama
di Kerajaan Puereulak juga telah dilekatkannya gelar Syah juga,
mungkin ini warisan dari Pangeran Salman yang telah lebih
dahulu melekatkannya pada putra-putranya, namun walau
demikian raja pertama Kerajaan Islam Peureulak adalah
keturunan dari Quraisy yang berpaham syi’ah.
Paham politik syi’ah yang telah merebak dalam masa awal
Islam di Indoneisa, baik pada masa Kerajaan Islam Peureulak
ataupun pada masa sesudah itu, menjadi peletak dasar bagi sistem
dan struktur politik yang sangat kuat pengaruhnya bahkan hingga
sekarang ini. Bahkan Kerajaan Islam Samudera Pasai yang
didirikan oleh Meurah Giri (Maharaja Mahmud Syah), (1042-
1078)14 yang merupakan keturunan dari Sultan Peureulak
kedelapan yang beraliran politik syi’ah, sudah memulai penerapan
paham dan ideologi politik Syi’ah ke dalam struktur politik
kerajaan. Demikian pula dengan paham politik sunni dari sejak
masa Kerajaan Islam Peureulak telah mengembangkan banyak
tradisi politik yang memberi landasan legitamasi atas kekuasaan
raja terutama yang direpresentasikan oleh Dinasti Makhdum.
Maka pada masa itu, dua kerajaan Islam yakni Peureulak
dan Samudera-Pasai merupakan representasi dari dua paham
politik yang berkembang di Indonesia. Setelah adanya perang

12 Ali Hasjmy, “Adakah Kerajaan Islam Perlak Kerajaan Islam Pertama di

Asia Tenggara”, dalam Ali Hasjmy, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia, (Bandung: al-Ma’arif, 1981), hlm. 154.
13 Hasjmy, “Adakah….”, Ibid., hlm. 156-157.
14 433-470 Hijriyah.
Aceh Masa Kerajaan Samudera Pasai 59

saudara di Peureulak yang menimbulkan pemisahan wilayah


kekuasaan syi’ah (Bandar Peureulak) dan wilayah kekuasaan sunni
(Bandar Khalifah), kemudian setelah adanya penyerangan
Sriwijaya dari Palembang, Peureulak berada dalam kekuasaan
politik sunni kembali, dan politisi syi’ah menguasai sebagaian besar
Samudera-Pasai. Pengaruh yang ditanam dua paham politik yang
saling bertentangan inilah yang telah membesarkan Samudra-
Pasai, suatu kerajaan yang unik. Sunni dan syiah dari dulu hingga
sekarang tidak pernah mencapai titik-temu yang menyebabkan
terjadinya integrasi, kecuali apa yang pernah terjadi di Samudra-
Pasai.
Dua kekuatan ideologi politik itu dimungkinkan masih
terus bergejolak hingga masa Malikussaleh. Pergolakan dua
ideologi politik itu merupakan imbas dari gejolak politik yang
terjadi di pusat kelahiran Islam, antara Arab dan Persia.
Sebagaimana ditulis Harun Nasution, “…fase kemunduran ini terjadi
antara tahun 1250-1500, ditandai oleh munculnya perbedaan antara
sunni dan syi’ah dan demikian juga konflik antara Arab dan Persia
bertambah tajam,….15 Seiring dengan adanya perubahan format
politik di Samudera-Pasai dari sistem kerajaan kepada sistem
kesultanan, maka dua paham politik itu tidak diabaikan oleh
Malikussaleh. Karena sangat potensial untuk terjadi konflik yang
akan berdampak pada perpecahan bangsa Aceh secara umum
dan khususnya bagi Islam, maka Malikussaleh berusaha
menyatukan titik-titik perbedaan bahkan hingga yang paling
krusial sekalipun. Kita belum pernah menemukan ada seorang
penguasa politik Islam yang telah dengan demikian dahsyat
berhasil menyatukan dua kekuatan ideologis yang yang
kontradiktif ini. Kemudian untuk mencapai tujuan jangka
panjang yakni penyatuan Islam secara kaffah, yaitu bersatunya dua
paham politik dan dua golongan ummat, maka Malikussaleh
mengambil langkah budaya politik yang sangat dramatis. Entah
bagaimana hal itu terjadi, antara dunia politik dan romantisme,
secara kultural ia menikahi Putri Ganggang Sari, seorang Puteri

15 Lihat Irsjad Djuwaeli, Pembaruan Kembali Pendidikan Islam, (Jakarta:


Yayasan Karsa Utama Mandiri Mathla’ul Anwar, 1998), hlm. 33.
60 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Kerajaan Islam Peureulak yang beraliran Syiah, anak dari Sulthan


Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II.
Secara umum, langkah-langkah reformasi dan perubahan
politik yang dilakukan oleh Sultan Malikussaleh untuk kemajuan
bangsa Aceh adalah: (1) perubahan format politik dari sistem
kerajaan menjadi sistem kesultanan, di mana format politik
kesultanan adalah manifestasi dari keterkaitan kekuasaan dengan
khalifah fil ardh (bayangan Allah di muka bumi), sehingga
kesultanan itu hanya merupakan bagian dari kekuasaan Khalifah
yang tingkatan kepemimpinannya adalah setara dengan gubernur
dalam sebuah kekuasaan sekuler. Akan tetapi sekalipun hanya
setingkat gubernur militer, kesultanan mempunyai hak untuk
mengadakan hubungan luar negeri secara otonom dan memiliki
kewenangan untuk perluasaan wilayah (politik ekspansi). Maka
orientasi perubahan format politik ini adalah wujud dari tauhidul
mulkiyah (kesatuan kekuasaan). (2) Penyatuan dua paham politik,
yakni; paham politik syi’ah dan paham politik sunni, setidaknya
berada dalam satu kendali kekuasaan, dan penyatuan dua paham
politik ini merupakan manifestasi dari tauhid rububiyah (kesatuan
hukum), perwujudan ini merupakan pengejawantahan suatu
firman Allah16 yang merupakan tanggung jawab setiap pemimpin.
(3) Setelah dua paham politik disatukan, tentunya berdampak
positif kepada bersatunya dua golongan ummat, yakni golongan
syi’ah dan golongan sunni, maka ini merupakan manifestasi dari
tauhidul ummat atau tauhid uluhiyah (kesatuan ummat). Dengan tiga
langkah reformasi ini, maka Kesultanan Samudera-Pasai tumbuh
dan berkembang menjadi suatu kekuasaan yang memiliki
bargaining (nilai tawar) atas kekuasaan bathil yang mencoba untuk
berhadapan dengan Samudera-Pasai. Wujud penyatuan
kekuasaan (tauhidul mulkiyah) baru dapat dimanifestasikan di masa
pemerintahan Sultan Malikul Dhahir, yakni anak yang dilahir dari
dua keturunan Sultan (Peureulak dan Samudera-Pasai), dan itu
merupakan buah dari “investasi politik” yang ditanamkan Sultan
Malikussaleh.

16 Al-Qur’an, Surah al-Anbiya (21), ayat 73.


Aceh Masa Kerajaan Samudera Pasai 61

Sebagai bagian dari struktur khalifah fil ‘ardh yang bersifat


internasional, maka pelantikan Sultan Malikussaleh terjadi pada
masa Daulat Abbasiyah (750-1517), tepatnya pada masa Khalifah
al-Mustanshir Billah II (1261-1262), di Baghdad.17 Periode
Kesultanan Samudera-Pasai ini bertahan hingga beberapa
generasi dan bahkan pada masa kekuasaan Sultan Malikul
Dhahir. Setelah Kerajaan Peureulak disatukan olehnya menjadi
bagian dari kekuasaan Kerajaan Samudera-Pasai —setelah
wafatnya raja Pureulak yang terakhir yakni Sultan Malik
Abdulaziz yang berkuasa atas Kerajaan Islam Peureulak pada
1263-128918— kekuasaan ini pun masih integral dengan sistem
politik yang lebih besar yang lahir kemudian. Sultan Malikul
Dhahir adalah anak dari Sultan Malikussaleh hasil perkawinan
dengan Putri Ganggang Sari Putri Raja Pureulak yakni Sultan
Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II yang telah
memungkinkan terjadinya kesinambungan politik Islam di Aceh.
Kemudian setelah masa kekuasaan Malikah Nihrasiyah Rawangsa
Khadiyu (1400–1427), Kesultanan Samudera-Pasai meleburkan
diri dalam Kerajaan Aceh Raya Darussalam pada awal abad ke-16
atau tepatnya pada tahun 1524.
Dari periode Sultan Malikussaleh hingga Sultan Mahmud
Malikuzzahir, dapatlah disebut sebagai periode orde baru
Samudra-Pasai. Sultan-sultan yang memerintah Kesultanan
Samudera-Pasai pada periode itu adalah: (1) Sultan Malikus Saleh,
(1261-1289).19 (2) Sultan Muhammad Malikul Dhahir, (1289-
1326).20 (3) Sultan Ahmad Malikud Dhahir, (1326-1350).21 (4)
Sultan Zainuddin Malikul Dhahir, (1350-1394).22 (5) Sultan
Zainal Abidin (1383-1400). (6) Malikah Nihrasiyah Rawangsa

17 Lihat al-Wa’ie, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Media Politik dan Dakwah,
2004).
18 662-692 Hijriyah.
19 659-688 Hijriyah.
20 688-725 Hijriyah.
21 725-750 Hijriyah.
22 750-796 Hijriyah.
62 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Khadiyu, (1400-1427).23 (7) (Belum diketahui) 1427 – 1513. (8)


Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1513-1524).24
Kerajaan-kerajaan inilah yang menjadi paragon of beauty bagi
rakyat Aceh sekarang ini. Pada waktu pemerintahan Sultan
Malikussaleh banyak terjadi hubungan diplomatik dari berbagai
penjuru dunia. Pertama, sebagaimana tercatat dalam sejarah,
kedatangan seorang perutusan dari Syarief Mekkah. Syarief
Mekkah adalah rombongan yang diketuai oleh Syekh Ismail al-
Zarfy. Kedatangan ini merupakan fact finding tentang adanya
sebuah Kerajaan Islam yang telah mempunyai lembaga-lembaga
negara yang teratur dengan Angkatan Perang, Angkatan Laut dan
Angkatan Darat yang kuat. Samudra-Pasai, oleh karenanya dapat
disebut sebagai “negara Islam” pertama di Asia Tenggara.
“Negara Islam” Samudera-Pasai memiliki kabinet, Mahkamah
Agung dan perwakilan luar negeri. Lembaga Kabinet dipimpin
oleh seorang Perdana Menteri bernama Sri Kaya Said
Khiatuddin. Sedangkan Mahkamah Agung diketuai oleh seorang
Mufti Besar (yang bergelar Syaikul Islam) yang bernama Said Ali
bin Ali al-Makarany. Dan Kementerian Luar Negeri di mana
yang menjadi menterinya adalah Bawa Kaya Ali Hisamuddin al-
Malabary.
Integrasi politik yang penting juga terjadi dalam masa
kekuasaan orde baru Samudra-Pasai. Dalam masa pemerintahan
Sultan Muhammad Malikul Dhahir (1289-1326), dibentuklah
suatu konfederasi kerajaan-kerajaan Islam yang terdiri dari
Kerajaan Islam Peureulak, Kerajaan Islam Beunua (Tamiang) dan
Kerajaan Islam Samudera-Pasai.25 Ibnu Batutah pernah
berkunjung ke Kerajaan Pasai dan menuliskan catatan bahwa
Kerajaan Samudera Pasai diperintahkan oleh seorang raja yang
sangat alim lagi sholeh. Kerajaan ini ramai didatangi oleh para
pendatang dari berbagai penjuru dunia saat itu untuk berdagang

23 801-831 Hijriyah.
24 Uka Tjandrasasmita, “Peranan Samudera Pasai dalam Perkembangan
Islam di Beberapa Daerah Asia Tenggara”, dalam Panitia PKA-3, Aceh dalam
Retrospeksi dan Refleksi Budaya Nusantara, (Banda Aceh, Intim, 1986), hlm. 70.
25 M. Yunus Jamil, Tawarich… Op.cit., hlm.15-16.
Aceh Masa Kerajaan Samudera Pasai 63

dan belajar ilmu agama.26 Ilmu dan budaya hanya memungkinkan


untuk berkembang dalam masa damai dan didukung oleh
struktur politik yang menjamin hak setiap orang untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan dan mengembangkannya secara
bebas.
Dinamika dakwah juga terjadi dengan sangat gempita.
Semasa Kerajaan Samudera-Pasai juga mengirim para
pendakwahnya keluar negeri untuk menyebarluaskan agama
Islam. Sidi Abdul Aziz berangkat ke Malaka sehingga Raja
Parameswara memeluk agama Islam dan menggantikan namanya
menjadi Muhammad Syah dan anaknya Iskandarsyah yang
kemudian dikawinkan dengan Puteri Sultan Zainal Abidin dari
Samudera Pasai. Para muballigh Samudera Pasai menuju Kedah
sehingga Raja Pra Ang Madan Angsa memeluk Islam dan
menggantikan namanya menjadi Muzlafaz Syah. Menurut
Windstedt, di Trengganu (Malaysia) terdapat sebuah batu
bersurat yang menyebutkan bahwa pengembangan Islam di sana
datang dari Pasai dalam abad ke-14.27 Islam masuk melalui
perdagangan dan berkembang melalui dakwah yang bermoral
adalah suatu kenyataan historis penting sebagaimana terlihat di
Samudra-Pasai.
Dakwah Islam menembus batas-batas geografis, budaya
dan politik dan menyeruak terus menunju jantung kekuasaan
Hindu di Jawa. Berangkat dari Samudra-Pasailah agama Islam
mengalami kemajuan yang pesat dan berani. Penyebaran agama
Islam ke tanah Jawa juga dilakukan oleh para muballigh dari Pasai.
Fatahillah (Falatehan) atau disebut juga Sunan Gunung Jati,
kelahiran Pasai tahun 1490, kemudian berangkat ke Arab untuk
belajar, dan sekembalinya ia menuju Banten. Selama di Banten
inilah ia membantu Kerajaan Demak mengalahkan Sunda Kelapa
(Tanjung Priok). Setelah mengalahkan Kerajaan Sunda, ia
kemudian mendirikan kota Jayakarta (sekarang Jakarta). Pengaruh

26 Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: Mohammad Said, 1961),


hlm. 55.
Lihat R.O. Winstedt, “The Malay Annals or Sejarah Melayu”, Journal of the
27

Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, 16, III, (1938).


64 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

penguasa Islam Aceh sangat besar bagi perkembangan Islam di


Jawa, khususnya di wilayah Jayakarta (Jakarta), sekarang dapat
ditemukan bukti sejarah bahwa penyebaran agama Islam di
Cirebon dilakukan oleh Maulana Ishak, di Gresik oleh Maulana
Malik Ibrahim, di Jawa Timur oleh Sunan Ampel yang
kesemuanya berasal dari Pasai.
Penguatan politik secara internal juga terjadi secara sangat
perkembangan yang sangat maju di wilayah-wilayah sekitar
Samudra-Pasai, yang kini disebut dengan Aceh. Di samping
Kerajaan Peureulak dan Samudera-Pasai, di sekitar kota Sigli
sekarang telah berdiri Kerajaan Pedir. Kerajaan ini juga
mempunyai peranan penting pada saat itu terutama dalam
perdagangan rempah-rempah dan sutera. Di Lamno juga telah
ada sebuah Kerajaan kecil yang bernama Kerajaan Daya.
Kerajaan ini telah sering di datangi oleh para tamu asing yang
ingin berdagang rempah-rempah. Keturunan Raja Daya ini masih
ada sampai sekarang, dan secara rutin melakukan Upacara
Seunuleung (menyuap nasi) kepada keturunan mereka pada setiap
hari raya Iedul Adha yang dapat disaksikan oleh umum.
Pengaruh Islam yang sangat besar inilah yang menjadi bukti
hidup tentang bagaimana para penguasa berkonsentrasi dalam
dakwah.
Ketika Kesultanan Samudera-Pasai mulai melemah sekitar
abad ke-16, kemudian bangkit Kerajaan Aceh Raya Darussalam
ke permukaan dan mempersatukan kerajaan-kerajaan yang ada di
Aceh dalam satu panji kesultanan yaitu Kerajaan Aceh Raya
Darussalam. Kerajaan Aceh Darussalam, pada awalnya adalah
merupakan Kerajaan Indra Purba yang Ibukotanya Lamuri,
setelah raja Indra Purba mangkat kemudian Sultan Johan Syah
sebagai menantu raja menggantikan kedudukan ayah mertuanya
menjadi raja, Sultan Johan Syah naik tahta pada 1205. Kemudian
pada masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah panji
persatuan untuk menghadapi Portugis di dengungkan, hingga
kemudian kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Aceh bersatu
dalam satu wadah politik, yakni Kerajaan Aceh Raya Darussalam.
Kelemahan fisik dan militer suatu negara, adalah kekuatan yang
Aceh Masa Kerajaan Samudera Pasai 65

besar untuk terjadinya integrasi politik dan militer yang lebih


besar. Kerajaan Islam Aceh Raya Darussalam maju pesat pada
masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah (1511-1530), dan
pada masa pemerintahann Sultan al Kahar (1539-1571), namun
mencapai puncak kejayaannya masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda (1606-1636). Kejayaan ini tidak akan mungkin
terjadi seandainya Samudra-Pasai tidak menanamkan investasi
politik yang besar dengan reformasi dan perubahan internal yang
luar-biasa.
Samudera Pasai, baik sebelum adanya perubahan dari sistem
politik kerajaan maupun setelah adanya perubahan sistem politik
dari sistem kerajaan yang mendapat pengaruh Hindu menjadi
kesultanan. Dalam perspektif Islam klasik di mana kajiannya
berpusat pada studi atas hadist-hadist, dapatlah kita melihat
bahwa intregrasi adalah untuk menghindari perpecahan. Dan
perpecahan adalah suatu yang tidak bisa dihindari, seperti ajal
yang juga tidak bisa dihindari setiap manusia yang hidup. Dalam
konteks perspektif hadist, Kesultanan Peureulak dan atau semua
kerajaan dan kesultanan yang tumbuh dan berkembang di Aceh,
adalah bagian dari evolusi kekuasaan politik yang tidak bisa
dihindari.
Bila dikaitkan dengan fase perjalanan pertumbuhan dan
perkembangan sistem politik sebagaimana yang diprediksikan
Rasululllah, kerajaan-kerajaan yang pernah muncul dan besar
hingga menjadi dinasti adalah tergolong kepada sistem politik
mulkan‘adhon, sekalipun tidak didapati pelanggaran terhadap
sistem sebagaimana di masa Muawiyah ataupun di masa Yazid
bin Muawiyah dan lain sebagainya. Peureulak setelah Islam
membumi dalam wilayahnya, kemudian dari sejak adanya
reformasi kemudian Peureulak menjadi sebuah negara yang
berbentuk kesultanan, dan gelar bagi orang nomor satunya yang
dipergunakan bukan raja,28 melainkan sultan dan kerajaannya
disebut dengan istilah kesultanan. Gelar sultan ini terus berlanjut
hingga masa berakhirnya Kesultanan Peureulak pada masa Sultan

28 Istilah raja berasal dari bahasa Gujarat (India) yang berarti orang yang
dimuliakan, lazim disematkan pada nama kepala kerajaan.
66 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Makhdum Alaidin Malik Abdulaziz Syah Johan Berdaulat, yang


berkuasa dari tahun 1263-1289,29 ia berfaham politik sunni,
demikian pula yang berfaham politik syi’ah yaitu sultan Alaiddin
Saiyid Maulana Mahmud Syah, yang memerintah dalam tahun
976-988.30 Pada masa Kesultanan Peureulak baik yang berpaham
politik sunni maupun yang berfaham politik syi’ah tetap
menggunakan gelar sultan.
Akan tetapi lain halnya dengan Samudera-Pasai, di mana
bentuk pemerintahan Samudera-Pasai dari sejak didirikannya
pada tahun 1042 adalah berbentuk kerajaan dan rajanya bergelar
Maharaja, namun sistem pemerintahannya adalah sistem
pemerintahan Islam, di mana pada Kerajaan Samudera-Pasai,
hukum Islam dijadikan sebagai public law.
Memperhatikan kepada latar belakang berdirinya Kerajaan
Samudera-Pasai, di mana kerajaan itu berdiri atas usaha seorang
Meurah Khair yang berasal dari keluarga Sultan Mahmud
Peureulak, yakni sultan Peureulak kedelapan dari aliran politik
syi’ah. Maka Kerajaan Samudera-Pasai adalah merupakan kerajaan
Islam yang berfaham politik syi’ah hingga beberapa generasi
kemudian. Maka pada masa itu, di Aceh ada dua kerajaan besar
yakni Kesultanan Peureulak yang berfaham politik sunni31 dan
Kerajaan Samudera-Pasai yang berfaham politik syi’ah.
Kelanjutan Kerajaan Samudera-Pasai di bawah kendali
seorang reformer yakni Sultan Malikussaleh, di mana pada masa
beliau diadakan usaha penyatuan dua faham politik, yakni sunni
yang menguasai Peureulak, dan syi’ah yang menguasai Samudera-
Pasai. Usaha penyatuan ini bukan hanya dengan pendekatan
politik, akan tetapih dilakukan oleh Malikussaleh dengan
pendekatan kultural juga, di mana ia menikahi putri seorang
Sultan Peureulak yakni Putri Ganggang Sari anak Sultan
Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II. Hasil dari

29 662-692 Hijriyah.
30 365-377 Hijriyah.
31 Faham politik kembali menguasai seluruh Peureulak, setelah Sultan
Peureulak kedelapan yang berpaham Syi’ah syahid dalam menghadapi serangan
Kerajaan Sriwijaya, Palembang.
Aceh Masa Kerajaan Samudera Pasai 67

perintisan ini kemudian baru menuai hasil pada masa generasi


lebih lanjut, yakni pada masa Sultan Muhammad Malikul Dzahir
yang memerintah dari tahun 1289-1326,32 di mana pada masa
beliaulah Kesultanan Peureulak disatukan, sehingga Peureulak
termasuk bagian dari wilayah Kesultanan Samudera-Pasai.
Sultan Malikussaleh, selain melakukan aksi reformasi atas
dua faham politik yang berjalan atas dua kerajaan, juga beliau
melakukan reformasi kedalam tubuh Kerajaan Samudera-Pasai
itu sendiri, di mana sebelum beliau berkuasa, bentuk kekuasaan
yang berlaku di Samudera-Pasai adalah kerajaan dan kepala
negara serta kepala pemerintahannya bergelar maharaja. Baru
kemudian pada masa beliaulah kerajaan berubah bentuk menjadi
kesultanan dan kepala negaranya bergelar sultan dan
pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri, dan
institusi angkatan perang serta mahkamah agung tetap berada
dalam kendali sultan sebagai kepala negara.
Ada hal yang paling menonjol yang perlu dicermati pada
Kerajaan Samudera-Pasai, yakni di masa sebelum Malikussaleh
berkuasa dan sejak Malikussaleh berkuasa hingga pada generasi
penggantinya. Pada masa kekuasaan sebelum Sultan
Malikussaleh, kepala negaranya bergelar maharaja dan pemakian
gelar ini dari sejak Maharaja Mahmud Syah (Meurah Giri) hingga
tiga raja penggantinya, dan sejak kepala negaranya dipegang oleh
Sultan Malikussaleh, kepala negaranya bergelar sultan. Meminjam
pertanyaan yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra, dalam
pengantar buku Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam; “….apakah
pemakaian gelar sultan merupakan upaya penerapan sistem
politik Islam di wilayah-wilayah tertentu di Asia Tenggara ?.33
Perubahan pemakaian gelar pada Kerajaan Samudera-Pasai,
dalam sudut pandang tauhid, jawaban Azyumardi Azra, atas
pertanyaannya sudahlah tepat, "...motifasi kesalehan boleh jadi
terdapat dalam pengambilalihan istilah itu,…34 Dalam konsep

32688-725 Hijriyah.
33 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, (terj.), (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1994), hlm. xxi.
34 Ibid., hlm. xxi.
68 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

tauhid, yang berhaq menyandang gelar raja atau malik dalam


bahasa Islam (al-Qur’an) hanyalah Allah SWT, terlebih dengan
istilah maharaja dan jika ada makhluk yang menggunakan istilah
malik, tanpa dirangkai dengan kata lainnya adalah syirik35. Istilah
malik adalah tergolong asma’ul husna, yakni nama-nama lain dari
Allah SWT. Bernard Lewis menyatakan: “…sebutan malik
seringkali muncul sebagai salah satu nama suci yang Ilahi, dan
dengan demikian punya nilai kesucian tertentu…”36 Dan
penggunaan istilah raja atau malik dan syah di masa pra-Islam
berkonotasi negatif, sebagaimana Bernard Lewis, menyatakan;
“....pada abad-abad pertama sejarah Islam, mempertentangkan
kerajaan dengan kekhalifahan adalah hal yang lumrah. Sementara
kekhalifahan merepresensikan pemerintahan Islam di bawah
hukum Allah. Kerajaan diartikan sebagai kekuasaan individu yang
sewenang-wenang tanpa landasan dan sanksi hukum serta
keagamaan…”37
Upaya reformasi total (pembersihan) yang dilakukan oleh
Malikussaleh hingga pada penghapusan gelar syah yang melekat
pada setiap nama raja Samudera-Pasai sebelum ia berkuasa, di
mana gelar syah merupakan gelar keturunan dari Persia.
Pemakaian gelar ini sudah melekat pada raja-raja di Aceh
sebelum Islam datang, karena Kerajaan Peureulak sebelum
menjadi kerajaan Islam telah dikepalai oleh seorang raja dari
keturunan Dinasti Sasanid (Persia), yaitu Pangeran Salman yang
telah menikahi putri raja Peureulak. Alasan penghapusan gelar
tersebut tentunya mengacu kepada pemurnian Islam secara
budaya, di mana “kemunculan kembali gelar-gelar Persia kuno
seperti shah atau syah dan shahanshah jelas merupakan bagian dari
kebangkitan kembali secara sadar kebudayaan Iran”, demikian
tulis Bernard Lewis. 38

35 Penggunaan asma al-husna bagi makhluk, untuk menghindari syirik maka

ia harus dirangkai dengan kata lain yang menunjukkan arti ketaatan kepada pemilik
asma al husna, misalnya: Abdul Malik.
36 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, Op.cit., hlm. 77-78.
37 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, Op.cit., hlm. 78.
38 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, Op.cit., 1994, hlm. 80.
Aceh Masa Kerajaan Samudera Pasai 69

Pemakaian istilah politik tentunya bersifat baku, sepanjang


sistem politik itu dapat dipertahankan dari suatu perubahan
sistem poitik lainnya. Sebagai misal, penggunaan gelar presiden
bagi suatu kepala negara yang menggunakan sistem politik
demokrasi (republik), atau dalam sistem politik monarki, kepala
negaranya bergelar raja. Istilah raja dalam bahasa lokal Aceh,
persamaannya adalah meurah, dan dalam bahasa Arab, adalah
malik dan dalam bahasa Persia, adalah syah.
Menurut kitab lama Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja
Pasai, bahwa seorang penyebar Islam ialah seorang nahkoda
Syeikh Ismail, secara sengaja dari Mekah menuju Sumatera
untuk mengukuhkan Agama Islam bersama Meurah Silu,
kemudian menjadi Sultan Malikussaleh raja Pasai yang
pertama”39. Istilah sultan yang melekat kepada Malikussaleh
adalah merupakan gelar yang dilekatkan oleh Syaikh Ismail,
sebagaimana halnya penguasa Banten Abdu al-Qadir pada 1638
juga menerima gelar sultan dari syarif Mekah setelah mengirim
utusan khusus kesana. Kemudian Pangeran Rangsang penguasa
Mataram, juga tak mau ketinggalan mengirim utusan pada 1641
kepada syarif40 Mekkah untuk meminta agar bersedia juga
menganugerahkan gelar sultan kepadanya.41 Penggunaan istilah
sultan ini untuk pertama kalinya telah dipergunakan oleh
Khalifah Harun al-Rasyid.42
Memperhatikan kepada silsilah Kerajaan Samudera-Pasai,
sebenarnya Malikussaleh adalah bukan raja pertama dalam
Kerajaan Samudera-Pasai, akan tetapi beliau adalah sultan
pertama dalam Kesultanan Samudera-Pasai. Dikatakan sebagai
sultan pertama karena dalam Kerajaan Samudera-Pasai dari tahun
1042 hingga 1210 sistem pemerintahan yang berlaku di
Samudera-Pasai adalah berbentuk kerajaan, dan terbentuknya

39 Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, Monografi Daerah Istimewa Aceh,


(Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, 1976), hlm. 53.
40 Syarif (bahasa Arab) yang berarti penguasa.
41 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam…., Op.cit., hlm. xxi.
42 Khalifah Harun al-Rasyid memerintah dari tahun 167-180 Hijriyah atau

dalam tahun masehi 786-809).


70 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Kerajaan Samudera-Pasai adalah kelanjutan dari Kesultanan


Peureulak dari sultan kedelapan yang beraliran syi’ah dari
keturunan Sultan Mahmud, di mana raja-raja yang berkuasa pada
waktu itu hingga empat keturunan, seperti yang telah dituliskan
di atas.
Di mana yang menjadi ciri khusus adalah mulkan ‘adhon
(sistem kerajaan) yang paling menonjol adalah yang berkenaan
dengan suksesi kepemimpinan, dimana seluruh Sulthan dan Raja-
raja yang berkuasa adalah kekuasaan berasal dari kekuasaan yang
diberikan secara turun temurun kepada putra-putra Mahkota.
Termasuk didalamnya Sulthan Malikussaleh, sekalipun ia bukan
dari keturunan Maharaja Nurdin Sultan al Kamil (1155-1210),43
namun suksesi setelah ia jatuh pada putra Mahkota yakni Sulthan
Malikul Dhahir.
Secara politik, kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan
yang tumbuh dan berkembang di Aceh pada abad ke-9, tidak
mengalami hubungan politik dengan masa pemerintahan
Khalifah Rasyidah terlebih dengan masa nubuwah. Karena
tumbuhnya kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan Islam
jauh setelah masa itu. Kecuali dalam hal hubungan dakwah, di
mana dakwah Islamiyah telah berkembang dari sejak abad
pertama Hijriyah hingga sekarang dan Samudra-Pasai telah
menunjukkan kontribusinya. Maka pengalaman umat Islam
Bangsa Indonesia (Aceh) dalam hal hubungan politik, adalah
hanya pada masa berkembangnya sistem poltik mulkan ‘adhon dan
mulukal jabbar. Dan adapun fase berkuasanya mulukal jabbar di
Indonesia, yakni ketika Portugis dan atau Belanda berkuasa atas
Indonesia. Dari sini evolusi kekuasaan masih belum berakhir,
masih menunjukkan proses dinamika internal dan
eksternalnya.***

43 550-607 Hijriyah.
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 73

Bab 4
SISTEM PEMERINTAHAN
SAMUDERA-PASAI

Dari Raja ke Sultan


Dalam bab ini akan diuraikan berkenaan dengan peralihan
sistem kerajaan kepada sistem kesultanan dalam pemerintahan
Samudera-Pasai. Gelar yang melekat pada seorang pemimpin
dalam suatu pemerintahan bukanlah suatu gelar tanpa makna,
juga bukan suatu sebutan yang ada dengan sendirinya. Suatu gelar
atau sebutan yang melekat pada orang nomor satu dalam suatu
struktur yang hirarkhis itu pasti memiliki latar belakang historis
dan politis. Seorang raja atau presiden, atau the big man dalam
masyarakat suku tertentu tentunya memiliki gelar yang disandang,
dan sebutan gelar tersebut memiliki peran, kekuasaan dan posisi
tertentu di dalam masyarakat yang hirarkhis dan struktural atau
bahkan yang classless sekalipun. Istilah-istilah gelar yang melekat
pada orang nomor satu dalam pentas politik kekuasaan cukuplah
beragam, dan keberadaannya sangat dipengaruhi oleh suatu
perubahan sistem politik yang terjadi dalam wilayah politik itu
sendiri, seorang kepala negara atau kepala pemerintahan. Istilah-
istilah gelar yang cukup populer dalam kalangan praktisi politik
atau dalam kalangan akademisi yang berkutat dengan studi
politik, adalah; raja, ratu, maharaja, khalifah, imam, presiden,
malik, malikah, sultan, sultanah, amir, syah, syahansyah, dsb.
Gelar-gelar tersebut adalah gelar-gelar politik untuk orang nomor
satu dalam suatu wilayah kekuasaan yang dikuasainya sesuai
dengan sistem politik yang diberlakukan dalam wilayah politik
tersebut.
Dalam bahasa politik Islam, Bernard Lewis, menyatakan;
“...bahasa Persia dan Turki mempunyai andil besar dalam
memperkaya bahasa politik Islam…”1 Pada pentas politik di

1 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, (terj.), (Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama, 1994), hlm. xxi
74 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Aceh sebelum Islam berkuasa, gelar orang nomor satu dalam


suatu kekuasaan adalah meurah, kemudian pada perkembangan
politik lebih lanjut pada masa Kerajaan Peureulak sebelum
menjadi kerajaan Islam, orang nomor satunya bergelar syah. Gelar
syah dipakai oleh para penguasa Kerajaan Peureulak dimulai pada
periode ketika Pangeran Salman yang merupakan keturunan raja
Dinasti Sassanid (Persia), menikahi putri Peureulak sebelum
datangnya Islam. Kemudian gelar keturunan itu melekat pada
setiap generasi dari anak keturunan para raja hingga kepada
Mahmud Syah. Dan gelar meurah yang merupakan gelar bagi
seorang raja sebelum Islam datang secara perlahan di Aceh
tersisihkan dan tidak dipakai lagi setelah populernya gelar syah.2
Gelar syah tersebut adalah gelar yang biasa dipakai pada zaman
Persia kuno. Terminologi syah masih terlalu asing bila diadopsi
oleh penguasa-penguasa Muslim. Akan tetapi, persamaan kata
syah yang dalam bahasa Arab disebut dengan istilah malik, dapat
diterima.3
Pada perkembangan politik lebih lanjut di Kerajaan
Peureulak, seiring dengan terjadinya peralihan sistem politik dari
sistem politik pra-Islam kepada sistem politik Islam, sebutan
gelar syah berubah menjadi sultan, dan dalam perkembangannya
gelar syah tidak lagi dipakai sebagai terminologi politik untuk
dilekatkan kepada orang nomor satu, yang memegang kekuasaan
setelah terjadinya peralihan sistem politik. Akan tetapi, khususnya
di beberapa daerah di Indonesia, gelar syah masih sering
disematkan pada nama belakang setiap orang yang memiliki
darah bangsawan dari pangeran Salman yang sudah dianggap
sebagai bangsa Aceh yang berasal dari Dinasti Sassanid (Persia).
Sebagai upaya pelestarian bahasa, gelar itu melekat lebih lanjut
setelah Aceh Darussalam. Gelar bangsawan itu mendapatkan
peneguhan kembali pada bahasa lokal Aceh yakni Teuku. Akan
tetapi di belahan dunia lain ada juga yang bersikeras dalam hal

2 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam …., Op.cit., hlm. 70-75, lihat juga Fatima
Mernissi, Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 114.
3 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam ….., Op.cit., hlm. 80.
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 75

melestarikan tradisi masa lampau itu hingga kepada tataran yang


sama tinggi sebagaimana pada masa jaya sebelumnya. Seperti
Adud Ad-Dawlah,4 yang merupakan penguasa kedua dari Dinasti
Buyiah yang beraliran syi’ah dan pemimpin Muslim pertama yang
menuntut gelar syahansyah, suatu gelar yang dianggap banyak
kalangan ulama sebagai penghinaan besar bagi Islam, sebab itu
merupakan gelar para raja Persia pra-Islam.5 Artinya, revolusi
atau pembalikan nilai-nilai lama oleh nilai-nilai baru di dalam
tradisi dan sejarah Islam tidak sepenuhnya terjadi secara kasar.
Tidak semua yang di masa lalu adalah jelek, sehingga tidak
semuanya harus dibuang, sebab masih ada hal-hal yang
dipandang baik untuk terus dipergunakan dan dipertahankan.
Gelar-gelar politik orang nomor satu sebagaimana yang
disebutkan di atas, kesemuanya pernah dipakai dan populer di
Indonesia. Jika dikaitkan dengan analisis bahwa setiap gelar
politik bagi pemimpin dalam sebuah kekuasaan adalah memiliki
kaitan erat dengan perubahan suatu sistem politik, maka
Indonesia memiliki khazanah sistem politik yang cukup kaya
sebagai suatu alternatif sistem yang lebih baik. Dari istilah-istilah
gelar politik yang disematkan pada diri pemimpin dalam suatu
kekuasaan yakni: raja, ratu, maharaja, khalifah, imam, presiden,
malik, malikah, sultan, sultanah, amir, syah, syahansyah, jika
diklasifikasikan dalam bentuknya hanyalah terbagi dua, yakni: (1)
gelar politik maharaja, khalifah dan syahansyah adalah gelar politik
yang sejajar secara substansial. Dan secara essensial dapat
dikatakan sama bila dilihat dalam perspektif kekuasaan, yakni
sama-sama sebagai sebuah simbol kekuasaan tertinggi politik
dalam menguasai kekuasaan-kekuasaan kecil setingkat negara. (2)
Gelar politik raja, ratu, imam, malik, malikah, sultan, sultanah, amir,
meurah dan syah secara esensi dan substansi memiliki makna yang
sama bila dilihat dalam perspektif kekuasaan, yakni sama-sama

4 Adud Ad-Dawlah, adalah penguasa kedua dari Dinasti Buyiah yang beraliran

syi’ah. Lebih lanjut baca Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan, Op.cit.,
hlm.62-69.
5 Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan, Op.cit., hlm.68.
76 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

sebagai penguasa yang berada dalam sebuah kekuasaan yang


lebih tinggi atau ia berdiri secara independen.
Untuk istilah-istilah tertentu dari gelar politik tersebut di
atas, pemakaiannya bahkan tidak lagi menjadi eksklusif
digunakan untuk menunjuk penguasa-penguasa, tapi secara lebih
luas digunakan untuk gelar putra-putra mahkota, bahkan untuk
putri-putri mahkota.6 Secara kultural dalam perkembangannya
telah mengalami perubahan esensi, misalnya istilah amir. Bernard
Lewis, menyatakan: “…seorang amir adalah seseorang yang
memerintah, seorang komandan militer, seorang gubernur
propinsi, atau ketika posisi kekuasaan diperoleh atas dasar
keturunan seorang putra mahkota….”7 Demikian pula dengan
istilah sultan. Akan tetapi gelar-gelar politik lainnya masih tetap
eksis sebagaimana esensi dan substansinya, misalnya istilah
khalifah, raja, dan malik.
Melekatnya gelar pada seorang kepala negara atau kepala
pemerintahan secara umum sudah pasti sangat terkait erat
dengan adanya sistem pemerintahan yang berlaku dalam
pemerintahan tersebut, sesuai dengan yang disebutkan dalam
setiap konstitusi yang dipakai. Sistem pemerintahan Samudera-
Pasai, sebelum Sultan Malikussaleh berkuasa, adalah sistem
pemerintahan kerajaan dan sistem itulah yang dipakai pada awal
berdirinya Samudera-Pasai. Secara historis Samudera-Pasai
didirikan oleh seorang Meurah Khair yang memiliki akar
keturunan dari Sultan Mahmud Peureulak kedelapan yang
berfaham politik syi’ah. Sebagai bukti dari sistem itu pernah
berjalan adalah dengan adanya empat raja yang berkuasa atas
Samudera-Pasai bergelar maharaja, yakni: (1) Maharaja Mahmud
Syah (Meurah Giri) 1042-10788; (2) Maharaja Mansur Syah 1078-

6 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, Op.cit., hlm. 74.


7 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, Op.cit., hlm. 71.
8 433 hingga 470 Hijriyah.
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 77

11339; (3) Maharaja Khiyasyuddin Syah 1133-115510; dan (4)


Maharaja Nurdin Sultan al-Kamil 1155-1210.11
Berdirinya Kerajaan Samudera-Pasai merupakan asersi
politik dari kalangan penguasa syi’ah yang sudah lama tidak
mengendalikan pemerintahan di Kerajaan Peureulak. Setelah
pecah perang antara Peureulak dengan Sriwijaya (Palembang)
yang mengakibatkan Kerajaan Peureulak menderita banyak
kerugian dan diduduki untuk beberapa saat. Maka daerah pesisir
(ibukotanya Bandar Peureulak) yang tadinya diperintah oleh
sultan yang berfaham politik syi’ah, yaitu Sultan Alaiddin Sayyid
Maulana Mahmud Syah yang berkuasa dari tahun 976 hingga
tahun 988,12 kemudian harus gugur dalam pertempuran tersebut.
Karena kekalahan politik inilah akhirnya Kerajaan Peureulak
pesisir dikuasai kembali oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Ibrahim Syah Johan Berdaulat yang berkuasa dari tahun 976-
101213 yang berfaham politik sunni dengan terlebih dahulu
mengusir Sriwijaya.
Kesultanan Peureulak pada awal berdirinya sesungguhnya
merupakan kesultanan yang berhaluan politik syi’ah. Hingga awal
abad ke-10, tercatat empat raja yang telah memerintah Kerajaan
Islam Peureulak, yaitu: (1) Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul
aziz Syah yang berkuasa dari tahun 840-86414; (2) Sultan Alaiddin
Sayyid Maulana Abdurrahim Syah yang berkuasa dari tahun 864-
88815; (3) Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abbas Syah yang
berkuasa dari tahun 888-91316; dan (4) Sultan Alaiddin Sayyid
Maulana Ali Mughaiyat Syah yang berkuasa dari tahun 915-918.17
Namun Penobatan sultan yang keempat ini tertunda sampai tiga
tahun lamanya, di karena semasa akhir pemerintahan Sultan

9 470-527 Hijriyah.
10 527-550 Hijriyah.
11 550-607 Hijriyah.
12 365-377 Hijriyah.
13 365-402 Hijriyah.
14 225-249 Hijriyah.
15 249-285 Hijriyah.
16 285-300 Hijriyah.
17 302-305 Hijriyah.
78 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Alaiddin Sayyid Maulana Abbas Syah, politisi Ahlussunnah mulai


membentuk aliansi baru bagi kembalinya kekuatan kaum Sunni,
sehingga timbul sedikit kegoncangan. Sebagaimana yang dicatat
Idhharul-Haq, bahwa para saudagar yang dipimpin Nakhoda
Khalifah merupakan pemimpin-pemimpin syi’ah yang diburu oleh
penguasa Dinasti Abbasiyah di tanah Arab, Persia dan India.
Kemudian di Peureulak mereka mendirikan kerajaan Islam
beraliran politik syi’ah. Para penguasa sunni mengejar mereka
secara diam-diam sampai ke Peureulak, sehingga dalam massa
pemerintahan Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Ali Mughayat Syah
(bukan Ali Mughayat Syah yang menjadi sultan pertama Kerajaan
Aceh Darussalam pada awal abad ke-16, politisi sunni dapat
menumbangkan Kesultanan Peureulak (syi’ah), kemudian
Kesultanan Islam Peureulak (syi’ah) dirubah menjadi Kesultanan
Islam Peureulak (sunni), dan para sultannya terdiri dari keturunan
bangsawan penduduk asli yang terkenal dengan Dinasti
Makhdum. Sebagai penyambung sultan-sultan dari Dinasti Sayid
Maulana, yaitu: (1) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdulkadir
Syah Johan Berdaulat yang berkuasa dari tahun 918-922,18 (2)
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan
Berdaulat yang berkuasa dari tahun 922-946,19 (3) Sultan Malik
Muhammad Amin;20 dan (4) Sultan Makhdum Alaiddin
Abdulmalik Syah Johan Berdaulat yang memerintah dari tahun
946-973.21
Dalam masa kepemimpinan pemerintahan dibawah Sultan
Abdulmalik Syah ini, suatu perlawanan muncul kepermukaan
yang di lakukan oleh politisi syi’ah dengan melibatkan
persenjataan yang mengakibatkan pertempuran sesama
masyarakat dua kubu tidak bisa dihindarkan, dan kemelut politik
18 306-310 Hijriyah
19 310-334 Hijriyah
20 Sultan Malik Muhammad Amin sebelum dilantik menjadi sultan adalah

seorang syekh dari Cot Kala, sebuah pusat pendidikan yang masyhur ketika itu di
Aceh, yang dibangun pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Cot Kala adalah pusat
pendidikan Islam pertama di Asia Tenggara. Sultan Malik Muhammad Amin sendiri
terkenal dengan gelar Teungku Chik Cot Kala (Gurubesar Cot Kala).
21 334-361 Hijriyah
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 79

ini yang di latarbelakangi oleh aliran agama berlangsung selama


empat tahun. Pertempuran sesama saudara ini kemudian berakhir
pula dengan satu kesepakatan untuk menghentikannya perang
dengan pembagian dua wilayah daerah kekuasaan, dan hal ini di
sepakati oleh kedubelah pihak. Untuk daerah Peureulak Pesisir,
adalah golongan politisi syi’ah yang menjadi tuan rumahnya, dan
Bandar Peureulak menjadi Ibukotanya. Sedangkan wilayah
Peureulak Pedalaman, adalah untuk golongan politisi sunni, yang
ibu kotanya bernama Bandar Khalifah. Mengenai kepemimpinan
untuk masing-masing kubu politik ini mereka mengangkat
seorang sultannya, sehingga Sultan Kerajaan Peureulak kedelapan
menjadi dua orang, yaitu: Sultan Alaiddin Sayyid Maulana
Mahmud Syah, dengan periode memerintah dari tahun 976-98822
untuk golongan politisi syi’ah. Untuk golongan politisi sunni,
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat
sebagai pemimpinnya, yang periode memerintah dari tahun 976-
1012.23
Sekalipun para politisi sunni sudah menguasai Peureulak, di
mana sebelumnya misi pengejaran politisi syi’ah hingga ke
Peureulak adalah untuk melanggengkan kekuasaan khalifah yang
berhauluan politik sunni, namun dalam kenyataannya Peureulak
yang sudah mengakar menjadi kekuasaan yang independen dan
lepas dari kekuasaan khalifah, maka tidak dapat dikembalikan
untuk bergantung dengan kekhalifahan yang berpaham sunni,
bahkan oleh politisi sunni yang menguasai Peureulak sekalipun.
Hal itu dapat dibuktikan dengan tetap berjalannya sistem
pemerintahan pada masa itu dan nampak dengan jelas gelar yang
melekat kepada penguasa Peureulak dari Dinasti Makhdum yang
berfaham politik sunni. Perlu juga kita catat, bahwa Peureulak
sekalipun sudah terbagi ke dalam dua kerajaan, akan tetapi masih
tetap menggunakan sistem pemerintahan kemaharajaan
peninggalan Hindu.

22 365-377 Hijriyah.
23 365-402 Hijriyah.
80 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Kerajaan Peureulak pesisir setelah cukup lama tidak


berkuasa setelah raja kedelapan gugur di medan pertempuran
dengan Sriwijaya, kemudian muncul kembali dengan
menggunakan sistem pemerintahan kerajaan di wilayah
Samudera-Pasai. Sistem pemerintahan kerajaan yang dipakai
dalam pemerintahan Samudera-Pasai tidak lepas dari pengaruh
yang berlaku secara lokal dan telah ada sebelumnya yakni
Kerajaan Samudera dan Kerajaan Pasai. Yang berkuasa atas
Samudera-Pasai pada awalnya adalah kalangan yang bergelar
meurah, yakni Meurah Giri dan kemudian bergelar maharaja.
Dalam perkembangan politik selanjutnya di Samudera-Pasai
mengalami perubahan setelah Sultan Malikussaleh berkuasa atas
Samudera-Pasai, di mana sistem pemerintahan kerajaan
digantikan dengan sistem pemerintahan kesultanan. Perubahan
itu tampak dari penggunaan gelar yang dipakai oleh penguasa
Samudera-Pasai sejak Sultan Malikussaleh berkuasa. Penggunaan
istilah sultan yang dilekatkan sebagai gelar kepada para penguasa
Samudera-Pasai adalah suatu konsekuensi atas perubahan sistem
pemerintahan dari sistem kerajaan kepada sistem kesultanan.
Bernard Lewis, menyatakan bahwa; ”...sebutan Sultan konon
telah diberikan untuk pertama kalinya oleh Khalifah Harun al
Rasyid kepada wazir-nya. Namun ini meragukan, tetapi bukan
suatu hal yang mustahil. Kita menemukan bahwa kata tersebut
kadang-kadang digunakan untuk menunjuk khalifah-khalifah,
baik dari Dinasti Abbasiyah maupun Fathimiyah. Pada abad ke-
10 kata ini telah berlaku umum, walaupun masih secara informal
untuk menunjuk penguasa-penguasa dan raja-raja yang
independen, yang digunakan untuk membedakan mereka dari
penguasa-penguasa dan raja-raja lain yang masih tunduk di
bawah kekuasaan pemerintahan pusat yang efektif…”24 Sistem
pemerintahan Samudra-Pasai adalah sentralisasi kekuasaan di
mana seluruh kebijakan dan keputusan berada di istana, di tangan
sultan dan para pejabat kepercayaannya.

24 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, Op.cit., hlm. 73.


Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 81

Walaupun istilah sultan dalam perspektif umum tidak


memiliki prestise yang tinggi bila dibandingkan dengan istilah
raja, sebagaimana Bernard Lewis, menyatakan: “… terjadinya
perubahan gelar dari sultan ke raja juga menunjukkan prestise yang
tinggi dari istilah raja…”25 namun sesungguhnya istilah sultan dan
istilah raja adalah sama-sama memiliki prestise yang sejajar, sebab
kedua istilah ini secara general memiliki kesamaan esensi, yakni
sebagai suatu kekuasaan yang independen, walaupun Khalifah
Harun al-Rasyid memberikan gelar sultan untuk para wazirnya di
tingkat pemerintahan daerah (setingkat gubernur). Di sinilah
uniknya Malikussaleh yang telah berhasil mengubah banyak
prinsip dasar politik Islam dalam struktur pemerintahannya.
Istilah sultan yang lebih inferior malah dipakai dalam posisinya
yang tertinggi. Istilah dirham yang di jazirah Arab hanya uang
perak yang nilainya lebih rendah dari dinar justru terbalik
penggunaan dan nilainya di Pasai. Deureuham malah nilai mata
uang tertinggi, terbuat dari emas dan dipakai dalam perdagangan
internasional di pelabuhan-pelabuhan Samudera dan Pasai.
Perubahan gelar pada orang nomor satu dalam kekuasaan
Samudera-Pasai dari raja kepada sultan, seiring dengan terjadinya
perubahan politik di Samudera-Pasai, dan ini merupakan
kewajaran untuk dilakukan sebagai upaya reformasi total atas
sistem politik yang berjalan. Sekalipun Samudera-Pasai sebelum
Sultan Malikussaleh berkuasa adalah juga merupakan kerajaan
Islam, akan tetapi dengan adanya gelar raja pada orang nomor
satu, itu menandai belum terintegrasikannya dengan paripurna
akan sistem politik Islam dalam pemerintahan di Samudera-Pasai.
Karena Islam adalah dien wa siyasah (agama dan politik),26 maka
dalam aplikasinya tidak ada dikotomi antara politik dan agama,
bahkan Islam memperjuangkan hak politiknya justru untuk
menyempurnakan perintah Allah dan sunnah Rasulullah
Muhammad SAW, sehingga dengan adanya kekuasaan pada

25 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, Op.cit., hlm. 75-76.


26 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam…., Op.cit., hlm. xix
82 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

tangan-tangan muslim, syari’at Islam menjadi terjamin dalam


pemberlakuannya secara kaffah (totalitas).
Telah diprediksikan oleh Rasulullah Muhammad SAW,
berkenaan dengan periodisasi pemerintahan Islam yang akan
berjalan sepeninggal beliau, baik dalam arti bentuk maupun
sistemnya, sebagaimana beliau nyatakan dalam haditsnya.27

‫ ﰒ ﻳﺮﻓﻌﻬﺎ ﷲ‬,‫ﺗﻜﻮن اﻟﻨﺒﻮة ﻓﻴﻜﻢ ﻣﺎﺷﺎء ﷲ أن ﺗﻜﻮن‬


‫ ﰒ ﺗﻜﻮن ﺧﻼﻓﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻬﺎج اﻟﻨﺒﻮة ﻣﺎﺷﺎءﷲ‬,‫ﺗﻌﺎﱃ‬
‫ ﰒ ﺗﻜﻮن ﻣﻠﻜﺎ ﻋﺎﺿﺎ‬,‫ ﰒ ﻳﺮﻓﻌﻬﺎ ﷲ ﺗﻌﺎﱃ‬,‫أن ﺗﻜﻮن‬
‫ ﰒ ﺗﻜﻮن ﻣﻠﻜﺎ‬,‫ ﰒ ﻳﺮﻓﻌﻬﺎ ﷲ ﺗﻌﻠﻰ‬,‫ﻓﺘﻜﻮن ﻣﺎﺷﺎءﷲ‬
,‫ ﰒ ﻳﺮﻓﻌﻬﺎ ﷲ ﺗﻌﻠﻰ‬,‫ﺟﱪﻳﺔ ﻓﻴﻜﻮن ﻣﺎﺷﺎءﷲ أن ﻳﻜﻮن‬
‫رواﻩ اﲪﺪ‬.‫ﰒ ﺗﻜﻮن ﺧﻼﻓﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻬﺎج ﻧﺒﻮة ﰒ ﺳﻜﺖ‬
.‫و ﺑﻴﺤﻘﻰ‬

“Adalah kenabian pada kamu barang yang dikehendaki


Allah pasti ada, kemudian Allah menghilangkannya,
kemudian adalah kekhalifahan yang menurut jalan
kenabian barang yang dikehendaki Allah pasti ada,
kemudian Allah menghilangkannya, kemudian adalah
kerajaan yang penindas, maka kerajaan itu barang yang
dikehendaki Allah pasti ada, kemudian Allah
menghilangkannya, kemudian ada kerajaan yang ganas,
maka kerajaan itu barang yang dikehendaki Allah pasti
ada, kemudian Allah menghilangkannya, kemudian ada
kekhalifahan yang menurut jalan kenabian, kemudian
Nabi saw diam.”28

27 Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi. Moenawar Chalil,

Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), jilid 8,
hlm. 146.
28 Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi.
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 83

Berdasarkan substansi hadits tersebut di atas, bentuk


pemerintahan dapat terklasifikasikan kedalam lima bentuk dan
terperiodisasikan dalam lima masa, yakni: (1) periode minhanjun
nubuwah;29 (2) periode khalifatun ‘alaa minhajun nubuwah;30 (3)
periode minhaj ahdul mulukal ‘aad;31 (4) periode minhaj ahdul
mulukal jabbar;32 (5) periode ahdul khilafah ‘ala minhajun nubuwah.33
Bentuk pemerintahan minhajun nubuwah dengan Islam sebagai
sistemnya dimulai sejak diproklamirkannya sebuah Negara yang
bernama Madinatul Munawaroh pada tahun 622, oleh Muhammad
Rasulullah SAW di Yastrib, dan pemerintahannya dipimpin
langsung oleh beliau sekaligus juga sebagai kepala negara. Dan
periode pemerintahan yang didasarkan pada minhajun nubuwah
berakhir seiring dengan wafatnya Rasulullah SAW pada 632.34
Dan ummat Islam bangsa Indonesia tidak mengalami masa
periode kepemimpinan beliau ini. Pada masa Muhammad
Rasulullah SAW masih hidup dan ketika beliau meletakkan batu
pertama pembangunan masjid Madinah, Rasulullah memanggil
empat orang sahabat, yaitu; Abu Bakar; Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib. Kemudian Rasulullah
29 Minhajun nubuwah adalah sistem politik Islam yang dijalankan pada masa

nabi Muhammad SAW dan nabi sendiri selaku kepala pemerintahannya. Lihat
Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Bulan Bintang,
1994), jilid 8.
30 Khilafah ‘alaa minhajun nubuwah adalah sistem politik Islam yang berjalan

pada masa khalifah rasyidah, di mana sistem politik ini lazimnya disebut dengan
sistem khilafah yang mengacu kepada sistem politik dimasa nabi SAW (minhajun
nubuwah). Lihat Moenawar Chalil, ibid.
31 Minhaj ahdul mulukal ‘aad adalah sistem politik non islam (kerajaan), sistem

politik ini pernah dipakai dalam masa Islam pasca pemerintahan Khalifah Rasyidah
yaitu dari sejak Muawiyah berkuasa (Dinasti umayyah), dan para penguasanya
tergolong suka menindas rakyatnya. Akan tetapi sekalipun sistem politik non Islam
yang dipakai, namun hukum Islam tetap berjalan sekalipun tidak paripurna. Lihat
Moenawar Chalil, Loc.cit.
32 Minhaj ahdul mulukal jabbar adalah sistem politik non-Islam yang menguasai

wilayah-wilayah Islam, sehingga sistem politik ini dalam penerapannya berwujud


sebagai imperialis dan menjadi penguasa yang ganas. Lihat Moenawar Chalil, Loc.cit.
33 Ahdul khilafah ‘ala minhajun nubuwah adalah sistem politik Islam atau juga

disebut dengan sistem khilafah yang mengacu kepada sistem politik Islam pada masa
nabi SAW. Lihat Moenawar Chalil, Loc.cit.
34 11 Hijriyah
84 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

bersabda ”mereka itu adalah khalifah sesudahku”.35 Muhammad


Rasulullah SAW sebagai khalifatullah, sangatlah mengerti dan
menyadari bahwa dirinya adalah manusia seperti pada
umumnya36, yang juga akan mengalami kematian, oleh karenanya
persoalan suksesi kepemimpinan negara telah beliau wasiatkan
kepada empat orang sahabat dan juga sebagai kader utama yang
memiliki kuwalitas tinggi. Sepuluh tahun kemudian, barulah
terwujud wasiat Rasulullah tersebut. Dan kemudian dengan
sebab wafatnya Rasulullah, dimulailah suatu masa pemerintahan
Islam, dimana pemerintahan Islam tersebut dipimpin oleh para
khalifah, dan khalifah pertama adalah Abu Bakar yang berkuasa
dari tahun 632-634,37 kemudian setelah itu estafet kepemimpinan
dipegang oleh Ummar ibnu Khattab yang berkuasa dari tahun
634-644,38 kemudian Usman bin Affan pengganti selanjutnya dan
berkuasa dari tahun 644-656,39 dan yang terakhir adalah Khalifah
Ali bin Abu Thalib berkasa dari tahun 656-661.40 Dalam kurun
waktu tiga puluh tahun sesuai dengan prediksi Rasulullah dalam
haditsnya41, maka kemudian masa pemerintahan khalifah
berakhir. Dalam masa pemerintahan khulafaurrasyidin inilah yang
disebut sebagai periode pemerintahan khalifah yang tetap
berdasarakan minhajun nubuwah.
Sistem pemerintahan Islam yang murni dan yang mengacu
kepada minhajun nubuwah dapatlah dikatakan hanya bertahan
selama kurang lebih empat puluh tahun dari sejak Madinah
Munawaroh diproklamirkan hingga berakhirnya Khalifah Ali bin
Abu Thalib. Dan itu terbagi dalam dua periode, yakni; periode
Rasulullah Muhmmad SAW selama sepuluh tahun dan periode

35 Al-Hadits.
36 Al-Qur’an, al-Kahfi (18):110.
37 11-13 Hijriyah
38 13-23 Hijriyah
39 23-35 Hijriyah
40 35-40 Hijriyah
41 Hadist Riwayat Abu Daud dan Turmudzi. “Khilafah pada ummatku itu di

masa tiga puluh tahun, kemudian kerajaan sesudah itu”, dalam KH. Moenawar
Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), jilid
8, hlm. 137.
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 85

para sahabat yang empat (khalifah rasyidah) adalah tiga puluh


tahun. Periode empat orang sahabat dalam memimpin disebut
dengan khalifah ‘ala minhajun nubuwah. Kenyataan tersebut selain
disebutkan dalam bebarbagai riwayat hadits maupun dalam
berbagai buku sirrah (sejarah) yang masyhur, seperti pernyataan
at-Thabari yang dikutif Bernard Lewis; “…seorang sejarawan, at-
Thabari, menceritakan suatu percakapan yang berlangsung antara
Khalifah Umar dengan muslim Persia pertama, Salman, berikut
ini: “Salman menceritakan bahwa Umar berkata kepadanya: ’aku
ini seorang raja atau seorang khalifah?’ dan Salman menjawab:
‘jika anda telah mematok dan memungut pajak atas tanah-tanah
kaum muslimin senilai satu dirham, atau kurang atau lebih, dan
telah menggunakannya untuk tujuan-tujuan yang haram, anda
adalah seorang raja, bukan seorang khalifah,’ mendengar itu
Umar pun kemudian menangis…”42 Mengacu kepada hasil
seminar sejarah yang diselenggarakan di Medan tahun 1963
ataupun di Aceh tahun 1978, di mana Islam masuk ke Nusantara
(Aceh) pada abad ke-1 Hijriyah, maka ummat Islam bangsa
Indonesia adalah mengalami masa kepemimpinan yang
menggunakan sistem khilafah ‘ala minhajun nubuwah yakni dimasa
Khalifah Usman bin Affan, dan dimasa Khalifah Ali bin Abu
Thalib, akan tetapi ummat Islam di Nusantara ketika itu belum
memiliki kekuasaan.
Berakhirnya masa khilafah ‘ala minhajun nubuwah, dimasa
Khalifah Ali Bin Abu Thalib, didahului oleh suatu fitnah dimasa
Khalifah Usman bin Affan, yang disebarkan oleh seorang
munafiq kelahiran Saba (Yaman), yakni Abdullah bin Saba
seorang Yahudi, di mana dia memeluk Islam pada masa Khalifah
Usman bin Affan. Dialah yang mempunyai ide bid’ah, tentang
akan kembalinya Nabi Muhammad ke dunia, dan ide ini
didasarkan pada satu pemikiran yang tumbuh dalam agama
Kristen yakni pemikiran Yesus akan kembali ke dunia menjadi
juru selamat.43 Juga dia pulalah yang memiliki ide untuk

42 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, op.cit., hlm. 78.


43 Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan, op.cit, hlm. 186-187.
86 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

menurunkan Khalifah Usman bin Affan dari tampuk


kekhalifahan dan Ali bin Abu Thalib yang berhak atas
kekhalifahan, dengan terlebih dahulu ide tersebut disosialisasikan
ke wilayah-wilayah gubernur. Di wilayah Mesirlah ia mendapat
dukungan atas ide menurunkan Khalifah Usman bin Affan dan
bahkan ide tersebut telah bulat kedalam bentuk rencana
pembunuhan Usman bin Affan. Akhir dari sebuah rencana
Abdullah bin Saba ini mencapai tujuannya, yakni terbunuhnya
Usman bin Affan dan porak porandanya Islam menjadi dua
golongan politik yakni syi’ah dan sunni dikemudian hari, dalam hal
ini Fatima Mernissi, menulis; “…ide Saba langsung mengarah
kepada pembunuhan atas diri Usman dan perang sipil pertama
pada tahun 636,44 yang menghancurkan persatuan Islam dan
memecah belah kaum beriman menjadi golongan sunnah dan
syi’ah; ‘dengan membujukkan doktrin tentang akan kembalinya
Nabi dan hak Ali atas kekuasaan, mereka mengatakan bahwa
Usman adalah kafir…”45
Terbunuhnya Usman bin Affan dan kemudian naiknya Ali
bin Abu Thalib sebagai pengganti Khalifah Usman bin Affan,
tidaklah menghentikan konflik pada masa itu, bahkan dapat
dikatakan bahwa konflik yang sesungguhnya baru dimulai, yakni
konflik syi’ah dan sunni, dimana konflik tersebut adalah
merupakan target utama dari Abdullah bin Saba yang memang
menghendaki Islam hancur dan terbagi-bagi kedalam beberapa
golongan. Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib harus
menelan kenyataan yang pahit, di mana konflik pembunuhan atas
Usman bin Affan yang dibebankan kepada Khalifah Ali untuk
menyelesaikanya, namun tiada kunjung selesai, sehingga fitnah
dituduhkan kepada Ali bin Abu Thalib, dan konflik semakin
memuncak dimasa Khalifah Ali bin Abu Thalib. Pada masa
beliau pulalah Aisyah binti Abu Bakar ra, yang telah dipropokasi
oleh pihak yang menghendaki Islam lebih hancur lagi,
mengadakan perlawanan terhadap Khalifah Ali bin Abu Thalib

44 Tahun 36 Hijriyah.
45 Ibid, hlm. 188.
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 87

dengan motif tuntutan bahwa Khalifah Ali bin Abu Thalib tidak
mampu menemukan siapa pembunuh Usman bin Affan.
Dampak lain dari adanya konflik yang ditebar dari sejak masa
Khalifah Usman bin Affan dan berlanjut hingga masa Khalifah
Ali bin Abu Thalib, yakni; Islam harus menerima kenyataan
pahit, di mana Islam terbelah menjadi tiga golongan politik, yaitu
syi’ah, sunni dan khawarij.
Konflik politik pada masa Khalifah Ali bin Abu Thalib,
juga dimanfaatkan oleh pihak Muawiyah bin Abu Sofyan yang
menuntut Khalifah Ali bin Abu Thalib atas kematian Usman bin
Affan, dan pada akhir kemudian dari tuntutan ini menjadi faktor
pemicu utama adanya pemberontakan Muawiyah bin Abu Sofyan
sebagai gubernur kepada Khalifah Ali bin Abu Thalib. Muawiyah
bin Abu Sofyan, memang dia adalah seorang politisi ulung, di
mana dia masuk Islam ketika Mekah ditalukkan, dan pada masa
itu beliau adalah juga sebagai petinggi di Quraisy. Berbagai taktik
politik pada masa itu digulirkan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan
demi mencapai tujuan utamanya, yakni menggantikan Khalifah
Ali bin Abu Thalib. Setelah peristiwa tahkim antara Khalifah Ali
bin Abu Thalib dan Muawiyah bin Abu Sofyan, tak lama setelah
itu kemudian terjadi pembunuhan atas diri Khalifah Ali bin Abu
Thalib.
Dengan terbunuhnya Khalifah Ali bin Abu Thalib, maka
berakhirlah periode pemerintahan khilafah ‘alaa minhajun nubuwah,
sesuai dengan prediksi Rasulullah selama tiga puluh tahun, dan
permerintahan beralih kepada bentuk ahdul mulukal ‘aad dibawah
komando Muawiyah bin Abu Sofyan yang berkedudukan di
Syam sebagai pusat pemerintahannya. Kenyataan berakhirnya
khilafah ‘alaa minhajun nubuwah juga ditandai dengan adanya pusat
pemerintahan yang beralih ke Syam dan dihapuskannya pusat
pemerintahan khilafah di Madinah, atas hal ini Rasulullah telah
88 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

menyatakan dalam haditsnya, “khilafah itu di Madinah dan kerajaan


itu di Syam.”46
Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang merupakan pengganti
Khalifah Ali bin Abu Thalib harus menyerahkan kekuasaannya
kepada Muawiyah bin Abu Sofyan atas tekanan politik yang
memang telah dikuasai oleh Muawiyah bin Abu Sofyan dan
antek-anteknya pada masa itu. Dengan pertimbangan mencegah
kerusakan berupa fitnah yang lebih besar lagi, pada akhirnya
Khalifah Hasan bin Ali bin Abu Thalib mengendalikan
pemerintahan hanya selama enam bulan, kemudian
mengundurkan diri dan diserahkannya kekuasaan kepada
Muawiyah bin Abu Sofyan. Kenyataan ini juga telah diprediksi
oleh Rasulullah saw, di mana Hasan bin Ali bin Abu Thalib
dinyatakan oleh Rasulullah saw, bahwa ia adalah seorang yang
ditakdirkan sebagai pendamai antara dua kubu yang bertikai,
sebagaimana dinyatakan dalam hadits; “Anakku ini Sayyid, dan
mudah-mudahan Allah mendamaikan dengan dia antara kedua golongan
kaum Muslimin”47 Dengan berakhirnya masa pemerintahan yang
dipegang oleh Khalifah Hasan bin Ali bin Abu Thalib, dan
dimulainya kekuasaan Muawiyah bin abu Sofyan maka berakhir
pulalah periode khilafah ‘alaa minhajun nubuwah dan Islam sebagai
sistem pemerintahan. Sekalipun bentuk pemerintahan khilafah
‘alaa minhanjun nubuwah berakhir pada masa Khalifah Hasan bin
Ali, namun masyhurnya menurut para ahli sejarah Islam dan
isyarat-isyarat dalam Hadits Rasulullah, bentuk pemerintahan
khalifah ‘alaa minhajun nubuwah berakhir setelah masa Khalifah Ali
bin Abu Thalib. Sejak Muawiyah bin Abu Sofyan berkuasa maka
bentuk pemerintahan telah berubah dari bentuk khilafah ‘alaa
minhajun nubuwah menjadi bentuk kerajaan dan itu disebut dengan
periode ahdul mulukal ‘aad.

46 Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hakim dan Bukhari, dalam Moenawar

Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), jilid
8, hlm. 139.
47Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari, lihat Moenawar Chalil, Kelengkapan

Tarikh Nabi Muhammad SAW, Ibid., hlm. 136.


Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 89

Periode ahdul mulukal ‘aad, dalam sejarah Islam sering


disebut dengan istilah Dinasti Umayah, pada masa ini
pemerintahan masih menggunakan Islam sebagai sistem, dan
syari’at Islam masih tetap digunakan sebagai public law, akan tetapi
bentuk pemerintahan telah berubah menjadi bentuk kerajaan.
Dan dari sejak itu pemerintahan dipegang secara turun temurun
berdasarkan nasabiyah (keturunan). Dinasti Umayyah yang
berkuasa dari tahun 661-750,48 secara turun temurun dari Raja
Muawiyah bin Abu Sofyan hingga Marwan bin Muhammad.
Kemudian setelah itu Dinasti Umayah digantikan oleh Dinasti
Abbasiyah yang raja pertamanya adalah Abu al Abbas as-Saffah
pada tahun 750. Dan Dinasti Abbasiyah yang berfaham politik
sunni diakhiri oleh Dinasti Fathimiyah yang berfaham syi’ah, dan
pendiri Dinasti Fathimiyah ini adalah ‘Ubayd Allah al-Mahdi, dan
dikenal dengan nama Al-Mahdi Al-Fathimi (873).49
Setelah Dinasti Fathimiyah berkuasa kemudian kembali
Dinasti Abbasiyah berkuasa dan setelah itu digantikan oleh
Dinasti Utsamaniyah (1517-1924).50 Sistem pemerintahan Islam
dengan bentuk kerajaan berakhir di Turki, dimana raja terakhir
dari Dinasti Utsmaniyah adalah Abdul Majid II yang kemudian
digantikan oleh Mustafa Kemal sebagai Presiden Republik Turki.
Dengan berakhirnya kekuasaan Dinasti Utsmaniyah dengan raja
yang terakhirnya adalah Abdul Majid II, maka berakhir pulalah
periode ahdul mulukal ‘aad yang berpegang kepada Islam sebagai
sistem Pemerintahan dan pemerintahannya berbentuk kerajaan,
dan digantikan dengan sistem pemerintahan yang tidak Islami di
mana syari’at Islam tidak lagi menjadi Public Law atau disebut juga
dengan istilah ahdul mulukal jabbar, dimana pada masa ini Islam
tidak lagi menjadi sistem dalam sebuah kekuasaan dan bentuk
pemerintahan telah banyak berubah dan menggunakan
demokrasi ala Plato. Dengan berakhirnya pemerintahan dalam
bentuk ahdul mulukal ‘aad di Turki, maka selanjutnya bentuk

48 41-132 Hijriyah.
49 Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan, Op.cit., hlm. 198.
50 923-1349 Hijriyah
90 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

kekuasaan yang ada di muka bumi setelah itu adalah ahdul mulukal
jabbar. Dalam pemerintahan ahdul mulukal jabbar, dimana Islam
tidak lagi menjadi sistem di dalamnya, maka yang berlaku adalah
sistem yang berlawanan dengan Islam. Kemudian dapatlah kita
deskripsikan, bahwa bentuk pemerintahan ahdul mulukal jabbar
adalah dikendalikan oleh kerajaan-kerajaan Eropa yang telah
bangkit kembali setelah kekalahan dalam perang salib, kemudian
berwujud menjadi imperialis dan melakukan kolonialisasi atas
wilayah-wilayah Islam. Seiring dengan berakhirnya masa
imperialisme dan kolonialisasi, maka bentuk pemerintahan ahdul
mulukal jabbar termanifestasikan kedalam bentuk pemerintahan
demokrasi ala plato, hingga kemudian masing-masing wilayah
yang semula berada dalam kendali sebuah dinasti kolonial,
akhirnya memerdekakan diri dan membentuk pemerintahan
masing-masing dengan bersandar kepada sistem demokrasi atau
sistem lainnya, akan tetapi tidak menggunakan Islam sebagai
sistem dalam pemerintahan. Hal ini selain karena faktor
sunnatullah juga karena faktor imperialisme yang sudah
berkembang dan menguasai wilayah-wilayah Islam diseluruh
dunia yang mampu memberikan tekanan politik dan ekonomi
atas suatu wilayah Islam.
Dapatlah diketahui, periodisasi ahdul mulukal jabbar dimulai
dari sejak awal abad 19, hampir seluruh negara yang ada dunia
tidak menjadikan Islam sebagai sistem dalam pemerintahannya
atau dengan kata lain syari’at Islam tidak lagi diberlakukan sebagai
public law, baik dalam arti politik, ekonomi, sosial ataupun lainnya.
Maka peradaban jahiliyah telah kembali dan menguasai seluruh
sektor peradaban. Sekalipun demikian, di mana dalam masa mulk
sesuai dengan prediksi rasulullah, para penguasanya tetap
bergelar khalifah, sesungguhnya hal itu tidak layak untuk
dilekatkan kepada mereka. Dan yang layak untuk menerima gelar
khalifah pada masa mulk ini para ulama terdahulu pernah
menyematkannya kepada beberapa penguasa di masa mulk ini,
diantaranya kepada Harun al-Rasyid, Umar Abdul Aziz seperti
Bernard Lewis, menyatakan; “…para penguasa Dinasti Umayah,
hanya satu yang mendapat perlakuan istimewa yakni ‘Umar II
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 91

(717-720). Karena diakui kesalehannya, ia mendapat gelar


“khalifah” dalam historiografi yang berkembang kemudian. Para
penguasa Dinasti Umayyah lainnya disebut atau mungkin lebih
tepat dicemarkan namanya sebagai raja-raja, dan periode-periode
meraka disebut sebagai kerajaan (mulk)…”51 Sesuai dengan
prediksi rasulullah, bahwa setelah periode ahdul mulukal jabbar
merajalela, kemudian akan muncul suatu periode pencerahan,
yakni periode ahdul khilafah ‘alaa minhajun nubuwah. Dalam periode
inilah Islam sebagai sistem politik, ekonomi dan sosial akan
kembali berjaya, mungkin hingga akhir zaman (qiyamat). Dan
tanda-tanda kebangkitan Islam dalam abad ke-20 ini telah
bermunculan, usaha untuk kemunculannya sudah dimulai dari
sejak runtuhnya periode ahdul mulukal ‘aad di Turki dan
munculnya gerakan yang dipimpin oleh Hasan al-Bana di Mesir
dengan gerakan Ikhwanul Muslimin pada tahun 1928, dan
demikian pula gerakan Jamiat al-Islami di Pakistan yang dipelopori
oleh Abu Ala al-Maududi, juga di Indonesia pada tahun 1912
telah muncul Syarikat Islam dibawah komando HOS
Tjokroaminoto, yang pada akhir kemudiannya menjelma menjadi
sebuah Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan oleh SM.
Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949.52
Ikhwanul Muslimin, dibawah komando Hasan al-Bana, dan
Jamiat al-Islami, dibawah komando Abu Ala al-Maududi dan lain-
lain gerakan didunia yang merupakan reaksi atas runtuhnya ahdul
mulukal ‘aad di Turki banyak mengalami kegagalan dan tidak
mencapai sasarannya, yakni mewujudkan ahdul khilafah ‘alaa
minhajun nubuwah. Akan tetapi pengorbanan para Mujadid
(pembaharu) dan Mujahid (pejuang Islam) sebagaimana tersebut,
sekalipun tidak mencapai keberhasilan perjuangan dalam wilayah
perjuangannya, dapat terobati dengan lahirnya Negara Kurnia
Allah Negara Islam Indonesia, yang diproklamasikan pada 7
Agustus 1949, dan lahirnya Negara Islam Indonesia adalah
merupakan pionir bagi lahirnya khilafah ‘alaa minhajun nubuwah.

51 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, Op.cit., hlm. 78-79.


52 12 Syawal 1368 Hijriyah
92 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Kenyataan itu tidaklah mengada-ada sebagaimana dinyatakan


dalam penjelasan singkat Proklamasi Negara Islam Indonesia
dalam pasal 9, “Proklamasi ini disiarkan keseluruh dunia, karena
ummat Islam Bangsa Indonesia berpendapat dan berkeyakinan,
bahwa kini sudahlah tiba sa’atnya melakukan wajib suci yang
serupa itu, bagi menjaga keselamatan Negara Islam Indonesia
dan segenap rakyatnya, serta bagi memelihara kesucian Agama,
terutama sekali; Mendhohirkan keadilan dimuka bumi”.53 Juga
dipertegas, dengan cita-cita Negara Islam Indonesia yang
berkenaan dengan keinginan terwujudnya khilafah ‘alaa minhajun
nubuwah, sebagaimanan ditetapkan dalam konferensi para ulama
di Cisayong pada tahun 1948 yang dihadiri oleh 160 perwakilan.
Salahsatu keputusannya adalah; ”….bersama negara-negara Islam
yang lain, membentuk Dewan Imamah Dunia untuk memilih
seorang khalifah, dan tegaknya Khilafah dimuka bumi …”.54
Hanya saja amat disayangkan, Negara Islam Indonesia harus
menelan kekalahan perang pada tahun 1962 dalam
mempertahankan proklamasinya, dan hingga kini belum ada titik
cerah untuk bangkit kembali.
Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7,
sebagaimana telah disepakati dalam seminar sejarah di Medan
tahun 1963 dan lebih ditegaskan lagi pada seminar sejarah di
Aceh pada tahun 1978. Kurang lebih satu setengah abad
kemudian, Islam baru berkuasa atas suatu negeri di mana hukum
Islam menjadi public law, yakni pada Kesultanan Peureulak, dan
Peureulak mulai menjadi kesultanan Islam baru pada tahun 836,55
sesuai dengan naskah tua Idharul Haq fi Mamlaka karangan al-
Makarani Pase. Dengan bertitik tolak dari Kesultanan Peureulak
sebagai kesultanan Islam tertua, maka Islam sebagai suatu sistem
sosial dan politik berlaku atas Kesultanan Peureulak. Dan
kenyataan ini membuktikan bahwa minhajun nubuwah dan khilafah

53 Pemerintah Negara Islam Indonesia, Pedoman Dharma Bhakti, jilid 2, hlm. 2,

lihat juga; Al-Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia,
SM. Kartosoewirjo, (Jakarta: Darul Falah, 1999), hlm. 103.
54 Ibid, hlm. 73.
55 225 Hijriyah.
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 93

‘alaa minhajun nubuwah tidak dialami oleh Kesultanan Peuruelak,


atau dengan kata lain keesultnan Peureulak tumbuh dan
berkembang pada periode ahdul mulukal ‘aad, yakni suatu periode
dimana sistem pemerintahan Islam tetap berlaku sebagai public
law tetapi bentuk pemerintahannya sudah kembali kepada bentuk
kerajaan.
Agama Islam, sekalipun sudah menjadi agama resmi dalam
Kerajaan Samudera-Pasai, di mana masyarakat dan termasuk raja-
rajanya adalah sudah beragama Islam, namun sistem
pemerintahannya belum mengintegrasikan sistem pemerintahan
Islam secara penuh, artinya; secara politis, sistem politik Islam
belum terintegrasikan menjadi sistem pemerintahan di Samudera-
Pasai pada masa berkuasanya raja-raja di kala itu. Suatu
pemerintahan yang menggunakan sistem monarki (kerajaan), di
mana lisan atau titah raja adalah hukum dan bersifat absolut
(mutlak), sedangkan dalam sistem politik Islam kekuasaan mutlak
ada pada Allah,56 juga bila di lihat dari segi suksesi (pergantian
kekuasaan) adalah tidak bersifat pemilihan,57 akan tetapi suksesi
berjalan sesuai dengan keturunan dari raja yang berkuasa
sebelumnya, kecuali adanya perebutan kekuasaan sehingga orang
lain menggantikan tahta kerajaan tersebut, itulah yang menjadi
ciri khusus sistem monarki.
Sultan Malikussaleh, adalah sorang reformis dalam
Kerajaan Samudera-Pasai, dialah yang berperan besar dalam
mengintegrasikan sistem politik Islam (sistem pemerintahan
Islam) kedalam Kerajaan Samudera-Pasai, yang semula sistem
pemerintahannya adalah bersifat monarki, yang kepala kerajaannya
disebut raja. Setelah terjadinya pergeseran sistem politik pada
masa Maharaja Nurdin Sultan al-Kamil (1155-1210), kemudian
sistem kerajaan digantikan dengan sistem kesultanan, dan
selanjutnya pemerintahan Samudera-Pasai menggunakan sistem
politik Islam itu, di mana kepala pemerintahannya disebut sultan.

56 Abul A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, (Bandung:
Mizan, 1993), hlm. 156-157.
57 Ibid., hlm. 160.
94 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Dan sebagai sultan yang pertama adalah Sultan Malikussaleh yang


memerintah dari tahun 1261-1289 yang dilantik (dikukuhkan)
oleh utusan khalifah Syeikh Ismail bersama Fakir Muhammad.
Kemudian kesultanan ini bertahan hingga enam generasi, hingga
kemudian Kesultanan Samudera-Pasai sesudah masa
pemerintahan Malikah Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu yang
memerintah dari tahun 1400-1427, berintegrasi ke dalam
Kerajaan Aceh Raya Darussalam. Pengintegrasian Kesultanan
Samudera-Pasai sebagaimana juga kerajaan-kerajaan Islam lainnya
di Aceh, lebih didorong oleh suatu kesadaran politik bangsa
Aceh untuk menghadapi kolonialisme yang dilancarkan Portugis
pada masa itu, di mana Portugis telah masuk Malaka pada tahun
1511. Panji persatuan atas kerajaan-kerajaan Islam yang ada di
Aceh ketika itu, didengungkan oleh Sultan Alaidin Ali Mughayat
Syah, setelah beliau membantu Kesultanan Peureulak dalam
mengusir Portugis. Para sultan yang memerintah Samudera-Pasai
dengan landasan konstitusi Islam terdiri dari 8 sultan, yaitu: (1)
Sultan Malikus Saleh, berkuasa dari tahun 1261-1289.58 (2) Sultan
Muhammad Malikul Dzahir, berkuasa dari tahun 1289-1326.59 (3)
Sultan Ahmad Malikud Dzahir, berkuasa dari tahun 1326-1350.60
(4) Sultan Zainuddin Malikul az-Zahir, berkuasa dari tahun 1350-
1383.61 (5) Sultan Zainal Abidin, berkuasa dari tahun 1383-
1400.62 (6) Malikah Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu, berkuasa dari
tahun 1400-1427.63 (7) (Belum diketahui) berkuasa dari tahun
1427-1513. (8) Sultan Mahmud Malik az-Zahir, berkuasa dari
tahu 1513-1524.64

58 659-688 Hijriyah.
59 688-725 Hijriyah.
60 725-750 Hijriyah.
61 750-796 Hijriyah.
62 796-801 Hijriyah.
63 801-831 Hijriyah.
64 Uka Tjandrasasmita, “Peranan Samudera-Pasai Dalam Perkembangan
Islam Di Beberapa Daerah Asia Tenggara”, dalam Bachtiar Aly dan Hasan Mua’arif
Ambary, Aceh Dalam Retrospeksi Dan Refleksi Budaya Nusantara, (Banda Aceh: Intim,
1986), hlm. 70
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 95

Syeikh Ismail bersama dengan Fakir Muhammad pada


tahun 1260-an sebagai utusan khusus khalifah bertugas
menyebarkan Islam di kawasan Asia Tengara. Dari kutipan
sebagaimana tersebut diatas, maka pengembangan Islam di
Sumatera (Nusantara) bukan berpengertian sambil berdagang, di
mana konotasi sambil berdagang seolah tersebarnya Islam
dengan cara tidak sengaja (tidak terencana), melainkan dengan
terencana. Dan kata mengukuhkan dalam kutipan tersebut lebih
tepat bila diterjemahkan dengan pengertian mengangkat dan
menetapkan melantik, dengan penterjemahan ini maka
Malikussaleh adalah seorang yang diangkat dan dikukuhkan
sebagai sultan (Amirul Mukminin) untuk wilayah Samudera-Pasai
oleh Syeikh Ismail atas nama khalifah. Dengan predikat Amirul
Mukminin tersebut, maka Malikussaleh memiliki kewenangan
yang luas dalam bidang dakwah, politik, sosial, ekonomi, hukum
dan militer secara legal atas nama khalifah. Dengan kewenangan
selaku kepala pemerintahan Kesultanan Samudera-Pasai maka ia
menjalankannya sesuai dengan tuntunan syari’at Islam dalam
seluruh bidang, baik dalam bidang syiasyah (politik), syari’ah
(hukum), iqtishodiyah (ekonomi), asykariyah (militer) dan
muamalah lainnya.

Struktur Pemerintahan Samudera-Pasai


Kerajaan Islam Samudera-Pasai didirikan pada tahun 1042
dalam masa Daulat Abbasiyah (750-1517) atau lebih tepatnya
pada masa Kekhalifahan al-Qaim Bi Amrillah (1031-1074), dan
raja pertamanya yaitu Meurah Giri (Maharaja Mahmud Syah),
Samudera-Pasai dari sejak didirikannya hingga pada masa
kekuasaan Maharaja Nurdin Sultan al- Kamil (1155-1210),
belum dapat disebut sebagai kerajaan yang menjalankan sistem
politik Islam secara utuh, karena sistem politik Islam baru
terintegrasi ke dalam pemerintahan Samudera-Pasai, setelah
adanya reformasi politik yang dilakukan oleh Sultan Malikussaleh,
kemudian setelah itu barulah Samudera-Pasai tergolong kepada
pemerintahan yang menjalankan sistem politik Islam secara utuh
yang kemudian disebut kesultanan. Maka Samudera-Pasai
96 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

sebelum adanya reformasi politik, masih tergolong menjalankan


sistem pemerintahan kerajaan, hanya saja Samudera-Pasai dari
sejak didirikannya telah dipimpin oleh seorang raja yang
beragama Islam dan masyarakatnya tergolong mayoritas
beragama Islam.65
Pada waktu Pemerintahan dikendalikan oleh Sultan
Malikussaleh telah datang ke Samudera-Pasai seorang perutusan
dari Syarief Mekkah. Syarief Mekkah adalah rombongan yang
diketuai oleh Syekh Ismail al-Zarfy. Kedatangan ini merupakan
fact finding tentang adanya sebuah kerajaan Islam yang telah
mempunyai lembaga-lembaga negara yang teratur dengan
angkatan perang yang terdiri dari angkatan laut dan angkatan
darat yang kuat. Dan kesultanan (negara Islam) Samudera-Pasai
juga telah memiliki kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana
menteri sebagai kepala pemerintahan, dan juga dibawah sultan
secara langsung ada institusi mahkamah agung dan menteri luar
negeri. Lembaga kabinet dipimpin oleh perdana menterinya Sri
Kaya Said Khiatuddin. Sedangkan mahkamah agung, diketuai
oleh seorang mufti besarnya (syaikhul Islam) yang bernama Said
Ali bin Ali al-Makarany. Kementerian luar negeri yang menjadi
menterinya adalah Bawa Kaya Ali Hisamuddin al- Malabary.66

65 Sebagaimana halnya Negara Republik Indonesia, dari sejak


diproklamasikannya pada tahun 1945, di mana Presiden pertama, Soekarno, hingga
kepala pemerintahan selanjutnya (Soeharto, BJ Habibie, Abdurrachman Wahid dan
Megawati Soekarno Putri) secara individunya adalah beragama Islam, juga
masyarakat Indonesia dari sejak dahulu hingga sekarang adalah mayoritas beragama
Islam. Akan tetapi Negara Republik Indonesia dan system pemerintahan yang
dijalankannya bukan menggunakan sistem politik Islam, maka Republik Indonesia
adalah bukanlah Negara Islam sebagai mana yang sudah diatur dalam Undang-
Undang Dasar 1945, sekalipun dunia internasional mengeneralisir Indonesia sebagai
negara Islam. Generalisasi yang menyesatkan itu hanya didasarkan kepada dua hal
saja, yakni: (1) Presidennya adalah muslim dan (2) mayoritas penduduknya juga
muslim. Akan tetapi konstitusi yang dipakai dalam menjalankan roda pemerintahan
bukanlah konstitusi Islam. Namun, karena Indonesia adalah negara dengan jumlah
penduduk Muslim yang terbesar di dunia, maka Republik Indonesia adalah “negara
Muslim”, bukan “negara Islam”.
66 Muhammad Amin dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya

Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh”, dalam Ali Hasjmy, Sejarah Masuk dan


Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: al-Ma’arif, 1981), hlm. 428-429.
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 97

Struktur politik (pemerintahan) Kesultanan Samudera-


Pasai telah dibangun dengan cukup efektif dari tingkat pusat
hingga kepada tingkat geuchik (desa), dan dalam tiap-tiap
tingkatan pemerintahan telah terbentuk tuha peut, yang
merupakan suatu struktur pemerintahan dalam kondisi berjaya.
Struktur pemerintahan ini memiliki ciri khusus yaitu institusi
militer yang dibangun secara terpisah dengan institusi sipil,
walaupun masih tetap dalam kendali sultan secara mutlak sebagai
kepala kesultanan (kepala negara). Umumnya suatu pemerintahan
Islam, jika masih dalam kondisi tidak stabil secara politik, maka
struktur pemerintahannya adalah struktur gabungan antara sipil
dan militer, sehingga bilamana negara dalam keadaan perang
(diserang), maka seluruh rakyat terkena kewajiban perang yang
bersifat wajib ‘ain dan itulah yang biasa disebut dengan perang
suci yakni jihad fi sabilillah. Sedangkan untuk suatu pemerintahan
Islam yang telah berjaya, maka kewajiban perang bersifat wajib
kifayah, yakni hanya dibebankan kepada mereka yang secara
profesi sebagai asykariyah (tentara), dengan adanya pelaksanaan
perang yang diwakili oleh tentara maka kewajiban rakyat untuk
ikut berperang telah gugur.
Dalam masa pemerintahan Sultan Muhammad Malikul
Dzahir yang berkuasa pada tahun 1289-1326, membentuk suatu
konfederasi kerajaan-kerajaan Islam yang terdiri dari Kesultanan
Peureulak, Kerajaan Islam Beunua (Tamiang) dan Kesultanan
Samudera-Pasai.67 Ibnu Batutah pernah berkunjung ke Kerajaan
Pasai dan menuliskan catatan bahwa Kerajaan Samudera-Pasai
diperintah oleh seorang raja yang sangat alim lagi sholeh.
Kerajaan ini ramai didatangi oleh para pendatang dari berbagai
penjuru dunia untuk berdagang dan belajar ilmu agama. Rakyat
Samudra-Pasai begitu bersemangatnya mempelajari Agama Islam
karena agama ini telah memberikan banyak pengaruh positif
terhadap kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara.

67Tgk. M. Yunus Jamil, Op.cit., hlm. 15-16. Muhammad Said, Aceh Sepanjang
Abad, (Medan: Mohammad Said, 1961), hlm. 55.
98 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Bagan 1
Struktur Pemerintahan Samudera-Pasai

Sulthan

Mahakamah Agung Perdana Menteri Angkatan Perang

Menteri – Menteri Angkatan Laut Angkatan Darat

Wazir atau Kabinet


Kesultanan Samudera-Pasai dipimpin oleh seorang sultan
sebagai kepala Negara. Dalam sistem pemerintahan Islam
Kesultanan Samudera-Pasai, pemerintahan dipimpin oleh
seorang perdana menteri dan dibantu oleh beberapa menteri,
mahkamah agung dan angkatan perang yang terdiri dari angkatan
laut dan angkatan darat. Sultan dibantu pula oleh beberapa
sekretaris kesultanan yang disebut dengan al-Kuttab, dan para
menteri pada masa Kesultanan Samudra Pasai disebut dengan
istilah wazir68. Para pembantu sultan dalam urusan pemerintahan
yang baru dapat diketahui, di antaranya Perdana Menteri Seri
Kaya Sayyid Ghiyasyuddin, Menteri Luar Negerinya Bawa Kayu
Ali Hisamuddin al-Malabari, dan Syaikhul Islam selaku pejabat
Mahkamah Agung yaitu Saiyid Ali bin Ali al-Makarani.69

68Wazir (Bahasa Arab) yang berarti pembantu perdana menteri.


69 Muhammad Amin dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya
Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh”, dalam Ali Hasjmy, Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: al-Ma’arif, 1981), hlm. 428-429.
Sistem Pemerintahan Samudera-Pasai 99

Tuha Peut
Tuha peut adalah komponen dewan penasehat yang terdiri
dari empat orang yang dituakan dari berbagai latar-belakang yang
harus ada dalam setiap struktur pemerintahan dan berada pada
setiap tingkatan pemerintahan dalam Kesultanan Samudera-
Pasai, mulai dari kepemerintahan pusat hingga ke desa-desa.
Dewan penasehat inilah yang kemudian akan memberikan
masukan-masukan dan pertimbangan-pertimbangan guna
memperkuat suatu arah pembangunan dan meminimalisir hal-hal
yang tidak diinginkan. Jadi setiap kepemimpinan struktur yang
ada di Aceh, Tuha Peut menjadi sangat penting keberadaan
mereka untuk membantu setiap pemimpin-pemimpin di berbagai
tingkatan kepemimpinan dalam struktur pemerintahan
kesultanan Aceh. Sistem inilah yang kemudian berkembang
menjadi sistem hirarkhi struktural yang unik dan original Aceh
yang masih ada hingga sekarang ini.

Geuchik (Kepala Desa)


Geuchik adalah struktur politik (pemerintahan) yang
terendah dalam pemerintahan Kesultanan Samudera-Pasai. Dan
kelompok masyarakat yang berada dibawah geuchik adalah gampong
(kampung). Adanya struktur pemerintahan sampai ke tingkat
paling bawah (desa) menunjukkan bahwa masyarakatnya sudah
maju dan kompleks. Adanya hirarkhi dan struktur menunjukkan
betapa sistem politik Islam bukanlah sistem politik yang statis
dan primitif. Menurut ahli sejarah Teuku Ibrahim Alfian, sistem
pembagian tingkat pemerintahan ini bersumber dari kitab
Tajussalatin yang merupakan mahakarya intelektual asal
Samudera-Pasai. Belum lagi kalau kita mendalami Serat
Tajussalatin, kodifikasi hukum tata pemerintahan dan petunjuk
memerintah dengan prinsip keadilan. Buku berbahasa dan
berhuruf Jawa yang dipakai di Keraton Yogya tersebut
merupakan salinan dari Kitab Tajussalatin, tulisan berhuruf Jawi
100 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

berbahasa Melayu Pasai,70 berasal dari masa pemerintahan Sultan


Alaad-Din Ri’ayat Syah (1589-1604) merupakan produk
intelektual Samudera-Pasai yang masih berpengaruh hingga saat
ini. Meskipun zaman itu masih belum canggih, namun sudah
terjalin jaringan intelektual antara Aceh dan Jawa, dan juga
dengan seluruh Nusantara.71 Kontribusi Samudra-Pasai itu
hingga kini tetap bertahan dan mendapatkan pengayaan yang
bersifat komplementer pada masa Kerajaan Aceh Raya
Darussalam di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Artinya,
kejayaan Aceh yang sangat dibangga-banggakan itu sesungguhnya
berasal dari Kerajaan Samudera-Pasai pada periode Sultan
Malikussaleh.***

70 Bahasa Melayu Pasai ini merupakan kontribusi Samudra-Pasai yang sangat

besar bagi bangsa Indonesia, Malaysia, Brunai dan Pattani di Thailand di mana
bahasa Melayu tidak hanya sebagai lingua-franca melainkan bahkan menjadi bahasa
nasional.
71 Julius Pour, “Teuku Ibrahim Alfian: Keterikatan Samudera-Pasai Dan

Mataram”, Kompas, 6 Mei 2003.


Sistem Ekonomi Samudera-Pasai 101

Bab 5
SISTEM EKONOMI SAMUDERA-PASAI

Kerajaan Samudera-Pasai dilihat dari perspektif ekonomi,


adalah sebuah masyarakat dengan struktur yang lengkap.
Terutama untuk masalah perdagangan, Samudera-Pasai sudah
memiliki pelabuhan, bandar, pasar dan mata uang. Di sekitar
makam-makam raja Pasai, di wilayah Geudong, Aceh Utara,
ditemukan adanya sejumlah deureuham.1 Menurut Ibrahim Alfian,
deureuham adalah mata uang Aceh pertama. Istilah deureuham
berasal dari kata Arab, dirham, yang artinya uang yang terbuat dari
perak. Tetapi di Samudera-Pasai, masih menurut Ibrahim Alfian,
dirham maknanya adalah uang dari emas. Uang emas ini beratnya
0,57 gram, mutu 18 karat dengan garis tengah satu centimeter.2
Di lokasi makam raja-raja Pasai ini, banyak peninggalan sejarah
seperti mata uang dan batu nisan, namun mengalami nasib yang
tragis. Bayangkan saja, sesudah hujan turun, para pembuat garam
sering menemukan deureuham di sekitar kompleks makam, namun
karena pemerintah tidak menghargai penemuan ini, maka nelayan
pembuat garam kemudian menjualnya ke tukang emas orang
Cina di Pasar Geudong untuk dilebur menjadi subang (anting:
yang di pakai pada telinga), kalung dan perhiasan silly lainnya.
Seperti yang dicatat dengan seksama oleh Ibrahim Alfian, pada
tahun 1953 harganya hanya Rp. 25,- —sesuatu yang memilukan
hati mendengarnya. Beratus-ratus keping uang emas peninggalan
bersejarah ini hilang dalam panci pemanas emas di toko-toko
Cina.3
Mata uang deureuham, ternyata tidak hanya menjadi alat
tukar dalam perdagangan semata. Mata uang ini juga menjadi alat
perekam kejadian-kejadian politik. Dari koleksi deureuham yang

1 Teuku Ibrahim Alfian, Kronika Pasai: Sebuah Tinjauan Sejarah, (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1973), hlm. 4.


2 Teuku Ibrahim Alfian, Ibid., hlm. 4.
3 Teuku Ibrahim Alfian, Loc.cit.
102 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

dimiliki oleh kolektor benda bersejarah, H. Scheffer, di Negeri


Belanda, sebagaimana ditemukan oleh Dr. H.K.J. Cowan, ada
sebuah mata uang deureuham yang bertuliskan “Mansur Maliku’l
Zahir”.4 Menurut Cowan, dari deureuham yang ada, dapat
diketahui bahwa Malik Al-Zahir adalah gelar yang dipakai oleh
sebagian besar keturunan Sultan Malikussaleh. Selain itu,
pelabuhan Samudera adalah bukti perkembangan masyarakat dan
negara yang sudah kompleks. Pelabuhan Samudera dalam jalur
perdagangan Selat Malaka adalah jalur perdagangan penting dan
termasuk dalam sejarah jalur sutra (silk road) yang merupakan
jalur perdagangan luas menjangkau ke seluruh dunia.

Mata Uang Deureuham Pasai


Mata uang deureuham adalah bukti sejarah sudah majunya
Kerajaan Samudera-Pasai, dan pada masa itu tulisan telah
dikenal. Zaman pra-sejarah telah berakhir di Nusantara sejak
ditemukannya tulisan di Muarakaman, Kalimantan pada abad ke-
2, dengan demikian peradaban sejarah di Nusantara telah
tumbuh dan berkembang, setidaknya sejak sebelum abad ke-2
tersebut. Sesuai dengan tulisan yang ditemukan tersebut masih
sangat kentara pengaruh agama Hindu dan bahwa itu adalah
merupakan tulisan yang berlatar belakang budaya India (Hindu).
Dengan demikian manusia di bumi Nusantara pada masa abad
itu telah melakukan hubungan sosial budaya dengan bangsa lain
di dunia. Demikian pula halnya manusia yang ada di Aceh, jauh
sebelum Islam datang ke wilayah itu telah ada hubungan dengan
manusia lain yang ada di belahan dunia yang lain, baik dengan
India, Cina, Persia dan sebagainya. Seiring waktu berjalan,
peradaban dan kebudayaan itu terus berkembang, hingga
kemudian merambah kepada hubungan ekonomi (dagang), dan
pada masa alat tukar “uang” belum ada, perdagangan dilakukan
dengan cara tukar-menukar barang yang dibutuhkan, “sistem

Lihat H.K.J. Cowan, “Bijdrage tot de kennis der Geschiedenis van het Rijk
4

Samoedra-Pase”, Tijdscrift vor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde (1938), hlm. 206,
sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Alfian, dalam Kronika Pasai….Ibid., hlm. 18.
Sistem Ekonomi Samudera-Pasai 103

barter”. Kemudian masa itu telah terlewati hingga kemudian


manusia dalam melakukan transaksi perdagangan telah
menggunakan alat tukar berupa uang logam.
Pada masa Rasulullah saw abad ke-6, di mana beliau juga
telah berinteraksi dengan masyarakat Persia dan Romawi, yang
dalam hubungan sosial ekonominya telah mengenal mata uang,
yakni berupa dinar dan dirham yang merupakan mata uang Persia
dan Romawi. Dan Rasulullah pernah bersabda, sebagaimana
disebutkan dalam sebuah hadits: “Abu Bakr Ibn Abi Maryam
mengatakan, bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘akan datang
suatu masa di mana tidak ada lagi yang berguna untuk dijadikan
simpanan kecuali Dinar dan Dhirham.’ (Musnad Imam Ahmad bin
Hambal).”5 Kemudian pada masa pemerintahan Umar Bin
Khattab (634-644), mata uang dinar dan dhirham itu diadopsi
menjadi alat tukar yang sah dalam masa pemerintahannya hingga
kemudian Umar Ibn Khattab, menetapkan standar mengenai
perbandingan Dinar dan Dhirham dalam kadar berat dan nilai 7
dinar harus setara dengan 10 dhirham’, dan Organisasi
Perdagangan Islam dunia yang di organisir oleh Jam’ah al-
murobithun, membuat dinar dan dhirham sesuai dengan standar
Umar ra, dimana uang dinar dengan berat 4,3 gram terbuat dari
emas 22 karat (0,916) yang bergaris tengah 23 mm, dan uang
dhirham dengan berat 3 gram terbuat dari bahan perak murni
925 karat dan berdiameter 25 mm6.
Di Nusantara, dari sejak masa kerajaan-kerajaan telah juga
dipergunakan uang sebagai alat tukar, dan fungsi uang di
Nusantara sebagai alat tukar diperkirakan sudah ada sejak abad
ke-7. Hal ini dapat diketahui dari pelbagai sumber literatur dan
peninggalan sejarah, dan semula bentuknya berupa uang logam
dari bahan perak. Dari penemuan sejarah dan sumber literatur,
diketahui bahwa pada awalnya uang dibuat dari bahan perak,
berbentuk setengah bulat, pada sisi mukanya terdapat ukiran
jambangan dan kepulan asap. Sedang pada bagian sisi belakang,

5 ………. ,”Dinar dan Dhirham”, Cahaya Peradaban, 1423 H edisi ke-1 tahun I
(2002 M), hlm. 57.
6 Ibid.
104 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

terdapat ukiran bunga Padma, di tengah dalam sebuah bingkai.


Selain bentuk setengah bulat, ada pula uang yang berbentuk segi
empat dan berbentuk menyerupai kancing yang bagian sisi
mukanya terdapat ukiran huruf Jawa Kuno.
Pada abad ke-9, sekitar tahun 856 hingga 1158, di zaman
Kerajaan Jenggala, yaitu kerajaan tertua di Pulau Jawa yang
berlokasi di Kediri Jawa Timur, telah digunakan uang sebagai alat
tukar dalam transaksi perdagangan, dan alat pembayaran itu
disebut khrisnala. Uang khrisnala terdiri dari beberapa bahan dan
pecahan. Antara lain, pecahan 8, 12, 16, 24 dan 48 yang terbuat
dari emas. Sedang pecahan 1/2 dan 1 terbuat dari perak dan
perunggu. Kemudian di zaman kerajaan Majapahit, sekitar abad
13, juga dikenal uang gobog, dan ciri-cirinya adalah berbentuk
bulat, pipih yang di tengahnya berlubang segi empat menyerupai
uang gobog Cina. Kemiripan dengan uang gobog Cina adalah
menunjukkan telah adanya hubungan antara Majapahit dengan
negeri Cina, yang memang pada masa itu telah ramai hubungan
perdagangan Internasional. Kemudian uang gobog Majapahit
tersebut ada juga yang tanpa lubang, dan pada umumnya uang
gobog berukir-ukiran atau bergambar binatang, wayang dan relief
yang menggambarkan cerita rakyat pada masa itu. Di Kerajaan
Banten sekitar abad ke-14, terdapat juga uang yang menyerupai
uang gobog di Majapahit, yaitu uang gobog Banten, dan jenis uang
ini diperkirakan dibuat pada masa pemerintahan Sultan Maulana
Muhammad Pangeran Ratu Banten. Dan terbuat dari bahan
tembaga. Uang gobog Banten terdiri dari pelbagai pecahan, dan
garis tengahnya berukuran sekitar 24 sampai 41 mm, dengan
ketebalan 1 sampai 3 mm.
Di Kerajaan Sumenep, terdapat uang reyal atau real yang
terbuat dari batu yang digunakan pada masa pemerintahan Sultan
Paku Nataningrat dari Kesultanan Sumenep. Pada abad ke-19
sekitar tahun 1812-1854, jenis uang ini sebenarnya berasal dari
mata uang kerajaan Spanyol, tetapi kemudian dimodifikasi
dengan memberi semacam stempel berupa huruf Arab
"Sumenep", “angka" atau "bunga mawar". Ciri uang “real batu”
Sumenep ini bentuknya tidak beraturan dan terbuat dari bahan
Sistem Ekonomi Samudera-Pasai 105

perak campuran. Kemudian di Kerajaan Gowa-Sulawesi, yakni di


Sulawesi Selatan, tepatnya di Kerajaan Gowa, uang dinar yang
terbuat dari emas dikenal pada masa pemerintahan Sultan
Hasanuddin, sekitar abad ke-17. Dan ciri-cirinya yaitu, bentuknya
bulat pipih, berdiameter sekitar 20,45 mm, tebal 1,40 mm, mirip
seperti uang deureuham Aceh. Pada sisi muka terdapat tulisan
"Sultan Hasanuddin" dengan menggunakan huruf Arab. Sedang
pada sisi belakang terdapat angka tahun Arab. Di Sumatera,
berkenaaan dengan alat tukar ini ditemukan berupa mata uang
Kerajaan Jambi yang diperkirakan dibuat pada tahun 1840, sesuai
tulisan dan angka Arab di sisi bagian belakang sanat 1256
7(mungkin maksudnya tahun 1840).8

Dan adapun di Kerajaan Samudera-Pasai alat tukar yang


dikenal adalah uang deureuham yang terbuat dari emas.9 Jenis uang
ini digunakan pula pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Aceh
dari awal abad ke-13, yaitu pada masa Sultan Malikussaleh
sebelum menjadi sultan, sebagaimana kisah dalam Kronika Pasai,
“….marilah kita muslihatkan kerbau jalang yang tiada berguna
pada tuan-tuan sekalian itu; hamba hendak perkenakan ia, maka
diupahnya oleh Meurah Silu akan mereka itu dengan emas dan
perak…,”10 juga pada masa Sultan Muhammad Malik az-Zahir
(1267-1326) hingga abad ke-18, pada masa Kesultanan Aceh
Raya Darussalam. Di masa jaya kerajaan - kerajaan Aceh abad 13
sampai 18, sejak pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-
Zahir (1267-1326), mata uangnya bernama Deureuham (baca :
Derham). Derham bisa mencapai 50 jenis, sesuai periode
pemerintahan raja-raja di Aceh. Dan ciri-ciri Derham Aceh, yaitu
berbentuk bundar pipih sekitar 1 mm, bergaris tengah 8-10 mm.
Sedangkan Derham Aceh yang dibuat 2 abad sesudahnya
memiliki ukuran lebih besar 12-14 mm. Semua deureuham Aceh
berhuruf Arab di kedua sisinya. Pada sisi muka semua menyebut

7 Istilah sanad berasal dari bahasa Arab yang artinya “bukti pembayaran”.
8 1256 Hijriyah.
9 Teuku Ibrahim Alfian, Kronika Pasai, Sebuah Tinjauan Sejarah, (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1973), hlm. 4.


10 Teuku Ibrahim Alfian, Ibid, hlm. 44.
106 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Sultan dengan gelar Malik Az-Zahir, kecuali yang dikeluarkan


pada masa Sultan Salah ad-Din (1405-1412), sedangkan pada sisi
belakang menyebut nama Sultan al-Adil.11 Dan sebagai bukti
juga, pada tanggal 9 April 2002 Prof Ibrahim Alfian yang menjadi
promotor untuk penganugerahan gelar doktor honoris causa
UGM kepada Sultan Brunei Hassanal Bolkiah di mana secara
pribadi, beliau menyerahkan kenang-kenangan sekeping mata
uang mas kuno yang dulu dipakai di Samudera-Pasai. "Masa itu
satuan uangnya disebut Dirham. Di sana tertulis kalimat,
memerintah dengan peri keadilan. Ini merupakan pernyataan
resmi raja-raja Samudera-Pasai bahwa mereka akan mengelola
negaranya dengan berkeadilan. Janji tersebut dicantumkan dalam
keping uang sebagai tanda jaminan. Saya (Ibrahim Alfian)
berharap, teladan termaksud masih tetap dilestarikan sampai
sekarang."12
Di era kerajaan Banjarmasin Kalimantan, uang dikenal
dengan sebutan “doewit” dan beredar sekitar tahun 1812. dan ciri-
ciri uang doewit terbuat dari tembaga, bentuknya bundar dengan
garis tengah 22 mm dan tebal 1 mm. Pada sisi depan bergambar
hati dengan tulisan dan angka Arab. Berdasarkan gambar yang
ada, terdapat kesamaan antara uang doewit dan mata uang
perusahaan dagang Inggris yang berlaku di pulau Sumatera,
Kalimantan dan Malaya pada sekitar abad ke 18. Kemudian di
masa kerajaan Buton, uang yang diterbitkan berbeda dengan
uang yang dikeluarkan kerajaan-kerajaan lain di Indonesia. Pada
masa itu, kerajaan Buton tidak menggunakan logam sebagai mata
uang, tetapi menggunakan kain yang ditenun sendiri oleh puteri
raja dan mata uang itu populer dengan sebutan kampua atau bida.
Dan mulai beredar diperkirakan pada masa pemerintahan ratu
Bulawambona pada abad ke 14. Nilai tukar Kampua atau Bida
ditentukan oleh Menteri Besar Kerajaan (semacam Perdana
menteri) yakni setiap satu butir telur, bisa ditukar dengan uang
kain yang lebarnya 4 jari dan panjangnya seukuran tapak tangan

Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, 1994), hlm. 248.


11
12 Julius Pour, “Teuku Ibrahim Alfian: Keterikatan Samudera Pasai-

Mataram”, Kompas, 6 Mei 2003.


Sistem Ekonomi Samudera-Pasai 107

Menteri Besar yang bersangkutan. Maka banyak uang kampua


atau uang bida yang ukurannya berbeda-beda. Kemudian corak
kampua atau bida setiap tahun diubah, agar tak mudah dipalsukan.
Dan sanksi bagi pemalsu uang pada masa itu sangat berat yaitu:
hukuman mati. Ketika ekonomi sudah berkembang, hukum
menjadi sesuatu yang sangat penting dan melekat bersamaan
dengan perkembangan ekonomi suatu masyarakat.
Pada masa kesultahanan Samudera-Pasai di bawah
kekuasaan Sulthan Malikussaleh, alat tukar sudah terbuat dari
logam mulia, yakni emas dan bernama dirham. Sehubungan
dengan hal itu maka usaha pertambangan pun pada masa
kesulthanan Samudera-Pasai telah berkembang sebagai upaya
pemenuhan bahan baku untuk pembuatan uang dan perhiasan
dari logam mulia tersebut. Dan usaha pertambangan itu bermula
dari adanya temuan dari seseorang yang berasal dari benua
Keling yang datang untuk berniaga ke Samudera-Pasai.13 Semula
orang-orang kesulthanan Samudera-Pasai tiada dapat mengetahui
potensi sumber daya alam tersebut, bahwa didalam negerinya ada
tujuh situs penggalian emas.14 Setelah Sulthan Malikussaleh
menerima laporan dari para pembantunya mengenai adanya
potensi sumber daya pertambangan dan kemudian Sulthan
Malikussaleh mengadakan konfirmasi dengan orang yang berasal
dari benua Keling tersebut, kemudian Sulthan Malikussaleh
memerintahkan kepada orang benua Keling tersebut dan dibantu
oleh para pekerja yang di tunjuk Sulthan untuk memulai aktifitas
pertambangan, dengan diperlengkapi oleh Sulthan segala alat
perlengkapan untuk keperluan aktifitas pertambangan itu.15 Dari
aktifitas penggalian atas potensi pertambangan yang semula di
laporkan kepada Sulthan ada tujuh situs sesuai dengan prediksi
orang benua Keling. Setelah adanya aktifitas penggalian yang
berhasil ditemukan hanya lima situs (lima medan).16 Dari hikayat

13 Teuku Ibrahim Alfian, Op.cit, hlm. 57.


14 Teuku Ibrahim Alfian, Loc.cit.
15 Teuku Ibrahim Alfian, Loc.cit.
16 Teuku Ibrahim Alfian, Loc.cit..
108 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

raja-raja Pasai ini dapatlah diketahui bahwa kemajuan peradaban


Samudera-Pasai sudah demikian tinggi.

Pelabuhan dan Perdagangan


Samudera-Pasai sebagai kerajaan yang sumber devisanya
mengandalkan hasil perdagangan adalah sebuah kerajaan yang
terkenal dan maju karena perdagangan dan pelayaran, sehingga ia
disebut sebagai kerajaan maritim. Pertumbuhan kehidupan
perekonomiannya dan perkembangan Islam tidak mempunyai
basis agraria.17 Samudera-Pasai secara geografis berada dan
menguasai jalur perdagangan yang sangat penting, di Selat
Malaka. Keterkenalan Samudera-Pasai ini terbukti dari peristiwa
bersejarah Perang Pasai-Siam. Menurut Ibrahim Alfian, bahwa
dalam Kronika Pasai diceritakan kedua kerajaan, Samudera dan
Pasai, bertambah makmur.18 Samudera dan Pasai bukanlah
kerajaan primitif karena sistem perdagangannya sudah maju dan
kompleks.
Samudera-Pasai, sebagai negara maritim di mana
perekonomiannya mengandalkan sektor perdagangan dan
pelayaran, hingga setiap kapal asing yang mengangkut barang dan
masuk dalam pelabuhan Samudera-Pasai dikenakan pajak
sejumlah 6 persen.19 Ditinjau dari segi geografis dan sosial
ekonomi, Samudera-Pasai memang merupakan suatu daerah yang
amat penting sebagai penghubung antara pusat-pusat
perdagangan di Nusantara, India, Cina, Arab, dan memiliki
pelabuhan yang cukup baik untuk hal itu.20 Dengan ramaiannya
aktifitas perdagangan dan pelayaran pada pelabuhan di
Samudera-Pasai, yang berada di pantai Aceh Timur yang
bernama Kuala Majapahit, sering dipergunakan berlabuhnya
kapal-kapal dagang dan juga sering dipergunakan sebagai tempat
penyelundupan barang-barang dari luar Samudera-Pasai.21

17 “Samudera-Pasai-kerajaan”, dalam Ensiklopedia Islam…, Loc.cit.


18 Ibrahim Alfian, Kronika Pasai….., Op.cit., hlm. 25.
19 Ensiklopedia Islam……, Loc.cit.
20 Ibid.
21 Teuku Ibrahim Alfian, Op.cit., hlm. 26.
Sistem Ekonomi Samudera-Pasai 109

Betapa majunya perekonomian Samudera-Pasai dengan


perdagangan dan pelayarannya, hingga pada masa itu sudah
terdapatnya penyelundupan. Penyelundupan dalam teori
ekonomi, menandakan adanya sistem dagang yang ketat dengan
peraturan-peraturan yang mengikat. Adanya penyelundupan
menandakan pajak yang biasanya dikutip oleh syahbandar
berusaha untuk dihindari.
Pelabuhan di Samudera-Pasai adalah bagian dari jaringan
dagang yang melalui berbagai pelabuhan-pelabuhan lainnya di
dunia, khususnya di Asia Tenggara. Pelabuhan di Asia Tenggara,
khususnya dalam jejaring pelabuhan di tanah Melayu, merupakan
satu kesatuan zona dagang yang eksklusif. Zona dagang ini
menuntut adanya infrastruktur pelabuhan di berbagai tempat.
Maka Samudera-Pasai, Kedah, Malaka, Selangor, Langkasuka,
Takola, Kelantan, Trengganu, Pahang, Johor, Singapura dan lain-
lain tempat. Artinya, kalau kita lihat dari ekonomi politik zaman
sekarang, gagasan tentang AFTA (ASEAN Free Trade Zone)
ternyata sudah dimulai sejak abad ke-13 hingga pertengahan abad
ke-14. Untuk melihat bagaimana terbentuknya zona dagang
melalui jaringan pelabuhan-pelabuhan di sekitar Selat Malaka ini,
terlebih dahulu kita harus memahami bagaimana perkembangan
kebudayaan awal (the isthmian age) di tanah Melayu.
Menjelang zaman perkembangan kebudayaan awal atau The
Isthmian Age, muncul beberapa tempat tinggal di pinggir pantai
dan muara-muara sungai dari bagian utara Segenting Kra hingga
Kedah di bagian selatan.22 Zaman ini menyaksikan kelahiran
beberapa kerajaan seperti Kedah, Kalah, Takola, Langkasuka dan
Tun-sun. Menurut Wheatley, walaupun terdapat asas bagi
kelahiran persekutuan kerajaan tetapi terdapat laporan yang
menunjukkan kewujudan sebuah kerajaan yang kuat hingga
berjaya menguasai seluruh rantau Segenting Kra di bawah
pemerintahannya. Ini berlaku karena keadaan geografisnya yang
bergunung-ganang serta kawasan berlembah yang berupaya
menghalangi kerajaan tersebut meluaskan kawasan takluknya.

22 Paul Wheatley dalam bukunya, The Golden Khersonese menamakan zaman ini
sebagai The Age of City States. Lihat Lim Heng Kow, 1978, hlm. 1.
110 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Dalam konteks ini, jelas bahwa muncul beberapa unit bandar


yang bersinggungan dengan kawasan pedalaman yang tidak
bergantung kepada bandar.
Pada tahap-tahap selanjutnya, dapat disaksikan beberapa
pusat bandar seperti Kedah, Temasik, Malaka, Klang, Kuala
Trengganu dan Johor yang merupakan bandar-bandar utama
kerajaan. Pelabuhan-pelabuhan di Kuala sungai di pantai timur
ataupun pelabuhan pinggir laut di sepanjang Selat Malaka
memberikan gambaran tentang proses urbanisasi di Alam Melayu
sebelum kedatangan pengaruh kolonial dan imigran. Walau
bagaimanapun, bandar-bandar ini tidak melalui proses
pembangunan perbandaran yang berkesinambungan dan tidak
meletakkan dasar bagi kelahiran sistem pembandaran pada
zaman yang seterusnya.23
Terdapat beberapa faktor yang mendorong kemunculan
kerajaan di alam Melayu. Antara lain kedudukan geografi
Semenanjung Tanah Melayu di tengah-tengah lalu lintas
perdagangan antara timur dan barat yang menyebabkan ia
menjadi tempat persinggahan bagi para pedagang. Pada awal
abad masehi, Kerajaan Funan dan diikuti oleh Kerajaan Khmer
terlibat dalam kegiatan perdagangan. Para pedagang dari India
dan Arab berminat untuk menggunakan jalan darat meuju
Segenting Kra dan itu dipandang lebih efektif dan ekonomis
daripada menggunakan lalu lintas laut di Selat Malaka. Inilah yang
menyebabkan muncul kerajaan di rantau Segenting Kra pada
zaman Isthmian Age.
Setelah kejatuhan Kerajaan Funan, di Asia Tenggara
beralih ke selatan khususnya dengan kemunculan Dinasti
Sailendra, Sriwijaya (Palembang sekarang) dan diikuti oleh
Kerajaan Majapahit. Perkembangan ini telah menyebabkan lalu
lintas darat yang telah dirintis antara Segenting Kra hilang
kepentingannya. Sebaliknya lalu lintas Selat Malaka menjadi
bertambah penting. Perkembangan ini telah menyebabkan
muncul beberapa bandar dan pelabuhan di kedua belah
semananjung Tanah Melayu dan juga Temasek. Ptolemy
23 Ibid.
Sistem Ekonomi Samudera-Pasai 111

menyebut tentang Takola, Sabana, Kole dan Palada yang muncul


pada abad ke-2. Takola dan Sabana ialah pelabuhan manakal
Kole dan Palada merupakan bandar. Sumber-sumber tertulis
menyebut politisi-politisi awal seperti Tun-sun, Chu-tu-Kun,
Chu-Li, Pan-Pan, Langkasuka dan Ko-Lo. Bahwa antara abad ke-
7 dan ke-13, telah muncul persinggahan-persinggahan di
Kelantan, Trengganu, Pahang, Johor, Singapura, Selangor dan
Kedah. Kebangkitan Malaka pada abad ke-15. Meletakkan dasar
yang kukuh bagi kelahiran kekuasaan politik di Semenanjung dan
berjaya kemudian muncul sebagai pelabuhan entrepot utama di
Nusantara.
Kedah ialah negeri yang tertua di Tanah Melayu. Pelabuhan
Kedah merupakan yang terbesar di Semenanjung sebelum
kemunculan Malaka. Berdasarkan kepada sumber-sumber
arkeologi dan dokumen-dokumen Cina, India dan Arab,
Wheatley berpendapat bahwa pelabuhan di selatan Kedah
bertarikh abad abad ke-5 atau ke-6. Sumber-sumber Cina
menyatakan bahwa ia merupakan tempat persinggahan yang
penting antara Cina, India dan Arab. Perkembangan kerajaan dan
pelabuhan entrepot di Kedah di dorong oleh pertumbuhan dan
pesatnya perdagangan antara bangsa. Pedagang-pedagang dari
Cina, Arab dan India memainkan peranan yang aktif dalam
perdagangan di Kedah. Dari abad ke-7 hingga ke-11, Kedah
berkembang sebagai pelabuhan entrepot yang amat penting.
Walau bagaimanapun, kegemilangan Kedah sebagai pusat
perdaganagn berakhir pada akhir abad ke-11, yang merupakan
akibat dari serangan tentara Chola pada tahun 1025.24
Pada masa permulaan berdirinya, Malaka hanya merupakan
sebuah perkampungan nelayan kecil. Setelah mendapat
perlindungan dari Cina, kemudian Malaka berjaya dan muncul
sebagai pelabuhan entrepot yang kaya. Pada akhir abad ke-15,
pelabuhan di Malaka bukan saja merupakan pelabuhan entrepot
terbesar di Asia Tenggara bahkan yang terbesar di dunia. Ia
menjadi tumpuan pedagang dari Arab, Parsi, India, Cina dan juga
dari Alam Melayu. Penduduk di Malaka pada masa itu
24 Ibid., hlm. 9.
112 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

diperkirakan 40.000 orang termasuk pedagang asing.


Memperhatikan maklumat tentang bandar Malaka, gambaran
tentangnya diperbincangkan secara umum. Istana raja terletak di
atas bukit St.Paul, istana desa yang didirikan di tengah-tengah
dusun dan sawah di lembah Bertam. Orang-orang Melayu
terutamanya golongan imigran mendirikan kediaman di kaki
bukit St.Paul dan berdekatan dengan muara Sungai Malaka.
Sementara itu orang laut juga mendirikan tempat-tempat tinggal
di tepi laut. Sebuah tembok telah didirikan meliputi seluruh
bandar di kaki bukit. Pedagang-pedagang kaya mendirikan rumah
mereka di luar tembok tersebut walaupun mereka mempunyai
pejabat perniagaan di dalam bandar.25 Selain itu, bandar Malaka
juga mempunyai pusat jual beli utama dan gudang-gudang untuk
pedagang-pedagang asing.26

Ekspor dan Impor


Selain sebagai pusat perkembangan Islam di Nusantara,
Samudera-Pasai juga sebagai pusat perdagangan internasional.
Hubungan dagang dengan pulau Jawa sudah terjalin, bahkan
kedudukan para pedagang dari Jawa mendapat posisi yang
istimewa dalam hubungan dagang dengan Samudera-Pasai. Dan
komoditi yang diperdagangkan antara Samudera-Pasai dengan
Jawa, pada umumnya jenis komoditi beras dan komoditi dari
Samudera-Pasai adalah lada, dan transaksi perdagangannya telah
menggunakan dirham sebagai alat tukar, akan tetapi ada juga
transaksi perdagangan itu bersifat tukar komodoti (barter), antara
beras dengan lada.27 Besarnya pajak yang ditetapkan Kesultanan
Samudera-Pasai adalah sebesar 1 maze atau 16 tael uang Malaka
terhadap setiap bahar barang yang diekspor. Penetapan itu
berdasarkan atau tergantung dari kapal atau jung. Makanan tidak

25 Ibid., hlm. 311.


26 Sivachandralingam Sundara Raja Ayadurai Letchumanan, Tamadun Dunia,
(Selangor: Fajar Bakti, tahun?), hlm.49-50. Lihat juga Rammani Karupiah, Sejarah
Tamadun Dunia, Paper 940/1, (Selangor: Pustaka Sarjana, tahun?), hlm. 32.
27 Doty Damayanti, “Mencari Jejak Kejayaan Kerajaan Samudera Pasai”,
Kompas, 15 November 2003.
Sistem Ekonomi Samudera-Pasai 113

dikenakan cukai, melainkan dengan cukup memberi hadiah saja


kepada sultan. Barang-barang impor dari Barat dikenakan pajak
sebesar 6%. Budak dijual dengan harga lima maze emas. Kerajaan
Malaka pada awal perkembangannya mengimpor budak dari
Samudera-Pasai.28
Pertukaran komoditi yang terjadi antara Samudera-Pasai
dengan Jawa, dimungkinkan bahwa Jawa pada masa itu belum
memiliki mata uang. Perlakuan istimewa terhadap para pedagang
Jawa oleh Samudera-Pasai, juga tampak dengan adanya
pembebasan pembayaran cukai.29 Walaupun Samudera-Pasai
memiliki kelebihan dalam bidang perdagangan yaitu sebagai
bandar perdagangan yang cukup ramai tetapi Samudera-Pasai
tidak memiliki satupun alat transportasi besar yang pada kala itu
disebut jung. Alat transportasi yang dimiliki oleh Pasai hanya
berupa lanchera (kapal kecil) yang diperkirakan hanya ada empat
buah itupun di impor dari Malaka. Samudera-Pasai tidak dapat
memproduksi jung ataupun lanchera karena tidak tersedianya
bahan baku utamanya yaitu kayu jati di daerah ini.30
Tercatat dalam sejarah selama abad 13 sampai ke 16,
Samudera-Pasai dikenal sebagai pelabuhan yang paling sibuk,
pada saat itu diperkirakan kerajaan Samudera-Pasai telah
berkesanggupan mengekspor lada sekitar 8.000 sampai 10.000
bahar setiap tahunnya.31 Harga per bahar lada sekitar 20 potong
perak, masing-masing berat enam tael. Selain lada Samudera-
Pasai mengekspor sutera dan benzoin.32 Penduduk Samudera-
Pasai juga memproduksi benzoin dan kamphon untuk kebutuhan

28 Satu bahar sama dengan 350 kati. W.P. Groeneveldt ., Historical Notes On

Indonesia & Malaysia Compiled From Chinese Sources, (Jakarta: Bhatara, 1960), hlm. 87.
29 Doty Damayanti, Ibid.
30 Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires,
(Nendelyn/Lichtenstein: Kraus Reprint Limited, 1967), hlm. 145.
31 Doty Damayanti, Loc.Cit.
32 Uka Tjandrasasmita, “Peraan Samudera-Pasai dalam Perkembangan Islam

di beberapa Daerah Asia Tenggara”, dalam: Hasan Muarif Ambary dan Bachtiar Ali
(ed.), Retrospeksi dan Refleksi Budaya Nusantara, (Jakarta: Taman Iskandar Muda, 1988),
hlm. 87.
114 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

pedagang Arab, Persia dan Cina.33 Demikian juga beras,


berhubung dengan penanaman lada yang cukup luas karena
dilihat dari nilai ekspornya setiap tahunnya, kebutuhan pangan
(beras) tidak dapat dipenuhi oleh penduduk Samudera-Pasai,
Kerajaan Samudera-Pasai terpaksa mengimpor beras dari
Majapahit (Jawa Timur). Dalam pengaturan beras impor dari
Jawa Timur (Majapahit) agar kebutuhan pangan rakyatnya
terpenuhi, Kesultanan Samudera-Pasai memberikan kebijakan
ekonomi pada saat itu, berhubungan dengan kebutuhan beras
sangat dibutuhkan rakyatnya maka untuk memastikan
terpenuhinya cadangan bahan makanan tersebut, Kesultanan
Pasai membebaskan pajak masuk atas beras-beras impor
tersebut. Selain bahan makanan, barang-barang yang diimpor
adalah sutera berwarna, barang-barang tembikar, tembaga, besi,
dan kain yang berasal dari Cina.34
Pada zaman pemerintahan Sultan Malikul Dhahir,
Samudera-Pasai berkembang menjadi pusat perdagangan
internasional. Sutra, barus dan emas adalah komoditas penting
dalam perdagangan dunia. Ekspor Samudera-Pasai ke berbagai
negara dan kerajaan di berbagai belahan dunia telah
menempatkan Samudera-Pasai sebagai jalur perdagangan yang
sangat penting. Emas dan barus merupakan produk yang
digemari oleh penduduk di berbagai negeri di Afrika dan Eropa.
Sementara sutra adalah produk yang digemari oleh hampir semua
bangsa. Jalur perdagangan sutra ini kemudian menjadi jalur yang
sangat penting, tidak hanya secara ekonomi sebagai produk yang
mempunyai nilai jual yang tinggi dan permintaan besar yang terus
meningkat di Asia, melainkan juga jalur ini dipakai sebagai jalur
untuk menyebarkan agama Islam, baik secara kultural maupun
militer.

33 Eleanor Selling, “The Evolution of Trading States in Southeast Asia

before 17 th Century”, Thesis Ph.D, (Columbia: Columbia University, 1981), hlm. 16.
34 Manuel Godinho de Eradia, “Description of Malacca and Meridional

India and Cathay”, Terjemahan dan diberi catatan oleh JV. Mills, JMBRAS VIII
(1930) 1, hlm. 26.
Sistem Ekonomi Samudera-Pasai 115

Jalur sutra (silk road) adalah jalur perdagangan dan migrasi


bangsa-bangsa dalam jumlah yang besar dengan menggunakan
pilar Islam sebagai identitas kulturalnya. Pelabuhan Samudera-
Pasai bukan hanya diramaikan oleh para pedagang dari kerajaan-
kerajaan yang ada di Nusantara, tetapi juga diramaikan oleh
pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, Cina, dan Eropa.35***

35 Doty Damayanti, Loc.cit.


Sistem Hukum Samudera-Pasai 117

Bab 6
SISTEM HUKUM SAMUDERA-PASAI

Sebagaimana telah dibahas pada bab-bab sebelumnya


bahwa Samudera-Pasai merupakan sebuah kerajaan hukum
(Islam) yang dapat diartikan bahwa sistem hukum yang
berlaku di kerajaan pada praktiknya menggunakan hukum
Islam. Sebelum membahas hukum yang berlaku di Samudera
Pasai, tidak ada salahnya penulis ingin mengulas sedikit
tentang kajian hukum di Indonesia. Menurut J.F Holleman
dalam membahas mengenai hukum, Indonesia di anggap
sebagai laboratorium hukum yang sangat menarik.1 Sebagai
sebuah laboratorium, hukum apabila diteliti, akan ditemukan
keragaman sesuai dengan rumpunnya. Ada tiga rumpun
hukum yang dapat di jumpai dalam literatur hukum di
Indonesia, antara lain hukum Islam, hukum adat dan hukum
warisan kolonial.2 Hukum adat, merupakan hukum yang
tumbuh dan berkembang dari masyarakat setempat.
Sedangkan hukum Islam dan hukum warisan kolonial adalah
hukum yang dibawa dari luar Indonesia: hukum Islam berasal
dari negeri Arab dan hukum warisan kolonial merupakan
peninggalan Belanda. Khususnya pada dua bentuk hukum
Islam dengan hukum adat, dijumpai adanya akulturasi satu
sama lain. Dan ternyata, hukum Islam mempengaruhi hukum
adat, sebaliknya hukum Islam dipengaruhi adat.3
Penggunaan istilah “hukum Islam” menjadi istilah yang
khas di Indonesia, terjemahan dari al-fiqh al-Islamy atau dalam
konteks tertentu berasal; dari al-syari’ah al-Islamy. Dalam Al-
Qur’an dan Hadist tidak di jumpai al-hukm al-Islamy, tapi
menggunakan kata syari’ah yang dalam penjabarannya
1 Lihat J.F. Holleman, (ed.), Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law,
(Leiden: Koniklijk Instituut voor Taal-Land-en Volkendunde, 1981), hlm. xxxix.
2 Lihat L. J. Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita,

1985).
3 Lihat R. Soerojo Wignjodipoero, Kedudukan serta Perkembangan
Hukum Adat setelah kemerdekaan, (Jakarta: Gunung Agung, 1982).
118 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

kemudian lahir istilah fiqh.4 H.A.R. Gibb berpendapat bahwa


hukum Islam adalah sistem etika yang kontras dengan sistem
hukum, ia mendefinisikan sebagai berikut: (1) klasifikasi dan
kategori dalam hukum Islam bersifat yuridis, (2) hukum Islam
banyak membicarakan tentang “kewajiban”, bukan “hak” atau
terdapat lebih banyak penekanan pada kewajiban dikerjakan
oleh seseorang daripada apa yang menjadi haknya, (3)
hukuman dan sanksi dalam hukum Islam bersifat religius dan
moral, bukan perdata.5
Hukum Islam banyak membicarakan tentang moral yang
sangat erat kaitannya dengan kebiasaan manusia, maka hukum
Islam tidak lepas dari lingkungan dimana hukum Islam
tersebut berada.6 Kebiasaan manusia sering disebut dengan
adat sering kita lihat hukum Islam dipengaruhi oleh adat,
bukan sebaliknya. Mazhab Syafi’i dan Hambali tidak
memperhatikan adat dalam keputusan hukum mereka.
Sedangkan Mazhab Hanafi dan Maliki menempatkan konsep
adat secara luas.7
Di antara mazhab-mazhab yang ada, Mazhab Syafi’i lah
yang banyak mempengaruhi pola kehidupan keagamaan umat
Islam di Indonesia. Paham Syafi’iyah yang berkembang di
Indonesia pada umumnya lebih menekankan aspek loyalitas
terhadap pemuka agama, sejalan dengan berkembangnya sikap
taqlid, hingga taraf-taraf tertentu menimbulkan sikap taat dan
patuh kepada para ulama secara tanpa syarat.8 Sejak kapan
aliran Syafi’iyah ini masuk ke Indonesia merupakan suatu
persoalan cukup sulit untuk dipastikan. Terdapat beberapa
kesimpulan historis tentang persoalan ini. Prof. Dr. Hamka,
berpendapat bahwa orang-orang Indonesia sejak abad pertama
4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1998), hlm. 3
5 H.A.R. Gibb, Islamic Society in the West, (Toronto: Oxford University,

1957), hlm. 118.


6 Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Hukum Adat di

Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), hlm. 5.


7 Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Islam Historis, (Jakarta: Galang
Press, 2002), hlm. 227.
8 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung:

Mizan, 1986), hlm. 47.


Sistem Hukum Samudera-Pasai 119

Hijriyah sudah menggali hukum-hukum Islam ke Mekah


dengan berintikan pada fiqh Imam Syafi’i. Mereka menamakan
dirinya sebagai golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah.9 Hoessien
Djajadiningrat, menghubungkan bukti-bukti Islam di Sumatera
Utara (Samudera Pasai) dan Gresik. Pada tahun 1913, J.P.
Moquette yang telah melakukan penelitian dan pembacaan
beberapa buah nisan yang berasal dari kampung Samudera, ia
berhasil membaca nama-nama Malikussaleh yang wafat tahun
1297. Moquette menyatakan Sultan Malikussaleh merupakan
sultan pertama atau pendiri Kerajaan Samudera-Pasai.10
Apabila pendapat Hoessien Djajadiningrat dihubungkan
dengan tahun masuknya Islam bersal dari Gujarat, seperti
pendapat Moquette maka kedatangan pengaruh Mazhab Syafi’i
ke Indonesia sekitar abad ke tiga belas.11 Meskipun adanya
pendapat bahwa Mazhab Syafi’i masuk ke Indonesia pada
abad ke tujuh (abad pertama Hijriyah), namun mengingat masa
hidup pendiri mazhab itu, yaitu Imam Syafi’i sendiri, yang
berkisar dari tahun 797-820, maka tidak mungkin mazhab
tersebut pada proses penyebaran awalnya sekitar abad ke
tujuh.12
Pada abad ke empat belas Ibnu Batutah, orang Maroko
yang terkenal itu, mengunjungi Samudera-Pasai ketika itu
Sultan Malikuzzahir yang berkuasa. Diketahui Islam telah
berkembang pesat dimana rakyat dan rajanya mengikuti paham
Syafi’iyah. Begitu juga, penyebaran Islamisasi di Jawa yang
dilakukan Walisongo yang dikenal pengikut taat aliran
Syafi’iyah. Dengan demikian bahwa Mazhab Syafi’i masuk ke
Indonesia di sekitar abad ke tiga belas merupakan perkiraan
yang masuk akal.13

9 S. Ibrahim Boechorie, Sedjarah dan Masuknya Islam dan Proses Islamisasi di

Indonesia, (Djakarta: Publicita, 1963). Hlm. 164.


10 Ayzumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara

abad ke-17- dan abad ke-18, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 24.
11 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung:

Mizan, 1986), hlm. 46.


12 Sartono Kartodirdjo, (ed.), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, (Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hlm. 29.


13 Ibid, hlm. 30.
120 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Sebenarnya kapan Kerajaan Samudera Pasai berdiri dan


Islam (Mazhab Syafi’i) sebagai hukum negara, tidak ada
kepastian yang didapat. Mengingat temuan nisan Moquette
hanya berdasarkan tahun wafatnya Malikussaleh tahun 1297.
Dinisan tersebut tidak diketahui tahun kelahirannya. Menurut
Uka Tjandrasasmita di Teungku Iboih Blang Me, masih di
sekitar Kerajaan Samudera Pasai berada telah ditemukan bukti
nisan marmer yang memuat nama Al-Malik Maulana Abd. Al-
Rahman Taj Al- Daulah Quth Al-Ma’afial- Fasi, yang wafat
Rabu, Zulkaidah 610 Hijriyah atau sekitar tahun 1214.
Kemungkinan Samudera Pasai telah berdiri setidaknya satu
abad sebelum zaman Malikussaleh.14
Sejak Seminar “Masuknya Islam di Indonesia” yang di
adakan di Medan pada tahun 1963 dan di lanjutkan oleh
berbagai seminar lainnya (1978 dan 1980 keduanya di adakan
di Aceh), dan telah sepakat mengambil kesimpulan Islam
datang ke Indonesia pada abad ke tujuh dan Kerajaan
Peureulak sebagai kerajaan Islam yang tertua dan pertama.
Walaupun sebelumnya yang dianggap tertua adalah Samudera
Pasai, dan hal itu juga didukung oleh bukti-bukti historis yang
kuat, dengan diselenggarakan seminar-seminar tersebut maka
kini berat dugaan bahwa Kerajaan Peureulak lah yang tertua.
Karena Pasai baru di kenal abad ke tiga belas, sedangkan
“konon” Peureulak telah berdiri sejak abad ke sembilan.
Hanya saja masih ada lowongan-lowongan dalam pembuktian
sejarahnya.15
Sebenarnya bukanlah suatu masalah yang besar tentang
banyak perbedaan pendapat kapan masuknya paham
Syafi’iyah ke Nusantara. Tetapi yang menjadi masalah adalah
mengapa paham tersebut mudah dan cepat dianut oleh
penduduk setempat dan bagaimana terjadinya persesuaian
antara syariah menurut ajaran Syafi’i dengan adat kebiasaan
masyarakat pra-Islam. Paham Syafi’iyah menitikberatkan pada
14 Uka Tjandrasasmita, “Proses Kedatangan Islam dan Munculnya
Kerajaa-Kerajaan Islam di Aceh”, dalam Ali Hasjmi, (ed.), Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 360.
15 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta:

LP3ES, 1987), hlm. 164.


Sistem Hukum Samudera-Pasai 121

lima dasar pokok Islam, yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa


dan haji, juga mengenai perkawinan, keluarga, warisan,
perdagangan dan kegiatan politik . Dalam hal adat adalah
aturan , kebiasaan, tata cara pra-Islam yang biasa di anut dan
dilakukan.16
Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu adalah dua
dari beberapa historiografi tradisional yang terkenal di dunia
Islam Melayu. Dari bukti filologis, Hikayat Raja-Raja Pasai
tampaknya lebih tua daripada Sejarah Melayu. Beberapa bagian
dari kedua sumber tersebut menerangkan peristiwa-peristiwa
sejarah yang serupa, misalnya, periode pembentukan
Samudera-Pasai, perubahannya dari kerajaan yang segmenter
menjadi kerajaan yang terpusat, kemudian pada proses
Islamisasinya. Buku ini menunjukkan bahwa kejayaan
Samudera Pasai bermula dari masuk Islamnya Meurah Silu dan
berganti nama menjadi Malikussaleh, kemudian telah menarik
pengikut yang banyak karena Malikussaleh memiliki kekayaan
secara mendadak.17 Nama meurah adalah gelar bangsawan
yang biasa pada zaman Aceh pra-Islam, sedangkan Silu
kemungkinan berasal dari kata sungkala yang aslinya dari kata
sanskrit chula. Dan menempatkan Meurah Silu, sebagai
bangsawan yang kaya dan tampaknya berbau adat istiadat
Hindu. Ia menjadi raja berdasarkan kepemimpinan yang
menonjol.18
Hikayat Raja-Raja Pasai juga menceritakan bahwa
Malikussaleh melaksanakan perintah yang dianjurkan ajaran
Islam, setelah merayakan kelahiran anaknya, sultan melakukan
aqiqah dan memberikan sedekah pada para faqir miskin. Pada
halaman lain kita jumpai keterangan seorang Sultan Pasai
mengkhitankan anaknya dan melakukan tatacara penguburan
16 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, (eds.),

Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,


1984), hlm. 197.
17 Taufik Abdulah, ” Islam dan Pembentukan Tradisi di asia Tenggara:

Sebuah Perspektif Perbandingan”, dalam Taufik Abdulah dan Sharon Siddique,


(eds.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm.
64.
18 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, (eds.),

Sejarah Nasional Indonesia III……Op.cit, hlm. 312.


122 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

mayat, dari memandikan mayat, memberi kain kafan pada


mayat, menyembahyangkannya, sampai menguburkannya.19
Seperti diketahui pimpinan kerajaan di Samudera Pasai
adalah seorang sultan yang memerintah secara turun-temurun.
Terdapat juga beberapa jabatan lain antara lain: Menteri Besar
atau Perdana Menteri, Bendahara, Panglima Perang Angkatan
Laut, dengan gelar Laksamana, Sekretaris Kerajaan, Kepala
Mahkamah Agung atau yang disebut dengan qadhi dan
beberapa syahbandar.20
Syahbandar mempunyai hak kuasa penuh di kawasan
pelabuhan, yang tentu saja masih di bawah kuasa sultan.
Mereka bertugas melaksanakan peraturan atau hukum sebagai
penghubung (broker) antara sultan dengan para pedagang asing.
Berdasarkan fugsinya syahbandar juga tidak hanya mencakup
soal-soal yang berhubungan dengan orang-orang asing saja,
tapi hubungan antar negara , syahbandar mempunyai fungsi
yang mencakup kegiatan umum yang bersifat internasional,
seperti legislasi, judikasi, keamanan dan administrasi.21
Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran di kota-kota
pantai yang berada di bawah kekuasaan Samudera Pasai
merupakan sendi-sendi kerajaan yang memungkinkan kerajaan
memperoleh penghasilan dan pajak yang besar selain upeti-
upeti yang dipersembahkan kerajaan-kerajaan yang di bawah
pengaruhnya. Peraturan-peraturan yang dijalankan
dipelabuhan Samudera Pasai pada waktu itu, misalnya,
peraturan pajak yang dipungut pemerintahan Pasai adalah
sebesar 1 maze emas atau 16 tael uang Malaka terhadap setiap
bahar barang yang dikirim, penetapan pajak tersebut

19 Susanto Zuhdi, (ed.), Pasai Dalam Perjalanan Sejarah Abad Ke-13 Sampai
Awal Abad Ke-16, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah
Nasional, 1993), hlm. 83-95.
20 Definisi syahbandar diartikan sebagai, “raja pelabuhan”, sesuai dengan

fungsinya. Kata syahbandar, secara etimologis berasal dari bahasa Persia yaitu shah
= raja, bandar = pelabuhan. Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, “Proses
Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh”, dalam Ali Hasjmy,
(ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif,
1981), hlm. 427.
21 Purnadi Poerbatjaraka, “Shahbandars in Archipelago”, JSEAH, Vol. 2,

No. 2, Juli 1961, hlm. 1-9.


Sistem Hukum Samudera-Pasai 123

tergantung seberapa banyak kapal atau jung. Mengenai


makanan tidak dikenakan pajak, melainkan cukup dengan
memberi hadiah kepada sultan. Khusus barang-barang
dagangan yang berasal dari pedagang Barat dikenakan pajak
sebesar 6%. Dalam soal pengaturan beras impor dari Jawa,
sultan mengambil kebijakan hukum dengan membebaskan bea
masuk atau pajak atas beras-beras impor.22
Sebagai sebuah kerajaan maritim Samudera Pasai dapat
berkembang karena faktor adanya syahbandar dan kekuatan
angkatan laut yang cukup besar menurut ukuran pada masa itu
sangat diperlukan untuk mengawasi dan memberlakukan
hukum di kawasan pelabuhan. Kerajaan Samudera Pasai
sedikit sekali memiliki basis agraris yang hanya diperkirakan
berada di sekitar sebelah menyebelah sungai Pasai dan sungai
Peusangan saja, di mana terdapat kampung-kampung
(meunasah-meunasah) yang merupakan bagian dari bentuk
struktur masyarakat terkecil di wilayah Samudera Pasai pada
waktu itu. Selain itu meunasah-meunasah ini merupakan lembaga-
lembaga pemerintahan terkecil dan mempunyai struktur
hukum juga.23
Samudera Pasai sebagai kerajaan yang menerapkan
hukum Islam yang pertama di Indonesia dan Asia Tenggara
mempunyai peranan penting dalam penyebaran ajaran Islam di
beberapa daerah di Asia Tenggara. Tetapi sampai saat ini sulit
sekali didapatkan keterangan atau bukti-bukti adanya buku
pedoman yang menjadi undang-undang kerajaan. Bila
dibandingkan dengan Kerajaan Malaka yang berpedoman pada
kitab Undang-Undang Malaka.24
Samudera Pasai mengadakan politik perkawinan untuk
mengembangkan dakwah Islamiyah ke Malaka. Pada tahun
1414, Parameswara raja pertama Malaka yang sebelumnya non

22 Susanto Zuhdi, (ed.), Pasai Dalam Perjalanan Sejarah Abad Ke-13 Sampai

Awal Abad Ke-16, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah


Nasional, 1993), hlm. 42.
23 A. Verheul, “De Meunasah in Pase”, Tijijdschrift voor Indische Taal-Land-

en Volkenkunde, deel LXVII, (Batavia: Albrecht & Co, 1927), hlm. 387-434.
24 Lihat Liaw Yock Fang, Undang-Undang Melaka: The Laws of Malacca,

(Leiden: KITLV, 1976).


124 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

muslim menyatakan diri masuk Islam sekaligus mengadakan


perkawinan dengan Putri Pasai. Sehingga kemudian muncul
Kerajaan Malaka yang berazaskan Islam. Demikian pula
dengan raja yang kedua yaitu Xaquem Darxa atau Muhammad
Iskandar Syah. Raja ini talah memberi pelayanan istimewa
kepada saudagar-saudagar Moors dengan memberi kebebasan
untuk beribadah, mendirikan mesjid dan menjalankan undang-
undang Islam dikalangan mereka sendiri. Dalam usia 72 tahun
ia masuk Islam dan menikah dengan Putri Pasai. Sejak itu
rakyat mengikuti jejak rajanya dengan menganut agama
Islam.25
Keterkaitan antara Samudera Pasai dengan Malaka
dalam bidang hukum ajaran Islam dapat kita lihat dari latar
belakang berdirinya Kerajaan Malaka yang berazaskan Islam.
Sejalan dengan berkembangnya Islam di Pasai, ilmu tasawuf
pun mendapat yang penting juga Sejarah Melayu menceritakan
Maulana Abu Ishak dari negeri Arab, yang sangat paham ilmu
tasawuf. Ia mengarang buku Durr al-Manzum. Maulana Abu
Ishak mempunyai seorang murid bernama Maulana Abu
Bakar. Kemudian ia tugaskan kepada muridnya untuk
mengajarkan buku itu ke Kerajaan Malaka. Sultan Mansyur
Syah pun berguru pada Maulana Abu Bakar. Selanjutnya
Sultan Malaka mengirim buku itu ke Pasai untuk
diterjemahkan kedalam bahasa Melayu. Durr al-Manzum adalah
sebuah buku kaum sufi, ada kemungkinan Malaka menjalani
aliran thariqat.26
Dari Sejarah Melayu dapat diketahui juga ketika timbul
masalah mengenai pertanyaan “apakah segala isi surga itu,
kekalkah ia di dalam surga, dan segala isi neraka, kekalkah ia di
dalam neraka”, Sutan Malaka mengirim utusan ke Pasai untuk
menanyakan jawaban masalah tersebut. Sultan Pasai
memerintahkan Makhdum Muda untuk berangkat ke Malaka
untuk menjawab masalah tersebut.27 Menurut Hamka,
25 Lihat Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires1515, (London:
Hakluyt Society, 1944).
26 Lihat T. D. Situmorang dan A. Teeuw, (eds.), Sejarah Melayu menurut

terbitan Abdulah bin Abdulkadir Munsji, (Jakarta: Djambatan, 1952), hlm. 168-173.
27 Ibid, hlm. 172.
Sistem Hukum Samudera-Pasai 125

Samudera Pasai adalah penyebar paham Syafi’iyah ke kerajaan-


kerajaan di Asia Tenggara, seperti yang di ungkap diatas ketika
Sultan Malaka menyuruh para ahli hukumnya datang ke Pasai
untuk meminta kata putus (keterangan) mengenai berbagai
masalah hukum yang mereka jumpai dalam kitab Durr al-
Manzum.28
Pasai dan Malaka merupakan dua kerajaan Melayu Islam
yang saling menghormati satu sama lain. Dari bahasan di atas
dapat kita simpulkan ada kemungkinan pedoman hukum yang
berlaku di Malaka, yang berbentuk Hukum Qanun Melaka atau
Undang-Undang Melaka sedikit banyak di pengaruhi hukum
yang berlaku di Samudera Pasai.29 Sudah di bicarakan di atas
bahwa untuk mencari bukti berbentuk buku atau pedoman
hukum seperti di Kerajaan Malaka. Dalam bab ini penulis
ingin mengambil sedikitnya dari sumber buku Undang-Undang
Malaka dalam hal hukum perjudian, pencurian, minuman
keras, perkawinan dan lain-lain.
Jika sebuah kerajaan menjadi kerajaan Islam, hukum
Islam pun turut memasuki hukum negara. Proses ini tidak
pernah sepenuhnya meninggalkan hukum adat. Semua
kerajaan Islam di Asia Tenggara cenderung memakai hukum
Syafi’iyah yang dominan dalam hal hukum perdagangan dan
perorangan. Undang-Undang Malaka cenderung menggunakan
alternatif hukum adat yang lebih ringan dalam masalah
sanksi.30

Perbudakan
Ketentuan hukum Melayu pada masa lampau secara
tersendiri menempatkan seperempat undang-undangnya untuk
mengatur masalah perbudakan. Budak-budak diberi nilai

28 Hamka, Sejarah Ummat Islam, Jilid IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),
hlm. 53.
29 Abu Hasan Sham, “Ikatan Aceh-Tanah Melayu Hubungan Kerajaan
Islam Malaka dengan Kerajaan Islam Samudera Pasai”, dalam Ali Hasjmi, (ed.),
Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981),
hlm. 383.
30 Lihat Liaw Yock Fang, Undang-Undang Melaka: The Laws of Malacca,

(Leiden: KITLV, 1976), hlm. 31-40.


126 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

hukum yang sama, biasanya mencapai separuh harga merdeka,


dalam hal kompensasi yang harus dibayar oleh atau kepada
pemilik budak.31 Anthony Reid mendefinisikan kata budak
sebagai “orang terikat” (bondsman) yang lebih luas, dan secara
spesifik, “budak” teruntuk mereka yang baru saja di jual,
ditawan atau dipindahkan menjadi milik pribadi. Ia juga
menyebutkan bahwa pada kurun waktu 1450-1680, raja-raja
Asia Tenggara yang kuat berusaha memperbesar jumlah
budak yang langsung di bawah kekuasannya dan sebagian
besar untuk komoditi ekspor, para penguasa juga berusaha
membatasi budak pribadi, yang bebas dari kewajiban kerja
paksa untuk raja.32
Pengaruh Islamisasi membawa perubahan besar dalam
hukum perbudakan kerajaan-kerajaan di kawasan Melayu.
Karena hukum syari’ah melarang penjualan atau perbudakan
sesama Muslim. Kota-kota Muslim besar selanjutnya
mengimpor budak-budak dari daerah non Muslim. Ada
keterangan Samudera Pasai pernah mengekspor budak dan
menjualnya per budak dengan harga lima maze emas ke Malaka
pada awal berdirinya.33 Tidak di ketahui apakah penduduk
lokal atau luar yang sudah menjadi budak untuk di ekspor ke
Malaka?. Tapi Montesquiei juga mendeskripsikan bahwa “di
Achim (Aceh), setiap orang bisa menjual dirinya, Semua
penguasa mempunyai tidak kurang dari seribu sahaya, semua
pedagang besar juga banyak memiliki budak-budak”. Seorang
Bangsa Cina menyatakan bahwa orang Melayu lebih suka
memiliki budak di bandingkan tanah, sebab budak-budak
dapat melindungi tuannya. Dari keterangan di atas bahwa
dikawasan Melayu termasuk Aceh (Samudera Pasai) pada masa
lampau, perbudakan masih tetap menjadi suatu komoditi yang

31 V. Matheson dan M. B. Hooker, “Slavery in Malay Texts: Categories

and Dependency and Compensation”, dalam Anthony Reid, (ed.), Slavery,


Bondage, and Dependency in Southeast Asia, (St. Lucia: Queensland University, 1983),
hlm. 205.
32 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam kurun waktu 1450-1680, (terj.),

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hlm. 151.


33 Lihat W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya,
Compiled from Chinese Sources, (Jakarta: Bhratara, 1960), hlm. 87.
Sistem Hukum Samudera-Pasai 127

bisa di banggakan dan sebagai sanksi hukuman terhadap setiap


orang34.
Undang-Undang Malaka berisi banyak keterangan dalam
meminjam budak atau menyewa budak tapi tidak
menyinggung soal upah.35 Tawaran upah yang tinggi sekalipun
tidak menarik hati “orang merdeka” untuk bekerja, sebab
pekerjaan kasar dianggap perbudakan. Anthony Reid
memaparkan,“kita tidak akan menjumpai seorang Melayu asli
betapapun miskinnya, yang mengangkat barangnya sendiri atau
barang orang lain dipundaknya, karena semua pekerjaan
mereka telah dilakukan budak-budak.36 Ketentuan-ketentuan
hukum perbudakan di wilayah Asia Tenggara pada masa
lampau umumnya mempunyai persamaan, khususnya latar
belakang seseorang berubah statusnya dari “orang merdeka”
menjadi budak, diantaranya: karena mewarisi orang tua, dijual
menjadi budak oleh orangtua, suami atau diri sendiri, tertawan
dalam perang, hukuman pengadilan atau ketidakmampuan
membayar denda dan gagal membayar hutang.37

Perjudian dan Minuman Keras


Para penguasa Samudera-Pasai sepertinya mengalami
kesulitan dalam memberikan sanksi hukum atau peraturan agar
rakyatnya tidak melakukan perbuatan yang dilarang ajaran
Islam. Pendapat itu beralasan karena hukum adat dan adat
atau kebiasaan masyarakat setempat dalam bentuk perbudakan
dan permainan rakyat yang mengandung unsur judi yang sulit
dihilangkan. Hukum adat Melayu masih memberikan segala
keputusan atau hukum, berupa sanksi atau peraturan
ditentukan oleh raja, tidak berdasarkan hukum-hukum Islam.
Hikayat Raja-Raja Pasai menyebutkan adanya seorang pembuat

34 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam kurun waktu 1450-1680…, op.cit, hlm.
148-149.
35 Lihat Liaw Yock Fang, Undang-Undang Melaka: The Laws of Malacca,
(Leiden: KITLV, 1976), hlm. 88-93, 162-163.
36 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam kurun waktu 1450-1680……….,

op.cit., hlm. 149.


37 Ibid, hlm. 149- 150.
128 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

minuman keras dan seorang juara sabung ayam.38 Seperti kita


ketahui ajaran Islam sangat jelas melarangnya segala bentuk
perjudian dan minuman keras.
Pelaksanaan hukum Islam untuk melarang serta adanya
sanksi hukum dalam hal perjudian dan minuman keras di
sebuah kerajaan Islam, memerlukan adanya penguasa yang
kuat yang siap berdampingan dengan para ulama dalam
menghadapi tradisi setempat. Dalam lintasan historis
sepertinya ada beberapa penguasa Samudera Pasai yang
“kemungkinan” memenuhi kriteria apa yang diungkapkan di
atas. T.W. Arnold menyebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai
yang ketiga, Sultan Ahmad Bahian Syah Malik az-Zahir cucu
dari Malikussaleh. Sultan ini adalah muslim yang ta’at kepada
agamanya, amat gemar mengadakan diskusi dengan para fuqaha
atau ahli hukum Islam dan ulama-ulama kerajaan. Sultan ini
juga menyatakan perang kepada kerajaan-kerajaan tetangga
yang non Muslim agar mereka tunduk dan diharuskan
membayar jizyah atau pajak kepada kerajaan.39 Ibnu Batutah
yang tiba di Samudera-Pasai pada 1345, menyebutkan, “apabila
sultan ini keluar dari mesjid terdapat beberapa gajah dan
beberapa kuda milik sultan menunggu di luar pintu mesjid
yang menurut adat atau kebiasaan, apabila sultan mengendarai
gajah maka semua orang-orang yang bersama dengannya
mengendarai kuda, sebaliknya apabila sultan mengendarai
kuda mereka mengendarai gajah dan para ulama disebelah
kanan sultan”. Lebih lanjut Ibnu Batutah menyebutkan ketika
sultan masuk ke istana terdapat shaf-shaf yang menunjukkan
birokrasi dan status sosial, antara lain, shaf para menteri
kerajaan, shaf ulama, shaf fuqaha, shaf hukama sampai shaf para
pelayan istana dan para budak.40 Bagian dari cerita kehidupan
sultan menggambarkan kharisma sultan terhadap rakyatnya,
apa yang dilakukan sultan selalu diikuti rakyatnya, bila sultan
38 Ayatrohaedi, “Struktur Masyarakat Pasai”, dalam Susanto Zuhdi, (ed.),
Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional, 1993), hlm. 4 - 6.
39 Lihat T.W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam, (terj.), (Jakarta: Wijaya, 1979).
40 Lihat Ibnu Batutah, Travels in Asia and Africa 1325-1354, (terj. H.A.R.

Gibb), (London: George Routledge & Sons, 1929).


Sistem Hukum Samudera-Pasai 129

terkenal taat pada ajaran agama dan dekat dengan para ulama,
dapat diprediksi rakyatnya mengikutinya. Keterangan Ibnu
Batutah dapat membawa kita pada kemungkinan-
kemungkinan bahwa Samudera Pasai pada masa itu
mempunyai aturan-aturan hukum Islam yang menyangkut
larangan-larangan dalam hukum Islam.
Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai, menyebutkan juara
sabung ayam dan pembuat minuman keras dalam struktur
masyarakat Pasai, profesi tersebut sepertinya sudah menjadi
bagian hidup masyarakat setempat,41 apabila penguasa
Samudera-Pasai membuat larangan terhadap minuman keras
dan perjudian yang punya kaitan dengan sabung ayam, tidak
dapat bertahan lama, karena begitu berakarnya adat-kebiasaan
ini dalam masyarakat lokal. Bila dibandingkan dengan hukum
Islam di Malaka yang menyatakan bahwa praktik sabung
ayam, sama halnya dengan minum-minuman keras dan main
kartu dan dikategorikan dengan perjudian, tapi raja tak
melarang. Jika ada pertikaian sesama penjudi sabung ayam
kemudian melapor ke kerajaan, maka uang taruhan akan
diambil oleh kerajaan.42 Sebelum masuk Islam Malikussaleh
sering melakukan sabung ayam dam mengadakan taruhan
apabila ia kalah maka dibayar taruhannya, dan apabila ia
menang, lawannya tidak disuruh membayar taruhannya.43
Hikayat Raja-Raja Pasai menyebutkan walau Malikussaleh
sudah masuk Islam tetapi belum sepenuhnya mematuhi
hukum Islam, misalnya dengan memanggil ahli nujum atau
juru ramal dan Malikussaleh masih memelihara anjing yang
bernama Pasai.44 ada kemungkinan kurangnya pengetahuan

41Ayatrohaedi, “Struktur Masyarakat Pasai”, dalam Susanto Zuhdi, (ed.),


Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional, 1993), hlm. 4 - 6.
42 Liaw Yock Fang, Undang-Undang Melaka: The Laws of Malacca, Op.cit,

hlm. 166-167.
43 Susanto Zuhdi, (ed.), Pasai Dalam Perjalanan Sejarah Abad Ke-13 Sampai

Awal Abad Ke-16, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah


Nasional, 1993), hlm. 71.
44 Susanto Zuhdi, (ed.), Pasai Dalam Perjalanan Sejarah Abad Ke-13 Sampai

Awal Abad Ke-16, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah


Nasional, 1993), hlm. 80-83.
130 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

tentang hukum-hukum Islam mengingat Malikussaleh belum


lama menganut Islam. Apabila dibandingkan dengan Kerajaan
Aceh Darussalam yang sudah mengalami kemajuan dalam
ilmu-ilmu fiqh Islam. Sejarah mencatat bahwa, Sultan Iskandar
Muda dari Kerajaan Aceh Darussalam yang melarang keras
segala bentuk perjudian dan minuman keras.45 Setidaknya kita
tahu, dua orang Aceh pemabuk telah dihukum mati dengan
menuangkan timah hitam mendidih kedalam tenggorokan
mereka, walaupun pada kenyataannya sultan sendiri banyak
menikmati minuman keras dalam pesta-pesta kerajaan.
Sedangkan putri dan penggantinya memerintahkan hukum
potong tangan kepada dua orang bangsa Inggris pada tahun
1642 karena mencoba membuat arak.46
Di Asia Tenggara pada abad ke-15, bermain dam dan
catur dikategorikan perjudian di sebabkan adanya pertaruhan
di permainan tersebut. Permainan ini populer di kawasan
Melayu terlebih-lebih di Samudera Pasai Sejarah Melayu
mencatat di masa Sutan Mansyur Syah berkuasa, Tun Bahara
dari Pasai berkunjung ke Malaka dan bermain catur dengan
orang-orang Malaka, ternyata tidak ada yang menandinginya.47
Islam dan Budha sama-sama mengharamkan penganutnya
mengkonsumsi minuman keras karena dianggap sumber segala
kekotoran dan kejahatan,48 namun berbeda dengan penolakan
mentah-mentah orang Islam terhadap daging babi, dalam
menganggap haram minuman keras berlaku lamban. Kota
Malaka pada masa lampau walau sebagai kota dan pelabuhan
Islam tapi di pandang oleh seorang pengembara dari Arab,
masyarakatnya yang beragama Islam masih memakan daging

45 T. Iskandar, (ed.), Bustanu’s-Salatin, Nuruddin ar-Raniri 1644, (Kuala


Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1966), hlm. 36.
46 Ito Takeshi , “The World of Adat Aceh: A Historical Study of The

Sultanate of Aceh”, Disertasi, Ph.D, (Canberra, ANU,1984), hlm. 170-171.


Sebagaimana dikutip oleh Anthony Reid, Asia Tenggara dalam kurun waktu 1450-
1680………., Op.cit., hlm. 163-164.
47 Lihat W.G. Shellabear, Sejarah Melayu, (Kuala Lumpur: Fajar Bakti,

1978), hlm.112.
48 R.J. Wilkinson, A Malay-English Dictionary (Romanised), Jilid I, (London:

Macmillan, 1959), hlm. 44, sebagaimana dikutip oleh Anthony Reid, Asia Tenggara
dalam kurun waktu 1450-1680…, op.cit., hlm. 46.
Sistem Hukum Samudera-Pasai 131

anjing dan minum tuak di pasar. Selain Malaka ternyata


meskipun sebagai kerajaan-kerajaan Islam, Brunei, Mindanao
dan Pasai (Aceh) tetap disediakan minuman arak pada pesta-
pesta kerajaan.49
Hikayat Hang Tuah diceritakan Hang Tuah pahlawan
Melayu itu lolos dari tipu daya untuk membunuhnya di suatu
pesta di Majapahit, karena “patih Gajah Mada dan semua
punggawanya mabuk berat disebabkan terlalu banyak
meminum-minuman keras”. Naskah tersebut menjelaskan
bahwa orang Jawa pada zaman pra-Islam mempunyai reputasi
peminum berat.50

Perkawinan dan Pengaruh Mazhab Hanafi


Di Kota Kufah pada tahun 80 H (699 M), seorang Imam
besar lahir yang kemudian telah memberi warna Islam dan
pengaruhnya keseluruh penjuru dunia, ia kita kenal dengan
sebutan Imam Hanafi. Nama beliau sejak kecil ialah Nun’man
bin Tsabit bin Zauth bin Mah. Ayah beliau keturunan dari
bangsa Persi (Kabul Afganistan) yang sudah menetap di
Kufah. Pada masa beliau dilahirkan pemerintahan Islam
berada di tangan Abd Malik bin Marwan, Raja Bani Umayyah
yang ke 5.51 Beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena di antara
putranya ada yang bernama Hanifah. Riwayat lain
menyebutkan bergelar Abu Hanifah, karena beliau begitu
taanya beribadah kepada Allah, yaitu berasal dari bahasa Arab
Haniif yang berarti condong atau cenderung kepada yang
benar. Menurut riwayat yang lain lagi, beliau diberi gelar Abu
Hanifah, karena begitu dekat dan eratnya beliau berteman

49 Shihab al-Din Ahmad Ibnu Majid, “Al’Mal’aqiya”, 1462, (terj.) G.R.

Tibbets, Study of Arabic Text Containing material of South-east Asia, (Leiden dan
London: E.J. Brill, 1979), hlm. 206. Sebagaimana dikutip oleh Anthony Reid,
Asia Tenggara dalam kurun waktu 1450-1680……., Op.cit., hlm. 46.
50 Kassim Ahmad, (ed.), Hikayat Hang Tuah, (Kuala Lumpur: Dewan

Bahasa dan Pustaka, 1966), hlm. 251-252.


51
M.Ali Hassan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2002), hlm 184.
132 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

dengan tinta (menulis dengan tinta). Hanifah menurut bahasa


Irak adalah tinta.
Dalam proses Islamisasi di Samudera Pasai yang pada
awalnya dilakukan oleh saudagar melalui perdagangan, dan
dalam hal perkawinan peranan hukum Islam sangat besar.
Ketika seorang saudagar muslim hendak menikah dengan
seorang wanita pribumi, misalnya wanita itu diislamkan lebih
dahulu dan pernikahannya sesuai dengan ketentuan hukum
Islam.52 Berdasarkan keterangan Tome Pires, ketika ia
mengunjungi kota Pasai bahwa penduduk Pasai berjumlah
sekitar 20.000 orang dan mayoritas penduduknya berasal dari
Bengali, India.53 Dan S.Q. Fatimi mencetuskan bahwa
kedatangan Islam ke Samudera-Pasai dari Bengali berdasarkan
gaya batu nisan Sultan Malikussaleh hampir serupa dengan
batu nisan yang terdapat di Bengali.54 Mazhab yang dianut
oleh penduduk Benggali mayoritas Mazhab Hanafi,55 maka
pendapat yang masuk akal apabila adanya pengaruh Mazhab
Hanafi di Kerajaan Pasai.
Timbul perkiraan bahwa adanya pengaruh Mazhab
Hanafi dalam hal perkawinan perawan masyarakat Pasai,
mengingat mayoritas orang Bengali di Pasai dan melihat dari
tradisi dan adat kebiasaan secara turun-temurun di Aceh.
Sudah menjadi hal yang biasa bahwa adanya wali adalah suatu
kewajiban menurut Mazhab Syafi’i, tetapi tidak menurut
Hanafi wali bukan syarat dari hukum perkawinan. Perempuan
yang baligh dan berakal diperbolehkan menikahkan dirinya
sendiri atau anak perempuannya serta menjadi wakil
pernikahan. Dan anehnya qadhi56 atau kepala mahkamah

52 Muhammad Daud Ali, “Kedudukan Hukum islam dalam Sistem


Hukum Indonesia”, dalam Taufik Abdulah dan Sharon Siddique, (eds.), Tradisi
dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 209-210.
53 Armando Cortesao, The Suma Orientalof Tome Pires1515, (London:
Hakluyt Society, 1944), hlm. 142.
54 S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, (Singapore: Malaysian Sociological

Institute, 1963), hlm. 31-32.


55 Ayzumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara

Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 25.


56 Di Aceh, Qadhi hanya bertugas pembubaran perkawinan dengan sah

atau permintaan dari satu pihak. Bertindak sebagai wali bagi anak gadis yang ingin
Sistem Hukum Samudera-Pasai 133

agama mengakui dan membolehkan adat ini, sedangkan


mereka (qadhi) sebenarnya tidak boleh mencampuri dan dalam
jabatan mereka harus mematuhi hukum Syafi’i. Tetapi masih
banyak orang yang meminta bantuan qadhi untuk
melaksanakan akad nikah yang bertentangan dengan Mazhab
Syafi’i.57
Samudera Pasai pernah dipimpin oleh dua raja
perempuan, yaitu Ratu Nur Ilah yang wafat tahun 138058 dan
Ratu Nahrisyah yang memerintah pada tahun 1405-1412.
H.K.J. Cowan menyebutkan Pasai, Pelabuhan Muslim pertama
di bawah angin, pernah mengangkat dua raja perempuan
secara berturut-turut antara tahun 1405 (Ratu Nahrisyah) dan
tahun 1434 (?).59 Kedua pendapat di atas sudah membuktikan
ditemukan pengaruh Mazhab Hanafi di Samudera Pasai.
Meskipun tidak ada ulama Pasai yang mengaku bermazhab
Hanafi. Pemikiran Mazhab Hanafi lebih menekankan pada fiqh
muamalah; dan memberikan penghargaan khusus kepada
seseorang, baik pria maupun wanita. Dan dalam kitab
Tadzkirah Thaqabat Jumu Sulthan as-Salathin menyebutkan, “sah
raja itu orang perempuan dan orang fasiq karena darurat agar
tak sunyi kerajaan Islam daripada hukum syara Allah ta’ala,
maka demikianlah pada Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki.”60
Imam Hanafi banyak sekali mengemukakan masalah-
masalah yang baru, bahkan Imam Hanafi banyak menetapkan
hukum-hukum yang belum terjadi. Sebagai dasar yang Imam

menikah dan wali karena pertalian darah atau meninggal atau yang tinggal di luar
batas yang ditentukan adat. Memimpin balek meudeuhab yang sangat lazim,
penghindaran hukum yang aneh, yang menurut Mazhab Syafi’i dianggap berhak
untuk mengawinkan anak gadis, meskipun tanpa wali yang berwenang (yakni
leluhur wali). Lihat C. Snouck Hurgronje, Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya, (terj.),
hlm. 73.
57Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Islam Historis, (Yogyakarta: Galang

Press, 2002), hlm.246-248.


58 W. F. Stutterheim, A Malay sha’ir in Old- Sumatran Characters of 1380

A.D”, dalam Acta Orientalia (Leiden), Vol. XIV, 1936, hlm. 271.
59 H.K.J. Cowan, “ Bijgrade tot de kennis der geschiedennis van het rijk

Samoedera –Pase”, Bijdragen tot de Kennis der Geschiedennis 78, 1938, hlm. 209-210,
sebagaimana dikutip oleh Anthony Reaid, op.cit., hlm 195.
60 Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Islam Historis, (Yogyakarta: Galang

Press, 2002), hlm 248.


134 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Hanafi jadikan dalam menetapkan suatu hukum adalah: (1) Al-


Qur’an, adalah sumber pokok ajaran Islam yang memberi sinar
pembentukan hukum Islam sampai akhir zaman, segala
permasalahan hukum agama merujuk kepada al-Kitab
tersebut. (2) As-Sunnah, adalah berfungsi sebagai penjelas al-
Kitab, merinci yang masih bersifat umum. (3) Aqwalush
Shahabah (perkataan sahabat), adalah perkataan para sahabat
yang lama bergaul dengan Rasulullah, sehingga mereka tahu
bagaimana kaitan Hadits Nabi dengan ayat-ayat al-Qur’an yang
diturukan itu. (4) Al-Qiyas, adalah apabila ternyata dalam al-
Qura’an, Sunnah atau perkataan Sahabat tidak beliau temukan.
Maka Imam Hanafi menghubungkan sesuatu yang belum ada
hukumnya kepada nash yang ada setelah memperhatikan illat
yang sama antara keduanya. (5) Al-Istihsan, adalah sebenarnya
merupakan pengembangan dari al-Qiyas. Istihsan menurut
bahasa berarti ’’menganggap baik’’ atau ’’mencari yang baik’’.
Menurut Ulama Ushul Fiqh, Istihsan ialah meninggalkan
ketentuan qiyas yang jelas illatnya untuk mengamalkan qiyas
yang samar illatnya, atau meninggalkan hukum yang bersifat
umum dan berpegang kepada hukum yang bersifat
pengecualian karena ada dalil yang memperkuatnya. Dan (6)
Urf, ialah mengambil yang sudah di yakini dan lari dari
keburukan serta memperhatikan muamalah-muamalah
manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi manusia.61
***

61
Lihat keterangan lengkapnya pada, M.Ali Hassan, Perbandingan
Mazhab, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002) hlm 184-194.
Sistem Pertahanan Militer Samudera-Pasai 135

Bab 7
SISTEM PERTAHANAN (MILITER)
SAMUDERA-PASAI

Samudera-Pasai merupakan kerajaan maritim, sebagaimana


lazimnya sebuah kerajaan maritim, dipastikan memiliki sistem
pertahanan yang mengandalkan angkatan laut yang besar. Untuk
ukuran pada masa itu, sangatlah mutlak diperlukan untuk
mengawasi perdagangan di wilayah kekuasaannya. Hal itu
Sebenarnya sudah ada sejak Malikkusaleh menjadi raja. Pasai juga
telah memiliki lembaga-lembaga kerajaan yang teratur dengan
angkatan perang, laut dan darat yang kuat.1 Pada setiap kerajaan
dipastikan memiliki benteng pertahanan, namun yang kita jumpai
di Kerajaan Samudera-Pasai cukup unik, bahkan terkesan
ekonomis. Dari sumber-sumber Cina, gambaran tentang ibukota
Samudera-Pasai tidak memiliki dinding yang dibangun sebagai
benteng pertahanan, hanya ada dinding batu karang yang
menghadap ke arah laut, sepertinya digunakan sebagai benteng
pertahanan dari serangan-serangan yang berasal dari arah laut.2
Hal itu menunjukkan kota Pasai berbeda dengan ciri-ciri fisik
kota pantai pada umumnya yang ditemukan tembok-tembok
keliling kota yang dibangun dari kayu, bambu atau bata. Dengan
demikian keadaan kota Pasai dengan adanya dinding karang yang
menghadap ke laut itu memberikan penjelasan bahwa Pasai tidak
perlu membuang biaya untuk membangun benteng pertahanan
dari kayu, bambu, atau batu bata, dikarenakan sudah ada benteng
pertahanan yang terbuat secara alamiah.3 Tome Pires ketika
berkunjung ke kota Pasai menyatakan kota tersebut tidak

1 Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya Hingga

Abad XVI, dalam Ali Hasjmy, Sejarah Masuki dan Berkembangnya Islam di Indonesia,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 203.
2 W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya: Compiled from

Chinese Sources, (Jakarta: Bhratara, 1960), hlm. 85.


3Mohammad Gade Ismail, Pasai Dalam Perjalanan Sejarah abad ke-13 sampai ke-

16, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), hlm. 36.
Sistem Pertahanan Militer Samudera-Pasai 136

memiliki benteng atau pagar kota.4 Tetapi Tome Pires juga


menyatakan bahwa sungai yang memasuki kota pusat kerajaan
Pasai di pagari oleh batu-batu tegak yang menyerupai padrao.5
Sementara menurut catatan Ibnu Batutah yang berkunjung
ke Kerajaan Samudera-Pasai pada pertengahan abad keempat
belas, telah memberikan gambaran Kerajaan Pasai yang berbeda
dengan keterangan Tome Pires terutama masalah benteng
pertahanan atau pagar. Tome Pires menyebutkan Kerajaan Pasai
tidak memiliki benteng pertahanan atau pagar, sementara Ibnu
Batutah mengatakan Kerajaan Pasai telah dibangun pagar-pagar
kayu. Ibnu Batutah yang berkunjung ke kota Pasai pada
pertengahan abad keempat belas, dan memberikan gambaran
kerajaan tersebut. Ia menyebutkan bahwa diperlukan perjalanan
sekitar empat mil dengan naik kuda dari pelabuhan yang disebut
dengan Sahra untuk sampai ke kota pemerintahan. Pusat kerajaan
itu cukup besar dan indah dilengkapi dengan menara-menara
yang terbuat dari kayu. Pada pusat kota ini terdapat tempat
tinggal penguasa dan bangsawan lainnya. Bangunan utama dan
terpenting adalah istana sultan dan mesjid.6 Mengenai keberadaan
istana Kerajaan Pasai kemungkinan besar menghadap ke utara,
yaitu menghadap ke Selat Malaka.7
Pada umumnya dalam kesusasteraan Melayu lama,
pemukiman urban (urban settlement) digambarkan sebagai tempat
4 Lihat Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, (London: Hakluyt

Society, 1944).
5 Armando Cortesao, ibid., hlm. 144. Karakteristik padrao adalah sebagai

berikut: sebuah monopolit dengan tinggi dua setengah meter, berat kurang lebih
setengah ton. mempunyai kapiteel (bagian atas dari sebuah tiang) yang di mahkotai
salib. Padrao merupakan gagasan D. Joao II sebagai pengumuman kepada dunia atas
penemuan dan kepemilikan daerah-daerah baru Portugal. Lihat Darmono
Hardjowidjono, “Pasai Tahun 1509-1524”, dalam Susanto Zuhdi, Pasai Kota
Pelabuhan Jalan Sutra Kumpulan Makalah Diskusi, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993),
hlm. 171.
6Lihat Ibnu Batutah, Travels in Asia and Africa 1325-1354, H,A.R. Gibb, (terj.),

(London: George Routledge & Sons, 1929).


7Denys Lombard, “Le Sultanat, D’Atjeh Au Temps D’Iskandar Muda 1607-

1636”, EFEO, Vol. IXI, Paris 1967, hlm 11. Sebagaimana dikutip oleh Uka
Tjandrasasmita, “Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota”, dalam Marwati
Joened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, (eds.), Sejarah Nasional Indonesia III,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 219.
Sistem Pertahanan Militer Samudera-Pasai 137

yang mempunyai sistem pertahanan yang dinamakan kota yang


diambil dari bahasa Sansekerta kota atau kotta yang berarti
benteng (the fort), maka secara tak langsung kota itu sendiri dapat
diartikan sebagai benteng pertahanan.8
Pasai, adalah pelabuhan yang terpenting pada masanya,
membuat kerajaan besar Majapahit yang ekspansionis ingin
menguasai sesegera mungkin Kerajaan Pasai tersebut. Akhirnya,
Pasai diserbu Majapahit secara besar-besaran sebagaimana dalam
teks Hikayat Raja-raja Pasai, Namun Pasai bukanlah kerajaan
yang mudah menyerah. Sekalipun teks ini menyalahkan Sultan
Pasai yang memperlemah kekuatannya, tetapi sebenarnya
Majapahit sebenarnya tidak berhasil mengalahkan Pasai. Pasai
kalah dengan Majapahit sebenarnya bukan karena militer
Majapahit lebih kuat dari militer Pasai, tapi karena militer
Majapahit dibantu oleh aliansi kerajaan-kerajaan Sumatra untuk
menyerang Pasai yang ada dalam kondisi lemah. Itupun perlu
perjuangan yang berat dalam menghancurkan pertahanan Pasai.
Tetapi Majapahit sebenarnya lebih dulu wibawa dan martabatnya
dihancurkan Pasai melalui simbolisasi demoralisasi anak
Majapahit yang menyukai putri Sultan Pasai sampai nekat bunuh
diri di perairan Aceh.9 Jadi teks ini dua kali juga menghancurkan
wibawa dan martabat Majapahit. Pertama anak raja Majapahit
mati bunuh diri karena menyukai putri Sultan Pasai. Kedua,
Majapahit bersekutu ketika mengalahkan Pasai yang lagi lemah.

Struktur Militer
Berdasarkan teks Hikayat Raja-Raja Pasai, di sebutkan
bahwa struktur masyarakat yang berada di lingkaran birokrasi
yang mendapat tugas khusus di bidang pertahanan kerajaan,
misalnya, bentara, penggawa, patih, tumenggung, bala tentara,
lasykar, hulubalang, pahlawan, pamglima, pendekar, dan senapati.
Di antara mereka semua ini, terdapat birokrat “militer” yaitu bala
tentara atau lasykar dengan pangkat tertinggi senapati atau
8 Daniel Perret, “Kota Raja Dalam Kesusasteraan Melayu Lama”, dalam
Henry Chambert-Loir, Hasan Muarif Ambary, (eds.), Panggung Sejarah: Persembahan
Kepada Prof. Dr. Denys Lombard, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 247.
9 Lihat Teuku Ibrahim Alfian, Kronika Pasai, dalam tinjauan sejarah,

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1973).


Sistem Pertahanan Militer Samudera-Pasai 138

panglima yang nampaknya membawahi para pendekar,


hulubalang, pahlawan dan pengawal.10
Secara umum, pertahanan Kerajaan Samudera-Pasai
dipimpin oleh seorang sultan sebagai pimpinan tertinggi militer
kerajaan, karena sultanlah yang berhak memutuskan apabila
terjadi perang dengan kerajaan lain, dan terdapat juga beberapa
jabatan lain seperti Menteri Besar (Perdana Menteri atau Orang
Kaya Besar), seorang Bendahara, Seorang Komandan Militer atau
Panglima Angkatan Laut yang lebih dikenal dengan gelar
Laksamana, seorang sekretaris Kerajaan, seorang Mahkamah
Agama yang dinamakan Qadi, dan beberapa Syahbandar yang
mengepalai dan mengawasi pedagang-pedagang asing di kota-
kota pelabuahan yang berada di bawah pengaruh kerajaan.11

Bagan Struktur Pertahanan Kerajaan Samudera-Pasai

Masyarakat

Tentara

 Panglima/Senapati
 Hulubalang
 Pendekar/Lasykar
 Pahlawan
 Pengawal/Bodyguard.12

10 Ayatrohaedi, “Struktur Masyarakat Pasai”, dalam Susanto Zuhdi, (ed.),

Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra Kumpulan Makalah Diskusi, (Jakarta: Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah nasional Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1993), hlm. 4-5.
11 Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya

Kerajaan-Kerajaan Isalam di Aceh”, dalam Ali Hasjmy, Sejarah Masuki dan


Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 426.
12 Ayatrohaedi, “Struktur Masyarakat Pasai”, ..op.cit., hlm. 15.
Sistem Pertahanan Militer Samudera-Pasai 139

Peta Kekuatan Militer Pasai


Berkembangnya perdagangan Kerajaan Samudera-Pasai
membuat pengaruh besar di kawasan selat Malaka yang
mengakibatkan kerajaan lain yang berkepentingan di kawasan
tersebut berambisi menguasai dan menduduki Kerajaan
Samudera-Pasai. Sehingga membuat Kerajaan Siam
memerintahkan panglimanya, Talak Sejang dengan membawa
seratus perahu untuk berlayar ke Samudera-Pasai dengan tujuan
meminta upeti terhadap Pasai.13 Perang Pasai-Siam terjadi dan
berlangsung kurang lebih dua bulan lamanya setelah Samudera-
Pasai menolak keras permintaan pemberian “upeti” kepada
Kerajaan Siam. Dalam peperangan tersebut Samudera-Pasai
mengalami serangan hebat dan hampir mengalami kekalahan,
hingga membuat Raja Samudera-Pasai sendiri maju ke medan
pertempuran dan akibatnya menjadikan semangat bertempur
pasukan perang Samudera-Pasai bangkit kembali walaupun dalam
keadaan terdesak. Akhirnya dalam pertempuran yang sengit itu
Panglima perang Siam, Talak Sejang mati terkena panah, dan
kemudian membuat armada laut Kerajaan Siam mundur kembali
ke negerinya. Samudera-Pasai memperoleh kemenangan dan jalur
perdagangan kerajaannya ramai dan makmur kembali.14
Selain Kerajaan Siam, ada kerajaan lain yang mendengar
bahwa perdagangan Samudera-Pasai maju dan makmur. Sejarah
Melayu menuliskan bahwa Sjahru’n-Nuwi 15(tidak disebutkan dari
kerajaan mana), telah memerintahkan panglimannya, Awi Dicu
untuk mengadakan invasi terhadap Pasai dan menangkap Raja
Samudera-Pasai, dengan membawa empat ribu hulubalang dan
seratus buah perahu. Awi Dicu melancarkan siasat tipu muslihat
“kuda troya” yang dengan gemilang berhasil menangkap Raja
Samudera-Pasai untuk dibawa ke negerinya. Dalam
keterangannya, Ibrahim Alfian menyebutkan strategi yang

13 Ibrahim Alfian, Kronika Pasai….., Op.cit., hlm. 25.


14 Ibrahim Alfian, Kronika Pasai……, Op.cit., hlm. 25.
15 Menurut P. de Roo de la Faille, Sjahrun-Nuwi adalah bekas ibukota

Kerajaan Ayodhya di Siam, tapi dalam tulisannya di Notulen van Algemmene en


Directievergederingen van het Bataviaash Genatschap van Kunsten en Wetenschappen, deel
LVIII, (1920), hlm 264, sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Alfian, Kronika Pasai….,
loc.cit., hlm. 25.
Sistem Pertahanan Militer Samudera-Pasai 140

dilancarkan Awi Dicu di mana Awi Dicu pura-pura berniaga ke


Samudera-Pasai dan menyerahkan peti berisi bingkisan yang di
dalamnya berisi empat hulubalang yang kuat dan hebat. Ketika
peti itu dibuka di depan raja, keluarlah empat hulubalang itu dan
menangkap raja, dan mengancam akan membunuhnya apabila
pengawal-pengawal raja menyerang mereka, dengan demikian
para pengawal tak bisa berbuat apa-apa. Raja Samudera-Pasai
akhirnya dibawa ke negeri Sjahrun’n-Nuwi, dan oleh raja, ia
disamarkan sebagai pengembala ayam.16 Strategi “kuda troya”
bukanlah strategi pertama sebagaimana yang pernah dilakukan
oleh Bangsa Romawi ketika menaklukkan bangsa-bangsa
jajahannya. Ternyata strategi ini sudah juga dilakukan oleh para
ahli-ahli politik dan militer Samudera-Pasai.
Peristiwa serangan terhadap pertahanan Kerajaan
Samuder-Pasai menurut Hikayat Raja-Raja Pasai juga berasal dari
Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1361, Sultan Ahmad melarikan
diri, sedang orang-orang Pasai banyak yang ditawan dan dibawa
ke Jawa. Menurut Ibrahim Alfian, bukti-bukti yang memperkuat
mengenai serangan Majapahit ini dapat dibuktikan dengan adanya
anak sungai di dekat Samudera kalau dalam bahasa Acehnya
adalah krueng Jawa atau sungai Jawa, dan menurut mereka
dinamakan demikian karena di sanalah lasykar Majapahit (Jawa)
yang tewas dalam pertempuran dengan Pasai.17
Samuder-Pasai menyadari akan kedudukkannya sebagai
kerajaan yang memiliki kemampuan militer yang terbatas, tetapi
Samudera-Pasai mempunyai peranan penting pada jalur lalu-lintas
perdagangan di Selat Malaka. Pengalamanya menghadapi
serangan dari Majapahit memberi pelajaran bahwa untuk menjaga
keberadaan dan kelangsungan hidup Samudera-Pasai haruslah
diusahakan suatu hubungan yang baik dengan kerajaan-kerajaan
yang kuat dengan kata lain meminta perlindungan atau menjadi
sekutu, maka dari itu pada tahun 1383 Samudera-Pasai
mengirimkan utusan kembali ke Cina(Mongol),18 dan ternyata
16 Ibrahim Alfian, Kronika Pasai…, loc.cit., hlm. 25.
17 Ibrahim Alfian, Kronika Pasai…, op.cit., hlm. 26.
18 W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya: Compiled from

Chinese Sources, (Jakarta: Bhratara, 1960), hlm. 85-92.


Sistem Pertahanan Militer Samudera-Pasai 141

hubungan Pasai dengan Cina semakin erat ketika ekspedisi Cheng


Ho singgah ke Pasai antara tahun 1405 sampai 1433. Selain
dengan meminta perlindungan dari Cina, Samudera-Pasai
mengadakan hubungan kekeluargaan dengan Malaka yang juga
menerima perlindungan dari Cina, sehingga antara Malaka
dengan Pasai tidak terjadi persaingan yang akan merugikan kedua
pihak. Alasan kedua Pasai mengadakan hubungan baik dengan
Malaka adalah karena Pasai tidak mempunyai armada laut yang
kuat dan sangat bergantung kepada Malaka, Sebaliknya Malaka
sangat membutuhkan suplai bahan makanan dari Pasai.19
Pasai dan Malaka merupakan dua kerajaan di Semenanjung
Melayu yang terletak berseberangan, keduanya saling hormat-
menghormati antara satu sama lain. walaupun ketika kekuatan
Pasai sudah melemah tetapi Kerajaan Malaka tak pernah berniat
untuk menaklukkan Pasai. Dalam Sejarah Melayu hanya terdapat
satu peristiwa saja, ketika Sultan Mansyur Syah dari Malaka yang
memerintah antara tahun 1456 sampai 1477, mengirimkan
pasukan perang yang di pimpin oleh Bendahara Paduka Raja dan
Laksamana Hang Tuah untuk membantu Sultan Zainal Abidin
dari Kerajaan Pasai yang sedang mengadakan peperangan dengan
adiknya sendiri yang taelah merebut tahta kerajaannya. Angkatan
perang Malaka mengalami kemenangan dengan berhasil
menewaskan adiknya Sultan Pasai.20
Menjelang keruntuhannya, di Pasai sering terjadi perebutan
kekuasaan di antara kalangan istana kerajaannya sendiri. Hal ini
membuat sistem pertahanan kerajaan terpecah-pecah, dan hancur
tanpa ada persatuan kekuatan militer sehingga mudah untuk di
taklukan oleh kerajaan-kerajaan lainnya. Portugis sangat
memanfaatkan peluang tersebut dengan melakukan strategi
politik, yaitu mendukung salah satu pihak yang bertikai dalam
perebutan tahta kerajaan di Pasai, namun dengan syarat setelah

19 Abu Hasan Sham M.A, “Ikatan Aceh-Tanah Melayu Hubungan Kerajaan

Islam Malaka dengan Kerajaan Islam Samudera-Pasai”, dalam Ali Hasjmy, (ed.),
Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm.
387.
20 Abu Hasan Sham M.A, “Ikatan Aceh-Tanah Melayu Hubungan Kerajaan

Islam Malaka dengan Kerajaan Islam Samudera-Pasai”,..ibid., hlm. 382.


Sistem Pertahanan Militer Samudera-Pasai 142

pihak yang didukung Portugis berhasil menduduki tahta kerajaan


harus berada di bawah naungan (vassal) emporium Portugis.21***

21 Darmono Hardjowiyono, “Pasai tahun 1509-1524”, dalam Susnto Zuhdi,


(ed.), Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra Kumpulan Makalah Diskusi, (Jakarta: Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, 1993), hlm. 169.
Hubungan Internasional Samudera-Pasai 143

Bab 8
HUBUNGAN INTERNASIONAL
SAMUDERA-PASAI

Samudera-Pasai sudah mengadakan hubungan


internasional sejak Sultan Malikussaleh berkuasa, hingga
wafatnya pada tahun 1297. Hubungan internasional Pasai
terutama dengan Cina, India, dan Arab. Hubungan ini disebut
juga sebagai “hubungan dengan timur”. Hubungan dengan
timur (eastward relations) ini telah memberi dampak yang sangat
luas pada dunia dagang dan diplomasi serta perkembangan
ilmu pengetahuan.1 Kendati Pasai belum lama berdiri, langkah
ini diambil oleh Sultan Malikussaleh dalam menerapkan strategi
politik luar negeri, dengan kata lain bertujuan agar Pasai dapat
melepaskan diri dari bayang-bayang hegemoni Sriwijaya dan
berusaha untuk mengembangkan keberadaan kerajaannya.
Langkah yang diambil Malikussaleh sangat tepat, dengan
mengadakan hubungan-hubungan yang berskala internasional,
salah satunya menjalin hubungan dengan Kekaisaran Mongol
(Cina). Sumber sejarah berupa catatan yang berasal dari Cina
(Dinasti Mongol) menyebutkan tentang terdapatnya sebuah
kerajaan di Sumatera bagian utara yang bernama Samudera dan
telah mengadakan hubungan dengan Dinasti Mongol pada
tahun 1282. Sumber tersebut juga menyebutkan Kerajaan Pasai
mengirimkan dua orang utusan yang bernama Sulaiman dan
Samsyudin ke Istana kaisar. Pada tahun itu juga penguasa Pasai
menjalin hubungan dengan Cina melalui perutusan Cina yang
kembali dari India Selatan dan singgah di Kerajaan Samudera.

1 Berbeda dengan hubungan Pasai dengan kerajaan-kerajaan barat (westward


relations) di Eropa di mana banyak dihiasi dengan perang, penyebaran agama
Nasrani dan penaklukan.
144 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Peristiwa ini dianggap sebagai awal hubungan antara Kerajaan


Samudera-Pasai dengan Cina.2
Ekspansi Bangsa Mongol ke kawasan Asia Tenggara
antara tahun 1279 sampai 1309 menjadi alasan juga, Samudera-
Pasai untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Cina
(Mongol) dalam rangka penyerahan kekuasaan baru di Selat
Malaka yang sebelumnya Sriwijaya. Strategi ini di lakukan Pasai
untuk menjaga keberadaanya dalam aktivitas perdagangan di
kawasan Selat Malaka. Ekspansi Bangsa Mongol itu juga
bertujuan menjaga keamanan di kawasan Selat Malaka, karena
para pedagang Arab dan Cina yang melintasi kawasan Selat
Malaka pada abad ke-14 selalu di ganggu bajak laut yang cukup
meresahkan kalangan pedagang asing. Sementara Majapahit
dan Samudera-Pasai sebelumnya tidak berhasil dalam
menciptakan keamanan di kawasan tersebut3
Hubungan Pasai dengan Cina Mongol memang terus
berlangsung lama, dan dapat diketahui dari sumber-sumber
Cina pada masa lalu yang mengarungi lautan dan singgah di
Pasai. Pada sekitar abad kelima belas, Samudera Pasai memang
senantiasa menjadi salah satu tempat tujuan pelayaran dan
perdagangan orang-orang Cina sebelum mereka berlayar ke
Srilangka dan Calicut. Berdasarkan Sumber Cina bahwa, pada
masa pemerintahan Kaisar Yung Lo (1422-1424) dari Dinasti
Ming telah mengirim ekspedisi-ekspedisi melalui lautan bagian
barat untuk memperkuat kebijaksanaan Kerajaan Mongol di
seberang lautan yang dipimpin tokoh yang terkenal di
Nusantara yakni Laksamana Cheng Ho. Selanjutnya arah
pelayaran yang pertama dari ketiga ekspedisi yang dilaksanakan
antara tahun 1405 sampi 1411 dari Cina melalui Vietnam ke
Surabaya, kemudian melalui Palembang ke Malaka, Pasai,
Berual (daerah di Srilangka) sampai ke Calicut (India). Sumber
Cina lainnya terdapat dalam Shun Feng Hsiang Sung, yang

2 Kathiritamby Wells, “Acehnese Control over West Sumatera up to the

Treaty of Painan in 1663”, dalam Journal of Southeas Asian History (JSEAH), 10 (13),
1969, hlm. 454.
3 Kathiritamby Wells, ibid., hlm. 454.
Hubungan Internasional Samudera-Pasai 145

disusun pada tahun 1430, tetapi mungkin disusun lagi pada


tahun 1471. Isi dari sumber tersebut adalah instruksi-instruksi
seratus arah atau rute pelayaran utama bagi kapal-kapal Cina.
Hal yang menjadi perhatian adalah Samudera Pasai dan Krueng
Aceh yang menjadi tujuan pelayaran dan perdagangan karena
letaknya di pesisir pantai (kerajaan maritim).4
Kota Pasai adalah salahsatu kota-kota maritim di
kawasan Asia Tenggara yang sudah saling berhubungan.
Namun hubungan antar negara itu lebih dominan pada periode
abad kelima belas sampai ke tujuh belas bila di bandingkan
dengan periode sebelumnya atau periode sesudahnya. Di
ketahui sebelumnya selama beberapa waktu pusat niaga pantai
(entrepot) terpenting di kuasai Kerajaan Sriwijaya yang
berideologi Budha, kemudian digantikan oleh Samudera-Pasai,
Malaka, Johor, Patani, Aceh dan Brunei. Untuk mempermudah
lancarnya adanya hubungan niaga antar kerajaan di kawasan
Asia Tenggara, faktor komunikasilah yang menjadi hal
terpenting untuk melakukan kontak sesama pedagang lokal
maupun asing. Dalam hal ini bahasa Melayu menjadi bahasa
niaga utama (lingua franca) di seluruh Asia Tenggara. Kelas
pedagang kosmopolitan dari kota-kota niaga besar di Asia
Tenggara lalu dikenal sebagai orang Melayu sebab mereka
menggunakan bahasa itu dan menganut agama Islam.5 Bahasa
Melayu juga menjadi pengantar gagasan-gagasan serta gaya
sastra dari Arab, Persia, dan India ke kawasan Asia Tenggara.
Mula-mula dari Samudera-Pasai, kemudian Malaka, Patani,
Johor dan Makasar.6 Dengan demikian faktor bahasa
merupakan salah satu alasan berkembangnya Kerajaan
Samudera-Pasai.

4 Uka Tjandrasamita, “Pasai Dalam Dunia Perdagangan”, dalam Susanto


Zuhdi, (ed.), Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutera Kumpulan Makalah Diskusi, (Jakarta:
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1993), hlm. 31.
5 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, (terj.), (Jakarta:

Yayasan Obor, 1992), hlm. 10.


6 Anthony Reid,.ibid., hlm. 274.
146 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Faktor-faktor lainya selain bahasa Melayu, terdapat


faktor-faktor internal dan eksternal yang menyebabkan
berkembangnya Samudera-Pasai, yaitu kondisi alam dan letak
geografis memberikan andil besar dalam menentukan
perkembangan sebagai pusat politik. Pasai berlokasi pada
daerah subur di pesisir utara Pulau Sumatera, di lembah sungai
merupakan pemukiman penduduk yang cocok dan tanah yang
subur memberikan hasil bahan makanan yang cukup.7
Hubungan ke pedalaman dimungkinkan memberikan dinamika
tersendiri dalam arti mempunyai hubungan perdagangan
dengan daerah pedalaman, karena Pasai terletak pada muara
sungai mempunyai potensi besar untuk berkembang sebagai
bandar perdagangan.8 Pasai terletak pada jalur perdagangan
antara India dengan Cina dan menjadi tempat persinggahan
para pedagang tersebut. Hal ini ditambah lagi oleh pengaruh
angin muson yang sering kali menyebabkan para pedagang
tersebut harus tinggal dalam waktu yang cukup lama di Pasai,
dan untuk menunggu arah angin yang sesuai dengan tujuan
pelayaran mereka.9
Faktor lainnya adalah kegiatan perdagangan kerajaan
Pasai yang sudah berskala internasional dan situasi dan keadaan
pusat-pusat politik lainnya yang berada disekitar kawasan Selat
Malaka juga menentukan perkembangan Kerajaan Samudera-
Pasai. Dengan keruntuhan hegemoni Sriwijaya yang
sebelumnya menjadi pengontrol lalu-lintas perdagangan,
setelah itu terjadi kevakuman kekuasaan yang mengontrol
perdagangan di selat Malaka. Hal tersebut telah memungkinkan
Pasai berkembang sebagai bandar perdagangan internasional.
Sekitar abad ke dua belas dan tiga belas, pada awal munculnya
Kerajaan Pasai, di kawasan Sumatera bagian utara telah

7 Nicholas Tarling, A Concise History of Southeast Asia, (NewYork: Frederick


A. Praeger, 1966), hlm. 7.
8 Eleanor Selling, “The Evolution of Trading States in South-East Asia

before the 17th Century”, Thesis Ph.D, (Columbia University, 1981), hlm. 16.
9 Mohammad Gade Ismail, Pasai dalam Perjalanan Sejarah: Abad ke-13 Sampai

Awal Abad ke-16, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah


Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), hlm. 22-23.
Hubungan Internasional Samudera-Pasai 147

menjadi pusat perdagangan yang ramai. Kerajaan Kampai yang


sebelumnya di bawah kekuasaan Sriwijaya, dengan melemahnya
kekuatan Sriwijaya, berhasil melepaskan diri dan menjadi
kerajaan yang merdeka. Setelah itu banyak perahu dagang yang
berdagang di kerajaan tersebut.10
Hubungan Samudera-Pasai dengan kerajaan-kerajaan
yang berada di kawasan Selat Malaka semakin meningkat ketika
Pasai mengutus para ulamanya untuk meluaskan
perkembangan dakwah Islamiyah ke Kedah, Trengganu, Patani,
dan Malaka. Pertalian kebudayaan antara Pasai dan Kedah telah
terjalin lama, antara lain persamaan istilah dalam menyebut
hitungan hasil-hasil pertanian, misalnya, padi dan beras.11
Stuterheim juga menganggap Pasai dan Kedah terdapat
hubungan dagang, mengingat letaknya berseberangan.12
Sementara di Trengganu ditemukan Batu Bersurat Trengganu
yang telah diukir dengan tulisan Jawi yang menunjukan angka
tahun 1326 atau 1386.13 Hubungan antara Samudera-Pasai
dengan Malaka, dan dengan kedatangan para pedagang Muslim
dari Pasai yang mungkin disertai juga para mubaligh bahkan
ahli-ahli sufi ke Malaka hingga bertambah ramai Bandar Malaka
yang menyebabkan Raja Malaka memeluk Islam dan menikah
dengan Putri Pasai. Setelah Malaka menjadi kerajaan Islam baik
para pedagang maupun mubaligh dari negeri Timur tengah,
India dan Srilangka makin ramai mendatangi pelabuhan Pasai
dan Malaka.14 Dari kedua kota ini Islam dibawa ke Patani dan
tempat-tempat lainnya di Semenanjung Melayu seperti ke
10 Lihat O.W. Wolters, The Fall of Srivijaya in Malay History, (Kuala Lumpur:
Oxford University, 1975), hlm. 44.
11 Untuk takaran padi dan beras, baik di Aceh dan Kedah, dipergunakan

ukuran kuyan, gunca, nalih, gantang, cupak, kay. Satu kay = setengah cupak, satu
gunca = setengah naleh. Di Kedah satu naleh = enam belas gantang, sedangkan di
Aceh satu naleh = delapan gantang. Lihat Teuku Iskandar, Kamus Dewan, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1970.
12 W.F. Stutterheim, “A Malay sha’ir in Old Sumatran Characters of 1380

A.D”, Acta Orientalia, Vol. XIV, (Leiden, 1936), hlm. 276.


13 H.M. Zainuddin, Tarich Aceh dan Nusantara, (Medan: Pertjetakan

Indonesia, 1961), hlm. 253.


14 Lihat Armando Cortesao, (ed.), The Suma Oriental of Tome Pires 1511-

1515, (London: Hakluyt Society, 1944).


148 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Pahang, Johor dan Perak. Pembawa Islam ke Patani di


sebutkan dalam Hikayat Patani adalah Syaikh Said seorang
mubaligh dari Pasai yang berhasil menyembuhkan Raja Patani,
Paya Tu Naqpu yang mengalami sakit parah, dan setelah itu ia
berhasil mengislamkan Raja Patani dan di beri gelar Sultan
Ismail Syah Ziluliah fi’l Alam di ikuti putranya Mudhaffar Syah
dan putrinya diberi nama Siti Aisyah.15
Dakwah Islamiyah yang dilancarkan Pasai ke beberapa
kerajaan, membuat Pasai melupakan akan potensi ekonomi
yang dimilikinya dengan tidak menjaga eksistensi
pelabuhannya, lambat laun potensi Pasai dikalahkan oleh
Malaka Setelah melihat kemajuan Kerajaan Malaka di bidang
perdagangan dan politik, membuat Samudera-Pasai merasa
tersaingi. Samudera-Pasai pada abad ke-16 memang masih
tetap menjadi perhatian bagi pelayaran dan perdagangan
Bangsa Cina, pedagang-pedagang India, Persia dan Arab.
Dalam buku Hsi Yang Cha’o Kung Tien Lu atau catatan negeri-
negeri yang memberi upeti di Lautan Bagian Barat, yang ditulis
oleh Huang Sheng Tseng, pada tahun 1520, telah diberitahukan
kesibukan pelayaran dan perdagangan antara Samudera-Pasai
dengan tempat-tempat lainnya di pesisir pantai Aceh lalu ke
Maladewa dan Lacradive, Srilangka dan Bengal. Dari Malaka ke
Pasai, dari Pasai ke Beruwela dari Mesulipatam ke Lambri dan
sebagainya.16
Pada abad kelima belas, Samudera-Pasai juga
mengadakan hubungan pelayaran dan perdagangan dengan
Pegu di Myanmar. Hal ini diberitakan di dokumen seorang
Portugis yang telah dua kali ke Pasai dan Pegu dengan
menggunakan kapal Melayu antara tahun 1512-1514.
Disebutkan juga adanya kekacauan yang sering dialami sultan-
sultan Pasai dikatakan setiap orang Bengal mengirimkan 4 atau

15 Lihat A. Teeuw dan D.K Wyatt, Hikayat Patani, (The Hague, Martinus

Nijhoff, 1970).
16 Uka Tjandrasasmita, “Peranan Samudera-Pasai dalam Perkembangan

Islam di Beberapa Daerah Asia Tenggara”, dalam Hasan Muarif Ambary dan
Bachtiar Ali, Retrospeksi dan Refleksi Budaya Nusantara, (Jakarta: Taman Iskandar
Muda, 1988), hlm.72.
Hubungan Internasional Samudera-Pasai 149

5 ke Pasai, Rakyat Pegu mengadakan barter antara beras


dengan lada. Pelabuhan Pegu juga mengekspor empat puluh
ribu perahu penuh beras ke Pasai, Pedir dan Malaka.17 Pasai
juga mengadakan hubungan dengan Tenosserim, Calicut,
Nagor, Fansur yang masih ramai pedagang-pedagang asing.
Kecuali ada koloni pedagang dari Bengal, di mana mereka
mempunyai tempat tinggal, maka juga terdapat kelompok-
kelompok pedagang Turki, Persia, Tamil, dan Melayu, dan
mereka bekerja untuk orang-orang Gujarat.18 Pelayaran dan
perdagangan antara Samudera Pasai dengan Gujarat pada abad
ke-14 dan ke-15 mungkin dapat dihubungkan dengan adanya
nisan-nisan kubur antara lain nisan makam Ratu Nahrisyah
yang wafat pada 1428. Nisan tersebut memiliki persamaan
dengan nisan makam Umar Ibnu Ahmad al-Kazaruni yang
wafat pada tahun 1333 di Cambay, Gujarat.19
Samudera-Pasai lebih terkenal dengan dakwah-dakwah
keagamaan dari pada mengadakan ekspansi terhadap kerajaan-
kerajaan lain. Pasai juga terkenal sebagai pusat keagamaan
Islam di kawasan Asia Tenggara. Samudera Pasai memainkan
peranan di dalam perkembangan Islam di Sulawesi dan Jawa
pada tahun 1395, Sutan Zainal Abidin Bahian Syah (1349-1405)
telah mengutus dua orang pendakwah ke Jawa mereka adalah
Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak, yang bergelar
Syekh Awwalul Islam, dikatakan Maulana Malik Ibrahim itu
adalah keturunannya bersambung dengan Zainal Abidin cucu
Ali bin Abi Thalib, dan ia juga sepupu dari Raja Cermin.20
Mengenai hubungan Samudera-Pasai dengan Jawa
terungkap dalam cerita Hikayat Raja-Raja Pasai yang

17 Genevieve Bouchon, “des premiers voyages portugais et a Pasai et a

Pegou (1512-1520)”, Archipel 18, 1979, hlm. 127-157, sebagaimana dikutip oleh
Uka Tjandrasamita, “Pasai Dalam Dunia Perdagangan”, dalam Susanto Zuhdi,
(ed.), Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutera Kumpulan Makalah Diskusi, (Jakarta: Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1993), hlm. 34.
18 Uka Tjandrasamita, “Pasai Dalam Dunia Perdagangan”, ibid., hlm. 34.
19 Uka Tjandrasamita, “Pasai Dalam Dunia Perdagangan”,Op.cit., hlm. 32.
20 S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, (Singapore: Malaysian Sociological

Research Institute, 1963), hlm. 86.


150 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

menyebutkan penyerangan oleh Majapahit ke Pasai. Kerajaan


Majapahit yang ekspansionis itu juga berusaha menciptakan
hegemoni di kawasan Selat Malaka. Perluasan kekuasaan dari
Jambi sampai ke Pasai adalah bertujuan untuk menguasai Selat
Malaka. Kendati terjadi serangan-serangan dari Majapahit,
Kerajaan Samudera-Pasai masih tetap berdiri tegak, namun
membesarnya hegemoni yang diciptakan Majapahit di kawasan
Selat Malaka, peranan Samudera-Pasai mulai menurun, seiring
dengan mulai tumbuhnya bandar perdagangan di Malaka pada
abad ke-lima belas.21
Demikian juga pada Hikayat Banjar, ada cerita
pengambilan Putri Pasai ke Majapahit.22 Cerita Putri Campa
dalam Babad Tanah Jawa yang menceritakan kedatangan Putri
Campa ke Majapahit untuk menikah dengan Prabu Brawijaya,
yang di maksud dengan Campa adalah Jeumpa di daerah Aceh,
maka membuktikan adanya hubungan dengan daerah tersebut.
Makam Maulana Malik Ibrahim di Jawa mempunyai persamaan
dengan makam Ratu Nahrisyah di Samudera-Pasai. Dalam
Babad Cirebon juga Purwaka Caruban Nagari tokoh Fadilah
Khan dengan julukan “Wong agung saking Pasai” yang turut
mengislamkan Jayakarta dan Banten.23 Fadilah Khan, selama ini
kita kenal dengan Falatehan atau Fatahilah. Dari keterangan
tersebut menunjukkan bahwa nama Pasai identik dengan
Kerajaan Islam yang pertama di Nusantara yang meluaskan
ajaran-ajaran Islam hampir ke seluruh Nusantara dan negara
lainnya, tetapi mengenai hubungan Samudera-Pasai dengan
Kerajaan Brunei Darussalam, Sulu dan Mindanao masih perlu

21 Mohammad Gade Ismail, Pasai dalam Perjalanan Sejarah: Abad ke-13

Sampai Awal Abad ke-16, Op.cit. hlm. 20.


22 S. O. Robson, “Java at de Crossedorads – Aspects of Javanese Cultural

History in the 14th and 15th Centuries”, Bijdragen tot de Taal—, Land— en
Volkenkunde. 137 2e en 3e afl., 268 sebagaimana dikutip oleh Uka Tjandrasasmita,
“Pasai dalam Dunia Perdagangan”, dalam Susanto Zuhdi, (ed.), Pasai Kota
Pelabuhan Jalan Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,
1993), hlm. 32.
23Uka Tjandrasasmita, “Peranan Samudera-Pasai dalam Perkembangan

Islam di Beberapa Daerah Asia Tenggara”, Op.cit., hlm.74.


Hubungan Internasional Samudera-Pasai 151

diadakan penelitian dari berbagai sumber, walaupun ditemukan


bentuk kubur yang sama di Kota Batu Brunei Darussalam dan
di Sulu. Keterangan-keterangan tersebut masih perlu penelitian
yang lebih lanjut.24
Pada periode abad kelima belas sampai ketujuh belas, di
kawasan Asia Tenggara terdapat kecenderungan mengangkat
rajanya seorang wanita. Banyak kerajaan mengangkat kaum
wanita sebagai raja ketika kerajaan itu sudah mencapai puncak
potensi perdagangannya, termasuk Pasai pelabuhan besar
Muslim pertama dibawah angin. Mengangkat dua orang raja
wanita secara berurutan (salah satunya Ratu Nahrisyah) antara
tahun 1405 dan tahun 1434,25 sebelum Samudra-Pasai
diungguli oleh Malaka sebagai pelabuhan Selat Malaka
terpenting. Lalu Raja wanita di Pegu (Myanmar), Shinsawbu
memerintah 1453 hingga 1472, yang memimpin kebangkitan
Pegu sebagi kota pelabuhan utama di Teluk Bengali. Sistem ini
terlalu terlihat untuk dinyatakan sebagai faktor warisan,
khususnya pada masa pemerintahan raja wanita di Samudera-
Pasai, Kelantan, Solor melibatkan dua orang raja wanita
berturut-turut. Bila dibandingkan dengan Kesultanan Aceh
Darussalam, kesengajaan mengangkat wanita menjadi raja
sangat jelas. Pada setiap kasus ini empat raja wanita menduduki
tahta berturut-turut, hanya raja yang pertama yang
menggunakan keturunan. Keempat ratu Aceh ini (1641-1699)
menyaksikan keruntuhan militer dan politik yang sebelumnya
Iskandar Muda (1607-1636) dengan kekuatan militernya
melakukan penaklukan-penaklukan di berbagai tempat, namun
keempat ratu Aceh tersebut tetap mempertahankan Aceh
sebagai pelabuhan yang merdeka di Asia Tenggara.26
24Uka Tjandrasasmita, “Peranan Samudera-Pasai dalam Perkembangan

Islam di Beberapa Daerah Asia Tenggara”, ibid., hlm. 76..


25 H.K. J. Cowan, “Bijdrage tot de kennis der geschiedenis van het rijk

Samoedera-Pase”, Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en


Wetenschappen 78, hlm. 209-210, sebagaimana yang dikutip oleh Anthony Reid,
Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, (terj.), (Jakarta: Yayasan Obor, 1992),
hlm. 195.
26 Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, ibid., hlm.

196.
152 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Aceh yang telah mengadakan hubungan dengan Inggris


dan Belanda kedua-duanya dari Eropa. Ternyata jauh
sebelumnya Pasai telah menjalin hubungan persahabatan
dengan negara dari Eropa juga, yakni Portugis. Hubungan ini
sudah dimulai sebelum orang-orang Portugis menguasai
Malaka, yaitu sewaktu Diego Lopes de Sequiera yang
mengemban tugas Raja Dom Manuel dari kerajaan Portugis
untuk menemukan Pulau Madagaskar dan Malaka. Sebelum
sampai Malaka ia singgah dulu di Pedir dan Pasai dan diterima
dengan baik, untuk menandai kedatangannya di Pasai ia
mendirikan padrao.27 setelah Diego Lopes de Sequeira
kemudian disusul Alfonso de Albuquerque, wakil Raja Portugis
di Asia datang ke Pasai karena ia mengetahui bahwa Pasai juga
terkenal dengan kain suteranya, Albuquerque ingin membawa
sutera dari Pasai ketika ia melakukan perjalanan untuk
menaklukan Malaka pada tahun 1511. Ia menyuruh ahli
strateginya dari Genoa, Giovani da Empoli, kembali ke India
untuk merundingkan pemasokan kain sutera dari Samudera-
Pasai. Empoli diberitahu raja bahwa pemasokan sutera dari
Samudera-Pasai memerlukan bayaran seratus dukat uang
Portugis.28 Kendati dilebih-lebihkan hasil sutera di Pasai
merosot tajam pada waktu itu, sebab sutera dari Cina semakin
banyak tersedia dan tidak banyak yang dilakukan penduduk
Pasai mengganti pohon murbei bahan baku kain sutera di
ladang yang bercampur dengan tanaman padi dan lada.29
Sebenarnya yang melatarbelakangi persahabatan dengan
Portugis itu adalah daya tarik Pasai dengan kekayaan alamnya,
selain sutera, terdapat juga kekayaan alam lainnya yang sangat
berharga dan laku di pasaran internasional, antara lain cendana
27 Darmono Hardjowidjono, “Pasai Tahun 1509-1524”, dalam Susanto

Zuhdi, Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra Kumpulan Makalah Diskusi, (Jakarta: Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1993), hlm. 162-163.
28 A. Bausani, (ed.), Lettera di Giovani da Empoli, (Rome: Instituto italiano

per il Medio et Estreme Oriente, 1970), hlm. 148, sebagaimana dikutip oleh
Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, op.cit., hlm. 106.
29 Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Op.cit., hlm.

106.
Hubungan Internasional Samudera-Pasai 153

putih, aguila, damar, kamper, lada, dan jahe. Hubungan


persahabatan kedua kerajaan itu sebenarnya tidak tulus karena
Portugis pada dasarnya ingin menguasai Pasai. Terbukti jelas,
apabila terjadi kericuhan atau perebutan kekuasaan di Pasai,
Portugis selalu memihak golongan yang bersedia di bawah
kekuasaan negaranya (vassal). Hingga Pasai berada di bawah
kekuasaan Portugis untuk beberapa tahun, setelah menguasai
Malaka. Emporium Potugis ternyata lebih memusatkan armada
perang di Malaka dan tidak memperhitungkan terhadap
kekuatan Kerajaan Aceh di kawasan itu, sehingga ketika Aceh
mengadakan perluasan wilayah kekuasaan, sudah tidak dapat
terbendung lagi oleh kekuatan pasukan perang Portugis karena
pasukannya terlalu kecil dibandingkan dengan Aceh. Pada
akhirnya Pasai dapat dikuasai oleh Aceh dan Portugis
meninggalkan bentengnya di Pasai pada tahun 1524.30***

30 Lihat Darmono Hardjowidjono, “Pasai Tahun 1509-1524”, dalam


Susanto Zuhdi, op.cit., hlm. 169.
Planologi Kota Samudera-Pasai 155

Bab 9
PLANOLOGI KOTA SAMUDRA-PASAI

Samudera-Pasai selain sebuah kerajaan dengan Pasai


sebagai ibu-kotanya. Namun untuk mendapatkan gambaran
secara konkrit, berkenaan dengan planologi kota Pasai, tentunya
masih agak sulit sehubungan kurangnya bukti-bukti arkeologis
yang didapat dari bekas wilayahnya, terlebih Kerajaan Samudera-
Pasai sudah berusia kurang lebih sepuluh abad. Tetapi untuk
mendapatkan gambaran yang mengarah kepada hal itu kita bisa
lihat juga dalam tinjauan teoritis. Secara teori mengenai planologi
kota atau tata kota kerajaan-kerajaan Islam pada umumnya terdiri
dari: pertama, istana kerajaan, sebagai pusat pemerintahan juga
sekaligus sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya; kedua,
adalah pasar, sebagai pusat perdagangan (emporium) dan
perputaran perekonomian; ketiga, mesjid, sebagai sarana
peribadatan ritual ummat Islam dan juga sering dipergunakan
sebagai tempat bermusyawarah;1 keempat, benteng kota, sebagai
sarana pertahanan dari serangan lawan. Cluster atau blok-blok
maupun wilayah-wilayah kantong (enclave) berfungsi sebagai
rumah-rumah para pegawai istana kerajaan atau pejabat-pejabat
tinggi kerajaan, juga sebagai perkampungan orang-orang asing.2
Bangunan-bangunan yang disebutkan di atas menjadi
bagian dari planologi sebuah kota Islam yang dapat kita temui di
kerajaan-kerajaan Islam, termasuk kota Pasai. Pada kota-kota
Islam, mesjid merupakan bangunan yang menjadi titik sentral dan
tentunya dalam hal ini bangunan mesjid memerlukan lokasi yang
pasti dan keberadaan penduduk yang mendirikan dan menetap di
dalam kota.3 Tahap untuk mendirikan sebuah kota pada awal
masuknya Islam, hampir selalu digambarkan sebagai hasil
kelompok orang, kadang-kadang dalam jumlah yang banyak, yang
berpindah-pindah untuk mencari tempat yang sesuai untuk
1 Lihat Taqiyuddin an-Nabhani, Negara Islam: Tinjauan Faktual Upaya

Rasulullah SAW Membangun Daulah Islamiyah Hingga Masa Keruntuhannya, (Bogor:


Pustaka Thariqul Izzah, 2000), hlm. 61.
2 Jim Antonio, Menyelamatkan Kota-Kota Islam, (Jakarta: Idayu, 2000), hlm. v-

vi.
3 Jim Antonio, ibid, hlm. iv.
156 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

mendirikan negeri. Berbagai alasan mengakibatkan perpindahan


ini, seperti mendapat kekalahan dan perang atau mencari tempat
baru bagi anak raja sebagaimana yang dilakukan Malikussaleh
yang mendirikan Kota Pasai untuk dijadikan sebuah kerajaan
yang akan di kuasai oleh anaknya Malik az-Zahir.4
Pilihan lokasi tergantung dari empat jenis unsur. Pertama,
keputusan untuk mendirikan satu kota di ambil oleh seorang
pembesar dengan lingkungan yang sesuai, misalnya lokasi terletak
di tepi sungai dari mana laut dapat dicapai dengan mudah,
tanahnya rata dan cukup luas, jumlah penduduk di sekitarnya
banyak, lokasi berhampiran sumber ekonomi alam,5 atau sering
kali kawasan yang banyak ditemukan binatang perburuan atau
ikan. Pada jaman kerajaan Samudera-Pasai kedekatan hutan yang
kaya dengan kayu untuk membuat bangunan, binatang
perburuan, dan ikan laut merupakan unsur yang diperhitungkan
untuk memilih lokasi urban settlement. Salah satu contohnya,
Malikussaleh sering berburu pelanduk kehutan yang tidak jauh
dari kota kerajaan.6 Bangunan penduduk Pasai pada umumnya
terbuat dari kayu, penduduk kota Pasai mata pencahariaan pada
umumnya nelayan dan pedagang, karena kota Pasai terkenal
dengan kota bandar yang berada di pesisir pantai. Menurut
Kenneth R. Hall, kunci sukses Samudera-Pasai karena terletak di
muara Sungai Peusangan yang membuat sultan-sultan Pasai dapat
memobilisasi arus produksi lada dari daerah pedalaman menuju
ke Pantai atau pelabuhan.7

Definisi Kota
Pada umumnya dalam kesusasteraan Melayu lama,
pemukiman urban (urban settlement) digambarkan sebagai tempat
yang mempunyai sistem pertahanan yang dinamakan kota yang
diambil dari bahasa Sansekerta kota atau kotta yang berarti

4 A.H. Hill, “Hikayat Raja-Raja Pasai”, dalam Journal of the Malayan Branch of

the Royal Asiatic Society (JMBRAS), XXXIII, part 2, 1960, hlm. 62.
5 T.D. Situmorang, A. Teeuw (eds.), Sedjarah Melaju Menurut Terbitan Abdulah,

(Jakarta: Djambatan, 1952), hlm. 109.


6 R. Jones, (ed.), Hikayat Raja Pasai, (Petaling Jaya: Fajar Bakti, 1987), hlm.

22.
7 Lihat Kenneth R. Hall, Maritime Trade and State Development in Early Southeast

Asia, (Honolulu: Hawai Unyversity Press, 1985), hlm. 220-221.


Planologi Kota Samudera-Pasai 157

benteng (the fort). Istilah kottara yang berasal dari kota bukan saja
menunjukkan the fort tetapi juga fortified town. Beberapa bahasa
Dravidian telah meminjam istilah ini dengan mekna yang sama:
bahasa Tamil kottai yang mungkin merupakan asal nama Kerajaan
Kutai di Kalimantan Timur, bahas Malayalam kotta, bahasa
Kanada kote, bahasa Tulu kotte, dan bahasa Telugu kota. Beberapa
nama tempat di Dunia Melayu memakai istilah pura, yang berasal
dari bahasa Sansekerta yang bermakna fortress, castle, atau urban
settlement dikelilingi parit yang luasnya sekurang-kurangnya satu
kos dan berisi bangunan yang besar. Ada lagi dengan istilah
nagara, kata yang paling sering digunakan dalam bahasa Sanskerta
untuk menunjukkan town (kota kecil).8
Pada umumnya definisi sebuah adalah sekelompok rumah,
yang terpisah satu sama lainnya, namun merupakan settlement yang
secara relatif tertutup. Kendati tidak seluruhnya rumah-rumah
dalam kota itu berdekatan. Tetapi elemen sekelompok rumah itu
terkandung dalam konsep sebuah kota, sehingga pendapat orang
mengenai kota, hanya dari kualitatifnya saja, bagi mereka kota itu
adalah lokalitas yang luas.9 Sementara dalam bahasa Yunani, kota
disebut polis, istilah ini telah banyak dipopulerkan, misalnya oleh
Plato dengan istilah politea dan Aristoteles menyebutnya politica,10
kemudian dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah politik
yang artinya bermula dari kota, itulah kemudian berkembang
menjadi pusat pemerintahan. Sebagai contoh, kota Kerajaan Pasai
semula berada didekat muara sungai yang dengan dengan pantai.
Kemudian setelah adanya perkembangan, pusat kota yang semula
sebagai pusat pemerintahan menjadi berubah setelah adanya
keramaian transaksi bisnis, sehingga kota itu menjadi pusat
perekonomian.11 Istilah-istilah tersebut secara etimologi
mempunyai arti yang sama yakni kota. Kecuali istilah politik

8 Daniel Perret, “Kota Raja Dalam Kesusasteraan Melayu Lama”, dalam


Henry Chambert-Loir, Hasan Muarif Ambary, (eds.), Panggung Sejarah: Persembahan
Kepada Prof. Dr. Denys Lombard, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 247.
9 Max Weber, “Apakah yang disebut Kota”, dalam Sartono Kartodirdjo,

(ed.), Masyarakat Kuno dan Kelompok-Kelompok Sosial, (Jakarta: Bhratara, 1977), hlm. 11.
10 Sjachran Basa S.H.C.N, Ilmu Negara, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,

1980), hlm. 15.


11 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di

Indonesia, (Kudus: Menara Kudus, 2000), hlm. 23.


158 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

dalam bahasa Indonesia, secara terminologi polis hampir memiliki


kesamaan arti dengan politik yang dipakai secara umum sekarang
ini, atau setidaknya secara substansial sama maksudnya. Suatu
negara (atau kerajaan) pada masa awal adanya adalah bermula dari
sebuah kota, kemudian dalam proses pertumbuhannya menjadi
berkembang secara kompleks dalam berbagai aspek, dan secara
umum pusat kota itu menjadi pusat pemerintahan dan
lingkungan sosial.12
Pengertian sebuah kota menurut ahli sosiologi, Louis Wirth
yang menyatakan kota adalah sebuah pemukiman permanen
dengan individu-individu yang heterogen, jumlahnya relatif padat
yang menenpati areal tanah yang terbatas, berbeda halnya dengan
apa yang di sebut desa, kampung atau pemukiman penduduk
lainnya. Sirjamaki menambahkan bahwa yang di sebut dengan
kota adalah sebuah pusat komersial dan industri, kota juga pusat-
pusat untuk belajar serta kemajuan kebudayaan, dilihat dari segi
sejarah kota-kotalah yang melahirkan peradaban-peradaban
dunia.13 Selain Sirjamaki, David dan Julia Jary (1991: 71)
mendefinisikan kota sebagai: bahwa kota tidak lain adalah
kawasan hunian yang relatif besar, sehingga dapat dibedakan
dengan kampung atau kota kecil, serta terdapat aktivitas yang
relatif beragam di bidang ekonomi, kebudayaan, keagamaan,
pendidikan, dan politik. Sedangkan menurut Peter J.M. Nas juga
memberikan pengertian-pengertian tentang kota dengan
menghubungkan kemajuan peradaban manusia. Ia menyebutkan
ada lima pengertian penting tentang kota, antara lain: (1) kota
adalah suatu lingkungan material buatan manusia; (2) kota adalah
suatu pusat produksi; (3) kota adalah suatu komunitas sosial; (4)
kota adalah suatu komunitas budaya dan (5) kota adalah suatu
masyarakat yang terkontrol.14 Kesimpulannya Peter mengartikan
kota sebagai tempat orang-orang yang telah mengenal
pengetahuan yang lebih tinggi tentang teknologi, budaya, sosial

12 Uka Tjandrasamita, ibid, hlm. 15.


13 John Sirjamaki, The Sociology of Cities, (New York: Random House, 1964),
hlm. 3, hlm. 4-7. Sebagaimana dikutip oleh Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan
Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia, (Kudus: Menara Kudus, 2000), hlm. 10-11.
14 Peter J.M. Nas, The Indonesia City Studies In Urban Development and Planning,

1986), hlm. 14.


Planologi Kota Samudera-Pasai 159

dan hukum dibandingkan dengan orang-orang yang tinggal di


desa-desa atau pedalaman.
Beberapa pengertian tentang kota yang telah disebutkan di
atas dapat kita jadikan acuan pendekatan secara teoritis sehingga
berbagai aspek yang terkandung oleh pengertian kota itu sendiri
akan tercerminkan. Demikian juga dengan faktor-faktor yang
merupakan kondisi sebelum tumbuh dan berkembangnya, dan
keruntuhan sebuah kota seperti yang pernah dikemukakan
Gideon Sjoberg, menurutnya ada tiga hal yakni: pertama, suatu
dasar ekologi yang menguntungkan; kedua, suatu teknologi maju
(relatif pada bentuk-bentuk pra-perkotaan) dalam kedua suasana
baik agrikultur atau non-agrikultur; ketiga, suatu organisasi sosial
yang kompleks dan di atas segalanya ada struktur kekuasaan atau
kerajaan yang betul berkembang.15

Kota Pasai
Pasai adalah kota yang ramai, sebagai pusat perdagangan
yang banyak kapal singgah di pelabuhan Samudera. Sementara
itu, menurut penuturan seorang musafir Islam terkenal asal
Maroko, Ibnu Battutah, Pasai adalah kota yang terletak agak ke
dalam, sedikit menjauh dari pantai. Menurut Hikayat Raja-Raja
Pasai dan Sejarah Melayu, munculnya nama Samudera-Pasai hingga
menjadi ibukota kerajaan tersebut diceritakan dengan adanya
semut besar yang bernama “Samudera” dan seekor anjing yang
bernama “Si Pase”.16 Samudera sebelum kedatangan dan proses
penyebaran Islam hanyalah merupakan sebuah kampung yang
dikepalai seorang kepala suku. Tetapi meski belum menjadi kota,
Kampung Samudera sudah berfungsi sebagai tempat
persinggahan pedagang-pedagang. Akibat hubungan dengan
orang-orang Muslim sejak abad ketujuh. Maka abad ketiga belas
kampung tersebut menjadi sebuah kota bahkan menjadi ibukota

15 Gideon Sjoberg, The Preindustrial City Past and Present, (New York: The Free

Press, 1965), hlm. 27-31.


16A.H. Hill, Hikayat Raja-Raja Pasai”, JMBRAS, XXXIII, part 2, 1960, hlm.

55; J.P. Moquette, “De eerte vorsten van Samoedra Pase”, ROD, 1913, hlm. 1-12.
Sebagaimana dikutip oleh Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-
Kota Muslim di Indonesia, (Kudus: Menara Kudus, 2000), hlm. 52.
160 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

kerajaan yang bercorak Islam.17 Sejak abad ketiga belas sampai


abad keenam belas. Samudera-Pasai merupakan kota yang ramai,
pusat kerajaan dan pusat perdagangan (entreport) di pesisir selat
Malaka.18 Keindahan dan kemajuan Kota Pasai tercatat juga oleh
Ibnu Battutah yang merasa sangat terkesan pada saat
mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera itu
sekitar tahun 1345. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar
(sekarang masuk wilayah Myanmar), Battutah mendarat di sebuah
tempat yang sangat subur. Ia semakin takjub karena ketika turun
ke kota itu, ia mendapati sebuah kota besar yang sangat indah
dengan dikelilingi oleh dinding dan menara kayu. Perdagangan di
kota itu sangat maju, ditandai dengan penggunaan mata uang
emas yang menjadi alat untuk melakukan transaksi
perdagangan.19
Kota Pasai, selain sebagai tempat transaksi perdagangan
yang terletak di pesisir itu, juga menjadi ibukota kerajaan.
Samudera-Pasai (atau Pase jika mengikuti sebutan masyarakat
setempat) bukan hanya tercatat sebagai kerajaan yang sangat
berpengaruh dalam pengembangan Islam di Nusantara. Pada
masa pemerintahan Sultan Malik az-Zahir, Samudera-Pasai
berkembang menjadi pusat perdagangan internasional.
Pelabuhannya diramaikan oleh pedagang-pedagang dari Asia,
Afrika, Cina, dan Eropa. Secara ekonomi di masa itu, Pasai telah
mengalami kemajuan yang pesat, karena peran sultan dalam
mengambil kebijakan dengan mengadakan hubungan-hubungan
dengan kerajaan-kerajaan yang lain di sekitarnya.20 Dalam
membina hubungan regional Samudera-Pasai dengan kerajaan
lainnya sudah di buktikan dengan antusiasnya para pedagang dari
luar untuk mengadakan transaksi ekonomi di kotanya. Tercatat,
selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera-Pasai dikenal
sebagai salahsatu kota di wilayah Selat Malaka dengan bandar
pelabuhan yang sangat sibuk. Bersamaan dengan Pidie, kota Pasai

17 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di

Indonesia, ibid., hlm. 36-37.


18 Lihat Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun 1450-1680, (Jakarta:
Yayasan Obor, 1992), hlm. 10.
19 Ibnu Batutah, Travels in Asia and Africa 1325-1354, H,A.R. Gibb, (terj.),

(London: George Routledge & Sons, 1929), hlm. 273-274.


20 Ibnu Batutah….ibid., hlm. 274.
Planologi Kota Samudera-Pasai 161

menjadi pusat perdagangan internasional karena pedagang-


pedagang asing datang untuk membeli lada yang menjadi salah
satu komoditas ekspor utama Pasai.21
Pelayaran dan perdagangan orang-orang asing datang ke
Pasai adalah faktor yang menjadi ajaran Islam diterima penduduk
lokal. Memang di masa sebelumnya pra-Islam, Pasai telah
mengadakan hubungan dagang dengan dunia Internasional,
misalnya; dengan Cina, India dan Persia. Dan pada masa itu,
sarana transportasi yang berkembang, atau yang menjadi andalan
untuk menghubungkan suatu wilayah dengan wilayah lainnya
adalah melalui jalur air pelayaran, juga perekonomian pada masa
itu bertumpu pada hasil perdagangan. Maka pertumbuhan dan
perkembangan suatu kota tidaklah jauh dari pantai, biasanya
bermula dari adanya bandar atau pelabuhan. Kemudian bandar
atau pelabuhan yang sering dikunjungi kapal-kapal pedagang atau
kapal ekspedisi, menjadi ramai dan pada akhirnya menjadi pusat
kota bahkan tidak sedikit atau hampir merata ibukota kerajaan
pada masa lalu berada di pinggir-pinggir pantai atau muara
sungai. Demikian pula halnya dengan kerajaan-kerajaan Islam,
khususnya kerajaan Islam di Indonesia, Aceh adalah berada di
Pantai atau setidaknya berada dalam suatu lokasi yang tidak jauh
dari pantai. menurut Hasjmy, Ibukota Kerajaan Banua di pinggir
sungai Tamiang, ibukota Kerajaan Samudera-Pasai di pinggir laut,
ibukota Kerajaan Indra Patra di pinggir laut, ibukota Kerajaan
Indra Purba di pinggir laut, ibukota Indra Puri di pinggir sungai
Aceh, ibukotanya Indra Jaya (Lamno sekarang) di pinggir laut,
ibukota Kerajaan Aceh Darussalam di pinggir Kreueng Aceh,
ibukota Kerajaan Islam Peureulak, Bandar Khalifah di pinggir
Sungai Peureulak.”22 Termasuk di dalamnya ibukota Kerajaan
Samudera-Pasai, yang terdiri dari dua kota, yakni kota Samudera
terletak agak lebih ke dalam dari Muara Sungai Pasangan,
sedangkan kota Pasai terletak lebih dekat dengan muara Sungai
Pasangan. Kedua kota tersebut terletak berseberangan di muara
Sungai Pasangan, tidak jauh dari pantai. Maka kedua kota itu
21 Lihat Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun 1450-1680, (Jakarta:
Yayasan Obor, 1992).
22 Ali Hasjmy, “Adakah Kerajaan Islam Peureulak Negara Islam Pertama di

Asia Tenggara”, dalam Ali Hasjmy, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia, (Bandung: al-Ma’arif, 1981), hlm. 149.
162 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

termasuk kota maritim, yang sebagian besar penduduknya


mengandalkan pelabuhan sebagai pusat perekonomian.23 Sudah
pasti pelabuhan Pasai akan terlihat ramai sekali ketika itu, apabila
dilihat dari jumlah penduduk Kota Pasai pada abad kelima belas,
memiliki lebih kurang 20.000 orang penduduk saja.24 Sementara
menurut catatan Ibnu Batutah, yang datang ke Pasai pada tahun
1345, penduduk kota Samudera-Pasai berjumlah 100.000
penduduk yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa.25
Dapat dikatakan penduduk Kota Pasai termasuk multi
etnik. Dengan penduduk yang cukup padat oleh berbagai lapisan
masyarakat yang bermacam-macam gaya hidupnya, yang banyak
berasal dari berbagai etnis di dunia, yakni India, Cina dan Persia
juga masyarakat lokal.26 Namun mereka tidak pernah terjadi
kericuhan yang berarti mengingat pentingnya kelangsungan hidup
mereka di Kota Pasai yang penuh kesibukan dalam melakukan
kegiatan ekonomi. Populasi penduduk yang bermacam-macam
etnis yang pada umumnya cenderung menjadi pedagang
menyebabkan kota Pasai menjadi pusat perdagangan, dan pusat
produksi serta pusat distribusi barang, di mana hal itu adalah
suatu kenyataan bahwa Kerajaan Samudera-Pasai memang
merupakan kerajaan yang dalam pendapatannya mengandalkan
kepada hasil pelayaran dan perdagangan, dan hal itu didukung
dengan kondisi geografis kota Samudera-Pasai itu sendiri yang
berada di pantai. Dan hal ini, sebagaimana kesimpulan Max
Weber, “bahwa kota adalah suatu pemukiman dimana
penduduknya lebih mengutamakan kehidupan perdagangan dan
komersial daripada pertanian.”27 Dapat dipastikan di dalam kota
Pasai sudah pasti terdapat pasar, sebagai pusat perdagangan dan
terjadinya transakasi penjual dan pembeli serta produsen yang
turut serta dalam pertukaran itu.28 Pasar tidak hanya terdapat di
23 Ensikopledia Islam, “Kerajaan Samudera-Pasai,” (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1998), hlm. 248.
24 Lihat Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, (London:
Hakluyt Society, 1944).
25Lihat Ibnu Batuta, Travels in Asia-Africa 1325-1354, H.A.R. Gibb, (terj.),

(London: Hakluyt Society, 1944).


26 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan Dan Perkembangan …Op.cit., hlm. 10.
27 Max Weber, The City, (New York/London: The Free Press, 1966), hlm. 66.
28 Peter O. Steiner, “Market and Industries International”, Ensiklopedia of

Social Sciences, Vol. 9, 1968, hlm. 575-581.


Planologi Kota Samudera-Pasai 163

kota pusat kerajaan tetapi juga di kota-kota lainnya. Pasar


sangatlah erat hubungannya dengan sifat dan corak kehidupan
ekonomi kota itu sendiri. Kota, dilihat dari pengertian ekonomi
adalah suatu tempat pemukiman (settlement) di mana penduduknya
terutama hidup dari perdagangan daripada pertanian. Pasai
sebagai kota bandar, sangatlah memerlukan pasar karena sebagian
penduduknya berstatus pedagang. Menurut Uka Tjandrasasmita
secara sosiologi, definisi sebuah kota adalah sebuah pemukiman
permanen dengan individu-individu heterogen, jumlahnya relatif
luas dan padat yang menempati areal tanah yang terbatas,
berbeda halnya dengan apa yang disebutkan desa-desa, kampung-
kampung dan tempat-tempat pemukiman lainnya. Mereka itu
keduanya terdiri dari percampuran manusia dan sejumlah
bangunan yang mengisi kota. Dengan demikian kota Pasai sudah
didirikan banyak bangunan permanen, terutama sekali adalah
Istana sebagai pusat pemerintahan sudah pasti adanya, demikian
pula bangunan lainnya, seperti mesjid, cluster (pemukiman pejabat
tinggi kerajaan atau pemukiman orang asing), bangunan pusat
pendidikan, bangunan benteng pertahanan, dan sebagainya.
Kemudian kepadatan penduduk kota bila dibandingkan dengan
penduduk desa di masa itu, sudah pasti padat.29
Sejalan dengan tumbuhnya serta kepadatan penduduk kota,
di mana pusat kota Samudera-Pasai adalah banyak dikunjungi
para pedagang dari berbagai belahan dunia, sudah pasti
pertukaran budaya akan terjalin, demikian pula orang-orang
Samudera-Pasai pun telah melakukan perjalanan keberbagai
belahan dunia, maka dari berbagai pengalaman itu sebagai akibat
adanya pergaulan, sudah pasti mempengaruhi pola rekayasa
teknologi dalam berbagai karya di Samudera-Pasai, baik teknologi
bangunan, perkakas rumah tangga hingga kepada perlengkapan
angkatan perang. Maka Samudera-Pasai dapat dipastikan
memiliki pusat-pusat rekayasa industri, setidaknya profesi pandai
besi sudah ditemukan. Kemudian, sehubungan secara ekologi,
kota Samudera-Pasai memiliki potensi untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat kotanya, maka pengolahan sumber-
sumber atau potensi-potensi ekologi itu memerlukan rekayasa

29 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di

Indonesia, (Kudus: Menara Kudus, 2000), hlm. 10.


164 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

teknologi sekalipun dengan cara yang masih sangat sederhana bila


dibandingkan kepada masa kini.30
Di masa sekarang untuk membicarakan Pasai sebagai
sebuah kota atau bandar internasional pada abad ketiga belas
sampai keenam belas bukanlah hal yang mudah. Tawalinuddin
Haris telah meneliti dari sumber-sumber tertulis seperti: hikayat,
babad, maupun catatan perjalanan berita-berita asing, dan hanya
memberikan sedikit gambaran kota Pasai tersebut. Berdasarkan
pengamatannya bekas ibukota Pasai telah berubah fungsi menjadi
sebuah desa atau kampung. Meskipun kota Pasai masih dapat
dikenal melalui peninggalan arkeologi dan data toponimnya,
namun masih sulit untuk menggambarkan kota tersebut, bak fisik
maupun sosialnya secara lengkap. Masalahnya peninggalan-
peninggalan arkeologi yang ada sangat terbatas, bahkan di atas
reruntuhan kota kuno itu telah dibangun rumah-rumah baru,
sehingga menambah kesulitan untuk memperoleh gambaran yang
sebenarnya kota Pasai.31
Terdapat perbedaan pendapat antara Ibnu Batutah dengan
Tome Pires disebabkan pandangan-pandangan tentang letak kota
Pasai yang mereka berikan berbeda. Kota Pasai yang
dimaksudkan Tome Pires adalah bandar Sahra yang disebut Ibnu
Batutah. Kenyataan ini diperkuat dengan pernyataan Tome Pires
bahwa kota Pasai langsung dibatasi dengan batu karang yang
menghadap ke laut. Berarti Tome Pires menceritakan letak kota
Pasai berada di tepi pantai. Sedangkan yang diceritakan Ibnu
Batutah bahwa kota yang terletak di tepi pantai ialah bandar
pelabuhan yang disebut Sahra, sementara kota Pasai terletak di
mana istana kerajaan didirikan.32 Ibnu Batutah selanjutnya
menyebutkan bahwa di dalam pagar keliling kota terdapat tempat
tinggal para penguasa dan bangsawan lainnya yang dilindungi
oleh pemukiman rakyat biasa yang berada di luar pagar. Semua

30 Tawalinuddin Haris, “Bentuk dan Morfologi Kota Pasai”, dalam Susanto

Zuhdi, (ed.), Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutera, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993),
hlm. 48-49.
31 Tawalinuddin Haris, “Bentuk dan Morfologi Kota Pasai”, dalam Susanto

Zuhdi, (ed.), Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutera, Op.cit., hlm. 47-48.
32 Mohammad Gade Ismail, Pasai Dalam Perjalanan Sejarah abad ke-13 sampai

ke-16, Op.cit., hlm. 37.


Planologi Kota Samudera-Pasai 165

kehidupan komersial kota, para pendatang baru, maupun orang-


orang asing, para pengrajin dan segala aktivitas urban lainnya
ditempatkan di luar pagar keliling kota. Orang-orang asing
seringkali tidak diizinkan menetap dalam jarak tertentu dari istana
raja, bahkan kadang mereka harus tinggal di luar kota.33
Dengan demikian apabila kita melihat dari keterangan Ibnu
Batutah, kota Pasai merupakan pusat pemerintahan raja-raja Pasai
yang terletak di tengah-tengah areal yang terdapat suatu daerah
inti tempat berdirinya istana kerajaan yang dipagar sebagai batas
yang membedakan kawasan istana sultan dengan kawasan pasar
di mana aktivitas ekonomi berlangsung. Berdasarkan kenyataan
ini Pasai memiliki kota besar yang dihuni oleh penduduk yang
tersebar sampai ke pedalaman. Sementara rumah-rumah
penduduk di kota tersebut didirikan di atas tiang-tiang dari pohon
pinang atau kelapa yang tinggi, dan rotan sebagai pengikatnya.34
Pada umumnya rumah-rumah ini didirikan di tepi pantai dengan
mata pencaharian menangkap ikan dan menanam padi yang dapat
dipanen selama dua kali setahun.35walaupun penduduk kota Pasai
bisa menghasilkan padi, dua kali selama setahun tetapi masih
mengimpor padi dari Jawa.36
Pasai bukanlah sebuah kerajaan agraris yang mengandalkan
pertanian sebagai kegiatan ekonomi utama masyarakatnya, seperti
yang disebutkan sebelumnya penduduk kota Pasai pada
umumnya melakukan kegiatan ekonomi utamanya adalah
perdagangan yang pelaksanaanya di pelabuhan dan pasar, yang
kemungkinan terletak di luar tembok atau di daerah pinggiran
kota sehingga aktivitas perdagangan tidak mengganggu istana
kerajaan. Hal ini tidak menutup kemungkinan pasar juga ada di
dalam pagar keliling kota untuk melayani penduduk sekitarnya.
Dan kemungkinan besar yang dikatakan Ibnu Batutah Sahra

33 Anthony Reid, “The Structure of Cities in Southeast Asia, Fifteenth to


Seventeenth Centuries”, dalam Journalof Southeast Asian History (JSEAH), II (2), 1980,
hlm. 240-241.
34 Lihat Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, (London:
Hakluyt Society, 1944), hlm. 145.
35 Eleanor Selling, “ The Evolution of Trading States in Southeast Asia

Before the 17th Century, P.Hd, Thesis, (Columbia: University, 1981), hlm. 97.
36 Mohammad Gade Ismail, Pasai Dalam Perjalanan Sejarah abad ke-13 sampai

ke-16, Op.cit., hlm. 42.


166 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

adalah pelabuhan Pasai yang merupakan pusat aktivitas komersial


yang lokasinya sekitar empat mil dari pusat pemerintahan.37
Gambaran kota Pasai seperti yang tercatat di Hikayat Raja-
Raja Pasai adalah suatu pusat urban yang kosmopolitan.
Lingkungan yang kosmopolitan itu terlihat dari nama-nama
kampung yang mengacu pada kelompok etnis tertentu seperti
Kampung Bangka, Kampung Cina.38 Sementara Tome Pires
menyatakan mayoritas kota Pasai adalah masyarakat Benggali39,
walaupun Denys Lombard menganggap pernyataan Tomer Pires
tidak dapat dipercaya, dan terlalu berlebihan.40 Tetapi kalau
dilihat sesuai dengan fungsinya kota Pasai sebagai kota
perdagangan internasional, mengakibatkan keberadaan orang-
orang asing dapat dibenarkan. Kenneth R.Hall, berpendapat kota
Pasai yang kosmopolitan itu terlihat juga dengan arak-arakan dan
berbagai aktivitas kegiatan istana dan pertunjukkan kemewahan
dan kekayaan yang berlebihan.41
Banyak etnis-etnis yang ingin singgah dan menetap di Kota
Pasai, di karenakan Kota Pasai adalah kota terpenting pada
masanya untuk seluruh pulau Sumatera, dan tidak ada tempat lain
yang penting selain Pasai, sehingga nama kota itu, yang oleh
sebagian penduduk lain disebut Samudera, dijadikan nama untuk
pulau itu.42***

37 Mohammad Gade Ismal, ibid., hlm. 55.


38 Kenneth R. Hall, Maritime Trade and State Development in Early Southeast
Asia, (Honolulu: University Hawai Press, 1985), hlm. 215.
39 Lihat Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, (London:
Hakluyt Society, 1944).
40 Denys Lombard, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636),

(terj.), Winarsih Arifin, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 44.


41 Kenneth R. Hall, Maritime Trade and State Development in Early Southeast

Asia, Op.cit., hlm. 215.


42 Lihat Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, (London:
Hakluyt Society, 1944).
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 169

Bab 10
TRADISI-TRADISI KEILMUAN
SAMUDERA-PASAI

Pada masa Pasai, khususnya pada masa pemerintahan


Sultan Malikussaleh, dua hal yang paling maju secara kualitatif,
yakni sastra dan ilmu pengetahuan. Bahasa yang digunakan
adalah Bahasa Melayu Pase yang merupakan cikal-bakal atau asal-
muasal Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa lingua-
franca di Nusantara dan kemudian menjadi bahasa persatuan,
Bahasa Indonesia, seperti sekarang ini. Setelah bergabungnya dua
kerajaan kecil ini, maka kualitas kebudayaan Aceh pun mulai
terintegrasi dan berkembang.
Unsur-unsur kebudayaan, menurut Koentjaraningrat,
terbagi kedalam tujuh bagian, yakni; (1) sistem religi dan upacara
keagamaan, (2) sistem organisasi kemasyarakatan, (3) sistem
pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata
pencaharian, dan (7) sistem teknologi dan peralatan.1
Mengacu kepada pembagian sesuai dengan unsur
kebudayaan tersebut di atas, maka sistem religi dan upacara
keagamaan masyarakat Aceh pra Pasai, sebagaimana terlukis
dalam pepatah Aceh hukom ngon adat, lage zat ngon sifeut (hukum
dengan adat seperti zat dengan sifatnya, tidak terpisah)2, hukum
yang dimaksud dalam pepatah tersebut adalah hukum Islam.
Maka hukum Islam sebagai system religi yang sudah melekat
dengan adat kebiasaan masyarakat Aceh, membuktikan bahwa
sistem religi (Islam) telah tumbuh dan mempengaruhi budaya
dan peradaban masyarakat Aceh, hal tersebut dapatlah kita
maklum karena Aceh telah kedatangan Islam sejak abad ke-7 dan
kemudian waktu yang ditempuh hingga Kerajaan Islam

1 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta:

Gramedia, 1985), hlm. 2.


2 Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, Monografi Daerah Istimewa Aceh,

(Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI, 1976), hlm. 53.


170 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Peureulak (840) adalah satu abad setengah lebih, dan bila


diperhitungkan sampai Kerajaan Islam Samudera Pasai berdiri
pada tahun 1042 atau pada awal abad ke-11, maka system religi
(Islam) telah memakan waktu kurang lebih tiga abad. Dengan
melekatnya Islam dengan adat istiadat masyarakat Aceh masa itu
yang dilukiskan bagaikan zat dengan sifatnya, maka zat dengan
sifat tidak dapat dipisah, artinya jika sifatnya Islam maka zatnya
juga adalah Islam.
Budaya Aceh pra-Pasai, ditinjau dari segi sistem organisasi
kemasyarakatan “sistem pemerintahan”, masih tergolong kepada
system organisai kerajaan atau monarki, akan tetapi sekalipun
masih menggunakan sistem monarki yang pada umumnya
undang-undang suatu kerajaan mengacu kepada lisan raja, lain
halnya dengan Kerajaan Islam Peureulak, ia telah mengacu dan
menjadikan hukum Islam sebagai hukum tertinggi dalam
kerajaan. Dan pada masa Kerajaan Samudera Pasai bisa dikatakan
lebih modern lagi untuk ukuran masa itu, sebagaimana statement
Teuku Ibrahim Alfian; "…belum lagi kalau kita mendalami Serat
Tajussalatin, kodifikasi hukum tata pemerintahan dan petunjuk
memerintah dengan prinsip keadilan. Buku berbahasa dan
berhuruf Jawa yang dipakai di Keraton Yogya tersebut
merupakan salinan dari kitab Tajussalatin, tulisan berhuruf Jawi
berbahasa Melayu Pase, berasal dari masa pemerintahan Sultan
Alaad-Din Ri’ayat Syah (1589-1604). Dengan demikian,
meskipun zaman itu masih belum canggih, namun sudah terjalin
jaringan intelektual antara Aceh dan Jawa dan juga dengan
seluruh Nusantara.…"3 Kitab Tajussalatin, sebagai buku (text book)
yang mengatur sistem pemerintahan dan pembagian kewenangan
pejabat kerajaan telah diatur dengan rapi.
Ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu bagian dari
unsur kebudayaan telah menghiasi kemajuan bangsa Aceh baik
dari segi ilmu pertanian, ilmu kemiliteran, ilmu perdagangan, ilmu
kesehatan, dan lain sebagainya. Dimana itu didapat dari adanya
pergaulan bangsa Aceh dengan bangsa lain didunia, bahkan jauh

3 Julius Pour, “Teuku Ibrahim Alfian, Keterikatan Samudera Pasai-


Mataram”, Kompas, 6 Mei 2003.
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 171

sebelum kedatangan Islam, terutama sekali dari pengaruh India,


Cina dan Persia yang sebelumnya telah mengadakan kontak
dagang dengan bangsa Aceh. Tradisi keilmuan di Aceh
berkembang dengan cukup baik, terlebih setelah Islam masuk
Aceh dimana tarap ilmu pengetahuan semakin tinggi. Tidak
sedikit orang-orang Aceh yang berkemauan belajar ilmu (Islam)
langsung ke Jazirah Arab yang pada waktu itu konstelasi dunia
berada disana, dan juga tidak sedikit para Ulama dari jazirah Arab
menetap di Aceh dan mengembangkan ilmu pengetahuan Islam
nya.
Bahasa yang berkembang di Aceh cukup beragam sebagai
akibat dari adanya kontak bangsa Aceh dengan bangsa-bangsa
lain di dunia, dan bahasa lokal (asli Aceh) cukup beragam juga,
sebagai missal, tumbuh dan berkembangnya Bahasa Gayo, dan
Bahasa Tamiang. Dan bahasa Asing yang juga berkembang di
Aceh adalah Bahasa Parsi, Bahasa Hindi (India) juga Bahasa
Arab. Setelah memasuki masa Islam, dimana masyarakat dan
bangsa Aceh secara keseluruhan lebih menguasai bahasa Arab
dibandingkan dengan bahasa asing lainnya yang berkembang
masa itu.
Bahasa sebagai sarana komunikasi secara lisan atau tulisan
telah cukup berkembang, bahkan gaya bahasa yang terpahat
dalam batu nisai di Saamudera Pasai, sebagai terlukis dalam
kutipan sebagai berikut; "… di sana lokasi Kerajaan Samudera
Pasai, negara besar yang menjadi persinggahan penjelajah dari
beragam bangsa sejak ratusan abad silam. Salah satu peninggalan
menarik di Pasai adalah puisi berbahasa Parsi yang dipahatkan
pada batu nisan pualam di makam Na’ina Husam tahun 1420.
Puisi tersebut karya Shaik Muslih al-Din Sa’di (1193-1292),
seniman besar kelahiran Shiraz dan dikebumikan di Saadiya, Iran.
Seorang pelopor penulisan lirik Persia dan dikenal sebagai
penulis etika terbesar yang pernah dilahirkan. Pada zaman itu
karyanya sudah mendunia, diterjemahkan ke beragam bahasa,
Barat dan Timur. Sejak bahasa Inggris sampai Latin, dari bahasa
Arab hingga Urdu. Maka, pada abad XV itu saja dusun saya
sudah kosmopolitan, oleh karena syair berbahasa Parsi yang
172 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

datang dari jauh telah bisa memasyarakat. Terjemahan salah satu


baitnya … apabila kehidupan ini tiada lain hanyalah seperangkat
kumpulan hari-hari manusia mengapakah orang-orang yang
menyinggahi bumi ini merasa angkuh? oh sahabat, jika kau lalui
makam seorang musuh, janganlah kau bersuka cita karena hal
semacam itu dapat juga menimpa dirimu."4
Juga seni atau kesenian, yang merupakan bagian dari
kebudayaan, telah pula memeriahkan bangsa Aceh sebagai
bangsa yang berperadaban tinggi, diantaranya bentuk-bentuk
karya seni dapat kita lihat, yakni karya seni pahat yang dilekatkan
pada banyak batu-batu nisan, demikian pula dengan seni
menguntai kata puisi di Aceh telah pula berkembang,
sebagaimana puisi yang dipahatkan pada batu nisan Na’ina Husam
sebagaimana telah dikutip diatas. Tak ketinggalan juga seni suara
dan seni tari pun berkembang di Aceh, sebagai misal tarian Saman
yang mirip dengan tarian sama’ yang biasa dilakukan oleh para
ahli sufi sebagai tarian untuk mengenang tragedi Karbala5. Islam
syi’ah juga berkembang dengan pesat pada masa Kerajaan
Peureulak, dan di anulir Islam yang masuk ke Aceh pertama kali
adalah Islam yang beraliran syi’ah, bahkan berdirinya Kerajaan
Samudera Pasai adalah merupakan kelanjutan Kerajaan peureulak
dari keturunan sultan Peureulak kedelapan yang beraliran syi’ah,
yakni Syeikh Mahmud yang kemudian ia bernama Maharaja
Mahmud Syah.
Dengan terungkapnya tradisi keilmuan masyarakat Aceh
pada masa lampau, kiranya dapat memberikan spirit bagi generasi
bangsa Aceh khususnya dan umumnya bagi bangsa Indonesia
pada masa sekarang, untuk lebih mengedepankan
kesanggupannya dalam menuntut ilmu, sehingga bangsa Aceh
dapat kembali kepada masa jayanya yang telah lama menghilang.6
Dan berkembangnya peradaban bangsa Aceh menjadi bangsa

4 Ibid.
5 Syeikh Syihabuddin Umar Shrawardi, Awa’arif al-Ma’arif, Sejarah Klasik
Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 291.
6 ……, dalam Syeikh Munir Muhammad, Manhaj Haraki Strategi Perjuangan

dan Pergerakan Politik dalam Sirah Nabi,…. Hlm…..


Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 173

yang maju dari waktu ke waktu dan itu tidak bisa lepas dari
adanya penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Aceh
sebagaimana yang sudah dikenal secara luas atas bersikukuhnya
terhadap prinsip-prinsip Islam dari sejak meninggalkan paham
Budhisme dan Hinduisme serta keyakinan Animisme dan
Dinamisme pada masa setelah datangnya Islam di Aceh.
Demikian pula dalam hal memegang prinsip mencari ilmu,
tentunya di motifasi oleh prinsip; Tholabul ‘ilmi faridhotun ‘ala kulli
muslimiin wal muslimat (menuntut ilmu itu wajib atas tiap-tiap
orang muslim dan muslimat).7
Dengan motifasi wajib dalam hal menuntut ilmu, bangsa
Aceh menjadi terbangunkan untuk menuju peradaban yang lebih
maju dalam berbagai sektor kehidupan dan berkesanggupan
melahirkan para ulama (ilmuwan) hingga tersohor ke
mancanegara (luar kerajaan), pada masa lampau. Sebagaimana
yang di ukir dalam tulisan A. Teeuw dan D.K. Wyatt, dalam
Hikayat Pattani; “Semenjak didirikan Kesultanan Samudera Pasai,
ulama Aceh di kirim ke berbagai kawasan seperti ke Jawa, Sunda,
Sulawesi,8 Malaka, dan Pattani untuk menyebarkan ajaran
Islam”.9 Ilmu yang dituntut oleh bangsa Aceh pada masa lampau
untuk membangun peradaban yang terbaik, sendi pokoknya
bertitik tolak dari Ulumul Qur’an (ajaran Islam), yang dengan itu
bangsa Aceh pada kemudiannya berkesanggupan meninggalkan
peradaban jahiliyah yang serba primitif (terbelakang) dan jahat.
Ulumul Qur’an, adalah merupakan ismu rabb (ajaran Allah)
dan merupakan bentuk wahyu yang diajarkan Allah SWT kepada
hambaNya Muhammad Rasulullah SAW, dan itu merupakan
setinggi-tinggi ilmu yang dapat dipelajari oleh manusia dan
bersifat wajib hukumnya. Al-Qur’an dalam sudut pandang
sebagai ilmu sangatlah ilmiah keberadaannya, karena ia bersifat
qauliyah (perkataan, teoritis) dan kauniyah (alamiyah, praktis) dan

7 Al-Hadits. (dikutip dari buku siapa ini?)


8 S.M. Amin, “Sejenak Meninjau Aceh Serambi Mekkah,” dalam: Ismail Suni,
(ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1980), hlm.54-55.
9 A. Teeuw dan D.K.Wyatt, Hikayat Pattani, (Jakarta: Bibliotheca

Indonesia,1970), hlm. 175.


174 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

dari keduanya sinkron (serasi), dan bilamana ada ketidakserasian


antara qauliyah dan kauniyah maka kepada manusia dituntut untuk
membuktikannya, sehingga bukti itu bersifat natijah
(kesimpulan).10 Keilmiahan al-Qur’an itu sebagaimana sudut
pandang para ilmuan masa kini, di mana ilmu harus bersifat
ilmiah yakni untaian teoritis yang bersifat redaksional harus
didukung dengan adanya bukti-bukti nyata yang dapat
mendukung adanya teoritis tersebut. Dengan mengakarnya
Ulumul Qur’an dan ilmu-ilmu alatnya (ilmu pendukung) yang
dikuasai bangsa Aceh, telah terbuktikan sehingga Aceh tidak
pernah dapat ditaklukkan oleh bangsa lain yang berusaha untuk
menguasai Aceh.11
Dengan ilmu yang bersumber kepada al-Qur’an dan al-
Hadits, bangsa Aceh menjadi lebih tercerahkan dalam berbagai
pemikiran dan prilaku (ahklak), sehingga Aceh memiliki peran
penting dalam mentransmisikan berbagai keilmuan Islam dari
Madinah al-munawarah ke Nusantara.12 Berkembangnya ilmu
pengetahuan di Aceh bukanlah berjalan secara sporadis,
walaupun pada perkembangan awalnya lebih bersifat individual
yang dilakukan oleh masyarakat karena termotivasi oleh rasa
tanggung jawab, sebagaimana perkataan Ali bin Abu Thalib;
“Ilmu yang tak diamalkan bagaikan pohon yang tak berbuah,”13
akan tetapi pada perkembangan lebih lanjut, dunia ilmu
pengetahuan mendapat perhatian yang mendalam dari kalangan
ulama dan penguasa kesultahanan pada masa lampau, sehingga
kebutuhan ilmu pengetahuan di pandang sebagai prioritas untuk
membangun kualitas sumber daya manusia bangsa Aceh dan

10 Al-Qur’an, Surah al-Baqarah (2), ayat 185.


11 Paul Van ’t Veer membagi periode Perang Belanda-Aceh kepada empat
masa: (1) 1873, (2) 1874-1880, (3) 1896-1942. Lihat bukunya, Perang Belanda-Aceh,
(terj.), (Banda Aceh: Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa
Aceh, 1987).
12 Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Membangun Kembali Jati Diri Ulama

Aceh, dalam: M. Hasbi Amiruddin “Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh”,
(terj.), (Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003), hlm. ix.
13 Atsar Ali bin Abu Thalib.
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 175

pusat ilmu pengetahuan pun dibangun dan kemudian dinamakan


dayah (Pesantren).
Pembangunan dayah sebagai pusat studi Islam untuk
pertama kalinya di bangun di Peureulak pada akhir abad ketiga
Hijriyah, dan pusat studi Islam tersebut bernama Dayah Cot
Kala, yang berlokasi kira-kira dekat Bayauen (Aceh Timur),
sekarang. Pendiri Dayah Cot Kala tersebut adalah Teungku Chik
Muhammad Amin, seorang ulama yang berasal dari kalangan
Kerajaan Peureulak.14 Pada perkembangan lebih lenjut berkenaan
dengan institusi pendidikan yang bernama dayah tersebut juga
berkembangan dikerajaan-kerajaan Islam lain, sebagaimana pada
masa Kerajaan Islam Lingga (Aceh Tengah, sekarang), di sana
pusat studi Islam terkenal dengan nama Dayah Seurule. Dan
Kerajaan Indra Purba (Aceh Besar Sekarang) setelah menjadi
kerajaan Islam yang di kenal dengan nama Kerajaan Darussalam,
mendirikan pula pusat pendidikan Islam dengan nama Dayah
Lam Keuneu’eun di bawah kendali Syaikh Abdullah Kan’an yang
kemudian terkenal dengan nama Teungku Chik Lam
Keuneun’eun.15 Perkembangan pusat-pusat studi Islam di masa
lampau semakin signifikan dari segi kualitas pengelolaan dan
kualitas sumber daya manusia yang dilahirkannya dari masa
kemasa. Dayah (di ranah Minang, Sumatera Barat dikenal Surau)
sebagai pusat studi Islam yang telah ada dari sejak Kesultanan
Peureulak dan juga tumbuh berkembang pada kesultanan dan
atau kerajaan Islam lain di Aceh. Pada masa Aceh telah bersatu
menjadi satu kerajaan yakni Aceh Raya Darussalam, pusat studi
Islam telah menjelma menjadi perguruan tinggi Islam, dengan
nama Jami’ah Baitur Rahman (Universitas Baitur Rahman) dan
mempunyai 17 Daar (fakultas).16 Dengan tujuh belas fakultas,
berarti ada tujuh belas disiplin ilmu yang dipelajari masyarakat
Aceh dalam Universitas Baiturrakhman pada mada itu, adapun
ketujuh belas fakultas tersebut, yakni: (1) daru’t tafsir wa’l hadits

14 Ismuha, “Ulama Aceh Dalam Perspektif Sejarah”, dalam: Taufik Abdullah,

(ed.), Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), hlm. 29.
15 Ismuha, Ibid.
16 Ismuha, “Ulama Aceh Dalam Perspektif Sejarah”,…, Op.cit, hlm. 29-30.
176 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

(semacam fakultas atau jurusan tafsir dan hadist); (2) daru’t-thibb


(semacam fakultas kedokteran); (3) daru’l-kimya (semacam
fakultas atau jurusan kimia): (4) daru’t-taarikh (semacam fakultas
atau jurusan sejarah); (5) daru’l-hisaab (semacam fakultas atau
jurusan ilmu pasti atau ilmu falak); (6) daru’s-siyasah (semacam
fakultas atau jurusan politik); (7) daru’l-aqli (semacam fakultas
atau jurusan ilmu aqal); (8) daru’z-zira’ah (semacam fakultas
pertanian); (9) daru’l-ahkam (semacam fakultas hukum); (10) daru’l
falsafah (semacam fakultas atau jurusan filsafat); (11) daru’l-kalaam
(semacam fakultas atau jurusan teologi); (12) daru’l-wizaarah
(semacam fakultas atau jurusan ilmu pemerintahan); (13) daru
chazaanah bait’l-maal (semacam fakultas atau jurusan keuangan dan
perbendaharaan negara); (14) daru’l-ardli (semacam fakultas atau
jurusan pertambangan); (15) daru’n-nahwi (semacam fakultas atau
jurusan bahasa arab); (16) daru’l-mazahib (semacam fakultas atau
jurusan ilmu-ilmu agama); (17) daru’l-harbi (semacam fakultas atau
jurusan ilmu perang). 17
Dayah sebagai pusat studi Islam yang telah berkembang
dari sejak Kesultanan Peureulak, demikian pula telah
berkembang tradisi menuntut ilmu di masa Kesultanan Samudera
Pasai, karena itu merupakan suatu tuntutan bagi mewujudkan
kualitas sumber daya manusia, sehingga pada masa Sultan Malikul
Dzahir berkuasa, beliau telah berusaha untuk meningkatkan
mutu pendidikan untuk rakyatnya dengan berusaha
menghadirkan para ulama dari Mekkah yang merupakan kota
kelahiran ulama besar yakni Muhammad Rasulullah dan para
sahabat ulama muhajirin, bahkan Sultan Malikul Dzahir dalam
menghadirkan para ulama untuk meningkatkan mutu pendidikan
bukan hanya mengundang dari Mekkah saja melainkan dari
berbagai tempat lainnya (Madinah).18
Dayah (semacam pesantren di daerah Jawa) dalam
pandangan orang sekarang mungkin dianggap sebagai tempat
studi yang kumuh karena melihat bentuknya yang ditampilkan

Ibid.
17

M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, (terj.),


18

(Lhokseumawe dan Jakarta: Nadiya Foundation dan Madani Press, 2003), hlm. 7.
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 177

secara sederhana, namun bukan mustahil bahwa pada masa itu


merupakan pusat studi yang representatif. Terlepas dari tempat
studi yang layak atau tidak, yang pasti bahwa dari sana telah
banyak melahirkan para ilmuan yang handal dalam berbagai
bidang disiplin ilmu, dan bahkan pada masa itu telah dikenal akan
pemakaian gelar bagi seseorang yang telah menguasai ilmu yang
tinggi, yang pada masa sekarang dikenal dengan sebutan doktor,
dan pada masa itu dikenal dengan istilah teungku atau syaikh,
seperti Teungku Chik Muhammad Amin, atau Syaikh Abdullah
Kan’an yang kemudian terkenal dengan nama Teungku Chik
Lam Keuneun’eun. Kemudian Teungku Chik Muhammad Amin,
adalah seorang akademisi yang berpredikat syaikh (yang dalam
bahasa Aceh disebut teungku chik, yang di dalam tradisi keilmuan
sekarang disebut guru besar atau profesor) di pusat pendidikan
Cot Kala yang dibangunnya pada pertengahan abad ketiga
Hijriyah, dan itu merupakan pusat pendidikan Islam pertama di
Asia Tenggara pada masa itu.
Syaikh Malik Muhammad Amin, kemudian karir politiknya
mencuat hingga ia mampu menjadi orang nomor satu dalam
Kesultanan Peureulak.19 Dengan terangkatnya seorang akademisi
menjadi orang nomor satu dalam pemerintahan Kesultanan
Peureulak, maka tradisi ‘umara adalah ‘ulama telah terwujudkan
dimasa lampau, kiranya untuk masa kini hal itu patut untuk
ditiru, karena Allah SWT pun telah memberikan ibrah (pelajaran)
sebagaimana ketika Allah SWT menjadikan Thalut sebagai
penguasa, ia dibekali dengan ilmu pengetahuan dan jasad yang
baik. Sekalipun dalam perkembangan lebih lanjut dari peradaban
bangsa Aceh dalam hubungan sosial politik dan tradisi keilmuan
adanya dikotomi, sebagaimana terungkap dalam pepatah Aceh;
Adat bak Poteumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala (Adat urusan
raja, agama urusan ulama).20 Namun dengan mengakarnya tradisi
keilmuan Islam atas bangsa Aceh, terlebih juga para penguasa
adalah menguasai ilmu-ilmu agama dan telah menjadikan bangsa

19 Ismuha, …Loc.cit.
20 M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, …,
Op.cit, hlm. 9.
178 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Aceh sebagai Negara Islam, maka itu merupakan suatu kekuatan


yang sangat efektif, terutama ketika negara harus menghadapi
serangan dari pihak kekuasaan asing yang berkehendak untuk
merebut wilayah. Sebagaimana Hikayat Prang Sabi, yang
merupakan karya sastra yang terbaik pada masa itu, dimana
hikayat itu adalah merupakan refleksi ilmu Islam yang tertuang
dalam bentuk sastra untuk mengobarkan semangat perlawanan
rakyat bersama pemerintah untuk menghadapi kekuasaan asing.
Penghayatan terhadap Hikayat Prang Sabi bukanlah penghayatan
yang kosong bagi segenap rakyat, melainkan rakyat Aceh dalam
memenuhi seruan jihad melalui Hikayat Prang Sabi tersebut
adalah juga karena dalam jiwa rakyat Aceh telah tertanam suatu
paham (ilmu) jihad yang mengakar, sehingga setiap rakyat merasa
terpanggil untuk menghadapi kekuatan kafir. Dan Alfian,
menyatakan dalam tulisannya; “…A.H. Philips, Gubernur
Belanda di Aceh, menulis dalam memoarnya bahwa pembacaan
Hikayat Prang Sabi dalam masyarakat mengakibatkan pembaca
dan pendengar, mendorong keinginan mereka untuk mati syahid
dalam perang melawan kafir….”21 Dan bangsa Aceh, dalam
kemandiriannya untuk mewujudkan kualitas sumber daya
manusia yang diharapkan agar bisa membangun bangsanya
sangat percaya diri, sehingga para ulama Aceh sangat berani
mengeluarkan fatwa bahwasanya haram belajar di sekolah
Belanda, bahkan dikeluarkannya fatwa sedemikian tegasnya
karena semata-mata terdongkrak oleh ilmu dan pemahaman yang
mengakar.22 Dengan pengharaman untuk mengenyam
pendidikan pada sekolah Belanda, maka bangsa Aceh telah
mengambil tindakan terbaik untuk menghalau langkah penetrasi
Belanda terhadap Aceh dengan media pendidikan sebagai wujud
tujuan politik jangka panjang. Disamping itu, juga bangsa Aceh
ketika itu adalah bangsa yang besar dan bangsa yang telah
berkemampuan untuk mewujudkan institusi pendidikan yang
berkualitas, sebagaimana yang terwujudkan pada masa Aceh Raya
Darussalam. Juga sebelumnya telah pula berkemampuan untuk

21 Alfian, Perang di Jalan Allah, (Jakarta: Grafiti Pers, 1988), hlm. 152.
22 Ismail Yacob, “Gambaran Pendidikan,” (Kota, Penerbit?, Tahun) hlm. 333.
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 179

mencetak anak bangsa Aceh dengan melalui institusi pendidikan


yang dinamakan Dayah. Kemampuan bangsa Aceh dalam hal
menjadikan ilmu sebagai tradisi, ketika dimasa Kesultanan
Samudera Pasai para ulamanya telah berkemampuan membentuk
jaringan intelektual dengan berbagai kerajaan Islam di Nusantara
ataupun dengan kerajaan lain di dunia.
Dari tradisi keilmuan yang telah berkembang di Aceh dan
demikian pula jaringan intelektual antar kerajaan telah pula
tumbuh dan mengakar, bahkan pada masa Kesultanan Samudera
Pasai para ulama Aceh (Pasai) telah di kirim ke berbagai kawasan
seperti ke Jawa, Sunda, Sulawesi,23 Malaka, dan Pattani untuk
menyebarkan ajaran Islam,24 dengan adanya pengiriman para
ulama ini, tentulah bukan sembarang ulama yang ditunjuk untuk
menunaikan kewajiban penyebaran ajaran Islam. Dari tradisi
keilmuan bangsa Aceh, karena memang telah terwujudkan dalam
institusi pendidikan yang mapan baik dalam bentuk kualitas
pengelolaannya ataupun kualitas disiplin ilmunya, maka
pengklasifikasian para ulamanya pun tergolongkan kedalam
beberapa kriteria sesuai dengan tingkat keilmuan yang
dikuasainya, dan gelar bagi seseorang yang menguasai keilmuan,
para ulama Aceh di sebut dengan “Teungku” dan gelar teungku
ini memiliki tingkatan yang berbeda jika harus dilekatkan pada
seseorang, tergantung pada kapasitas ilmu yang dikuasainya.
Ulama besar biasanya disebut dengan Teungku Chik atau Syeikh.
Terkadang juga disebut dengan Laqab yang ditambahkan dalam
nama mereka, misalnya; Tgk. Chik Di Tiro, Tgk. Kuta Karang,
Tgk. Ujong Rimba. Tgk. Beureuh. Jika seorang teungku hanya
mampu membaca kitab bahasa Melayu (ditulis dalam bahasa
Arab), dan menguasai bahasa Arab, dia berpredikat dan dikenal
dengan Tgk. Leubee, akan tetapi Tgk. Leubee ini tidak
diperbolehkan untuk memimpin dayah atau mengajar di
lembaga-lembaga semacam itu. Selain gelar-gelar yang tersebut

23 S.M. Amin, “Sejenak Meninjau Aceh Serambi Mekkah,” dalam: Ismail Suni,

(ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1980), hlm.54-55.
24 A. Teeuw dan D.K.Wyatt, Hikayat Pattani, (Jakarta: Bibliotheca Indonesia,

1970), hlm. 175.


180 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

diatas juga diantara para ulama Aceh pada masa itu diberikan
gelar Teungku sesuai dengan pekerjaan yang mereka geluti,
contohnya; Tgk. Meunasah yaitu seorang yang ‘alim yang
mengajar bacaan al-Qur’an di suatu Meunasah, Tgk. Khatib yakni
sesorang yang ahli dalam menyampaikan khutbah jum’at, atau
Tgk. Imuem adalah seseorang yang biasanya menjadi imam pada
shalat jum’at.”25 Dari keterangan tersebut, dapat kita simpulkan
penggolongannya, namun secara umum bagi para ulama pada
masa itu dari semua tingkatan mempunyai hak untuk
menyandang gelar Teungku. Dan untuk gelar Teungku Chik
hanyalah diperuntukkan bagi seseorang yang tergolong kepada
ulama besar dan juga disebut dengan gelar Syeikh, gelar ini jika
disejajarkan dengan tradisi keilmuan sekarang dapatlah di
setarakan dengan Profesor, dan para Teungku Chik inilah yang
mempunyai hak untuk mengajar di dayah sebagai pusat studi
Islam. Dan teungku-teungku lainnya sesuai dengan kapasitas ilmu
yang dimilikinya hanya diperkenankan untuk mengajar pada
tingkatan di luar dayah. Seperti; Teungku Meunasah, ia adalah
seorang ulama yang mempunyai hak untuk mengajar hanya pada
tingkatan meunasah (surau, mushola) dan aktifitas mengajarnya
adalah bersentuhan langsung dengan masyarakat secara umum
dari semua lapisan untuk mengajarkan ilmu tajwid (tadarus). Dan
Teungku Leubee, adalah seorang teungku yang berada satu tingkat
di atas dari teungku meunasah, dan ia menguasai ilmu-ilmu Islam
yang sudah ditulis dalam bahasa Arab-Melayu. Adapun Teungku
Imuem, dan Teungku Khatib adalah para ulama yang memiliki
kemampuan spesialisasi sesuai dengan bidang pekerjaan yang
ditugaskan kepadanya, dan ini dapat disetarakan mungkin dengan
alumni akademi atau sekolah kejuruan.

Ilmu Pelayaran Dan Angkatan Laut


Samudera Pasai, sebagaimana pada umumnya kerajaan-
kerajaan yang berada di pesisir Nusantara pada masa lampau
adalah tergolong kepada kerajaan maritim, demikian pula dengan

25M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah Pegawal Agama Masyarakat Aceh,…, Op.cit,
hlm. 2-3.
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 181

Samudera Pasai.26 Di mana sumber devisa bagi kerajaan-kerajaan


maritim yang terbesar adalah hasil dari adanya aktifitas pelayaran,
dan memang pada masa itu hubungan antara kerajaan lebih
efektif dengan jalur laut, termasuk di dalam hubungan
perdagangan, demikian pula soal hubungan politik luar negeri
dan militer. Bagi seorang awam berlayar di tengah lautan adalah
suatu hal yang mustahil untuk mencapai tujuan dengan tepat, di
mana lautan samudera sekalipun sering dilalui tak akan ada bekas
perlintasan yang dapat dijadikan patokan atau tanda. Oleh
karenanya, sudah dapat dipastikan orang yang mampu melakukan
pelayaran di tengah samudera hanya orang-orang yang terlatih
dan memiliki ilmu dan pengalaman yang cukup untuk hal itu.
Cut Nyak Kusmiati, menyatakan bahwa; “...sejak zaman
pra sejarah telah terdapat hubungan maritim antara India dan
Indonesia. Kedatangan orang-orang India ini tidak dapat
dkatakan dengan pasti, akan tetapi dapat diperkirakan pada
permulaan abad pertama sesudah masehi…,”27 dengan adanya
kenyataan seperti yang ditulis oleh Cut Nyak Kusniati, maka
eksistensi kerajaan-kerajaan di Nusantara pada masa lampau tak
terbantahkan bahwa ia adalah negara-negara maritim dan
masyarakatnya adalah para pelaut ulung yang berkemampuan
melintasi Samudera Hindia. Demikian pula kerajaan-kerajaan
yang berada di Sumatera, dimana Itsing pada tahun 671,
mengatakan bahwa dalam pelayarannya ke India dia menumpang
salah sebuah kapal dari seorang raja Sumatera, hal ini telah
membuktikan bahwa telah ada hubungan laut antara Sumatera
dan India.28 Kenyataan-kenyataan sejarah yang telah ditulis oleh
para ahli sejarah telah cukup memberikan keterangan akan
adanya aktifitas pelayaran antara kerajaan-kerajaan di Nusantara
dengan kerajaan-kerajaan lain di luar Nusantara, SM. Amin,
lebih mempertegas akan adanya aktifitas pelayaran antara

26 Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, 1994), hlm. 248.


27 Cut Nyak Kusmiati, “Manusia dan Kebudayaan Aceh Menjelang
Kedatangan Islam”, dalam: Ali Hasjmy, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam
di Indonesia, (Bandung: al-Ma’arif, 1981), hlm. 89.
28 Cut Nyak Kusmiati, ibid, hlm. 93.
182 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

kerajaan-kerajaan yang berada di Aceh dengan kerajaan di luar


Nusantara, “...dan yang tertua sejauh literatur yang dapat
ditemukan, bahwa Kerajaan Poli, yang mempunyai 136
perkampungan, dalam tahun 518 sudah mengirimkan utusannya
ke Tiongkok, dalam hal hubungan perdagangan dan hubungan
politik, dan Cina waktu itu di bawah kekuasaan Dinasti Liang.
Kerajaan Poli berada di pantai Sigli yang wilayah kekuasaannya
meliputi hingga ke Aceh Besar...,”29
Ilmu pelayaran sudah pasti pada masa itu amat diperlukan,
karena hampir seluruh kerajaan di Nusantara memiliki hubungan
dengan luar negeri dengan jalan laut, terlebih pada masa kerajaan
Islam di Aceh di mana pusat kota dan pemerintahannya berada
di tepi pantai atau di tepi sungai. Sebagai suatu kenyataan, di
mana ibu kota kerajaan Banua terletak dipinggir sungai Tamieng,
Ibu Kota Kerajaan Samudera Pasai terletak dipinggir laut,
Ibukota Kerajaan Indrapatra juga terletak di pinggir laut,
demikian pula ibu kota Kerajaan Indrapurwa berada dipinggir
laut, dan ibukota Indrapuri berlokasi dipinggir sungai Aceh, dan
ibukotanya Indrajaya (Lamno sekarang) terletak dipinggir laut,
ibu kota Kerajaan Aceh Darussalam dipinggir Kreueng Aceh,
demikain pula ibu kota kerajaan Islam Perlak, Bandar Khalifah
berada dipinggir sungai Perlak.30 Dan adanya tradisi pelayaran
bagi bangsa Aceh telah tumbuh jauh sebelum kerajaan Islam
berada di Aceh, bahkan dari sejak pra sejarah bangsa Indonesia
itu telah memanfaatkan jalur laut, sebagaimana ditulis oleh Cut
Nyak Kusniati, bahwa; “...sejak zaman pra sejarah telah terdapat
hubungan maritime antara India dan Indonesia. Kedatangan
orang-orang India ini tidak dapat dikatakan dengan pasti, akan
tetapi dapat diperkirakan pada permulaan abad pertama sesudah
masehi.”31

29 S.M. Amin, Loc.cit.


30 Ali Hasjmy, “Adakah Kerajaan Islam Perlak Negara Islam Pertama di
Asia Tenggara”, dalam: Ali Hasjmy, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia, (Bandung: al-Ma’arif, 1981), hlm. 149.
31 Cut Nyak Kusmiati, “Manusia dan Kebudayaan Aceh Menjelang

Kedatangan Islam”,…Op.cit, hlm. 89.


Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 183

Penggunaan jalur laut pada masa kerajaan-kerajaan masa


lampau bukan hanya dimanfaatkan oleh para praktisi
perdagangan antara kerajaan saja, melainkan lebih jauh dari itu
aktifitas pelayaran juga dimanfaatkan untuk kebutuhan hubungan
politik dan militer. Aceh dalam perkembangannya dari sejak
Peureulak, Samudera Pasai hingga kemudian pada masa Kerajaan
Aceh Raya Darussalam dalam hal kerja sama militer (angkatan
laut) dengan luar negeri terus berlangsung, dan kenyataan
hubungan Aceh dan Utsmani pada masa itu masih dianggap
penting selama beberapa abad, hingga pada akhir tahun 1873
Kerajaan Aceh masih meminta bantuan militer Utsmani untuk
menghalau Belanda.32
Patokan dasar dalam hal mengarungi lautan, hanyalah
terdapat beberapa tanda saja, yakni; perjalanan matahari,
perjalanan bulan, arah angin, pasang serta surutnya air laut,
kedangkalan laut, adanya hujan dan badai, serta adanya daratan
(pulau). Kenyataan alam inilah yang dapat memberikan patokan
dasar bagi tumbuhnya ilmu pelayaran, dimana Aceh sebelum
kedatangan Islam pun telah menjadi bangsa maritim, terlebih
setelah Aceh menerima Islam sebagai sumber keyakinan dan
Qur’an sebagai sumber ilmu, maka berkembangnya ilmu
pelayaran semakin tumbuh dengan baik termasuk didalamnya
perkembangan dengan angkatan laut yang dimiliki oleh kerajaan-
kerajaan Islam. Dan dengan adanya kenyataan bahwa Aceh telah
memiliki hubungan luar negeri, bahkan dari semenjak zaman pra
Islam, maka bukan mustahil, bahwa pada masa itu telah terjalin
transformasi ilmu pelayaran baik secara langsung atupun tidak
langsung dengan para pelaut bangsa Aceh.
Perkembangan Islam di Aceh mendapat sambutan yang
sangat luar biasa, hingga seluruh kerajaan-kerajaan di Aceh yang
semula bukan kerajaan Islam dan demikian pula dengan
masyarakatnya. Dari sejak masuknya hingga pada abad ke-9
dengan melalui proses waktu selama kurang lebih dua abad,
kemudian kerajaan-kerajaan di Aceh telah menjadi kerajaan-

32 M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah Pegawal Agama Masyarakat Aceh,… Op.cit,


hlm. 14.
184 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

kerajaan Islam, diantaranya; Kerajaan Islam Peureulak (di timur),


Kerajaan Islam Samudera Pasai (di utara), Kerajaan Islam Pedir
(di Pidie), Kerajaan Islam Lingga (di tengah), Kerajaan Islam Jaya
(di barat), Kerajaan Islam Lamno Daya, Kerajaan Islam Benua
Teumiang, Kerajaan Darussalam (Aceh Besar sekarang).33 Adalah
sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah, bahwa adanya
perubahan peradaban tersebut, salahsatu faktor pendukung
hingga terwujudnya peradaban baru itu adalah berkat bangsa
Aceh telah menguasainya ilmu pelayaran, hingga ia dapat
berinteraksi dengan bangsa lain sesuai dengan perkembangan
zaman pada masa itu.
Lazimnya setiap kerajaan maritim, pasti memiliki kekuatan
angkatan laut yang tangguh dan mutlak diperlukan sebagai
pengawal perdagangan dan pelayaran, juga sebagai pengawas
dalam wilayah perairannya, terlebih bagi kepentingan ekonomi
dan politiknya sebagai kerajaan maritim, yang sumber devisa
terbesarnya dari aktifitas perdagangan dan pelayaran.34 Termasuk
didalamnya pengawasan terhadap kota-kota pantai (kerajaan-
kerajaan) yang berada dibawah pengaruh Kerajaan Samudera
Pasai yang berpotensi menghasilkan pajak dan upeti-upeti yang
persembahkan oleh kerajaan-kerajaan taklukkan Samudera
Pasai.35

Ilmu Agama
Menurut Teuku Ibrahim Alfian, ilmu teologi adalah ilmu
yang paling berkembang di Samudera Pasai.36 Pokok utama
keilmuan yang berkembang di Samudera Pasai setelah Islam
tumbuh dan berkembang, adalah ilmu agama Islam yang bertitik

33 Ali Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Penerbit Beuna,


1983), hlm. 45-63.
34 Muhammad Amin dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya

Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh”, dalam: Ali Hasjmy, Sejarah Masuk dan


Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: al-Ma’arif, 1981), hlm. 427.
35 Muhammad Amin dan Rusdi Sufi, …Ibid.
36Teuku Ibrahim Alfian, Kronika Pasai: Sebuah Tinjauan Sejarah, (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1973), hlm. 8.


Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 185

tolak dari al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW. Dengan titik


tolak itu, kemudian tradisi keilmuan lainnya sesuai dengan
tuntutan perkembangan peradaban yang terbentuk pada masa itu
semakin berkembang dengan pesatnya. Dan sejak berdirinya
Kerajaan Islam Peureulak hingga kemudian berlanjut dengan
berdirinya Kerajaan Islam Samudera Pasai, para ulama Aceh telah
memegang peranan penting dalam perkembangan dunia ilmu
agama, dan para ulamanya banyak mengabdi menjadi penasehat
raja dalam bidang keagamaan. Pada Kerajaan Islam Samudera
Pasai, keterlibatan ulama sebagai penasehat keagamaan Sultan
menjadi posisi sentral didalam kerajaan. Setiap yang tidak jelas
atau dalam masalah tersebut ada perbedaan pandangan tentang
ajaran dan praktik Islam diserahkan untuk diputuskan di Pasai.37
Kerajaan Islam Samudra Pasai dalam perkembangannya
yang lebih lanjut telah berkemampuan menyiarkan Agama Islam
ke berbagai wilayah di Nusantara, misalnya; ke Minangkabau,
Palembang, Jambi, Pattani, Malaka, Jawa dan lain-lain kerajaan
disekitarnya. Hingga kemudian Samudra Pasai menjadi pusat
studi Agama Islam dan juga sebagai tempat berkumpulnya para
ulama dari mancanegara untuk mudzakarah (diskusi) dalam hal
ilmu keduniaan dan ilmu keagamaan.38 Ibnu Batutah dalam
persinggahannya di Samudra Pasai selama tiga minggu mendapat
pelayanan yang cukup islami dari Sultan Malikul Dzahir dengan
adanya kesempatan berdiskusi masalah-masalah keagamaan, dan
Ibnu Batutah berkesempatan pula untuk berjumpa dengan tiga
orang ulama fiqih termashur Samudra Pasai,39 yakni: Amir
Dawlasa yang berasal dari Delhi (India), Kadi Amir Said yang
berasal dari Shiraz, dan Tajuddin yang berasal dari Ispahan.40
Berkembangnya theologi Islam di Samudera Pasai,
salahsatu faktor pendorongnya yakni adanya suatu kewajiban
terhadap setiap individu muslim untuk dakwah kepada orang lain

37 Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah: Pengawal Agama Masyarakat Aceh,…Op.cit,


hlm. 7.
38 Muhammad Amin dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi…” Op.cit, hlm. 427.
39 Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam, (terj.), (Jakarta, Widjaya, 1977),
hlm. 318.
40 Muhammad Amin dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi…” Op.cit, hlm. 428.
186 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

sekalipun hanya satu ayat, dengan kesadaran ini maka


pertumbuhan dan penyebaran Islam lebih cepat, setidaknya
sebagai tahap pengenalan.41 Juga adanya dukungan dari kerajaan
berupa segala sarana, baik bersifat infrasturktur maupun
suprastruktur, sehingga penyebaran ilmu agama lintas kerajaan di
fasilitasi oleh kerajaan, sebagai misal kerajaan Malaka yang juga
sudah menjadi kerajaan Islam, ketika memerlukan soal-soal
aturan kenegaraan menurut cara Islam dan persoalan studi
teologi Islam ia selalu datang kepada Samdura Pasai.42 Studi
theologi Islam dalam kajiannya akan memunculkan ragam
perkembangan pemikiran dalam berbagai sendi kehidupan
sehingga dengan itu peradaban semakin maju, dan Samudra Pasai
walaupun sudah menjadi pusat studi Islam di Asia Tenggara pada
masa itu, tetapi masih mengadakan jalinan intelekual dengan
pusat studi Islam dunia yakni di Jazirah Arab. Sultan Malikul
Dzahir ketika ia berkuasa atas Samudera Pasai kerap
menghadirkan para ulama dari Mekkah dan Madinah untuk
meningkatkan kefakihan ilmu agama bagi rakyatnya, dan beliau
sendiri sering mudzakarah (berdiskusi) dengan para ulama. Dan di
Istana beliau juga menempatkan beberapa ulama dari Mekkah,
Persia, dan India, serta memilih salah satu dari mereka sebagai
penasehat kerajaan.43
Pusat studi ilmu agama Islam di Aceh dari sejak Kerajaan
Islam Peureulak dinamakan Dayah hingga Samudra Pasai dan
demikian pula adanya sampai Kerajaan Aceh Darussalam. Dan
tokoh pendidikan di Peureulak pada masa itu adalah Teungku
Chik Muhammad Amin yang telah berhasil mendirikan suatu
pusat Studi Islam pertama di Asia Tenggara yang bernama Dayah
Cot Kala.44 Dan di Kerajaan Darussalam tokoh pendidikan

41 Muhammad Amin dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi…” Op.cit, hlm. 402.
42 The Malay Annals, edisi ke sembilan, (Singapura: Malaya Publishing House,
1960), hlm.128.
43 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry,

(Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 27; Lihat juga Overbeck, “The Answer of Pasai,”
dalam Journal of Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, (JMBRAS), Vol.11, bagian II
(Desember, 1993), hlm. 255.
44 Ismuha, “Ulama Aceh Dalam Perspektif Sejarah”,…Op.cit, hlm. 29.
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 187

Agama Islam ialah Syaikh Abdullah Kan’an yang kemudian


terkenal dengan nama Teungku Chik Lam Keuneun’eun, dan
nama pusat pendidikannya Dayah Lam Keuneu’eun di bawah.45
Dan orang-orang yang berhasil dalam menguasai keilmuan Islam
gelar tertingginya adalah Teungku Cik atau Syeikh.
Sementara itu di Jawa, pengaruh ajaran pantheisme
(kesatuan wujud), yang memperlihatkan adanya kesatuan antara
manusia dengan Tuhan tetap bertahan sekalipun telah
kedatangan agama Islam. Ia disesuaikan dengan paham tasawuf
wahdah al-wujud sebagai suatu cabang penting ilmu ushuluddin
(filsafat keagamaan) yang juga melihat wujud kesatuan antara
Tuhan dengan makhluk.46 Dan paham wahdatul wujud ini juga
berkembang di Ulakan (Sumatera Barat).47
Sejarah perkembangan ushuluddin di Nusantara bermula
sejak abad ke-17, pada zaman keagungan Kerajaan Aceh di masa
Iskandar Muda. Perkembangan ini bermula dari paham al-Hallaj
dan Ibnu Arabi kemudian dikembangkan oleh Abdul Rauf al-
Fansuri dengan pengenalan ajaran Sifat 20. Seterusnya muncul
ramai ulama yang memperluaskan lagi ajaran Sifat 20 melalui
kitab-kitab mereka. Antara lain kitab-kitab tersebut ialah kitab
Bidayah al-Hidayah oleh Muhammad Zain Faqih Jalaluddin al-Ashi
dan kitab Akidah al-Bayan oleh Tuk Shihabuddin (Palembang).
Selain itu, muncul dan ramai para ulama yang mengulas ajaran
tersebut seperti Uthman bin Yahya al-Betawi, Muhammad
Zainuddin ibn Muhammad Badawi al-Sambawi, Dawud bin
Abdullah al-Patani dan sebagainya.48 Perkembangan ajaran tauhid
(Sifat 20) ini tidak melenyapkan kepercayaan tradisional yang
terus hidup subur.49 Kesan-kesan kepercayaan tradisional yang
mengandung banyak unsur yang bertentangan dengan Islam

45 Ismuha, Ibid.
46 Sivachandralingam Sundara Raja Ayadurai Letchumanan, Tamadun Dunia,
(Selangor: Fajar Bakti, 1998), hlm. ix.
47 Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984),

hlm 152.
48 Abdul Rahman Haji Abdullah, (Judul?), kota? Penerbit?, 1989, hlm. 97.
49Lihat Abdullah Muhammad Zin, Prinsip dan Kaedah Dakwah dalam Arus

Pembangunan Malaysia, (Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1998).


188 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

dapat dilihat dalam upacara perkawinan orang Melayu, adat


istiadat penobatan raja dan kepercayaan kepada keramat serta
penunggu. Semua kepercayaan ini diwarisi oleh masyarakat Alam
Melayu sejak zaman sebelum Islam datang.50
Ketika tahun 1368, pada saat itu di Cina Kaisar Yung Lo
berkuasa dan Panglima Tentara Kaisar dijabat oleh panglima
muslim yang bernama Jenderal Kuo Tze Hin, Jenderal Chang Yu
Chong, Jenderal Hwa Yun dan Jenderal Muying, ketika itulah
kontak ilmu pengetahuan antara Aceh dengan Cina berlangsung
mendalam. Para ahli pengetahuan Cina yang terdiri dari, para
dokter, ahli kapal laut, ahli senjata, ilmuan pertanian, para
mubaligh, dan lain sebagainya, yang berkunjung ke negeri Aceh.
Mereka para ilmuan ini melakukan penjelajahan antar benua
dipimpin oleh Laksamana Muhammad Cheng Ho. Ketika mereka
berkunjung ke Aceh pada saat itu, Samudera Pasai yang
diperintah oleh Sultan Malikul Dhahir. Hubungan kontak ilmu
pengetahuan dengan negeri Cina sangat banyak terjadi, sehingga
Aceh pada saat itu mejadi Negara yang bersahabat baik dengan
Cina. Bukti kedua Negara telah menjalin kontak diplomasi bisa
kita saksikan sekarang ini dari peninggalan prasasti yang di
berikan Cina untuk Aceh yaitu sebuah lonceng raksasa (Cakra
Donya) kepada Kerajaan Samudra Pasai.
Semasa Kerajaan Samudera Pasai juga mengirim para
pendakwahnya keluar negeri untuk menyebarluaskan agama
Islam. Sidi Abdul Aziz berangkat ke Malaka sehingga Raja
Parameswara memeluk agama Islam dan menggantikan namanya
menjadi Muhammad Syah dan anaknya Iskandarsyah yang
kemudian dikawinkan dengan putri Sultan Zainal Abidin dari
Samudera Pasai. Para muballigh Samudera Pasai menuju Kedah
sehingga Raja Pra Ang Madan Angsa memeluk Islam dan
menggantikan namanya menjadi Muzlafaz Syah. Menurut
Windstedt, di Trengganu (Malaysia) terdapat sebuah batu
bersurat yang menyebutkan bahwa pengembangan Islam di sana
datang dari Pasai dalam abad ke-14.

50 Rammani Karupiah, Sejarah Tamadun Dunia, Kertas 940/1, (Selangor:


Pustaka Sarjana, tahun ?) hlm.19.
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 189

Penyebaran Islam ke Patani (Thailand) juga dilakukan


oleh pendakwah dari Samudera Pasai yang bernama Syech Said.
Bukti sejarah yang ada sekarang adalah berupa sebuah makam
yang oleh masyarakat setempat dikenal Makam Tok Pasai. Ada
yang menyebutkan bahwa penyebaran Islam di Brunei dan
Philipina Selatan juga dilakukan oleh pada pendakwah dari Pasai
yang bernama Syech Syarif Kasim dan Syech Abu Bakar.
Penyebaran agama Islam ke tanah Jawa juga dilakukan oleh
para muballigh dari Pasai. Fatahillah (Falatehan) atau disebut juga
Sunan Gunung Jati, kelahiran Pasai tahun 1490. ia kemudian
berangkat ke Arab untuk belajar ilmu agama Islam, dan
sekembalinya beliau ke Nusantara langsung menuju Banten.
Selama di Banten inilah ia membantu Kerajaan Demak
mengalahkan Sunda Kelapa (Tanjung Priok sekarang). Setelah
mengalahkan Kerajaan Sunda, ia kemudian mendirikan kota
Jayakarta (sekarang Jakarta). Pengaruh penguasa Islam Aceh
sangat besar bagi perkembangan Islam di Jawa, khususnya di
wilayah Jayakarta (Jakarta). Kita juga menemukan bukti sejarah
bahwa penyebaran agama Islam di Cirebon dilakukan oleh
Maulana Ishak, di Gresik oleh Maulana Malik Ibrahim, di Jawa
Timur oleh Sunan Ampel, yang kesemuanya itu mereka berasal
dari Pasai.

Ilmu Hukum
Posisi hukum sangat penting di dalam suatu pemerintahan
kerajaan atau negara. Karena demikian pentingnya hukum, maka
secara sosial para ahli hukum mendapatkan tempat yang
terhormat. Tidaklah mengherankan jika Sultan Malikul Zahir
memerintahkan pejabat tingginya untuk menjemput Ibnu
Batutah ketika ia berkunjung ke Samudra Pasai. Sultan pun
mengirimkan pegawai tingginya untuk menjemput Ibnu Batutah
bersama-sama dengan qadi dan para ahli hukum lainnya.51
Hukum adalah ilmu yang berkembang mengikuti perkembangan
masyarakat, sehingga hukum yang adaptif haruslah digali dari

Teuku Ibrahim Alfian, Kronika Pasai Sebuah Tinjauan Sejarah, (Yogyakarta:


51

Gadjah Mada University Press, 1973), hlm. 21.


190 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

ilmu-ilmu hukum. Maka posisi qadi, ulama fiqih (fuqaha) atau ahli
hukum lainnya mendapat tempat yang terhormat. Hal ini
membuktikan bahwa Samudra Pasai adalah kerajaan nomokratis
(kekuasaan yang bersadarkan hukum).
Samudra Pasai memiliki banyak qadi, fuqaha, dan intelektual
hukum lainnya. Ulama fiqih termashur Samudra Pasai pada masa
itu,52 yakni Amir Dawlasa yang berasal dari Delhi (India), Kadi
Amir Said yang berasal dari Shiraz, dan Tajuddin yang berasal
dari Isfahan.53 Syaikhul-syaikhul Islam yang kerap berada di
Samudera Pasai karena adanya jaringan intelektual yang telah
dibangun pada masa itu, sekalipun mereka berasal dari luar
Samudra Pasai. Kerajaan Samudra Pasai, secara nomokratis,
adalah kerajaan hukum yang inklusif di mana institusi negara atau
kerajaan menaruh perhatian yang besar terhadap hukum, sistem
hukum dan ilmu hukum meskipun bukan hukum yang
diterapkan di dalam negeri sendiri atau sistem hukum yang bukan
berasal dari dalam kerajaan atau ilmu hukum yang eksklusif.
Penyerapan sistem hukum dan ilmu hukum secara sangat terbuka
ini menunjukkan sebuah bukti yang kuat betapa Samudra Pasai
adalah sebuah kerajaan terbuka.
Adanya Dewan Fatwa sebagai institusi hukum di dalam
pemerintahan Samudra Pasai merupakan suatu ciri khusus bahwa
Samudra Pasai adalah negara hukum dan hukum publik yang
berlaku pada masa itu adalah hukum Islam, di mana mufti
(pejabat Mahkamah Agungnya) adalah Sayid Ali bin Ali al-
Makarani.54 Dengan telah berlakunya hukum Islam di Samudra
Pasai, maka studi hukum merupakan hal pokok yang harus
dipelajari oleh masyarakat Samudra Pasai. Dengan demikian, ilmu
hukum menjadi mutlak untuk dipelajari dan diterapkan. Karena
Samudra Pasai adalah kerajaan Islam, maka studi ilmu hukum

52 Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam, (terj.), (Jakarta: Widjaya, 1977),


hlm. 318.
53 Muhammad Amin dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi…” Op.cit, hlm. 428.
54 Muhammad Amin dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi…” Op.cit, hlm. 428-
429.
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 191

yang sangat intens dipelajari adalah hukum Islam (syari’ah al-


islamiyah).
Syariat Islam bukan hanya masalah studi hukum yang
statis, namun ia merupakan ilmu hukum yang dinamis. Dinamika
ilmu hukum syariah memerlukan metode-metode dasar keilmuan
hukum yang disebut dengan fiqih. Di Samudra Pasai, fiqh sangat
beragam dan menelaah banyak sistem hukum dari yang Islam
hingga yang bukan Islam (ghairul islam). Ilmu hukum dalam studi
hukum Islam disebut dengan fiqh al-Islam yang dalam
penguasaanya tidak lepas dari ilmu-ilmu yang lain sebagai
pendukung di antaranya ilmu tafsir (ulumul qur’an); ilmu hadits
(musthalahul hadits); ilmu sejarah (sirrah); ilmu balaghah (ilmu
bahasa) dan sebagainya. Ilmu hukum berkembang dengan pesat
di Samudra Pasai yang menjadikan kerajaan ini sebagai pusat
studi hukum. Malaka yang juga adalah kerajaan Islam, bilamana
ada kesulitan dalam hal penerapan hukum-hukum Islam, maka ia
meminta bantuannya kepada Samudra Pasai. 55 Artinya, Samudra
Pasai adalah pusat rujukan ilmu pengetahuan hukum.

Ilmu Kedokteran
Dalam dunia Islam, nama yang satu ini cukup dikenal
khususnya dalam bidang ilmu kedokteran, ia adalah Ibnu Sina.
Sebenarnya nama lengkapnya yaitu Abu Ali Al-Hussain Ibnu
Adullah Ibnu Sina, namun dalam banyak literatur ia lebih populer
disebut Ibnu Sina. Lahir di Afshana, dekat kota Bukhara
Uzbekistan Pada 981 M. di usia ke-10 ia sudah menguasai Al-
Qur’an dan ilmu pengetahuan lainya.56 Kontribusi terbesar Ibnu
Sina dalam bidang kedokteran terutama bisa dilihat dari bukunya
yang terkenal Al-Qanun fil Al-Tibb. Kitab itu di Barat lebih
dikenal sebagai The Canon.57 Dalam pengembaraannya dari Jurjan,

55 The Malay Annals, edisi ke sembilan (Singapura: Malaya Publishing House,

1960), hlm.128.
56 Hery Sucipto, Cahaya Islam, Ilmuwan Muslim Sejak Ibnu Sina Hingga B.J

Habibie, (Jakarta:Grafindo, 2006), hlm74.


57
Ibid, hlm 75.
192 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

ia telah berkelana ke beberapa wilayah dalam rangka


mengaplikasikan ilmu kedokterannya, diantaranya ke negeri Rayy,
Hamadan, Isfana (sekarang Iran), dan lain sebagainya. Dengan
demikian, terlihat jelas bahwa dunia Islam pada saat itu telah
menguasai ilmu kedokteran yang sangat memadai, baik dalam
bentuk study dan penerapan ilmunya. Maka Islam pada saat itu
telah menjadi rujukan untuk kalangan-kalangan lain, terlebih lagi
menjadikan karya-karya Ibnu Sina sebagai referensinya. Selain
Ibnu Sina, terdapat juga beberapa tokok terkemuka yang
memiliki keahlian yang sama, seperti Muhammad bin Zakaria Ar-
Razik (perintis kedokteran modern), Ibnu Nafis (dokter penemu
peredaran darah).
Menurut keterangan dari naskah tua Idhharul-Haq,
karangan dari Syaikh Ishak Makarani al-Pasi, diceritakan bahwa
di tahun 789,58 sebuah kapal datang dari teluk Kambey (Gujarat)
berlabuh di bandar Peureulak. Kapal itu dipimpin oleh nakhoda
khalifah. Di dalam kapal yang berisi para saudagar Arab Quraisy,
Palestina, Persia dan India, terjadi kontak budaya antar ras dan
bangsa. Mereka masing-masing mempunyai keahlian dalam
berbagai bidang; ada ahli pertanian, ahli perdagangan, ahli
kesehatan, ahli tata negara, ahli peperangan dan sebagainya. Para
saudagar itu selain berniaga sekaligus juga sebagai muballigh.59
Setelah perlahan-lahan menjadi imperium, para penguasa
Peureulak mengajarkan rakyatnya untuk cara-cara bertani yang
komersil, cara-cara berniaga yang kapitalistik, cara-cara menjaga
kesehatan/kebersihan (ilmu Kedokteran), cara-cara berperang
yang penuh strategi dan taktik. Semua metode-metode ilmu
pengetahuan ini, tak mungkin ia muncul dengan sendirinya di
Samudera Pasai tampa adanya kontak budaya dengan pendatang.
Artinya, ilmu pengetahuan terutama ilmu kedokteran di Pasai
telah mengalami perbaikan metodologi berkat adanya kontak

58173 Hijriyah.
59 Ali Hasjmy dkk. (eds.), 50 Tahun Aceh Membangun, (Banda Aceh: Majelis
Ulama Indonesia Daerah Istimewa Aceh bekerja sama dengan Pemerintah Daerah
Istimewa Aceh, 1995), hlm. 3-8.
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 193

sosial-budaya baik yang datang dari bangsa Arab, Cina dan


sebagainya.
Kemudian, dalam robongan ekspedisi Laksamana
Muhammad Cheng Ho kurun waktu 1405-1433, tedapat juga
para ahli kesehatan (dokter). Jadi, dengan demikian terlihat jelas
bahwa metodologi kesehatan yang telah berkembang di Cina
telah mempengaruhi para rakyat Samudera Pasai untuk
mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Bukti lain yang bisa kita
lihat sekarang ini adalah banyak warga Cina yang secara turun
menurun berdagang obat-obatan ala Cina dengan toko-toko obat
bercirikhas Cina yang masih eksis di abad 21 ini, dan mereka juga
berdagang jenis barang-barang yang lainya. Kesempatan inipun
kemudian di manfaatkan oleh rakyat Samudera Pasai untuk
mengetahui ilmu kesehatan. Tak jarang jika kita amati secara
seksama bahwa, obat-obat tradisional Aceh memiliki kemiripan
dengan obat-obat yang berasal dari negeri Cina, faktor ini terjadi
karena di Aceh sendiri memiliki bahan baku dengan iklim Aceh
yang tropis. Jadi bahan baku untuk obat-obatan mudah di dapati
dan di olah di Aceh. Tak heran jika Aceh menjadi dilirik untuk di
kuasai oleh bangsa Portugis, Belanda, dengan alasan rempah-
rempah di Aceh memiliki potensi besar untuk dunia ilmu
pengetahuan kesehatan, dan inipun mejadi penghasilan ekonomi
tersendiri bagi bangsa-bangsa penjajah.
Menurut Azyumardi Azra, kedatangan kaum Hadharim ini
tidak hanya menjelaskan tentang masuknya Islam melalui jalur
perdagangan, namun juga melalui jalur ilmu pengetahuan.60 Salah
satunya adalah ilmu pengetahuan kesehatan yang sedikit banyak
telah mempengaruhi pola cara-cara rakyat Samudra Pasai
mengembangkan hidup sehat dan metode penyembuhan
penyakit.

60 Lihat Azyumardi Azra, “Hadhrami Scholars in the Malays-Indonesian


Diaspora”, dalam Studia Islamika, vol. 2, no. 2, 1995, diterbitkan oleh IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
194 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Ilmu Sastra
Memang hasil kesusastraan itu tidak semuanya merupakan
karangan asli. Sebagian besar adalah terjemahan atau saduran dari
bahasa Parsi, Arab atau Sanskerta. Tidak boleh dilupakan bahwa
karya-karya saduran dan terjemahan itu ditulis dalam bahasa
Melayu, dan hal ini merupakan cakrawala baru dalam
transformasi ilmu pengetahuan yang membuka mata dan pikiran
masyarakat melalui karya Melayu tadi.
Dengan demikian abad 17 dan abad-abad kemudian telah
terjadi lompatan besar dalam bidang sastra, kerena karya-karya
tersebut hingga sekarang pun masih menjadi bahan telaah untuk
kajian ilmian untuk sastra kuno (filologi). Para pengarang asing
pun, seperti Nuruddin ar-Raniri yang berasal dari Gujarat telah
membuahkan karyanya dalam bahasa Melayu, Karya-karya
Nuruddin ar-Raniri hingga sekarang masih menjadi bahan telaah
untuk disertasi doktor.
Beberapa karya besar di bidang sastra Aceh yang
menunjukkan ketinggian penguasaan ilmu dan sastra dapat
disebutkan beberapa, seperti:61 Bustanus Salatin (Taman Raja-
Raja) ditulis oleh Nuruddin ar-Raniri di abad 17, Tajus Salatin
(Mahkota Raja-Raja) ditulis oleh Alauddin Riayat Syah (Buchari
al Jauhari) pada tahun 1604. Hikayat Aceh ditulis pada masa
Iskandar Muda, merupakan Riwayat Iskandar Muda serta raja-
raja Aceh lainnya.
Dari kesusasteraan itu R.O. Winsted memberi nama
Kerajaan Islam Aceh Raya Darussalam The Agustan Period atau
Zaman Keemasan Kerajaan Islam Aceh Raya Darussalam.62
Aceh dengan demikian menjadi pusat keagamaan dan peradaban
Muslim yang meskipun bukan terbesar, namun merupakan
kerajaan Islam yang sangat kuat. Aceh adalah sebuah contoh di
mana paham keagamaan (Islam) tumbuh dan mekar melalui
diskusi dan perdebatan. Aceh juga telah menjadi pusat
perkembangan paham sufisme dan tasawuf.

61 Ali Hasjmy, Kebudayaan …., Loc.cit.


62 R.O. Winsted, “A History of Malay Literature”, Journal of Malaysian, Branch
Royal Asiatic Society, Vol. 17, 1950, hlm. 3, Ali Hasjmy dkk. (eds.), Loc.cit., hlm. 22-34.
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 195

Berawal dari Pasai di mana Sultan Malik al Zahir telah


mengumpulkan para ulama dan ilmuwan agama Islam dan hal ini
diberitakan oleh Ibnu Batuttah tahun 1345, maka para-raja dari
kawasan Semenanjung seperti Sultan Malaka di abad XV sering
meminta pendapat ahli agama Pasai tentang masalah pelik di
bidang keagamaan. Para ulama asal Aceh muncul dan menjadi
terkenal karena karya dan pengetahuannya. Hasil-hasil karya
keagamaan muncul dan berkembang serta menyebarkan
pahamnya jauh melintasi kawasan ini baik ke Sumatera,
Semenanjung Malaysia dan Selatan Thailand (Kerajaan Patani).
Tokoh keagamaan yang sekaligus tokoh sufi yang dapat
disebut di sini pertama-tama adalah Hamzah al-Fansuri. Ia yang
berasal dari negeri Fansur di Barus ini telah mengarang karyanya
yang terkenal dengan judul "Asrarul-Arifin fi Dayan llm al Suluk
Awal Tahwid", yaitu uraian singkat tentang sifat-sifat dan inti ilmu
al Kalam menurut teologi Islam.63 Kemudian karyanya yang
terkenal dalam bentuk puisi ialah Syair Perahu yang juga
merupakan implementasi sufi melalui karya syair. Salah seorang
dianggap "murid" Hamzah al-Fansuri yang terkenal adalah
Samsuddin as-Sumatrani. Karena keahliannya dalam ilmu agama,
ia diangkat jadi Mufi atau Kali Malikul Adil di masa Sultan
Iskandar Muda. Para penjelajah bangsa Eropa mencatat bahwa
mereka banyak berhubungan dengan Syaikh Syamsuddin untuk
urusan Kerajaan. Mereka tidak tahu istilah setempat sehingga
dalam kisah-kisah Eropa beliau disebut "uskup".
Hamzah al-Fansuri seorang ulama besar yang sangat
terkenal ini, ia tidak hanya di kenal dalam negeri saja, akan tetapih
juga ia sudah termasyur sampai keluar negeri, baik karena
kunjunganya keluar negeri di masa hidupnya, maupun karena
kitab-kitab penginggalanya yang cukup menarik untuk di telitik
oleh sejumlah ilmuwan. A. Hasjmy menjelaskan bahwa, Hamzah
Fansuri pernah belajar di India, Persia dan Arab, selain di Aceh.
Dari aktifitas dakwahnya dia pernah keluar negeri setidaknya
untuk berdakwah, misalnya di Johor, Malaka (sekarang Malaysia),

63 J. Dorenbus, De Geschriften van Hamzah Pansoeri, Satrakanta, Leiden, 1933,


dalam Ali Hasjmy dkk. (eds.), Loc.cit., hlm. 22-34.
196 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Ayutia, ibu kota dari Siam pada masa lalu (sekarang Thailand).
Dari aktifitasnya diketahui bahwa ia telah menguasai beberapa
bahasa asing misalnya, bahasa Arab, Persi dan Melayu.64
Lancaster boleh jadi berurusan dengannya ketika ia datang ke
Aceh dan menyebutkan bahwa Syaikh Syamsuddin as-Sumatrani
bicara Bahasa Arab dengan fasih. Karyanya yang utama ialah
Mie'at-ul- Mu'minin yang ditulis tahun 1601 (Cermin Kaum
Muslimin) berupa tanya jawab tentang Ilmu al-Kalam. Menurut
Bustanul Salatin, Syaikh Syamsuddin dari Pasai ini wafat tahun
1630.
Menurut A. Hasjmy memberikan keterangan bahwa,
Syamsuddin al-Sumatrani pernah belajar pada Hamzah Fansuri.
Melihat dari aktifitasnya sehari-hari yang bertugas sebagai mufti,
dan juga penasehat dalam bidang perdagangan dan politik, serta
memperhatikan kitab-kitab karyannya, Syamsuddin al-Sumatrani
menguasai ilmu-ilmu fiqh, tasawuf, sejarah, manthiq, taudid,
filsafat, bahasa Arab, ilmu politik dan ilmu perdagangan.65 Hanya
di masa Aceh memiliki kekuasaan negara sendirilah ia bisa
mengembangkan berbagai pengetahuan dan ilmu serta teknologi.
Maka, hanya ketika Aceh berdirilah, Syekh Syamsuddin as-
Sumatrani66 dapat mengembangkan ilmu dan pengetahuan dalam
bidang politik Islam. Syamsuddin adalah juga seorang Mufti
Kerajaan Islam Aceh Raya Darussalam dan sebagai “rektor”
Jami’ah Baiturrachman, yang merupakan sebuah universitas Aceh
yang banyak dilupakan orang. Karangan-karangannya antara lain
adalah: (1) Miratul Mu’minin, (2) Jirahul Haqa Iq, (3) Rasatun
Baiyun Mulaka Akatil, (4) Kitabul Harakah, (5) Nurul Haqa Iq,
(6) Miratul Iman, (7) Syarah Miratul Qulub, (8) Kilab Khazim, (9)
Syary’ul Arifin, (10) Kitabul Usulud Tahqiq, (11) Miratul
Haqiqah, (12) Kitabul Martabah, (13) Risatul Wahhab, (14)
Miratul Muhaqqiqin (15) Tanbihullah, (16) Syarah Ruba’i
Hamzah Fansuri.

64 Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh Di Tengah Konflik, (Jogjakarta:

Ceninets, 2004), hlm 23.


65 Ibid, hlm 25.
66 Ali Hasjmy, Op.cit., hlm. 197-200.
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 197

Dalam penelitian Al-Yasa’ Abubakar di perpustakaan


Islam Seulimuem ditemukan bahwa, sebanyak 20 buah buku
yang ditulis oleh Syamsuddin al-Sumatrani yang ditulis dalam
bahasa Arab dan bahasa Melayu. Sebagian besar dari buku
tersebut membicarakan masalah ilmu kalam dan tasawuf. Dalam
catatan A.Hasjmy, ia menyebutkan bahwa terdapat 22 judul kita
yang di tulis oleh Syamsuddin al-Sumatrani.67
Sesudah itu, (Syamsuddin al-Sumatrani) lahirlah Syaikh
Nuruddin ar-Raniri yang menjadi mufti semasa Sultan Iskandar
Tsani (1637-1641).68 Melalui kekuasaannya Nuruddin ar-Raniri
melakukan usaha pembersihan terhadap paham Wujudiyah yang
dikembangkan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin di Pasai,
dengan karya Nuruddin yang berjudul Siratal Mustaqim. Dalam
tulisannya itu ia mencoba memberantas gagasan-gagasan
Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Karya Syaikh
Nuruddin ar-Raniri berkembang dan digemari di Semenanjung
dan dikenal dengan baik di Kedah. Karya lainnya yang terkenal
selain Bustanus-Salatin yang telah dikemukakan ialah sebuah karya
Ilmu al Kalam berjudul Asrar al-Insan fi Ma'rifa wal Ruh.69
Nuruddin ar-Raniri berasal dari Ranir India, ayahnya
berasal dari Hadhhralmawt dan ibunya seorang Melayu. Ar-
Raniri pertama belajar di Ranir, kemudian melanjutkan ke
Hadhralmawt. Dalam rentan waktu belajar ini tidak jelas berapa
tahun ia belajar di sana. Di India Ar-Raniri telah belajar pada
Abu Hafs Umar bin Abdillah Ba Syaiban al-Tarimi al-Hadhami.
Menurut Ar-Raniri Ba Syaiban inilah yang telah mewariskan ilmu
tariqat Rifa’yah kepadanya. Ba Syaiban merupakan ulama terkenal
di India yang memiliki berbagai ilmu ketika menuntut ilmu di

67 Ibid, Untuk melihat “nama-nama judul kita” yang dituliskan oleh

Syamsuddin al-Sumatrani sebanyak 22 buah, silakan lihat pada halaman 26-28 dalam
buku tulisan Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh Di Tengah Konflik.
68 Ali Hasjmy, Kebudayaan ….., Loc.cit.
69 Lihat Tudjimah, Asrar al-Insan fi Ma’rifa al-Ruh wa’l-Rahman, (Djakarta:

Sastrakanta, 1961).
198 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Haramain.70 Selain itu, Nuruddin ar-Raniri pernah bertugas


sebagai mufti kerjaaan Islam Aceh Darussalam di masa
pemerintahan Iskandar Thani. Selain berkerja sebaga mufti, al-
Raniri juga seorang penulis yang produktif. Menurut Ahmad
Daudy, ada 20 buah karya yang di tulis oleh Al-Raniri. Sedangkan
menurut A.Hasjmy mencatat ada sebanyak 30 buah karya yang
ditulis oleh Ar-Raniri.71 Perbedaan keduanya mungkin terletak
pada sejauhmana mereka melacak keberadaan karya-karyanya Ar-
Raniri.
Syekh Nuruddin ar Raniri72, yang dalam abadnya ia datang
dari Ranir India ke Aceh untuk mengajar para Jamiah
Baiturrachman, ia terkenal sebagai ulama Ahlulsunnah Waljamah.
Karangannya yang terkenal antara lain: (1) Asi Siratul Mustaqim,
(2) Darul Furaid Bisyahri Aqaid, (3) Busstanul Saltin Filzikril Auwalin
Achirin, (4) Achbrul Achiran Fi Auwali Yaumil Qiamah, (5) Hidayatul
Habib Fit wat Tarhib, (6) Attibiyan Fi Maqrifatil War Rachman, (7)
Lataiful Asyrar, (8) Nubzatun Fi Da’wazil Ma’asahidin, (9) Hilul-Zil,
(10) Masul Hayati li Ahlil Mamati, (11) Safa Ul Qulub, (12) Umdatul
‘Iqtikad, (13) Djahaurul Ulum Fi Kasjfil Ma’lum, (14) Bad-U-Chalkis
Sama Wati Wal Ardhi, (15) Hudi Djatus Shadiq Il Daf ‘zzindiq, (16)
Fatul Muhilalal Muhidin, (17) Alam Lam’u Tafkiri Man Kala Bil
Chalqil Quran, (18) Tambihiul “Awamili fi Tahqia Kalami Fina Wafil,
(19) Hawa Rimush, (20) Hawa Rimus Shadiq li Qath’iz Zidiq, (21)
Rahiqul Muhammadiyah fi Tariqish Shufiyah, (22) Kisah Iskandar
Zulkarnaien, (23) Hikayat Hari Badar, (24) Babun Nikah, (25)
Saqyur Rasul, (26) Muammadul I’tiqad, (27) Hidayatul Muhtadi bi
Faalil Lahid Muhdi. Ia juga menjabat sebagai Syaikul pada
Universitas Baturrachman dan juga sebagai Mufti Negara Aceh
Darussalam. Beliau Ahlulsunnah Waljamaah yang pertama
bergerak untuk modernisasi di Aceh yang kemudian memiliki
pengaruh besar di Nusantara melalui karya-karyanya.

70
Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh Di Tengah Konflik, (Jogjakarta:
Ceninets, 2004), hlm 28.
71
Ibid.
72 Ali Hasjmy, Op.cit., hlm. 200-202.
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 199

Dalam paruh kedua abad 17 di Aceh telah muncul ulama


besar bernama Abdur Rauf Singkel. Bukunya berjudul "Umdaul
Muhtalin'', mencerminkan bahwa ia telah mendalami ilmu
pengetahuan sampai Mekkah dan Madinah. Makamnya yang
terletak di Kuala Sungai Aceh, dan ia diberikan gelar Syaikh
Kuala.
Syekh Abdurrauf Syiah Kuala,73 atau Syekh Abdurrauf
lahir di Singkel tahun 1593,74 ayahnya seorang ulama besar Syekh
Ali al-Fansuri, yaitu pemimpin Dayah Simpang Kanan Singkel.
Beliau pertama sekali menuntut ilmu pada dayah (pasantren)
Ayahnya, kemudian melanjutkan pelajaran pada Dayah Syekh
Hamzah al Fansuri di sana beliau telah menguasai beberapa ilmu
antara lain, Sejarah, Mantiq, Filsafat, Sastra Arab Melayu juga
telah menguasai bahasa Persia, kemudian beliau melanjutkan
pelajaran ke Perguruan Samudra Pase pada Dayah Syekh
Syamsuddin as Sumatrani pernah menjabat sebagai Syaikul Islam
di Ibukota Banda Aceh Darussalam dan sebagai Mufti Kerajaan
Aceh Raya Darussalam, Syekh Abdurrauf setelah menamatkan
pelajaran pada Dawiyah Samudra Pase, dan beliau melanjutkan
pelajaran ke Mekkah al-Mukarramah dan negara-negara Arab
lainnya selama 20 tahun, beliau tinggal di Mekkah di kantor
Kedutaan Kerajaan Islam Aceh Raya Darussalam yang di sebut
Reumoh Aceh (Bid al-Asyi) sebagai kantor resmi Kerajaan Islam
Aceh Raya Darussalam. Guru beliau di sana yang terkenal adalah
Syekh Ahmad al-Qusyaisyi, Syekh Abdussalam al-Patani, Syekh
Nawawi al Bantani, setelah beliau sudah cukup apa yang
dicarinya beliau kembali ke tanah air untuk membina Bangsa,
Agama, dan Negaranya sampai akhir hayat, dan setelah beliau
wafat beliau digelar Tengku Syekh Abdurrauf Syiah Kuala.
Kemudian kebesaran nama beliau termanifestasikan ke sebuah
lembaga pendidikan di Aceh yang bernama Universitas Syiah
Kuala.

73 Ali Hasjmy, Op.cit., hlm. 202-205.


74 1001 Hijriyah.
200 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Menurut A.Hasjmy, setelah ia meyelesaikan pelajaran di


dayah yang dipimpin oleh orang tua Al-Singkili, kemudian ia
melanjukan pendidikannya pada sebuah dayah tinggi di Barus
yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri. Selanjutnya belajar pada
Syeikh Syamsul al-Din al-Sumatrani, yang di perkirakan daerah
dayahnya itu di wilayah Pasai.75 Terakhir Al-Singkili belajar di
Timur tengah, meliputi Dhuha (Doha), Qatar, Yaman, Jeddah
dan akhirnya ke Mekkah dan Madinah selama 19 tahun.
Menurut catatan Al-Singkili sendiri yang ditulis dalam
Umdat Al-Muhtajin ila Suluk Maslak Al-Mufridin, ada 19 orang
guru yang dia belajar langsung dalam bermacam disiplin ilmu.
Selain itu juga dia mempunyai hubungan pribadi dengan ulama
lain yang sangat mungkin ini merupakan teman diskusi dalam
ilmu-ilmu tertentu. Selain itu, Al-Singkili merupakan seorang
penulis yang produktif, kendati pun ia disibukan dengan tugas
mufti kerajaan, tetapih ia sempat menulis beberapa kitab. Wan
Mohd Saghir Abdullah sempat mengkoleksi 23 kitab yang ditulis
oleh Al-Singkili dalam bidang Fiqh, tafsir, hadits, ilmu kalam dan
tasawuf. Tetapih terakhir menurut hasil penelitian Al-Yasa’
Abubakar di temukan ada 36 buah kitab yang ditulis Al-Singkili.76
Al-Singkili adalah seorang Ulama besar dan Mufti besar
dalam Kerajaan Islam Aceh Raya Darussalam, mengenai
wawasan Ilmu Pengetahuannya dapat diteliti dari hasil
karangannya antara lain: (1) Syarabul’ asyikin Zainatul Wakidin, (2)
Asrarul ‘Arifin Fibayahi, (3) al-Muntahi, (4) Ruba’i Fansuri.
Karya-karyanya beliau yang lainnya adalah: (1) Turjumanul
Mustafid atau terjemahan Tafsir Tansil wa Asy Rarul Takwil, (2)
Miratultullab, (3) Umiatul Ahkam, (4) Umidatul Muhtajin Ila Suluki
Mufradin, (5) Kifayutul Muftajin (6) Dakalkul Huruf, (7) Hidayatul
Balaghah ‘Ala Jum’atil Mukassamah, (8) Bayan Tajallil, (9) Syair
Makrifat. Ia juga seorang Syaikul Islam dan maha guru pada
Universitas Baitul Rachman, dan beratus-ratus ulama lainnya
yang tiada mungkin disebut satu persatu pada tulisan yang sangat
singkat ini.
75
Hasbi Amiruddin, Op.cit, hlm 29.
76
Hasbi Amiruddin, Op.cit, hlm 29-31
Tradisi-Tradisi Keilmuan Samudera-Pasai 201

Hal ini yang dijelaskan di atas merupakan suatu gambaran


bagaimana kemasyhuran Negara Aceh Darussalam pada masa
yang silam, dan inilah cikal-bakal dan asal-usul, dimana kemudian
Aceh disebut dengan panggilan yaitu Aceh Serambi Mekkah, di
samping itu atas dasar undang-undang Dasar Negara terdiri dari
beberapa Bab antara lain yang termaksud dalam Qanun Meukuata
Alam: (1) Dasar dan rukun negara dan sistem pemerintahan, (2)
Sumber hukum dan jenis-jenis hukum yang berlaku dalam
kerajaan, (3) Pemerintah pusat dan pembagian wilayah-wilayah
negara, (4) Lembaga-lembaga negara dalam tingkat pusat serta
tugas dan wewenang, (5) Nama-nama dan gelar jabatan bagi
pejabat tinggi negara tingkat pusat, (6) Syarat-syarat menjadi
sultan, menteri, qadhi dan pejabat tinggi lainnya, (7) Hak-hak
warga negara dan hubungannya dengan negara, (8) Susunan
pemerintah daerah dan tugas-tugas para pejabat daerah, (9) Cara-
cara pengangkatan sultan, (9) Organisasi angkatan perang dan
gelar pejabat tinggi militer serta pejabat tingkat menengah dan
bawahan, (10) peraturan dasar tentang perdagangan dalam dan
luar negeri, (11) Negara dalam keadaan perang, (12) Syarat-syarat
keadilan pemerintah dan ketaatan rakyat, (13) Kecuali tentang
Qanun Meukuata Alam menetapkan beberapa garis pokok tentang
cara bagaimana seharusnya sultan dan pejabat tinggi negara
menjalankan perintah pusat, sekalipun apabila bekerja di luar
garis undang-undang dan bertindak tegas.
Karya-karya dan pengaruh ilmu dari para ulama-ulama
besar yang telah disebutkan tadi, mereka itu telah bergema jauh
melampui wilayah Aceh dan berkembang di kepulauan Sumatera,
Tanah Semenanjung, Selatan Thailand, dan sampai ke negeri
Bugis. Hamzah Fansuri misalnya77, karya-karyanya berpengaruh
besar atas diri Anci Amin yang menulis Syair Perang Mangkassar.
Karya Nuruddin al Raniri berpengaruh besar di Kedah dan salah
satu karyanya diterjemahkan dalam bahasa Bugis. Karya
Syamsuddin as Sumatrani dan ajarannya telah mempengaruhi
gerak langkah Syaikh Burhanuddin dari Ulakan (Pariaman).
Dengan demikian betapa besar pengaruh ulama-ulama Aceh ini
77 Ali Hasjmy, Op.cit., hlm. 196-197.
202 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

dalam perkembangan Islam di Nusantara dan di kawasan Asia


Tenggara.78***

78 Ali Hasjmy, Op.cit., hlm. 190-205.


Ratu-Ratu Samudera-Pasai 201

Bab 11
RATU-RATU SAMUDERA-PASAI

Dalam catatan sejarah Samudera Pasai pernah memiliki


beberapa raja wanita (ratu). Padahal Samudera Pasai merupakan
sebuah kerajaan Islam yang menganut ajaran Mazhab Syafii,1
yang pada dasarnya tidak memperbolehkan seorang wanita
menjadi seorang raja. Secara tak langsung, Kerajaan Pasai telah
melakukan hal yang bertentangan dari ketentuan hukum yang
berlaku (against all odds) di sebuah kerajaaan Islam yang
bermazhab Syafii. Sementara paham yang memperbolehkan
wanita dapat menjadi raja, adalah Mazhab Hanafi.2 Namun hal itu
tidak disadari oleh ulama-ulama Pasai yang berpaham Syafiiyah.
Dilihat dari populasi penduduk Pasai mungkin, kita bisa kaitkan
dengan keterangan Tome Pires yang menyatakan mayoritas
penduduk Pasai yang berasal dari Bengali3 yang pada umumnya
menganut aliran Hanafi.4 Walaupun tidak ada keterangan tentang
elite politik dan ulama Pasai mayoritas orang Bengali yang
bermazhab Hanafi, tetapi kita bisa ambil dari keterangan
mayoritas penduduk yang mungkin bisa mempengaruhi
penduduk Pasai yang lainnya, kita ketahui bahwa Pemikiran
Mazhab Hanafi lebih menekankan memberikan penghargaan

1 Lihat Ibnu Batutah, Travels in Asia-Africa 1325-1354, H.A.R. Gibb, (terj.),


(London: Routledge, 1929).
2 Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Islam Historis: Dinamika Studi Islam di

Indonesia, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), hlm. 248.


3 Berdasarkan keterangan Tome Pires ketika ia mengunjungi kota Pasai

bahwa penduduk Pasai berjumlah sekitar 20.000 orang dan mayoritas penduduknya
berasal dari Bengali, India. Lihat Armando Cortesao, The Suma Orientalof Tome
Pires1515, (London: Hakluyt Society, 1944), hlm. 142. Dan S.Q. Fatimi mencetuskan
bahwa kedatangan Islam ke Samudera-Pasai dari Bengali berdasarkan gaya batu nisan
Sultan Malikussaleh hampir serupa dengan batu nisan yang terdapat di Bengali. Lihat
S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, (Singapore: Malaysian Sociological Institute,
1963), hlm. 31-32.
4 Ayzumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 25.


202 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

khusus kepada seseorang, baik pria maupun wanita, dengan kata


lain tidak ada perbedaan di antara wanita atau pria dan berhak
untuk menjadi seorang raja. Ada keterangan lain setelah itu,
dalam kitab Tadzkirah Thaqabat Jumu Sulthan as-Salathin
menyebutkan, “sah raja itu orang perempuan dan orang fasiq
karena dengan alasan darurat agar tak sunyi kerajaan Islam
daripada hukum syara Allah ta’ala, maka demikianlah pada
Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki”.5
Adanya pengaruh Mazhab Hanafi di Samudera-Pasai bisa
dilihat dengan memperbolehkan wanita memimpin kerajaan.
Namun bukanlah satu-satunya pernyataan itu untuk dijadikan
alasan mengapa Samudera-Pasai mengangkat wanita sebagai raja.
Selain faktor agama, menurut Anthony Reid, antara abad kelima
belas dan ketujuh belas, terdapat kecenderungan besar bagi
negara-negara yang paling giat mengembangkan perdagangan di
kawasan Asia Tenggara untuk di perintah oleh seorang wanita.
Banyak kerajaan mengangkat kaum wanita sebagai raja ketika
kerajaan itu telah mencapai puncak kehidupan niaganya, salah
satunya Samudera-Pasai, kerajaan yang mempunyai pelabuhan
besar Islam pertama di bawah angin, mengangkat dua raja wanita
secara berurutan antara tahun 1405 dan tahun 1434, persis
sebelum Pasai dikalahkan oleh Kerajaan Malaka sebagai
pelabuhan yang terpenting di Selat Malaka.6
Kalau kita melihat angka tahun pengangkatan ratu-ratu
Pasai, 1405 dan 1434 seperti yang disebutkan diatas berarti ada
dua raja wanita yang pernah berkuasa di Pasai, tetapi ada sumber
sejarah yang lainnya berupa makam seorang raja wanita Pasai
yang wafat pada tahun 1380.7 Pada akhirnya keterangan-
keterangan itu membuat kita bertanya-tanya ada dua atau tiga
wanita yang pernah memerintah raja Pasai karena belum ada dari
pendapat ahli sejarah mengenai hal itu sebagai sebuah kepastian.

5Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Islam Historis, op.cit., hlm.246-248.


6Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, (terj.), (Jakarta:
Yayasan Obor, 1992), hlm. 195.
7 Teuku Ibrahim Alfian, Ismed Sofyan, M. Hasan Basry, (eds.), Wanita

Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Pustaka van Hoeve, 1998), hlm. 2.
Ratu-Ratu Samudera-Pasai 203

Selanjutnya Anthony Reid menyebutkan bahwa pemerintahan


wanita merupakan salahsatu sedikit cara yang digunakan oleh
kaum bangsawan yang mementingkan niaga guna membatasi
kekuasaan despotis raja dan membuat aman bagi perdagangan
internasional. Bila kita bandingkan zaman Samudera-Pasai
dengan Aceh Darussalam, Pasai dalam mengangkat raja
wanitanya dikarenakan jelas faktor keturunan, tapi dengan
Iskandar Muda, dari Aceh Darussalam adalah contoh yang sangat
menakutkan mengenai bahaya absolutisme. Sultan Iskandar
Muda mencoba memonopoli perdagangan dengan Inggris dan
Belanda, sementara Iskandar Muda membunuh, meneror, serta
menjarah kalangan bangsawannya sendiri. Setelah itu dikalangan
bangsawan Aceh berusaha mendudukan wanita sebagai raja, dan
juga berusaha meneruskannya.8 Terbukti setelah Aceh
mengangkat raja wanitanya yang pertama, sering dikunjungi oleh
pedagang-pedagang asing karena pemerintahannya yang adil dan
rakyatnya hidup dalam kedamaian.9
Kalau kita bandingkan Aceh dengan Pasai, pengangkatan
raja wanita di Pasai bukan berdasarkan adanya Sultan Pasai dalam
menjalankan pemerintahannya secara absolut, dan kejam
terhadap rakyatnya, karena tidak ada keterangan tentang itu. Pasai
dalam mengangkat raja wanitanya dikarenakan faktor
keterpaksaan dan faktor keturunan, Terlihat dari dua raja wanita
yang memimpin kerajaan yaitu Ratu Nur Ilah dan Ratu
Nahrisyah, mereka berdua memerintah Pasai seabad setelah Pasai
berdiri sekitar akhir abad keempat belas dan awal abad kelima
belas, di mana Samudera Pasai ketika itu sering mendapat
serangan dari emporium Majapahit yang sedang mengalami
kejayaan di bawah pemerintahan Hayam Wuruk, yang memiliki
seorang patih yang terkenal bernama Gajah Mada. Pada naskah
akhir Hikayat Raja-Raja Pasai disebutkan bahwa negeri yang

8 Anthony Reid, “Trade and State Power in Sixteenth and Seventeenth

Century Southeast Asia, dalam Proceedings of Seventh IAHA Conference, August 1977,
(Bangkok: Interrnational Association of Historians of Asia, 1979), hlm. 408-412.
9 Lihat Siti Hawa Saleh, Bustanus as-Salatin, (Kuala Lumpur, Dewan Bahasa

dan Pustaka, 1992).


204 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

takluk kepada Ratu (Raja) Majapahit kepada zaman pecahnya


(kalahnya) Negeri Pasai, ratunya (rajanya) bernama Ahmad”10
Sebelum pasukan perang Majapahit meninggalkan Pasai kembali
ke Jawa rupa-rupanya Pembesar-pembesar Majapahit telah
mengangkat seorang raja wanita, bangsawan Pasai, yang dapat
dipercaya untuk memerintah Kerajaan Pasai.11 Raja wanita itu
bernama Ratu Nur Ilah.12

Ratu Nur Ilah


Ratu Samudera Pasai yang pertama ini tidak saja menjadi
raja yang berkuasa tetapi menguasai Kerajaan Kedah, yang
terletak di seberang Selat Malaka, di pantai Semenanjung Tanah
Melayu. Bukti-bukti peninggalan sejarah tidaklah banyak kecuali
dua batu nisan yang bertulisakan Arab dan Jawa Kuno di
makamnya yang ditemukan di Desa Minye Tujoh, Kecamatan
Matangkuli, Kabupaten Aceh Utara.13
Hoesien Djajadiningrat telah berusaha menerjemahkan
tulisan Arab di nisan itu sebagai berikut: Matn (sic) al-malikah al-
mu’azzamah alalah (al-alah?)bint as sultan almarhum malik az-zahir
khan (?) al-khanat (?) taghammadahul-lahu bi’r-ridhwan fir-rabbi ashar
yaum al-jum’ah min dzilhijah ahad wa tis’ina wa sab’a mi’ah al-hijrah al-
mustafawy(yah). Tulisan Arab yang terpahat dibatu nisan itu amat
sukar untuk dibaca, Hoesien Djajadiningrat sendiri membaca
nama ratu dengan alalah atau al-alah. Transliterasi Hoesien
Djajadiningrat di atas diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
secara bebas oleh Mohammad Said, sebagai berikut: “Ratu yang
agung, Al-Alah binti almarhum Sultan Malik az-Zahir, Maharaja
(Khan), di masa-masa lampau, putera dari ayahandanya Maharaja

10 A.H. Hill, (ed.), Hikayat Raja-Raja Pasai, JMBRAS, vol. XXXI-II, Part 2,

Juni 1960, hlm. 106-107. Ratu disamping raja (wanita); permaisuri; dapat juga berarti
raja. Lihat Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Republik Indonesia,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 821.
11 Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Jakarta: Waspada, 1981), hlm. 105-

106.
12Lihat Teuku Ibrahim Alfian, Ismed Sofyan, M. Hasan Basry, Wanita Utama

Nusantara Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: ……………), hlm. 2.


13 Teuku Ibrahim Alfian,……ibid., hlm. 2.
Ratu-Ratu Samudera-Pasai 205

dari putera Maharaja, semoga Allah menerimanya dengan


sempurna pada 14 Zulhijah, hari Jum’at, sanah 791 Hijriyah.14
Dr. Othman M. Yatim, seorang pakar arkeologi Malaysia
berpendapat ratu ini bernama al-Ala.15 Namun Teuku Ibrahim
Alfian sejarahwan Indonesia cenderung menyebut Ratu Nur Ilah,
meskipun kata “nur” begitu tersamar-samar terukir pada nisan
itu.16 Angka tahun yang terpahat di batu nisan yang bertulisan
Arab itu adalah tahun wafatnya raja wanita tersebut pada hari
Jumat 14 Zulhijah tahun 791 Hijriyah sedangkan tulisan pada
huruf Jawa Kuno terpahat tahun 781 Hijriyah. Terjadi selisih di
antara kedua tulisan tersebut. Menurut Stutterheim terjadi
kesalahan pada pemahat, namun baginya tahun yang tertera pada
nisan tulisan Jawa Kuno yang bertepatan dengan tahun 1380
Masehi tersebut merupakan tahun wafatnya Ratu tersebut.17
Stutterheim mentransliterasikan tulisan Jawa Kuno tersebut
sebagai berikut:
A 1. Hijrat Nabi mungstapa yang pradha
2. Tujuh ratus asta puluh savarssa
3. Haji catur dan dasa vara sukra
4. Raja iman (varda) rahmatallah

B 1. Gutra bah (ru) bha sa (ng) mpu hak Kadah Pase ma


2. Tarukh tasih tanah samuha
3. Ilahi ya rabbi Tuhan samuha
4. Taruh dalam svargga Tuhan tatuha18

Syair yang tertulis diatas telah diterjemahkan oleh Dr. C.


Hooykaas yang berarti:

14 Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad,…..Op.cit. hlm. 102.


15Othman Mohammad Yatim dan Abdul Halim Nasir, Epigragfi Islam Terawal
di Nusantara, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990), hlm. 23-25.
16 Lihat Teuku Ibrahim Alfian, Ismed Sofyan, M. Hasan Basry, Wanita Utama

Nusantara Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: ……………), hlm. 2.


17 W. F. Stutterheim, “ A Malay Sha’ir in Old Sumatran Characters of 1380

AD”, Acta Orientalia (Leiden), Vol. XIV, 1936, hlm. 271.


18 W.F. Stutterheim, ibid., hlm. 278-279.
206 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

“setelah hijrah Nabi, kekasih, yang telah wafat, tujuh ratus


delapan puluh satu tahun, bulan Zulhijah, 14, hari Jumat, Ratu
iman Werda rahmat Allah bagi Baginda, dari suku Barubasa (di
Gujarat), mempunyai hak atas Kedah dan Pasai, menaruk di laut
dan darat.
Semesta, ya Allah, ya Tuhan Semesta, taruhlah baginda
dalam swarga Tuhan”.19 Keterangan yang lain tentang Ratu Nur
Ilah, maupun takluknya Kedah terhadap Pasai sejauh ini tidak
ditemukan, kecuali tulisan di batu nisan makam Ratu Nur Ilah.
Dan yang menjadi perhatian adalah adanya tulisan Jawa Kuno di
nisan tersebut.

Ratu Nahrisyah (1405-1428)


Banyak pendapat yang menyebutkan Ratu Nahrisyah
adalah satu-satunya raja wanita Pasai yang memerintah kerajaan
tersebut. Berdasarkan mata uang Pasai yang ditemukan ternyata
Ratu Nahrisyah satu-satunya raja wanita yang tertulis. Di dalam
mata uang tersebut tertulis Ratu Nahrisyah berkuasa dari tahun
1405 sampai 1412.20 Selain mata uang yang menyebutkan
keberadaan ratu tersebut, ditemukan juga makamnya. Makam
Ratu Nihrasiyah terletak dalam Kompleks Makam Raja-raja
Samudra-Pasai, Lhokseumawe, merupakan sebuah peninggalan
sejarah yang penting tentang keberadaan seorang ratu dalam
jajaran pemerintahan Samudra-Pasai. Snouck Hurgronje di tahun
1907 pernah melakukan penelitian pada makam itu, akan tetapi
Hurgronje tidak berani mengemukakan nama sultan wanita
tersebut. Kemudian penelitian itu dilanjutkan kembali oleh G.L.
Tichelman pada tahun 1940. Hasil dari penelitian tersebut, ada
persamaan dengan apa yang dikatakan seorang ahli arkeologi dari
Arab yang bernama Syaich Muhammad bin Salim al-Kalali yang
telah membaca nama sultan wanita yang wafat pada tahun 831

19 C. Hooykaas, Perintis Sastra, (terj.), Raihoel Amar gl. Datoek Besar,

(Groningen-Jakarta: J.B. Wolters, 1951), hlm. 73.


20 Teuku Ibrahim Alfian, Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan di Aceh, (Banda

Aceh: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Meseum Daerah Istimewa Aceh, 1979),
hlm. 13-27.
Ratu-Ratu Samudera-Pasai 207

Hijriyah atau 1428 dengan nama Bahiah. Sementara N.A. Baloch


yang telah mengadakan penelitian juga pada makam itu menyebut
nama itu dengan Mihrasyah, Sedangkan para arkeolog lokal
termasuk Uka Tjandrasasmita sepakat menyebutnya dengan
Nahrisyah.21 Diceritakan Ratu Nahrisyah sebelum menjadi ratu
adalah permaisuri dari Sultan Zainal Abidin yang tewas dalam
pertempuran dengan Raja Nakur dari kerajaan yang belum
menganut Islam. Ratu Nahrisyah ini wafat 17 Zulhijah 831
Hijriyah atau 27 September 1428.22
Peristiwa tewasnya Sultan Zainal Abidin, membuat
permaisurinya Nahrisyah mengalami penderitaan batin yang
begitu besar, ditengah keterbatasanya sebagai wanita
menggantikan posisi suaminya sebagai raja, ia berusaha dan
berjuang untuk mengembangkan kerajaan. Dalam menjalankan
kepemerintahannya sepertinya Ratu Nahrisyah mengalami
tantangan-tantangan yang sangat berarti, sampai ia dibantu oleh
seorang bekas nelayan yang pada akhirnya menjadi suaminya
untuk menggantikan suaminya yang telah wafat.23 Diberitakan
juga bahwa pada masa pemerintahan Ratu Nahrisyah terjadi
sedikit kericuhan dalam masalah agama, yaitu pertentangan antara
golongan mistik dengan para ulama Pasai. hukum-hukum Islam
yang diajarkan para ulama Pasai dianggap bertentangan dengan
adat-istiadat peninggalan nenek moyang penduduk lokal Pasai.
Namun masalah itu dapat segera diantisipasi dan diatasi dengan
baik oleh Ratu Nahrisyah tanpa mengganggu stabilitas keamanan

21 Uka Tjandrasasmita, “Proses Kedatangan Islam dan Munculnya Kerajaan-

Kerajaan Islam di Aceh”, dalam Ali Hasjmi, (ed.), Sejarah Masuk dab Berkembangnya
Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 361.
22 Uka Tjandrasasmita, “Peranan Samudera-Pasai dalam Perkembangan

Islam di Beberapa Daerah Asia Tenggara”, dalam Hasan Muarif Ambary dan
Bachtiar Ali, Retrospeksi dan Refleksi Budaya Nusantara, (Jakarta: Taman Iskandar Muda,
1988), hlm.70.
23 Tjut Nyak Kusmiati, “Catatan Sementara Tentang Mata Uang Samudera

Pasai”, Kertas Kerja, Pertemuan Ilmiah Arkeologi Proyek Penelitian dan Penggalian
Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Cibulan 21-25 Pebruari 1977,
hlm. 2.
208 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

kerajaan dan agama. Setelah itu Pasai berkembang dengan baik


kembali.24
Pendapat H.K.J. Cowan yang menyebutkan bahwa Pasai
pernah mengangkat raja wanita secara berurutan antara tahun
1405 dan tahun 1434,25 kemungkinan besar ada benarnya. Angka
1405 itu menunjukkan tahun diangkatnya Ratu Nahrisyah dan
banyak para sejarahwan mendukungnya. Namun angka 1434,
hanya ada satu petunjuk yang bisa dijadikan bukti sejarah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan J.P. Moquette dengan
dibantu oleh Hoesien Djajadiningrat dalam menelaah sebuah
nisan yang memuat nama Tuhan Perbu, puteri Sultan Zainal
Abidin yang juga suami dari Ratu Nahrisyah. Putri tersebut wafat
pada tahun 848 Hijriyah atau 1444. Ada kemungkinan setelah
Ratu Nahrisyah wafat kedudukannya sebagai raja digantikan oleh
Tuhan Perbu pada tahun 1434 dan memerintah hanya 10 tahun
sampai wafatnya pada tahun 1444. Tuhan Perbu, kemungkinan
putri dari Ratu Nahrisyah dan Sultan Zainal Abidin, berdasarkan
keterangan Anthony Reid yang mengutip H.K.J. Cowan, bahwa
Pasai pernah mengangkat dua ratu sekaligus berturut-turut
dikarenakan faktor keturunan atau warisan.26
Sampai disini saja pembahasan tentang ratu-ratu yang
mungkin dan pernah memerintah Kerajaan Pasai, berhubung
sumber-sumber mengenai hal itu sangat terbatas. Seandainya kita
masih memaksakan diri untuk terus menggali sumber-sumber
yang ada saja, jelas hal itu akan menambah pertanyaan-pertanyaan
baru tentang benar atau tidaknya sumber-sumber sejarah
tersebut. Pada akhirnya kita hanya dapat membuat kesimpulan
bahwa pengangkatan ratu-ratu di Pasai pada periode pertengahan
abad ke-14 sampai ke-15, bukanlah faktor kesengajaan tetapi
karena dalam keadaan terpaksa akibat adanya peperangan dan

24Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, Monografi Daerah Istimewa Aceh, (Banda


Aceh: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, 1976), hlm. 5.
25 Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, (terj.), op.cit.,

195.
26 Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, (terj.), ibid.,

196.
Ratu-Ratu Samudera-Pasai 209

mereka (ratu-ratu Pasai) berusaha mengembangkan kerajaannya


dalam bidang perdagangan dan menciptakan suasana damai di
masa pemerintahannya. Memang dari segi fisik wanita sangat
lemah namun memahami perdagangan, bisa dilihat ketika Pasai
mengangkat raja-raja wanita (1405 dan 1434), Pasai sedang
mengalami puncak kejayaan niaganya. Dibandingkan dengan pria
yang memiliki kekuatan bertempurannya, namun pada umumnya
kaum pria tidak bisa mengatur perdagangan dan terkenal boros
dalam hal kekayaan. Sebetulnya kita bisa mengetahui bahwa
kaum wanita bisa lebih berpotensi di bidang perdagangan
sebelum adanya ratu-ratu di Pasai, misalnya, di Kamboja pada
tahun 1297, para pedagang dari Eropa atau Cina akan terheran-
heran dan merasa aneh melihat kaum wanita di Kamboja sangat
berperan besar dalam hal perdagangan.27 Namun keberadaan
ratu-ratu di Pasai pada umumnya telah menginspirasikan
kerajaan-kerajaan Islam di kawasan Asia Tenggara, khususnya
Kerajaan Aceh Darussalam tidak merasa “tabu” untuk
mengangkat wanita sebagai raja.

Ratu-Ratu Asia Tenggara Abad ke-15 Sampai Abad ke-17


Kawasan Asia Tenggara pada periode abad ke-15 sampai
ke-17 memiliki kecenderungan untuk mengangkat raja seorang
wanita, termasuk pengangkatan raja wanita di Samudera Pasai
yang telah kita ungkap di atas, dan dapat kita simpulkan, bahwa
pengangkatan raja wanita itu merupakan upaya untuk
mempertahankan eksistensi kerajaan, dan terbukti bahwa ratu-
ratu tersebut mampu memimpin kerajaan yang ketika itu sedang
mengalami kejayaan dalam perdagangan internasional. Padahal
bagi setiap negara-negara yang menganut agama Hindu, Budha,
Islam dan Cina (Khong Hu Cu), di dunia menganggap raja wanita
itu sebagai kutukan dan terlarang. Kecuali kelompok masyarakat
dari rumpun Austronesia, yang mencakup Polynesia, Madagaskar,

27 Paul Pelliot, Memoires sur les coutumesdu Cambodge de Tcheou Ta Kouan, (Paris:

Adrien Maisonneuve, 1951), sebagaimana dikutip oleh Anthony Reid, Asia Tenggara
Dalam Kurun Niaga 1450-1680, (terj.), op.cit., 188.
210 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Indonesia, dan Filipina yang lebih cenderung mendudukan


wanita bangsawan di tahta kerajaan dibandingkan dengan
kelompok-kelompok penduduk besar lainnya.28 Dari bukti-bukti
sejarah yang ada Kerajaan Bone (kerajaan Bugis yang terluas) di
Sulawesi, dalam mengangkat seorang raja berdasarkan urutan
kelahirannya bukan dari jenis kelaminnya. Dalam menentukan
pengganti raja, setelah diteliti, dari tigapuluh dua raja yang pernah
berkuasa, ternyata ada enam wanita Bone yang pernah memimpin
kerajaan. Tak ketinggalan, Kerajaan Wajo yang masih tetangga
kerajaan Bone, dijumpai empat dari arung (penguasa) besar adalah
wanita. Selanjutnya apabila kita menelusuri sejarah Birma, antara
tahun 1453 sampai 1472, Kerajaan Pegu (Birma) diperintah oleh
seorang raja wanita yang bernama Shinsawbu, dan ia berhasil
mengembangkan Kerajaan Pegu sebagai kota pelabuhan utama di
teluk Bengali. Hal tersebut membuktikan wanita mampu
melakukan apa yang dilakukan oleh kaum pria, dan belum dapat
kita pastikan seorang raja (pria) dapat melakukan hal seperti itu,
apalagi kita melihat sejarah Jepara, tempat asalnya R.A. Kartini
tokoh emansipasi wanita modern Indonesia abad ke-20, ternyata
jauh sebelumnyan ada seorang raja wanita yang bernama Ratu
Kalinyamat yang memimpin kerajaan pada akhir abad ke-16. Dan
terbukti Pelabuhan Jepara menjadi pusat perdagangan yang
penting ketika ratu tersebut berkuasa.29
Fenomena raja wanita berkembang terus di kawasan Asia
Tenggara pada periode itu, Tidak terkecuali di Kerajaan Pattani
mengalami pemerintahan raja-raja wanita antara tahun 1584
sampai 1688. Secara tradisi dalam pandangan orang-orang Islam
di Pattani menganggap sumber kerohaniannya berasal dari
Samudera-Pasai. Demikian juga dari cerita-cerita yang memiliki
unsur sejarah, seperti Hikayat Pattani, bahwa agama Islam
disebarkan pertama kali di sebarkan oleh Syaikh Said yang berasal

28 Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, (terj.), ibid.,
195.
29 Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, (terj.), ibid.,
196.
Ratu-Ratu Samudera-Pasai 211

dari Pasai.30 Ketika Pattani melihat Kerajaan Pasai mengangkat


kaum wanita sebagai raja. Kerajaan Pattani akhirnya mengikuti
jejak Pasai dengan mengangkat juga raja-raja wanita, bahkan
mereka mengangkat ratu-ratu itu secara berurutan. Kendati baik,
Pasai maupun Pattani sama-sama menganut paham Syafiiyah
yang melarang wanita sebagai raja. Namun keduanya
melakukannya walaupun ada perbedaan alasan utamanya. Tujuan
Pasai melakukan hal itu sudah kita bahas sebelumnya di halaman-
halaman awal. Sementara Pattani cenderung melakukan hal
tersebut dikarenakan faktor kesengajaan untuk menghindar dari
sikap absolutisme apabila kerajaan dikuasai oleh kaum pria dan
Kerajaan Pattani berusaha meneruskan tradisi tersebut.
Diceritakan Ratu Pattani yang pertama telah memerintah dengan
penuh kedamaian bersama penasihatnya, sehingga rakyatnya
menganggap pemerintahannya lebih baik dari raja (pria) yang
sudah wafat. Selanjutnya pada masa itu, rakyatnya merasakan
pajak negara yang ringan, bahan-bahan kebutuhan jauh lebih
murah, bahkan perbedaanya separuh harga dibandingkan semasa
raja (pria) sebelumnya, mengingat pajak yang ditentukan pada
masa itu sangat tinggi.31
Mengenai pengangkatan raja wanita di Pattani bukanlah hal
yang semata-mata suatu keadaan di mana para bangsawan Pattani
memanfaatkan kaum wanita yang tak berdaya sebagai raja, namun
wanita-wanita di Pattani sangat aktif dalam dunia perdagangan
dan banyak yang kaya raya, bisa kita lihat ketika Ratu Pattani yang
keempat mengambil kebijakan ekonomi dengan mengurangi
upeti-upeti dan pajak kepada kerajaan. Dikarenakan Ratu Pattani

30 Lihat A. Teeuw dan David. K. Wyatt, (eds.), Hikayat Pattani, The Story of
Pattani, (The Hague: KITLV, 1970).
31 Jacob van Neck, “Journal van Jacob van Neck”, dalam De vierde schipvaart

der Nederlanders naar Oost-Indie onder Jacob Wilkens en Jacob van Neck (1599-1604), dalam
H,A. van Foreest and A. de Booy, (eds.), (The Hague: Linschoten Vereeniging,
1980), hlm, 226, sebagaimana dikutip oleh Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun
Niaga 1450-1680, (terj.), op.cit., 197.
212 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

yang keempat, terkenal dengan kekayaannya dari warisan dan


jaringan perdagangannya yang luas.32
Kerajaan Aceh Darussalam dengan Kerajaan Pattani
memiliki alasan yang tidak jauh berbeda ketika keduanya
mengangkat raja-raja wanita yaitu ketakutan para bangsawan akan
bahaya absolutisme raja (pria). Di halaman awal penulis sudah
menceritakan sedikit tentang Sultan Aceh, Iskandar Muda yang
terkenal absolut dan kejam dengan meneror, membunuh siapa
saja yang menentangnya. Pada masa Iskandar Muda berkuasa,
3000 wanita dijadikan pegawai istana, rata-rata menjadi pengawal
istana yang terlatih dalam menggunakan senjata dan sebagian lagi
menjadi pasukan arak-arakan kerajaan.33 Dengan menjadikan
wanita sebagai pengawal istana tampaknya bersumber dari
ketidakpercayaan yang dirasakan oleh kalangan raja terhadap
setiap lelaki untuk mendekati tempat tinggal putri-putri istana.
Sebelum Iskandar Muda berkuasa yakni pada jaman
pemerintahan Sultan Al-Mukamil yang memerintah tahun 1589-
1604 tersebut, pernah membentuk sebuah armada yang sebagian
prajuritnya terdiri dari janda-janda (inong bale) pahlawan yang telah
tewas. Armada ini dipimpin Laksamana Malahayati sebagai
Panglima Angkatan Laut Kerajaan Samudera-Pasai, ia memiliki
100 kapal perang, setiap kapal perang mengangkut 400 prajurit.
Ketika menjadi Laksamana, Malahayati beserta armada laut Pasai
pernah melakukan pertempuran dengan Belanda dan berhasil
membunuh pimpinannya Cornelis de Houtman, dan ia tewas
ditangan seorang wanita Aceh (Malahayati) ketika pertempuran
berlangsung di geladak kapal pada tahun 11 September 1599.
Tidak hanya itu, Malahayati menawan saudaranya Cornelis
sehingga Kerajaan Belanda berusaha membebaskannya dengan
merayu dan meminta maaf terhadap Sultan dan Malahayati,
dengan tujuan pembebasan yang tak lain saudara dari kapten
Belanda yang terbunuh, dan Sultan Al-Mukammil pun tergugah

32 Lihat A. Teeuw dan David. K. Wyatt, (eds.), Hikayat Pattani, The Story of

Pattani, op.cit., hlm. 114.


33 Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, (terj.), op.cit.,

192.
Ratu-Ratu Samudera-Pasai 213

untuk membebaskannya tetapi dengan syarat Belanda harus


membayar kerugian kapal-kapal laut Aceh yang telah dibajak oleh
Van Caerden. Perjanjian damai itu diadakan di Den Haag,
Belanda pada tanggal 11 Desember 1600.34 Kesan sejarah yang
kita ambil dari keberhasilan Malahayati memenangkan
pertempuran itu dan akhirnya Belanda meminta maaf adalah
adanya pengakuan kedaulatan Angkatan Laut Kerajaan Aceh
Darussalam dan potensi seorang wanita sebagai Panglima Perang
yang tidak diperhitungkan sebelumnya, namun bisa membuktikan
peran wanita di Kerajaan sangat besar. Pengangkatan Malahayati
sabagai Laksamana di karenakan Sultan Al-Mukammil tidak
percaya terhadap siapapun selainnya.35
Malahayati adalah seorang perempuan yang agung (grande
dame), ia melakukan sebuah pimpinan laskar pejuang Aceh yang
kebanyakan terdiri yang diisi oleh para perempuan-perempuan
Aceh, dan kebanyakan dari perempuan ini mereka adalah janda-
janda Aceh. Para janda ini pada umumnya kebanyakan adalah
ditinggal wafat suami mereka dalam perjuangan melawan
penjajah di Aceh. Laskar perempuan ini dinamai dengan sebutan
Laskar Inong Balee, atau yang bermakna “Laskar Para Janda
Pahlawan”. Jumlah prajurit perempuan yang di komando oleh
Malahayati adalah sebanyak 2000 orang prajurit tempur.
Sebenarnya nama lengkap dari Malahayati adalah Keumala
Hayati, yang hidup di masa Kerajaan (Kesultanan) Aceh Alaiddin
Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil, dengan periode
kepemimpinan kekuasaan antara tahun 1589-1604 M. Permulaan
karirnya ketika itu ia dipercayai sebagai kepala pengawal dan
protokol di dalam dan luar istana. Kemudian karir militernya
melejit ketika ia berhasil menumbangkan kapal perang Belanda
yang dipimpin oleh Jenderal Cornelis de Houtman yang tewas di
tangan Malahayati. Atas prestasi itu Malahayati kemudian diberi

34 Fadhlullah Jamil, “Kerajaan Aceh Darussalam dan Hubungannya Dengan

Semenanjung Melayu”, dalam Ali Hasjmy, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya
Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 274-277.
35 John Davis, “ The Voyage of Captain John Davis to the Easterne India,

Pilot in Dutch Ship; written by himself”, dalam A.H. Markham, (ed.), The Voyage and
Works of John Davis Navigator, (London: Hakluyt Society, 1880), hlm. 150.
214 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

anugerah gelar Laksamana. Pemberian gelar laksamana pada


seorang perempuan ternyata baru pertama kali terjadi dalam
sejarah dunia, dimana seorang perempuan adalah yang
memimpin perang. Prestasi yang diperolehnya lagi adalah ia
sukses menghalau Portugis dan Inggris yang pada saat itu telah
masuk ke perairan Aceh.
Malahayati tidak hanya lincah dalam strategi perang, di
dataran ia juga mendirikan sebuah benteng yang diberi nama
dengan Benteng Inong Balee (bentennya para Janda) yang terletak di
desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar.
Benteng ini merupakan benteng pertahanan sekaligus sebagai
asrama penampungan untuk janda-janda yang suaminya gugur di
medan perang. Dan benteng ini juga digunakan sebagai tempat
pelatihan militer, mengatur srategi perang, penepatan logistik,
suku cadang alat perang dan lain sebagainya.
Setelah wafat Malahayati, ia dimakamkan tidak jauh dari
Benteng Inong Balee sekitar 3 Km dari benteng berada diatas
bukit. Pada zaman dahulu, lokasi pemakaman di atas bukit,
merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap tokoh yang
mempunyai karisma. Penempatan makam di atas bukit sangat
berkemungkinan dengan anggapan masyarakat dahulu, bahwa di
lokasi yang tinggi itu memiliki nilai suci. Hal ini juga bisa kita lihat
di beberapa kompleks makam di daerah-daerah lain, misalnya:
Kompleks Makam Raja-raja Mataram di Imogiri Yogyakarta,
makam Sunan Giri di Giri Gresik, Sunan Muria di Kudus, dan
Gunung Jati di Cirebon.
Sepertinya tidak terdapat bukti-bukti bahwa kepercayaan
yang di berikan oleh raja kepada seorang wanita pernah dilanggar
dengan adanya pembunuhan, sebagaimana yang sering dilakukan
oleh kaum pria. Keberadaan wanita karenanya cenderung
membenarkan asumsi bahwa kekerasan, penggunaan senjata,
mudah tersinggung, menjarah kekayaan, pada dasarnya
merupakan urusan kaum pria. Sebaliknya di kalangan bangsawan
Aceh sendiri pada masa setelah itu, tidak memberikan
Ratu-Ratu Samudera-Pasai 215

kepercayaan terhadap raja (pria) sehingga mereka mengangkat


wanita sebagai raja.36
Aceh Darussalam sepeninggal Iskandar Muda dan
menantunya Iskandar Tsani memasuki era pemerintahan raja-raja
wanita secara berturut-turut selama 60 tahun (1641-1699), yaitu
Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah, Sri Ratu Nur Alam
Nakiatuddin Syah, Sri Ratu Inayat Syah Zakiatuddin Syah dan Sri
Ratu Kumala Syah. Keempat ratu Aceh tersebut menyaksikan
keruntuhan militer dan politik menyusul penaklukan-penaklukan
Sultan Iskandar Muda, namun mereka telah berhasil dalam
mempertahankan pelabuhan yang paling merdeka di Asia
Tenggara. Ratu yang pertama, Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah
yang memerintah antara tahun 1641-1675. Ia adalah anak dari
Sultan Iskandar Muda. Diceritakan bahwa ia gemar mengarang
sajak ada cerita dan membantu berdirinya perpustakaan di
negerinya.37 Sebelum menjadi ratu, Aceh saat itu dipimpin oleh
suami dari Ratu Safiatuddin, yaitu Iskandar Tsani. Setelah
Iskandar Tsani wafat amatlah sulit untuk mencari pengganti laki-
laki yang masih berhubungan keluarga dekat. Terjadi kericuhan
dalam mencari penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak
menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan
tertentu. Lalu seorang ulama besar, Nuruddin ar-Raniri,
menengahi kericuhan itu dengan menolak argumen-argumen
kaum ulama Aceh, sehingga Ratu Safiatuddin diangkat menjadi
ratu. Ratu Safiatuddin memerintah selama 35 tahun, dan
membentuk barisan perempuan pengawal istana yang terjun
langsung dalam perang Malaka tahun 1639. Sejarah pemerintahan
Ratu Safiatuddin dapat dibaca dari catatan para musafir Portugis,
Perancis, Inggris dan Belanda. Ia menjalankan pemerintahan

36 Anthony Reid, “Trade and State Power in Sixteenth and Seventeenth

Century Southeast Asia, dalam Proceedings of Seventh IAHA Conference, August 1977,
(Bangkok: Interrnational Association of Historians of Asia, 1979), hlm. 408-412.
37 Teuku Ainal Mardhiah Aly, “ Pergerakan Wanita di Aceh Masa Lampau

Sampai Kini”, dalam Ismail Suny, (ed.), Bunga Rampai tentang Aceh, (Jakarta: Bhratara
Karya Aksara, 1980), hlm. 292.
216 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

dengan bijak, cakap dan cerdas. Pada pemerintahannya hukum,


adat dan sastra berkembang dengan baik.38
Kemudian pada pemerintahan ratu kedua Aceh Sri Ratu
Nur Alam Nakiatuddin Syah yang menggantikan Ratu
Safiatuddin, Ratu Nur Alam yang memerintah dari tahun 1675-
1678. Ratu tersebut hanya melakukan beberapa perubahan
terhadap hukum Tata Negara yang ada. Ratu Aceh yang kedua
memerintah tak terlalu lama, hanya 2 tahun karena Ratu itu wafat
pada tahun 23 Januari 1678. Dalam periode kepemerintahan Nur
Alam, Mesjid Raya Baiturahman yang menjadi kebanggaan Aceh
telah terbakar, dan mesjid itu yang membangunkanya adalah
Sultan Iskandar Muda di masa lalu. Bersamaan dengan
terbakarnya Mesjit, istana kerajaan juga ikut terbakar habis. Yang
mengakibatkan seluruh harta kerajaan yang berharga musnah
menjadi abu, termasuk barang-barang purbakala. Kejadian
kebakaran ini masih belum di ketahui dari mana sumber api yang
mengakibatkan insiden ini.
Kemudian Ratu yang ketiga, Sri Ratu Inayat Syah
Zakiatuddin Syah. Ia dikatakan sebagai seorang Ratu yang bijak,
berpengetahuan luas dalam berbagai bidang, bahkan menguasai
bahasa Arab, Persia, Urdu, Spanyol dan Belanda yang
dipelajarinya dari seorang perempuan Belanda yang bekerja di
kraton Daud Dunia sebagai Sekretaris Sultanah. Pada masa
Inayat sering kedatangan utusan dari luar negeri, misalnya pernah
dua kali utusan Inggris berkunjung ke kerajaanya. Utusan Inggris
yang datang ke Aceh yang pertama bermaksut, pemerintahan
Inggris ingin memintak izin untuk mendirikan kantor dagang dan
benteng di negeri Aceh. Sultanah kemudian sangat marah atas hal
itu dan menolak mentah-mentah atas permintaan pemerintahan
Inggris untuk membangun kepentingannya di Aceh, karena
menurut Sultanah hal tersebut bisa membahayakan kepentingan
negeri Aceh. Dan seorang pengunjung lain dari Inggris yang
datang ke Aceh pada masa Inayat adalah William Dampier, dalam
bukunya ia banyak menuliskan kesan-kesan tentang Aceh. Dari

38 Lihat Ayzumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani Gagasan, Fakta, dan


Tantangan, (Bandung Rosda Karya, 1999), hlm. 29.
Ratu-Ratu Samudera-Pasai 217

belahan negeri lain juga pernah satu kali utusan Syarif dari (Raja)
Mekkah berkunjung ke Aceh.
Pada masa pemerintahan Ratu Inayat itulah, kaum
Wujudiah yang menjadi penentang keberadaan wanita sebagai
raja, mulai kembali menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap
kekuasaan Ratu Zakiatuddin. Mereka memberitahukan hal
tersebut ke Syarif di Mekkah yang lantas mengirim utusan ke
Aceh. Namun apa yang terjadi justru malah kebalikannya. Utusan
dari Mekkah tersebut kagum melihat kemakmuran Banda Aceh
sebagai kota internasional. Ratu Inayat Syah Zakiatuddin
memerintah 10 tahun lamanya sampai ia wafat pada 3 Oktober
1688.39
Usaha-usaha yang dilancarkan kaum Wujudiah juga
dilakukan pada masa pemerintahan ratu yang keempat, yaitu pada
Ratu Kumala Syah. Ia bergelar Kamalat Syah, dan periode
kepemimpinannya hingga tahun 1688-1699. Kaum Wujudiah
masih tetap tidak menyetujui adanya raja wanita. Syarif Hasyim
salah satu dari mereka, telah berhasil mengawini ratu tersebut
guna mempercepat kejatuhan ratu. Selanjutnya, kaum Wujudiah
terus menerus meminta bantuan kepada Syarif Mekkah, sehingga
datanglah surat Mufti Mekkah yang menegaskan ketidak-
setujuannya terhadap wanita menjadi Raja Aceh. Surat tersebut
lalu dimusyawarahkan bersama oleh kalangan pembesar negara,
yang pada akhirnya dimenangkan oleh kelompok yang anti
terhadap raja wanita. Pada hari Rabu 1 Oktober 1699 Ratu
Kumala diturunkan dari tahta dan diganti oleh suaminya, Syarif
Hasyim.40
Pemerintahan wanita di Aceh memang hanya gagal, ketika
Aceh kehabisan calon yang memiliki kharisma monarki, dan

39 Di Arab (Mekkah) gelar sayyid dan syarif adalah keturunan langsung nabi
Muhammad SAW. Sayyid diberikan kepada keturunan Nabi Muhhammad SAW daru
Hussein bin Ali bin Abu Thalib, sedangkan gelar syarief diberikan kepada keturunan
Nabi Muhammad dari saudara Hussein yaitu Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Lihat
Teuku Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987),
hlm. 63, dan 60.
40 Teuku Ainal Mardhiah Aly, “ Pergerakan Wanita di Aceh Masa Lampau

Sampai Kini”, dalam Ismail Suny, (ed.), Bunga Rampai tentang Aceh, op.cit, hlm. 295.
218 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

ketika para bangsawan di ibukota pelabuhan mulai kehilangan


pengaruh pada kekuatan-kekuatan yang tidak begitu minat pada
perdagangan, salah satunya kaum Wujudiah. Padahal wanita-
wanita pemegang tahta kerajaan di Aceh, Jambi, dan Indragiri
pada abad ke-17 melakukan perdagangan secara spekulatif, paling
tidak sama gigihnya dengan kaum pria mereka. Menurut
Nuruddin ar-Raniri seorang ulama Aceh yang hidup pada masa
itu, ia mencatat ketika Aceh diperintah oleh raja wanita yang
pertama, kota Aceh sering dikunjungi para pedagang-pedagang
asing karena pemerintahannya yang adil. Ibukotanya sangat
makmur di masa itu, bahan makanan murah, dan semua hidup
dalam kedamaian.41 Sebaliknya, “nama raja (pria) saja sudah lama
membuat muak bagi mereka (rakyat Aceh)….. akibat
permerintahan tirani dari rajanya yang terakhir (Iskandar Muda).42
Dari masa ke masa, Kerajaan Aceh setelah era
pemerintahan ratu-ratu lebih banyak di dominasi kaum pria yang
mengedepankan peperangan terhadap kaum penjajah barat.
Namun dalam peperangan melawan Belanda selama kurang lebih
50 tahun, wanita Aceh juga memegang peranan yang utama
dalam memberi bantuan untuk Kerajaan Aceh. Dari cerita-cerita
rakyat Aceh terdapat puluhan pahlawan perempuan yang penuh
semangat berjuang, beberapa di antaranya: Pertama, Cut Nyak
Dien, yang masih keturunan dari bangsawan Puteri Nanta Seutia
Raja Ulebalang Mukim. Dikisahkan Cut Nyak Dien adalah
seorang perempuan yang cantik dan memiliki pembawaan yang
berbeda dari gadis-gadis pada umumnya. Cut Nyak Dien pertama
kali menikah dengan Ibrahim Lam Naga, seorang pahlawan
perang yang melawan Belanda. Suami pertamanya ini meninggal
pada tanggal 29 Juni 1878 di dalam peperangan melawan
Belanda. Setelah itu ia bersuamikan Teuku Umar. Di masa itu
banyak daerah kekuasaan hulubalang yang dirampas Belanda, dan

41 Lihat Teuku Iskandar, (ed.), Bustanu’s-Salatin, Nuruddin ar-Raniri 1644,

(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1966), hlm. 59.


42 R.C. Temple, (ed.), A Geographical Account of Countries round the Bay of Bengal

by Thomas Bowrey 1680, (Cambridge: Hakluyt Society, 1905), hlm. 296. Dan Lihat juga
Muhammad ibnu Ibrahim, The Ship of Sulaiman 1688, terjemahan dari J.O. Kane, The
Persian, (London: Routledge and Kegan Paul, 1972), hlm. 174.
Ratu-Ratu Samudera-Pasai 219

lalu Belanda membuat pengumuman untuk berdamai. Banyak


hulubalang yang berniat untuk berdamai, namun dicegah Cut
Nyak Dien sambil terus membakar semangat pantang menyerah
mereka. oleh karena perannnya ini, Cut Nyak Dien menjadi
incaran Belanda. Cut Nyak Dien akhirnya menggantikan ayahnya
yang wafat sebagai hulubalang perempuan, di daerah VI Mukim.
Sementara itu suaminya, Teuku Umar sempat menyeberang ke
pihak Belanda, namun Cut Nyak Dien tetap berusaha
mempengaruhi suaminya tersebut sehingga akhirnya Teuku Umar
kembali menentang Belanda dan ikut bergerilya bersama istrinya.
Tak lama Teuku Umar gugur dalam suatu pertempuran. Cut
Nyak Dien terus melanjutkan perlawanan, selama 16 tahun ia
bergerilya di tengah hutan dan rimba. Namun kondisi fisik Cut
Nyak Dien menurun, matanya menjadi rabun. Pada tanggal 16
November 1905, sepasukan Belanda menyerbu ke hutan tempat
ia bersembunyi, dan akhirnya ia dapat ditangkap. Alkisah, Cut
Nyak Dien mencabut sebuah rencong dan mengarahkannya ke
dadanya sendiri, namun berhasil dicegah oleh Letnan Van
Vuuren. Pada tanggal 11 Desember 1906, Cut Nyak Dien
diasingkan oleh Gubernur Van Daalen ke pulau Jawa, tepatnya
daerah Sumedang.
Seketika Cut Nyak Dien tiba di Sumedang, ia menarik
perhatian Bupati Sumedang Suriaatmadja yang menduga datang
seorang tokoh muslimat Aceh yang dihormati. Prajurit-prajurit
Belanda dilarang memberitahukan identitas Cut Nyak Dien
sebagai tahanan. Kemudian ulama setempat, menepatkan Cut
Nyak Dien sebagai ulama perempuan. Mereka menyadari bahwa
tamu ini tidak bisa berhasa Sunda dan sebaliknya warga di situ
tidak bisa berbahasa Aceh, kemudian komunikasi yang di lakukan
dengan menggunakan bahasa Arab. Di Sumedang, Cut Nya Dien
yang di panggil dengan sebutan Ibu Perbu (Sri Ratu), dan
kemudian Cut Nyak Dien selama di Sumedang mengajari warga
membaca al-Qur’an, sampai menemui ajalnya di sana pada
220 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

tanggal 8 November 1908.43 Sampai hari ini makamnya masih


ramai dikunjungi oleh orang yang berziarah.44
Kedua Cut Meutia, lahir tahun 1870, aktif di daerah Pase
bergerilya bersama suaminya melawan Belanda. Ketika suaminya
tertawan dan dijatuhi hukuman tembak, ia tetap melanjutkan
perjuangan suaminya itu. Ia lalu menikah lagi dengan Pang
Nanggro sesuai pesan suaminya. Perkawinan ini menambah
hebat perlawanannya terhadap Belanda. Dengan senjata yang
seadanya, ia main kucing-kucingan dengan tentara Belanda dan
ini menimbulkan banyak kerugian jatuh di pihak Belanda. Dari
banyak serangan-serangan gerilya, Cut Meutia mendapat
tambahan-tambahan senjata api. Hingga suatu hari, sepasukan
tentara Belanda mendapati jejak kaki dan mengikutinya sampai ke
gubuk persembunyian Cut Meutia. Terjadilah pertempuran dan
Cut Meutia tewas di dalamnya. Namun anaknya yang bernama T.
Sabi berhasil lolos dan melanjutkan perjuangan ibunya.45
Ketiga, Pocut Baren, lahir tahun 1880, menjadi Panglima
Perang menggantikan suaminya yang gugur di medan perang.
Kisahnya ini mirip dengan kisah kedua pahlawan gerilya yang
sudah kita sebut diatas. Selain menjadi Panglima Perang, iapun
menjadi Hulubalang daerah Gome, mempunyai pengikut yang
banyak yang membantunya dalam pertempuran melawan
Belanda. Pocut Baren bermarkas di sebuah Gua di Gunung
Mancang. Belanda mengalami kesulitan melacak keberadaan Gua
ini. Hingga suatu saat, keberadaan Gua tersebut diketahui, usaha
tentara Belanda untuk sampai di gua itu kandas di tengah jalan
karena ketika sedang mendaki gunung, beratus-ratus batu
digulingkan ke bawah oleh anak buah Pocut Baren sehingga

43
Harry Kawilarang, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, (Banda
Aceh: Bandar Publising, 2008), 130-131.
44 Lihat Teuku Ibrahim Alfian, Ismed Sofyan, M. Hasan Basry, (eds.), Wanita

Utama Nusantara Dalam Lintasan Sejarah, op.cit., hlm. 77. Lihat juga Direktorat Urusan
Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan, 101 Pahlawan Nasional, (Jakarta:
Departemen Sosial RI, 1996), hlm 101-103.
45 Lihat Teuku Ibrahim Alfian, Ismed Sofyan, M. Hasan Basry, (eds.), Wanita

Utama Nusantara Dalam Lintasan Sejarah, op.cit., hlm. 99. Lihat juga Direktorat Urusan
Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan, 101 Pahlawan Nasional, op.cit., 107-108.
Ratu-Ratu Samudera-Pasai 221

banyak tentara Belanda yang tewas. Akhirnya Belanda mendapat


akal untuk mengalirkan 1200 kaleng minyak tanah ke arah gua
lalu dibakar. Banyak jatuh korban karena penyerangan ini, Pocut
Baren sendiri terkena peluru di kakinya sehingga perlawanannya
terpaksa berhenti. Ia lalu ditahan di Kutaraja, namun anak
buahnya tetap melakukan perlawanan.46
Berkaca dari sejarah Samudera Pasai sampai Kerajaan Aceh
dan masa penjajahan Belanda, tampaknya ada beberapa hal yang
harus dicermati. Pada dasarnya sejarah Aceh di masa lampau
dapat dijadikan satu sumber untuk mengatakan wanita boleh
menjadi pemimpin suatu bangsa. Sumber-sumber tersebut
dimaksudkan untuk menepis anggapan wanita tidak boleh
memimpin sutu bangsa. Lebih dari itu untuk menciptakan
masyarakat Madani (civil society), pelajaran yang dapat dipetik dari
sejarah Aceh di masa lampau, yakni perlunya reinterpretasi
mengenai ajaran-jaran Islam tentang hak-hak wanita dalam
kehidupan masyarakat. Sejauh itu tidak menyimpang dari syariah
Islam atau akidah, posisi wanita dapat disejajarkan dengan pria.47
Samudera-Pasai yang pernah dipimpin oleh seorang wanita,
seolah-olah ingin mengajarkan pada kerajaan-kerajaan lain pada
masanya dan terhadap penerusnya. Kerajaan Aceh Darussalam
sampai jaman penjajahan Belanda, ternyata wanita yang lemah
dan tak berdaya dapat mengalahkan dominasi pria dalam bidang
kepemerintahan dan perdagangan.***

46 Teuku Ibrahim Alfian, Ismed Sofyan, M. Hasan Basry, (eds.), Wanita

Utama Nusantara Dalam Lintasan Sejarah, op.cit., hlm. 127.


47Lihat Akbar S. Ahmed, Membedah Islam, (terj.), (Bandung: Pustaka, 1997),
hlm. 272-310.
Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 221

Bab 12
MALIKUSSALEH: MUTIARA DARI PASAI

Apabila melihat sejarah Aceh pada abad ke-13 dipastikan


kita akan mengenal tokoh Meurah Silu, ia adalah putra Meurah
Gajah dan Putri Betong, setelah di nobatkan menjadi seorang
Sultan, berganti nama menjadi Malikussaleh. Namanya menjadi
legendaris yang mewarnai cerita-cerita rakyat Aceh maupun
hikayat-hikayat yang menceritakan tentang sosok Malikussaleh,
bagaikan untaian mutiara yang selalu dikagumi, disanjung dan
dibanggakan oleh masyarakat Aceh sampai saat ini.
Malikussaleh semasa hidupnya ketika ia menjadi raja, memiliki
kepribadian yang baik. Hal ini dapat kita lihat sebagaimana
yang tercantum pada inskripsi yang terdapat pada bagian depan
nisan kepala makam Malikussaleh. Tejemahan bebasnya
berbunyi: “Kubur ini kepunyaan hamba yang dihormati, yang
diampuni, yang taqwa, yang menjadi penasihat, yang terkenal,
yang berketurunan, yang mulia, yang kuat beribadah,
pernakluk, yang bergelar Sultan Malikussaleh”.1 Sebelum ia
memeluk Islam, nama Meurah adalah sebuah gelar bangsawan
yang lazim dan dibanggakan oleh masyarakat Aceh ketika itu,
pada umumnya masih menganut agama Hindu dan
menyembah berhala. Sistem kasta masih mewarnai kehidupan
sosial masyarakat di wilayah tersebut. Sedangkan asal dari nama
Silu itu sendiri kemungkinan dari sungkala yang aslinya dari
sanskrit chula yang berarti menonjol atau berkilau. Meurah Silu
apabila diartikan adalah seorang yang kaya menjadi seorang raja
berdasarkan kepemimpinan yang menonjol.2 Sebelum memeluk
Islam Meurah Silu diceritakan mengalami kaya mendadak
dengan menemukan gelang-gelang di sungai, gelang-gelang itu

1 Lihat Teuku Ibrahim Alfian, Kronika Pasai, sebuah tinjauan sejarah,

(Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress, 1973), hlm. 16.


2 A.H. Hill, (ed.), “Hikayat Raja-Raja Pasai”, dalam Journal of the Malayan

Branch of the Royal Asiatic Society, XXXIII, part 2, 1960, hlm. 15.
222 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

ketika ia rebus, seketika berubah menjadi emas. Setelah menjadi


kaya raya, namanya semakin terkenal dengan
kedermawanannya. Selanjutnya diceritakan juga ia bermimpi
bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, yang akhirnya ketika
terjaga ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Namun anehnya
Meurah Silu langsung dapat membaca Al-Qur’an sebanyak 30
Juz tanpa ada orang yang mengajarkannya. Cerita klasik tentang
Malikussaleh ini diambil dari historiografi Hikayat Raja-Raja
Pasai yang diperkirakan dibuat pada abad ke-15.3 Mengenai
nama pengarangnya tidak pernah diketahui, namun dapat
diambil kesimpulan bahwa pengarangnya adalah orang yang
berasal dari kalangan istana Kerajaan Pasai, kemudian disuruh
menyusun hikayat tersebut dengan tujuan untuk
menggambarkan tentang kejayaan Kerajaan Pasai, namun
sesuai dengan apa yang di inginkan oleh keluarga Sultan.4
Hikayat Raja-Raja Pasai memang pada dasarnya hanya
ingin menceritakan bagaimana sebuah kerajaan Islam berdiri
dan sosok Malikussaleh sampai keturunannya serta pada bab-
bab terakhir menceritakan tentang ekspansi-ekspansi yang
dilakukan Majapahit terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Sementara pada bab awal menceritakan kehidupan
Malikussaleh sebelum ia memeluk Islam, dengan melakukan
pengembaraan dari satu tempat ke tempat lainnya. Dalam
pengembaraanya terjadi penolakan-penolakan dari daerah-
daerah yang bersangkutan, tetapi Malikussaleh dengan segala
perjuangannya berhasil menjadi seorang raja di suatu daerah.
Hal ini telah memperlihatkan mobilitas vertikal Malikussaleh,
selanjutnya untuk memperkuat kedudukannya sebagai raja
diperlukan jasa seorang ulama utusan Syarif Mekkah5 yang
3 R.O. Winsted, “A History of Malaya Literature”, dalam Journal of the Royal

Asiatic Society Malayan Branch (JRASMB), Vol. XVII, Part III (1940), hlm. 105.
4 C. Hooykaas, Perintis Sastra, (terj.), (Jakarta: J.B. Wolters, 1953), hlm. 106.
5 Di Arab (Mekkah) gelar sayyid dan syarif adalah keturunan langsung nabi

Muhammad SAW. Sayyid diberikan kepada keturunan Nabi Muhhammad SAW


daru Hussein bin Ali bin Abu Thalib, sedangkan gelar syarief diberikan kepada
keturunan Nabi Muhammad dari saudara Hussein yaitu Hasan bin Ali bin Abu
Thalib. Lihat Teuku Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1987), hlm. 63, dan 60.
Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 223

bernama Syarif Ismail untuk menobatkan Malikussaleh menjadi


seorang raja.6
Malikussaleh disebutkan sebagai raja pertama sekaligus
merupakan pendiri Kerajaan Samudera-Pasai, tetapi yang
menarik perhatian adalah Malikussaleh menggunakan gelar
Sultan untuk pertama kalinya di Nusantara. Padahal sebutan
raja sebagai kepala pemerintahan yang tertinggi pada kerajaan-
kerajaan Islam pada masa itu masih memakai nama-nama atau
sebutan-sebutan seperti lazimnya untuk para raja sebelum
berdirinya kerajaan Islam. Pengertian raja menurut Sartono
Kartodirdjo, adalah seseorang yang dapat menyatukan
pelaksanaan kekuatan dan berbagai lambang yang bersifat
magis dan mistis, yang menyatukan kualitas perlengkapan-
perlengkapan kekuasaan itu.7 Raja-raja di sekitar kawasan Selat
Malaka ketika itu masih di bawah kekuasaan emporium
Sriwijaya, Pasai yang baru berdiri yang menurut J.P. Moquette,
Malikussaleh mendirikan Pasai antara tahun 1270-1275, ketika
itu hegemoni Sriwijaya telah mengalami kemunduran terhadap
kawasan Selat Malaka. Pasai yang sudah menjadi pelabuhan
yang sering disinggahi kapal-kapal asing dari Arab, India, Cina,
bahkan pelaut dari Italia Marco Polo pun pernah mengunjungi
Pasai pada tahun 1292. Kunjungan Marco Polo ke Pasai
memberi bukti bahwa kekayaan Kesultanan Islam pertama di
Asia Tenggara ini terkenal berkat adanya jalinan perdagangan
dan hubungan multilateral.
Kemudian, Malikussaleh merasa bahwa sudah saatnya
mengembangkan kerajaannya dengan meningkatkan kerjasama
atau hubungan diplomatik dengan negara Cina (Mongol). Ia
mengirim utusan untuk menghadap Kaisar Mongol pada tahun
1282.8 Strategi politik yang dilancarkan Malikussaleh memang

6 H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh da Nusantara, (Medan: Pustaka Iskandar


Muda, 1961), hlm. 55.
7 Sartono Kartodirdjo, Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisionil dan Kolonial,

dalam Lembaran Sejarah, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 1969),


hlm.13.
8 Kathiritamby Wells, “Acehnese Control over West Sumatera up to the

Treaty of Painan in 1663”, Journal of Southeast Asian History, 10 (13), 1969, hlm. 454.
224 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

sungguh tepat mengingat Pasai baru saja didirikan dan masih


dibutuhkan dukungan dari negara-negara besar, menyangkut
keberadaan pelabuhan Pasai dalam perdagangan internasional.
Faktor yang menyebabkan itu selain adanya kekuatan Sriwijaya,
juga sebenarnya karena ketidakmampuan Pasai dalam
mengamankan Kawasan Selat Malaka dari bajak laut-bajak laut
yang merajalela dan megganggu kapal-kapal pedagang asing
yang ingin singgah ke Pasai, hingga memperlambat
perkembangan ekonomi kerajaan.9
Sebagai pemimpin sebuah kerajaan Islam, seorang sultan
sudah seharusnya memberikan contoh akhlak yang baik yang
sesuai dengan ajaran Islam. Malikussaleh bagi rakyat Pasai
sendiri merupakan raja yang taat dalam melaksanakan ajaran
agamanya dan terkenal dengan kedermawanannya. Kalau
dilihat dari Hikayat Raja-Raja Pasai yang menyebutkan bahwa
Malikussaleh melaksanakan perintah yang dianjurkan ajaran
Islam, setelah merayakan kelahiran anaknya, sultan melakukan
aqiqah dan memberikan sedekah pada para faqir miskin.10
Malikussaleh juga telah mendirikan sebuah kota kerajaan yang
diperuntukkan putranya Malik az-Zahir, pada awal masuknya
Islam, tahap pendirian sebuah kota, hampir selalu digambarkan
sebagai hasil kelompok orang, kadang-kadang dalam jumlah
yang banyak, yang berpindah-pindah untuk mencari tempat
yang sesuai untuk mendirikan negeri. Berbagai alasan
mengakibatkan perpindahan ini, seperti mendapat kekalahan
dalam perang atau mencari tempat baru bagi anak raja.11
Malikussaleh, Mutiara dari Pasai telah menunjukkan
teladan sebagai seorang pemimpin. Kendati ia ketika belum
lama menjadi seorang Muslim, dalam sekejap ia dapat
memperlihatkan sifat dan watak seorang Muslim yang baik
walaupun masih ada perbuatan yang dilakukan, seperti ketika

9 Kathiritamby Wells, ibid., hlm. 454.


10 Susanto Zuhdi, (ed.), Pasai Dalam Perjalanan Sejarah Abad Ke-13 Sampai
Awal Abad Ke-16, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah
Nasional, 1993), hlm. 83-95.
11 A.H. Hill, Hikayat Raja-Raja Pasai”, Journal of the Malayan Branch of the

Royal Asiatic Society (JMBRAS), XXXIII, part 2, 1960, hlm. 62.


Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 225

sebelum ia memeluk Islam, misalnya menyerahkan masalah


jodoh atau calon pengantin wanita kepada ahli nujum
sebagaimana disebutkan di Hikayat Raja-Raja Pasai.12 Pada
akhirnya Malikussaleh menuruti perkataan ahli nujum tersebut.
Memang perkawinan Malikussaleh dengan Putri Gangang Sari
dari Peureulak memperkuat kedudukan Samudera Pasai sebagai
kerajaan yang berideologikan Islam di kawasan tersebut. Ada
yang mengatakan bahwa Peureulak adalah kerajaan Islam yang
pertama dan tertua walaupun masih diperlukan penelitian yang
lebih lanjut. Namun apabila Hikayat Raja-Raja Pasai
menyebutkan sedikit tentang Peureulak kemungkinan Kerajaan
Peureulak telah berdiri lebih dahulu sebelum adanya Samudera
Pasai, dikarenakan Malikussaleh menjadi raja Pasai sewaktu ia
belum menikah, dan menikah dengan putri Raja Peureulak, jadi
ada kemungkinan Peureulak telah menjadi kerajaan yang sudah
mengalami kemajuan.13

12 Lihat Teuku Ibrahim Alfian, Kronika Pasai, sebuah tinjauan sejarah, …op.cit.,
hlm. 55.

13 Teuku Ibrahim Alfian, ibid., hlm. 56.


226 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Silsilah Malikussaleh, didalam Hikayat Raja-Raja Pasai:

Raja Ahmad Raja Muhammad


(Samarlanga) (Samarlanga)

anak angkat anak angkat


Meurah Gajah X Putri Betong

Puteri Ganggang Sari X Malikussaleh Meurah


Hasum

Malik az-Zahir

Malikul Mahmud Malikul Mansur

Sultan Ahmad

Laki-laki: Perempuan:
1. Tun Beraim Bapa 1. Tun Madum Pria
2. Tun Abdul Jalil 2. Tun Tukiah Dara
3. Tun Abdul Fadhil
Dan masih ada 25 orang lagi yang tidak disebutkan namanya.14

Silsilah Malikussaleh di Hikayat Raja-Raja Pasai agak


berbeda dengan silsilah Malikussaleh yang tercatat di Sejarah
Melayu yang tidak menyebutkan sama sekali nama Malikul
14 Teuku Ibrahim Alfian, ibid., hlm. 14.
Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 227

Mahmud yang apabila di Hikayat Raja-Raja Pasai merupakan


anak dari Malik az-Zahir dan cucu Malikussaleh, Bapak dari
Sultan Ahmad di Sejarah Melayu adalah Malik az-Zahir, teapi
kalau di Hikayat Raja-Raja Pasai adalah Malikul Mahmud.

Silsilah Dinasti Malikussaleh di Sejarah Melayu:

Malikussaleh X Putri Ganggang Sari

Malik az-Zahir Malikul Mansur

Sultan Ahmad

Sehubungan dengan keturunan raja-raja Pasai, Tome


Pires, seorang pengembara dari Portugis yang pernah
mengunjungi Pasai pada bulan Februari 1516, ia menyatakan
bahwa seratus enampuluh tahun yang lalu sebelum ia tiba di
Pasai, raja-raja Pasai belum beragama Islam telah dikalahkan
oleh pedagang-pedagang Islam yang akhirnya mengangkat raja
Isalm yang berasal dari kasta Benggala. Dengan kata lain Tome
Pires berpendapat bahwa Islam mulai tumbuh dan berkembang
di Pasai pada pertengahan abad ke-14. Keterangan Pires sama
sekali tidak sesuai dengan pembuktian sejarah yang lainnya,
yakni makam Sultan Malikussaleh yang wafat pada tahun 1297.
Sebelum wafat Malikussaleh memberikan nasehat-nasehat
kepada cucunya Malikul Mahmud agar memelihara amar bil
maruf wa nahi munkar, mengerjakan yang diperintahkan oleh
Allah SWT, dan menjauhkan laranganNya. Kesan yang amat
terpuji yang ditunjukkan oleh Malikussaleh sebelum ia wafat.
Hingga setelah dikuburkan jasadnya rakyat Pasai di masa itu
228 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

telah menganugerahkan nama Malikussaleh menjadi “Paduka


Sayid Almarhum Samudera”.15
Sejarah tentang raja-raja Islam di masa lalu khususnya di
Aceh apabila ditulis oleh pribumi cenderung menunjukkan,
bahkan menonjolkan kelebihan ketimbang kekurangan. Namun
jika sejarah itu ditulis oleh peneliti Barat maka sejarah tersebut
tidak akan terlepas dari pandangan atau bias penulis itu sendiri.
Tetapi tidak pernah dijumpai catatan tentang kekurangan dan
keburukkan Malikussaleh setelah ia memeluk Islam
dibandingkan dengan Sultan Iskandar Muda dari Kerajaan
Aceh Darussalam yang dicatat oleh penulis Barat sebagai raja
yang absolut dan menjalankan hukum Islam yang ketat dan
melampaui batas, tetapi ada kemungkinan ada perasaan sinisme
terhadap Iskandar Muda yang pernah menghukum potong
tangan dua orang Inggris yang mencoba membuat arak.16
Pada masa pemerintahan Sultan Malikussaleh memang
belum sepenuhnya memberlakukan hukum yang berdasarkan
Islam, mengingat Kerajaan Samudera-Pasai sebelumnya hanya
sebuah Kampung yang penduduk belum bisa lepas dari adat
dan kebiasaan lama mereka, misalkan menyabung ayam, atau
minuman keras. Hal itu disebutkan dalam Hikayat Raja-Raja
Pasai, tetapi setelah Malikussaleh memeluk Islam tidak
disebutkan bahwa Malikussaleh melakukan usaha untuk
menghilangkan kebiasaan tersebut.17 Tetapi sosok Malikussaleh
adalah peletak dasar hukum pemerintahan yang berdasarkan
Islam hingga Kerajaan Samudera-Pasai adalah pusat dakwah
Islam pertama di Nusantara.
Islamisasi di Pulau Jawa pada awalnya dilakukan oleh
Kerajaan Pasai hingga muncul kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Salah satu dari penyebaran agama Islam di Jawa oleh walisongo

15 Teuku Ibrahim Alfian, Kronika Pasai,…op.cit., hlm. 62-63.


16 Lihat Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, (terj.),
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hlm. 164.
17 Lihat Ayatrohaedi, “Struktur Masyarakat Pasai”, dalam Susanto Zuhdi,

(ed.), Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan kebudayaan RI,
1993), hlm. 4.
Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 229

(Sembilan wali), Maulana Malik Ibrahim adalah ulama yang


dikirim oleh Sultan Pasai untuk melakukan dakwah Islam ke
Pulau Jawa.18 Ia dianggap tokoh pencipta pondok pasantren
yang pertama, dan penggembleng muballiqh-muballiqh Islam
di tanah Jawa, yang kemudian mereka ini menyiarkan Islam ke
seluruh Jawa. Makamnya berada di Gersik, tidak jauh dari kota
Surabaya (Jawa Timur).19 Seperti kita ketahui bahwa ajaran
Islam masuk ke Pulau Jawa melalui proses yang agak sulit
karena kebiasaan agama Hindu masih melekat pada masyarakat
setempat, hal ini masih bisa kita lihat di upacara-upacara adat di
keraton-keraton Jawa. Dalam kebijaksanaan penyiar Islam oleh
para Wali Songo, di semua bidang harus melakukan
penyesuwayan diri dengan lingkungan masyarakat Jawa. Hal ini
terlihat ketika bangunan mesjidpun disesuaikan dengan rumah
peribadatan Hindu, seperti yang terdapat sekarang di mesjid
Kudus. Cerita-cerita Islampun dimasukan kedalam pewayangan
agar mudah di terima oleh masyarakat Jawa. Hal ini dilakukan
oleh Wali Songo karena untuk menghilangkan kecurigaan
penguasa-penguasa Hindu, dan motode inipun bisa membuat
rakyat tidak akan merasa kaget dan muda menerima ajaran
Islam.
Setelah Malikussaleh mendirikan sebuah kerajaan Islam di
Aceh, dampaknya sungguh besar dalam pertumbuhan dan
perkembangan Islam di Indonesia dikemudian hari. Dan
sebagai wujud yang nyata dimasa sekarang adalah julukan
daerah Aceh yang disebut dengan kota ”Serambi Mekkah”,
menurut Hamka apabila Sunan Bonang, salahsatu dari walisongo
sebelum ke Mekkah, ia harus memperdalam ilmunya di Kota
Pasai, lalu Kerajaan Malaka yang juga diislamkan oleh Pasai
meminta fatwa hukum Islam dari ulama Pasai untuk
memecahkan masalah-masalah agama.20

18 Lihat Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya

Hingga Abad XVI, dalam Ali Hasjmi, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam
di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 210.
19 Ismail Jakub, Sejarah Islam Indonesia, (Jakarta: Widjaya), hlm 31.
20 Hamka, “Aceh Serambi Mekkah”, dalam Ali Hasjmi, (ed.), Sejarah Masuk

dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 228.


230 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Sejarah tentang kejayaan Kerajaan Pasai yang dirintis oleh


Malikussaleh di masa lampau menjadi kebanggaan bagi Bangsa
Indonesia, khususnya masyarakat Aceh, yang merasa bahwa
seandainya Malikussaleh tidak berjuang untuk mendirikan
sebuah kerajaan Islam, belum tentu ajaran Islam mampu
meluas sampai sekarang di Indonesia. Walau setelah era
kerajaan Islam, yaitu jaman kolonial Barat menguasai
Nusantara, namun ajaran Islam tak pernah hilang dan
berkurang dibandingkan dengan ajaran agama-agama lainnya.
Aceh yang sampai sekarang identik dengan syariat Islam
yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.21 Disebabkan
melihat sejarah masa lalu Aceh yang berkaitan dengan
keberadaan Samudera-Pasai sebagai kerajaan Islam yang
pertama, dan pengaruh Islam yang kuat setelah itu, baik di
masa Kerajaan Aceh Darussalam, jaman kolonial, jaman orde
lama, orde baru, reformasi, dan NAD. Islam adalah agama
yang universal sehingga seorang Meurah Silu dapat tertarik
dengan ajaran Islam tersebut. Setelah Islam masuk di Aceh,
daerah ini sangat sulit dimasuki pengaruh dari agama lainnya,
kendati Belanda pernah mengutus ahli strateginya, Snouck
Hurgronje namun tidak berhasil meredupkan cahaya Islam
yang berada di Aceh.22 Mungkin Malikussaleh tak pernah
membayangkan sebelumnya bahwa kerajaan Islam yang
didirikanya telah memberikan dampak perubahan yang besar
terhadap negara ini. Kalau dilihat di buku sejarah nasional
masyarakat selalu mengagungkan kejayaan kerajaan Hindu dan
Budha yaitu Majapahit dan Sriwijaya, tetapi hanya sedikit
menonjolkan Samudera-Pasai sebagai sebuah kerajaan Islam
yang pernah berjaya. Ada kemungkinan hal ini adalah sebuah
propaganda kaum sekuler yang selalu mengecilkan nafas agama
Islam dalam setiap tulisannya. Hingga beberapa tahun yang
lalu seakan-akan nama Malikussaleh “tenggelam” ditelan Gajah

21 Lihat Undang-Undang Republik Indonesia, No. 40, tahun 2000.


22 M.Hasbi Amiruddin,“The Response Ulama Dayah to the Modernization
of Islamic Law in Aceh”, Thesis M.A. Mc Gill University , 1994, hlm. 66.
Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 231

Mada atau yang lainnya. Padahal kenyataannya, yang sering


mengadakan perang melawan penjajah Belanda yang notabene
Nasrani, hingga dapat merebut kemerdekaan negara ini, kaum
muslimin selalu paling depan. Seandainya Malikussaleh masih
hidup dan melihat kenyataan ini ia akan bangga sekaligus
mengelus dada bahwa bentuk kerajaan Islam yang didirikannya
pada masa lalu kini hanya sebuah tulisan sejarah saja,
sedangkan bentuk kerajaan yang berazaskan Islam tidak
mungkin diwujudkan disebabkan perlu perjuangan yang lebih
berat dibandingkan di masa lalu. kalau kita menelusuri sejarah
tidak pernah ada pergolakkan ketika peralihan dari jaman pra-
Islam ke Islam di Indonesia, bahkan Islam datang diterima dan
dianut secara meluas. Sementara ketika ajaran kristen masuk
harus melalui penjajahan Barat terlebih dahulu dan selalu
mendapat perlawanan yang keras dari setiap kerajaan di
Nusantara yang mayoritas bernafaskan Islam.
Pelajaran yang dapat dipetik dari perjalanan hidup
Malikussaleh adalah sikap hidupnya yang tak pernah menyerah
ketika dalam melakukan pengembaraan terjadi penolakan-
penolakan dari daerah-daerah di kawasan Aceh, kemudian
sampai ia berhasil menjadi seorang raja di suatu daerah, sampai
ia dapat menerima Islam sebagai agamanya.23 Sikap pantang
menyerah dan tidak putus asa adalah sikap seorang muslim
sejati, pada kenyataannya tercermin pada umumnya di
masyarakat Aceh yang terus melakukan perlawanan terhadap
penjajahan kolonial Barat. Sementara daerah lainnya sudah
takluk di tangan Belanda, namun negeri di mana Malikussaleh
lahir tidak ada kata akhir dalam melakukan perjuangan.
Sebagai kata akhir, adalah saran kepada Bangsa Aceh agar
melakukan upaya untuk membuat sejarah yang ditulis akan
dibaca oleh cucu orang Aceh, sebagaimana orang Aceh

23 H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh da Nusantara, (Medan: Pustaka Iskandar

Muda, 1961), hlm. 55.


232 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

membaca sejarah nenek moyang mereka. Dikarenakan walau


bagimanapun sejarah adalah cermin suatu bangsa.

Dari Aceh Islam ke Jawa Melalui Walisongo


Dalam sejarah Islamisasi di tanah Jawa, terkenallah
beberapa tokoh ulama besar yang sangat melekat pada ingatan
masyarakat Jawa, dan tokoh ulama-ulama tersebut sering sekali
mewarnai berbagai literatur pembahasan sejarah masuk dan
berkembangnya Islam di Jawa. sebuah wadah yang disebut
dewan dakwah, dimana dalam wadah ini adalah sembilan ulama
besar dan merekalah yang bertanggungjawab atas Islamisasi di
tanah Jawa. sembilan nama ulama besar ini terkenal kemudian
dengan sebutannya Wali Songo, (sembilan wali) yang beberapa
di antara mereka adalah berasal dari Pasai Aceh. Walisongo
atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah
Jawa di mulai dari abad ke 14. Mereka kemudian bertempat
tinggal di tiga wilayah penting yang berbeda di pantai utara
pulau Jawa, yaitu meliputi: Jawa Timur di daerah Surabaya,
Gresik, Lamongan. Jawa Tengah di daerah Demak, Kudus,
Muria. Dan di Jawa Barat yaitu di Cirebon. Karena ulama-
ulama ini dalam suatu dewan dakwah, maka apabila salah satu
anggota dewan ini meninggal, maka akan dicari penggantinya.
Sebenarnya, para ulama-ulama yang menyebarkan Islam di
Jawa tidak hanya terdiri dari sembilan wali saja, melainkan lebih
bahkan mereka terdiri dari beberapa periode, namun tokoh
ulama yang sangat terkenal dan memiliki pengaruh yang besar
ialah: Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang,
Sunan Giri, Sunan Drajad, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan
Kalijaga, Sunan Gunung Jati. Menurut KH. Mohammad
Dahlan, Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis
bersamaan, namun hubungan antara mereka memiliki
keterkaitan yang erat satu sama lainnya, baik dalam ikatan darah
(orang tua dengan anak) atau karena pernikahan, maupun
dalam hubungan sebagai guru dengan murid.
Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 233

Ketika masa Walisongo melaksanakan tugasnya yaitu


memperkenalkan agama Islam pada masyarakat Jawa, pada saat
itu adalah era (kekacauan) melemahnya dominasi Hindu-Budha
(Majapahit) dalam budaya Nusantara untuk kemudian
digantikan dengan kebudayaan Islam, dari awal abad 15 hingga
pertengahan abad 16. Dan sebelumnya di Aceh pada abad ke 9,
telah berdiri sebuah kerajaan Kesultanan Islam Peureulak, yang
kemudian menjadi kerajaan Islam terbesar dan megah di Asia
Tenggara pada masa Sultan Malikussaleh di abad 13. Jadi
dengan demikian terlihat jelas bahwa kerajaan Samudera Pasai
telah berkontribusi besar dalam meng-Islamkan masyarakat
Jawa dengan melihat pendekatan abad, dan saat itu pula para
Mubaliqh dari Pasai di tugaskan untuk berdakwah ke Jawa yaitu
yang dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim, yang kemudian
dikenal Walisongo. Walisongo dalam pandangan masyarakat
Jawa adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya
di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan
memperkenalkan Islam. Namun peranan mereka (Walisongo)
yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa,
juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas
serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini
lebih banyak mendapat perhatian dibanding tokoh yang lain.
Kemudian dalam metode dakwah yang dilakukan oleh para
Walisongo memiliki keunikan masing-masing yang satu sama
lain cenderung tidak sama dan melakukan penyesuaiyan dengan
masyarakat setempat, hal ini disebabkan karena para Walisongo
telah memahami konteks sosial-politik masyarakat Jawa yang
telah lama di bawah bimbingan Majapahit yang berpaham
dinamisme dan animisme. Jadi singkretisme dalam kepercayaan
(Islam) di Jawa sampai saat ini merupankan warisan Majapahit.
Selain itu, Para Walisongo merupakan kumpulan orang-orang
intelektual yang menjadi pembaharu bagi masyarakat Jawa pada
masanya. Pengaruh mereka terasa dalam beragam bentuk
manifestasi peradaban baru di Jawa, selain memiliki
pengetahuan agama yang tinggi, para Walisongo juga
mengajarkan cara menjaga kesehatan, bercocok tanam,
234 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga


perihal kepemerintahan.
Mengenai asal dari mana para Walisongo, banyak orang
sedikit sekali menyadarinya bahwa empat dari sembilan wali
yang menyebarkan agama Islam di Jawa berasal adalah dari
Samudera Pasai.24 Hal ini terjadi karena tidak ada perhatian
serius (penelitian secara mendalam) dari berbagai pihak baik di
Aceh maupun ilmuan di Jawa. mereka dalam mengkajinya
cenderung tersamarkan referensi mengenai kejayaan kerajaan
Islam Aceh, tetapi memang demikianlah faktanya sekarang.
Mungkin sebagian generasi baru di Aceh dan para ilmuan di
Jawa tidak memahami bahwa, Belanda punya kecenderungan
untuk tidak mengakui keagungan kerajaan Islam dan upaya
kerajaan Islam Pasai dalam islamisasi di Nusantara, (Belanda
melakukan ini untuk kelancara zendeling-misionaris di bumi
Nusantara). Alhasil, kajian-kajian yang dilakukan oleh ilmuan
yang di Jawa menjadi kontradiktif dengan faktanya, dan ini
berlangsung begitu saja tampa ada kajian yang kritis kemudian.
Selain itu, sejarah yang kontradiktif ini menjadi mata pelajaran
untuk generasi bangsa berikutnya semenjak negara Indonesia
lahir, ataupun memang ada unsur-unsur tidak ada tempat
sejarah kerajaan Islam Pasai dalam pengetahuan anak bangsa
Indonesia, sehingga menjadikannya samar dan gelap. Padahal
kerajaan Islam Samudera Pasai telah banyak melakukan
dakwah-dakwah ke sebahagian wilayah-wilayah Asia Tenggara.
Telah berlangsung lama mengenai, dari manakah asal
mula seorang wanita yaitu Puteri Champa yang telah menjadi
pendamping hidup (istri) dari Raden Prabu Barawijaya V. Dan
Raden Prabu Barawijaya sendiri adalah Raja terakhir dari
Kerajaan Hindu Majapahit di Jawa. kemudian, dari hasil
perkawinan ini telah melahirkan seorang putra yang kemudian
di kenal yaitu Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan Islam
Demak. Kemunculan Kerajaan Islam Demak pertama ini
adalah menandakan mengsaingi Kerajaan Hindu Jawa yang

24Lihat : “Kerajaan Islam Samudra Pasai ” H. Rosihan Anwar,


Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 15 Maret 1988
Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 235

terpaksa kalah dan berakhir kekuasaannya di Jawa. Untuk


mengkaji lebih mendalam lagi, maka akan di gunakan dua
pendekatan teori dan akan membahas dua teori tersebut secara
lebih luas lagi. teori yang Pertama yang dikemukakan oleh
Christiaan Snouck Hurgroje25 dan para peneliti Belanda
lainnya, menyatakan yaitu: bahwa daerah Champa beranggapan
di sekitar wilayah Kambodia (Vietnam sekarang). Dari asumsi
ini, kemudian mereka menyatakan bahwa Wali Songo dalam
proses melakukan Islamisasi di Jawa menjadikan daerah
Champa-Kambodia ini sebagai tempat basis perjuangan.
Kemudian mereka beranggapan lagi bahwa, di Champa-
Kambodia peradaban Islamnya lebih besar dan maju dari pada
di Aceh. Padahal, di Champa-Kambodia masa itu sedang di
perintah oleh Che Bong Nga 1360-1390 Masehi, dan tidak ada
sumber yang jelas apakah Raja ini Muslim atau bukan. Namun
pada umumnya agama Buhda adalah mayoritas penduduk
Kambodia sampai sekarang, hal ini bisa di lihat dari banyaknya
peninggalan kuil-kuil dan sulit menemukan bagunan masjid di
sana.
Disi lain, mengenai literatur hubungan Penguasa Champa
dengan Islam tidak banyak, ditambah lagi tidak ditemukannya
bukti kegemilangan (era-emas) Islam disana. Hal ini berbeda
jika dibandingkan sebagaimana yang ditinggalkan para
pendakwah di Perlak, Pasai dan Malaka. Ketika itu, di Champa
Kambodia yang bersamaan masa Maulana Malik Ibrahim
sedang terjadi pembantaian terhadap kaum Muslim yang
dilakukan oleh Dinasti Ho yang membalas dendam atas
kekalahannya pada pasukan Khulubay Khan, Raja Mongol yang
Muslim. Jadi sangat mustahil bagi Walisongo untuk menjadikan
25 Christiaan Snouck Hurgroje adalah Orientalis Belanda yang
pernah mempelajari Islam sampai pergi ke tanah Arab, dan ia tiba di
Jeddah pada tanggal 28 Agustus 1884. Dalam upayanya itu ia berpura-pura
memeluk agama Islam (menggati namanya menjadi Abdul Gaffar) untuk
kelancaranya mengali informasi kelemahan umat Islam, di Mekkah. Atas
saranya itu pemerintah Hindia Belanda menerapkan divide et impera (politik
adu domba) di Nusantara khususnya di Aceh untuk memecah perjuangan
umat Islam.
236 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Champa Kambodia sebagai basis perjuangan Islam di sana


dengan kondisi seperti itu. Namun teori dari orientalis Belanda
ini banyak di jadikan rujukan oleh ilmuan-ilmuan yang berada
di Indonesia khususnya di Jawa.
Sedangkan teori yang kedua datang dari Raffles26 yang
ber-argumen bahwa: Champa yang banyak di asumsi orang
Indonesia bukan berada di Kambodia (Vietnam) sekarang,
sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Akan
tetapi, munurut Raffles, Champa adalah sebuah nama daerah di
sebuah wilayah tepatnya berada di Aceh, dan masyarakat Aceh
setempat menyebut daerahnya itu dengan nama ”Jeumpa”,
sekarang dikenal daerah ini dengan nama kabupaten Aceh
Jeumpa kota Bireun. Kata Jeumpa bagi dialek bahasa Jawa pada
saat itu menjadi kata Champa, karena salah penyebutan itu
akhirnya bagi ahli sejarah berikutnya mengalamatkan
(menghubungkan) Walisongon dengan kerajaan Champa
Kambodia dan Vietnam sekarang. Kata Jeumpa di Aceh sendiri
terurai indah dalam sebuah lagu clasik Aceh dengan potongan
liriknya, “bungong Jumpa bungong Jumpa meugah di Aceh” (bungan
Jeumpa-bungan Jeumpa megah di Aceh). Makna dari Bungan
Jeumpa adalah, wanita27 daerah Jeumpa Aceh terkenal ke
penjuru dunia baik karena kecantikannya, (seperti kisah:
Permaisuri28 Maha Prabu Brawijaya V), keperkasaannya (seperti

26 Sir TS. Raffles adalah Gubernur Jendral Hindia Belanda dari

Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, dalam bukunya The
History of Java.
27 Kata Jeumpa dengan Aceh di Nusantara, sering dikaitkan dengan

puteri-puterinya yang cerdas dan cantik jelita, buah persilangan antara


Arab, Parsi, India dan Melayu, yang di Aceh. Kecantikan dan kecerdasan
puteri-puteri Jeumpa (Aceh) sudah menjadi wacana tersendiri bagi
pembesar-pembesar istana Perlak, Pasai, Malaka, bahkan sampai ke Jawa.
Oleh karena itu seorang raja Jawa Maharaja Majapahit, Barawijaya V sangat
mendambakan seorang permaisuri dari Jeumpa. Bahkan dalam Babat
Tanah Jawi, disebutkan bagaimana sang Prabu mabok kepayangnya ketika
bertemu dengan Puteri Jeumpa yang datang bersama dengan rombongan
Maulana Malik Ibrahim.
28 Permaisurinya Maha Prabu Brawijaya V adalah Puteri Jeumpa

yang berasal dari Aceh, dari pasangan ini kemudian melahirkan Raden
Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 237

kisah Cut Nya Dien, Malahayati), kepemimpinan (seperti kisah


Ratu-ratunya Aceh) dan lain-lainnya. Dalam Babad Tanah Jawi,
di sebutkan bahwa ”Putri Champa” adalah istri Prabu
Brawijaya V, ia bernama Anarawati (Dwarawati) dan ia
beragama Islam. Kemudian, masih dalam kisah yang sama
bahwa putri Champa-lah yang melahirkan Raden Fatah. Raden
Fatah sendiri oleh ibunya menyerahkan pendididikan putranya
itu kepada keponakannya yaitu pada Sunan Ampel (Raden
Rahmat) yang berada di Ampeldenta Surabaya. Dalam
perjalanan yang panjang Raden Fatah kemudian menjadi Sultan
pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama
di tanah Jawa.
Sebuah keyataan yang harus di terima oleh Putri Champa,
ia meninggalkan daerah kelahirannya untuk pergi ke tanah
Jawa, konon suaminya pada saat itu masih beragama Hindu.
Berhubung adanya sebuah misi besar yang akan di lakukan oleh
Ulama Maulana Malik Ibrahim, maka wanita inipun ikut
melakukan perjuangan islamisasi di Jawa, dan Maulana Malik
Ibrahim sendiri adalah ketua dari rombongan dewan dakwah
yang di tugaskan oleh Sultan Muslim kerajaan Islam. (ketika
itulah putri Champa menjadi istrinya Prabu Brawijaya V).
Sebuah sikap yang sangat berani di ambil oleh Putri Champa,
takalah pada saat itu ia rela meninggalkan kompleks lingkungan
istana Majapahit dengan tujuan agar anaknya mendapat
pendidikan agama Islam yang baik pada Raden Rahmat (Sunan
Ampel). Dan Sunan Ampel juga di lahirkan di daerah yang
sama dengan Putri Champa di kerajaan Islam yang mega itu.
Syeh Maulana Malik Ibrahim adalah seorang tokoh ulama
besar yang pertama-tama yang memperkenalkan Islam
(Islamisasi) di Jawa, Banyak Para ahli sejarah yang
memperkirakan Maulana Malik Ibrahim berada Champa selama
13 tahun lamanya, antara tahun 1379 sampai dengan 1392.
Untuk menghindari multi tafsir atas kata Champa, asal dari

Fatah, Sultan pertama Kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam pertama di


tanah Jawa.
238 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

mana Putri Champa, Maulana Malik Ibrahim, dan


rombongannya itu, maka di sini akan melakukan perbandingan
mengenai Champa di Aceh dengan Champa di Kambodia.
Sultan Cam atau Sultan Champa adalah Wan Abdullah atau
Sultan Umdatuddin atau Wan Abu atau Wan Bo Teri atau Wan
Bo, yang memerintah pada tahun 1471 M - 1478 M. Dan
Sultan Cham ini adalah anak saudara dari Maulana Malik
Ibrahim, yaitu anak dari adik beliau bernama Ali Nurul Alam,
dari ibu keturunan Patani-Senggora di Thailand sekarang.
Berdasarkan silsilah Kerajaan Kelantan Malaysia, adalah:
Sultan Abu Abdullah (Wan Bo) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam)
ibni Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra)
ibni Ahmad Syah Jalal ibni Abdullah ibni Abdul Malik ibni
Alawi Amal Al-Faqih ibni Muhammas Syahib Mirbath ibni ‘Ali
Khali’ Qasam ibni Alawi ibni Muhammad ibni Alawi ibni Al-
Syeikh Ubaidillah ibni Ahmad Muhajirullah ibni ‘Isa Al-Rumi
ibni Muhammad Naqib ibni ‘Ali Al-Uraidhi ibni Jaafar As-
Sadiq ibni Muhammad Al-Baqir ibni ‘Ali Zainal Abidin ibni Al-
Hussein ibni Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW.
Raja Champa yang merupakan mertua Maulana Malik
Ibrahim, sekaligus ayah kandung dari Puteri Champa ini
menjadi kurang tepat jika di jadikan sebuah asumsi demikian.
Padahal jika dikaitkan dengan fakta di atas (sisila Kerajaan
Kelantan Malaysia), mustahil mertua Maulana Malik atau ayah
”Puteri Champa” itu adalah Wan Bo (Wan Abdullah), karena
menurut silsilah dan tahun kelahirannya, beliau Wan Bo (Wan
Abdullah) adalah anak saudara Maulana Malik yang keduanya
terpaut usia 50 tahun lebih. Raden Rahmat (Sunan Ampel)
sendiri lahir pada tahun 1401. Dengan demikian sangat
berkemungkinan yang dimaksud dengan Kerajaan Champa
tersebut bukan Kerajaan Champa yang dikuasai Dinasti Ho
Vietnam, tapi sebuah perkampungan kecil yang berdekatan
dengan Kelantan. Pendapat yang lain juga mengatakan Champa
itu berdekatan dengan daerah Fatani, Selatan Thailand
berdekatan dengan Songkla, yang merujuk daerah Senggora.
Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 239

Jamaluddin pertamanya ia menjejakkan kakinya ke


Kemboja dan Aceh,29 kemudian belayar ke Semarang dan
menghabiskan waktu bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya
melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis, dan dia
meninggal disana. (al-Haddad 1403 :8-11). Diriwayatkan pula
beliau menyebarkan Islam ke Nusantara bersama rombongan
kaum kerabatnya. Anaknya Saiyid Ibrahim, yaitu Maulana Malik
Ibrahim ditinggalkan di Aceh untuk mendidik masyarakat
setempat dalam bidang ilmu keislaman. Kemudian, Saiyid
Jamaluddin ke Jawa, selanjutnya ke negeri Bugis pada tahun
1452 M, dan meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan) pada
tahun 1453 M. Dengan demikian terlihat jelas bahwa, yang ke
Kamboja itu adalah ayahnya Maulana Malik Ibrahim, yaitu
Saiyid Jamaluddin yang menikah di sana dan menurunkan Ali
Nurul Alam. Sedangkan mayoritas ahli sejarah menyatakan
Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia pada
paruh awal abad ke-1430. sehingga ia di gelar Syekh Maghribi.
Dan Maulana Malik Ibrahim sendiri dibesarkan di Aceh, dan ia
menikah dengan puteri Aceh yang dikenal sebagai Puteri Raja
Champa, yang melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Kawasan Jeumpa (Champa) pada saat itu merupakan mitra
Kerajaan Pasai yang menjadikan tempat jalur dan tempat
peristirahatan yang menuju ke Kota seperti seperti Barus,
Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak. Dan selain itu,
Kerajaan Pasai merupakan tempat pengembangan Islam, dan
dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dari seluruh
penjuru dunia. Sedangkan Sultan-Sultan Kerajaan Aceh sangat
gemar berbahas tentang masalah-masalah agama di istananya,
dan disitupun banyak berkumpul sejumlah ulama besar seperti
dari Persia, India, Arab dan dari lain-lainnya.

29 lihat Martin Van Bruinessen yang telah memetik tulisan dari

Saiyid ‘Al-wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya Kitab Kuning.


30 Lihat versi Meinsma, dalam Babad Tanah Jawi. Ia menyebutkan

Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-


Samarqandy.
240 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Menurut Ayzumardi Azra31 dalam Jaringan Ulama


Nusantara, ia menjelaskan bahwa hubungan dakwah yang
menggunakan jalur laut pada saat itu sudah terjalin sangat
bagus yang berhubungan lintas pulau dan benua, misalnya
seperti Jawa-Pasai-Gujarat-Persia-Muscat-Aden sampai Mesir.
Sementara di wilayah Aceh yaitu di Jeumpa, lebih mungkin
berada sebagai pusat gerakan untuk para ulama-ulama,
ketimbang di Champa Kambodia sebagai jaringan ulama dan
hal ini sulit karena Kambodia-Vietnam sendiri mengalami iklim
tidak kondusif dan tidak stabil yang menguntungkan Islam.
Kerajaan Pasai merupakan tempat pusat Islamisasi Nusantara,
oleh dasar itu, maka kerajaan Islam Pasai tentunya mempunyai
kepentingan dalam rangka menumbangkan Kerajaan Jawa
Majanpahit yang beragama Hindu, karena Kerajaan Majanpahit
adalah satu-satunya penghalang utama untuk pengislaman
tanah Jawa. Di Kerajaan Pasai merupakan tempatnya
berkumpul berbagai para Ulama dari berbagai latar belakang
dan para cerdik pandai Kerajaan Pasai, mereka inilah yang
kemudian menyusun strategi terus menerus dengan segala
jaringannya untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu itu.
Salah satu dari satrategi itu adalah, ditempuhlan jalan diplomasi
dan dakwah oleh para duta dari Kerajaan Pasai. Maulana Malik
Ibrahim di percayai sebagai kepala rombongan sekaligus ia
utusan senior dari para pendakwah. Strategi yang lainya juga
yaitu yang dianggap bijak melalui jalur perkawinan, antara
Puteri Jeumpa (Dwarawati) dengan Prabu Brawijaya V. Dari
hasil perkawinan ini sejarah mencatat bahwa lahirlah Raden
Fatah yang kemudian menjadi Sultan Kerajaan Islam Demak
pertama, yang kemudian menumbangkan Kerajaan Jawa
Majapahit dan kerajaan-kerajaan Hindu lainya.
Hubungan satu sama lain di antara para pendakwa
Walisongo bisa dilihat sebagai berikut, baik dalam ikatan darah
(orang tua dengan anak), pernikahan, maupun dalam hubungan
sebagai guru dengan murid:

31 Lihat Ayzumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan


Kepulauwan Nusantara Abad 17 Dan Abad Ke 18, (Bandung: Mizan, 1994).
Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 241

(1). Maulana Malik Ibrahim: Ia bersaudara dengan Maulana


Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, dan Maulana Ishak
sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan
Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia. Pasai
merupakan tempat kediaman Maulana Malik Ibrahim, sang
toko utama dan pertama dari gerakan Wali Songo yang
berperan dalam pengembangan Islam dan melahirkan para
Ulama di tanah Jawa. Mayoritas ahli sejarah menyatakan
Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia,
sehingga di gelar Syekh Maghribi. Beliau sendiri dibesarkan
di Aceh dan menikah dengan puteri Aceh yang dikenal
sebagai Puteri Raja Champa, yang melahirkan Raden
Rahmat (Sunan Ampel). Maulana Malik Ibrahim meninggal
di Gresik tahun 1419 M, dan Makamnya yang terletak
dikampung Gapura di Gresik.

(2). Sunan Ampel: atau Raden Rahmat yang dikatakan lahir di


Champa yang merupakan Jeumpa-Aceh, kemudian hijrah
pada tahun 1443 M ke Jawa dan mendirikan Pesantren di
Ampeldenta Surabaya, ia adalah seorang ulama besar, yang
tentunya mendapatkan pendidikan yang memadai dalam
lingkungan Islami. Sunan Ampel adalah anak dari Maulana
Malik Ibrahim dengan Putri Raja Champa. Putri Raja
Champa adalah wanita asal Jeumpa-Aceh. Sunan Ampel
kemudian kawin dengan putri Tuban bernama Nyai Ageng
Manila, dari perkawinannya ini beliau memperoleh 4 orang
anak: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), Putri
Istri Sunan Kalijaga. kemudian Sunan Ampel wafat pada
tahun 1425 M, serta dimakamkan di Tuban.

(3) Sunan Bonang: atau Raden Maulana Makdum Ibrahim,


kemudian masyarakat Jawa lebih mengenal dengan sebutan
Sunan Bonang, ia adalah seorang putera dari Sunan Ampel.
Sunan Bonang mendapat pendidikan agamanya pada
ayahnya sendiri yaitu Sunan Ampel. Sunan Bonang daerah
242 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

tugas dakwah-Islamisasi semasa hidupnya adalah terutama


di wilayah Tuban dan sekitarnya (Jawa Timur), dan ia
dikenal seorang ulama semasa hidupnya yang gigih dan giat
sekali menyebarkan agama Islam. Sunan Bonang juga
mendirikan pondok pesantren di daerah Tuban, di
pasantren ini pula ia mendidik serta menggembleng kader-
kader muda Islam yang kemudian merekalah yang akan
ikut juga menyiarkan agama Islam ke seluruh tanah Jawa.
konon beliaulah yang menciptakan gending Dharma serta
berusaha mengganti nama-nama hari nahas (hari sial)
menurut kepercayaan Hindu, serta Sunan Bonang
mengantikan juga nama-nama dewa Hindu dengan nama-
nama malaikat dan nama nabi-nabi.
Di masa hidupnya, beliau juga termasuk orang yang
membantu berdidinya kerajaan Islam Demak. serta ia ikut
pula membantu mendirikan Masjid Agung di kota Bintoro
Demak. Pada masa hidupnya Sunan Bonang pernah belajar
ke Pasai. Pada saat itu di Pasai terdapat perguruan tinggi
Islam, dengan kata lain Sunan Bonang juga alumni
perguruan tinggi Islam yang sudah berkembang pesat di
Aceh. Sekembalinya dari Pasai, Sunan Bonang
memasukkan pengaruh Islam ke dalam kalangan
bangsawan dari keraton Majapahit, serta mempergunakan
Demak sebagai tempat berkumpul bagi para murid-
muridnya. Sunan Bonang juga adalah yang memberikan
pendidikan Islam kepada Raden Patah putera dari
Brawijaya V, dari kerajaan Majapahit, dan menyediakan
Demak sebagai tempat untuk mendirikan negara Islam. hal
ini terlihat dari kepintaranya yang tampak berpolitis, dan
Sunan Bonangpun rupanya tercapai cita-citanya (impian)
atas terbangunnya kerajaan Islam di Demak. Sunan
Bonang diperkirakan lahir pada tahun 1465 M, serta
meninggal dunia pada tahun 1525 M.

(4). Sunan Giri: lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada


1442 M. Maulana Malik Ibrahim memiliki seorang saudara
Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 243

yang terkenal sebagai ulama besar di Pasai, bernama


Maulana Saiyid Ishaq. Maulana Saiyid Ishaq inilah sekaligus
ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Maulana Saiyid Ishaq
ayahnya (Sunan Giri) itu awalnya tinggal di Jawa kemudian
pergi ke Pasai-Aceh dan ia tidak kembali lagi ke tanah
Jawa, maka Raden Paku atau Sunan Giri kemudian diambil
sebagai putera angkat oleh seorang wanita kaya yang
bernama Nyi Gede Maloka. Dalam Babad Tanah Jawa,
disebut bernama dengan Nyai Ageng Tandes atau Nyai
Ageng. Sunan Giri mendapat pendidikannya pada Raden
Rahmat (Sunan Ampel). Dalam masa pendidikan itulah
Raden Paku bertemu dengan Maulana Makdum Ibrahim,
putera-puteranya Sunan Ampel yang bergelar Sunan
Bonang. Suatu ketika, Sunan Ampel memerintahkan
kepada Maulana Makdum Ibrahim dan Raden Paku untuk
pergi menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Dalam
perjalanan menuju ke tanah Suci itu, mereka singgah
terlebih dahulu di Pasai-Aceh untuk menuntut ilmu pada
para ulama di tempat tersebut. Raden Paku yang kemudian
bergelar Syekh Ainul Yaqin32 mengadakan tempat
berkumpul di pondok pesantrennya di Giri, itu sebabnya ia
dijuluki Sunan Giri. Dimana murid-muridnya terdiri pada
orang-orang kecil (rakyat jelata). Kontribusinya dalam hal
bidang lain misalnya, ia adalah ulama yang mengirim
utusan (muridnya) ke beberapa wilayah ke luar Jawa.
murid-muridnya itu didelegasikan misalnya ke Bawean,
Kagean, Ternate, Haruku kepulauan Maluku, dan Madura.
Amatlah besar kontribusinya itu jika kita melihat dari
kegiatan yang ia lakukan. Sunan Giri ketika meninggal
dunia dimakamkan di atas bukit Giri (Gresik). Dan
kemudian pasca beliau (Setelah Sunan Giri) meninggal

32 Nama Syekh Ainul Yaqin diperoleh ketika ia telah tamat

menuntut ilmu di Pasai, “Ainul Yaqin” yang di sandang itu adalah


pemberian dari gurunya yang berada di Pasai. Dan Raden Paku berhasil
mendapat Ilmu Laduni.
244 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

dunia, berturut-turut digantikan oleh yang lain seperti


Sunan Delem, Sunan Sedam Margi, Sunan Prapen.

(5). Sunan Drajad: atau Syarifuddin lahir pada tahun 1470 M.


adalah seorang putera dari Sunan Ampel, (Sunan Drajad
adalah cucunya Maulana Malik Ibrahim dari Pasai). Nama
Sunan Drajad ketika kecil yaitu Raden Qosim, Sunan
Drajat juga adalah ikut pula mendirikan kerajaan Islam di
Demak dan menjadi penyokongnya yang setia, daerah
dakwahnya di Jawa Timur dan ia terkenal seorang waliullah
yang berjiwa sosial. Dalam pengajaran tauhid dan akidah,
Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak
banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara
penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang
dilakukan Sunan Muria.

(6). Sunan Muria: Dilahirkan dengan nama Raden Umar Said


atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, dia adalah
putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi
Soejinah, putri Sunan Ngudung. Nama Sunan Muria
sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung
Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa
Tengah. Sunan Muria seringkali menjadi penengah, takala
konflik internal di kerajaan Kesultanan Demak muncul
(1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu
memecahkan berbagai masalah. solusi yang di
tawarkanyapun selalu dapat diterima oleh semua pihak
yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu,
Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Gaya berdakwahnya
banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun
berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal
di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk
menyebarkan agama Islam.

(7). Sunan Kudus: adalah cucu dari Usman Haji yang berasal
dari Aceh. Ibu Sunan Kudus adalah adik kandung Sunan
Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 245

Bonang. Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Jaffar


Shadiq dan Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun
1550. Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah
Mesjid di desa Kerjasan, Kudus Kulon, yang kini terkenal
dengan nama Masjid Agung Kudus. Sekarang Masjid
Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus, Jawa
Tengah. Dalam upaya untuk menghormati penganut agama
Hindu, Sunan Kudus pernah meminta kepada masyarakat
pada masanya untuk tidak memotong hewan kurban sapi
dalam perayaan Idul Adha dan mengantikannya dengan
kerbau, pesan untuk menggatikan sapi dengan kurban
kerbau ini masih banyak didapati berlangsung pada
masyarakat Kudus hingga saat ini. Sunan Kudus pernah
menjabat sebagai panglima perang untuk Kesultanan
Demak, dan dalam masa pemerintahan Sunan Prawoto, dia
menjadi penasihat bagi Arya Penangsang. Selain sebagai
panglima perang untuk Kesultanan Demak, Sunan Kudus
juga menjabat sebagai hakim pengadilan bagi Kesultanan
Demak.

(8). Sunan Kalijaga: Lahir sekitar tahun 1450 M. Ayahnya


adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban keturunan dari tokoh
pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya
Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam Nama kecil
Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki
sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya,
Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman. Dalam
dakwah, ia punya pola yang sama dengan sahabat dekatnya,
Sunan Bonang. Pemahaman cenderung “sufistik berbasis
salaf” bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga
memilih jiwa kesenian dan kebudayaan sebagai sarana
untuk berdakwah, ia sangat toleran pada budaya lokal.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan singkretis dalam
mengenalkan Islam.
246 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

(9). Sunan Gunung Jati: Sunan Gunung Jati atau Syarif


Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin
putra Ali Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin
Akbar, dan Syekh Jamaluddin Akbar sendiri adalah yang
berasal dari Aceh. Dengan kata lain, Sunan Gunung Jati
adalah cucunya dari Syekh Jamaluddin Akbar. Sunan
Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir
sekitar tahun 1448 M.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, nama ini
lambatlaun berubah pengucapannya menjadi Fattahi’lah.33
Fatahillah dikenal juga sebagai ulama yang pemberani
dalam perperangan, ia mengusir Portugis dari pelabuhan
perdagangan Sunda Kelapa, dan kemudian memberi nama
daerah tersebut dengan nama "Jayakarta" yang berarti Kota
Kemenangan. Kemudian berubah lagi namanya menjadi
Jakarta yang kita kenal salama ini. Fatahillah adalah anak
dari salah seorang wazir (petinggi kerajaan), dan ia
sekaligus juga seorang ulama yang kemudian pergi
meninggalkan Pasai menuju Mekah, ketika daerah tersebut
dikuasai oleh Portugis. Pada saat Fatahillah kembali ke
Pasai, ternyata Pasai masih dikuasai oleh Portugis sehingga
ia menuju ke Demak pada awal abad ke 15 M, Demak
dimana pada masa itu pemerintahan Raden Trenggono.
Kemudian Fatahillah dinikahkan dengan salah seorang adik
Sultan Trenggono. Ada pendapat lain yang mengatakan
bahwa, Fatahillah pergi ke Mekkah selama tiga tahun untuk
memperdalam ilmu agama. Kedatangan Fatahillah ke Jawa
pada saat itu disambut sangat baik oleh Sultan Demak
(Pangeran Trenggono). Kemudian Sultan Demak
memberikan dukungan penuh kepada Fatahillah untuk
merebut Sunda Kelapa dan Banten dari kerajaan Pajajaran
yang bersekongkol dengan Portugis, dan Fatahillah
mendapat kemenangan. Pada tahun 1527 M, dan atas
prestasi besar yang di perolehnya itu maka ia diangkat
menjadi Bupati Sunda Kelapa oleh Sultan Demak.
33 Ismail Jakup, Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Widjaya) hlm 31.
Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 247

Kemudian pada tanggal 22 Juni 1527 Fatahillah mengubah


nama Bandar Sunda Kelapa menjadi nama Jayakarta. Inilah
cikal bakal awal berdirinya kota Jakarta sebagai ibu kota
Negara Republik Indonesia.

Jejak Islam di Nusantara


Di Indonesia, Islam pada awalnya di bawa oleh kaum
saudagar. Mereka pada umunya ketika masih pertama sekali
tidak menetap, tetapih mereka pulang pergi antara negerinya
dan negeri yang di singgahinya. Para saudagar ini bukanlah
orang-orang yang ahli agama, tetapi setelah rakyat sudah
memeluk agama Islam, maka baru kemudian para guru-guru
agama datang ke Nusantara, baik atas kemauan sendiri atau
karena di ajak oleh para saudagar untuk mengembangkan
agama Islam.
Pada tahun 132 H, Kerajaan Bani Umayah yang berpusat
di Damaskus kemudian digantikan oleh kerajaan Bani Abbas
yang perpusat di Bagdad, yang kemudian ikut juga membawa
pengungsi-pengungsi Arab mengembara ke belahan Timur dan
ke kawasan Barat. Kerajaan Abbasiyah yang di dukung oleh
Persia, berdiri dan berkembang sedemikian cepatnya.
Sedangkan keluarga Bani Umaiyah yang telah mengalami
kehilangan kekuasaannya itu menyingkir ke luar negeri. Ada
yang ke jurusan Barat seperti Amir Abdurahman bin
Mu’awiyah bin Hisyam, demikian pula ke jurusan Timur
mereka tersebar kesepanjang jalan dari Arabia ke Irak,
Afganistan, india, dan sekitarnya. Setelah agama Islam
berkembang di negeri-negeri tersebut dan melahirkan Ulama-
ulama, lalu kemudian bersama-sama orang Arab asli mereka
mengembangkan Islam ke benua Timur hingga sampai ke
tanah air Nusantara. Kedatangan para ulama-ulama itu semakin
memperkuat eksistensi Islam dan mazhab yang sangat
menonjol adalah Syafi’i. Mazhab Hanafi lebih berkembang di
India atau mazhab Syi’ah di Persia.
248 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Pengaruh mazhab Syafi’i sampai sekarang di Indonesia


sangat kental, walaupun mazhab yang lain juga turut mewarnai.
Hal ini terjadi di sebabkan karena mazhab Safi’ilah yang sangat
kuat dianut di Makkah yang kemudian mengalir ke Nyaman,
terus ke Hadramaut, singgah di Malabar dan langsung ke
Nusantara di Pasai. Kedatangan Islam dari Mekkah ke
Nusantara yang berlambangkan dari Syech Ismail, utusan syarif
dari Mekkah yang singgah di Malabar mengambil seorang guru
keturunan Abubakar Ashsidiq untuk di bawa ke Aceh.34 Di
daerah Aceh inilah kemudian berdiri kerajaan-kerajaan Islam
seperti Kerajaan Daya di Aceh Besar, Kerajaan Pasai Aceh
Utara, Kerajaan Pereulak Aceh Timur, dan kerajaan Pidie di
Aceh Pidie.
Dalam perkembangannya, di Kerajaan Samudera Pasai
inilah digodok tenaga-tenaga ahli agama Islam untuk
melakukan penyiaran agama ke daerah luar Aceh, dan tidak
hanya itu para kader-kader pejuang Islam ini juga mempelajari
dalam bidang peperangan dan pertahanan, dan bidang-bidang
lain. Mulanya agama Islam tersebar hanya di bahagian pesisir
kota saja yang mudah dilalui oleh Muballiq-muballiq Islam.
Waktu itu di bagian pedalaman masyarakatnya masih dalam
pengaruh kepercayaan serba roh, (dinamisme-animisme) yang
merupakan latar belakang dari kepercayaan Hindu. Bagi
sebahagian kecil orang-orang pesisir yang masih belum mau
menganut agama Islam mereka pindah ke pedalaman.
Demikianlah sikap masyarakat sebahagian yang tidak mau
masuk Islam lalu mereka memilih untuk mengungsi jauh
kepedalaman.
Dari kerajaan Samudera Pasai ini kemudian Islam
berkembang ke tiga jalur jurusan. Tiga jalur jurusan penyebaran
tersebut bisa kita lihat, pertama ke arah Pidie, Aceh besar, Daya,
Trumon, Barus, Pariaman, dan sekitarnya sepanjang pesisir
selatan pulau Sumatra. Keduan ke arah Malaka dan pulau-pulau
sekelilingnya, ketika Islam sudah masuk ke Malaka kemudian
perkembangannya terus-menerus berlanjut ke daerah-daerah
34 Ismail Jakub, Sejarah Islam Indonesia, (Jakarta: Widjaya), hlm 17.
Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 249

Melayu yang lainya, terutama setelah berdiri kerajaan Malaka.


ketiga ke arah pesisir utara pulau Sumatra dan ke pulau Jawa. di
pulau Jawa sendiri penyebaran Islamnya di pimpin oleh
Maulana Malik Ibrahim dan kawan-kawannya yang merupakan
sebuah dewan utusan dari kerajaan Pasai, yang kemudian di
kenal sebagai para wali atau Walisongo oleh masyarakat Jawa.
Dan dua orang penyiar Islam yang terkenal dalam sejarah Jawa
yaitu Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoro adalah putera-putera
dari Sultan Pasai.35 Kemudian oleh ulama-ulama Pasai, di
undanglah orang-orang Jawa Timur yang telah memeluk agama
Islam untuk berkunjung ke negeri Pasai.
Ketika Pasai mengalami kemerosotan dan tekanan dari
musuh, para Muballiq-muballiq Islam dari Pasai pergi ke
Malaka untuk mengembangkan agama Islam pada tahun 1416
M, kemudian raja Malaka-pun memeluk agama Islam. Raja
Islam yang pertama itu bernama Paramisora yang kemudian
bergelar Iskandar Syah. Lalu ia kawin dengan putri Pasai pada
tahun 1324 M. Pada tahun 1450 M, raja-raja Malaka kemudian
melakukan peluasan pengaruh kekuasaanya ke semenanjung
dan Sumatra tengah, yaitu ke daerah Kampar, Indragiri, dan
Rokan. Di kawasan negeri-negeri yang di bawah pengaruh
Malaka agama Islam senantiasa berkembang, hal ini terjadi
karena letak Malaka yang baik untuk daerah perniagaan.
Dengan demikian, maka ramailah dikunjungin pedagang-
pedagang dari Asia Barat dan Timur. Malaka-pun kemudian
menjadi tempat pusat perkembangan agama Islam. Saudagar-
saudagar yang datang ke Malaka dari Jawa, Kalimantan,
Sumatra, yang tinggal di Malaka kemudian memeluk agama
Islam. Pada tahun 1511 M, Malaka jatuh ketangan Portugis.
Waktu itu yang memerintah Malaka adalah Sultan Mahmud
Syah. Banyak penduduk Malaka yang menyingkir ke bandar lain
ke pulau Jawa, Makasar dan Aceh, karena mereka tidak suka di
bawah kekuasan bangsa asing. Hal ini menyebabkan ramainya
di bandar-bandar Banten, Jepara, Tuban, Demak dan Gresik,
maka semakin ramailah Islam di daerah-derah tersebut. Dalam
35 Ibid, hlm 21.
250 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

hal kegemilangan kerajaan Malaka tidaklah begitu lama, lebih


kuranng selama 100 tahun. Namun dalam masa itu sangatlah
besar artinya dalam pertumbuhan dan perkembangan agama
Islam. Dalam periode kejatuhan kerajaaan Malaka, di Aceh
mengalami kejayaannya lagi yaitu yang berpusat di Banda Aceh
Darussalam di bawah kepemimpinan Raja Ali Mughayat Syah.
Sebelum Islam masuk kepedalaman Minangkabau,
Kerajaan Pasai telah menyiarkan Islam di pesisir Minangkabau,
hal ini terjadi sudah lama sebelum kekuasaan Aceh didirikan
oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Kemudian dalam sejarah
penyiaran Islam di Suluh dan Mindanao (Pilipina) tersebutlah
bahwa, Raja Bagindo seorang bangsawan Minangkanbau telah
datang ke Sulu dan Mindanao sekitar tahun 1390 M. Kemudian
dalam literatur sejarah Islam di Minangkabau, maka terkenalah
seorang ulama besar bagi masyarakat daerah tersebut. Beliau
bernama Syekh Burhanuddin Ulakan (1646-1704 ). Syekh
Burhanuddin adalah salah seorang murid dari Syekh Abdur
Rauf al-Singkili,36 ia menuju ke Aceh pada saat itu masih
berumur 15 tahun dan masa belajar di Aceh selama 10 tahun.
Setelah ia selesai belajar agama di Aceh, Syekh Burhanuddin
membawa ajaran Tharikat Syattariyah ke Ulakan pada bagian
kedua abad ke-17. Dari Ulakan ajaran tarikat itu menyebar
melalui jalur perdagangan di Minangkabau sampai ke Kapeh-
kapeh dan Pamansiangan, kemudian ke Koto Laweh, Koto
Tuo, dan ke Ampek Angkek. Di sebelah barat Koto Tuo
berdiri surau-surau tarikat yang banyak menghasilkan ulama.
Penulis ternama Indonesia seperti Hamka dalam bukunya,
Sejarah Umat Islam (1961), mengupas peranan ulama Syekh

36 Syek Abdur Rauf al Singkli adalah seorang mufti pada Kerajaan


Islam Aceh. Ia juga di kenal dengan nama lain yaitu Teungku Syiah Kuala,
lahir di Singkil (Aceh) di perkirakan tahun 1615 M. Ayahnya juga adalah
seorang ulama yang memiliki lembaga pendidikan (dayah). Selain belajar di
dalam negeri pada beberapa ulama besar, ia juga belajar ilmu agama Islam
di Timur tengah, meliputi Dhuha (Doha), Qatar, Yaman, Jeddah, dan
terakhir di Mekkah dan Madinan selama19 tahun. Untuk lebih lengkap
menganai Abdur Rauf al Singkli, Lihat; Hasbi Amiruddin, Perjuangan
Ulama Aceh di Tengah Konflik, (Yogyakarta: Ceninnets, 2004), hlm 29-31.
Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 251

Burhanuddin sebagai pengembang agama Islam yang berpusat


di Ulakan. Menurut beberapa cendikiawan bahwa, Syekh
Burhanuddin adalah seorang ulama dan pengembang agama
Islam di Minangkabau dilahirkan di Guguk Sikaladi Pariangan
Padang Panjang dengan nama kecil Pono. Menurut keterangan
Mahmud Yunus, Pono lahir pada tahun 1066 H atau tahun
1641 M di Sintuk, Lubuk Alung. Sedangkan menurut Ismail
Jakup, Syekh Burhanuddin berasal dari Pidie Aceh dan ia
adalah murid Syekh Abdurrauf Al-fansury.37 Dan sekembalinya
dari Aceh ia kemudian mendirikan surau di Tanjung Medan
dan surau-surau lainnya di Ulakan. Syekh Burhanuddin
meninggal dunia pada hari Rabu 10 Syafar tahun 1116 H atau
1704 M di Ulakan. Murid-murid yang diasuhnya kemudian
menyebar di seluruh pelosok Minangkabau yang
mendirikankan surau-surau sebagai pusat studi yang melahirkan
cendekiawan, yang kemudian melanjutkan perjuangan ke
pedalaman Minangkabau. Kegiatan dakwahnya di perkirakan
berlangsung selama 20 tahun.
Di bagian Sumatra Utara, di antara penduduk tanah Karo
(Medan) ada yang berasal dari pesisir Aceh. tepatnya bahagian
Dairi dan Sindikalang, ada golongan penduduk yang bermarga
“Pasi”. Menurut mereka nenek moyangnya berasal dari Pasai
Aceh. Penyebaran agama Islam ke Tapanuli juga bersumber
dari Aceh. Ke daerah Mandailing Islam Masuk dari jurusan
Minangkabau. Di Tapanuli Utara (Tanah Batak) adalah daerah
yang sukar untuk jalur perhubungan dan letaknya yang jauh di
pedalaman sangatlah sulit dicapai oleh Muballiq-muballiq Islam
pada saat itu. Oleh sebab itu, masyarakat di sana pada saat itu
tetap beragama Pelbegu (memuja arwah dan hantu). Keadaan
yang seperti ini kemudian tidak di sia-siakan oleh penjajah
Belanda, kekosongan agama Islam di sana dipakai maksimal
oleh pihak Misionaris Belanda setelah mereka berhasil
menguasai wilayah tersebut, kemudian mereka mengkristenkan
masyarakat setempat. Upaya pengkristenan di Tapanuli oleh
Belanda tenyata tidak semata-mata bermaksut memperkenalkan
37 Ismail Jakub, Ibid, hlm 61.
252 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Tuhan Yesus semata, di balik itu juga Belanda mempunyai


kepentingan menghalangi hubungan antara Minangkabau yang
mayoritas muslim, dengan daerah Aceh yang merupakan basis
kekuatan Islam.
Islam di Bangkahulu tidak terlepas juga dari pengaruh
perkembangan dari Pasai. Penduduk bahagian pantai
Bangkahulu antara lain terdiri dari pengungsi-pengungsi dari
Minangkabau dan Aceh yang telah menganut Islam. Dari
bagian pantai ini Islam kemudian berkembang ke pedalaman.38
Sedangkan Islam di Kalimantan penyebaranya di lakukan oleh,
pertama melalui pedagang-pedagang yang menyiarkan dari
Malaka, setelah Malaka jatuh ketangan Portugis. Akhirnya
berdirilah suatu kerajaan Islam, yaitu kerajaan Brunai yang
terletak di bagian utara pulau Kalimantan di pesisir sebelah
barat. Kedua melalui jasa Muballiq-muballiq Islam yang dikirim
kerajaan Islam Demak di pantai utara pulau Jawa. Mereka
kebanyakan melancarkan usahanya di sebahagian selatan pantai
Kalimantan yaitu di Banjarmasin dan sekitarnya, yang
kemudian berdirilah Kerajaan Banjar. Barjarmasin dan
sekitarnya di bagian Kalimantan Selatan menerima agama Islam
dari kerajaan Demak. Agama Islam masuk ke Kerajaan
Sukadana pada tahun 1550 M, dan kerajaan tersebut yang
terletak di sebelah barat daya palau Kalimantan. Islam di situ
atas upaya dari Muballiq-muballiq dari Palembang, Malaka, dan
Jawa. Dari kerajaan-kerajaan itu, tersiarlah Islam keseluruh
pantai Kalimantan yang luas itu. Dalam penyiaran Islam di
Banjar, maka terkenallah seorang tokoh ulama besar yang
bernama Syech Muhammad Arsyad Banjar. Ia adalah seorang
anak kampung putera dari Abdullah, lahir pada 15 Safar 1122
H (1710 M), di desa Lok Gebang, Martapura Banjarmasin.
Setelah Islam telah menyebar di sepanjang Sumatra, Jawa
dan Kalimantan, Muballiq-muballiq dari pulau ini kemudian
meneruskan pengembaraan ke Sulawesi. Ketika orang Portugis
datang ke Sulawesi tahun 1540 M. Penduduk yang memeluk
Islam masih sedikit, tetapih sejak abad ke 17 Islam berkembang
38
Ismail Jakub, Ibid, hlm 37.
Malikussaleh: Mutiara dari Pasai 253

pesat sehingga berdiri kerajaan Makasar dan kerajaan Bugis.


Kerajaan Makasar ibu kotanya adala Goa, raja yang pertama
yang masuk Islam adalah Sultan Alaidin Awwalul Islam, beserta
wazirnya Karaeng Matopa pada tahun 1603 M. Kemudian yang
di ikuti oleh pembesar-pembesar dan rakyatnya. Muballiq-
muballiq Makasar kemudian meneruskan dakwahnya ke
Kerajaan Bugis. Berkat keuletan Muballiq Islam jadilah
masyarakat Bugis penganut Islam yang baik. Pelaut-pelaut
Bugis terkenal pemberani, mereka berlayar menjelajah ke
seluruh bumi Nusantara, hingga mereka sampai ke Aceh.
Seorang pelaut bernama Daeng Mansur sesampainya di Aceh
digelari Tengku di Bugis.39 Karena Muballiq-muballiq Islam
Aceh banyak yang pulang pergi ke Bugis, menyebabkan erat
rasa persaudaraan keagamaan yang mengokohkan antara dua
hubungan daerah ini. Jika diamati lebih jauh lagi, bentuk
perumahan dan cara hidup orang Bugis hampir mirip dengan di
Aceh. sehingga jika ada orang Aceh yang datang ke Bugis tidak
merasa canggung sama sekali, demikian pula sebaliknya.
Islam di Maluku adalah dari upaya Muballiq-muablliq dari
berbagai daerah dan saudagar bangsa Asing. Hal ini terjadi
karena di Maluku merupakan salah satu daerah yang memiliki
kaya akan rempah-rempah. Kemudian lahirlah kerajaan-
kerajaan Islam di Maluku di antaranya, pertama Kerajaan
Ternate yang rajanya bernama Bayan Ullah, Islam masuk ke
Ternate pada abad 15 (tahun 1440). kedua Kerajaan Tidore,
Raja Tidore pertama masuk Islam Cirali Lijitu, kemudian
berganti namanya dengan nama Sultan Jamaluddin. Ketiga
kerajaan Bacan, raja pertamanya adalah Zainulabidin yang
memeluk Islam pada tahun 1521. Keempat Kerajaan Jailolo,
yang berdiri sejak tahun 1521 M.
Islam di Nusa Tenggara kepulauan Sumbawa dan
sekitarnya masuk pada pertengahan abad 16. Di pinggir kota
Bima terdapat makam penyiar Islam yang datang dari Makasar,
dan Sultan Bima adalah raja yang pertama memeluk Islam.
Kemudian Islam di Lombok atas usaha Muballiq-muballiq dari
39
Ismail Jakub, Ibid, hlm 43.
254 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Bugis dan Jawa. orang-orang Bugis datang ke Lombok pada


saat itu melalui Sumbawa, namun adapula yang datang
langsung dari Bugis, dan kepulauan Lombok adalah tempat
perantauan orang Bugis. Peduduk Lombok terdiri dari dua
golongan, yaitu golongan orang Sasak yang merupakan
penduduk asli dan beragama Islam, dan golongan orang Bali
yang datang dari Bali beragama Hindu. Untuk bagian pulau
Papua, Islam masuk atas upaya Muballiq-muballiq dari kerajaan
Bacan dan kerajaan Islam dari Maluku. Pengaruh Sultan Bacan
di ataranya kepada kepala Suku-suku, tetapi hanyalah penduduk
tepi pantai saja. Sedangkan peduduk yang lainya khususnya
pedalaman menganut kepercayaan serba roh (animisme-
dinamisme).
Pertumbuhan dan perkembangan Islam di Nusantara
menyebabkan terbangunya beberapa kerajaan Islam. Di lain
sisi, karena bumi Nusantara kaya-raya dengan hasil buminya,
maka datang pulalah Bangsa Eropa. Maksut kedatangannya
semula dari bangsa Barat adalah henda berniaga di samping
juga hendang mengembangkan agama Kristen, sebagai alat
menanamkan pengaruh dan kekuasaannya. Namun pada
kenyataannya mereka melakukan tekanan dan paksaan,
sehinggan penduduk di bumi Nusantara menjadi jajahan
mereka Bangsa Barat selama tiga setengah abad lamanya.
Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 233

Bab 13
SEJARAH ACEH DARI SISTEM KERAJAAN SAMPAI NAD

Kerajaan Aceh berdiri pada tahun 1514, pada awalnya


daerah kekuasaanya hanya meliputi Aceh Besar dan Daya.
Kerajaan Aceh didirikan oleh Sultan Mughayat Syah. Ia
mempeluas wilayah kekuasaanya sampai ke Pidie pada tahun
1521, menyusul pada tahun 1524, Pasai, Aru, Perlak, Tamiang,
dan Lamuri. Hingga menjadi sebuah Konfederasi Kerajaan
Aceh Darussalam.1 Terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam
kita dihadapkan dengan beberapa versi, tetapi pada bab ini
penulis hanya ingin mengungkapkan Bustanus Salatin yang
menyebutkan Sultan Mughayat Syah sebagai raja atau Sultan
Aceh yang pertama. Ia mendirikan Kesultanan Aceh dengan
tujuan untuk melanjutkan dan mengganti beberapa kerajaan
Islam sebelumnya, seperti Pasai, kemudian Malaka yang jatuh
ke tangan Portugis pada tahun 1511, dan mempersatukan dua
kerajaan kecil, Mahkota Alam dan Darul Kamal, dan pusat
pemerintahan adalah berada di Banda Aceh Darussalam, yang
disebut juga dengan nama Kuta Raja.2
Pada tahun 1521 Kerajaan Aceh diserang oleh armada
Portugis yang dipimpin oleh De Britto, tetapi dikalahkan oleh
Sultan Mughayat Syah. Sembilan tahun kemudian sultan Aceh
itupun wafat tepatnya tanggal 5 Agustus 1530. Sepeninggalnya
kerajaan diperintah oleh putranya yang bernama Sultan
Salahuddin, ia sedikit yang bersikap lunak dan memberi
peluang kepada misionaris Portugis untuk bekerja di tengah
orang-orang Batak di daerah pantai timur Sumatera. Ia juga
dipandang kurang memperhatikan urusan pemerintahan. Pada
akhirnya kedudukan Sultan Salahuddin sebagai raja diganti oleh

1 Fadhlullah Jamil M.A, “Kerajaan Aceh Darussalam dan Hubungannya

Dengan Semenanjung Melayu”, dalam Ali Hasjmi, (ed.), Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Maarif, 1981), hlm. 231-232.
2 Lihat Siti Hawa Saleh, (ed.), Bustanus as-Salatin, (Kuala Lumpur: Dewan

Bahasa dan Pustaka, 1992).


234 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

saudaranya, Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahhar.3 Pada


masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah al-Qahar (1537
M), Kerajaan Aceh Raya Darussalam telah membuka
kedutaannya di luar negeri, antara lain: India, Parsi, Turki, dan
Tiongkok. Khususnya dengan Sultan Salim II yang memerintah
Kekhalifahan Turki Utsmaniah, kekhalifahan itu telah
mengirim 400 orang ahli pembuat meriam ke Aceh yang
ditempatkan di kampung Pande Aceh Besar, dengan demikian
semakin kuatlah kerajaan Aceh yang telah didukung oleh
Sultan Salim II yang memerintah di Turki. Sultan Alaiddin juga
mendatangkan ulama-ulama dari India dan Persia untuk
mengajarkan ajaran Islam di Aceh, mendirikan pusat Islam di
Ulakan, dan menyebarkan Islam ke Minangkabau, dan Indra
Pura. Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Qahhar wafat pada
tanggal 28 September 1571.4 Selanjutnya Kesultanan Aceh
dilanda kemelut yang berlarut-larut dengan adanya perebutan
kekuasaan. Pernah terjadi hanya dalam tiga bulan terjadi
pelantikan dan pemberhentian tiga orang sultan. Bahkan Sultan
Zainul Abidin, mati terbunuh pada tanggal 5 Oktober 1579.
Kerajaan Aceh menjadi stabil kembali setelah tampuk
kekuasaan dipegang oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Sayid al-
Mukammal (1589-1604) yang lebih dikenal dengan Sayid al-
Mukammal, setelah ia wafat selanjutnya kepemimpinan
Kerajaan Aceh diteruskan oleh keturunanya yaitu Sultan Riayat
Syah. Kehidupan pun terus berlangsung sampai Aceh
mengalami masa kejayaan dan kemakmuran pada masa Sultan
Iskandar Muda.5
Sultan Iskandar Muda (1607-1636), sebagaimana
diungkap dalam Kitab Bustanu-salatin, dinobatkan pada awal

3 Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya Hingga

Abad XVI”, dalam Ali Hasjmi, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia, (Bandung: Al-Maarif, 1981), hlm. 214.
4 Fadhlullah Jamil M.A, “Kerajaan Aceh Darussalam dan Hubungannya

Dengan Semenanjung Melayu”, Op.cit., hlm. 232-236.


5 Ensiklopedi Islam, 1-5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994).
Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 235

April 1607.6 Maskapai Perancis pada tahun 1619 pernah datang


ke Kerajaan Aceh Raya Darussalam, dan 3 buah kapal Perancis
yang dipimpin oleh Agustin de Blaulieu, kapal yang dibawa
antara lain: De Motmorency, yang beratnya 450 ton memuat serta
126 awak, 22 meriam, De Esperance, 400 ton, 117 awak, 26
meriam, De Hermi Toge, 75 ton, 50 awak, 26 meriam. De
Blaulieu datang ke Kerajaan Aceh Raya Darussalam dalam
missi dagang dan disambut pihak Aceh dengan baik. Setelah
Blaulieu membayar cukai 80 piaster baru dibolehkan turun dan
membayar sewa tempat menginap 50 piaster, setelah itu baru ia
menghadap Sultan Iskandar Muda dan menyerahkan surat dari
Raja Perancis, beserta surat itu ia menyerahkan bingkisan yang
berharga sangat tinggi, yaitu 1 steel pakaian militer pangkat
tinggi lengkap dengan senjata buatan Jerman, 6 pucuk senapan,
pistol, pedang dan lain-lain.7
Tahun 1629 adalah tahun dimana serangan terbesar
Aceh terjadi kepada Malaka, pada saat itu masih periode
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Pasukan Aceh yang
berkekuatan 236 kapal dengan 20.000 prajurit melakukan
ekspansi itu. Di perkirakan lama pengepungan Malaka
memakan waktu sampai lima bulan. Kemudian tidak lama
setelah armada Aceh telah tiba di Malaka, Angkatan Laut
Portugis memberi pujian terhadap Armada Aceh karena
pertempuran seru yang dilakukan pasukan Aceh dengan
mendapatkan kemenangan. Dengan demikian terlihat jelas
bahwa, ketika Sultan Iskandar Muda kemajuan sistem militer
Aceh khususnya Armada laut sudah sangat canggih, dan dunia
pada saat itu telah mengakui kehebatanya.
Pada masa diperintah oleh Sultan Iskandar Muda,
Kerajaan Aceh Darussalam diperintah dengan sangat ketat.
Para bangsawan kerajaan dikontrol dengan keras oleh Iskandar
Muda. Mereka diharuskan ikut jaga malam di istana setiap tiga

6 Lihat Siti Hawa Saleh, (ed.), Bustanus as-Salatin, (Kuala Lumpur: Dewan

Bahasa dan Pustaka, 1992).


7 Lihat Denys Lombard, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda 1607-

1636, (terj.), (Jakarta: Balai Pustaka, 1986).


236 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

hari sekali tanpa membawa senjata. Setelah semua terkendali,


Iskandar Muda memegang kendali terhadap produksi beras. Di
masanya, Kerajaan Aceh Darussalam mengekspor beras keluar
wilayah. Ia memperketat pajak kelautan bagi kapal-kapal asing,
mengatur kembali pajak perdagangan (saat itu banyak pedagang
Inggris dan Belanda berada di Aceh), bahkan juga mengenai
harta untuk kapal karam. Untuk militer, Iskandar Muda
membangun angkatan perang yang sang kuat. Beaulieu
mencatat jumlah pasukan darat Aceh sekitar 40.000 orang.
Untuk armada laut, dan diperkirakan Aceh memiliki 100-200
kapal, diantaranya kapal selebar 30 meter dengan awal 600-800
orang yang dilengkapi tiga meriam. Ia juga mempekerjakan
seorang Belanda sebagai penasihat militer yang mengenalkan
teknik perang bangsa Belanda dan Perancis. Benteng Deli
dijebol, beberapa kerajaan ditaklukkan seperti Kerajaan Johor
(1613), Kerajaan Pahang (1618), Kerajaan Kedah (1619), serta
Kerajaan Tuah (1620). Iskandar Muda wafat pada 27
Desember 1636.8 Setelah meninggalnya Sultan Iskandar Muda,
Aceh mengalami kemerosotan demi kemerosotan yang
menghasilkan bencana politik yang menyedihkan.

Perang Aceh 1873-1913


Penjajahan kolonial Belanda adalah suatu bencana politik
bagi agama (Islam) di Aceh. Sejak tahun 1879 hingga 1913,
Belanda melancarkan perang habis-habisan di Aceh yang
kemudian dikenal dengan Perang Aceh-Belanda. Sejarah Aceh
adalah rangkaian kisah tentang heroisme. Ungkapan ini terlihat
nyata, umpamanya dengan membaca pahatan tulisan di atas
prasasti batu yang terpacak di samping kanan halaman Masjid
Raya Banda Aceh. Bunyinya: “Mayor J.H.R. Kohler tewas
dalam memimpin penyerangan terhadap Masjid Raya
Baiturrahman, 14 April 1873.” Kedatangan Jenderal Kohler
yang didukung oleh pernyataan resmi Kerajaan Belanda, yang
8 Lihat Denys Lombard, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda 1607-
1636, (terj.), ibid.
Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 237

dengan resmi menyatakan perang kepada Kerajaan Aceh


Darussalam pada tanggal 26 Maret 1973, dan kemudian pada 5
April 1873 Angkatan Perang Belanda dibawah pimpinan
Jenderal Kohler menyerang kedaulatan Kerajaan Aceh
Darussalam dengan 3.800 serdadu yang dilengkapi dengan
perlengkapan perang yang sangat modern pada masa itu.
Sekalipun kondisi perlengkapan perang yang tidak seimbang,
tetapi penyerangan Kohler ternyata hanya berumur 9 hari
dalam menggempur bangsa Aceh, kekalahan itu amat telak di
mana sang jenderal Belanda sebagai panglima perang terkapar
oleh kesigapan bangsa Aceh yang memang berpengalaman juga
dalam hal peperangan, sebagaimana Iskandar Muda
menghadapi Portugis. Angkatan Perang Belanda yang mendarat
di Pantai Ulee Lheue, setelah 18 hari pertempuran berlangsung,
serdadu-serdadu Belanda kocar-kacir meninggalkan medan
perang pada hari-hari di awal peperangan. Di pihak Belanda,
Letnan Kolonel Van Tiel tewas, mendahului Jenderal Kohler
yang kemudian menyusul tewas terkapar dengan dada kirinya
tertembus peluru di Masjid Baiturrahman.9
Kenangan tragis atas kematian Kohler yang terkapar di
bawah pohon kelumpang itu masih lekat kuat dalam benak
orang Aceh sampai kini. Bahkan, beberapa bagian pokok
pohon yang oleh orang awam di sana disebut Pohon Kohler,
pohon aslinya ditebang tahun 1936 hingga sekarang utuh
tersimpan di museum Aceh. Kohler mati sia-sia. Sosoknya oleh
orang Aceh hanya dikenang sebagai jenderal gila perang dan
tukang jagal manusia. Keperwiraan orang Aceh dalam
bertempur memang sulit terbantahkan. Sejarah Perang Aceh.
menorehkan catatan bahwa selain memakan korban penduduk
Aceh hingga 70 ribu orang, sekitar 37.500 orang Belanda
beserta empat jenderalnya pun ikut tewas.10

9 Lihat Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonial, (terj.), (Jakarta: Yayasan

Soko Guru, 1985).


10 B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, (Amsterdam: De

Nederlandsche,Book ,’s-Gravenhage, 1970).


238 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Kekalahan Belanda ini ternyata telah mengemparkan


publik Eropa dan Amerika. Surat kabar London Times edisi 22
April 1873, memuat laporan lengkap dari medan perang Banda
Aceh, yang antara lain di tulis: “suatu kejadian yang luar biasa
dalam sejarah penjajahan yang terjadi di kepulauan Melayu.
Kekuatan Eropa yang besar dikalahkan oleh tentara pribumi.
Tentara Aceh berhasil dengan gemilang meraih kemenangan
besar dalam peperangan yang menentukan. Musuk mereka
bukan saja sudah kalah tetapih di paksa lari”. Dalam surat
kabar Amerika, The New York Times pada edisi 6 Mei 1873
menulis sebagai berikut: ”Suatu pertempuran berlumuran darah
terjadi di Aceh. Serangan Belanda berhasil ditangkis dengan
penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda.
Panglima Belanda dibunuh dan tentaranya lari tunggang-
langgang”.11 Kekalahan Belanda di tangan pasukan Aceh
sangan memalukan pihak Belanda, dan menimbulkan komentar
sejarawan internasional. Professor Ricklefs menulis: “baru
sekarang kaum kolonialis berhadapan muka dengan lawan yang
paling kaya, paling kuat, berdisiplin, paling lengkap senjata, dan
paling keras mempertahankan kemerdekaan mereka”.12
Kegagalan Belanda dalam mengagresi Aceh yang
dipimpin Jenderal Kohler, semakin dijadikan titik tolak untuk
melakukan tindakan perlawanan peperangan lebih lanjut,
hingga kemudian Belanda mempersiapkan 7.000 tentaranya
yang juga ditopang dengan informan “mata-mata” yang
direkrut Belanda yang berasal dari bangsa Cina, India, Arab,
dan juga Hindia-Belanda sendiri. Dan gelombang agresi kedua
ini, Angkatan Perang Belanda mendarat di Kuala Gieging pada
11 Desember 1873, dibawah pimpinan Jenderal Van Swieten,
seorang panglima perang yang cukup senior yang memiliki
cukup banyak pengalaman perang, di antaranya ia telah ikut
serta dalam perang Dipenogoro di Jawa dan juga perang
melawan Napoleon Bonaparte di Eropa. Sebelas hari kemudian
11 Herry Kawilarang, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki,
(Banda Aceh: Bandar publishing, 2008), hlm 61-62.
12 Ibid, hlm 62.
Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 239

setelah pendaratan dan penyerangan, kemudian Belanda pada


tanggal 22 Desember 1873 telah bermarkas di Penayang
(sebelah timur kali Aceh). Kemudian, dari markas di Penayang
itulah Van Swieten berkirim surat kepada Sultan Aceh
Mahmud Syah II untuk mengadakan perjanjian dan pengakuan
bahwa Aceh berada dalam kekuasaan Belanda. Sultan Mahmud
Syah II, dengan dibantu oleh Panglima Perang Tuanku Bangta
Muda menolak permintaan Belanda tersebut, dan kemudian
terjadi perlawanan yang sangat hebat, dan Belanda berhasil
menguasai Masjid Baiturrahman juga berhasil menguasai istana,
dan sultan menyingkir ke luar kota hingga pada 26 Januari
1874, beliau wafat di Desa Pagar Air, karena serangan kolera.13
Setelah wafatnya Sultan Mahmud Syah II, kemudian
dengan melalui mekanisme musyawarah para pembesar Negara
Kerajaan Aceh Raya Darussalam dan para ulama di Masjid
Indra Puri, diangkatlah Tuanku Muhammad Daud sebagai
sultan, dengan gelar Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah II.
Karena beliau masih muda, kemudian untuk menjalankan roda
pemerintahan yang kala itu perang sedang berkecamuk dan
Istana telah dikuasai Belanda, Sultan dibantu sepenuhnya oleh
Panglima Tuanku Hasyim Bangta Muda. Dan kesemuanya
setelah membenahi tatanan pemerintahan dan tatanan militer
sepeninggal Sultan Mahmud Syah II, melalui mekanisme syura
juga, mereka bertekad untuk melanjutkan perjuangan. Dan
pada beberapa waktu kemudian, berkumpul juga untuk
bermusyawarah sejumlah 500 orang para ulama dan pembesar
negeri Aceh Raya Darussalam, dan dari permusyawaratan itu
diputuskan bahwa Aceh dalam keadaan perang suci,
menghadapi kafir Belanda yang memang punya semangat
perang dengan motivasi menebus kekalahan perang salib dan
penguasaan wilayah-wilayah Islam. Dari permusyawaratan
tersebut kemudian menetapkan dan mengikrarkan wajib perang
sabil.14

13 S.M. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh, (Jakarta: Soerongan, 1956).


14 Lihat Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: Waspada, 1981)
240 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Perang Sabil, yang lazim dalam istilah Islam adalah jihad fi


sabilillah, yakni suatu perjuangan untuk menegakkan dan
mempertahankan kemurnian Islam dari aksi kelanjutan perang
salib yang dikobarkan di Eropa pada awal abad ke-11, yang
berorientasi kepada banyaknya korban itu jelas membuat
Belanda putus asa. Catatan-catatan buku peninggalan
komandan perang Belanda di Aceh juga menunjukkan betapa
mereka memuji ketangguhan tentara Aceh. Bahkan, mereka
juga menuliskan bahwa keliatan tempur musuhnya itu setaraf
dengan pasukan Kaisar Prancis, Napolen Bonaparte. Pang
Nanggroe, ulama besar yang oleh orang Aceh dihormati
sebagai orang keramat dan kebal senjata, oleh pasukan Marsose
yang tergabung dalam Brigade Mosselman sangat dikenal
sebagai ahli penyamaran dan jebakan. Dan, dalam catatan
komandan brigade ini tampak jelas kepiawaian pejuang Aceh
tak kalah canggih dengan kecerdikan gerilyawan Vietkong
ketika melawan tentara Amerika Serikat di akhir dekade 60-an
lalu.
Bukti lain yang dapat dilihat pada, orang Aceh dapat pula
ditenggarai dari penggalan surat 'sangat rahasia' Gubernur
Jendral Aceh, C. Deykerhoff, No. 559/K tertanggal 17 Juli
1893. Surat yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia
Belanda di Batavia itu menceritakan pengalaman pribadinya
sesudah dua puluh tahun bertugas di Aceh. C. Deykerhoff
menulis begini: ''Jika kita sangat kuat dan berhadapan dengan
lawan yang mahir menggunakan taktik, mempunyai basis dan
garis operasi, mempunyai tempat-tempat perbekalan yang
berhubungan dengan tempat-tempat strategis seperti pasukan
kita, maka hal ini tidaklah sukar. Tapi jika kita harus
dihadapkan kepada penduduk bersenjata yang menghadapi kita
secara gerilya sejati, menghilang tanpa meninggalkan bekas jika
digempur, inilah suatu pekerjaan yang mahasukar.''
Melihat keruwetan tersebut pemerintah Kolonial Belanda
kemudian memutuskan segera menyelundupkan pakar
sosiologi keagamaan Snouck Hurgronje. Snouck adalah
seorang antropolog yang brilian. Ia bukan penghancur Islam,
Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 241

namun dengan ilmu antropologinya ia mampu


mempersembahkan kemenangan bagi Kerajaan Belanda
terhadap Aceh. Ia juga melarang missie dan zending penyebaran
agama Kristen dan Katholik di Aceh. Dia menentang keras
kristenisasi. Namun, hasil awal dari rekomendasinya memang
cukup efektif. Nasihat tokoh sedikit banyak menghasilkan
persepsi baru bagi kebijakan pemerintah kolonial dalam
'menjinakkan' orang Aceh. Pemanfaatan keahlian Snouck
Hurgronje itu memang efektif. Sekitar empat tahun kemudian
tensi gejolak perlawanan rakyat menurun. Dan keadaan aman
ini sangat masuk akal, utamanya ketika tokoh perlawanan Aceh,
Teuku Umar, bersedia berdamai atau bekerja sama secara
sementara dengan pemerintah Belanda.
Namun, beberapa waktu kemudian, keadaan itu malah
menjadi sebaliknya. Perlawanan rakyat meletus kembali dan
bertambah ganas. Teuku Umar berbalik arah. Orang Belanda
dari generasi terdahulu pada umumnya melihat Teuku Umar
sebagai “penjahat,” “penipu,” kerena mereka memakai
kacamata yang harus sesuai dengan selera mereka. Kemudian
Belanda kerepotan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda pun
mendapat surat teguran dari pihak pemerintahan Kerajaan
Belanda karena Aceh tetap tidak bisa ditundukkan.
Mengamankan Aceh, begitu isi ringkas surat Ratu Belanda yang
ditujukan kepada pihak Gubernur Hindia Belanda di Batavia.
Perintah itu segera ditindaklanjuti. Dan, di dalam inspeksinya
ke Aceh, sang Gubernur Jenderal mendapati rumah penjara
para pemberontak ternyata telah tidak berpenghuni. Dan,
ketika ditanya ke mana perginya para penghuni, pihak gubernur
mengatakan mereka telah lama dipindahkan ke rumah sakit
jiwa. Itu dilakukan menuruti saran Dr. Snouck Hurgronje
untuk memasukkan para tahanan ke rumah sakit jiwa yang
dibangun khusus. Tampaknya Hurgronje pun frustrasi sehingga
menganggap orang-orang Aceh sakit jiwa karena tidak takut
mati.
Sikap berani mati yang tumbuh selama perang melawan
kaphe (kafir) Belanda itulah yang sampai kini terpatri kuat di
242 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

dalam benak rakyat Aceh. Mati membela nilai agama dan


melawan kebatilan bagi mereka berarti syahid. Dan, landasan
keagamaan yang paling populer di dalam melakukan
perlawanan adalah al-Qur’an surat IV, ayat 76: ''Lantaran itu
hendaklah mereka yang menjual akhirat dengan penghidupan
dunia, berperang pada jalan Allah, karena barangsiapa
berperang pada jalan Allah, lalu terbunuh atau menang, maka
Kami akan beri kepadanya ganjaran yang besar.''
Kobaran semangat jihad fisabilillah akan semakin jelas bila
merujuk pada hikayat perang yang biasa didendangkan rakyat
Aceh. Dan, beberapa bait isi Hikayat tersebut di antaranya
adalah seruan untuk bangkit dan pergi berperang melawan
orang-orang kafir Belanda. Dan, bila enggan berperang maka
Allah sudah menyediakan azab yang sangat pedih. Berikut salah
satu cuplikan bait yang sangat penting dalam Hikayat Perang
Sabi: “Wahe teungku wajeb tapateh, 'azeueb si deh hana ngon sa. Bek
teungku e lalee that, 'ibadah wahe syeedara. Beurangri 'amai he ya
sahbat, nyang leubeh that tajak ngada. Lagee jinoe peureulee in,
'amaduddin bak agama. Meunan (neu) kheun Saidilmursalin, tayakin
geutanyoe nyang na. Aljihadu wajibun 'alaikum, that muphom wahe
syeedara. Phon cahdat ngon seumayang, teulhee tamuprang ngon
Holanda”.
Dalam bahasa Indonesia berarti:
“Wahai teungku, janganlah lalai lagi, kerjakanlah
kewajiban-kewajiban agama, wahai saudara. Dari semua
amalan, wahai sahabat, yang terutama ialah berperang. Kini
adalah fardhu ‘ain, salah satu tiang agama. Demikianlah fatwa
Saidilmursalin, marilah kita semua menyakininya. Jihad itu
wajib bagi kita, pahamilah baik-baik, wahai sahabat. Yang
pertama syahadat, kemudian sembahyang, yang ketiga
memerangi Belanda.
Episode dramatik tentang pemahaman akan nilai syahid
dapat terlihat dari buku kumpulan catatan pensiunan Kolonel
Marsose, H.C. Zentgraaff.15 Kemudian, pada suatu hari

15 Lihat Ali Hasyimi, Perang Aceh, (Jakarta: Beuna, 1983).


Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 243

seorang kepala pasukan Belanda, Schmidt, ingin menangkap


seorang pemuka pejuang Aceh, Teungku Chik Ma'at di Tiro.
Orang ini menurut Schmidt harus ditangkap karena tetap
melawan walau seluruh keluarga dan pengikut pamannya,
Teungku Chik di Tiro, sudah tewas atau tertangkap.
Mengetahui hal itu, maka atas saran beberapa orang setempat,
Schimdt harus minta pertolongan dari janda Teungku Ulee
Tutue. Mengetahui saran itu Schimdt gundah, sebab sekitar
lima bulan silam, justru pasukannyalah yang membunuh
suaminya. Namun keraguan ini berhasil dihilangkan setelah
mendengar nasihat seorang teungku di Teupin Raya. Katanya,
''Wanita itu tak mungkin berhati jahat kepada Tuan. Bahwa
suaminya telah gugur dalam peperangan suci adalah
keuntungan besar dari Allah baginya.'' Dan setelah dipanggil,
janda itu menyetujui permintaan Schimdt agar meminta
anaknya keluar dari hutan atau menyerah. ''Saya akan
mencoba,'' katanya kepada Schimdt. Beberapa hari lamanya ia
pun keluar masuk hutan mencari anaknya.
Beberapa waktu kemudian sang janda kembali menemui
Schmidt. Di depan perwira pasukan Belanda itu dia dengan
tenang dan satria berkata bahwa pesannya sudah disampaikan,
tapi anaknya tetap tak mau menyerah kepada Belanda. Janda itu
hanya berkata: “Hana jalan, tuan. Jih harok keu syahid lagee kuji”
(Tak ada jalan tuan. Ia menginginkan syahid seperti ayahnya!).
''Kalau begitu ia akan menyusahkan dirinya sendiri,'' kata
Schmidt yang segera dijawab wanita itu, “Teukeudi Allah ....”
(Takdir Allah!). Setelah itu Schmidt kemudian menyampaikan
rasa hormatnya dengan mengucapkan terima kasih dan
memberinya uang. Tapih, lagi-lagi wanita ini menolak.
Sebaliknya, ia hanya mengatakan bahwa apa yang
dikerjakannya semata-mata menolong menyampaikan pesan
saja. Dia menegaskan pula bahwa dirinya sama sekali tidak
menyangsikan segala akibat yang akan timbul dari jawaban
anaknya. Kepahlawanan itulah, yang hingga kini masih tampak
kuat pada masyarakat Aceh
244 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Penjajahan Kolonial Belanda


Pada 1914, Aceh mengalami kekalahan definitif terhadap
Belanda dan mulai saat itulah kristenisasi mulai dilancarkan,
dan hasilnya gagal. Namun, banyak pihak salah melihat Snouck
Hurgronje dan mengkaitkannya dengan kristenisasi di
Indonesia. Untuk kasus Aceh, meskipun data dan fakta sejarah
telah jelas seperti tersebut di atas, namun di Indonesia sendiri
pernah terjadi semacam kegoncangan di kalangan umat Islam
yang banyak memperhatikan seluk-beluk nasib umat. Pada
tahun 1985 Prof. Dr. HM. Rasjidi yang dikenal sangat vokal
terhadap pemikiran Barat walaupun beliau alumni Barat, dan
vokal pula dalam hal kristenisasi, namun justru beliau jelas-jelas
mengemukakan bahwa Christian Snouck Hurgronje itu teman
umat Islam Indonesia. Beliau menyalahkan Muslimin pada
umumnya yang menganggap Snouck itu musuh, karena
menurut beliau, Muslimin pada umumnya tidak membaca
karya-karya orientalisme. Justru Snouck menurut HM. Rasjidi,
pernah berpolemik dengan anggota parlemen Belanda, karena
Snouck tak membolehkan orang Islam di Indonesia untuk
dikristenkan. Berikut ini pendapat HM. Rasjidi yang dituangkan
H. Subagijo A.N. Dalam biografi HM. Rasjidi: “Tiap kali
Rasjidi mengamati kepribadian Massignon, tiap kali pula dia
teringat tokoh di negaranya sendiri, Christian Snouck
Hurgronje, seorang orientalis besar pada zamannya. Oleh
kebanyakan orang di Indonesia, Snouck Horgronje dianggap
sebagai kaki tangan kaum imperalis, alat kaum penjajah,
sehingga segala ulah dan sikapnya dinilai sangat
menguntungkan kolonialis Belanda semata. Namun bagi
Rasjidi, figur Snouck Hurgronje justru merupakan teman umat
Islam Indonesia. Penilaian keliru terhadap Snouck itu, menurut
Rasjidi disebabkan karena pada umumnya orang belum pernah
membaca buku-buku karya orientalis tadi secara lengkap dan
teliti. Sebagai cendekiawan yang sudah membaca seluruh karya
Snouck Hurgronje secara tuntas, Rasjidi sampai pada
kesimpulan, bahwa doktor tersebut pada hakekatnya adalah
teman umat Islam Indonesia. Snouck, di kalangan orang
Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 245

Belanda sendiri dikenal sebagai seorang yang anti zending dan


anti missi. Snouck pernah berpolemik dengan anggota parlemen
Belanda yang menaruh simpati pada gereja. Ujar sang anggota
parlemen, “Kami ini tidak mengkristenkan orang Islam. Yang
kami kristenkan adalah orang-orang Jawa yang tidak
bersembahyang, yang tidak membaca Qur’an, yang hanya bisa
mengucapkan syahadat pada waktu akan nikah saja.” Ucapan
itu ditanggapi Snouck dengan tegas jelas: “Kalau Anda sudah
tahu bahwa orang Jawa mengaku Islam, itu sudah cukup.
Bahwa mereka tidak mendirikan shalat, tidak paham bahasa
Arab, itu sama sekali tidak mengurangi sifat keislamannya.
Anda sendiri yang mengaku umat Kristen, apakah semua juga
pernah membaca Injil? Dan juga pergi ke gereja dengan
teratur? Dan bila di dalam Injil disebutkan: ‘Bila diminta
bajunya, hendaknya Anda kasihkan jubahnya’, apakah Anda
pernah memberi jubah yang diminta orang lain?” Demikian
antara lain polemik antara Dr. Snouck Hurgronje dengan
anggota parlemen Belanda yang membawakan suara kaum
gerejani. Apa yang dikemukakan Dr. HM. Rasjidi itu tidak bisa
dijadikan landasan bahwa Snouck Hurgrunje tidak
menginginkan umat Islam Indonesia jadi Kristen. Justru
maksud dan tujuannya hampir sama dengan missionaris, hanya
saja cara mengkristenkannya itu bukan lewat kristenisasi model
missionaris, namun lewat budaya, agar umat Islam tergiring
tanpa terasa. Kalau model missionaris, menurut pandangan
Snouck, justru akan terjadi reaksi dari umat Islam, hingga apa
yang dituju, yaitu pengkristenan itu sendiri tidak akan tercapai.
Cara yang ditempuh Snouck itu bisa dibuktikan dengan apa
yang ditulis oleh para peneliti sebagai berikut. Deliar Noer
menulis: “Asosiasi sebagai kebijaksanaan yang diperjuangkan
ilmuwan Belanda Christian Snouck Hurgronje, mendapat
tempat hanya pada beberapa gelintir orang Belanda dan
Indonesia saja terutama mereka yang berafiliasi dengan
perkumpulan Nederlandsch Indische Vrijzinningen Bond (Kesatuan
Kaum Liberal Hindia Belanda).” Lanjut Deliar, yang
dipersoalkan oleh Snouck Hurgronje ialah bagaimana
246 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

menghadapi soal Islam.16 Hal ini mudah dipahami karena Islam


telah memperlihatkan semangat perjuangannya di Indonesia
dalam bentuk pemberontakan dan perlawanan terhadap
penetrasi Belanda di berbagai wilayah negeri ini.
Snouck Hurgronje mengamati bahwa walaupun Islam di
Indonesia banyak tertutup oleh lapisan kepercayaan lain,
seperti kepercayaan animisme dan Hindu. Orang-orang Islam
di negeri ini pada waktu itu menganggap agama mereka sebagai
alat pengikat yang kuat yang membedakan mereka dari orang-
orang yang bukan Islam yang mereka anggap sebagai “orang
asing”. Snouck Hurgronje menasehatkan pemerintah Belanda
agar memberikan perhatian yang sangat kepada pendidikan dan
pengajaran orang Islam Indonesia tanpa menghubungkannya
dengan persoalan pengkristenan. Cara ini, katanya akan
memajukan mereka dari sistem Islam. Cara ini akan membuat
orang pribumi untuk menerima kebudayaan Belanda, yaitu
kebudayaan Barat, dan menumbuhkan pula pengertian yang
lebih baik di antara mereka terhadap orang-orang Belanda.
Katanya lagi, adalah dia dalam asosiasi penduduk pribumi
dengan kebudayaan kita (Belanda) terletak pemecahan
persoalan Islam.17 Cara ini akan menghapuskan perbedaan yang
dijumpai dalam aspek politik dan sosial karena kepercayaan
agama (yang berbeda). Hurgronje menambahkan lagi bahwa
asosiasi itu akan menghilangkan cita-cita pan-Islam dari segala
kekuatannya. Secara tak langsung cara tersebut akan
bermanfaat bagi penyebaran agama Kristen sendiri, katanya
lagi, sebab pelaksanaan politik asosiasi itu akhirnya akan
memudahkan pekerjaan missi, oleh sebab missi akan dapat lebih
menumbuhkan pengertian pada kalangan penduduk pribumi
yang telah kena asosiasi itu terhadap mereka. Tetapi Politik Etis
16 Walaupun begitu, demikian Snouck Hurgronje, orang Islam di Indonesia
lebih memperhatikan persoalan Islam sebagai agama dalam pengertian yang
sempit (seperti perkawinan, hubungan keluarga, peraturan berkenaan dengan
waris) sedangkan aspek politik dan sosial dari agama Islam kurang mendapat
perhatian.
17 Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (terj.),

(Jakarta: LP3ES, 1996).


Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 247

tidaklah sesabar kaum militer dalam hal pengkristenan. Politik


Etis tidak mengendurkan kegiatan missionaris agar memberi
jalan bagi proses asosiasi seperti yang disarankan ilmuwan
Belanda tersebut. Dalam hubungan ini pernyataan Kerajaan
Belanda dalam tahun 1901 yang memperkenalkan Politik Etis
itu merupakan suatu bukti nyata. Sebagai bangsa Kristen,
Belanda mempunyai kewajiban untuk memperbaiki keadaan
orang-orang Kristen pribumi di daerah kepulauan Nusantara,
memberikan bantuan lebih banyak kepada kegiatan missi
Kristen, dan memberikan penerangan kepada segenap petugas
bahwa Belanda mempunyai kewajiban moril terhadap
penduduk wilayah itu. Jadi persoalannya jelas, bukan karena
Snouck tak membolehkan pengkristenan umat Islam di
Indonesia, namun hanya beda cara antara Snouck dengan
pemerintahan penjajah Belanda. Sedangkan missionaris pun
didatangkan secara resmi oleh pemerintahan Belanda, ditambah
pula dana yang jauh sangat berlipat-lipat dibanding terhadap
Islam. Bisa disimak data berikut:

Tabel 1
Subsidi dalam tahun
(Jumlah dalam gulden)

Tahun
Agama
1936 1937 1938 1939
Protestan 686.100 683.200 696.100 844.000
Katholik 286.500 290.700 296.400 335.700
Islam 7.500 7.500 7,500 7.600
Sumber: Staatsblad 1936: No. 355 hlm. 25, 26; 1937: No. 410, hlm. 25, 26; 1938:
No. 511, hlm. 27,28; 1939: No. 593, hlm. 32, sebagaimana dikutip dari Deliar
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (terj.), (Jakarta: LP3ES, 1996),
hlm. 39.

Setelah tergambar bahwa pengkristenan Indonesia oleh


Belanda itu memang disengaja oleh penjajah Belanda, dan
sebenarnya didukung pula oleh penasihat ahlinya, yaitu Snouck
248 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Hurgronje, hanya saja beda caranya. Maka sikap Snouck itu


akan tampak lebih jelas lagi dalam data dan kemudian
pernyataan Snouck Hurgronje sendiri. Berikut ini data
sejarahnya. Orientasi Snouck Hurgronje tampak jelas dalam
bantahannya yang keras kepada Menteri Belanda, Lohman,
dalam surat yang ditulisnya kepada menteri pada 19 Desember
1913. Surat-surat kabar memuat penjelasan menteri bahwa
Snouck Hurgronje mendukung semboyan “Hindia Belanda
(Nusantara) untuk pengikut-pengikut Muhammad (orang-
orang Islam)”. Snouck Hurgronje menulis: “Saya amat
bergembira sekiranya tanggung jawab kesalahpahaman ini
terletak pada para redaktur surat kabar. Jika demikian,
masalahnya menjadi mudah. Akan tetapi, jika yang terjadi
ternyata para redaktur membuat tulisan itu berdasarkan ucapan
Anda, maka saya bertanya kepada Anda dengan penuh sopan.
Anda mesti memberitahukan saya, yang mana dari tulisan-
tulisan saya yang tidak sedikit membahas Islam di Hindia
Belanda yang membuat Anda salah paham tersebut? Barangkali
Anda tidak tahu bahwa saya tanpa kepentingan pribadi, telah
memberikan andil dalam pengkaderan para missionaris di
Rotterdam. Karena ceramah-ceramah saya tentang Belanda dan
Islam, saya menerima surat-surat penghargaan yang dikirim
kepada saya secara langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia
Belanda, Direktur Missi Kristenisasi, dan missionaris Adriani,
dan dari Albert Kruyt, mantan Konsul di Jeddah. Mereka
semua sudah menjalin hubungan persahabatan dengan saya
sejak 25 tahun yang lalu. Karena itu, saya berhak menuntut agar
jangan menilai kecuali pada apa yang saya katakan atau yang
saya tulis sendiri. Yang saya inginkan, agar mereka yang tidak
menguasai persoalan hendaklah berdiam diri dan tidak
berbicara tentang saya, dan tentang pekerjaan saya dalam
pertemuan-pertemuan orang banyak.”
Dari perasaan superioritas itulah, Snouck Hurgronje
menyerang syariat, karena seperti para orientalis lain pada
masanya, dia percaya bahwa kebudayaan Eropa tidak mungkin
memberantas orang-orang Muslim, kecuali jika mereka
Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 249

melepaskan diri dari agama reaksioner. Karena itu, dia tidak


bersemangat atas pengiriman missi pekabaran Injil. Pada waktu
yang sama, dia tidak memberi perintah untuk melarang
pengiriman missi ke Hindia Belanda, kecuali jika mayoritas
penduduknya menganut Islam, mereka diperintahkan
menjalankan muslihat dan bujuk rayu. Di samping itu, dia pun
menggalakkan pembukaan sekolah-sekolah missi dengan
harapan agar penganut Islam secara berangsur beralih ke agama
Kristen. Orientalis secara garis besar ada tiga kategori: (a)
mengabdi kepentingan penjajah, (b) menjalankan missi
Kristen/ Katholik, (c) berupaya obyektif, tetapi ini sangat
langka dan bahkan dimusuhi oleh dua kelompok lainnya.
Orientalis tradisional adalah yang mengabdi kepada penjajah
dan kepentingan missi. Sehingga bila ada orientalis yang mau
obyektif maka dipengaruhi bahkan dimusuhi oleh para
orientalis tradisional itu.
Christian Snouck Hurgronje adalah orientalis Belanda
terkemuka akhir abad 19 dan abad 20 (w. 1936) yang menjadi
penasehat khusus kolonial Belanda urusan (Islam) di Hindia
Belanda. Untuk kepentingan kolonial Belanda itu Snouck
menyamar sebagai orang Islam atau bahkan mungkin sekali
menjadi Muslim sejati dan masuk ke Makkah selama 6,5 bulan
dengan nama Tsani Abdul Gaffar. Atas bantuan Raden Abu
Bakar, bangsawan Indonesia di Jeddah, maka Snouck bisa
menemui syaikh-syaikh di Makkah bahkan ulama tertinggi,
Ahmad bin Zaini Dahlan. Atas bantuan Raden Abu Bakar itu
Snouck mendapatkan rekomendasi dari Ahmad bin Zaini
Dahlan, Mufti Makkah, untuk berhubungan dengan ulama-
ulama di Jawa. Kepentingan itu tampaknya gayung bersambut,
karena Mufti Makkah Ahmad bin Zaini Dahlan adalah orang
yang paling keras menentang Wahabi bahkan memfatwakan
bahwa Muhammad bin Abdul Wahab pendiri paham Wahabi
sebagai Musailamah al-Kaddzab baru, karena sama-sama dari
Yamamah. Pengaruh Wahabi jangan sampai tumbuh di Jawa,
maka rekomendasi untuk Snouck pun diberikan oleh Mufti
250 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Ahmad Zaini Dahlan demi memperlancar hubungannya


dengan para ulama di Nusantara.
Kelihaiyan Snouck di Aceh pun tak kurang
menguntungkan bagi Belanda. Dengan adanya Snouck bisa
mendekati Habib Abdurrahman Ad-Dhahir yang
menginginkan jadi sultan di Aceh. Snouck mampu mengorek
rahasia-rahasia yang dijual oleh habib itu tentang ulama dan
umat Islam Aceh. Setelah Snouck mendapatkan rahasia akurat
dari pengkhianat, yaitu Habib Abdurrahman tersebut, maka
Snouck mengusulkan kepada pemerintah Belanda bahwa tidak
ada jalan lain kecuali menghancurkan para ulama Aceh.
Meskipun sebegitu tegasnya untuk menghancurkan ulama dan
Muslimin Aceh, namun Snouck tidak setuju kalau kristenisasi
di Nusantara itu memakai cara-cara yang dilakukan missionaris
selama ini. Snouck menyarankan agar kristenisasi dilakukan
secara pendekatan dan sosialisasi budaya Eropa/Belanda.
Dengan cara pendekatan budaya itu menurut Snouck, umat
Islam di Nusantara tidak bereaksi, dan bahkan nantinya mereka
masuk Kristen dengan sendirinya. Ide dan cara yang diusulkan
Snouck itu ditentang oleh pihak missionaris yang memang
ditugaskan secara resmi oleh Kerajaan Belanda ke Nusantara,
sehingga terjadi polemik antara Snouck dengan anggota
parlemen, dan bahkan Menteri Belanda, Lohman menuduh
Snouck sebagai orang yang menghalangi kristenisasi di
Nusantara (Indonesia).18

18 Tidak kurang dari itu, H.M. Rasjidi, intelektual Indonesia yang dikenal

anti kristenisasi pun bahkan menilai Snouck sebagai teman umat Islam Indonesia,
karena Snouck tak membolehkan umat Islam ini dikristenkan Belanda. Apa yang
dipahami H.M. Rasjidi itu sangat mendasar, karena justru Snouck sendiri menolak
keras tuduhan Menteri Belanda, Lohman, yang menganggap Snouck tak
menyetujui kristenisasi di Hindia Belanda, dan di Aceh ia menolak keras
kristenisasi berdasarkan kesarjanaan tentang daerah ini. Lihat Deliar Noer,Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (terj.), (Jakarta: LP3ES, 1996).
Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 251

Aceh Masa Orde Lama


Lepas dari mulut singa masuk ke mulut buaya. Kira-kira
demikianlah makna peralihan sejarah dari kolonial Belanda ke
Orde Lama, dalam pandangan orang-orang Aceh. Semenjak
munculnya konsep baru negara kebangsaan (nation state) pada
masa awal pasca kolonialisme, banyak pesimisme yang
berkembang di kalangan para pengamat negara-negara yang
baru lahir tersebut. Pesimisme mereka terutama para ilmuwan
poilitik dan antropolog, didasarkan pada kenyataan bahwa
negara kebangsaan dibangun hanya atas satu semangat, yaitu
semangat untuk merdeka dari penjajah (bangsa-bangsa
maju/Barat). Semangat ini diasumsikan tidak mampu bertahan
lama untuk menopang tetap tegaknya negara bangsa tersebut
karena proses kemajuan zaman akan menggerogoti semangat
tersebut.
Dalam era Perang Dingin, yang merupakan masa political
blocking yang dialami negara kebangsaan setelah lepas dari
kolonialisme, banyak tawaran menggiurkan dari kubu liberal
dengan "program pembangunan" yang dikenal dengan istilah
modernisasi, yang telah mempengaruhi kesadaran masyarakat
dan rakyat di negara baru yang terdiri dari banyak lapisan
horizontal dan vertikal. Tawaran yang sempat mempengaruhi
kesadaran rakyat ini pada akhirnya berakibat semangat
persatuan (raison d'etre) yang dulu menjadi sendi dasar
pembentuk negara kebangsaan tersebut menjadi pudar. Ini
konsekuensi dari anggota masyarakat negara kebangsaan yang
sadar bahwa pembangunan (modernisasi) merupakan
pembaharuan sosial dan kemajuan material yang amat
diinginkan serta diperjuangkan dengan kuat.
Semangat mengejar ketertinggalan telah membuat banyak
pemimpin negara kebangsaan alpa mengingatkan masyarakat
bahwa semua tujuan yang diinginkan dan diperjuangkan itu
sangat tergantung dari kemampuan mereka bersatu dalam
masyarakat politik yang lebih besar, bebas, dan lebih kuat. Kini
setelah negara-negara kebangsaan berumur sekitar setengah
abad, semangat persatuan yang memudar itu semakin kentara
252 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

dimakan oleh kepentingan dan perbedaan yang tak lagi


terjembatani. Kepentingan dan perbedaan itu bisa
diekspresikan oleh denyut politik rakyat yang makin
memperoleh kesadaran lain dalam melihat realitas. Di mana-
mana terjadi kesenjangan sosial dan ekonomi, aksi mogok
buruh yang meningkat, bangkitnya romantisme demonstrasi
yang digelar ekonomi dan kecemburuan sosial, keberanian
rakyat kecil (lumpen political group) menentang alat-alat kekuasaan
negara yang dianggap mewakili kepentingan pihak-pihak
tertentu yang lebih diuntungkan ketimbang rakyat, dan mata
rantai separatisme kedaerahan yang sering muncul secara tidak
terduga dan konstan.
Denyut politik ini merupakan ekses dari gagalnya tujuan
politik masyarakat untuk membangun masyarakat politik yang
bebas, kuat, dan besar, yang secara langsung memperkuat
sendi-sendi tradisi politik yang demokratis. Negara kebangsaan,
menurut Clifford Geertz,19 dibangun atas persamaan nasib.
Sedangkan bangsa adalah sekelompok besar orang yang punya
keinginan untuk bersatu karena punya banyak persamaan
sejarah. Sebuah bangsa di dalamnya terdiri dari berbagai macam
kelompok primordial (etnis, ras, dan agama) dengan budayanya
masing-masing. Kenyataan ini memperkuat persepsi bangsa
yang memiliki kesetiaan primordial (primordial sentiments) untuk
menghadapi kelompok lain di luar bangsa tersebut yang disebut
sebagai common enemy (bangsa-bangsa penjajah). Namun ketika
menjadi negara baru, musuh bersama yang dulunya dihadapi
dengan semangat patriotisme yang tinggi kini menghilang dan
mulai secara perlahan-lahan mengumpulkan perbedaan di
antara sesama bangsa. Negara kebangsaan yang baru lahir dari
sisa-sisa kerangka pemerintahan kolonial, diletakkan di atas
suatu jaringan halus penuh rasa cinta campur permusuhan dan
bagaimanapun harus mengubahnya menjadi satu bagian dari
politik modern. Penempatan kesadaran politik modern di atas
masyarakat yang sebagian besar belum menjalani proses
19 Lihat Clifford Geertz, Agricultural Involution: The Process Ecological Changes
in Indonesia, (Berkeley: University of California Press, 1963).
Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 253

modernisasi memang cenderung membangkitkan gairah politik


yang secara bersamaan masyarakat juga masih mendasarkan diri
pada ikatan-ikatan primordial —pengakuan terhadap
kewenangan yang sah masih lebih besar di arahkan pada
kesukuan, daerah, sekte dan sebagainya— daripada terhadap
pusat kekuasaan yang berkembang cepat dan tak terpisahkan
dari masyarakat. Proses penciptaan politik perebutkan dan
menciptakan kekuatan baru mengerikan, dan yang harus
dihadapi. Konflik-konflik baru muncul bersamaan dengan
berkembangnya masyarakat yang didorong oleh semangat
pembangunan untuk mengisi kemerdekaan. Konflik yang
semula bersumber dari perbedaan persepsi yang terdapat dalam
masing-masng kelompok primordial mengarah pada kristalisasi
perbedaan persepsi secara politis yang jika intensitasnya tinggi
berakibat terjadinya disintegrasi atau pada derajat tertentu
adalah ketidakstabilan politik yang semakin parah.
Sumber ketidakstabilan politik di negara-negara
berkembang —yang notabene dengan negara kebangsaan
adalah kesetiaan-kesetiaan primordial yang digunakan sebagai
gerakan politik. Seperti yang disinyalir oleh Menhankam Edi
Sudrajat bahwa perbedaan-perbedaan etnis dan pandangan
yang sempit akan ajaran agama dapat menjerumuskan orang ke
dalam rendahnya perasaan kebangsaan. Kelompok primordial
adalah kelompok dasar setiap budaya yang tidak mungkin
untuk dihilangkan. Intensitas dan nilai rasanya bisa direduksi
hingga ke tingkat yang paling rendah, namun sama sekali tidak
bisa dihilangkan. Ini sudah merupakan "hukum alam" dalam
ilmu sosial. Dalam perjalanan sejarah bangsa kita di Indonesia,
ketika bangsa ini hendak mencapai titik kulminasi terlepas dari
penjajahan, semua kelompok primordial bergabung dalam satu
perjuangan dengan menepis banyak perbedaan di antara
mereka. Akan tetapi, setelah kulminasi itu terlewatkan, mulailah
bangsa ini mempersoalkan alokasi kekuasaan yang tidak merata.
Geertz menyebutkan adanya salah satu pola umum yang
menandai timpangnya alokasi kekuasaan ini ialah adanya suatu
kelompok dominan dan kelompok sentral —seringkali dalam
254 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

arti geografis di samping dalam arti politis— yang berhadapan


dengan beberapa kelompok menengah yang agak menentang
seperti fenomena Jawa lawan luar-Jawa. Realitas ini lebih dari
sekadar klise-klise sosiologis yang banyak diulas oleh banyak
pengamat.

Aceh Masa Orde Baru


Dari mulut buaya, Aceh kemudian masuk ke mulut
serigala. Kira-kira demikianlah yang dirasakan rakyat Aceh
semenjak naiknya Soeharto ke panggung politik Indonesia
sebagai presiden. Aceh belum selesai berintegrasi kepada
Indonesia tahun 1945, masih juga terus berhadapan dengan
negara yang semakin otoriter. Respon Aceh terhadap diktator
Soeharto yang semakin otoriter adalah dengan mengedepankan
gerakan primordial. Negara-negara kebangsaan, seperti halnya
dengan Indonesia, umumnya mudah menjurus pada
ketimpangan-ketimpangan serius akibat ikatan-ikatan
primordial. Ikatan primordial yang dimaksudkan, seperti yang
dijelaskan oleh Geertz, adalah perasaan yang lahir dari yang
cukup berada dalam kehidupan sosial sebagian besar dari
hubungan langsung dan hubungan keluarga, tapi juga meliputi
keanggotaan dari lingkungan keagamaan tertentu, bahasa
tertentu, atau dialek tertentu serta kebiasaan-kebiasaan sosial
tertentu yang kesemuanya memiliki kekuatan yang meyakinkan.
Beberapa waktu lalu, Presiden Soeharto berkali-kali
menyampaikan ungkapan keprihatinannya atas munculnya
kecenderungan beberapa kelompok tertentu yang ingin
menggantikan ideologi Pancasila. Kelompok primordial yang
berkepentingan dalam delik ideologis adalah kelompok agama.
Kalau kelompok primordial etnis atau kedaerahan
mempertajam adanya konflik karena secara geografis negara
kebangsaan tidak bersambungan, maka kelompok primordial
agama bisa melewati batas geografis ini. Tujuan pembangunan
politik yang semula adalah untuk menciptakan adanya integrasi,
mengarah kepada integrasi semu yang lebih mirip agregasi.
Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 255

Bukannya berusaha menghilangkan perbedaan, dan tetap


potensial untuk konflik politik.
Apalagi sulitlah dipisahkan antara kelompok primordial
dan kelompok politik, yang apabila sempat muncul ke
permukaan sebagai konflik (baik fisik maupun non-fisik), tidak
mudah untuk diselesaikan. Sulit dicari jalan keluarnya, sulit
diharap adanya konsensus dari suasana seperti ini. Belum lagi
terdapat akumulasi kekecewaan di kalangan rakyat di negara ini,
seperti; kecemburuan sosial, kurangnya jaminan negara atas
keselamatan masyarakat yang diliputi rasa takut akan
kriminalitas yang berkembang, ketidakpuasan ekonomi dari
kasus-kasus unjuk rasa buruh, ketidakpuasan psikologis atas
persoalan politik di tingkat elite yang diselesaikan pemerintah
dengan setengah hati, dan lain-lain. Inilah tantangan yang harus
kita hadapi sebagai bangsa, yang ingin mempertahankan
persatuan dan kesatuan.20
Aceh bagaikan berada dalam mulut kawanan serigala yang
buas dan lapar. Aceh tercabik-cabik dihantam badai bencana
politik yang parah pada tahun 1989 hingga 1998. Persoalan
Aceh pada periode ini adalah persoalan nasionalisme etnis,
alienasi masyarakat terhadap negara dan kekerasan yang
eskalasinya semakin meningkat seiring dengan terjadinya proses
internasionalisasi persoalan Aceh di tingkat organisasi-
organisasi dunia. Kekerasan negara ynag muncul pada era
DOM (Daerah Operasi Militer) tahun 1989-1998 adalah sebab
utama terjadinya serangkaian konflik dan kekerasan yang lebih
luas di Aceh.21 Sejarah masa lalu yang mengisahkan
kegemilangan kerajaan-kerajaan Aceh melawan kekuatan-
kekuatan kolonial juga menjadi sebab yang semakin memupuk
emosi nasionalisme etnik di Aceh. Selain itu, pada era Perang
Kemerdekaan, Aceh telah menyumbang begitu banyak

20Al Chaidar, “Primordialisme dan Negara-Negara Kebangsaan”, Kompas, 7

Mei 1994, hal. 4.


21 Tentang hal ini, lihat misalnya al-Chaidar, Sayed Mudhahar Ahmad, dan

Yarmen Dinamika, Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status Daerah


Operasi Militer di Aceh 1989-1998, Jakarta: Al-Kautsar, 1999.
256 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

kontribusi sosial, ekonomi, militer, dan politik yang sangat


besar terhadap Republik Indonesia yang baru berdiri ―namun
ternyata yang datang ke masyarakat Aceh kemudian adalah
kekerasan demi kekerasan yang dilakukan oleh negara.22
Misalnya, dalam hal kontribusi sosial, Aceh ketika pra
kemerdekaan dan pasca kemerdekaan republik, telah berupaya
sangat strategis dimana Aceh dan masyarakat Indonesia bahu-
membahu menciptakan rasa nasionalisme yang tinggi untuk
kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semangat
para tokoh-tokoh agama di Aceh telah melahirkan ketekatan
yang bulat yang di sambut oleh masyarakat Aceh untuk
berdirinya Indonesia yang kuat. Demikian pula dari sudut
penyehatan ekonomi republik dengan perannya Aceh di masa
awal, yang kemudian terjadi penyegaran-penyegaran terhadap
alat-alat pokok suatu Negara yang semakin kuat. Dan pada saat
itu hanya Aceh-lah yang sangup melakukan itu, karena wilayah
lain di Indonesia masih dalam kekuasaan imperialis dan
kolonialis. Sejumlah sekian dolar, emas, kisah pesawat Dakota,
peran radio rimba raya, seakan-akan telah di telan lenyap oleh
bumi dalam sejarahnya Indonesia. Padahal Aceh ketika itu
adalah masyarakat sangat menginginkan suatu negara yang
bermartabat dan sejajar dengan Negara-negara maju
internasional, yang bisa di wakili dalam suatu payung negara
yang baru lahir. Namun, semua harapan itu tak mendapat
sambutan yang baik, di sebabkan iklim perpolitikan dalam
negeripun sangat dinamis, dan multi kepentingan
pembangunan sentralistik.
Pergolakan di Aceh sekarang —dengan memakai
kacamata analisis SN Eisenstadt23— adalah sebuah ekspresi
protes biasa yang terdapat dalam masyarakat tradisional yang
tengah berada dalam transisi menuju masyarakat modern.
Dimulai dengan protest, diikuti dengan change (perubahan), maka
barulah modernisasi atau pembangunan bisa digelar. Kekuatan

Lihat Tim Kell, The Roots Of Acehnese Rebellion 1989-1992, (Ithaca: Cornell
22

Modern Indonesia Project, 1995).


23 Lihat dalam bukunya Modernization, Protest, and Change, 1967.
Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 257

penuh gerakan-gerakan protes ini akan menemukan


jawabannya bila mereka dikaitkan dengan kompleks perubahan
struktural yang menyertai perkembangan modernitas dan
peradaban modern.24 Maka hanya dengan membangun sistem
yang sesuai dengan aspirasi rakyat sajalah semua pergolakan di
Aceh akan dapat diselesaikan. Harus ada minimal satu program
aksi (dan juga penelitian) untuk mengagregasi dan
mengartikulasi aspirasi murni rakyat Aceh dan agar "klaim" atas
nama mereka bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan
etika.
Kenyataan Aceh yang semakin hari semakin menyesakkan
dada ini perlu ada satu tindakan aksiologis dalam bentuk
“musyawarah besar” (Duk Pakat Rayeuk) Rakyat Aceh untuk
mengambil langkah-langkah reformatif dan participatory approach,
di mana gagasan mereka sendirilah yang dijadikan acuan
mengatasi masalah-masalah keamanan, sosial, ekonomi, dan
politik di Aceh akhir-akhir ini. Selain itu, tak kalah pentingnya,
juga melakukan serangkaian dialog (Duk Pakat) dengan tokoh-
tokoh pimpinan lokal informal di tingkat terbawah yang
diidentifikasi memiliki meunasah atau dayah. Kemudian dibahas
dalam suatu musyawarah informal rakyat Aceh (Duk Pakat
Rayeuk Rakyat Aceh). “Duk Pakat Rayeuk Rakyat Aceh” juga
merupakan suatu pengulangan kesuksesan sejarah “Ikrar Lam
Teh”dan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh di tahun 1960-
an, ketika para elit bangsa menyatukan pandangan untuk
menyelesaiakan persoalan keamanan Aceh.
Selain lembaga keilmuwan seperti dayah, institusi
musyawarah adalah institusi tertinggi yang sangat dihormati
rakyat Aceh. Dan dari sejarah kita dapat mengambil pelajaran
bahwa penyelesaian secara musyawarah adalah satu-satunya
kenyataan yang pernah terwujud ketika menyelesaikan kasus
“Gerakan Teungku Daud Beureueh”. Musyawarah memiliki
arti penting yang sangat mendalam karena merupakan satu
ikhtiar alamiah untuk melihat kondisi Aceh secara obyektif dan
24 SN Eisenstadt: Tradition, Change, and Modernity, New York, Wiley, 1973,
hlm 3.
258 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

—berdasarkan obyektivitas tersebut— rakyat bisa menentukan


langkah masa depan sehingga program ini diharapkan terhindar
dari jawaban-jawaban diplomatis elit yang selingkali
kontradiktif dan membingungkan. Selama masih mensakralkan,
mengkuduskan bentuk negara kesatuan RI, hanya tersedia jalan
untuk penyelesaian masalah Aceh, yaitu jalan kekerasan, seperti
yang dilakukan oleh Jenderal Ahmad Yani menumpas PRRI di
Sumatera Barat dan PERMESTA (Pemberontakan Rakyat
Semesta) di Sulawesi Utara dengan menggunakan seluruh
kekuatan Pasukan Gerak Cepat dari Angkatan Darat, Angkatan
Laut dan Angkatan Udara dalam waktu secepat mungkin dan
dengan risiko seminimal mungkin, baik risiko korban harta-
benda, maupun risiko korban nyawa. Tapi kalau mau
menempuh jalan damaipun, hanya mungkin diwujudkan
bilamana disepakati bentuk negara serikat RI, di mana Aceh
termasuk salah satu negara bagian RI yang hanya memiliki
kedaulatan ke dalam, dan bukan memiliki kedaulatana ke luar.
Aceh adalah satu-satunya wilayah Nusantara yang
memiliki latar sejarah yang sangat berbeda dengan wilayah
Nusantara lainnya. Dan dilihat lebih jauh lagi bahwasanya,
Aceh merupakan yang terdiri dari berbagai Negara-negara
bagian kecil seperti Peureulak, Samudera Pasai, Pidie, dan
Daya. Karenya awal Abad XVI, Aceh adalah suatu Negara yang
besar dan diakui oleh masyarakat dunia, terlebih-lebih setelah
keseluruhan kerajaan bersatu di bawah kekuasaan Aceh
Darussalam. Dan proses berjalanya suatu Negara sebagaimana
layaknya suatu negara yang besar. Artinya, hubungan Aceh
dengan Negara-negara besar di tempat lain berlangsung dengan
selayaknya suatu negara yang bermartabat. Dalam hal
kolonialisasi oleh bangsa penjajah di Indonesia, hanya Aceh
yang paling terakhir dapat ditaklukkan oleh kolonialis Belanda,
yaitu pada perempat akhir abad ke-19. Penganut aliran
kemanusiaan (humanisme) berkata: “Aku kebetulan dilahirkan
sebagai bangsa Indonesia. Untuk sesuatu yang kebetulan aku
tidak akan mengorbankan jiwa dengan kemauanku sendiri.
Kebangsaan adalah sesuatu yang sangat terbatas untuk ada
Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 259

harganya mengorbankan jiwa untuknya”. “Kemanusiaan hanya


memperhatikan dan mempertahankan jiwa manusia dan jiwa
satu manusia pun tak mau ia mengurbankannya untuk
kepentingan apa pun. Dan jiwa satu manusia lebih berharga
dari jiwa negara sekali pun”.
Sebaliknya penganut aliran kebangsaan (nasionalisme)
berkata: “Kemanusiaanku kukorbankan. Dan sekarang ini jiwa
dan ragaku sendiri. Kupaksa diriku menjalani kekejaman dan
pembunuhan agar orang bisa menikmati kedamaian dan
kemerdekaan”.25 Ketegangan antara pusat dan daerah yang
teraktualisasikan berupa tuntutan merdeka, misalnya sebagai
mana yang terjadi di Aceh, Papua (Irian), Riau, dan Makassar
(bahkan secara diam-diam sebenarnya daerah lain juga), dengan
segala latar penyebabnya, sebenarnya bukanlah hal yang baru.
Rezim Soeharto yang begitu kokoh selama 3 dasawarsa
berkuasa telah membuat banyak orang lupa adanya akar-akar
ketegangan tak terselesaikan di masa lalu. Seharusnya bukannya
orang-orang pintar dari Jawa yang kini terkejut dengan segala
tuntutan lokal itu, tapi orang-orang pintar itu layak terkejut
bahwa selama ini mereka bisa melupakan api dalam sekam itu.
Dalam rezim Soekarno, ketegangan itu sebagian
teraktualisasikan dalam pemberontakan di daerah-daerah,
kemudian ditumpas, tapi sebenarnya tak berhasil, karena akar-
akar wacananya tetap hidup di daerah. Lalu dalam rezim
sentralistik-represif Soeharto, akar dari pucuk-pucuk pohon
ketidakpuasan daerah yang ditebang rezim Soekarno itu, malah
terpupuk subur, bahkan menciptakan tanaman ketegangan baru
di daerah-daerah lain, yang hal ini tidak di sadari oleh elit pusat
pemerintah. Sesudah menebas habis aspirasi politik lokal, Orde
Baru kemudian malah membantai habis sisa-sisa akar ideologis
dan para ideolog di daerah-daerah.

25Lihat HB Jassin, Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay,


1954, hlm. 220-221.
260 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Aceh Masa Reformasi


Studi tentang tema ketegangan pusat dengan daerah pada
rezim Soeharto, sekalipun tak banyak dan belum menghasilkan
jawaban yang memuaskan, hampir-hampir tak pernah
diperhatikan orang pintar dari pusat Jakarta. Studi dan analisis
juga telah dilakukan tentang era rezim Soekarno, dilakukan
peneliti Barat dan Indonesia. Sebutlah secara acak Kahin
(1952), Feith (1963), Harley (1974), Geertz (1963), terus ke
Sjamsuddin (1990), ataupun Lerissa (1991). Sebagian dari hasil
studi itu, sekalipun konteks sudah berubah dan kompleksitas
permasalahannya berkembang) kini mulai juga dipantulkan dan
dijadikan argumen orang pintar dari Jakarta, termasuk sebagian
para pejabat pemerintah, militer termasuk anggota parlemen
untuk menjelaskan ketegangan yang sekarang terjadi. Argumen
itu kini mendominasi media massa Jakarta, dan solusi
pemecahan yang ditawarkan masih sebatas retorika pemberian
hak otonomi dari pusat ke daerah dalam hal keadilan sosial-
ekonomi, otonomi politik, plus tambahan otonomi budaya dan
agama, khusus untuk Aceh. Seakan-akan dengan itu semua
keadaan menjadi beres, dan negeri ini dapat lenggang kangkung
berjalan menuju ke apa yang kini disebut secara tak jelas
sebagai Indonesia Baru. Hal ini merupakan suatu
penggampangan kompleksitas permasalahan yang patut
disesalkan, karena pusat ketika gempa politik itu, sebenarnya
bukan berada pada wilayah ekonomi, ketidakadilan sosial, dan
politik, tapi pada wilayah penolakan hegemoni elit-elit Jawa.
Faktor-faktor ketidakadilan ekonomi, sosial, dan politik
hanyalah faktor-faktor yang memperkuat, mempertajam, serta
memicu faktor utama, yakni faktor penolakan orang luar Jawa
untuk takluk dalam hegemoni Jawa.26

26 Ketegangan Pusat-Daerah, Jawa-Luar Jawa itu, khususnya untuk kasus

Aceh telah pernah dilihat oleh Muhammad Subarkah jauh ke belakang, ke wacana
abad-abad yang dilupakan melalui sisi penolakan hegemoni politik Jawa dan
pantulannya yang sebangun (sekalipun tak sama) dengan masa kini. Kebetulan,
riset Subarkah belakangan ini di Universitas Hamburg, Jerman, memusatkan
perhatian pada tema wacana teks klasik tentang hubungan politik antara apa yang
Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 261

Perlu di tekankan bahwa, dalam penulisan buku ini pada


setiap kali penyebutan Jawa, dimaksudkan bukan dalam artian
etnik (suku) Jawa, melainkan pusat kekuasaan yang ada di Jawa
(Jakarta). Pusat kekuasaan itu dikendalikan baik oleh penguasa
orang Jawa, maupun oleh orang luar Jawa yang telah menjadi
bagian dari, dan pengabdi pada kekuasaan Jawa. Orang yang
terakhir ini ingin saya namakan sebagai Orang Jawa Luar, artinya
orang Jawa yang datang dari luar etnik Jawa. Dalam riset saya,
ada pemisahan yang tajam antara pusat kekuasaan politik Jawa
di satu pihak dengan peradaban Jawa di pihak lain. Hegemoni
Jawa yang dirujuk tulisan ini dimaksudkan pada kekuasaan
politik Jawa dan bukan pada peradaban Jawa dan bukan pada
peradaban Jawa yang sebenarnya tidak menimbulkan
ketegangan. Peradaban Jawa mendapat tempat penerimaan
dalam beberapa kasus di luar Jawa, sebaliknya kekuasaan politik
Jawa mendapat penentangan juga oleh pembelot-pembelot
Jawa yang melarikan diri ke luar Jawa.
Sumber ketegangan utama Jawa-Luar Jawa temuan riset
para sarjana adalah penolakan luar Jawa (dunia Melayu)
terhadap hegemoni politik Jawa (dalam teks Melayu direduksi
menjadi Majapahit). Padahal Jawa pada waktu itu tidak
menaklukkan dunia luar Jawa secara ekonomi dan teritorial
dalam pengertian masa kini. Jika fakta menunjukkan dalam
Indonesia moderen bahwa Jawa telah berperan sebagai
penjarah ekonomi daerah dan sebagai penguasa tunggal suatu
kawasan nyaris seluas benua Eropa, maka hal itu tidak
berlangsung di dunia klasik ini. Tapi ketegangan, dendam
kesumat dan kemuakan pada pusat kekuasaan Jawa telah
berlangsung di abad-abad yang lalu itu.
Teks-teks yang diteliti oleh para sarjana merupakan
wacana dari dunia Melayu yang melakukan perlawanan
terhadap hegemoni politik Jawa untuk mengukuhkan
kedaulatan di dunia mereka sendiri. Ini merupakan wacana
reaksi dan perlawanan dari orang yang secara politik menolak
kini dikenal sebagai Jawa dan Luar Jawa dalam konteks abad XVI-XVII (Die
politischen Beziehungen zwischen Malay und Java in der klassischer malaiischer Texte).
262 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

untuk ditaklukkan Jawa. Dalam wacana Melayu, Majapahit


bukanlah pusat kekuatan yang besar, bertolak belakang dengan
wacana Jawa tentang Majapahit dalam teks Nagarakertagama.
Teks Nagarakertagama khususnya bagian ekspansi fasisme Jawa
ke luar Jawa dapat dianggap sebagai wacana angan-angan
keangkuhan hegemoni Jawa, dan bukan sebuah dokumen
historis, sebagaimana secara kontroversial pernah dibongkar
Berg (1974). Sayangnya Sejarah Nasional resmi Indonesia (yang
tetap diagitasikan ke jutaan murid sekolah Indonesia, termasuk
murid di luar Jawa) masih berdasar tahyul Majapahit- Raya dan
teks Jawa Nagarakertagama. Tahyul ini telah diabsahkan
sejarahwan Jawa yang berperan sebagai “Prapanca-prapanca
moderen”, mulai dari Muhammad Yamin yang menjawakan
dirinya sampai ke Nugroho Notosusanto termasuk Sartono
Kartodirdjo beserta sejarahwan resmi yang menjadi pengikut
setianya.
Jangankan sukses menaklukkan Nusantara sebagaimana
dengan angkuh dan sesumbarnya disumpahkan Patih Gajah
Mada yang fasis itu, sedang Singapura sajapun tidak berhasil
dihancurkan Majapahit.27 Bila Majapahit berhasil mengalahkan
Singapura, maka itu merupakan kemenangan semu, karena
Singapura kalah bukan karena raksasa Majaphit lebih kuat, tapi
karena pembelotan elit di dalam negeri Singapura yang
menyuruh dan membantu Majapahit menikam Singapura dari
belakang.28 Jadi wacana teks dua kali menghancurkan wibawa
dan martabat Majapahit. Pertama, Majapahit kalah berperang
dengan Singapura, kedua, Majapahit hanya bisa menang perang
di luar Jawa bila bekerjasama dengan pengkhianat setempat.

27 Teks Sejarah Melayu (edisi Shellabear 1896) memperlihatkan bagaimana

militer Jawa pulang babak belur dengan kekalahan. Lihat Ichwan Azhari, Op.cit.
28 Jika teks Jawa Nagarakertagama memuja kesuksesan ekspedisi Majapahit

menghancurkan dunia Melayu melalui Ekspedisi Pamalayu 1275, maka teks


Melayu seakan mencemooh kesuksesan ekspedisi yang secara historis meragukan
itu. Lihat Ichwan Azhari, ibid.
Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 263

Aceh bukanlah bangsa yang mudah menyerah.29


Sekalipun teks ini menyalahkan Sultan Pasai yang
memperlemah kekuatannya, tapi Majapahit sebenarnya tidak
berhasil mengalahkan Pasai. Pasai kalah oleh Majapahit bukan
karena militer Majapahit lebih kuat dari militer Pasai, tapi
karena Majapahit dibantu oleh aliansi kerajaan-kerajaan
Sumatera untuk mengeroyok Pasai yang ada dalam kondisi
lemah. Itupun dengan susah payah baru bisa Pasai dikalahkan.
Tapi Majapahit sebenarnya lebih dulu wibawa dan martabatnya
dihancurkan Pasai melalui simbolisasi-demoralisasi anak
perempuan raja Majapahit yang menggilai anak Sultan Pasai
sampai nekat bunuh diri di perairan Aceh. Jadi teks ini dua kali
juga menghancurkan wibawa dan martabat Majapahit, Pertama,
anak raja Majapahit mati bunuh diri karena menggilai anak
Sultan Pasai. Kedua, Majapahit tidak bisa sendirian mengalahkan
Pasai yang lagi lemah kalau tidak main dengan cara
pengkroyokan dengan kerajaan lain.
Namun sisi lain yang menguntungkan ketika Majapahit
melakukan konfrontasi dengan Pasai, tak kala berimbas pada
islamisasi di Jawa. Banyak masyarakat Pasai saat itu pada abad
14, setelah terjadinya perang Majapahit dengan Pasai, orang
Pasai ditangkap (tawanan) Majapahit dan di bawakan ke pulau
Jawa. Kemudian tawanan inipun adalah yang bertanggung
jawab atas penyebaran Islam di sana. Sejarawan Ibrahim Alfian
dari Universitas Gaja Mada Yogyakarta mengemukakan bahwa,
hubungan khusus antara Pasai dengan Majapahit terjalin ketika
raja Majapahit mengawini putrid raja. Ketika adik lelaki raja
Pasai ke ibu kota Majapahit di Jawa timur, raja Majapahit
memberikan sebidang tanah kepada adik ipar ini, di kota
Ampel Jawa Timur. Sejak itu, Ampel menjadi pusat penyebaran
Islam di tanah Jawa. Kemudian, dari Ampel Islam melebar

29 Ini merupakan karakteristik khas Aceh yang tak mudah menyerah ketika
pernah diserbu Majapahit secara besar-besaran di dalam teks Hikayat Raja-Raja
Pasai (Koleksi Raffles, MS 67).
264 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

sayap ke Gersik di Jawa Timur, Kudus dan Demak di Jawa


Tengah, dan di berbagai kepulauan di pantai utara Jawa.30
Wacana tentang Aceh klasik ini secara replektif bisa
dibandingkan dengan mengajukan pertanyaan apakah TNI
benar-benar bisa menaklukkan rakyat Aceh yang kelihatan dari
sudut militer lemah? Apakah dengan pendekatan represif di
Aceh, sekalipun rakyat Aceh banyak telah menjadi korban,
pihak TNI telah berhasil memperoleh kemenangan, ataukah
justru jatuh terjerembab wibawa dan martabatnya di mata
rakyat dan dunia internasional? Bila TNI dengan kekuatan
militer masih terus nekat ingin menegakkan hegemoni Jawa di
Aceh, tidakkah itu merupakan tindakan bunuh diri seperti
puteri Majapahit yang mati bunuh diri di Aceh?
Dalam teks Hikayat Raja-raja Pasai31 juga, orang-orang
Minangkabau menolak takluk dalam hegemoni Jawa dengan
menunjukkan rendahnya kecerdasan penguasa Jawa dalam
menaklukkan Minangkabau. Kerbau kuat yang dibawa dari
Jawa mati berlaga dengan anak kerbau kurus Minangkabau
dalam adu kerbau tak seimbang yang sangat mendebarkan dan
mempertaruhkan harga diri Jawa di Minang. Matinya kerbau
Jawa yang kekar dan kuat oleh anak kerbau Minang yang lebih
kecill jika di bandingkan dengan kerbau dari Jawa (Majapahit),
dalam adu kerbau itu menunjukkan penghinaan teks ini pada
keangkuhan penguasa Jawa. Jawa boleh kuat secara militer tapi
lemah secara intelektual. Kebodohan yang akhirnya menggilas
kekuatan militernya sendiri. Pasukan Jawa yang harga dirinya
sudah jatuh karena harus menerima kekalahan perang simbolis
itu, masih dihancurkan lagi dengan kelicinan Minang yang
membuat pasukan militer Jawa yang moralnya sudah ambruk
itu gampang dibunuh. Kasus ini memperlihatkan cara berpikir
penguasa Jawa yang merasa paling tahu untuk mengatur
kebijakan orang-orang di luar Jawa. Cara berpikir yang merasa

30 Harry Kawilarang, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, (Banda

Aceh: Bandar Publising, 2008), hlm 17-18.


31 Lihat R. Jones, (ed.), Hikayat Raja- Raja Pasai, (Petaling Jaya: Fajar

Bhakti, 1987).
Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 265

paling tahu tentang kondisi dan kekuatan lokal yang jauh dari
Jawa itu bukan hanya tidak berhasil mencapai target yang
diinginkan, tapi berakhir jadi bumerang untuk Jawa.
Tidak hanya di luar Jawa kekuasaan Jawa itu dihancurkan.
karena geramnya dunia Melayu dalam menolak hegemoni Jawa,
wacana mereka juga menyerang dan menghancurkan wibawa
dan martabat Jawa jutru di Jawa.32 Kemarahan dunia Melayu
terhadap Jawa sampai melumpuhkan pusat kekuasaan Jawa ini
dengan fokus yang lain, telah saya ungkapkan dalam tulisan
saya sebelumnya.33 Perlawanan luar Jawa terhadap hegemoni
Jawa, dengan demikian bisa mencapai tahap radikalnya, yang
justru menghancurkan Jawa, tahap yang tak terbayangkan oleh
kekuasaan Jawa yang merasa diri paling kuat di jagad Nusantara
ini. Teks Hikayat Banjar memperlihatkan bagaimana pusat
kekuasaan Jawa berhasil ditaklukkan oleh Banjar tanpa
perang.34 Penolakan hegemoni Jawa oleh kekuatan Banjar
langsung di Majapahit menghadirkan kegemparan di pusat
kekuasaan Majapahit karena teks benar-benar menghajar tanpa
ampun wibawa pusat kekuasaan Jawa. Raja Majapahit dan
Gajah Mada beserta jajaran elitnya di negerinya sendiri
ditunjukkan jadi gemetar, terpuruk ketakutan ketika mendengar
Lambu Mengkurat, penguasa Banjar, datang ke Majapahit. Raja
Majapahit dalam pandangan rakyat Jawa tanpa bisa melakukan
perlawanan sedikit pun benar-benar dihina dan direndahkan
oleh penguasa Banjar itu. Penguasa dari Kalimantan ini tidak
mau tunduk pada Majapahit karena dia menganggap kehebatan
Raja Majapahit, kekayaan, dan kekuatannya ada di bawah
32 Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Banjar merupakan wacana untuk

menghajar pusat kekuasaan Jawa yang selama ini (melalui hegemoni Jawa itu) telah
menghancurkan kedaulatan dunia Melayu. Teks Hikayat Hang Tuah yang versi
salinannya ditemukan lebih 20 dan terbanyak tersimpan di museum London itu,
sangat radikal menampilkan kekuatan dan kemarahan Melayu mengobrak-abrik
istana Majapahit, membunuh militer Jawa, mempermalukan raja Jawa dan
panglima militernya, serta meruntuhkan pusat sakral kekuasaan Jawa. Ichwan
Azhari, Ibid.
33 Republika, 3 Maret 1999.
34 Lihat J.J. Ras, (ed.), Hikayat Banjar, (terj.), (Kuala Lumpur: Dewan

Bahasa dan Pustaka, 1990).


266 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

penguasa Banjar. Secara keseluruhan teks ini merupakan reaksi


paling ironis dalam melawan hegemoni Jawa di Banjar, sebab
pada bagian awal, teks dengan parodi menonjolkan
berlangsungnya hegemoni Jawa di Banjar, yang telah
menggiring dan menjadikan orang Banjar sebagai fotokopi dari
Jawa.
Ini sekadar sketsa beberapa contoh kasus wacana masa
lalu dari beberapa teks. Ada ratusan wacana masa lalu lainnya,
yang tidak hanya dalam teks klasik tapi dalam bentuk tradisi
lisan yang tersebar di luar Sumatera, seperti di daerah Sunda,
Kalimantan, Sulawesi, ataupun kawasan timur Indonesia.
Wacana modern mungkin terekam dengan baik, atau tetap
hidup segar dalam pikiran orang-orang luar Jawa. Pada era
rezim Soeharto yang sentralistik-represif, wacana penolakan
hegemoni Jawa tidak mati, melainkan hidup bahkan
berkembang sekalipun melalui suara bisik-bisik di lorong
sempit kampus-kampus luar Jawa. Sebagian hadir berupa
makian ataupun umpatan kekesalan di kaki lima kota-kota luar
Jawa, di kedai kopi kampung-kampung terpencil, di tengah
ladang dekat lintasan pipa besar yang mengalirkan minyak ke
Jawa, di tepi hutan yang telah diluluhlantakkan pengusaha dari
Jawa ataupun di depan kantor Koramil yang tidak bisa tidak
selalu membela kepentingan Jawa.
Sedangkan tanpa pengambilan aset ekonomi dan
penguasaan wilayah pun perlawanan luar Jawa atas hegemoni
Jawa tetap berlangsung seperti yang ditunjukkan teks-teks
klasik. Apalagi kini hegemoni Jawa itu diikuti dengan
penjarahan, penindasan, dan pembunuhan. Jika sekarang
ketegangan itu meledak, maka bila dilihat dari sisi luar Jawa, itu
adalah ledakan bom waktu yang sudah terlalu lama diyakini
akan meledak. Untuk Aceh otonomi khusus dimaksudkan
untuk tetap menjaga keutuhan wilayah NKRI. Otonomi khusus
amat mungkin menjadi juruselamat, setidaknya untuk daerah-
daerah yang terjadi konflik, seperti Aceh. Namun keadaan bisa
menjadi sulit jika melihat, sekarang penguasa Jawa yang
mengendalikan Indonesia masih menginginkan luar Jawa
Sejarah Aceh dari Sistem Kerajaan sampai NAD 267

sebagai daerah taklukan: persis seperti Gajah Mada


menginginkan jagad Nusantara ada dalam genggamannya.
Penguasa Jawa saat ini, oleh sebagian pengamat dan
scholar, belum bisa menangkap (atau tidak mau menangkap)
suasana batiniah orang-orang luar Jawa yang dari dulu
sebenarnya tidak pernah mau diperintah dan dikendalikan oleh
orang pintar dan orang kuat yang jauh di Jawa sana.35 Namun
demikian, terbentuknya NAD (Nanggroe Aceh Darussalam)
pasca jatuhnya Orde Baru diharapkan menjadi solusi atas krisis
Aceh berupa bencana-bencana politik yang tak kunjung usai,
yang pada akhir 2004 ditambah dengan Sisa-sisa kehancuran
yang dilakukan oleh Soeharto demikian luasnya, dari politik,
sosial, ekonomi, budaya hingga lingkungan alam. Kerusakan
ekologi selama Orde Baru masih terus berlanjut hingga Orde
Reformasi (sejak 1998 hingga sekarang). Kerusakan ekologis
Aceh yang parah demi melayani nafsu kapital Orde Baru
ternyata masih diteruskan oleh para penguasa masa Orde
Reformasi bahkan dengan nafsu kapital yang lebih besar.***

35Ichwan Azhari, “Perlawanan atas Hegemoni Jawa”, Republika, 18


November 1999.
Kesimpulan 267

Bab 14
KESIMPULAN

Mengungkapkan keberhasilan suatu bangsa khususnya


Bangsa Aceh dalam tinjauan sejarah bukanlah hal yang sulit.
Sebab Aceh merupakan salah satu kawasan yang beruntung
karena sejarahnya banyak ditulis oleh para peneliti. Masalah ini
setidaknya dapat dilihat dari karya-karya para peneliti Barat
maupun lokal yang menunjukkan bahwa sejarah Aceh masih
dan akan terus ditulis. Namun, kita bisa mengambil intisari
tentang kejayaan Bangsa Aceh di masa lalu bisa berhasil
bukanlah sesuatu yang mudah diraih. Sebab, jika sejarah itu
ditulis oleh peneliti Barat maka sejarah tersebut tidak akan
terlepas dari pandangan atau bias penulis itu sendiri.
Sebaliknya, sejarah yang ditulis oleh pribumi cenderung
menonjolkan kelebihan ketimbang kekurangan. Tetapi walau
bagaimanapun juga sejarah merupakan cermin suatu bangsa.
Sejarah tentang Samudera-Pasai, bermula dari keterlibatan
penduduk di kawasan tersebut dalam perdagangan maritim
yang bercorak internasional. Samudera Pasai adalah sebuah
kerajaan Islam yang berada di Aceh, terletak di utara Pulau
Sumatera. Kerajaan Pasai didirikan adalah dampak dari ajaran
Islam yang dibawa oleh pedagang-pedagang asing yang singgah
ke Pasai, yang sebenarnya tradisi tersebut sudah ada di masa
sebelumnya (pra-Islam). Sebelum kedatangan Islam, penduduk
Pasai dan daerah Aceh sekitarnya, mempunyai kepercayaan
tersendiri yang dikenal sebagai animisme, dinamisme dan
pemujaan hyang atau nenek moyang. Sesudah itu Bangsa India
datang ke Aceh untuk berdagang dan membawa ajaran agama
Hindu maupun Budha, namun tidak cukup meninggalkan
bekas-bekas atau peninggalan yang dapat dipergunakan sebagai
analisa sejarah yang memadai, dibandingkan dengan
peninggalan-kejayaan Islam masa lalu di Aceh. Peralihan dari
268 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

jaman pra-Islam ke Islam di Aceh, ternyata tidak terjadi


pergolakan antar agama yang cukup berarti. Sementara hampir
bersamaan pada periode itu, dibelahan dunia lainnya terjadi
Perang Salib yang melibatkan Islam dengan Kristen saling
menghancurkan.1
Pada umumnya masyarakat masih mengalami kesukaran
dalam menentukan antara Samudera-Pasai atau Peureulak yang
menjadi kerajaan Islam pertama dan tertua. Sejak diadakannya
Seminar “Masuknya Islam di Indonesia” yang di adakan di
Medan pada tahun 1963 dan di lanjutkan oleh berbagai seminar
lainnya (1978 dan 1980 keduanya di adakan di Aceh), dan telah
sepakat mengambil kesimpulan Islam datang ke Indonesia pada
abad ke tujuh dan Kerajaan Peureulak sebagai kerajaan Islam
yang tertua dan pertama. Walaupun sebelumnya yang dianggap
tertua adalah Samudera-Pasai, dan hal itu juga didukung oleh
bukti-bukti historis yang kuat, dengan diselenggarakan seminar-
seminar tersebut maka kini berat dugaan bahwa Kerajaan
Peureulak lah yang tertua. Karena Pasai baru di kenal abad ke
tiga belas, sedangkan “konon” Peureulak telah berdiri sejak
abad ke sembilan. Hanya saja masih ada lowongan-lowongan
dalam pembuktian sejarahnya.
Bukti-bukti sejarah yang kuat tentang Samudera-Pasai
salahsatunya adalah ditemukannya makam-makam raja-raja
yang sebagian besar bertuliskan Arab di Aceh Utara. Dari
bukti-bukti kita dapat memperoleh data sejarah tentang
seorang Meurah Silu yang bergelar Sultan Malikussaleh sebagai
pendiri dan raja pertama Samudera-Pasai. Pada masa
pemerintahannya Kerajaan Samudera telah mempunyai
lembaga-lembaga kerajaan yang teratur dengan angkatan
perang, laut dan darat yang kuat. Sultan Malikussaleh juga
mendirikan dan memimpin Kerajaan Pasai, sedangkan
Kerajaan Samudera diserahkan ke anaknya, Malik az-Zahir.
Penggabungan Kerajaan Samudera dan Kerajaan Pasai

1
Lihat Karen Amstrong, A Short History, Sepintas Sejarah Islam,
(terj.), (Jakarta: Ikon Teralitera, 2000).
Kesimpulan 269

dilakukan Malik az-Zahir setelah Sultan Malikul Saleh wafat.


Melihat tahun wafatnya Malikussaleh yang berangka tahun
1297, maka perkiraaan masuknya Islam ke Aceh pada abad ke-
13 dan Kerajaan Pasai sebagai kerajaan Islam yang pertama,
dapat dikatakan masuk akal, mengingat mayoritas masyarakat
Aceh menganut faham Syafiiyah. Imam Syafii sendiri hidup
antara tahun 797 sampai 820, jadi tidak mungkin, penyebaran
Islam di Aceh pada abad ke-7.
Sebelum abad ke-13 sebenarnya Samudera hanyalah
sebuah kampung yang dikepalai seorang kepala suku, walau
belum menjadi kota, Kampung Samudera sudah berfungsi
sebagai tempat persinggahan pedagang-pedagang. Akibat
hubungan dengan orang-orang Muslim sejak abad ketujuh.
Memasuki abad ke-13 kampung tersebut menjadi sebuah kota
bahkan menjadi ibukota kerajaan yang bercorak Islam. Sejak
abad ketiga belas sampai abad keenam belas. Samudera Pasai
merupakan kota yang ramai, indah, dan menjadi pusat kerajaan
serta pusat perdagangan (entrepot) di pesisir selat Malaka, selain
itu juga sebagai pusat penyebaran agama Islam. Dari sebuah
kampung hingga menjadi kota, bahkan ibukota kerajaan. Peran
seorang figur Malikussaleh sangat besar. Selain dapat
mendirikan sebuah kerajaan Islam, ia juga berusaha agar Pasai
dapat berbicara dalam perdagangan internasional.
Dilihat dari perspektif ekonomi, Pasai adalah sebuah
masyarakat dengan struktur yang lengkap. Terutama untuk
masalah perdagangan, Samudera Pasai sudah memiliki
pelabuhan, bandar, pasar dan mata uang. Kota Pasai, selain
sebagai tempat transaksi perdagangan yang terletak di pesisir
itu, juga menjadi ibukota kerajaan. Samudera-Pasai (atau Pase
jika mengikuti sebutan masyarakat setempat) bukan hanya
tercatat sebagai kerajaan yang sangat berpengaruh dalam
pengembangan Islam di Nusantara. Pada masa pemerintahan
Sultan Malik az-Zahir, Samudera-Pasai berkembang menjadi
pusat perdagangan internasional. Pelabuhannya diramaikan
oleh pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, Cina, dan Eropa.
270 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Secara ekonomi di masa itu, Pasai telah mengalami kemajuan


yang pesat, karena peran sultan dalam mengambil kebijakan
dengan mengadakan hubungan-hubungan dengan kerajaan-
kerajaan yang lain di sekitarnya. Dalam membina hubungan
regional Samudera-Pasai dengan kerajaan lainnya sudah di
buktikan dengan antusiasnya para pedagang dari luar untuk
mengadakan transaksi ekonomi di kotanya. Mengenai sistem
mata uang Pasai menggunakan mata uang emas atau deureuham.
Uang emas ini beratnya 0,57 gram, mutu 18 karat dengan garis
tengah satu centimeter, yang menjadi alat untuk melakukan
transaksi perdagangan. Sementara deureuham di Arab Saudi
hanya berupa mata uang perak, sedangkan mata uang emasnya
adalah dinar. Hal ini mengisyaratkan bahwa pengaruh Islam
tidak sepenuhnya dapat mempengaruhi sistem ekonomi
kerajaan. Ada kemungkinan para pedagang Islam yang akan
berdagang ke Pasai tidak pernah memperkenalkan uang dinar
dan hanya membawa uang deureuham. Berdasarkan adanya
mata uang emas deureuham itu yang ditemukan sebagai salahsatu
peninggalan Kerajaan Pasai, hal itu menunjukkan bahwa
Kerajaan Samudera-Pasai mengalami kemakmuran pada
masanya. Karena sebuah kerajaan yang dapat menerbitkan uang
emas sendiri pada masa itu, menandakan bahwa kerajaan itu
cukup makmur menurut ukuran pada masa itu.2 Mata uang
yang ditemukan ternyata tercatat ada seorang raja wanita yang
namanya tertera di salahsatu mata uang yang pernah diterbitkan
oleh Kerajaan Pasai.
Dalam catatan sejarah Samudera Pasai pernah memiliki
beberapa raja wanita (ratu). Padahal Samudera Pasai
merupakan sebuah kerajaan Islam yang menganut ajaran
Mazhab Syafii,. yang pada dasarnya tidak memperbolehkan
seorang wanita menjadi seorang raja. Sementara paham yang
memperbolehkan wanita dapat menjadi raja, adalah Mazhab
Hanafi. Dilihat dari populasi penduduk Pasai mungkin, kita

2
D.H. Burger, Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, (ter.),
(Djakarta: Pradnya Paramita, 1960), hlm. 61.
Kesimpulan 271

bisa kaitkan mayoritas penduduk Pasai ketika itu, berasal dari


Bengali, yang pada umumnya menganut aliran Hanafi. Adanya
pengaruh Mazhab Hanafi di Samudera-Pasai bisa dilihat
dengan memperbolehkan wanita memimpin kerajaan. Namun
bukanlah satu-satunya pernyataan itu untuk dijadikan alasan
mengapa Samudera-Pasai mengangkat wanita sebagai raja.
Selain faktor agama, sepertinya adanya kecenderungan besar
bagi kerajaan-kerajaan yang paling aktif dalam mengembangkan
perdagangan di kawasan Asia Tenggara untuk di perintah oleh
seorang wanita. Banyak kerajaan mengangkat kaum wanita
sebagai raja ketika kerajaan itu telah mencapai puncak
kehidupan eklonomi dagangnya, salahsatunya Samudera-Pasai,
kerajaan yang mempunyai pelabuhan besar Islam pertama di
bawah angin, mengangkat dua raja wanita secara berurutan
antar tahun 1405 dan tahun 1434, persis sebelum Pasai
dikalahkan oleh Kerajaan Malaka sebagai pelabuhan yang
terpenting di Selat Malaka. Pemerintahan wanita juga
merupakan salahsatu sedikit cara yang digunakan oleh kaum
bangsawan yang mementingkan niaga guna membatasi
kekuasaan despotis raja dan membuat aman bagi perdagangan
internasional. Bila kita bandingkan zaman Samudera-Pasai
dengan Aceh Darussalam, Pasai dalam mengangkat raja
wanitanya dikarenakan faktor darurat atau keterpaksaan dan
keturunan, tetapi apabila dibandingkan dengan Aceh
Darussalam dalam mengangkat ratunya dikarenakan salah satu
rajanya yakni Iskandar Muda yang absolut. Setelah itu
dikalangan bangsawan Aceh berusaha mendudukan wanita
sebagai raja, dan juga berusaha meneruskannya. Terbukti
setelah Aceh mengangkat raja wanitanya yang pertama, Aceh
sering dikunjungi oleh pedagang-pedagang asing karena
pemerintahannya yang adil dan rakyatnya hidup dalam
kedamaian. Pengangkatan raja (pemimpin) wanita sampai
sekarang menjadi masalah besar ada yang beranggap haram
hukumnya, disebabkan wanita tidak dapat menjadi seorang
imam dalam melakukan ibadah shalat. Tetapi yang kita jumpai
272 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

di Pasai adalah masa darurat dan keterpaksaan karena adanya


perang hingga para bangsawan Pasai mengangkat wanita
menjadi raja.
Hubungan politik luar negeripun yang dilancarkan oleh
raja-raja Pasai sangat tepat dan strategis, mengingat keberadaan
Pasai dalam perdagangan internasional sudah diakui dan
sehubungan pelabuhan Pasai sibuk sekaligus ramai dengan
kunjungan para pedagang asing ke Pasai. Faktor bahasa
menjadi hal terpenting untuk melakukan kontak sesama
pedagang lokal maupun asing. Dalam hal ini bahasa Melayu
menjadi bahasa niaga utama (lingua franca) di Pasai dan Kawasan
Asia Tenggara. Kelas pedagang kosmopolitan dari kota-kota
niaga besar di Asia Tenggara lalu dikenal sebagai orang Melayu
sebab mereka menggunakan bahasa itu dan menganut agama
Islam. Selain faktor bahasa, berkembangnya Samudera-Pasai
disebabkan terdapatnya faktor-faktor internal dan eksternal
yaitu kondisi alam dan letak geografis memberikan andil besar
dalam menentukan perkembangan sebagai pusat politik. Pasai
berlokasi pada daerah subur di pesisir utara Pulau Sumatera, di
lembah sungai merupakan pemukiman penduduk yang cocok
dan tanah yang subur, memberikan hasil bahan makanan yang
cukup. Hubungan ke pedalaman dimungkinkan memberikan
dinamika tersendiri dalam arti mempunyai hubungan
perdagangan dengan daerah pedalaman, karena Pasai terletak
pada muara sungai mempunyai potensi besar untuk
berkembang sebagai bandar perdagangan.
Kerajaajn Pasai terletak pada jalur perdagangan antara
India dengan Cina dan menjadi tempat persinggahan para
pedagang tersebut. Hal ini ditambah lagi oleh pengaruh angin
muson yang sering kali menyebabkan para pedagang tersebut
harus tinggal dalam waktu yang cukup lama di Pasai, untuk
menunggu arah angin yang sesuai dengan tujuan pelayaran
mereka.
Dari kegiatan perdagangan yang melibatkan Pasai dalam
jaringan antar-bangsa, menyebabkan bandar ini muncul sebagai
Kesimpulan 273

kekuasaan dan dakwah Islam di kawasan Asia Tenggara. Fungsi


yang demikian berkaitan erat dengan hubungan internasional.
Dari kegiatan perdagangan juga mengembangkan fungsinya
sebagai pusat penyiaran agama Islam, berbagai cara dilakukan
Pasai salahsatunya dengan cara ikatan perkawinan, Pasai
berpengaruh besar dalam proses Islamisasi kerajaan-kerajaan di
Asia Tenggara. Kedudukan Pasai dalam kesatuan di kawasan
Selat Malaka. Dari perjalanan sejarah Pasai antara akhir abad
ke-13 sampai ke awal abad ke-16, memang menunjukkan
bahwa muncul, berkembang, dan sampai runtuhnya Kerajaan
Pasai amat berkaitan dengan adanya kekuatan lain dan
perkembangan yang terjadi di luar Pasai. Sejarah Pasai memiliki
perjalanan hampir dua abad lamanya, dari awal ketika Pasai
mempunyai peluang untuk mengembangkan diri karena
hegemoni Sriwijaya sudah tumbang. Selanjutnya Pasai
mengalami kemunduran yang disebabkan munculnya kekuatan
pusat politik dan perdagangan baru yaitu Kerajaan Malaka.
Dan, akhirnya hancur dan hilangnya keberadaan Pasai dalam
jaringan perdagangan internasional, adalah ketika suatu pusat
kekuatan baru muncul di ujung barat Pulau Sumatera yaitu
Kerajaan Aceh Darussalam pada awal abad ke-16. Sampai
akhirnya Pasai dapat ditaklukan dan menjadi bagian di dalam
kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam. Setelah itu cerita
tentang kejayaan Pasai di masa lalu hanyalah tinggal sebuah
kebanggaan yang tertuang dalam hikayat-hikayat dan
peninggalan-peninggalan sejarah lainnya. Islam tumbuh dan
berkembang di jaman sekarang tidak mungkin terjadi, tanpa
ada proses Islamisasi di masa lalu. Keberadaan Samudera-Pasai
di masa lalu sangat berarti, karena mempengaruhi kehidupan
beragama mayoritas Bangsa Indonesia. Setelah runtuhnya
Kerajaan Pasai, nuansa Islam mewarnai dihampir setiap
kerajaan-kerajaan di Indonesia. Pengaruh Pasai sangat terasa
mengingat Kota Pasai pernah menjadi pusat dakwah Islam di
Nusantara.
274 Malikussaleh: Mutiara dari Pasai

Akhir kata, Aceh adalah wilayah paling Barat dari


Indonesia. Daerah ini menyimpan berbagai misteri yang sampai
sekarang banyak dikaji oleh para peneliti. Di bidang sejarah
menghasilkan karya yang komprehensif. Dalam bidang politik
juga banyak ditemukan karya komprehensif, baik itu
pembahasan internal tentang kerajaan Aceh maupun masalah
eksternal perlawanan rakyat Aceh terhadap penjajah. Hal ini
menyebabakan Aceh menjadi daerah yang berkali-kali di
kaji.***

Anda mungkin juga menyukai