BAB 8
ANALISIS KELEMBAGAAN
Waduk Jatiluhur atau yang juga disebut waduk Ir. H Djuanda di Hilir
Sungai Citarum merupakan waduk tertua diantara waduk kaskade. Waduk ini
dibangun dengan tujuan utama untuk PLTA, irigasi, bahan baku air minum dan
industri. Untuk mengantisipasi limbah dari hulu sungai yang dapat mencemari
waduk Jatiluhur, maka dibangunlah waduk Saguling sebagai filter limbah,
diharapkan dengan adanya Waduk Saguling maka inlet di pintu air Jatiluhur dapat
memberikan air yang lebih bersih. Namun seiring dengan pembangunan Waduk
Saguling, aktivitas ekonomi lain seperti perikanan dan pertanian juga dilakukan di
Waduk Saguling yang menyebabkan kualitas air yang dihasilkannya semakin
menurun. Oleh karena itu dibangunlah waduk di tengah-tengah DAS Citarum
yaitu Cirata yang diharapkan dapat menjadi filter kedua bagi perairan Jatiluhur.
Fungsi utama awal dibangunnya waduk hanya untuk PLTA. Pengoperasian PLTA
tidak menghasilkan limbah dan hanya menggunakan air sebagai media untuk
menghasilkan listrik.
Berdasarkan wilayah administratifnya, Waduk Saguling berada di
Kabupaten Bandung. Waduk Jatiluhur berada di Kabupaten Purwakarta dan
keunikan Waduk Cirata berada pada lintas wilayah administratif yaitu Kabupaten
Purwakarta, Cianjur dan Bandung Barat. Pengelola Waduk Jatiluhur adalah Perum
Jasa Tirta II, pengelola Waduk Saguling adalah PT Indonesia Power dan
pengelola Waduk Cirata adalah PT. Pembangkitan Jawa Bali. Keunikan lain dari
Cirata adalah adanya pembagian kerja antara pembangkitan dan tata kelola
waduk. PT. PJB membentuk anak perusahaan dengan nama BPWC (Badan
Pengelola Waduk Cirata) yang khusus menangani kualitas air waduk dan kegiatan
lain yang ada diatas waduk.
Hampir semua waduk dibangun dengan fungsi utama sebagai PLTA,
namun ternyata hampir semua waduk juga digunakan sebagai sarana bagi
peningkatan perekonomian dalam bidang perikanan dan pariwisata. Begitu pula
yang terjadi dengan waduk kaskade. Ketiganya menjadi sentra perikanan air
tawar. Dalam pengelolaan sumber daya hal ini tentunya sangat efisien dan
memberikan nilai tambah. Kegiatan ikutan lain ini tentu saja perlu dikelola
dengan baik agar fungsi utama pembangunan waduk tidak terganggu. Oleh karena
itu dibutuhkan kelembagaan yang tepat dalam menangani tata kelola waduk.
115
Inefesiensi biasanya terjadi ketika kegiatan lain tersebut melebihi daya dukung
lingkungan waduk dan atau menghasilkan eksternalitas negatif yang dapat
mempengaruhi kualitas air yang dibutuhkan untuk tercapainya fungsi utama.
Kekhasan Waduk Cirata yang genangannya melintasi 3 (Tiga) kabupaten
maka pengelola membagi wilayah waduk menjadi 3 zonasi yaitu : Zona 1 meliputi
Kabupaten Bandung Barat, Zona 2 berada di Kabupaten Purwakarta dan Zona 3
yaitu Kabupaten Cianjur. Zonasi ini untuk dipergunakan untuk mengatur tata letak
karamba agar sirkulasi dan transportasi air dapat dilalui. Pengaturan tata letak
diberlakukan untuk mempermudah monitoring dan dipergunakan oleh masing-
masing dinas terkait dalam pendampingan dan pembinaan petani ikan KJA dan
nelayan.
Selain DAS Citarum, Waduk Cirata juga menerima aliran air dari DAS-
DAS kecil seperti Cikundul, Cisokan, Cimeta, Cicendo dan Cibalagung. Lahan
yang dikelola oleh Cirata selain luas perairan juga wilayah non waduk dengan
luas 5.081.358 m2. Berikut ini adalah data teknis mengenai waduk Cirata yang
diperoleh dari PT. PJB :
Waduk ini dibuat oleh PLN Proyek Pembangkit Hidro Jawa Barat
(PIKITDRO JABAR) bekerjasama dengan beberapa kontraktor asing dan dalam
negeri. Tercatat kontraktor dari Jepang (Taisei Co dan Nisso Iwai), Austria (Voest
Alpine dan Elin Union), Prancis (Gogelex) dan Jerman Barat (Brown Boveri)
serta kontraktor dalam negeri seperti PT. Boma Bisma Indra, PT Wasamitra, PT.
Brantas Abipraya, PT. Citra Contrac, PT. Mega Eltra, PT. United Tractors, dan
PT. Triguna Utama. Dengan konsultan utama dari Jepang, yaitu NEWJEC (New
Japan Engineering Consultant). Adanya sistem joint operation antara kontraktor
asing dengan kontraktor nasional diharapkan dapat terjadi alih teknologi, memacu
pertumbuhan kontraktor nasional dan devisa negara untuk pekerjaan utama tidak
seluruhnya diserap oleh perusahaan asing.
Pembangunan PLTA Cirata selain dibiayai langsung oleh Pemerintah
Indonesia melalui dana APBN dan non APBN serta dana PLN juga mendapat
bantuan pinjaman dari luar negeri, yaitu :
dampak langsung dari penggenangan air, yaitu masalah pembebasan lahan. Pada
saat penelitian, masih ada responden yang menyatakan kekecewaannya karena
masalah pembebasan tanah yang tidak sesuai dengan nilai harga tanah saat itu.
Secara sosial mereka kehilangan tanah, rumah dan karuhun lembur nenek moyang
(istilah setempat untuk menyebut kampung halaman). Ada masyarakat yang
―dipaksa‖ untuk melakukan transmigrasi ke luar pulau Jawa, dan ada pula yang
tidak bersedia dan memilih mencari desa terdekat untuk bermukim.
Dari sekian banyak masalah negatif yang timbul dari pembangunan
waduk, dan hal tersebut tidak dipungkiri oleh masyarakat setempat, namun
banyak pula masyarakat di Cirata mengatakan hal yang positif dengan adanya
pembangunan waduk. Peluang usaha terbuka lebar, mulai dari buruh KJA,
nelayan, petani, pemilik KJA, buruh angkut, sewa perahu, rumah makan, dan
kegiatan ekonomi lain. Masyarakat pun tidak merasa kekurangan air walaupun
menghadapi musim kemarau. Adanya usaha KJA dan usaha ikutan lainnya di
sekitar waduk membuat masyarakat dapat hidup secara layak. Pada awal kegiatan
budidaya ikan, kualitas air masih bagus, produksi ikan bisa mencapai hasil yang
optimal, dan harga ikan tergolong tinggi, masyarakat dapat meraup untung yang
cukup besar. Secara sosial perubahan status terjadi di masyarakat, dibuktikan
dengan banyaknya masyarakat yang mampu menunaikan ibadah haji yang
merupakan kewajiban bagi umat Islam.
Secara umum permasalahan yang dialami oleh bendungan-bendungan
besar di dunia, juga terjadi di Cirata. Laju sedimentasi melebihi perencanaan
waduk, telah menyebabkan penurunan kualitas air waduk serta berkurangnya
umur layan waduk selama 8 tahun. Hal ini tentu saja berkaitan dengan
pemanfaatan yang berlebihan terhadap sumber daya waduk. Masalah property
right juga berkaitan dengan pemanfaatan yang berlebihan tersebut. Oleh karena
keunikan Waduk Cirata yang melintasi 3 kabupaten, sehingga propety right juga
menjadi salah satu pemicu terjadinya pengurangan daya dukung waduk. Masalah
property right ini berkaitan dengan siapa yang memiliki kewenangan untuk
mengelola dan menangani managemen sumber daya. Masalah property right ini
akan dibahas pada bagian ekonomi, politik, kebijakan dan tata kelola
kelembagaan dalam pemanfaatan Waduk Cirata.
118
lain yang tidak dibudidayakan, saat ini baru wilayah Cianjur yang memiliki
kelompok nelayan yang membantu memonitoring dan mengatur kegiatan-kegiatan
nelayan di wilayah mereka. Upaya ini tentunya merupakan langkah yang baik
dalam managemen waduk dan dalam kerangka menciptakan suistanability sumber
daya.
CPR yang menghasilkan eksternalitas negatif lebih sedikit relatif mudah
untuk dikelola dibandingkan dengan eksternalitas yang kompleks dan yang
berinteraksi dengan resource system. Semakin kompleks reource system, maka
semakin sulit bagi pengguna sumber daya untuk mematuhi peraturan dalam
mengatasi eksternalitas. Dalam berbagai analisis eksternalitas, kita harus
mendefinisikan dengan baik tipe dari eksternalitas oleh karena setiap tipe
eksternalitas membutuhkan aturan yang berbeda. Ekstraksi sumber daya oleh satu
pengguna biasanya menimbulkan eksternalitas bagi pengguna lain. Pengambilan
satu unit resource akan mengurangi jumlah resource unit yang tersedia untuk
pengguna sumber daya yang lain. Berdasarkan tipe eksternalitas yang telah
dibahas pada tinjauan pustaka, eksternalitas negatif di Waduk Cirata merupakan
eksternalitas provision. Dari sisi supply adanya insentif terhadap free rider
merupakan kendala dalam ketersediaan atau daya dukung lingkungan waduk. Para
free rider yang merupakan pendatang yang ikut membuka usaha karamba
mendapatkan kemudahan dari pihak-pihak berwenang sehingga insentif ini yang
menimbulkan semakin banyak pemilik waduk yang non pribumi. Selain itu
adanya pihak-pihak yang tidak memiliki ijin usaha atau SPL (Surat Penempatan
Lokasi) juga menjadi free rider utama, karena mereka yang tidak membuat ijin
usaha perikanan menikmati kegiatan usaha di waduk tanpa membayar untuk
kegiatan pelestarian waduk. Oleh karena itu diperlukan maintaining sumber daya
seperti adanya pengorganisasian masyarakat. Keberhasilan pengorganisasian
masyarakat ini tergantung tingkat pendidikan, behavior dan attitude yang dimiliki
oleh masyarakat setempat, selain faktor-faktor eksternal lainnya seperti kurangnya
dukungan dan pembinaan dari pihak terkait, kurangnya modal, dan kuatnya
pengaruh para sub agen dan agen pakan. Rata-rata tingkat pendidikan petani dan
masyarakat di desa-desa sekitar waduk memang rendah dan kebiasaan masyarakat
desa yang tidak bisa melakukan multiple task atau sesuatu yang rumit, sehingga
121
monitoring stok, flow, eksternalitas negatif yang timbul dengan kapasitas dan
kemampuan masing-masing kabupaten yang berbeda.
untuk masuk dalam tahap ekspor ke luar negari, kualitas ikan Cirata belum
memenuhi syarat karena ukuran ikan yang kurang besar dan kontinuitas yang
masih dipertanyakan. Walaupun demikian para bandar ikan yang membeli hasil
ikan Cirata mengatakan bahwa selama ini mereka tidak pernah rugi, berapapun
ikan yang mereka bawa untuk dijual pasti akan habis di pasaran tradisonial.
Bahkan untuk beberapa musim, kebutuhan masih belum bisa tercukupi. Oleh
karena kebutuhan domestik untuk ikan air tawar pun masih belum mencukupi,
para bandar ikan belum menjajaki pasar luar negeri untuk ekspor.
Walaupun kecenderungan permintaan ikan terus meningkat namun tidak
berkorelasi positif dengan harga ikan. Harga jual ikan diserahkan pada mekanisme
pasar dimana jika permintaan tinggi maka harga akan tinggi, dan saat stok ikan
melimpah, harga akan turun. Kondisi ini masih menjadi dilema bagi petani ikan
Cirata. Ketika Waduk Jatiluhur dan Saguling panen ikan secara bersamaan maka
harga ikan akan jatuh. Harga jual ikan mas bulan Mei 2012 ini berkisar Rp.
13.500,00/Kg. Harga ini tergolong normal, tahun 2009 harga ikan sempat jatuh
mencapai Rp.11.500/Kg, tahun berikutnya Rp.12.500/Kg. Bulan Juli-Agustus,
biasanya terjadi over produksi sehingga harga bisa turun, menjelang bulan
Desember-maret harga bisa naik mencapai Rp20.500,00/Kg karena musim angin
barat, biasanya musim banyak penyakit yang menyebabkan kematian ikan.
Sementara harga ikan diserahkan kepada mekanisme pasar, tidak demikian
halnya dengan harga pakan ikan. Hal inilah yang dikeluhkan oleh petani. Pakan
pellet merupakan input utama dalam budidaya KJA. Harga pakan yang terus
meningkat, sementara harga ikan relatif stabil sangat mempengaruhi profit petani.
Pada saat penelitian ini berlangsung (Mei 2012), telah terjadi 3 (Tiga) kali
kenaikan harga pakan. Penjualan pakan didominasi oleh beberapa produsen pakan
seperti Comfeed (dengan produk PI Comfeed, SPM dan SPF), Sinta (dengan
produk Laju, Jatra dan Pilar), Charoen Poekpan (Turbo 89, P88), dan Cargill
(Extra M, Profish dan FEE). Produsen ini bekerjasama dengan 4 agen besar yang
ada di perairan Cirata yaitu SH (Sayap Heulang), JP (Janari Perdana), AP (Agung
Pratama) dan SD (Sari Dagang). Sayap Heulang menjual produk Cargill dan
Pokpan. Agung Pratama menjual produk Bintang yaitu CV, Malindo dan
Wonokoyo. JP khusus menjual produk Sinta. Mekanisme penjualan melalui agen-
124
agen, sub agen dan petani ditetapkan secara bersama-sama melalui wadah
Asosiasi GPMT (Gabungan Pengusaha Makanan Ternak). Melalui asosiasi ini
maka mekanisme penjualan pakan berlaku sama untuk setiap pelabuhan di
masing-masing kabupaten. Produk Sinta yang paling banyak digunakan oleh
petani ikan Cirata, harga jual pakan merk Jatra (ukuran 3mm = 5.000/kg), Laju
(3mm = 4.500/kg), Pilar (3mm = 4.250/kg) dan Jatra khusus untuk bibit (2mm =
5.250/kg). Harga tersebut merupakan harga agen kepada sub agen. Sedangkan dari
sub agen kepada petani harga pakan merk Jatra Rp.5.870/Kg. Harga pakan merk
Sinta Rp.5.700,00/Kg naik dari Rp.5.500,00/Kg. Kenaikan ini menurut GPMT
karena bahan baku pakan yang harus impor dari luar negeri mengalami kenaikan
harga. Bahan baku yang dimaksud adalah tepung tulang yang memiliki kandungan
protein tinggi. Hal ini menyusul keputusan pemerintah untuk melarang impor
semua produk olahan daging sapi dari Amerika karena merebaknya wabah sapi
gila, sehingga importir produk olahan daging sapi seperti pengusaha pakan ternak
ini harus mengalihkan pembeliannya ke negara lain seperti Australia atau New
Zealand yang mematok harga lebih tinggi.
Mata rantai pemasaran hasil produksi budidaya perikanan Cirata lebih
banyak dikuasai oleh para sub agen pakan. Sistem penjualan pakan kepada petani
ternyata menggunakan sistem hutang, petani membayar dengan ikan setelah masa
panen (3 bulan). Masing-masing sub agen yang biasa disebut ―gudang‖ memiliki
aturan tersendiri dalam memberikan pinjaman kepada petani ikan. Ada yang
mensyaratkan maksimal 21 hari harus membayar, ada pula yang mensyaratkan
setelah hutangnya berjumlah Rp10.000.000,00 keatas, maka harus membayar
bahkan ada yang tergantung permintaan dari petani tetapi maksimum 2 minggu
harus sudah membayar hutangnya. Para petani ikan ini terikat perjanjian tidak
tertulis dengan para pemilik gudan pakan, mereka wajib menjual hasil ikannya
kepada pemilik gudang setelah masa panen untuk membayar hutang-hutang
pakannya. Jika terjadi kasus kematian ikan secara massal, maka petani-petani ikan
ini tidak bisa membayar hutangnya dan bahkan semakin menumpuk. Oleh karena
pihak gudang tidak ingin menanggung resiko kerugian, mereka meninjau kembali
luasan kolam dan feasibilitas petani, jika mereka menganggap petani masih
mampu membayar hutangnya maka mereka kembali meminjamkan uang untuk
125
modal budidaya ikan supaya bisa mencicil hutang-hutang mereka; namun jika
luasan kolam sedikit dan tidak memungkinkan untuk menutup hutang-hutangnya,
maka pihak gudang akan mengambil alih kolam sebagai ganti rugi pembayaran
hutang. Ikatan kerjasama ini secara ekonomi memang merugikan petani, karena
petani tidak memiliki alternatif pilihan penjualan ke pihak lain dan jika sudah
jatuh tempo, sementara ikan belum cukup umur untuk panen, mereka tetap akan
dipaksa untuk panen dini. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi pendapatan
petani, karena bobot ikan yang belum mencukupi akan dihargai rendah. Namun
ketimpangan kerjasama ini belum pernah berakibat fatal misalnya konflik terbuka.
Petani lebih banyak mengalah dan pasrah dengan keadaan manakala pemilik
gudang mengambil alih kolamnya ketika hutang sudah mulai menumpuk. Dari
wawancara kepada pemilik gudang, hampir sebagian besar mengaku mengalami
penurunan pelanggan karena gulung tikar terutama semenjak kasus kematian ikan
massal yang terjadi tahun 1996 dan terus berlanjut dalam skala kecil sampai
sedang hingga tahun 2007. Sementara itu akses petani ke perbankan sebagai
alternatif modal usaha, baru dirintis tahun 2010 dimana kelompok ASPINDAC
(Asosisasi Petani Ikan Waduk Cirata) membuat rekomendasi sehingga beberapa
petani yang bergabung dengan kelompok ini bisa mengajukan pinjaman ke Bank
Jabar. Tidak kurang dari 60 milyar digelontorkan untuk petani ikan di Cirata.
Keengganan masyarakat untuk meminjam uang sebagai modal ke pihak
perbankan dikarenakan administrasi yang berbelit, menyulitkan dan mereka harus
tergabung dalam kelompok petani ikan. Itupun melalui proses seleksi yang ketat.
Pada akhirnya banyak dari petani kembali ke gudang untuk meminjam pakan,
karena prosedurnya yang ringkas dan hanya bermodalkan kepercayaan. Pihak
gudang pun mulai membina hubungan dengan para petani melalui berbagai
pertemuan dan pelatihan yang difasilitasi oleh GPMT atau produsen pakan. Selain
mereka mempromosikan jenis pakan terbaru atau mensosialisasikan keunggulan
produk pakan, mereka juga memberikan bimbingan tehnis untuk peningkatan
produksi ikan. Hal inilah yang jarang dilakukan oleh dinas terkait yang menjadi
tugas dan kewenangannya.
Pada intinya, faktor ekonomi memang mendorong terjadinya penggunaan
waduk secara berlebihan sehingga mengurangi daya dukung lingkungan.
126
Walaupun usaha budidaya yang dikembangkan pun saat ini tidak luput dari
kutukan sumber daya (resource curse) dimana teori ini mengatakan bahwa
masyarakat yang memiliki wilayah dengan sumber daya yang besar cenderung
memiliki tingkat penghidupan yang jauh dari layak. Teori ini terbukti untuk kasus
Cirata, dimana hanya sebagian kecil masyarakat yang memiliki usaha KJA yang
memiliki penghidupan yang layak, sementara itu hampir sebagian besar penduduk
hanyalah buruh KJA dengan tingkat pendapatan rata-rata per bulan Rp600 000 –
800 000.00. Pemilik KJA berdasarkan sensus BPWC (2011) menunjukkan bahwa
kepemilikan KJA 83 persen dikuasai oleh pribumi dan 14 persen non pribumi.
Namun pada saat penelitian di lapangan dari 69 RTP, 40 persen diantaranya
adalah milik pribumi dan 60 persen milik masyarakat di luar penduduk sekitar
waduk. Jumlah unit KJA yang dimiliki oleh rata-rata pribumi hanya 4 unit
sedangkan untuk non pribumi rata-rata memiliki 7 unit KJA. Hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat asli tidak mendapatkan manfaat cukup besar dari adanya
waduk karena memiliki keterbatasan modal dan pengetahuan.
Untuk masyarakat yang saat ini memiliki KJA dengan tingkat kepemilikan
hanya 4 unit memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk gulung tikar manakala
harga ikan turun atau harga pakan meningkat. Satu-satunya akses permodalan
mereka adalah para sub agen pakan, dalam mekanisme principal & agent.
Sehingga ketika terjadi kasus kematian ikan karena musim ataupun penyakit,
dengan jumlah karamba yang sedikit, mereka rentan menghadapi pengambil
alihan karamba oleh sub agen pakan.
Dengan tingkat pendidikan masyarakat saat ini yang sebagian besar hanya
tamat SD bahkan putus sekolah di tingkat dasar (70 persen untuk RTP), tentu saja
dalam jangka panjang mereka pun memiliki kerentanan yang tinggi untuk tidak
mencapai penghidupan yang lebih layak atau secara tehnis memperluas usaha
karamba yang dimilikinya. Oleh karena itu mereka cenderung mudah
dipermainkan oleh pelaku-pelaku ekonomi dengan pengaruh yang besar.
Diharapkan dengan adanya kelompok-kelompok petani, mereka bisa
diberdayakan dan mendapatkan dukungan, pengetahuan serta perubahan
paradigma untuk kelangsungan usaha dan waduk yang menjadi tempat usaha
mereka.
127
perairan Waduk Cirata, maka perda kabupaten tidak bisa diterapkan untuk Cirata,
sehingga retribusi untuk jaring apung dan perikanan tangkap tidak bisa ditarik dan
PAD kabupaten tidak bisa dibebankan untuk Cirata. Oleh karena itu lebih banyak
program bantuan dan staf di alokasikan ke Jatiluhur dibandingkan Cirata.
Misalnya : bangunan TPI, staf perikanan, kolam percontohan, bantuan jaring,
perahu, dan modal.
Kegiatan selama 20 tahun ini yang dilakukan oleh Provinsi Jawa Barat
baru dilakukan 2 kali pelatihan untuk seluruh petani ikan di Cirata. Sedangkan
bantuan yang diberikan oleh pemerintah daerah sebelum tahun 1997 cukup
banyak, antara lain :
1. Tahun 1996, bantuan modal untuk 80 orang petani yang terdiri dari 2 desa
@ 40 orang, masing-masing 3,5juta/orang tepatnya bantuan diberikan di
desa Sirnagalih dan tegal datar.
2. 4 paket pabrik pelet di 2 desa sebesar Rp.70.000.000,00; saat ini
keberadaan pabrik ini tidak berjalan karena tidak ada pembeli, petani tidak
mau coba-coba jenis pakan karena takut gagal panen. Padahal harga jual
cukup rendah. Pada saat itu harga pakan RP.4.000,00 sementara produk
pakan sendiri dijual dengan harga Rp.2.500,00
3. Berbagai pelatihan dan penyuluhan oleh petugas penyuluh lapangan untuk
peningkatan produktivitas ikan, penanganan penyakit dan peringatan dini
terjadinya upwelling kepada petani
Ketika harga pakan tinggi, pihak dinas tidak bisa berbuat banyak, karena merasa
bukan merupakan kewenangan kabupaten, ada pihak yang lebih besar untuk
mengatasi masalah lintas sektoral yaitu KKP (kementrian Kelautan dan
Perikanan). Mereka sekedar mengusulkan adanya subsidi pakan seperti penerapan
subsidi pupuk untuk petani padi. Saat ini produsen pakan sama sekali tidak terikat
untuk membayar retribusi apapun kepada pihak Kabupaten karena adanya
peraturan pemerintah No. 66 tahun 1997 tentang penghapusan retribusi pelayanan
umum. Sebelum peraturan itu ditetapkan setiap pakan yang masuk ke Cirata
dikenai retribusi sebesar Rp.1/Kg. Retribusi inilah yang akan dikembalikan
kepada petani untuk kegiatan dan pengembangan usaha budidaya perikanan.
129
ikan yang masih memiliki nilai ekonomis adalah ikan mas. Harga ikan gurame,
misalnya juga hampir sama tinggi, tapi produksi bisa mencapai 1 tahun, sama
halnya dengan ikan patin. Saat ini petani masih bisa bertahan karena ada jaring
lapis dua (kolor) yang berisi ikan nila. Hal yang menjadi kendala jika pemerintah
menetapkan harga dasar pakan adalah adanya jaringan terkoordinir yang kuat
seperti GPMT, dimana pemerintah sulit mengatasi raksasa ekonomi yang dipenuhi
kaum kapitalis, dan adanya alasan bahan baku pakan yang harus diimpor. Oleh
karena itu lebih tepat jika pemerintah menetapkan HET ikan, sehingga petani
tidak akan dirugikan dengan harga pakan yang tinggi.
Kabupaten Bandung Barat memiliki lebih banyak kelompok petani ikan
dibandingkan kabupaten Purwakarta, tercatat sebanyak 465 kelompok petani ikan,
dan ada 1 kelompok yang menjadi juara nasional tahun 2011 sebagai kelompok
terbaik, yaitu kelompok Doa Ibu. Kelompok ini memiliki 54 anggota, dan telah
menjalankan prinsip-prinsip koperasi karena mampu memberikan pinjaman modal
kepada anggotanya dengan kondisi keuangan yang sehat. Kelompok ini pula yang
menjalankan model kearifan lokal dalam pengelolaan budidaya ikan. Pada saat
terjadinya kasus kematian ikan massal, anggota kelompok ini bebas dari kematian
ikan karena menerapkan cara-cara tradisonial. Keberadaan kelompok ini telah
menginsipirasi petani lain untuk bergabung atau membentuk kelompok lain
dibawah binaan kelompok Doa Ibu. Di kabupaten Bandung Barat ini pula
terbentuk paguyuban kelompok-kelompok petani ikan Cirata dengan nama
ASPINDAC (Asosiasi Petani Pembudidaya Ikan Cirata). Asosiasi kelompok yang
baru dibentuk tahun 2007 ini menguatkan posisinya melalui akta notaris dan
menjadi kelompok yang diakui secara nasional. Kabupaten Bandung Barat pula
yang mulai menggelontorkan program pelestarian untuk Waduk Cirata dengan
memberikan 15 tongkang dan bak sampah untuk menjaga kebersihan waduk.
Persyaratan yang mudah inilah yang menyebabkan banyak pihak luar yang masuk
dan ikut membuka usaha di Waduk Cirata.
Perda No 18 Tahun 1986 ini diperbaharui pada tahun 2002, dengan
dilengkapi SK Gubernur No. 14 Tahun 2002 sebagai juknis. Surat Keputusan
Gubernur ini ditetapkan di Bandung pada tanggal 29 November 2002, dan dengan
diterbitkannya keputusan ini, maka Keputusan gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Jawa Barat Nomor 16 Tahun 1996 tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan
Umum dan lahan surutan di Waduk Cirata dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
lagi. Maksud dan tujuan dikeluarkannya surat keputusan ini adalah :
1. Pengaturan secara terkoodinasi dan terpadu mengenai pengembangan,
pemanfaatan perairan umum, lahan pertanian dan kawasan Waduk Cirata
untuk tercapainya peningkatan fungsi dan daya guna waduk secara optimal
bagi berbagai kepentingan tanpa menganggu fungsi utama waduk
2. Hal tersebut diatas dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada
masyarakat setempat untuk melakukan budidaya ikan dan pemanfaatan
lahan pertanian serta pengembangan wisata sesuai persyaratan tehnis yang
ditentukan, dengan tetap memperhatikan aspek keamanan, ketertiban,
kebersihan, keindahan dan pelestarian lingkungan
Adapun hasil kajian kebijakan ini secara lengkap tertuang dalam tabel
analisis kontent seperti tercantum dalam Lampiran 14. Revisi peraturan undang-
undang tahun 2002 ini mulai menetapkan adanya SPL (Surat Penempatan Lokasi)
yang melibatkan pihak pengelola, dalam hal ini ditangani oleh BPWC. Pembuatan
SPL ini bertujuan untuk mengatur tata letak KJA sehingga tidak mengganggu
jalur transportasi dan untuk memperbaiki landscaping waduk Cirata. SPL ini pun
kemudian dijadikan syarat untuk pengurusan ijin usaha perikanan kepada pihak
pemerintah propinsi. Pembuatan ijin dipermudah dengan sistem pelayanan satu
atap (BPWC dan Dinas Perikanan Kabupaten) dan lokasi pengurusan ijin
direncanakan dekat dengan waduk sehingga menekan biaya transportasi. Alur
pembuatan ijin dan peraturan seperti pada gambar 24 dan 25 dibawah ini. Dalam
revisi peraturan ini juga mulai diatur kuota pakan, kuota bibit ikan yang boleh
ditebar dan kuota unit jaring yang diperbolehkan di Cirata sesuai studi daya
dukung lingkungan. Peraturan ini menetapkan pula bahwa daya dukung
lingkungan Waduk Cirata hanya 1 persen dari luas waduk atau setara dengan
12.000 petak KJA. Oleh karena itu peraturan tersebut juga mengamanatkan
134
adanya penertiban KJA terutama bagi KJA yang tidak aktif maupun yang tidak
memiliki ijin usaha. Selain usaha budidaya perikanan, peraturan ini juga mengatur
tata cara dan ijin bagi usaha pertanian dan kegiatan pengambilan ikan bagi
nelayan.
masing-masing zonasi. Hal ini yang seringkali luput dari pemantauan monitoring
dan bimbingan tehnis dari masing-masing Dinas Perikanan kabupaten.
Penertiban KJA yang juga menjadi mandat dalam SK ini hanya 1 kali
dijalankan dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Alasan tidak berjalannya
penertiban KJA karena biaya operasional yang tinggi untuk melakukan
penertiban. Surat Keputusan Gubernur ini tidak mengatur tentang sanksi dan
bagaimana penegakan aturan diberlakukan, pihak siapa yang berwenang dan
bagaimana prosedurnya. Selama ini masalah di lapangan adalah adanya pihak-
pihak yang ―cuci tangan‖ karena merasa bukan kewenangannya. Siapa yang
berwenang terhadap pengelolaan Waduk Cirata, seperti apa kewenangan yang
diterimanya dan bagaimana prosesnya adalah hal yang ditunggu oleh para
stakeholder terhadap pemerintah. Oleh karena karakteristik waduk melintasi
beberapa kabupaten yang menjadikan Cirata harus dikelola secara eksklusif.
Eksklusif dalam hal ini adalah perlunya melibatkan ketiga kabupaten yang juga
merasa memiliki waduk, memiliki paradigma yang sama terhadap pelestarian
waduk, pembagian peran yang jelas diantara stakeholder dan kepentingan bersama
yang harus diutamakan.
Berdasarkan hasil FGD dengan enam kelompok petani pembudidaya, 2
kelompok nelayan dan 2 kelompok pengolahan hasil perikanan, mereka
mengatakan bahwa sebaiknya pengelolaan waduk diserahkan kepada pemerintah
daerah. Selama ini mereka kurang merasakan adanya sentuhan pemerintah
propinsi Jawa Barat yang justru memiliki kewenangan untuk mengelola Waduk
Cirata. Hal ini terlihat dari jumlah kegiatan yang dilakukan pihak propinsi Jawa
barat kepada masyarakat di Cirata sangat sedikit, kunjungan dari pihak dinas
perikanan propinsi yang jarang dan seringkali aspirasi petani tidak direalisasikan.
Selama ini mereka merasa dukungan dari pemerintah daerah justru lebih besar,
dilihat dari adanya pos atau kolam dinas perikanan masing-masing kabupaten di
kawasan Waduk Cirata dan ditempatkannya petugas penyuluh lapangan yang
khusus menangani kecamatan yang ada di waduk. Dalam Surat Keputusan
memang disebutkan bahwa wewenang untuk melakukan pembinaan, pengawasan
dan monitoring diserahkan kepada instansi tehnis terkait. Namun pelimpahan
wewenang ini tanpa disertai anggaran dari pusat, sehingga pihak daerah harus
137
menyediakan dana khusus untuk melakukan penugasan ini. Dalam hal ini hukum
ekonomi berlaku, jika wewenang dan tugas yang dilakukan tidak mendatangkan
keuntungan secara langsung untuk daerah, dan sifatnya voluntary, tentu saja yang
terjadi adalah kualitas ―ala kadarnya‖.
Secara umum, peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
pemerintah kurang tegas dan tidak banyak mengatur tentang perbaikan kualitas
lingkungan, aktivitas pelestarian waduk dan mekanisme pelimpahan
tanggungjawab yang jelas. Oleh karena itu perlu adanya revisi kebijakan terutama
berkaitan dengan pembagian peran pengelolaan waduk dengan pemerintah daerah
dan upaya-upaya pelestarian lingkungan waduk untuk menjaga keberlangsungaan
usaha budidaya di Cirata.
8.6.5 Kelompok Penjual Pakan (Agen, Sub Agen dan Bandar Ikan)
Kelompok ini merupakan kelompok tidak teroganisasi, namun cukup
banyak ditemui di Cirata. Kurang lebih 105 agen dan sub agen tersebar di 3
kabupaten. Rata-rata keuntungan yang diperoleh para agen/sub agen kurang lebih
3-5 juta/bulan, dengan rata-rata penjualan pakan kurang lebih 750 Kg/hari. Oleh
karena harga pakan telah diatur oleh masing-masing agen maka tidak ada
persaingan diantara para sub agen. Ada insentif yang diberikan kepada sub agen
jika para sub agen ini mampu mencapai limit penjualan tertinggi. Insentif yang
diberikan biasanya berupa perjalanan wisata ke luar negeri. Sub agen biasanya
juga menjadi bandar ikan selain menjual pakan melalui mekanisme principal and
144
agent. Mekanisme ini dipilih oleh para sub agen untuk mencapai batas minimal
penjualan, walaupun mekanisme ini juga memiliki resiko yang tinggi. Jika terjadi
kematian ikan secara massal, maka petani tentu akan merugi dan tidak dapat
membayar hutan pakan kepada sub agen. Biasanya pengambilalihan kolam
menjadi alternatif terakhir untuk mengatasi hubungan utang piutang ini.
Para sub agen dan agen dikenai wajib retribusi oleh pengurus desa, setiap
Kg pakan yang terjual 2 rupiah, disetorkan kepada pihak desa. Untuk pajak ke
desa ini rata-rata sub agen menyerahkan 4 juta rupiah kepada pihak desa. Agen
dan sub agen ini juga difasilitasi oleh produsen pabrik dalam hal informasi produk
dan teknologi terbaru produk yang ditawarkan. Untuk itu setidaknya sekali
setahun terdapat pertemuan agen dan sub agen dan antara sub agen dengan
produsen pabrik untuk memberikan pelatihan dan bimbingan seputar pakan ikan.
bagi semua pengelola dengan besaran yang disepakati bersama dan pelaporan
penghasilan kepada seluruh stakeholder. Akuntabilitas penggunaan dana retribusi
perairan sangat penting dalam mendukung keberlanjutan pungutan. Pengelola juga
harus terbuka terhadap klaim maupun masukan yang berguna bagi kelangsungan
pelestarian waduk dari berbagai pihak, misalnya penggunaan dana retribusi
perairan untuk kepentingan pembersihan sampah atau pembuatan tong-tong
sampah terapung. Dengan menjalin kemitraan bersama dengan kelompok-
kelompok stakeholder dapat menumbuhkan rasa memiliki terhadap keberadaan
waduk oleh semua pihak termasuk warga pendatang.
Skenario status quo yang diusulkan dalam menangani konflik kepentingan
saat ini adalah dengan mendorong pemerintah Provinsi yang memiliki kewajiban
dalam hal penertiban untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Propinsi harus memegang peranan penting
dalam hal penataan waduk dan menjaga keberlanjutan waduk agar tetap dapat
bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan. Mekanisme status quo ini
bisa menjadi penyelesaian yang terbaik jika masing-masing pihak menjalankan
perannya sesuai SK Gubernur No. 41 tahun 2002 yang saat ini sedang berlaku dan
didukung oleh pendanaan yang kuat melalui sharing pendanaan antara propinsi
dan pemerintah kabupaten.
koordinasi. Pihak pengelola saat ini berupaya untuk merangkul dinas terkait dan
para kelompok-kelompok untuk duduk bersama membicarakan hal-hal yang
berkaitan dengan pelestarian waduk dan sudah dilakukan beberapa kali kegiatan
pertemuan. Kegiatan bersama yang diinisiasi oleh pengelola haruslah merupakan
langkah yang kontinyu dan bukan bersifat tentantif, sehingga proses desiminasi
terus berjalan dan akhirnya semua stakeholder memiliki kesamaan visi dan
persepsi terhadap pengelolaan waduk.
Rekomendasi paling konkret saat ini adalah dengan melakukan redesign
kelembagaan. Skenario diatas yaitu best case scenario dan status quo merupakan
saran konkret yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan Cirata saat ini.
Memontum lain yang bisa dijadikan upaya awal memulai tata kelola yang baik
adalah dengan perubahan peraturan perundang-undangan yang saat ini sedang
dilakukan oleh DPRD Propinsi Jawa Barat. Undang-undang yang baru diharapkan
harus memuat sangsi yang tegas terhadap pelanggar ketentuan, siapa yang
berwenang menegakkan peraturan dan fokus untuk berbagi peran dengan pihak
pemerintah daerah dan pengelola waduk. Fungsi koordinasi bisa tetap berada pada
level Propinsi, namun pemerintah daerah sebaiknya diberikan peluang untuk
melakukan pengawasan dan monitoring kegiatan budidaya dan kegiatan
pelestarian waduk. Pengelola waduk diberikan kewenangan penuh untuk bisa
menegakkan peraturan terkait dengan penertiban kegiatan-kegiatan yang
memanfaatkan waduk dengan melibatkan pemerintah daerah. Propinsi Jawa Barat
yang berwenang sejak awal dibukanya waduk, mulai lebih memperhatikan
managemen pengelolaan waduk dan tidak hanya melulu fokus pada bidang
perikanan saja, untuk itu sebaiknya propinsi tidak menempatkan kewenangan
pengelolaan Waduk Cirata dibawah Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat.
Rekomendasi yang dapat diberikan berkaitan dengan pengelolaan kelembagaan
waduk adalah membentuk badan otorita yang khusus menangani masalah
pengelolaan sumber daya alam sebagai aset daerah dan memiliki kewenangan
melebihi kewenangan daerah kabupaten agar dapat menjadi leading sector dalam
gerakan pelestarian waduk. Kondisi umum yang sering terjadi dalam sebuah
badan/kelembagaan baru adalah masalah sumber daya manusia. Untuk itu
pemerintah juga perlu mempertimbangkan aspek sumber daya manusia dalam
152
Dalam rangka mencapai visi pengelolaan CPRs tersebut maka mutlak dilakukan
redesign kelembagaan di Cirata. Potensi sumber daya alam dan sumber daya
manusia yang dimiliki oleh Cirata sangat besar. Oleh karena itu butuh adanya
kesepakatan/komitmen dari para pengguna sumber daya yang diikat oleh faktor-
faktor ekonomi dalam mendukung pelestarian waduk. Komitmen/kesepatan
tersebut dapat tertuang dalam bentuk formal maupun informal namun disekapati
oleh semua pihak. Pengkoordinasian sumber daya manusia ini sangat mudah jika
didukung oleh badan otorita yang dapat menjadi penggerak utama pengelolaan
waduk yang lestari.