Anda di halaman 1dari 42

113

BAB 8
ANALISIS KELEMBAGAAN

Dengan mengacu pada kerangka analisis Ostrom (2003), maka dapat


diperoleh gambaran umum analisis kelembagaan yang meliputi karakteristik
sumber daya waduk, faktor-faktor yang mempengaruhi pengguna sumber daya
seperti faktor ekonomi, kebijakan, politik, kebijakan dan teknologi, serta analisis
pengguna sumber daya yang terangkum dalam analisis stakeholder serta analisis
konflik untuk melihat interaksi masing-masing aktor. Berikut ini adalah analisis
deskriptif mengenai masing-masing kategori diatas :

8.1 Karakteristik Sumber Daya Waduk


Sumber daya buatan manusia berupa waduk di wilayah Cirata sangat unik
dan merupakan pemanfaatan DAS Citarum yang sangat efisien, karena mencakup
3 (Tiga) buah waduk yang menggunakan satu aliran sungai yang disebut kaskade.
DAS Citarum mengalir dengan debit air sebesar 52,6 m3/detik mampu
menghasilkan 1.937 MW (40 persen dari sistem kelistrikan Jawa) yang dapat
mengalirkan listrik untuk seluruh pulau Jawa, Bali dan Madura. Berikut ini
adalah perbandingan Waduk Cirata diantara waduk kaskade lainnya :

Tabel 29. Gambaran Umum Waduk Kaskade


Keterangan Saguling Cirata Jatiluhur
Letak Hulu (Kab. Tengah (Kab. Hilir (Kab.
Bandung) Bandung Barat, Purwakarta)
Purwakarta dan
Cianjur)
Pembangunan 1985 1998 1967
Fungsi Utama PLTA dan PLTA PLTA, Irigasi
irigasi dan Air Minum
Ketinggian (dpl) 645 250 116
Luas Waduk (Ha) 5.340 6.200 8.300
Volume (juta m3) 982 2165 2970
Pengelola PT. IP PT. PJB PJT II (Perum
(Indonesia (Pembangkitan Jasa Tirta II)
Power) Jawa Bali)
Produksi Listrik (MW) 700 1.008 150
114

Waduk Jatiluhur atau yang juga disebut waduk Ir. H Djuanda di Hilir
Sungai Citarum merupakan waduk tertua diantara waduk kaskade. Waduk ini
dibangun dengan tujuan utama untuk PLTA, irigasi, bahan baku air minum dan
industri. Untuk mengantisipasi limbah dari hulu sungai yang dapat mencemari
waduk Jatiluhur, maka dibangunlah waduk Saguling sebagai filter limbah,
diharapkan dengan adanya Waduk Saguling maka inlet di pintu air Jatiluhur dapat
memberikan air yang lebih bersih. Namun seiring dengan pembangunan Waduk
Saguling, aktivitas ekonomi lain seperti perikanan dan pertanian juga dilakukan di
Waduk Saguling yang menyebabkan kualitas air yang dihasilkannya semakin
menurun. Oleh karena itu dibangunlah waduk di tengah-tengah DAS Citarum
yaitu Cirata yang diharapkan dapat menjadi filter kedua bagi perairan Jatiluhur.
Fungsi utama awal dibangunnya waduk hanya untuk PLTA. Pengoperasian PLTA
tidak menghasilkan limbah dan hanya menggunakan air sebagai media untuk
menghasilkan listrik.
Berdasarkan wilayah administratifnya, Waduk Saguling berada di
Kabupaten Bandung. Waduk Jatiluhur berada di Kabupaten Purwakarta dan
keunikan Waduk Cirata berada pada lintas wilayah administratif yaitu Kabupaten
Purwakarta, Cianjur dan Bandung Barat. Pengelola Waduk Jatiluhur adalah Perum
Jasa Tirta II, pengelola Waduk Saguling adalah PT Indonesia Power dan
pengelola Waduk Cirata adalah PT. Pembangkitan Jawa Bali. Keunikan lain dari
Cirata adalah adanya pembagian kerja antara pembangkitan dan tata kelola
waduk. PT. PJB membentuk anak perusahaan dengan nama BPWC (Badan
Pengelola Waduk Cirata) yang khusus menangani kualitas air waduk dan kegiatan
lain yang ada diatas waduk.
Hampir semua waduk dibangun dengan fungsi utama sebagai PLTA,
namun ternyata hampir semua waduk juga digunakan sebagai sarana bagi
peningkatan perekonomian dalam bidang perikanan dan pariwisata. Begitu pula
yang terjadi dengan waduk kaskade. Ketiganya menjadi sentra perikanan air
tawar. Dalam pengelolaan sumber daya hal ini tentunya sangat efisien dan
memberikan nilai tambah. Kegiatan ikutan lain ini tentu saja perlu dikelola
dengan baik agar fungsi utama pembangunan waduk tidak terganggu. Oleh karena
itu dibutuhkan kelembagaan yang tepat dalam menangani tata kelola waduk.
115

Inefesiensi biasanya terjadi ketika kegiatan lain tersebut melebihi daya dukung
lingkungan waduk dan atau menghasilkan eksternalitas negatif yang dapat
mempengaruhi kualitas air yang dibutuhkan untuk tercapainya fungsi utama.
Kekhasan Waduk Cirata yang genangannya melintasi 3 (Tiga) kabupaten
maka pengelola membagi wilayah waduk menjadi 3 zonasi yaitu : Zona 1 meliputi
Kabupaten Bandung Barat, Zona 2 berada di Kabupaten Purwakarta dan Zona 3
yaitu Kabupaten Cianjur. Zonasi ini untuk dipergunakan untuk mengatur tata letak
karamba agar sirkulasi dan transportasi air dapat dilalui. Pengaturan tata letak
diberlakukan untuk mempermudah monitoring dan dipergunakan oleh masing-
masing dinas terkait dalam pendampingan dan pembinaan petani ikan KJA dan
nelayan.
Selain DAS Citarum, Waduk Cirata juga menerima aliran air dari DAS-
DAS kecil seperti Cikundul, Cisokan, Cimeta, Cicendo dan Cibalagung. Lahan
yang dikelola oleh Cirata selain luas perairan juga wilayah non waduk dengan
luas 5.081.358 m2. Berikut ini adalah data teknis mengenai waduk Cirata yang
diperoleh dari PT. PJB :

Tabel 30. Data Teknis Waduk Cirata


Bendungan
Nama bendungan Bendungan Cirata
Type bendungan Concrete Faced Rockfill Dam ( CFRD )
Urugan batu dengan permukaan lapis beton
sebagai bahan kedap air
Tinggi, elevasi puncak 125 meter ; +225 meter
Panjang puncak 453,5 meter
Isi tubuh bendungan 3,9 juta m3
Waduk ( Reservoir )
Luas daerah tangkapan 4119 Km 2
Kapasitas tampungan waduk :
- Total (Gross) kapasitas 2.165 Juta m 3 pada elev. +223,00 m
- Kapasitas efektif 796 Juta m 3 (+205,00 ~ + 220,00 m )
Luas area genangan 62,00 Km 2 pada elevasi normal + 220,00 m
Luas area genangan 65,60 Km 2 pada elevasi normal + 223,00 m
Debit rencana rata rata 1,080 m3 / detik
Sumber : Laporan PT. PJB UP Cirata
116

Waduk ini dibuat oleh PLN Proyek Pembangkit Hidro Jawa Barat
(PIKITDRO JABAR) bekerjasama dengan beberapa kontraktor asing dan dalam
negeri. Tercatat kontraktor dari Jepang (Taisei Co dan Nisso Iwai), Austria (Voest
Alpine dan Elin Union), Prancis (Gogelex) dan Jerman Barat (Brown Boveri)
serta kontraktor dalam negeri seperti PT. Boma Bisma Indra, PT Wasamitra, PT.
Brantas Abipraya, PT. Citra Contrac, PT. Mega Eltra, PT. United Tractors, dan
PT. Triguna Utama. Dengan konsultan utama dari Jepang, yaitu NEWJEC (New
Japan Engineering Consultant). Adanya sistem joint operation antara kontraktor
asing dengan kontraktor nasional diharapkan dapat terjadi alih teknologi, memacu
pertumbuhan kontraktor nasional dan devisa negara untuk pekerjaan utama tidak
seluruhnya diserap oleh perusahaan asing.
Pembangunan PLTA Cirata selain dibiayai langsung oleh Pemerintah
Indonesia melalui dana APBN dan non APBN serta dana PLN juga mendapat
bantuan pinjaman dari luar negeri, yaitu :

a. IBRD (International Bank Reconstruction and Development), sebesar


ekivalen US $241,300,000
b. CDC (Common Wealth Development Cooperation), sebesar ekivalen
US $ 18,800,000
c. SC (Supplier Credits), sebesar ekivalen US $ 69,000,000
d. Pemerintah Austria
e. APBN dan non APBN, sebesar ekivalen US $ 235,900,000

Sehingga total pembiayaan untuk pembangunan waduk dan pembangkit Cirata I


(4 trafo) sebesar US $ 565.000.000 sedangkan untuk pembangunan Cirata II (atau
penambahan 4 trafo yaitu unit 5, 6, 7 dan 8) menelan biaya sebesar
Rp32.272.182.061,00; SFR 997.292,00; NTD 207.933.845,00 dan Yen
2.791.593.431,00. Nilai ini setara dengan Rp8.786.123.965.355 (kurang lebih
delapan triliun rupiah)
Dampak dari pembangunan waduk ini cukup besar terutama terhadap
kehidupan masyarakat di 3 Kabupaten. Dampak ini dapat dilihat secara jangka
pendek maupun jangka panjang, dan ada yang bersifat baik adapula dampak
buruk. Salah satu contoh dampak sosial yang dialami masyarakat yang terkena
117

dampak langsung dari penggenangan air, yaitu masalah pembebasan lahan. Pada
saat penelitian, masih ada responden yang menyatakan kekecewaannya karena
masalah pembebasan tanah yang tidak sesuai dengan nilai harga tanah saat itu.
Secara sosial mereka kehilangan tanah, rumah dan karuhun lembur nenek moyang
(istilah setempat untuk menyebut kampung halaman). Ada masyarakat yang
―dipaksa‖ untuk melakukan transmigrasi ke luar pulau Jawa, dan ada pula yang
tidak bersedia dan memilih mencari desa terdekat untuk bermukim.
Dari sekian banyak masalah negatif yang timbul dari pembangunan
waduk, dan hal tersebut tidak dipungkiri oleh masyarakat setempat, namun
banyak pula masyarakat di Cirata mengatakan hal yang positif dengan adanya
pembangunan waduk. Peluang usaha terbuka lebar, mulai dari buruh KJA,
nelayan, petani, pemilik KJA, buruh angkut, sewa perahu, rumah makan, dan
kegiatan ekonomi lain. Masyarakat pun tidak merasa kekurangan air walaupun
menghadapi musim kemarau. Adanya usaha KJA dan usaha ikutan lainnya di
sekitar waduk membuat masyarakat dapat hidup secara layak. Pada awal kegiatan
budidaya ikan, kualitas air masih bagus, produksi ikan bisa mencapai hasil yang
optimal, dan harga ikan tergolong tinggi, masyarakat dapat meraup untung yang
cukup besar. Secara sosial perubahan status terjadi di masyarakat, dibuktikan
dengan banyaknya masyarakat yang mampu menunaikan ibadah haji yang
merupakan kewajiban bagi umat Islam.
Secara umum permasalahan yang dialami oleh bendungan-bendungan
besar di dunia, juga terjadi di Cirata. Laju sedimentasi melebihi perencanaan
waduk, telah menyebabkan penurunan kualitas air waduk serta berkurangnya
umur layan waduk selama 8 tahun. Hal ini tentu saja berkaitan dengan
pemanfaatan yang berlebihan terhadap sumber daya waduk. Masalah property
right juga berkaitan dengan pemanfaatan yang berlebihan tersebut. Oleh karena
keunikan Waduk Cirata yang melintasi 3 kabupaten, sehingga propety right juga
menjadi salah satu pemicu terjadinya pengurangan daya dukung waduk. Masalah
property right ini berkaitan dengan siapa yang memiliki kewenangan untuk
mengelola dan menangani managemen sumber daya. Masalah property right ini
akan dibahas pada bagian ekonomi, politik, kebijakan dan tata kelola
kelembagaan dalam pemanfaatan Waduk Cirata.
118

Dalam managemen pengelolaan CPRs, Dolsak&Ostrom (2002) telah


mengidentifikasi faktor-faktor kunci. Faktor-faktor kunci tersebut antara lain :
ukuran SDA relatif kecil kecil, stabil dan memiliki batas-batas yang jelas,
penggunaan sumber daya yang menghasilkan eksternalitas negatif paling kecil,
kemampuan pengguna sumber daya dalam memonitor stock dan flows, dan
pengguna sumber daya termasuk kategori pengguna moderate, dimana tingkat
pengetahuan pengguna SDA cukup tinggi sehingga mampu memahami
pentingnya penggunaan sumber daya yang tidak berlebihan. Sumber daya dengan
ciri-ciri diatas masih mungkin dilakukan pencegahan kerusakan SDA karena
dinamika SDA dipahami dengan benar oleh para pengguna sumber daya.
CPRs dengan ukuran yang relatif kecil lebih kondusif dalam pembentukan
dan pengelolaan kelembagaan untuk mengelola sumber daya. Seberapa kecil
ukuran sumber daya yang dimaksud? Pada kondisi ini tidak ada definisi yang
lebih tepat untuk menjelaskan ukuran dari sebuah CPRs. Beberapa peneliti
biasanya mengelompokkan CPR ke dalam sumber daya lokal, regional dan global.
Ukuran CPRs ini berhubungan dengan variabel lain contohnya CPRs yang relatif
kecil, lebih mudah dimonitor. Stok yang sedikit lebih mudah dimonitor dengan
menggunakan metode yang relatif sederhana dengan tingkat kepercayaan yang
tinggi. CPRs yang kecil cenderung hanya diminati oleh segelintir pengguna,
sehingga aliran sumber daya mudah dimonitor dalam kaitannya dengan
perhitungan stok dan pengaduan terhadap batas penggunaan sumber daya mudah
diukur. Untuk sumber daya skala regional dan global biasanya sulit untuk
memperkirakan tehnik yang tepat dalam mengukur stok dan menghitung flow
yang terjadi.
Keunikan Waduk Cirata dibandingkan waduk kaskade lainnya dalam hal
lintas wilayah administrasi ini mengakibatkan ketidakjelasan property right
waduk sehingga terdapat 3 kabupaten yang merasa memiliki kewenangan untuk
pengusahaan waduk. Oleh karena itu bisa dikategorikan bahwa Waduk Cirata
merupakan CPRs dengan ukuran besar (skala regional). Monitoring sumber daya
ini relatif sulit karena ukuran waduk yang besar dan melintasi beda kabupaten
yang memiliki perbedaan kebijakan, perbedaan aturan main dan perbedaan
administratif lainnya; dan karena besarnya waduk ini maka banyak pihak yang
119

tertarik untuk mengesktraksi atau memanfaatkan waduk untuk kepentingan


ekonomi. Banyaknya pengguna sumber daya ini tentu saja menyulitkan proses
monitoring stok dan flow sumber daya tersebut.
CPRs dengan skala lokal contohnya adalah waduk Jatiluhur di hilir sungai
Citarum yang merupakan kaskade dari Waduk Cirata. Kepemilikkan dan
pengelolaan waduk jelas dikelola oleh satu pihak dengan melibatkan satu
pemerintahan kabupaten. Sehingga setiap upaya pemanfaatan waduk dan aktivitas
penanggulangan kerusakan waduk dikelola oleh pihak-pihak yang jelas.
Monitoring flow dan stok dikelola oleh pihak yang berwenang, kebijakan yang
dibuat dipatuhi oleh semua pengguna sumber daya. Pada awal pembangunannya,
waduk Jatiluhur tidak merelokasi masyarakat karena daerah yang terkena dampak
genangan adalah hutan-hutan tidak berpenghuni, sehingga tidak ada janji apapun
kepada masyarakat yang terkena dampak. Hal inilah yang memungkinkan waduk
Jatiluhur membuat peraturan dan monitoring siapa saja yang berhak untuk
memanfaatkan waduk sebagai tempat budidaya. Peraturannya tegas, dibuat dan
dilakukan oleh pemerintah berwenang yang menjaga sumber daya tersebut
sebagai asset kabupaten.
CPR dengan batas-batas yang jelas dan stabil ditemukan lebih kondusif
dalam keberlanjutan managemen kelembagaan. Jika batas-batas CPRs dipahami
dengan benar dan tidak berubah seiring dengan waktu, maka mudah untuk
menentukan pengguna sumber daya dan aktivitas pengambilan sumber daya. Di
lain pihak, jika sumber daya menghasilkan unit yang bergerak melewati batas-
batas, misalnya ikan yang bermigrasi, jumlah pengguna sumber daya biasanya
akan naik secara drastis sehingga lebih sulit untuk membentuk dan mengelola
kelembagaan untuk mencegah penggunaan yang berlebihan dari sumber daya
tersebut.
Dalam kasus Waduk Cirata penentuan batas atau zonasi baru dilakukan di
tahun 2002. Begitu juga dengan pengaturan kegiatan perekonomian budidaya baru
ditertibkan oleh pengelola waduk dalam upaya untuk meningkatkan kelancaran
usaha, jalur transportasi, mempermudah monitoring, dan bimbingan. Untuk
resource unit dalam usaha budidaya tentunya bersifat stabil karena konstruksi
karamba yang memudahkan perhitungan stok dan flow, namun untuk ikan-ikan
120

lain yang tidak dibudidayakan, saat ini baru wilayah Cianjur yang memiliki
kelompok nelayan yang membantu memonitoring dan mengatur kegiatan-kegiatan
nelayan di wilayah mereka. Upaya ini tentunya merupakan langkah yang baik
dalam managemen waduk dan dalam kerangka menciptakan suistanability sumber
daya.
CPR yang menghasilkan eksternalitas negatif lebih sedikit relatif mudah
untuk dikelola dibandingkan dengan eksternalitas yang kompleks dan yang
berinteraksi dengan resource system. Semakin kompleks reource system, maka
semakin sulit bagi pengguna sumber daya untuk mematuhi peraturan dalam
mengatasi eksternalitas. Dalam berbagai analisis eksternalitas, kita harus
mendefinisikan dengan baik tipe dari eksternalitas oleh karena setiap tipe
eksternalitas membutuhkan aturan yang berbeda. Ekstraksi sumber daya oleh satu
pengguna biasanya menimbulkan eksternalitas bagi pengguna lain. Pengambilan
satu unit resource akan mengurangi jumlah resource unit yang tersedia untuk
pengguna sumber daya yang lain. Berdasarkan tipe eksternalitas yang telah
dibahas pada tinjauan pustaka, eksternalitas negatif di Waduk Cirata merupakan
eksternalitas provision. Dari sisi supply adanya insentif terhadap free rider
merupakan kendala dalam ketersediaan atau daya dukung lingkungan waduk. Para
free rider yang merupakan pendatang yang ikut membuka usaha karamba
mendapatkan kemudahan dari pihak-pihak berwenang sehingga insentif ini yang
menimbulkan semakin banyak pemilik waduk yang non pribumi. Selain itu
adanya pihak-pihak yang tidak memiliki ijin usaha atau SPL (Surat Penempatan
Lokasi) juga menjadi free rider utama, karena mereka yang tidak membuat ijin
usaha perikanan menikmati kegiatan usaha di waduk tanpa membayar untuk
kegiatan pelestarian waduk. Oleh karena itu diperlukan maintaining sumber daya
seperti adanya pengorganisasian masyarakat. Keberhasilan pengorganisasian
masyarakat ini tergantung tingkat pendidikan, behavior dan attitude yang dimiliki
oleh masyarakat setempat, selain faktor-faktor eksternal lainnya seperti kurangnya
dukungan dan pembinaan dari pihak terkait, kurangnya modal, dan kuatnya
pengaruh para sub agen dan agen pakan. Rata-rata tingkat pendidikan petani dan
masyarakat di desa-desa sekitar waduk memang rendah dan kebiasaan masyarakat
desa yang tidak bisa melakukan multiple task atau sesuatu yang rumit, sehingga
121

menyebabkan kelompok-kelompok pengorganisasian masyarakat di Cirata


membutuhkan waktu lebih lama dalam adaptasi kelompok. Adanya kelompok
yang sudah terkenal dan menjadi juara nasional serta adanya keuntungan dalam
berkelompok sangat memicu masyarakat lain dalam pengorganisasian masyrakat,
bahkan mendorong kelompok lain untuk bisa melakukan hal yang serupa.
Sisi demand terhadap eksternalitas provision terkait dengan tingginya
permintaan akan ikan yang menyebabkan masyarakat terus berupaya untuk
melakukan usaha-usaha walaupun ditengah kesulitan berkurangnya daya dukung
lingkungan yang dibuktikan dengan penurunan kualitas air dan penurunan
produktivitas ikan dari tahun ke tahun. Memang telah banyak terjadi penurunan
jumlah petani ikan karena kasus kematian ikan massal, namun hal ini masih
tergolong kecil. Menurut teori dibutuhkan maksimisasi discounted present value
of rate return untuk petani ikan. Hal ini berarti bahwa orientasi bukan pada
seberapa banyak jumlah petani ikan, namun seberapa besar produksi yang
dihasilkan oleh sejumlah petani yang terbatas. Fakta nyata yang diperoleh pada
saat wawancara dengan masyarakat adalah : dulu pada saat waduk baru
dioperasikan hingga tahun 2003 persentase pertumbuhan ikan bisa mencapai 80%,
namun saat ini hanya 50 persen, dengan modal yang sedikit mampu menghasilkan
sejumlah ikan yang sama dengan modal yang lebih besar pada saat ini.
Oleh karena kompleksnya resource system waduk dengan berbagai sektor
pengguna menyebabkan tidak terkontrolnya pengguna sumber daya lain sehingga
menimbulkan eksternalitas bagi pengguna sektor lain. Semakin banyaknya
pengguna sumber daya, maka semakin sulit pula mereka menaati peraturan untuk
mengatasi eksternalitas.
Walaupun sulit untuk mendesign dan menegakkan kelembagaan dalam
pengelolaan sumber daya global dan regonal, bukan berarti tidak bisa, beberapa
diantaranya bisa sukses dikelola dan dijaga. Akan tetapi implementasinya
membutuhkan usaha yang cukup besar dari pengguna sumber daya dan dengan
menggunakan teknologi yang mumpuni. Upaya-upaya tersebut tengah dijalankan
oleh instansi pengelola maupun instansi tehnis terkait di Cirata untuk lebih
memperdayakan kelompok-kelompok petani yang ada dalam melakukan
122

monitoring stok, flow, eksternalitas negatif yang timbul dengan kapasitas dan
kemampuan masing-masing kabupaten yang berbeda.

8.2 Faktor Ekonomi


Dalam pemanfaatan waduk sebagai perairan umum, masyarakat sangat
diuntungkan dengan adanya budidaya KJA, karena sebagian besar masyarakat
yang dimukimkan kembali di daerah sekitar waduk memiliki hak untuk membuka
usaha KJA dan usaha garapan lahan pertanian di daerah pasang surut air. Usaha
dibidang budidaya perikanan ini sangat menguntungkan sehingga semakin banyak
pihak yang tertarik untuk menanamkan usahanya dibidang perikanan. Selain
menguntungkan trend permintaan terhadap komoditas ini relatif meningkat dari
tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari kenaikan rata-rata konsumsi ikan per kapita
nasional dari tahun 2005 sebesar 25 kg/kapita/tahun menjadi 30,48 kg/kapita di
tahun 2010. Hal ini menjadi salah satu pemicu peningkatan produksi ikan
budidaya, khususnya ikan air tawar. Dalam kurun waktu lima tahun (2002—2006)
terjadi peningkatan produksi ikan mas, nila, patin, dan bawal air tawar, masing-
masing 19, 65, 10 dan 251 persen. Provinsi Jabar tercatat sebagai wilayah yang
menghasilkan lebih dari separuh ikan air tawar konsumsi yang beredar di pasar
lokal. Waduk Cirata di Jawa Barat menghasilkan rata-rata 8000 ton ikan air tawar
(Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, 2011).
Sejauh ini, pasar ikan konsumsi air tawar Cirata masih membidik
konsumen lokal yang dijual dalam bentuk segar. Pemasaran hasil produksi
terutama untuk pasar tradisonial di wilayah : Jakarta (Muara Baru dan Muara
Angke), Bandung, Bogor, Semarang, Surabaya, Lampung dan di sekitar pulau
Jawa. Pasar lokal masih menjadi target pembudidaya karena mereka masih
menganggap harga internasional belum menarik. Sebagai contoh, harga fillet patin
di pasar dunia saat ini mencapai US$2,8—US$3,0 atau Rp26.000—Rp27.900 per
kg. Untuk menghasilkan 1 kg fillet patin dibutuhkan 4 kg patin segar dengan
harga rata-rata Rp10.000 per kg. Dengan demikian dibutuhkan Rp40.000 untuk
menghasilkan satu kg fillet patin, di luar biaya produksi, pengemasan, dan
transportasi. Oleh karena itu wajar bila orientasi pembudidaya ikan-ikan air tawar
masih tertuju ke pasar lokal. Berdasarkan hasil wawancara dengan bandar ikan
123

untuk masuk dalam tahap ekspor ke luar negari, kualitas ikan Cirata belum
memenuhi syarat karena ukuran ikan yang kurang besar dan kontinuitas yang
masih dipertanyakan. Walaupun demikian para bandar ikan yang membeli hasil
ikan Cirata mengatakan bahwa selama ini mereka tidak pernah rugi, berapapun
ikan yang mereka bawa untuk dijual pasti akan habis di pasaran tradisonial.
Bahkan untuk beberapa musim, kebutuhan masih belum bisa tercukupi. Oleh
karena kebutuhan domestik untuk ikan air tawar pun masih belum mencukupi,
para bandar ikan belum menjajaki pasar luar negeri untuk ekspor.
Walaupun kecenderungan permintaan ikan terus meningkat namun tidak
berkorelasi positif dengan harga ikan. Harga jual ikan diserahkan pada mekanisme
pasar dimana jika permintaan tinggi maka harga akan tinggi, dan saat stok ikan
melimpah, harga akan turun. Kondisi ini masih menjadi dilema bagi petani ikan
Cirata. Ketika Waduk Jatiluhur dan Saguling panen ikan secara bersamaan maka
harga ikan akan jatuh. Harga jual ikan mas bulan Mei 2012 ini berkisar Rp.
13.500,00/Kg. Harga ini tergolong normal, tahun 2009 harga ikan sempat jatuh
mencapai Rp.11.500/Kg, tahun berikutnya Rp.12.500/Kg. Bulan Juli-Agustus,
biasanya terjadi over produksi sehingga harga bisa turun, menjelang bulan
Desember-maret harga bisa naik mencapai Rp20.500,00/Kg karena musim angin
barat, biasanya musim banyak penyakit yang menyebabkan kematian ikan.
Sementara harga ikan diserahkan kepada mekanisme pasar, tidak demikian
halnya dengan harga pakan ikan. Hal inilah yang dikeluhkan oleh petani. Pakan
pellet merupakan input utama dalam budidaya KJA. Harga pakan yang terus
meningkat, sementara harga ikan relatif stabil sangat mempengaruhi profit petani.
Pada saat penelitian ini berlangsung (Mei 2012), telah terjadi 3 (Tiga) kali
kenaikan harga pakan. Penjualan pakan didominasi oleh beberapa produsen pakan
seperti Comfeed (dengan produk PI Comfeed, SPM dan SPF), Sinta (dengan
produk Laju, Jatra dan Pilar), Charoen Poekpan (Turbo 89, P88), dan Cargill
(Extra M, Profish dan FEE). Produsen ini bekerjasama dengan 4 agen besar yang
ada di perairan Cirata yaitu SH (Sayap Heulang), JP (Janari Perdana), AP (Agung
Pratama) dan SD (Sari Dagang). Sayap Heulang menjual produk Cargill dan
Pokpan. Agung Pratama menjual produk Bintang yaitu CV, Malindo dan
Wonokoyo. JP khusus menjual produk Sinta. Mekanisme penjualan melalui agen-
124

agen, sub agen dan petani ditetapkan secara bersama-sama melalui wadah
Asosiasi GPMT (Gabungan Pengusaha Makanan Ternak). Melalui asosiasi ini
maka mekanisme penjualan pakan berlaku sama untuk setiap pelabuhan di
masing-masing kabupaten. Produk Sinta yang paling banyak digunakan oleh
petani ikan Cirata, harga jual pakan merk Jatra (ukuran 3mm = 5.000/kg), Laju
(3mm = 4.500/kg), Pilar (3mm = 4.250/kg) dan Jatra khusus untuk bibit (2mm =
5.250/kg). Harga tersebut merupakan harga agen kepada sub agen. Sedangkan dari
sub agen kepada petani harga pakan merk Jatra Rp.5.870/Kg. Harga pakan merk
Sinta Rp.5.700,00/Kg naik dari Rp.5.500,00/Kg. Kenaikan ini menurut GPMT
karena bahan baku pakan yang harus impor dari luar negeri mengalami kenaikan
harga. Bahan baku yang dimaksud adalah tepung tulang yang memiliki kandungan
protein tinggi. Hal ini menyusul keputusan pemerintah untuk melarang impor
semua produk olahan daging sapi dari Amerika karena merebaknya wabah sapi
gila, sehingga importir produk olahan daging sapi seperti pengusaha pakan ternak
ini harus mengalihkan pembeliannya ke negara lain seperti Australia atau New
Zealand yang mematok harga lebih tinggi.
Mata rantai pemasaran hasil produksi budidaya perikanan Cirata lebih
banyak dikuasai oleh para sub agen pakan. Sistem penjualan pakan kepada petani
ternyata menggunakan sistem hutang, petani membayar dengan ikan setelah masa
panen (3 bulan). Masing-masing sub agen yang biasa disebut ―gudang‖ memiliki
aturan tersendiri dalam memberikan pinjaman kepada petani ikan. Ada yang
mensyaratkan maksimal 21 hari harus membayar, ada pula yang mensyaratkan
setelah hutangnya berjumlah Rp10.000.000,00 keatas, maka harus membayar
bahkan ada yang tergantung permintaan dari petani tetapi maksimum 2 minggu
harus sudah membayar hutangnya. Para petani ikan ini terikat perjanjian tidak
tertulis dengan para pemilik gudan pakan, mereka wajib menjual hasil ikannya
kepada pemilik gudang setelah masa panen untuk membayar hutang-hutang
pakannya. Jika terjadi kasus kematian ikan secara massal, maka petani-petani ikan
ini tidak bisa membayar hutangnya dan bahkan semakin menumpuk. Oleh karena
pihak gudang tidak ingin menanggung resiko kerugian, mereka meninjau kembali
luasan kolam dan feasibilitas petani, jika mereka menganggap petani masih
mampu membayar hutangnya maka mereka kembali meminjamkan uang untuk
125

modal budidaya ikan supaya bisa mencicil hutang-hutang mereka; namun jika
luasan kolam sedikit dan tidak memungkinkan untuk menutup hutang-hutangnya,
maka pihak gudang akan mengambil alih kolam sebagai ganti rugi pembayaran
hutang. Ikatan kerjasama ini secara ekonomi memang merugikan petani, karena
petani tidak memiliki alternatif pilihan penjualan ke pihak lain dan jika sudah
jatuh tempo, sementara ikan belum cukup umur untuk panen, mereka tetap akan
dipaksa untuk panen dini. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi pendapatan
petani, karena bobot ikan yang belum mencukupi akan dihargai rendah. Namun
ketimpangan kerjasama ini belum pernah berakibat fatal misalnya konflik terbuka.
Petani lebih banyak mengalah dan pasrah dengan keadaan manakala pemilik
gudang mengambil alih kolamnya ketika hutang sudah mulai menumpuk. Dari
wawancara kepada pemilik gudang, hampir sebagian besar mengaku mengalami
penurunan pelanggan karena gulung tikar terutama semenjak kasus kematian ikan
massal yang terjadi tahun 1996 dan terus berlanjut dalam skala kecil sampai
sedang hingga tahun 2007. Sementara itu akses petani ke perbankan sebagai
alternatif modal usaha, baru dirintis tahun 2010 dimana kelompok ASPINDAC
(Asosisasi Petani Ikan Waduk Cirata) membuat rekomendasi sehingga beberapa
petani yang bergabung dengan kelompok ini bisa mengajukan pinjaman ke Bank
Jabar. Tidak kurang dari 60 milyar digelontorkan untuk petani ikan di Cirata.
Keengganan masyarakat untuk meminjam uang sebagai modal ke pihak
perbankan dikarenakan administrasi yang berbelit, menyulitkan dan mereka harus
tergabung dalam kelompok petani ikan. Itupun melalui proses seleksi yang ketat.
Pada akhirnya banyak dari petani kembali ke gudang untuk meminjam pakan,
karena prosedurnya yang ringkas dan hanya bermodalkan kepercayaan. Pihak
gudang pun mulai membina hubungan dengan para petani melalui berbagai
pertemuan dan pelatihan yang difasilitasi oleh GPMT atau produsen pakan. Selain
mereka mempromosikan jenis pakan terbaru atau mensosialisasikan keunggulan
produk pakan, mereka juga memberikan bimbingan tehnis untuk peningkatan
produksi ikan. Hal inilah yang jarang dilakukan oleh dinas terkait yang menjadi
tugas dan kewenangannya.
Pada intinya, faktor ekonomi memang mendorong terjadinya penggunaan
waduk secara berlebihan sehingga mengurangi daya dukung lingkungan.
126

Walaupun usaha budidaya yang dikembangkan pun saat ini tidak luput dari
kutukan sumber daya (resource curse) dimana teori ini mengatakan bahwa
masyarakat yang memiliki wilayah dengan sumber daya yang besar cenderung
memiliki tingkat penghidupan yang jauh dari layak. Teori ini terbukti untuk kasus
Cirata, dimana hanya sebagian kecil masyarakat yang memiliki usaha KJA yang
memiliki penghidupan yang layak, sementara itu hampir sebagian besar penduduk
hanyalah buruh KJA dengan tingkat pendapatan rata-rata per bulan Rp600 000 –
800 000.00. Pemilik KJA berdasarkan sensus BPWC (2011) menunjukkan bahwa
kepemilikan KJA 83 persen dikuasai oleh pribumi dan 14 persen non pribumi.
Namun pada saat penelitian di lapangan dari 69 RTP, 40 persen diantaranya
adalah milik pribumi dan 60 persen milik masyarakat di luar penduduk sekitar
waduk. Jumlah unit KJA yang dimiliki oleh rata-rata pribumi hanya 4 unit
sedangkan untuk non pribumi rata-rata memiliki 7 unit KJA. Hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat asli tidak mendapatkan manfaat cukup besar dari adanya
waduk karena memiliki keterbatasan modal dan pengetahuan.
Untuk masyarakat yang saat ini memiliki KJA dengan tingkat kepemilikan
hanya 4 unit memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk gulung tikar manakala
harga ikan turun atau harga pakan meningkat. Satu-satunya akses permodalan
mereka adalah para sub agen pakan, dalam mekanisme principal & agent.
Sehingga ketika terjadi kasus kematian ikan karena musim ataupun penyakit,
dengan jumlah karamba yang sedikit, mereka rentan menghadapi pengambil
alihan karamba oleh sub agen pakan.
Dengan tingkat pendidikan masyarakat saat ini yang sebagian besar hanya
tamat SD bahkan putus sekolah di tingkat dasar (70 persen untuk RTP), tentu saja
dalam jangka panjang mereka pun memiliki kerentanan yang tinggi untuk tidak
mencapai penghidupan yang lebih layak atau secara tehnis memperluas usaha
karamba yang dimilikinya. Oleh karena itu mereka cenderung mudah
dipermainkan oleh pelaku-pelaku ekonomi dengan pengaruh yang besar.
Diharapkan dengan adanya kelompok-kelompok petani, mereka bisa
diberdayakan dan mendapatkan dukungan, pengetahuan serta perubahan
paradigma untuk kelangsungan usaha dan waduk yang menjadi tempat usaha
mereka.
127

8.3 Faktor Politik


Berdasarkan data-data analisa stakeholder, maka diperoleh beberapa
permasalahan terkait dengan pengelolaan lingkungan waduk. Pertama, oleh
karena waduk Cirata meliputi 3 kabupaten dan kewenangan pengelolaan
diserahkan kepada propinsi, maka secara politis Waduk Cirata adalah milik
Propinsi Jawa Barat. Kedua, karena sumber daya ini milik propinsi maka semua
bentuk kebijakan kabupaten seperti SK Bupati, Peraturan daerah dan kebijakan
apapun yang dibuat oleh kabupaten tidak berlaku dan tidak bisa diterapkan di
Waduk Cirata. Ketiga, oleh karena sumberdaya ini tidak mendatangkan
keuntungan untuk daerah, maka dukungan dari pemerintah daerah terhadap
sumberdaya ini juga relatif kecil. Hal ini dapat dilihat dari dinas-dinas terkait yang
berwenang dalam pengelolaan budidaya perikanan maupun lingkungan hidup
tidak memiliki dana untuk kegiatan operasionalnya.
Dalam implemetasi di lapangan, walaupun kewenangan pengelolaan
waduk Cirata berada di tangan propinsi namun masalah tehnis tetap ditangani oleh
kabupaten. Oleh karena itu sejak awal masing-masing kabupaten melakukan
upaya-upaya pembinaan tehnis kepada petani dan nelayan melalui instansi dinas
terkait yaitu dinas perikanan.

8.3.1 Kabupaten Purwakarta


Kabupaten Purwakarta memiliki bangunan TPI (Tempat Pelelangan Ikan)
yang saat ini sudah tidak digunakan lagi, dan 1 orang petugas penyuluh lapangan
untuk melayani 1 kecamatan yaitu kecamatan Maniis sejak tahun 1990. Sebelum
tahun 1997, TPI digunakan untuk pencatatan penarikan ikan dari Waduk dan
penarikan retribusi budidaya perikanan. Untuk kepentingan tersebut ditempatkan
3 orang staf selain petugas penyuluh lapangan. Namun sejak tahun 1997 TPI tidak
difungsikan lagi dan hanya digunakan untuk pelayanan umum seperti pengajian
dan rapat desa.
Selain Cirata, Kabupaten Purwarkarta memiliki kewenangan mengelola
Waduk Jatiluhur secara penuh, karena waduk tersebut hanya berada di wilayah
Purwakarta. Untuk itu Waduk Jatiluhur dikenai wajib PAD sebesar
Rp.120juta/tahun, sedangkan Waduk Cirata secara legalitas dimiliki oleh propinsi.
Oleh karena lintas 3 kabupaten dan Purwakarta hanya memiliki 20 persen dari
128

perairan Waduk Cirata, maka perda kabupaten tidak bisa diterapkan untuk Cirata,
sehingga retribusi untuk jaring apung dan perikanan tangkap tidak bisa ditarik dan
PAD kabupaten tidak bisa dibebankan untuk Cirata. Oleh karena itu lebih banyak
program bantuan dan staf di alokasikan ke Jatiluhur dibandingkan Cirata.
Misalnya : bangunan TPI, staf perikanan, kolam percontohan, bantuan jaring,
perahu, dan modal.
Kegiatan selama 20 tahun ini yang dilakukan oleh Provinsi Jawa Barat
baru dilakukan 2 kali pelatihan untuk seluruh petani ikan di Cirata. Sedangkan
bantuan yang diberikan oleh pemerintah daerah sebelum tahun 1997 cukup
banyak, antara lain :
1. Tahun 1996, bantuan modal untuk 80 orang petani yang terdiri dari 2 desa
@ 40 orang, masing-masing 3,5juta/orang tepatnya bantuan diberikan di
desa Sirnagalih dan tegal datar.
2. 4 paket pabrik pelet di 2 desa sebesar Rp.70.000.000,00; saat ini
keberadaan pabrik ini tidak berjalan karena tidak ada pembeli, petani tidak
mau coba-coba jenis pakan karena takut gagal panen. Padahal harga jual
cukup rendah. Pada saat itu harga pakan RP.4.000,00 sementara produk
pakan sendiri dijual dengan harga Rp.2.500,00
3. Berbagai pelatihan dan penyuluhan oleh petugas penyuluh lapangan untuk
peningkatan produktivitas ikan, penanganan penyakit dan peringatan dini
terjadinya upwelling kepada petani
Ketika harga pakan tinggi, pihak dinas tidak bisa berbuat banyak, karena merasa
bukan merupakan kewenangan kabupaten, ada pihak yang lebih besar untuk
mengatasi masalah lintas sektoral yaitu KKP (kementrian Kelautan dan
Perikanan). Mereka sekedar mengusulkan adanya subsidi pakan seperti penerapan
subsidi pupuk untuk petani padi. Saat ini produsen pakan sama sekali tidak terikat
untuk membayar retribusi apapun kepada pihak Kabupaten karena adanya
peraturan pemerintah No. 66 tahun 1997 tentang penghapusan retribusi pelayanan
umum. Sebelum peraturan itu ditetapkan setiap pakan yang masuk ke Cirata
dikenai retribusi sebesar Rp.1/Kg. Retribusi inilah yang akan dikembalikan
kepada petani untuk kegiatan dan pengembangan usaha budidaya perikanan.
129

Purwakarta dibandingkan dengan dua kabupaten lain dikatakan oleh


BPWC sebagai kabupaten yang cukup baik karena 74 persen petani di wilayah
Kabupaten Purwakarta telah menggunakan kontruksi drum dan tidak lagi
menggunakan styrofoam yang tidak ramah lingkungan. Selama 4 tahun terakhir
telah terjadi pengurangan jumlah pemilik karamba dari 11.170 petak di tahun
2007 menjadi 10.049 di tahun 2011.

8.3.2 Kabupaten Bandung Barat


Kabupaten Bandung Barat memiliki kolam percontohan sejak awal waduk
dioperasikan untuk kegiatan KJA, terdiri dari 8 unit dan telah menghasilkan
berbagai penelitian terkait dengan pembudidayaan ikan air tawar. Antara lain
umur ikan yang bisa diperpendek dari 90 hari menjadi 70 hari dengan
menggunakan suplemen. Jenis pakan yang paling bagus untuk pertumbuhan
optimum ikan, dan lain sebagainya. Penyuluh lapangan ditugaskan sejak tahun
2003 dan telah melakukan berbagai kegiatan penyuluhan kepada petani ikan
bersama-sama dengan BPWC. Hal ini dilakukan karena petugas penyuluh tidak
memiliki dana operasional untuk kegiatan-kegiatan bimbingan dan penyuluhan
tehnis di lapangan. Hal ini berkaitan dengan kewenangan pengelolaan waduk yang
dipegang oleh Propinsi Jawa Barat. Sama halnya dengan kondisi Kabupaten
Purwakarta, Kabupaten Bandung Barat pun lebih banyak memberikan bantuannya
untuk kegiatan-kegiatan di wilayah lain yang mampu memberikan masukan
tambahan bagi PAD, sehingga praktis untuk kegiatan di Cirata tidak dianggarkan.
Bantuan-bantuan yang selama ini diberikan berasal dari kementrian dan dana dari
pusat. Misalnya : DAK (Dana Alokasi Khusus) berupa modal usaha yang
diberikan untuk 2 kelompok petani ikan, masing-masing kelompok senilai
Rp.65.000.000,00. Dana PUMP, rencana tahun ini akan diberikan ke desa
Cipendeuy. Dana PPK IPM Rp.11.800.000,00/kelompok yang diberikan untuk
dua kelompok di tahun 2006.
Menurut pemerintah daerah yang menjadi masalah petani saat ini bukanlah
harga pakan, tetapi harga ikan yang berfluktuatif. Jika pemerintah ingin subsidi,
seharusnya subsidi produksi dengan cara menetapkan harga dasar pembelian ikan,
dan jangan diserahkan pada mekanisme pasar. Banyak pihak menganjurkan
variasi ikan jenis lain. Mengapa petani enggan untuk beralih? karena satu-satunya
130

ikan yang masih memiliki nilai ekonomis adalah ikan mas. Harga ikan gurame,
misalnya juga hampir sama tinggi, tapi produksi bisa mencapai 1 tahun, sama
halnya dengan ikan patin. Saat ini petani masih bisa bertahan karena ada jaring
lapis dua (kolor) yang berisi ikan nila. Hal yang menjadi kendala jika pemerintah
menetapkan harga dasar pakan adalah adanya jaringan terkoordinir yang kuat
seperti GPMT, dimana pemerintah sulit mengatasi raksasa ekonomi yang dipenuhi
kaum kapitalis, dan adanya alasan bahan baku pakan yang harus diimpor. Oleh
karena itu lebih tepat jika pemerintah menetapkan HET ikan, sehingga petani
tidak akan dirugikan dengan harga pakan yang tinggi.
Kabupaten Bandung Barat memiliki lebih banyak kelompok petani ikan
dibandingkan kabupaten Purwakarta, tercatat sebanyak 465 kelompok petani ikan,
dan ada 1 kelompok yang menjadi juara nasional tahun 2011 sebagai kelompok
terbaik, yaitu kelompok Doa Ibu. Kelompok ini memiliki 54 anggota, dan telah
menjalankan prinsip-prinsip koperasi karena mampu memberikan pinjaman modal
kepada anggotanya dengan kondisi keuangan yang sehat. Kelompok ini pula yang
menjalankan model kearifan lokal dalam pengelolaan budidaya ikan. Pada saat
terjadinya kasus kematian ikan massal, anggota kelompok ini bebas dari kematian
ikan karena menerapkan cara-cara tradisonial. Keberadaan kelompok ini telah
menginsipirasi petani lain untuk bergabung atau membentuk kelompok lain
dibawah binaan kelompok Doa Ibu. Di kabupaten Bandung Barat ini pula
terbentuk paguyuban kelompok-kelompok petani ikan Cirata dengan nama
ASPINDAC (Asosiasi Petani Pembudidaya Ikan Cirata). Asosiasi kelompok yang
baru dibentuk tahun 2007 ini menguatkan posisinya melalui akta notaris dan
menjadi kelompok yang diakui secara nasional. Kabupaten Bandung Barat pula
yang mulai menggelontorkan program pelestarian untuk Waduk Cirata dengan
memberikan 15 tongkang dan bak sampah untuk menjaga kebersihan waduk.

8.3.3 Kabupaten Cianjur


Kabupaten Cianjur merupakan kabupaten yang memiliki Waduk Cirata
terluas, 60 persen perairan waduk berada di kabupaten ini. Petani dan kelompok
pembudidaya, kelompok nelayan, kelompok pengolahan ikan juga banyak
terdapat di kabupen ini, mereka lebih aktif dan dinamis, karena dukungan dari
dinas perikanan sangat besar, hal ini terlihat dari adanya UPTD (Unit Pelaksana
131

Tingkat Dinas) yang merupakan kantor perwakilan dari dinas perikanan


kabupaten. UPTD ini melaksanakan berbagai program kegiatan bersama dengan
petani dan masyarakat. Walaupun kondisinya sama dengan dua kabupaten lain,
namun Cianjur memiliki metode tersendiri untuk menangani masalah keuangan
dan pelaksanaan UPTD-nya yaitu dengan melakukan usaha-usaha pembudidayaan
ikan yang dilakukan sama seperti petani lain. Hasil usaha tersebut yang masuk dan
disetorkan sebagai PAD. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua UPTD Dinas
Perikanan Kab Cianjur, Cirata dikenai wajib PAD rata-rata sebesar
Rp.32.800.000/tahun.
Pada awal operasional waduk, Kabupaten Cianjur pernah menerapkan
PERDA Kabupaten Cianjur No 11 Tahun 1992 yaitu menerapkan retribusi QC
(Quality Control) untuk hasil budidaya ikan sebesar Rp.1/Kg. Hasil retribusi ini
dapat meningkatkan PAD sebesar Rp15.000.000,00. Retribusi ini berlaku sampai
dengan tahun 1997. Setelah tahun 1997 terbit peraturan pemerintah pusat
mengenai penghapusan semua retribusi bagi pelayanan umum kepada masyarakat
dan aturan ini berlaku untuk semua kabupaten. Dengan adanya peraturan tersebut,
pemerintah daerah kehilangan sumber pendapatan untuk daerahnya dan tidak
memiliki alternatif lain dalam mendukung kegiatan-kegiatan perekonomian dan
budidaya di Cirata.
Pengelolaan waduk dinilai sangat minim menurut hasil wawancara dengan
petani karena pihak provinsi yang mempunyai kewenangan untuk mengelola
waduk kurang ―menyentuh‖ kebutuhan dan permasalahan stakeholder yang
berkepentingan dengan Waduk Cirata. Hal ini dikarenakan kurangnya sumber
daya manusia di tingkat propinsi dan adanya benturan dengan daerah berkaitan
dengan otonomi daerah. Oleh karena itu BPWC sebagai lembaga pengelola waduk
yang ditunjuk oleh PT. PJB atas referensi Gubernur memiliki peranan penting
dalam melakukan pengelolaan waduk. Namun kewenangan BPWC sebagai badan
juga tidak mumpuni untuk mengelola waduk seluas 6600 ha. Tugas pokok dan
kewenangannya pun terbatas pada kebersihan, penghijauan, pemantauan kualitas
dan kuantitas air waduk. Walaupun demikian stakeholder lebih banyak mengenal
BPWC sebagai ―pemilik‖ waduk dibandingkan pemerintahan propinsi Jawa Barat.
132

Lemahnya kekuatan yang dimiliki propinsi dan terbatasnya kekuasaan


BPWC yang disebabkan karena keterbatasan tugas dan tanggungjawab,
mengakibatkan masalah-masalah yang dihadapi oleh pembudidaya, nelayan dan
masyarakat yang berkepentingan dengan waduk Cirata tidak mampu diatasi
dengan baik, sampai akhirnya muncul fenomena booming pembangunan KJA,
tingkat sedimentasi yang tinggi, pengelolaan sampah yang kurang terorganisir,
erosi-erosi di pinggiran waduk serta memburuknya kualitas air dari masing-
masing DAS yang bermuara di Waduk Cirata.

8.4 Faktor Kebijakan


Sejak awal dioperasikannya Waduk Cirata, telah diatur kewenangan
pengelolaan kepada propinsi dengan PERDA Provinsi Jawa Barat 18 tahun 1986.
Dari mulai PERDA tersebut berlaku sampai dengan tahun 1990 merupakan tahap
sosialisasi peraturan daerah tersebut. Berdasarkan PERDA tersebut telah diatur
ijin pembudidaya ikan yang berlaku untuk 3 tahun dengan pengurusan ijin usaha
ke Propinsi Jawa Barat. Retribusi untuk usaha budidaya ini ditetapkan sebesar
Rp.1000/m2. Persyaratan untuk pengurusan ijin sangat mudah yaitu fotokopi KTP,
foto, surat keterangan domisili usaha dari desa setempat. Untuk 1500 KK yang
terkena dampak genangan diberikan 6000 petak (1500 unit) untuk usaha budidaya,
dengan asumsi 1 KK mengusahakan 1 unit. Oleh karena untuk memulai usaha
budidaya perikanan ini membutuhkan modal yang besar dan sulit dijangkau oleh
masyarakat sekitar maupun oleh masyarakat yang terkena dampak genangan,
maka hak ini diperjualbelikan kepada pihak luar (masyarakat pendatang),
sehingga dari awal dibukanya waduk, sudah banyak pendatang yang ikut
membuka usaha KJA. Peraturan yang dibuat pun tidak tegas menyatakan bahwa
hanya masyarakat yang berdomisili di sekitar Waduk Cirata yang boleh
melakukan usaha. Dalam persyaratan pembuatan ijin usaha pun hanya
melampirkan surat keterangan domilisi usaha ke pihak pemerintahan desa dan
bukan surat keterangan domisili kependudukan pemilik usaha. Surat domisili
usaha adalah surat keterangan dari desa dimana KJA tersebut dibuat. Tidak ada
pungutan resmi untuk membuat surat keterangan domisili ke pihak desa.
133

Persyaratan yang mudah inilah yang menyebabkan banyak pihak luar yang masuk
dan ikut membuka usaha di Waduk Cirata.
Perda No 18 Tahun 1986 ini diperbaharui pada tahun 2002, dengan
dilengkapi SK Gubernur No. 14 Tahun 2002 sebagai juknis. Surat Keputusan
Gubernur ini ditetapkan di Bandung pada tanggal 29 November 2002, dan dengan
diterbitkannya keputusan ini, maka Keputusan gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Jawa Barat Nomor 16 Tahun 1996 tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan
Umum dan lahan surutan di Waduk Cirata dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
lagi. Maksud dan tujuan dikeluarkannya surat keputusan ini adalah :
1. Pengaturan secara terkoodinasi dan terpadu mengenai pengembangan,
pemanfaatan perairan umum, lahan pertanian dan kawasan Waduk Cirata
untuk tercapainya peningkatan fungsi dan daya guna waduk secara optimal
bagi berbagai kepentingan tanpa menganggu fungsi utama waduk
2. Hal tersebut diatas dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada
masyarakat setempat untuk melakukan budidaya ikan dan pemanfaatan
lahan pertanian serta pengembangan wisata sesuai persyaratan tehnis yang
ditentukan, dengan tetap memperhatikan aspek keamanan, ketertiban,
kebersihan, keindahan dan pelestarian lingkungan

Adapun hasil kajian kebijakan ini secara lengkap tertuang dalam tabel
analisis kontent seperti tercantum dalam Lampiran 14. Revisi peraturan undang-
undang tahun 2002 ini mulai menetapkan adanya SPL (Surat Penempatan Lokasi)
yang melibatkan pihak pengelola, dalam hal ini ditangani oleh BPWC. Pembuatan
SPL ini bertujuan untuk mengatur tata letak KJA sehingga tidak mengganggu
jalur transportasi dan untuk memperbaiki landscaping waduk Cirata. SPL ini pun
kemudian dijadikan syarat untuk pengurusan ijin usaha perikanan kepada pihak
pemerintah propinsi. Pembuatan ijin dipermudah dengan sistem pelayanan satu
atap (BPWC dan Dinas Perikanan Kabupaten) dan lokasi pengurusan ijin
direncanakan dekat dengan waduk sehingga menekan biaya transportasi. Alur
pembuatan ijin dan peraturan seperti pada gambar 24 dan 25 dibawah ini. Dalam
revisi peraturan ini juga mulai diatur kuota pakan, kuota bibit ikan yang boleh
ditebar dan kuota unit jaring yang diperbolehkan di Cirata sesuai studi daya
dukung lingkungan. Peraturan ini menetapkan pula bahwa daya dukung
lingkungan Waduk Cirata hanya 1 persen dari luas waduk atau setara dengan
12.000 petak KJA. Oleh karena itu peraturan tersebut juga mengamanatkan
134

adanya penertiban KJA terutama bagi KJA yang tidak aktif maupun yang tidak
memiliki ijin usaha. Selain usaha budidaya perikanan, peraturan ini juga mengatur
tata cara dan ijin bagi usaha pertanian dan kegiatan pengambilan ikan bagi
nelayan.

Gambar 24. Alur Mekanisme Pembuatan Ijin Kegiatan Budidaya Perikanan

Gambar 25. Pungutan Retribusi yang Ditetapkan Oleh Pemerintah


135

Hasil analisis terhadap kontent peraturan perundang-undangan,


menyatakan setidaknya setengah dari isi pasal-pasal tersebut berada pada posisi
gap yang sedang sampai tinggi dalam implementasi atau penegakan peraturan.
Gap yang tinggi terjadi pada persyaratan siapa saja yang berhak melakukan usaha-
usaha di atas waduk, pembagian kuota yang terlampaui baik kuota pakan, kuota
bibit maupun kuota luas kegiatan, dan aturan perijinan.
Sejak SK Gubernur ini ditetapkan tahun 2002, dengan jumlah KJA 33.000
petak, tidak terjadi pengurangan jumlah KJA. Dilihat dari hasil sensus tahun 2003,
2007 dan 2011 terus terjadi penambahan KJA berturut-turut sebesar 39.690,
51.418 dan 53.031 petak. Berdasarkan data tersebut, implementasi SK tidak
berjalan. Pihak-pihak yang berkepentingan dengan pengurusan ijin seperti BPWC,
dinas perikanan masing-masing kabupaten merasa tidak memberikan rekomendasi
ijin pembuatan KJA baru. Hal ini mungkin dikarenakan pihak petani tidak
mengurus ijin untuk pembuatan KJA baru. Walaupun pengurusan ijin relatif
mudah dan tidak mengeluarkan biaya yang cukup besar. Pihak BPWC telah
beberapa kali melakukan jemput bola kepada petani untuk pengurusan SPL
bersama dinas tehnis terkait di masing-masing kabupaten, sehingga petani hanya
tinggal melanjutkan ijin ke pihak propinsi. Namun hal ini tidak juga mengurangi
banyaknya free rider terhadap pihak-pihak yang tidak mau mengurus ijin.
Beberapa kendala mungkin disebabkan tidak ada perbedaan manfaat yang
dirasakan pembudidaya antara memiliki ijin dan tidak memiliki ijin. Oleh karena
tidak ada sangsi bagi pembudidaya yang tidak memiliki ijin. Saat ini SPL mulai
memiliki kegunaan sebagai syarat mengajukan kredit kepada pihak perbankan,
namun peluang masyarakat untuk mendapatkannya masih kecil. Masih banyak
masyarakat yang memanfaatkan hubungan principal dan agent dengan pihak
pengelola pakan untuk memperoleh pinjaman karena lebih mudah persyaratannya.
Selain itu pembudidaya pribumi cenderung tidak mengurus ijin karena merasa
tidak perlu membayar untuk kegiatan di ―atas tanah mereka‖.
Dengan tidak ada sangsi bagi pembudidaya yang tidak memiliki ijin, maka
peningkatan KJA pun semakin banyak. Hal ini tentu mempengaruhi monitoring
terhadap kuota pakan, kuota bibit maupun kuota zonasi yang menjadi syarat bagi
daya dukung lingkungan waduk. Hampir semua batasan kuota dilampaui oleh
136

masing-masing zonasi. Hal ini yang seringkali luput dari pemantauan monitoring
dan bimbingan tehnis dari masing-masing Dinas Perikanan kabupaten.
Penertiban KJA yang juga menjadi mandat dalam SK ini hanya 1 kali
dijalankan dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Alasan tidak berjalannya
penertiban KJA karena biaya operasional yang tinggi untuk melakukan
penertiban. Surat Keputusan Gubernur ini tidak mengatur tentang sanksi dan
bagaimana penegakan aturan diberlakukan, pihak siapa yang berwenang dan
bagaimana prosedurnya. Selama ini masalah di lapangan adalah adanya pihak-
pihak yang ―cuci tangan‖ karena merasa bukan kewenangannya. Siapa yang
berwenang terhadap pengelolaan Waduk Cirata, seperti apa kewenangan yang
diterimanya dan bagaimana prosesnya adalah hal yang ditunggu oleh para
stakeholder terhadap pemerintah. Oleh karena karakteristik waduk melintasi
beberapa kabupaten yang menjadikan Cirata harus dikelola secara eksklusif.
Eksklusif dalam hal ini adalah perlunya melibatkan ketiga kabupaten yang juga
merasa memiliki waduk, memiliki paradigma yang sama terhadap pelestarian
waduk, pembagian peran yang jelas diantara stakeholder dan kepentingan bersama
yang harus diutamakan.
Berdasarkan hasil FGD dengan enam kelompok petani pembudidaya, 2
kelompok nelayan dan 2 kelompok pengolahan hasil perikanan, mereka
mengatakan bahwa sebaiknya pengelolaan waduk diserahkan kepada pemerintah
daerah. Selama ini mereka kurang merasakan adanya sentuhan pemerintah
propinsi Jawa Barat yang justru memiliki kewenangan untuk mengelola Waduk
Cirata. Hal ini terlihat dari jumlah kegiatan yang dilakukan pihak propinsi Jawa
barat kepada masyarakat di Cirata sangat sedikit, kunjungan dari pihak dinas
perikanan propinsi yang jarang dan seringkali aspirasi petani tidak direalisasikan.
Selama ini mereka merasa dukungan dari pemerintah daerah justru lebih besar,
dilihat dari adanya pos atau kolam dinas perikanan masing-masing kabupaten di
kawasan Waduk Cirata dan ditempatkannya petugas penyuluh lapangan yang
khusus menangani kecamatan yang ada di waduk. Dalam Surat Keputusan
memang disebutkan bahwa wewenang untuk melakukan pembinaan, pengawasan
dan monitoring diserahkan kepada instansi tehnis terkait. Namun pelimpahan
wewenang ini tanpa disertai anggaran dari pusat, sehingga pihak daerah harus
137

menyediakan dana khusus untuk melakukan penugasan ini. Dalam hal ini hukum
ekonomi berlaku, jika wewenang dan tugas yang dilakukan tidak mendatangkan
keuntungan secara langsung untuk daerah, dan sifatnya voluntary, tentu saja yang
terjadi adalah kualitas ―ala kadarnya‖.
Secara umum, peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
pemerintah kurang tegas dan tidak banyak mengatur tentang perbaikan kualitas
lingkungan, aktivitas pelestarian waduk dan mekanisme pelimpahan
tanggungjawab yang jelas. Oleh karena itu perlu adanya revisi kebijakan terutama
berkaitan dengan pembagian peran pengelolaan waduk dengan pemerintah daerah
dan upaya-upaya pelestarian lingkungan waduk untuk menjaga keberlangsungaan
usaha budidaya di Cirata.

8.5 Faktor Teknologi


Karamba dua kolor atau lapis atas dan bawah merupakan inovasi penting
dalam mengatasi inefesiensi pakan. Sesungguhnya ikan nila yang ditanam oleh
petani dilapis kedua merupakan ikan pemakan planton dan segala. Sehingga
ketika pakan tidak dikonsumsi oleh ikan di lapis atas, akan dimanfaatkan oleh
ikan nila di lapis kedua. Sehingga perkembangbiakan ikan nila tidak memerlukan
pakan khusus. Ikan nila merupakan ikan yang lebih tahan terhadap penyakit dan
dalam kondisi perairan yang buruk, namun pertumbuhannya yang lama (7-9
bulan) dengan harga jual di pasaran yang rendah (Rp7.000,00 – Rp9.000,00)
menyebabkan petani tidak menanam ikan nila sebagai bisnis utamanya.
Saat ini tengah dikembangkan budidaya ikan mola sebagai alternatif lain
ikan pemakan plankton yang lebih toleran dan tahan terhadap musim dan
penyakit. Ikan mola ini sama halnya dengan ikan nila, bisa dikonsumsi, namun
harga jualnya masih rendah dengan pertumbuhan yang relatif lebih lambat.
Namun inovasi ini bisa menjadi pilihan alternatif petani ketika terjadi musim
angin barat antara bulan Desember sampai dengan Januari.
Frekuensi pemberian pakan, jumlah pakan, tehnik pemberian pakan dan
jenis pakan dengan merk apa yang menghasilkan pertumbuhan ikan paling
optimal sebenarnya sudah diketahui oleh pihak instansi terkait berdasarkan
penelitian di kolam pembudidayaan dinas. Saat ini penelitian mengenai alternatif
138

lain untuk pemberian pakan dengan menggunakan bahan lokal tengah


dikembangkan oleh kelompok petani sehingga mereka tidak lagi tergantung pada
pakan komersial yang harga belinya semakin meningkat. Upaya ini merupakan
kerjasama kelompok dengan salah satu institusi pendidikan ternama di dalam
negeri. Namun saat ini masih dalam tahap penelitian dan belum disebarluaskan
kepada petani maupun anggota kelompok petani. Hal ini berarti bahwa telah ada
upaya-upaya inovasi pembudidayaan yang dilakukan baik oleh dinas tehnis
maupun upaya kelompok dalam mengatasi masalah yang ada, namun masalah
komunikasi yang menjadi corong utama dalam penyebarluasan informasi agak
terhambat oleh karena belum terbangunnya media komunikasi dalam kelompok
maupun wadah penyebarluasan informasi. Pihak dinas yang diharapkan dapat
menjadi jembatan dalam menggerakkan kelompok-kelompok binaannya,
seringkali terkendala masalah tehnis dan pembiayaan. Sementara tidak semua
kelompok sudah mandiri dan melakukan kegiatan rapat rutin atau sekedar sharing
diantara anggota kelompok. Walaupun sudah lama terbentuk kelompok-kelompok
yang ada masih perlu bimbingan baik tehnis maupun manajerial.
Secara umum petani budidaya, nelayan dan kelompok pengolahan di
Cirata berdasarkan hasil penelitian tidak tersentuh oleh teknologi tinggi. Kearifan
lokal masih menjadi andalan dalam mengatasi masalah. Misalnya ketika terjadi
kasus kematian budidaya ikan secara massal, petani menggunakan cara-cara
tradisonial dengan berenang mengupayakan air bergerak sehingga oksigen yang
dibutuhkan oleh ikan dapat dihasilkan. Saat ini, beberapa petani yang memiliki
modal tidak lagi berenang untuk membuat gelombang air, tetapi menggunakan
mesin pompa air untuk memompa dan mengalirkan air kembali ke kolam
sehingga tercipta gelembung dan riak-riak air. Selain itu ketika musim penyakit
ikan karena cuaca mendung, curah hujan tinggi dan banyak angin, maka petani
akan menghentikan pemberian pakan, memasukkan batang pisang kedalam kolam
dan memberikan ramuan tradisonial ke dalam pakan ikan. Cara ini memang tidak
dapat menyembuhkan atau menghindarkan ikan dari penyakit secara pasti, namun
jumlah kematian ikan dapat diminimalisir. Ada pula beberapa petani pendatang
yang menggunakan solar cell untuk penerangan di kolam.
139

Akses masyarakat terhadap teknologi perikanan sangat rendah, hal ini


karena tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, juga kurangnya dukungan dari
berbagai pihak yang seharusnya bertanggungjawab dalam pengelolaan waduk.
Kematian ikan terus berulang setiap tahun dengan kecenderungan semakin
bertambah, produktivitas petani semakin lama semakin menurun seiring dengan
penurunan kualitas air. Hal ini terjadi karena masyarakat terlalu lama dibiarkan
berjalan sendiri tanpa ada koordinasi dari pengelolaan CPRs ini.
Informasi terbaru mengenai penelitian yang berkaitan dengan kegiatan
budiadaya sebenarnya terdapat pada instansti terkait. Instansi tersebut juga
melakukan upaya-upaya penelitian untuk meningkatkan produktivitas petani, dan
mereka telah menghasilkan berbagai penelitian yang berguna. Namun informasi-
informasi ini masih terbatas di lingkungan dinas, karena transfer knowledge dari
petugas kepada petani terbatas. Hal ini disebabkan karena petugas penyuluh tidak
berada di tempat dan kelompok pembudidaya sebagai perpanjangan tangan dari
dinas tehnis pun tidak aktif melakukan kegiatan dengan anggotanya.

8.6 Karakteristik Pengguna Sumber Daya


Stakeholder yang memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan dan
pengelolaan waduk saat ini adalah : BPWC, kelompok pembudidaya petani ikan,
kelompok pengolahan hasil perikanan, kelompok pengusaha pakan, kelompok
keamanan (Pokmaswas), kelompok nelayan, kelompok pedagang dan pengusaha
sektor pendukung perikanan, instansi pemerintah terkait yaitu dinas perikanan,
peternakan dan kelautan masing-masing kabupaten dan pemerintahan desa.
Berdasarkan analisis stakeholder, maka kelompok-kelompok diatas dapat
dikategorikan seperti dibawah ini :
a. Lembaga lokal : kelompok pembudidaya ikan, kelompok nelayan,
kelompok pengolahan hasil perikanan, POKMASWAS (Kelompok
Masyarakat Pengawas)
b. Lembaga private : BPWC, ASPINDAC, kelompok penjual pakan ikan
(agen, sub agen, dan bandar ikan)
c. Lembaga government : Dinas Perikanan, Peternakan, dan Kelautan
Kabupaten Cianjur, Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Bandung
140

Barat dan Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Purwakarta, Dinas


Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat.

Lembaga lokal adalah lembaga informal yang dibentuk oleh masyarakat


berdasarkan kebutuhan yang sama serta memiliki tujuan yang sama. Cakupan
organisasi ini kecil dengan jumlah anggota kurang dari 50 orang. Lembaga ini
biasanya tidak memiliki aturan-aturan yang tertulis dan tidak bersifat kaku.
Lembaga private atau lembaga swasta adalah lembaga yang dikelola secara
profesional, memiliki aturan-aturan yang jelas dan tertuang dalam AD/ART,
anggotanya lebih besar dari kelompok lokal dan cakupan kerja organisasi ini lintas
kabupaten atau untuk keseluruhan area waduk. Lembaga pemerintah, adalah
lembaga yang dibentuk oleh pemerintah, dengan tugas dan fungsi merupakan
penunjukkan dari atasan. Cakupan kerja hanya wilayah administratif kabupaten
tersebut dan tujuan utama adalah melayani masyarakat sebagai abdi negara.
Analisis stakeholder lebih lanjut untuk mengetahui agenda yang dimiliki
masing-masing organisasi, kebutuhan yang dirasakan dan keterkaitan antara aksi
dan hasilnya tertuang dalam matriks pada lampiran 15. Secara deskriptif
bagaimana peran masing-masing kelompok dan bagaimana mereka melaksanakan
aturan mainnya tercantum pada pembahasan dibawah ini :

8.6.1 Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC)


BPWC merupakan anak perusahaan PT. PJB Up. Cirata yang dibentuk
pada tahun 2002. BPWC bertanggung jawab dalam mengelola Waduk Cirata
secara partisipatif untuk mendapatkan manfaat yang optimal bagi BPWC dan
masyarakat. Selain itu BPWC juga bertanggungjawab terhadap peningkatan dan
pelestarian mutu lingkungan hidup untuk menjaga pasokan dan kontinuitas air
demi kelangsungan PT. PJB. Mandat ketiga adalah memberdayakan masyarakat
sekitar waduk Cirata melalui institusi perekonomian lokal untuk mencapai
kesejahteraan dan kemandirian. Dalam menjalankan tujuannya, BPWC mendapat
dana operasional dari PT. PJB sebesar 11-15 milyar rupiah per-tahun. Dana
tersebut digunakan untuk melakukan berbagai program perbaikan lingkungan
waduk seperti penghijauan di daerah green belt dan pembersihan sampah dengan
merekrut tenaga lokal yang bertugas untuk memungut sampah-sampah di sekitar
141

perairan waduk. Sebanyak 30 orang petugas kebersihan ditempatkan di 7 lokasi


yang setiap hari bertugas memungut sampah di danau. Biaya yang dikeluarkan
untuk penanggulangan sampah di waduk sebesar 200-300 juta per-bulan, atau
sebesar 3 milyar per-tahun. Adapun ketujuh lokasi pembersihan adalah : dam
intake, batas zona bahaya, DAS Cisokan, DAS Citarum-Cimeta, DAS
Cibalagung, DAS Cikundul, dan DAS Cilangkap. Untuk kegiatan penghijauan,
BPWC telah menanm 100.000 bibit pohon yang ditanam sepanjang pinggir
waduk. Biaya untuk penghijauan rata-rata sebesar 250 juta rupiah per-tahun, yang
terdiri dari pengadaan bibit 150 juta rupiah per tahun dan pemeliharaan bibit
sebesar 80 juta rupiah per-tahun. Selain itu BPWC juga melakukan kegiatan CSR
kepada masyarakat di desa Ciroyom, Kec. Cipeundeuy, Kab. Bandung Barat
berupa pembuatan shelter ojek, steam pencucian motor, bantuan mesin jahit,
perbaikan madrasah, rumah jompo, sumur pompa, mesjid, dan masih banyak
kegiatan pengembangan ekonomi masyarakat. Rata-rata dana CSR untuk kegiatan
diatas sebesar 400-700 juta rupiah per-tahun.
Sesuai peraturan perundang-undangan, BPWC menjadi filtering pertama
bagi pengurusan perijinan yaitu mekanisme pembuatan SPL (Surat Penempatan
Lokasi). Surat ini merupakan lampiran untuk pengurusan surat ijin pembudidaya
ke tingkat propinsi. Dalam rangka pengurusan SPL ini, BPWC bekerjasama
dengan berbagai pihak seperti Dinas perikanan masing-masing kabupaten,
pemerintahan kecamatan (muspika), dan pihak desa, melakukan kegiatan
pengurusan SPL dengan sistem jemput bola. Pihak-pihak yang ditetapkan untuk
bekerjasama menurut SK Gubernur No. 14 tahun 2002, berhak atas beberapa
persen pembagian hasil seperti tercantum pada alur mekanisme pada bagian faktor
kebijakan. Biaya operasional untuk kegiatan pengurusan SPL ini sebesar 34 juta
rupiah per-bulan, sedangkan pendapatan BPWC dari hasil SPL ini rata-rata hanya
12 juta per-bulan. Hal ini secara ekonomi tidak efesien, perlu ada mekanisme baru
untuk pengurusan SPL, karena SPL ini hanya berlaku 1 tahun dan terus akan
diperbaharui.
142

8.6.2 Dinas Perikanan Kabupaten Bandung Barat, Cianjur dan Purwakarta


Sesuai SK Gubernur No. 14 Tahun 2002, dinas perikanan masing-masing
kabupaten bertanggungjawab terhadap tehnis pembudidayaan yang berada di
Waduk Cirata. Dinas perikanan melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan
produksi perikanan petani yang dapat memberikan kesejahteraan kepada petani
pembudidaya ikan di Cirata. Kegiatan yang dilakukan antara lain membuat kolam
percontohan, membuat berbagai penelitian, membentuk kelompok pembudidaya,
kelompok nelayan, kelompok pengolahan hasil perikanan, dan melakukan
berbagai pelatihan terkait dengan tehnis pembudidayaan ikan. Dalam melakukan
kegiatan-kegiatan tersebut, berdasarkan hasil wawancara dengan penyuluh dinas
perikanan Kabupaten Purwakarta dan Bandung Barat mengaku tidak mendapatkan
dana operasional untuk kegiatan-kegiatan tersebut. Dana yang diperoleh berasal
dari kementrian pusat atau BPWC. Kabupaten Purwakarta dan Bandung Barat
juga tidak dikenai wajib PAD oleh pemerintah daerahnya, sedangkan untuk
Kabupaten Cianjur, sejak tahun 2008, Waduk Cirata dikenai wajib PAD sebesar
26 juta rupiah/tahun, tahun 2012 ini sebesar 40 juta rupiah per-tahun.

8.6.3 POKMASWAS (Kelompok Pengawas Masyarakat)


Kelompok ini merupakan kelompok bentukan Dinas Perikanan karena
adanya program pemerintah pusat (Kementrian Perikanan dan Kelautan) pada
tahun 2010. Kelompok ini dibentuk dengan tujuan untuk menjaga keamanan
wilayah perairan dengan melibatkan peran serta masyarakat. Masing-masing
kabupaten mulai meresponi pembentukan pokmaswas ini dan mendapatkan SK
penempatan kerja dari Dinas Perikanan masing-masing kabupaten. Untuk wilayah
Bandung Barat dan Purwakarta, POKMASWAS terintegrasi dengan ASPINDAC
(Asosiasi Pembudidaya Ikan Waduk Cirata) dan menjadi unit kerja ASPINDAC.
Kelompok Cianjur yang tidak memiliki asosiasi menempatkan POKMASWAS
sebagai kelompok mandiri yang disamakan dengan kelompok-kelompok
pembudidaya, kelompok nelayan dan kelompok pengolahan. Oleh karena amanat
pembentukannya untuk menjaga keamanan, maka pembentukan POKMASWAS
ini banyak melibatkan para preman atau juga pembudidaya. Dengan harapan
tingkat pencurian dapat ditekan dan keamanan dapat ditegakkan di wilayah
143

perairan. Namun karena organisasi ini masih tergolong baru, sehingga


aktivitasnya masih sedikit dan belum menunjukkan hasil yang maksimal.

8.6.4 ASPINDAC (Asosiasi Petani Pembudidaya Ikan Waduk Cirata)


Kelompok ASPINDAC ini terbentuk pada tahun 2007 dan sudah
mendapatkan pengakuan legal dari akta notaris Kabupaten Bandung Barat. Oleh
karena menggunakan akta notaris wilayah Bandung Barat ini, maka asosiasi ini
tidak begitu diakui oleh kabupaten lain seperti Cianjur, sehingga kelompok petani
di kabupaten Cianjur tidak termasuk dalam kelompok asosiasi. Berdasarkan hasil
wawancara dengan ketua pengurus ASPINDAC, jumlah anggota yang terdaftar
dalam ASPINDAC sebanyak 80 kelompok atau kurang lebih 3500 petani KJA.
Tujuan awal pembentukan asosiasi ini untuk mengakomodir berbagai
permasalahan petani KJA terutama dalam merespon kenaikan harga pakan,
penurunan harga ikan, dan penurunan kualitas air dalam upaya meningkatkan
perekonomian petani KJA di Cirata. Kegiatan yang dilakukan selama ini adalah
mengadakan rapat, membuat pernyataan sikap keberatan kepada pemerintah
tentang kenaikan harga pakan yang berpotensi memberikan kerugian kepada
petani dan berupaya membentuk agen pakan khusus untuk anggota dengan harga
yang lebih murah. ASPINDAC sering bekerjasama dengan BPWC dalam
program-program pelestarian lingkungan waduk. Langkah awal dalam proses
desiminasi suistanability waduk.

8.6.5 Kelompok Penjual Pakan (Agen, Sub Agen dan Bandar Ikan)
Kelompok ini merupakan kelompok tidak teroganisasi, namun cukup
banyak ditemui di Cirata. Kurang lebih 105 agen dan sub agen tersebar di 3
kabupaten. Rata-rata keuntungan yang diperoleh para agen/sub agen kurang lebih
3-5 juta/bulan, dengan rata-rata penjualan pakan kurang lebih 750 Kg/hari. Oleh
karena harga pakan telah diatur oleh masing-masing agen maka tidak ada
persaingan diantara para sub agen. Ada insentif yang diberikan kepada sub agen
jika para sub agen ini mampu mencapai limit penjualan tertinggi. Insentif yang
diberikan biasanya berupa perjalanan wisata ke luar negeri. Sub agen biasanya
juga menjadi bandar ikan selain menjual pakan melalui mekanisme principal and
144

agent. Mekanisme ini dipilih oleh para sub agen untuk mencapai batas minimal
penjualan, walaupun mekanisme ini juga memiliki resiko yang tinggi. Jika terjadi
kematian ikan secara massal, maka petani tentu akan merugi dan tidak dapat
membayar hutan pakan kepada sub agen. Biasanya pengambilalihan kolam
menjadi alternatif terakhir untuk mengatasi hubungan utang piutang ini.
Para sub agen dan agen dikenai wajib retribusi oleh pengurus desa, setiap
Kg pakan yang terjual 2 rupiah, disetorkan kepada pihak desa. Untuk pajak ke
desa ini rata-rata sub agen menyerahkan 4 juta rupiah kepada pihak desa. Agen
dan sub agen ini juga difasilitasi oleh produsen pabrik dalam hal informasi produk
dan teknologi terbaru produk yang ditawarkan. Untuk itu setidaknya sekali
setahun terdapat pertemuan agen dan sub agen dan antara sub agen dengan
produsen pabrik untuk memberikan pelatihan dan bimbingan seputar pakan ikan.

8.6.6 Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat


Dinas perikanan provinsi Jawa Barat merupakan dinas penanggungjawab
Waduk Cirata. Dalam rangka bimbingan, evaluasi dan penertiban aktivitas di
Waduk Cirata menjadi kewenangan provinsi. Pertimbangan ini diambil oleh
karena genangan waduk yang melalui lintas kabupaten, maka kewenangan
tertinggi diambil alih oleh provinsi. Namun kegiatan-kegiatan dalam hal
pengelolaan waduk lebih banyak dilakukan oleh badan pengelola. Hal ini
mungkin berkaitan dengan lokasi dinas perikanan provinsi yang cukup jauh dari
waduk sehingga hampir sebagian besar kegiatan pengawasan, monitoring
dilakukan oleh badan pengelola.

Dari hasil analisis stakholder secara umum dapat disimpulkan bahwa


terjadi konflik kepentingan diantara stakeholder. Walaupun tujuan akhir dari
semua stakeholder adalah sama yaitu sustanability sumber daya alam untuk
memperpanjang usaha-usaha yang tengah dikembangkan oleh masing-masing
stakeholder namun terdapat perbedaan persepsi dan implementasi atau
pengejawantahan paradigma. Bagi petani ikan, ASPINDAC, Dinas tehnis dan
BWPC memiliki kepedulian dengan kategori sedang sampai tinggi terhadap
pelestarian waduk. Harapan dari tujuan pelestarian ini supaya dapat menjamin
145

usaha budidaya mereka tetap berlangsung sampai generasi berikutnya dengan


profit yang stabil bahkan meningkat. Kelompok penjual pakan atau ―gudang‖ juga
memiliki kepentingan terhadap pelestarian waduk, namun dalam upaya untuk
tetap melancarkan usaha penjualan pakan ikan bahkan memperluas usaha dengan
kuantitas yang cukup besar. Upaya yang dilakukan belum banyak bersentuhan
dengan upaya pelestarian lingkungan waduk. Padahal stakholder kelompok ini
memiliki kekuatan financial yang relatif besar karena marjin profit yang
dihasilkan dari penjualan pakan ikan di Cirata juga cukup tinggi.
Dalam tata kelola waduk terdapat interaksi-interaksi diantara
pelaku/pengguna sumber daya. Secara garis besar interaksi yang terjadi antar
pelaku sumber daya adalah pengelola waduk, petani KJA, pengusaha pakan dan
pemerintah daerah. Masing-masing pelaku usaha ini memiliki kepentingan dengan
waduk. Seperti yang sudah disebutkan dalam analisis stakeholder, masing-masing
kepentingan ini tidak saling selaras dan menimbulkan konflik kepentingan di
dalamnya. Hasil analisis konflik berdasarkan interaksi antar lembaga hasil FGD
dengan beberapa stakeholder tercantum dalam lampiran 16. Adapun ringkasan
umum analisis konflik diantara stakeholder seperti dibawah ini :

8.6.4 BPWC vs Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat


Konflik kepentingan yang terjadi berkaitan dengan pembagian peran
pengelolaan waduk. Berdasarkan hasil wawancara, BPWC merasa tidak harus
melakukan penertiban KJA seperti yang tertulis dalam UU, karena posisi BPWC
sebagai anak perusahaan PT. PJB tidak merasa bertanggungjawab terhadap
gubernur. Menurut staf BPWC, yang seharusnya berwenang melakukan
penertiban KJA adalah Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) sebagai satuan
pengamanan pemerintah. Oleh karena adanya lempar tanggungjawab ini sehingga
kegiatan penertiban KJA yang tidak aktif hanya dilakukan satu kali sejak UU ini
diberlakukan. Adanya pembagian peran yang tidak seimbang antara BPWC dan
dinas perikanan provinsi dan mandat yang harus dijalankan oleh masing-masing
lembaga membuat kegiatan pengawasan di Waduk Cirata menjadi lemah.
146

8.6.5 Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat vs Dinas Perikanan Kabupaten


Bandung Barat, Cianjur dan Purwakarta
Konflik kepentingan terjadi berkaitan dengan dana operasional dalam
pengelolaan waduk. Oleh karena secara legalitas Waduk Cirata dimiliki oleh
Provinsi, maka pihak daerah praktis tidak mendapatkan pembagian dana untuk
kegiatan operasional di Waduk Cirata. Pembiayaan dari APBD masing-masing
daerah untuk kegiatan operasional harus dilakukan daerah agar bimbingan tehnis
tetap dapat dilakukan kepada petani-petani di Cirata. Walaupun secara legal
tertulis masing-masing dinas perikanan kabupaten bertanggungjawab dalam hal
pembinaan tehnis atas aktivitas budidaya perikanan, namun tidak ada anggaran
pusat yang dialokasikan kepada daerah sehingga bimbingan tehnis terhadap petani
kurang optimal.

8.6.6 Petani KJA vs Kelompok Penjual Pakan (Agen/Sub Agen)


Hubungan principal dan agent dalam kerjasama utang piutang antara
petani KJA dan agen pakan/sub agen juga berpotensi menyebabkan terjadinya
konflik. Konflik kepentingan ini terjadi ketika adanya kasus kematian ikan dimana
para petani yang harus membayar hutang pakan tidak mampu membayar
hutangnya. Oleh karena itu alternatif yang paling mungkin ditawarkan kepada
petani adalah dengan pengambilalihan kolam ikan oleh sub agen/agen.

Secara umum interaksi diantara pelaku-pelaku pengguna sumber daya


waduk saling memiliki ketergantungan karena memiliki kepentingan yang sama
yaitu pentingnya waduk bagi penghidupan dan berputarnya roda perekonomian
masing-masing stakeholder. Berdasarkan sintesa analisa stakeholder terlihat tidak
ada stakeholder yang menonjol atau bersifat superior dalam managemen
pengelolaan waduk, sehingga tidak ada leading sector yang dapat dijadikan
panutan bagi stakeholder lain. Pengelola waduk yang seharusnya menjadi leading
sector dalam menangani dan mengelola waduk kurang mampu berbuat banyak
karena merasa legalitas organisasinya tidak cukup kuat untuk melakukan
tindakan/sangsi terhadap pelanggar peraturan dan kurangnya sumber daya
manusia. Sementara itu pihak yang bertanggungjawab dalam hal pengelolaan
147

waduk justru tidak banyak mengambil peranan dalam hal pendampingan,


monitoring dan evaluasi kinerja pelaku-pelaku pengguna sumber daya. Masalah
bimbingan tehnis untuk kegiatan-kegiatan ekonomi yang diperbolehkan di
wilayah perairan diserahkan kepada dinas tehnis terkait di masing-masing wilayah
kabupaten. Hal ini dapat dimaklumi karena jarak yang cukup jauh kantor
penanggungjawab dengan waduk dan terbentur dengan adanya otonomi daerah
yang memungkinkan masing-masing daerah melakukan pengelolaan sumber daya
yang masuk dalam lingkungan kabupaten.
Oleh karena itu bentuk skenario yang diusulkan dalam mengangani
konflik kepentingan diantara stakeholder dan merupakan best case scenario yaitu
dengan memberikan power penuh kepada pengelola waduk untuk dapat
melakukan fungsinya dengan baik. Power yang diberikan berupa legalitas
lembaga pengelola waduk dan terdapat peraturan perundang-undangan yang
diakui oleh pemerintah daerah dan dipatuhi oleh semua stakeholder yang
berkepentingan dengan Waduk Cirata. Kebijakan yang melampaui wilayah
administratif dan kewenangan apapun yang dikenal dengan kebijakan trans
boundry regime.
Waduk Cirata yang termasuk waduk skala besar membutuhkan sumber
daya manusia yang cukup dengan kemampuan managerial yang baik. Isu ini
muncul karena pentingnya menegakkan peraturan yang sudah disepakati untuk
kepentingan bersama. Komitmen yang tinggi dalam menjalankan kesepakatan dan
kepatuhan dalam menaati sangsi yang ditetapkan. Dalam hal ini bisa menjalin
kemitraan dengan kelompok-kelompok petani pembudidaya, kelompok nelayan,
kelompok pedagang pakan ikan, kelompok bandar ikan, dan kelompok lainnya.
Kemitraan ini berguna sebagai perpanjangan tangan dalam menegakkan peraturan.
Penegakan peraturan ini terutama berkaitan dengan kegiatan usaha budidaya ikan
dalam KJA dan pendidikan lingkungan bagi masyarakat di sekitar waduk agar
upaya pelestarian waduk dapat turut diupayakan bersama mereka.
Hal pertama adalah penertiban KJA terutama bagi KJA yang sudah tidak
aktif, maupun pemilik KJA yang dalam beberapa periode sudah tidak menanami
kolamnya dengan ikan; selain itu tidak ada lagi penambahan ijin KJA baru
maupun perluasan kolam; menegakkan kembali retribusi perairan dan berlaku
148

bagi semua pengelola dengan besaran yang disepakati bersama dan pelaporan
penghasilan kepada seluruh stakeholder. Akuntabilitas penggunaan dana retribusi
perairan sangat penting dalam mendukung keberlanjutan pungutan. Pengelola juga
harus terbuka terhadap klaim maupun masukan yang berguna bagi kelangsungan
pelestarian waduk dari berbagai pihak, misalnya penggunaan dana retribusi
perairan untuk kepentingan pembersihan sampah atau pembuatan tong-tong
sampah terapung. Dengan menjalin kemitraan bersama dengan kelompok-
kelompok stakeholder dapat menumbuhkan rasa memiliki terhadap keberadaan
waduk oleh semua pihak termasuk warga pendatang.
Skenario status quo yang diusulkan dalam menangani konflik kepentingan
saat ini adalah dengan mendorong pemerintah Provinsi yang memiliki kewajiban
dalam hal penertiban untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Propinsi harus memegang peranan penting
dalam hal penataan waduk dan menjaga keberlanjutan waduk agar tetap dapat
bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan. Mekanisme status quo ini
bisa menjadi penyelesaian yang terbaik jika masing-masing pihak menjalankan
perannya sesuai SK Gubernur No. 41 tahun 2002 yang saat ini sedang berlaku dan
didukung oleh pendanaan yang kuat melalui sharing pendanaan antara propinsi
dan pemerintah kabupaten.

8.7 Tata Kelola dan Redesign Kelembagaan Pengelolaan Waduk


Dalam tata kelola waduk terdapat adanya interaksi di antara aktor yang
dipengaruhi oleh unit-unit analisis seperti faktor karakteristik pengguna sumber
daya, faktor ekonomi, kebijakan, politik dan teknologi. Pengaruh tersebut akan
memberikan dampak terhadap perilaku stakeholder dalam melakukan tata kelola
waduk.
Secara ekonomi, permintaan masyarakat terhadap komoditas perikanan air
tawar terus bertambah. Peluang untuk melebarkan wilayah pemasaran pun masih
sangat terbuka, oleh karena sampai saat ini pemasaran perikanan produksi Cirata
terbatas masih di pasar lokal. Industri rumah tangga dalam produksi pengolahan
hasil ikan yang berada di sekitar Waduk Cirata pun masih bisa dijadikan peluang
untuk menampung produksi perikanan. Industri ini berpotensi berkembang pesat
149

seiring dengan peningkatan perbaikan infrastruktur waduk dan peningkatan


fasilitas pariwisata yang dikembangkan oleh pengelola. Permintaan akan ikan
dengan berbagai jenis ikan yang terus ada sepanjang waktu inilah yang
menyebabkan petani karamba tetap bertahan disaat harga pakan ikan terus naik.
Begitupula dengan hasil perikanan lain seperti tutut, ikan tangkapan nelayan
(bukan ikan nila/emas hasil budidaya) juga mendatangkan pendapatan bagi
masyarakat. Peluang ini dimanfaatkan juga oleh para pemilik gudang untuk
meningkatkan kuantitas penjualan pakan ikan dan juga memberikan pinjaman
dana segar untuk pengelolaan budidaya perikanan. Pengaruh faktor eksternal
seperti kekuatan ekonomi inilah yang terus membuat masyarakat bertahan dalam
usaha budidaya.
Dari sektor pertanian, hasil kebun dan bercocok tanam di lahan pasang
surut waduk seperti padi, kacang-kacangan dan umbi-umbian merupakan bahan
pangan yang terus diminati oleh konsumen. Hampir semua hasil sumber daya
yang berasal dari waduk mengalami trend permintaan yang meningkat. Oleh
karenanya masyarakat banyak bertahan dengan usaha budidaya-budidaya tersebut
walaupun resiko yang harus ditanggung cukup tinggi. Misalnya di sektor
pertanian, jika musim hujan datang lebih cepat dan merendam lahan pertanian,
maka mereka dipastikan akan gagal panen, begitupula ketika musim angin barat
dan penghujan dimana kondisi perairan waduk mudah terjadi upwelling dan
timbul berbagai penyakit ikan, maka dipastikan akan terjadi kematian ikan baik
secara serentak maupun terlokalisasi. Banjir yang melanda hulu sungai juga dapat
menimbulkan kerugian bagi nelayan yang menanam jaringnya di tengah waduk.
Kondisi demikian tidak menyurutkan para pengguna sumber daya untuk tetap
berusaha oleh karena demand yang terus tinggi terhadap bahan pangan.
Secara politis, daerah belum memanang waduk sebagai asset milik daerah
yang harus dijaga. Hal ini tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah daerah. Kebijakan pengelolaan waduk kurang menggambarkan upaya-
upaya untuk pelestarian lingkungan, namun lebih kepada ekstraksi yang
mendatangkan keuntungan ekonomi bagi daerah.
Dari sisi kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan Waduk Cirata,
pemerintah Propinsi tidak tegas dalam hal sangsi bagi pelanggar peraturan sejak
150

awal sehingga menyebabkan pembiaran terhadap pelaku. Mudahnya memperoleh


ijin membuka usaha dan adanya oknum-oknum di organisasi yang
bertanggungjawab menyebabkan semakin banyak usaha budidaya perikanan yang
baru dibuka. Di sektor pertanian, tidak diberlakukannya ijin untuk membuka lahan
pertanian dan tidak adanya tindakan tegas terhadap pelanggar menyebabkan
penggunaan lahan pasang surut semakin bertambah.
Pengguna sumber daya yang terbagi menjadi tiga kategori memiliki
karakteristik berbeda. Lembaga lokal seperti kelompok pembudidaya skala kecil,
buruh KJA, nelayan, sektor usaha rumah tangga adalah kelompok pengguna
langsung sumber daya, yang diklaim sebagai penyumbang sedimentasi dan
kerusakan lingkungan waduk. Terdiri dari masyarakat menengah dan menengah
ke bawah dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah, merupakan penduduk
asli yang merasa memiliki waduk dan berhak atas janji kompensasi pemerintah
yang memperbolehkan masyarakat setempat untuk melakukan usaha perikanan
tanpa dipungut biaya apapun. Walaupun kelompok ini diklaim sebagai
penyumbang kerusakan waduk sebenarnya kelompok ini adalah kelompok yang
rentan baik terhadap tekanan pihak eksternal seperi para pemilik gudang,
tengkulak ikan maupun akibat dari pengelolaan waduk yang tidak lestari. Mereka
pula yang menjadi target dan sasaran dari kebijakan dan peraturan perundang-
undangan yang dibuat pemerintah. Kelompok kedua adalah lembaga swasta
seperti BPWC dan Kelompok Penjual Pakan. Kelompok ini merupakan kelompok
kelas menengah ke atas atau tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan mudah
memahami permasalahan dan kondisi yang tengah dihadapi oleh CPRs.
Kelompok ketiga adalah lembaga pemerintah seperti pemerintah daerah, dinas
perikanan dan peternakan masing-masing kabupaten, dinas pertanian, dll.
Kelompok ini juga memiliki akses yang cukup besar terhadap pendanaan,
teknologi, dan informasi terkini. Ketiga kelompok merupakan kelompok oportunis
yang memanfaatkan waduk untuk kepentingannya dengan agendanya masing-
masing. Tidak adanya koordinasi dan persamaan pandangan diantara para
stakeholder menyebabkan pengelola kesulitan untuk menjaga dan mengelola
waduk yang cukup besar. Akibatnya masing-masing pemerintah daerah
melakukan aktivitas dan agendanya di lingkungan masing-masing tanpa adanya
151

koordinasi. Pihak pengelola saat ini berupaya untuk merangkul dinas terkait dan
para kelompok-kelompok untuk duduk bersama membicarakan hal-hal yang
berkaitan dengan pelestarian waduk dan sudah dilakukan beberapa kali kegiatan
pertemuan. Kegiatan bersama yang diinisiasi oleh pengelola haruslah merupakan
langkah yang kontinyu dan bukan bersifat tentantif, sehingga proses desiminasi
terus berjalan dan akhirnya semua stakeholder memiliki kesamaan visi dan
persepsi terhadap pengelolaan waduk.
Rekomendasi paling konkret saat ini adalah dengan melakukan redesign
kelembagaan. Skenario diatas yaitu best case scenario dan status quo merupakan
saran konkret yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan Cirata saat ini.
Memontum lain yang bisa dijadikan upaya awal memulai tata kelola yang baik
adalah dengan perubahan peraturan perundang-undangan yang saat ini sedang
dilakukan oleh DPRD Propinsi Jawa Barat. Undang-undang yang baru diharapkan
harus memuat sangsi yang tegas terhadap pelanggar ketentuan, siapa yang
berwenang menegakkan peraturan dan fokus untuk berbagi peran dengan pihak
pemerintah daerah dan pengelola waduk. Fungsi koordinasi bisa tetap berada pada
level Propinsi, namun pemerintah daerah sebaiknya diberikan peluang untuk
melakukan pengawasan dan monitoring kegiatan budidaya dan kegiatan
pelestarian waduk. Pengelola waduk diberikan kewenangan penuh untuk bisa
menegakkan peraturan terkait dengan penertiban kegiatan-kegiatan yang
memanfaatkan waduk dengan melibatkan pemerintah daerah. Propinsi Jawa Barat
yang berwenang sejak awal dibukanya waduk, mulai lebih memperhatikan
managemen pengelolaan waduk dan tidak hanya melulu fokus pada bidang
perikanan saja, untuk itu sebaiknya propinsi tidak menempatkan kewenangan
pengelolaan Waduk Cirata dibawah Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat.
Rekomendasi yang dapat diberikan berkaitan dengan pengelolaan kelembagaan
waduk adalah membentuk badan otorita yang khusus menangani masalah
pengelolaan sumber daya alam sebagai aset daerah dan memiliki kewenangan
melebihi kewenangan daerah kabupaten agar dapat menjadi leading sector dalam
gerakan pelestarian waduk. Kondisi umum yang sering terjadi dalam sebuah
badan/kelembagaan baru adalah masalah sumber daya manusia. Untuk itu
pemerintah juga perlu mempertimbangkan aspek sumber daya manusia dalam
152

pembentukan badan otorita ini karena sangat berpengaruh terhadap berfungsinya


gerakan pelestarian waduk. Untuk itu Ostrom telah mengidentifikan standar
pelayanan yang disyaratkan untuk mencapai visi pengelolaan sebuah CPRs yaitu
equity, suistanability dan prosperity
Dolsak&Ostrom (2003) menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan
equity, suistanability dan prosperity maka pengguna sumber daya harus dilatih
kemampuannya dalam berkomunikasi, membuat aturan main dalam pengelolaan
sumber daya dan menegakkan aturan bila terdapat pihak yang melanggar. Hal-hal
tersebut merupakan elemen yang penting dalam mencapai good govenance atau
sukesnya sebuah kelembagaan untuk managemen CPRs. Mendesign kelembagaan
untuk mengelola CPRs seperti membuat peraturan untuk distribusi alokasi sumber
daya, monitoring dan penegakannya membutuhkan usaha yang keras. Pengguna
sumber daya dapat mendesign bentuk kelembagaan baru atau mengganti aturan
yang sudah berlaku ketika tidak ada manfaat yang diterima atau cost yang
digunakan untuk menegakkan peratuan melebihi benefitnya. Walaupun tidak
memiliki kewenangan untuk merubah sebuah peraturan setidaknya kita masih bisa
duduk bersama untuk mengusulkan perubahan tersebut.
Pengorganisasian masyarakat yang dibentuk sebagian besar masyarakat di
Cirata tidak berdasarkan atas isu yang sama atas pentingnya menjaga sumber daya
ini dari daya dukung lingkungan yang semakin berkurang, namun lebih banyak
dibentuk karena desakan untuk mencari modal usaha. Isu untuk mendapatkan
modal usaha bukanlah sesuatu yang salah, namun faktor ekonomi ini muncul
karena akar permasalahan berupa daya dukung lingkungan yang berkurang dari
banyaknya pengguna sumber daya. Menurut para pakar dan peneliti, terdapat
delapan prinsip umum untuk sebuah pengorganisasian masyarakat yang sehat :
1. Peraturan dibuat dan dikelola oleh pengguna sumber daya
2. Keluhan tentang aturan mudah untuk dimonitor
3. Aturan mampu ditegakkan bersama
4. Sangsi dapat diberlakukan
5. Pengadilan tersedia dengan biaya yang rendah
6. Ratio petugas dan pengguna sumber daya proporsional
7. Lembaga yang mengatur CPRs perlu dibuat dalam berbagai tingkatan
153

8. Prosedur untuk merevisi aturan tersedia

Dari kedelapan prinsip umum tersebut diatas, kelompok pengorganisasian yang


ada di Cirata belum mencapai good governance dalam pengelolaan CPRs. Oleh
karena belum ada peraturan yang dibuat secara tertulis oleh kelompok dan
penegakan serta sangsi belum dapat diberlakukan. Semua kelompok
pengorganisasian masyarakat masih tergolong baru dan masih dalam tahap
belajar. Dibutuhkan pendampingan dari berbagai pihak untuk mencapai good
governance. Dengan kelompok yang sudah mandiri, maka akan sangat mudah
desiminasi untuk konsep pelestarian waduk dan mereka dapat menjadi
perpanjangan tangan para pengelola waduk untuk melakukan upaya-upaya
pelestarian waduk. Dalam hal suistanability, pihak pengelola tidak bisa menjadi
single fighter dalam upaya menjaga dan melestarikan waduk. Perlu adanya upaya
strategis bagi pengelola dalam mendorong stakeholder lain untuk terlibat dalam
upaya ini. Upaya strategis yang dimaksudkan adalah upaya-upaya yang lebih
suistain dalam jangka panjang dan bukan merupakan kegiatan kuratif, namun
lebih ke preventif dengan pelibatan lembaga pengguna sumber daya yang juga
menikmati waduk Cirata.
Sebagian besar dari anggota kelompok berdasarkan hasil wawancara
mengatakan bahwa mereka belum merasakan manfaat dari adanya berkelompok,
karena belum menyentuh kepada kebutuhan masyarakat secara umum. Mereka
belum merasa sejahtera, karena kekuatan dalam kelompok belum cukup untuk
mengubah kebijakan yang dapat berpihak kepada mereka. Kedelapan pokok
penting diatas dapat digunakan oleh dinas tehnis terkait untuk mengevaluasi dan
memonitoring kelompok-kelompok lokal yang ada di Cirata agar lebih berguna
dan berdaya dalam mencapai kesejahteraaan anggotanya
Dalam equity, hasil analisis stakeholder menyatakan bahwa diantara
kelompok-kelompok tersebut belum ada kesetaraan. Masih ada kelompok yang
terkesan superior oleh karena power/kekuatan yang dimilikinya. Kekuatan
eksternal inilah yang perlu dikendalikan dengan kekuatan dari dalam yang
dimiliki oleh kelompok lokal. Adanya kesenjangan yang tinggi perlu
diminimalisir dengan melakukan aksi bersama untuk menunjang kepentingan
masing-masing pihak.
154

Dalam rangka mencapai visi pengelolaan CPRs tersebut maka mutlak dilakukan
redesign kelembagaan di Cirata. Potensi sumber daya alam dan sumber daya
manusia yang dimiliki oleh Cirata sangat besar. Oleh karena itu butuh adanya
kesepakatan/komitmen dari para pengguna sumber daya yang diikat oleh faktor-
faktor ekonomi dalam mendukung pelestarian waduk. Komitmen/kesepatan
tersebut dapat tertuang dalam bentuk formal maupun informal namun disekapati
oleh semua pihak. Pengkoordinasian sumber daya manusia ini sangat mudah jika
didukung oleh badan otorita yang dapat menjadi penggerak utama pengelolaan
waduk yang lestari.

Anda mungkin juga menyukai